19
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL A. Perjanjian Internasional dan Hukum Internasional Perjanjian internasional merupakan satu bagian yang sangatlah penting dalam hukum internasional. Hal ini timbul sebagai konsekuensi dari adanya hubungan antar negara-negara di dunia, yang berkembang pada era globalisasi ini sehingga mencakup hubungan antar negara dengan organisasi internasional, maupun antara organisasi internasional dengan organisasi internasional lainnya. Sekarang ini terdapat dua konvensi yang mengatur tentang perjanjian internasional, yaitu Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional yang dibuat antar negara (Vienna Convention on The Law of Treaties) dan Konvensi Wina Tahun 1986 tentang Perjanjian Internasional antara Negara dan Organisasi Internasional atau antar Organisasi Internasional (Vienna Convention on The Law of Treaties between States and International Organizations or between International Organizations). Dalam tulisan ini yang akan digunakan adalah Konvensi Wina Tahun 1969 karena pembahasannya terkait dengan Perjanjian Internasional dengan negara sebagai subjek dari pembuat perjanjian internasional itu sendiri. Untuk memahaminya, ada baiknya kita berangkat dari pengertiannya terlebih dahulu. Pengertian perjanjian internasional secara definitif sukar dilakukan sebagaimana juga yang dihadapi apabila mencari batasan mengenai Universitas Sumatera Utara

Tinjauan Hukum Internasional terhadap Hukum Nasional

Embed Size (px)

DESCRIPTION

perjanjian internasional

Citation preview

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN INTERNASIONAL

DALAM HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL

A. Perjanjian Internasional dan Hukum Internasional

Perjanjian internasional merupakan satu bagian yang sangatlah penting

dalam hukum internasional. Hal ini timbul sebagai konsekuensi dari adanya

hubungan antar negara-negara di dunia, yang berkembang pada era globalisasi ini

sehingga mencakup hubungan antar negara dengan organisasi internasional,

maupun antara organisasi internasional dengan organisasi internasional lainnya.

Sekarang ini terdapat dua konvensi yang mengatur tentang perjanjian

internasional, yaitu Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional

yang dibuat antar negara (Vienna Convention on The Law of Treaties) dan

Konvensi Wina Tahun 1986 tentang Perjanjian Internasional antara Negara dan

Organisasi Internasional atau antar Organisasi Internasional (Vienna Convention

on The Law of Treaties between States and International Organizations or

between International Organizations). Dalam tulisan ini yang akan digunakan

adalah Konvensi Wina Tahun 1969 karena pembahasannya terkait dengan

Perjanjian Internasional dengan negara sebagai subjek dari pembuat perjanjian

internasional itu sendiri.

Untuk memahaminya, ada baiknya kita berangkat dari pengertiannya

terlebih dahulu. Pengertian perjanjian internasional secara definitif sukar

dilakukan sebagaimana juga yang dihadapi apabila mencari batasan mengenai

Universitas Sumatera Utara

pengertian hukum itu sendiri. Terminologi treaty yang digunakan dalam Konvensi

Wina 1969 menunjuk pada perjanjian internasional secara umum dan bukan hanya

menunjuk pada definisi sempit dari treaty atau traktat sebagai jenis dari suatu

perjanjian internasional.26 Merujuk pada Konvensi Wina 1969, pengertian

perjanjian internasional sebagaimana yang dikemukakan oleh Ian Brownlie27

“Treaty as an international agreement concluded between states in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and what ever its particular designation”.

adalah :

Yang berarti perjanjian sebagai suatu persetujuan yang dibuat antar negara

dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam

instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan apapun nama

yang diberikan padanya.

Pada kerangka teoritis Mochtar Kusumaatmadja merumuskan perjanjian

internasional dengan rumusan yang lebih luas28

“Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu dan karena itu untuk dapat dinamakan perjanjian internasional, perjanjian itu harus diadakan oleh subjek-subjek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional”.

, yaitu :

Berdasarkan pengertian di atas, terdapat beberapa kriteria dasar yang

digunakan sebagai tolak ukur definisi dan ruang lingkup yang harus dipenuhi

untuk dapat ditetapkan sebagai suatu perjanjian internasional, yaitu29

26 ILC Draft Articles with Commentaries, Sidang ke-18, 1966, Yearbook of The International Law Commission, Vol. III, hlm. 189; Public International Law, Edisi ke-3, Alina Kaczorowska, Old Bailey Press, 2005, hlm. 231.

