Click here to load reader
Upload
rian-yoki-hermawan
View
191
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
TUGAS UAS
MULTIKULTURAL
Oleh :
Rian Yoki Hermawan
( 080210204005 )
PROGRAM STUDI S1 PGSD
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2010
1. Implementasi Pendidikan Multikultural
Banks mengemukakan empat pendekatan yang mengintegrasikan materi
pendidikan multikultural ke dalam kurikulum maupun pembelajaran di sekolah
yang relevan untuk diterapkan di Indonesia, antara lain :
a. Pendekatan kontribusi
Pendekatan ini yang paling sering dilakukan dan paling luas apabila dipakai dalam tahap
pertama dari kebangkitan etnis. Pendekatan ini lebih tepat apabila diterapkan di siswa TK
SD kelas satu, dua, tiga karena tujuan dari pendekatan ini adalah untuk menanamkan
pada siswanya bahwa kehidupan manusia ini antara suatu tempat dengan tempat lainnya
sangat beragam. Misalnya: mengenalkan kebudayaan yang dimiliki oleh tiap-tiap daerah
hingga negara lain.
b. Pendekatan aditif
Pada tahap ini dilakukan penambahan materi, konsep, tema, perpektif terhadap kurikulum
tanpa mengubah struktur, tujuan, dan karakteristik dasarnya. Pendekatan ini lebih tepat
apabila diterapkan di siswa SD kelas empat, lima, dan enam, serta SMP karena mereka
sudah mulai memahami makna. Misalnya: memutarkan CD tentang kehidupan berbudaya
dari daaerah-daerah sampai negara yang berbeda.
c. Pendekatan transformasi
Pendekatan ini mengubah asumsi dasar kurikkulum dan menumbuhkan kompetensi dasar
siswa dengan memperhatikan konsep, isu, tema, dan permasalahan dari beberapa
perspektif dan sudut pandang etnis. Pendekatan ini lebih tepat apabila diterapkan di
sekolah lanjutan karena siswa pada jenjang ini sudah memiliki sudut pandang tentang
sesuatu yang ada. Misalnya: siswa dibiasakan untuk berpendapat sesuai dengan jalan
pikiran mereka masing-masing.
d. Pendekatan aksi sosial
Pendekatan ini mencakup semua elemen dari pendekatan transformasi, namun menambah
komponen yang mempersyaratkan siswa membuat aksi yang berkaitan dengan konsep,
isu, atau permasalahan yang dipelajari. Pendekatan ini lebih tepat apabila diterapkan di
perguruan tinggi baik untuk kajian dalam kelas atau organisasi kemahasiswaan.
Misalnya: mengkaji kebijakan yang dianggap kurang efektif, kurang adil, dan
diskriminatif.
2. Pendidikan Multikultural di Indonesia
Amerika serikat
Pendidikan multi kultural yang ada di AS cenderung bersifat antar etnis ataupun
antar bangsa. Terdapat empat jenis dan fase perkembangan pendidikan multikultural
di Amerika, antara lain :
1. Pendidikan yang bersifat segresi yang memberi hak berbeda diantara kulit putih
dan kulit berwarna terutama pada kualitas pendidikan.
2. Pendidikan menurut konsep Salad Bowl, dimana masing-masing kelompok etnis
berdiri sendiri, namun mereka hidup bersama tanpa mengganggu etnis lain.
3. Konsep melting pot, dalam konsep ini masing-masing etnis menyadari bahwa ada
perbedaan antar sesamanya, sehingga dengan kesadaran tersebut mereka tetap
bisa hidup bersama.
4. Pendidikan multikultural melahirkan paedagogik baru serta pandangan baru
mengenai praksis pendidikan yang memberikan kesempatan serta penghargaan
yang sama terhadap semua peserta didik tanpa membedakan atas dasar perbedaan
yang ada.
Di Indonesia
Pendidikan multi kultural di Indonesia lebih bersifat antar etnis yang kecil dalam
suatu bangsa. Hal ini sebenarnya dapat menjadi modal yang kuat bagi keberhasilan
pelaksanaan pendidikan multikultural. Semangat Sumpah Pemuda dapat menjadi ruh
yang kuat untuk mempersatukan warga negara Indonesia yang berbeda budaya.
