37
TRAVELIST Edisi 1 | Juni-Juli 2011 Satisfying Your Craving for Travel! Interview Agustinus Wibowo, Seorang Musafir Mendelik Dinamika Surabaya Utara Tales Jakarta Tak Melulu Pusat Perbelanjaan Laput

Travelist 1st Edition

Embed Size (px)

DESCRIPTION

This is Travelist 1st Edition but in the Low Res. For High Res, download at our web, http://the-travelist.com.

Citation preview

Page 1: Travelist 1st Edition

TRAVELISTEdisi 1 | Juni-Juli 2011

Satisfying Your Craving for Travel!

InterviewAgustinus Wibowo,Seorang Musafir

Mendelik DinamikaSurabaya Utara

TalesJakarta Tak Melulu Pusat Perbelanjaan

Laput

Page 2: Travelist 1st Edition

Editorial Team

Editor In Chief Ferzya (@ )

Reporter Farhaniza (@ )Fikri (@ )

Art Director Lingga (@ )

Supporting Team

Project Leader Wana (@ )

Web Developer Lingga (@ )

Social Media Master Ferzya (@ )

Contributor team

Ary “siary” Hartanto (@ )Yudi Febri ( )Dwi Putri Ratnasari (@ ) Ayos Purwoaji (@ )Lusi Margiyani

Web: Email:

ferzyaya

lafflyunyahiumacan

linggabinangkit

wana23

linggabinangkit

ferzyaya

desainarykudaliarr

dwiputriratsaklampanyun

the-travelist.com [email protected]

@

REDAKSI

Page 3: Travelist 1st Edition

EDITORIAL NOTESFellow Travelers!

Jaman sekarang ini para traveler kok sepertinya dikotak-kotakkan

dengan berbagai istilah. Ada yang ngaku Backpaker, pejalan kere dengan

backpack sebesar pecahan gunung tambora. Ada yang ngaku Flashpaker,

yang ngaku mau kere tapi tetep update dengan sejuta gear imutnya. Serta

ratusan istilah lainnya yang kami lupa namanya. Kami tak mau membeda-

bedakan kalian. Apapun istilah yang dipakai, kita sama-sama pejalan. Kita

saudara seperjalanan.

Sebagai saudara yang baik, kami ingin berbagi kepada kamu. Dengan

media The-Travelist ini, kami akan berbagi dengan kamu. Kami secara garis

besar mempunyai dua fungsi. The-Travelist sebagai media berbagi dan media

pembelajaran.

Sebagai media berbagi, kami akan berusaha memberikan pengetahuan

kami tentang destinasi perjalanan yang menyenangkan. Tak harus menembus

rimba dan mengarungi lautan, di kota anda sendiripun sebenarnya banyak

tempat yang 'sexy' untuk dijelajahi.

Sebagai media pembelajaran, jelas, kami adalah media yang tumbuh

berkembang. Kami membuka kesempatan untuk para kontributor yang ingin

memasukkan tulisannya kesini. Rubrik Travelers Tale selalu dibuka untuk para

traveler yang mempunyai pengalaman yang berlebihan. Untuk para anak

muda yang ingin berkiprah di dunia penulisan perjalanan, kami sangat

menunggu tulisan dari kalian.

Hakikat seorang pejalan, selalu belajar ketika berjalan, dan selalu

berbagi pengalaman sepulang dari perjalanan. Maka The-Travelist ada untuk

para Traveler yang ingin belajar dan berbagi, karena kita bersaudara.

Cheers!

The-Travelist

Satisfying Your Craving for Travel!

Laput

DAFTAR ISI

Jakarta Tak Melulu Pusat Perbelanjaan

Interview

Traveler’s talesTarempa, Kota Penikmat Kopi

Mendelik DinamikaSurabaya Utara

Pulau Banda,Pulau Rempah Terbesar di Dunia

Review

Agustinus Wibowo,Seorang Musafir

02

22

56

44

36

10

38

28

Page 4: Travelist 1st Edition

Tak Melulu Pusat Perbelanjaan

Jakarta

Layaknya kebanyakan ibu kota di

dunia, Jakarta merupakan salah satu

kota dengan aktifitas yang cukup padat

dan salah satu destinasi yang cukup

pent ing selaku gerbang utama

memasuki Indonesia. Sayang, ke-

banyakan orang menjadikan Jakarta

sekedar tempat transit ataupun

sekedar untuk merasakan riuhnya

ibukota negara dengan ratusan mall

yang tersebar di seluruh ibukota.

2|3 | Travelist | Juni 2011-Juli

Tulisan oleh Ferzya & FarhanizaFoto oleh Ary “Siary” Hartanto

Laput

Page 5: Travelist 1st Edition

tersebut member i ar t i baginya;

Klenteng Kebajikan Emas.

Klenteng Petak Sembilan kini

merupakan klenteng tertua di Jakarta.

Tiap tahun, beribu-ribu warga Jakarta

datang ke klenteng ini untuk merayakan

Imlek, ya warga Jakarta disini tidak

hanya orang Cina itu sendiri, namun

warga-warga non-Tionghoa pun kerap

hadir untuk menyaksikan beragam tata

cara perayaan Imlek maupun hanya

untuk sekedar mengais rejeki dari

warga-warga yang merayakan dengan

memberi angpao.

4|5 | Travelist | Juni 2011-Juli

Pecinan – GlodokSebut saja pecinan di Glodok, Jakarta

Barat merupakan daerah yang menarik

untuk disinggahi, dengan klentengnya

yang bernama Kelenteng Jin De Yuan

atau Klenteng Petak Sembi lan.

Klenteng yang mulanya bernama Guan

Yin Ting (Paviliun Guang Yin) pada

tahun 1740 musnah terbakar oleh

padatnya api saat Tragedi Pemban-

taian Angke atau pembataian massal

Etnis Cina tanggal 14 November di

tahun yang sama. Akhirnya nama Jin De

Yuan menjadi nama tetap pada tahun

1755 setelah dilakukannya pemugaran

kembali oleh Kapitien Tionghoa, nama

wedding, fesyen, bahkan pembuatan

film. Namun, sayangnya kebanyakan

orang hanya mengenal Jakarta sebagai

pusat shopping dengan segudang

mallnya, dan Kota Tua sebagai bukti

peninggalan sejarah.

Padahal , tak sesempit i tu.

Jakarta, bukan hanya sekedar ibukota

padat yang dijejali kendaraan, tapi juga

dipadati oleh tempat menarik yang

wajib untuk dijelajah. Menjelajah

Jakartapun tidaklah sulit, kemudahan

transportasi dalam kota merupakan

fasilitas yang paling cocok untuk

digunakan.

Kota yang dulu disebut Batavia

oleh kaum kolonial, kini telah berubah

menjadi pusat pemerintahan sekaligus

pusat industri dengan pelabuhan yang

padat dan aktifitas shopping yang tidak

pernah mat i .Tinggalah Museum

Fatahillah yang terletak di Oud Batavia

atau kini lebih kenal dengan sebutan

Kota Tua Jakarta.

Jika dilihat sepintas, selain

mengunjungi mall, tempat yang sering

dikunjungi adalah Kota Tua Jakarta. Tak

hanya sekedar tempat tuk berjalan-

jalan dengan ontel, kota tua juga

menjadi tempat pemotretan untuk pre-

Laput

Page 6: Travelist 1st Edition

Kelenteng tertua di Jakarta ini

konon tidak hanya unik karena luas

bangunannya yang mencapai 3.000

meter persegi ataupun posisinya yang

membelakangi laut, namun karena di

Klenteng ini tidak secara khusus

memuja satu aliran atau agama saja,

namun berbagai agama seperti Tao,

Khonghucu dan Buddha.

