72
TRAVELIST EDISI 6 | MEI-JUNI 2012 TRAVELING THROUGH MUSIC SATISFYING YOUR CRAVING FOR TRAVEL

The Travelist 6

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Majalah online dua bulanan seputar traveling di Indonesia

Citation preview

TRAVELISTEdisi 6 | MEi-Juni 2012

TRAVELING THROUGHMUSIC

SatiSfying your Craving for travel

EDITORIAL NOTES“Travel the world and the seven seas, everybody’s looking for something”tahun 1983, sebuah band bernama Eurythmics menyanyikan lagu yang berjudul Sweet Dreams dan menceritakan bahwa manusia akan selalu mencari dan siapakah kita?Musik dan perjalanan akan terus bersatu, musik mengalami perjalanan dan perjalanan juga ditemani oleh musik, mereka tidak bisa dipisahkan. Maka pada edisi enam, sekaligus edisi yang menandakan bahwa Travelist telah berjalan satu tahun dan selama setahun ini kami banyak mendapat inspirasi dari musik. kalau kata R.E.M “All you hear is time stand still in travel and feel such peace and absolute”Dalam hidup, salah satu hal yang paling menyenangkan adalah melakukan perjalanan dan terbuai dalam musik, seperti kata Jack Kerouac “Live, travel, adventure, bless, and don’t be sorry.” Happy Traveling Through Music hey travelist!

REDAKSIEditor in Chief:Ferzya (@ferzyaya)Reporter:Darma Sagara Project Manager:Wana D. (@wana23)Designer:Lingga Binangkit (@linggabinangkit)

Kontak RedaksiE: [email protected]: Travelist e-MagazineT: @travelistmagzW: www.the-travelist.com

Cover oleh Wana D.

Majalah online dua bulanan terbitan pecinta traveling untuk memuaskan hasrat traveling para traveler dan calon traveler lainya. Silahkan download dan sebarkan ke teman-teman kamu supaya semakin banyak orang Indonesia yang menjelajah Indonesia bagian lain, mungkin saja kita bertemu di suatu tempat.

TRAVELISTEdisi 6 | Mei-Juni 2012

LAPUTPULANG KE BALIKPAPAN

INTERVIEWADE RUDIANA

PHOTOSTORYDARI PANGGUNG KE PANGGUNG

TRAVELER’S TALESMENGENAL PERKUSI MELALUI TEMPERENTE PERCUSSION

TRAVELER’S TALES MELANGLANG DENGAN MUSIK

TRAVELER’S TALES ADA JAZZ DALAM MALAM

REVIEWGAMOLAN LAMPUNG

DAFTAR ISI

|| || || ||

|| || ||

6162438

465666

10

REVIEWBAND BEREMPAT ||68

TRAVELIST DAFTAR ISI

|| || || ||

|| || ||

11

||

38 64

26

28 63

46

PULANG kE

“Dan lalu… Rasa itu, tak mungkin lagi kini, tersimpan di hati, bawa aku pulang, rindu… Bersamamu…”Jika rumah adalah dimana hati berada, maka saya ingin kembali pulang ke rumah, ke dalam ranah tanah Kalimantan.

TEKS DAN FOTO: PUSPITA INSAN KAMIL

LAPUT

BALIkPAPANLAPUT

8| LAPUT9

Dari kaca jendela pesawat, sosok awan terlihat bergerak perlahan, semula mereka menutupi pemandangan Pulau Borneo. Saya berdebar ingin membuktikan ekspektasi akan hutan-

hutannya, tetapi kini awan itupun menyibaknya dengan pemandangan lain; lubang-lubang besar karena pertambangan batubara.

Pantai

…dan lalu, air mata, tak mungkin lagi kini… Bicara tentang rasa, bawa aku pulang, rindu. Segera…

Debur ombak dan warna biru air laut selalu berhasil membius diri untuk menjadikan pantai sebagai tempat berbagi kisah dalam diam dan menikmati matahari turun dengan anggun. Ya, saya adalah pengejar sunset. Hari pertama sampai di Balikpapan, saya bersegera menuju pantai Lamaru yang kerap dibicarakan orang. Tak disangka ternyata si cantik sedang ‘ditutup karena proyek’. Karena masih penasaran saya masuk dan melihat tumpukan kayu yang seperti baru dipotong dan kendaraan berat. Seorang bapak menghampiri dan bertanya tujuan saya ke sana. Mengaku sebagai turis, saya pun bertanya kepada bapak tersebut sedang ada proyek apa. “Sedang ada perbaikan agar pantai Lamaru lebih layak kunjung”, jawab sang Bapak sambil tersenyum. Jawaban Bapak mengalihkan tujuan saya untuk menuju Pantai Melawai, sebuah pantai yang terletak di sebelah pelabuhan. Di dekat pantai ini terdapat sebuah pulau bernama Pulau Tukung. Dalam diam, saya berbagi kisah ribuan kilo yang telah saya jelajahi. Tetapi saya masih merasa ada yang kurang. Saya masih ingin

menemukan sebuah rumah untuk pulang, untuk merasa saya benar-benar bagian dari tempat itu. …jelajahi waktu, ke tempat berteduh, hati kala biru…

Pantai Melawai tak ubahnya seperti pantai wisata dengan banyak penjaja makanan ringan dan minuman seperti es kelapa. Namun pantai ini tidak begitu ramai dikunjungi meski hari itu adalah hari Sabtu. Saya duduk beralaskan pasir, tepat di seberang Pulau Tukung. Senja hari itu mengisi rongga hati saya yang sedang biru. Matahari turun perlahan di balik Pulau Tukung dan perahu-perahu kecil, amat dramatis. Ketika gelisah, saya memang memilih untuk kabur keluar kota, ke gunung, ke pantai, atau mungkin ke hutan. Mencari tempat untuk pulang. Pantai Melawai merupakan tempat untuk lari dan terpana dengan senjanya di ufuk barat. Besok, saya akan mencari tempat lain yang memanggil saya untuk pulang.Hutan

