12
TINJAUAN PUSTAKA Pangan Fungsional Sampai saat ini, belum ada definisi yang baku mengenai pangan fungsional karena perbedaan dalam hal jenis makanan, pendapat dari organisasi profesi kesehatan, manfaat dan keamanan makanan, serta peraturan yang berlaku di berbagai negara. Pangan fungsional meliputi produk yang segar atau utuh sampai produk pangan hasil olahan, fortifikasi zat gizi dalam makanan, dan suplemen makanan. Jepang adalah negara pertama yang mendefinisikan makanan fungsional sebagai makanan bergizi yang juga mengandung bahan atau unsur yang berperan untuk membantu fungsi tubuh tertentu. Dewan informasi makanan internasional (The International Food Information Council) mendefinisikan makanan fungsional sebagai makanan yang menguntungkan bagi kesehatan, selain fungsinya sebagai zat gizi dasar (Silalahi 2006). Menurut Goldberg (1994), pangan fungsional didefinisikan sebagai pangan, baik makanan maupun minuman, yang dapat dikonsumsi sebagai komponen dalam diet sehari-hari dan bukan berbentuk kapsul, tablet ataupun bubuk akan tetapi berbentuk cairan atau minuman dan mempunyai khasiat menyembuhkan atau mencegah penyakit selain khasiat zat-zat gizi yang dikandungnya. Manfaat yang diharapkan antara lain mencegah dari timbulnya penyakit, meningkatkan daya tahan tubuh, regulasi kondisi ritme tubuh, penyehatan kembali (recovery), serta memperlambat proses penuaan. Peraturan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM 2011) menyebutkan bahwa pangan fungsional diartikan sebagai pangan olahan yang mengandung satu atau lebih komponen pangan yang berdasarkan kajian ilmiah mempunyai fungsi fisiologis tertentu diluar fungsi dasarnya dan terbukti tidak membahayakan dan bermanfaat bagi kesehatan. Pangan olahan yang mencantumkan klaim kesehatan dikelompokkan sebagai pangan fungsional. Pangan fungsional menurut BPOM harus memenuhi persyaratan berikut yaitu, mengandung jenis komponen pangan dalam jumlah yang sesuai dengan batasan yang ditetapkan, memiliki karakteristik sensori seperti penampakan, warna, tekstur atau konsistensi dan cita rasa yang dapat diterima konsumen, serta disajikan dan dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau minuman. Komponen pangan yang diizinkan sebagai komponen pangan fungsional adalah serat pangan, fitosterol dan fitostanol, gula alkohol, asam folat, dan kalsium.

TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · fungsional karena perbedaan dalam hal jenis makanan, pendapat dari organisasi profesi kesehatan, manfaat dan keamanan makanan, serta peraturan

  • Upload
    ngocong

  • View
    235

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · fungsional karena perbedaan dalam hal jenis makanan, pendapat dari organisasi profesi kesehatan, manfaat dan keamanan makanan, serta peraturan

TINJAUAN PUSTAKA

Pangan Fungsional

Sampai saat ini, belum ada definisi yang baku mengenai pangan

fungsional karena perbedaan dalam hal jenis makanan, pendapat dari organisasi

profesi kesehatan, manfaat dan keamanan makanan, serta peraturan yang

berlaku di berbagai negara. Pangan fungsional meliputi produk yang segar atau

utuh sampai produk pangan hasil olahan, fortifikasi zat gizi dalam makanan, dan

suplemen makanan. Jepang adalah negara pertama yang mendefinisikan

makanan fungsional sebagai makanan bergizi yang juga mengandung bahan

atau unsur yang berperan untuk membantu fungsi tubuh tertentu. Dewan

informasi makanan internasional (The International Food Information Council)

mendefinisikan makanan fungsional sebagai makanan yang menguntungkan

bagi kesehatan, selain fungsinya sebagai zat gizi dasar (Silalahi 2006).

Menurut Goldberg (1994), pangan fungsional didefinisikan sebagai

pangan, baik makanan maupun minuman, yang dapat dikonsumsi sebagai

komponen dalam diet sehari-hari dan bukan berbentuk kapsul, tablet ataupun

bubuk akan tetapi berbentuk cairan atau minuman dan mempunyai khasiat

menyembuhkan atau mencegah penyakit selain khasiat zat-zat gizi yang

dikandungnya. Manfaat yang diharapkan antara lain mencegah dari timbulnya

penyakit, meningkatkan daya tahan tubuh, regulasi kondisi ritme tubuh,

penyehatan kembali (recovery), serta memperlambat proses penuaan.

