34
PROJECT BASED LEARNING ( PJBL ) Disusun Untuk Memenuhi Tugas Gastrointestinal Sistem SEROSIS HEPATIK Arpidho Prastyatama Muliya 105070200131012

tugas PJBL serosis FIX.doc

Embed Size (px)

Citation preview

PROJECT BASED LEARNING ( PJBL )

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Gastrointestinal Sistem

SEROSIS HEPATIK

Arpidho Prastyatama Muliya

105070200131012

JURUSAN ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2013

1. Definisi

Sirosis adalah proses difus yang ditandai oleh fibrosis dan perubahan struktur hepar yang normal menjadi nodula- nodula yang abnormal. Hasil akhirnya adalah destruksi hepatosit dan digantikan oleh jaringan fibrin serta gangguan atau kerusakan vaskular (Dipiro et al, 2006). Progevisitas sirosis akan mengarah pada kondisi hipertensi portal yang bertanggung jawab terhadap banyak komplikasi dari perkembangan penyakit sirosis ini. Komplikasi ini meliputi spontaneous bacterial peritonitis (SBP), hepatic encephalophaty dan pecahnya varises esophagus yang mengakibatkan perdarahan (hematemesis dan atau melena) (Sease et al, 2008).

2. Etiologia. Alkohol adalah suatu penyebab yang paling umum dari cirrhosis,

terutam didunia barat. Perkembangan sirosis tergantung pada jumlah dan keterautran dari konsumsi alkohol. Konsumis alkohol pada tingkat-tingkat yang tinggi dan kronis melukai sel-sel hati. Tiga puluh persen dari individu-individu yang meminum setiap harinya paling sedikit 8 sampai 16 ounces minuman keras (hard liquor) atau atau yang sama dengannya untuk 15 tahun atau lebih akan mengembangkan sirosis. Alkohol menyebabkan suatu jajaran dari penyakit-penyakit hati; dari hati berlemak yang sederhana dan tidak rumit (steatosis), ke hati berlemak yang lebih serius dengan peradangan (steatohepatitis atau alcoholic hepatitis), ke sirosis. Nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD) merujuk pada suatu spektrum yang lebar dari penyakit hati yang, seperti penyakit hati alkoholik (alcoholic liver disease), mencakup dari steatosis sederhana (simple steatosis), ke nonalcoholic steatohepatitis (NASH), ke sirosis. Semua tingkatan-tingkatan dari NAFLD mempunyai bersama-sama akumulasi lemak dalam sel-sel hati. Istilah nonalkoholik digunakan karena NAFLD terjadi pada individu-individu yang tidak mengkonsumsi jumlah-jumlah alkohol yang berlebihan, namun, dalam banyak aspek-aspek, gambaran mikroskopik dari NAFLD adalah

serupa dengan apa yang dapat terlihat pada penyakit hati yang disebabkan oleh alkohol yang berlebihan. NAFLD dikaitkan dengan suatu kondisi yang disebut resistensi insulin, yang pada gilirannya dihubungkan dengan sindrom metabolisme dan diabetes mellitus tipe 2. Kegemukan adalah penyebab yang paling penting dari resistensi insulin, sindrom metabolisme, dan diabetes tipe 2. NAFLD adalah penyakit hati yang paling umum di Amerika dan adalah bertanggung jawab untuk 24% dari semua penyakit hati.

b. Sirosis Kriptogenik, Cryptogenic cirrhosis (sirosis yang disebabkan oleh penyebab-penyebab yang tidak teridentifikasi) adalah suatu sebab yang umum untuk pencangkokan hati. Di-istilahkan sirosis kriptogenik (cryptogenic cirrhosis) karena bertahun-tahun dokter-dokter telah tidak mampu untuk menerangkan mengapa sebagain dari pasien-pasien mengembangkan sirosis. Dokter-dokter sekarang percaya bahwa sirosis kriptogenik disebabkan oleh NASH (nonalcoholic steatohepatitis) yang disebabkan oleh kegemukan, diabetes tipe 2, dan resistensi insulin yang tetap bertahan lama. Lemak dalam hati dari pasien-pasien dengan NASH diperkirakan menghilang dengan timbulnya sirosis, dan ini telah membuatnya sulit untuk dokter-dokter untuk membuat hubungan antara NASH dan sirosis kriptogenik untuk suatu waktu yang lama. Satu petunjuk yang penting bahwa NASH menjurus pada sirosis kriptogenik adalah penemuan dari suatu kejadian yang tinggi dari NASH pada hati-hati yang baru dari pasien-pasien yang menjalankan pencangkokan hati untuk sirosis kriptogenik. Akhirnya, suatu studi dari Perancis menyarankan bahwa pasien-pasien dengan NASH mempunyai suatu risiko mengembangkan sirosis yang serupa seperti pasien-pasien dengan infeksi virus hepatitis C yang tetap bertahan lama. Bagaimanapun, kemajuan ke sirosis dari NASH diperkirakan lambat dan diagnosis dari sirosis secara khas dibuat pada pasien-pasien pada umur enampuluhannya.

c. Hepatitis Virus Yang Kronis adalah suatu kondisi dimana hepatitis B atau hepatitis C virus menginfeksi hati bertahun-tahun. Kebanyakan pasien-pasien dengan hepatitis virus tidak akan mengembangkan hepatitis kronis dan sirosis. Contohnya, mayoritas dari pasien-pasien yang terinfeksi dengan hepatitis A sembuh secara penuh dalam waktu berminggu-minggu, tanpa mengembangkan infeksi yang kronis. Berlawanan dengannya, beberapa pasien-pasien yang terinfeksi dengan virus hepatitis B dan kebanyakan pasien-pasien terinfeksi dengan virus hepatitis C mengembangkan hepatitis yang kronis, yang pada gilirannya menyebabkan kerusakan hati yang progresif dan menjurus pada sirosis, dan adakalanya kanker-kanker hati.

