146
TESIS : SK-2402 MODIFIKASI PERMUKAAN ABU LAYANG MENGGUNAKAN NaOH DAN APLIKASINYA UNTUK GEOPOLIMER: SIFAT FISIK DAN MEKANIK KHOSNA IRANI 1407 201 757 DOSEN PEMBIMBING Lukman Atmaja, Ph. D Hamzah Fansuri, Ph. D

Tesis Khosna Irani

  • Upload
    ikyqyo

  • View
    349

  • Download
    10

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Tesis Khosna Irani

TESIS : SK-2402

MODIFIKASI PERMUKAAN ABU LAYANG MENGGUNAKAN NaOH DAN APLIKASINYA UNTUK GEOPOLIMER: SIFAT FISIK DAN MEKANIK

KHOSNA IRANI1407 201 757

DOSEN PEMBIMBINGLukman Atmaja, Ph. DHamzah Fansuri, Ph. D

PROGRAM MAGISTERBIDANG KEAHLIAN KIMIA FISIKAJURUSAN KIMIAFAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAMINSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA2009

Page 2: Tesis Khosna Irani

Tesis disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelarMagister Sains (M.Si)

diInstitut Teknologi Sepuluh Nopember

oleh:Khosna Irani

NRP. 1407 201 757

Tanggal Ujian: 21 April 2009PeriodeWisuda: Oktober 2009

Disetujui oleh:

1. Lukman Atmaja, Ph.D (Pembimbing I)NIP. 131 835 481

2. Hamzah Fansuri, Ph.D(Pembimbing II)NIP. 132 125 666

3. Nurul Widiastuti, M.Si, Ph.D (Penguji)NIP. 132 125 685

4. Dr. Afifah Rosyidah, M.Si (Penguji)NIP. 132 206 286

5. Dr. Surya Rosa Putra (Penguji)NIP. 131 773 921

Direktur Program Pascasarjana,

ii

Page 3: Tesis Khosna Irani

Prof. Dr. Ir. Suparno, MSIENIP. 130 532 035

MODIFIKASI PERMUKAAN ABU LAYANG MENGGUNAKAN NaOH DAN APLIKASINYA UNTUK

GEOPOLIMER: SIFAT FISIK DAN MEKANIK

Nama Mahasiswa : Khosna IraniNRP : 1407 201 757Dosen Pembimbing : 1. Lukman Atmaja, Ph.D

2. Hamzah Fansuri, Ph.D

ABSTRAK

Geopolimer merupakan polimer anorganik yang mempunyai sifat-sifat mekanik yang baik dan memberikan orientasi aplikasi teknologi yang bagus sehingga potensial untuk terus diteliti penggunaannya. Geopolimer dapat disintesis dari bahan baku yang berasal dari abu pembakaran batubara (abu layang). Kualitas geopolimer sangat dipengaruhi oleh kelarutan Si dan Al sehingga diperlukan cara untuk meningkatkan jumlah Si dan Al reaktif yaitu dengan memodifikasi abu layang dengan metode refluks. Jumlah Si dan Al dalam abu layang dipengaruhi oleh OH-. Dalam penelitian ini digunakan larutan NaOH untuk memodifikasi abu layang. Variasi konsentrasi NaOH yang diperlakukan adalah 0; 1; 2; 3 M. Perubahan pada abu layang hasil modifikasi kemudian dianalisis. Analisis perubahan komposisi dengan XRF menunjukkan bahwa terjadi perubahan komposisi abu layang sesudah modifikasi pada konsentrasi larutan 1 M dengan perolehan perbandingan Si/Al lebih tinggi daripada komposisi abu layang sebelum modifikasi. Analisis perubahan fasa abu layang dengan XRD menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi larutan NaOH, semakin banyak fasa baru yang terbentuk. Tidak ada perubahan fasa antara abu layang sesudah modifikasi pada konsentrasi larutan NaOH 1 M dengan abu layang sebelum modifikasi. Analisis perubahan morfologi abu layang dengan SEM menunjukkan bahwa terjadi perubahan morfologi abu layang sebelum modifikasi dari bentuk bulat dan halus menjadi kasar pada abu layang sesudah modifikasi dengan larutan NaOH 1 M. Analisis abu layang dengan FTIR menunjukkan perubahan struktur ikatan kimia untuk abu layang sesudah modifikasi dari 1085 cm-1 ke bilangan gelombang yang lebih rendah yaitu sekitar 1000 cm-1 yang menunjukkan perubahan struktur mirip zeolit.