…dan lalu, sekitarku, tak mungkin lagi kini, meringankan lara. Bawa aku pulang, rindu. Segera…

Kenapa saya memutuskan untuk pergi mencari hutan di Balikpapan? Borneo tidak terkenal dengan keganasan gunung berapi. Tapi tidak berarti tidak ada gunung berarti tidak ada hutan. Hutan Kalimantan terkenal dengan deforestasi terbesar untuk keperluan pertambangan batubara,

sumber listrik Indonesia. Pembabatan gunung untuk eksplorasi batubara sampai detik ini belum berhenti demi memenuhi pasokan listrik pulau-pulau besar khususnya Jawa. Padahal hutan adalah tempat pulang saya yang lain. Serangga mengepikkan sayap sehingga membuat suara keras, ataupun suasana hutan yang sepi, keduanya memaksa saya untuk diam dan banyak berpikir. Hari itu saya memutuskan untuk pergi ke Sungai atau Sei Wain di utara Balikpapan, mencari tempat lain untuk pulang. Konservasi Sei Wain dapat ditempuh dengan angkutan umum dan kemudian ojek untuk sampai ke ujung desa. Konservasi Sei Wain adalah sebuah hutan alam yang terletak di batas Kota Balikpapan. Fungsi utamanya adalah penyedia air bersih untuk kebutuhan rumah tangga dan industri perminyakan di Balikpapan. Hutan Sei Wain adalah hutan dengan sungai lebar seperti di film Anaconda dan masih sangat alami. Ditemani Pak Agus, kami masuk ke hutan sambil mengecek sampah dan mengamati pohon Ulin, pohon yang sudah dilindungi di Kalimantan. Jejak-jejak kancil, babi hutan, rusa, landak, beruang, dan orang utan, dapat dikenali melalui tanah, buah, atau pohon yang rusak. Kami diajak untuk diam dan mendengar simfoni hutan Sei Wain. Kami juga harus diam agar tidak mengganggu binatang-binatang di sana. Kera-kera di hutan Sei Wain masih amat liar. Di pos terakhir, sembari mengamati kera yang sedang mencari makan dan memanjat pohon, berpindah dari dahan ke dahan,

10| LAPUT11

12| LAPUT13

kami mengecek pacet di kaki dan saya dapat satu. Pelan, partner saya mengambilnya dengan pisau lipat. Dua pacet terlihat sedang berusaha naik di sepatu trekking saya. Kami pulang dari Sei Wain dengan berjalan kaki karena tidak ada angkutan umum dan jarak ke jalan utama adalah enam kilometer. Tetapi saya memutuskan untuk duduk di warung dan beristirahat dahulu sambil mencicipi kue sagu. Tak lama partner saya mendapat tumpangan dari seorang bapak yang baik hati. Kami diantar sampai ke pasar untuk mencari kain khas Kalimantan. Sepanjang perjalanan, tawa tak lepas dari kami yang mengobrol dengan keluarga Pak Hubertus, si bapak baik hati, yang asli dari Flores tersebut. Bertukar kontak, berbagi cerita, dan bertukar informasi, layaknya di rumah sendiri. …dan lalu, o langkahku, tak lagi menjauh kini, memudar biruku…

Kalimantan adalah target deforestasi dari perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di bisnis kelapa sawit dan pertambangan batubara. Ancaman ini diperkuat dengan kondisi politik dan pemerintahan yang tidak tegas dalam perlindungan hutan purba Borneo. Akankah tempat ini tetap indah dengan hutan yang hilang, dan pantai untuk eksplorasi energi fosil? Akankah tempat ini tetap bisa menjadi rumah saya untuk pulang, bercerita kala bingung, memudarkan biru di hati?

Seperti lagu “Pulang” yang selalu menjadi teman saya di perjalanan, akankah Balikpapan tetap menjadi tempat dimana saya bisa menjelajah waktu, melintasi pantai, dan hutan yang terjaga? Seperti Mahatma Gandhi pernah berkata, apa yang kita perbuat sekaranglah yang akan menentukan masa depan.

…jangan lagi pulang, jangan lagi datang, pergi jauh… [Float, Pulang) [T]

14| LAPUT15

Maraknya konser-konser artis nasional dan internasional di Indonesia sejak tahun 2010-an bisa jadi adalah momentum kebangkitan fotografi konser Tanah Air. Foto-foto konser mulai bertebaran di media sosial, berbagai komunitas foto konser bermunculan, masa depan fotografer konser terlihat semakin cerah, dan banyak sekali para pecinta musik dan foto mulai menekuni foto konser.

DARI PANGGUNG KE PANGGUNG

PHOTOSTORY

TEKS: ANNISA PRASETIO

Pagi itu saya datang terlambat sebenarnya, sekitar jam 06:30, suasana sudah ramai dengan pembeli ditingkahi seruan

pedagang. Para pedagang mulai menggelar dagangannya sejak sebelum subuh. Pasar ini sudah ada sejak tahun 90-an, dulunya menempati area sekitar pasar Blok M lama dan sekarang berada

di pelataran gedung perbelanjaan baru daerah Melawai Blok M.

oleh Ary “Siary” Hartanto

PHOTOSTORY

TALENT: GODbLESSFOTOGRAFER: ANNISA PRASETIO

Siapa yang tidak senang bisa mengabadikan konser musisi legendaris dalam sebuah foto yang apik? Siapa yang tidak mau masuk ke konser gratis, dan bisa memotret dengan nyaman dari dalam barikade yang memagari panggung? Siapa yang bisa menolak kesempatan mampir ke backstage dan berfoto bersama musisi kesayangan? Asyik sekali jadi fotografer konser, bukan?

Siapa yang tidak senang bisa mengabadikan konser musisi legendaris dalam sebuah foto yang apik? Siapa yang tidak mau masuk ke konser gratis, dan bisa memotret dengan nyaman dari dalam barikade yang memagari panggung? Siapa yang bisa menolak kesempatan mampir ke backstage dan berfoto bersama musisi kesayangan? Asyik sekali jadi fotografer konser, bukan?

