72
TRAVELING THROUGH SNACK TRAVELIST SATISFYING YOUR CRAVING FOR TRAVEL EDISI 5 | FEBRUARI-MARET 2012

The Travelist 5

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Majalah online dua bulanan seputar traveling di Indonesia

Citation preview

Page 1: The Travelist 5

traveling through snack

TRAVELISTSatiSfying your Craving for travel

Edisi 5 | fEbruari-marEt 2012

Page 2: The Travelist 5
Page 3: The Travelist 5

Tadinya kita berpikir edisi ini agak nyantai loh! Beneran! Ternyata ga segitunya juga ya. Membahas cemilan tradisional ga segampang yang kami bayangkan sebelumnya, setelah cukup berdarah-darah membahas tema folktales, kami masih berdarah-darah juga membahas cemilan tradisional iniTapi, ya if it’s hurt/hard, it’s probably worth it. Walaupun banyak yang sepertinya salah kaprah mengira ini edisi kuliner, kami tetap bahagia dan senang dengan tulisan-tulisan yang dikirimkan. Wow! Pelan-pelan para travelist ini mulai melihat sisi lain sebuah perjalanan traveling dan itu luar biasa! Keep on the track hey travelist :DYa, beginilah edisi 5, selamat icip-icip edisi cemilan tradisional dari kota Gresik, Magelang, Yogyakarta, Surabaya hingga Jayapura. Ga ada janji yang bisa saya katakan, tapi yang jelas, semuanya enak dan layak untuk dijadikan buah tangan setelah kamu mengunjunginya atau paling tidak, coba titip teman yang mau traveling kesana :p

Salam travel,Redaksi

eDitorial notes

Page 4: The Travelist 5
Page 5: The Travelist 5

38 64

26

Page 6: The Travelist 5
Page 7: The Travelist 5

apa sih menariknya

peyek?“Cempli-cempli itupun semakin

habis berkejaran-kejaran karena masifnya para pemancing yang

mengambil ikan”

Tulisan dan foTo oleh farChan noor raChman

LAPUT

Page 8: The Travelist 5

8| LAPUT9

Page 9: The Travelist 5

J ika saya sebutkan nama rempeyek mungkin sudah banyak yang tahu, sebut saja rempeyek kacang yang paling banyak dijumpai, ada juga rempeyek kedelai,

rempeyek bayam, rempeyek paru bahkan hingga rempeyek belut. Pasti beberapa dari kita sudah pernah mencobanya, paling tidak salah satu jenis yang saya sebutkan tadi. Tapi sepertinya ada jenis rempeyek yang belum pernah Anda coba bahkan bisa jadi Anda belum tahu bahwasanya rempeyek jenis ini ada di negara kita. Desa saya terletak di tengah jalur Magelang-Jogja, tak jauh dari Sungai Elo yang airnya mengalir sepanjang tahun dan persawahan senantiasa menghijau. Wajar jika penduduknya gemar bermata pencaharian sebagai petani, berkebun, dan menjadi pencari ikan. Kondisi ini membuat waktu terasa berjalan lambat sekali di desa, santai. Kebiasaan para petani yang ke sawah pagi, pulang istirahat di saat siang dan kembali lagi di saat sore tiba membuat warga desa banyak waktu luang. Dengan model kebiasaan seperti ini, di waktu senggangnya para petani biasanya akan lebih banyak bercengkerama dengan warga lainnya sembari menyeruput teh manis atau kopi hitam ditemani singkong direbus atau digoreng, tahu atau tempe goreng, dan rempeyek. Ada rempeyek yang menjadi khas desa ini. Khas karena bahan bakunya yang hanya ditemukan di daerah ini. Cempli namanya, beberapa warga menyebutnya Pethol, sejenis ikan-ikan kecil yang

Page 10: The Travelist 5

biasanya hidup lepas di sungai-sungai. Ukurannya mini, antara satu hingga dua cm dengan bagian perut terlihat lebih mengembung dari badannya. Ikan ini biasanya hidup bergerombol di sungai-sungai kecil atau persawahan. Siang itu saya pergi ke tengah desa, disana terdapat keluarga yang memproduksi rempeyek ini secara turun temurun. Keluarga ini tinggal dalam satu kompleks dengan rumah yang berhadap-hadapan dan semuanya memproduksi rempeyek sepanjang tahun. Tungku-tungku mati dan tidak ada kegiatan goreng-menggoreng rempeyek. Apa saya salah waktu? Kompleks para pembuat “peyek cempli” sepi, hanya sesekali ibu-ibu pembuat peyek berjalan keluar rumah dan anak-anak kecil yang berlalu lalang bermain di depan rumah. Dengan modal prasangka, saya mencari tahu mengapa kompleks ini minim aktivitas. Dari ibu-ibu inilah saya tahu bahwa sepinya aktivitas tak melulu karena permintaan turun, tapi juga karena masalah bahan baku yang semakin sulit dicari. Bagaimana mau membuat jika tidak ada bahan? Disini para pembuat rempeyek adalah para ibu, sementara para lelaki mencari cempli di sungai-sungai di sekitar desa. Sayang, para lelaki sedang tidak mood mencari ikan kecil tersebut. Rupanya sungai habitat cempli di sungai di desa mulai habis karena banyaknya aktivitas memancing di luar kendali penduduk. Sungai di desa kami menjadi favorit para pemancing seantero Kabupaten Magelang, dari pagi sampai malam pasti bisa ditemui para pemancing itu di sungai-sungai yang ada di desa. Cempli-cempli itupun semakin habis berkejaran-kejaran karena masifnya para pemancing yang mengambil ikan apa saja tanpa memikirkan keberlangsungan ekosistem di dalam sungai. Aktivitas pencari ikan lain yang menggunakan potasium juga turut menurunkan jumlah biota sungai. Dengan racun itu maka ikan-ikan di aliran sungai dari atas sampai bawah tentu saja akan mati, tak peduli ikan