d. Kelainan-Kelainan Genetik Yang Diturunkan/Diwariskan berakibat pada akumulasi unsur-unsur beracun dalam hati yang menjurus pada kerusakkan jaringan dan sirosis. Contoh-contoh termasuk akumulasi besi yang abnormal (hemochromatosis) atau tembaga (penyakit Wilson). Pada hemochromatosis, pasien-pasien mewarisi suatu kecenderungan untuk menyerap suatu jumlah besi yang berlebihan dari makanan. Melalui waktu, akumulasi besi pada organ-organ yang berbeda diseluruh tubuh menyebabkan sirosis, arthritis, kerusakkan otot jantung yang menjurus pada gagal jantung, dan disfungsi (kelainan fungsi) buah pelir yang menyebabkan kehilangan rangsangan seksual. Perawatan ditujukan pada pencegahan kerusakkan pada organ-organ dengan mengeluarkan besi dari tubuh melaui pengeluaran darah. Pada penyakit Wilson, ada suatu kelainan yang diwariskan pada satu dari protein-protein yang mengontrol tembaga dalam tubuh. Melalui waktu, tembaga berakumulasi dalam hati, mata-mata, dan otak. Sirosis, gemetaran, gangguan-gangguan psikiatris (kejiwaan) dan kesulitan-kesulitan syaraf lainnya terjadi jika kondisi ini tidak dirawat secara dini. Perawatan adalah dengan obat-obat oral yang meningkatkan jumlah tembaga yang dieliminasi dari tubuh didalam urin.

e. Primary biliary cirrhosis (PBC) adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh suatu kelainan dari sistim imun yang ditemukan sebagian besar pada wanita-wanita. Kelainan imunitas pada PBC menyebabkan peradangan dan perusakkan yang kronis dari pembuluh-pembuluh kecil empedu dalam hati. Pembuluh-pembuluh empedu adalah jalan-jalan dalam hati yang dilalui empedu menuju ke usus. Empedu adalah suatu cairan yang dihasilkan oleh hati yang mengandung unsur-unsur yang diperlukan untuk pencernaan dan penyerapan lemak dalam usus, dan juga campuran-campuran lain yang adalah produk-produk sisa, seperti pigmen bilirubin. (Bilirubin dihasilkan dengan mengurai/memecah hemoglobin dari sel-sel darah merah yang tua). Bersama dengan kantong empedu, pembuluh-pembuluh empedu membuat saluran empedu. Pada PBC, kerusakkan dari pembuluh-pembuluh kecil empedu menghalangi aliran yang normal dari empedu kedalam usus. Ketika peradangan terus menerus menghancurkan lebih banyak pembuluh-pembuluh empedu, ia juga menyebar untuk menghancurkan sel-sel hati yang berdekatan. Ketika penghancuran dari hepatocytes menerus, jaringan parut (fibrosis) terbentuk dan menyebar keseluruh area kerusakkan. Efek-efek yang digabungkan dari peradangan yang progresif, luka parut, dan efek-efek keracunan dari akumulasi produk-produk sisa memuncak pada sirosis.

f. Primary sclerosing cholangitis (PSC) adalah suatu penyakit yang tidak umum yang seringkali ditemukan pada pasien-pasien dengan radang borok usus besar. Pada PSC, pembuluh-pembuluh empedu yang besar diluar hati menjadi meradang, menyempit, dan terhalangi. Rintangan pada aliran empedu menjurus pada infeksi-infeksi pembuluh-pembuluh empedu dan jaundice (kulit yang menguning) dan akhirnya menyebabkan sirosis. Pada beberapa pasien-pasien, luka pada pembuluh-pembuluh empedu (biasanya sebagai suatu akibat dari operasi) juga dapat menyebabkan rintangan dan sirosis pada hati.

g. Hepatitis Autoimun adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh suatu kelainan sistim imun yang ditemukan lebih umum pada wanita-wanita. Aktivitas imun yang abnromal pada hepatitis autoimun menyebabkan peradangan dan penghancuran sel-sel hati (hepatocytes) yang progresif, menjurus akhirnya pada sirosis.

h. Bayi-bayi dapat dilahirkan tanpa pembuluh-pembuluh empedu (biliary atresia) dan akhirnya mengembangkan sirosis. Bayi-bayi lain dilahirkan dengan kekurangan enzim-enzim vital untuk mengontrol gula-gula yang menjurus pada akumulasi gula-gula dan sirosis. Pada kejadian-kejadian yang jarang, ketidakhadiran dari suatu enzim spesifik dapat menyebabkan sirosis dan luka parut pada paru (kekurangan alpha 1 antitrypsin).

i. Penyebab-penyebab sirosis yang lebih tidak umum termasuk reaksi-reaksi yang tidak umum pada beberapa obat-obat dan paparan yang lama pada racun-racun, dan juga gagal jantung kronis (cardiac cirrhosis). Pada bagian-bagian tertentu dari dunia (terutama Afrika bagian utara), infeksi hati dengan suatu parasit (schistosomiasis) adalah penyebab yang paling umum dari penyakit hati dan sirosis.