Jika kita memasukinya, dan

berdiri di halaman luar, maka akan

terlihat tiga klenteng yang diper-

sembahkan untuk Leluhur Hakka, Raja

Neraka dan Dewa Pemberi Kekayaan.

Bangunan utama kelenteng Petak

Sembilan ini dikelilingi bangunan

lainnya, jika dilihat dari depan maka

bentuknya seperti aksara U terbalik.

Apabila masuk ke halaman kedua

dimuka kelenteng utama, jangan kaget

karena kita akan mendapati dua singa

yang berasal dari Provinsi Kangtung di

Tiongkok Selatan, konon kedua singa

ini dibuat pada tahun 1812.

Arsitektur pembuat kelenteng ini

sepertinya benar-benar mengerti

hakikat sebuah klenteng umum dan

sangat menujunjung tinggi filosofi Cina.

Hal ini terlihat dari lambang-lambang

yang terukir di dalam bangunan.

Contohnya saja pada jendela bundar di

gedung induk yang melambangkan Qi

Lin, binatang yang menyerupai unicorn

atau kuda bercula satu, binatang ini

dianggap lambang keberuntungan

yang luar biasa.

Jika diperhatikan lebih seksama,

di bagian kanan dan kiri bangunan

utama terdapat pintu samping yang

jarang dibuka. Ujung bumbungannya

mencuat ke atas dan terbelah dua

dalam gaya yang disebut “Gaya Ekor

Walet”, mungkin disebut seperti itu

karena bentuk ekornya yang terbelah

dua seperti ekor burung wallet. Unik-

nya, pada masa lalu, ujung bumbungan

seperti ini hanya boleh dipakai untuk

menghiasi bangunan klenteng dan

gedung-gedung pemuka masyarakat

Tionghoa seperti Majoor, Kapitein dan

Luitenant.

Saya takjub pada keindahan

arsitektur kelenteng ini dan hanya

terperangap melihat ukiran-ukiran luar

biasa yang terdapat di setiap bagian

kelenteng, baik di dalam maupun luar.

Setelah puas melihat bagian bagunan

utama, saya beralih ke gedung

samping kiri. Disini merupakan bekas

kamar-kamar para rahib, nama mereka

masih tertulis pada beberapa lempeng

batu. Dalam kamar pertama terpasang

altar paling tua dari seluruh kelenteng di

Jakarta. Kamar kedua diisi oleh Dewa

Tao Fu De Zheng Shen yakni Dewa bumi

dan kekayaan, ia merupakan dewa

6|7 | Travelist | Juni 2011-Juli

Laput

Page 7: Travelist 1st Edition

yang paling dihormati mengingat

pada jaman dahulu kaum Cina atau

Tionghoa bekerja sebagai pe-

dagang dan petani.

Dari semua hal yang terdapat

di klenteng Petak Sembilan ini

sebenarnya yang paling membuat

saya berdecak kagum adalah

betapa tegas klenteng ini meng-

ukuhkan dirinya sebagai klenteng

umum, hal ini terlihat dari papan

pujian yang digantung sejak tahun

1757 di atas ruang utama dengan

huruf Jin De Yuan terbaca se-

pasang syair di kiri dan kanan pintu,

dipandang dari dalam klenteng,

tulisan yang ditulis oleh ketua

klenteng pada waktu itu memiliki

arti: Pedupaan mas mengepulkan

awan kebahagian, semua tempat

terbuka, demikian pula dengan

alam Dharma. Gedung kebajikan

menampakkan atmosfir kejayaan

yang menyebar luas di alam

manusia.

8|9 | Travelist | Juni 2011-Juli

Laput

Page 8: Travelist 1st Edition

Laput10|11 | Travelist | Juni 2011-Juli

Dari Pecinan di sebelah barat Jakarta

sekarang kita beralih ke bagian pusat,

tepatnya daerah Menteng dengan

rincian Jalan Surabaya atau dikenal

juga dengan sebutan Surabaya Street.

Jalan yang konon katanya pernah

dikunjungi oleh Mick Jegger, Sharon

Stone bahkan Bill Clinton ini penuh

dengan barang-barang antik. Pengun-

jungnya dari kolektor-kolektor barang

antik, biasanya yang mereka cari

adalah barang- barang yang sulit

ditemukan di pasar antik lainnya seperti

guci porselen asli buatan Cina yang

sudah lama, lampu minyak buatan

Belanda, meriam buatan Portugis

hingga lampu kristal asli buatan

Cekoslovakia.

Pada akhir pekan biasanya

jalanan ini akan padat dipenuhi oleh

deretan mobil, baik dari warga Jakarta

maupun luar Jakarta. Sejak diresmikan

pada tahun 1974 oleh Gubernur DKI

Jakarta, Ali Sadikin, jalan Surabaya

kerap dikunjungi oleh berbagai

kalangan. Kalangan yang datang dari

luar negri biasanya berasal dari

Australia, Belanda, Spanyol, Jepang,

Jalan Surabaya – Menteng

Page 9: Travelist 1st Edition

12|13 | Travelist | Juni 2011-Juli

Thailand, Cina, Amerika dan Turki.

Sedangkan kalangan dari dalam

negeri biasanya penggemar barang

antik yang umurnya sudah separuh

baya. Uniknya, akhir-akhir ini ada

kalangan muda yang kerap datang

ke jalanan ini, biasanya mereka

adalah anak muda yang sedang

menggandrungi vinyl atau piringan

hitam. Adapun kalangan muda

lainnya dari anak-anak yang sedang

mengoleksi barang antik untuk

fesyen.

Ya, siapa sangka daerah yang

tadinya hanya terdiri dari pohon-

pohon dan pedagang-pedagang

yang tadinya berjualan dengan

berkeliling kota lama kini menjadi

salah satu tempat yang patut

dikunjungi apabila ke kota Jakarta.

Terletak di pusat kota, daerah ini

dekat dengan kompleks bioskop

Megaria, untuk mengunjunginya

pun tidak sulit karena banyaknya

kendaraan umum yang melewati

daerah ini.

Laput

Page 10: Travelist 1st Edition

laput2|3 | Travelist | Juni 2011

Dari jalan Surabaya, saya ingin melihat

kembali daerah yang dulunya menjadi salah

satu tempat mencari nafkah para pedagang

barang antik generasi pertama, maka saya

memutuskan untuk pergi ke Kota Tua, tempat

w isa ta yang marak d i jad ikan tempat

pemotretan.

Empat ratus delapan puluh empat (484)

tahun yang lalu Fatahillah datang ke Sunda

Kelapa mengusir bangsa Portugis lalu

mengganti namanya dengan Jayakarta. Hari itu

kemudian dikenang sebagai hari ulang tahun

jakarta, 22 Juni. Kota itu hanya seluas 15 hektar,

sekarang dikenal sebagai kawasan kota tua.

Baru-baru ini saya kembali mengunjungi

kawasan ini, ternyata banyak sekali perubahan

terjadi. Di halaman rumah walikota yang

sekarang berfungsi sebagai museum Fatahillah

diramaikan oleh kaki lima dan rental sepeda.

Tidak jauh dari sana ada model model cantik

berpose diikuti oleh model 'wanna be' di sudut

lainnya. Daerah ini terasa sangat hidup.

Selain menjadi tempat menghabiskan

waktu sore, daerah ini juga kerap menjadi

tempat untuk mengadakan acara-acara besar,

terutama untuk membangkitkan kesadaran

pergi kemuseum. Acara terakhir yang diadakan

adalah video mapping "Mystery of Batavia"

menceritakan tentang adanya harta karun yang

14|15 | Travelist | Juni 2011-Juli

Oud Batavia (Kota Tua)

Laput

Page 11: Travelist 1st Edition

laput2|3 | Travelist | Juni 2011

tersimpan di kota tua berupa karya besar seorang

seniman yang untuk menemukannya harus

menyatukan pecahan kunci yang tersebar entah

dimana, hingga akhirnya harta karun tersebut

berhasil dibuka dan ditemukanlah sebuah lukisan

bercerita tentang musibah yang akan terjadi di

jakarta.