10| LAPUT11

Page 11: The Travelist 5
Page 12: The Travelist 5

12| LAPUT13

Page 13: The Travelist 5

besar atau kecil. Parahnya, ada juga para pencari ikan yang menggunakan setrum dari listrik.Hal kedua yang menjadi kesulitan para pembuat rempeyek ini adalah kenaikan bahan baku. Hal ini tampaknya yang menjadi kegalauan utama karena untuk menaikkan harga rempeyek tampaknya juga berat, oleh sebab itu para pembuat peyek ini teguh membuat rempeyek tanpa menaikkan harga dengan mendapat marjin yang tipis. Sulit ya? Walau demikian, untuk menjadikannya masuk dalam industri makanan bisa saja mereduksi rasanya. Rempeyek yang dibuat secara rumahan ini memiliki pakem yang membuat rasanya gurih dan nagih. Olahan bumbu dan terigu yang dicampur dengan ikan-ikan kecil tadi lalu digoreng di wajan dengan tungku dari tanah dengan bahan bakar kayu. Proses penggorengan rempeyek ini tak sesingkat yang saya kira, tapi dijamin keringnya merata dan yang paling saya suka adalah efek crunchy saat menggigitnya. Proses menggoreng dengan tungku ini sukses membuat panasnya merata. Sembari menunggu saya memperhatikan bagaimana ibu-ibu itu bisa membuat lapisan tipis sekali di wajan, iseng-iseng saya pun meminta izin untuk mencobanya, dan akhirnya gagal karena memang sulit. Sepertinya ibu-ibu itu sudah punya standar sendiri sehingga rempeyek cempli tadi bisa begitu tipis. Kandungan minyaknya yang sedikit menjadi keunggulan peyek cempli ini karena makin sedikit kandungan minyak maka peyek cempli tidak membuat eneg saat dimakan, tak seperti makanan yang digoreng dengan kandungan minyak yang banyak.

Page 14: The Travelist 5

Pengemasannya sederhana, hanya dengan dibungkus plastik transparan. Ukurannya dibuat kiloan, mulai ¼ hingga dua kilogram. Tanpa merk, karena memang hanya produk rumahan. Tak ada persaingan bisnis di antara keluarga ini walaupun produknya sama, mereka sudah punya pelanggan masing-masing. Selain dalam bentuk rempeyek, mereka juga menjual remukan atau remah-remah sisa rempeyek yang hancur. Harganya hanya setengah dari harga rempeyek. Semua masih dibuat dengan sederhana, mempertahankan mutu dengan mempertahankan tradisi yang berujung pada terjaganya kualitas rasa. Tradisionalitas dikedepankan, kesederhanaan tetap dijaga dan rupanya hal inilah yang membuat peyek cempli tetap bertahan sebagai cemilan favorit dan khas walaupun digempur cemilan baru dengan berbagai kemasan. Peyek ini tahan sampai sebulan jika disimpan di tempat rapat, tapi sepengalaman saya tidak pernah tahan lebih dari sebulan karena dalam dua hari pun sudah habis disantap. Tidak ada yang tidak suka dengan “peyek cempli”. Saat lebaran di desa kami, makanan ini menjadi suguhan wajib di setiap rumah. Para handai taulan dari luar Paremono pun selalu menyukai makanan ini dan keluarga saya sampai menjadikan rempeyek sebagai oleh-oleh wajib dari desa karena semua saudara selalu menanyakan tentang “peyek cempli”. Kawan saya yang pernah saya kirimi rempeyek ini bilang “peyek cempli akan terasa pahit saat kita berhenti memakannya, jadi harus terus dimakan supaya ga pahit”. [T]

14| LAPUT15

Page 15: The Travelist 5
Page 16: The Travelist 5
Page 17: The Travelist 5

Pagi itu saya datang terlambat sebenarnya, sekitar jam 06:30, suasana sudah ramai dengan pembeli ditingkahi

seruan pedagang. Para pedagang mulai menggelar dagangannya sejak sebelum subuh. Pasar ini sudah ada sejak tahun 90-an, dulunya menempati area sekitar pasar

Blok M lama dan sekarang berada di pelataran gedung perbelanjaan baru daerah Melawai Blok M.

Pasar Kue Pagi BloK M

JaKarta selatanoLeh Ary “SiAry” hArTAnTo

PHOTOSTORY

Page 18: The Travelist 5

Para pedagang rata-rata tinggal di sekitar Blok M, masih di Jakarta Selatan. Mereka menyiapkan penganannya malam sebelumnya. Mereka sudah mempersiapkan penganannya dan menggelar dagangannya di pasar sejak dini hari hingga subuh berakhir.

Page 19: The Travelist 5

|19PHOTOSTORY 18

Page 20: The Travelist 5

22|23 LAPUT

Di pasar kue ini kita bisa menemukan aneka penganan, jajanan, kue dan roti, dari yang tradisional hingga modern. Aneka lemper, lontong isi, bacang, kue lumpur, bolu, klepon, kue lapis, dan sebagainya. Kita bisa membelinya satuan, lusinan atau per dus. Ada juga yang sudah di campur aneka rupa per nampang atau tampah – dikenal juga kue tampah.