Peraturan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM 2011)

menyebutkan bahwa pangan fungsional diartikan sebagai pangan olahan yang

mengandung satu atau lebih komponen pangan yang berdasarkan kajian ilmiah

mempunyai fungsi fisiologis tertentu diluar fungsi dasarnya dan terbukti tidak

membahayakan dan bermanfaat bagi kesehatan. Pangan olahan yang

mencantumkan klaim kesehatan dikelompokkan sebagai pangan fungsional.

Pangan fungsional menurut BPOM harus memenuhi persyaratan berikut

yaitu, mengandung jenis komponen pangan dalam jumlah yang sesuai dengan

batasan yang ditetapkan, memiliki karakteristik sensori seperti penampakan,

warna, tekstur atau konsistensi dan cita rasa yang dapat diterima konsumen,

serta disajikan dan dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau minuman.

Komponen pangan yang diizinkan sebagai komponen pangan fungsional adalah

serat pangan, fitosterol dan fitostanol, gula alkohol, asam folat, dan kalsium.

Page 2: TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · fungsional karena perbedaan dalam hal jenis makanan, pendapat dari organisasi profesi kesehatan, manfaat dan keamanan makanan, serta peraturan

Pangan olahan yang menggunakan komponen selain yang diizinkan serta

mempunyai klaim lain harus dilakukan pengkajian terlebih dahulu.

Teh

Teh adalah minuman yang banyak dikonsumsi manusia dalam jumlah

kira-kira <120 ml per kapita per hari. Saat ini, teh merupakan minuman kedua

terpopuler di dunia setelah air putih. Kuantitas dan tipe teh yang dikonsumsi

dapat berbeda-beda di setiap suku dan negara. Selain karena unsur rasa dan

aromanya, kepopuleran teh juga disebabkan karena selama berabad-abad teh

sudah digunakan untuk tujuan kesehatan (Chaturvedula dan Prakash 2011,

Armoikaste et al 2011).

Definisi teh mengacu pada produk dari daun, kuncup daun, dan ruas dari

Camellia sinensis tanaman yang disiapkan dengan metode yang berbeda. Teh

juga mengacu pada minuman aromatik yang dibuat dari daun yang diseduh

dengan kombinasi dengan air panas atau mendidih. Tanaman teh Camellia

sinensis merupakan tanaman dari genus Camellia, genus dari tanaman

berbunga yang berasal dari famili Theaceae. Camellia sinensis merupakan

tanaman asli Asia Tenggara meskipun saat ini lebih dari 30 negara di dunia

membudidayakan tanaman ini. Daun teh segar biasa digunakan untuk

manufaktur teh dan dipetik dengan menggunakan tangan atau menggunakan

mesin (Chaturvedula dan Prakash 2011).

Ada empat bentuk teh yang merupakan hasil pengolahan dari daun

Camellia sinensis, yaitu teh hitam, teh hijau, teh oolong, dan teh putih. Teh hitam

merupakan teh yang pada pengolahannya mengalami proses fermentasi yang

menyebabkan katekin teroksidasi dan membentuk theaflavin yang memberi

warna kemerahan pada teh. Teh hijau merupakan teh yang tanpa mengalami

atau sedikit saja proses fermentasi untuk menonaktifkan enzim polifenol oksidase

sehingga teh hijau memiliki kandungan ketekin yang tinggi. Teh oolong

merupakan teh semi fermentasi sehingga terbentuk karakteristik aroma floral

pada teh. Berbeda dengan teh hitam, teh hijau, dan teh oolong yang berasal dari

bagian daun Camellia sinensis, teh putih dibuat dari pucuk daun Camellia

sinensis yang tidak mengalami proses oksidasi dan sewaktu belum dipetik

dilindungi dari sinar matahari (Karori et al 2007).

Sekitar 76-78% dari teh yang diproduksi dan dikonsumsi di dunia adalah

teh hitam, 20-22% adalah teh hijau, dan kurang dari 2% adalah teh oolong. Teh

hitam dikonsumsi terutama di negara-negara Barat dan di beberapa negara Asia,

Page 3: TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · fungsional karena perbedaan dalam hal jenis makanan, pendapat dari organisasi profesi kesehatan, manfaat dan keamanan makanan, serta peraturan

sedangkan teh hijau dikonsumsi terutama di China, Jepang, India, dan beberapa

negara di Afrika Utara dan Timur Tengah. Produksi teh Oolong dan konsumsinya

terbatas pada bagian tenggara Cina dan Taiwan. Walaupun sebagian besar teh

yang diproduksi merupakan keempat bentuk olahan teh tersebut, tapi saat ini

pengolahan teh sudah mengalami diversifikasi menjadi beberapa teh yang

berbeda seperti teh dengan flavor, teh organik, teh dekafein, teh herbal, teh

aromatik, dan berbagai variasi teh lainnya (Karori et al 2007).