3. Patofisiologi

4. Manifestasi Klinis

Penyakit sirosis hepatis mempunyai gejala seperti ikterus dan febris yang intermiten. Adanya pembesaran pada hati. Pada awal perjalanan sirosis hepatis ini, hati cenderung membesar dan sel-selnya dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam yang dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari pembesaran hati yang cepat dan baru saja terjadi sehingga mengakibatkan regangan pada selubung fibrosa hati (kapsula Glissoni). Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut, ukuran hati akan berkurang setelah jaringan parut menyebabkan pengerutan jaringan hati. Apabila dapat dipalpasi, permukaan hati akan teraba benjol-benjol (noduler). Obstruksi Portal dan Asites. Semua darah dari organ-organ digestif praktis akan berkumpul dalam vena portal dan dibawa ke hati. Karena hati yang sirotik tidak memungkinkan pelintasan darah yang bebas, maka aliran darah tersebut akan kembali ke dalam limpa dan traktus gastrointestinal dengan konsekuensi bahwa organ-organ ini menjadi tempat kongesti pasif yang kronis; dengan kata lain, kedua organ tersebut akan dipenuhi oleh darah dan dengan demikian tidak dapat bekerja dengan baik. Pasien dengan keadaan semacam ini cenderung menderita dispepsia kronis atau diare. Berat badan pasien secara berangsur-angsur mengalami penurunan.

Cairan yang kaya protein dan menumpuk di rongga peritoneal akan menyebabkan asites. Hal ini ditunjukkan melalui perfusi akan adanya shifting dullness atau gelombang cairan. Splenomegali juga terjadi. Jaring-jaring telangiektasis, atau dilatasi arteri superfisial menyebabkan jaring berwarna biru kemerahan, yang sering dapat dilihat melalui inspeksi terhadap wajah dan keseluruhan tubuh. Varises Gastrointestinal. Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan fibrofik juga mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral sistem gastrointestinal dan pemintasan (shunting) darah dari pernbuluh portal ke dalam pernbuluh darah dengan tekanan yang lebih rendah. Sebagai akibatnya, penderita sirosis sering memperlihatkan distensi pembuluh darah abdomen yang mencolok serta terlihat pada inspeksi abdomen (kaput medusae), dan distensi pembuluh darah di seluruh traktus gastrointestinal. Esofagus, lambung dan rektum bagian bawah merupakan daerah yang sering mengalami pembentukan pembuluh darah kolateral.

Karena fungsinya bukan untuk menanggung volume darah dan tekanan yang tinggi akibat sirosis, maka pembuluh darah ini dapat mengalami ruptur dan menimbulkan perdarahan. Karena itu, pengkajian harus mencakup observasi untuk mengetahui perdarahan yang nyata dan tersembunyi dari traktus gastrointestinal. Edema. Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati yang kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga menjadi predisposisi untuk terjadinya edema. Produksi aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan retensi natrium serta air dan ekskresi kalium.

5. Pemeriksaan diagnostika. Pada Darah dijumpai HB rendah, anemia normokrom normositer,

hipokrom mikrositer / hipokrom makrositer, anemia dapat dari akibat hipersplemisme dengan leukopenia dan trombositopenia, kolesterol darah yang selalu rendah mempunyai prognosis yang kurang baik.

b. Kenaikan kadar enzim transaminase – SGOT, SGPT bukan merupakan petunjuk berat ringannya kerusakan parenkim hati, kenaikan kadar ini timbul dalam serum akibat kebocoran dari sel yang rusak, pemeriksaan bilirubin, transaminase dan gamma GT tidak meningkat pada sirosis inaktif.

c. Albumin akan merendah karena kemampuan sel hati yang berkurang, dan juga globulin yang naik merupakan cerminan daya tahan sel hati yang kurang dan menghadapi stress.

d. Pemeriksaan CHE (kolinesterase). Ini penting karena bila kadar CHE turun, kemampuan sel hati turun, tapi bila CHE normal / tambah turun akan menunjukan prognasis jelek.

e. Kadar elektrolit penting dalam penggunaan diuretic dan pembatasan garam dalam diet, bila ensefalopati, kadar Na turun dari 4 meg/L menunjukan kemungkinan telah terjadi sindrom hepatorenal.

f. Pemanjangan masa protrombin merupakan petunjuk adanya penurunan fungsi hati. Pemberian vit K baik untuk menilai kemungkinan perdarahan baik dari varises esophagus, gusi maupun epistaksis.

g. Peningggian kadar gula darah. Hati tidak mampu membentuk glikogen, bila terus meninggi prognosis jelek.

h. Pemeriksaan marker serologi seperti virus, HbsAg/HbsAb, HbcAg/ HbcAb, HBV DNA, HCV RNA., untuk menentukan etiologi sirosis hati dan pemeriksaan AFP (alfa feto protein) penting dalam menentukan apakah telah terjadi transpormasi kearah keganasan.

6. Kompliasia. Variceas Esophageal Hemorrhage (Perdarahan varises esofagus)

Komplikasi dari hipertensi portal yang paling penting adalah perkembangan dari varises atau rute alternative aliran darah dari portal ke sirkulasi sistemik, melewati liver. Varises menekan sistem vena portal dan mengembalikandarah ke sirkulasi sistemik. Pasien dengan sirosis memiliki resiko untuk terjadi perdarahan varises ketika tekanan vena portal 12 mmHg lebih besar dari tekanan vena cava. Perdarahan dari varises terjadi pada 25% hingga 40% pasien dengan sirosis, dan setiap episode perdarahan membawa resiko kematian antara 25% hingga 30%. Perdarahan ulang biasanya mengikuti dari setiap kejadian perdarahan awal, terutama 72 jam dari perdarahan awal (Sease et al, 2008).

b. Hepatic EncephalophatyPatofisiologi dari penyakit ini masih belum jelas sampai

sekarang, namun ada beberapa teori yang mengatakan bahwa mekanisme perkembangan penyakit sirosis menjadi hepatic encephalopathy adalah :

- Metabolisme produk nitrogen di saluran pencernaan menjadi produk metabolit yang toksik bagi SSP. Degradasi urea dan protein ini akan menjadi produk ammonia yang melalui aliran darah akan menembus sawar darah otak dan mengakibatkan perubahan neuropsikiatrik di SSP.

