39
TUGAS MEDIKOLEGAL KELOMPOK C1 ARZIA PRAMADI RAHMAN I GDE ARIANA IDA MADE HRISIKESA WJG IVAN APRIAN AKBAR LAILI KHAIRANI L. MUH. NUH

TUGAS MEDIKOLEGAL

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ngv

Citation preview

Page 1: TUGAS MEDIKOLEGAL

TUGAS MEDIKOLEGAL

KELOMPOK C1ARZIA PRAMADI RAHMAN

I GDE ARIANA

IDA MADE HRISIKESA WJG

IVAN APRIAN AKBAR

LAILI KHAIRANI

L. MUH. NUH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM2010

Page 2: TUGAS MEDIKOLEGAL

Kasus 1

Seorang wanita berusia 20 tahun datang ke praktek dr.Lalu untuk meminta visum

atas kejadian penganiayaan yang dilakukan suaminya. Setelah melalui

pemeriksaan yang teliti, Dr.Lalu yang baru lulus dan belum mempunyai STR,

berhasil menyimpulkan bahwa luka pukulan ke mata kanan wanita tersebut

menyebabkan perdarahan didalam bola mata. Keadaan yang demikian dapat

mengganggu fungsi penglihatan mata kanan sehingga dapat dikategorikan

sebagai luka berat sesuai Pasal 90 KUHP.Pertanyaan :

1. Apakah telah terpenuhi sarat formal?

2. Apakah telah terpenuhi sarat materiel?

3. Bagaimanakah prosedur permintaan visum et repertum korban KDRT

berdasarkan KUHAP dan UU Penghapusan KDRT?

4. Bagaimanakah sistematika visum et repertum pada korban hidup yang

mengalami cedera mata?

JAWAB

1. Sarat Formal

Dalam kasus ini sarat formal masih belum terpenuhi. Jadi korban disini meiliki

status tetap sebagai pasien, bukan sebagai barang bukti. Hal ini dapat kita

lihat pada KUHAP pasal 133 ayat 1 dan 2;

” (1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban

baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan

tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli

kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. ”

” (2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan

secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan

luka atau

pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.

Page 3: TUGAS MEDIKOLEGAL

Jadi dari KUHAP tersebut dapat kita lihat bahwa yang berhak meminta visum

et repertum adalah penyidik atau hakim (dijelaskan pada pasal 180). Oleh

karena ini permintaan pasien untuk dilakukan visum et repertum disini tentu

tidak memenuhi sarat formal.

Akan tetapi pada praktik sehari-hari tidak dapat dihindari pasien yang

langsung datang ke dokter baru melaporkan kejadian tersebut ke penyidik,

yang artinya surat permintaan visum et repertum akan datang terlambat,hal ini

tidak mejadi masalah selama keterlambatan ini beralasan dan dapat diterima,

misalnya karena sarana komunikasi yang kurang. Untuk itu terdapat beberapa

kondisi yang perlu diperhatikan dalam penanganan di Rumah Sakit atau UGD;

1. Setiap pasien dengan trauma

2. Setiap pasien dengan keracunan/diduga keracunan

3. Pasien tidak sadar dengan riwayat trauma yang tidak jelas

4. Pasien dengan kejahatan kesusilaan/perkosaan

5. Pasien tanpa luka/cedera dengan membawa surat permintaan visum

Pada kondisi-kondisi ini dilakukan pengkhususan pada pembuatan rekam

medisnya, berdasarkan temuan-temuan yang ada, kemudian rekam medis

tersebut diberikan sampul yang berbeda atau diberikan tanda serta dipisahkan

dengan pasien-pasien lainnya.

Kemudian kalau kita tinjau dari UU penghapusan KDRT, maka sarat formal ini

juga masih belum dapat terpenuhi, hal ini merujuk pada 21 ayat 2;

” Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di sarana

kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.”

Dalam pasal 21 disebutkan bahwa seorang dokter dalam memberikan

pelayanan kesehatan kepada korban seperti pada kasus ini harus dilakukan di

sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah atau masyarakat jadi

Page 4: TUGAS MEDIKOLEGAL

masih dalam suatu institusi atau lembaga, tidak dapat dilakukan dalam praktek

sehari-hari.

2. Sarat Materil

Yang menjadi masalah utama dalam sarat materil ini yaitu bagaimana

kompetensi dan profesionalitas seorang dokter dalam profesinya. Sorotan

utama dalam kasus ini yaiitu dr. Lalu ini masih belum memiliki STR, dimana

STR ini diatur dalam UU praktek kedokteran dan KODEKI sebagai berikut;

UU praktik kedokteran Indonesia

Pasal 29

Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di

Indonesia wajib memiliki surat tanda registrasi dokter dan surat tanda

registrasi dokter gigi.

Pasal 35

(1) Dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi mempunyai

wewenang melakukan praktik kedokteran sesuai dengan pendidikan dan

kompetensi yang dimiliki, yang terdiri atas:

a. mewawancarai pasien;

b. memeriksa fisik dan mental pasien;

c. menentukan pemeriksaan penunjang;

d. menegakkan diagnosis;

e. menentukan penatalaksanaan dan pengobatan pasien;

f. melakukan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi;

g. menulis resep obat dan alat kesehatan;

Page 5: TUGAS MEDIKOLEGAL

h. menerbitkan surat keterangan dokter atau dokter gigi;

i. menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan; dan

j. meracik dan menyerahkan obat kepada pasien, bagi yang praktik di daerah

terpencil yang tidak ada apotek.