Teh Hijau

Teh hijau merupakan nama teh yang dibuat dari daun tanaman teh

(Camellia sinensis) yang dipetik dan mengalami proses pemanasan (steaming)

untuk mencegah terjadinya oksidasi enzimatis dari enzim polifenol oksidase

sehingga teh hijau memiliki kandungan katekin lebih tinggi dibandingkan jenis teh

lainnya. Konsumsi dari teh hijau khususnya populer di negara-negara Asia.

Keterkaitan konsumsi teh hijau dengan aktivitas anti-inflamatori, anti-proliferasi,

dan anti-atherosklerotis telah menjadikan ekstrak teh hijau sebagai suplemen,

nutrasetikal, dan pangan fungsional (Armoskaite et al 2011).

Proses pengolahan teh hijau pada dasarnya terdiri atas empat tahap,

yakni pelayuan, penggulungan, pengeringan, dan sortasi. Teh hijau telah dikenal

sebagai minuman fungsional karena khasiat dari komponen aktif yang

terkandung di dalamnya, terutama teh hijau yang kaya akan polifenol. Komposisi

kimia teh hijau disajikan dalam Tabel 1 berikut ini :

Tabel 1 Komposisi kimia teh hijau

Komposisi Kandungan

Air 3.1 g Protein 29.1 g Lemak 4.1 g Karbohidrat 33.8 g Kafein 3.5% Tanin 10% Vitamin C 100-150 mg Vitamin B1 150-600 mg Vitamin B2 1.3-1.7 mg Vitamin B3 1.0-2.0 mg Vitamin B5 5.0-7.5 mg Vitamin B6 50-76 mg Biotin 50-80 mg Vitamin E 30-80 mg Vitamin K 40-80 mg Vitamin B12 15-25 mg Inositol 1.0 mg

Sumber : Sulistyo et al. (2003) dalam Ananda (2009)

Page 4: TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · fungsional karena perbedaan dalam hal jenis makanan, pendapat dari organisasi profesi kesehatan, manfaat dan keamanan makanan, serta peraturan

Peneliti menyatakan bahwa polifenol pada teh hijau dapat menghambat

enzim pertumbuhan kanker. Manfaat kesehatan potensial yang terkait dengan

konsumsi teh sebagian telah dikaitkan dengan sifat antioksidan polifenol teh.

Polifenol adalah antioksidan yang sangat kuat, salah satu fungsinya dapat

mengatasi radikal bebas yang merupakan molekul sangat tidak stabil yang

berada dalam tubuh. Wan et al (2008) menyebutkan bahwa polifenol pada teh,

khususnya katekin dan theaflavin, dapat menjalankan aktivitas antioksidan

terutama melalui pengikatan radikal bebas, ion logam transisi kelat, dan modulasi

oksidan atau antioksidan enzim untuk gen.

Menurut Brannon (2007), teh hijau merupakan minuman yang banyak

mengandung fitokimia, diantaranya adalah polifenol, yang merupakan bagian

dari flavonoid. Teh hijau (Camellia sinensis) telah dikenal sebagai sumber

antioksidan potensial yang bermanfaat untuk kesehatan karena dalam daun teh

mengandung senyawa antioksidan. Karakteristik teh hijau dikenal dengan

kandungan polifenol flavonoid yang tinggi dengan 20-30% dari berat keringnya

adalah katekin. Enam kelompok utama katekin adalah epicatechin (EC),

epigallocatechin (EGC), epicatechin gallat (ECG), epigallocatechin gallat

(EGCG), gallocatechin (GC), gallocatechin gallat (GCG). Yashin et al (2011)

menyebutkan bahwa epigallocatechin gallat (EGCG) merupakan katekin paling

dominan dalam teh hijau yang dapat mencapai hingga 50% dari berat katekin.

Rohdiana (2012) menyatakan bahwa aktivitas EGCG menyumbang 32% dari

potensi antioksidan teh.