Sebelum era reformasi masyarakat takut untuk berbeda pendapat karena kemerdekaan
mengeluarkan pendapat tidak mendapatkan tempat dan kebebasana berpikir juga
terbatas. Di dalam konteks perkembangan sistem politik Indonesia saat ini pilihan
perpektif pendidikan yang demikian memiliki peluang yang besar dan diperlukan
sebagai landasan politik yang kuat. Pendidikan multikultural sangat menekankan
pentingnya akomodasi kebudayaan dan masyarakat sub-nasional untuk memelihara
den mempertahankan identitas kebudayaan dan masyarakat nasional. Nasikun
menyampaikan bahwa ada tiga perspektif multikulturalisme di dalam sistem
pendidikan, antara lain :
a. Perspektif cultural assimilation, merupakan suatu model transisi di dalam sistem
pendidikan yang menunjukkan proses asimilasi peserta didik dari berbagai
kebudayaan ke dalam sutau masyarakat.
b. Perspektif cultural pluralism, merupakan suatu sistem pendidikan yang lebih
mementingkan akan pentingnya hak bagi seluruh masyarakat beserta
kebudayaannya untuk memelihara dan mempertahankan identitas kebudayaan
masing-masing.
c. Perspektif cultural synthesis, merupakan gabungan dari kedua perspektif diatas.
Pilihan perspektif pendidikan sintesis multikultural memiliki rasional yang paling
dasar di dalam hakekat tujuan suatu pendidikan multikultural, yang dapat
didefinisikan melalui tiga tujuan, yaitu:
Tujuan attitudinal : menyamai dan mengembangkan sensitivitas kultural, toleransi
kultural, penghormatan pada identitas kultural, pengembangan sikap budaya
responsif dan keahlian untuk melakukan penolakan dan resolusi konflik.
Tujuan kognitif : pencapaian kemampuan akademik, pengembangan pengetahuan
tentang kemajemukan kebudayaan, kompetensi untuk melakukan analisis dan
interpretasi perilaku kultural, dan kemampuan membangun kesadaran kritis
tentang kebudayaannya sendiri.
Tujuan instruksional : mengembangkan kemampuan untuk melakukan koeksi atas
efek-efek, stereotipe-stereotipe, peniadaan-peniadaan, dan mis-informasi tentang
kelompok etnis dan kultural yang dimuat dalam buku ataupun media
pembelajaran, menyediakan strategi-strategi untuk melakukan hidup di dalam
kehidupan multikultural, mengembangkan ketrampilan-ketrampilan komunikasi
interpersonal.
3. A. Faktor penyebab terjadinya konflik
Pemicu konflik adalah peristiwa, kejadian atau tindakan yang dapat
menyulut sumber potensi konflik menjadi konflik yang nyata, tanpa adanya
sumber potensi konflik, pada umumnya peristiwa yang terjadi di suatu lokasi
mudah disaelesaikan dengan cepat dan tanpa menimbulkan dampak yang meluas.
Sebaliknya disuatu lokasi yang memang sudah ada endapan pootensi konflik,
peristiwa kecil dapat dengan cepat meluas dan melibatkan konflik masal yang
sangat sulit untuk diatasi. Dengan demikian pemicu konflik pada dasarnya dapat
berupa peristiwa gangguan keamanan yang biasa atu bahkan yang sangat
sederhana, namun dari adanya keterkaitan dengan potensi yang mengendap
tersebut, maka peristiwa kecil justru sering dimanfaatkan oleh provokator untuk
menyulut konflik yang besar.
Dari kajian terhadap konflik – konflik besar yang pernah terjadi di
Indonesia beberapa peristiwa yang menjadi pemicu konflik sangat bervariasi,
contohnya :
a. pemicu konflik di Poso dan Maluku yang berkepanjangan sampai beberapa
tahun diawali oleh perkelahian antara seorang pemuda dengan seorang
pemuda beragama lain walaupun tempat tinggalnya tidak berjauhan.
b. Konflik masal antar wilayah di NTB, Jateng dan beberapa wilayah lainnya
diawali oleh peristiwa pemukulan pemuda yang sedang berkunjung ke rumah
pacarnya di wilayah tetangga.
c. Beberapa konflik di Papua diawali dengan peristiwa tindakan keras oknum
aparat terhadap warga masyarakatnya.
d. Pemicu isu konflik Pilkada, isu pemekaran wilayah di beberapa wilayah
sering berawal dari tindakan petugas lapangan yang kurang professional.
e. Konflik bernuansa ekonomi antara kelompok pengemudi Taxi sering diawali
dari rebutan penumpang.
