Upload
crystal-reed
View
76
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
df
Citation preview
TUGAS REFERAT PATOLOGI ANATOMI
BLOK RESPIRATORY
EMFISEMA PARU
Dessriya Ambar R.
G1A010086
Oleh:
Kelompok 35
Rasyid Luhur G1A012107
Ratna Ernita G1A012060
Regina Wahyu A. G1A012069
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
JURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2014
HALAMAN PENGESAHAN
TUGAS REFERAT PATOLOGI ANATOMI
EMFISEMA PARU
BLOK RESPIRATORY
Oleh:
KelompoK 35
Rasyid Luhur G1A012107
Ratna Ernita G1A012060
Regina Wahyu A. G1A012069
Disusun untuk memenuhi persyaratan mengikuti ujian identifikasi laboratorium
Patologi Anatomi blok Endokrin dan Metabolisme pada Jurusan Kedokteran, Fakultas
Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
Diterima dan disahkan,
Purwokerto, 24 Maret 2014
Asisten,
Dessriya Ambar R.
G1A010086
1
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN 1
DAFTAR ISI 2
KATA PENGANTAR 3
I. PENDAHULUAN 4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi 5
B. Etiologi 5
C. Epidemiologi 5
D. Faktor resiko 6
E. Tanda dan gejala 8
F. Penegakan diagnosis 8
G. Patogenesis 10
H. Patofisiologis 12
I. Gambaran histopatologis 14
J. Penatalaksanaan 14
K. Komplikasi 18
L. Prognosis 18
III. KESIMPULAN 19
DAFTAR PUSTAKA 20
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah mem-
berikan rahmat dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat
Hipoparatiroid ini.
Referat ini merupakan salah satu penunjang mata kuliah dan praktikum Patologi
Anatomi pada Blok Respiratory Jurusan Kedokteran. Di dalam referat ini disajikan
bahasan mengenai emfisema paru secara lengkap, mulai dari definisi, etiologi, pato-
genesis dan patofisiologi, tanda dan gejala, penegakan diagnosis, penatalaksanaan,
hingga komplikasi dan prognosisnya.
Penyusunan dan penyelesaian referat ini tidak terlepas dari bantuan banyak pi-
hak yang telah memberikan masukan-masukan kepada penulis. Untuk itu penulis
mengucapkan banyak terimakasih kepada:
1. Dosen Patologi Anatomi Jurusan Kedokteran Unsoed;
2. Asisten Praktikum dan juga Pembimbing Referat;
3. Seluruh pihak lain yang telah membantu secara langsung maupun tidak
langsung.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan padareferat ini, baik dari materi
maupun teknik penyajiannya, mengingat kurangnya pengetahuan dan pengalaman
penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.
Purwokerto, 24 Maret 2014
Penulis
3
I. PENDAHULUAN
Organ-organ pernapasan merupakan organ-organ yang sangat penting bagi
manusia. Organ-organ pada sistem pernapasan terbagi menjadi sistem pernapasan atas
dan organ sistem pernapasan bawah. Organ sistem pernapsan atas terdiri dari hidung
dan faring. Sedangkan organ-organ sistem pernapasan bawah terdiri dari laring,
trakea, bronkus, bronkeolus, dan pulmo. Sistem pernapasan secara umum berfungsi
sabagai alat respirasi, ventilasi udara, keseimbangan asam basa, dan alat proteksi
tubuh melalui mukosa dan silia yang berada di sepanjang jalan pernapasan atas
khususnya. Respiratory track juga dibagi menjadi area konduktoria dan area
respiratoria. Area konduktoria merupakan area dimana tidak terjadinya pertukaran gas
antara oksigen dan karbondioksida. Area itu hanya bertugas untuk mengahatarkan
udara dari luar ke dalam paru. Yang termasuk ke dalam area konduktoria adalah
hidung, faring, laring, trakea, bronkus, sampai bronkiolus terminalis. Sedangkan area
respiratoria merupakan area dimana sudah terjadinya pertukaran gas oksigen dan
karbondioksida. Yang termasuk area respiratoria adalah duktus alveolar, saccus
alveolar, dan alveoli (Sherwood, 2012).