Tanaman Murbei

Murbei termasuk dalam famili moraceae, dan berasal dari Cina. Tanaman

murbei tumbuh baik pada ketinggian lebih dari 100 mdpl dan memerlukan cukup

sinar matahari. Tumbuhan yang sudah dibudidayakan ini menyukai daerah-

daerah yang cukup basa seperti di lereng gunung, tetapi pada tanah yang

berdrainase baik. Tanaman ini kadang ditemukan tumbuh liar. Tanaman spesies

Morus memberikan peran besar dalam bidang medis, ekonomi, industri, klinis,

dan domestik. Bagian dari tanaman murbei yang biasa digunakan adalah daun,

ranting, buah, dan kulit akar yang dapat digunakan sebagai obat. Daun murbei

juga diketahui sebagai ramuan kuno obat tradisional Cina untuk mengobati

berbagai macam penyakit. Sebagai contoh, daun murbei digunakan untuk

menurunkan demam dan melindungi hati (Atmosoedarjo 2000, Kumar dan

Chauhan 2008).

Page 5: TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · fungsional karena perbedaan dalam hal jenis makanan, pendapat dari organisasi profesi kesehatan, manfaat dan keamanan makanan, serta peraturan

Beberapa jenis murbei yang dibudidayakan untuk ulat sutera di antaranya

adalah jenis Morus nigra, Morus multicaulis, Morus australis, Morus alba, Morus

alba var. Macrophylla dan Morus bombycis. Murbei putih atau Morus alba,

terkenal sebagai sumber makanan utama bagi ulat sutra dan secara luas

dibudidayakan di Cina. Buah murbei putih, yang juga ditemukan di Amerika

Serikat Timur, berwarna putih hingga merah muda, tidak seperti buah merah atau

hitam kebanyakan spesies Morus lainnya. Daun, kulit akar, cabang, buah dan

juga bagian lain, termasuk getah dan abu kayu, dari tanaman murbei putih ini

banyak digunakan dimanfaatkan sebagai bahan dalam persiapan obat.

Menurut Atmosoedarjo (2000), seiring dengan berkembangnya teknologi

di bidang pertanian, maka kemudian bermunculan varietas-varietas murbei yang

baru hasil seleksi dan adaptasi, salah satunya adalah Morus alba var. Kanva.

Murbei varietas Kanva merupakan salah satu dari jenis murbei putih (Morus

alba). Murbei varietas Kanva memiliki daun berwarna hijau dengan pucuk hijau

kekuningan. Bentuk daun murbei varietas Kanva adalah oval dengan tepi daun

bergerigi, berukuran sedang, dan permukaan daun tidak mengkilap. Memon et al

(2010) menyebutkan bahwa pada famili Morus, Morus alba merupakan salah

satu spesies yang memiliki potensi dalam pengukuran antioksidan.

Tanaman murbei (Morus alba L.) telah dibudidayakan di berbagai negara

termasuk Turki, Azerbaidjan, Iran, Pakistan, India, China, Korea, dan Jepang

baik untuk produksi buah maupun daunnya. Daun murbei dapat dikonsumsi

dengan berbagai cara. Di Cina, Jepang dan Korea, daun dari spesies murbei

dikonsumsi sebagai pangan nutrasetikal antihiperglikemik untuk pasien dengan

diabetes melitus. Pembuatan teh murbei yang berasal dari daun murbei juga

banyak dikomersialkan di negara China, Jepang dan Thailand untuk digunakan

sebagai minuman kesehatan. Konsumsi teh yang terbuat dari daun murbei di

Thailand semakin meningkat selama dekade terakhir ini (Memon et al 2010,

Kumar dan Chauhan 2008).

Daun murbei juga diketahui mengandung sejumlah besar zat gizi. Daun

murbei mengandung sejumlah zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh manusia.

Kumari et al (2009) menyebutkan bahwa daun murbei juga dipertimbangkan

sebagai daun yang kaya zat gizi dan memiliki rasa yang lebih lezat dibandingkan

dengan sayuran hijau lainnya seperti sayur bayam. Tabel 2 berikut adalah tabel

yang menunjukkan komposisi zat gizi daun murbei :

Page 6: TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · fungsional karena perbedaan dalam hal jenis makanan, pendapat dari organisasi profesi kesehatan, manfaat dan keamanan makanan, serta peraturan

Tabel 2 Komposisi zat gizi daun murbei

Komposisi Kandungan

Protein kasar 6.38-10.73% Lemak kasar 0.73-1.30% Kadar abu 2.14-3.39% Serat kasar 2.24-3.49% Karbohidrat 11.02-16.27% Energi 76-120 kkal/100g Asam askorbat 142.99-370.08 mg/100g Beta karoten 3.91-14.79 mg/100g Kalsium 236.89-730.11 mg/100g Besi 3.81-6.80 mg/100 g Seng 0.99-1.26 mg/100g Mangan 0.68-1.30 mg/100g Tembaga 0.007-0.30 mg/100g