Hebatnya, acara tersebut di prakasai oleh

kalangan muda, hal tersebut menandakan bahwa

kalangan muda menyadari potensi yang dapat

digali dari Oud Batavia ini. Tidak hanya kaum

muda yang kreatif memanfaatkan kembali

kawasan yang dulu mati ini, saat ini semakin

banyak ibu- ibu dan bapak-bapak yang

memanfaatkan ruang terbuka publik ini untuk

berbagai kegiatan mulai banyak pengajian besar,

acara amal, dan gathering.

Di kawasan kota tua kita dapat mengunjungi

pula beberapa museum disekitarnya, seperti

Museum Bank Mandiri dan Museum Fatahillah.

Kini DKI Jakarta memiliki lebih dari 40 museum,

namun sayang banyak diantaranya berada dalam

kondisi tidak layak, ketidaklayakan tersebut

membuat kita sebagai penduduk jakarta lebih

suka pergi ke Mall. Melihat hal tersebut, saat ini

sudah dimulai pembaruan museum, seperti yang

terlihat pada museum gajah dan museum bank

indonesia. Perlahan menampilkan sesuatu yang

menarik tidak sekedar koleksi dan tulisan, tapi

juga menambahkan video interaktif, penataan

yang menarik juga berbagai fasilitas tambahan

Kembali lagi ke cerita kota tua. Banyak yang

menganggap Oud Batavia ini sekedar tempat

16|17 | Travelist | Juni 2011-Juli

Laput

Page 12: Travelist 1st Edition

untuk dijadikan background foto, tapi

jauh didalamnya ada banyak legenda

tersimpan dan berbaur dengan fakta,

membuat cerita tentang kota tua

semakin menarik. Salah satunya

adalah menara Syahbandar yang

dulunya juga tugu nol kilometer bagi

Batavia sedikit demi sedikit menjadi

miring seperti menara Pisa, entah

karena kondisi tanah atau ada cerita

lainnya. Entahlah. Selain itu ada juga

cerita tentang kampung luar batang,

kampung itu disebut luar batang karena

adanya batas batang di kanal besar yang

hanya dibuka 2 kali seminggu untuk

memperbolehkan pedagang pribumi

masuk ke batavia dan bertransaksi. Ada

juga ruang rahasia di museum Fatahillah

yang menyimpan lukisan berharga belum

pernah dibuka sejak 35 tahun yang lalu.

Mungkin kota tua akan kembali jadi

daerah sibuk seperti zaman kejayaannya

dulu.

18|19 | Travelist | Juni 2011-Juli

Laput

Seorang arsitek pencinta fotografi dan kopi

Ary ‘Siary’ Hartanto

Page 13: Travelist 1st Edition

Calvin Damas Emil (@calvinemil) Freelance Photographer yang masih berusaha menyelesaikan kuliahnya di Jogja.

Nol Kilometer Jogja

Jepret20|21 | Travelist | Juni 2011-Juli

Page 14: Travelist 1st Edition

Interview22|23 | Travelist | Juni 2011-Juli

Seorang MusafirAgustinus Wibowo

Gus Weng adalah panggilan akrab seorang Agustinus Wibowo. Ia adalah pelajar IT saat pertama kali mencoba untuk menjelajahi dunia. Destinasi yang ia pilih pun 'tidak

biasa', sebenarnya apa sih yang membuat ia memilih destinasi tersebut?

Page 15: Travelist 1st Edition

Dalam buku Selimut Debu, Gus Weng menyebut diri adalah backpacker, tetapi editor anda menyebut anda explorer, bukan traveler. Sebenernya Gus Weng itu tipe traveler seperti apa?

Sebenarnya label-label itu tidak penting. Saya tidak menyebut diri saya

sebagai backpacker, tetapi kebetulan pada saat menulis perjalanan itu,

saya melakukan perjalanan dengan cara backpacking atau traveling secara

independen dengan anggaran minim, jadi saya adalah backpacker. Tetapi

bukan berarti ada tanda sama dengan antara Agustinus Wibowo dengan

backpacker. Demikian juga turis, traveler, explorer, observer, dan

sebagainya, buat saya itu adalah label-label saja. Ada backpacker yang

menolak dirinya disebut turis dan keukeuh minta disebut traveler. Buat saya

lucu juga, karena sebenarnya pada hakikatnya backpacker itu juga turis

–mencari hal-hal yang “eksotik” yang berbeda dari kehidupannya demi

kesenangannya sendiri.

Kalau memang dipaksa harus menyebut, mungkin saya lebih suka disebut

sebagai musafir. Ini adalah kata yang punya artian luas, karena musafir

bukan hanya melakukan perjalanan perpindahan tempat, tetapi juga

perpindahan dalam kehidupan. Kita semua adalah musafir dalam

kehidupan kita masing-masing, musafir yang selalu belajar dari kehidupan.

Gus Weng kan anak IT, kok malah kesasar di dunia travel, bisa ceritain sedikit?

Saya dulunya kuliah IT di Beijing, tapi sebelum lulus saya kebetulan sempat

ke Aceh untuk jadi sukarelawan bersama beberapa kawan jurnalis. Di sana

saya kemudian tergerak untuk menjadi jurnalis, karena saya melihat jurnalis

adalah pekerjaan yang mulia, jadi saya ingin berubah haluan dari insinyur

komputer menjadi jurnalis. Tentu ini adalah proses yang berat untuk

berpindah dari zona nyaman saya, menjajal kehidupan yang sama sekali

baru, apalagi saya tidak pernah punya latar belakang pendidikan di bidang

ini. Jadi setelah lulus saya memutuskan untuk melakukan perjalanan

keliling dunia seorang diri untuk belajar fotografi dan jurnalisme selama di

jalan, dan memimpikan bisa jadi jurnalis di Afghanistan –yang saat ini sudah

terwujud.

Interview24|25 | Travelist | Juni 2011-Juli

Page 16: Travelist 1st Edition

Perjalanan Gus Weng pertama kali kapan dan kemana?

Tahun 2002, ke Mongolia, waktu masih kuliah di Beijing. Perjalanannya cuma

3 minggu saja, berkemah keliling Mongolia dari utara ke selatan. Itu yang

kemudian membuat saya cinta traveling ala backpacker.

Sampai sekarang jumlah total perjalanan udah berapa, dan kemana?

Wah, saya tidak pernah menghitung jumlah perjalanan, karena menurut

saya perjalanan itu adalah “uncountable noun” atau kata benda yang tidak

bisa dihitung. Bagaimana kita bisa menghitung perjalanan? Saya pun tidak

lagi menghitung jumlah negara atau jumlah visa di paspor, karena menurut

saya itu absurd. Bagi saya perjalanan adalah proses pembelajaran, yang

membedakan adalah sedalam apa kita belajar, sedalam apa kita melepas

ego, jadi bukan dihitung dengan jumlah.

Kenapa malah milih solo traveling? Padahal traveler lain biasa travel in pair?

Karena dengan solo traveling kita mendapat lebih banyak kesempatan untuk

berinteraksi dengan penduduk/daerah yang kita kunjungi, atau dengan kata

lain lebih banyak kesempatan belajar. Kita juga lebih harus bertanggung

jawab kepada diri sendiri, dan ini penting untuk pembelajaran pembentukan

karakter juga.

