22
Header halaman gasal: Penggalan Judul Artikel Jurnal TINJAUAN YURIDIS PENGUASAAN TANAH NEGARA BEKAS HAK BARAT DI KOTA SURABAYA STUDI KASUS GELORA PANCASILA NO. 6 SURABAYA Michael Imgran Hetarie Program Studi S-1 Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya, [email protected] Abstrak Berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, maka tanah-tanah Negara bekas hak barat dikonversi menjadi hak atas tanah berdasarkan pasal 16 UUPA. Penguasaan tanah Negara bekas hak barat oleh Pemerintah Kota Surabaya salah satunya adalah Eigendom Verponding Nomor 12324 atas nama De Stads Gemeente Soerabaja terletak di Jalan Indragiri No. 6 dikenal sebagai Gelora Pancasila yang terkena ketentuan Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat. Penerbitan Sertipikat Hak Pakai Nomor 39/Kelurahan Darmo atas nama Pemerintah Kotamadya Surabaya di jalan Indragiri No. 6 tersebut menjadi obyek sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya oleh PT Setia Kawan Abadi karena diatas tanah Eigendom Verponding tersebut berdiri bangunan Gelora Pancasila milik PT Setia Kawan Abadi. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui proses penguasaan tanah Negara bekas hak barat oleh Pemerintah Kota Surabaya serta hambatan oleh PT Setia Kawan Abadi dalam memproses pendaftaran tanah. Penelitian ini adalah penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan statute approach dan analytical approach. Bahan hukum yang dikaji meliputi bahan hukum primer dan sekunder yang dianalisis secara prekriptif. Hasil Penelitian bahwa Tanah Negara bekas hak barat Eigendom Verponding Nomor 12324 atas nama De Stads Gemeente Soerabaja adalah asset Pemerintah Kota Surabaya berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Sedangkan bangunan Gelora Pancasila adalah milik PT Setia Kawan Abadi. Penyelesaiannya dilakukan dengan cara PT Setia Kawan Abadi Membeli tanah tersebut dari Pemerintah Kota Surabaya dengan gugatan perdata atau Pemerintah Kota Surabaya melakukan kerja sama sama dengan PT Setia Kawan Abadi. Kata Kunci: Konversi, Penguasaan Tanah Negara, Pemerintah Kota Abstract The enactmen of agrarian regulation number 5 the 1960s, then its the former west converted into the right land rights section 16 of UUPA. The former west tenure of land rights by The Goverment of Surabaya one of them is Eigendom Verponding number 12324 on behalf of De Stads Gemeente Soerabaja is located on the No. 6 Indragiri known as Gelora Pancasila affected by Decision of The President number 32 1979 about Principal Basic Policy In Order Granting a Land Of Origin The Conversion Of The Rights Of New Upper West. The issuance of a Use 1

TINJAUAN YURIDIS PENGUASAAN TANAH NEGARA BEKAS HAK BARAT DI KOTA SURABAYA STUDI KASUS GELORA PANCASILA NO. 6 SURABAYA

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Jurnal Online Universitas Negeri Surabaya, author : MICHAEL I. HETARIE

Citation preview

Page 1: TINJAUAN YURIDIS PENGUASAAN TANAH NEGARA BEKAS HAK BARAT DI KOTA SURABAYA STUDI KASUS GELORA PANCASILA NO. 6 SURABAYA

Header halaman gasal: Penggalan Judul Artikel Jurnal

TINJAUAN YURIDIS PENGUASAAN TANAH NEGARA BEKAS HAK BARAT DI KOTA SURABAYA STUDI KASUS GELORA PANCASILA NO. 6 SURABAYA

Michael Imgran Hetarie

Program Studi S-1 Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya, [email protected]

Abstrak

Berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, maka tanah-tanah Negara bekas hak barat dikonversi menjadi hak atas tanah berdasarkan pasal 16 UUPA. Penguasaan tanah Negara bekas hak barat oleh Pemerintah Kota Surabaya salah satunya adalah Eigendom Verponding Nomor 12324 atas nama De Stads Gemeente Soerabaja terletak di Jalan Indragiri No. 6 dikenal sebagai Gelora Pancasila yang terkena ketentuan Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat. Penerbitan Sertipikat Hak Pakai Nomor 39/Kelurahan Darmo atas nama Pemerintah Kotamadya Surabaya di jalan Indragiri No. 6 tersebut menjadi obyek sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya oleh PT Setia Kawan Abadi karena diatas tanah Eigendom Verponding tersebut berdiri bangunan Gelora Pancasila milik PT Setia Kawan Abadi. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui proses penguasaan tanah Negara bekas hak barat oleh Pemerintah Kota Surabaya serta hambatan oleh PT Setia Kawan Abadi dalam memproses pendaftaran tanah. Penelitian ini adalah penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan statute approach dan analytical approach. Bahan hukum yang dikaji meliputi bahan hukum primer dan sekunder yang dianalisis secara prekriptif. Hasil Penelitian bahwa Tanah Negara bekas hak barat Eigendom Verponding Nomor 12324 atas nama De Stads Gemeente Soerabaja adalah asset Pemerintah Kota Surabaya berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Sedangkan bangunan Gelora Pancasila adalah milik PT Setia Kawan Abadi. Penyelesaiannya dilakukan dengan cara PT Setia Kawan Abadi Membeli tanah tersebut dari Pemerintah Kota Surabaya dengan gugatan perdata atau Pemerintah Kota Surabaya melakukan kerja sama sama dengan PT Setia Kawan Abadi.Kata Kunci: Konversi, Penguasaan Tanah Negara, Pemerintah Kota

Abstract

The enactmen of agrarian regulation number 5 the 1960s, then its the former west converted into the right land rights section 16 of UUPA. The former west tenure of land rights by The Goverment of Surabaya one of them is Eigendom Verponding number 12324 on behalf of De Stads Gemeente Soerabaja is located on the No. 6 Indragiri known as Gelora Pancasila affected by Decision of The President number 32 1979 about Principal Basic Policy In Order Granting a Land Of Origin The Conversion Of The Rights Of New Upper West. The issuance of a Use Rights Certificates Number 39/Kelurahan Darmo on behalf of The Goverment of Indragiri No. 6 Surabayain the way this will be the object of dispute in state administrative courts Surabaya by Setia Kawan Abadi Company the ground because the Eigendom Verponding buildings Gelora Pancasila owned by Setia Kawan Abadi Company. The Aim of this research is to find the right of control of the former state in The Western City of Surabaya State of obstacle and the land registration process. This research is research normative by adopting both statute approach and analytical approach. Material of the study law a covering material primary and secondary law that have been analyzed in prekriptif. The result is that the ground state of Eigendom Verponding a number of Western 12324 De Stads Gemeente Soerabaja the assets city administration, Surabaya is in accordance with the Act No 1/2004 about The Country. The Gelora Pancasila building are owned by friends forever. The case was Setia Kawan Abadi Company of the city administration bought the land lawsuit Surabaya to Surabaya or a city administration cooperating with Setia Kawan Abadi Company and a mortal.Keywords : Conversion, Mastery of State Land, City administration

1

Page 2: TINJAUAN YURIDIS PENGUASAAN TANAH NEGARA BEKAS HAK BARAT DI KOTA SURABAYA STUDI KASUS GELORA PANCASILA NO. 6 SURABAYA

Header halaman gasal: Penggalan Judul Artikel Jurnal

PENDAHULUAN

Tanah bagi bangsa Indonesia merupakan karunia Tuhan Yang Maha esa yang dapat mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, sehingga tanah perlu dikuasai dan dikelola dengan sebaik-baiknya oleh bangsa Indonesia. Awal sejarah terbentuknya sistem hukum tanah di Indonesia diawali dengan adanya Agrarische Wet (AW) yang adalah suatu undang-undang (dalam bahasa Belanda disebut “wet”) yang dibuat di negeri Belanda pada tahun 1870 yang mengatur tentang kewenangan yang harus ditaati oleh Gubernur Jenderal yang berhubungan dengan tanah.

Agrarische Wet ini lahir dikarenakan desakan pengusaha besar swasta Belanda di Negeri Belanda, karena keberhasilan usahanya mengalami kelebihan modal, karenanya memerlukan bidang usaha baru untuk menginvestasikannya. Mengingat bahwa masih banyak tersedia tanah hutan di Hindia Belanda yang belum dibuka dan diusahakan, maka sejak pertengahan abad 19, mereka menuntut diberikannya kesempatan untuk berusaha di bidang perkebunan besar.

Tujuan utama Agrarische Wet adalah untuk membuka kemungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha swasta untuk dapat berkembang di Hindia belanda. Akibat dari pelaksanaan Agrarische Wet yang akan memerlukan tanah yang luas, hak-hak rakyat banyak yang dilanggar serta dikorbankan sehingga dalam praktek pelaksanaannya kepentingan pengusaha dalam banyak hal lebih didahulukan daripada kepentingan rakyat pribumi.

Ketentuan Agrarische Wet pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan dan keputusan. Diantaranya yang perlu dibahas adalah suatu Koninklijk Besluit yang dikenal dengan sebutan Agrarische Besluit. KB ini diundangkan dalam S. 1870-118. Dalam pasal 1 Agrarische Besluit tersebut dimuat suatu pernyataan asas yang sangat penting bagi perkembangan dan pelaksanaan Hukum Tanah Administratif Hindia Belanda. Asas tersebut dinilai sebagai kurang menghargai hak-hak rakyat atas tanah yang bersumber pada Hukum Adat.