Sumber : Kumari et al (2009)

Selain kandungan zat gizi yang cukup lengkap, daun murbei juga

diketahui memiliki nilai komponen fenol yang tinggi. Daun murbei dilaporkan kaya

akan kandungan flavonoid yang memiliki aktifitas biologis yang berbedatermasuk

dalam hal kapasitas antioksidan. Berdasarkan penelitian Damayanthi et al

(2007), pada daun murbei segar maupun teh murbei ditemukan kandungan

theaflavin, tanin serta kafein. Ketiga senyawa tersebut merupakan flavonoid yang

khas terdapat pada daun teh (Camellia sinensis). Penelitian Memon et al (2010)

menemukan bahwa terdapat aktivitas antioksidan yang cukup tinggi pada ekstrak

buah dan daun murbei. Aktivitas antioksidan dari daun murbei dilaporkan efektif

dalam mengikat radikal bebas dan menghambat modifikasi oksidatif pada LDL

kelinci dan manusia.

Stevia (Stevia rebaudiana)

Stevia (Stevia rebaudiana) merupakan tumbuhan hijau kecil yang tumbuh

hingga tinggi 65-80 cm. Berbagai spesies dari stevia mengandung komponen

yang memiliki potensi sebagai pemanis dan Stevia rebaudiana merupakan

spesies yang paling manis di antara jenis stevia lainnya. Stevia merupakan

tanaman semi lembab subtropikal yang dapat tumbuh dengan mudah seperti

tanaman sayur lain di kebun (Madan et al 2010).

Stevia merupakan tanaman paling manis di dunia karena daunnya

mengandung diterpene glikosida yang memiliki rasa manis tetapi tidak

dimetabolisme dan tidak mengandung kalori. Beberapa diterpene glikosida yang

terkandung dari daunnya adalah agylicone, steviol termasuk stevioside,

rebaudioside A, rebaudioside B, rebaudioside C, rebaudioside E, steviobioside,

dulcoside A, isosteviol, dan dihydroisosteviol yang masing-masing memiliki

tingkat kemanisan berbeda-beda antara 50-450 kali lipat lebih manis dari

Page 7: TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · fungsional karena perbedaan dalam hal jenis makanan, pendapat dari organisasi profesi kesehatan, manfaat dan keamanan makanan, serta peraturan

sukrosa. Penggunaan stevia sebagai pemanis pada awalnya ditemukan di

beberapa bagian di Amerika Sentral dan Selatan yang merupakan tempat asli

tumbuhan ini. Selama beberapa ratus tahun ini, daun stevia telah digunakan oleh

penduduk lokal Guarani Indian di area kecil di Paraguay (perbatasan Brazil)

sebagai pemanis. Mereka biasa menggunakan stevia sebagai pemanis pada teh

hijau lokal (Kumar et al 2007, Goyal et al 2010).

Jepang mulai memasarkan steviosida sebagai pemanis pada tahun 1970-

an ketika pemanis kimia dilarang dan diganti dengan stevia. Beberapa produk

pangan di Jepang seperti makanan laut, minuman ringan, dan permen sudah

menggunakan stevia sebagai pemanis. Sejak saat itu, budidaya dari tanaman ini

mulai meluas ke negara lain termasuk Cina, Malaysia, Singapura, Korea Selatan,

Taiwan, Thailand, Paraguay, Brazil, Amerika Serikat, Canada, dan Eropa. Para

ahli dan peneliti di Jepang telah melakukan lebih dari 40.000 studi klinis dan

menemukan bahwa Stevia aman untuk digunakan. Di negara Brazil, Korea, dan

Jepang ekstrak daun stevia dan steviosida telah resmi diakui sebagai zat aditif

makanan (Thomas dan Glade 2010, Goyal et al 2010).