Kuat tekan geopolimer yang disintesis dari abu layang sesudah modifikasi lebih tinggi daripada geopolimer yang disintesis dari abu layang sebelum modifikasi. Perubahan perbandingan Si/Al, fasa, morfologi, dan ikatan kimia pada abu layang sesudah modifikasi dengan larutan NaOH 1 M menjadikan kuat tekan geopolimer yang dihasilkan tertinggi diantara geopolimer yang lainnya dan porositasnya terendah diantara geopolimer yang lainnya.

iii

Page 4: Tesis Khosna Irani

Kata kunci : Abu Layang, Larutan Alkalin, Geopolimer

iv

Page 5: Tesis Khosna Irani

SURFACE MODIFICATION OF FLY ASH USING NaOH AND ITS APPLICATION FOR GEOPOLYMER: PHYSICAL AND MECHANICAL PROPERTIES

ABSTRACT

Name : Khosna IraniNRP : 1407 201 757Supervisor : Lukman Atmaja, Ph.DCo-Supervisor : Hamzah Fansuri, Ph.D

Geopolymer is an inorganic polymer having good mechanical properties and give a good application orientation of technology. Geopolymer could be synthesized from fly ash, waste product of coal combustion. Geopolymer quality depends on Si and Al dissolution of fly ashes. Therefore, it is important to increase the amount of Si and Al by modifying the fly ash using reflux method. The amount of Si and Al depend on OH- available so that NaOH concentrations will be varied as 0, 1, 2, 3 M.

The change of composition analysis of modified fly ash by XRF shows that its Si/Al ratio was higher than of raw fly ash and reaches optimum in the concentration NaOH 1 M. Phase analysis by XRD shows that there was no phase change at NaOH 1 M. However, in higher concentration some new phase was formed. The shape of raw fly ash is smooth and spherical as confirmed by SEM. The modification process lead to rough shape. Analysis for chemical bonding with FTIR shows that the bond Si-O-Si and Si-O-Al was shifted to about 1000 cm-1

from the original wavenumber at 1085 cm-1. The compressive strength test were used to analysis the modified and unmodified fly ash. The change for ratio Si/Al, phase, morphology, and chemical bonding in modified fly ash with NaOH solution with concentration 1 M make the compressive strength was higher than the other.

Key words : Fly Ash, Alkaline solution, Geopolymer

v

Page 6: Tesis Khosna Irani

vi

Page 7: Tesis Khosna Irani

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan

karunia-Nya sehingga penulisan naskah Tesis ini dapat terselesaikan dengan baik.

Tesis dengan judul ” Modifikasi Permukaan Abu Layang Menggunakan NaOH

dan Aplikasinya untuk Geopolimer: Sifat Fisik dan Mekanik” memberikan

gambaran tentang pemanfaatan abu layang menjadi material geopolimer.

Penyusunan Tesis ini tidak lepas dari bimbingan dan petunjuk serta bantuan

dari berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima

kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Lukman Atmaja, Ph.D selaku Ketua Jurusan Kimia FMIPA ITS

dan selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak membantu dan

membimbing penulis dalam penulisan ini

2. Bapak Hamzah Fansuri, Ph.D selaku Dosen Pembimbing II yang telah

banyak membantu dan membimbing penulis dalam penulisan ini

3. Bapak Prof. Dr. Taslim Ersam, MS selaku Koordinator Program

Magister Kimia FMIPA-ITS

4. Ibu Nurul Widiastuti, MSi, Ph.D., Ibu Dr. Afifah Rosyidah, MSi.,

Bapak Dr. Surya Rosa Putra selaku Dosen Penguji

5. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Kimia FMIPA-ITS yang telah banyak

memberikan ilmu dan motivasi

6. Departemen Pendidikan Nasional atas beasiswa yang diberikan

7. Keluarga di Malang dan di Gresik serta suami atas dukungan serta

doanya selama ini.