Dinyatakan dalam pasal 1 tersebut : “Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam pasal 2 dan 3 Agrarische Wet,tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein (milik) Negara”.1

Pemberlakuan asas ini sangat merugikan rakyat dikarenakan satu-satunya penguasa yang berwenang untuk memberikan tanah-tanah kepada pihak lain adalah Pemerintah. Semua tanah yang tidak dapat

1 Prof. Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok

Agraria, Isi dan pelaksanannya, Hal. 37

dibuktikan oleh eigendom atau hak agrarische eigendom adalah tanah domein negara. Domein Verklaring seharusnya bertujuan untuk mewujudkan perlindungan bagi hak-hak rakyat pribumi dan masyarakat-masyarakat hukum adat, namun dalam tafsiran Pemerintah Hindia Belanda tanah-tanah yang dipunyai rakyat dengan hak milik adat, demikian juga tanah-tanah ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat adalah tanah domein negara. Dalam adminsitrasi pertanahan tanah-tanah hak milik adat tersebut dikenal sebagai onvrij lands domein (tanah negara tidak bebas), dalam arti Negara tidak bebas untuk memberikan tanah yang bersangkutan kepada pihak lain, karena dibebani hak rakyat. Akibat adanya domein verklaring tersebut semakin mempertegas dan memperkuat hak-hak adat atas tanah usaha dan pernyataan dari domein verklaring yang menganggap dirinya akan menciptakan ketertiban dan kepastian hanya sebatas mengenai tanah-tanah usaha.

Sebagai akibat politik hukum pemerintahan jajahan dahulu, maka sebagaimana halnya Hukum Perdata, Hukum Tanah pun berstruktur ganda atau dualistik, dengan berlakunya bersamaan peraturan-peraturan Hukum Tanah Adat dan Hukum Tanah barat. Dualisme dalam hukum tanah bukan disebabkan karena para pemegang hak atas tanah berbeda Hukum Perdatanya, melainkan karena perbedaan hukum yang berlaku terhadap tanahnya. Ada tanah-tanah dengan hak-hak barat, seperti eigendom, hak opstal, hak erfpacht serta ada tanah-tanah dengan hak-hak Indonesia seperti tanah-tanah dengan hak adat, tanah dengan ciptaan pemerintah Hindia Belanda seperti hak agrarisch eigendom, landerijen bezitrecht, hak-hak ciptaan Pemerintah Swapraja, seperti grant sultan.

Adanya dualisme dalam hukum tanah mengakibatkan berbagai masalah hukum antar golongan serta bertentangan dengan cita-cita persatuan bangsa. Pada satu sisi warga non pribumi dapat menempati tanah hak adat dan tanah-tanah hak barat dapat dimiliki orang warga pribumi. Seharusnya dalam proses pemindahan hak tanah harus dilakukan menurut ketentuan hukum tanahnya. Jika tanahnya tanah hak barat harus dilakukan menurut Overschrijvings Ordonnatie, sedangkan jual-beli tanah hak adat harus dilakukan menurut ketentuan Hukum Tanah Adat. Dualisme hukum yang mengatur bidang pertanahan dinilai tidak sesuai dengan cita-cita kesatuan dan persatuan bangsa, perlu adanya unifikasi tentang berlakunya satu perangkat hukum saja yang mengatur tentang hukum tanah.

Usaha-usaha untuk menyesuaikan hukum agraria atau hukum tanah kolonial dengan keadaan dan keperluan sesudah proklamasi kemerdekaan adalah diantaranya penghapusan desa perdikan berupa penghapusan hak istimewa yang mana desa tersebut bebas membayar pajak dan kepala desa memiliki sebagian besar dari tanah desa tersebut sehingga warga

2

Page 3: TINJAUAN YURIDIS PENGUASAAN TANAH NEGARA BEKAS HAK BARAT DI KOTA SURABAYA STUDI KASUS GELORA PANCASILA NO. 6 SURABAYA

Header halaman gasal: Penggalan Judul Artikel Jurnal

harus menyewa kepada kepala desa. Meniadakan lembaga feodal berupa penghapusan hak-hak konversi yang mana pada saat itu bahwa semua tanah adalah milik Raja sehingga wajib menyerahkan seperdua atau sepertiga dari hasilnya kepada raja, kemudian banyak dari tanah tersebut disewakan kepada pengusaha-pengusaha asing untuk usaha pertanian yang pada akhirnya bahwa tujuan dari para pengusaha asing tersebut adalah untuk menguasai tanah dan mendapatkan tenaga buruh secara cuma-cuma sehingga sangat merugikan bagi masyarakat pada saat itu. Meniadakan lembaga kolonial berupa penghapusan tanah partikelir yang mana adanya hak-hak istimewa pada pemiliknya yang sering disebut hak-hak pertuanan. Hak tersebut dapat digunakan untuk mengangkat atau mengesahkan pemilihan serta memberhentikan kepala-kapala kampung/desa, menuntut kerja paksa, pungutan pajak dan lain-lain. Tanah partikelir ini bisa berupa seluruhnya tanah kongsi atau tanah usaha atau sebagian tanah kongsi dan sebagian tanah usaha. Tanah usaha adalah bagian tanah partikelir yang dipunyai penduduk dengan apa yang disebut “hak usaha”, yang sifatnya sama dengan hak milik adat2. Bagian-bagian tanah partikelir yang bukan tanah usaha disebut tanah kongsi, yang dikuasai oleh tuan-tuan tanah. Tanah kongsi itu ada juga yang diusahakan oleh penduduk atau dipakainya untuk tempat perumahan dengan hak sewa3.

Dalam rangka mengadakan kesatuan dan kesederhanaan di bidang hukum yang mengatur pertanahan, maka pada tanggal 24 September 1960 disahkan oleh Presiden Republik Indonesia Sukarno dan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 104 tahun 1960 – Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 2043 Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang lebih dikenal dengan nama singkatan resminya Undang-Undang Pokok Agraria, disingkat UUPA.

Negara yang diberikan kewenangan untuk menguasai dan mempergunakan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya tersebut diberikan peranan penting oleh undang-undang dasar. Menurut Endriatmo Soetanto, “Indonesia adalah yang bersifat agraris, berdasarkan konstitusi agraris secara tegas meletakkan Negara sebagai pembela utama dan penerima amanat paling sah dalam memastikan terpenuhinya kepentingan dan kesejahteraan, dan tentu saja kedaulatan rakyat bagi petani dan warga pedesaan pada umumnya”.4

2 Pof. Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok

Agraria, Isi dan Pelaksanannya, hal. 843 Ibid hal. 85

4 Endriatmo Soetanto “Pancasila dan Pembaruan Agraria Filsafat Refleksi Dan Aksi Menuju Masyarakat Agraris Yang Berkeadilan Sosial”, dalam Restorasi Pancasila Mendamaikan Politik Identitas Dan Modernitas, Bogor : Brighten Press : 288.

Sehubungan dengan kemakmuran rakyat maka ketentuan pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut menjadi dasar berpijak pengelolaan pertanahan di Indonesia yang disebut politik pertanahan bangsa Indonesia, menurut Prof Boedi Harsono, “Politik pertanahan intinya menjawab pertanyaan : apa yang akan dilakukan dengan tanah yang tersedia dan apa tujuan yang hendak dicapai serta sarana-sarana apa yang akan digunakan”5.

Bidang pertanahan menjadi sangat penting bahkan menjurus krusial dengan keberlakuan pelaksanaan otonomi daerah. Disatu pihak berpendapat bahwa tanah merupakan komoditi ekonomi yang dapat memacu pengangkatan pendapat asli daerah, karenanya banyak Bupati dan Walikota yang mendesak dengan berbagai dalil agar bidang pertanahan segera didelegasikan dan dikelola oleh daerah Kabupaten/Kota. Dipihak lain menyatakan dalam pendapatnya bahwa tanah bersifat multi aspek yang meliputi aspek hukum, aspek kultural antropologis, aspek politis bahkan aspek pertahanan keamanan (Hankam). Bertitik tolak pendapat bahwa pertanahan adalah multi aspek, maka pengelolaannya sepatutnya tetap dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pembangunan dalam meletakkan infrastruktur fisik selalu berhubungan dengan tanah sebagai tempat atau wadahnya dan tidak ada pembangunan yang tidak memerlukan tanah, sehingga dalam hal ini tanah menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Tanah sebagai tempat atau wadah disini mengandung pemahaman tanah sebagai ruang.