Daun stevia juga diketahui mengandung zat gizi yang melimpah termasuk

mineral. Berikut adalah komposisi kandungan zat gizi yang dianalisis

berdasarkan berat kering daun stevia :

Tabel 3 Komposisi zat gizi daun stevia per 100 gram

Komposisi Kandungan

Proksimat

Air 7 g Energi 270 kkal Protein 10 g Lemak 3 g Karbohidrat total 52 g Abu 11 g Serat kasar 18 g

Mineral

Kalsium 464.4 mg Fosfor 11.4 mg Besi 55.3 mg Natrium 190 mg Kalium 1800 mg

Anti nutrisi

Asam oksalat 40-80 mg Tannin 15-25 mg

Sumber : Savita et al (2004)

Selain mengandung zat gizi, Thomas dan Glade (2010) menyebutkan

bahwa ekstrak daun stevia dilaporkan memiliki derajat aktivitas antioksidan yang

tinggi. Selain itu, dapat menghambat pembentukan hiperoksida pada minyak

Page 8: TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · fungsional karena perbedaan dalam hal jenis makanan, pendapat dari organisasi profesi kesehatan, manfaat dan keamanan makanan, serta peraturan

sarden dengan potensi yang lebih hebat dari DL-α-tokoferol maupun ekstrak teh

hijau. Tanaman ini sudah banyak digunakan di beberapa wilayah di dunia seperti

Brazil dan Paraguay, sebagai pengendali alami diabetes. Selain itu, Stevia juga

telah digunakan untuk membantu mengendalikan berat badan pada penderita

obesitas (Goyal et al 2010).

Senyawa Fenol

Senyawa fenol secara luas terdistribusi dalam tanaman. Senyawa fenol

mengandung sedikitnya satu cincin aromatik dengan sedikitnya satu grup

hidroksil (OH) yang menempel pada cincin aromatik tersebut. Lebih dari 8000

senyawa fenol telah diidentifikasi. Senyawa fenol bervariasi dari cincin aromatik

tunggal hingga polifenol komplek yang memiliki lebih dari satu cincin. Senyawa

fenol merupakan metabolit sekunder tanaman yang terlibat dalam berbagai

fungsi fisiologis khusus. Senyawa ini mempunyai peran penting bagi mekanisme

pertumbuhan, perkembangan dan pertahanan tanaman. Senyawa ini mampu

memodulasi aktivitas berbagai enzim. Keterlibatan senyawa fenol dalam proses

biokimia dan fisiologis, tidak hanya pada tanaman, tetapi juga pada hewan dan

manusia (Webb 2006).

Senyawa fenol tidak dapat diproduksi dalam tubuh manusia sehingga

untuk memperolehnya dapat melalui diet sehari-hari. Senyawa fenol dalam

pangan secara umum telah dikelompokkan sebagai komponen non-gizi dan

potensinya dalam meningkatkan kesehatan manusia. Pengetahuan mengenai

peran teurapetik dari antioksidan fenol sangat esensial dalam pengembangan

pangan fungsional yang mengacu pada peningkatan pangan konvensional

dengan penambahan manfaat kesehatan (Maisuthisakul 2006).

Senyawa fenol terdiri dari komponen monomer yang sederhana seperti

asam fenolat dan komponen polifenol yang lebih komplek seperti tanin yang

terhidrolisa dan tanin yang terkondensasi. Flavonoid merupakan grup fenol

terbesar dan banyak ditemukan di epidermis daun dan buah-buahan. Flavonoid

merupakan polifenol yang memiliki dua cincin aromatik yang tersambung

bersama dengan tiga jembatan karbon yang biasanya ditemukan dalam bentuk

glikosida. Flavonoid memiliki peran sebagai pigmentasi dan melindungi tanaman

dari kerusakan sinar. Flavonoid (Maisuthisakul 2006).

Menurut Webb (2006), flavonoid bersifat larut air dan merupakan

metabolit sekunder dalam tanaman dan biasanya ditemukan dalam bentuk

glikosida. Pada dasarnya, flavonoid bersifat termostabil, tetapi proses

Page 9: TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · fungsional karena perbedaan dalam hal jenis makanan, pendapat dari organisasi profesi kesehatan, manfaat dan keamanan makanan, serta peraturan

pemasakan dapat menyebabkan senyawa tersebut larut ke dalam cairan hasil

pemasakan sehingga terjadi perubuhan struktur kimia. Flavonoid berkontribusi

tinggi terhadap cita rasa dan warna dari beragam buah dan sayuran serta produk

turunannya seperti wine, teh, dan coklat. Flavonoid dibagi menjadi beberapa

subdivisi yaitu :

Flavonol seperti quercetin, kaempferol, isorhamnetin, luteolin, dan

myricetin yang banyak ditemukan dalam sayuran hijau, bawang, apel,

tanaman beri, teh, dan minuman anggur merah.

Flavon yang tidak terdistribusi banyak di tanaman, tetapi ditemukan di

peterseli dan seledri.