:

27 Ian Brownlie, Principles of Public International Law, (Oxford University Press, 3rd edition, 1979), hlm. 602. Lihat pula pasal 2 (1) Konvensi Wina Tahun 1969.

28 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni, Bandung, 2003, hlm. 84.

Universitas Sumatera Utara

a. an international agreement;

b. by subject of international law (termasuk entitas di luar negara);

c. in written form;

d. governed by international law (diatur dalam hukum internasional serta

menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik);

e. whatever form.

Berikut adalah penjelasan mengenai unsur atau kriteria dasar yang

digunakan sebagai tolak ukur definisi dan ruang lingkup perjanjian internasional,

yaitu :

a. An International Agreement

Bahwa suatu perjanjian internasional haruslah memiliki karakteristik

internasional yang berarti perjanjian itu mengatur aspek-aspek hukum

internasional atau permasalahan lintas negara.

Selain itu, unsur ini juga dipakai untuk menunjukkan bahwa definisi perjanjian

internasional mencakup semua dan segala jenis perjanjian yang memiliki karakter

internasional, terlepas dari apakah perjanjian itu disusun secara bilateral,

multilateral, regional ataupun universal.

b. Subject of International Law

Bahwa perjanjian tersebut harus dibuat oleh negara dan/atau organisasi

internasional sehingga tidak mencakup perjanjian yang sekalipun bersifat

internasional namun dibuat oleh non-subjek hukum internasional.

29 Eddy Pratomo, Op.Cit., hlm. 46.

Universitas Sumatera Utara

Yang dimaksud dengan unsur ini adalah perjanjian internasional hanya dapat

dibuat di antara subjek-subjek hukum tertentu, yaitu subjek hukum internasional.

Subjek hukum internasional adalah :

1. Negara;

2. Organisasi Internasional;

3. Palang Merah Internasional;

4. Tahta Suci/Vatican;

5. Pemberontak/Belligerent.

c. In Written Form

Seperti yang tertuang secara tegas dalam Konvensi Wina 1969 dan Konvensi

Wina 1986, ruang lingkup perjanjian internasional dibatasi hanya pada perjanjian

yang tertulis. Pembatasan tersebut dimaksudkan agar tidak ada akibat hukum yang

tidak diinginkan oleh negara-negara peserta yang disebabkan oleh oral agreement

seperti yang tertuang pada Pasal 3 Konvensi Wina 1969.30

d. Governed by International Law

Parameter tentang Governed by International Law merupakan elemen yang

sering menimbulkan kerancuan dalam memahami perjanjian internasional. Dalam

pembahasan tentang Konvensi Wina 1969, Komisi Hukum Internasional

(International Law Committee) yang merancang konvensi tersebut merasakan

30 Pasal 3 Konvensi Wina 1969 menyatakan bahwa : The fact that the present Convention does not apply to international agreements concluded between states and other subjects of international law or between such other subjects of international law, or to international agreements not in written form, shall not affect :

a. The legal force of such agreements; b. The application to them of any of the rules set forth in the present Convention to which

they would be subject under international law independently of the Convention; c. The application of the Convention to the relations of States as between themselves under

international law are also parties.

Universitas Sumatera Utara

rumitnya pengertian “governed by international law”. Komisi ini mengatakan

suatu dokumen disebut sebagai governed by international law jika sudah

memenuhi dua elemen, yaitu :

1. Adanya maksud untuk menciptakan kewajiban dan hubungan hukum

(Intended to create obligations and legal relations).

There may be agreements whilst concluded between states but create no obligations and legal relations. They could be in the form of a Joint Statement, or MoU, depends on the subject-matter and the intention of the parties.

2. Tunduk pada rezim hukum internasional (Under international law).

There may be agreements between States but subject to the local law of the one of the parties or by a private law system/conflict of law such as agreements for the acquisition of premises for a diplomatic mission or for some purely commercial transactions.

e. Whatever Forms

Definisi perjanjian internasional lebih mengutamakan prosedur perjanjian

daripada sekedar judul perjanjian internasional itu sendiri. Dengan kata lain,

penamaan atau judul dari suatu perjanjian internasional bisa berbeda, tetapi

pengaturannya tetap bersumber pada hukum perjanjian internasional sebagaimana

yang dituangkan di dalam Konvensi Wina 1969.

Perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional

sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah

Internasional.31

31 Sumber-sumber hukum internasional terdiri dari : perjanjian internasional (international convention), kebiasaan internasional (international custom), prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh negara-negara beradab (general principles of law recognized by civilized nations), keputusan pengadilan (judicial decisions) dan pendapat para ahli. Eddy Pratomo, Op.Cit., hlm. 41.

Perjanjian internasional sebagai salah satu sumber hukum

internasional yang paling penting mengandung pengertian sebagai perjanjian

antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengadakan

Universitas Sumatera Utara

akibat-akibat tertentu. Apabila dijabarkan lebih lanjut, perjanjian internasional

adalah perjanjian yang dibuat oleh dan diantara : (1) Negara dengan negara; (2)

Negara dan kesatuan bukan negara; (3) Kesatuan bukan negara satu sama lain.

Perjanjian Internasional apabila dibandingkan dengan sumber hukum

internasional lainnya menjadi sumber yang paling utama dan ini dapat terlihat dari

Pasal 38 Statuta ICJ yang meletakkan perjanjian internasional pada urutan

pertama. Hal ini menunjukkan bahwa perjanjian internasional menduduki posisi

tertinggi dalam hierarki sumber hukum internasional. Selain itu, banyak sumber

hukum internasional lain seperti kebiasaan internasional yang sudah

dikodifikasikan ke dalam bentuk perjanjian internasional.

Seperti yang terlihat dari definisinya, suatu instrumen dapat dikategorikan

sebagai perjanjian internasional tanpa bergantung pada nomenklatur atau

penamaannya. Walaupun judul suatu perjanjian dapat beragam, pengelompokkan

perjanjian internasional dalam nomenklatur tertentu dimaksudkan dan diupayakan

untuk menunjukkan kesamaan materi yang diatur. Namun demikian, secara

hukum perbedaan tersebut tidak relevan dan tidak harus mengurangi hak dan

kewajiban para pihak yang tertuang dalam suatu perjanjian internasional. Berikut

beberapa istilah Perjanjian Internasional yang sering digunakan32

1. Traktat (Treaty)

:

Traktat adalah bentuk perjanjian internasional yang mengatur hal-hal yang

sangat penting yang mengikat negara secara menyeluruh yang pada

umumnya bersifat multilateral. Meskipun demikian, kebiasaan negara-

32 Eddy Pratomo, Op.Cit., hlm. 58.

Universitas Sumatera Utara

negara di masa lampau cenderung menggunakan istilah ini untuk

perjanjian bilateral.

2. Konvensi (Convention)

Konvensi adalah bentuk perjanjian internasional yang mengatur hal-hal

yang penting dan resmi yang bersifat multilateral. Konvensi biasanya

bersifat law making treaty dengan pengertian yang meletakkan norma-

norma hukum bagi masyarakat internasional.

3. Persetujuan (Agreement)

Persetujuan adalah bentuk perjanjian internasional yang umumnya bersifat

bilateral dengan substansi lebih kecil lingkupnya.

4. Piagam (Charter)

Istilah ini digunakan untuk instrumen internasional yang dijadikan sebagai

dasar pembentukan suatu organisasi internasional.

5. Protokol (Protocol)

Protokol merupakan instrumen tunggal yang memberikan amandemen,

turunan, atau pelengkap terhadap persetujuan internasional sebelumnya.

6. Memorandum Saling Pengertian (Memorandum of Understanding/MoU)

Perjanjian yang mengatur pelaksanaan teknik operasional suatu perjanjian

induk. Jenis perjanjian ini umumnya dapat berlaku segera setelah

penandatanganan tanpa memerlukan pengesahan.

7. Pertukaran Nota Diplomatik (Exchange of Notes)

Merupakan suatu pertukaran penyampaian atau pemberitahuan resmi

posisi pemerintah masing-masing negara yang telah disetujui bersama

mengenai suatu masalah tertentu.

Universitas Sumatera Utara

8. Modus Vivendi

Istilah ini digunakan sebagai instrumen kesepakatan yang bersifat

sementara dan informal.