8. Tim penelitian dan semua pihak yang telah membantu penulisan Tesis

ini.

Penulis menyadari bahwa Tesis ini belum sempurna, sehingga penulis

mengharapkan saran dan kritik membangun dari semua pihak.

Surabaya, April 2009

vii

Page 8: Tesis Khosna Irani

Penulis

viii

Page 9: Tesis Khosna Irani

DAFTAR ISI

HalHALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN............................................................................ ii

ABSTRAK....................................................................................................... iii

ABSTRACT..................................................................................................... v

KATA PENGANTAR..................................................................................... vii

DAFTAR ISI.................................................................................................... ix

DAFTAR GAMBAR....................................................................................... xi

DAFTAR TABEL........................................................................................... xiii

DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... xv

BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................. 11.1 Latar Belakang............................................................................. 11.2 Perumusan Masalah..................................................................... 51.3 Tujuan Penelitian......................................................................... 51.4 Manfaat Penelitian....................................................................... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 72.1 Abu Layang Batubara.................................................................. 72.2 Geopolimer.................................................................................. 9

2.2.1 Larutan Aktivator............................................................. 112.2.2 Karakterisasi Geopolimer................................................ 13

2.3 Penelitian Modifikasi Abu Layang.............................................. 152.3.1 Analisis Struktur Abu Layang......................................... 20

2.3.1.1 Difraksi Sinar X (XRD).......................................... 202.3.1.2 Spektrofotometri Inframerah Transformasi

Fourier (FTIR)........................................................ 222.3.2 Analisis Morfologi Abu Layang...................................... 242.3.3 Analisis Luas Permukaan................................................. 252.3.4 Analisis Kuat Tekan dan Porositas.................................. 27

2.4 Uji Pendahuluan........................................................................... 26

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN..................................................... 29

ix

Page 10: Tesis Khosna Irani

3.1 Alat dan Bahan Penelitian........................................................... 293.1.1 Alat Penelitian.................................................................. 293.1.2 Bahan Penelitian.............................................................. 29

3.2 Cara Kerja................................................................................... 293.2.1 Analisis Abu Layang....................................................... 293.2.2 Pembuatan Larutan Aktivator.......................................... 293.2.3 Modifikasi abu layang dengan NaOH............................. 303.2.4 Analisis Struktur Abu layang........................................... 30

3.2.4.1 Difraksi Sinar X (XRD)....................................... 303.2.4.2 Spektrofotometri Inframerah Transformasi

Fourier (FTIR)..................................................... 313.2.5 Analisis Morfologi Abu Layang dan Geopolimer...…… 313.2.6 Analisis Pori dan Luas Permukaan.................................. 323.2.7 Pembuatan Pelet Geopolimer.......................................... 323.2.8 Pengukuran Kuat Tekan.................................................. 323.2.9 Pengukuran Porositas...................................................... 333.2.10 Uji Pendahuluan.............................................................. 33

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN......................................................... 354.1 Uji Pendahuluan.......................................................................... 364.2 Analisis Abu Layang................................................................... 37

4.2.1 Analisis Komposisi Kimia Abu Layang Sebelum dan Sesudah Modifikasi.......................................................... 37

4.2.2 Analisis Fasa Abu Layang Sebelum dan Sesudah Modifikasi........................................................................ 46

4.2.3 Analisis Struktur Ikatan Kimia Abu Layang Sebelum dan Sesudah Modifikasi................................................... 49

4.2.4 Analisis Morfologi Abu Layang Sebelum dan Sesudah Modifikasi........................................................................ 51

4.2.5 Analisis Luas Permukaan Abu Layang Sebelum dan Sesudah Modifikasi.......................................................... 54

4.3 Hasil Sintesis Geopolimer dari Abu Layang Sebelum dan Sesudah Modifikasi...................................................................... 544.3.1 Pengujian Kuat Tekan dan Porositas Geopolimer........... 584.3.2 Analisis Morfologi Geopolimer Sebelum dan Sesudah

Modifikasi........................................................................ 614.3.3 Analisis Struktur Ikatan Kimia Abu Layang Sebelum

dan Sesudah Modifikasi................................................... 634.3.4 Analisis Fasa Geopolimer Sebelum dan Sesudah