TALENT: ShEILA ON 7 FOTOGRAFER: PRASOjO

|19PHOTOSTORY 18

Di pasar kue ini kita bisa menemukan aneka penganan, jajanan, kue dan roti, dari yang tradisional hingga modern. Aneka lemper, lontong isi, bacang, kue lumpur, bolu, klepon, kue lapis, dan sebagainya. Kita bisa membelinya satuan, lusinan atau per dus. Ada juga yang sudah di campur aneka rupa per nampang atau tampah – dikenal juga kue tampah.

PHOTO STORY Pasar Pagi Blok M, Jakarta Selatan

Di pasar kue ini kita bisa menemukan aneka penganan, jajanan, kue dan roti, dari yang tradisional hingga modern. Aneka lemper, lontong isi, bacang, kue lumpur, bolu, klepon, kue lapis, dan sebagainya. Kita bisa membelinya satuan, lusinan atau per dus. Ada juga yang sudah di campur aneka rupa per nampang atau tampah – dikenal juga kue tampah.

PHOTO STORY Pasar Pagi Blok M, Jakarta Selatan

Tak semua konser mengizinkan penonton membawa kamera, bahkan ketika sudah berkalung ID “PERS” pun hanya boleh memotret selama tiga lagu pertama. Lebih lagi ketika harus memotret dari barisan penonton, kita harus menghadapi risiko tersenggol, terhalang, dan tergencet. Tantangan terbesar dari memotret konser musik adalah bagaimana caranya bisa dapat foto drummer yang hampir selalu mendekam sendirian di ujung belakang panggung yang lebih tinggi dari kepala kita sendiri.

20 | 2120 | 21

22

TALENT: WhITE ShOES AND ThE COUPLES COMPANyFOTOGRAFER: PRASOjO

|21PHOTOSTORY 20

|23PHOTOSTORY 22

Bahkan fotografer Indonesia kawakan yang sudah memotret konser Dream Theater di

Amerika Serikat pun memulai portfolionya dari panggung festival anak sekolah. Jadi jangan

ragu untuk mulai memotret konser hari ini! Datang awal ke pensi supaya bisa berdiri di

baris terdepan dan memotret tanpa gangguan. Bersiaplah terpukau melihat hasil fotomu dari

barisan penonton yang tidak kalah dengan jepretan fotografer profesional yang berdiri

dalam barikade! [T]

TALENT: GUGUN bLUES ShELTERFOTOGRAFER: PRASOjO

“Saya ini orang kampung yang udah traveling ke 40 negara sambil naik kendang”

ade rudiana

INTERVIEW

FOTO: ADE RUDIANA & AyOS PURWOAjI

FOTO: AyOS PURWOAjI

2768|69 Event26| INTERVIEW

FOTO: ADE RUDIANA

27

Saya ini lahir di kampung, tapi orang kampung itu bukan berarti tidak boleh maju. Pada masa itu sekolah merupakan hal yang tidak penting, tapi bagi saya sekolah itu penting walaupun tak terbayang mau jadi apa yang penting ada semacam tanggung jawab, jadi saya harus mengembangkan pengetahuan. Nah saya memilih untuk sekolah kesenian, banyak yang bilang ‘apaan tuh’ tapi saya merasakan manfaatnya. Salah satunya saya mendapat piknik gratis ke tempat-tempat orang, naik kendang istilah saya. Dulu saya ingin sekali ke Venesia, tapi bagaimana caranya? Ya saya naik itu, naik kendang! Saya bisa jalan-jalan kemanapun dari sesuatu yang tak terpikir oleh orang dari ‘apaan tu’, tapi sampai sekarang saya bisa nge-band sama Dwiki Dharmawan dan Pak Anggito Abimanyu ya karena belajar musik etnik.

Pertama-tama, boleh dong dijelaskan siapa sebenarnya seorang Ade Rudiana?

Sebetulnya berangkat dari serba kebetulan, saya dulu maunya di sekolah kesenian, tapi tak ada dukungan untuk belajar di sekolah kesenian. Saya suka pukul kendang, tapi kata orang kalau belajar kendang tak usah sekolah. Menurut saya, sekolah dimanapun yang penting serius pasti berhasil. Sekolah kesenian itu tak ada pujian, tak seperti sekolah-sekolah lain, tapi saya tak ingin jadi tukang, harus jadi ahli.Saya tak ingin seperti yang lain. Saya harus pintar. Saya harus buktikan ke orang kampung karena dengan belajar kendang di sekolah inilah saya bisa berkunjung ke 40 negara ataupun mengajar Master (S2) di beberapa kelas dalam beberapa universitas. Dari hal kecil ini, saya bisa menghasilkan sesuatu.

Kenapa memilih Kendang sebagai alat musik andalan?

68|69 Event28| INTERVIEW

Bisa memainkannya tapi tak ahli, di Krakatau Percussion semua orang harus mempunyai khasnya masing-masing, dan saya ahli di bidang perkusi etnik.

Ada alat musik lain yang paling senang dimainkan kang? Kenapa?

Tanggung jawab moral, harus melakukan sesuatu! Kebudayaan kita banyak, coba lihat kalau musik latin ya cuma latin, nah kalau Indonesia? Satu provinsi saja punya banyak budaya. Apalagi satu pulau dan satu negara Indonesia? Siapa yang peduli? Giliran diambil orang luar aja nanti kebakaran jenggot. Lagipula,saya sadar akan kemampuan saya sendiri. Saya hidup dari kesenian, ya saya harus menghidupkannya juga timbal balik gitu hehe.

Boleh dong dijelaskan apa yang menginspirasi Kang Ade untuk memperkenalkan Kendang kepada banyak musisi, baik nasional maupun Internasional?

29

FOTO: ADE RUDIANA

68|69 Event30| INTERVIEW

FOTO: AyOS PURWOAjI

31

Suka dong! Karena kendang juga saya jalan-jalan ke Makassar, Sumatera, Kalimantan, dan daerah-daerah lainnya.