9. Agreed Minutes atau Summary Records atau Record of Discussion

Istilah ini digunakan untuk suatu kesepakatan antara wakil-wakil lembaga

pemerintah tentang hasil akhir atau hasil sementara (seperti draft suatu

perjanjian bilateral) dari suatu pertemuan teknis.

Secara garis besar, bentuk-bentuk utama dari perjanjian internasional dapat

dibedakan menjadi33

1. Perjanjian internasional yang dibuat oleh kepala negara. Dalam hal ini,

perjanjian internasional dirancang sebagai suatu perjanjian antara

pemegang kedaulatan dan kepala-kepala negara;

:

2. Perjanjian internasional yang dibuat antar pemerintah. Biasanya dipakai

untuk perjanjian-perjanjian khusus dan non-politis;

3. Perjanjian internasional yang dibuat antar negara (inter-states). Perjanjian

ini dibuat secara tegas atau implisit sebagai suatu perjanjian antar negara-

negara;

4. Suatu perjanjian dapat dirundingkan dan ditandatangani di antara menteri

negara terkait, umumnya Menteri Luar Negeri negara masing-masing;

5. Dapat berupa perjanjian antar departemen, yang dibentuk antara wakil-

wakil departemen pemerintah khusus.

33 J.G. Starke. Pengantar Hukum Internasional Jilid 2 (An Introduction to International Law), diterjemahkan oleh Bambang Iriana, cet. kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), hlm. 585.

Universitas Sumatera Utara

Perjanjian internasional ditinjau dari segi jumlah negara pesertanya

dibedakan menjadi Perjanjian Internasional Bilateral yang hanya terdiri dari dua

pihak atau dua negara saja serta Perjanjian Internasional Multilateral yang jumlah

pesertanya lebih dari dua negara peserta.

Suatu penggolongan yang lebih penting dalam rangka pembahasan

perjanjian internasional sebagai sumber hukum formal ialah penggolongan isi

perjanjian multilateral dalam treaty contract (traite-contract) dan law making

treaties (traite-lois).34 Dengan treaty contract dimaksudkan perjanjian dalam

hukum perdata, hanya mengakibatkan hak dan kewajiban antara para pihak yang

mengadakan perjanjian itu. Contoh treaty contract demikian misalnya perjanjian

mengenai dwi-kewarganegaraan, perjanjian perbatasan, perjanjian perdagangan,

perjanjian pemberantasan penyelundupan. Dengan law making treaties atau traite-

lois dimaksudkan perjanjian yang meletakkan ketentuan atau kaidah hukum bagi

masyarakat internasional sebagai keseluruhan. Contoh perjanjian demikian ialah

Konvensi Tahun 1949 mengenai Perlindungan Korban Perang, Konvensi Tahun

1958 mengenai Hukum Laut, Konvensi Vienna Tahun 1961 mengenai Hubungan

Diplomatik.35

Mengutip pendapat Ketut Mandra

36

34 Pembedaan ini diikuti juga oleh para sarjana hukum Inggris dan Amerika. Misalnya J.G. Starke, Introduction to International Law, 1967. Lihat, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja S.H. LLM., Pengantar Hukum Internasional, Buku I - Bagian Umum, Bandung, 1977, hlm. 86.

, yang mengatakan bahwa peranan atau

fungsi perjanjian internasional dalam pembentukan dan perkembangan hukum

internasional dapat diperinci atau digolongkan ke dalam tiga macam, yakni :

35 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: PT Alumni, 2003, hlm. 122.

36 I Ketut Mandra, Peranan Traktat dalam Pembentukan dan Perkembangan Hukum Internasional, Pro Justicia, No. Ke-16, 1981, hlm. 16.

Universitas Sumatera Utara

a. Merumuskan atau menyatakan (declare) atau menguatkan kembali

(confirm/restate) aturan-aturan hukum internasional yang sudah ada (the

existing rules of international law);

b. Merubah dan/atau menyempurnakan (modify) ataupun menghapuskan

(abolish) kaidah-kaidah hukum internasional yang sudah ada untuk

mengatur tindakan-tindakan yang akan datang (for regulating future

conducts);

c. Membentuk kaidah-kaidah hukum internasional yang baru sama sekali,

yang belum ada sebelumnya.