Modifikasi........................................................................ 64

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN......................................................... 675.1 Kesimpulan................................................................................. 675.2 Saran........................................................................................... 67

x

Page 11: Tesis Khosna Irani

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 69

LAMPIRAN..................................................................................................... 75DAFTAR GAMBAR

HalGambar 2.1. Struktur Kimia Poly(sialate)..................................................... 10

Gambar 2.2. Analisis dengan SEM dari (a) Abu Layang dan (b) Campuran Antara Abu Layang dengan Natrium Silikat............................ 13

Gambar 2.3. Analisis dengan SEM dari (a) Abu Layang dan (b) Campuran Antara Abu Layang dengan Natrium Hidroksida..................... 13

Gambar 2.4. Grafik Waktu Curing Terhadap Kuat Tekan............................ 14

Gambar 2.5. Range Suhu Kristalisasi dari Sistem SiO2/Al2O3...................... 15

Gambar 2.6. Analisis dengan XRD untuk Abu Layang yang Teraktivasi..... 19

Gambar 2.7. Pola XRD untuk Abu Layang Teraktivasi Pada Suhu yang Berbeda-beda............................................................................ 21

Gambar 2.8. Spektra FTIR dari 4000-2800 cm-1........................................... 23

Gambar 2.9. Spektra FTIR dari 1400-900 cm-1............................................. 23

Gambar 2.10. SEM Abu Layang (a) yang Tidak Termodifikasi dan (b) Abu Layang yang Dimodifikasi dengan NaOH ............................... 24

Gambar 2.11. Distribusi Volume Pori sebagai Fungsi Jari-Jari Pori untuk Abu Layang yang Tidak Termodifikasi.................................... 26

Gambar 2.11. Distribusi Volume Pori sebagai Fungsi Jari-Jari Pori untuk Abu Layang yang Dimodifikasi dengan NaOH........................ 26

Gambar 4.1. Model Penggambaran Aktivasi Alkali pada Abu Layang........ 41

Gambar 4.2 Difraktogram XRD untuk Abu Layang (a) Sebelum Modifikasi (b), (c), (d), dan (e) Sesudah Modifikasi dengan Larutan NaOH 0 M, 1 M, 2 M dan 3 M ................................... 47

Gambar 4.2a Difraktogram XRD pada 2θ=10-20º untuk Abu Layang (a) Sebelum Modifikasi (b), (c), (d), dan (e) Sesudah Modifikasi dengan Larutan NaOH 0 M, 1 M, 2 M dan 3 M .... 48

xi

Page 12: Tesis Khosna Irani

Gambar 4.2b Difraktogram XRD pada 2θ=22-26º dan 2θ=25-30º untuk Abu Layang (a) Sebelum Modifikasi (b), (c), (d), dan (e) Sesudah Modifikasi dengan Larutan NaOH 0 M, 1 M, 2 M dan 3 M .................................................................................... 48

Gambar 4.3. Spektra FTIR untuk Abu Layang (a) Sebelum Modifikasi (b), (c), (d), dan (e) Sesudah Modifikasi Dengan Larutan NaOH 0 M, 1 M, 2 M dan 3 M................................................ 51

Gambar 4.4. Morfologi dari Abu Layang untuk (a) Abu Layang Sebelum Modifikasi (b) Abu Layang Hasil Modifikasi dengan Larutan NaOH 1 M (c) Abu Layang Hasil Modifikasi dengan Larutan NaOH 2 M dan (d) Abu Layang Hasil Modifikasi dengan Larutan NaOH 3 M................................................................... 52

Gambar 4.5. Morfologi Geopolimer dengan Perbesaran 10.000 kali yang Disintesis dari Abu Layang untuk (a) Abu Layang Sebelum Modifikasi, (b) Abu Layang yang Dimodifikasi dengan Larutan NaOH 1 M dan (c) Abu layang yang Dimodifikasi dengan Larutan NaOH 3 M ..................................................... 62

Gambar 4.6. Spektra FTIR untuk (a) Geopolimer yang Disintesis Dari Abu Layang Sebelum Modifikasi dan (b) Geopolimer yang Disintesis dari Abu Layang Sesudah Modifikasi dengan Larutan NaOH 1 M .. ............................................................... 64