(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kewenangan

lainnya diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.

Pasal 38

(1) Untuk mendapatkan surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36,

dokter atau dokter gigi harus :

a. memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter

gigi yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 31,

dan Pasal 32;

b. mempunyai tempat praktik; dan

c. memiliki rekomendasi dari organisasi profesi.

(2) Surat izin praktik masih tetap berlaku sepanjang :

a. surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi masih

berlaku; dan

b. tempat praktik masih sesuai dengan yang tercantum dalam surat izin

praktik.

KODEKI

Pasal 7

Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa

sendiri kebenarannya

Page 6: TUGAS MEDIKOLEGAL

Pasal 7a

Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis

yang kompeten dengan kebebasan medis dan moral sepenuhnya, disertai rasa

kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia

Pasal 7b

Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan

sejawatnya , dan berupaya mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki

kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau melakukan penipuan atau

penggelapan dalam menangani pasien.

Pasal 7c

Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien , hak-hak sejawatnya, dan hak

tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien

Pasal 7d

Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup

makhluk insani

Dari pasal-pasal di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa sebenarnya dr.Lalu

ini masih belum boleh membuka praktek sendiri karna memang surat izin

praktik sendiri belum bisa dimiliki kalau belum memiliki STR. Selain itu, untuk

setiap tindakan seperti disebutkan dalam pasal 35 ayat 1 masih belum

mendapatkan suatu legalitas termasuk salah satunya yaitu membuat suatu

visum et repertum. Lebih jauh lagi pada KODEKI juga diatur beberapa hal

terkait beberapa kewajiban dokter dalam bersikap jujur, menghormati hak

pasien, sejawat, serta hak tenaga kesehatan lain serta harus tetap menjaga

kepercayaan pasien, yang artinya melakukan tindakan praktek atau pada kasus

ini membuat suatu visum et repartum tanpa adanya STR melanggar

kewajiban-kewajiban sepeti tersebut dalam KODEKI tersebut.

Dari penjelasan tersebut dapat kita simpulkan bahwa sarat materil pada kasus

ini juga masih belum terpenuhi.

Page 7: TUGAS MEDIKOLEGAL

3. Prosedur permintaan visum et repertum

Standar Pengajuan Visum et Repertum berdasarkan KUHAP

1. Ketentuan standar dalam penyusunan visum et repertum korban hidup

a. Pihak yang berwenang meminta keterangan ahli menurut KUHAP pasal 133

ayat (1) adalah penyidik yang menurut PP 27/1983 adalah Pejabat Polisi

Negara RI. Sedangkan untuk kalangan militer maka Polisi Militer (POM)

dikategorikan sebagai penyidik.

b. Pihak yang berwenang membuat keterangan ahli menurut KUHAP pasal 133

ayat (1) adalah dokter dan tidak dapat didelegasikan pada pihak lain.

c. Prosedur permintaan keterangan ahli kepada dokter telah ditentukan bahwa

permintaan oleh penyidik harus dilakukan secara tertulis yang secara tegas

telah diatur dalam KUHAP pasal 133 ayat (2).

d. Penyerahan surat keterangan ahli hanya boleh dilakukan pada Penyidik yang

memintanya sesuai dengan identitas pada surat permintaan keterangan ahli.

Pihak lain tidak dapat memintanya.

2. Pihak yang terlibat dalam kegiatan pelayanan forensik klinik

a. Dokter

b. Perawat

c. Petugas Administrasi

3. Tahapan-tahapan dalam pembuatan visum et repertum pada korban hidup

a. Penerimaan korban yang dikirim oleh Penyidik.

Yang berperan dalam kegiatan ini adalah dokter, mulai dokter umum sampai

dokter spesialis yang pengaturannya mengacu pada S.O.P. Rumah Sakit

tersebut. Yang diutamakan pada kegiatan ini adalah penanganan

kesehatannya dulu, bila kondisi telah memungkinkan barulah ditangani aspek

medikolegalnya. Tidak tertutup kemungkinan bahwa terhadap korban dalam

penanganan medis melibatkan berbagai disiplin spesialis.

b. Penerimaan surat permintaan keterangan ahli/visum et revertum

Page 8: TUGAS MEDIKOLEGAL

Adanya surat permintaan keterangan ahli/visum et repertum merupakan hal

yang penting untuk dibuatnya visum et repertum tersebut. Dokter sebagai

penanggung jawab pemeriksaan medikolegal harus meneliti adanya surat

permintaan tersebut sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini merupakan aspek

yuridis yang sering menimbulkan masalah, yaitu pada saat korban akan

diperiksa surat permintaan dari penyidik belum ada atau korban datang

sendiri dengan membawa surat permintaan keterangan ahli/ visum et

repertum.