Dalam melakukan perjanjian, suatu negara harus melaksanakan tahap-

tahap pembuatan perjanjian internasional. Tahapan pembuatan pejanjian

internasional tersebut terdiri dari :

1. Perundingan (Negotiation)

Pada tahap ini pihak-pihak akan mempertimbangkan terlebih dahulu

materi yang hendak dicantumkan dalam naskah perjanjian. Materi tersebut

dapat ditinjau dari sudut pandang politik, ekonomi maupun keamanan dan

juga mempertimbangkan akibat-akibat yang akan muncul setelah perjanjian

disahkan. Perundingan dilakukan oleh wakil-wakil negara yang diutus oleh

negara-negara peserta berdasarkan mandat tertentu. Wakil-wakil negara

melakukan perundingan terhadap masalah yang harus diselesaikan.

Perundingan dilakukan oleh kepala negara, menteri luar negeri ataupun duta

besar. Berdasarkan Pasal 7 Konvensi Wina 1969, negara juga dapat menunjuk

seseorang untuk dapat mewakili negara tersebut dalam melakukan tahapan

Universitas Sumatera Utara

pembuatan perjanjian dengan membuat Surat Kuasa Penuh (Full Power).

Apabila perundingan mencapai kesepakatan maka perundingan tersebut

meningkat pada tahap penandatanganan.

2. Penandatanganan (Signature)

Penandatanganan perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua

negara biasanya ditandatangani oleh kepala negara, kepala pemerintahan atau

menteri luar negeri. Tahap penandatanganan diakhiri dengan penerimaan

naskah (adoption of the text) dan pengesahan (authentication of the text).

Apabila konferensi tidak menentukan cara pengesahan maka pengesahan

dapat dilakukan dengan penandatanganan, penandatanganan sementara atau

pembubuhan paraf. Dengan menandatangani suatu naskah perjanjian, berarti

suatu negara telah menyetujui untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian.

3. Pengesahan (Ratification)

Meskipun delegasi suatu negara telah menandatangani suatu perjanjian

internasional, tidak berarti bahwa negara tersebut secara otomatis terikat pada

perjanjian itu. Negara tersebut baru terikat pada materi/isi perjanjian setelah

naskah tersebut diratifikasi.

B. Perjanjian Internasional dan Hukum Nasional

Dua perkembangan pesat dewasa ini telah membuat sistem Indonesia

menggeliat. Pertama adalah perkembangan internal yaitu reformasi

ketatanegaraan Indonesia yang ditandai dengan proses demokratisasi dalam

bidang hukum untuk menuju suatu sistem hukum modern, dan kedua adalah

Universitas Sumatera Utara

faktor eksternal yaitu globalisasi yang memaksa kehadiran instrumen asing seperti

perjanjian internasional di dalam sistem hukum yang sedang bereformasi.37

Di kalangan pakar hukum Indonesia sendiri, persoalan yang lebih teknis-

yuridis juga belum mencapai titik kesepakatan. Apakah berlakunya perjanjian

internasional di level internasional secara otomatis menjadikannya berlaku di

hukum nasional ? Pro dan kontra terhadap pertanyaan ini semakin mengemuka di

perdebatan publik antara para pakar hukum dari berbagai bidang. Kementerian

Luar Negeri yang paling terkena dampak akibat ketidakseragaman pemahaman

publik tentang perjanjian internasional telah berusaha mempertemukan berbagai

kelompok pakar dari berbagai disiplin ilmu hukum tata negara dan hukum

internasional di dalam rangkaian Focussed Group Discussion (FGD)

38

Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara Pemerintah

Republik Indonesia dan pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional

dan subjek hukum internasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat

penting karena mengikat negara pada bidang-bidang tertentu, dan oleh sebab itu

pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional harus dilakukan dengan

, guna

memetakan kecenderungan pemikiran yang mungkin dapat dijadikan referensi.

Diskusi ini setidaknya berhasil menginventarisasi berbagai pemikiran yang hidup

di kalangan pakar hukum tentang bagaimana mereka memandang status perjanjian

internasional dalam hukum nasional.

