Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TINJAUAN YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM
MEMBERIKAN IZIN/DISPENSASI MENIKAH PADA ANAK
DI BAWAH UMUR
(Studi Putusan Nomor 0139/Pdt.P/2016/PA.Sr)
Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata 1
pada Jurusan Hukum Fakultas Hukum
Oleh:
HIMAWAN RONI PRATAMA
C100130181
PROGRAM STUDI HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2020
i
HALAMAN PERSETUJUAN
TINJAUAN YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMBERIKAN
IZIN/DISPENSASI MENIKAH PADA ANAK DI BAWAH UMUR
(Studi Putusan Nomor 0139/Pdt.P/2016/PA.Sr)
PUBLIKASI ILMIAH
oleh:
HIMAWAN RONI PRATAMA
C100130181
Telah diperiksa dan disetujui untuk diuji oleh:
Dosen Pembimbing
Dr. Rizka, S.Ag.,M.H.
ii
HALAMAN PENGESAHAN
TINJAUAN YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM
MEMBERIKAN IZIN/DISPENSASI MENIKAH PADA ANAK DI BAWAH
UMUR (Studi Putusan Nomor 0139/Pdt.P/2016/PA.Sr)
OLEH
HIMAWAN RONI PRATAMA
C100130181
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji
Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari selasa, 22 Februari 2020
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Dewan Penguji:
1. Dr. Rizka, S.Ag.,M.H. (……………………….)
(Ketua Dewan Penguji)
2. (……………………….)
(Anggota I Dewan Penguji)
3. (……………………….)
(Anggota II Dewan Penguji)
Dekan
Prof. Dr. H. Khudzaifah Dimyati, S.H., M.Hum
NIK. 537/NIDN. 0727085803
iii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam publikasi ilmiah ini tidak
terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu
perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau
pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali secara tertulis
diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila kelak terbukti ada ketidakbenaran dalam pernyataan saya di atas,
maka akan saya pertanggungjawabkan sepenuhnya.
Surakarta, 11 Februari 2020
Penulis
HIMAWAN RONI PRATAMA
C100130181
1
TINJAUAN YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM
MEMBERIKAN IZIN/DISPENSASI MENIKAH PADA ANAK DI BAWAH
UMUR (Studi Putusan Nomor 0139/Pdt.P/2016/PA.Sr)
Abstrak
Perkawinan berasal dari kata “Kawin” yang menurut bahasa berarti membentuk
keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.
Berasal dari kata an-nikah yang menurut bahasa berarti mengumpulkan, saling
memasukan, dan wathi atau bersetubuh. Perkawinan dalam istilah agama disebut
“Nikah” adalah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri
antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara
kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu hidup berkeluarga yang diliputi rasa
kasih sayang dan ketentraman (mawaddah warahmah) dengan cara-cara yang
diridhai oleh Allah SWT. Penelitian ini tentang permohonan dispensasi
pernikahan yang dimohonkan oleh Pemohon I dan Pemohon II, para pemohon
meyakini bahwa syarat-syarat untuk melaksanakan pernikahan tersebut baik
menurut ketentuan hukum Islam maupun peraturan perundang-undangan yang
berlaku telah terpenuhi kecuali syarat usia bagi anak pemohon belum mencapai 18
tahun 2 bulan. Namun pernikahan tersebut sangat mendesak untuk tetap
dilangsungkan karena keduanya telah berhubungan sedemikian eratnya, sehingga
Pemohon sangat khawatir akan terjadi perbuatan yang dilarang oleh ketentuan
hukum Islam apabila tidak segera dinikahkan. Salah satu bentuk permasalahan
yang timbul dalam perkawinan adalah tentang penentuan batas umur untuk
melangsungkan perkawinan. Calon mempelai pria maupun wanita tidak bisa
melangsungkan perkawinan karena faktor usia mereka yang belum mencapai
batas minimal yang telah ditetapkan dalam Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi “Perkawinan hanya diizinkan
jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita
sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”. Dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) pasal 15 ayat 2 menegaskan bahwa untuk melangsungkan perkawinan
seorang yang belum mencapai batas usia 21 tahun harus mendapati izin
sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) Undang-undang
Perkawinan Nomor 1 tahun 1974. Sehingga penulis ingin mengetahui apa
pertimbangan hakim dalam membeikan izin/dispensasi menikah pada anak di
bawah umur.
