Upload
khamila-tusy
View
52
Download
10
Embed Size (px)
DESCRIPTION
ggg
Citation preview
1
Analisis Pengaruh Rotasi Pekerjaan, Kompetensi Dan Kecerdasan Emosional Terhadap
Kinerja Karyawan Dengan Motivasi Intrinsik Sebagai Variabel Moderating
(Studi Pada Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang)
Tesis
Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat guna
Memperoleh derajat sarjana S-2 Magister Manajemen
Program Studi Magister Manajemen Universitas Islam Sultan Agung
Oleh :
Nur Khamilatusy Sholekhah
NIM. MM15511660
PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2015
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. 1
DAFTAR ISI .......................................................................................................... 2
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 5
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 5
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 7
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 7
1.3.1 Tujuan Penelitian ...................................................................... 7
1.3.2 Manfaat Penelitian .................................................................... 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA .......................................................................... 9
2.1 Landasan Teori ................................................................................. 9
2.1.1 Rotasi Pekerjaan ...................................................................... 9
2.1.2 Kecerdasan Emosional ............................................................ 12
2.1.3 motivasi intrinsik ......................................................................... 16
2.1.4 Kinerja Karyawan .................................................................... 21
2.2 Hubungan Antar Variabel ................................................................. 22
2.2.1 Rotasi Pekerjaan dan motivasi intrinsik ....................................... 22
2.2.2 Kecerdasan Emosional dan motivasi intrinsik ............................. 24
2.2.3 motivasi intrinsik dan Kinerja Karyawan ..................................... 25
2.2.4 Rotasi Pekerjaan dan Kinerja Karyawan .................................. 27
2.2.5 Kecerdasan Emosional dan Kinerja Karyawan ........................ 28
2.3 Penelitian Terdahuu ........................................................................... 30
2.4 Kerangka Pikir dan Hipotesis ............................................................ 30
2.5 Hipotesis ............................................................................................ 31
2.6 Definisi Operasional dan Indikator Variabel Penelitian .................... 31
3
BAB III METODOLOGI PENELITIAN.................................................................. 36
3.1 Jenis Penelitian ........................................................................................ 36
3.2 Populasi Penelitian .................................................................................. 36
3.3 Jenis Sumber dan Jenis Data ................................................................... 37
3.4 Metode Analisis Data .............................................................................. 37
3.5 Pengujian Instrumen Penelitian ............................................................... 37
3.6 Teknik Analisis Data ............................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 42
4
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Indikator Variabel Rotasi Pekerjaan .......................................................... 32
Gambar 2.2 Model dari Variabel Kecerdasan Emosional ............................................. 33
Gambar 2.3 Indikator motivasi intrinsik ...........................................................................
34
Gambar 2.4 Model dari Variabel Kinerja Karyawan .................................................... 35
5
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Organisasi yang baik, akan tumbuh dan berkembang dengan menitikberatkan pada
sumber daya manusia untuk menjalankan fungsinya dengan optimal, khususnya dalam
menghadapi dinamika perubahan lingkungan yang terjadi. Adanya kemampuan teknis,
teoritis, konseptual dan moral dari para pelaku organisasi atau perusahaan di semua
tingkat pekerjaan sangat dibutuhkan. Pihak perusahaan harus mampu menyiapkan sumber
daya manusia yang dimilikiny untuk dapat mengikuti perkembanan teknologi sesuai
dengan keinginan yang dibutuhkan perusahaan. Sumber daya manusia memegang
peranan penting dan potrensial bagi keberhasilan suatu perusahaan karena sumber daya
manusia merupakan penentu kegiatan perusahaan baik perencanaan, pengorganisasian,
serta pengambilan keputusan.
Karyawan yang memiliki kinerja baik akan sangat mendukung kelancaran
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada mereka. Karyawan dapat
berkinerja bagus apabila memiliki motivasi yang tinggi sehingga dapat melaksanakan
pekerjaan dengan lebih baik, dibandingkan dengan karyawan yang tidak memiliki
motivasi dalam bekerja. Dalam rangka meningkatkan kinerja dari pegawainya,
perusahaan perlu memberi perhatian pada kepentingan pegawai yang memiliki berbagai
macam kebutuhan. Keinginan untuk memenuhi kebutuhan inilah yang akan
mempengaruhi motivasi intrinsik yang ada pada setiap individu untuk melakukan segala
sesuatu yang lebih baik dari lainnya di dalam melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan.
Berbagai masalah mengenai kinerja merupakan permasalahan yang selalu dihadapi
oleh perusahaan. Kinerja karyawan tidak hanya dilihat dari kemampuan kerja yang
sempurna tetapi juga kemampuan menguasai dan mengelola diri sendiri serta kemampuan
dalam membina hubungan dengan orang lain.
6
Oleh karena eratnya keterkaitan antara motivasi dan kinerja, perusahaan akan
menempuh berbagai cara supaya dapat meningkatkan kinerja karyawannya, misalnya
dengan memberikan motivasi kepada karyawan tersebut. Salah satu cara untuk
meningkatkan motivasi intrinsik karyawan adalah dengan melakukan rotasi pekerjaan dan
meningkatkan kecerdasan emosional karyawan.
Rotasi pekerjaan merupakan salah satu program pengembangan yang dilakukan
oleh perusahaan dengan tujuan untuk meningkatan kemampuan kinerja karyawan. Suatu
pekerjaan yang bersifat rutin dan hanya mengerjakan satu hal yang sama dalam waktu
yang lama tentunya dapat menimbulkan kebosanan atau kejenuhan dimana semangat
kerja dan kegairahan kerja akan menurun. Namun yang terjadi dilapangan ditemukan
banyak keluhan karyawan mengenai rotasi kerja, antara lain mengenai rentang waktu
rotasi kerja, rotasi yang kurang menyeluruh, tuntutan keberagaman keterampilan serta
kesulitan beradaptasi dengan lingkungan kerja baru. Rotasi kerja mempunyai dampak
mampu memebrikan kontribusi terhadap kepuasan kerja dan peningkatan kinerja pegawai
rumah sakit (Kristin, 2010) serta menghilangkan kebosanan dari pekerjaan yang selama
ini mereka jalani (Budi Santosa, 2012). Sedangkan menurut Mansur (2009) rotasi kerja
bukan tanpa cacar, karena biaya pelatihan akan meningkat, produktivitas akan menurun
karena memindahkan karyawan pada posisi baru, adanya penyesuaian diri lagi karena
adanya karyawan baru dalam sebuah kelompok.
Konsep kompetensi berawal dari artikel David McClelland yang mengegerkan,
“Testing for competence rather than intelligence”. Artikel tersebut meluncurkan gerakan
kompetensi dalam psikologi industrial. David McClelland menyimpulkan, berdasarkan
hasil penelitian, bahwa tes kecakapan akademis tradisional dan pengetahuan isi, serta
nilai dan ijazah sekolah; (1) tidak dapat memprediksi keberhasilan di
pekerjaan/kehidupan, (2) biasanya bias terhadap masyarakat yang sosial ekonomi rendah.
Kesimpulan ini membuat David Mc Clelland bertanya-tanya, apabila bukan kecerdasan,
apa yang dapat memprediksi keberhasilan pekerjaan/kehidupan, maka ia mulai mencari
metode penelitian untuk mengindentifikasi variabel kompetensi yang bisa memprediksi
kinerja karyawan dan tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti ekonomi, sosial atau
ras. David Mc Clelland menggunakan sampel kriteria (criterion sample), sebuah metode
7
yang membandingkan antara orang sukses dengan orang yang kurang sukses dengan
tujuan untuk mengidentifikasi karakteristik yang berkaitan dengan kesuksesan.
Karakteristik-karakteristik atau kompetensi-kompetensi ini, ketika muncul dan
dipertunjukkan secara konsisten, mengarah pada kesuksesan hasil kerja. Hal ini pula yang
menyebabkan beragamnya definisi kompetensi.
Pada saat ini kecerdasan emosional merupakan salah satu topik menarik yang
banyak dibicarakan. Kecerdasan emosional dapat memungkinkan seseorang untuk
berpikir kreatif, berwawasan jauh serta dapat mempengaruhi orang untuk dapat bekerja
sendiri dan bekerja bersama dalam satu tim. Kecerdasan emosional memainkan peranan
penting bagi seseorang untuk dapat menerapkan pengetahuan yang ia miliki. Dengan
kecerdasan emosional akan mampu menjadikan tambahan input bagi manusia sebagai
makhluk yang lengkap dalam berperilaku dan bersoisalisasi dalam lingkungan khususnya
lingkungan kerjanya. Penelitian yang dilakukan Higgs dan Malcolm (2004), Cote dan
Miners (2006) menunjukkan bahwa terdapat pengaruh signifikan antara kecerdasan
emosional dan kinerja karyawan. Meskipun pada penelitian yang dilakukan oleh Austin
(2004), Petrides, Frederickson dan Furnhman (2004) menunjukkan tidak ada hasil atau
hasil yang tidak konsisten mengenai pengaruh antara kecerdasan emosional dengan
kinerja.
Rumah Sakit Sultan Agung Semarang adalah merupakan pelaksana tehnis di
bawah Yayasan Wakaf Sultan Agung di bidang pelayanan kesehatan dan juga merupakan
Rumah Sakit Tipe B Pendidikan. Sesuai dengan Visi menjadi Rumah Sakit Islam
terkemuka dalam pelayanan kesehatan yang selamat, menyelamatkan dan menjadi
pelayanan pendidikan. Oleh karena itu Rumah Sakit Sultan agung berupaya memberikan
pelayanan yang terbaik dengan terus meningkatkan dan memperbaiki terhadap kualitas
pelayanan keperawatan.
Hasil observasi yang dilakukan di salah satu ruangan rawat inap Rumah Sakit
Sultan Agung Semarang terlihat masih ada berkas rekap medis asuhan keperawatan yang
tidak lengkap. Format pengkajian masih di dapatkan beberapa data penting yang tidak
didokumentasikan, pada bagian pengisian diagnosa keperawatan cenderung hanya
mencantumkan satu diagnosa, dan cacatan tindakan keperawatan belum
8
didokumentasikan sesuai standar. Kepala ruangan menyatakan sebagian besar
dokumentasi asuhan keperawatan dilengkapi setelah pasien pulang. Bagian keperawatan
seringkali dihadapkan dengan permasalahan kinerja perawat tentang pemberian asuhan
keperawatan yang belum optimal hal ini masih dikeluhkan oleh pasien, keluarga, dan
profesi lain yang bekerja di rumah sakit.
Di Rumah Sakit Islam Sultan Agung sendiri rotasi dilakukan pada perawat dengan
masa kerja lebih dari 2 tahun dan dilakukan setiap 2 tahun sekali sedangkan pada perawat
baru kurang dari 2 tahun dilakukan setiap 6 bulan sekali. Rotasi bagi perawat dengan
masa kerja lebih dari 2 tahun dilakukan atas dasar : permintaan yang bersangkutan
dengan alasan yang dapat diterima atau disetujui, adanya program pengembangan Rumah
Sakit, adanya kepentingan Rumah Sakit yang lebih luas dan dalam rangka pembinaan.
Dasar dari semua itu adalah menempatkan posisi seseorang ke posisi pekerjaan yang
tepat karena merupakan salah satu kunci meraih prestasi kerja yang optimal dari setiap
karyawan, baik kreatifitas dan prakarsanya akan berkembang (Hasibuan, 2007).
Tabel 1.1
Research Gap Hasil Penelitian
No Permasalahan (Pengaruh antar variabel)
Riset Gap Penulis Metode Penelitian
1. Pengaruh kecerdasan emosional terhadap kinerja
A. Positif significant
B. Negatif significant
A. Higgs and Malcolm (2004)
B. Petrides, Frederickson and Furnhman (2004)
Regression
Regression
2. Pengaruh rotasi kerja terhadap kinerja
A. Positif significant
B. Negatif significant
A. Kristin (2010), Budi Santoso (2012)
B. Mansur (2009)
Regression
Regression
3. Pengaruh rotasi kerja terhadap motivasi intrinsik
A. Positif significant
B. Negative significant
A. Cosgel dan Miceli (1999)
B. Erikson dan Ortega (2001)
Regression
Regression
9
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah di uraikan tersebut, maka masalah
yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Adanya research gap dari penelitian terdahulu mengenai pengaruh antara kecerdasan
emosional terhadap kinerja yang ditunjukkan dalam penelitian Higgs dan Malcolm
(2004), Petrides, Frederickson dan Furnhman (2004). Rotasi kerja terhadap kinerja yang
ditunjukkan dalam penelitian Kristin (2010), Budi Santoso (2012) dan Mansur (2009).
Peningkatan motivasi dan kinerja perawat perlu dilakukan untuk mengoptimalkan
hasil kerja, dimana motivasi dan kinerja juga ditentukan oleh kemampuan mengelola
intektual diri dalam mengontrol emosi dalam berinteraksi dengan orang lain. Serta
pelaksanaan rotasi dianggap dapat mempermudah pelaksanaan kerja, karena karyawan
dari satu bagian dapat ditempatkan ke bagian lain yang membutuhkan tenaga kerja.
Meskipun rotasi pekerjaan sudah lama dilakukan, dampak positif dari pelaksanaan rotasi
tersebut belum pernah diujikan dan dianalisis pengaruhnya terhadap motivasi dan kinerja
karyawan. Dari penjelasan tersebut, aka ada beberapa pertanyaan penelitian yang kami
ajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pengaruh rotasi pekerjaan terhadap kinerja karyawan dengan motivasi
intrinsik sebagai variabel intervening?
2. Bagaimana pengaruh kecerdasan emosional terhadap kinerja karyawan dengan
motivasi intrinsik sebagai variabel intervening?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk :
a. Menganalisis pengaruh rotasi pekerjaan terhadap inerja karyawan dengan
motivasi intrinsik sebagai variabel intervening
10
b. Menganalisis pengaruh kecerdasan emosional terhadap kinerja karyawan
dengan motivasi intrinsik sebagai variabel intervening
1.3.2 Manfaat Penelitian
Penelitian ini akan memberikan manfaat bagi Rumah Sakit sebagai rekomendasi
dan referensi dalam pengelolaan sumber daya manusia yang dimiliki oleh Rumah Sakit
dalam proses seleksi, pengembangan, penilaian dan evaluasi karyawan. Secara teoritis,
manfaat penelitian yaitu sebagai tambahan referensi untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan khususnya bidang manajemen sumber daya manusia. Manfaat praktis, yaitu
memberikan informasi kepada manajer Rumah Sakit.
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Rotasi Kerja
Desain kerja, yang juga disebut dengan desain ulang kerja, merujuk pada suatu
kegiatan atau aktivitas yang meliputi pengubahan pekerjaan tertentu atau sistem kerja
yang saling bergantung satu sama lain, dengan maksud untuk meningkatkan kualitas
pengalaman kerja karyawan dan produktivitas mereka dalam melaksanakan pekerjaan.