Oiya, Gus Weng terkenal akan perjalanan ke Afgan dan Asia Tengah. Tetapi kenapa bukan memilih tuk keliling Indonesia saja? Padahal kalo cari thrill kan ada perang suku di Papua, ato hutan belantara di Kalimanatan?

Kebetulan karena memang saya dulu mahasiswa di Beijing, dan lulusnya

dengan uang ala kadarnya saya cuma bisa melakukan perjalanan dengan

jalan darat, dan Asia Tengah serta Afghanistan itu semua adalah negara

tetangga China. Tentu saya ingin keliling Indonesia. Tetapi pada saat ini,

mengingat usia yang masih muda, saya ingin melakukan perjalanan di mana

saya bisa belajar lebih banyak, misalnya perjalanan di Afghanistan yang

sangat berat itu, atau pada usia muda kita juga lebih cepat belajar bahasa.

Interview26|27 | Travelist | Juni 2011-Juli

Page 17: Travelist 1st Edition

Saat ini saya masih ingin belajar lebih banyak bahasa

baru dan budaya yang sama sekali asing. Bagaimana

pun juga indonesia adalah “rumah” saya, tentu saya

akan kembali untuk “menemukan” rumah saya, tetapi

dengan sudut pandang yang berbeda.

Gus Weng kan udah keliling Asia, juga udah nerbitin dua buku, berarti udah pengalaman kan soal travel writing. Menurut Gus Weng sendiri, tulisan travel yang baik tuh gimana?

Travel writing itu adalah potret dari serpihan kehidupan

yang bisa memberi gambaran yang lebih luas kepada

pembaca tentang kehidupan di satu lokasi atau

kehidupan kelompok masyarakat. Travel writer tidak

melakukan survei dengan ribuan responden untuk

menguatkan teori, travel writer hanya menulis

pengalaman dan perenungannya. Tetapi bagaimana

dari pengalaman yang personal itu bisa memberi

gambaran yang lebih luas? Di sini diperlukan kejelian

observasi sang penulis, serta kerendah-hatiannya

dalam menerima realita yang ada yang seringkali

bertentangan dengan konsep yang ada di benaknya.

Selain itu, travel writing bersifat timeless, tetap relevan

dibaca kapan pun. Travel writing bukan sekedar

promosi tempat wisata, tetapi pengalaman personal

sang penulis, di mana pembaca juga bisa meraba

bagaimana karakter sang penulis lewat tulisannya.

Tetapi di sini, penulis adalah pencerita, bukan tokoh

utama atau lakon tulisannya. Fokus tulisan tetap

berada di lokasi/masyarakat yang ia ceritakan.

Interview28|29 | Travelist | Juni 2011-Juli

Travel writing itu adalah potret dari serpihankehidupan yang bisa memberi gambaran yang lebihluas kepada pembaca tentang kehidupan di satulokasi atau kehidupan kelompok masyarakat

Page 18: Travelist 1st Edition

Kalo gitu contohnya penulis travel favorit Gus Weng?

V.S. Naipaul, Jasper Becker, Ryzard Kapuscinski,

Paul Theroux, dan sebagainya.

Dari foto-foto Gus Weng pas menjelajah Asia kelihatan banget kalo foto potretnya bisa dapet ekspresi manusia yang sangat natural, gimana si caranya biar bisa kayak gitu?

Kalau potret yang manusia yang bisa bercerita,

dibutuhkan pendekatan yang sangat erat dengan

subjek foto. Di sini dibutuhkan komunikasi, sehingga

sang subjek bukan hanya sekedar orang yang

dijepret oleh fotografer, tetapi orang yang dikenal

secara personal. Di foto-foto potret itu saya

mengobrol dulu dengan subjeknya, membina

kepercayaan, mengetahui sedikit banyak kisah

hidupnya, dan mengambil fotonya dalam keadaan

yang paling natural. Karena ketika si fotografer

sudah diterima subjek foto, foto yang dihasilkan

seolah-olah si fotografer seperti sudah tidak ada,

dan fotonya bisa jadi natural. Selain itu, komunikasi

juga penting untuk mengenal si subjek foto luar

dalam, sehingga bisa lebih jelas digambarkan

ekspresinya.

Kalo gitu fotografer acuan Gus Weng siapa?

Saya tidak terlalu punya acuan. Bagi saya fotografi

itu feeling, ungkapan seni juga. Saya hanya

memotret dengan perasaan sendiri saja. Saya tidak

terlalu punya acuan. Bagi saya fotografi itu feeling,

ungkapan seni juga. Saya hanya memotret dengan

perasaan sendiri saja.

Interview30|31 | Travelist | Juni-Juli 2011

Di sini dibutuhkan komunikasi, sehingga sang subjek bukan hanyasekedar orang yang dijepret oleh fotografer, tetapi orang yang dikenal secara personal

Page 19: Travelist 1st Edition

Terakhir ya Gus Weng. Menurut Gus Weng, traveling yg beretika itu seperti apa?

Traveling di mana si pejalan sudah

meluruhkan egonya, ia bukan lagi orang

yang “mau mengubah dunia” tetapi

“orang yang belajar dari dunia”. Kalau

orang masih ingin mengubah dunia, ia

akan menuntut ini itu, atau membuat

destinasi wisata yang sesuai dengan

kebutuhan hidupnya supaya nyaman.

Contohnya saja, di gunung-gunung di

Nepal sudah tersedia hotel yang

menyediakan hot shower , pizza ,

spaghetti, dan sebagainya, ini karena

tuntutan kebutuhan para turis yang

akhirnya jadi mengubah “dunia”. Kita

juga lihat berbagai “racun turisme” yang

ada di tempat-tempat wisata dunia di

mana pun. Kalau si pelaku perjalanan

bisa mengorbankan egonya, meluruhkan

dirinya, ia akan berusaha meminimalkan

pengaruh (negatif) keberadaannya

terhadap daerah/lingkungan yang

dikunjungi.

Interview32|33 | Travelist | Juni-Juli 2011

Page 20: Travelist 1st Edition

Jepret34|35 | Travelist | Juni-Juli 2011

Briano Kawenang (@b121ano) Mahasiswa jurusan marketing UGM, melanjutkan double degree program di University of Melbourne

Brighton Beach, MEL

Page 21: Travelist 1st Edition

Kota Penikmat KopiTarempa

Ketika saya pertama kali menginjakan kaki di Tarempa setelah turun dari

pompong (perahu motor) atau kapal laut, kesan pertama yang tertangkap

adalah orang Tarempa sangat menyukai aktifitas meminum kopi. Hampir di

setiap sudut terdapat warung kopi. Sejak pagi sampai sore warung-warung kopi

ini tak pernah sepi.

Tulisan dan Foto oleh Yudi Febri

38|39 | Travelist | Juni 2011-Juli

Travelers’Tales

Page 22: Travelist 1st Edition

Tarempa merupakan sebuah kota yang

terletak di Pulau Siantan, ia merupakan ibukota

Kabupaten Kepulauan Anambas. Sebuah ke-

pulauan yang terletak di sebelah timur negara

tetangga, Malaysia.

Mungkin memang benar apa yang dikatakan

oleh Andrea Hirata di novel Padang Bulan,

bahwasanya kopi sudah menjadi bagian hidup

orang Melayu. Di Warung kopi inilah segala sesuatu

bisa diobrolkan. Sembari meminum kopi, saya

mendengar obrolan yang bermula dari gosip

murahan, kelakuan anggota DPR, sampai perang di

belahan dunia sana. Semuanya habis dikupas

dengan berbagai sudut pandang.

Saya tidak menyangka mendapat kesem-

patan untuk menginjakkan kaki dan tentunya minum

kopi di kota Tarempa ini. Sebuah kota yang memiliki

teluk dan menjadi pelabuhan utama, tempat

singgah dan pusat informasi para wisatawan. Dari

Tarempalah wisatawan menuju Pulau Temawan,

Pulau Penjaul, Pengunungan Lintang sampai Air

Terjun Temurun, dan Air Terjun Air Bini.