Suka traveling keliling Indonesia ga kang?

Senang sekali! Itu kan pengetahuan, ke Papua ada tifa, ke Aceh ada rapa’i, ke Lampung ada serdam, itu sangat menarik dan wajib hukumnya untuk diketahui! Paling tidak ada penelitian kecil-kecilan tentang ritmik, tokoh-tokoh, atau sejarah, apakah hal tadi masih eksis di masyarakat atau tidak. Eksis itu dipengaruhi banyak hal, salah satunya karena material pembuatan. Terutama alat-alat musik yang ada unsur kulitnya dalam pembuatannya, itu kan juga sudah sulit ketika teknologi berkembang tapi ada saja yang tak mau menggantikan bahan tadi, terutama dari kalangan tua. Nah yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana caranya agar unsur-unsur tadi tidak sampai hilang? Jawabannya musik etnik harus bisa disandingkan dengan teknologi. Musik etnik tak melulu menjadi yang terbelakang! Harusnya malah menjadi tampilan yang baru, itu bukan merusak tapi bersinergi.

Selama traveling domestik ini apakah senang memperhatikan alat-alat musik Indonesia kita?

68|69 Event32| INTERVIEW

Bawalah mereka ke komunitas budaya musik di daerah-daerah, posting video di YouTube, dan bikin event yang bagus. Jangan cuma memperkenalkan tentang Angklung saja, kita bisa memajukan musik dari kita sendiri. Semua pihak harus bersinergi, tak cuma pemerintah yang berperan tapi kita, mulai dari seniman, traveler, juga masyarakat lokal baik penduduk sekitar ataupun biro perjalanan juga harus punya andil.Jika memperkenalkan musik Indonesia, ya jangan itu-itu saja yang dibawa. Angklung lagi, Bali lagi, kita punya banyak dan kita harus sinergikan semuanya. Seni itu harmoni jadi semua seniman harmonis. Kita hebat tapi kenapa tak bangga?

Gimana cara menaikkan nilai musik ataupun alat musik lokal supaya menjadi salah satu daya tarik turis untuk datang ke suatu tempat?

Sinergikan! Traveling sangat menguntungkan, paspor saya yang sudah berkali-kali ganti, visa Amerika yang susah, semua itu dilakukan untuk memperkenalkan musik hasil budaya kita! Wisata, terutama wisata budaya itu bukan hanya mengunjungi keraton, tapi di luar itu banyak sekali hal menarik yang bisa dikembangkan. Sebagai contoh, di Bandung ada Saung Angklung. Kita bisa memanfaatkan biro perjalanan ataupun orang lokal untuk bekerjasama. Hal-hal seperti ini bisa jadi pengembangan daya tarik traveling.Buatlah sesuatu yang unusual, bukan berarti harus ‘gimana’ tetapi yang penting harus punya ciri khas. Semua yang diusahakan itu akan berhasil dan yang tak berhasil itu yang tidak diusahakan. Buatlah sesuatu yang tidak biasa. Jangan bisanya cuma berwacana, tapi lakukanlah.

Harapan akang terkait dunia traveling dan musik/alat musik lokal kita seperti apa?

33

FOTO: AyOS PURWOAjI

68|69 Event34| INTERVIEW

ADE RUDIANALahir di Sumedang tepat di tanggal 1 Mei, selama ini aktif menjadi anggota Krakatau Band, pendiri sekaligus pegiat Idea Percussion, dan mengajar di STSI Bandung. Punya kediaman yang nyaman di Komplek Permata Biru J 117 Bandung,

35

TAHU PERkUSI LEwAT

Bentuknya beda, seperti kepala orang yang memakai caping berbahan bolu!Tulisan oleh Ferzya FarhanFoto oleh Hendri, Werdha, dan Ferzya Farhan

MENGENAL PERkUSI MELALUI

seperti pepatah yang mengatakan bahwa “Like playing the piano. First you must learn

to play by the rules, then you must forget the rules and play from your heart”

TEMPERENTE PERCUSSION

Traveler’s TalesTraveler’s Tales

TEKS DAN FOTO: KARISMA WIDyA KUSUMA

68|69 Event40| traveler’s tales41

B erbicara soal musik tradisional yang ada di Kota Solo, biasanya yang akan terbayang di pikiran kita adalah musik-musik bernada halus berpadu dengan suasana yang khidmat dan cenderung

magis. Tapi tahukah anda bahwa ternyata di Kota Bengawan tersebut ada sebuah kelompok musik etnik yang menyuguhkan warna baru dengan hentakan nada yang lebih menghidupkan suasana? Saya menyadari bahwa ada hal unik lain dari kota ini selain Lawean sebagai ikon Kota Solo, yakni sebuah kelompok musik etnik, Temperente Percussion namanya. Menurut anggota yang memfavoritkan tempe ini, nama kelompok mereka berasal dari singkatan bunyi alat-alat musik yang digunakan sebagai instrumen dalam permainan musik mereka. Digawangi oleh enam orang ksatria perkusi yaitu Akso, Agus, Adit, Deni, Priyo, dan Kukuh, mereka memadukan segala jenis alat musik pukul menjadi sebuah alunan harmonisasi lagu yang khas. Saking menariknya harmonisasi lagu yang mereka ciptakan, kota ini tidak ragu untuk menjadikan salah satu hasil karya dari Temperente Percussion sebagai theme song pada acara Solo Batik Carnival; sebuah hajatan besar Kota Solo setiap tahunnya. Tak dapat dipungkiri banyak wisatawan asing dan domestik yang sengaja datang untuk sekedar melihat bagaimana jalannya proses latihan grup musik tersebut. Bahkan seniman luar negeri-yang tidak sengaja mendengar mereka sewaktu latihan- pun tak ragu mengajak berkolaborasi. Bicara tentang kolaborasi dan alat musik perkusi, Temperente Percussion mempergunakan segala macam alat musik perkusi dari berbagai daerah dan negara lalu mereka mengatur sedemikian