Perusahaan dapat melaksanakan berbagai metode desain kerja, dimana semuanya
difokuskan untuk meningkatkan kepuasan dan kinerja. Beberapa metode yang diperlukan
untuk mencapai tujuan tersebut adalah perluasan kerja, rotasi kerja dan pengayaan kerja
(Maxwell, 2008 dalam Setiawan, 2011).
Rotasi pekerjaan merupakan proses memindahkan individu secara periodik dari
satu peran kerja ke peran kerja yang lain, yang telah dikenal sebagai teknik untuk
memaksimalkan efisiensi dan efektifitas organisasi (Gannon and Brainin, 1986 dalam
Setiawan, 2011). Rotasi pekerjaan adalah perpindahan karyawan secara lateral antar
beberapa pekerjaan dalam suatu organisasi.. Karyawan yang dirotasi biasanya tidak
berada pada suatu posisi kerja yang tetap akan tetapi biasanya juga tidak kembali
menempati posisi kerjanya semula (Campion et al, 1994 dalam Setiawan, 2011). Rotasi
umumnya dilakukan selama beberapa periode waktu tertentu, setlah perekrutan karyawan
yang betujuan untuk orientasi dan penempatan posisi kerja yang tepat (Campion et al,
1994 dalam Setiawan, 2011).
Perusahaan atau suatu instansi dalam mengurangi atau menghilangkan kejenuhan
dan kebosanan para karyawan dalam pekerjaan sering melakukan rotasi kerja kepada para
karyawan yang bertujuan seperti dinyatakan oleh Kaymaz (2010) akan mengurangi
kebosanan, mempersiapkan karyawan untuk sistem manajemen yang lebih baik,
meningkatkan produktivitas dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan.
12
Rotasi kerja bisa berdampak secara positif dan negatif. Rotasi mempunyai dampak
mampu memberikan kontribusi terhadap kepuasan kerja dan peningkatan kinerja pegawai
Rumah Sakit (Kristin, 2010 dalam Pracoyo dkk, 2013) serta menghilangkan kebosanan
dari pekerjaan yang selama ini mereka jalani (Budi Santosa, 2012 dalam Pracoyo dkk,
2013). Sedangkan sisi negatifnya menurut Mansur (2009) rotasi kerja nukan tanpa cacat,
karena biaya pelatihan akan meningkat, produktivitas akan menurun karena
memindahkan karyawan pada posisi baru, adanya penyesuaian diri lagi karena adanya
karyawan baru dalam sebuah kelompok.
Rotasi kerja dapat dilakukan oleh instansi secara teratur tujuannya agar dapat
meningkatkan kinerja perawat. Rotasi kerja merupakan bagian dari manajemen kinerja
yaitu suatu cara untuk mendapatkan diri lagi karena adanya karyawan baru dalam sebuah
kelompok.
Rotasi kerja dapat dilakukan oleh instansi secara teratur tujuannya agar dapat
meningkatkan kinerja perawat. Rotasi kerja merupakan bagian dari manajemen kinerja
yaitu suatu cara untuk mendapatkan hasil yang lebih baik bagi organisasi, kelompok dan
individu dengan memahami dan mengelola kinerja sesuai dengan target yang telah
direncanakan, standar dan persyaratan kompetensi yang telah ditentukan (Surya, 2013
dalam Pracoyo dkk, 2013).
Sebagai bagian dari alat yang digunakan dalam pelatihan dan pengembangan
karyawan, terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan di dalam menerapkan rotasi
kerja pada perusahaan atau organisasi, meliputi :
1. Adanya pengaturan rotasi kerja secara proaktif sebagai komponen dalam pelaksanaan
pelatihan dan sistem pengembangan karyawan.
2. Pelaksanaan rotasi kerja ini memberikan gambaran yang jelas mengenai jenis
keterampilan yang akan ditingkatkan dengan adanya penempatan karyawan selama
proses rotasi kerja dilakukan.
3. Rotasi kerja dilaksanakan untuk karyawan yang memiliki kebutuhan karir dan dapat
juga diterapkan pada karyawan yang baru saja mulai bekerja dalam perusahaan.
Beberapa organisasi memiliki kecenderungan untuk merotasi karyawan lebih cepat
13
pada saat awal karirnya dan melambat saat karyawan sudah berada pada tahap
jenjang karir akhir. Rotasi pekerjaan merupakan cara yang efektif untuk mencegah
kebutuhan karir dengan mendorong karyawan untuk melakukan pekerjaannya
dengan lebih baik.
4. Rotasi kerja dilakukan sebagai sarana untuk pengembangan karir dengan tidak
adanya keharusan bagi karyawan tersebut untuk memperoleh promosi.
5. Pemberian perhatian khusus mengenai rencana pelaksanaan rotasi pekerjaan untuk
karyawan wanita dan minoritas.
6. Rotasi kerja dilakanakan dengan memindahkan karyawan ke bagian atau divisi yang
membantu proses perencanaan pengembangan karir, sehingga karyawan mengetahui
hal-hal yang harus dikembangkan berhubungan dengan tugas yang dilaksanakannya
dalam setiap pekerjaan. Laju rotasi kerja harus diatur berdasarkan waktu yang
dibutuhkan untuk mencapai tujuan dari pekerjaan dan waktu yang dibutuhkan bagi
karyawan untuk dapat memperoleh manfaat adanya pengembangan dari pekerjaan
yang dilaksanakannya (Cheraskin and Campoin, 1996 dalam Pracoyo, 2013).
Menurut Robbins & Judge (2008) kelebihan dari rotasi pekerjaan adalah mampu
mengurangi rasa bosan, meningkatkan motivasi melalui pembuatan variasi untuk
aktivitas-aktivitas karyawan, dan membantukaryawan memahami dengan lebih baik
bagaimana pekerjaan mereka memberikan kontribusi terhadap organisasi. Selain itu,
adanya rotasi ini dapat memberikan manfaat tidak langsung untuk organisasi sendiri.
Adapun menfaat yang dapat diperoleh seperti adanya peningkatan keterampilan karyawan
sehingga memberi manajemen lebih banyak fleksibilitas dalam merrencanakan pekerjaan,
menyesuaikan diri dengan perubahan dan mengisi lowongan-lowongan. Di samping
kelebihan-kelebihan yang telah dipaparkan di atas, rotasi pekerjaan ini juga mempunyai
kekurangan. Biaya pelatihan dapat meningkat dan produktivitas berkurang dengan
adanya pemindahan seorang pekerja ke posisi baru ketika efisiensi di pekerjaan yang
sebelumnya menghasilkan penghematan organisasional. Rotasi pekerjaan juga
meningkatkan gangguan karena anggota-anggota kelompok kerja harus menyesuaikan
diri dengan karyawan baru.
14
Rotasi pekerjaan dapat memperluas pengalaman karyawan dalam bekerja.
Semakin sering karyawan dipindahkan tempat kerjanya, semakin banyak pengalaman
yang diperolehnya. Keuntungan lain yang dapat diperoleh adalah perusahaan dapat
mempelajari karyawan dengan menilai kinerja dari pekerjaan yang dilakukannya. Selain
itu, rotasi ini dapat memotivasi karyawan khususnya yang lelah dalam menjalankan
rutinitas tugas yang sama (Erikson & Ortega, 2001 dalam Setiawan, 2011). Menurut
Campion et al (1994) dalam Setiawan (2011) rotasi pekerjaan dapat eningkatkan
keterampilan dan pengetahuan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukannya,
karyawan dapat menerima 17 sampai 19 pengetahuan dan keterampilan bisnis. Rotasi
pekerjaan ini dapat meningkatkan kepuasan dan motivasi karyawan karena adanya
manfaat berupa pengembangan aktivitas dan promosi yang mungkin diperoleh oleh
karyawan.
Adanya rotasi pekerjaan memungkinkan karyawan untuk mencakup berbagai
aspek bisnis dalam waktu singkat. Selanjutnya memungkinkan terjadinya akulturasi
karyawan ke dalam budaya dan bisnis organisasi. Metode ini membantu karyawan untuk
mempelajari berbagai aspek tentang bisnis dan memungkinkan karyawan baru untuk
berkenalan dengan lebih banyak orang di dalam organisasi. Beberapa manfaat yang dapat
diperoleh dari rotasi pekerjaan ini adalah meningkatkan motivasi intrinsik
karyawan,meningkatkan produktivitas, fleksibilitas, pengalaman kerja dan meningkatkan
kemampuan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi selama bekerja (Maxwell,
2008 dalam Setiawan, 2011).
2.1.2 Kecerdasan Emosional
Konsep kecerdasan emosional pertama kali berasal dari konsep kecerdasan sosial
yang dikembangkan pada tahun 1920 oleh Thordike pada tahun 1920 dengan membagi 3
bidang kecerdasan yaitu kecerdasan abstrak (seperti kemampuan memahami dan
memanipulasi simbol verbal dan matematika), kecerdasan konkret seperti kemampuan
memahami dan memanipulasi objek dan kecerdasan sosial seperti kemampuan
berpengaruh dengan orang lain. Sedangkan untuk teori tentang kecerdasan emosi
15
dikembangkan pertama kali pada tahun 1970-an dan 80-an dengan karya dan tulisan-
tulisan dari psikolog Howard Gardner (Harvard).
Kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk menggunakan emosi secara
efektif dalam mengelola diri sendiri dan mempengaruhi hubungan dengan orang lain
secara positif. Menurut Peter Salovey & John Maye (1999) dalam Jachja (2012)
kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk merasakan emosi dengan baik, menerima
dan adanya pengatahuan emosional sehingga dapat meningkatkan perkembangan emosi.
Kecerdasan emosional merupakan seperangkat keterampilan, sikap, kemampuan dan
kompetensi yang membedakan perilaku, reaksi, pikiran, peniruan dan gaya komunikasi
seseorang (Dhingra et al, 2005 dalam Jachja, 2012).
Kecerdasan emosional jugadiartikan oleh beberapa pakar antara lain menurut
Goleman (1999) dalam Jachja (2012) yang megatakan bahwa kecerdasan emosi adalah
kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan
memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri
dan dalam berhubungan dengan orang lain. Sedangkan menurut Cooper dan Sawaf
(1998( dalam Jachja (2012) kecerdasan emosi adalah kemampuan merasakan, memahami
dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi,
informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi. Sedangkan menurut Salovey dan
Mayer (1999) dalam Jachja (2012) bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan
memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta mengunakan
perasaan sendiri dan orang lain kemudian mengunakan perasaan-perasaan itu untuk
memadu pikiran dan tindakan. Menurut Ginanjar (2003) dalam Jachja (2012)
menyebutkan tentang kecerdasan emosional sebagai sebuah kemampuan untuk
mendengarkan bisikan emosi dan menjadikannya sebagai sumber informasi maha penting
untuk memahami diri sendiri dan orang lain demi mencapai sebuah tujuan. Dan menurut
Silalahi (2005) dalam Jachja (2012) kecerdasan emosional sebagai kemampuan seseorang
mengendalikan emosinya saat menghadapi situasi yang menyenangkan maupun
menyakitkan. Dari beberapa pengertian diatas dapat diartikan bahwa kecerdasan emosi
adalah suatu kemampuan seseorang dalam mengelola emosi dan perasaannya secara tepat
dan efektif untuk berhubungan atau bekerjasama dengan orang lain, untuk mencapai
16
suatu tujuan. Seseorang yang EQ nya rendah biasanya dirincikan pertama, jika bicara
cenderung menyakitkan dan menyalahkan pihak lain sehingga persoalan pokok bergeser
oleh petengkaran ego pribadi, dan kemudian persoalan tidak selesai bahkan bertambah.
Kedua, rendahnya motivasi intrinsik anak buah untuk meraih prestasi karena tidak
mendapat dorongan dan apresiasi dari atasan. Menurut Silalahi (2005) dalam Jachja
(2012) kecerdasan intelektual bukan faktor dominan dalam keberhasilan seseorang
terutama dalam dunia bisnis maupun sosial. Banyak sarjana yang cerdas dan saat kuliah
selalu bintang kelas, namun ketika masuk dunia kerja menjadi anak buah teman
sekelasnya yang prestasi akademisnya pas-pasan. EQ tinggi akan membantu seseorang
dalam membangun relasi sosial dalam lingkungan keluarga, kantor, bisnis maupun sosial.
Emotional Quotient mempunyai kerangka kerja yang berfungsi untuk mengukur
EQ seseorang atau diri kita sendiri dalam kehidupan kita sehari-hari. Goleman (1999)
dalam Jachja (2012) merancang kerangka kerja EQ yang terdiri dari lima unsur, yaitu :
(a) kesadaran diri, terdiri dari : kesadaran emosi, penilaian secara teliti dan percaya diri,
(b) pengaturan diri, terdiri dari : pengendalian diri, dapat dipercaya, adaptif dan inovatif,
(c) motivasi, terdiri dari : dorongan prestasi, komitmen, inisiatif dan optimisme, (d)
empati, terdiri dari : memahami orang lain, orientasi pelayanan, mengembangkan orang
lain, mengatasi keragaman dan kesadaran politis, (e) keterampilan sosial, terdiri dari :
pengaruh, komunikasi, kepemimpinan, katalisator perubahan, manajemen konflik,
pengikat jaringan kolaborasi dan kooperasi serta kerjasama tim. Emotional Intelligence
(EQ) atau kecerdasan emosional seseorang dapat dikembangkan lebih baik, lebih
menantang dan lebih prospek dibanding IQ.
Kecerdasan emosi dapat diukur dari beberapa aspek yang ada, Goleman (2001)
dalam Jachja (2012) mengemukakan ada 5 aktivitas utama dalam kecerdasan eosi, yaitu
a. Self Awareness yaitu kemampuan seseorang mengatahui perasaan dalam dirinya dan
efeknya serta menggunakannya untuk membuat keputusan . Bagi diri sendiri hal ini
akan memiliki tolak ukur yang realistis dan mempunyai kepercayaan diri yang kuat
tanpa harus melanggar norma dan etika yang ada.
17
b. Self Management adalah kemampuan menangani emosinya sendiri, mengekspresikan
serta mengendalikan emosi dan yang utama adalah memilki kepekaan terhadap kata
hati untuk digunakan dalam hubungan dan tindakan sehari-hari
c. Motivation yaitu kemampuan menggunakan hasrat untuk setiap saat dapat
membangkitkan semangat dan tenaga untuk mencapai kemajuan yang lebih baik
serta mampu mengambil inisiatif, bertindak efektif, mampu bertahan menghadapi
kegagalan dan menghindari frustasi.
d. Empati (Social Awareness) adalah merasakan apa yang dirasakan orang lain dan
mampu memahami perspektif serta menimbulkan hubungan saling percaya,
meyelaraskan diri dengan berbagai tipe individu
e. Relationship Management merupakan kemampuan menangani emosi dengan baik
ketika berhubungan dengan orang lain dan mampu menciptakan serta
mempertahankan hubungan dengan orang lain, bisa memimpin, bermusyawarah,
menyelesaikan perselisihan dan bekerja sama dalam tim. Sehingga kecerdasan emosi
merupakan kemampuan untuk menggunakan emosi secara efektif dalam mengelola
diri sendiri dan berhubungan dengan orang lain secara positif.