Pada emfisema paru yang mengalami kelainan merupakan bronkiolus
terminalis dan alveolus paru dimana itu merupakan akhir area konduktoria dan area
respiratoria pada sistem pernapasan. Emfisema ini merupakan salah satu jenis
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) yang menyebabkan penyempitan jalan
napas sehingga mengurangi elastisitas paru. Pada emfisema terdapat pelebaran
bronkiolus terminalis bagian distal dan ruskanya dinding alveoli serta tanpa fibrosis.
Emfisema ini bersifat permanen dan ireversibel (Kamangar, 2010).
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Emfisema adalah Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK). Emfisema
didefinisikan secara patologis sebagai suatu keadaan abnormal yang bersifat
permanen, dimana terdapat pembesaran pada rongga udara pada bagian distal dari
bronkiolus terminalis, disertai dengan rusaknya dinding alveoli dan tanpa fibrosis
yang jelas. Emfisema sering kali dihubungkan dengan kejadian bronchitis kronis. The
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) guidelines
mendefinisikan PPOK sebagai penyakit yang ditandai dengan gangguan pernafasan
yang ireversibel, progresif, dan berkaitan dengan respon inflamasi yang abnormal
pada paru akibat inhalasi partikel-partikel udara atau gas-gas yang berbahaya
(Kamangar, 2010).
B. Etiologi
Merokok sejauh ini adalah suatu faktor lingkungan sekaligus faktor resiko
penyebab emfisema. Satu dari lima orang yang merokok diketahui menderita PPOK,
dan sekitar 80-90% dari pasien PPOK mempunyai riwayat merokok. Faktor genetik
mempunyai peran pada penyakit emfisema. Factor genetik diataranya adalah atopi
yang ditandai dengan adanya eosinifilia atau peningkatan kadar imonoglobulin E
(IgE) serum, adanya hiper responsive bronkus, riwayat penyakit obstruksi paru pada
keluarga, dan defisiensi protein alfa – 1 anti tripsin. Sindrom defisiensi imun seperti
yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus(HIV) juga ditemukan
merupakan salah satu penyebab penyakit PPOK (Kamangar, 2010).
C. Epidemiologi
Penduduk di Amerika Serikat kurang lebih 2 juta orang menderita emfisema.
Emfisema menduduki peringkat ke-9 diantara penyakit kronis yang dapat
menimbulkan gangguan aktifitas. Emfisema terdapat pada 65 % laki-laki dan 15 %
wanita. Data epidemiologis di Indonesia sangat kurang. Nawas dkk melakukan
penelitian di poliklinik paru RS Persahabatan Jakarta dan mendapatkan prevalensi
PPOK sebanyak 26 %, kedua terbanyak setelah tuberkulosis paru (65 %). Di
Indonesia belum ada data mengenai emfisema paru (Soemantri, 2009 ; Anonim,
5
2011).
Tidak ada data yang akurat mengenai kekerapan PPOK di Indonesia. Pada
Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan emfisema
menduduki peringkat ke - 5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab
kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena asma,
bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke - 6 dari 10 penyebab
tersering kematian di Indonesia.
D. Faktor resiko
Faktor resiko yang emfisema paru ini diantaranya adalah:
1. Merokok
Pada tahun 1964, penasihat Committee Surgeon General of the United
States menyatakan bahwa merokok merupakan faktor risiko utama
mortalitas bronkitis kronik dan emfisema. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa dalam waktu satu detik setelah forced expiratory maneuver (FEV 1),
terjadi penurunanmendadak dalam volume ekspirasi yang bergantung pada
intensitas merokok. Hubungan antara penurunan fungsi paru dengan
intensitas merokok ini berkaitan dengan peningkatan kadar prevalensi PPOK
seiring dengan pertambahan umur. Prevalansi merokok yang tinggi di
kalangan pria menjelaskan penyebab tingginya prevalensi PPOK dikalangan
pria. Sementara prevalensi PPOK dikalangan wanita semakin meningkat
akibat peningkatan jumlah wanita yang merokok dari tahun ke tahun (Reily,
2011).
PPOK berkembang pada hampir 15% perokok. Umur pertama kali
merokok, jumlah batang rokok yang dihisap dalam setahun, serta status
terbaru perokok memprediksikan mortalitas akibat PPOK. Individu yang
merokok mengalami penurunan pada FEV1 dimana kira-kira hampir 90%
perokok berisiko menderita PPOK (Kamangar, 2010).
