Author
buituyen
View
224
Download
0
Embed Size (px)
UNIVERSITAS INDONESIA
INDEPENDENSI OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM
PENGAWASAN KEGIATAN DI SEKTOR JASA KEUANGAN
TESIS
FIRMAN KUSBIANTO
1106030864
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA HUKUM EKONOMI
JAKARTA
JANUARI 2013
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
ii
UNIVERSITAS INDONESIA
INDEPENDENSI OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM
PENGAWASAN KEGIATAN DI SEKTOR JASA KEUANGAN
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Hukum
FIRMAN KUSBIANTO
1106030864
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA HUKUM EKONOMI
JAKARTA
JANUARI 2013
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
iii
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
iv
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
v
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
vi
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Firman Kusbianto
Program Studi : Hukum Ekonomi
Judul : Independensi Otoritas Jasa Keuangan Dalam
Pengawasan Kegiatan Sektor Jasa Keuangan
Tesis ini membahas secara komprehensif aspek yang bersifat esensial yaitu
independensi, yang dimiliki suatu otoritas yang berwenang penuh atas pengaturan
dan pengawasan sektor finansial di Indonesia, yaitu Otoritas Jasa Keuangan
(OJK). Alasan pentingnya independensi tersebut adalah agar OJK dapat
melaksanakan tugas dan fungsinya dalam melakukan pengawasan di sektor jasa
keuangan secara optimal dan efektif. Independensi diperlukan agar OJK dapat
melindungi diri khususnya dari intervensi industri jasa keuangan yang diawasinya
maupun dari campur tangan politik. Hal tersebut dimaksudkan agar setiap regulasi
dan pengawasan yang dilakukan OJK benar-benar bersifat objektif, tanpa
dipengaruhi intervensi dari pihak manapun dan untuk mencegah potensi benturan
kepentingan antara para pelaku yang saling berinteraksi di sektor jasa finansial.
Sifat independen tersebut harus diwujudkan karena concern dan tujuan utama
pembentukan OJK sebagai lembaga/otoritas pengatur dan pengawas adalah
menyangkut kepercayaan masyarakat bagi sektor finansial dan pencapaian tujuan
stabilitas keuangan
Kata kunci:
Otoritas Jasa Keuangan, Pengawasan, Sektor Jasa Keuangan, Independensi
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
vii
Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name : Firman Kusbianto
Study Program : Economic Law
Title : The Independence of Otoritas Jasa Keuangan in
Supervision Activities of The Financial Services Sector
This thesis addresses comprehensively an essential aspect, independence, of a
fully competent authority overseeing the regulation and supervision of the
financial sector in Indonesia, namely the Financial Services Authority (otoritas
jasa keuangan / OJK). The underlying reason of the importance of OJKs
independence is for OJK to perform their duties and functions in supervising the
financial services sector in Indonesia in the best possible and most effective
manner. This element of independence is imperative for OJK to shield itself from
third party intervention operating in the financial services industry to which it
supervises, as well as from political interference. It is intended that every
regulation issued and supervision carried out by OJK are truly objective,
independent of intervention from any third party, and to prevent potential conflicts
of interest between the actors that interact in the financial services sector. Such
element of independence must be maintained to address the main concern and
objective of OJKs establishment, as the regulatory and supervisory authority,
which revolves around the public confidence in the financial sector and the
achievement of financial stability.
Keywords : independence, Supervision, Financial Sector, Financial Service
Authority
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
viii
Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan
dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Hukum
Jurusan Hukum Ekonomi pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini,
sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, saya
mengucapkan terima kasih kepada:
1) Bapak Dr. Zulkarnain Sitompul, S.H., LL.M. selaku dosen pembimbing
tesis yang telah memberikan masukkan, sehingga penulisan tesis ini
selesai;
2) Ibu Prof. Dr.Rosa Agustina, S.H., M.H. dan Dr. Tri Hayati SH, MH selaku
dosen penguji dalam sidang akhir penulis;
3) Seluruh dosen pengajar pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia yang telah mencurahkan ilmunya kepada penulis;
4) Seluruh Staf Sekretariat Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia yang telah memberikan bantuannya kepada penulis
baik selama masa kuliah maupun dalam penulisan tesis ini;
5) Orangtua tercinta, Bapak Didit Kusherman, S.H., M.M. dan Ibu Jetty
Likur, S.E. yang tiada lelah selalu menginspirasi dan memberi semangat
kepada penulis;
6) Saudara kandung dari penulis, Aditya Ikhsan dan Irfandi Budiman yang
menemani penulis setiap saat dalam suka dan duka;
7) Rekan kerja penulis dari Kantor Hukum Irianto Subiakto & Partners, dan
kepada Pak Irianto Subiakto, S.H., LL.M. yang telah memberikan izin
dalam hari-hari kerja dan mendukung penulis menyelesaikan tesis;
8) Teman-teman dari Angkatan 2011 Hukum Ekonomi Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas yang menemani hari-hari penulis berkuliah di
kampus salemba;
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
ix
Universitas Indonesia
9) Sahabat-sahabat penulis dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Program Sarjana Angkatan 2006, yang tiada henti membuat penulis tetap
riang dan gembira dengan segala canda dan tawa dalam momen-momen
persahabatan;
10) Alexis (ale), sahabat yang selalu menemani penulis berolahraga setiap hari
dan membantu penulis menjaga kesehatannya;
11) Sara Bareilles dan Ingrid Michaelson, melalui karya lagu-lagunya yang
indah telah membantu penulis untuk lebih fokus mengerjakan tesis;
12) Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah
memberikan bantuan dalam penyelesaian studi pada Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat
bagi pengembangan ilmu hukum.
Jakarta, 1 Januari 2013
Penulis
Firman Kusbianto
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
x
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................... . iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS... iv
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .. v
ABSTRAK . .......... vi
KATA PENGANTAR................... viii
DAFTAR ISI ..... x
Bab I. Pendahuluan....................................................................... 1
A. Latar Belakang.. 1
B. Pokok Permasalahan......................................................... 13
C. Tujuan Penulisan.............................................................. 14
1. Tujuan Umum............................................................ 14
2. Tujuan Khusus........................................................... 14
3. Kerangka Teori........................................................... 15
D. Metode Penelitian............................................................ 21
1. Tipologi Penelitian..................................................... 21
2. Jenis Data................................................................... 22
3. Metode Analisis Data................................................. 22
E. Sistematika Penulisan...................................................... 23
Bab II. Independensi Otoritas Pengawas Jasa Keuangan............. 24
A. Otoritas Independen.. 24
B. Otoritas Independen dalam Pengawasan Kegiatan
di Sektor Jasa Keuangan................................................... 31
C. Indikator dan Ukuran Independensi Otoritas
Pengawas Jasa Keuangan ....... 37
1. Fungsi Pengaturan/Regulatory Independence 37
2. Fungsi Pengawasan/Supervisory Independence. 40
3. Aspek Kelembagaan/Institutional Independence... 42
4. Aspek Anggaran/Budgetary Independence.... 43
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
xi
Universitas Indonesia
D. Independensi Otoritas Jasa Keuangan dari Intervensi Politik
dan Industri Jasa Keuangan. 48
1. Independensi Otoritas Jasa Keuangan
dari Intervensi Politik 49
2. Independensi Otoritas Jasa Keuangan
dari Intervensi Industri Jasa Keuangan. 50
E. Aspek Akuntabilitas dan Transparansi
Otoritas Independen dalam Pengawasan
Kegiatan Sektor Jasa Keuangan.................................. 55
1. Akuntabilitas. 55
2. Transparansi.. 63
Bab III. Status, Kedudukan dan Struktur Kelembagaan
Otoritas Jasa Keuangan 66
A. Landasan Hukum Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan 66
B. Status dan Kedudukan Otoritas Jasa Keuangan... 69
C. Struktur Kelembagaan dan Anggaran.. 70
1. Dewan Komisioner. 70
2. Anggaran.... 76
D. Tujuan.. 77
E. Fungsi, Tugas dan Kewenangan.. 79
F. Hubungan Kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan
dengan Lembaga Terkait di Bidang Jasa Keuangan 81
G. Akuntabilitas dan Transparansi Otoritas Jasa Keuangan. 84
Bab IV. Independensi Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Pengawas
Sektor Jasa Keuangan ................................ 87
A. Independensi Otoritas Jasa Keuangan dari
Aspek Fungsi Pengaturan/Regulatory Independence. 87
1. Independensi OJK Terkait Fungsi Pengaturan
Pengawasan di bidang Perbankan............................... 91
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
xii
Universitas Indonesia
2. Independensi OJK Terkait Tugas Menetapkan
Dan Melaksanakan Kebijakan Kestabilan
Sistem Keuangan.. 92
B. Independensi Otoritas Jasa Keuangan dari
Aspek Fungsi Pengawasan/Supervisory Independenc..... 96
1. Independensi OJK Terkait Koordinasi
Fungsi Pengawasan
dengan Lembaga Lain........................................................ 100
C. Independensi Otoritas Jasa Keuangan dari
Aspek Kelembagaan/InstitutionalIndependence.. 105
1. Independensi OJK terkait Keanggotaan
Dewan Komisioner Ex-Officio dari
Bank Sentral dan Pemerintah....................................... 109
2. Independensi OJK Terkait Fungsi Penyidikan di Sektor Jasa Keuangan ............................................... 112
D. Independensi Otoritas Jasa Keuangan dari
AspekAnggaran/Budgetary Independence.... 114
E. Aspek Akuntabilitas dan Transparansi OJK 118
Bab V. Penutup...................................................................................... 124
A. Kesimpulan......................................................................... 124
B. Saran................................................................................... 126
Daftar Pustaka....................................................................................... 128
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
1
Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Suatu lembaga/institusi yang memiliki otoritas sebagai pengatur dan
pengawas sektor jasa finansial tentunya harus memiliki independensi didalam
melaksanakan tugasnya. Hal ini disebabkan otoritas tersebut mempunyai fungsi
mengawasi suatu sistem yang terdiri dari kegiatan dan transaksi jasa keuangan
oleh entitas-entitas bisnis yang dapat berpotensi terjadinya benturan kepentingan
serta berpotensi mempengaruhi ataupun dipengaruhi kepentingan pihak-pihak
tertentu, termasuk juga dalam hal ini pihak pemerintah. Untuk itu, dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya, lembaga pengatur dan pengawas sektor
jasa keuangan harus independen atau bebas dari intervensi pihak-pihak
berkepentingan, yang tentunya dalam koridor hukum yang juga menjamin bahwa
independensi tersebut dapat dimintakan pertanggung-jawabannya. Penelitian ini
akan mencoba melakukan pembahasan secara komprehensif terhadap aspek yang
bersifat esensial yaitu independensi, yang dimiliki suatu otoritas yang berwenang
penuh atas pengaturan dan pengawasan sektor finansial di Indonesia, Otoritas Jasa
Keuangan yang selanjutnya disingkat dengan OJK.