“Istilah tanah bisa berarti tiga hal : 1. Benda tempat tumbuhnya tanaman, ukurannya : gersang, subur. 2. Benda yang dapat diangkat atau dipindahkan, disini arti tanah itu sejajar dengan mineral, ukurannya : Ton, M3, Kg. 3. Bagian dari muka bumi ukurannya : Ha, M2, (luas). Tanah dalam arti ketiga ini, tidak bisa diangkut. Maknanya sama saja dengan “tempat”, atau “ruang”.6

Pemahaman bahwa tanah yang maknanya sebagai tempat atau ruang, maka keberadaannya sangat terbatas dalam arti selalu tetap, tidak bertambah atau berkembang. Sedang manusia keberadaannya selalu bertambah dan berkembang, sehingga mengakibatkan pemanfaatan tanah oleh manusia akan semakin terdesak. Dengan pemanfaatan tanah yang semakin terdesak oleh kegiatan hidup manusia maka diperlukan adanya kepastian hubungan hukum yang sah antara manusia dengan tanah yang dimanfaatkannya, sehingga mengurangi atau untuk menghindari terjadinya sengketa tanah dalam pemanfaatannya. Berdasarkan pemahaman tersebut di atas maka tanah perlu diatur

5 Prof. Boedi Harsono : Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya.

6 Publikasi No. 255 Direktorat Tata Guna Tanah Direktorat Jenderal Agraria-Departemen Dalam Negeri Pengeterapan Pasal 14-15 UUPA Tentang Land Use Planning Terhadap Pembangunan Nasional. Hal. 8

3

Page 4: TINJAUAN YURIDIS PENGUASAAN TANAH NEGARA BEKAS HAK BARAT DI KOTA SURABAYA STUDI KASUS GELORA PANCASILA NO. 6 SURABAYA

Header halaman gasal: Penggalan Judul Artikel Jurnal

dan ditata, dalam hal mengatur hubungan-hubungan hukum antara manusia dengan tanah serta menata pengelolaan dan pemanfaatannya. Dari pemahaman tentang tanah sebagai tempat atau ruang, akan sangat berhubungan dengan hak tanah atau hak atas tanah.

“Pada hakekatnya hak tanah merupakan hubungan hukum antara orang (termasuk badan hukum) dengan tanah, dimana hubungan tersebut memperoleh perlindungan hukum. Tujuan dari hak tanah adalah untuk memberikan kepastian hukum terhadap hubungan hukum tersebut, sehingga pemegang hak dapat menjalankan kewenangan/isi hak tanahnya dengan aman”7

Negara mengatur hubungan-hubungan hukum antara manusia dengan tanah, sehingga manusia selaku pemegang hak atas tanah mendapat perlindungan dalam mengelola dan memanfaatkan tanahnya.

Badan Pertanahan Nasional secara institusional mempunyai wewenang pengelolaan dan mengembangkan administrasi pertanahan tetap konsisten bahwasannya tanah bukanlah komoditi an sich melainkan pada dimensi hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanahnya. Karena itulah dalam hal unifikasi hukum pertanahan tetap menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan ini sejalan dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia selaku Instansi Pemerintah yang melaksanakan pengelolaan dan pengembangan administrasi pertanahan berdasarkan pada UUPA harus mampu membuat peraturan-peraturan pelaksanaan dari UUPA yang dapat menciptakan kepastian hukum di bidang pertanahan dan aspiratif terhadap kebutuhan dan kepentingan rakyat banyak atas tanah. Berkaitan dengan hal tersebut maka diatur oleh UUPA macam-macam hak atas tanah sebagimana disebutkan dalam pasal 4 ayat (1) dan (2) UUPA :

(1) Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.(2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi. Kehidupan masyarakat dan Negara selalu

berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Bagi

7Rusmadi Murad, S.H, M.H, Menyingkap Tabir Masalah Pertanahan, rangkaian tulisan dan materi ceramah hal 71-72

masyarakat perkembangan tersebut merupakan tuntutan untuk menyesuaikan dengan kebutuhannya. Bagi negara perkembangannya diarahkan untuk meningkatkan taraf hidup rakyatnya. Tuntutan perkembangan tersebut mencakup seluruh aspek kehidupan termasuk yang berhubungan dengan pertanahan. Tanah yang menjadi faktor yang sangat penting bagi masyarakat dan Negara harus pula menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat serta kepentingan Negara. Dalam rangka memenuhi tuntutan diperlukan persediaan tanah untuk menampung dinamika perkembangan tersebut.

Sementara untuk menjamin terlaksananya fungsi tanah sebagai sarana pemenuhan kepentingan dan kebutuhan masyarakat dan Negara, dituntut adanya kepastian hukum hak atas tanah sehingga pelaksanaan kewenangan dari hak atas tanah tersebut dapat berlangsung sebagaimana mestinya. Namun demikian tuntutan akan kepastian hukum tersebut seringkali belum sesuai dengan harapannya. Hal ini tampak dari banyaknya sengketa pertanahan yang timbul.

Perkembangan kehidupan masyarakat terutama dalam kaitannya dengan tanah selalu ditempatkan sebagai salah satu faktor yang menjadi penyebab terjadinya sengketa di bidang pertanahan. Sengketa di bidang pertanahan terjadi karena ada pengakuan dari dua pihak atau lebih yang mengklaim bahwa pihaknya yang paling berhak atas sebidang tanah. Sengketa di bidang pertanahan berupa sengketa penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dan hal ini sejalan dengan pendapat Prof. Boedi Harsono yang memberi pengertian penguasaan lain tanpa hak. Dalam hal ini pemilik tanah berdasarkan hak penguasaan dan menguasai.

Pengertian “penguasaan” dan “menguasai” dapat dipakai dalam arti fisik juga dalam arti yuridis. Pengertian yuridis dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Tetapi ada juga penguasaan yuridis yang biarpun memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain. Misalnya kalau tanahnya yang dimiliki disewakan kepada pihak lain dan penyewa yang menguasainya secara fisik. Dalam hal ini pemilik tanah berdasarkan hak penguasaan yuridisnya, berhak untuk menuntut diserahkannya kembali tanah yang bersangkutan secara fisik kepadanya.8

Dalam mempertahankan atau untuk membuktikan pihaknya adalah paling berhak atas sebidang tanah, maka sengketa atas tanah dapat terjadi atas tanah-tanah yang belum bersertipikat maupun atas tanah yang telah bersertipikat. Sengketa pertanahan tersebut tidak menutup kemungkinan melalui lembaga peradilan untuk menguji siapa paling berhak atas bidang tanah yang disengketakan termasuk untuk menguji bukti-bukti surat penguasaan atau pemilikan tanahnya.

8 Ibid hal. 19

4

Page 5: TINJAUAN YURIDIS PENGUASAAN TANAH NEGARA BEKAS HAK BARAT DI KOTA SURABAYA STUDI KASUS GELORA PANCASILA NO. 6 SURABAYA

Header halaman gasal: Penggalan Judul Artikel Jurnal

Sehubungan dengan hal tersebut diatas di Kota Surabaya sendiri masih ada tanah-tanah negara bekas hak barat yang menjadi sengketa dalam kepemilikannya, salah satunya adalah tanah bekas hak barat yang berdiri bangunan Gedung Olahraga Pancasila yang terletak di Jalan Indragiri Nomor 6 Surabaya. Kasus ini berawal dari tanah berstatus Hak Eigendom Verponding No. 12324 atas nama De Stads Gemeete Soerabaja, seluas 25.780 M2 sebagian dari luas seluruhnya 142.600 M2, yang menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara sejak tanggal 24 September 1960. Bahwa kemudian tanah seluas 25.780 M2 tersebut diajukan permohonan Hak Pakai oleh Pemerintah Kota Surabaya (Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya Surabaya), setelah dilaksanakan pengukuran oleh Kantor Pertanahan Kota Surabaya (Kantor Pertanahan Kotamadya Surabaya) terbit Sertipikat Hak Pakai Nomor 39/K. Darmo melalui Surat keputusan Kepala Kantor Wilyah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jawa Timur tanggal 10 Pebruari 1993 Nomor 070/HP/35/1993.

Pada kenyataannya pada tahun 1989 telah terjadi proses jual-beli antara PT. Setia Kawan Abadi dengan Yayasan Gelora Pancasila dengan Akta Jual - Beli tanggal 25 Mei 1989 Nomor 32 yang dibuat oleh dan dihadapan Eugenie Gandareja, SH. Notaris di Surabaya dan tanpa sepengetahuan pihak PT Setia Kawan Abadi ternyata telah terbit Sertipikat Hak Pakai Nomor 39/K. Darmo atas nama Pemerintah Daerah Tingkat. II Kotamadya Surabaya seluas 25.780 M2. Padahal Pemerintah Daerah Tingkat. II Kotamadya Surabaya tidak menguasai tanah secara langsung dan bukan pemilik gedung Gelora Pancasila di maksud.

Sertipikat Hak Pakai Nomor 39/K. Darmo atas nama Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya Surabaya tersebut oleh PT Setia Kawan Abadi diajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya melawan Kantor Pertanahan Kota Surabaya dan Pemerintah Kota Surabaya yang sampai pada tingkat Peninjauan Kembali dimenangkan oleh pihak PT Setia Kawan Abadi. Namun sampai saat ini PT Setia Kawan Abadi tidak dapat mensertipikatkan tanah tersebut dikarenakan Pemerintah Kota Surabaya mendalilkan tanah tersebut merupakan asset Pemerintah Kota Surabaya berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara dan belum di hapus dari daftar inventarisasinya.

Atas dasar latar belakang permasalahan yang telah diuraikan di atas maka perumusan masalahnya adalah apakah penguasaan tanah Negara bekas hak barat yang berdiri Gelora Pancasila oleh Pemerintah Kota Surabaya sehingga terbit Sertipikat Hak Pakai Nomor 39/K. Darmo telah sesuai dengan hukum tanah yang mengatur tanah bekas hak barat serta apa hambatan PT Setia Kawan Abadi sehingga pensertipikatan tanah tidak dapat dilakukan.