Second-hand smoker atau perokok pasif berisiko untuk terkena infeksi
sistem pernafasan, dan gejala-gejala asma. Hal ini mengakibatkan
penurunan fungsi paru (Kamangar, 2010). Pemaparan asap rokok pada anak
dengan ibu yang merokok menyebabkan penurunan pertumbuhan paru anak.
6
Ibu hamil yang terpapar dengan asap rokok juga dapat menyebabkan
penurunan fungsi dan perkembangan paru janin semasa gestasi.
2. Hiperesponsif saluran pernafasan
Menurut Dutch hypothesis, asma, bronkitis kronik, dan emfisema
adalah variasi penyakit yang hampir sama yang diakibatkan oleh faktor
genetik dan lingkungan. Sementara British hypothesis menyatakan bahwa
asma dan PPOK merupakan dua kondisi yang berbeda; asma diakibatkan
reaksi alergi sedangkan PPOK adalah proses inflamasi dan kerusakan yang
terjadi akibat merokok. Penelitian yang menilai hubungan tingkat respon
saluran pernafasan dengan penurunan fungsi paru membuktikan bahwa
peningkatan respon saluran pernafasan merupakan pengukur yang signifikan
bagi penurunan fungsi paru (Reily, 2011).
Meskipun begitu, hubungan hal ini dengan individu yang merokok masih
belum jelas. Hiperesponsif salur pernafasan ini bisa menjurus kepada
remodeling salur nafas yang menyebabkan terjadinya lebih banyak obstruksi
pada penderita PPOK (Kamangar, 2010).
3. Infeksi saluran pernafasan
Infeksi saluran pernafasan adalah faktor risiko yang berpotensi untuk
perkembangan dan progresi PPOK pada orang dewasa. Dipercaya bahwa
infeksi salur nafas pada masa anak-anak juga berpotensi sebagai faktor
predisposisi perkembangan PPOK. Meskipun infeksi saluran nafas adalah
penyebab penting terjadinya eksaserbasi PPOK, hubungan infeksi saluran
nafas dewasa dan anak-anak dengan perkembangan PPOK masih belum bisa
dibuktikan (Reily, 2011).
4. Pemaparan akibat pekerjaan
Peningkatan gejala gangguan saluran pernafasan dan obstruksi saluran
nafas juga bisa diakibatkan pemaparan terhadap abu dan debu selama
bekerja. Pekerjaan seperti melombong arang batu dan perusahaan
penghasilan tekstil daripada kapas berisiko untuk mengalami obstruksi
saluran nafas. Pada pekerja yang terpapar dengan kadmium pula, FEV 1,
FEV 1/FVC, dan DLCO menurun secara signifikan (FVC, force vital
capacity; DLCO, carbon monoxide diffusing capacity of lung). Hal ini
terjadi seiring dengan peningkatan kasus obstruksi saluran nafas dan
7
emfisema. Walaupun beberapa pekerjaan yang terpapar dengan debu dan gas
yang berbahaya berisiko untuk mendapat PPOK, efek yang muncul adalah
kurang jika dibandingkan dengan efek akibat merokok (Reily, 2011).
5. Polusi udara
Beberapa peneliti melaporkan peningkatan gejala gangguan saluran
pernafasan pada individu yang tinggal di kota daripada desa yang
berhubungan dengan polusi udara yang lebih tinggi di kota. Meskipun
demikian, hubungan polusi udara dengan terjadinya PPOK masih tidak bisa
dibuktikan. Pemaparan terus-menerus dengan asap hasil pembakaran
biomass dikatakan menjadi faktor risiko yang signifikan terjadinya PPOK
pada kaum wanita di beberapa negara. Meskipun begitu, polusi udara adalah
faktor risiko yang kurang penting berbanding merokok (Reily, 2011).
6. Faktor genetik
Defisiensi α1-antitripsin adalah satu-satunya faktor genetik yang berisiko
untuk terjadinya PPOK. Insidensi kasus PPOK yang disebabkan defisiensi
α1-antitripsin di Amerika Serikat adalah kurang daripada satu peratus. α1-
antitrips in merupakan inhibitor protease yang diproduksi di hati dan bekerja
menginhibisi neutrophil elastase di paru. Defisiensi α1-antitripsin yang berat
menyebabkan emfisema pada umur rata-rata 53 tahun bagi bukan perokok
dan 40 tahun bagi perokok (Kamangar, 2010).