B. Penyakit budaya yang masih ada dalam kehidupan masyarakat
Indonesia
Prasangka
bahwa prasangka mengandung sikap, pengertian, keyakinan dan bukan tindakan.
Jadi prasangka tetap ada di pikiran, sedangkan diskriminasi mengarah ke tindakan
sistematis. Kalau prasangka berubah menjadi tindakan nyata, maka prasangka
sudah berubah menjadi diskriminasi yaitu tindakan menyingkirkan status dan
peranan seseorang dari hubungan, pergaulan, dan komunikasi antar manusia.
Secara umum kita dapat melihat prasangka mengandung tipe afektif (berkaitan
dengan perasaan negatif), kognitif (selalu berpikir tentang suatu stereotipe) dan
konasi (kecenderungan perilaku diskriminatif)
Stareotipe
Stereotipe merupakan salah satu bentuk prasangka antar etnik/ras. Orang
cenderung membuat kategori atas tampilan karakteristik perilaku orang lain
berdasarkan kategori ras, jenis kelamin, kebangsaan, dan tampilan kounikasi
verbal maupun non verbal. Stereotipe merupakan salah satu bentuk utama
prasangka yang menunjukkan perbedaan “kami” (in group) yang selalu dikaitkan
dengan superioritas kelompok in group dan yang cenderung mengevaluasi orang
lain yang dipandang inferior yaitu ”mereka” (out group).
Etnosentrisme
Etnosentrisme merupakan paham paham yang pertama kali diperkenalkan oleh
William Graham Sumner (1906), seorang antropolog yang beraliran
interaksionisme. Sumner berpandangan bahwa manusia pada dasarnya
individualistis yang cenderung mementingkan diri sendiri, namun karena harus
berhubungan dengan manusia lain, maka terbentuklah sifat hubungan yang
antagonistik (pertentangan). Supaya pertentangan itu dapat dicegah, perlu ada
folkways (adat kebiasaan) yang bersumber pada pola-pola tertentu. Mereka yang
mempunyai folkways yang sama cenderung berkelompok dalam suatu kelompok
yang disebut etnis. Etnosentrisme adalah kecenderungan untuk menetapkan
semua norma dan nilai budaya orang lain dengan standar budayanya sendiri.
4.1 A. Tiga asas dalam pendidikan multicultural:
a. Asas wawasan nasional/kebangsaan (persatuan dalam perbedaan).
b. Asas Bhineka Tunggal Ika (perbedaan dalam persatuan)
c. Asas kesederajatan.
B. Tiga Prinsip Penyusunan Program dalam Pendidikan Multikultural
Ada tiga prinsip yang digunakan dalam menyusun program Pendidikan
Multikultural, yaitu :
1. Pendidikan Multikultural didasarkan kepada pedagogik baru yaitu pedagogik
yang berdasarkan kesetaraan manusia (equity pedagogy). Pedagogik kesetaraan
bukan hanya mengakui hak asasi manusia tetapi juga hak kelompok manusia,
kelompok suku bangsa, kelompok bangsa untuk hidup berdasarkan
kebudayaannya sendiri. Ada kesetaraan individu, antarindividu, antarbudaya,
antarbangsa, antaragama. Pedagogik kesetaraan berpangkal kepada pandangan
mengenai kesetaraan martabat manusia (dignity of human).
2. Pendidikan Multikultural ditujukan pada terwujudnya manusia yang
berbudaya. Hanya manusia yang melek budayalah yang dapat membangun
kehidupan bangsa yang berbudaya. Manusia yang berbudaya adalah manusia
yang membuka diri dari pemikirannya yang terbatas. Manusia yang berbudaya
hanya dibentuk di dalam dunia yang terbuka. Manusia berbudaya juga manusia
yang bermoral dan beriman yang dapat hidup bersama yang penuh toleransi
yang bukan sekedar demokrasi prosedural tapi demokrasi substantif.
3. Prinsip globalisasi budaya.Globalisasi kebudayaan ditandai dengan pesatnya
kemajuan teknologi, produk multinasional, perluasan budaya populer. Budaya
handphone, internet dan e-commerce sudah menggejala secara global.