c. Pemeriksaan korban secara medis

Tahap ini dikerjakan oleh dokter dengan menggunakan ilmu forensik yang

telah dipelajarinya. Namun tidak tertutup kemungkinan dihadapi kesulitan

yang mengakibatkan beberapa data terlewat dari pemeriksaan. Ada

kemungkinan didapati benda bukti dari tubuh korban misalnya anak peluru,

dan sebagainya. Benda bukti berupa pakaian atau lainnya hanya diserahkan

pada pihak penyidik. Dalam hal pihak penyidik belum mengambilnya maka

pihak petugas sarana kesehatan harus menyimpannya sebaik mungkin agar

tidak banyak terjadi perubahan. Status benda bukti itu adalah milik negara,

dan secara yuridis tidak boleh diserahkan pada pihak keluarga/ahli warisnya

tanpa melalui penyidik.

d. Pengetikan surat keterangan ahli/visum et repertum

Pengetikan berkas keterangan ahli/visum et repertum oleh petugas

administrasi memerlukan perhatian dalam bentuk/formatnya karena ditujukan

untuk kepentingan peradilan. Misalnya penutupan setiap akhir alinea dengan

garis, untuk mencegah penambahan kata-kata tertentu oleh pihak yang tidak

bertanggung jawab.

e. Penandatanganan surat keterangan ahli / visum et repertum

Undang-undang menentukan bahwa yang berhak menandatanganinya adalah

dokter. Setiap lembar berkas keterangan ahli harus diberi paraf oleh dokter.

f. Penyerahan benda bukti yang telah selesai diperiksa

Benda bukti yang telah selesai diperiksa hanya boleh diserahkan pada

penyidik saja dengan menggunakan berita acara.

g. Penyerahan surat keterangan ahli/visum et repertum.

Page 9: TUGAS MEDIKOLEGAL

Surat keterangan ahli/visum et repertum juga hanya boleh diserahkan pada

pihak penyidik yang memintanya saja. Dapat terjadi dua instansi penyidikan

sekaligus meminta surat visum et repertum.

Standar Pengajuan Visum et Repertum Berdasrkan UU penghapusan

KDRT

Pasal 10

Korban berhak mendapatkan:

a. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat,

lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan

penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;

b. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;

c. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;

d. pendampingan oleh pekerja sosia' dan bantuan hukum pada setiap tingkat

proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

dan

e. pelayanan bimbingan rohani.

Pasal 26

1) Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga

kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian

perkara.

2) Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk

melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik di

tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.

Pasal 17

Dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja sama dengan

tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing

rohani untuk mendampingi korban.

Page 10: TUGAS MEDIKOLEGAL

Pasal 21

1) Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban,tenaga kesehatan

harus:

a. memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya;

b. membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et

repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis

yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti.

2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di sarana

kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.

Keempat pasal di atas merupakan urutan dasar hukum pasien dalam melaporkan

kejadian KDRT yang dialaminya.

Setelah memenuhi hak-hak pada pasal 10, pasien melaporkan secara langsung

kepada kepolisian berdasarkan pasal 26. Kemudian kepolisian bekerjasama dengan

tenaga kesehatan berdasarkan dari pasal 17. Terakhir berdasarkan dari pasal 21,

tenaga kesehatan memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya

dan membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et

repertum atas permintaan penyidik kepolisian.

Jadi berdasarkan dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa korban harus

melaporkan terlebih dahulu kepada penyidik, kemudian penyidik tersebut yang dapat

meminta keterangan kepada ahli, yang mana disini merupakan seorang dokter yang

memiliki keahlian khusus pada bidangnya berdasarkan dari pasal 120 angka 1

KUHAP menyatakan :

“Dalam hal dianggap perlu, penyidik dapat meminta pendapat ahli atau orang yang

memiliki keahlian khusus”.

Menurut pasal 180 angka 1 KUHAP menyatakan :

Page 11: TUGAS MEDIKOLEGAL

“ Dalam hal ini diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di

sidang pengadilan , hakim ketua sidang dapat diminta keterangan ahli dan dapat

pula minta diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan”.

Dari kedua pasal diatas dapat disimpulkan bahwa yang berhak meminta bantuan

dokter sebagai ahli adalah:

1. Penyidik

2. Hakim

4. Sistematika Visum et Repertum pada Korban Hidup Cedera Mata

Setiap visum et repertum secara umum harus memenuhi ketentuan sebagai

berikut:

a) Diketik di atas kertas berkepala surat instansi pemeriksa

b) Bernomor dan bertanggal

c) Mencantumkan kata ”Pro Justitia” di bagian atas kiri (kiri atau tengah)

d) Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar

e) Tidak menggunakan singkatan, terutama pada waktu mendeskripsikan

temuan

Pemeriksaan

f) Tidak menggunakan istilah asing

g) Ditandatangani dan diberi nama jelas

h) Berstempel instansi pemeriksa tersebut

i) Diperlakukan sebagai surat yang harus dirahasiakan

j) Hanya diberikan kepada penyidik peminta visum et repertum. Apabila ada

lebih dari satu instansi peminta, misalnya penyidik POLRI dan penyidik POM,

dan keduanya berwenang untuk itu, maka kedua instansi tersebut dapat

diberi visum et repertum masing-masing asli

k) Salinannya diarsipkan dengan mengikuti ketentuan arsip pada umumnya, dan

disimpan sebaiknya hingga 20 tahun

Page 12: TUGAS MEDIKOLEGAL

Pada setiap visum et repertum baik itu untuk cedera mata ataupun untuk

cedera lainnya ummnya tidak memiliki perbedaan, dimana strukturnya sebagai

berikut:

1. Pro Justitia

Kata ini harus dicantumkan di kiri atas, dengan demikian visum et repertum tidak

perlu bermeterai.