Page 21: The Travelist 5

|21PHOTOSTORY 20

Page 22: The Travelist 5

Tak hanya jajanan, aneka lauk tradisional pun tersedia. Silakan pilih mau gudeg komplit sam krecek dan telurnya, buntil, bacem tahu atau tempe, hingga sambel goreng. Pokoknya dijamin lapar mata plus lapar perut. Jadi kalau ingin jalan-jalan atau sepedaan di pagi hari tak perlu khawatir kelaparan, mau mengemil sampai sarapan komplet tersedia. Selamat berburu makan…

Page 23: The Travelist 5

|23PHOTOSTORY 22

Page 24: The Travelist 5

Jie W.kusumo

INTERVIEW

Latar belakang pendidikannya di bidang informatika ternyata mampu membantunya dalam passion baru yang akhirnya ditemukan; full time blogger & food photographer. Pria kelahiran Balikpapan ini juga akan memberi tahu apa itu chemistry dalam food photography.

Page 25: The Travelist 5
Page 26: The Travelist 5

Hai, nama aku Jie W. Kusumo, atau yg lebih sering dipanggil Jie atau Jiewa. Background aku sebenarnya itu orang IT. Pantesan muka kayak komputer ya? Hehe. Dari kebiasaan internetan dan ngeblog, akhirnya ga sengaja dan super iseng nyemplung ke dunia food blogging amatir.Ya namanya juga wiskul, pasti juga berbau jalan-jalan. Ya akhirnya food blog saya, INIJIE.com –juga ada unsur travelling-nya.

Pertama-tama, boleh dong dijelaskan siapa sebenarnya seorang Koko Jie?

Suka, dan sometimes memang part of my job. Dulu waktu masih ngantor, sering dikirim bos tugas di beberapa kota. Jadi macam kutu loncat. Pagi di Jakarta, siang ke Palembang, malam dah di Surabaya lagi. Sekarang, setelah kerja full time jadi Food Photographer, sering dapat job juga di luar home base Surabaya. I really enjoy travelling around Indonesia :)

Suka traveling keliling Indonesia ga?

68|69 Event26| INTERVIEW27

Page 27: The Travelist 5
Page 28: The Travelist 5

68|69 Event28| INTERVIEW29

Page 29: The Travelist 5

Amplang Samarinda. Ya mungkin karena aku juga berasal dengan kota Balikpapan yang tetangga dengan Samarinda, cita rasa Kalimantan menjadi nyetel banget di lidahku. Kalau makan Amplang yang terbuat dari ikan ini, pasti jadi ketagihan. Buat teman menonton televisi, sekejap bisa habis satu toples haha.

Selama traveling domestik ini ada ga kudapan/cemilan lokal yang jadi favorit Jie?

Keduanya adalah passion yang terlambat aku temukan. Ya lebih baik telat daripada ga sama sekali kan? Seperti yang aku bilang, masuk ke dunia blog karena kepleset pas kuliah di bidang IT. Sedangkan Food Photography, itu sudah jadi kewajiban buat seorang food blogger. Sebuah food blog harus dilengkapi dengan visualisasi yang menggiurkan. Kalau hanya teks pastinya sangat membosankan bukan? Tadinya cuma memakai kamera handphone, lalu meningkat ke kamera poket dan akhirnya naik level ke DSLR. Setelah memakai kamera pro, ternyata banyak yang memberi order food photography secara profesional. So here I am now :)

Kenapa suka ngeblog dan motret tentang makanan?

Page 30: The Travelist 5

INIJIE.com dibangun agar punya ciri khas tersendiri. tak hanya sekadar menulis tentang food, tapi juga ada nilai plusnya. Di INIJJIE, ada empat hal yang paling aku tekankan. Satu, backend IT untuk maintenance dan desain blognya. Kedua, fotografi untuk keindahan visual. Ketiga, gaya menulis yang luwes. Keempat, kemampuan analisa kuliner. Nah, gabungan keempat skill ini yang jadi kekhasan INIJIE.com. Dan ini yang aku rasa membuat INIJIE.com bisa menonjol dan diapresiasi pembaca (Initialers) dan bisa jadi juara Pesta Blogger 2009.

Blog INIJIE.com berhasil dapat reward di Pesta Blogger tahun 2009, sebenarnya apa cerita dibalik penulisan blog ini?

Food chemistry yang kumaksud di blogku ini adalah literally chemistry karena kafe yang kupotret memakai gelas-gelas kimia. Untuk penjelasan chemistry secara fotografi, sebuah foto harus bisa ‘bercerita’. Ada pesan yang disampaikan secara visual. Misalnya jika foto produk camilan atau cookies, mungkin lebih cocok kalau temanya santai sore, dengan property majalah atau remote televisi. Nah, untuk eksekusinya perlu menyusun konsep yang jelas dulu. Jadi pesan itulah yang menciptakan ‘chemistry’ pada foto.

Boleh dong dijelaskan tentang food chemistry photography?

68|69 Event30| INTERVIEW31

Page 31: The Travelist 5
Page 32: The Travelist 5

68|69 Event32| INTERVIEW33

Page 33: The Travelist 5

Jelas dong. Apalagi jajanan tradisional itu bisa jadi salah satu identitas daerah. Misal kalau kita menyebut Serabi, orang akan koneksikan dengan Solo (walaupun di kota lain juga ada). Dalam konteks travelling, maka snack tradisional ini yang akan diburu oleh para traveler sejati, bahkan jika sampai ke pelosok sekalipun.

Terkait cemilan tradisional misalnya Serabi Solo, menurut seorang Jie apakah hal ini perlu dipertahankan?