E. Tanda dan gejala
Pada awal penyakit emfisema tidak memberi gejala sampai 1/3 parenkim
paru tidak mampu berfungsi. Pada penyakit selanjutnya, pada awalnya ditandai oleh
sesak napas. Gejala lain adalah batuk, whezeeng, berat badan menurun. Tanda klasik
dari emfisema adalah dada seperti tong ( barrel chested) dan ditandai dengan sesak
napas disertai ekspirasi memanjang karena terjadi pelebaran rongga alveoli lebih
banyak dan kapasitas difus gas rendah (Mangunnegoro,2003).
F. Penegakan diagnosis
Diagnosis emfisema adalah berdasarkan pada gejala atau keluhan yang
didapat dari anamnesis, tanda-tanda yang didapat dari pemeriksaan fisik, dan
8
pemeriksaan penunjang. Pada emfisema paru keluhan utama adalah sesak nafas,
batuk berdahak tidak begitu mencolok, kadang-kadang disertai sedikit sputum
mukoid.
1. Anamnesa :
a. Riwayat menghirup rokok.
b. Riwayat terpajan zat kimia.
c. Riwayat penyakit emfisema pada keluarga.
d. Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi misalnya BBLR, infeksi salu-
ran nafas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara.
e. Sesak nafas waktu aktivitas terjadi bertahap dan perlahan-lahan membu-
ruk dalam beberapa tahun
f. Pada bayi terdapat kesulitan pernapasan berat tetapi kadang-kadang tidak
terdiagnosis hingga usia sekolah atau bahkan sesudahnya
2. Pemeriksaan Fisik :
a. Inspeksi :
1) Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup).
2) Dada berbentuk barrel-chest.
3) Sela iga melebar.
4) Sternum menonjol.
5) Retraksi intercostal saat inspirasi.
6) Penggunaan otot bantu pernapasan.
b. Palpasi : vokal fremitus melemah.
c. Perkusi : hipersonor, hepar terdorong ke bawah, batas jantung mengecil,
letak diafragma rendah.
d. Auskultasi :
1) Suara nafas vesikuler normal atau melemah.
2) Terdapat ronki samar-samar.
3) Wheezing terdengar pada waktu inspirasi maupun ekspirasi.
4) Ekspirasi memanjang.
5) Bunyi jantung terdengar jauh, bila terdapat hipertensi pulmonale akan
terdengar suara P2 mengeras pada LSB II-III
9
3. Pemeriksan Penunjang :
a. Faal Paru
1) Spinometri (VEP, KVP).
a) Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP 1 < 80 % KV menurun, KRF
dan VR meningkat.
b) VEP, merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk meni-
lai beratnya dan perjalanan penyakit.
2) Uji bronkodilator
a) Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan 15-20
menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP 1
b. Darah Rutin
1) Hb
2) Ht
3) Leukosit
c. Gambaran Radiologis
Pada emfisema terlihat gambaran :
1) Diafragma letak rendah dan datar.
2) Ruang retrosternal melebar.
3) Gambaran vaskuler berkurang.
4) Jantung tampak sempit memanjang.
5) Pembuluh darah perifer mengecil
d. Pemeriksaan Analisis Gas Darah
Terdapat hipoksemia dan hipokalemia akibat kerusakan kapiler alve-
oli (6).
e. Pemeriksaan EKG
Untuk mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai hipertensi
pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.
f. Pemeriksaan Enzimatik
Kadar alfa-1-antitripsin(AAT) rendah.
10
G. Patogenesis
Penyempitan saluran nafas terjadi pada emfisema paru, yaitu
penyempitan saluran nafas ini disebabkan elastisitas paru yang berkurang.
Penyebab dari elastisitas yang berkurang yaitu defiensi Alfa 1-anti tripsin.
Dimana AAT merupakan suatu protein yang menetralkan enzim proteolitik
yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan paru, dengan
demikian AAT dapat melindungi paru dari kerusakan jaringan pada enzim
proteolitik. Didalam paru terdapat keseimbangan paru antara enzim proteolitik
elastase dan anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan (Soemantri, 2009).