37 Makalah disampaikan oleh Dr. iur. Damos Dumoli Agusman, SH, MA pada seminar “Status Perjanjian Internasional menurut Pandangan Mahkamah Konstitusi RI – Kajian Kritis terhadap Keputusan MK tentang Piagam ASEAN”, di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2014, hlm. 1.

38 Sejak tahun 2006, Kementerian Luar Negeri menggelar rangkaian Focussed Group Discussion (FGD) yang dihadiri oleh pakar hukum tata Negara dan hukum internasional guna membahas tentang status perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional, yaitu di FH Universitas Andalas, FH UI, FH Unair dan FH Unpad. Ibid., hlm. 3.

Universitas Sumatera Utara

dasar-dasar yang jelas dan kuat, dengan menggunakan instrumen perundang-

undangan yang jelas pula.

Pada konteks Konvensi Wina 1969, pengertian perjanjian internasional

yang dimaksud dalam Pasal 11 UUD 1945 sebelum perubahan hanya melihat

perjanjian internasional terbatas sebagai perjanjian antara subjek hukum

internasional negara dengan negara. Dengan demikian, rumusan awal dari UUD

1945 tersebut tidak mencakup perjanjian internasional antara negara dan

organisasi internasional serta perjanjian antara organisasi internasional dengan

organisasi internasional.39

Hukum, doktrin dan praktik Indonesia tentang status perjanjian

internasional dalam hukum nasional Republik Indonesia belum berkembang dan

acap kali menimbulkan persoalan praktis dalam tataran implementasi perjanjian

internasional di dalam kerangka ketidakjelasan. Ini merupakan akibat dari

ketiadaan hukum maupun doktrin pada sistem hukum Indonesia tentang hubungan

hukum internasional dan hukum nasional. Berbagai kebingungan mencuat dalam

dunia praktik dalam menjawab tentang status perjanjian internasional dalam

sistem hukum Republik Indonesia.

40

Menurut Damos Dumoli Agusman, dalam tataran praktis, di kalangan

pemerintah dan opini publik berkembang berbagai alur pemikiran yang dapat

dipetakan sebagai berikut :

39 Rumusan Pasal 11 UUD 1945 sebelum amandemen dan ayat (1) pasal tersebut setelah amandemen kiranya equivalent dengan pengertian Perjanjian Internasional berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Konvensi Wina 1969.

40 Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional : Kajian Teori dan Praktik Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2010, hlm. 95.

Universitas Sumatera Utara

1. Alur pemikiran yang menempatkan perjanjian internasional yang telah disahkan

(diratifikasi) sebagai bagian dari hukum nasional.

2. Alur pemikiran yang mengharuskan adanya legislasi nasional tersendiri untuk

mengimplementasikan suatu perjanjian internasional yang telah disahkan.

Istilah perjanjian internasional dalam UUD 1945 baru muncul setelah

dilakukannya amandemen ketiga terhadap UUD 1945 pada tahun 2001 yang

menambahkan dua ayat baru pada Pasal 11 UUD 1945 dan menjadikan rumusan

lama Pasal 11 UUD 1945 sebagai ayat pertama. Rumusan lengkap Pasal 11 UUD

1945 adalah sebagai berikut41

1. Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain;

:

2. Presiden dalam membuat Perjanjian Internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat;

3. Ketentuan lebih lanjut tentang Perjanjian Internasional diatur dengan Undang-undang.

Perumusan Pasal 11 UUD 1945 sebagaimana tersebut di atas, rumusan

ayat (2) dan ayat (3) berupaya memberi penjelasan bahwa perjanjian internasional

tidak hanya diartikan sebagai perjanjian dengan negara lain, tetapi perjanjian

internasional dalam pemahaman perjanjian internasional yang diakui dalam

hukum internasional.

Negara di satu sisi masih menjadi subjek hukum yang utama namun di sisi

lain peningkatan peran subjek-subjek bukan negara tidak dapat dipungkiri telah

memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan hukum internasional.

41 Eddy Pratomo, Op.Cit., hlm. 91.

Universitas Sumatera Utara

Sebagai bukti atas hal tersebut, bisa dilihat definisi hukum internasional

yang diberikan oleh Mochtar Kusumaatmadja42

“Hukum internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara :

yang menyatakan bahwa :

1). Negara dengan negara; 2). Negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan negara satu sama lain.”