68|69 Event42| traveler’s tales

rupa sehingga membentuk rangkaian alat musik tabuh yang ergonomis dan nyaman untuk dimainkan. Saya cukup takjub melihat mereka menggunakan terompet, saxophone, siter, bahkan galon bekas air minum mineral, etnik tetapi tidak menutup probabilitas penggunaan alat musik luar negeri. Menurut Adit, teknik dasar bermain musik adalah dengan menentukan berat-ringan dan tinggi-rendahnya nada. Namun khusus untuk memainkan alat musik perkusi itu sendiri yang lebih ditekankan adalah berat ringannya nada yang kemudian akan membentuk ritme. Akso juga mengatakan bahwa yang perlu dilakukan setelah itu adalah transformasi nada yaitu mengubah bentuk nada dari pakem permainan alat musik tertentu lalu mengeksplorasi nada-nada yang lebih dinamis dan atraktif. Maka tidak mengherankan apabila karya-karya dari Temperente Percussion cenderung bersifat etnik namun juga kaya akan nada. Grup musik ini rutin melakukan latihan di hari Selasa malam pukul 19.30 WIB di Taman Sriwedari. Grup ini mengakui bahwa permainan musiknya tidak selalu sesuai dengan pakem yang ada. Kreativitas dan kekompakan kelompok menjadi hal yang utama dalam melahirkan karya-karya baru mereka. Bahkan hingga penampilan mereka di Changi, Singapura dalam rangka Solo Batik Carnival, yang membuatnya semakin dikenal khalayak ramai, menjadikan mereka semakin kompak dalam menghasilkan karya.

43

68|69 Event44| traveler’s tales45

Pada dasarnya bermain musik dengan alat apapun itu hanya membutuhkan kreativitas dan “rasa”. Seperti pepatah yang mengatakan bahwa “Like playing the piano. First you must learn to play by the rules, then you must forget the rules and play from your heart”. Ada benarnya juga pernyataan tersebut. Bedanya, Temperente Percussion menggunakan hati dan rasanya untuk bermain perkusi, bukan piano. Saya yakin Temperente Percussion ini mampu menjadi daya tarik wisata Kota Solo, sebagaimana semangat mereka yang begitu ingin membuat kelas belajar bermain perkusi. Melihat mereka berlatih membuat hati ini ikut damai, seperti air yang mengalir dalam Bengawan Solo. [T]

ADA JAzz DALAM MALAM

Traveler’s Tales

Berjalan ke arah selatan Jogja ternyata merupakan keputusan yang tepat. Saya menemukan peradaban.

TEKS: SAGARAFOTO: MAhARSI W.K DAN yUDI P.

ADA JAzz DALAM MALAM

Traveler’s Tales

Berjalan ke arah selatan Jogja ternyata merupakan keputusan yang tepat. Saya menemukan peradaban

TEKS: SAGARAFOTO: MAhARSI W.K DAN yUDI P.

FOTO: MAhARSI W.K

68|69 Event48| traveler’s tales49

FOTO: MAhARSI W.K

d ua tahun lalu, Yogyakarta terlihat tak menarik bagi saya. Saat pertama kali menginjakkan kaki di tanah kesultanan ini, saya tak mengerti mengapa banyak orang tertarik

datang ke kota ini. Hanya ada dua buah pohon besar di sebuah tempat yang bernama Alun-Alun Kidul dimana orang-orang bermain dengan menutup matanya memakai serbet dan berjalan melewati kedua pohon besar, belakangan saya baru tahu itu adalah pohon beringin. Dua tahun lalu, saya tak menemukan hal seru di kota ini. Setelah meninggalkan kehidupan gigs di ibukota, saya merasa terpuruk sendiri di pojokan. Saya juga tidak tahu akan kemana untuk mencari tempat menonton pertunjukan musik. Saya tinggal di Jogja bagian utara, daerah dengan banyak mahasiswa dari berbagai daerah yang menempuh pendidikan di salah satu universitas ternama. Entah karena saya yang tak mudah bergaul dan beradaptasi, diri ini rasanya hampir setengah frustasi untuk menemukan kehidupan gigs di sini. Lucu rasanya jika mengingat betapa cupu-nya saya ketika itu, seperti anak ayam yang mencari tempat berteduh. Sampai akhirnya saya tahu bahwa ada hal menarik di daerah utara Jogja, tentu saja bukanlah bakpia dan gudeg permata yang menjadi ciri khas kota ini. Bahwa sebenarnya tak usah jauh ke selatan Jogja hanya untuk menikmati alunan musik asik.

68|69 Event50| traveler’s tales

Kala itu saya yang belum mempunyai kendaraan pribadi, memutuskan untuk berkeliling di daerah sekitar kampus. Setelah makan malam, kira-kira jam 19.10 saya memulai perjalanan singkat tersebut, berjalan ke arah selatan kampus; melihat bahwa ada sebuah rumah sakit bernama Panti Rapih, juga sebuah warung makan kambing yang ramai luar biasa. Saya mengamati tiap-tiap sudut jalan dan beranjak menuju selatan. Tanpa ekspektasi apapun saya akhirnya menemukan bahwa kota ini memiliki toko buku besar; Gramedia. Ya, setelah hampir tiga bulan saya luntang-lantung di kamar kos dan menjadi anak kupu-kupu (kuliah-pulang), akhirnya saya menemukan tempat membaca gratis dengan fasilitas yang lumayan.

51

FOTO: MAhARSI W.K

68|69 Event52| traveler’s tales53

FOTO: yUDI P.