Kerangka Pemikiran dalam sistem hukum tanah Indonesia ada yang tidak tertulis (hukum adat) serta tertulis (hukum barat). Dalam buku Prof Boedi Harsono tentang Ketentuan-Ketentuan Konversi Pasal

II dijelaskan yang termasuk dalam hak adat yaitu hak agrarisch eigendom, milik, yasan, andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grant sultan, landrijenbezitrecht, altijuddurende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikelir dan hak-hak lain9. Sedangkan hak barat dalam buku yang sama mengenai ketentuan-ketentuan konversi yang termasuk dalam hak barat adalah eigendom, opstal, erfpacht, hypotheek, servituut, vruchtgebruik, dan hak-hak lain. Karena adanya dualisme hukum yang mengatur hukum tanah, maka pada tanggal 24 September 1960 diundangkan UUPA untuk mengatur sistem tanah nasional di Indonesia.

Keberadaan hak barat masih ada yang berlaku di Indonesia khususnya di kota Surabaya, hak itu dengan masih berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara, Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1960 tentang Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda, Peraturan Kabinet Dwikora Republik Indonesia Nomor 5/Prk/1965 tentang Penegasan Status Rumah/Tanah Kepunyaan Badan-Badan Hukum yang Ditinggal Direksi/Pengurusnya. Pemberlakuan peraturan tersebut diatas terbatas pada penguasaan tanah Negara yang masih ada di kota Surabaya.

UUPA sebagai Undang-Undang yang mengatur mengenai tanah pun sudah menetapkan bahwa tanah-tanah yang mana masih berlaku hak barat mulai tanggal 24 September 1980 berlaku menjadi tanah negara, hal ini lebih dikenal dengan Konversi Hak Atas tanah. Konversi ini memberikan kepastian hukum kepada pemilik tanah yang menempati secara turun-temurun dengan adanya penyesuain hak, yaitu berupa Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai. Selain itu ada pula Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1960 tentang Pelaksanaan Ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria, Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat, Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Permohonan dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat. Dengan berlakunya konversi tersebut semua tanah menjadi tanah Negara, dalam hal ini Negara bukan sebagai pemilik namun sebagai penguasa, penguasaan tanah Negara ini dapat diberikan kepada subyek hukum yang mana subyek hukum ini terdiri atas perorangan dan badan hukum. Badan hukum terbagi atas badan hukum privat dan publik. Dalam kasus yang penulis teliti, badan hukum privat adalah PT Setia Kawan Abadi sedangkan badan hukum publik adalah Pemerintah Kota Surabaya. Pada badan hukum tersebutterjadi sengketa penguasaan kepemilikan Tanah Gelora Pancasila Jalan Indragiri Nomor 6 Surabaya. Sengketa

9 Ibid hal. 351

5

Page 6: TINJAUAN YURIDIS PENGUASAAN TANAH NEGARA BEKAS HAK BARAT DI KOTA SURABAYA STUDI KASUS GELORA PANCASILA NO. 6 SURABAYA

Header halaman gasal: Penggalan Judul Artikel Jurnal

penguasaan kepemilikan tanah tersebut yang menjadi fokus penelitian.

METODE PENELITIANPenelitian yang dilakukan oleh penyusun

merupakan jenis penelitian normatif. Menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar awal melakukan analisis terhadap penguasaan tanah Negara di Kota Surabaya serta dianalisis dalam rangka melihat fenomena kasus antara Pemerintah Kota Surabaya dengan PT Setia Kawan Abadi yang telah diputus oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya. Jenis bahan hukum yang digunakan yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan data dengan studi pustaka terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik analisis bahan hukum dianalisis secara prekriptif.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Kasus Posisi

Gemeente Soerabaja dibentuk tanggal 1 April 1906, luas tanah gemeente itu adalah 4.275 Ha. Pembentukan status gemeente berdampak pada pesatnya pengembangan wilayah Surabaya. Untuk memenuhi kebutuhan tanah, maka Pemerintah Gemeente Soerabaja melakukan pembelian kembali (buy back) tanah-tanah partikelir yang dikuasai oleh perorangan atau badan hukum.

Pada tahun 1921 Pemerintah Gemeente Soerabaja mendirikan Perusahaan Tanah dan Bangunan (Grond en Woningbedrijf) untuk keperluan pengaturan tanah dan bangunan di Kota Surabaya. Perusahaan ini bertugas untuk membeli kembali tanah-tanah bagi keperluan perluasan dan pembangunan kota. Selain membeli, perusahaan ini juga bertugas menjual kembali tanah-tanah yang dibeli kepada pihak ketiga yang membutuhkan tanah. Tanah-tanah yang dibeli sebagian besar adalah tanah partikelir yang semula dikuasai oleh para tuan tanah. Tanah-tanah yang telah dibeli ini dijual kembali kepada perusahaan-perusahaan swasta yang membutuhkan. Dengan kata lain, tugas Grond en Woningbedrijf adalah mengelola tanah dan rumah-rumah milik Gemeente Soerabaja.

Pada tahun 1931 Grond en Woningbedrijf sebagai perusahaan yang dibuat oleh Gemeente Soerabaja menguasai dan mengelola tanah yang amat luas yaitu sekitar 1.055 hektar hampir 15 persen dari luas kota Surabaya sekitar 8.280 hektar yang diperjualbelikan dan disewakan.

Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, tanah-tanah partikelir dihapus berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir. Dengan berlakunya Undang-Undang tersebut, hak-hak pemilik tanah partikelir atas tanahnya beserta hak-hak pertuanannya seluruhnya hapus karena hukum, sehingga seluruhnya menjadi tanah Negara.

Tanah Negara bekas hak barat Eigendom Verponding Nomor 12324 atas nama De Stads Gemeente Soerabaja yang terletak di Jalan Indragiri Nomor 6 Kota Surabaya merupakan salah satu dari tanah Negara yang penguasaannya ada pada Pemerintah Kota Surabaya. Awal mula dibangunnya Gedung Gelora Pancasila karena pada tahun 1969 Surabaya menjadi tuan rumah penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) ke VII dikarenakan pada saat itu tidak tersedia gedung olah raga hanya ada lapangan atletik dan sepak bola, maka Pemerintah Kota Surabaya bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk penyelenggaraan PON tersebut. Gedung olah raga Pancasila di bangun oleh Yayasan Gelora Pancasila. Pemerintah daerah telah menyerahkan penguasaan secara sukarela tanah seluas 7.500 M2 kepada Yayasan Gelora Pancasila untuk kegiatan olah raga yang sepenuhnya dikelola yayasan.

Pada tahun 1989 Yayasan Gelora Pancasila menjual Gedung Olah Raga kepada PT Setia Kawan Abadi. Sejak membeli PT Setia Kawan Abadi menguasai dan mengelola secara aktif Gedung Gelora Pancasila. Namun pada tahun 1993 tanpa sepengetahuan PT Setia Kawan Abadi telah terbit Sertipikat Hak Pakai atas nama Pemerintah Daerah Tingkat II Surabaya ( sekarang menjadi Pemerintah Kota Surabaya).

Gedung Gelora Pancasila berdiri diatas sebagian tanah negara bekas Eigendom Verponding Nomor 12324 sisa atas nama De Stads Gemeente Soerabaja. Berdasarkan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah disingkat SKPT, tanggal 6 September 1985 Nomor 919/85.86 atas permohonan ketua Badan Pendapatan Daerah Kotamadya Surabaya, maupun SKPT tanggal 20 maret 1978 Nomor 328/29.78 atas permohonan Soepangat qq. Yayasan Gelora Pancasila, tanah tersebut dahulu tertulis atas nama De Stads Gemeente Soerabaja. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1950 dengan berdirinya Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya, tanah-tanah tersebut menjadi dalam penguasaan atau pengelolaan Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya dan hal tersebut ditegaskan sesuai dengan Surat Menteri Dalam Negeri tanggal 31 Mei 1986 Nomor 020/2276/PUOD, khususnya angka 7 butir 1 yang selengkapnya berbunyi “tanah yang belum ada sesuatu hak diantaranya tetapi sudah dikuasai dan dimanfaatkan Pemerintah Daerah sejak sebelum Daerah yang bersangkutan menjadi Daerah otonom, tanah dimaksud termasuk tanah milik atau yang dikuasai Pemerintah Daerah yang bersangkutan.

Tanah Gelora Pancasila yang sekarang sudah berstatus hak pakai atas nama Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya, sebenarnya diakui oleh pihak pengurus Yayasan Gelora Pancasila bahwa Gedung Gelora Pancasila berdiri diatas tanah persewaan (sekarang menjadi Ijin Pemakaian Tanah) Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya. Adapun mengenai tidak dikenainya uang sewa terhadap ijin pemakaian tanah kepada Yayasan Gelora Pancasila karena selama ini Pemerintah Kotamadya Daerah

6

Page 7: TINJAUAN YURIDIS PENGUASAAN TANAH NEGARA BEKAS HAK BARAT DI KOTA SURABAYA STUDI KASUS GELORA PANCASILA NO. 6 SURABAYA

Header halaman gasal: Penggalan Judul Artikel Jurnal

Tingkat II Surabaya berpendapat Yayasan Gelora Pancasila merupakan Yayasan milik Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur, sesuai surat Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya tanggal 24 Februari 1987 Nomor 181.2/456/411.12/1987 dan tanggal 4 Maret 1989 Nomor 181.2/578/411.12/1989 dan dengan surat tanggal 7 Oktober 1987 Nomor 181.2/21087/013/87 perihal Gedung Gelora Pancasila surabaya, khususnya huruf a, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur telah menyetujui usul Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya untuk mengelola Gedung Gelora Pancasila Surabaya.