Flavanol yang terdiri dari katekin monomer sederhana yang

ditemukan dalam teh hijau, apel, dan aprikot hingga kompleks polimer

yang dikenal sebagai proanthrocyanidins yang ditemukan dalam apel,

coklat, dan minuman anggur merah.

Anthrocyanidin yang merupakan pigmen yang bertanggung jawab

pada pemberian warna merah, biru, atau ungu dari beberapa buah

dan bunga seperti anggur dan ceri. Senyawa tersebut melindungi dari

kerusakan akibat cahaya dan dapat membantu dalam menarik

serangga ke bunga.

Flavonon yang merupakan fenol yang muncul dengan konsentrasi

yang tinggi pada buah citrus.

Isoflavonon yang banyak ditemukan dalam kacang kedelai dan sayur-

sayuran.

Senyawa fenol memiliki aktivitas biologis yang berbeda, tetapi peran yang

paling penting adalah sebagai aktivitas antioksidan. Dalam tubuh senyawa fenol

dapat berperan sebagai antioksidan yang menangkap radikal bebas. Senyawa

fenol bertindak sebagai antioksidan karena kemampuannya menyumbangkan

elektron serta efektifitasnya menstabilisasi radikal bebas dalam mencegah

terjadinya oksidasi pada tingkat selular dan fisiologi. Aktivitas antioksidan fenol

dalam pangan tidak hanya tergantung pada jumlah dan lokasi grup hidroksil,

tetapi juga pada faktor seperti interaksi dengan komponen pangan lainnya dan

kondisi lingkungan. Pada berbagai jenis penelitian, komponen fenol

menunjukkan aktivitas antioksidan yang lebih kuat dari vitamin C, vitamin E dan

karotenoid (Webb 2006).

Page 10: TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · fungsional karena perbedaan dalam hal jenis makanan, pendapat dari organisasi profesi kesehatan, manfaat dan keamanan makanan, serta peraturan

Penelitian secara in vivo dan in vitro menunjukkan bahwa flavonoid

memiliki aktivitas antioksidan. Flavonoid mengandung sejumlah kelompok

hidroksil fenol yang melekat pada struktur cincin, yang memberi aktivitas

antioksidan. Variabilitas dari flavonoid didasarkan pada hidroksilasi dari cincin

piron, adanya ikatan rangkap, jumlah hidroksil dalam cincin A dan cincin B, dan /

atau atom yang terikat ganda pada oksidgen oksigen yang melekat ke posisi 4

dari cincin C. Flavonoid dapat bersifat monomer, dimer, atau oligomer. Flavonoid

polimer, yang dikenal sebagai tanin, dibagi menjadi dua kelompok, terkondensasi

dan terhidrolisa. Tanin terkondensasi adalah polimer flavonoid sedangkan tanin

terhidrolisa mengandung asam galat (Maisuthisakul 2006).

Flavonoid dan asam fenolat bertindak sebagai antioksidan dengan

beberapa cara. Cara utama adalah dengan memecah reaksi rantai radikal bebas.

Interaksi antara flavonoid dan asam fenolat dengan antioksidan lainnya seperti

asam askorbat dan tokoferol merupakan salah satu cara fenol dalam bertindak

sebagai antioksidan. Katekin dan epimer bertindak sebagai antioksidan kuat

dengan secara langsung menghilangkan superoksida anion radikal. Kaempferol

dan quercetin beserta turunannya juga diketahui menunjukkan aktivitas

antiradikal yang kuat (Webb 2006, Maisuthisakul 2006).

Antioksidan

Antioksidan adalah senyawa yang mempunyai struktur molekul yang

dapat memberikan elektronnya dengan cuma-cuma kepada molekul radikal

bebas tanpa terganggu sama sekali fungsinya dan dapat memutus reaksi

berantai dari radikal bebas. Senyawa ini dapat menunda, menghambat, atau

mencegah oksidasi dengan mengikat radikal bebas dan mengurangi stres

oksidatif. Stres oksidatif merupakan kondisi ketidakseimbangan karena kuantitas

dari oksigen yang reaktif muncul secara berlebihan pada tingkat yang dibutuhkan

untuk fungsi sel normal. Oksidasi pada sistem biologis dapat mengarahkan pada

penurunan kualitas makanan, disfungsi sel membran, penyakit jantung koroner,

kanker, kerusakan DNA, dan penuaan (Karori et al 2007).