Definisi di atas memperlihatkan bahwa hukum internasional bukan hanya

dapat dibentuk oleh negara namun juga dapat dibuat oleh subjek-subjek yang

bukan negara.

Indonesia sebagai negara hukum juga memiliki sebuah peraturan

perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai Perjanjian

Internasional dalam rangka mendukung penyelenggaran hubungan luar negeri

yang lebih terarah, terpadu dan berlandaskan kepastian hukum yang lebih kuat

yaitu Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional,

yang mana memberikan definisi tersendiri untuk perjanjian internasional, yaitu

“Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang

diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan

hak dan kewajiban di bidang hukum publik”.43

Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri

juga memberikan definisi Perjanjian Internasional, yaitu :

“Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang dalam bentuk dan sebutan apapun, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi

42 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Bina Cipta, 1997, hlm. 3.

43 Indonesia, Undang-undang tentang Perjanjian Internasional, Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 LN No. 185 Tahun 2000, TLN 4012, Pasal 1 ayat 1.

Universitas Sumatera Utara

internasional atau subjek internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik”.44

Kedua perangkat hukum dimaksud merupakan landasan hukum yang

mengikat bagi pemerintah pusat dan pelaku hubungan luar negeri lainnya

termasuk unsur-unsur daerah dalam melaksanakan hubungan luar negeri. Setelah

lahirnya Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000, praktik di Indonesia telah

menunjukkan konsistensi praktik, elemen-elemen perjanjian internasional

sebagaimana dimaksud Konvensi Wina telah dipenuhi. Namun, praktik

pembuatan perjanjian internasional di Indonesia masih menyisakan kesulitan

tentang pembedaan yang berkaitan dengan Governed by International Law,

sehingga semua dokumen sepanjang dibuat Pemerintah RI dengan subjek hukum

internasional dianggap sebagai perjanjian internasional sekalipun perjanjian itu

tunduk pada hukum nasional seperti loan agreements atau perjanjian pinjaman.

45

Dalam tatanan teoritis maupun praktik-praktik termasuk Indonesia,

ditemukan pula jenis perjanjian yang bersifat administratif yang dibuat antara

lembaga pemerintah/negara Indonesia dengan lembaga pemerintah/negara asing

misalnya perjanjian antara Kementerian Indonesia dengan Kementerian negara

sahabat, termasuk perjanjian antara Pemerintah Daerah seperti MoU Sister

City/Sister Province. Perjanjian ini (pada umumnya dalam bentuk MoU) masih

menimbulkan kontraversi terkait statusnya sebagai suatu perjanjian internasional

(treaty).

46

44 Indonesia, Undang-undang tentang Hubungan Luar Negeri, Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 LN No. 156 Tahun 1999, TLN 3882, Pasal 1 ayat 3.

45 Eddy Pratomo, Op.Cit., hlm. 94. 46 Ko Swan Sik, Beberapa Aspek Kenisbian dan Kesamaran Perjanjian Internasional,

Jurnal Hukum Internasional, LPHI FH UI, Vol. 3, No. 4, Juli 2006, hlm. 484-485.

Universitas Sumatera Utara

C. Hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional

Kedudukan hukum internasional sebagai salah satu bagian dari hukum

secara keseluruhan tidak dapat dipungkiri. Dengan demikian, hukum internasional

sebagai suatu hukum yang berlaku efektif dapat berperan dalam kenyataan hidup

dan memiliki keterikatan atau hubungan dengan bidang hukum lainnya.

Perkembangan hukum internasional yang cepat dewasa ini merupakan

konsekuensi dari hubungan internasional yang intensif dan luas antar bangsa telah

melahirkan berbagai macam norma hukum internasional dalam format perjanjian

internasional seperti traktat, konvensi dan perjanjian internasional lainnya.

Sementara itu, keberadaan hukum kebiasaan internasional (customary

international law) menjadi semakin penting mengingat semakin luas upaya untuk

mengkodifikasi dan mengunifikasi hukum kebiasaan internasional ke dalam

bentuk perjanjian internasional. Keadaan ini menumbuhkan positivisme baru di

ranah hukum internasional dan negara sebagai subjek hukum internasional perlu

untuk memperhatikan perkembangan tersebut. Dengan perkembangan ini,

masyarakat internasional masih merupakan subjek hukum internasional yang

utama. Namun, tentunya hal yang perlu diperhatikan adalah peran dan status

negara sebagai subjek hukum internasional mengalami penipisan pengaruh.