CONTOH :

Mataram, 13 Oktober 2010

PRO JUSTITIA

VISUM ET REPERTUM

No. /TUM/VER/VIII/2008

2. Pendahuluan

Pendahuluan memuat : identitas pemohon visum et repertum, tanggal dan pukul

diterimanya permohonan visum et repertum, dentitas dokter yang melakukan

pemeriksaan, identitas objek yang diperiksa : nama, jenis kelamin, umur, bangsa,

alamat, pekerjaan, kapan dilakukan pemeriksaan, dimana dilakukan pemeriksaan,

alasan dimintakannya visum et repertum, rumah sakit tempat korban dirawat

sebelumnya, pukul korban meninggal dunia, keterangan mengenai orang yang

mengantar korban ke rumah sakit.

CONTOH :

Page 13: TUGAS MEDIKOLEGAL

Yang bertandatangan di bawah ini, Dedi Afandi, dokter spesialis forensik pada

RSUD Arifin

Achmad, atas permintaan dari kepolisian sektor.........dengan suratnya

nomor..........................tertanggal....................maka dengan ini menerangkan bahwa

pada tanggal..........pukul...........bertempat di RSUD Arifin Achmad, telah melakukan

pemeriksaan

korban dengan nomor registrasi..................yang menurut surat tersebut adalah :

Nama :

Umur :

Jenis Kelamin :

Warga negara :

Pekerjaan :

Agama :

Alamat :

3.Pemberitaan (Hasil Pemeriksaan)

Memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai dengan apa yang diamati terutama

dilihat dan ditemukan pada korban atau benda yang diperiksa. Pemeriksaan

dilakukan dengan sistematis dari atas ke bawah sehingga tidak ada yang tertinggal.

Deskripsinya juga tertentu yaitu mulai dari letak anatomisnya, koordinatnya (absis

adalah jarak antara luka dengan garis tengah badan, ordinat adalah jarak antara

luka dengan titik anatomis permanen yang Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan II

FK UR, September 2008 terdekat), jenis luka atau cedera, karakteristiknya serta

ukurannya. Rincian ini terutama penting pada pemeriksaan korban mati yang pada

saat persidangan tidak dapat dihadirkan kembali.

Page 14: TUGAS MEDIKOLEGAL

Pada pemeriksaan korban hidup, bagian ini terdiri dari :

a) Hasil pemeriksaan yang memuat seluruh hasil pemeriksaan, baik

pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan

penunjang lainnya. Uraian hasil pemeriksaan korban hidup berbeda dengan

pada korban mati, yaitu hanya uraian tentang keadaan umum dan perlukaan

serta hal-hal lain yang berkaitan dengan tindak pidananya (status lokalis).

b) Tindakan dan perawatan berikut indikasinya, atau pada keadaan sebaliknya,

alasan tidak dilakukannya suatu tindakan yang seharusnya dilakukan. Uraian

meliputi juga semua temuan pada saat dilakukannya tindakan dan perawatan

tersebut. Hal ini perlu diuraikan untuk menghindari kesalahpahaman tentang-

tepat tidaknya penanganan dokter dan tepat-tidaknya kesimpulan yang

diambil.

c) Keadaan akhir korban, terutama tentang gejala sisa dan cacat badan

merupakan hal penting guna pembuatan kesimpulan sehingga harus

diuraikan dengan jelas.

Pada bagian pemberitaan memuat 6 unsur yaitu anamnesis, tanda vital, lokasi luka

pada tubuh, karakteristik luka, ukuran luka, dan tindakan pengobatan atau

perawatan yang

diberikan.

CONTOH :

HASIL PEMERIKSAAN :

1. Korban datang dalam keadaan sadar dengan keadaan umum sakit berat

mngeluh sakit kepala dan mata yang berat serta sempat pingsan setelah

pemukulan

2. Pada korban ditemukan

--------------------------------------------------------------------------

Page 15: TUGAS MEDIKOLEGAL

a. Pada belakang kepala kiri, dua sentimeter dan garis pertengahan

belakang, empat senti meter diatas batas dasar tulang, dinding luka kotor,

sudut luka tumpul, berukuran tiga senti meter kali satu senti meter,

disekitarnya dikelilingi benjolan berukuran empat sentimeter kali empat

senti meter ------------------------------------

b. Pada mata kiri, ditemukan adanya pembengkakan pada kelopak

mata,lebam disekitar mata, ditemukan luka terbuka dipelipis mata kiri

dengan dinding luka kotor, sudut luka tajam berukuran tiga sentimeter

kali satu meter------------------------------------------------

c. Korban dirujuk ke dokter syaraf dan pada pemeriksaan didapatkan adanya

cedera kepala ringan.