4. 2. RPP dengan pembelajaran berbasis budaya
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP)
Satuan Pendidikan : Sekolah Dasar
Mata Pelajaran : Ilmu Pengetahuan Sosial
Kelas / Semester : IV (empat) / 1
Alokasi Waktu : 1X35 Menit
Hari / Tanggal : -
I. Standar Kompetensi
Mengenal sumber daya alam, kegiatan ekonomi, dan kemajuan teknologi di lingkungan
kabupaten / kota , dan provinsi
II. Kompetensi Dasar
Mengenal permasalahan sosial didearahnya
III. Indikator
1. Mengidentifikasi permasalahan sosial didaerahnya
2. Menjelaskan cara mengatasi permasalahan sosial yang terdapat di daerahnya
3. Menjelaskan nilai – nilai sosial yang ada di daerahnya dan juga yang ada di daerah
lain
IV. Tujuan Pembelajaran
Setelah siswa mengikuti pembelajaran diharapkan :
1. Dapat mengidentifikasi permasalahan sosial didaerahnya
2. Dapat menjelaskan cara mengatasi permasalahan sosial yang terdapat didaerahnya
3. Dapat menjelaskan nilai – nilai sosial yang ada di daerahnya dan juga yang ada
didaerah lain
V. Materi Pembelajaran
1. Permasalahan Sosial yang terdapat didaerahnya
2. Berbagai cara mengatasi permasalahan sosial yang terdapat di daerahnya
VI. Metode Pembelajaran
1. Tanya Jawab
2. Diskusi
3. Penugasan
4. Ceramah
VII. Langkah – Langkah Pembelajaran
1. Kegiatan Awal
Guru membuka pelajaran dengan mengucapkan salam, meminta ketua kelas untuk
memimpin doa, dan mempresensi siswa
Guru melakukan appersepsi : anak – anak siapakah nama tokoh wayang yang
bapak bawa ini?
2. Kegiatan Inti
Guru menunjukkan dua gambar wayang dan maminta siswa untuk
mengidentifikasi perbedaan yang ada pada kedua gambar tersebut.
Beberapa siswa secara aktif maju kedepan untuk mencari perbedaan diantara
kedua gambar wayang tersebut
Guru menjalaskan tentang konsep perbedaan diantara kedua gambar wayang
Guru dan siswa bertanya jawab tentang permasalahan sosial yang terjadi
dilingkungan sekitar
Guru menunjukkan tokoh wayang yang berwatak baik dan berwatak jahat
Guru mengaitkan jawaban siswa dengan tokoh wayang yang mempunyai watak
baik dan watak jahat
Siswa dibagi menjadi 4 kelompok
Setiap kelompok membahas tentang permasalahan sosial yang ada disekitarnya,
penyebab dari masalah sosial, dan cara mengatasi permasalahan sosial
Siswa secara perwakilan mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas
Siswa yang lain mendengarkan dan apabila tidak setuju boleh memberikan
masukan
Guru menjelaskan apabila ada siswa yang belum jelas
Guru memberikan soal latihan kepada siswa
Siswa mengerjakan soal latihan, setelah selesai jawaban dikumpulkan
3. Kegiatan Akhir
Guru merangkum bersama siswa tentang materi yang telah dipelajari
Guru menutup pelajaran, meminta ketua kelas untuk memimpin doa, dan
mengucapkan salam
VIII. Sumber dan Alat
1. Sumber
Buku Horison IPS kelas IV Yudhistira. 2011. Halaman
Buku IPS untuk kelas IV Erlangga. 2010. Halaman
2. Alat
Gambar
Wayang
IX. Penilaian
Kognitif : tertulis
Afektif : kerjasama dalam kelompok
Psikomotor : kelancaran dalam berbahasa
X. Kriteria keberhasilan
Siswa dianggap berhasil jika 75% siswa mendapat nilai diatas 70
. . . . . . . . . . . . , . . . . 2011
Mengetahui,
Kepala SD/MI . . . . Guru PKn…….
( ) ( )
5. Manusia sebagai makhluk sosoial untuk bertahan hidup tergantung pada
jenis lingkungannya. Yaitu antara lain :
1. Lingkungan fisik
Lingkungan fisik tertentu dapat membentuk budaya lokal tertentu. Suatu masyarakat
yang berada di daerah yang banyak dikelilingi sungai dan karena seringnya air sungai
meninggi membentuk budaya berupa rumah yang lantai rumahnya lebih tinggi dari
permukaan tanah. Misalnya rumah Palimasan Joglo, Sungai Jingah Kalimantan
Selatan. Karena lingkungan fisik di daerah Kalimantan Selatan sangat kaya dengan
jenis-jenis kayu maka berbagai kebutuhan sehari-hari dibuat dengan menggunakan
jenis kayu seperti Palimasan Kandangrasi desa Kuin Utara Kalimantan Selatan.