Branding-nya harus kuat. Branding meliputi banyak hal, mulai dari merek, packaging, pencitraan, komunikasi, hingga nantinya menyentuh ke channel distribusinya. Tapi tanpa merongrong akar tradisionalnya yah.Contohnya seperti Malaysia atau Thailand, mereka punya toko-toko cemilan aseman/manisan tradisional yang brandingnya bagus, bersih dan higienis.

Gimana cara menaikkan nilai cemilan tradisional supaya menjadi salah satu daya tarik turis untuk datang ke suatu tempat?

Page 34: The Travelist 5

Untuk dalam negeri, semoga makin banyak sarana dan prasarana travelling supaya makin jalan-jalan bisa makin nyaman sehingga ketika turis benar-benar menikmati secara utuh destinasi tujuannya.Untuk luar negeri, semoga makin banyak info-info travel seperti Travelist ini agar banyak masyarakat kita bisa melihat banyak insight dari luar dan ‘kaya’ pengalaman serta semoga cemilan tradisional tak tergerus jaman dan bisa lincah mengatasi gempuran jajanan modern. Viva Indonesia! [T]

Harapan Koko terkait dunia traveling dan cemilan tradisional?

68|69 Event34| INTERVIEW35

Page 35: The Travelist 5
Page 36: The Travelist 5

68|69 Event36| INTERVIEW37

Page 37: The Travelist 5

Bernama lengkap Jie W.Kusumo, pria yang akrab dipanggil Jie, Koko Jie, Jiewa ini lahir di Balikpapan tahun 1983, websitenya www.inijie.com berhasil meraih juara 2 Kompetisi Blog – Festival Jajanan Bango 2009 & 2010 dan Pesta Blogger Award 2009 untuk kategori blog makanan terbaik serta juara 1 lomba review resto Yukmakan.com tahun 2011 . Setelah bekerja di PT. HM.Sampoerna kemudian Ciputra, kini ia menjadi full time food blogger & photographer. Selain di blog, ia juga kerap membagi informasi mengenai kuliner dan fotografi melalui akun twitternya @inijie, sudah follow?

Jie W.kusumo

Page 38: The Travelist 5

caping berbahan boluBentuknya beda, seperti kepala orang yang memakai caping berbahan bolu!

TuLiSAn oLeh FerzyA FArhAnFoTo oLeh henDri, WerDhA, DAn FerzyA FArhAn

Traveler’s Tales

Page 39: The Travelist 5
Page 40: The Travelist 5

68|69 Event40| traveler’s tales41

Page 41: The Travelist 5

baru kali ini saya berkesempatan untuk mengorek sedikit tentang Surabaya, khususnya Surabaya bagian utara. Saat itu beberapa orang teman mengadakan sebuah acara menarik yang

memungkinkan saya untuk mencari seperti apa daerah mereka itu. Setelah acara selesai setengah, kami para peserta dibagi ke dalam beberapa kelompok untuk menjelajahi kota yang identik dengan hiu dan buaya ini. Saya dan tiga orang teman baru diberi tugas untuk ke salah satu bagian Surabaya Utara. Pecinan, sering juga dikenal dengan nama Kyu-kyu, dan Ampel, sudah menjadi ikon Surabaya bagian utara. Dua kampung dengan identitas yang berbeda tetapi aktivitas yang sama; berdagang. Dari lokasi acara kami berjalan ke arah jalan raya dan menaiki bus hingga tiba kantor pos kota Surabaya, kemudian berjalan kaki hingga tiba di wilayah Ampel. Siang itu memang panas sekali, keringat yang mengucur ditubuh mulai merambat hingga ke kaos yang kami kenakan. Hendri dengan tubuh besarnya mulai mengibas-ngibaskan kaos agar keringat cepat menguap, Andre sesekali menyeletuk untuk mencairkan suasanya yang ikut panas karena cuaca, sedangkan Werdha seperti sudah terbiasa dengan udara ini hanya diam saja sembari menunjukkan arah. Berjalan kaki saat traveling sebenarnya menyenangkan, karena dengan inilah kita dapat melihat perilaku-perilaku manusia yang beragam dengan lebih detail. Saya yang berjalan di tengah-tengah mereka kerap memperhatikan perilaku orang lokal. Betapa sibuknya Surabaya, bahkan pada hari sabtu, batin saya.

Page 42: The Travelist 5

Akhirnya kami tiba di daerah Pecinan. Menurut Werdha, daerah Ampel ada di sebelah kiri. Perjalanan kami sempat berhenti sebentar, Andre yang keturunan Cina penasaran dengan kue khusus lamaran tiba-tiba bertanya dengan orang sekitar untuk mencari tahu dimana toko yang menjual kue tersebut. Kabarnya, toko tersebut merupakan toko pertama yang menjual kue khusus tersebut. Secara adat, jika orang Cina ingin melakukan lamaran kepada pihak perempuan, maka sudah selayaknya untuk turut membawa kue tersebut. Sayangnya, itu bukan tujuan kita. Sehingga kami harus melajutkan perjalanan kembali ke bagian kiri Kyu-kyu, yakni kampung Ampel. Pemerintah Surabaya sudah menetapkan daerah Ampel sebagai kawasan wisata religi karena di sini terdapat masjid dan makan Sunan Ampel, yang merupakan salah satu anggota Majelis Dakwah Walisongo. Identitas kampung wisata religi ini melekat dengan sangat kuat dibenak para pencari wisata spiritual, seperti kata Dian, seorang wisatawan dari Banten yang datang secara rombongan. Di kampung ini terdapat banyak komunitas orang Arab, hingga menjadi identitas Ampel; Ampel adalah Arab, Arabnya Surabaya ya terdapat di Ampel. Berjalan di sepanjang Jalan Sasak sering