Gambar 4.7. Difraktogram XRD untuk (a) Geopolimer yang Disintesis Dari Abu Layang Sebelum Modifikasi dan (b) Geopolimer yang Disintesis dari Abu Layang Sesudah Modifikasi dengan Larutan NaOH 1 M .................................................................. 65

xii

Page 13: Tesis Khosna Irani

DAFTAR TABEL

HalTabel 2.1 Perbandingan Si/Al dan Aplikasinya.............................................. 9

Tabel 2.2 Kondisi Sintesis dan Hasil Spesi Zeolit yang Teridentifikasi XRD................................................................................................ 19

Tabel 2.3 Data Intensitas 5 Puncak Utama Faujasite Hasil Sintesis Dibandingkan Intensitas Faujasite Standar.................................... 19

Tabel 3.1 Variasi Komposisi S/L pada Uji Pendahuluan abu layang PLTU Asam-asam...................................................................................... 33

Tabel 4.1 Nilai Kuat Tekan pada Variasi Perbandingan Mol SiO2/Al2O3...... 36

Tabel 4.2 Komposisi Kimia Abu Layang Sebelum dan Sesudah Modifikasi dalam Persen Senyawa (%w/w)...................................................... 39

Tabel 4.3 Komposisi Kimia Abu Layang Sebelum dan Sesudah Modifikasi dalam Persen Unsur (%w/w).......................................................... 39

Tabel 4.4 Hasil Analisis ICP Untuk Filtrat Hasil Modifikasi Abu Layang dengan Larutan NaOH.................................................................... 43

Tabel 4.5 Perbandingan Si/Al Sebelum dan Sesudah Modifikasi.................. 54

Tabel 4.6 Pengaruh Modifikasi Kimia Abu Layang Terhadap Luas Permukaan dan Pori-pori Abu Layang........................................... 55

Tabel 4.7 Hasil Kuat Tekan dan Porositas Geopolimer dari Abu Layang Hasil Modifikasi dengan Larutan NaOH........................................ 58

xiii

Page 14: Tesis Khosna Irani

xiv

Page 15: Tesis Khosna Irani

DAFTAR LAMPIRAN

HalLampiran A: Skema Kerja............................................................................ 75

1. Uji Pendahuluan.......................................................................... 75

2. Modifikasi Abu Layang dengan NaOH...................................... 76

3. Pembuatan Geopolimer............................................................... 77

4. Komposisi Bahan untuk Sintesis Geopolimer............................ 78

Lampiran B: Data Hasil Pengujian............................................................... 79

1. Tabel Hasil Uji Kuat Tekan Sampel Geopolimer untuk Uji Pendahuluan............................................................................... 79

2. Tabel Hasil Uji Kuat Tekan Sampel Geopolimer Sebelum dan Sesudah Modifikasi.................................................................... 80

3. Tabel Hasil Porositas Sampel Geopolimer................................ 81

4. Tabel Hasil Kuat Tekan dan Porositas Sampel Geopolimer...... 82

Lampiran C: Dokumentasi............................................................................ 83

1. Pelet Geopolimer........................................................................ 83

2. Seperangkat Alat Refluks........................................................... 83

xv

Page 16: Tesis Khosna Irani

xvi

Page 17: Tesis Khosna Irani

xvii

Page 18: Tesis Khosna Irani

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejauh ini beton dikenal sebagai material bangunan paling populer. Hal ini

karena bahan dasarnya mudah didapati dan harganya relatif murah, serta teknologi

pembuatannya relatif sederhana. Namun, akhir-akhir ini penggunaan beton makin

sering mendapatkan kritik, khususnya dari kalangan yang peduli dengan

kelestarian lingkungan hidup. Yang menjadi sasaran perhatian adalah emisi gas

rumah kaca (CO2) yang dihasilkan dari proses kalsinasi kapur dan pembakaran

pada proses produksi semen yang memerlukan suhu tinggi.