Kata kunci: perkawinan, tinjauan yuridis, dispensasi.
Abstract
Marriage comes from the word "marriage" which according to language means
forming a family with the opposite sex, having sexual relations or having
intercourse. Derived from the word an-marriage which according to language
means to collect, enter each other, and wathi or intercourse. Marriage in religious
terms is called "Marriage" is to make a contract or agreement to bind oneself
between a man and woman to justify sexual relations between the two parties to
realize a family life that is filled with love and peace (mawaddah warahmah) by
2
means of ways that are blessed by Allah SWT. In this research regarding the
marriage dispensation petition filed by Petitioner I and Petitioner II, the
petitioners believe that the conditions for carrying out the marriage both according
to Islamic law and the applicable laws and regulations have been fulfilled unless
the age requirement for the applicant's child has not reached 18 years 2 months.
However, the marriage was very urgent to continue because both of them had
been closely related, so the Petitioner was very worried that an act that was
prohibited by the provisions of Islamic law would be prohibited if it was not
immediately married. One form of problems that arise in marriage is about
determining the age limit for getting married. The prospective bride and groom
can not enter into a marriage because of their age factor that has not reached the
minimum limit set in Article 7 paragraph 1 of Law Number 1 of 1974 concerning
Marriage which reads "Marriage is only permitted if the male has reached the age
of 19 (nine twelve) years and the woman has reached the age of 16 (sixteen) years
". In the Compilation of Islamic Law (KHI) article 15 paragraph 2 emphasizes that
in order to carry out a marriage a person who has not reached the age limit of 21
years must obtain permission as stipulated in article 6 paragraph (2), (3), (4) and
(5) of the Act Marriage Law No. 1 of 1974. So the writer wants to know what the
judge's consideration in giving permission / dispensation to marry a minor.
Keywords: marriage, juridical review, dispensation.
1. PENDAHULUAN
Pernikahan ialah akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan karena ikatan suami istri, dan membatasi hak dan
kewajibannya antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim.
Pernikahan adalah suatu akad antara seorang calon mempelai pria dan calon
mempelai wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak, yang
dilakukan oleh pihak lain (wali) menurut sifat dan syarat yang telah ditetapkan
(syara’) untuk menghalalkan percampuran antara keduanya, sehingga satu sama
lain saling membutuhkan menjadi sekutu sebagi teman hidup dalam berumah
tangga. Manusia merupakan makhluk Allah SWT yang sempurna dibandingkan
dengan makhluk hidup lainnya, namun demikian manusia tidak bisa hidup sendiri
tanpa bantuan orang lain (zoon politicon). Manusia diciptakan oleh Allah SWT
agar beribadah dan bertaqwa kepadaNya, sesuatu hal yang bernilai ibadah salah
satu diantaranya adalah perkawinan. Perkawinan merupakan salah satu peristiwa
yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat dan bagi umat islam
perkawinan merupakan sunatullah dan fitroh setiap manusia. Menurut prof.
3
Scholten yang dikutip oleh R. Soetojo Prawiro Hamidjojo, SH dan Asis Safioedin,
SH (1975:14) mengemukakan perkawinan adalah suatu hubungan antara seorang
pria dan seorang wanita yang hidup bersama dengan kekal yang diakui oleh
negara (Eoh, 2001).
Perkawinan diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Perkawinan menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Basyir, 2014). Dari
pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa perkawinan bukan hanya
mempersatukan dua pasangan manusia, yakni laki-laki dan perempuan, melainkan
mengikatkan tali perjanjian yang suci atas nama Allah (Saebani dan Falah, 2011).