Secara umum dapat dikatakan bahwa keberadaan suatu otoritas
independen adalah salah satu faktor utama yang mempengaruhi keefektifan sistem
pengawasan di sektor jasa keuangan. Argumen ini terkait dengan
fungsi/kemampuan otoritas tersebut untuk melindungi diri dari intervensi pasar
keuangan yang diawasinya maupun dari campur tangan politik, yang mana hal ini
diperlukan agar otoritas tersebut dapat mengembangkan fungsi dan tugasnya,
mewujudkan transparansi dan pencapaian tujuan stabilitas keuangan.1 Namun
perlu juga diperhatikan, berkaitan dengan hal independensi ini, terdapat
pertanyaan yang cukup menarik untuk diperdebatkan dan dikaji, yaitu apakah
konsep suatu otoritas yang independen adalah selalu baik dan akan selalu efektif.
Lebih lanjut, apakah sudah merupakan suatu keharusan bahwa otoritas finansial
1 Steven Seelig and Alicia Novoa, Governance Practices at Financial Regulatory and
Supervisory Agencies. IMF Working Paper Monetary and Capital Markets Department
WP/09/135, July 2009, page 10.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
2
Universitas Indonesia
tersebut mendapatkan independensi secara absolut/mutlak. Kenneth Kaoma
Mwenda, dalam kajiannya menjelaskan bahwa di negara yang sedang berkembang
dari command economy, dimana pasar keuangan beserta instrumennya masih
terbilang lemah, adalah terkadang masih diperlukan campur tangan pemerintah
dalam hal-hal yang bersifat strategis, misalnya pada saat munculnya ancaman
yang berpotensi meruntuhkan suatu perusahaan yang cukup vital posisinya.2
Sebaliknya, di negara yang sudah cukup maju dan modern pasar beserta
instrumennya, sektor finansial justru akan mendapatkan manfaat dari absennya
intervensi pemerintah. Keberadaan infrastruktur yang kuat dan jaminan kerangka
regulasi hukum, termasuk kultur bisnis yang sehat di mana hak-hak kontrakual
pelaku usaha dapat ditegakkan dengan efektif, mengindikasikan intervensi negara
melalui pemerintah tidaklah diperlukan agar pasar keuangan berfungsi secara
efisien. Namun pada akhirnya diakui bahwa semakin banyak perkembangan bukti
dan fakta yang menunjukkan bahwa otoritas yang independen di sektor keuangan,
akan lebih mampu menghasilkan regulasi yang lebih efektif, membuat operasi di
dalam pasar menjadi lebih efisien dan yang paling penting, menciptakan sistem
dan fungsi pengawasan yang lebih baik dibanpdingkan pada saat berada di bawah
lembaga pemerintahan/kementerian.3
Selanjutnya, terdapat dua alasan utama yang membuat kajian terkait
independensi otoritas pengaturan dan pengawasan finansial menjadi penting.
Pertama, di hampir semua krisis sistemik yang terjadi pada sektor finansial pada
tahun 1990an, penyebabnya adalah dikarenakan kurangnya independensi otoritas
pengawasan dari pengaruh politik yang mana telah dibuktikan menjadi faktor
utama yang memperparah krisis ekonomi suatu negara. Korea saat krisis tahun
1997, merupakan salah satu contoh akibat dari tidak independennya pengawasan
sektor finansial di negara tersebut, yang mana pengawasan bank khusus dan
lembaga keuangan nonbank berada di bawah kewenangan langsung dari
2 Kenneth Kaoma Mwenda, Legal Aspects Of Financial Services Regulation And The
Concept Of A Unified Regulator, The World Bank-Law, Justice, And development Series, 2006,
page 31
3 Marc Quintyn and Michael W. Taylor, Should Financial Sector Regulators Be
Independent?, IMF Economic issues no. 32, International Monetary Fund March 8, 2004, page 6
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
3
Universitas Indonesia
Kementrian Keuangan dan Ekonomi.4 Salah satu contoh lainnya, yaitu di Jepang,
lemahnya independensi dalam fungsi pengawasan sektor finansial yang dilakukan
oleh Kementerian Keuangan, diyakini telah berkontribusi terhadap rapuhnya
sektor finansial.5 Kekuasaan Kementerian Keuangan di Jepang saat itu (pada
tahun 1995) sangat luas, yaitu terkait perencanaan keuangan, kekuasaan legislatif,
inspeksi keuangan dan pemeriksaan/pengawasan lembaga keuangan, sehingga
menyebabkan kerentanan terjadinya korupsi oleh pejabat kementerian dan untuk
mengatasi masalah tersebut pada bulan Juni 1998, pemerintah Jepang
mengeluarkan fungsi pengawas lembaga keuangan dari Kementerian dan
dialihkan kepada Financial Supervisory Authority (FSA), lembaga independen
yang memiliki wewenang untuk mengatur dan mengawasi lembaga keuangan
seperti perbankan, pasar modal dan asuransi.6 Ruth De Krivoy dalam kajiannya
mengenai krisis di Venezuela 1994, menjelaskan bahwa peraturan yang tidak
efektif dan lemahnya pengawasan serta campur tangan politik sebagai faktor
utama yang menyebabkan melemahnya bank dalam krisis. Dalam penelitiannya di
masa krisis tersebut, ia berpendapat bahwa pembuat undang-undang harus
memberikan pengaturan terhadap otoritas pengawas agar independen, dan
memberinya dukungan politik yang cukup untuk memungkinkan mereka untuk
melaksanakan tugas-tugas mereka.7
Alasan kedua, adalah terkait semakin populernya diskusi-diskusi tentang
model ataupun tipe yang paling sesuai pada otoritas pengaturan dan pengawasan
4 Perlu diketahui, pengawasan nonbank yang dilakukan oleh suatu kementerian umumnya
diakui lemah dan, selain itu, berpotensi menciptakan kondisi arbitrasi peraturan dan manajemen
risiko yang lemah, khususnya terkait trust bisnis di bank komersial dan merchant bank, yang mana
merupakan faktor yang berkontribusi pada krisis Asia di tahun 1997. Selain itu, lembaga pengawas
juga memiliki kewenangan untuk memberi kemudahan-kemudahan dalam suatu aturan/regulasi,
yang mengakibatkan semakin tidak efektifnya penegakan hukum. Lihat Lindgren, Carl-Johan,
Tomas J.T. Balino, Charles Enoch, Anne-Marie Gulde, Marc Quintyn, and Leslie Teo, 1999,
"Financial Sector Crisis and Restructuring: Lessons From Asia," International Monetary Fund
Occasional Paper No. 188.
5 Peter Hatcher, The Ministry: How Japan's Most Powerful Institution Endangers World
Markets (Boston: Harvard Business School Press), 1998.
6 Takeo Hoshi and Takatoshi Ito, Financial Regulation in Japan: A Fifth Year Review of
the Financial Services Agency, 2002 Revised 2003, hal.1-2.
7 Ruth de Krivoy, Collapse: The Venezuelan Banking Crisis of 1994, (Washington, DC:
Group of Thirty, 2000), p. 207
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
4
Universitas Indonesia
sektor finansial, termasuk juga struktur organisasinya. Hal ini juga tentunya
merupakan sebagai reaksi atas meningkatnya tren dalam
mengintegrasikan/menyatukan sistem pengawasan di sektor finansial atau terpisah
dari bank sentral.8 Lebih lanjut, diskusi ini akan menimbulkan perdebatan
seberapa besarkah tingkatan independensi yang dibutuhkan untuk lembaga
pengawasan baru yang terpisah dari bank sentral tersebut. Hal ini sebagai respon
dari argumen bahwa jika pengawasan perbankan masih berada dalam kewenangan
bank sentral, tentunya sudah mendapatkan legitimasi dan kredibilitas dari
berbagai pihak terkait independensinya.9
Kemudian secara khusus ada dua perdebatan utama mengenai kajian
independensi dari pengatur dan pengawas. Pertama, adalah perdebatan terkait
seberapa jauh tingkat substansial/otonomi independensi yang dibutuhkan oleh
otoritas pengatur dan pengawas untuk memenuhi mandat mereka dan membantu
untuk mencapai dan menjaga stabilitas sektor keuangan. Independensi dalam hal
ini misalnya independensi sebagai regulator/Regulatory Independence, adalah
mengacu pada seberapa jauh tingkat kewenangan suatu otoritas untuk menset-
up suatu regulasi/aturan terhadap sektor yang diawasainya, secara
otonom/mandiri, yang tentunya dalam batasan-batasan hokum yang berlaku.
Kedua, adalah perdebatan terkait fungsi utama otoritas pengawas yang merupakan
8 Selama bertahun-tahun, di banyak negara, kewenangan pengaturan dan pengawasan
lembaga-lembaga keuangan berada pada lembaga-lembaga khusus yang memiliki tanggung jawab
yang berbeda dan terpisah pada sektor perbankan, sekuritas, dan/atau asuransi. Akan tetapi, ada
kecenderungan dari beberapa negara untuk merestrukturisasi fungsi pengawasan keuangan dalam
beberapa tahun terakhir, dan khususnya lembaga pengawasan terpadu yaitu, satu lembaga yang
mengawasi dua atau lebih bidang sektor keuangan. Setelah terjadi krisis moneter sekitar tahun
1990-an, sejumlah negara telah mengintegrasikan fungsi pengawasan menjadi pengawas tunggal.