Paradigma yang membahas mengenai kecerdasan emosional dengan berbagai
model pengukurannya sering digunakan serta menjadi acuan dalam penelitian mengenai
kecerdasan emosional yang dikembangkan oleh Mayer dan Solovey (1997) dengan
emotional ability yang mendefinisikan bahwa kecerdasan emosinal sebagai bagian dari
kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan untuk memonitor perasaan sendiri dan
orang lain dan emosi, untuk membedakan antara mereka dan mengunakan informasi ini
untuk membimbing pemikiran seseorang dan tindakan dengan alat ukur kecerdasan
emosionalnya yang disebut MSCEIT. Paradigma kecerdasan emosional selanjutnya yang
dikembangkan oleh Goleman dengan emotional competence, dimana kecerdasan
emosional didefinisikan sebagai kompetensi yang merupakan kesadaran diri, self
management, kesadaran sosial dan keterampilan sosial pada waktu dan cara yang tepat
dalam frekuensi yang cukup efektif dalam situasi dengan menggunakan alat ukur
Emotional Competency Inventiry (ECI).
18
2.1.3 Kompetensi
Kompetensi adalah suatu kemampuan untuk melaksanakan atau melakukan suatu
pekerjaan atau tugas yang dilandasi atas keterampilan dan pengetahuan serta didukung
oleh sikap kerja yang dituntut oleh pekerjaan tersebut. Kompetensi sebagai kemampuan
seseorang untuk menghasilkan pada tingkat yang memuaskan di tempat kerja, juga
menunjukkan karakteristik pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki atau dibutuhkan
oleh setiap individu yang memampukan mereka untuk melakukan tugas dan tanggung
jawab mereka secara efektif dan meningkatkan standar kualitas professional dalam
pekerjaan. Ada dua istilah yang muncul dari dua aliran yang berbeda tentang konsep
kesesuaian dalam pekerjaan. Istilah tersebut adalah ”Competency” (kompetensi) yaitu
deskripsi mengenai perilaku, dan “Competence” (kecakapan) yang merupakan deskripsi
tugas atau hasil pekerjaan. (Palan, 2007:5) Walau perbedaan arti kedua istilah tersebut
diterima secara umum, namun penggunaannya masih sering dipertukarkan, yang
menyebabkan setiap orang memiliki pengertian yang berbeda-beda. Umumnya orang
menggunakan istilah kompetensi dan sejenisnya menciptakan pengertian sendiri sesuai
dengan kepentingannya.
Komentar Zamkee (1982) yang dikutip oleh Palan (2007:6) mengatakan bahwa
“Kompetensi (competence), model kompetensi dan pelatihan berbasis kompetensi
merupakan kata yang bisa diartikan beragam mengikuti pendefinisiannya. Perbedaan
makna tersebut bukan berasal dari kebodohan atau ketamakan pasar, tapi dari beberapa
prosedur mendasar dan perbedaan filosofis diantara mereka yang berlomba untuk
mendefinisikan dan membentuk konsep tersebut dan menetapkan model bagi kita yang
akan menggunakan kompetensi dalam upaya sehari-hari. Konsep kompetensi berawal
dari artikel David McClelland yang mengegerkan, “Testing for competence rather than
intelligence”. Artikel tersebut meluncurkan gerakan kompetensi dalam psikologi
industrial. David McClelland menyimpulkan, berdasarkan hasil penelitian, bahwa tes
kecakapan akademis tradisional dan pengetahuan isi, serta nilai dan ijazah sekolah; (1)
tidak dapat memprediksi keberhasilan di pekerjaan/kehidupan, (2) biasanya bias terhadap
masyarakat yang sosial ekonomi rendah.
19
Kesimpulan ini membuat David Mc Clelland bertanya-tanya, apabila bukan
kecerdasan, apa yang dapat memprediksi keberhasilan pekerjaan/kehidupan, maka ia
mulai mencari metode penelitian untuk mengindentifikasi variabel kompetensi yang bisa
memprediksi kinerja karyawan dan tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti ekonomi,
sosial atau ras. David Mc Clelland menggunakan sampel kriteria (criterion 12 sample),
sebuah metode yang membandingkan antara orang sukses dengan orang yang kurang
sukses dengan tujuan untuk mengidentifikasi karakteristik yang berkaitan dengan
kesuksesan. Karakteristik-karakteristik atau kompetensi-kompetensi ini, ketika muncul
dan dipertunjukkan secara konsisten, mengarah pada kesuksesan hasil kerja. Hal ini pula
yang menyebabkan beragamnya definisi kompetensi. Spencer dan Spencer (dalam Palan,
2007:6), mengemukakan bahwa kompetensi merujuk kepada karakteristik yang
mendasari perilaku yang menggambarkan motif, karakteristik pribadi (ciri khas), konsep
diri, nilai-nilai, pengetahuan atau keahlian yang dibawa seseorang yang berkinerja unggul
(superior performer) di tempat kerja.
Selanjutnya, Spencer dan Spencer (dalam Palan, 2007:6), menguraikan lima
karakteristik yang membentuk kompetensi, sebagai berikut: 1. Pengetahuan; merujuk
pada informasi dan hasil pembelajaran. 2. Keterampilan; merujuk pada kemampuan
seseorang untuk melakukan suatu kegiatan. 3. Konsep diri dan nilai-nilai; merujuk pada
sikap, nilai-nilai dan citra diri seseorang, seperti kepercayaan seseorang bahwa dia bisa
berhasil dalam suatu situasi. 4. Karakteristik pribadi; merujuk pada karakteristik fisik dan
konsistensi tanggapan terhadap situasi atau informasi, seperti pengendalian diri dan
kemampuan untuk tetap tenang dibawah tekanan. 5. Motif; merupakan emosi, hasrat,
kebutuhan psikologis atau dorongan-dorongan lain yang memicu tindakan. Karakteristik
kompetensi dibedakan berdasarkan pada tingkat mana kompetensi tersebut dapat
diajarkan. Keahlian dan pengetahuan biasanya dikelompokkan sebagai kompetisi di
permukaan sehingga mudah tampak. Kompetisi ini biasanya mudah untuk dikembangkan
dan tidak memerlukan biaya pelatihan yang besar untuk menguasainya. Kompetensi
konsep diri, karakteristik pribadi dan motif sifatnya tersebunyi dan karena itu lebih sulit
untuk dikembangkan atau dinilai.
20
Untuk mengubah motif dan karakteristik pribadi masih dapat dilakukan, namun
prosesnya panjang, sulit dan mahal. Cara yang paling hemat bagi organisasi untuk
memiliki kompetensi ini adalah melalui proses seleksi karakter. Berikut ini akan
diuraikan secara rinci masing-masing karakteristik kompetensi sebagaimana yang
dikemukakan oleh Spencer dan Spencer (1993), sebagai berikut : 1. Pengetahuan
Pengetahuan pegawai turut menentukan berhasil tidaknya pelaksanaan tugas yang
dibebankan kepadanya, pegawai yang mempunyai pengetahuan yang cukup akan
meningkatkan efisiensi perusahaan. Namun bagi pegawai yang belum mempunyai
pengetahuan cukup, maka akan bekerja tersendat-sendat. Pemborosan bahan, waktu dan
tenaga serta faktor produksi yang lain akan diperbuat oleh pegawai berpengetahuan
kurang. Pemborosan ini akan mempertinggi biaya dalam pencapaian tujuan organisasi.
Menurut Spencer dan Spencer (1993), dikutip oleh Sutoto (2004), cluster pengetahuan
meliputi kompetensi analytical thinking (AT), 14 conceptual thinking (CT),
technical/professional/managerial expertise (EXP) a. Analytical thinking (AT) adalah
kemampuan memahami situasi dengan merincinya menjadi bagian-bagian kecil, atau
melihat implikasi sebuah situasi secara rinci. Pada intinya, kompetensi ini memungkinkan
seseorang berpikir secara analitis atau sistematis terhadap sesuatu yang kompleks. b.
Conceptual thinking (CT) adalah memahami sebuah situasi atau masalah dengan
menempatkan setiap bagian menjadi satu kesatuan untuk mendapatkan gambar yang lebih
besar. Termasuk kemampuan mengidentifikasi pola atau hubungan antar situasi yang
tidak secara jelas terkait; mengidentifikasi isu mendasar atau kunci dalam situasi yang
kompleks. CT bersifat kreatif, konsepsional, atau induktif. c. Expertise (EXP) termasuk
pengetahuan terkait pada pekerjaan (bisa teknikal, profesional, atau manajerial), dan juga
motivasi untuk memperluas, memanfaatkan, dan mendistribusikan pengetahuan tersebut.
2. Keterampilan Pegawai yang mempunyai kemampuan kerja yang baik, maka akan
mempercepat pencapaian tujuan organisasi, sebaliknya pegawai yang tidak terampil. akan
memperlambat tujuan organisasi. Untuk pegawaipegawai baru atau pegawai dengan tugas
baru diperlukan tambahan kemampuan guna pelaksanaan tugas-tugas yang dibebankan
kepadanya.
Menurut Spencer dan Spencer (1993), dikutip oleh Sutoto (2004), cluster keterampilan
meliputi kompetensi concern for order (CO), initiative (INT), impact and influence
21
(IMP), dan information seeking (INFO). a. Concern for order (CO) merupakan dorongan
dalam diri seseorang untuk mengurangi ketidakpastian di lingkungan sekitarnya,
khususnya berkaitan dengan pengaturan kerja, instruksi, informasi dan data. b. Initiative
(INT) merupakan dorongan bertindak untuk melebihi yang dibutuhkan atau yang dituntut
dari pekerjaan, melakukan sesuatu tanpa menunggu perintah lebih dahulu. Tindakan ini
dilakukan untuk memperbaiki atau meningkatkan hasil pekerjaan atau menghindari
timbulnya masalah atau menciptakan peluang baru. c. Impact and influence (IMP)
merupakan tindakan membujuk, mehyakinkan, mempengaruhi atau mengesankan
sehingga orang lain mau mendukung agendanya. d. Information seeking (INFO)
merupakan besarnya usaha tambahan yang dikeluarkan untuk mengumpulkan informasi
lebih banyak. 3. Konsep Diri dan Nilai-nilai Konsep diri dan nilai-nilai merujuk pada
sikap. Disamping pengetahuan dan ketrampilan pegawai, hal yang perlu diperhatikan
adalah sikap atau perilaku kerja pegawai. Apabiia pegawai mempunyai sifat yang
mendukung pencapaian tujuan organisasi, maka secara otomatis segala tugas yang
dibebankan kepadanya akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Menurut Spencer dan Spencer (1993), dikutip oleh Sutoto (2004), cluster ini
mencakup kompetensi developing others (DEV), directiveness: assertiveness and use of
positional power (DIR), teamwork and cooperation (TW), team leadership (TL),
interpersonal understanding (IU), dan customer service orientation (CSO). a. Developing
others (DEV) adalah versi khusus dari impact and influence, berupa kemauan untuk
mengembangkan orang lain. Esensi dari kompetensi ini terletak pada kemauan serius
untuk mengembangkan orang lain dan dampaknya ketimbang sebuah peran formal. Bisa
dengan mengirim orang ke program training secara rutin untuk memenuhi kebutuhan
pekerjaan dan perusahaan. Cara lain adalah dengan bekerja untuk mengembangkan para
kolega, klien, bahkan atasan. b. Directiveness assertiveness and use of positional power
(DIR) mencerminkan kemauan untuk membuat orang lain selaras dengan keinginannya.
Di sini sang pemimpin menceritakan apa yang harus dilakukan. c. Teamwork and
cooperation (TW) berarti kemauan sungguh-sungguh untuk bekerja secara kooperatif
dengan pihak lain, menjadi bagian sebuah tim, bekerja bersama sehingga menjadi lebih
kompetitif. d. Team leadership (TL) adalah kemauan untuk berperan sebagai pemimpin
tim atau kelompok lain. Jadi berkaitan dengan keinginan 17 untuk memimpin orang lain.
22
TL lazimnya terlihat dalam posisi otoritas formal. e. Interpersonal understanding (IU)
merupakan kemampuan untuk memahami dan mendengarkan hal-hal yang tidak
diungkapkan dengan perkataan, bisa berupa pemahaman atas perasaan, keinginan atau
pemikiran orang lain. f. Customer service orientation (CSO) merupakan keinginan untuk
menolong atau melayani pelanggan atau orang lain. Pelanggan adalah pelanggan aktual
atau pelanggan akhir dari organisasi yang sama. 4. Karakteristik Pribadi Karakteristik
pribadi merupakan cerminan bagaimana seorang pegawai mampu/tidak mampu
melakukan suatu aktivitas dan tugas secara mudah/sulit dan sukses/tidak pernah sukses.
Menurut Spencer dan Spencer (1993), dikutip oleh Sutoto (2004), cluster ini
mencakup kompetensi self control (SCT), self confidence (SCF), flexibility (FLX), dan
organizational commitment (OC). a. Self control (SCT) merupakan kemampuan untuk
mengendalikan emosi diri sehingga mencegah untuk melakukan tindakan-tindakan yang
negatif pada saat ada cobaan, khususnya ketika menghadapi tantangan atau penolakan
dari orang lain atau pada saat bekerja dibawah tekanan. b. Self confidence (SCF)
merupakan keyakinan seseorang pada kemampuan diri sendiri untuk menyelesaikan suatu
tugas atau tantangan. c. Flexibility (FLX) merupakan kemampuan menyesuaikan diri dan
bekerja secara efektif pada berbagai situasi, dengan berbagai rekan 18 atau kelompok
yang berbeda; kemampuan untuk memahami dan menghargai perbedaan dan pandangan
yang bertentangan atas suatu isu. d. Organizational commitment (OC) merupakan
kemampuan dan kemauan seseorang untuk mengaitkan apa yang diperbuat dengan
kebutuhan, prioritas dan tujuan organisasi; berbuat sesuatu untuk mempromosikan tujuan
organisasi atau untuk memenuhi kebutuhan organisasi; dan menempatkan misi organisasi
diatas keinginan diri sendiri atau peran profesionalnya. 5. Motif Motif adalah kekuatan
pendorong yang akan mewujudkan suatu perilaku guna mencapai tujuan kepuasan
dirinya. Menurut Spencer dan Spencer (1993), dikutip oleh Sutoto (2004), Cluster ini
mencakup organizational awareness (OA), relationship building (RB), dan achievement
orientation (ACH) a. Organizational awareness (OA) merupakan kemampuan untuk
memahami hubungan kekuasan atau posisi dalam organisasi. b. Relationship building
(RB) merupakan besarnya usaha untuk menjalin dan membina hubungan sosial atau
jaringan hubungan sosial agar tetap hangat dan akrab. c. Achievement orientation (ACH)
merupakan derajat kepedulian seorang pegawai terhadap pekerjaannya, sehingga
23
terdorong berusaha untuk bekerja lebih baik atau di atas merupakan derajat kepedulian
seorang pegawai terhadap standar. Penelitian ini hanya akan mengkaji konsep kompetensi
dari aspek pengetahuan, keterampilan, konsep diri, dan karakteristik pribadi.