membuat saya terkesima, pasalnya banyak sekali wanita-wanita cantik dan pria-pria berparas Arab yang jarang saya temui di Yogyakarta. Di jalan sasak ini terdapat banyak toko yang menjual kurma, minyak wangi, pakaian arab, hingga kitab-kitab ataupun buku agama yang sudah kuno. Di ujung jalan kami memutuskan untuk masuk ke dalam Jalan Ampel Suci. Layaknya Arab yang terkenal dengan aktivitas berdagangnya, maka di dalam jalanan yang tembus hingga Masjid Ampel ini pun terdapat banyak toko-toko yang menjual pernak-pernik khas Timur Tengah, seperti tasbih ataupun minyak wangi. Jalan Ampel Suci ini memang sedikit mirip dengan Jalan Sasak, tetapi suasana yang teduh membuat pejalan lebih nyaman. Di jalan Ampel Suci ini ada juga yang menjual kue, seorang ibu tua bernama Ratna, ia menjual beberapa jenis kue, salah satunya Pukis Arab atau juga dikenal dengan nama Apem Arab. Sepertinya identitas Arab yang melekat pada Ampel pun menjadikan kue-kue yang dijual di sana bernamakan Arab. Bentuknya besar dan berbeda dengan pukis pada umumnya, pukis arab ini terdiri dari dua bagian; bawahnya berbentuk bundar dan di bagian atas berbentuk segitiga sehingga jika disatukan

68|69 Event42| traveler’s tales43

Page 43: The Travelist 5
Page 44: The Travelist 5

68|69 Event44| traveler’s tales45

Page 45: The Travelist 5

bentuknya seperti kepala orang yang memakai caping, warnanya yang cokelat matang membuat kami penasaran untuk mencicipinya. Ada dua jenis pukis yang dijual oleh ibu Ratna, ia menyebutkannya dengan “yang besar” atau “yang biasa”. Menurut ibu Ratna yang membedakan kedua pukis tersebut hanyalah besarnya sehingga mempengaruhi juga harganya, tetapi setelah kami cicipi keduanya terdapat hal yang membedakan lagi; rasanya. Pukis arab besar ini terasa nikmat bagi mereka yang menyukai rasa manis dan mentega yang cukup terasa. Sedangkan bagi mereka yang lebih menyukai rasa sedikit gurih dan tidak terlalu manis akan lebih nikmat jika merasakan pukis arab biasa. Harganya tidak terpaut jauh, jika si manis dibanderol dengan harga Rp5.000 maka si gurih dibanderol dengan harga Rp1.000 dibawahnya. Pukis Arab ini memang berukuran raksasa buat orang-orang berlambung kecil, satu pukis saja bisa tidak habis sendiri, mungkin karena itulah Pukis ini juga diberi nama Pukis Arab karena bisa jadi asal mulanya pukis ini diperuntukkan untuk warga Arab di kampung Ampel. Tidak ada yang tahu sejak kapan tepatnya Pukis Arab ini mulai dijual di Kampung Ampel, tetapi kue ini sudah menjadi jajanan khas Kampung Ampel Surabaya. [T]

Page 46: The Travelist 5

butir-butir hiJau kotageDeTuLiSAn oLeh SAgArAFoTo oLeh DArMA

Traveler’s Tales

Lebih sedap jika ditemani oleh teh panas yang diseduh dalam poci pada sore hari

Page 47: The Travelist 5
Page 48: The Travelist 5

Pembicaraan dengan logat jawa yang kental terdengar di balik etalase kue-kue yang beragam. Adalah dua orang ibu-ibu yang sedang

asik berbicara sembari membuat kue khas Kotagede, Yogyakarta. Beberapa media sudah pernah meliput kue ini, tapi tetap saja masih ada warga Yogyakarta yang belum mengetahui kue ketan kecil berwana hijau yang disebut dengan nama Kipo. “hah, ga tau gue, apaan tuh?” jawab Rio seorang mahasiswa yang tengah menempuh pendidikan di kota pelajar ini saat saya tanya pengetahuan dia mengenai kue kipo. Kotagede Yogyakarta memang eksotis. Wilayah yang merupakan bekas Kerajaan Mataram Islam itu menyimpan aneka warisan budaya. Kerajinan perak adalah warisan yang paling terkenal, kemudian bangunan lama dan situs artefaknya menjadi khas Kotagede. Saking khasnya, kehidupan Kotagede dari tahun 1999 hingga 2006 diabadikan oleh Bambang Tri Atmojo dalam bukunya yang berjudul Kotagede: Life Between Walls. Namun, tak hanya bangunan ataupun kerajinan perak saja yang menjadi khas Kotagede. Adalah Mbah Bangun Irono yang memperkenalkan kue ketan legendaris ini kepada keluarganya. Kepulangan beliau kepada pencipta pada tahun 1946 membuat