Lihat, Kenneth K Mwenda, and Alex Fleming, International developments in the organizational
structure of financial services supervision. A paper presented at a seminar hosted by the World
Bank Financial Sector Vice-Presidency on September 20th, 2001 (World Bank: Washington DC).
Diunduh dari situs www.worldbank.org
9 Di bidang kebijakan moneter, pendelegasian dalam pelaksanaan dan implementasi untuk
mengatur instrumen moneter kepada independensi bank sentral secara luas telah menjadi
kesepahaman berbagai pihak. Lihat Phoebus Athanassiou, Financial Sector Supervisors
Accountability: A European Perspective, Legal Working Paper Series European Central Bank, No
12 / August 2011 page 5. Adapun perlu diketahui bahwa konsep formal indepedensi, pada
awalnya dikembangkan dalam kajian literatur terhadap bank sentral, yang mana secara esensial
independensi bank sentral terdiri dari 2 element, yaitu political independence dan economic
independence. Lihat Fabrizio Gilardi and Martino Maggetti, The independence of regulatory
authorities, published in Levi-Faur, David (ed.) (2010), Handbook of Regulation, Cheltenham,
Edward Elgar.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
http://www.worldbank.org/
5
Universitas Indonesia
pelengkap untuk independensi bank sentral dalam rangka mencapai dan
mempertahankan tujuan stabilitas moneter dan keuangan. Fungsi independensi
otoritas pengawas finansial juga bisa dianalogikan atau dipersamakan dengan
pentingnya independensi dari bank sentral dalam mencapai tujuannya yaitu
kestabilan sistem moneter. Marc Quintin dan M Taylor dalam kajiannya
mengatakan bahwa independensi dari kedua lembaga (otoritas jasa keuangan dan
bank sentral) akan saling memperkuat satu sama lain dalam mencapai keseluruhan
tujuan stabilitas keuangan.10
Adapun institusi yang independen memiliki dua aspek, yaituindependen
dari campur tangan politik dan independen dari industri finansial yang diawasi itu
sendiri. Dalam mengkaji independensi otoritas pengatur dan pengawas yang bebas
dari campur tangan politik, perlu dibedakan makna antara independensi tujuan
(yang mengacu pada tujuan dibentuknya institusi pengawas oleh legislator) dan
independensi instrumen (yang mengacu pada perumusan aktual dan pelaksanaan
praktek pengawasan dan peraturan yang diserahkan kepada kebijaksanaan pejabat
pelaksana otoritas pengawas).11
Peran yang tepat bagi para politisi/legislator
dalam hal ini adalah untuk mengatur dan menentukan tujuan peraturan dan
pengawasan, namun otoritas regulator harus diberikan otonomi untuk menentukan
bagaimana mereka harus mencapai tujuannya. Sedangkan dalam aspek
independensi dari industri finansial, seperti halnya tekanan yang bersifat politis,
suatu kelompok industri juga dapat memainkan peran dalam melemahkan
keefektifan suatu regulasi. Stigler (1971), melalui suatu artikel yang memberikan
analogi tentang principal-agent12
, menjelaskan bahwa birokrasi lebih sering
mementingkan kepentingan dari suatu kelompok industri yang teroganisir
dibandingkan delegasi politik ataupun kepentingan masyarakat. Sehingga pada
akhirnya otoritas pengawas sering membuat suatu peraturan yang diformulasikan
dengan tujuan meminimalisi beban industri, yang pada akhirnya akan
10
Marc Quintyn and Michael W. Taylor, Regulatory and Supervisory Independence and
Financial Stability, IMF Working Paper WP/02/46.
11 Stanley Fischer, 1995, Central Bank Independence Revisited, American Economic
Review, Papers and Proocedings, May Vol 85, page 201-205,.
12 George J.Stigler, 1971. The Theory of Economic Regulation. Bell Journal of
Economics and Management Science, Vol 6 No.2.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
6
Universitas Indonesia
mengorbankan kepentingan masyarakat/konsumen. Mencapai kedua tipe
independensi tersebut, baik dari aspek politik maupun industri adalah suatu hal
yang bersifat esensial.
Selanjutnya beralih ke pembahasan dalam tataran global, aspek
independensi dari lembaga pengatur dan pengawasan sector jasa keuangan telah
menjadi prinsip utama yang dikemukakan oleh organisasi-organisasi internasional
yang bertugas membuat standar internasional di masing-masing industri jasa
keuangan, seperti Basel Core Principle13
di bidang perbankan dan International
Organization of Securities Commissions(IOSCO) Objective and Principle14
untuk
bidang pasar modal. Pada umumnya organisasi pembuat standar internasional
(standar setter) tersebut menyatakan perlunya secara operasional lembaga
pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan memiliki independensi. Oleh karena
itu, independensi harus dijadikan salah satu asas pokok di dalam pembentukan
otoritas pelaksana fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan
sehingga tujuan untuk menciptakan suatu kegiatan dan transaksi ekonomi dalam
sistem keuangan yang efisien, transparan dan akuntabel dapat dicapai.
Dalam penelitian ini, pengkajian pengaturan dan pengawasan
penyelenggaraan jasa keuangan tentu juga tidak akan lepas dari
hubungan/keterkaitan antara stabilitas sistem keuangan dengan sistem
perekonomian secara luas15
. Sistem keuangan pada hakekatnya merupakan suatu
13
Basel Committeeon Banking Supervision, Consultative Document Core Principles for
Effective Banking Supervision Issued, Bank for International Settlements 2011. The Core
Principles No. 2 is Independence, accountability, resourcing and legal protection forsupervisors:
The supervisor possesses operational independence, transparent processes, sound governance and
adequate resources, and is accountable for the discharge of its duties.The legal framework for
banking supervision includes legal protection for the supervisor.
14 Objective and Principle of International Organization of Securities Commissions
(IOSCO), Financial Regulation and Supervision, June 2010, mensyaratkan dengan tegas perlunya
independensi lembaga pengawas Pasar Modal. Dalam teks aslinya di point Principles Relating to
the Regulator menyatakan bahwa,The Regulator should be operationally independent and
accountable in the exercise of its functions and powers. Diunduh dari
http://www.iosco.org/library/pubdocs/pdf/IOSCOPD323.pdf
15 Crockett, A, dalam Why Financial Stability a Goal of Public Policy (1997)
menyatakan sejak beberapa tahun terakhir, istilah financial stability mengacu kepada kestabilan
institusi keuangan dan kestabilan pasar-pasar yang tergabung dalam pasar keuangan. Bandingkan
dengan Marcflame, Gubernur Reserve Bank Australia dalam Financial Stability. (1990) yang
mengemukakan bahwa financial stability is avoidance of crisis, artinya stabilitas keuangan
adalah upaya untuk menghindari terjadinya krisis. Jadi secara umum, stabilitas sistem keuangan
adalah ketahanan sistem keuangan terhadap guncangan perekonomian, sehingga fungsi
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
http://www.iosco.org/library/pubdocs/pdf/IOSCOPD323.pdf
7
Universitas Indonesia
sub-sistem dari sektor perekonomian di suatu negara yang bersifat sangat vital
seiring dengan perannya dalam menyediakan fasilitas jasa-jasa keuangan di
masyarakat. Peranan penting sistem keuangan dapat dijelaskan terkait fungsi
intermediasi lembaga-lembaga keuangan dalam menghimpun dana dari pihak
yang memiliki kelebihan dana dan menyalurkannya ke pihak yang membutuhkan
dana agar terjadi keseimbangan antar sektor perekonomian dan memastikan roda
perekonomian tetap berputar. Di satu sisi walaupun peranan lembaga keuangan
sangat besar mendorong pertumbuhan ekonomi secara nasional, tetapi di sisi lain
justru keberadaan lembaga keuangan tersebut dapat menjadi ancaman yang sangat
serius terhadap perekonomian. Kegagalan atau kecurangan yang dilakukan satu
lembaga keuangan saja, misalnya satu perusahaan perbankan, satu perusahaan
sekuritas atau satu perusahaan asuransi yang mengalami masalah akan dapat
berdampak sistimik terhadap lembaga keuangan lainnya. Hal ini tidak lain karena
dewasa ini sistem keuangan telah berkembang secara struktural, kompleks,
terintegrasi dan terkait erat satu sama lain dari segi dimensi industri maupun
secara geographis.16
Pada era globalisasi sekarang ini, tingginya tingkat persaingan antar
lembaga keuangan dan kemajuan yang sangat pesat di bidang teknologi informasi
mendorong institusi keuangan untuk terus melakukan inovasi-inovasi produk.17
intermediasi, sistem pembayaran dan penyebaran risiko tetap berjalan dengan semestinya. Lihat
Prof. DR. Anwar Nasution, Stabilitas Sistem Keuangan : Urgensi, Impllkasi Hukum, Dan
Agenda Kedepan, Disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII yang
diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional - Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia Rl. tanggal 14-18 Juli 2003 di Denpasar.
16 Hal ini sangat erat kaitannya dengan isu transformasi di sector jasa keuangan modern.
H. Onno Ruding menangkap gejala terjadinya transformasi pada industri jasa keuangan modern
yang dimulai pada tahun 1990-an. Salah satu aspek yang beliau anggap penting dalam mendorong
terjadinya transformasi tersebut, yaitu Trend Konsolidasi di bidang jasa keuangan. Setidaknya ada
5 motif yang menyebabkan para pemain industri jasa keuangan melakukan konsolidasi yaitu:
Kebutuhan modal dasar yang besar, Pertumbuhan pengguna jasa keuangan, Pengembangan
infrastruktur perusahaan, Peningkatan kualitas, dan faktor efektifitas. Adapun motif khusunsya
yaitu akan semakin variatif produk dan jasa keuangan yang dapat ditawarkan ke konsumen, serta
alasan diversifikasi usaha agar tidak terjadi penumpukan resiko. Lihat H Onno Ruding, The
transformation of the financial services industry, Occasional Paper No 2, Financial Stability
Institute, March 2002.