Berdasarkan Surat Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur tanggal 7 Oktober 1987 Nomor 181.2/21087/013/87 perihal Gedung Gelora Pancasila Surabaya, khususnya huruf b, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur telah memerintahkan kepada Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya untu segera mengajukan permohonan hak atas tanah Gedung Gelora Pancasila, tetapi karena keterbatasan dana maka baru pada tanggal 7 Juni 1990 Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya mengajukan permohonan hak atas tanahnya dan pada tanggak 10 Maret 1993 telah diterbitkan sertipikat Hak Pakai Nomor 39 kelurahan Darmo atas nama Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya.

Penerbitan Sertipikat Hak Pakai itulah yang menjadi objek sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya. Karena dalam hal ini PT Setia Kawan Abadi merasa mempunyai hak prioritas untuk mengajukan hak atas tanah serta tidak pernah ada pemberitahuan proses penerbitan surat keputusan/Sertipikat, tidak pernah ada ijin pengukuran serta tidak diumumkan.

PT Setia Kawan Abadi adalah pemilik bangunan yang sah berdasarkan akta Jual Beli dengan Yayasan Gelora Pancasila Nomor 32 tanggal 25 Mei 1989 seluas kurang lebih 3.500 M2, yang berdiri diatas sebidang tanah seluas ± 7.500 M2, dengan batas-batas : Sebelah Utara : Perkampungan Penduduk;Sebelah Timur : Jl. Indragiri;Sebalah Selatan : Jl. Bodri;Sebelah Barat : Lapangan Olah Raga THOR;atau setempat dikenal sebagai Jl. Indragiri No. 6 Surabaya, dan di Surabaya dikenal sebagai Gedung Olah Raga (Gelora) Pancasila, gedung tersebut dibangun oleh Yayasan Gelora Pancasila sekitar tahun 1968. Gedung tersebut diperoleh oleh PT Setia Kawan Abadi dengan membeli dari Yayasan Gelora Pancasila Surabaya berdasarkan akta jual beli tanggal 25 Mei 1989 Nomor 32 dibuat dihadapan Eugenie Gandareja, SH. Notaris di Surabaya dan di perbaiki berdasarkan akta reftifikasi tanggal 11 Mei 1995 Nomor 6 dibua dihadapan Jeanne Hartati Santoso, SH. Notaris di Surabaya, sejak membeli PT Setia Kawan Abadi menguasai dan mengelola secara aktif Gedung Gelora Pancasila tersebut.

Bahwa tanah yang terletak di Jalan Indragiri Nomor 6 semula berstatus Hak Eigendom Verponding Nomor

12324, luas seluruhnya 142.600 M2, tertulis atas nama De Stads Gemeente Soerabaja, menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara sejak tanggal 24 September 1960.

Kemudian tanah seluas 25.780 M2 sebagian dari seluas 142.600 M2 tersebut diajukan permohonan hak pakai oleh Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya pada Kantor Pertanahan Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya dengan surat permohonan tanggal 7 Juli 1990 Nomor 593/2592/402.5.12/1990 yang ditandatangani oleh Drs. Soenarjo yang bertindak untuk dan atas nama Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya dan telah dilakukan pemeriksaan tanah oleh Panitia Pemeriksaan Tanah A Kantor Pertanahan Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya dan hasilnya tertuang dalam Risalah Panitia Pemeriksaan Tanah A tanggal 20 Agustus 1992.

Di atas tanah tersebut pada waktu pemeriksaan di lapangan terdapat bangunan milik Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Timur yang dipergunakan untuk lapangan Olah Raga yang dikenal dengan Gedung Gelora Pancasila yang dikelola oleh Yayasan Gelora Pancasila.

Setelah dilaksanakan pengukuran oleh Kantor Pertanahan Kotamadya Surabaya, maka luas tanah yang dapat diberikan sesuatu hak adalah seluas 25.780 M2 sesuai dengan Surat Ukur tanggal 11 April 1991 Nomor 259/S/1991. Berdasarkan Nota Dinas dari Dinas Tata Kota Daerah Kotamadya Surabaya tanggal 25 Januari 1993 Nomor 593.21/07/402.5.11/1993 peruntukan tanah dilokasi tersebut adalah terkena jalur hijau.

Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya dengan suratnya tanggal 2 Februari 1993 Nomor 530.235.01-1249, meneruskan permohonan hak tersebut kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jawa Timur. Kemudian terbit Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jawa Timur tanggal 10 Februari 1993 Nomor 070/HP/35/1993 tentang Pemberian Hak Pakai kepada Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya, Surat Ukur tanggal 11 April 1991 Nomor 259/S/1991 seluas 25.780 M2, untuk jangka waktu selama dibutuhkan. Terbit pula Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jawa Timur tanggal 27 Februari 1993 Nomor 116/HP/35/1993 tentang Meralat/Membetulkan Kesalahan Ketik Yang Terdapat Dalam Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jawa Timur tanggal 10 Februari 1993 Nomor 070/HP/35/1993 tentang Pemberian Hak Pakai kepada Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya, sepanjang yang berkaitan dengan pemilikan bangunan diatas tanah yang dimohon atau diberikan Hak Pakai.

Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jawa Timur tanggal 10 Februari 1993 Nomor 070/HP/35/1993 tentang Pemberian Hak Pakai kepada Pemerintah Kotamadya

7

Page 8: TINJAUAN YURIDIS PENGUASAAN TANAH NEGARA BEKAS HAK BARAT DI KOTA SURABAYA STUDI KASUS GELORA PANCASILA NO. 6 SURABAYA

Header halaman gasal: Penggalan Judul Artikel Jurnal

Daerah Tingkat II Surabaya, Surat Ukur tanggal 11 April 1991 Nomor 259/S/1991 seluas 25.780 M2, untuk jangka waktu selama dipergunakan, didaftarkan di Kantor Pertanahan Kotamadya Surabaya dan oleh Kantor Pertanahan Kotamadya Surabaya diterbitkan Sertipikat Hak Pakai Nomor 39/K. Darmo, tanggal 10 Maret 1993, Surat Ukur tanggal 11 April 1991 Nomor 259/S/1991 seluas 25.780 M2, atas nama Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya.

Bahwa Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jawa Timur tanggal 10 Februari 1993 Nomor 070/HP/35/1993 dan Sertipikat Hak Pakai Nomor 39/K. Darmo tersebut menjadi obyek perkara di Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya dengan register perkara Nomor 34/G.TUN/1995/PTUN.SBY, dan posisi perkara sebagai berikut :Para Pihak :Penggugat : PT. Setia Kawan AbadiTergugat I : Kakanwil BPN Propinsi Jawa TimurTergugat II : Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya SurabayaTergugat Intervensi : Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II SurabayaObjek sengketa :Bahwa penggugat adalah pemilik bangunan yang sah seluas ± 3.500 M2, yang berdiri diatas sebidang tanah seluas ± 7.500 M2

Pembahasan

1. Penguasaan tanah Negara bekas hak barat yang berdiri Gedung Olah Raga Pancasila oleh Pemerintah Kota Surabaya

Penguasaan tanah Negara bekas hak barat yang berdiri Gelora Pancasila oleh Pemerintah Kota Surabaya sehingga terbit Sertipikat Hak pakai Nomor 39/K.Darmo. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Kota Besar Dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Daerah Istimewa Jogjakarta, segala milik berupa barang tetap maupun berupa barang tidak tetap dan perusahaan-perusahaan Kota Besar tersebut dalam pasal 1 daerah-daerah yang meliputi kota-kota Surabaya, Malang, Kediri, Madiun, Semarang, Pekalongan, Bandung, Bogor, Cirebon, Jogjakarta, dan Surakarta, ditetapkan menjadi Kota Besar, sebelum dibentuknya menurut undang-undang ini menjadi milik kota-kota besar tersebut dalam pasal 1 yang selanjutnya dapat menyerahkan sesuatunya kepada daerah-daerah di bawahnya. Perusahaan-perusahaan yang dimaksud untuk kota besar dalam provinsi Jawa Timur termasuk Gemeente Soerabaja. Gemeente Soerabaja merupakan perusahaan tanah dan bangunan untuk keperluan pengaturan tanah dan bangunan di Kota Surabaya. Dengan berlakunya undang-undang ini maka perusahaan Gemeente Soerabaja menjadi

milik kota besar dalam lingkungan provinsi Jawa Timur. Sesuai dengan surat Menteri Dalam Negeri tanggal 31 Mei 1986 Nomor 020/2276/PUOD, khususnya angka 7 butir 1 yang selengkapnya berbunyi “tanah yang belum ada sesuatu hak diatasnya tetapi sudah dikuasai dan dimanfaatkan Pemerintah Daerah sejak sebelum daerah yang bersangkutan menjadi Daerah Otonom, tanah dimaksud termasuk tanah milik atau yang dikuasai Pemerintah Daerah yang bersangkutan.

Azas pemisahan horisontal hak atas tanah yang dianut Hukum Agraria dimana pemilik bangunan belum tentu pemilik tanah. Dimana PT Setia Kawan Abadi hanya memiliki bangunan (Gedung Gelora Pancasila), sedangkan tanahnya adalah tanah Negara bekas Eigendom Verponding Nomor 12324 yaitu tertulis atas nama De Stads Gemeente Soerabaja, sekarang Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya.