Pengetahuan dan keterampilan biasanya dikelompokkan sebagai kompetensi yang
nampak dipermukaan sehingga mudah dilihat dan dinilai. Kompetensi ini biasanya
mudah untuk dikembangkan dan tidak memerlukan biaya pelatihan yang besar untuk
menguasainya. Kompetensi konsep diri dan karakteristik pribadi sifatnya tersebunyi tapi
masih dapat diamati melalui sikap dan prilaku yang terlihat sehari-hari. Sedangkan aspek
motivasi tidak diteliti karena disamping sifatnya tersebunyi di dalam hati seseorang,
motivasi juga lebih sulit untuk dikembangkan atau dinilai. Untuk mengubah motif
memang masih dapat dilakukan, namun prosesnya panjang, sulit dan mahal. Mengingat
terbatasnya waktu penelitian, maka peneliti menetapkan bahwa aspek motivasi tidak
diteliti. Palan (2007:6) mengatakan bahwa kompetensi terdiri dari beberapa jenis
karakteristik yang berbeda, yang mendorong perilaku. Pondasi karakteristik ini terbukti
dalam cara seseorang berperilaku di tempat kerja. Kompetensi adalah mengenai orang
seperti apa dan apa yang dapat mereka lakukan, bukan apa yang mungkin mereka
lakukan. Kompetensi ditemukan pada orang-orang yang diklasifikasikan sebagai
berkinerja unggul atau efektif. Murgiyono (2002:11), mengemukakan bahwa bagaimana
mengetahui, mengukur, dan mengembangkan kompetensi untuk membina PNS yang
profesional, bertanggung jawab, jujur dan adil. Manajemen PNS berbasis kompetensi
harus didasarkan pada pengertian dan pemahaman secara jelas mengenai kompetensi
yang dibutuhkan, untuk memberikan gambaran secara rinci tentang kekuatan dan
kelemahan yang dimiliki PNS. Secara konseptual, Pribadi (dalam Murgiyono, 2002:15),
mengemukakan bahwa: 20 Kompetensi adalah hal-hal yang mampu dilakukan seseorang.
Dalam pengertian ini mencakup tiga hal, yaitu: (1) atribut-atribut positif pemegang
jabatan, (2) jabatan itu dijalankan dengan hasil efektif atau superior, dan (3) perilaku
pemegang jabatan. Amstrong dan Baron (1998:298), mengatakan bahwa “competency is
some time defined as referring to the dimensions of behavior that lie behind competen
performance”. (kadang-kadang terbentuk sebagai dimensi-dimensi perilaku dan tingkah
laku yang terletak dari kompetensi kinerja).
24
Prayitno dan Suprapto (2002:2), mengatakan bahwa standar kompetensi adalah
spesifikasi atau sesuatu yang dilakukan, memuat persyaratan minimal yang harus dimiliki
seseorang yang akan melakukan pekerjaan tertentu agar bersangkutan mempunyai
kemampuan melaksanakan pekerjaan dengan hasil baik. Suprapto (2002:3), mengatakan
bahwa: Kompetensi adalah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seorang PNS
berupa pengetahuan, keahlian dan sikap perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan
tugas jabatannya. Lasmahadi dalam Prayitno dan Suprapto (2002:2), mengatakan bahwa
kompetensi didefinisikan sebagai aspek pribadi dari seorang pegawai yang
memungkinkan dia untuk mencapai kinerja yang superior. Aspek-aspek pribadi termasuk
sifat, motif-motif, sistem nilai, sikap pengetahuan, dan keterampilan. Kompetensi-
kompetensi akan mengarahkan tingkah laku, sedangkan tingkah laku akan menghasilkan
kinerja. Mitrani (1995:21), mengatakan bahwa kompetensi adalah suatu sifat dasar
seseorang yang dengan sendirinya berkaitan dengan pelaksanaan suatu pekerjaan secara
efektif atau sangat berhasil. 21 Kompetensi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
100 Tahun 2000, adalah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seorang PNS
berupa pengetahuan, keterampilan dan atau sikap perilaku yang diperlukan dalam
pelaksanaan tugas jabatannya. Spencer dan Spencer dalam Ruky (2004: 106) menjelaskan
bahwa kompetensi dalam kaitannya dengan unjuk kerja dapat digolongkan dalam 2(dua)
jenis, yaitu : a. Kompetensi ambang (threshold competencies), yaitu kriteria minimal dan
esensial yang dibutuhkan/di tuntut dari sebuah jabatan dan harus bisa di penuhi oleh
setiap pemegang jabatan tersebut untuk dapat bekerja menjalankan pekerjaan tersebut
secara efektif b. Kompetensi pembeda (differentiating competencies), yaitu kriteria yang
dapat membedakan antara orang yang selalu mencapai unjuk kerja superior dan orang
yang unjuk kerjanya rata-rata saja.
Sedangkan, Covey, Roger dan Merrill dalam Mangkunegara (2005:112) mengatakan
bahwa kompetensi mencakup: a. Kompetensi teknis: pengetahuan dan keahlian untuk
mencapai hasil-hasil yang telah disepakati, kemampuan untuk memikirkan persoalan dan
mencari alternatif-alternatif baru. b. Kompetensi konseptual: kemampuan untuk melihat
gambar besar, untuk menguji berbagai pengandaian dan pengubah perspektif. c.
Kompetensi untuk hidup dalam saling ketergantungan kemampuan secara efektif dengan
orang lain, termasuk kemampuan untuk mendengar, berkomunikasi, mendapat alternatif
25
ketiga, menciptakan kesepakatan menang-menang, dan berusaha mencapai solusi
alternatif ketiga, kemampuan untuk melihat dan beroperasi secara efektif dalam
organisasi atau sistem yang utuh. Michael Zwell 2000:25 (dalam Wibowo, 2007:93)
memberikan lima kategori kompetensi, yang terdiri dari task achievement, relationship,
personal attribute, managerial, dan leadership. 1. Task achievement merupakan kategori
kompetensi yang berhubungan dengan kinerja baik. Kompetensi yang berkaitan dengan
task achievement ditunjukkan oleh: orientasi pada hasil, mengelola kinerja, mepengaruhi,
inisiatif, efisensi produksi, fleksibilitas, inovasi, peduli kepada kualitas, perbaikan
berkelanjutan, dan keahlian teknis. 2. Relationship merupakan kategori kompetensi yang
berhubungan dengan komunikasi dan bekerja baik dengan orang lain dan memuaskan
kebutuhannya. Kompetensi yang berhubungan dengan relationship meliputi: kerja sama,
orientasi pada pelayanan, kepedulian antar pribadi, kecerdasan organisasional,
membangun hubungan, penyelesaian konflik, perhatian pada komunikasi dan sensitivitas
lintas budaya. 3. Personal attribute merupakan kompetensi intrinsic individu dan
menghubungkan bagaimana orang berpikir, merasa, belajar dan berkembang. Personal
attribute merupakan kompetensi yang meliputi: integritas dan kejujuran, pengembangan
diri, ketegasan, kualitas keputusan, manajemen stress, berpikir analitis, dan berpikir
konseptual. 4. Managerial merupakan kompetensi yang secara spesifik berkaitan dengan
pengelolaan, pengawasan dan mengembangkan orang. 23 Kompetensi manajerial berupa:
memotivasi, memberdayakan, dan mengembangkan orang lain. 5. Leadership merupakan
kompetensi yang berhubungan dengan memimpin organisasi dan orang untuk mencapai
maksud, visi, dan tujuan organisasi. Kompetensi berkenaan dengan leadership meliputi:
kepemimpinan visioner, berpikir strategis, orientasi kewirausahaan, manajemen
perubahan, membangun komitmen organisasional, membangun focus dan maksud. Setiap
kompetensi tampak pada individu pada berbagai tingkatan. Kompetensi termasuk
karakteristik manusia yang paling dalam seperti motif, sifat dan sikap atau merupakan
karakteristik yang dengan mudah dapat diamati seperti keterampilan atau pengetahuan.
Adanya tingkat kompetensi dikemukakan oleh spencer dan spencer 1993:11 (dalam
Wibowo, 2007: 95) seperti gunung es dimana ada yag tampak dipermukaan, tetapi ada
pula yang tidak terlihat dipermukaan.
26
Tingkatan kompetensi dapat dikelompokkan dalam tiga tingkatan, yaitu: behavior
tools, image attribute, dan personal characteristic. 1. Behavioral Tools. a. Knowledge
merupakan informasi yang digunakan orang dalam bidang tertentu. b. Skill merupakan
kemampuan orang untuk melakukan sesuatu dengan baik. 24 2. Image Attribute. a. Social
role merupakan pola perilaku orang yang diperkuat oleh kelompok social atau organisasi.
b. Self Image merupakan pandangan orang terhadap dirinya sendiri, identitas,
kepribadian, dan harga dirinya. 3. Personal Characteristic. a. Traits merupakan aspek
tipikal berperilaku. b. Motive merupakan apa yang mendorong perilaku seseorang dalam
bidang tertentu (prestasi, afiliasi, kekuasaan). Spencer dan Spencer dalam Mitrani
(1995:40-43), ciri-ciri yang perlu dimiliki orang-orang untuk bekerja dalam organisasi-
organisasi baru, baik untuk para eksekutif, manajer dan karyawan sebagai berikut : a.
Eksekutif : 1) Pemikiran strategis. Untuk memahami kecenderungan (trends) lingkungan
yang cepat berubah, kekuatan serta kelemahan organisasi sendiri, supaya dapat
menemukan tanggapan strategis yang terbaik. 2) Kepemimpinan perubahan (change
leadership). Untuk mengkomunikasikan pandangan mengenai strategi organisasi
sehingga dapat membangkitkan motivasi dan komitmen mereka yang tulus dan
memanfaatkan SDM organisasi sebaik-baiknya untuk melaksanakan perubahan yang
terjadi. 3) Mengenai hubungan (relationship management). Untuk membina hubungan
dengan pihak lain yang kerja-samanya diperlukan demi keberhasilan organisasi. b.
Manajer 1) Keluwesan. Untuk mengubah struktur dan proses-proses manajerial bila
diperlukan, untuk melaksanakan strategi perubahan organisasi. 2) Pelaksanaan
perubahan. Untuk mengkomunikasikan kebutuhan perubahan organisasi kepada sesama
karyawan, dan keterampilanketerampilan manajemen perubahan. 3) Saling pengertian
antar pribadi. Untuk memahami dan menghargai masukan-masukan dari orang-orang
yang berlainan. 4) Memberikan wewenang. Dengan saling berbagi informasi minta
pendapat dari sesama karyawan mengupayakan pengembangan karyawan,
mendelegasikan tanggung jawab yang berarti. 5) Bantuan kelompok. Agar kelompok-
kelompok yang berlainan dapat bekerja-sama secara efektif untuk mencapai tujuan
bersama. 6) Protobilitas. Agar cepat menyesuaikan diri dan berfungsi secara efektif dari
lingkungan-lingkungan asing, seorang manajer harus mudah dipindah kedudukannya
dimanapun berada. c. Karyawan 1) Keluwesan. Untuk memandang perubahan sebagai
27
peluang yang menarik ketimbang suatu ancaman. 2) Selalu mencari informasi, motivasi
dan kemampuan belajar. Merupakan keinginan yang tulus terhadap peluang-peluang
untuk mempelajari keterampilan-keterampilan teknis dan hubungan antar pribadi baru 3)
Motivasi untuk berprestasi. Merupakan pendorong bagi inovasi, yaitu peningkatan mutu
dan produktivitas terus menerus yang dibutuhkan untuk menghadapi (lebih baik
memimpin) persaingan yang terus meningkat 4) Motivasi kerja di bawah tekanan waktu.
Merupakan gabungan antara keluwesan, motivasi untuk berprestasi, daya tahan terhadap
tekanan, dan komitmen terhadap organisasi, yang memungkinkan seseorang bekerja di
bawah tuntutan akan produk atau jasa-jasa (baru) dalam jangka waktu yang lebih singkat.
5) Kesediaan untuk bekerjasama (coll aborativeness). Dalam kelompok–kelompok
multidisipliner dengan rekan kerja yang berbeda beda, pengharapan positif terhadap
orang lain, saling pengertian antar pribadi, dan komitmen terhadap organisasi. 6)
Orientasi pelayanan pelanggan (customer service orientation) Merupakan keinginan yang
tulus untuk membantu orang lain, saling 27 pengertian antar pribadi yang memadai untuk
mengetahui kebutuhan dan suasana emosional pelanggan, dan cukup inisiatif untuk
mengatasi rintangan-rintangan dalam organisasi sendiri guna memecahkan masalah-
masalah pelanggan. Kompetensi bukan merupakan kemampuan yang tidak dapat
dipengaruhi, Michael Zwell 2000: 56-68 (dalam Wibowo 2007:102) mengungkapkan
bahwa terdapat beberapa factor yang dapat mempengaruhi kecakapan kompetensi
seseorang, yaitu sebagai berikut: 1. Keyakinan dan Nilai-nilai Keyakinan orang tentang
dirinya maupun terhadap orang lain akan sangat mempengaruhi perilaku. Apabila orang
percaya bahwa mereka tidak kreatif dan inovatif, mereka tidak akan berusaha berpikir
tentang cara baru atau berbeda dalam melakukan sesuatu. Untuk itu, setiap orang harus
berpikir positif baik tentang dirinya maupun terhadap orang lain dan menunjukkan ciri
orang yang berpikir kedepan. 2. Keterampilan Keterampilan memainkan peran
dikebanyakan kompetensi. Pengembangan keterampilan yang secara spesifik berkaitan
dengan kompetensi dapat berdampak baik pada budaya organisasi dan kompetensi
individual. 28 3. Pengalaman. Keahlian dari banyak kompetensi memerlukan pengalaman
mengorganisasi orang, komunikasi di hadapan kelompok, menyelesaikan masalah, dsb.