17 Produk-produk yang dihasilkan lembaga-lembaga keuangan saat ini sudah sedemikian
menyatunya sehinga sulit menentukan apakah suatu produk keuangan tertentu dihasilkan oleh
industri perbankan atau produk perusahaan sekuritas atau industry asuransi. Hal ini sering dikenal
dengan istilah Produk hybrid yaitu produk yang merupakan perpaduan antara produk perbankan,
asuransi atau pasar modal. Contoh produk hybrid yang baru dikenal di Indonesia yaitu
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
8
Universitas Indonesia
Namun di lain sisi hal ini terkadang melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku
dikarenakan desakan kompetisi bisnis yang semakin ketat. Pelanggaran potensial
yang sering terjadi dalam hal ini seperti misalnya laporan yang tidak transparan,
insider trading, dan pencucian uang. Di samping itu, masih banyak permasalahan
lain sebagai akibat dari aktifitas yang bersifat lintas sektoral di sektor jasa
keuangan, yang antara lain meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya
perlindungan konsumen jasa keuangan, perkembangan jaringan konglomerasi
dalam kepemilikan industri jasa keuangan, serta makin maraknya praktik-praktik
arbitrase peraturan (regulatory arbitrage) oleh entitas bisnis jasa keuangan.18
Belajar dari pengalaman Indonesia sebelumnya, khususnya pada saat stabilitas
keuangan terguncang, tentunya permasalahan-permasalahan tersebut haruslah
mendapat perhatian yang lebih serius dalam menghadapinya.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, agar kegiatan di dalam sektor jasa
keuangan dapat terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel,
haruslah juga diikuti dengan suatu sistem pengaturan dan pengawasan19
yang baik
dan taat hukum. Di Indonesia, setelah disahkan dan diundangkan pada tanggal 22
November 2011, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (UU OJK), akan terjadi transformasi yang menyeluruh dan
sistematis dalam sistem pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan, yaitu
pengalihan fungsi pengaturan dan pengawasan tersebut kepada Otoritas Jasa
Keuangan (selanjutnya akan disingkat dengan OJK), sebuah lembaga independen
bancassurance yang memiliki dua pengertian yaitu: Pertama, a bank that can offer banking,
insurance lending and investmen produk to customer. Kedua, a French term referring to the
selling of insurance throught a bank's established distribution channel. Lihat Prof. Dr. Bismar
Nasution, SH, LLM, Pasal 34 Undang-Undang Tentang Bank Indonesia dan Dampaknya Pada
Peranan dan Fungsi Bank Indonesia Di Bidang Moneter, Sistem Pembayaran dan Stabilitas
Keuangan, Buletin Hukum Perbankan Dan Kebanksentralan, Volume 8, Nomor 3, September
2010, hal. 14.
18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa
Keuangan (UU OJK), Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253, Penjelasan Umum Paragraf 3 dan 4.
19 Secara teoritis, sasaran pokok dari pengaturan dan pengawasan sektor finansial adalah
untuk mendorong keamanan dan kesehatan lembaga-lembaga keuangan melalui evaluasi dan
pemantauan yang berkesinambungan termasuk penilaian terhadap manajemen risiko, kondisi
keuangan dan kepatuhan terhadap undang-undang dan regulasi. Lihat Sukarela Batunangar, Jaring
Pengaman Keuangan: Kajian Literatur dan Praktiknya di Indonesia, (Jakarta: Buletin Hukum
Perbankan dan Kesentralan Volume 4 Nomor 3, Desember 2006), hal. 2.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
9
Universitas Indonesia
yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang untuk melakukan pengaturan,
pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan terhadap industri jasa keuangan di
Indonesia. Dengan demikian seluruh kegiatan jasa keuangan sektor perbankan,
pasar modal, asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa
keuangan lainnya ada dalam kewenangan OJK.20
Banyak yang menilai bahwa, secara kelembagaan, institusi OJK
merupakan suatu lembaga superbody. Selain karena tugas dan wewenangnya
yang sangat luas, sifat superbody OJK tercermin pada jumlah lembaga jasa
keuangan yang bakal diawasinya, yakni sekitar 2.608 lembaga jasa keuangan dan
642 mutual funds. Selain itu, OJK nantinya akan mengelola dana yang terbilang
besar yakni sekitar Rp 7.500 triliun atau setara dengan produk domestik bruto
(PDB) Indonesia.21
Hal ini tentu bukanlah hal yang mudah dilakukan apalagi
untuk sebuah lembaga yang masih hijau dan secara empiris konsep lembaga
sejenis OJK masih belum terbukti keberhasilannya di Negara-negara maju
sekalipun.22
Sejalan dari fungsi dan kewenangannya yang bersifat superbody
tersebut, penulis menilai OJK sebagai lembaga pengawas baru yang akan
mempunyai tugas dan beban strategis kelembagaan yang berat, jelas perlu
memiliki sifat independensi yang tinggi. Hal tersebut dimaksudkan agar setiap
regulasi dan pengawasan yang dilakukan OJK benar-benar bersifat objektif, tanpa
dipengaruhi intervensi dari pihak manapun dan untuk mencegah benturan
kepentingan antara berbagai faktor yang berinteraksi di pasar. Sifat independen
tersebut harus diwujudkan karena concern dan tujuan utama pembentukan OJK
sebagai lembaga/otoritas pengatur dan pengawas adalah menyangkut kepercayaan
masyarakat bagi sektor finansial.23
20
Pasal 1 UU OJK
21 Guntur Subagja, Berharap pada Lembaga Super,
http://www.investor.co.id/home/berharap-pada-lembaga-super/25318, Rabu, 30 November 2011
22 Bank Indonesia, Era Baru Transformasi Bank Sentral, (Jakarta: Media Indonesia
Publishing), 2010, hal 199.
23 Peran pengaturan dan Pengawasan yang dilakukan oleh OJK harus diarahkan untuk
menciptakan efisiensi, persaingan yang sehat, perlindungan konsumen, serta mekanisme pasar
yang sehat. Untuk itu, pengaturan dan pengawasan harus didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan
dan tranparansi yang harus diterapkan sedemikian rupa untuk menciptakan suatu aktifitas dan
transaksi ekonomi yang teratur, efisien dan produktif, dan menjamin adanya perlindungan nasabah
dan masyarakat. Lihat Tim Panitia Antar Departemen Rancangan Undang-Undang Tentang
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
http://www.investor.co.id/home/berharap-pada-lembaga-super/25318
10
Universitas Indonesia
Adapun aspek independensi OJK dalam peraturan perundang-undangan
Indonesia yaitu dalam UU OJK tercantum dengan jelas dan tegas, yaitu OJK
dibentuk dan dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, yang meliputi
independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparansi dan kewajaran
(fairness)24
. Kemudian, secara kelembagaan OJK berada di luar Pemerintah, yang
dimaknai bahwa OJK tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah25
. Di Pasal
2 ayat (2) UU OJK juga menegaskan bahwa OJK merupakan lembaga yang
independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur
tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU OJK.
Asas independensi secara lebih tegas dituangkan dalam Penjelasan Umum UU
OJK yang menyatakan bahwa OJK melaksanakan tugas dan wewenangnya
berlandaskan antara lain asas independensi yaitu independen dalam pengambilan
keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.26
Dalam kenyataanya, walaupun telah dinyatakan secara tegas dalam
peraturan perundang-undangan, independensi OJK sendiri masih diragukan dan
diperdebatkan oleh para pengamat ekonomi.27
Isu utama independensi OJK
tersebut adalah misalnya terkait dengan pimpinan/dewan komisioner ojk baik dari
segi komposisi maupun proses pemilihannya. Dari segi proses pemilihan, seleksi
tersebut dilakukan oleh panitia seleksi yang berasal antara lain dari unsur
Pemerintah maupun unsur Bank Indonesia28
, sehingga menimbulkan
Otoritas Jasa Keuangan, Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), 2010,
hal 5.
24 PenjelasanUmum Paragraf 9 UU OJK
25 Penjelasan Umum Paragraf 10 UU OJK
26 Penjelasan Umum Paragraf 14 UU OJK
27 Pengamat Ekonomi Ichsanuddin Noorsy dan Umar Juoro (Center Indonesia for
Development and Studies) berpendapat, poin krusial dari terpilihnya para Dewan Komisioner OJK
adalah independensi dari institusi pengawasan keuangan itu sendiri. Pasalnya, mayoritas orang
yang terpilih di OJK berasal dari BI dan Kementerian Keuangan. Kondisi ini membuat OJK
independensinya kurang, dan apalagi nantinya sifat keputusannya bersifat kolegial. Lihat Latief
Independensi OJK Dipertanyakan, Kompas.com, Kamis, 26 Juli 2012,
http://nasional.kompas.com/read/2012/07/26/04354490/Independensi.OJK.Dipertanyakan,
28 Panitia Seleksi dibentuk dengan Keputusan Presiden, beranggotakan 9 (sembilan)
orang yang terdiri atas unsur Pemerintah, Bank Indonesia, dan masyarakat. Lihat Pasal 11 ayat (2)
dan (3) UU OJK.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
http://nasional.kompas.com/read/2012/07/26/04354490/Independensi.OJK.Dipertanyakan
11
Universitas Indonesia
kekhawatiran bahwa anggota dewan komisioner OJK yang terpilih nantinya
merupakan hasil negosiasi politik yang akan membawa kepentingan tertentu.