Indonesia sebagai subjek hukum internasional perlu juga memperhatikan

perkembangan tersebut dengan baik, mengingat baik secara langsung maupun

tidak langsung, norma baru hukum internasional yang menyangkut kepentingan

bersama dan diwujudkan dalam perjanjian internasional akan sulit untuk

dihindarkan.

Universitas Sumatera Utara

Hubungan yang terpenting adalah dengan ketentuan hukum yang berlaku

dalam lingkup nasional yang mengatur kehidupan manusia dalam negaranya

masing-masing, yang disebut dengan Hukum Nasional.

The problem of relationship between international law and municipal law has become the subject of much derate with the protagonist of various being much influenced by a desire to strengthen either municipal law or a state’s sovereignity or a world community.47

Rebecca M.M. Wallace mengemukakan bahwa persoalan mengenai

hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional adalah perluasan

dimana pengadilan nasional akan memberikan pengakuan dalam sistem hukum

setempat terhadap hukum internasional yang bertentangan atau tidak bertentangan

dengan hukum nasional.

Secara teoritis, persoalannya berakar dari ketidakjelasan aliran yang dianut

oleh hukum Indonesia tentang hubungan hukum internasional dan hukum

nasional. Di negara maju, aliran ini telah dicerminkan dalam constitutional

provisions atau undang-undang nasional yang secara tegas membuat kaidah

tentang apa status hukum internasional dalam hukum nasionalnya. Sistem hukum

di Indonesia sayangnya masih belum memberi perhatian pada permasalahan ini,

sehingga jangankan suatu constitutional legal provision, wacana publik ke arah

pembentukan politik hukum tentang persoalan ini juga belum dimulai.48

Dalam teorinya, terdapat beberapa pilihan politik hukum, yaitu :

• Aliran Dualisme

Menempatkan hukum internasional sebagai sistem hukum yang terpisah

dari hukum nasional, dalam hal ini tidak terdapat hubungan hierarki antara kedua

47 Werner Levi, Contemporary International Law: A Concise Introduction 2nd Ed, Westview Press, Boulder-Colorado, 1991, hlm. 22.

48 Damos Dumoli Agusman, Op.Cit., hlm. 96.

Universitas Sumatera Utara

sistem hukum ini. Konsekuensi dari aliran ini adalah diperlukannya lembaga

hukum “transformasi” untuk mengkonversikan hukum internasional ke dalam

hukum nasional berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk

prosedur konversi ini. Pengikatan-pengikatan diri suatu negara ke suatu perjanjian

(misalnya melalui ratifikasi) harus dilanjutkan dengan proses transformasi melalui

pembuatan legislasi nasional. Dengan dikonversikannya kaidah hukum

internasional ini ke dalam hukum nasional, maka kaidah tersebut akan berubah

karakter menjadi produk hukum nasional serta tunduk dan masuk pada tata urutan

perundang-undangan nasional. Karena sistem yang terpisah maka tidak

dimungkinkan adanya konflik di antara kedua hukum ini.

• Aliran Monisme

Menempatkan hukum internasional dan hukum nasional sebagai bagian

dari satu kesatuan sistem hukum. Hukum internasional berlaku dalam ruang

lingkup hukum nasional tanpa harus melalui proses transformasi. Pengikat diri

suatu negara kepada suatu perjanjian (misalnya dengan ratifikasi) merupakan

inkorporasi perjanjian tersebut ke dalam hukum nasional dan tidak dibutuhkan

legislasi nasional yang sama untuk memberlakukannya dalam hukum nasional.

Kalaupun ada legislasi nasional yang mengatur masalah yang sama, maka legislasi

yang dimaksud hanya merupakan implementasi dari kaidah hukum internasional.

Dalam hal ini, hukum internasional yang berlaku dalam sistem hukum nasional

akan tetap pada karakternya sebagai hukum internasional. Mengingat ini

merupakan kesatuan sistem maka terdapat kemungkinan adanya konflik antara

hukum nasional dan hukum internasional.

Universitas Sumatera Utara