Lingkungan fisik tertentu dapat membentuk budaya lokal tertentu. Masyarakat dari
daerah panas dan padang pasir seperti di Saudi Arabia akan cenderung memilih warga
yang putih supaya tidak panas. Karena warga putih tidak menyerap panas. Di
samping itu mereka cenderung memakai pakaian yang berbentuk jubah untuk
melindungi tubuh mereka dari sengatan matahari. Ada budaya bagi warga Eropah
untuk ”mandi matahari” dengan berjemur seharian di pantai ketika berada di daerah
tropis untuk prestise di hadapan teman-temannya bahwa dia telah pergi ke daerah
tropis. Ada kebanggaan ketika tubuh mereka menjadi kecoklatan tersengat sinar
matahari. Sementara masyarakat Indonesia yang berada di daerah tropis tidak
melakukan hal yang sama. Kebudayaan daerah lokal (misalnya di Jawa Tengah, Jawa
Timur dan suku Madura) memang lebih sering memakai kain sarung dalam
kehidupan sehari-hari. Bahkan ada untuk daerah Madura, sarung mahal dari merek
tertentu menjadi lambang status sosial sehingga mereka akan rela hati membayar
mahal untuk bisa membeli sarung tenun sutera untuk dipakai dalam hajatan, sholat
Jum’at ataupun kehidupan keseharian. Sementara suku lain tidak akan
membelanjakan uang yang ratusan ribu untuk membeli kain sarung. Pria yang berasal
dari desa di Jawa dan sedang berada di desa akan memakai kain sarung untuk tidur.
Dia terbawa oleh budaya yang disebabkan lingkungan fisiknya yang dingin dan
kebiasaan yang berlaku di daerah itu. Namun dia tidak akan melakukan hal yang
sama itu ketika dia sedang berada di lingkungan yang bukan tergolong lingkungan
budaya lokalnya misalnya ketika dia di hotel atau di tempat kosnya di kota. Seseorang
yang berasal dari daerah yang memiliki kebudayaan tertentu akan memilih jenis
makanan yang sesuai dengan budaya yang dirinya.
2. Lingkungan sosial
Selain lingkungan fisik, lingkungan sosial sangat mempengaruhi sikap dan
berperilaku seseorang. Orang yang dibesar dalam lingkungan komunitas Nahdlatul
Ulama (NU) akan bersikap dan berperilaku sesuai dengan tradisi warga nahdliyin
(warga NU) yang berbeda dengan warga Muhammadiyah sekalipun keduanya berada
di lingkungan fisik yang sama. Kegiatan selamatan, Tahlil menjadi ciri khas
kelompok NU ini akan diikuti dan dilaksanakan oleh lingkungan sosialnya.
3. Lingkungan metafisik
Selain lingkungan fisik dan sosial, ada lingkungan metafisik yang mewarnai
lingkungan budaya lokal suatu msayarakat. Seperti telah dibahas pada unit 1, ada
lingkungan metafisik yang sangat mempengaruhi perilaku budaya masyarakat.
Lingkungan metafisik ini tidak dibatasi oleh lingkungan fisik dalam arti mesti tinggal
di daerah itu. Lingkungan metafisik memang mewarnai budaya yang ada di
lingkungan fisik di lokal tertentu, tetapi selain itu juga dapat mengenai orang-orang
yang ”merasa memiliki’ (sense of belonging) budaya itu. Biasanya mereka yang
merasa memiliki itu dulunya berasal dari daerah itu dan ada sudah pindah tempat
tinggal dari daerah itu, atau keturunan dari warga daerah itu. Pada prinsipnya orang
yang termasuk dalam lingkungan metafisik ini adalah orang yang mengikatkan diri
dengan tradisi budaya dan nilai-nilai tertentu. Mereka akan menyempatkan datang
pada acara tertentu. Pada hari-hari tertentu warga akan melakukan kegiatan ritual
yang menjadi ciri khas suatu masyarakat yang berada pada lingkungan metafisik
tertentu. Warga daerah Jogja dan Solo akan rela berdatangan dan berdesakan untuk
mengikuti tradisi ”sekaten”. Warga masyarakat akan memperebutkan gunungan yang
tersaji dalam peringatan ”sekaten” karena mereka meyakini bahwa mereka akan dapat
rejeki dan hidup tenang bila berhasil mendapatkan dan menyimpan nasi atau benda-
benda lain yang ada di gunungan itu. Warga masyarakat kelompok tradisional tertentu
dari daerah Pasuruan, akan mendatangi acara haul akbar (peringatan orang
meninggal) Kyai Abdul Hamid, seorang ulama besar dari kota tersebut, sehingga
peserta kegiatan bisa mencapai radius 1 kilometer dari lokasi itu.. Orang Islam akan
berbondong-bondong mendatangi orang yang baru datang dari menjalankan ibadah
haji dan minum air zam-zam dengan harapan mendapatkan berkah dari jiarah hajinya
itu. Ada aura spiritual yang sangat diharapkan pada orang yang baru menjalankan
ibadah hajinya.