Selain itu, terkait dengan komposisi Dewan Komisioner OJK tersebut menjadi
dipertanyakan karena terdapat unsur ex-officio29
yang berasal dari Bank Indonesia
dan Kementerian Keuangan dalam susunan Dewan Komisioner OJK30
, sehingga
hal ini tentu akan mengakibatkan OJK tidak terbebas sepenuhnya dari pengaruh
maupun intervensi lembaga lain, khususnya dalam hal ini Bank Indonesia maupun
Pemerintah.31
Kemudian isu yang menarik selanjutnya untuk dikaji yang masih dalam
koridor pembahasan terkait aspek independensi OJK adalah masalah anggaran
operasional OJK. Hal ini dikarenakan masih banyak kalangan khususnya dari
industri perbankan itu sendiri, menilai anggaran OJK yang dipungut dari lembaga-
lembaga keuangan diawasainya adalah tidak sesuai dan akan membebani
masyarakat.32
Sebelumnya, Himpunan Bank-Bank Milik Negara (HIMBARA)
juga menolak pembayaran iuran untuk kinerja Otoritas Jasa Keuangan (OJK),
dengan alasan pungutan itu bisa mengganggu independensi dan objektivitas OJK
dalam mengaudit lembaga perbankan, dan oleh sebab itu sebaiknya anggaran OJK
diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).33
Memang dalam
UU OJK sendiri diatur bahwa, anggaran OJK dapat bersumber dari APBN
29
Ex-officio adalah jabatan seseorang pada lembaga tertentu karena tugas dan
kewenangannya pada lembaga lain (Pasal 1 angka 20 UU OJK). Di dalam struktur Dewan
Komisioner OJK, pejabat ex officionya adalah Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati sebagai
ex officio dari pemerintah dan Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah sebagai ex officio dari BI.
30 Dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya, OJK dipimpin oleh Dewan Komisioner
yang terdiri atas 9 (sembilan) anggota Komisioner yang terdiri atas 7 (tujuh) anggota yang dipilih
oleh DPR berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh Presiden, dan 2 (dua) anggota ex-officio
dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia dan pejabat
setingkat eselon I Kementerian Keuangan. Lihat Pasal 10 UU OJK
31 Dalam penjelasan umum UU OJK, dijelaskan bahwa keberadaan ex-officio
dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiskal,
moneter, dan sektor jasa keuangan.
32 Fitri Novia Heriani, Perbankan Masih Keberatan Soal Iuran OJK, Hukum Online.com,
29 Mei 2012 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fc4b6962c107/perbankan-masih-
keberatan-soal-iuran-ojk
33 Ester Meryana, Himbara Keberatan Pungutan OJK, Kompas.com, 29 Mei 2012,
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/05/29/19042581/Himbara.Keberatan.Pungutan.OJK
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fc4b6962c107/perbankan-masih-keberatan-soal-iuran-ojkhttp://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fc4b6962c107/perbankan-masih-keberatan-soal-iuran-ojkhttp://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/05/29/19042581/Himbara.Keberatan.Pungutan.OJK
12
Universitas Indonesia
dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.34
Namun di sisi lain perlu dicermati bahwa, apabila anggaran OJK sepenuhnya
dibebankan dari APBN, maka dapat dikatakan pula bahwa OJK merupakan
bagian dari pemerintahan karena pada hakekatnya APBN disusun sesuai dengan
kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan dalam
menghimpun pendapatan negara.35
Atas hal tersebut, OJK dikhawatirkan juga
akan rentan terhadap tekanan politik dari Pemerintah mengingat kegiatan OJK
dibiayai oleh APBN tersebut.36
Dengan demikian, dikhawatirkan OJK akan
kehilangan kemandiriannya sebagai suatu insitusi dan tentu akan menggangu
pelaksanaan Independensi dari OJK.
Dalam penelitian ini, terdapat empat dimensi/instrumen untuk mengukur
independensi suatu otoritas pengatur dan pengatur kegiatan dalam penyelengaraan
jasa keuangan, yaitu aspek fungsi pengaturan, aspek fungsi pengawasan, aspek
kelembagaan, dan aspek keuangan atau anggaran. Aspek fungsi pengaturan,
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya adalah aspek yang menjelaskan
level/tingkatan otonomi dari institusi regulator dalam membuat aturan main di
sektor jasa keuangan. Aspek fungsi pengawasan, yaitu terkait fungsi pengawasan
suatu otoritas dalam penyelenggaraan sektor finansial, yang dapat dikatakan
sebagai elemen yang sangat penting dan krusial. Hal ini dikarenakan sektor
finansial merupakan sektor yang berhubungan langsung dengan masyarakat luas,
yang mana merupakan hakikat dan prinsip dari lembaga finansial sebagai
intermediasi. Aspek kelembagaan, pembahasan terkait status dari otoritas
34
Pasal 34 ayat (2) UU OJK
35 Sesuai dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
(UUKN), APBN merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan Negara yang disetujui oleh
DPR. APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan Negara dan
kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara dengan berpedoman kepada rencana kerja
Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara. Lihat Pasal 12 UU tentang
Keuangan Negara
36 Hal ini senada dengan Ketua Tim Penyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) OJK
Ahmad Fuad Rachmany yang menyatakan Ada dua alasan lembaga itu tak menggunakan
anggaran negara. Pertama, menjaga independensi OJK, belajar dari pengalaman beberapa
lembaga negara yang mengalami ancaman pengurangan anggaran operasional karena bertindak
tidak sesuai harapan pemegang otoritas anggaran. Kedua, menghilangkan beban pajak masyarakat
yang sama sekali tidak menikmati hasil industri keuangan. Fuad Rahmany,Operasional OJK Tidak
Gunakan APBN, Hukum Online.com, 05 July 2010,
http://beta.hukumonline.com/berita/baca/lt4c31b77d51cac/operasional-ojk-tidak-gunakan-apbn
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
13
Universitas Indonesia
pengawasan yang berada di luar cabang eksekutif maupun legislatif dari
pemerintahan. Dan terakhir, aspek anggaran, yang menjelaskan bahwa otoritas
pengawas seharusnya tidak boleh mendapat tekanan politis dalam hal
penganggaran. Analisis pengukuran independensi inilah yang menarik perhatian
penulis untuk diajukan sebagai materi utama penelitian tesis ini, agar selanjutnya
didapatkan pemahaman yang lebih mendalam terhadap OJK khususnya aspek
independensinya dalam penyelenggaraan sistem pengaturan dan pengawasan
terhadap kegiatan di sektor jasa keuangan.
B. Pokok Permasalahan
Penelitian selalu dimulai dengan problem atau seperangkat isu yang
disebut sebagai forshadowed problems, dimana problem ini menggelitik
keingintahuan peneliti dan mengganggunya dengan berbagai pertanyaan.37
Selain itu tujuan dibuatnya pertanyaan penelitian adalah untuk menjelaskan,
memahami, mendalami suatu proses dan menggambarkan pengalaman.38
Adapun
rumusan permasalahan dalam penelitian adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah status, kedudukan dan struktur kelembagaan Otoritas
Jasa Keuangan?
2. Mengapa Otoritas Jasa Keuangan harus memiliki independensi dalam
menjalankan fungsinya sebagai pengawas sektor jasa keuangan?
3. Bagaimanakah penilaian independensi Otoritas Jasa Keuangan dalam
pelaksanaan tugas dan kewenangannya berdasarkan peraturan
perundang-undangan di indonesia?
37
Hammersley, Martyn & Paul Atkinson. 1997.Ethnography. Principle in Practice. 2nd
edition. New York: Routledge dalam Sulistyowati Irianto & Shidarta, Metode Penelitian Hukum:
Konstelasi dan Refleksi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009, hal 301.
38 John W Creswell, Research Design, Qualitative and Quantitative Approaches, London:
Sage Publication, 1994 dalam Sulistyowati Irianto & Shidarta, Metode Penelitian Hukum:
Konstelasi dan Refleksi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009, hal 303.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
14
Universitas Indonesia
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penelitian ini terdiri dari tujuan penelitian secara umum dan tujuan
khusus, adapun tujuan tersebut yaitu:
1. Tujuan Umum
Adapun tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk memberikan
pemahaman secara umum tentang prinsip-prinsip dan teori indenpendensial suatu
otoritas yang berwenang penuh dalam penyelenggaraan sistem pengaturan dan
pengawasan sektor jasa keuangan, khususnya dalam hal ini adalah terkait aspek
hukum independensi Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui status, kedudukan dan struktur kelembagaan otoritas
jasa keuangan otoritas sebagai pengatur dan pengawas kegiatan di
sektor jasa keuangan berdasarkan peraturan perundang-undangan
di indonesia.
2. Mengetahui prinsip dan teori independensi dari otoritas pengatur
dan pengawas sektor jasa keuangan
3. Mengetahui analisa pengukuran aspek independensi dari otoritas
jasa keuangan dalam menjalankan fungsinya sebagai pengatur dan
pengawas kegiatan di sektor jasa keuangan berdasarkan peraturan
perundang-undangan di indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
15
Universitas Indonesia
D. Kerangka Teori
Berbicara mengenai otoritas regulator (ataupun supervisor) independen,
adalah bukanlah yang mudah dalam hal memberikan definisi secara umum, hal ini
dikarenakan terkait desain institusi, fungsi, status, kewenangan yang
didelegasikan serta juga aspek pengawasan institusi, yang bervariasi di beberapa
negara, bahkan di satu negara dalam ranah/domain yang berbeda. Namun
demikian, otoritas regulator yang independen dapat diklasifikasi menjadi dua
kelompok utama, yaitu institusi yang meregulasi penyelenggaraan suatu pasar
ekonomi dengan berprinsip utama pada teori pasar, dan institusi pembuat regulasi
dengan tujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat (publik).39
Pada institusi
yang pertama, kewenagan untuk meregulasi timbul dalam suatu kepentingan
untuk mencegah unfair competition, mengontrol harga, dan terkadang institusi
ini pun mengatur aspek sosial atau aspek distributif dari suatu pasar ekonomi.
Contoh institusi ini adalah Lembaga Pengawas Persaingan Usaha, Lembaga
Pengatur Finansial dan sebagainya. Di sisi lain, institusi yang kedua, mempunyai
tanggung jawab untuk mengedepankan tujuan kepentingan publik di luar
kompetisi pasar. Tugas institusi ini antara lain seperti, membuat suatu standar,
mencegah peredaran barang yang tidak resmi, masalah keselamatan (seperti isu
pekerjaan atau makanan), dan aspek keadilan rasial-gender. Contohnya adalah
Lembaga Pengawas Makanan dan Obat-Obatan. Menurut penelitian oleh
Thacther, institusi yang bertipe market regulation agencies lebih berkembang
secara luas dibandingkan institusi public interest regulators, dan menikmati
kewenangan dan independensi yang lebih tegas dan kuat dari pemerintah.