Adapun salah satu bentuk permasalahan yang timbul dalam perkawinan
adalah tentang penentuan batas umur untuk melangsungkan perkawinan. Pada
umumnya perkara dispensasi nikah diajukan terkait dengan masalah sosial
pergaulan remaja yang tidak sehat (Abdullah, 2017). Calon mempelai pria
maupun wanita tidak bisa melangsungkan perkawinan karena faktor usia mereka
yang belum mencapai batas minimal yang telah ditetapkan dalam Pasal 7 ayat 1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi
“Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan
belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 15 ayat 2 menegaskan bahwa untuk
melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai batas usia 21 tahun
harus mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan
(5) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974.
Hukum perkawinanan dalam Agama Islam mempunyai kedudukan yang
sangat penting, oleh karena itu peraturan-peraturan tentang perkawinan ini diatur
dan diterangkan dengan jelas dan terperinci. Adapun pentingnya bagi kehiduan
manusia, khususnya bagi orang Islam adalah sebagai berikut: Dengan melakukan
perkawinan yang sah dapat terlaksana pergaulan hidup manusia baik secara
individual maupun kelompok antara pria dan wanita secara terhormat dan halal,
4
sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang terhormat diantara
makhluk-makhluk Tuhan yang lain. Dengan melaksanakan perkawinan dapat
terbentuk satu rumah tangga dimana kehidupan dalam rumah tangga dapat
terlaksana secara damai dan tentram serta kekal dengan disertai rasa kasih sayang
antara suami-istri.
Dengan melaksanakan perkawinan yang sah, dapat diharapkan
memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat sehingga kelangsungan hidup
dalam keluarga dan keturunanya dapat berlangsung terus secara jelas dan bersih.
Dengan terjadinya perkawinan maka timbullah sebuah keluarga yang merupakan
inti dari pada hidup bermasyarakat, sehingga dapat diharapkan timbulnya suatu
kehidupan bermasyarakat yang teratur dan berada dalam suasana damai.
Melaksanakan perkawinan dengan mengikuti ketentuan – ketentuan yang telah diatur
dalam Al Qur‟an dan Sunnah Rasul, adalah merupakan salah satu ibadah bagi orang
Islam (Soemiyati, 2007).
Dalam pembagian lapangan-lapangan Hukum Islam, Perkawinan termasuk
dalam lapangan “Muamalat” yaitu lapangan yang mengatur hubungan antar
manusia dalam kehidupanya didunia ini. Hubungan antar manusia ini dalam garis
besarnya dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: Hubungan kerumahtanggaan dan
kekeluargaan, Hubungan antar persesorangan diluar hubungan kekeluargaan dan
rumahtangga, Hubungan antar bangsa dan kewarganegaraan.
Dengan melihat kepada hakikat perkawinan itu merupakan akad yang
membolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak
dibolehkan, maka dapat dikatakan bahwa hukum asal dari perkawinan itu adalah
boleh atau mubah (Amir, 2011).
Meskipun batas umur telah ditentukan, namun Undang-undang
Perkawinan memberikan kelonggaran untuk menyimpang dari aturan syarat umur
tersebut. Melalui pasal 7 ayat (2) yang berbunyi: “ Dalam hal penyimpangan
terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau
pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang pihak pria maupun wanita.
Dispensasi nikah adalah suatu kemudahan atau keringanan bagi calon
mempelai laki-laki maupun calon mempelai perempuan yang masih dibawah
5
umur dan belum diperbolehkan untuk menikah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Kecuali suatu tindakan yang berdasarkan
hukum dinyatakan bahwa suatu peraturan perundang-undangan tidak berlaku
untuk suatu hal yang khusus (Munir, 2011).
Seperti kasus dispensasi nikah yang terjadi di Pengadilan Agama Sragen
Penetapan Nomor 0139/Pdt.P/2016/PA.Sr dan Penetapan Nomor
0207/Pdt.P/2015/PA.Sr. Pada kasus tersebut rata-rata umur kedua calon mempelai
belum mencapai batas minimal untuk melangsungkan perkawinan. Penyusun
tertarik untuk melakukan penelitian ini untuk lebih mengetahui tentang apa
sebenarnya yang menjadi pertimbangan hakim serta fakta sosial yang terjadi di
masyarakat dalam memberikan dispensasi perkawinan di Pengadilan Agama
Sragen. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas, maka penulis tertarik
dalam penulisan hukum ini untuk melakukan penelitian dengan mengambil judul
“TINJAUAN YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMBERIKAN
IZIN/DISPENSASI MENIKAH PADA ANAK DI BAWAH UMUR.