Pasal 5 huruf b Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah, “permohonan pemberian hak pakai atas tanah Negara, yang akan dipergunakan sendiri oleh suatu Departemen/Direktorat Jenderal, Lembaga-lembaga Negara non Departemen atau Pemerintah Daerah. Dalam surat tanggal 7 Oktober 1987 Nomor 181.2/21087/013/87 perihal Gedung Gelora Pancasila Surabaya, khususnya huruf a, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur telah menyetujui usul Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya untuk mengelola Gedung Gelora Pancasila Surabaya. Berdasarkan surat tanggal 7 Oktober 1987 Nomor 181.2/21087/013/87 perihal Gedung Gelora Pancasila Surabaya, khususnya huruf b, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur telah memerintahkan kepada Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya untuk segera mengajukan permohonan hak atas tanah Gedung Gelora Pancasila, tetapi karena keterbatasan dana maka baru pada tanggal 7 Juni 1990 Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya mengajukan permohonan hak atas tanahnya dan pada tanggal 10 Maret 1993 telah di terbitkan sertipikat Hak Pakai Nomor 39 Kelurahan Darmo. Disamping hak tersebut diatas, Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Jawa Timur dalam memproses Surat Keputusan Pemberian Hak Pakai kepada Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya berpedoman pada petunjuk Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 4 Mei 1992 Nomor 500-1255 berserta lampirannya, antara lain menyatakan bahwa apabila diatas tanah Instansi Pemerintah berdiri bangunan milik perorangan atau badan hukum swasta, tanahnya tetap diberikan kepada Instansi Pemerintah, pemegang hak semula. Bahwa Pemerintah dalam hal ini Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional berwenang memberikan hak atas tanah kepada

8

Page 9: TINJAUAN YURIDIS PENGUASAAN TANAH NEGARA BEKAS HAK BARAT DI KOTA SURABAYA STUDI KASUS GELORA PANCASILA NO. 6 SURABAYA

Header halaman gasal: Penggalan Judul Artikel Jurnal

seseorang atau badan hukum menurut undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) pasal 2 ayat (2) dan tata cara diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972 jo. Nomor 5 Tahun 1973.

Pasal 25 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1973 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah, Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari Tanah Negara, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh Pejabat yang berwenang, sebagimana dimaksud dalam pasal 41 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang menyebutkan ayat 1, Hak Pakai adalah untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewe-menyewa atau perjanjian pengelolaan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini. Pasal 26 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1973 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah, Hak Pakai atas tanah Negara dapat diberikan kepada :a. Warganegara Indonesiab. Orang asing yang berkedudukan di Indonesiac. Badan-badan Hukum yang didirikan menurut

hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia

d. Badan Hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya sebagai Badan Hukum Publik berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Kota-Kota Besar Dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Daerah Istimewa Jogjakarta berhak mengajukan Hak Pakai atas tanah Negara dari Gelora Pancasila.

Penjelasan pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 Tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara, Ketentuan ini bermaksud memberi kemungkinan bagi Daerah-daerah Swatantra ( daerah swatantra ialah daerah yang diberikan hak untuk mengatur rumah tangganya sendiri, sebagai yang dimaksud dalam pasal 131 Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia) dalam upaya memperbaiki perumahan rakyat pada saat itu. Dalam zaman sebelum perang dunia ke II beberapa Stads Gemeente menyelenggarakan “perusahaan tanah”, yang bermaksud selain menambah pemasukan keuangan daerah, juga mengusahakan perumahan penduduknya. Daerah-daerah tersebut kemudian diberi tanah oleh Pemerintah Pusat

dengan harga rendah untuk kemudian dijual atau disewakan kepada penduduk dengan perjanjian, bahwa diatas tanah itu akan didirikan rumah, sesuai dengan rencana pembangunan kota yang bersangkutan.

Penjelasan umum, menurut “domeinverklaring” yang antara lain dinyatakan di dalam pasal I “Agrarisch Besluit”, semua tanah yang bebas sama sekali dari hak seseorang (baik yang berdasar atas hukum adat asli Indonesia, maupun yang berdasar atas hukum barat) di anggap menjadi “vrij landsdomein” yaitu tanah-tanah yang dimiliki dan dikuasau penuh oleh Negara. Tanah-tanah demikian itulah yang di dalam Peraturan Pemerintah ini disebut “tanah Negara”. Didalam bab III Peraturan Pemerintah ini ditetapkan, bahwa benda-benda milik Negara yang tidak bergerak (jadi termasuk tanah-tanah Negara) dianggap ada dibawah penguasaan Departemen, yang menurut anggaran belanja, membiayai pemeliharaannya. Penguasaan tanah Negara oleh suatu instansi Pemerintah untuk mempergunakan tanah Negara itu menurut peruntukannya.

Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat dijelaskan bahwa bekas pemegang hak yang memenuhi syarat dan mengusahakan atau menggarap sendiri tanah atau bangunan, akan diberikan hak baru atas tanahnya, kecuali apabila tanah-tanah tersebut diperlukan untuk proyek-proyek pembangunan bagi penyelenggaraan kepentingan umum. Keputusan Presiden ini menjadi dasar hukum pada kasus yang penyusun teliti dikarenakan dasar dari kepemilikan PT Setia Kawan Abadi sebatas luas 7.196 di Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya hingga tingkat Peninjauan Kembali dikarenakan yang menjadi dasar hukum oleh hakim karena PT Setia Kawan Abadi mengusahakan dan menggarap sendiri tanah atau bangunan Gelora Pancasila.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1979 Tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Permohonan Dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat pasal 12 ayat 1 b tanah yang bersangkutan dikuasai dan dipergunakan sendiri oleh bekas pemegang haknya. Pemegang hak yang terdahulu ada De Stads Gemeente Soerabaja yang setelah adanya konversi menjadi kepemilikan dari Pemerintah Kota Surabaya.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1950, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1973, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953, Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa :1. Tanah Negara bekas hak barat Eigendom

Verponding Nomor 12324 atas nama De Stads

9

Page 10: TINJAUAN YURIDIS PENGUASAAN TANAH NEGARA BEKAS HAK BARAT DI KOTA SURABAYA STUDI KASUS GELORA PANCASILA NO. 6 SURABAYA

Header halaman gasal: Penggalan Judul Artikel Jurnal

Gemeente Soerabaja sehingga terbit Sertipikat Hak Pakai Nomor 39/K Darmo atas nama Pemerintah Kota Surabaya seluas 25.780 M2 merupakan tanah Negara tidak bebas, yang mana menurut Prof. Boedi Harsono bahwa menguasai ada dalam 2 hal yaitu menguasai secara fisik dan menguasai secara yuridis. Dalam hal ini Pemerintah Kota Surabaya menguasai secara yuridis tanah Negara tersebut, sedangkan PT Setia Kawan Abadi mengauasai secara fisik Gedung Olah Raga Pancasila seluas 7.500 M2. Asas pemisahan horizontal yang dianut Hukum Agraria Indonesia yang mengacu dalam pembahasan ini, bahwa pemilik tanah belum tentu sebagai pemilik bangunan dan sebaliknya.

2. Tanah Negara bekas hak barat atas nama De Stads Gemeente Soerabaja tersebut merupakan asset dari Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya sehingga memang perlu untuk disertipikatkan.

3. Namun dalam proses sertipikasi yang diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1979 Tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Permohonan Dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat dalam angka 5 dan 6 diatas seharusnya Pemerintah Kota Surabaya menyelesaikan dahulu kepemilikan bangunan Gelora Pancasila yang semula dimiliki oleh Yayasan Gelora Pancasila yang kemudian dipindahtangankan kepada PT Setia Kawan Abadi.

Berdasarkan Putusan Tata Usaha Negara Surabaya, sertipikat yang diterbitkan dianggap cacat hukum melanggar asas kecermatan dan asas pertimbangan/motivasi dari asas-asas umum pemerintahan yang baik, karena ada bangunan yang bukan kepemilikan Pemerintah Kotamadya Surabaya seluas ± 3.500 M2 yang berdiri diatas sebidang tanah seluas ± 7.500 M2.

2. Hambatan PT Setia Kawan Abadi sehingga tidak dapat mensertipikatkan tanah Gelora Pancasila

Kasus sengketa Tata Usaha Negara antara PT Setia Kawan Abadi dengan Pemerintah Kota Surabaya yang penyelesaiannya sampai pada upaya hukum Peninjauan Kembali pada tanggal 29 Mei 2002 hakim mengabulkan gugatan dari PT Setia Kawan Abadi. Berdasarkan putusan yang sudah inkracht tersebut PT Setia Kawan Abadi dapat mengajukan permohonan hak atas tanah sebatas luas 7.196 M2 di atas tanah Negara bekas Eigendom Verponding 12324 atas nama De Stads

Gemeente Soerabaja ke kantor Badan Pertanahan Kota Surabaya.

Berdasarkan surat permohonan Peninjauan Kembali oleh PT Setia Kawan Abadi (merupakan Putusan Peninjauan Kembali Nomor 23.PK/TUN/2001 tanggal 29 Mei 2002) Badan Pertanahan Nasional menindaklanjuti surat permohonan tersebut melalui Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 30-VI-2004 tentang Pembatalan Hak Pakai Nomor 39/Kelurahan Darmo, atas nama Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya, di Jalan Indragiri Nomor 6, Kota Surabaya, Propinsi Jawa Timur. Dengan adanya Putusan hakim tersebut maka konsekuensi hukum terhadap tanah Gelora Pancasila harus mencabut Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jawa Timur Nomor 070/HP/35/1993 tanggal 10 Februari tentang Pemberian Hak Pakai kepada Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya, Surat Ukur tanggal 11 April 1991 Nomor 259/S/1991 sebata luas 7.500 M2 sebagaimana dimaksud amar putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 23.PK/TUN/2001 tanggal 29 Mei 2001 yang letak, batas dan luasnya diuraikan dalam peta bidang tanah tanggal 29 Oktober 2004 dengan Nomor Identifikasi Bidang (NIB) 12.01.04.06.01595 yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kota Surabaya yang setelah dilakukan pengukuran secara kadastral luas tanah yang dinyatakan batal adalah 7.196 M2 dari 25.780 yaitu luas seluruh Hak Pakai atas nama Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya.