- Gamma-aminobutyric-acid (GABA) yang bekerja sebagai inhibitor neurotransmitter yang diproduksi juga di dalam saluran pencernaan terlihat mengalami peningkatan jumlah dalam darah pada pasien dengan sirosis hati.

- Meningkatnya asam amino aromatik yang menembus sawar darah otak, hal ini mengakibatkan meningkatnya sintesis false neurotransmitter (seperti octopamine dan phenylephrine, dan menurunnya produksi dopamine dan norepinephrine) (Goldman, 2007).

Faktor yang mempengaruhi timbulnya HE adalah:- Faktor endogen yaitu memburuknya fungsi hati misalnya pada

hepatitis fulminan akut.- Faktor eksogen, antara lain :Protein berlebih dalam usus- Perdarahan massif/ syok hipovolemik

- Sindrom alkalosis hipovolemik akibat diuretik atau parasentesis yang cepat

- Pengaruh obat-obatan (penenang, anestetik/narkotika)- Infeksi yang berat- Konstipasi- Pasien dengan hepatic encephalopathy menunjukkan adanya

perubahan mental dan status motorik dimana derajat keparahannya meliputi:

Stage IEuphoria /depresi, kebingungan ringan dan berfluktuasi, gangguan pembicaraan, gangguan ritme tidur.

Stage IILambat beraksi, mengantuk, disorientasi, amnesia, gangguan kepribadian, asteriksis, reflex hipoaktif, ataksia

Stage IIITidur yang dalam, sangat pusing, reflex hiperaktif,

flapping tremor.Stage IV

Tidak bereaksi pada rangsangan apapun, reflex okuler yang lemah, kekauan otot, kejang menyeluruh.

c. Hipertensi PortalHipertensi portal paling sering disebabkan oleh peningkatan

resistensi aliran darah portal. Karena sistem vena porta tidak memiliki katup, resistensi di setiap ketinggian antara sisi kanan jantung dan pembuluh splanknikus menyebabkan tekanan yang meninggi disalurkan secara retrograd. Peningkatan resistensi dapat terjadi pada presinusoid, sinusoidal dan postsinusoid (Sudoyo, 2006). Peningkatan tekanan ini menyebabkan aliran darah dikembalikan ke vena portal. Darah dari vena portal tidak dapat masuk kedalam hepar karena terjadi pengerasan sehingga aliran darah tidak terpenetrasi menyebabkan tekanan portal meningkat, kompensasinya terbentuk sistem kolateral menembus aliran lain yang dapat ditembus. Karena sifat vena (termasuk vena porta) yang berbentuk katup dan jarangnya katup maka kenaikan tekanan akan diteruskan kembali ke vascular bed sehingga terjadi shunting portal ke sistemik (McPhee, 1995).

d. Asites

Asites adalah terjadinya akumulasi cairan yang berlebihan dalam rongga peritonium. Akumulasi cairan mengandung protein tersebut terjadi karena adanya gangguan pada struktur hepar dan aliran darah yang disebabkan oleh inflamasi, nekrosis fibrosis atau obstruksi menyebabkan perubahan hemodinamis yang menyebabkan peningkatan tekanan limfatik dalam sinusoid hepar, mengakibatkan transudasi yang berlebihan cairan yang kaya protein ke dalam rongga peritonium. Peningkatan tekanan dalam sinusoid menyebabkan peningkatan volume aliran ke pembuluh limpatik dan akhirnya melebihi kapasitas drainage sehingga tejadi overflow cairan limpatik kedalam rongga peritonium (McPhee, 1995). Ciran asites merupakan cairan plasma yang mengandung protein sehingga baik untuk media pertumbuhan bakteri patogen, diantaranya enterobacteriaceae (E. Coli), bakteri gram negatif, kelompok enterococcus (Sease et al, 2008).

7. Penatalaksanaan

Pengobatan sirosis hati pada prinsipnya berupa :

1. Simtomatis

2. Supportif, yaitu :

Istirahat yang cukup Pengaturan makanan yang cukup dan seimbang; misalnya : cukup

kalori, protein 1 gr/kgBB/hari dan vitamin

Pengobatan berdasarkan etiologi Misalnya pada sirosis hati akibat infeksi virus C dapat dicoba dengan interferon. Sekarang telah dikembangkan perubahan strategi terapi bagian pasien dengan hepatitis C kronik yang belum pernah mendapatkan, pengobatan IFN seperti :

1. kombinasi IFN dengan ribavirin

2. terapi induksi IFN

3. terapi dosis IFN tiap hari

Terapi kombinasi IFN dan Ribavirin terdiri dari IFN 3 juta unit 3 x seminggu dan RIB 1000-2000 mg perhari tergantung berat badan(1000mg untuk berat badan kurang dari 75kg) yang diberikan untuk jangka waktu 24-48 minggu.