Perubahan keseimbangan menimbulkan kerusakan jaringan elastic
paru. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema. Sumber anti elastase
yang penting adalah pankreas. Asap rokok, polusi, dan infeksi ini
menyebabkan elastase bertambah banyak, sedang aktifitas sistem anti elastase
menurun yaitu system alfa- 1 protease inhibator terutama enzim alfa -1 anti
tripsin (alfa -1 globulin), akibatnya tidak ada lagi keseimbangan antara
elastase dan anti elastase dan akan terjadi kerusakan jaringan elastin paru dan
menimbulkan emfisema. Sedangkan pada paru-paru normal terjadi
keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru keluar yaitu yang
disebabkan tekanan intra pleural dan otot-otot dinding dada dengan tekanan
yang menarik jaringan paru kedalam yaitu elastisitas paru (Soemantri, 2009).
Pada orang normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang
menarik jaringan paru akan berkurang sehingga saluran nafas bagian bawah
paru akan tertutup. Pada pasien emfisema saluran nafas tersebut akan lebih
cepat dan lebih banyak yang tertutup. Cepatnya saluran nafas menutup serta
dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang
tidak seimbang. Tergantung pada kerusakannya dapat terjadi alveoli dengan
ventilasi kurang/tidak ada akan tetapi perfusi baik sehingga penyebaran udara
pernafasan maupun aliran darah ke alveoli tidak sama dan merata. Sehingga
timbul hipoksia dan sesak nafas (Soemantri, 2009).
11
Terdapat empat perubahan patologik yang dapat timbul pada pasien
emfisema, yaitu (Rubin E., 2007) :
1. Hilangnya elastisitas paru-paru
Protease (enzim paru-paru) mengubah atau merusak alveoli dan
saluran napas kecil dengan cara merusak serabut elastin. Sebagai
akibatnya, kanntung alveolus kehilangan elastisitasnya dan jalan napas
kecil menjadi kolaps atau menyempit. Beberapa alveoli menjadi rusak
dan yang lainnya kemungkinan menjadi membesar.
2. Hiperinflasi paru-paru
Pembesaran alveoli sehingga paru-paru sulit untuk dapat kembali
ke posisi istirahat normal selama ekspirasi.
3. Terbentuknya bullae
Dinding alveolus membengkak dan berhubungan untuk
membentuk suatu bullae (ruangan tempat udara di antara parenkim
paru-paru) yang dapat dilihat pada pemeriksaan X-ray.
4. Kolapsnya jalan napas kecil dan udara terperangkap
Ketika pasien berusaha untuk ekshalasi secara kuat, tekanan
positif intratoraks akan menyebabkan kolapsnya jalan napas.
H. Patofisiologis
Emfisema paru merupakan suatu pengembangan paru disertai
perobekan alveolus-alveolus yang tidak dapat pulih, dapat bersifat
menyeluruh atau terlokalisasi, mengenai sebagian atau seluruh paru (Brasher,
2007).
Pengisian udara berlebihan dengan obstruksi terjadi akibat dari
obstruksi sebagian yang mengenai suatu bronkus atau bronkiolus dimana
pengeluaran udara dari dalam alveolus menjadi lebih sukar dari pada
pemasukannya. Dalam keadaan demikian terjadi penimbunan udara yang
bertambah di sebelah distal dari alveolus. Pada emfisema obstruksi kongenital
bagian paru yang paling sering terkena adalah belahan paru kiri atas. Hal ini
12
diperkirakan oleh mekanisme katup penghentian (Brasher, 2007).
Pada paru-paru sebelah kiri terdapat tulang rawan yang terdapat di
dalam bronkus-bronkus yang cacat sehingga mempunyai kemampuan
penyesuaian diri yang berlebihan. Selain itu dapat juga disebabkan stenosis
bronkial serta penekanan dari luar akibat pembuluh darah yang menyimpang.
Penimbunan udara di alveolus menjadi bertambah di sebelah distal dari paru
(Brasher, 2007).