Terkenal sebagai pelabuhan utama, maka tak

heran jika terdapat pangkalan TNI AL untuk

memantau dan menjaga perairan Indonesia, karena

kabupaten ini berbatasan langsung dengan negara

tetangga. Ternyata, di Pangkalan TNI AL ini terdapat

banyak kapal-kapal nelayan asing yang tertangkap

sedang mencuri ikan di peraiaran Indonesia. Akan

tetapi, hati-hati jika hendak memotret kapal

tangkapan nelayan asing di depan pos TNI AL tanpa

ijin, karena bisa ditahan oleh petugasnya yang

cukup ketat.

38|39 | Travelist | Juni 2011-Juli

Travelers’Tales

hati-hati jika hendak memotret kapal tangkapan nelayan asing di depan pos TNI AL tanpa ijin, karena bisa ditahan oleh petugasnya yang cukup ketat

Page 23: Travelist 1st Edition

Di Pelabuhan Tarempa-lah kapal

KM Bukit Raya berlabuh, dari Tanjung

Priok via Pontianak – Selat Lampa –

Tarempa, ataupun dari Tanjung Pinang

langsung. Ya, sejak terbentuknya

kepulauan Anambas sebagai ka-

bupaten, maka transportasi menuju

tempat ini semakin mudah. Terbukti

dengan terbukanya Airport di Tarempa

untuk maskapai Wings Air melalui

Batam ataupun Tanjung Pinang.

Memasuki Tarempa sepert i

kembali ke jaman 40-50-an. Bangunan

– bangunan seperti kios - kios, rumah-

rumah, dan warung kopi yang banyak

berjejer di sepanjang jalan dan sekitar

pasar masih banyak yang terbuat dari

kayu. Mungkin hanya bangunan pe-

merintah dan militer yang sudah

memakai semen dan batu. Kota ini

pada saat jaman penjajahan dahulu,

pernah menjadi Kota Keresidenan.

Pemekaran diri dari Kabupaten Natuna-

pun baru terlaksana pada tahun 2008.

Sebagaimana wilayah Propinsi

Kepulauan Riau lainnya, Kabupaten

Kepulauan Anambas sangat kaya akan

seni dan budaya. Tarempa sebagai ibu

kota kabupaten menjadi pusat ragam

budaya yang terutama berakar dari

budaya Melayu. Kini, berbagai sanggar

seni mulai bermunculan, dari seni tari,

seni musik hingga seni beladiri daerah

yang berupaya melestarikan budaya

tradisional.

Mayoritas penduduknya adalah

Suku Melayu seperti masyarakat pesisir

pada umunya, bersifat terbuka ter-

hadap pendatang, tetapi tidak dapat

dipungkiri bahwasanya Etnis Tionghoa,

Suku Bugis, Banten, Jawa, Minang,

Batak dan Sunda juga menetap di pulau

ini (dan juga tersatukan oleh kebiasaan

minum kopi di warung kopi).

Saya kembali menyeruput kopi

–yang rasa kopinya sebenarnya tidak

terlalu istimewa. Namun keistime-

waanya justru terdapat pada suasana-

nya yang mampu membuat orang

betah berlama-lama di sini. Secangkir

kopi bisa menjadi teman anda untuk

mengobrol berjam-jam. Entah sejak

kapan kebiasaan ini mulai ada.

Sepertinya tidak ada yang tahu atau

mungkin tidak ada yang peduli. Yang

jelas, kebanyakan pemilik warung kopi

adalah masyarakat dari Etnis Tionghoa.

Bermacam menu kopi disuguh-

kan dengan sebutan yang khas. Ada

Kopi O atau Kopi Obeng alias kopi

hitam dengan kadar gula yang melebihi

standar kemanisan kopi di Jawa. Ada

Kopi Cantik, yaitu kopi yang diseduh

didalam kaleng bekas susu yang

dibuka bagian atasnya. Kopi Cantik ini

merupakan langganan para nelayan

40|41 | Travelist | Juni 2011-Juli

Travelers’tales

Page 24: Travelist 1st Edition

yang akan melaut karena lebih mudah

dibawa.

Namun, tempat yang paling nya-

man untuk menikmati kopi ada di

sepanjang Jembatan Semen Panjang.

Sebuah jempatan yang berada diatas

laut yang jernih dan pemandangan

sekitar yang indah. Jembatan yang

menghubungkan antara kota Tarempa

dengan Desa Tanjung Momong ini

terletak di timur Pelabuhan Tarempa. Di

sepanjang jembatan tersebut terdapat

beberapa kafe yang cukup luas dan

menu yang lebih beragam.

Duduk di salah satu kafe ini serasa

berada di suatu kafe di sebuah sudut kota

kecil di Eropa. Hening, sepi, angin

berhembus sepoi-sepoi ditingkahi oleh

suara camar mengantarkan matahari

kembali ke peraduannya di Barat, sambil

menikmati secangkir kopi menghadap ke

lautan. Sungguh suatu pengalaman yang

tak terlupakan.

Adventurer, Fotografer & Antropolog yang mencintai Indonesia.

Yudi Febri

42|43 | Travelist | Juni 2011-Juli

Travelers’tales

Saya kembali menyeruput kopi –yang rasa kopinya sebenarnya tidak terlalu istimewa. Namun keistimewaanya justru terdapat pada suasananya yang mampu membuat orang betah berlama-lama di sini.

Page 25: Travelist 1st Edition

Mendelik Dinamika

Surabaya Utara

Hari itu kami tidak belanja apa-apa, hanya mengisi perut dengan es jagung

favorit di food court, sekaligus memuaskan hasrat saya sebagai fotografer abal-

abal pecinta pasar tradisional. Duduk bersandarkan dinding sebuah toko, kami

menikmati pisang goreng kipas panas yang sengaja dibeli untuk mengganjal

perut yang mulai keroncongan. Ragam jajanan tradisional dari Ca Kwe hingga

Bubur Madura membuat pengunjung di Pasar Atom tidak akan pernah didera

kelaparan.

44|45 | Travelist | Juni 2011-Juli

Tulisan dan Foto oleh Dwi Putri Ratnasari

Travelers’tales

Page 26: Travelist 1st Edition

Saya teringat kembali, enam

tahun lalu, sebuah pengumuman

kelulusan masuk perguruan tinggi

negeri menyeret badan saya pindah dari

kota kecil menuju si metropolitan,

Surabaya. Sebuah kota, yang di mata

saya, hanya identik dengan banjir yang

merepotkan, panas yang menyengat,

dan pusat perbelanjaan yang menja-

mur. Harus diakui, definisi ketiga adalah

hal pertama yang membuat saya betah

di kota ini. Berbagai macam great sale

dari jam normal hingga midnite pernah

saya rasakan.

Saat itu, Surabaya Utara bagaikan

itik buruk rupa bagi saya. Tidak ada

mall-mall kece. Tidak ada gig band-

band ternama. Tidak ada tempat

nongkrong ber-wi-fi yang menyediakan

lemon tea favorit. Tidak ada yang bisa

saya lakukan di daerah ini. Surabaya

Utara memang tidak seperti saudara-

saudaranya di Timur, Barat dan Selatan

yang tampak selalu diterangi oleh

gemerlap berbagai hiburan warga kota.

Hingga suatu hari saya tidak

s e n g a j a m e l i h a t s e b u a h s e s i

pemotretan prewedding di Jalan Karet,

ketika dipaksa mengantarkan Ibu

menuju pusat perbelanjaan paling nge-

hype (versi Ibu saya) yaitu Jembatan

Merah Plaza. Saya, yang memang

narsis dalam hal foto-fotoan, langsung

menggumam, “Eh, tempat apaan sih

ini?”.