Terapi induksi Interferon yaitu interferon diberikan dengan dosis yang lebih tinggi dari 3 juta unit setiap hari untuk 2-4 minggu yang dilanjutkan dengan 3 juta unit 3 x seminggu selama 48 minggu dengan atau tanpa kombinasi RIB

Terapi dosis interferon setiap hari. Dasar pemberian IFN dengan dosis 3 juta atau 5 juta unit tiap hari sampai HCV-RNA negatif di serum dan jaringan hati.

3. Pengobatan yang spesifik dari sirosis hati akan diberikan jika telah terjadi komplikasi seperti ;

Astises Spontaneous bacterial peritonitis

Hepatorenal syndrome

Ensefalophaty hepatic

Asites

Dapat dikendalikan dengan terapi konservatif yang terdiri atas : istirahat

diet rendah garam : untuk asites ringan dicoba dulu dengan istirahat dan diet rendah garam dan penderita dapat berobat jalan dan apabila gagal maka penderita harus dirawat.

Diuretik

Pemberian diuretic hanya bagi penderita yang telah menjalani diet rendah garam dan pembatasan cairan namun penurunan berat badannya kurang dari 1 kg setelah 4 hari. Mengingat salah satu komplikasi akibat pemberian diuretic adalah hipokalem dan hal ini dapat mencetuskan encepalophaty hepatic, maka pilihan utamadiuretic adalah spironolacton, dan dimulai dengan dosis rendah, serta

dapat dinaikkan dosisnya bertahap tiap 3-4 hari, apabila dengan dosis maksimal diuresisnya belum tercapai maka dapat kita kombinasikan dengan furosemid.

Terapi lain :

Sebagian kecil penderita asites tidak berhasil dengan pengobatan konservatif. Pada keadaandemikian pilihan kita adalah parasintesis. Mengenai parasintesis cairan asites dapat dilakukan 5 10 liter / hari, dengan catatan harus dilakukan infuse albumin sebanyak 6 – 8 gr/l cairan asites yang dikeluarkan. Prosedur ini tidak dianjurkan pada Child’s C protrombin < 40%, serum bilirubin > dari 10 mg/dl, trombosit < 40.000/mm3, creatinin > 3 mg/dl dan natrium urin < 10 mmol/24 jam.

Spontaneus Bacterial Peritonitis (SBP)

Infeksi cairan dapat terjadi secara spontan, atau setelah tindakan parasintese. Tipe yang spontan terjadi 80% pada penderita sirosis hati dengan asites, sekitar 20% kasus. Keadaan ini lebih sering terjadi pada sirosis hati stadium kompesata yang berat. Pada kebanyakan kasus penyaki timbul selama masa perawatan. Infeksi umumnya terjadi secara Blood Borne dan 90% Monomicroba. Pada sirosis hati terjadi permiabilitas usus menurun dan mikroba ini beraasal dari usus. Pengobatan SBP dengan memberikan Cephalosporins Generasi III (Cefotaxime),secara parental selama lima hari, atau Qinolon secara oral. Mengingat akan rekurennya tinggi maka untuk Profilaxis dapat diberikan Norfloxacin (400mg/hari)selama 2-3 minggu.

Hepatorenal Sindrome

Sindroma ini dicegah dengan menghindari pemberian Diuretik yang berlebihan, pengenalan secara dini setiap penyakit seperti gangguan elekterolit, perdarahan dan infeksi. Penanganan secara konservatif dapat dilakukan berupa : Ritriksi cairan,garam, potassium dan protein. Serta menghentikan obat-obatan yang nefrotoxic.Pilihan terbaik adalah transplantasi hati yang diikuti dengan perbaikan dan fungsi ginjal.

Perdarahan karena pecahnya Varises Esofagus

Prinsip penanganan yang utama adalah tindakan Resusitasi sampai keadaan pasien stabil, dalam keadaan ini maka dilakukan :

Pasien diistirahatkan dan dipuasakan

Pemasangan IVFD berupa garam fisiologis dan kalau perlu transfusi

Pemasangan Naso Gastric Tube, hal ini mempunyai banyak sekali kegunaannya yaitu : untuk mengetahui perdarahan, cooling dengan es, pemberian obat-obatan, evaluasi darah.

Pemberian obat-obatan berupa antasida,ARH2,Antifibrinolitik,Vitamin K, Vasopressin., Octriotide dan Somatostatin

Ensefalopati Hepatik

Penentuan diet pada penderita sirosis hati sering menimbulkan dilema. Di satu sisi, diet tinggi protein untuk memperbaiki status nutrisi akan menyebabkan hiperamonia yang berakibat terjadinya ensefalopati. Sedangkan bila asupan protein rendah maka kadar albumin dalam darah akan menurun sehingga terjadi malnutrisi yang akan memperburuk keadaan hati. Untuk itu, diperlukan suatu solusi dengan nutrisi khusus hati, yaitu Aminoleban Oral. Aminoleban Oral mengandung AARC kadar tinggi serta diperkaya dengan asam amino penting lain seperti arginin, histidin, vitamin, dan mineral. Nutrisi khusus hati ini akan menjaga kecukupan kebutuhan protein dan mempertahankan kadar albumin darah tanpa meningkatkan risiko terjadinya hiperamonia. Pada penderita sirosis hati yang dirawat di rumah sakit, pemberian nutrisi khusus ini terbukti mempercepat masa perawatan dan mengurangi frekuensi perawatan.

Dengan nutrisi khusus ini diharapkan status nutrisi penderita akan terjaga, mencegah memburuknya penyakit hati, dan mencegah terjadinya ensefalopati hepatik sehingga kualitas serta harapan hidup penderita juga akan membaik.