2. METODE
Metode pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah metode normatif. Metode
normatif yaitu kaidah hukum, asas hukum yang terdapat dalam masyarakat
sehingga dapat diketahui kedudukan hukum dan legalitas tentang permohonan
izin/dispensasi pernikahan di bawah umur (Soemitro, 1998).
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, dengan
pendekatan tersebut peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek
mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Metode pendekatan
dalam penelitian ini adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statue
aproach). Suatu penelitian normative tentu harus menggunakan pendekatan
perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum
yang menjadi focus sekaligus tema sentral suatu penelitian.
Bahan hukum primer, yaitu semua bahan/materi hukum yang mempunyai
kedudukan mengikat secara yuridis. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan penelitian dan bahan hukum sekunder,
6
yaitu berupa bahan atau materi yang berkaitan dan menjelaskan mengenai
permasalahan dari bahan hukum primer yang terdiri dari buku-buku dan literature-
literatur terkait Perkawinan khususnya.
Bahan hukum dikumpulkan melalui prosedur inventarisasi dan identifikasi
peraturan perundang-undangan, serta klasifikasi dan sistematisasi bahan hukum
sesuai permasalahan penelitian. Oleh karena itu, teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah dengan studi kepustakaan. Studi
kepustakaan dilakukan dengan cara membaca, menelaah, mencatat membuat
ulasan bahan-bahan pustaka yang ada kaitannya dengan Perkawinan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Pertimbangan Hakim dalam Memberikan izin/dispensasi Pernikahan di
Bawah Umur
Peradilan Agama adalah satu dari Peradilan Negara Indonesia yang sah, yang
bersifat Peradilan khusus, yang berwenang dalam jenis perkara perdata Islam
tertentu, bagi orang-orang Islam di Indonesia (Rasyid, 2002). Pengadilan Agama
Kabupaten Sragen sebagai pengadilan tingkat pertama mempunyai tugas pokok
dan fungsi memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara- perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan,
kewarisan, wasiat, hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, wakaf,
shadaqoh dan ekonomi syari’ah.
Salah satu bidang perkawinan yang menjadi wewenang Peradilan Agama
adalah perkara dispensasi kawin. Asas yang dikandung dalam Undang-undang
perkawinan adalah kedewasaan usia perkawinan, artinya bahwa calon suami dan
calon isteri harus telah matang jiwa dan raganya dalam melaksanakan pernikahan
itu. Untuk mencapai maksud agar pernikahan itu dilakukan oleh orang-orang
dewasa, maka para ahli menentukan batas usia perkawinan melalui Undang-
undang perkawinan Pasal 7 ayat (1) yaitu batas perkawinan bagi laki-laki (19)
tahun dan batas perkawinan bagi perempuan (16) tahun.
Hakim adalah salah satu predikat yang melekat pada seseorang yang
memiliki pekerjaan dengan spesifikasi khusus dalam bidang hukum dan peradilan
7
sehingga banyak bersinggungan dengan masalah mengenai kebebasan dan
keadilan secara legal dalam konteks putusan atas perkara yang di buat (Kamil,
2002). Dalam hal ini hakim dianggap tahu akan hukumnya (juris curia novit). Soal
menemukan hukumnya adalah urusan hakim. Maka hakim dalam
mempertimbangkan putusannya wajib karena jabatannya melengkapi alasanalasan
hukum yang tidak dikemukakan oleh para pihak.
Hakim tidak boleh menilai bahwa Undang-undang itu tidak lengkap atau
suatu ketentuan Undang-undang itu tidak jelas. Sesuai dengan Pasal 10 ayat (1)
Undang-undang kehakiman Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
dimana hakim tidak boleh menolak memeriksa dan menggali suatu perkara.