Secara ideal, antioksidan harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu :

(1) tidak mempunyai efek fisiologis yang berbahaya; (2) tidak menyebabkan

terbentuknya flavor, odor atau warna yang tidak disukai pada lemak atau

makanan; (3) efektif pada konsentrasi rendah; (4) larut dalam lemak; (5) tahan

terhadap proses pengolahan; (6) mudah diperoleh; dan (7) ekonomis (Muchtadi

et al 1993).

Page 11: TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · fungsional karena perbedaan dalam hal jenis makanan, pendapat dari organisasi profesi kesehatan, manfaat dan keamanan makanan, serta peraturan

Antioksidan merupakan senyawa yang terdapat secara alami dalam

hampir semua bahan pangan. Senyawa ini berfungsi untuk melindungi bahan

pangan dari kerusakan karena terjadinya reaksi oksidasi lemak atau minyak yang

menjadikan bahan pangan berasa dan beraroma tengik. Antioksidan di dalam

makanan dapat berasal dari senyawa antioksidan yang sudah ada dari satu atau

dua komponen makanan, senyawa antioksidan yang terbentuk dari reaksi-reaksi

selama pengolahan, dan senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami

dan ditambahkan ke makanan sebagai bahan tambahan pangan (Kumalaningsih

2006).

Berdasarkan fungsinya bagi tubuh, antioksidan dibagi menjadi tiga, yaitu

antioksidan primer, sekunder dan tersier. Antioksidan primer bekerja untuk

mencegah pembentukan senyawa radikal baru, yaitu mengubah radikal bebas

yang ada menjadi molekul yang berkurang dampak negatifnya sebelum senyawa

radikal bebas bereaksi. Contoh antioksidan primer adalah SuperoksidaDismutase

(SOD), Glutation Peroksidase (GPx) dan protein pengikat logam. Antioksidan

sekunder bekerja dengan cara mengkelat logam yang bertindak sebagai pro-

oksidan, menangkap radikal dan mencegah terjadinya reaksi berantai. Contoh

antioksidan sekunder adalah vitamin E, vitamin C, β-caroten. Antioksidan tersier

bekerja memperbaiki kerusakan biomolekul yang disebabkan radikal bebas.

Contoh antioksidan tersier adalah enzim-enzim yang memperbaiki DNA dan

metionin sulfida reduktase (Ananda 2009).

Menurut Fennema (1996) untuk hasil maksimal, antioksidan-antioksidan

primer biasanya dikombinasikan dengan antioksidan fenol atau dengan berbagai

agen pengkelat logam lainnya. Suatu kesinergisan terjadi ketika antioksidan-

antioksidan bergabung sehingga menghasilkan aktivitas yang lebih besar

dibandingkan aktivitas antioksidan yang diuji sendiri-sendiri. Dua jenis

antioksidan sangat dianjurkan. Antioksidan yang satu untuk menangkap atau

meredam radilkal bebas; antioksidan yang lain mengkombinasikan aktivitas

sebagai peredam radikal bebas dan sebagai agen pengkelat.

Berdasarkan sumbernya antioksidan dibagi dalam dua kelompok, yaitu

antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesa reaksi kimia)

dan antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi bahan alami). Beberapa

contoh antioksidan sintetik yang diijinkan penggunaannya secara luas diseluruh

dunia untuk digunakan dalam makanan adalah Butylated Hidroxyanisol (BHA),

Butylated Hidroxytoluene (BHT), Tert-Butylated Hidroxyquinon (TBHQ) dan

Page 12: TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · fungsional karena perbedaan dalam hal jenis makanan, pendapat dari organisasi profesi kesehatan, manfaat dan keamanan makanan, serta peraturan

tokoferol. Antioksidan tersebut merupakan antioksidan yang telah diproduksi

secara sintetis untuk tujuan komersial (Buck 1991).

Antioksidan alami meliputi flavonoid, asam oksiaromatik, vitamin C dan E,

karotenoid dan senyawa lain. Dalam beberapa tahun terakhir, flavonoid semakin

terkenal karena memiliki sifat antikarsinogenik, antisklerotis, antialergenik

properti, dan aktivitas antioksidan yang beberapa kali lebih kuat daripada α-

tokoferol, vitamin C, dan β-karoten. Kombinasi dari flavonoid alami yang

terkandung dalam sayuran, tanaman beri, buah, padi-padian, biji-bijian, kacang-

kacangan, dan lain-lain terbukti efektif. Flavonoid disintesis oleh tanaman untuk

melindungi diri dari proses oksidatif dan selama evolusi jangka panjang mereka

membentuk kombinasi yang optimal (Yashin et al 2011).