Manajemen Nutrisi

Diet Garam Rendah I (DGR I)

Diet garam rendah I diberikan kepada pasien dengan edema, asites dan atau atau hipertensi berat. Pada pengolahan makanannya tidak menambahkan garam dapur. Dihindari bahan makanan yang tinggi kadar natriumnya. Kadar Natrium pada Diet garam rendah I ini adalah 200-400 mg Na.

Diet Hati I (DH I)

Diet Hati I diberikan bila pasien dala keadaan akut atau bila prekoma sudah dapat diatasi dan pasien sudah mulai mempunyai nafsu makan. Melihat keadaan pasien, makanan diberikan dalam bentuk cincang atau lunak.

Pemberian protein dibatasi (30 g/hari) dan lemak diberikan dalam bentuk mudah dicerna. Formula enteral dengan asam amino rantai cabang (Branched Chain Amino Acid /BCAA) yaitu leusin, isoleusin, dan valin dapat digunakan. Bila ada asites dan diuresis belum sempurna, pemberian cairan maksimal 1 L/hari.

Makanan ini rendah energi, protein, kalsium, zat besi, dan tiamin; karena itu sebaiknya diberikan selama beberapa hari saja. Menurut beratnya retensi garam atau air, makanan diberikan sebagai Diet Hati I Garam rendah. Bila ada asites hebat dan tanda-tanda diuresis belum membaik, diberikan Diet Garam Rendah I. Untuk menambah kandungan energi, selain makanan per oral juga diberikan makanan parenteral berupa cairan glukosa.

Diet Hati II (DH II)

Diet hati II diberikan sebagai makanan perpindahan dari diet hati II kepada pasien dengan nafsu makannya cukup. Menurut keadaan pasien, makanan diberikan dalam bentuk lunak / biasa. Protein diberikan 1 g/Kg berat badan dan lemak sedang (20-25% dari kebutuhan energi total) dalam bentuk yang mudah dicerna. Makanan ini cukup mengandung energi, zat besi, vitamin A & C, tetapi kurang kalsium dan tiamin. Menurut beratnya retensi garam atau air, makanan diberikan sebagai diet hati II rendah garam. Bila asites hebat dan diuresis belum baik, diet mengikuti pola Diet Rendah garam I.

Diet Hati III (DH III)

Diet Hati III diberikan sebagai makanan perpindahan dari Diet Hati II atau kepada pasien hepatitis akut (Hepatitis Infeksiosa/A dan Hepatitis Serum/B) dan sirosis hati yang nafsu makannya telah baik, telah dapat menerima protein, lemak, mi9neral dan vitamin tapi tinggi karbohidrat. Menurut beratnya tetensi garam atau air, makanan diberikan sebagai Diet Hati III Garam Rendah I

Penanganan Sirosis Hati Berdasarkan Evidence Based (EBN)

Diet tempe pada sirosis hati sebagai upaya meningkatkan kadar albumin dan perbaikan ensefalopati hepatic. Pada penelitian ini membandingkan antara diet hati II dan III (diet konvensional) dengan diet tempe dalam meningkatkan kadar albumin darah dan menurunkan derjat ensepalohetik selama 20 hari. Dan

hasilnya diet tempe dapat meningkatkan albumin darah, menurunkan ammonia dalam darah, meningkatkan psikomotor dan menurunkan ensefalopatik hepatic.

Diet masukan protein pada pasien ensefalohepatik dan Sirosis hepatic yang dilakukan oleh beberapa ahli gizi. Dari beberapa ahli gizi berbeda pendapat mengenai batasan protein yang diberikan pada pasien sirosis hepatic, namun pada pelaksaannya tetap mengacu pada konsesnsus ESPEN tentang nutrisi pada pasien dengan penyakit hati yang kronik, yaitu :

DAFTAR PUSTAKA

1. Black & Hawks. 2005. Medical surgical nursing : Clinical management for positive outcome. St.Louis : Elvier Saunders

2. Brunner & Suddarth. 2008. Textbook of medical surgical nursing, eleventh edition. Philadelpia : Lippincott William & Wilkins.

3. Johnson, M. et.al. 2000. Nursing Outcome Classification (NOC) 2nd ed. USA: Mosby

4. McCloskey, J. C. & Bulechek, G. M. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC). USA: Mosby

5. Guyton &Hall. 2000. Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC6. Keyman, Withfield. 2006. Dietary proteins intake in patients with

hepatic encephalopahaty and chirrosis : current practice in NSW and ACT. Diakses pada tanggal 3 mei 2009 dari : http://www.healthsystem.virginia.edu/internet/digestive

7. Ratnasari, Nurdjanah. 2001. Diet tempe kedelai pada penderita sirosis hepatic sebagai upaya meningkatkan albumin dan perbaikan ensefalopati hepatic. Jurnal Cermin kedokteran. Jakarta : Temprint

8. Maryani, Sutadi. 2003. Sirosis hepatic. Medan : Bagian ilmu penyakit dalam USU.

9.