Identifikasi etnis ini merupakan dasar untuk pengembangan level identifikasi
selanjutnya yaitu identifikasi budaya nasional.
6. Etnis sebagai identitas budaya ( China dan Jawa )
Konsep Budaya Cina berkaitan erat dengan pandangan hidup orang Cina yang
mengutamakan nilai kemakmuran dan kelimpahan harta, kedamaian dan
ketenteraman, kesehatan dan umur panjang.
Ada beberapa konsep yang perlu dipahami dalam budaya Cina yaitu :Chi yaitu
energi yang dapat diciptakan dan dikumpulkan sehingga memberi pengaruh baik pada
nasib seseorang. Lima unsur yaitu logam, air, kayu, api dan tanah. Masing-masing
unsur mempunyai siklus merusak dan siklus positif. I-Ching atau Buku tentang
Perubahan yang menekankan hubungan antara nasib manusia dan alam sebagai satu
kesatuan yang senantiasa berada dalam aliran konstan yaitu perubahan. Tahun
kelahiran yang disimbolkan binatang untuk menggambarkan sifat dan tahun kelahiran
seseorang, yaitu shio tikus, kerbau, macan, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, monyet,
ayam, anjing dan babi. Yin-yang merupakan konsep keselarasan dan keseimbangan
yang didasarkan prinsip dualisme yang saling melengkapi, saling tergantung yang
bersama-sama membentuk kekuatan. Pa kua yaitu lambang berbentuk segi delapan
yang menggambarkan empat titik mata angin utama dan empat titik tambahan yang
digunakan untuk melindungi diri dari pengaruh yang mengancam rumah atau lokasi .
Tahayul dan Simbolisme yang berkaitan erat dengan kepercayaan akan takhayul dan
lambang yang menjadi karakter orang Cina.
Beberapa konsep budaya Jawa adalah Religi Jawa : anismisme, dinamisme,
sinkretisme dan agama Jawa, selamatan, primbon, suluk, dan wirid yang memuat
ajaran sinkretisme, tata krama, petung untuk menentukan perkawinan, mengetahui
watak manusia, pindah rumah atau persyaratan hajat lainnya, makanan, falsafah hidup,
produk budaya (keris, rumah/wisma, wayang, pakaian, peralatan). Hal-hal yang terkait
dengan religi, slametan, primbon, suluk dan wirid lebih mengarah pada sisi vertikal
budaya Jawa, sedangkan tata krama adalah sisi horisontal.
7. Problematika konflik horizontal yang sering muncul di Nusantara
Tindakan kekerasan yang dipicu oleh perselisihan atau kesalahpahaman antar
individu dalam masyarakat seolah menjadi hal yang lazim di negara kita. Perbedaan
pandangan terhadap persoalan tertentu, entah itu di bidang politik, agama, ekonomi
atau isu-isu lain yang sensitif, seringkali direspon dengan kekerasan fisik. Tentu saja
persoalan ini harus mendapat perhatian serius dari seluruh pihak, karena jika tidak,
meningkatnya penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan setiap persoalan dari
waktu ke waktu, akan berdampak besar di segala bidang kehidupan.
Dalam kondisi seperti ini, diperlukan pendekan yang berbeda untuk mengalihkan
sebagian kekuatan besar yang sedang meliputi individu atau kelompok-kelompok
masyarakat yang sehari-hari memiliki intensitas kontak fisik yang tinggi di satu sisi
sedangkan memiliki pengetahuan tentang hukum yang rendah disisi lain.