Saya ingat, waktu di jam tangan memperlihatkan angka 20.53 dan pengumuman bahwa toko akan segera ditutup telah dikumandangkan. Saya memutuskan keluar dan melanjutkan perjalanan ke selatan. Berjalan ke arah selatan ternyata merupakan keputusan yang tepat. Saya menemukan peradaban. Di sebuah tempat terlihat banyak motor terparkir, tempat yang bertuliskan nama salah satu media cetak terkemuka di negeri ini. Wah, ada acara sepertinya; dan benar saja, saya mendengar suara musik! Saya berjalan cepat menuju lokasi tersebut, tiba di sana, dan bertanya kepada tukang parkir apakah ada tiket khusus untuk dapat menontonnya. Bapak parkir tersebut menyuruh saya untuk masuk langsung. Seketika terpanalah saya. Akhirnya ketemu juga tempat menonton musik! Sebuah tempat bermain musik yang sudah menjadi pakem Ngayogyakarto ini. Jazz Mben Senen namanya, sebuah komunitas musik yang melakukan jamming khusus setiap hari senin. Saya memutuskan untuk duduk bersama di bawah, berusaha menyelip agar bisa duduk di tikar yang posisinya lebih dekat dengan stage panggung. Banyak yang mulai merapat ke stage karena suhu cuaca yang mulai dingin. Penonton berusaha mengusir rasa dingin di tubuh dengan menikmati alunan musik dan sesekali ikut nge-jam. Beberapa penonton juga memesan kopi hitam di angkringan, sekedar untuk menghangatkan tubuh atau sekaligus memancing mata agar tetap terjaga.

68|69 Event54| traveler’s tales55

FOTO: MAhARSI W.K

Saya sendiri memperhatikan pertunjukan yang saya tidak tahu siapa penyanyinya, menikmati lagu yang dibawakan mereka sambil sesekali ikut bersuara saat mereka menyanyikan lagu yang saya tahu liriknya. Saking serunya Jazz Mben Senen ini, saya mengikutinya hingga selesai; sekitar jam 00.50 pagi. Bagaimana tidak, spontanitas bermusik terlihat dalam acara ini, semuanya melakukan kreativitas masing-masing. Jari jemari bermain piano yang tidak dapat terhenti, pemain biola yang memberi energinya, dan pemain saxophone memperlihatkan kelihaiannya mengatur nafas hingga menghasilkan suara indah. Hari itu adalah salah satu hari favorit saya selama di Jogja. Hari yang membuka mata saya bahwa Jogja juga mempunyai komunitas musik yang secara sukarela mengadakan acara gratisan bagi penikmatnya, merasakan bahwasanya musik jazz itu dapat dinikmati setiap awal minggu, membuat saya selalu menantikan hari Senin! [T]

FOTO: AyOS PURWOAjI

MELANGLANG DENGAN

MUSIk

Traveler’s Tales

Jika kamu traveling, coba cari musik tradisional kontemporer, musik yang bercerita hal-hal

kuno dan dinyanyikan dalam bahasa daerah. Biasanya, musik-musik macam ini erat dengan

keseharian masyarakat lokal

TEKS: NURAN WIbISONOFOTO: AyOS PURWOAjI & bINTANG MUSTIKA

MELANGLANG DENGAN

MUSIk

Traveler’s Tales

d alam sebuah kisah perjalanannya, Jack Kerouac, sang flaneur itu, berkali-kali bercerita mengenai kegilaannya terhadap jazz.

Dalam kisah perjalanannya melintasi Amerika, ia mengalami kecanduan jazz. Ia bercerita mengenai kultur jazz di New Orleans, jam sessions, pesta jazz liar, dan segala imajinasi tentang jazz. Jack sebenarnya sedang berpergian di Amerika, tetapi musik yang dimainkan mengajak imajinasinya melanglang ke seluruh dunia. Dari irama Kuba, teriakan orgasmik dalam berbagai bahasa: Spanyol, Arab, Peru, bahkan Mesir. Dalam adegan gila itu, tampak jelas bahwa musik bisa menerabas segala sekat kebangsaan. Bahwa ternyata semua jenis manusia bisa dijadikan satu dalam irama musik? Jack Kerouac menggambarkan kisah perjalanannya yang memikat itu dalam “On the Road”, sebuah novel yang diterbitkan tahun 1957. Jack menulis sejak 1951, ia menceritakan bagaimana traveling through music; musik -bisa jadi- adalah salah satu pencapaian peradaban tertinggi suatu bangsa. Karenanya, berbicara musik adalah juga berbicara mengenai manusia dan segala peradaban yang melingkupinya.

68|69 Event58| traveler’s tales59

FOTO: bINTANG MUSTIKA

FOTO: bINTANG MUSTIKA

68|69 Event60| traveler’s tales61

Saya percaya bahwa musik juga melangkahi ruang dan waktu. Dalam banyak literatur, salah satunya, menceritakan bagaimana babad musik blues bermigrasi dari daratan Afrika menuju Amerika. Dari panasnya gurun pasir dan dataran tandus, kemudian melintasi hilir sungai Mississippi yang teduh dan sepoi. Musik itu dibawa dan dimainkan oleh para budak kulit hitam. Blues menceritakan tentang penderitaan, kepedihan, juga rindu akan kampung halaman. Blues lantas bergerak lagi ke segala arah; New Orleans menjadi jazz lalu bergerak lagi ke Chicago, menjadi electric blues dan berdiaspora ke tempat lain. Menjadi anak yang kelak bertumbuh besar dan punya identitas sendiri. Lalu kenapa Jack juga menuliskan tentang musik jazz dalam kisah perjalanannya? Bisa jadi, karena Jack sadar bahwa traveling bukanlah melulu dongeng tentang keindahan tetapi seharusnya juga berkisah mengenai peradaban, manusia, dan kebudayaan. Dalam kasus ini, kebudayaan jelas diwakili dengan musik.