68|69 Event48| traveler’s tales49

Page 49: The Travelist 5
Page 50: The Travelist 5

68|69 Event50| traveler’s tales51

Page 51: The Travelist 5

Ibu Paijem Djito Suhardjo selaku anak pun melanjutkan resep kue yang diwariskan ibunya. Pada masa inilah kipo mulai dikenal oleh masyarakat umum bahkan menjadi menu favorit di kalangan bangsawan Kraton Mataram dan juga suguhan tamu untuk pemerintan serta resepsi pernikahan. Ibu Djito kemudian memperluas pengenalan kue kipo ini kepada masyarakat dengan berjualan di kiosnya di Jalan Mondorakan no.27 Kotagede. Di kios inilah saya berkenalan dengan dua ibu bernama Triyanti dan Endang, keduanya adalah pegawai Ibu Istri Rahayu, penerus Kios Ibu Djito sejak tahun 1991. “Iya, cuma berdua dek dari berempat”, jawab Ibu Endang saat saya tanya mengapa hanya mereka yang membuat kue kipo ini. Keduanya kemudian terdiam, sepertinya sangat menikmati waktu pembuatan kue khas Kotagede ini. Warnanya hijau muda dan harum saat dipanggang diatas tembikar dengan alas daun pisang. Aroma tersebut berasal dari campuran kelapa, gula jawa dan daun pisang yang terbakar. Warna hijau yang terlihat berasal dari perasan daun suji. Ibu Endang dengan cekatan meletakkan adonan kipo yang telah dibentuk di atas daun pisang panjang,

pada setiap lembaran daun diisi dengan lima hingga delapan butir kue kipo disusun berjajar memanjang. Selama menunggu kira-kira dua hingga tiga menit, Ibu Endang mengaduk kembali adonan agar tetap lembut. Sedangkan Ibu Triyanti dengan jari lentiknya membentuk butir-butir kue kipo yang sebesar ibu jari. Saya menikmati pemandangan dan aroma ini, ikut terbuai dalam keterdiaman yang nyaman di antara mereka. Sesekali Ibu Endang membalikkan butir-butir kipo agar matang secara merata. Setelah semuanya matang, ia pun mengangkat lembaran daun pisang bersama dengan kiponya, kemudian menggantikan alas tersebut dengan daun pisang yang baru. Saya pun tergoda untuk mencicipi kue kipo yang baru matang itu. “Ibu, boleh saya coba yang itu?”, tanya saya memberanikan diri memecahkan sunyi suasana. “oh, iya boleh, tapi masih panas”, jawabnya dengan ramah. Panas memang saat ketan hijau ini tergigit, tapi luar biasa nikmatnya, ketan berwarna hijau-cokelat yang terpanggang terasa kress saat digigit kemudian disusul dengan keluarnya enten-enten yang

Page 52: The Travelist 5

merupakan campuran kelapa dan gula jawa halus ini manis meleleh di lidah, seperti cokelat panas yang keluar dari choco melt cake; panas tapi nikmat. Benar-benar berbeda rasanya dengan kue kipo yang sudah terbungkus. Saya sampai memeramkan mata saat menikmatinya, sungguh nikmat, dalam hati saya mendadak setuju dengan slogan iklan ‘lidah ga bisa bohong’. Padahal bahan-bahan kue kipo ini cukup sederhana, yakni ketan dicampur dengan santan dan sedikit garam, sedangkan untuk warnanya, selain dari daun suji terkadang juga bisa menggunakan daun katu. Beda tempat, agak sedikit beda pembuatan. Selain kios Bu Djito, terdapat pula beberapa penjual kue kipo lainnya, seperti Ibu Amanah yang terletak di seberang Kios Ibu Djito dan Kios Ibu Muji yang terletak di jalan yang sama. Kue kipo di Kios Ibu Amanah, Kios Ibu Muji, juga yang dijual di pasar terkadang memasukkan buah nangka sebagai campuran enten disamping parutan kelapa muda dan gula jawa.

68|69 Event52| traveler’s tales53

Page 53: The Travelist 5
Page 54: The Travelist 5

68|69 Event54| traveler’s tales55

Page 55: The Travelist 5

Kue-kue kipo yang dijual ini semuanya hanya mampu bertahan sehari semalam, semuanya dibuat dengan bahan natural dan tanpa pengawet. Walau demikian, permintaan kue kipo terus ada; dalam satu jam pertama saja saya sudah melihat ada empat orang yang membeli kue kipo dengan jumlah pembelian lima hingga sepuluh bungkus perorang. Satu bungkus kue kipo berisi lima butir ini dijual dengan harga Rp1.200 dan harga ini juga berlaku bagi penjual lainnya di pasar. Menurut beberapa teman di kota pelajar ini, memakan kipo akan lebih sedap jika ditemani oleh teh panas yang diseduh dalam poci pada sore hari. Seperti seorang bapak yang suatu sore hari disuguhkan kue hijau tersebut kemudian bertanya “iki opo” pada istrinya. [T]

Page 56: The Travelist 5

kecubung manis Di tengah kota santriTuLiSAn DAn FoTo oLeh ALoySiA kriSnAWATie

Traveler’s Tales

“Mau ditekan kemudian digigit kecubungnya ataupun pelepah yang dibuka dahulu sebelum makan kecubung, dua-duanya memiliki sensasi tersendiri”

Page 57: The Travelist 5
Page 58: The Travelist 5

Lahir di kota Gresik tidak menjamin saya begitu mengenal kota yang dikenal sebagai Kota Santri ini. Setelah beberapa tahun tinggal di