Orang yang pekerjaannya memerlukan sedikit pemikiran strategis kurang
mengembangkan kompetensi daripada mereka yang telah menggunakan pemikiran
28
strategis bertahun-tahun. Pengalaman merupakan elemen kompetensi yang perlu, tetapi
untuk menjadi ahli tidak cukup dengan pengalaman. 4. Karakteristik Kepribadian. Dalam
kepribadian termasuk banyak factor yang diantaranya sulit untuk berubah. Akan tetapi,
kepribadian bukannya sesuatu yang tidak dapat berubah. Kepribadian seseorang dapat
berubah sepanjang waktu. Orang merespons dan berinteraksi dengan kekuatan dan
lingkungan sekitarnya. Kepribadian dapat mempengaruhi keahlian manajer dan pekerja
dalam sejumlah kompetensi, termasuk dalam penyelesaian konflik, menunjukkan
kepedulian interpersonal, kemampuan bekerja dalam tim, memberikan pengaruh dan
membangun hubungan. Walaupun dapat berubah, kepribadian tidak cenderung berubah
dengan mudah. Tidaklah bijaksana untuk mengharapkan orang memperbaiki
kompetensinya dengan mengubah kepribadiannya. 5. Motivasi Merupakan factor dalam
kompetensi yang dapat berubah. Dengan memberikan dorongan, apresiasi terhadap
pekerjaan bawahan, memberikan pengakuan dan perhatian individual dari atasan dapat
mempunyai pengaruh positif terhadap motivasi seorang bawahan. Kompetensi
menyebabkan orientasi bekerja seseorang pada hasil, kemampuan mempengaruhi orang
lain, meningkatnya inisiatif, dsb. Pada gilirannya, peningkatan kompetensi akan
meningkatkan kinerja bawahan dan kontribusinya pada organisasi pun menjadi
meningkat. 6. Isu Emosional Hambatan emosional dapat membatasi penguasaan
kompetensi. Takut membuat kesalahan, menjadi malu, merasa tidak disuai atau tidak
menjadi bagian, semuanya cenderung membatasi motivasi dan inisiatif. Perasaan tentang
kewenangan dapat mempengaruhi kemampuan komunikasi dan menyelesaikan konflik
dengan manajer. Mengatasi pengalaman yang tidak menyenangkan akan memperbaiki
penguasaan dalam banyak kompetensi. Akan tetapi, tidak beralasan mengharapkan
pekerja mengatasi hambatan emosional tanpa bantuan. 7. Kemampuan Intelektual.
Kompetensi tergantung pada pemikiran kognitif seperti pemikiran konseptual dan
pemikiran analitis. Tidak mungkin memperbaiki melalui setiap intervensi yang
diwujudkan suatu organisasi. 8. Budaya Organisasi Budaya organisasi mempengaruhi
kompetensi sumber daya manusia dalam kegiatan sebagai berikut: a. Praktik rekruitmen
dan seleksi karyawan mempertimbangkan siapa diantara pekerja yang dimasukkan dalam
organisasi dan tingkat keahliannya tentang kompetensi. b. Sistem penghargaan
mengkomunikasikan pada pekerja bagaimana organisasi menghargai kompetensi. c.
29
Praktik pengambilan keputusan mempengaruhi kompetensi dalam memberdayakan orang
lain, inisiatif, dan memotivasi orang lain. d. Filosofi organisasi, visi-misi, dan nilai-nilai
berhubungan dengan semua kompetensi. e. Kebiasaan dan prosedur member informasi
kepada pekerja tentang berapa banyak kompetensi yang diharapkan. f. Komitmen pada
pelatihan dan pengembangan mengkomunikasikan pada pekerja tentang pentingnya
kompetensi tentang pembangunan berkelanjutan. g. Proses organisasional yang
mengembangkan pemimpin secara langsung mempengaruhi kompetensi kepemimpinan.
Selanjutnya, Palan (2007:21) mengatakan bahwa ada dua isu yang mendorong organisasi
untuk fokus pada kompetensi, yaitu; 31 1. Isu organisasi, mencakup; a) Perekonomian
dunia ditandai dengan oleh perubahan drastis dan inovasi teknologi. Organisasi harus
selalu meningkatkan kompetensi karyawan mereka agar berprestasi dan sukses. Sekarang
organisasi-organisasi melakukan upaya besar-besaran agar berkinerja unggul, yang hanya
dapat dicapai dengan berinvestasi pada tenaga kerja yang kompeten. b) Aspirasi
organisasi pada sebuah pasar hanya dapat direalisasikan oleh tenaga kerja yang bermulti-
keterampilan (multy skills), mudah berpindah dari pekerjaan yang satu ke pekerjaan yang
lain, dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi. c) Ketidakpuasan terhadap mutu
pendidikan telah mendorong industri melakukan sendiri pendidikan dan pelatihan untuk
memastikan tenaga kerja yang siap pakai. d) Kesamaan pemahaman mengenai
kompetensi dalam organisasi, memungkinkan organisasi memiliki kesamaan bahasa
dalam menjelaskan aktivitasnya. e) Dengan kesamaan pemahaman terhadap pengertian
konsistensi dan efektivitasnya dalam organisasi, organisasi memperoleh keuntungan
berupa konsistensi yang tinggi dalam menilai kinerja karyawan, karena penilaian tersebut
didasarkan pada kompetensi yang dimiliki dan dipahami bersama. f) Akhirnya, gerakan
mutu menuntut organisasi untuk memastikan bahwa karyawan mereka kompeten. 32 g)
Kompetensi mendukung pencapaian tujuan strategis organisasi. 2. Isu karyawan,
mencakup; a) Di dalam dunia yang tidak bisa diprediksi, organisasi mulai merasakan
tantangan besar. Konsep hubungan kerja dengan sendirinya mengalami perubahan;
dipekerjakan bukan lagi untuk seumur hidup, melainkan dipekerjakan selama
keahliannya dibutuhkan oleh perusahaan. b) Apabila ada karyawan tidak lagi
mengembangkan kompetensinya melalui belajar dan berkinerja, mereka akan
menciptakan kesalahan fatal. Mencermati berbagai uraian tentang konsep kompetensi di
30
atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi adalah
kemampuan dan karakteristik yang mendasari perilaku seseorang untuk melaksanakan
tugas dan kewajiban yang dibebankan kepadanya sesuai dengan hasil yang diharapkan.
Indikator dari kompetensi banyak ditentukan oleh kajian teoritis yang dikembangkan.
Kompetensi terlihat dalam dimensi pengetahuan, keterampilan, konsep diri dan nilai-
nilai, karakteristik pribadi, dan motif yang memicu tindakan seseorang.
2.1.4 Motivasi Intrinsik
Istilah motivasi berasal dari kata Latin “movere” yang berarti dorongan atau
menggerakkan. Motivasi mempersoalkan bagaimana cara mengarahkan daya dan potensi
agar bekerja mencapai tujuan yang ditentukan (Malayu S.P Hasibuan, 2006: 141). Pada
dasarnya seorang bekerja karena keinginan memenuhi kebutuhan hidupnya. Dorongan
keinginan pada diri seseorang dengan orang yang lain berbeda sehingga perilaku manusia
cenderung beragam di dalam bekerja.
Motivasi didefinisikan sebagai proses yang menjelaskan intensitas, arah dan
ketekunan seorang individu untuk mencapai tujuannya. Terdapat tiga elemen utama yang
berkaitan dengan motivasi yaitu intensitas, arah dan ketekunan. Intensitas berhubungan
dengan seberapa giat sesrorang berusaha. Intensitas yang tinggi tersebut hendaknya
dikaitkan dengan arah yang menguntungkan organisasi supaya menghasilkan prestasi
kerja yang memuaskan. Dengan demikian, kualitas dan intensitas upaya harus
diperhatikan secara bersamaan supaya memberikan hasil optimal. Dimensi yang terakhir
dari motivasi adalah ketekyunan. Dimensi ini mengukur seberapa lama seseorang bisa
mempertahankan usahanya . Individu yang termotivasi akan bertahan melakukan suatu
tugas dalam waktu yang cukup lama demi mancapai tujuan mereka (Robbins & Judge,
2008 dalam Setiawan, 2011).
Saul Gellerman berpendapat bahwa setiap orang memiliki kebutuhan-kebutuhan
dasar seperti uang, status, prestasi dan pengaduan. Apabila salah satu kebutuhan tersebut
tidak terpenuhi, maka orang akan termotivasi untuk berusaha memenuhinya. Akan tetapi,
Gellermen juga mengungkapkan bahwa uang, prestasi atau status hanyalah wahana yang
digunakan untuk mencapai keberadaan yang diinginkan, atau untuk menjadi orang yang
dikehendakinya. Tujuan mendasar dari motivasi adalah untuk merealisasi citra pribadi,
31
yaitu untuk hidup dalam cara yang sesuai dengan kedudukan, dan untuk dihargai dalam
cara yang mencerminkan tingkat kemampuan. Dengan demikian, orang akan berusaha
untuk mencapai apapun yang diangap sebagai peranan yang diinginkan dan mencoba
untuk merealisasi ide subyektif tentang diri sendiri menjadi kebenaran obyektif (Dessler,
1997 dalam Setiawan, 2011).
Teori-teori motivasi intrinsik banyak muncul dari pendekatan-pendekatan yang
berbeda-beda, dimana penelitian dilakukan terhadap hasil perilaku manusia yang
kompleks. Ada bebrapa teori motivasi yaitu teori dua faktor yang dikemukakan oleh
FrederickHerzberg, teori kebutuhan McClelland yang dikembangkan oleh David Clelland
dan teori harapan yang dicetuskan oleh Victor Vroom (Robbins & Judge, 2008 dalam
Setiawan, 2011).
Teori dua faktor atau teori motivasi higiene dikemukakan oleh Frederick
Herzberg, dengan keyakinan bahwa hubungan seorang individu dengan pekerjaan adalah
mendasar dan bahwa sikap seseorang terhadap pekerjaan bisa dengan sangat baik
menentukan keberhasilan atau kegagalan. Teori ini menghubungkan faktor-faktor
intrinsik (kemajuan, pengakuan, tangung jawab dab pencapaian) dengan kepuasan kerja,
sementara mengkaitkan faktor-fakotr ekstrinsik (pengawasan, imbalan kerja,
kebijaksanaan perusahaan dan kondisi kerja) dengan ketidakpuasan kerja. Kondisi-
kondisi yang melingkupi pekerjaan seperti kulaitas pengawasan, imbalan kerja,
kebijaksanaan perusahaan, kondisi fisik pekerjaan, hubungan dengan individu lain dan
keamanan pekerjaan digolongkan oleh Herzberg sebagai faktor-faktor higiene. Ketika
faktor-faktor tersebut memadai, orang tidak akan merasatidak puas, namum bukan berarti
mereka puas. Jika ingin memotivasi individu dalam pekerjaan mereka, Herzberg
menyatakan penekanan faktor-faktor yang berhubungan dengan pekerjaan itu sendiri atau
dengan hail-hasil yang berasal darinya (seperti peluang promosi, peluang pengembangan
ddir, pengakuan, tanggung jawab dan pencapaian). Ini merupakan karakterisitik yang
dianggap berguna secara intrinsik oleh individu (Robbins & Judge, 2008 dalam Setiawan,
2011).
Menurut David McClelland, seorang ahli psikolog berkebangsaan Amerika, dalam
teori motivasinya mengemukakan bahwa motivasi seseorang sangat dipengaruhi oleh tiga
32
kebutuhan dasar yaitu kebutuhan pencapaian (need for achievement), kebutuhan kekuatan
(need or power) dan kebutuhan hubungan (need for affliation). Hal-hal tersebut
didefinisikan sebagai berikut :
1. Kebutuhan Pencapaian (nAch)
Adalah dorongan untuk melebihi, mencapai standar-standar, berusaha keras untuk
berhasil. Beberapa individu memiliki dorongan yang kuat untuk berhasil. Mereka
lebih berjuang untuk memperoleh pencapaian pribadi daripada memperoleh
penghargaan. Individu dengan prestasi tinggi membedakan diri mereka dari individu
lain menurut keinginan mereka untuk melakukan hal-hal dengan lebih baik. Mereka
lebih menyukai tantangan, menyelesaikan sebuah masalah dan menerima tanggung
jawab pribadi untuk keberhasilan atau kegagalan daripada menyerahkan hasil pada
kesempatan atau tindakan individu lain. Mereka lebih menyukai tugas dengan tingkat
kesulitan menengah.
2. Kebutuhan Kekuatan (nPow)
Merupakan kebutuhan untuk membuat individu lain berperilaku sedemikian rupa
sehingga mereka tidak akan berperilaku sebaliknya. Individu dengan nPow tinggi
suka bertangung jawab, berjuang untuk mempengaruhi indivdu lain, senang
ditempatkan dalam situasi yang kopetitif dan berorientasi status serta cenderung
lebih khawatir dengan wibawa dan mendapatkan pengaruh atas individu lain
daripada kinerja yang efektif.
3. Kebutuhan Hubungan (nAff)
Adalah keinginan untuk menjalin suatu hubungan antar personal yang ramah dan
akrab. Individu dengan motif hubungan yang tinggi berjuang untuk persahabatan,
lebih menyukai situasi yang kooperatif daripada situasi yang kompetitif dan
menginginkan hubungan yang melibatkan pengertian mutual yang tinggi (Robbins &
Judge, 2008 dalam Setiawan, 2011).
Berdasarkan beberapa definisi dan komponen pokok diatas dapat dirumuskan
motivasi merupakan daya dorong atau daya gerak yang membangkitkan dan
33
mengarahkan perilaku pada suatu perbuatan atau pekerjaan. Jenis-jenis motivasi dapat
dikelompokkan menjadi dua jenis menurut Malayu S. P Hasibuan (2006: 150), yaitu:
1) Motivasi positif (insentif positif), manajer memotivasi bawahan dengan memberikan
hadiah kepada mereka yang berprestasi baik. Dengan motivasi positif ini semangat
kerja bawahan akan meningkat, karena manusia pada umumnya senang menerima
yang baik-baik saja.
2) Motivasi negatif (insentif negatif), manajer memotivasi bawahan dengan
memberikan hukuman kepada mereka yang pekerjannya kurang baik (prestasi
rendah). Dengan memotivasi negatif ini semangat kerja bawahan dalam waktu
pendek akan meningkat, karena takut dihukum.
Tingkah laku bawahan dalam suatu organisasi seperti sekolah pada dasarnya
berorientasi pada tugas. Maksudnya, bahwa tingkah laku bawahan biasanya didorong
oleh keinginan untuk mencapai tujuan harus selalu diamati, diawasi, dan diarahkan dalam
kerangka pelaksanaan tugas dalam mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
Secara umum tujuan motivasi adalah untuk menggerakan atau menggugah seseorang agar
timbul keinginan dan kemauannya untuk melakukan sesuatu sehingga dapat memperoleh
hasil atau mencapai tujuan tertentu (Ngalim Purwanto, 2006: 73). Sedangkan tujuan
motivasi dalam Malayu S. P. Hasibuan (2006: 146) mengungkapkan bahwa:
1) Meningkatkan moral dan kepuasan kerja karyawan.
2) Meningkatkan produktivitas kerja karyawan.
3) Mempertahankan kestabilan karyawan perusahaan.
4) Meningkatkan kedisiplinan absensi karyawan.
5) Mengefektifkan pengadaan karyawan.
6) Menciptakan suasana dan hubungan kerja yang baik.
7) Meningkatkan loyalitas, kreativitas dan partisipasi karyawan.
8) Meningkatkan tingkat kesejahteraan karyawan.
34
9) Mempertinggi rasa tanggung jawab karyawan terhadap tugastugasnya.