*** Saya lupa sejak kapan mulai mengamati musik ketika sedang melakukan perjalanan. Seingat saya, ketika pertama kali berjalan sendirian, saya sudah menikmat dan mengamati musik. Terlebih lagi karena sering menggunakan moda transportasi murah seperti bus ekonomi dan kereta kelas kambing. Moda transportasi itu memang secara naluriah

selalu mengundang para musisi jalanan untuk beraksi. Entah itu yang benar-benar bermain musik, atau ingin mencari cara untuk memenuhi kebutuhan hidup. Saya menikmati musik sebagai teman setia perjalanan, apalagi semenjak saya punya telepon genggam dengan fitur musik, barang tersebut hampir tak pernah lepas dari gengggaman. Pada tahun 2009, saya pernah menuliskan sebuah e-book bersama seorang kawan. Selain kisah perjalanan, saya juga menambahkan rubrik “Backpacker Tunes” di sana. Isinya adalah lagu-lagu yang menemani kami di sepanjang perjalanan. Pernah bepergian melewati pantai utara? kuping Anda pasti akan dijejali oleh musik-musik dangdut koplo. Utara, lalu pergilah ke arah timur, Banyuwangi contohnya, Anda akan sering mendengar musik yang membuat Anda takjub. Kemudian cobalah melangkah ke timur lagi dan menyeberang ke Madura, Anda akan menemukan kisah-kisah manusia dan segala permasalahannya dalam lagu berirama dangdut modern yang dinyanyikan dalam bahasa Madura. Saya pernah pergi ke Madura beberapa tahun silam. Di sebuah pasar malam dadakan di Alun-Alun Sumenep, kawan saya bersikeras untuk mencari lapak VCD bajakan. Ternyata dia ingin membeli rekaman khas musik Madura. Sekali lagi, bukan musik Madura tradisional. Melainkan musik Madura kontemporer. Musik yang diberi sentuhan dangdut pop, dan dinyanyikan dengan bahasa daerah mereka.

Salah satu penyanyi yang saya ingat dari VCD yang dibeli oleh kawan saya itu, adalah seorang penyanyi bernama Sukkur. Ternyata ia cukup kondang, terutama di kawasan Madura dan sekitarnya. Ia mempunyai banyak lagu yang cukup digemari. Sebut saja “Alenklenk”, “Marlena”, dan beberapa yang lainnya. Lagu Madura ternyata cukup nyaman didengar. Apalagi liriknya sangat dekat dengan keseharian. Saya tak tahu apakah sudah ada peneliti yang mengamati eratnya kaitan antara musik dan cerita keseharian. Tapi dari pelajaran semasa kuliah di Fakultas Sastra, saya memahami bahwa ada reciprocal, sebuah hubungan yang tak bisa dielakkan dan saling mempengaruhi, antara sastra dan dunia nyata. Karya sastra pasti dipengaruhi oleh lingkungan tempat sang pengarang hidup, dan karya sastra itu juga bisa mempengaruhi lingkungan para pembaca. Mungkin sama kasusnya dengan musik-musik Madura yang dibeli oleh kawan saya itu (dan sepertinya hal yang sama terjadi di musik lain). Ada sebuah hubungan erat antara hidup keseharian dan musik lokal. Simak saja lagu “Marlena” dari Sukkur. Disana ia berkisah dengan romantis dan sedikit merayu, Marlena/

dika mace’ raddina/eabasa dari dimma/dika cek sampornana. Disana mungkin kita bisa lihat bagaimana kultur merayu masyarakat Madura yang sepertinya tak jauh beda dengan kultur masyarakat Melayu, sedikit mendayu dan hiperbolis. Atau simak juga lagu “Abini Due”, yang dalam arti harfiahnya adalah “Beristri Dua”. Disana ada dua penyanyi: laki dan perempuan. Sang lelaki mengeluh, kenapa hanya beristri satu. “padana mano’ le’ e dalam korong” katanya. Lalu sang istri membalas dengan ketus “pajhat reng lake’, ngalak nyamanna dibi’”. Disini kita bisa melihat bagaimana kisah beberapa pria patriarkis yang ingin beristri dua dan ditentang oleh sang istri yang menganut falsafah Madura “lebbi bagus pote tollang, atembang pote mata”, yang artinya lebih baik putih tulang ketimbang putih mata. Peribahasa ini dimaknai sebagai lebih baik mati ketimbang hidup menanggung malu. Setelah itu, setiap kali berpergian saya akan usaha untuk mencari VCD musik lokal. Mencari musik tradisional kontemporer, musik yang bercerita mengenai kekinian dan dinyanyikan dalam bahasa daerah. Biasanya, musik-musik macam ini erat dengan ritus keseharian masyarakat lokal.

68|69 Event62| traveler’s tales63

FOTO: AyOS PURWOAjI

FOTO: AyOS PURWOAjI

68|69 Event64| traveler’s tales65

Singkat cerita, VCD berisi lagu-lagu Madura itu pun diboyong pulang ke Surabaya, tempat sang kawan tinggal. Ketika iseng-iseng menengok back-sleeve, saya melihat sebuah logo label; “Ainun Aula Records”. Saya merasa pernah melihatnya. Saya mengingatnya dengan keras, mengerutkan kulit di jidat agar otak ini mampu mengingat dimana saya pernah melihat logo itu. Saya ingat! Sial! Itu adalah logo perusahaan rekaman di kota Jember, kampung halaman kami berdua! dan kami tak pernah sadar akan hal itu. [T]

GAMOLAN LAMPUNG

D entingan suara Bambu Betung kering mengalun selaras bersama tala, gindang dan rujih mengiringi tari upacara adat masyarakat

Lampung Barat. Gamolan -atau Kulintang Pekhing- merupakan instrumen xilofon mulai dikenal masyarakat Lampung Barat sekitar abad IV dan V Masehi. Lempengan bambu diikat bersimpul dengan tali rotan pada penyangga bebas beresonansi ketika dipukul sepasang tongkat kayu. Gamolan memiliki tangga nada 1 2 3 5 6 7 i (Do, Re, Mi, Sol, La, Si, Do). Dua orang pemain duduk di belakang alat musik ini salah satu dari mereka memimpin [begamol] memainkan pola pola melodis, dan yang satunya [gelitak] mengikutinya pada dua lempeng sisanya, lempeng-lempeng pada gamolan distem dengan cara menyerut punggung bambu agar berbentuk cekung. Secara etimologi, gamolan berasal dari kata gimol yang artinya gemuruh atau getar yang berasal dari suara bambu dan menjadi gamolan, yang artinya bergemuruhan atau bergetaran. Sementara itu, begamol, artinya berkumpul. Seniman cetik (gamolan) Syapril Yamin mengatakan gamolan