Ibu Kota Jawa Timur untuk mencari ilmu dan melewati beberapa bangunan tua di Surabaya Barat, saya jadi ingin mengenal lagi kampung halaman yang juga memiliki bangunan tua. Ada beberapa budaya yang masuk ke kota ini melalui pelabuhan. Yang masih bertahan diantaranya dari Cina, Arab dan Eropa tentunya. Adanya pelabuhan inilah yang menjadi pusat peradaban di kota industri ini. Selain pelabuhan dan bangunan-bangunan tua yang berada di area timur Kota Gresik, alun-alun kota menjadi pilihan saya untuk mencari jajanan khas Gresik. Banyak jajanan di tawarkan di sana, namun saya masih belum menemukan yang khas hingga akhirnya saya menemui seorang mbah penjual semanggi yang duduk di pinggir trotoar sebelah parkiran alun-alun. Dari beliaulah saya mengetahui bahwa makanan khas Gresik yang paling terkenal adalah Sego Krawu (Nasi Krawu) dan Pudak. Sebenarnya ada banyak jenis cemilan tradisional Gresik, sayang yang terkenal hanya sego-nya saja, tidak banyak orang mengenal, Kecubung, Jenang Ayas, Madu Mongso, Kocor, ataupun Bongko. Memang ya istilah ‘local people is your Lonely Planet’ benar. Saya juga tidak begitu tahu tentang cemilan-cemilan

ini jika tidak bertanya pada mbah penjual tadi. Menurut beliau, Pudak, Kecubung, dan Jenang Ayas adalah jajanan yang paling nggersik. Banyak penjaja cemilan khas ini yang berjualan di sepanjang Jalan Sindujoyo dimana jalan ini merupakan jalur utama kendaraan dari berbagai kota lain keluar dan masuk untuk melakukan ziarah wali di Makam Sunan Giri dan Sunan Malik Ibrahim. Jalan Sindujoyo seperti jalan penggila cemilan dan segala hal yang manis; selain jajanan, ada pula minuman yang dinamai ‘Legen’, asalnya disaring dari pohon Aren atau Siwalan. Memang banyak penjual yang menjajakan jajanan khas Gresik ini, tetapi menurut mbah hanya satu yang paling legendaris dan paling enak, Sari Kelapa nama tokonya. Sayapun berjalan dari alun-alun kota menuju Jalan Sindujoyo melewati Kampung Kemasan yang legendaris dan merupakan pusat peradaban di kota Gresik, letaknya berdekatan dengan pasar tradisional Gresik berpusat. Toko Sari Kelapa begitu terkenal dengan Pudak dan berbagai Jenang yang berkualitas. Bahan-bahan dasar yang digunakan banyak menggunakan sari kelapa atau santan, mungkin karena itulah toko ini dinamakan. Bangunannya kecil dan bertempat di tepi jalan, namun begitu ramai pengunjung dan tidak pernah berhenti berdatangan hanya untuk sekedar njajan

68|69 Event58| traveler’s tales59

Page 59: The Travelist 5
Page 60: The Travelist 5

68|69 Event60| traveler’s tales61

Page 61: The Travelist 5

dan beli oleh-oleh untuk sanak keluarga, beberapa dari mereka datang dari luar kota.“Dulu yang ada cuma toko ini, yang lain belum ada. Tapi sekarang sudah mulai banyak yang menyaingi”, ujar Mbak Tin, pemilik toko Sari Kelapa. Didirikan sejak tahun 1960-an, kini Sari Kelapa dijalankan oleh generasi ketiga. Seiring berjalannya waktu, toko ini tidak hanya menjual jajanan khas Gresik, tetapi juga menjual berbagai macam krupuk yang bahan dasarnya merupakan hasil usaha nelayan pesisir pantai utara Gresik dan juga berbagai macam krupuk dari berbagai daerah. Dari berbagai macam jajanan yang ada di toko tersebut, saya lebih tertarik dengan Kecubung yang menurut saya disajikan begitu unik. Lidah Jawa orang Gresik sering menyebutnya Jubung. Sebagai pemilik usaha, Mbak Tin masih turun tangan untuk mengolah proses pembuatan Pudak, Kecubung, Jenang Ayas, dan lainnya. Mbak Tin bercerita bagaimana Pudak dan Kecubung dibuat sambil tidak berhenti tangannya mengikat pudak dengan cekatan. Kecubung terlihat tidak jauh berbeda dengan Jenang Ayas. Bahan dasar kecubung berasal dari ketan hitam, santan kelapa dan gula pasir. Adonan ini dicampur dengan resep keluarga, dimasak dan diaduk terus hingga ketan hitam menghalus. Kemudian adonan kecubung dituang ke dalam pelepah daun Jambe yang sudah

Page 62: The Travelist 5

kering dan dibentuk untuk tempat penyajian Kecubung. Untuk mempercantik Kecubung, ditaburkan wijen di atasnya kemudian dibiarkan membeku. Penyajian jajan Kecubung yang unik ini membedakan Kecubung dari Jenang Ayas dan Jenang lainnya. Pada Jenang Ayas, irisannya hanya dibalut lembaran plastik biasa. Kecubung tidak keras karena membeku setelah dituang ke dalam wadahnya, ia menjadi kenyal dan lengket ketika dimakan. Mau ditekan lalu digigit kecubungnya atau dibuka dulu pelepahnya sebelum makan kecubungnya, menurut saya perjuangan makan jajan ini memiliki sensasi tersendiri. Rasa manis menjadi bonus ketika memakannya Sedangkan pudak yang merupakan salah satu jajan khas Gresik yang utama, terbuat dari tepung beras, gula, dan santan kelapa yang kemudian dituang dalam pelepah daun Jambe yang sudah dibentuk dan dikukus dalam dandang. Setelah matang, pudak membeku seperti agar-agar namun memiliki tekstur yang lebih padat. Bahan utama tepung beras inilah yang membuat pudak itu mengenyangkan ketika dimakan seperti makan nasi. Warna utama pudak adalah putih, namun kini berkembang menjadi berbagai macam warna, ada hitam yang berasal dari ketan hitam, ada hijau yang dari campuran daun pandan, serta merah dari tepung sagu dan gula merah. Pudak Sari Kelapa dibuat tanpa pengawet. Penyimpanan jajan pudak yang baik adalah digantung, bukan diletakkan di atas piring. Hal ini untuk mempertahankan jajan yang memiliki rasa manis ini agar tidak cepat basi.