Hakim dilarang berdasarkan peraturan umum, penetapan atau peraturan memutus
perkara yang tergantung padanya. Ini berarti bahwa hakim hanya boleh
memeriksa dan menggali peristiwa konkret dan tidak boleh menciptakan
peraturan-peraturan umum dalam putusannya. Putusan hanya berlaku bagi
peristiwa konkret dan tidak memberi kekuatan umum atau memberlakukan secara
umum untuk situasi-situasi itu. Dan hakim tidak boleh menempatkan diri sebagai
pembentuk undang-undang. Ia hanya boleh memeriksa dan memutus perkara
konkret dan tidak boleh membuat peraturan yang mengikat umum.
Hakim dalam memberikan suatu penetapan wajib menggali nilai-nilai
keadilan yang hidup di dalam masyarakat, begitu pula hakim dalam menetapkan
terhadap permohonan seseorang yang hendak mengajukan dispensasi nikah
sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang perkawinan Pasal 7 ayat (2)
dengan bunyi “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 Pasal ini dapat meminta
dispensasi kepada Pengadilan dan pejabat lain, yang ditunjuk oleh orang tua pihak
laki-laki atau perempuan”. Permohonan dispensasi kawin sebagai perkara
permohonan karena dalam perkara ini tidak mengandung sengketa dan oleh hakim
diterima dan diputus dengan membuat penetapan yang mengabulkan atau
menolak permohonan tersebut. Untuk penetapan mengabulkan atau menolak
permohonan dispensasi kawin, hakim dengan kemerdekaan yang dimilikinya akan
melakukan penggalian hukum terhadap alasan permohonan sekaligus melakukan
penerjemahan, penafsiran, memilah dan memilih aturan yang paling tepat dan
8
relevan dengan dispensasi kawin yang sedang dihadapi. Dasar hukum yang
digunakan dalam setiap putusan berisi tentang dasar hukum hakim dalam
memutuskan perkara. Karena Pengadilan agama adalah Pengadilan Islam, maka
dasar hukum putusannya adalah segala peraturan perundang-undangan negara
yang berlaku dan relevan, disusun relevan, disusun menurut hierarkinya/urutannya
derajatnya dan urutan terbitnya kemudian berdasarkan Hukum Islam dan hukum
yang tidak tertulis lainnya.
Dalam sebuah putusan bagian pertimbangan adalah bagian yang dimulai
dengan “Tentang Pertimbangan hukumnya atau Tentang Hukumnya” yang
memuat: Gambaran tentang bagaimana hakim mengkualifikasi, yaitu mencari dan
menemukan hukum yang harus diterapkan pada suatu fakta dan kejadian yang
diajukan, penilaian Hakim tentang fakta-fakta yang diajukan, pertimbangan
Hakim secara kronologis dan rinci setiap item, baik dari pihak tergugat maupun
penggugat. Dasar hukum yang digunakan Hakim dalam menilai fakta dan
memutus perkara, hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.
Mengenai pertimbangan Hakim dalam mengabulkan permohonan izin
perkawinan dibawah umur dalam penetapan izin perkawinan dengan nomor:
Nomor 0139/Pdt.P/2016/PA.Sr
Bahwa Pemohon dengan surat permohonannya tertanggal 09 Mei 2016
telah mengajukan permohonan Dispensasi Nikah kepada Pengadilan Agama
Sragen yang telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Sragen Nomor
0139/Pdt.P/2016/PA.Sr tanggal 09 Mei 2016
Bahwa syarat-syarat untuk melaksanakan pernikahan tersebut baik
menurut ketentuan hokum Islam maupun peraturan perundang-undangan yang
berlaku telah terpenuhi kecuali syarat usia bagi anak pemohon belum mencapai 18
tahun 2 bulan. Namun pernikahan tersebut sangat mendesak untuk tetap
dilangsungkan karena keduanya telah berhubungan sedemikian eratnya, sehingga
Pemohon sangat khawatir akan terjadi perbuatan yang dilarang oleh ketentuan
hokum Islam apabila tidak segera dinikahkan.