Rencana Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian. a. Riwayat Kesehatan Sekarang

Mengapa pasien masuk Rumah Sakit dan apa keluahan utama pasien, sehingga dapat ditegakkan prioritas masalah keperawatan yang dapat muncul.

b. Riwayat Kesehatan SebelumnyaApakah pasien pernah dirawat dengan penyakit yang sama atau

penyakit lain yang berhubungan dengan penyakit hati, sehingga menyebabkan penyakit Sirosis hepatis. Apakah pernah sebagai pengguna alkohol dalam jangka waktu yang lama disamping asupan makanan dan perubahan dalam status jasmani serta rohani pasien.

c. Riwayat Kesehatan KeluargaAdakah penyakit-penyakit yang dalam keluarga sehingga

membawa dampak berat pada keadaan atau yang menyebabkan Sirosis hepatis, seperti keadaan sakit DM, hipertensi, ginjal yang ada dalam keluarga. Hal ini penting dilakukan bila ada gejala-gejala yang memang bawaan dari keluarga pasien.

d. Riwayat Tumbuh Kembang Kelainan-kelainan fisik atau kematangan dari perkembangan dan

pertumbuhan seseorang yang dapat mempengaruhi keadaan penyakit, seperti ada riwayat pernah icterus saat lahir yang lama, atau lahir premature, kelengkapan imunisasi, pada form yang tersedia tidak terdapat isian yang berkaitan dengan riwayat tumbuh kembang.

e. Riwayat Sosial EkonomiApakah pasien suka berkumpul dengan orang-orang sekitar yang

pernah mengalami penyakit hepatitis, berkumpul dengan orang-orang yang dampaknya mempengaruhi perilaku pasien yaitu peminum alcohol, karena keadaan lingkungan sekitar yang tidak sehat.

f. Riwayat Psikologi

Bagaimana pasien menghadapi penyakitnya saat ini apakah pasien dapat menerima, ada tekanan psikologis berhubungan dengan sakitnya. Kita kaji tingkah laku dan kepribadian, karena pada pasien dengan sirosis hepatis dimungkinkan terjadi perubahan tingkah laku dan kepribadian, emosi labil, menarik diri, dan depresi. Fatique dan letargi dapat muncul akibat perasaan pasien akan sakitnya. Dapat juga terjadi gangguan body image akibat dari edema, gangguan integument, dan terpasangnya alat-alat invasive (seperti infuse, kateter). Terjadinya perubahan gaya hidup, perubaha peran dan tanggungjawab keluarga, dan perubahan status financial (Lewis, Heitkemper, & Dirksen, 2000).

Pemeriksaan Fisik

a. Kesadaran dan keadaan umum pasienPerlu dikaji tingkat kesadaran pasien dari sadar – tidak sadar

(composmentis – coma) untuk mengetahui berat ringannya prognosis penyakit pasien, kekacuan fungsi dari hepar salah satunya membawa dampak yang tidak langsung terhadap penurunan kesadaran, salah satunya dengan adanya anemia menyebabkan pasokan O2 ke jaringan kurang termasuk pada otak.

b. Tanda – tanda vital dan pemeriksaan fisik Kepala – kakiTD, Nadi, Respirasi, Temperatur yang merupakan tolak ukur dari

keadaan umum pasien / kondisi pasien dan termasuk pemeriksaan dari kepala sampai kaki dan lebih focus pada pemeriksaan organ seperti hati, abdomen, limpa dengan menggunakan prinsip-prinsip inspeksi, auskultasi, palpasi, perkusi), disamping itu juga penimbangan BB dan pengukuran tinggi badan dan LLA untuk mengetahui adanya penambahan BB karena retreksi cairan dalam tubuh disamping juga untuk menentukan tingakat gangguan nutrisi yanag terjadi, sehingga dapat dihitung kebutuhan Nutrisi yang dibutuhkan.

c. Hati : perkiraan besar hati, bila ditemukan hati membesar tanda awal adanya cirosis hepatis, tapi bila hati mengecil prognosis kurang baik, konsistensi biasanya kenyal / firm, pinggir hati tumpul dan ada nyeri tekan pada perabaan hati. Sedangkan pada pasien Tn.MS ditemukan adanya pembesaran walaupun minimal (USG hepar). Dan menunjukkan sirosis hati dengan hipertensi portal.

d. Limpa: ada pembesaran limpa, dapat diukur dengan 2 cara :

Schuffner, hati membesar ke medial dan ke bawah menuju umbilicus (S-I-IV) dan dari umbilicus ke SIAS kanan (S V-VIII)

Hacket, bila limpa membesar ke arah bawah saja.e. Pada abdomen dan ekstra abdomen dapat diperhatikan adanya vena

kolateral dan acites, manifestasi diluar perut: perhatikan adanya spinder nevi pada tubuh bagian atas, bahu, leher, dada, pinggang, caput medussae dan tubuh bagian bawah, perlunya diperhatikan adanya eritema palmaris, ginekomastia dan atropi testis pada pria, bias juga ditemukan hemoroid.

Masalah Keperawatan yang Muncul

1. Perubahan status nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan gangguan gastrointestinal.

2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan dan penurunan berat badan.

3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan pembentukan edema.

Diagnosa Keperawatan 1. :Perubahan status nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan intake yang tidak adekuat (anoreksia, nausea, vomitus)Tujuan :

Kriteria hasil :

Intervensi RasionalKaji intake diet, Ukur pemasukan diit, timbang BB tiap minggu.

Membantu dalam mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan diet. Kondisi fisik umum, gejala uremik (mual, muntah, anoreksia, dan ganggguan rasa) dan pembatasan diet dapat mempengaruhi intake makanan, setiap kebutuhan nutrisi diperhitungan dengan tepat agar kebutuhan sesuai dengan kondisi pasien,

Berikan makanan sedikit dan sering sesuai dengan diet.

Tawarkan perawatan mulut (berkumur/gosok gigi) dengan larutan asetat 25 % sebelum makan. Berikan permen karet, penyegar mulut diantara makan.

Identifikasi makanan yang disukai termasuk kebutuhan kultural.

Motivasi pasien untuk menghabiskan diet, anjurkan makan-makanan lunak.

Berikan bahan penganti garam pengganti garam yang tidak mengandung amonium.

Berikan diet 1700 kkal (sesuai terapi) dengan tinggi serat dan tinggi karbohidrat.