Membatalkan Hak Pakai Nomor 39 Kelurahan Darmo tanggal 10 Maret 1993, atas nama Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya sebagian yaitu seluas 7.500 M2 sebagimana diuraikan dalam peta bidang tanah tanggal 29 Oktober 2004 dengan Nomor Identifikasi Bidang (NIB) 12/01.04.06.01595 yang diterbitkan oleh Kantor Badan Pertanahan Kota Surabaya yang setelah dilakukan pengukuran secara kadastral luas hak tanah yang dinyatakan batal adalahh 7.196 M2 dari 25.780 M2 yaitu luas seluruh Hak Pakai Nomor 39/Kelurahan Darmo Surat Ukur Nomor 259/S/1991 tanggal 11 April 1991 dan menyatakan status tanahnya seluas 7.196 M2 yang letak dan batasnya diuraikan dalam peta bidang tanggal 29 Oktober 2004 Nomor Identifikasi Bidang (NIB) 12.01.04.06.01595 kembali menjadi tanah yang dikuasai oleh Negara atas nama De Stads Gemeente Soerabaja.

Memerintahkan kepada Kepala Badan Pertahana Kota Surabaya untuk mencatat batalnya Hak Pakai Nomor 39/Kelurahan Darmo tanggal 10 Maret 1993, atas nama Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya sebagian yaitu seluas 7.500 M2 berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 23/PK/TUN/2001 tanggal 29 Mei 2002 yang letak, batas dan luasnya

10

Page 11: TINJAUAN YURIDIS PENGUASAAN TANAH NEGARA BEKAS HAK BARAT DI KOTA SURABAYA STUDI KASUS GELORA PANCASILA NO. 6 SURABAYA

Header halaman gasal: Penggalan Judul Artikel Jurnal

sebagaimana diuraikan dalam peta bidang tanah tanggal 29 Oktober 2004 dengan Nomor Identifikasi Bidang (NIB) 12.01.04.06.01595 yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kota Surabaya yang setelah dilakukanas pengukuran secara kadastral adalah 7.196 M2 dari 25.780 M2 yaitu luas seluruh Hak Pakai Nomor 39/Kelurahan Darmo, Surat Ukur Nomor 259/S/1991 pada buku tanah dan daftar umum yang ada dalam administrasi pendaftaran tanah, selanjutnya mencatat kata-kata sisa pada buku tanah dan Sertipikat Hak Pakai Nomor 39/Kelurahan Darmo setelah luasnya dikurangi 7.196 M2. Mengeluarkan bidang tanah sebagaimana diuraikan dalam peta bidang tanggal 29 Oktober 2004 dengan Nomor Identifikasi Bidang (NIB) 12.01.04.06.01595 seluas 7.196 M2 dari lokasi Hak Pakai Nomor 29/Kelurahan Darmo yang diuraikan dalam Surat Ukur Nomor 259/S/1991 tanggal 11 April 1991. Menarik Sertipikat Hak Pakai Nomor 39/Kelurahan Darmo atas nama Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya dari peredaran.

Kenyataannya hingga sekarang ini Pemerintah Kota Surabaya belum menyerahkan Sertipikat Hak Pakai Nomor 39/Kelurahan Darmo tersebut dikarenakan tanah Gelora Pancasila merupakan asset dari Pemerintah Kota Surabaya. Berdasarkan resume rapat yang diselenggarakan pada tanggal 17 November 2003 di Dinas Pengelolaan Tanah Dan Bangunan Rumah Kota Surabaya membahas tanah asset Pemerintah Kota Surabaya terletak di Jalan Indragiri, Kelurahan Darmo, Kecamatan Wonokromo, Surabaya (Gedung Gelora Pancasila) kesimpulan rapat : “Sehubungan dengan surat dari Kantor Pertanahan Kota Surabaya, perihal permohonan pembatalan Sertipikat Hak Pakai Nomor 39/Kelurahan Darmo, maka bagian hukum memproses konsep surat permohonan persetujuan pelepasan asset ke DPRD Kota Surabaya”.

Permohonan persetujuan pelepasan asset Negara yang dikuasai oleh Pemerintah Kota ke DPRD tersebut berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara pada pasal 45 ayat 1 “Barang milik Negara/Daerah yang diperlukan bagi penyelenggaraan tugas pemerintahan Negara/Daerah tidak dapat dipindahtangankan”. Ayat 2 “ Pemindahtanganan barang milik Negara/Daerah dilakukan dengan cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan, atau disertakan sebagai modal Pemerintah setelah mendapat persetujuan DPR/DPRD. Maka dari itu hingga saat ini DPRD belum menyetujui pelepasan asset Tanah Gelora Pancasila tersebut. Sehingga PT Setia Kawan Abadi belum dapat memproses pendaftaran hak atas tanah Gelora Pancasila sebatas 7.196 M2, karena sertipikat masih dalam penguasaan Pemerintah Kota Surabaya.

Pasal 45 ayat 2 Pemindahtanganan barang milik negara/daerah dilakukan dengan cara dijual, dipertukarkan, atau disertakan sebagai modal

Pemerintah setelah mendapat persetujuan DPR/DPRD. Pasal 47 persetujuan DPRD sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (2) dilakukan untuk :a. Pemindahtanganan tanah dan/atau bangunanb. Tanah dan/atau bangunan sebagimana dimaksud

pada huruf a ayat ini tidak termasuk tanah dan/atau bangunan yang :1) Sudah tidak sesuai dengan tata ruang

wilayah atau penataan kota;2) Harus dihapuskan karena anggaran untuk

bangunan pengganti sudah disediakan dalam dokumen pelaksanaan anggaran;

3) Diperuntukkan bagi pegawai negeri;4) Diperuntukkan bagi kepentingan umum;5) Dikuasai daerah berdasarkan keputusan

pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan/atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan, yang jika status kepemilikkannya dipertahankan tidak layak secara ekonomis.

Pasal 5 Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 Tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat, Tanah-tanah perkampungan bekas Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai asal konversi hak Barat yang telah menjadi perkampungan atau diduduki rakyat, akan diprioritaskan kepada rakyat yang mendudukinya setelah dipenuhinya persyaratan-persyaratan yang menyangkut kepentingan bekas pemegang hak tanah. PT Setia Kawan Abadi sudah menempati dan sebagai pemilik Gedung Gelora Pancasila sejak membeli dari yayasan Gelora Pancasila berdasarkan akta nomor 32 tanggal 25 Mei 1989. Berdasarkan Keputusan Presiden ini harus diberikan hak prioritas untuk mengajukan hak kepada Badan Pertanahan Nasional.

Pasal 14 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1979 Tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Permohonan Dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat, Tanah-tanah bekas Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang tidak termasuk golongan Pasal 12 dan 13 diselesaikan secara tersendiri, dengan mengingat ketentuan pasal 2 dan dengan memperhatikan pihak-pihak yang berkepentingan serta faktor-faktor khusus yang menurut kenyataannya mempengaruhi kasus yang bersangkutan.

Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya tanggal 31 Agustus 1995 Nomor 34/G.TUN/1995/PTUN.SBY juncto Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya tanggal 25 Januari 1996 Nomor 90/B/B/1995/PT.TUN.SBY juncto Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 28 Oktober 1999 Nomor 165/TUN/1996 dan Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 29 Mei 2002 Nomor

11

Page 12: TINJAUAN YURIDIS PENGUASAAN TANAH NEGARA BEKAS HAK BARAT DI KOTA SURABAYA STUDI KASUS GELORA PANCASILA NO. 6 SURABAYA

Header halaman gasal: Penggalan Judul Artikel Jurnal

23.PK/TUN/2001 yang amar putusannya : Menyatakan batal Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jawa Timur, tanggal 10 Februari 1993 Nomor 070/HP/35/1993, mengenai pemberian Hak Pakai kepada Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya atas tanah terletak di Jalan Indragiri, Kelurahan Darmo, Kecamatan Wonokromo, Surabaya, sebatas luas 7.500 M2. Menyatakan batal sertipikat Hak Pakai Nomor 39/K. Darmo, atas nama Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya, Surat Ukur tanggal 11 April 1991 Nomor 259/S/1991, sebatas luas 7.500 M2.