Pada emfisema paru penyempitan saluran nafas terutama disebabkan
elastisitas paru yang berkurang. Pada paru-paru normal terjadi keseimbangan
antara tekanan yang menarik jaringan paru ke laur yaitu disebabkan tekanan
intrapleural dan otot-otot dinding dada dengan tekanan yang menarik jaringan
paru ke dalam yaitu elastisitas paru (Muttaqin, 2008).
Bila terpapar iritasi yang mengandung radikal hidroksida (OH-).
Sebagian besar partikel bebas ini akan sampai di alveolus waktu menghisap
rokok. Partikel ini merupakan oksidan yang dapat merusak paru. Parenkim
paru yang rusak oleh oksidan terjadi karena rusaknya dinding alveolus dan
timbulnya modifikasi fungsi dari anti elastase pada saluran napas. Sehingga
timbul kerusakan jaringan interstitial alveolus (Muttaqin, 2008).
Partikel asap rokok dan polusi udara mengendap pada lapisan mukus
yang melapisi mukosa bronkus sehingga menghambat aktivitas silia.
Pergerakan cairan yang melapisi mukosa berkurang sehingga iritasi pada sel
epitel mukosa meningkat, hal ini akan lebih merangsang kelenjar mukosa.
Keadaan ini ditambah dengan gangguan aktivitas silia. Bila oksidasi dan
iritasi di saluran nafas terus berlangsung maka terjadi erosi epital serta
pembentukan jaringan parut. Selain itu terjadi pula metaplasi squamosa dan
pembentukan lapisan squamosa. Hal ini menimbulkan stenosis dan obstruksi
saluran napas yang bersifat irreversibel sehingga terjadi pelebaran alveolus
yang permanen disertai kerusakan dinding alveoli (Muttaqin, 2008).
13
I. Gambaran histopatologis
Gambar 1. Emfisema, tampak paru sangat mengembang dan rongga alveolar tampak sangat luas dengan septum yang ruptur (Takami, 2008)
Secara mikroskopik tampak rongga-rongga alveoli melebar penuh
berisi udara dan septanya ruptur atau sangat tipis, sebagian bergabung menjadi
satu gelembung yang besar. Dan pada bedah mayat akan tampak paru
mengandung gelembung/bula berisi udara (Takami, 2008).
J. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan emfisema secara umum meliputi :
1. Non Medikamentosa
a. Pendidikan terhadap keluarga dan penderita
Mereka harus mengetahui faktor-faktor yang dapat mence-
tuskan eksaserbasi serta faktor yang bisa memperburuk penyakit.
Ini perlu peranan aktif penderita untuk usaha pencegahan (Doenges,
2006).
b. Menghindari rokok dan zat inhalasi
Rokok merupakan faktor utama yang dapat memperburuk per-
jalanan penyakit. Penderita harus berhenti merokok. Di samping itu
zat-zat inhalasi yang bersifat iritasi harus dihindari karena zat itu
menimbulkan ekserbasi / memperburuk perjalanan penyakit (Do-
enges, 2006).
14
c. Menghindari infeksi saluran nafas
Infeksi saluran nafas sedapat mungkin dihindari oleh karena
dapat menimbulkan suatu eksaserbasi akut penyakit (Doenges,
2006).
d. Latihan fisik
Hal ini dianjurkan sebagai suatu cara untuk meningkatkan
kapasitas latihan pada pasien yang sesak nafas berat. Latihan fisik
yang biasa dilakukan adalah secara perlahan memutar kepala ke
kanan dan ke kiri. Memutar badan ke kiri dan ke kanan diteruskan
membungkuk ke depan lalu ke belakang. Mengayun tangan ke
depan dan ke belakang dan membungkuk. Gerakan tangan
melingkar dan gerakan menekuk tangan. Latihan dilakukan 15-30
menit selama 4-7 hari per minggu. Dapat juga dilakukan olah raga
ringan naik turun tangga (Muttaqin, 2008).
e. Rehabilitasi
Rehabilitasi psikis berguna untuk menenangkan penderita yang
cemas dan mempunyai rasa tertekan akibat penyakitnya. Sedangkan
rehabilitasi pekerjaan dilakukan untuk memotivasi penderita
melakukan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan fisiknya.