---------------------------------------------------------------------------------

d. Korban dirujuk ke dokter mata dan pada pemeriksaan ditemukan

adanya ablasio retina dan robekan bola mata-----------

3. Pemeriksaan foto Rontgen kepala posisi depan dan samping tidak

menunjukkan adanya patah tulang. Pemeriksaan foto rontgen lengan atas kiri

menunjukkan adanya patah tulang lengan atas pada pertengahan.

-------------------------------------------------

4. Terhadap korban dilakukan penjahitan dan perawatan luka, dan pengobatan.

----------

5. Korban dipulangkan dengan anjuran kontrol seminggu

lagi.--------------------------------

4. Kesimpulan

Memuat hasil interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dari

fakta yang ditemukan sendiri oleh dokter pembuat visum et repertum, dikaitkan

dengan maksud dan tujuan dimintakannya visum et repertum tersebut. Pada bagian

ini harus memuat minimal 2 unsur yaitu jenis luka dan kekerasan dan derajat

kualifikasi luka.

Page 16: TUGAS MEDIKOLEGAL

CONTOH :

KESIMPULAN :

-------------------------------------------------------------------------------------------

Pada pemeriksaan korban laki-laki berusia tiga puluh empat tahun ini ditemukan

cedera kepala ringan, ditemukan ablasio retina atau retina yang terlepas serta

adanya robekan bola mata. Penyakit ini telah menyebabkan halangan dalam

menjalankan pekerjaan jabatan/pencaharian untuk sementara waktu.----------

5. Penutup

Memuat pernyataan bahwa keterangan tertulis dokter tersebut dibuat dengan

mengingat sumpah atau janji ketika menerima jabatan atau dibuat dengan

mengucapkan sumpah atau janji lebih dahulu sebelum melakukan

pemeriksaan

Dibubuhi tanda tangan dokter pembuat visum et repertum

CONTOH :

Demikianlah visum et repetum ini dibuat dengan sebenarnya dengan menggunakan

keilmuan yang sebaik-baiknya, mengingat sumpah sesuai dengan Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana.

Dokter Pemeriksa

Page 17: TUGAS MEDIKOLEGAL

Kasus 2

Sekelompok pria dewasa sedang berpesta buah durian. Salah satu diantara pria

terseut tersedak oleh biji durian, kemudian dibawa ke UGD RSU A. Dokter umum

tidak mau melakukan tindakan ekstraksi biji durian karena merasa tidak mampu dan

tidak berwenang. Pasien dirujuk ke RSU B. Meskipun telah dilakukan tindakan

ekstraksi oleh dokter THT, pasien mengalami kondisi yang tidak bisa pulih seperti

semula.

Apakah dokter jaga di RSU A telah menyalahi doktrin Good

Samaritan Law??

Good samaritan law merupakan suatu hukum yang melindungi seseorang dalam

melakukan yang secara sadar dengan niat yang tulus dan baik memberikan

pertolongan kepada orang lain yang dalam kondisi gawat darurat (emergency) dan.

Apabila orang yang ditolong tersebut kemudian mengalami kerugian akibat tidakan

yang dilakukan oleh penolong maka penolong tidak dapat dipersalahkan secara

hukum. Jadi, jika seorang dokter atau petugas kesehatan tidak dapat dipersalahkan

jika menolong orang lain yang dalam keadaan darurat atau bahaya, sepanjang

pertolongan yang diberikan pantas atau layak.Hukum ini tidak berlaku bila :

Penolong memiliiki motif lain selain keinginan untuk menolong, misalnya penolong mengharapkan imbalan.

Penolong merupakan petugas kesehatan yang memiliki kompetensi dan pertolongan dilakukan di fasilitas kesehatan yang memadai.

Dalam kasus ini, dokter A tidak melakukan pelanggaran terhadap good samaritan

law karena dokter A tidak melakukan tindakan apapun yang menimbulkan kerugian

pada pasien. Disamping itu, dokter A juga tidak memiliki kompetensi yang sesuai

dengan keadaan pasien.

Tindakan dokter A yang langsung merujuk pasien kepada dokter spesialis yang lebih

memiliki kompetensi untuk melakukan tindakan pada pasien sesuai dengan keadaan

yang dialaminya. Tindakan yang dilakukan oleh dokter A sudah sesuai dengan kode

etik kedokteran Indonesia pasal 10 & 13, dan UU no. 29 tahun 2004 tentang praktik

kedokteran pasal 51 yang berbunyi :

Page 18: TUGAS MEDIKOLEGAL

Pasal 10 kode etik kedokteran Indonesia

“Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu

dan keterampilannya untuk kepetingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu

melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas dasar

persetujuan pasien, ia wajib merujuk kepada dokter yang memiliki keahlian

dalam penyakit tersebut”

Pasal 13 kode etik kedokteran Indonesia

“setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas

perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin bila ada orang lain yang bersedia dan

mampu memberikannya”

Pasal 51 UU no. 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran terutama

untuk poin b dan d :

“Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai

kewajiban :

a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan

standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;

b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai

keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu

melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;

c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien,

bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;

d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali

bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya;

dan

e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu

kedokteran atau kedokteran gigi.”