Disisi lain, permintaan beton sebagai material konstruksi semakin

meningkat sehingga permintaan semen juga ikut meningkat. Pertumbuhan

konsumsi semen dalam negeri saja untuk semester I-2008 meningkat 21,1 persen

dari 15,5 juta ton per Juni 2007 menjadi 18,8 juta ton per Juni 2008. Diperkirakan

konsumsi semen hingga akhir tahun ini mencapai 20,4-21,3 juta ton. Menurut

Davidovits (1994), produksi 1 ton semen Portland akan menghasilkan 1 ton CO2

yang dilepas ke atmosfer, yang akan berakibat terhadap efek pemanasan global.

Kontribusi CO2 itu sendiri terhadap pemanasan global adalah sekitar 65%

(McCaffery, 2002). Peningkatan produksi semen tentunya akan meningkatkan

pula jumlah CO2 yang dilepas ke atmosfer sehingga akan mempercepat proses

pemanasan global.

Merujuk pada besarnya sumbangan industri semen terhadap total emisi

CO2 maka perlu segera dilakukan upaya untuk menekan angka produksi gas yang

memicu pemanasan global ini karena tampaknya proporsi sumbangan CO2 ini

akan terus bertahan atau bahkan meningkat sesuai dengan peningkatan produksi

semen. Oleh karena itu, penggantian sejumlah bagian semen dalam proses

pembuatan beton, atau secara total menggantinya dengan bahan lain yang lebih

ramah lingkungan menjadi pilihan yang lebih menjanjikan.

Usaha yang telah dilakukan untuk mengurangi konsumsi semen adalah

dengan mempromosikan penggunaan pozzolan non semen sebagai additif pada

1

Page 19: Tesis Khosna Irani

pembentukan beton semen Portland. Pozzolan adalah bahan yang mengandung

silika dan alumina yang tidak mempunyai sifat mengikat seperti semen tetapi

dalam bentuk yang halus dan dengan adanya air, senyawa-senyawa tersebut akan

bereaksi dengan kalsium hidroksida pada suhu kamar membentuk senyawa

kalsium silikat hidrat dan kalsium hidrat yang bersifat seperti semen. Salah satu

material yang bersifat pozzolan adalah abu layang yang merupakan sisa

pembakaran batubara. Abu layang dapat bereaksi dengan kapur bebas yang

dilepaskan semen saat proses hidrasi dan membentuk senyawa yang bersifat

mengikat pada suhu kamar dengan adanya air. Penggunaan abu layang sebagai

bahan additif pada pembuatan beton dikembangkan oleh pakar teknologi beton

Kanada yaitu VM Malhotra (Hardjito, 2008). Beliau mempelopori riset

penggunaan abu layang dalam proporsi cukup besar (sekitar 60-65 % dari total

semen Portland yang dibutuhkan) sebagai pengganti sebagian semen dalam proses

pembuatan beton.

Dalam 2 dekade terakhir ini, perkembangan mutakhir yang lebih

menjanjikan adalah penggunaan abu layang sepenuhnya sebagai pengganti semen

lewat proses yang disebut polimerisasi anorganik yang dipelopori oleh seorang

ilmuwan Prancis, Prof. Joseph Davidovits, yang dikenal sebagai geopolimer

(Hardjito, 2008). Geopolimer, demikian nama yang diberikan, menjadi harapan

utama mereduksi penggunaan semen untuk keperluan pembangunan infrastruktur.

Walaupun tahapan yang harus dilalui untuk penggunaan teknologi ini masih jauh,

setidaknya hasil riset yang ada selama ini menunjukkan hasil yang menjanjikan.

Pembuatan semen geopolimer dapat mereduksi hingga 80 % jumlah CO2 yang

dihasilkan dari proses pembuatan semen biasa.

Geopolimer memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan beton

semen Portland. Keunggulan tersebut antara lain dapat diproduksi dari bahan-

bahan buangan atau limbah industri dengan kandungan oksida silika tinggi seperti

abu sekam padi dan jerami, abu layang dan slag. Keunggulan lainnya adalah lebih

awet serta mampu memasung bahan-bahan beracun seperti logam-logam berat dan

bahan radioaktif.