Sehingga yang menjadi pertimbangan hakim dalam mengabulkan
permohonan dispensasi perkawinan bagi anak dibawah umur dalam penetapan
9
dispensasi Nomor 0139/Pdt.P/2016/PA.Sr di Pengadilan Agama Sragen adalah
anak Para Pemohon mengaku sudah berhubungan sedemikian eratnya dengan
calon isterinya bahkan, calon isteri anak Para Pemohon sudah tidak bisa
dipisahkan dengan anak Para Pemohon, maka apabila mereka tidak segera
dinikahkan akan menimbulkan madharat yang lebih besar yakni membiarkan
mereka berbuat zina yang lebih lama, sehingga menikahkan mereka adalah pilihan
yang tepat sebagaimana dimaksud dalam sebuah kaidah fiqhiyah berbunyi:
Menolak yang madharat itu didahulukan daripada menarik kemaslahatan; Majelis
Hakim dalam membuat penetapan ini perlu juga mengetengahkan pendapat ahli
Fiqiyah dalam kitab Al Asybah Wan Nadzair hal 128 yang berbunyi : Pemerintah
mengurus rakyatnya sesuai dengan kemaslahatan; Permohonan Para Pemohon
telah sesuai dengan pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 jo pasal
15 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam.
3.2 Faktor yang Mempengaruhi Pertimbangan Hakim dalam Menerbitkan
Surat Dispensasi Perkawinan
Adapun terjadinya pernikahan dini sangat bervariasi diantaranya adalah karena
faktor lingkungan/adat, ekonomi, perjodohan, ingin melanggengkan hubungan,
dan karena faktor yang tidak ingin dikehendaki yaitu MBA (married by accident)
menikah karena kecelakaan. Dalam hal ini, sepasang lelaki dan perempuan
terpaksa menikah di usia muda (pernikahan dini) karena perempuan telah hamil di
luar nikah. Dalam rangka memperjelas status anak yang dikandung, maka
dilakukan pernikahan antara keduanya.
Meskipun hal ini akan berdampak negatif bagi keduanya, terutama jika
keduanya masih berstatus sebagai pelajar dan belum bekerja, sehingga pasangan
pengantin baru ini akan rawan terjafi percekcokan yang berawal dari munculnya
masalah kecil. Berikut adalah beberapa faktor pernikahan dini:
Kesulitan ekonomi menjadi salah satu faktor pendukung penyebab
terjadinya pernikahan dini, keluarga yang mengalami kesulitan ekonomi akan
cenderung menikahkan anaknya pada usia muda untuk melakukan pernikahan
dini. Pernikahan ini diharapkan menjadi solusi bagi kesulitan ekonomi keluarga,
dengan pernikahan diharapakan mengurangi beban ekonomi keluarga. Sehingga
10
dapat sedikit mengatasi kesulitan ekonomi. Disamping itu, masalah ekonomi yang
rendah dan kemiskinan menyebabkan orang tua tidak mampu mencukupi
kehidupan anaknya dan tidak mampu membiayai sekolah sehingga mereka
memutuskan untuk menikahkan anaknya dengan harapan sudah lepas tanggung
jawab untuk membiayai kehidupan anaknya ataupun dengan harapan anaknya bisa
memperoleh penghidupan yang lebih baik.
Oleh karena itu untuk meringankan beban orang tuanya maka anak
wanitanya dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu meskipun usianya
belum cukup. Dari segi pendidikan, rendahnya tingkat pendidikan maupun
pengetahuan orang tua, anak dan masyarakat, menyebabkan adanya
kecenderungan mengawinkan anaknya yang masih dibawah umur.
Terjadinya hamil di luar nikah, karena anak-anak melakukan hubungan
yang melanggar norma, memaksa mereka untuk melakukan pernikahan dini, guna
memperjelas status anak yang dikandung. Pernikahan ini memaksa mereka
menikah dan bertanggung jawab untuk berperan sebagai suami istri serta menjadi
ayah dan ibu, sehingga hal ini akan berdampak dengan penuaan dini, karena
mereka belum siap lahir dan batin. Disamping itu, dengan kehamilan diluar nikah
dan ketakutan orang tua akan hamil diluar nikah mendorong anaknya untuk
menikah di usia yang masih belia.