Dalam kasus ini, pasien mengalami sumbatan jalan napas oleh karena benda asing.

Tindakan ekstraksi benda asing pada saluran napas termasuk level kompetensi 2

bagi dokter umum yang berarti dokter tesebut pernah melihat atau didemonstrasikan

mengenai keterampilan tersebut. Jadi dokter umum tidak berwenang untuk

Page 19: TUGAS MEDIKOLEGAL

melakukan tindakan ekstraksi benda asing pada pasien. Jadi keputusan dokter A

untuk merujuk pasien ke dokter yang lebih kompeten sudah benar. Namun dokter A

juga dapat dikatan melakukan kelalaian jika dalam proses perujukan pasien dokter A

tidak memenuhi standar perujukan yang telah ditentukan, misalnya meminta

persetujuan pasien dan menstabilisasi pasien, serta menyertakan informasi

mengenai penyakit pasien.

Apakah dokter di RSU B telah melakukan kelalaian?? Jelaskan

alasan anda??

Kelalaian medik merupakan salah satu bentuk dari malpraktek medik. Pengertian

kelalaian medik tersirat dalam pengertian malpraktek medik oleh World Medical

Assosiation (WMA) yaitu :

“medical malpractice involve the physician’s failure to conform to the standar of care

for treatment of patient’s condition, or lack of skill, or negligence in care providing to

the patient, which is the direct cause of the injury to the patient.”

Jadi menurut pengertian tersebut, seorang dokter dikatakan melakukan malpraktek

medik jika dokter tersebut melakukan tindakan yang menyebabkan kerugian pada

pasien yang dikarenakan :

Melakukan terapi yang tidak sesuai dengan kondisi yang dialami pasien

Kurangnya kemampuan (skill) dokter tersebut

Melakukan kelalaian dalam melakukan pelayanan pada pasien.

Tidak semua kegagalan medik diakibatkan oleh malpraktek medik. Menurut WMA

kegagalan medik yang terjadi karena sesuatu yang tidak dapat di duga sebelumnya

(unforseeable) dan tidak disebabkan oleh kurangnya kemampuan dan pengetahuan

dokter dalam terapi tidak termasuk dalam malpraktek medik dan dokter tersbut tidak

harus mempertanggung jawabkannya. Hal ini tersirat dalam pernyataan WMA

sebagai berikut :

Page 20: TUGAS MEDIKOLEGAL

“An injury occuring in the course of medical treatment which could not be foreseen

and was not the result of the lack of skill or knowledge on the part of the treating

physician is untoward result, for which the physician should not bear any liability”

Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang melakukan sesuatu yang tidak

seharusnya dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan

oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan atau situasi

yang sama. Bentuk kelalaian yang dapat dihukum adalah kelalaian yang dilakukan

oleh seseorang yang seharusnya (berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati

dan telah mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Jadi jika seorang dokter

melakukan suatu tindakan yang sesuai dengan tingkat kompetensinya kepada

seorang pasien, namun selanjutnya menyebabkan kerugian pada pasien maka

dokter tersebut dapat dikatakan melakukan kelalaian medik .

Dalam suatu perbuatan atau tindakan medik dikatakan sebagai kelalaian medis

apabila memenuhi 4 unsur kelalaian yaitu :

Adanya hubungan dokter-pasien. Dalam hal ini dokter memiliki kewajiban untuk

melakukan tindakan atau tidak melakukan tindakan sesuai dengan kondisi

pasien.

Dokter melakukan penyimpangan kewajiban karena pelayanan yang ia berikan

tidak sesuai dengan standar pemberian pelayanan. Dalam hal ini harus

diperhatikan siapa dokter pemberi pelayanan, pada situasi seperti apa, dan pada

kondisi yang bagaimana pelayanan tersebut diberikan.

Pelanggaran tersebut telah menyebabkan kerugian kepada pasien yang

seharusnya dapat diperkirakan dan secara wajar dapat dicegah.

Adanya hubungan kausa langsung antara penyimpangan kewajiban dengan

kerugian yang dialami pasien.

Jadi dalam skenario ini belum dapat ditentukan apakah dokter B melakukan

kelalaian atau tidak karena tidak ada data mengenai apakah dokter tersebut

melakukan penyimpangan kewajiban yang atau tidak dan belum ada pembuktian

adanya hubungan sebab-akibat langsung antara tindakan yang dilakukan oleh

dokter B dengan kerugian yang dialami pasien.

Page 21: TUGAS MEDIKOLEGAL

Dokter B dapat dikatakan melakukan kelalaian jika keadaan yang dialami

pasien disebabkan oleh tindakan yang dilakukan dokter B yang diakibatkan

oleh kurangnya kemampuan (skill) yang dimilki oleh dokter B dalam

melakukan ekstraksi biji durian pada saluran napas pasien atau oleh

kesalahan dokter B dalam memilih terapi yang tepat sesuai dengan kondisi

pasien.