Berikan obat sesuai dengan indikasi : Tambahan vitamin, thiamin, besi, asam folat dan Enzim pencernaan.

Kolaborasi pemberian antiemetik

BB ditimbang untuk mengetahui penambahan dan penuruanan BB secara periodik.

Meminimalkan anoreksia dan mual sehubungan dengan status uremik.Membran mukosa menjadi kering dan pecah.

Perawatan mulut menyejukkan, dan membantu menyegarkan rasa mulut, yang sering tidak nyaman pada uremia dan pembatasan oral. Pencucian dengan asam asetat membantu menetralkan ammonia yang dibentuk oleh perubahan urea (Black, & Hawk, 2005).

Jika makanan yang disukai pasien dapat dimasukkan dalam perencanaan makan, maka dapat meningkatkan nafsu makan pasien.

Membantu proses pencernaan dan mudah dalam penyerapan makanan, karena pasien mengalami gangguan sistem pencernaan.

Garam dapat meningkatkan tingkat absorsi dan retensi cairan, sehingga perlu mencari alternatif penganti garam yang tepat.

Pengendalian asupan kalori total untuk mencapai dan mempertahankan berat badan sesuai dan pengendalian kadar glukosa darah Hati yang rusak tidak dapat menyimpan Vitamin A, B kompleks, D dan K, juga terjadi kekurangan besi dan asam folat yang menimbulkan anemia.

Dan Meningkatkan pencernaan lemak dan dapat menurunkan diare.

untuk menghilangkan mual / muntah dan dapat meningkatkan pemasukan oral.

Diagnosa Keperawatan 2. :Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan dan penurunan berat badan.Tujuan : Peningkatan energi dan partisipasi dalam aktivitas.

Kriteria hasil :

Intervensi RasionalTawarkan diet tinggi kalori, tinggi protein (TKTP).

Berikan suplemen vitamin (A, B kompleks, C dan K)

Motivasi pasien untuk melakukan latihan yang diselingi istirahat

Motivasi dan bantu pasien untuk melakukan latihan dengan periode waktu yang ditingkatkan secara bertahap.

Memberikan kalori bagi tenaga dan protein bagi proses penyembuhan.

Memberikan nutrien tambahan

Menghemat tenaga pasien sambil mendorong pasien untuk melakukan latihan dalam batas toleransi pasien.

Memperbaiki perasaan sehat secara umum dan percaya diri.

Diagnosa Keperawatan 3. :Gangguan integritas kulit berhubungan dengan pembentukan edema.Tujuan : Integritas kulit baik

Kriteria hasil :

Intervensi RasionalBatasi natrium seperti yang diresepkan

Berikan perhatian dan perawatan yang cermat pada kulit.

Ubah posisi tidur pasien dengan sering.

Timbang berat badan dan catat asupan serta haluaran cairan setiap hari.

Meminimalkan pembentukan edema.

Jaringan dan kulit yang edematus mengganggu suplai nutrien dan sangat rentan terhadap tekanan serta trauma.

Meminimalkan tekanan yang lama dan meningkatkan mobilisasi edema.

Memungkinkan perkiraan status cairan dan pemantauan terhadap

Lakukan latihan gerak secara pasif, tinggikan ekstremitas edematus

Letakkan bantalan busa yang kecil dibawah tumit, maleolus dan tonjolan tulang lainnya.

adanya retensi serta kehilangan cairan dengan cara yang paling baik.

Meningkatkan mobilisasi edema.

Melindungi tonjolan tulang dan meminimalkan trauma jika dilakukan dengan benar.

DAFTAR PUSTAKA

10. Black & Hawks. 2005. Medical surgical nursing : Clinical management for positive outcome. St.Louis : Elvier Saunders

11. Brunner & Suddarth. 2008. Textbook of medical surgical nursing, eleventh edition. Philadelpia : Lippincott William & Wilkins.

12. Johnson, M. et.al. 2000. Nursing Outcome Classification (NOC) 2nd ed. USA: Mosby

13. McCloskey, J. C. & Bulechek, G. M. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC). USA: Mosby

14. Guyton &Hall. 2000. Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC15. Keyman, Withfield. 2006. Dietary proteins intake in patients with

hepatic encephalopahaty and chirrosis : current practice in NSW and ACT. Diakses pada tanggal 3 mei 2009 dari : http://www.healthsystem.virginia.edu/internet/digestive

16. Ratnasari, Nurdjanah. 2001. Diet tempe kedelai pada penderita sirosis hepatic sebagai upaya meningkatkan albumin dan perbaikan ensefalopati hepatic. Jurnal Cermin kedokteran. Jakarta : Temprint

17. Maryani, Sutadi. 2003. Sirosis hepatic. Medan : Bagian ilmu penyakit dalam USU.

18. Krenitsky. 2002. Nutrition for patient with hepatic failure. Diakses tanggal 3 mei 2009 Dari http://www.mja.com.au/public/issues/185_10_201106/hey10248_fm.pdf

19. Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. (2001). Keperawatan medikal bedah 2. (Ed 8). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC)

20. Doenges, Marilynn E, Mary Frances Moorhouse dan Alice C. Geisser. (1999). Rencana asuhan keperawatan : pedoman untuk

perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).

21. Tjokronegoro dan Hendra Utama. (1996). Ilmu penyakit dalam jilid 1. Jakarta: FKUI.

22. Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. (1994). Patofisiologi, konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta: Penerbit EGC.

23. Soeparman. 1987. Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta : FKUI.24. Alexander, Fawcett, Runciman. (2000). Nursing Practice Hospita