Misalnya bila istirahat lebih baik duduk daripada berdiri atau dalam
melakukan pekerjaan harus lambat tapi teratur (Muttaqin, 2008).
f. Fisioterapi
Penerapan fisioterapi (Muttaqin, 2008) :
1) Postural Drainase
Salah satu tehnik membersihkan jalan napas akibat aku-
mulasi sekresi dengan cara penderita diatur dalam berbagai po-
sisi untuk mengeluarkan sputum dengan bantuan gaya gravi-
tasi.
15
Tujuannya untuk mengeluarkan sputum yang terkumpul
dalam lobus paru, mengatasi gangguan pernapasan dan
meningkatkan efisiensi mekanisme batuk.
2) Breathing Exercises
Dimulai dengan menarik napas melalui hidung dengan
mulut tertutup kemudian menghembuskan napas melalui bibir
dengan mulut mencucu. Posisi yang dapat digunakan adalah
tidur terlentang dengan kedua lutut menekuk atau kaki
ditinggikan, duduk di kursi atau di tempat tidur dan berdiri.
Tujuannya untuk memperbaiki ventilasi alveoli,
menurunkan pekerjaan pernapasan, meningkatkan efisiensi
batuk, mengatur kecepatan pernapasan, mendapatkan relaksasi
otot-otot dada dan bahu dalam sikap normal dan memelihara
pergerakan dada.
3) Latihan Relaksasi
Secara individual penderita sering tampak cemas, takut
karena sesat napas dan kemungkinan mati lemas. Dalam
keadaan tersebut, maka latihan relaksasi merupakan usaha yang
paling penting dan sekaligus sebagai langkah pertolongan.
2. Medikamentosa
a. Bronkodilator
1) Derivat Xantin
Sejak dulu obat golongan teofilin sering digunakan pada
emfisema paru. Obat ini menghambat enzim fosfodiesterase
sehingga cAMP yang bekerja sebagai bronkodilator dapat
dipertahankan pada kadar yang tinggi.
2) Gol 2 Agonis
Obat ini menimbulkan bronkodilatasi. Reseptor beta
berhubungan erat dengan adenil siklase yaitu substansi penting
16
yang menghasilkan siklik AMP yang menyebabkan
bronkodilatasi. Pemberian dalam bentuk aerosol lebih efektif.
Obat yang tergolong beta-2 agonis adalah : terbutalin,
metaproterenol dan albuterol.
3) Antikolinergik
Obat ini bekerja dengan menghambat reseptor kolinergik
sehingga menekan enzim guanilsiklase. Kemudian
pembentukan cAMP sehingga bronkospasme menjadi
terhambat. Contoh obat antikolinergik adalah Ipratropium
bromida diberikan dalam bentuk inhalasi.
4) Kortikosteroid
Manfaat kortikosteroid pada pengobatan obstruksi jalan
napas pada emfisema masih diperdebatkan. Pada sejumlah
penderita mungkin memberi perbaikan. Pengobatan dihentikan
bila tidak ada respon. Obat yang termasuk di dalamnya adalah
dexametason, prednison dan prednisolon (Djojodibroto, 2009).
b. Ekspektoran dan Mukolitik
Usaha untuk mengeluarkan dan mengurangi mukus merupakan
yang utama dan penting pada pengelolaan emfisema paru.
Ekspektoran dan mukolitik yang biasa dipakai adalah bromheksin
dan karboksi metil sistein diberikan pada keadaan eksaserbasi.
Asetil sistein selain bersifat mukolitik juga mempunyai efek
antioksidan yang melindungi saluran aspas dari kerusakan yang
disebabkan oleh oksidan (Djojodibroto, 2009).
c. Antibiotik
Infeksi sangat berperan pada perjalanan penyakit paru
obstruksi terutama pada keadaan eksaserbasi. Bila infeksi berlanjut
maka perjalanan penyakit akan semakin memburuk. Penanganan
infeksi yang cepat dan tepat sangat perlu dalam penatalaksanaan
penyakit. Pemberian antibiotik dapat mengurangi lama dan beratnya
17
eksaserbasi. Antibiotik yang bermanfaat adalah golongan Penisilin,
eritromisin dan kotrimoksazol biasanya diberikan selama 7-10 hari.
Apabila antibiotik tidak memberikan perbaikan maka perlu
dilakukan pemeriksaan mikroorganisme (Djojodibroto, 2009).
d. Terapi oksigen
Pada penderita dengan hipoksemia yaitu PaO2 < 55 mmHg.