Kalau cinta pada pandangan

pertama memang ada, maka bisa jadi

perbuatan saya yang bak ABG labil saat

itu adalah awal mula terciptanya

chemistry saya dengan Surabaya Utara,

sebuah kawasan kota tua yang ternyata

menyimpan berbagai budaya dan

tumpukan sejarah lawas.

Surabaya Utara memang identik

dengan wajah kota yang lusuh, tapi

justru itulah yang menggambarkan

betapa lawasnya daerah ini. Konon, di

sinilah awal mula peradaban dan

perekonomian Surabaya. Pedagang

asing dan barang-barang dari luar

daerah mengalir deras di sepanjang

Sungai Kalimas. Tak heran bila

Surabaya Utara juga terkenal dengan

kemajemukan penduduknya. Pemukim-

an warga lokal, kampung Arab, Pecinan

Kembang Jepun, hingga jejak-jejak

kolonialisme tumbuh subur mengelilingi

daerah ini. Entah sudah berapa ratus

tahun usia mereka.

Suatu hari, saya berjalan-jalan di

seputar Jalan Dukuh dan mampir di

sebuah klenteng tua bernama Hong

Tiek Hian konon dibangun oleh tentara

46|47 | Travelist | Juni 2011-Juli

Travelers’tales

Page 27: Travelist 1st Edition

Tartar pada zaman Kaisar Khu Bilai Khan pada

1899. Klenteng ini terdiri atas dua bangunan yang

terpisahkan sebuah gang menuju pemukiman

penduduk. Pada lantai atas dibangun sebuah

jembatan pendek untuk menghubungkan

bangunan yang satu dengan yang lain.

Bangunan bawah klenteng lebih terkesan

gelap karena penerangan hanya berasal dari

ratusan lilin berbagai ukuran untuk sembahyang.

Bau asap batang Hio dan kertas Kim yang dibakar

memenuhi tiap sudut ruangan klenteng dan

meninggalkan lapisan jelaga hitam pada

dindingnya. Hong Tiek Hian adalah tempat ibadah

bagi tiga agama, yaitu Buddha, Konghucu dan Tao.

Menarik, karena di sinilah satu-satunya

tempat di Surabaya untuk menikmati pertunjukan

wayang tradisional Tiongkok yaitu Potehi. Sama

halnya dengan wayang tradisional Indonesia,

Potehi juga dimainkan oleh dalang yang piawai

memainkan tangan untuk menggerakkan boneka-

boneka sambil menceritakan satu kisah dengan

iringan bunyi tetabuhan di balik sebuah panggung

kecil.

Bergerak ke Jalan Kapasan, sebuah klenteng

tua bernuansa merah menyala nampak kontras

dengan bangunan-bangunan ruko tua di

sekitarnya. Mereka menyebutnya Boen Bio, sebuah

kelenteng bagi umat Konghucu yang berdiri di Jalan

Kapasan sejak tahun 1907. Ketika melangkah

memasuki altar utama, mata saya langsung tertuju

pada sebuah foto potret mantan presiden

Indonesia yang juga dikenal sebagai Bapak

48|49 | Travelist | Juni 2011-Juli

Travelers’tales

Menarik, karena di sinilah satu-satunya tempat di Surabaya untuk menikmati pertunjukan wayang tradisional Tiongkok yaitu Potehi

Page 28: Travelist 1st Edition

Pluralisme, Gus Dur. Sebuah sentuhan kecil yang

bermakna besar dalam perjalanan klenteng dan

umatnya ini.

Saya masih ingat, pertama kali saya

bertandang di sini bertepatan dengan akan

diadakannya pementasan wayang kulit yang

digelar di kampung Kapasan Dalam yang lebih

terkenal dengan sebutan Kampung Kungfu.

Sejarah mengatakan bahwa para Buaya

Kapasan yakni para peranakan Tionghoa yang

jago-jago Kungfu itu, memang pernah hidup dan

tinggal di daerah belakang Klenteng Boen Bio ini.

Konon, kampung ini cukup ditakuti oleh

Pemerintah Belanda karena para Buaya Kapasan

memang sering me-repotkan dan tidak mau

patuh begitu saja pada aturan penguasa. Tengah

malam, tua muda di kampung ini, rajin berlatih

Kungfu secara diam-diam. Itulah yang me-

resahkan Pemerintah Kolonial, maka mereka

membangun sebuah pos polisi, yang hingga

sekarang masih berdiri di sektor V Kapasan,

untuk mengawasi gerak-gerik yang mengacu

pada pemberontakan para Buaya Kapasan.

Seorang mayor dari Cina pun juga

ditugaskan oleh Belanda untuk tinggal di dekat

Kampung Kungfu untuk menjaga stabilitas

keamanan kampung jagoan ini. Kediaman

mewah sang mayor masih dapat ditemukan

hingga sekarang, yaitu sebuah hotel yang masih

terjaga arsitektur aslinya bernama Hotel Ganefo,

terletak 100 meter dari klenteng Boen Bio.

50|51 | Travelist | Juni 2011-Juli

Travelers’tales

Foto oleh Ayos Purwoaji

Sejarah mengatakan bahwa para Buaya Kapasan yakni paraperanakan Tionghoa yang jago-jago Kungfu itu, memang pernah hidup dan tinggal di daerah belakang Klenteng Boen Bio ini.

Page 29: Travelist 1st Edition

Karena letak Hotel Ganefo yang

agak menjorok, maka saya jadi

terheran-heran sendiri ketika menyadari

ternyata ada bangunan jadul dengan

berbagai ornamen khas arsitektural

Indische yang masih terawat dengan

baik. Dua patung singa buatan Belanda

menyambut kedatangan saya di pintu

depan. Sebuah ukiran bertuliskan ora et

labora (pray and work) terpatri di atas

pintu masuk. Selanjutnya, deretan

cermin-cermin lawas dengan ukuran

super besar tampak bergelantungan di

lobby hotel. Di bagian belakang

terdapat sebuah pohon beringin yang

sangat rimbun, membuat saya berpikir

berulang kali untuk benar-benar

menginap di hotel ini. Dua ranjang besi,

kamar mandi ekstra besar, jendela

dengan model trails sejajar dan langit-

langit yang tinggi akan Anda nikmati jika

berminat menginap di salah satu kamar

hotel ini . Suasana yang ter lalu

menyeramkan untuk saya yang penakut

ini.

Mendengarkan cerita demi cerita

yang ada di sekitar klenteng dan

kampung ini memang menyenangkan.

Saking seringnya saya mampir ke

kampung Kapasan, seorang ketua

Karang Taruna kawasan ini yang

bernama Pak Gunawan sampai sudah

bisa menghapal wajah saya. Beliau pun

tidak sungkan memperlihatkan foto-foto

tua kampung ini pada tahun 60an.

Sangat menarik ketika mengetahui

bahwa dahulunya kampung ini juga

menggelar rekonstruksi peristiwa

sepuluh November. Saya melihat sosok

remaja Pak Gunawan mengenakan ikat

kepala berwarna merah-putih, siap

bertempur bersama kawan-kawannya

di dalam lembaran foto hitam putih.

Gara-gara sering menjelajah ke

Pecinan Surabaya Utara ini juga saya

beruntung bisa mengetahui jadwal

arak-arakan Dewi Laut dari klenteng tua

Hok An Kiong di Jalan Cokelat. Sebagai

festival hunter wannabe, maka saya

tidak perlu banyak berpikir lagi untuk

turut menonton kirab yang terakhir kali

dilakukan pada tahun 1964 itu.