Hubungan anak mereka yang terlalu jauh menjadi kekhawatiran orang tua.
Dapat dikatakan, membuat orang tua cemas dan khawatir karena hubungan
percintaan anaknya yang sudah sangat intim. Kekhawatiran orang tua akan terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan, seperti si anak perempuan telah hamil terlebih
dahulu dapat menjadi aib bagi keluarga
Dapat menimbulkan kepanikan, baik bagi wanita yang bersangkutan
maupun keluarga. Untuk menghindari perasaan malu kepada masyarakat, maka
mereka cepat-cepat dinikahkan dalam keadaan hamil.
Persoalan hamil di luar nikah ini merupakan permasalahan yang sangat
besar tidak hanya bagi keluarga pihak perempuan tetapi juga negara. Jika hal
tersebut terus dibiarkan, maka moral bangsa akan menjadi semakin rusak.
11
Anak remaja zaman sekarang sangat sulit dikontrol. Pengaruh kemajuan
teknologi yang ikut serta mendorong remaja menirukan budaya luar yang tidak
baik sehingga tidak mengenal peraturan yang dapat menyebabkan pergaulan yang
terlalu bebas.
Rendahnya tingkat pendidikan orang tua, anak dan masyarakat membuat
terjadinya perkawinan anak di bawah umur. Tingkatan emosional, pengetahuan,
keagamaan, atau edukasi kesehatan reproduksi yang kurang dan belum tercapai
yang ada di dalam jenjang pendidikan menjadi salah satu faktor membuat
terjadinya pernikahan dini.
Terjadinya pernikhan dini juga dapat disebabkan karena pengaruh bahkan
paksaan orang tua. Ada beberapa alasan orang tua menikahkan anaknya secara
dini karena orang tua khawatir anaknya menyebabkan aib keluarga atau takut
anaknya melakukan zina saat berpacaran maka mereka langsung menikahkan
anaknya dengan pacarnya. Niat ini memang baik, untuk melindungi sang anak
dari perbuatan dosa, karena kuatir anaknya terjerumus dengan pergaulan bebas
dan berakibat negatif. Adapun karena ingin melanggengkan hubungan dengan
relasinya derngan cara menjodohkan anaknya, juga mejodohkan dengan anak
saudaranya supaya hartanya tidak jatuh di tangan orang lain, tetapi tetap di pegang
oleh keluarga.
Disadari atau tidak, anak di zaman sekarang sangat mudah mengakses
segala sesuatu yang berhubungan dengan seks dan semacamnya. Hal ini membuat
mereka “terbiasa” dengan hal-hal berbau seks dan menganggapnya sebagai hal
yang sangat wajar-wajar saja, pengawasan, peringatan orang tua yang kurang
menjadikan hal ini berdampak serius kurangnya moral social serta norma-norma
ke agamaan yang akan mendorong perbuatan yang dilarang sehingga terjadinya
pergaulan bebas yang berakibat pergaulan dini.
Faktor ini sudah mulai jarang muncul tapi masih tetap ada, Perkawinan
usia muda terjadi karena orang tuanya takut anaknya dikatakan perawan tua
sehingga segera dikawinkan.
Pada beberapa keluarga tertentu, dapat dilihat ada yang memiliki tradisi
atau kebiasaan menikahkan anaknya pada usia muda, dan hal ini berlangsung
12
terus menerus, sehingga anak-anak yang ada pada keluarga tersebut secara
otomatis akan mengikuti tradisi tersebut. Pada keluarga yang menganut kebiasaan
ini, biasanya di dasarkan pada pengetahuan dan informasi yang diperoleh bahwa
dalam Islam tidak ada batasan usia untuk menikah yang penting adalah sudah
mumayyiz (baligh dan berakal), sehingga sudah selayaknya di nikahkan.