Di dalam penelitian ini, Insitusi Regulator Independen secara khusus
didefinisikan sebagai institusi yang memiliki tugas dan kewenangannya yang
mandiri di ranah hukum publik, yang mana juga mempunyai struktur organisasi
yang terpisah dari kementrian atau pemerintah. Dan oleh sebab itu, institusi yang
merupakan suatu unit organisasi dari kementerian, organ langsung dari
pemerintahan ataupun suatu unit birokrasi kepemerintahan, tidaklah
39
Mark Thatcher, 2002. Delegation to Independent Regulatory Agencies:
Pressures,Functions and Contextual Mediation. West European Politics, vol. 25(1), page 125-
147.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
16
Universitas Indonesia
diperhitungkan sebagai Institusi Regulator Independen dalam penelitan ini,
dikarenakan institusi tersebut pada hakekatnya menjalankan kekuasaan
pemerintah/eksekutif.
Secara teoritis, tesis ini menggunakan pendekatan kerangka konsep hukum
yang dikembangkan oleh Montesquiue, yaitu teori pemisahan
kekuasaan/separation of powers. Menurut Montesquieu, kekuasaan negara dibagi
dalam tiga kekuasaan. Tiap-tiap kekuasaan mempunyai kewenangan sendiri,
kekuasaan yang satu terpisah dengan yang lainnya dan kekuasaan tersebut tidak
berada dalam satu tangan yang sama.40
Ajaran pemisahan kekuasaan
(Montequieu), menurut Bagir Manan, berintikan pada independensi masing-
masing alat kelengkapan negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif). Montequieu
berpendapat, setiap percampuran kekuasaan (di satu tangan) antara legislatif,
eksekutif, dan yudikatif (seluruh atau dua diantaranya), dipastikan akan
menimbulkan kekuasaan atau pemerintahan yang sewenang-wenang dan untuk
mencegahnya, badan (alat kelengkapan) organisasi negara harus dipisahkan satu
sama lain.41
Teori separation of powers Montesquieu kemudian mengalami
perkembangan dan kritikan. Menurut Mac Iver dan H.J. Laski pemisahan
kekuasaan secara mutlak dari kekuasaan negara seperti yang digambarkan oleh
Montesquieu tidak mungkin dilakukan.42
Pemisahan kegiatan legislatif, eksekutif,
dan yudikatif tidak dapat dipisahkan secara tajam yang satu dengan yang lainnya.
Menurut E. Utrecht, pemisahan mutlak yang dikemukakan oleh Montesquieu
mengakibatkan adanya badan kenegaraan yang tidak dapat ditempatkan di bawah
40
Sebagaimana dinyatakan oleh Montesquieu berikut, When the legislative and executive
powers are united in the same person, or in the same magistrate, there can be no liberty; because
apprehensions may arise; lest the same monarch or senate should enact tyranical laws, to execute
them in tyranical manner. (Apabila kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif menyatu dalam
satu tangan, maka tidak ada kebebasan; karena timbul keprihatinan, kalau raja atau majelis
mengundangkan hukum-hukum zalim, untuk dilaksanakan dengan cara yang zalim). Lihat
Montesquieu, De L`Esprit Des Lois, (Paris: G.Truc ed. 1949), hlm. 162.
41 Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), (Yogyakarta: FH UII
Press, 2005), hlm. 120-121
42 The absolute separation of powers prescribed by Motesquieu is obviously impossible
dalam Robert M. Maclver, The Modern State, (Oxford: Oxford University Press, 1950), hlm. 371;
Harold J Laski, A Grammar of Politics, (London: George Allen and Unwir LTD, 1960), hlm. 2.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
17
Universitas Indonesia
pengawasan suatu badan kenegaraan lainnya. Ketiadaan pengawasan ini
mengakibatkan terbukanya kemungkinan suatu badan kenegaraan melampaui
batas kekuasaannya.43
Menurut Miriam Budiardjo, hal itu terjadi karena pada abad
ke-20 negara mengalami perkembangan sehingga kehidupan ekonomi dan sosial
menjadi sangat kompleks serta badan eksekutif mengatur hampir seluruh
kehidupan masyarakat. Hal ini mengakibatkan teori trias politica tidak dapat
dipertahankan lagi.44
Selain itu, dewasa ini hampir semua negara modern mempunyai tujuan
untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya yang berkonsep negara
kesejahteraan (Welfare State). Untuk mencapai tujuan tersebut negara dituntut
menjalankan fungsi secara tepat, cepat dan komprehensif dari semua lembaga
negara yang ada. Dengan kata lain, persoalan yang dihadapi oleh negara semakin
kompleks dan rumit sehingga penanganannya tidak dapat dimonopoli dan
diselesaikan secara otonom oleh lembaga negara tertentu saja, melainkan perlu
adanya kerja sama antar lembaga negara yang ada. Oleh karena itu, pemisahan
kekuasaan secara mutlak ke dalam tiga cabang kekuasaan sudah tidak relevan lagi
dalam perkembangan teori hukum tata negara.45
Dalam pada itu, menurut Jimly
Asshiddiqie perkembangan kelembagaan negara secara teori dan pemikiran
berkembang sangat pesat. Jimly Asshiddiqie berpendapat keadaan dan kebutuhan
yang nyata, baik karena faktor-faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya di
tengah dinamika gelombang pengaruh globalisme versus lokalisme yang semakin
komplek mengakibatkan variasi struktur dan fungsi organisasi dan institusi-
institusi kenegaraan semakin berkembang.46
Selain pemikiran tersebut perkembangan fungsi-fungsi kekuasaan negara
juga dipengaruhi oleh terjadinya transisi demokrasi, yang mengakibatkan
43
E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, cet. 4., (1960), hlm 17-
24.
44 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, cet. 22, (Jakarta: PT. Gramedia, 2001),
hlm. 155
45 Pemisahan kekuasaan secara tajam tidak begitu diperlukan lagi, karena yang
memerintah dalam negara bukan lagi raja-raja yang absolut seperti dulu. Lihat Andi Mustari Pide,
Pengantar Hukum Tata Negara, cet. 1, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), hlm. 54
46 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
(Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 1.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
18
Universitas Indonesia
terjadinya berbagai kesulitan ekonomi, dikarenakan terjadinya aneka perubahan
sosial dan ekonomi. Negara yang mengalami perubahan sosial dan ekonomi
memaksa banyak negara melakukan eksperimentasi kelembagaan (institutional
experimentation) yang memiliki tujuan untuk menerapkan prinsip efesiensi
sebanyak mungkin sehingga pelayanan umum (public services) dapat benar-benar
terjamin efektif. Sebagai tuntutan perkembangan yang semakin kompleks dan
rumit, organisasi-organisasi kekuasaan yang birokratis, sentralistis dan
terkonsentrasi tidak dapat lagi diandalkan. Salah satu akibatnya ialah fungsi-
fungsi kekuasaan yang biasanya melekat pada fungsi lembaga eksekutif, legislatif
dan bahkan yudisial, dialihkan menjadi fungsi organ tersendiri yang bersifat
independen.47
Sehingga, dimungkinkan adanya suatu organ negara yang
mempunyai fungsi campuran, masing-masing bersifat independen (independent
bodies) atau quasi independen.
Beberapa ahli yang mengelompokkan lembaga independen ini dalam
domain atau ranah kekuasaan eksekutif atau mengelompokkannya secara
tersendiri sebagai the fourth branch of the government atau oleh para ahli
ketatanegaraan di Belanda disebut dengan De Vierde Macht.48
Tidak hanya di
Belanda, di Amerika Serikat juga muncul kekuasaan lain disamping kekuasaan
legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kekuasaan tersebut adalah independent
agencies. Kekusaan independen ini muncul dilatarbelakangi oleh pertumbuhan
yang luar biasa pada lembaga-lembaga pemerintahan dengan kekuasaan regulasi
47
Dalam rangka membatasi kekuasaan itu, di zaman sekarang berkembang pula adanya
pengaturan kelembagaan pemerintah yang bersifat independen, seperti bank sentral, organisasi
tentara dan kejaksaan. Independensi lembaga atau organ-organ tersebut dianggap penting untuk
menjamin demokrasi. Lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,
(Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 156
48 Dengan meneliti hukum tatanegara negara Belanda, Crince le Roy menyimpulkan
terdapat kekuasaan lain di samping tiga kekuasaan menurut Montesquieu. Kekuasaan tersebut
diberi istilah De Vierde Macht. Akan tetapi, kekuasaan ke-empat tersebut bukan hanya pegawai
negeri, dalam suatu negara munculnya kekuaaan lainnya berkaitan dengan kenyataan dalam
masyaratakat suatu negera. Crince le Roy menyebutkan kekuasaan lainnya yakni komisi-komisi
Independen, pers, aparat kepegawaian, kekuasaan-kekuasaan pengawasan, komisi- komisi
pelayaan masyarakat, rakyat yang memiliki hak pilih, kelompok- kelompok penekan dan partai-
partai politik. Lihat Crince le Roy, Kekuasaan ke-empat Pengenalan Ulang, diterjemahkan oleh
Soehardjo, (Semarang: 1981), hlm. 21
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
19
Universitas Indonesia
yang luas di AS terjadi pada abad ke-20.49
Pertumbuhan ini telah menimbulkan
banyak masalah kebijakan dan koordinasi di pemerintahan. Perkembangan ini
pada akhirnya mendorong terbentuknya lembaga-lembaga independen yang juga
dikenal sebagai The Fourth Branch of The Government, bertindak tanpa
tanggung-jawab dan tidak dikoordinir oleh Presiden. Keberadaan dan status dari
lembaga-lembaga independen dengan kekuasaan regulasi yang luas akan sangat
dapat digabungkan dengan prinsip-prinsip pemisahan cabang-cabang kekuasaan
negara. Selain itu, dalam hal lembaga-lembaga independen, dibentuk setiap
kekuasaan harus mampu melaksanakan sistem checks and balances dari
kekuasaan lainnya dalam mengontrol tindakan lembaga. Dan oleh sebab itu
kekuasaan lembaga independen memainkan satu peranan penting dalam sistem
checks and balances antara tiga cabang kekuasaan asli.