Perilaku masyarakat yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku bisa menjadi
pertanda banyak hal. Diantaranya adalah : mereka tidak mengetahui apa yang yang
boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan atau mereka mengetahui apa yang tidak
boleh dilakukan tetapi tidak mau tunduk dengan aturan itu. Ketidak patuhan ini tidak
serta merta terjadi begitu saja, tentu ada latar belakang yang menyebabkan perilaku
seperti itu.
Ketika seseorang memiliki keberanian untuk melanggar hukum yang berlaku, atau
tidak mau mengindahkan aturan ketika ia melakukan interaksi dengan orang lain maka
konflik akan muncul. Konflik yang sederhana dalam ruang lingkup yang kecil
mungkin bisa diredam oleh kekuatan sosial disekitarnya. Namun konflik yang
melibatkan kumpulan orang-orang yang memiliki identitas tertentu sebagai penguat
ikatan, berpotensi membuat persoalan yang sederhana menjadi rumit.
Identitas yang senantiasa dibawa-bawa oleh suatu kelompok memang dirasa bisa
mempererat persatuan dalam kelompok itu, namun jika tidak dibarengi dengan
kesadaran yang tinggi untuk menjaga perilaku dalam pergaulan sosial dan ketaatan
pada hukum yang berlaku, maka ikatan itu hanya akan menjadi benih-benih rasa ego
dan keinginan berlebihan untuk menunjukkan superioritasnya, yang mungkin akan
memunculkan rasa ketakutan dan antipati dari anggota masyarakat yang lain.
Lemahnya penegakan hukum juga menjadi salah satu akar persoalan maraknya
konflik horizontal dewasa ini. Hal ini menjadi persoalan yang sangat penting
mengingat bahwa lembaga-lembaga penegak hukum belum sepenuhnya mampu
mengendalikan potensi-potensi konflik. Penggunaan kekuatan diluar lembaga
kekuasaan negara yang secara tegas diberikan kewenangan untuk menggunakan
kekuatannya untuk mengendalikan masyarakat, memberikan angin segar bagi sebagian
pihak untuk berusaha menonjolkan diri sebagai tokoh atau membentuk organisasi yang
bisa diandalkan dalam mengendalikan konflik.
Terlepas dari apakah sistem hukum yang diberlakukan di negara ini sudah dalam
tataran ideal atau tidak, perilaku sebagian masyarakat menunjukkan adanya ketidak
percayaan bahwa hukum itu bisa menyelesaikan masalah dan bisa memberikan
keadilan. Jika ketidakpercayaan itu semakin berkembang maka setiap institusi penegak
hukum yang diberikan kekuasaan oleh negara untuk menjaga ketertiban, secara
kelembagaan akan sulit melaksanakan tugasnya. Memberdayakan sumber-sumber
kekuatan dari luar pada akhirnya akan menjadi pilihan untuk ditempuh, agar dapat
membantu melaksanakan tugas yang sesungguhnya menjadi kewenangannya.
Seluruh lembaga kekuasaan di negara ini sesungguhnya tidak punya pilihan lain
selain menjadikan hukum yang berlaku sebagai panglima, menjaga sedemikian rupa
agar lembaga-lembaga yang dibentuk untuk menjaga hukum agar dapat diberlakukan
dengan harapan menciptakan ketertiban dan kedamaian, bisa menjalankan tugasnya
dengan baik.
Para Pemimpin seharusnya memberikan contoh yang baik bagi lingkungannya,
karena dalam situasi negara yang seperti ini, masyarakat membutuhkan pemimpin
yang mampu memberikan teladan, taat pada hukum dan tidak menggunakan kekerasan
sebagai pilihan untuk menyelesaikan permasalahan. Kita harus mulai lagi membuka-
buka kitab usang, mengisi kembali memori-memori yang mulai memudar tentang
prinsip-prinsip penegakan hukum. Asas-asas hukum saat ini memang sangat fasih
diucapkan dalam berbagai kesempatan, tapi ternyata miskin aplikasi dalam kenyataan.
Dalam kerangka berpikir yang positif, tentunya kita semua berharap agar setiap
konflik sosial yang terjadi merupakan peringatan agar segera menemukan jalan lain
untuk menciptakan suatu keseimbangan baru.