Misalnya keyakinan bahwa tidak boleh menolak pinangan seseorang
terhadap putrinya walaupun masih berusia 16 tahun. Hal ini terkadang dianggap
menyepelekan dan menghina orang tua.Dari sisi hukum adat tidak adanya batas
usia kedewasaan yang tegas, hukum adat itu sama dengan fikih islam. Di masa
lampau, masyarakat adat terbiasa menggunakan ukuran-ukuran fisik, seperti
meminta seorang anak untuk meraih telinga kirinya dengan tangan kanan melalui
atas kepala. Jika berhasil, hal itu menandakan yang bersangkutan telah tumbuh
dewasa.
4. PENUTUP
Pertimbangan Hakim Dalam Memberikan izin/dispensasi Pernikahan di Bawah
Umur yaitu bahwa Permohonan Para Pemohon telah sesuai dengan pasal 7 ayat
(2) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 jo pasal 15 ayat (1) Kompilasi Hukum
Islam. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut permohonan Para
Pemohon sudah cukup beralasan sesuai dengan Undang-undang yang berlaku dan
dapat dikabulkan. Karena permohonan Para Pemohon dispensasi nikah Para
Pemohon dikabulkan maka kepada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan
Agama Kecamatan Sambungmacan, Kabupaten Sragen berhak untuk mencatat
pernikahan anak Para Pemohon dengan calon isteri anak Para Pemohon tersebut.
Faktor yang mempengaruhi pertimbangan hakim untuk menerbitkan surat
dispensasi perkawinan yaitu Bahwa Hakim dalam kasus perkawinan di bawah
umur ini menggunakan pertimbangan kemaslahatan. Maka apabila mereka tidak
segera dinikahkan akan menimbulkan madharat yang lebih besar yakni
membiarkan mereka berbuat zina yang lebih lama, sehingga menikahkan mereka
adalah pilihan yang tepat sebagaimana dimaksud dalam sebuah kaidah fiqhiyah:
Menolak yang madharat itu didahulukan daripada menarik kemaslahatan. Majelis
13
Hakim dalam membuat penetapan ini juga mengetengahkan pendapat ahli Fiqiyah
dalam kitab Al Asybah Wan Nadzair hal 128: Pemerintah mengurus rakyatnya
sesuai dengan kemaslahatan"
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Erfani Aljan. (2017). Pembaruan Hukum Perdata Islam Praktik dan
Gagasan, Yogyakarta: UII Press.
Amir, Syarifuddin. (2011). Hukum Perkawinan islam di indonesia, Jakarta:
Kencana.
Basyir, Ahmad Azhar. (2014). Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press.
Eoh, O.S. (2001). Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.
Hakim, Rahmat. (2000). Hukum Perkawinan Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Hanafi, Yusuf. (2011). Kontroversi Perkawinan Anak Di Bawah Umur. Bandung:
Mandar Maju.
Kamil, Ahmad. (2012). Filsafat Kebebasan Hakim. Jakarta: Prenadamedia Group.
Marzuki, Peter Mahmud. (2008). Penelitian Hukum. Cet 2. Jakarta: Kencana.
Munir, Abdul. (2011). ”Dampak Dispensasi Nikah Terhadap Pernikahan (Studi
Analisis di Pengadilan Agama Kendal)”. Skripsi tidak diterbitkan,
Jurusan Syariah IAIN Walisongo Semarang.
Rasyid, M. Hamdan. (2003). Fiqih Indonesia Himpunan Fatwa-Fatwa Aktual.
Jakarta: PT. Al Mawardi Prima.
Rasyid, Roihan A. (2002). Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Rohmatilah, Siti. (2016). “Analisa Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama
Magetan Tentang Izin Poligami”. Skripsi. STAIN Ponorogo.
Saebani, Beni Ahmad dan Falah, Syamsul. (2011). Hukum Perdata Islam di
Indonesia, Bandung : CV Pustaka Setia.
Soemitro, Ronny Hanitijo. (1998). Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri,
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Soemiyati. (2007). Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan.
Yogyakarta: Liberty.