Pemberian oksigen konsentrasi rendah 1-3 liter/menit secara terus
menerus memberikan perbaikan psikis, koordinasi otot, toleransi
beban kerja (Doenges, 2006).
K. Komplikasi
Komplikasi emfisema paru adalah sebagai berikut (Whaley, 2006) :
1. Sering mengalami infeksi ulang pada saluran pernapasan
2. Daya tahan tubuh kurang sempurna
3. Proses peradangan yang kronis di saluran napas
4. Tingkat kerusakan paru makin parah
5. Pneumonia
6. Atelektasis
7. Pneumothoraks
L. Prognosis
Prognosis jangka pendek maupun jangka panjang bergantung pada
umur dan gejala klinis waktu berobat. Penderita yang berumur kurang dari 50
tahun dengan sesak ringan, 5 tahun kemudian akan terlihat ada perbaikan.
Sesak sedang 5 tahun kemudian 42 % penderita akan sesak lebih berat dan
meninggal (Somantri, 2008).
18
III. KESIMPULAN
1. Emfisema merupakan salah satu jenis dari Penyakit Paru Obstruksi Kronik
yang yang menyebabkan penyempitan jalan napas sehingga mengurangi
elastisitas paru.
2. Merokok merupakan salah satu faktor resiko terbesar dari emfisema paru.
3. Tanda emfisema pada awalnya ditandai oleh sesak napas. Gejala lain adalah
batuk, whezeeng, berat badan menurun. Tanda klasik dari emfisema adalah dada
seperti tong ( barrel chested) dan ditandai dengan sesak napas disertai ekspirasi
memanjang karena terjadi pelebaran rongga alveoli lebih banyak dan kapasitas
difus gas rendah.
4. Penatalaksanaan emfisema adalah dengan menghindari faktor-faktor
resiko seperti merokok, fisioterapi, dan meminum obat bronkodilator serta
mukolitik ekspektoran.
5. Emfisema dapat menyebabkan beberapa komplikasi lain di sistem
pernapasan maupun imunitas.
6. Prognosis emfisema baik jangka pendek maupun jangka panjang
tergantung pada umur dan gejala klinis saat berobat.
19
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.2011. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi 3. Jakarta: FK UI.
Boat. T.F, Emfisema and Full Air Fluid, In : Behrman R.E, et.al. (ed), 2009, Nelson Textbook
of pediatrics, fourteenth edition, W.B. Saunders Company, Philadelphia.
Brasher, L. Valentina. 2007. Aplikasi Klinis Patofisiologi. Jakarta : EGC.
Djojodibroto, R. Darmanto. 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta : EGC
Doenges, Marilynn E. 2006. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta : EGC.
Kamangar N, 2010. Chronic Obstructive Pulmonary Disease, eMedicine Pulmonology.
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/297664-overview. (Diakses
23 Maret 2014)
Mangunnegoro H. 2003. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK) di Indonesia . Perhimpunan Dokter Paru Indonesia: Jakarta
Muttaqin, Arif. 2008. Askep Dengan Gangguan Sistem Nafas. Jakarta : Salemba
Medika.
Reilly J.J., Jr. , Silverman E.K., Shapiro S.D., 2011. Chronic Obstructiven Pulmonary
Disease. In: Fauci et al, ed. Harisson’s Principles of Internal Medicine. 17 th ed.
Volume II, Part 10, Chapter 254: p. 1635-1643.
Rubin E., Rubin M. 2007. Diffuse Obstructive Emphysema in Thoracic Disease
Emphasizing Cardiopulmonary Disease. London : W.B Saunders Company.
Soemantri. 2009. Bronkhilis Kronik dan Emfisema Paru dalam : Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid 2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Somantri, Irman. 2008. Keperawatan Medikal Bedah : Asuhan Keperawatan pada
Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.
Surya.DA. 2010. Bronkhitis Kronik dan Empisema dalam : Manual Ilmu Penyakit Paru.
Jakarta: Binarupa Aksara.
Takami, H.E., Miyabe R, Kameyama,K. 2008. Emphysema. World Journal of
Surgery. Vol: 32:688-692.
Whaley, Wong. 2006. Nursing care of infants and children. St. Louis Missouri:
MosbyYear Book.
20