pada awalnya merupakan instrumen tunggal yang konon dimainkan dan yang menemani seorang meghanai tuha (bujang lapuk), yang menetak peghing mati temeggi atau tunggul bambu tua tegak yang sudah lama mati. Gamolan sebagai sebuah instrumen musik tidak dapat dipisahkan dari perjalanan panjang peradaban Lampung dalam hal ini Kerajaan Sekala Brak. Dalam buku yang ditulis Margaret J. Kartomi – profesor musik Monash University, Australia - bertajuk Musical Instruments of Indonesia pada tahun 1985 menyatakan “A Gamolan origin from Liwa in the montainous nortwest area of Lampung.” Pahatan Gamolan Lampung di relief di Candi Borobudur (abad ke 8 M) mengungkapkan bahwa alat ini adalah alat musik tertua yang didatangkan dari Asia Tenggara sampai Afrika. Beberapa hipotesa menyatakan bahwa Gamolan Lampung merupakan cikal bakal gamelan jawa. Alat musik tradisional tidak hanya menyuguhkan keunikan alunan nada dan ritme, tapi mampu membawa kita melewati ruang dan waktu, menyusuri sejarah di masa lalu. [T]

TULISAN DAN FOTO OLEh DANAN WAhyU SUMIRAT

68|69 Event66| REVIEW67

Tiga bassist dan satu drummer, sebuah band yang terbentuk saat Jazz Mben Senen bulan Januari lalu ini kini telah beberapa kali manggung membawakan lagu-lagu dengan arrasementnya sendiri. Saat tampil di acara pentas seni salah satu sekolah menengah atas di Yogyakarta, band yang menamakan diri mereka “Berempat” ini membawakan lagu-lagu dari tanah Papua dan berharap dapat terus mempopulerkan lagu-lagu daerah dengan cara yang baru. Mau mendengar lagunya? Silahkan mampir ke Jazz Mben Senen di Bentara Budaya Yogyakarta atau kontak Arya Pradana: 0857-2939-6086

BANDBEREMPATTULISAN DAN FOTO OLEh SAGARA

68|69 Event68| REVIEW69

Punya kritik dan saran untuk The Travelist? Kirim surat anda melalui email: [email protected] dengan menyebutkan nama, kota, dan nomor telepon. Surat yang terpilih akan mendapatkan suvenir menarik dari The Travelist.

Hey Travelist!My StoryThe Travelist mengundang siapa saja yang mau berbagi cerita mengapa ia menyukai traveling, diving, ataupun hiking untuk menyebarkan ‘virus’ ini kepada pembaca yang lain agar semakin mencintai Indonesia.Kirim melalui email: [email protected] dengan subjek : cerita sayaTulisan maksimal 500 kata dan disertai minimal lima foto.

Pria dengan keseharian mencari nafkah di hutan Jambi. Kesempatan bersosialiasi yang minim di tempat kerja menuntunnya untuk mencari keseimbangan hidup dengan menjelajah nusantara. Mencoba mendokumentasikan kisah perjalanan dalam blog pribadi. Mulai meracuni diri dengan aktivitas menulis dan fotografi

Danan Wahyu Sumirat@dananwahyu

PROFIL kONTRIBUTOR

Suka jalan-jalan dan memotret. Pengasuh blog wisata Hifatlobrain

Ayos Purwoaji@aklampanyun

Terbiasa dipanggil Bonbon sejak SMA. Mulai mempelajari stage photography sejak 2010 lalu dan sering menjadi bagian dokumentasi di acara-acara kampus yang ada kaitannya dengan konser musik. Kegiatan lain yang saya sukai adalah menyanyi dan membuat kerajinan tangan seperti menjahit buku. Penasaran? Tengok saja di bonscha.blogspot.com

Bintang A. Mustika@bintangmustika

Seorang pejalan dan penikmat kopi tanpa gula. Sesekali suka (sok) mengamati seni. Terperangkap di jakarta dan mempunyai cita-cita sederhana; tinggal di tepi pantai yang sunyi. Menjadi fotografer lepas adalah hobinya yang kesekian setelah membaca sambil menunggu kereta datang atau berlama-lama berdiri memandangi lukisan di galeri pameran kesenian.

Yudhi P.

Masih menyelesaikan tugas akhir di sebuah universitas di Jogja sembari bekerja menjadi freelance photographer dan graphic designer. Berhasrat melihat Istana Potala dan menapak Everest Basecamp, suka berceloteh di journalkinchan.blogspot.com

Maharsi Wahyu Kinasih@maharsiwahyu

Penyuka outdoor activities, spicy food, dan pernak-pernik etnik dari suku manapun di Indonesia

Karisma Widya Kusuma@karismawidya

Lulusan Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM. Siang akuntan, malam chief editor IndonesiaOnStage.com. Tahun ini akan berulang tahun ke-23

Annisa Prasetio@annisaprasetio

Memasuki tahun ketiganya di Fakultas Kedokteran UI. Aktivis BEM dan unit film & fotografi, kapten kesebelasan, dan masih jomblo

Prasojo@prasojoo

Seorang traveler fakir pemburu tiket murah, kain tenun, dan sekoper pengalaman. Mahasiswi Psikologi UI, masih 19 tahun *wink* dan masih mencari falsafah hidup lewat traveling. Mengidolakan Gunung Lawu, Tantyo Bangun, dan Float. Sudah mewujudkan mimpinya untuk bertemu dengan dua idolanya, bersisa band favorit yang menjadi bahan tulisannya kali ini. Suka berceloteh di puspitainsankamil.blogspot.com

Puspita Insan Kamil

Pejalan amatiran dan penyembah The Doors serta Guns N Roses. Penyuka makanan enak dan destinasi sepi. Ketika sedang berjalan, sering memutar lagu-lagu psychedelic, hair metal, sesekali lagu Jawa, Using dan Madura. Bisa ditemui dan dicolek di nuranwibisono.blogspot.com

Nuran Wibisono@nuranwibisono