Dokter B dikatakan tidak melakukan kelalaian jika keadaan yang dialami

pasien merupakan komplikasi dari keadaan pasien yang tidak dapat diduga

sebelumnya atau keadaan tersebut merupakan bagian dari perjalanan

alamiah dari penyakit yang dialami pasien dan bukan disebabkan oleh

kurangnya kemampuan (skill) dokter B dalam melakukan tindakan medik

yang sesuai dengan keadaan pasien.

Page 22: TUGAS MEDIKOLEGAL

Kasus 3

Seorang anak berusia 5 tahun mengalami katarak. 2 tahun yang lalu, anak tersebut

dibawa kontrol ke dokter puskesmas. Oleh dokter disarankan untuk menunda

operasi hingga usia anak dewasa dan katarak sudah ‘matang’. Namun sebulan

terakhir, anak tersebut sering kali terjatuh karena tidak bisa melihat. Dokter mata

yang melakukan pemeriksaan mengatakan bahwa retina mata si anak telah

mengalami atropi. Dengan demikian pasien telah mengalami kebutaan.

Apakah dokter puskesmas telah melakukan kelalaian?

Ya, dokter puskesmas tersebut dapat disebut melakukan kelalaian dalam penanganan

penyakit pasien. Katarak Juvenile masuk dalam kategori SKDI 3A. Hal ini berarti dokter

mampu mendiagnosis dan memberikan tatalaksana awal serta dapat merujuknya ke dokter

spesialis yang sesuai dengan penyakitnya. Namun, dalam kenyataannya dokter puskesmas

tersebut tidak merujuk pasien ke dokter spesialis mata. Sehingga akibat kelalaian ini pasien

tidak tahu akan kondisi penyakitnya dengan jelas dan bagaimana perjalanannya.

Seperti yang tercantum dalam pasal 45 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran

atau Kedokteran Gigi dalam UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN menyatakan bahwa setiap

tindakan yang dilakukan oleh dokter wajib mendapat persetujuan pasien dan pasien

juga berhak mendapatkan penjelasan atas tindakan tersebut.

Pasal 45 (1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan. (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap. (3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :

a. diagnosis dan tata cara tindakan medis; b. tujuan tindakan medis yang dilakukan; c. alternatif tindakan lain dan risikonya; d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan. (5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. (6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.

Page 23: TUGAS MEDIKOLEGAL

Begitu pula pasal tentang Perlindungan Pasien dalam UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN

Pasal 56

(1) Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan

pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami

informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap.

(2) Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak

berlaku pada:

a. penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara

cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas;

b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau

c. gangguan mental berat.

(3) Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 58

(1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga

kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat

kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.

(2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi

tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau

pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.

(3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Page 24: TUGAS MEDIKOLEGAL

Apakah kesalahan dalam membuat diagnosa penyakit dapat

dikategorikan sebagai bentuk kelalaian?

Tidak. Dalam kasus ini, dokter puskesmas tidak dapat dikatakan melakukan

malpraktik karena kesalahan diagnosis. Diagnosis yang ditegakan adalah diagnosis

kerja sementara, karena dilihat dari kondisinya untuk menegakan diagnosis kerja

tetap diperlukan pemeriksaan penunjang. Namun, dokter puskesmas sepertinya

tidak melakukan pemeriksaan penunjang tetapi hanya melakukan anamnesis dan

pemeriksaan fisik sehingga diagnosis yang muncul adalah diagnosis kerja

sementara pada tahapan awal.

Berbeda kondisinya bila dokter tersebut telah menegakan diagnosis kerja sebagai

diagnosis tetap. Hal tersebut mungkin bisa dikategorikan sebagai malpraktek,

karena dokter seharusnya melakukan pemeriksaan penunjang yang tepat untuk

menegakan diagnosis yang tepat.

Page 25: TUGAS MEDIKOLEGAL

Kasus 4

Seorang anak menderita penyakit batuk, pilek, panas. Setelah diberi obat yang

berwarna merah, kuning, hijau di puskesmas, sekujur tubuh anak tersebut melepuh.

Kemudian pasien dirujuk ke RSU.

Apakah dokter puskesmas telah melakukan kelalaian?

KODEKI

Pasal 10

Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan

ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan

suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib

merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.

UU PRAKTEK KEDOKTERAN

Pasal 45

(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh

dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.

(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien

mendapat penjelasan secara lengkap.

(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya

mencakup :

a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;

b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;

c. alternatif tindakan lain dan risikonya;

d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan

e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara

tertulis maupun lisan.

Page 26: TUGAS MEDIKOLEGAL

(5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi

harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang

berhak memberikan persetujuan.

(6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran

gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat

(5) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 52

dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:

a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);

b. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;

c. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;

d. menolak tindakan medis; dan

e. mendapatkan isi rekam medis.

UU KESEHATAN no 36 th 2009

Pasal 8

Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk

tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga

kesehatan.

KESIMPULAN

Jadi menurut saya, jika seorang dokter sebelumnya tidak memenuhi hak-hak pasien

seperti mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis, resiko

pengobatan,dan prognosis dari penyakit tersebut, maka dokter tersebut telah

melanggar hak-hak pasien dan dokter tersebut melakukan kesalahan.