10) Meningkatkan efisiensi penggunaan alat-alat dan bahan baku.
Tindakan memotivasi akan lebih dapat berhasil jika tujuannya jelas dan disadari
oleh yang dimotivasi serta sesuai dengan kebutuhan orang yang dimotivasi. Oleh karena
itu, setiap orang yang akan memberikan motivasi harus mengenal dan memahami
benarbenar latar belakang kehidupan, kebutuhan, dan kepribadian orang yang akan
dimotivasi.
Salah satu faktor utama yang mempengaruhi kinerja karyawan adalah motivasinya
dalam bekerja. Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan
terhadap kualitas perilaku yang ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja
maupun dalam kehidupan lainnya. Motivasi merupakan suatu proses dimana
kebutuhankebutuhan mendorong seseorang untuk melakukan serangkaian kegiatan yang
mengarah ke tercapainya suatu tujuan tertentu (Mangkunegara, 2009).
Motivasi di sini merupakan suatu kondisi/keadaan yang mempengaruhi seseorang
untuk terus meningkatkan, mengarahkan serta memelihara perilakunya yang berhubungan
baik secara langsung maupun tidak langsung dengan lingkungan kerjanya (Gibson,
1996). Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Frederick Herzberg bahwa terdapat dua
faktor yang mendorong karyawan termotivasi dalam berkerja, yaitu faktor intrinsik
(motivator factors) dan ekstrinsik (hygiene factors) (Herzberg, 1966). Motivasi intrinsik
merupakan daya dorong yang timbul dari dalam diri masing-masing seperti tanggung
jawab, prestasi yang diraih, pengakuan orang alin, pekerjaan itu sendiri, kme ungkinan
pengembangan dan kemajuan. Motivasi ekstrinsik, merupakan daya dorong yang datang
dari luar diri seseorang seperti gaji, kebijakan dan aministrasi, kondisi kerja, hubungan
kerja, prosedur perusahaan dan status (Manullang, 2001).
Hasil penelitian Juliani (2008), mengungkapkan bahwa ada tiga indikator motivasi
instrinsik yang berpengaruh terhadap kinerja perawat perawat pelaksana di Instalasi
Rawat Inap Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan. adalah tanggung jawab, peluang
untuk maju dan kepuasan kerja, sedangkan indikator-indikator lain seperti prestasi dan
pengakuan orang tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja perawat. Hasil
35
penelitian Nurhayani (2002) menyatakan bahwa hanya satu indikator motivasi intrinsik
yang berpengaruh secara signifikan tehadap kinerja perawat yaitu prestasi. Hasil
penelitian Naswati (2001) menemukan bahwa ada dua indikator motivasi intrinsik yang
berpengaruh terhadap kinerja yaitu prestasi dan pengembangan.
Motivasi yang paling kuat adalah motivasi intrinsik karena tertanam langsung di
dalam diri karyawan. Melalui motivasi intrinsik membuat karyawan sadar akan tanggung
jawab dan pekerjaannya yang lebih baik dan terdorong untuk semangat menyelesaikan
de-ngan baik pekerjaannya. Hasil kerja karena kesadaran menciptakan kinerja yang baik
dan karyawan akan sadar bahwa dengan memiliki kinerja yang baik, ia akan dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Febrian Nurtaneo Akbar (2013) yang menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan
antara motivasi intrinsik terhadap kinerja karyawan.
Suwatno (2011:175) menyatakan “motivasi intrinsik adalah motif–motif yang
menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri setiap
individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu”. Husaini Usman (2009:249)
mende-finisikan “motivasi intrinsik adalah motivasi yang timbul dari dalam diri sendiri”.
Menurut teori Herzberg (1966), ada dua jenis faktor yang mendorong seseorang untuk
berusaha mencapai kepuasan dan menjauhkan diri dari ketidakpuasan. Dua faktor itu
disebutnya faktor higiene (faktor ekstrinsik) dan faktor motivator (faktor intrinsik).
a. Faktor higiene memotivasi seseorang untuk keluar dari ketidakpuasan, termasuk di
dalamnya adalah hubungan antar manusia, imbalan, kondisi lingkungan, dan
sebagainya (faktor ekstrinsik);
b. Faktor motivator memotivasi seseorang un-tuk berusaha mencapai kepuasan, yang
termasuk didalamnya adalah keberhasilan yang diraih, pengakuan atau penghargaan,
pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab, dan peluang untuk berkembang (faktor
intrinsik).
2.1.5 Kinerja Karyawan
36
Pada konteks ini, kinerja karyawan secara umum merupakan hasil yang akan
dicapai oleh karyawan dalam bekerja yang berlaku untuk suatu pekerjaan tertentu yang
mempengaruhi seberapa banyak mereka memberikan kontribusi kepada organisasi.
Menurut Davis dan Newstrom (1996) dalam Jachja (2012) menjelaskan bahwa karyawan
membutuhkan umpan balik tentang kinerja mereka sebagai panduan perilaku mereka
dimasa mendatang. Bagi karyawan baru prestasi kerja merupakan bukti pemahaman
mereka terhadap pekerjaan, sedangkan bagi karyawan lama prestasi kerja merupakan
umpan balik dari perilaku baik mereka. Kinerja karyawan mengacu pada prestasi
karyawan yang diukur berdasarkan standar atau kriteria yang telah ditetapkan oleh
perusahaan yang bersangkutan. Untuk mencapai kinerja karyawan yang tinggi terutama
dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja perusahaan secara keseluruhan, terhadap
faktor-faktor yang mempengaruhi yang meliputi strategi organisasional, batasan
situasional dan atribut individual (kemampuan keterampilan).
Menurut Feldman dan Arnold (1998) dalam Jacja (2012) mengemukakan dalam
prinsip dasar manajemen kinerja merupakan kombinasi atau perpaduan antara motivasi
(berkaitan dengan kepuasan kerja) yang ada dalam diri sseorang kemampuan dalam
melaksanakan pekerjaan (keterlibatan dalam kerja), adanya perubahan sikap terhadap
pekerja dengan indikator empirik motivasi untuk melaksanakan pekerjaan dan adanya
perubahan dalam bekerja.
Penilaian kinerja adalah prestasi kerja yang merupakan perbandingan antara hasil
kerja yang secara nyata dengan standar kerja yang ditetapkan (Dessler, 2006 dalam
Setiawan, 2011). Prestasi kerja telah diidentifikasi sebagai kunci penting bagi organisasi
untuk mencapai keuntungan kompetitif dan produktivitas yang superior (Shaffril & Uli,
2010 dalam Setiawan, 2011). Kinerja adalah fungsi dari kemampuan dan motivasi,
dimana keduanya dibutuhkan untuk menjelaskan perbedaan dalam produktivitas.
Kemampuan didefinisikan sebagai kombinasi dari kecerdasan, pelatihan dan pengalaman
yang dirumuskan = (kecerdasan x (pelatihan + pengalaman)). Masing-masing unsur, baik
kecerdasan, pelatihan maupun pengalaman, harus ada jika seseorang memiliki kinerja
yang baik dalam situasi tertentu. Kecerdasan biasanya didefinisikan sebagai bakat alami
untuk menjalankan tugas tertentu. Pada saat yang sama, kemampuan adalah karakteristik
37
dinamis yang dapat terus dikembangkan melalui pelatihan dan pengalaman (Holland,
1989 dalam Setiawan, 2011).
Kinerja juga dipengaruhi oleh motivasi. Karakteristik yang membedakan perilaku
seseorang yang termotivasi adalah orientasi tujuannya yang sudah ditetapkannya.
Motivasi memberikan dorongan energi dan kemudian menentukan perilaku untuk
bertindak dan mencapai beberapa tujuan yang sudah ditetapkan sebelumnya. Hubungan
antara kemampuan dan motivasi dapat dinyatakan dalam rumus : kinerja = (kemampuan
x motivasi). Jika kemampuan atau motivasi yang dimiliki seseorang rendah, maka akan
menghasilkan kinerja yang rendah. Motivasi tinggi dapat mengimbangi kemampuan yang
rendah hanya sampai pada batas tertentu. Demikian juga, jika ada kemampuan yang
tinggi dengan motivasi yang rendah, kinerja yang dihasilkan juga rendah (Holland, 1989
dalam Setiawan, 2011).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Tsui et al (1997), penilaian kinerja sumber
daya manusia diteliti berdasarkan perilaku yang spesifik dengan menggunakan sebelas
kriteria yaitu (1) kuantitas kerja karyawan, (2) kualitas kerja karyawan, (3) efisiensi
karyawan, (4) standar kualitas karyawan, (5) usaha karyawan, (6) standar profesional
karyawan, (7) kemampuan karyawan terhadap pekerjaan inti, (8) kemampuan karyawan
menggunakan akal sehat, (9) ketepatan karyawan, (10) pengetahuan karyawan dan (11)
kreativitas karyawan.
2.2 Hubungan Antar Variabel
2.2.1 Rotasi Pekerjaan dan Motivasi Intrinsik
Rotasi pekerjaan berperan penting dalam membuat pekerjaan menjadi lebih
menarik untuk dilaksanakan. Hal ini sangat membantu untuk meningkatkan motivasi
karyawan khususnya mereka yang telah mengalami kebutuhan akhir dengan
kemungkinan kecil untuk dipromosikan (Ference et al, 1977 dalam Jachja, 2012).
Menurut Cosgel dan Miceli (1999) dalam Jachja (2012), salah satu keunggulan dari rotasi
pekerjaan adalah kemampuannya dalam meningkatkan motivasi intrinsik. Berdasarkan
hasil penelitian mereka, karyawan lebih menyukai melaksanakan berbagai jenis pekerjaan
38
daripada mereka hanya dispesialisasikan menangani satu pekerjaan khusus. Hal ini akan
menguntungkan perusahaan karena mereka dapat membayar upah yang lebih rendah
ketika karyawan lebih puas dan menikmati pekerjaan yang dilakukannya.
Rotasi pekerjaan merupakan bentuk dari pengembangan karir, dimana biasanya
diterapkan untuk karyawan yang masih tergolong baru dibandingkan dengan karyawan
yang sudah lama berada dalam suatu perusahaan. Suatu penjelasan bahwa karyawan baru
biasanya lebih tertarik untuk dirotasi, adalah mereka melihat rotasi tersebut sebagai
peluang untuk memiliki nilai yang lebih tinggi dalam karir, dibandingkan dengan
karyawan lama. Pada eksekutif perusahaan biasanya menggunakan rotasi untuk
mendapatkan karyawan yang bagus dan memotivasi kinerja mereka atau mereka melihat
adanya manfaat yang diperoleh dari rotasi tersebut dari karyawan yang dirotasi
dibandingkan dengan karyawan yang tidak dirotasi (Campion et al, 1994 dalam Jachja,
2012).
Menurut Putz-Anderson (1988) dalam Jachja (2012), rotasi pekerjaan selain
memberikan beberapa nilai lebih juga dapat menimbulkan kerugian tertentu. Apabila
rotasi pekerjaan tidak didesain dengan baik, maka dapat meningkatkan stres pada
karyawan. Pelaksanaan rotasi pekerjaan tersebut selanjutnya dapat menyebabkan
timbulnya kekacauan pada sekelompok kerja.
Noe (2008) dalam Jachja (2012) juga menambahkan bahwa pelaksanaan rotasi
pekerjaan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kepuasan dan motivasi intrinsik.
Adanya rotasi menyebabkan karyawan menjadi sulit dalam mengembangkan keahlian
khusus dan mereka tidak memiliki waktu yang cukup dalam satu posisi untuk menerima
tantangan pekerjaan. Selain itu, rotasi kerja juga dapat menurunkan produktivitas dan
meningkatkan bebean kerja baik pada divisi yang ditinggalkan karyawan maupun pada
divisi yang baru.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Erikson dan Ortega (2001) dalam Jachja
(2012), penerapan rotasi pekerjaan tidak meningkatkan motivasi intrinsik baik pada
perusahaan dengan karyawan yang telah memiliki masa kerja lama, maupun pada
perusahaan yang memiliki hirarki organisasi yang datar serta kemungkinan adanya
promosi yang kecil. Cheraskin & Campion (1996) dalam Jachja (2012) menyatakan
39
bahwa pelaksanaan rotasi kerja dapat menimbulkan terjadinya beberapa masalah seperti
peningkatan beban kerja dan penurunan produktivitas untuk karyawan yang dirotasi serta
karyawan lainnya. Hal ini akan mengacaukan proses aliran kerja dan mengandalkan pada
solusi untuk menyelesaikan jangka pendek untuk memperbaiki masalah yang ada.
Masalah lain yang mungkin ditimbulkan dengan pelaksanaan rotasi adalah berkaitan
dengan waktu yang dibutuhkan oleh karyawan untuk mempelajari pekerjaan yang baru,
dan kesalahan-kesalahan yang mungkin sering dilakukan oleh karyawan ketika
mempelajari pekerjaan yang baru. Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan hipotesis
satu sebagai berikut :
H1 : Rotasi pekerjaan berpengaruh positif terhadap motivasi intrinsik
2.2.2 Kecerdasan Emosional dan Motivasi Intrinsik
Goleman (2007:36) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan
untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan
dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan
menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati, dan
berdoa, sedangkan menurut Agustian (2002: 45), alam bawah sadar manusia biasa disebut
fitrah manusia atau kesucian manusia. Cooper dan Sawaf (2001:2) menyatakan bahwa;
“kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif
menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi dan
pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi atau emosional quotation ( EQ ) meliputi
kemampuan mengungkapkan perasaan, kesadaran serta pemahaman tentang emosi dan
kemampuan untuk mengatur dan mengendalikannya. Kecerdasan emosi dapat juga
diartikan sebagai kemampuan Mental yang membantu kita mengendalikan dan
memahami perasaan – perasaan kita dan orang lain yang menuntun kepada kemampuan
untuk mengatur perasaan – perasaan tersebut.
Dalam melaksanakan pekerjaan motivasi sangat diperlukan sebab seseorang yang
tidak mempunyai motivasi dalam bekerja tidak mungkin akan melaksanakan aktifitas
bekerja dengan baik. Motivasi bersifat rumit dan bersifat individual, sehingga tidak ada
cara yang paling tepat untuk memotivasi seseorang. Penguat positif atau positif
reinforcement melalui penciptaan lingkungan yang baik misalnya dengan memuji prestasi
40
yang baik serta menghukum yang menimbulkan prestasi negatif. Partisipasi atau
pengikutsertaan seseorang dalam suatu pengambilan keputusan akan memotivasi orang
tersebut, karena merasa ikut terlibat dan akan ikut bertanggung jawab atas pencapian
tujuan keputusan tersebut. Kendala yang sering timbul untuk memunculkan motivasi
intrinsik psotif adalah iklim lingkungan yang tidak membangkitkan motivasi intrinsik
yang lebih baik, lebih adil, lebih jujur. Kendala itu merupakan masalah besar karena
menyangkut seluruh komponen struktural, untuk merobaknya perlu revolusi sikap mental.