Van Jaarsveld (2003) melaporkan penggunaan abu layang dari berbagai

sumber dan menyelidiki pengaruh komposisi abu layang terhadap sifat-sifat

2

Page 20: Tesis Khosna Irani

geopolimer yang dihasilkan. Beliau menemukan bahwa abu layang yang berasal

dari jenis batubara dan dari produsen tertentu akan memiliki komposisi kimia

yang berbeda dengan abu layang dari jenis batubara dan produsen lain yang akan

menyebabkan perbedaan sifat fisik dan mekanik dari geopolimer yang dihasilkan.

Sifat-sifat fisik dan mekanik geopolimer ini menjadi pertimbangan utama yang

sederhana dalam menentukan kinerjanya dibandingkan beton yang terbuat dari

semen. Sayangnya, saat ini belum semua faktor yang menentukan sifat fisik dan

mekanik geopolimer telah dipahami dengan baik.

Salah satu sifat mekanik yang banyak digunakan untuk menilai kualitas

geopolimer adalah kuat tekan. Menurut Van Jaarsveld, et. al., (2003) kuat tekan

geopolimer dipengaruhi oleh sejumlah faktor antara lain tingkat kelarutan Si-Al

dari bahan baku geopolimer. Sisa bahan baku yang tidak terlarut dapat

memberikan efek negatif terhadap kuat tekan geopolimer yang dihasilkan

(Duxson, et. al., 2005). Sementara itu, faktor yang secara signifikan

mempengaruhi laju dan kelarutan Si-Al selama proses geopolimerisasi adalah

ukuran partikel dan/atau luas permukaan spesifik (Rahier, et. al., 2003).

Penurunan ukuran partikel meningkatkan luas permukaan yang berarti pula dapat

meningkatkan kelarutan partikel Si-Al (Sutarno, et. al., 2004). Dengan semakin

banyaknya Si dan Al yang terlarut dari bahan baku, maka akan semakin baiklah

kuat tekan dari geopolimer yang terbentuk.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa peningkatan luas

permukaan dari abu layang, sebagai bahan baku pembuatan geopolimer, dapat

meningkatkan pula kuat tekan geopolimer yang dihasilkan. Salah satu cara yang

dapat ditempuh untuk meningkatkan luas permukaan dari abu layang adalah

dengan memodifikasinya secara kimia seperti yang dilaporkan oleh Sarbak, et. al.,

(2001). Modifikasi secara kimia tersebut memicu perubahan pada morfologi dan

luas permukaan abu layang (Yu-Fen, et. al., 2006), sekaligus juga akan

mempengaruhi kuat tekan geopolimer yang dihasilkannya.

Modifikasi kimia abu layang dapat dilakukan dengan menginkubasi abu

layang dengan larutan NaOH selama 24 jam pada suhu 100°C seperti yang

dilaporkan oleh Pengthamkeerati, et. al., (2008). Hasil dari perlakuan modifikasi

ini antara lain menunjukkan terjadinya perubahan morfologi abu layang. Beberapa

3

Page 21: Tesis Khosna Irani

perubahan yang terjadi antara lain adalah deformasi bentuk abu layang dari seperti

bola menjadi berbentuk piringan dan batangan. Selain itu, modifikasi tersebut juga

meningkatkan luas permukaan partikel-partikel abu layang. Penelitian lain

(Sarbak, et. al., 2002) menunjukkan bahwa abu layang yang direfluks dalam

larutan NaOH selama 24 jam pada suhu 90-100°C mengalami peningkatan luas

permukaan, jari-jari pori dan volume pori abu layang serta mengubah struktur abu

layang dari amorf menjadi kristalin.

Uraian di atas menunjukkan bahwa modifikasi kimia untuk abu layang

dapat meningkatkan luas permukaan abu layang. Lapisan permukaan partikel abu

layang yang tidak termodifikasi berbentuk glassy, sangat rapat dan stabil. Lapisan

ini melindungi susunan ruang di dalamnya yang berpori dan amorf dan karenanya

mempunyai aktifitas yang tinggi. Rantai glassy silika-alumina ini adalah stabil

dan rantai ini mengandung Si dan Al yang tinggi. Rantai ini harus dihancurkan

untuk meningkatkan aktivitas kimia (Yan, et. al., 2003).