Pendaftaran tanah berdasarkan pasal 3 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun, dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Pasal 4 ayat (1) untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf a kepada pemegang hak yang bersangkutan diberikan sertipikat hak atas tanah. Pasal 9 ayat (1) obyek pendaftaran tanah meliputi : bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai; tanah hak pengelolaan; tanah wakaf; hak milik satuan rumah susun; hak tanggungan; dan tanah Negara. Kasus Gelora Pancasila bahwa Pemerintah Kota Surabaya belum menyerahkan Sertipikat Hak Pakai Nomor 39/Kelurahan Darmo Kepada PT Setia Kawan Abadi. Padahal berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 23/PK/TUN/2001 tanggal 29 Oktober 2004 Sertipikat Hak Pakai Nomor 39/Kelurahan Darmo setelah dilakukan pengukuran luas tanah secara kadastral adalah 7.196 M2 dari 25.780 M2. Pada buku tanah dan Sertipikat Hak Pakai tersebut dikurangi 7.196 M2. Pemerintah berasumsi bahwa tanah tersebut merupakan asset dari Pemerintah Kota sehingga PT Setia Kawan Abadi tidak dapat memproses hak atas tanah seluas 7.196 M2 yang berdiri Gedung Olah Raga Pancasila Jalan Indragiri Nomor 6 Surabaya.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004, Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1979, Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya tanggal 31 Agustus 1995 Nomor 34/G.TUN/1995/PTUN.SBY juncto Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya tanggal 25 Januari 1996 Nomor 90/B/B/1995/PT.TUN.SBY juncto Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 28 Oktober 1999 Nomor 165/TUN/1996 dan Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 29 Mei 2002 Nomor

23.PK/TUN/2001, dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, dapat diketahui bahwa :1. PT Setia Kawan Abadi sebagai pemilik

bangunan Gelora Pancasila yang berdiri diatas tanah seluas 7.500 M2 yang menurut Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat juncto Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1979 Tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Permohonan Dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat sehingga mendapat prioritas untuk dapat mengajukan hak atas tanah nya.

2. Tetapi status tanah Jalan Indragiri Nomor 6 yang berdiri bangunan Gedung Olah Raga Pancasila merupakan asset Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya yang harus diselesaikan dahulu atau diberikan ganti rugi kepada negara atau Pemerintah Daerah Tingkat II Surabaya.

3. Dalam putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Inkracht) dalam amar putusannya tidak memerintahkan kantor Badan Pertanahan Nasional kota Surabaya untuk memproses permohonan sertipikat hak atas tanah atas nama PT Setia kawan abadi yang berdiri bangunan Gelora Pancasila.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Penguasaan tanah Negara bekas hak barat Eigendom Verponding Nomor 12324 atas nama De Stads Gemeente Soerabaja Jalan Indragiri Nomor 6 Surabaya dikenal sebagai Gelora Pancasila sehingga terbit Sertipikat Hak Pakai Nomor 39/K. Darmo atas nama Pemerintah Kota Surabaya terkena ketentuan Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Permohonan Dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat. Bahwa Gedung Olah Raga seluas 7.500 M2 yang berdiri diatas tanah Negara tersebut adalah sah milik PT Setia Kawan Abadi. Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Peninjauan Kembali Nomor 23.PK/TUN/2001 dalam pertimbangan hukumnya prioritas yang diberikan untuk mengajukan hak kepada Badan Pertanahan Nasional adalah orang atau badan hukum yang secara de facto menguasai persil/tanah tersebut yang dalam hal ini adalah PT Setia Kawan Abadi. Sehingga dalam hal ini Sertipikat Hak Pakai Nomor 39/K Darmo cacat hukum. Penguasaan Tanah Negara tersebut merupakan tanah negara tidak bebas yang mana berasal dari Hak Barat De Stads Gemeente Soerabaja yang sekarang ada dalam penguasaan Pemerintah Kota Surabaya dibawah

12

Page 13: TINJAUAN YURIDIS PENGUASAAN TANAH NEGARA BEKAS HAK BARAT DI KOTA SURABAYA STUDI KASUS GELORA PANCASILA NO. 6 SURABAYA

Header halaman gasal: Penggalan Judul Artikel Jurnal

Dinas Pengelolaan Tanah dan Bangunan. Sehingga kita harus mengamankan asset dari Negara kita, karena dalam hal ini Pemerintah Kota Surabaya sebagai badan hukum publik yang berkapasitas untuk kepentingan umum bagi masyarakat Kota Surabaya, sedangkan PT Setia Kawan Abadi lebih pada kepentingan keuntungan.

2. Hambatan PT Setia Kawan Abadi dalam memproses Sertipkat karena Penguasaan tanah Negara bekas hak barat Eigendom Verponding Nomor 12324, seluas 25.780 M2, atas nama De Stads Gemeente Soerabaja, yang terletak di Jalan Indragiri Nomor 6 Surabaya adalah asset dari Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya (sekarang Pemerintah Kota Surabaya) berdasarkan Undang-Undang nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Pelapasan asset tersebut harus berdasarkan persetujuan DPRD, yang hingga saat ini belum ada tanggapan dari DPRD Kota Surabaya

Saran

1. Pemerintah Kota Surabaya untuk dapat menguasai tanah Negara bekas hak barat Eigendom Verponding 12324 seluas 7.196 M2, atas nama De Stads Gemente Soerabaja, disarankan untuk menyelesaikan kepemilikan bangunan Gedung Olah Raga Pancasila dengan PT Setia Kawan Abadi selaku pemilik bangunan.

2. PT Setia Kawan Abadi untuk dapat menguasai tanah Negara bekas hak barat Eigendom Verponding Nomor 12324, seluas 7.196 M2, atas nama De Stads Gemeente Soerabaja, disarankan untuk menyelesaikan masalah kepemilikan tanah dengan Pemerintah Kota Surabaya selaku pemilik tanah/pemegang asset.

3. Untuk menyelesaikan sengketa kepemilikan tanah Negara bekas hak barat Eigendom Verponding Nomor 12324, seluas 7.196 M2, atas nama De Stads Gemeente Soerabaja yang berdiri bangunan Gedung Olah Raga Pancasila, disarankan melalui putusan Pengadilan Negeri Surabaya (putusan perdata).

4. Disarankan untuk dilakukan perjanjian kerja sama (win-win solution) antara Pemerintah Kota Surabaya dengan PT Setia Kawan Abadi dalam rangka memanfaatkan tanah Negara bekas hak barat Eigendom Verponding Nomor 12324, seluas 7.196 M2, atas nama De Stads Gemeente Soerabaja dan dalam rangka pemanfaatan bangunan Gedung Olah Raga Pancasila.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Black, Henry Campbell. 1990. Black’s Law Dictionary. USA. ST. Paul. Minn : West Publishing Co.

Faizal, Sanapiah. 1982. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surabaya : Usaha Nasional.

Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad.2013. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Hadi, Sutrisno. 1976. Metodologi Research Jilid II. Yogyakarta : Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.

Harsono, Boedi. 1981. Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah. Cetakan ke-2. Jakarta : Djambatan.

____________. 1994. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta : Djambatan.

Hatta, Mohammad. 1977. Penjabaran Pasal 33 UUD 1945. Jakarta : Mutiara.

Menggala, Hasan Basri Nata dan Sarjita. 2005. Pembatalan Dan Kebatalan Hak Atas Tanah. Cetakan ke-2. Yogyakarta : Tugujogja Pustaka.

Murad, Rusmadi. 2007. Menyingkap Tabir Masalah Pertanaha, Rangkaian Tulisan dan Materi Ceramah. Bandung : Mandar Maju.

Perangin, Effendi. 1991. Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum. Jakarta : CV. Rajawali.

Poerwadarminto, W.I.S.. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.

Rahardjo, R.. 2008. Himpunan Istilah Pertanahan Dan Yang Terkait. Jakarta : Djambatan.

Singarimbun, Masri dan Sofyan Efendi. 1982. Metode Penelitian Survei. Jakarta : LP3ES.

Sodiki, Achmad. 2013. Politik Hukum Agraria. Cetakan ke-1. Jakarta : Konstitusi Press.

Soejono dan H. Abdulrahman. 1999. Metode Penulisan (Suatu Pemikiran dan Pemaparan). Jakarta : Rineka Cipta.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Cetakan ke-3. Jakarta : UI Press.

Soetanto, Endriatmo. 2006. Pancasila dan Pembaruan Agraria Falsafah Refleksi Dan Kasi Menuju Masyarakat Agraris Yang Berkeadilan Sosial, Dalam Restorasi Pancasila Mendamaikan Politik Identitas Dan Modernita., Bogor : Brighten Press.

Sumardjono, Maria S.W. 2005. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi. Bogor : Grafika Mardi Yuana.

Sunggono, Bambang. 2002. Metodologi Penelitian Hukum. Cetakan ke-4. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Surachmad, Winarno. 1982. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Teknik. Bandung : Tarsito.

Suryabrata, Sumardi. 1983. Metode Penelitian. Jakarta : CV. Rajawali.

MAKALAH / PAPERTim Peneliti Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional.

2009. Ijin Pemakaian Tanah (IPT) di Kota Surabaya (menyoal Justifikasi dan Legalitas).

13

Page 14: TINJAUAN YURIDIS PENGUASAAN TANAH NEGARA BEKAS HAK BARAT DI KOTA SURABAYA STUDI KASUS GELORA PANCASILA NO. 6 SURABAYA

Header halaman gasal: Penggalan Judul Artikel Jurnal

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGANUndang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang

Penghapusan Tanah-Tanah Partikeli. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 1517.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 77.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Lemabaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5.

Peratruan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1960 tentang Pelaksanaan Ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria.

Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat.

SKRIPSIHetarie, Inyo Cancer. 1996. Pengaruh Pengetahuan

Hukum Pertanahan Kepala Desa Terhadap Pendaftaran Tanah Dalam Menunjang Tertib Hukum Pertanahan Di Kabupaten Dati II Bogor Propinsi Dati I Jawa Barat. Skripsi. Yogyakarta : Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional.

Hetarie, Inyo Cancer. 2011. Tinjauan Hukum Terhadapa Izin Pemakaian Tanah Dalam Perspektif Hukum Tanah Di Kota Surabaya. Skripsi. Surabaya : Program Pascasarjana Universitas 17 Agustus 1945.

.

14