Selain itu juga dalam tesis ini, teori hukum yang dipergunakan untuk
menganalisis aspek independensi dari otoritas regulator adalah principal-Agent
Theory50
. Menurut teori ini, alasan dasar pendelegasian kewenangan dari suatu
principal kepada agent adalah bersifat fungsional, seperti misalnya pendelegasian
dari pemegang saham kepada manajemen, negara kepada organisasi internasional,
atau legislatif kepada institusi regulator. Hal ini dilakukan karena diyakini
pendelegasian tersebut dapat memberikan hasil yang lebih baik dalam jangka
49
Keberadaan independent agencies di AS sebenarnya telah ada di AS lebih dari seratus
tahun. Misalnya, Komisi Perdagangan Internasional (ICC), yang mempunyai tugas untuk
meregulasi perkereta-apian, didirikan tahun 1887. Komisi Perdagangan Federal (FTC) dibentuk
tahun 1914 dan mengikuti model ICC karena kekuasaan dan kewenangan yang independent seperti
ICC. Akan tetapi, pada awal abad ke-duapuluh perkebangannya semakin meningkat. Lihat Saskia
Lavrijssen, An Analysis of The Constitutional Position of The US Independent Agemcies, (1
Januari 2008), terdapat di situs
20
Universitas Indonesia
panjang.51
Pendekatan teori principal-agent mengasumsikan bahwa pejabat
terpilih (legislator) mendelegasikan beberapa kekuasaan mereka kepada suatu
institusi regulator untuk membuat kebijakan publik, hal ini didasarkan dari
anggapan bahwa akan didapat benefit yang lebih besar daripada cost yang
dikeluarkan untuk pendelegasian tersebut.52
Delegasi ini dilakukan karena juga
diyakini bahwa institusi tersebut dapat menjalankan fungsi yang berguna bagi
pejabat terpilih (legislator) dalam berurusan dengan berbagai tekanan dan
masalah.53
Maka oleh sebab itu, pembentukan dan desain institusi regulator
dipandang hanya terkait masalah institusional, yaitu pejabat terpilih (principal)
mendelegasikan wewenang kepada institusi regulator (agent) dan mereka memilih
institusi dalam bentuk formal (secara khusus terdapat unsur didelegasikannya
kekuasaan dan juga kontrol pengawasan dari pemberi pihak delegasi) yang
meminimalkan institusi itu mengalami kerugian yang timbul dari suatu kelalaian.
Dapat disimpulkan bahwa secara umum, model principal-agents memberikan
analisis terhadap hubungan antara principal (pemberi delegasi) dan agents
(penerima delegasi), alasan dan tujuan dari delegasi, mengkaji jumlah diskresi
yang harus diberikan kepada agent dan juga sama halnya terhadap mekanisme
kontrol pengawasan yang dibatasi kepada agent oleh principal yang bertujuan
untuk mendapatkan manfaat yang diharapkan pendelegasian.
51
Mark A. Pollack, 1997, Delegation, Agency, and Agenda Setting in the
EuropeanCommunity, International Organization, vol. 51(1), pp. 99-134.
52 Penting untuk dicatat bahwa suatu pendelegasian mengakibatkan manfaat dan juga
biaya bagi pihak yang memberikan delegasi. Kerugian yang timbul dari hal ini sering disebut
dengan istilah agency costs or agency losses yang mana disebabkan oleh pengaturan agents
yang bertindak atas pihak principal, dan oleh sebab itu mekanisme control terhadap agents
dimaksudkan untuk menimilasir hal tersebut. Lihat Jonas Tallberg, 2002. Delegation to
Supranational Institutions: Why, How, and with What Consequences? West European Politics,
vol. 25(1), pp. 23-46
53 G. Majone, 1999. The Regulatory State and Its Legitimacy Problems West European
Politics, vol. 22(1), pp. 1-24.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
21
Universitas Indonesia
E. Metode Penelitian
Penelitian adalah suatu usaha pencarian jawaban yang benar, sebuah kata
istilah dalam bahasa Indonesia yang dipakai sebagai kata terjemahan apa yang di
dalam Inggris disebut Research.54
Bermakna sebagai pencarian, penelitian adalah
suatu kegiatan bersengaja dan bertujuan serta pula berprosedur alias bermetode.55
Metode Penelitian pada hakikatnya memberikan pedoman, cara-cara mempelajari,
menganalisa dan memahami kejadian-kejadian dalam penelitian.56
Penelitian yang
dilakukan oleh penulis merupakan penelitian hukum karena didasarkan pada
metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari
satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya.57
Lebih
lanjut, penelitian hukum dalam tesis ini merupakan penelitian hukum yang
bertipe non doktrinal, yaitu penelitian berupa studi-studi empiris untuk
menemukan teori-teori mengenai proses terjadinya dan mengenai proses
bekerjanya hukum di dalam masyarakat.58
Dan kajian ilmu hukum yang
digunakan penulis adalah kajian ilmu hukum normatif59
, dikarenakan bahan
penelitian yang digunakan penulis adalah bahan-bahan kepustakaan ilmu hukum.
1) Tipologi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yaitu memberikan
gambaran secara umum yang dapat ditangkap oleh panca indera atau
menggambarkan secara tepat sifat suatu individu, keadaan, gejala atau
kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi suatu gejala.60
54
Sulistyowati Irianto & Shidarta, Metode Penelitian Hukum konstelasi dan Refleksi,
(Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2009), hal. 96
55 Ibid.
56 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3 (Jakarta: Penerbit UI-Pres,
1986), hal.6.
57
Ibid, hal. 43
58 Sutandyo Wignjosoebroto, tth,, Apakah Sesungguhnya Penelitian itu?, Kertas Kerja,
(Surabaya : Univ. Airlangga, 1986), hlm. 2
59
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta : Rajawali Press, 1990), hal. 15
60 Sri Mamudji et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, ( Jakarta : Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 4.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
22
Universitas Indonesia
Kaitannya dengan penelitian ini, gambaran secara umum adalah mengenai
bagaimana aspek hukum independensi Otoritas Jasa Keuangan dalam
penyelenggaraan sistem pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di
sektor jasa keuangan. Selain itu, penelitian ini juga termasuk penelitian
murni yaitu penelitian ini bertujuan mengembangkan pengetahuan.61
2) Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier sebagai
berikut.62
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai
kekuatan mengikat berupa peraturan perundang-undangan
Indonesia, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21
Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.
b. Bahan hukum sekunder, yatu bahan hukum yang erat kaitannya
dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa,
memahami, dan menjelaskan bahan hukum primer, yang antara
lain adalah teori para sarjana, buku, penelusuran internet, artikel
ilmiah, jurnal, tesis, surat kabar, dan makalah.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan atas bahan hukum primer dan
sekunder, misalnya kamus.
3) Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan adalah kualitatif yaitu mendalami
makna dibalik realitas atau tindakan atau data yang diperoleh dan yang diteliti
atau dipelajari sebagai objek penelitian yang utuh.63
Dalam penelitian ini apa yang
telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dipelajari secara lebih
mendalam khususnya mengenai aspek hukum independensi otoritas jasa keuangan
61
Ibid., hal. 5.
62 Soerjono Soekanto, Op. Cit., hal. 32.
63 Sri Mamudji et.al., Op. Cit., hal. 67.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
23
Universitas Indonesia
dalam penyelenggaraan sistem pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di
sektor jasa keuangan.
F. Sistematika Penulisan
Dalam Bab I, yaitu Bab Pendahuluan penelitian, akan dipaparkan
mengenai latar belakang dipilihnya topik penelitian tesis ini. Lebih lanjut, yaitu
aspek-aspek dari Independensi Lembaga Pengatur dan Pengawas Jasa Keuangan
atau Otoritas Jasa Keuangan yang menarik untuk dikaji lebih mendalam. Selain
itu dalam bab ini juga akan dijelaskan terkait teori hukum yang digunakan penulis
dalam melakukan penelitian ini, juga metode penelitiannya.
Kemudian di dalam Bab II, yaitu Bab Teori Penelitian, penulis akan
menjabarkan Teori dan Prinsip Independensial Otoritas Pengatur dan Pengawas
Jasa Keuangan dari referensi-referensi yang telah penulis kaji. Dari referensi dan
literatur ilmiah ini, penulis kemudian mendapatkan dimensi dan prinsip
independensial suatu lembaga/otoritas pengatur dan pengawas jasa keuangan.
Kemudian juga, tentu aspek Independensi tidak akan lengkap dengan isu yang
cukup menjadi perdebatan di kalangan akademis maupun praktisi yaitu aspek
Independensi dari Intervensi Politik dan Industri Jasa Keuangan.
Dalam Bab III, akan dibahas mengenai bagian isi dari penelitian, yaitu
Status, Kedudukan dan Struktur Kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan. Penting
untuk dibahas secara mendetil khususnya dari peraturan perundang-undangan
berlaku terkait Landasan Hukum Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan. Status
dan Kedudukan Otoritas Jasa Keuangan dalam struktur ketatanegaraan dan juga
tidak kalah pentingnya adalah Hubungan Kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan
dengan Lembaga Terkait di Bidang Jasa Keuangan.
Dalam Bab IV, yaitu Bab Analisa Penelitian, penulis akan memberikan
analisa dari fakta-fakta dan teori yang telah penulis paparkan di bab-bab
sebelumnya. Maka dalam bab ini dapat dikatakan merupakan inti dari pemikiran
penulis atas AspekIndependesi Otoritas Jasa Keuangan dalam Penyelenggaraan
Sistem Pengaturan Dan Pengawasan Terhadap Kegiatan di Sektor Jasa Keuangan
Indonesia
Dalam Bab V, yaitu Bab Penutup, akan berisi kesimpulan dan saran dari
penulisan tesis ini.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
24
Universitas Indonesia
BAB II
INDEPENDENSI OTORITAS PENGATUR DAN PENGAWAS
KEGIATAN DI SEKTOR JASA KEUANGAN
A. Otoritas Independen
Untuk memulai bab ini, perlu terlebih dahulu dipahami berbagai definisi
Independen dari sumber-sumber referensi yang penulis teliti. Istilah Independen
dalam bahasa inggris ditulis dengan kata independent yang mempunyai pengertian
yaitu not governed by another, not requiring or relying on something or
somebody else, not easily influenced.64
Kemudian independen dalam Blacks Law
Dictionary diartikan sebagai suatu kondisi yang terbebas dari ketergantungan,
terbebas dari kontrol modifikasi atau pembatasan dari pihak lain.65
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Independen adalah mandiri yang mempunyai pengertian
bebas dari ketergantungan pada orang lain.66
Jadi secara umum, independensi
dapat didefinisikan sebagai kebebasan dari pengaruh instruksi/pengarahan, atau
kontrol dari pihak/pihak-pihak lain.