Benar saja, acara keagamaan

tersebut berlangsung sangat meriah

karena diikuti ratusan umat dan sempat

menjadi tontonan banyak warga.

Mereka pasang tampang heran, ketika

tiba-tiba di hari Minggu pagi itu,

kawasan sepanjang Pecinan ini

dipenuhi segerombolan orang me-

makai ikat kepala berwarna merah,

membawa beberapa persenjataan

seperti tombak serta beramai-ramai

mengusung tandu. Ya maklum saja

52|53 | Travelist | Juni 2011-Juli

Travelers’tales

Page 30: Travelist 1st Edition

“Daripada dicereweti mantu,

mending datang ke sini tiap minggu,”

canda Pak Lim Oo Yen, disambut gelak

tawa beberapa lansia yang berkumpul

di sampingnya. See, there's a country

for old men here.

Saya percaya, bahwa jalan-jalan

tak melulu tentang destinasi mewah

yang jauhnya ratusan kilometer dari

rumah. Munculnya berbagai komunitas

independen seperti pecinta museum,

penggemar sejarah, bangunan tua dan

budaya adalah alternatif tepat untuk

menjadi traveler cerdas bin hemat,

bukan kere. Tak perlu repot meng--

gendong ransel puluhan liter, cukup

bermodal kamera pocket, sebotol air

mineral, stamina oke, rasa ingin tahu

yang besar, plus stok senyum yang

lebar, maka segeralah melakukan

ibadah city trip di tengah ruwetnya kota

metropolitan dan bersiaplah mene-

mukan cerita menarik di sudut-sudut

yang tak terduga.

Wanita penggemar traveling yang bekerja sebagai freelance travel writer dan memiliki mimpi untuk membuat dokumentasi lengkap tentang berbagai festival budaya di Indonesia.

Dwi Putri Ratnasari

kalau banyak yang bertanya-tanya ada

keramaian apa pagi itu, karena arak-

arakan ini sudah empat puluh tahun

lebih menghilang dari permukaan.

Saya memang terlalu berjodoh

dengan Pecinan Surabaya. Beberapa

kali, saya harus terlibat melakukan city

trip ke tempat-tempat yang belum

pernah saya duga benar-benar ada di

ujung Surabaya yang masih tetap ruwet

ini. Sebuah rumah perkumpulan marga

Liem, contohnya. Dua kali saya

mengunjungi tempat yang terletak tak

jauh dari Pasar Atom ini. Di mana ketika

memasuki ruangan demi ruangan, saya

serasa sedang melewati distrik-distrik di

Beijing. Hampir semua lansia masih

fasih bercakap menggunakan bahasa

Mandarin.

Pak Liem Oo Yen, menyambut

kedatangan saya dan mempersilahkan

saya untuk mencoba Chinese Calli-

graphy. Tapi daripada memalukan, saya

memilih menonton saja. Rumah tua ini

memang dipenuhi oleh para lansia

peranakan Tionghoa yang meng-

habiskan akhir minggu dengan

mempelajari banyak budaya leluhur.

Melukis, bernyanyi, dan bermain catur

tradisional menjadi salah satu cara

mereka untuk melepas penat, bertemu

kerabat serta sahabat.

54|55 | Travelist | Juni 2011-Juli

Travelers’tales

Page 31: Travelist 1st Edition

Pulau Rempah Terbesar di Dunia

Pulau Banda

56|57 | Travelist | Juni 2011-Juli

Tulisan dan Foto oleh Lusi Margiyani

Travelers’tales

Page 32: Travelist 1st Edition

Maluku memang tidak bisa dilepaskan dari

sejarah perdagangan rempah-rempah dunia.

Diantara banyak pulau di Maluku, meskipun Pulau

Banda tidak sebesar Pulau Seram namun

merupakan penghasil pala terbesar di propinsi ini.

Sejak tahun 600an Bangsa China sudah berdagang

di pulau ini. Menyusul kemudian Bangsa Moro

tahun 1500an, Bangsa Portugis tahun 1611 dan

diikuti Bangsa Inggris dan Belanda tahun 1621.

Pala merupakan komoditas yang laku keras di

pasaran dunia, khususnya di negara-negara Eropa.

Wajarlah kalau berbagai bangsa berlomba-lomba

untuk datang ke Pulau Banda. Bahkan ternyata

pada abad ke-15 tujuan awal Christopher

Columbus adalah mencari rempah-rempah di

Pulau Banda. Setelah munculnya pengetahuan

baru bahwa bumi itu bulat, Ratu Isabella dan Raja

Ferdinand dari Spanyol membiayai pelayaran ini

untuk mencapai pulau rempah. Namun, bukannya

Pulau Banda yang ditemukan tapi malah sebuah

benua baru, yang kemudian dinamakan Benua

Amerika.

Dengan demikian perdagangan antar bangsa

sudah terjadi dalam kurun waktu yang sangat lama

di Banda.

Abad Gelap Masyarakat Banda

Dari buku Sejarah Banda Naira karangan Des

Alwi (anak angkat Bung Hatta ketika dalam masa

pengasingan di Banda) dan juga dari beberapa

peninggalan sejarah yang masih tersisa, sungguh

mengerikan nasib orang Banda saat penjajahan

Belanda dibawah bendera VOC (Vereenigde

58|59 | Travelist | Juni 2011-Juli

Travelers’tales

Melimpah ruahnya hasil rempah pala ini tidak selamanya memberikan kesejahteraan masyarakat Banda namun justru mengundang bencana karena kesrakahan dari bangsa-bangsa pendatang khususnya Inggris dan terutama Belanda.

Page 33: Travelist 1st Edition

Oostindische Compagnie). Puncak

kekejaman Bangsa Belanda adalah

ketika saat pemerintahan Gubernur

Jendral Jan Pieterszoon Coen. Awal

tahun 1621 Coen bertolak dari Batavia

ke Ambon, kemudian langsung

melanjutkan ke Pulau Banda.

Dalam buku tersebut dijelaskan

secara mendetail sejarah perdagangan

rempah-rempah di Banda berikut

kekejaman yang dilakukan Coen

kepada masyarakat Banda. Sekitar

60% orang Banda terbunuh (dibunuh),

sebagian dikirim ke Batavia sebagai

budak dan sebagain yang masih

tersisa lari ke Pulau Seram. Orang

Banda yang tersisa hanya kaum

perempuan dan anak-anak. Mereka

yang “dibuang” ke Batavia dalam

keadaan dirantai dan tidak diberi

makan. Padahal saat itu perjalanan dari

Banda ke Batavia menggunakan kapal

merupakan perjalanan yang panjang.

Akhirnya banyak tawanan yang

meninggal dan dibuang ke laut.

K e k e j a m a n V O C d i b a w a h

Gubernur Jendral Coen tidak hanya

sebatas membakar perkampungan,

menawan para penduduk, dan

melakukan pengejaran hingga banyak

orang Banda yang lebih baik mati

menceburkan diri ke laut daripada

ditangkap Belanda. Salah satu bentuk

kekejaman Belanda yang masih

dikenang karena kekejamannya adalah

peristiwa pembantaian orang-orang

kaya Banda yang ditebas tubuhnya

menjadi dua atau empat.

Peristiwa pembantaian orang

kaya Banda ini dalam buku Sejarah

Banda Neira diulas secara rinci

berdasarkan tul isan saksi mata

bernama Letnan Laut Nicolas van Waert

tanggal 8 Mei 1621. Ada sekitar 40an

orang kaya Banda yang dibawa ke

Benteng Nassau yang masing-masing

tangannya diikat di belakang. Para

algojo yang menebas tubuh-tubuh

tidak berdosa ini adalah 6 serdadu

Jepang. Empat ratus tahun kemudian

didirikan sebuah monumen untuk

mengenang para orang kaya Banda

yang merupakan pejuang bagi orang

Banda. Monumen ini terletak di Pulau

Neira, persisnya di sebelah kiri depan

Benteng Nassau. Di monument ini

tertulis nama-nama para pejuang yang

mati ditebas oleh algojo atas perintah

Gubernur Jendral Coen.