68|69 Event62| traveler’s tales63

Page 63: The Travelist 5
Page 64: The Travelist 5

68|69 Event64| traveler’s tales65

Page 65: The Travelist 5

Sambil mengemil kecubung, saya mendengarkan cerita Mbak Tin dan suami serta pegawainya. Ruangannya kecil dan panas. Namun proses produksi tidak akan berhenti hingga waktunya tiba. Sari Kelapa memproduksi kecubung mulai subuh dan di jual ketika toko dibuka, sedangkan Pudak tidak pernah berhenti di produksi untuk mengisi pasokan pada dua toko cabang Sari Kelapa di tempat lain. Begitulah Pudak dan Kecubung; keduanya manis, seperti manisnya mempertahankan cemilan tradisional. [T]

Page 66: The Travelist 5

abon gulung

TuLiSAn DAn FoTo oLeh iAn prASeTyo

Seringkali saya bingung saat berpergian ke daerah Papua dan harus membawa makanan untuk dijadikan buah tangan. Kue Sagu kering ataupun Keladi goreng terlalu eksotis bagi saya. Sampai saya menemukan abon gulung yang dijual oleh Hawai Bakery, Manokwari. Abon gulung pada dasarnya adalah roti berisi abon yang digulung dan di dalamnya terdapat pula minyak atau mentega cair. Abon gulung bagi saya masuk ke dalam comfort food, sesuatu yang membuat perut terasa nyaman dan mengenyangkan, meskipun sering kali membuat gemuk karena mengandung banyak kalori. Roti pada abon gulung termasuk roti yang bantat, bukan roti yang berstruktur airy dan kering, juga abon yang bergulung di dalamnya pun berlimpah dan gurih, paduan yang pas dengan roti yang manis. Abon gulung Manokwari kini menjadi oleh-oleh khas dari Papua. [T]

68|69 Event66| REVIEW67

Page 67: The Travelist 5
Page 68: The Travelist 5

“Kalo kata Ayos, ga ada lagi yang namanya Hidden Paradise”

Tanggal 17 Maret 2012 lalu, Hifatlobrain Travel Institute dan C2O Library mengadakan acara Travel Writing Workshop bersama Yudasmoro, kontributor tetap majalah Garuda dan Jalan-jalan. Menurut Dwi Putri Ratnasari, selaku salah satu penyelenggara acara, animo traveler domestik yang semakin meningkat menjadi motivasi Hifatlobrain untuk mengadakan acara ini, khususnya untuk mereka yang concern terhadap dunia travel writing, berbagi cara untuk mengembangkan ide tulisan perjalanan yang menarik dan tidak membosankan. Acara dilaksanakan dari pukul 08.00 hingga 20.00, total 12 jam belajar menulis travel dengan kontribusi Rp 15.000 saja. Dimulai dengan berbagi pengetahuan secara teori; menulis dan memotret oleh Yudasmoro kemudian peserta yang terbagi dalam beberapa kelompok diminta untuk traveling singkat di tempat yang telah ditentukan dalam kota Surabaya selama empat jam dilanjutkan menulis tentang perjalanan tersebut. Satu persatu Yudasmoro me-review tulisan peserta. Acara ditutup dengan memperlihatkan foto terbaik yang dihasilkan peserta. [T]

travel Writing Workshop

TuLiSAn DAn FoTo oLeh FerzyA FArhAn

68|69 Event68| EVENT69

Page 69: The Travelist 5
Page 70: The Travelist 5

Lulusan desain interior ITS Surabaya yang baru mengenal traveling dan baru tahu bahwa Indonesia itu cantik ketika kuliah. Masih banyak PR traveling tapi sedang terjebak deadline di kantor. Suka menulis sejak SMP.

Aloysia Krisnawatie@aloysia_lusy

Tahun ini menginjak usia 25 tahun, suka jalan-jalan, dan bersepeda gunung.

Werdha@werdhaisme

A simple mindtraveler who happen to love traveling, check my travel stories at ohimthetraveler.blogspot.com

Hendri

25 tahun, asli Magelang, sekarang domisili di Garut. Pekerjaan utamanya adalah seorang pelancong dan memiliki pekerjaan sambilan sebagai PNS. Sesekali menyalurkan hobi memotret dan menulis. Melancong adalah sunnah untuk mensyukuri nikmat Tuhan, maka melanconglah!

Farchan Noor Rachman@efenerr

Masih kuliah di Jurusan Ilmu Ekonomi. Sering bercerita tentang kuliner di blog jogjagluttony.wordpress.com

Ian Prasetyo@prasetyoian

proFil kontributor

Page 71: The Travelist 5

Punya kritik dan saran untuk The Travelist? Kirim surat anda melalui email: [email protected] dengan menyebutkan nama, kota, dan nomor telepon. Surat yang terpilih akan mendapatkan suvenir menarik dari The Travelist.

The Travelist mengundang siapa saja yang mau berbagi cerita mengapa ia menyukai traveling, diving, ataupun hiking untuk menyebarkan ‘virus’ ini kepada pembaca yang lain agar semakin mencintai Indonesia.Kirim melalui email: [email protected] dengan subjek : cerita sayaTulisan maksimal 500 kata dan disertai tiga foto.

Hey Travelist!

My Story

Page 72: The Travelist 5