Menurut literatur-literatur hukum yang berkembang dewasa ini, secara
umum dalam mendefinisikan Otoritas Independen, dapat menggunakan salah satu
ciri yang penting, yaitu suatu lembaga yang dipimpin oleh seseorang yang tidak
dapat diberhentikan langsung (bahkan oleh Presiden sekalipun) dan hanya dapat
diberhentikan oleh suatu alasan yang valid dan substansial/good cause67
. Senada
64
Websters Vest Pocket Dictionary, Merriam Webster Inc, Publisher Springfield,
Massachussets, USA, 1989.
65 Independent : not dependent, not subject to control, restriction, modification or
limitation from a given outside source. Henry Campbell Black, M.A, Blacks Law Dictionary,
Sixth Edition, (St. Paul Minn, West Publishing Co, USA), 1997, hlm. 472.
66 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
Republik Indonesia, dikutip darihttp://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/
67 Jacob E. Gersen, Designing Agencies, in Research Handbook On PublicChoice And
Public Law, (Daniel A. Farber & Joseph OConnell eds.), 2010, page 333, 347 (Independence is
a legal term of art in public law, referring to agencies headed by officials that thePresident may
not remove without cause). Lihat juga Marshall J. Breger & Gary J. Edles,Established
byPractice: The Theory and Operation of Independent Federal Agencies, 52 Administrative Law
Review, 2000, page 1111,1138 (The critical element of independence is the protection
conferred explicitly by statute or reasonably impliedagainst removal except for cause.). Lihat
juga Lisa Schultz Bressman & Robert B. Thompson, The Future of Agency Independence, 63
Vanderbilt Law Review, 2010, page 599, 610 (What gives agencies their independence or what
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/
25
Universitas Indonesia
dengan definisi tersebut, William F. Fox Jr., juga menyatakan bahwa suatu
otoritas adalah independen bila dinyatakan secara tegas oleh kongres dalam
undang-undang otoritas yang bersangkutan atau, bila Presiden dibatasi untuk tidak
secara bebas memutuskan (discretionary decision) pemberhentian sang pimpinan
otoritas.68
Pakar ketatanegaraan Indonesia, Jimly Asshiddiqie memberikan
pengertian Otoritas Independen atau -dalam bahasanya- yaitu Komisi Negara
Independen sebagai suatu organ negara (state organs) yang diidealkan
independen dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif
maupun yudikatif, namun justru mempunyai fungsi campur dari ketiganya.69
William F. Funk dan Richard H. Seamon menambahkan bahwa sifat independen
dari otoritas tercermin dari: (1) kepemimpinan yang kolektif, bukan seorang
pimpinan; (2) kepemimpinan tidak dikuasai/mayoritas berasal dari partai politik
tertentu; dan (3) masa jabatan para pemimpin komisi tidak habis secara
bersamaan, tetapi bergantian (staggered terms).70
Dalam kajian para ahli dan akademis di Amerika (khususnya di bidang
hukumadministrasi negara), sering mendefinisikan otoritas independen dengan
pengertian, yaitu suatu lembaga pemerintahan yang -tidak dibentuk oleh rakyat
dan tidak juga dijalankan oleh pejabat yang terpilih-, yang mana lembaga ini
menjalankan otoritas sebagai regulator kebijakan-kebijakan di bidang-bidang
khusus71
. Di luar Amerika, kriteria untuk menentukan suatu lembaga independen
adalah semakin bervariasi, misalnya di negara-negara Eropa yang mempunyai
karakter otoritas independen sebagai suatu lembaga yang mempunyai posisi di
otherwise distinguishes them from their executive-branch counterparts [is that] the President
lacks authority to remove their heads from office except for cause.).
68 William F. Fox Jr, Understanding Administrative Law (Danvers: Lexis Publishing),
2000, hal. 56.
69 Jimly Asshidiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat
UUd 1945, makalah dalam seminar pembangunan hukum nasional VIII, Denpasar 14-18 Juli
2003.
70 William F. Funk dan Richard H.Seamon, Administrative Law: Examples &
Explanations, (New York, Aspen. Publishers, Inc) 2001, page 23-34.
71 Mark Thatcher & Alec Stone Sweet,Theory and Practice of Delegation to Non-
Majoritarian Institutions, 25 West European Politic, 2002, page 1, 2 (an independent agency is a
government body neither directly elected by the people, nor directly managed by elected
officials.)
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
26
Universitas Indonesia
luar struktur hieraki dari kekuasaan eksekutif. 72
Atas dasar bebarapa alasan-
alasan tersebut, kajian dan studi akademis telah mengalami pergeseran dari single
criteria dalam menentukan independensi, menjadi analisis-analisis yang lebih
komprehensif dan mendalam pada kondisi-kondisi kelembagaan suatu otoritas
independen tersebut.73
Namun dalam tingkatan yang paling minim, suatu otoritas
dapat dikatakan independen secara formal, ketika otoritas tersebut dapat
menjalankan kewenangannya tanpa kontrol/pengarahan dari pejabat pemerintah
terpilih seperti presiden, kementerian atau perdana menteri.74
Dengan demikian,
dapat juga disimpulkan bahwa otoritas independen adalah suatu entitas
administratif yang beroperasi di luar hierarki dari badan kepemerintahan pusat.
Telah dijelaskan bahwa sifat dan karakteristik dari otoritas independen
akan berbeda-beda di setiap negara atau dapat juga dikatakan bahwa setiap negara
mempunyai legal definition dan doktrin sendiri atas otoritas independen dan
penyebutan istilah otoritas independen sangat bervariasi seperti misalnya,
autonomous regulatory agencies, semi-independentregulators, independent
regulatory agencies, impartial regulatory agenciesindependent regulatory
commissiondan sebagainya.75
Namun demikian, secara umum dapat ditemukan
persamaaan ciri yang signifikan diantara otoritas independens tersebut. Pertama,
mereka memiliki fungsi dan kewenangan sebagai regulator di bidang-bidang
72
Martin Shapiro, A Comparison Of U.S. And European Independent Agencies,
Comparative Administrative Law, (Susan Rose--Ackerman And Peter L. Lindseth, eds), 2010, page 293, 279 (To operationalize Agency independence, Jurisdictions around the world have
followed different approaches. While U.S. Law has Focused on the Appointment and removal
process for agency heads, European countries have emphasized the position of these agencies
outside the traditional executive body hierarchy).
73 Fabrizio Gilardi,The Formal Independence of Regulators: A Comparison of 17
Countries and 7 Sectors, 11 Swiss Political Science Review, 2005, page 140 ([I]t can be
considered that formal independence depends on the status of the head of the regulator and of its
management board, on the relationship with government and parliament, on financial autonomy,
andon the extent of regulatory powers.).
74 Aalt Willem Heringa & Luc Verhey, Independent Agencies and PoliticalControl,
Agencies In European And Comparative Perspective, (Tom Zwart &Luc Verhey eds.), 2003, page
156, (Agencies are independent if they are not subordinate to the responsible minister.).
75 mit Snmez, Independent Regulatory Agencies: The World Experience And The
Turkish Case, A Thesis Submitted To The Graduate School Of Social Sciences Of Middle East
Technical University, 2004, Page 8.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
27
Universitas Indonesia
khusus perekomian atau bidang sosial.76
Selain itu, kewenangan adjudikatif, yang
memungkinkan mereka untuk menyelesaikan sengketa dan mengeluarkan
keputusan melalui proses hearing atau proses yang setipe dengan persidangan.77
Sebagian besar otoritas independen juga memiliki fungsi dan kewenangan atas
kebijakan publik atau regulasi-regulasi yang secara hukum mengikat masyarakat
dan sektor privat, yang mana implementasi dan kekuatan hukumnya tidaklah
berbeda daripada sistem peraturan perundang-undangan umum (UU, PP, atau
Permen).78
Kemudian, otoritas independen di di negara-negara maju pada
umumnya telah memiliki kewenangan dalam hal menyelidiki dan mengadili
terhadap pelanggaran aturan dan regulasi mereka.79
Berbicara tentang independensi dalam perspektif operasional, intitusi ini
mempunyai kelebihan-kelebihan yang cukup penting yaitu, dalam hal
pengembangan skill dan keahlian, dikarenakan mereka dapat memfokuskan waktu
dan tenaga mereka untuk memahami bidang yang ditanganinya dan berusaha
untuk tetap menjaga kepentingan publik terhadap semakin meningkatnya
76
Stphane Jacobzone, Designing Independent And Accountable Regulatory Authorities
For High Quality Regulation, Proceedings of an Expert Meeting in London, Prepared By
Organisation For Economic Co-Operation And Development (OECD), United Kingdom, 10-11
January 2005, page 72 (Independent Regulators have been established when setting up new
marketoriented regulatory arrangements for utility sectors with network characteristics, such as
telecommunications, financial services, or for the social and environmental arena.
77 Kirti Datla and Richard L. Revesz, Deconstructing Independent Agencies (And
Executive Agencies), New York University Public Law and Legal Theory Working Papers. Paper
350, page 39. (The fact that Indpendent agencies are authorized to proceed through adjudication
has beennoted for decades. Yet, scholars persist in associating the authority to adjudicate with
independent agency status. Agencies engage in around 500,000 informal adjudications, of which
at least at least several hundred formal adjudications per year.)
78 Martino Maggetti, The Role of Independent Regulatory Agencies in Policy-Making: a
Comparative Analysis of Six Decision-Making Processes in the Netherlands, Sweden and