Kecerdasan emosional (EQ) berpotensi mempengaruhi motivasi intrinsik karena
kecerdasan emosional berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk mengenali
emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri, berempati dan membina hubungan
dengan orang lain. Kelima dmensi ini apabila dikuasai secara baik oleh seseorang dapat
mendorong komitmennya terhadap organisasi. Hal ini dimungkinkan karena dimensi-
dimensi yang terkandung dalam kecerdasan emosional dapat menuntun seseorang untuk
memahami posisinya secara tepat di dalam dinamika organisasi atau masyarakat,
termasuk memotivasi diri, berempati dan membina hubungan dengan orang lain demi
kepentingan bersama. Peluang dan frekuensi stres menjadi lebih besar apabila seseorang
berada dalam kompetisi yang ketat. Seseorang dengan modal IQ dan EQ saja seringkali
mengalami kelebihan beban (overload) dan tak mampu lagi menampung beban yang
ditanggungnya.
Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan hipotesis dua sebagai berikut :
H2 : Kecerdasan emosional berpengaruh positif terhadap motivasi intrinsik
2.2.3 Motivasi Intrinsik dan Kinerja Karyawan
Motivasi dapat dipandang sebagai perubahan energi dalam diri seseorang yang
ditandai dengan munculnya feeling, dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya
tujuan. Motivasi adalah dorongan dasar yang menggerakkan seseorang atau keinginan
untuk mencurahkan segala tenaga karena adanya suatu tujuan. Seperti yang dikemukakan
oleh Mangkunegara (2009:61) motivasi merupakan kondisi atau energi yang
menggerakkan diri karyawan yang terarah atau tertuju untuk mencapai tujuan organisasi
perusahaan. Sikap mental karyawan yang positif terhadap situasi kerja itulah yang
41
memperkuat motivasi intrinsiknya untuk mencapai kinerja yang maksismal. Tiga unsur
yang merupakan kunci dari motivasi, yaitu upaya, tujuan organisasi, dan kebutuhan. Jadi
motivasi dalam hal ini sebenarnya merupakan respons dari suatu aksi. Motivasi muncul
dari dalam diri manusia karena dorongan oleh adanya unsur suatu tujuan. Tujuan ini
menyangkut soal kebutuhan dapat dikatakan bahwa tidak akan ada suatu motivasi apabila
tidak dirasakan adanya suatu kebutuhan (Mahardhika dkk, 2013).
Dalam hal ini manusia mempunyai kecenderungan seperti yang diungkapkan oleh
Mc. Gregor dalam Gomes (2003:192) bahwa manusia seperti teori X dan teori Y. Teori X
yang pada dasarnya menyatakan bahwa manusia cenderung berperilaku negatif,
sedangkan teori Y pada dasarnya manusia cenderung berperilaku positif, maka perlu
adanya motivasi terhadap karyawannya. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa
manajer harus dapat memahami karakteristik karyawannya sebelum memberikan
motivasi kepada para karyawannya. Dengan demikian manajer dapat memotivasi
karyawannya dengan melihat karakteristik karyawannya yang satu dengan yang lain
berbeda cara memotivasinya.
Oleh karena, itu untuk mencapai kinerja yang diharapkan perusahaan dibutuhkan
motivasi pada karyawan. Dengan adanya motivasi dan penilaian kinerja, tujuan
organisasi dapat tercapai serta tercapai pula tujuan pribadi. Pemberian motivasi kepada
seseorang merupakan suatu mata rantai yang dimulai dari kebutuhan,menimbulkan
keinginan, menimbulkan tindakan, dan menghasilkan keputusan. Dari berbagai tahapan
pemberian motivasi, faktor utama yaitu kebutuhan dan pengarahan perilaku. Pemberian
motivasi haruslah diarahkan untuk pencapaian tujuan organaisasi. Hanya dengan
kejelasan tujuan maka semua personal yang terlibat dalam organisasi dapat dengan
mudah memahami dan melaksanakannya.
Kinerja karyawan merupakan fungsi dari motivasi dan kemampuan. Hal ini
menunjukkan bahwa seseorang dapat termotivasi, akan tetapi motivasi ini tidak akan
membawa kinerja menjadi lebih baik dengan sendirinya, kecuali kalau orang tersebut
juga memiliki kemampuan untuk melakukan tugas yang diberikan. Dengan kata lain,
apabila kemampuan diri seorang pekerja tinggi akan tetapi pekerja tersebut tidak
termotivasi dengan baik, maka nilai kinerjanya akan rendah (Ejere, 2010 dalam Setiawan,
42
2011). Beberapa hasil penelitian yang dilakukan oleh Dimba (2010), Afzal (2010) dan
Manolopoulos (2008) dalam Setiawan (2011) menunjukkan adanya pengaruh positif dari
motivasi intrinsik terhadap kinerja.
Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan hipotesis tiga sebagai berikut :
H3 : Motivasi intrinsik berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan
2.2.4 Rotasi Pekerjaan dan Kinerja Karyawan
Rotasi kerja, sebagai topik yang merupakan bagian dari literatur sumber daya
manusia, telah diterima sebagai metode yang efektif untuk mengembangkan keterampilan
dan memberikan motivasi intrinsik. Meskipun karyawan dipindahkan dari satu tugas yang
lain untuk jangka waktu tertentu, manfaat yang diperoleh karyawan cukup tinggi
(Kaymaz, 2010). Menurut bukti empiris, terdapat pengaruh positif antara rotasi terhadap
penggunaan teknologi baru. Percobaan yang dilakuan oleh Gittleman et al. (1998), dalam
Ortega (2001), menunjukkan bahwa kemungkinanan perusahaan menerapkan rotasi kerja
hanya besar 9,6% pada perusahaan yang tidak menggunakan teknologi baru. Pada
peruusahaan yang menggunakan teknologi baru, selama beberapa kali dalam setahun,
memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menerapkan rotasi kerja di perusahaan
tersebut sebesar 22,3%.
Sebagai bagian dari proses pembelajaran karyawan, perusahaan dapat menerapkan
rotasi untuk mengetahui lebih banyak aktivitas yang dilakukan oleh karyawan.
Perusahaan dapat merotasi karyawan “junior” lebih sering dibandingkan dengan
karyawan “senior”, karena masih banyak hal-hal yang perlu diketahui dan dipelajari oleh
karyawan “junior” tersebut (Ortega, 2001). Dilaksanakannya rotasi pekerjaan tersebut
memungkinkan karyawan untuk mengembankan relasi, dan mempermudah pelaksanaan
kounikasi internal dan eksternal antar departemen. Karyawan yang lebih dekat dalam
lingkungan sosialnya akan dapat menyelesaikan berbagai permasalahan yang muncul
selama proses berlangsung dengan mudah. Hal ini akan menciptakan lingkungan kerja
yang tenang sehingga memotivasi karyawan untuk melaksanakan pekerjaan (Morris,
1956, dalam Kaymaz, 2010).
43
Hasil penelitian lebih lanjut mengenai rotasi pekerjaan dan kinerja juga
ditunjukkan oleh Kaymaz (2010). Menurut penelitian yang dilakukannya pada organisasi
otomotif, hasil interview dengan tieap manager sumber daya manusia pada berbagai
perusahaan menunjukkan bahwa rotasi pekerjaan memberikan motivasi dalam
melaksanakan pekerjaan. Penelitian serupa yang dilakukan oleh Gomez & Lorente (2004)
dan Adomi (2006) dalam Kaymaz (2010) menunjukkan adanya pengaruh positif dari
rotasi pekerjaan terhadap kinerja karyawan.
Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan hipotesis empat sebagai berikut :
H4 : Rotasi kerja berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan
2.2.5 Kecerdasan Emosional dan Kinerja Karyawan
Patton (dalam Setiyawan, 2005) memberi definisi mengenai kecerdasan emosional
adalah kemampuan untuk menggunakan emosi secara efektif untuk mencapai tujuan
membangun produktif dan meraih keberhasilan. Menggunakan emosi secara efektif
individu akan lebih bertanggung jawab, lebih mampu memusatkan perhatian pada tugas,
tidak impulsif, lebih bisa mengendalikan diri yang pada akhirnya dapat meningkatkan
kinerja.
Goleman (1997), menyatakan bah-wa kecerdasan emosi yang ada pada seseorang
adalah mencakup pengendalian diri, semangat, ketekunan, serta kemam-puan untuk
memotivasi diri sendiri. Hal ini sesuai dengan pendapat Salovey (dalm Goleman, 1999),
bila seseorang dapat memotivasi diri sendiri memungkinkan kinerja yang tinggi dalam
segala bidang. Di sisi lain bahwa individu yang mempunyai ketrampilan kecerdasan
emosi yang lebih produktif dan efektif dalam hal apapun akan menghasilkan kinerja yang
lebih baik.
Kecerdasan emosi menentukan po-tensi individu untuk mempelajari kete-rampilan
praktis yang didasarkan pada lima unsur yaitu kesadaran diri, motivasi, pengaturan diri,
empati, dan kecakapan dalam membina hubungan dengan orang lain. Kecakapan emosi
adalah kecakapan hasil belajar yang didasarkan pada kecer-dasan emosi dan karena itu
menghasilkan kinerja menonjol dalam pekerjaan. Inti kecakapan ini adalah dua
kemampuan yaitu empati, yang melibatkan kemam-puan membaca perasaan orang lain;
dan ketrampilan sosial, yang berarti mampu mengelola perasaan orang lain dengan baik.
44
Menurut Cooper dan Sawaf (1999), berbagai penelitian membuktikan bahwa
kecerdasan emosional menyumbang per-sentase yang lebih besar dalam kemajuan dan
keberhasilan masa depan seseorang, dibandingkan dengan kecerdasan intelek-tual yang
biasanya diukur dengan Intelligent Quotient (IQ). Penelitian yang dilakukan oleh Yen,
Tjahjoanggoro dan Atmadji (2003) tentang hubungan kecer-dasan emosional dengan
prestasi kerja Multi Level Marketing, menghasilkan kesimpulan bahwa ada hubungan
positif dan signifikan antara kecerdasan emosi-onal dan prestasi kerja Multi Level Mar-
keting. Artinya, semakin tinggi kecer-dasan emosional, maka semakin tinggi prestasi
kerja distributor tersebut dan sebaliknya.
Kecerdasan emosional bekerja seca-ra sinergi dengan keterampilan kognitif, orang
yang berprestasi tinggi memiliki keduanya. Tanpa adanya kecerdasan emosional maka
orang tidak akan mampu menggunakan keterampilan kognitif mereka sesuai dengan
potensinya yang maksimal. Hal ini sesuai seperti yang diungkapkan oleh Shapiro (1997)
bahwa kecerdasan emosional akan memengaruhi perilaku tiap individu dalam mengatasi
permasalahan yang muncul pada diri sendiri termasuk dalam permasalahan kerja.
Kecerdasan emosional lebih me-mungkinkan seorang karyawan mencapai tujuannya.
Kesadaran diri, penguasaan diri, empati dan kemampuan sosial yang baik merupakan
kemampuan yang sangat mendukung karyawan didalam pekerjaan-nya yang penuh
tantangan serta persai-ngan diantara rekan kerja. Sehingga dapat dikatakan bahwa
kecerdasan emosional sangat dibutuhkan oleh setiap karyawan untuk meningkatkan
kinerjanya.
Adanya kecerdasan emosional yang tinggi, individu akan memiliki kestabilan
emosi. Kestabilan merupakan kemam-puan individu dalam memberikan respon yang
memuaskan dan kemampuan dalam mengendalikan emosinya sehingga men-capai suatu
kematangan perilaku. Sese-orang yang memiliki kestabilan emosi akan mempunyai
penyesuaian diri yang baik, mampu menghadapi kesukaran dengan cara obyektif serta
menikmati kehidupan yang stabil, tenang, merasa se-nang, tertarik untuk bekerja dan ber-
prestasi, mampu memotivasi diri terhadap kritik, tidak melebih-lebihkan kesenangan
ataupun kesusahan sehingga ia dapat mengelola kebutuhan-kebutuhan primitif yang lebih
banyak dipengaruhi emosi belaka..
Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan hipotesis lima sebagai berikut :
45
H5 :Kecerdasan emosional berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan
2.3 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu dijadikan sebagai dasar pedoman dalam penyusunan
penelitian ini. Hal ini bermanfaat untuk mengetahui hasil penelitian yang telah dilakukan
oleh peneliti-peneliti sebelumnya sekaligus dijadikan sebagai dasar untuk perbandingan
dan gambaran yang dapat mendukung proses kegiatan penelitian berikutnya. Pada
penelitian yang terdahulu rotasi pekerjaan berpengaruh terhadap motivasi intrinsik tetapi
tidak dapat dibuktikan secara empiris. Hal ini menunjukkan bahwa rotasi kerja bukan
satu-satunya faktor yang dapat meningkatkan motivasi intrinsik mereka. Pada penelitian
terdahulu masih memiliki keterbatasan. Dimana besarnya pengaruh total antara rotasi
pekerjaan terhadap kinerja karyawan masih kecil (16,9%). Besarnya pengaruh yang kecil
tersebut disebabkan karena jumlah sampel yang diteliti kecil yaitu 63 orang sehingga
kurang dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai hasil penelitian. Hasil
penelitian terdahulu mendapatkan bahwa kecerdasan emosional memiliki pengaruh
positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan. Faktor kecerdasan emosional ini
merupakan faktor yang paling menonjol dan mempunyai koefisien paling tinggi diantara
kecerdasan yang lain dalam mempengaruhi kinerja karyawan. Kecerdasan emosional
yang lebih besar dalam diri pegawai akan meningkatkan kinerja karyawan.
2.4 Kerangka Pikir dan Hipotesis
Berdasarkan telaah pustaka dan penelitian terdahulu, seseorang harus memiliki
kecerdasan emosional dan variasi rotasi pekerjaan yang tinggi agar dia dapat mempunyai
motivasi yang tinggi dalam bekerja. Apabila kecerdasan emosional berfungsi secara
efektif maka, seorang pekerja akan dapat menampilkan hasil kerjanya menonjol. Hal ini
dapat ditampilkan sebagai pemikiran teoritis sebagai berikut :
46
2.5 Hipotesis
Berdasarkan model penelitian yang dikembangkan maka dapat dirumuskan hipotesis
penelitian, yaitu :
H1 : Rotasi pekerjaan berpengaruh positif terhadap motivasi intrinsik
H2 : Kecerdasan emosional berpengaruh positif terhadap motivasi intrinsik
H3 : motivasi intrinsik berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan
H4 : Rotasi kerja berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan
H5 :Kecerdasan emosional berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan
2.6 Definisi Operasional dan Indikator Variabel Penelitian
Secara keseluruhan, penentuan atribut dan indikator dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
2.6.1 Rotasi Pekerjaan
Definisi operasional dari rotasi pekerjaan adalah proses memindahkan individu secara
periodik dari satu peran kerja ke peran kerja yang lain. Rotasi pekerjaan dalam penelitian
ini diukur dengan menggunakan tiga indikator yang dikembangkan dari Campion et al
Rotasi Pekerjaan
Kinerja Karyawan
Kompetensi
Kecerdasan Emosional
Motivasi Intrinsik
47
(1994), yaitu : (1) ketertarikan terhadap rotasi, (2) keragaman pekerjaan dan (3) periode
waktu pelaksanaan rotasi.