Sela in monumen di depan

Benteng Nassau, terdapat pula sebuah

lukisan yang menggambarkan peris-

tiwa sadis tersebut. Suasana mengeri-

kan sangat terasa ket ika saya

memandang dan membayangkan

peristiwa tersebut. Saya akhirnya

62|63 | Travelist | Juni 2011-Juli

Travelers’tales

Page 34: Travelist 1st Edition

memotret lukisan tersebut yang

dipajang di Museum Banda Naira yang

berada di dekat Pelabuhan Banda di

Pulau Neira.

Banyak peninggalan sisa-sisa

kejayaan Pulau Banda sebagai

penghasil pala terbesar di dunia yang

masih terlihat disini. Salah satunya

adalah sebuah lonceng besar yang

dahulu digunakan di Perk (perkebunan

pala) untuk penanda saatnya orang

bekerja atau istirahat. Selain itu ada

banyak benda-benda yang masih

tersimpan di Museum Banda Naira

diantaranya berupa timbangan, alat

untuk memetik pala, lukisan yang

menggambarkan transaksi perda-

gangan pala dengan bangsa luar, dan

benda-benda lainnya.

Buah Pala dari Banda

Sebelum saya pergi ke daerah ini,

saya hanya mengetahui bahwa biji pala

merupakan salah satu bumbu untuk

memasak soto. Namun ketika saya

berkeliling Pulau Ambon, Pulau Seram

dan Pulau Nusa Laut barulah melihat

secara langsung pohon pala berikut

buahnya.

Mulai dari bagian terluar buah

pala yaitu kulit (yang berupa daging

buah) biasa dibuat manisan pala atau

untuk sirup. Kemudian bunga pala yang

berwarna merah yang berada di dalam

kulit buah ini menjadi komoditi ekspor

yang sangat mahal dibandingkan kulit

buah atau biji palanya.

Di sepanjang jalan kota di Banda,

terutama jalan menuju Pelabuhan,

banyak sekali ditemui penjual aneka

oleh-oleh yang terbuat dari pala. Ada

yang berupa manisan kering maupun

basah, dengan aneka rasa, dan ada

juga yang berupa sirup yang bisa

langsung diminum.

Merupakan pemandangan yang

biasa di Banda bila melihat anak-anak

atau para ibu yang mengupas pala

untuk dijadikan manisan. Di pelabuhan,

terlihat orang-orang menaikkan berton-

ton buah pala ke kapal untuk dijual ke

pulau lain ataupun diekspor ke

berbagai negara. Memang di Banda,

khususnya di Pulau Banda Besar,

nyaris setiap jengkal tanah ditanami

pohon pala. Kebanyakan pohon yang

ada sudah berumur puluhan tahun.

Berdasarkan penuturan warga disitu,

buah pala baru mulai berbuah setelah

pohon berumur sepuluh tahun. Pohon

pala ini memang hanya cocok di

Maluku karena secara geografis dan

iklim sangat mendukung. Seingat saya

pohon pala ini hanya cocok hidup di

daerah pegunungan dengan suhu

tertentu dan berada di sekitar lautan.

60|61 | Travelist | Juni 2011-Juli

Travelers’talesTidak hanya biji saja

yangdapat dimanfaatkan,

ternyata seluruhbagian buah pala ini

juga bisadimanfaatkan

Page 35: Travelist 1st Edition

Pala tidak mengenal musim, boleh

dikata sepanjang tahun berbuah. Dari

sini dapat kita lihat betapa kekayaan

nusantara yang luar biasa. Bayangkan

saja harga bunga pala bisa mencapai

harga sekitar Rp. 220.000 per kilo.

Komoditi ini sampai dengan saat ini

masih laku keras di pasaran dunia dan

tiap tahunnya mengekspor ratusan kilo.

Wajarlah kalau di Banda terkenal

banyak orang kaya.

Seorang aktivis perempuan dan pemerhati masalah pendidikan anak, salah satu nominasi the Fearless Indonesian Women of the Year dari Majalah Kosmopolitan tahun 1999, sekarang bekerja sebagai Field Education Specialist (FES) di Save the Children di Maluku.

Lusi Margiyani

64|65 | Travelist | Juni 2011-Juli

Travelers’tales

Page 36: Travelist 1st Edition

Lumix DMC FS-62 adalah kamera 10 megapixel yang cocok untuk budget traveler. Kamera mungil ini dilengkapi dengan lensa buatan Leica dengan range setara 33-132mm di 35mm, dengan kualitas gambar yang cukup mengagumkan untuk level budget-travelcamera.

Kamera ini memiliki ukuran setipis 97 x 54.4 x 21.2mm dan berat seringan 136g dengan body yang terbuat dari metal. Fitur menarik yang dimiliki kamera ini adalah Fitur Auto ISO dengan batas ISO maksimum yang bisa kita atur, sangat handy.

Review66|67 | Travelist | Juni 2011-Juli

Sangat jarang kita menemukan buku panduan fotografi buatan lokal, apalagi buku panduan fotografi khusus untuk fotografi perjalanan.Salah satu yang menarik adalah Lonely Planet Travel Photography: A Guide to Taking a Better Pictures.

Pada bab yang lebih dalam, buku ini mulai membuat kita mempelajari tentang subjek yang sering kita temui pada perjalanan kita, mulai dari manusia, hewan, lanskap, sampai makanan.

Selain teknik fotografi, buku ini juga mengajarkan tentang post-production. Mulai dari cara mengedit foto, sampai cara kita menjual foto kita. Buku ini juga bisa diaplikasikan untuk kamera digital atau film, karena sebagian foto di buku ini merupakan foto dari kamera film.

Foto-foto yang indah diatas 352 halaman full-color menjadikan buku ini pilihan yang baik untuk anda belajar fotografi perjalanan plus menghias coffee table anda.

Pada tahun 1948, polaroid mengejutkan dunia dengan kamera instantnya. 60 tahun berselang, kini mereka mengeluarkan produk yang lagi-lagi mengagetkan.

Polaroid PoGo adalah sebuah printer foto portable yang menggunakan teknologi Zero Ink. Printer ini tidak menggunakan ink cartridge atau ribbon, tapi sebagai gantinya ia memerlukan kertas khusus berukuran 2x3 inchi dari ZINK Imaging.

Cukup dengan koneksi USB dari kamera digital, atau koneksi Bluetooth dari handphone anda, tunggu sekitar satu menit, maka foto anda telah tercetak. Memang, hasil cetak dari printer ini tidak terlalu tajam, tetapi ukurannya yang tidak lebih dari telapak tangan pria dewasa – 11,9 x 7,2 x 2,2 cm dan harganya yang cukup bersahabat – USD$ 39.99 membuat benda mungil ini adalah pilihan tepat untuk mengisi backpack anda.

Lumix DMC FS-62

Polaroid Pogo

Lonely Planet Travel Photography:A Guide to Taking a Better Pictures

Fo

to:

Inte

rnet

Fo

to:

Inte

rnet

Fo

to:

Inte

rnet

Page 37: Travelist 1st Edition

Kami sangat senang jika kamu mau menularkan semangat traveling melalui Travelist dengan cara:Mengirim artikel untuk rubrik travelers'tales atau foto untuk jepret dengan ukuran panjang sisi terpendek 2000px ke [email protected] dengan subjek:Kontributor artikel untuk travelers'talesAtauKontributor foto untuk jepret

Mari sebarkan virus traveling!