Pasien berhak untuk mengetahui tindakan apa saja yang akan dilakukan oleh dokter

terhadapnya dan dokter berkewajiban untuk memenuhi hak-hak pasien.

Sebaliknya jika dokter sebelumnya sudah menjelaskan mengenai tentang tindakan

medis, resiko pengobatan,dan prognosis dari penyakit tersebut, maka dokter

Page 27: TUGAS MEDIKOLEGAL

tersebut tidak melakukan pelanggaran hak-hak pasien dan dokter tersebut

melakukan tidak melakukan kesalahan.

Page 28: TUGAS MEDIKOLEGAL

Kasus 5

Seorang istri dokter mengalami kanker nasofaring. Setelah dilakukan operasi,

kondisi pasien semakin memburuk sehingga harus dirawat di ICU dengan ventilator.

Sementara itu, dua buah ventilator yang dimiliki oleh RSU sedang dipakai oleh

pasien lainnya. Satu diantara pasien adalah seorang penderita AIDS yang telah

mengalami kondisi vegetative, sementara yang lain adalah seorang wanita hamil

G1P0A0 yang mengalami eklamsi.

Siapakah diantara ketiga pasien yang patut menggunakan

ventilator?jelaskan alasan Anda!

Dalam kasus ini terdapat 3 pasien yang masing-masing membutuhkan ventilator

untuk membantu pernafasannya dan mempertahankan kehidupannya.

Pasien pertama adalah seorang penderita AIDS yang telah mengalami kondisi

vegetative, dimana pada kondisi ini dapat diartikan pasien telah dalam keadaan

kondisi yang sangat berat, dengan berbagai macam komplikasi yang telah dialami

pasien, sampai membawa pasien dalam keadaan vegetative. Kondisi vegetative

adalah kondisi pasien dimana terjadi telah terjadi penurunan kesadaran, dan pasien

tidak dapat melakukan aktivitas seperti biasanya, atau secara mudah dapat diartikan

sebagai dalam keadaan koma. Dan pada kasus AIDS pasien yang telah dalam

keadaan vegetative state adalah pasien dengan berbagai macam komplikasi yang

semakin memperburuk keadaan pasien. Ditinjau dari keadaan ini prognosis yang

dialami pasien adalah prognosis buruk.

Pasien yang kedua adalah seorang ibu hamil G1P0A0 yang mengalami eklamsi.

Pada pasien ini dibutuhkan ventilator ketika pasien kejang dengan jumlah 4-6

liter/menit. Namun, dalam keadaan eklamsi ini dibutuhkan tindakan induksi

persalinan segera untuk memperbaiki keadaan pasien, berapapun usia kehamilan

pasien tersebut. Maka dilakukan tindakan Secsio Cecarea untuk mengakhiri

kehamilan ibu tersebut. Jika dalam proses persalinan pasien masih tidak sadar,

maka masih dibutuhkan ventilator untuk menunjang pernafasan pasien.

Pasien yang ketiga adalah seorang istri dokter yang mengalami kanker nasofaring

dan telah dioperasi. Berdasarkan tatalaksana sesuai procedural pada kanker

Page 29: TUGAS MEDIKOLEGAL

nasofaring untuk tatalaksana awal dilakukan fisioterapi dan radioterai. Kedua hal

tersbut merupakan tatalaksana yang efektif dilakukan untuk menurunkan

progresifitas perkembangan sel-sel kanker. Untuk operasi pada kanker nasofaring

biasanya dilakukan untuk lesi yang tersisa pasca kemoterapi atau radioterapi.

Dalam kasus ini ketiga pasien membutuhkan ventilator untuk tetap mempertahankan

patensi jalan nafas pasien dan dapat tetap bernafas. Berdasarkan Kode etik

kedokteran Pasal 10 dimana Kewajiban Dokter terhadap Pasien adalah Setiap

dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan menggunakan segala ilmu dan

keterampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu

melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia

wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit

tersebut.

Selain itu berdasarkan Kode Etik Kedokteran Pasal 13 yang menyebutkan Setiap

dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas prikemanusiaan,

kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bersedia dan lebih mampu memberikannya.

Berdasarkan dua pasal Kodeki tersebut, ketiga pasien memiliki kesempatan yang

sama untuk dapat menggunakan ventilator, sedangkan ventilator yang terdapat pada

Rumah Sakit tersebut hanya 2 buah. Dengan memiliki kesempatan yang sama untuk

menggunakan ventilator, maka tindakan yang dilakukan adalah pasien dengan

kanker Nasofaring dilakukan perujukan ke Rumah Sakit terdekat yang memiliki alat

ventilator.

Karena pasien dengan kanker Nasofaring membutuhkan alat ventilator segera,

maka selama perjalanan menuju rumah sakit yang akan dituju pernafasan pasien

dibantuk dengan pemompaan sungkup ventilator, yang dipompa oleh perawat yang

mendampingi menuju rumah sakit yang dituju. Dengan begitu, semua pasien dapat

menggunakan ventilator yang dibutuhkan untuk memperpanjang masa kehidupan

pasien.