Gambar 2.1
Indikator Variabel Rotasi Pekerjaan
Keterangan :
X1 = Ketertarikan terhadap rotasi
X2 = Keragaman pekerjaan
X3 = Waktu rotasi
2.6.2 Kecerdasan Emosional
Variabel kecerdasan emosional dibentuk dari lima indikator, yaitu : mudah
diakses, promosi dan bahasa yang sesuai seperti tampak pada gambar berikut ini :
Gambar 2.2
Model dari Variabel Kecerdasan Emosional
X3
X2
X1
Rotasi Pekerjaan
X4
X5
Kecerdasan
Emosional
48
Keterangan :
X4 : percaya diri
X5 : Pengendalian diri
X6 : Memenuhi harapan
X7 : Kontribusi
X8 : Memainkan peran
2.6.3 motivasi intrinsik
Motivasi intrinsik adalah motif–motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu (Suwatno, 2011:175). Variabel Motivasi Intrinsik diukur dengan indikator yang terdapat dalam teori Hezberg (1966), yaitu: a) Keberhasilan, b) Pengakuan atau penghargaan, c) Pekerjaan itu sendiri, d) Tanggung Jawab, e) Peluang untuk berkembang.
Gambar 2.3
Indikator Motivasi Intrinsik
X6
X7
X8
X9
X10
X11Motivasi Intrinsik
49
Keterangan :
X9 = keberhasilan
X10 = pengakuan atau penghargaan
X11 = pekerjaan
X12 = tanggung jawab
X13 = peluang untuk berkembang
2.6.4 Kinerja Karyawan
Definisi operasional dari kinerja karyawan adalah hasil yang telah dicapai dari
yang telah dilakukan, dikerjakan seseorang dalam melaksanakan kerja atau tugas.
Variabel kinerja kryawan dalam penelitian ini diukur oleh enam indikator yang
dikembangkan oleh Tsui et al (1997), dimana penilaian kinerja sumber daya manusia
diteliti berdasarkan perilaku yang spesifik dengan menggunakan delapan kriteria ysitu (1)
kuantitas kerja karyawan, (2) kualitas kerja karyawan, (3) efisiensi karyawan, (4) standar
kualitas karyawan, (5) usaha karyawan, (6) kemampuan karyawan terhadap pekerjaan
inti, (7) ketepatan karyawan dan (8) pengetahuan karyawan.
Gambar 2.4
Model dari Variabel Kinerja Karyawan
X12
X13
X14
X15
X16
Kinerja
KaryawanX17
50
Keterangan :
X14 = kuantitas kerja karyawan
X15 = kualitas kerja karyawan
X16 = efisiensi karyawan
X17 = standar kualitas karyawan
X18 = usaha karyawan
X19 = kemampuan karyawan terhadap pekerjaan inti
X20 = ketepatan karyawan
X21 = pengetahuan karyawan
X18
X19
X20
X21
51
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam tipe desain penelitian kausal yaitu untuk
mengidentifikasi hubungan sebab dan akibat antar variabel dan peneliti mencari tipe
sesungguhnya dari fakta untuk membantu memahami dan memprediksi hubungan
(Zikmund dalam Ferdinand, 2006). Permasalahan yang ditampilkan dalam penelitian ini
merupakan permasalahan yang dianjurkan oleh para peneliti terdahulu, yang
membutuhkan dukungan untuk fakta yang terbaru.
Penelitian terdahulu akan membantu untuk merumuskan dan mengidentifikasi
permasalahan untuk penelitian ini. Selanjutnya telaah pustaka dari penelitian - penelitian
terdahulu digunakan untuk menjelaskan analisis permasalahan, melakukan pemahaman
dasar pada teori dan hasil penelitian terdahulu, untuk kemudian mengungkapkan hipotesis
yang akan di uji. Kemudian dikembangkan suatu bentuk model penelitian yang bertujuan
untuk menguji hipotesis penelitian yang telah ditentukan pada bab sebelumnya. Dari
model penelitian yang telah dikembangkan ini, diharapkan akan menjelaskan hubungan
52
antar variabel sekaligus membuat suatu implikasi yang dapat digunakan untuk peramalan
atau prediksi.
3.2 Populasi Penelitian
Populasi merupakan kumpulan individu atau obyek penelitian yang memiliki
kualitas serta ciri - ciri yang telah ditetapkan. Berdasarkan kualitas dan ciri - ciri tersebut,
populasi dapat dipahami sebagai sekelompok individu atau obyek pengamat yang
minimal memiliki satu persamaan karakteristik (Cooper dan Emory, 1995). Adapun
populasi dalam penelitian ini adalah semua perawat Rumah Sakit Islam Sultan Agung
Semarang yang berjumlah seratus orang. Penelitian ini menggunakan metode sensus,
yaitu menggunakan semua populasi sebagai responden penelitian.
3.3 Jenis Sumber dan Jenis Data
Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data subyek, karena
data penelitian ini adalah berupa opini, sikap dari perawat Rumah Sakit Islam Sultan
Agung Semarang yang menjadi subyek penelitian atau responden. Sedangkan sumber
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer, karena data yang didapat
penelitian ini berasal dari sumber pertama, yang berupa hasil wawancara atau hasil
pengisian kuesioner yang dilakukan oleh responde. Kuesioner pertanyaan tertutup
penelitian ini menggunakan skala 1-5.
3.4 Metode Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil penyebaran kuesioner kemudian akan diolah dengan
menggunakan program SPSS for Windows 17. Untuk mendapat data yang akurat dan
dapat dipertanggungjawabkan, maka sebelumnya kuesioner yang dipakai akan diuji
terlebih dahulu reliabilitas dan validitasnya.
3.5 Pengujian Instrumen Penelitian
1. Uji Validitas
53
Uji validitas menunjukkan sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur
dapat mengukur suatu konstruk. Faktor analisis dipergunakan dalam pengujian validitas
karena alat analisis ini merupakan salah satu metode statistik multivariat yang bertujuan
untuk meringkas atau mengurangi data (variabel) yang akan diperlakukan dalam analisis.
Faktor analisis dapat digunakan untuk menentukan pola hubungan yang mendasari
sejumlah variabel dan menentukan apakah informasi dapat diringkas dalam sejumlah
faktor yang lebih kecil. Item kuesioner dapat dikatakan valid sebagai instrumen penelitian
apabila menghasilkan KMO lebih dari 0,5 dan loading factor (component matrix) lebih
dari 0,4.
2. Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas instrumen ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah instrumen yang
digunakan mempunyai reliabilitas yang baik atau tidak. Reliabilitas adalah istilah yang
dipakai untuk menunjukkan sejauh mana pengukuran relatif konsisten apabila
pengukurannya diulang dua kali atau lebih. Instrumen dikatakan mempunyai reliabilitas
bila instrumen itu cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data
(Suharsimi Arikunto, 1991). Untuk menguji reliabilitas dalam penelitian ini digunakan
rumus Alpha Cronbach. Butir tes mempunyai reliabilitas baik, jika Alpha Cronbach lebih
besar dari 0,6 (Sutrisno Hadi, 1994).
3. Uji Asumsi Klasik
Pengujian asumsi klasik digunakan untuk mengetahui kondisi data yang ada agar
dapat menentukan model analisis yang paling tepat. Data yang digunakan sebagai model
regresi berganda dalam menguji hipotesis nanti harus menghindari kemungkinan
terjadinya penyimpangan asumsi klasik. Dalam penelitian ini, asumsi klasik yang
dianggap penting adalah (Gujarati, 1995) :
a. Memiliki distribusi normal
b. Tidak terjadi multikolinearitas antar variabel independen
c. Tidak terjadi heterokedastisitas atau varian variabel pengganggu yang konstan
(homoskedastisitas)
54
d. Tidak terjadi autokorelasi antar residual setiap variabel independen
1) Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi, variabel
dependen dan variabel independen memiliki distribusi normal atau tidak. Model regresi
yang baik adalah yang memiliki distribusi data yang normal atau mendekati normal
(Santoso, 2000). Penelitian ini melakukan uji normalitas melalui dua cara yaitu :
a) Analisis grafik
Pedoman untuk melihat normalitas model regresi dengan menggunakan grafik baik
secara normal plot maupun histogram adalah sebagai berikut :
Jika data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal, atau
garis histogramnya menunjukkan pola distribusi normal, maka model regresi tersebut
memenuhi asumsi normalitas.
Jika data menyebar jauh dari garis diagonal dan atau tidak mengikuti arah garis
diagonal, atau grafik histogramnya tidak menunjukkan pola distribusi normal maka
model regresi tersebut tidak memenuhi asumsi normalitas.
b) Uji Kolmogorov-Smirnov
Jika nilai Kolmogorov-Smirnov Z tidak signifikan maka semua data yang ada tidak
terdistribusi secara normal.
2) Multikolinearitas
Multikolinearitas mempunyai arti adanya hubungan linear yang sempurna atau pasti
antara beberapa atau semua variabel independen dalam model regresi. Adanya
multikolinearitas dalam model persamaan regresi yang digunakan akan mengakibatkan
ketidaktepatan estimasi sehingga mengarah pada kesimpulan yang menerima hipotesis
nol. Hal ini menyebabkan koefisien regresi menjadi tidak signifikan dan standar deviasi
sangat sensitif terhadap perubahan (Gujarati, 1995).
3) Heterokedastisitas
55
Heteroskedastisitas adalah adanya varian yang berbeda yang dapat membiaskan hasil
yang telah dihitung. Konsekuensi yang timbul adalah adanya formula ordinary least
square akan menaksir terlalu rendah varian yang sesunguhnya. Uji heteroskedastisitas
digunakan untuk menguji apakah pada model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari
residual suatu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika varian dari residual suatu
pengamatan ke pengamatan yang lain tetap maka hal tersebut diebut homoskedastisitas
dan jika berbeda disebut heteroskedastistas. Model regresi yang baik adalah yang bersifat
homoskedastisitas atau dengan kata lain tidak terjadi heteroskedastisitas.
3.6 Teknik Analisis Data
1. Analsis Regresi Linier Berganda
Untuk mengetahui pengaruh variabel kecerdasan emosional dan rotasi kerja terhadap
motivasi dalam meningkatkan kinerja perawat Rumah Sakit Islam Sultan Agung
digunakan analisis regresi berganda karena data pengamatan terdiri dari beberapa
variabel bebas (independent variabel), yang mana estimasi persamaannya ditujukan untuk
menggambar suatu pola, hubungan/fungsi yang ada di antara variabel-variabel tersebut.
Model dan persamaan regresi linier berganda yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut (Gujarati, 1995) :
Y = biX1 + b2X2
Keterangan :
b = koefisien regresi
e = error
X1 = variabel rotasi pekerjaan (variabel independen)
X2 = variabel kecerdasan emosional(variabel independen)
Y = kinerja karyawan (variabel dependen)
2. Uii t
56
Uji t digunakan untuk mengetahui apakah koefisien regresi yng dihasilkan dari
masing-masing variabel bebas signifikan atau tidak terhadap variabel dependen. Dalam
penelitian ini digunakan uji dua sisi taraf signifikasi 5% dengan menggunakan program
statistik SPSS for windows 13. Pengambilan kputusan untuk menerima atau menolak
hipotesis dilakukan dengan membandingkan nilai t hitung dengan t tabel.
Bila nilai t_test > t_tabel atau -t_test<-t_test tabel, maka hipotesis didukung atau
diterima
Bila nilai t_test < t_tabel atau -t_test>-t_test tabel, maka hipotesis tidak didukung
atau tidak diterima
3. Koefisien Determinasi R2
Koefisien determinasi (Adjusted R Square) digunakan untuk melihat kemampuan
variabel bebas dalam memerangkan variabel terikat dan proporsi variasi dari variabel
terikat yang diterangkan oleh variasi dari variabel - variabel bebasnya. Jika R2 yang
diperoleh dari hasil perhitungan menunjukkan semakin besar (mendekati satu), maka
dapat dikatakan bahwa sumbangan dari variabel bebas terhadap variasi variabel terikat
semakin besar. Hal ini berarti model yang digunakan semakin besar untuk menerangkan
variabel terikatnya.
57
DAFTAR PUSTAKA
Setiawan, A. 2011. Analisis Pengaruh Rotasi Pekerjaan Terhadap Kinerja Karyawan
Dengan motivasi intrinsik Sebagai Variabel Intervening (Studi Pada CV Sempurna
Boga Makmur Semarang). Tesis. Semarang : Program Studi Magister Manajemen
Pasca Sarjana Universitas Dipenogoro
Jachja, D.R. 2012. Analisis Pengaruh Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Spiritual dan
Kecerdasan Emosional Terhadap Kinerja Karyawan (Studi di PT. Multiguna
International Persada). Tesis. Semarang : Program Studi Magister Manajemen
Pasca Sarjana Universitas Dipenogoro
Indarningtyas, D. 2015. Efikasi Diri dan Kecerdasan Emosional Sebagai Variabel
Mediasi Pengaruh Antara Kepribadian Conscientinousness Terhadap Kinerja
Individu. Tesis. Semarang : Program Studi Magister Manajemen Pasca Sarjana
Universitas Dipenogoro
58
Hamid, S. 2012. Manajemen Sumber Daya Manusia Lanjutan Edisi 1. Yogyakarta :
CV.Budi Utama : Hal 38-40
Agustian, Ary Ginanjar. 2002. Rahasia Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual:
Emotional Spiritual Quotient (ESQ) Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun
Islam. Jakarta: Arga.
Cooper, Robert K. dan Ayman Sawaf. 2001. Executive EQ: Kecerdasan Emosional
dalam Kepemimpinan dan Organisasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Novarina, 2008, “Hubungan Antara Kecerdasan Emosional Dengan motivasi intrinsik Di
PT. Timur Jaya Prestasi Jakarta”. Tesis, Jakarta : Unika Atmajaya
Mahardhika,R. Hamid, D. Ruhana, I. 2010. Pengaruh motivasi intrinsik Terhadap Kinerja
Karyawan (Survei Karyawan Pada PT. Axa Financial Indonesia Sales Office
Malang) . Malang : Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang
Agustin, Fidya, W; 2012.Pengaruh motivasi intrinsik Terhadap Prestasi Kerja pada PT.
Hero Sakti Motor Gemilang Malang Jawa Timur. Fakultas Ilmu Administrasi
Universitas Brawijaya
Bestari, Muhammad, P; 2011.Pengaruh Motivasi dan Disiplin Kerja Terhadap Prestasi
Kerja pada PT. Indosat, Tbk Cabang Malang. Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis
Universitas Brawijaya Malang