Selain mengubah luas permukaan, modifikasi abu layang juga

menghasilkan gugus OH di permukaan partikel-partikel abu layang. Konsentrasi

OH permukaan yang tinggi menunjukkan banyaknya rantai glassy silika-alumina

yang dirusak dan menghasilkan sejumlah besar gugus-gugus yang aktif. Dengan

merusak lapisan permukaan yang glassy ini maka gugus-gugus aktif seperti silika

dan alumina di dalam partikel abu layang yang diperlukan untuk reaksi

geopolimerisasi menjadi lebih mudah larut (Goni, et. al., 2003) sedangkan sifat-

sifat geopolimer secara signifikan ditentukan oleh perubahan yang kecil dari

konsentrasi silika dan alumina selama sintesis. Kombinasi antara ketersedian

gugus OH di permukaan partikel-partikel abu layang ditambah dengan

peningkatan kelarutan unsur-unsur Si dan Al akan berimbas kepada perbaikan

sifat-sifat fisika dan kimia dari geopolimer yang terbentuk.

4

Page 22: Tesis Khosna Irani

1.2. Perumusan Masalah

Uraian di atas menunjukkan bahwa modifikasi permukaan abu layang

dapat meningkatkan jumlah Si dan Al reaktif sehingga diharapkan akan

menghasilkan geopolimer dengan kualitas yang lebih baik. Modifikasi abu layang

dan manfaatnya dalam bidang non geopolimer telah dilaporkan oleh peneliti-

peneliti lain, namun manfaatnya untuk kualitas geopolimer belum dilaporkan.

Dalam penelitian ini akan diselidiki modifikasi abu layang dengan NaOH dan

kaitan antara sifat geopolimer dengan partikel abu layang yang sudah

dimodifikasi.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memodifikasi abu layang dengan larutan

NaOH pada kondisi reaksi saat terbentuknya fasa geopolimer. Selanjutnya

dipelajari pula pengaruh modifikasi tersebut pada sifat fisik dan mekanik dari

geopolimer yang dihasilkan.

1.4. Manfaat Penelitian

Pengetahuan tentang proses modifikasi abu layang dan kaitannya dengan

sifat mekanik maupun kimia dari geopolimer yang dihasilkannya akan

memberikan kontribusi pada pengetahuan tentang proses geopolimerisasi abu

layang. Dengan pengetahuan tersebut, maka formulasi dalam pembuatan

geopolimer dari abu layang akan dapat lebih dipahami sehingga proses pembuatan

geopolimer tidak perlu lagi dilakukan dengan cara coba-coba.

Manfaat global adalah untuk meningkatkan penggunaan abu layang yang

merupakan hasil buangan proses pembakaran batubara menjadi geopolimer dan

mengatasi dampak buruk dari akumulasi limbah abu layang terhadap lingkungan.

5

Page 23: Tesis Khosna Irani

“Halaman ini sengaja dikosongkan”

6

Page 24: Tesis Khosna Irani

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Abu Layang Batubara

Abu layang adalah produk samping dari industri Pembangkit Listrik

Tenaga Uap (PLTU) yang menggunakan batu bara sebagai bahan bakar. Batubara

sebagai sumber energi dalam proses industri dihancurkan terlebih dahulu sebelum

proses pembakaran dan selama pembakaran batubara tersebut, terjadi perubahan

kimia dan fisika. Perubahan itu tergantung dari jenis batubara, cara penggilingan,

suhu pembakaran dan lamanya pembakaran. Pada saat batu bara dibakar, ada

bagian yang terbakar dan yang menguap yaitu karbon, belerang dan air yang

kemudian menghasilkan panas, CO2, SO2, dan uap. Bagian yang tidak terbakar

berupa tanah liat, feldspar dan sebagainya akan menjadi massa lebur. Massa ini

akan melewati ruang pembakaran yang suhunya rendah dan akan membentuk

partikel padat yang berbentuk butiran. Sebagian butiran ini berkumpul menjadi

abu padat (bottom ash) tetapi sebagian besar butiran halus terbang mengikuti

aliran gas, keluar dari ketel uap melalui cerobong. Partikel abu ini dipisahkan dari

gas buang dengan alat electrostatic presipirator, dan akan menghasilkan abu

layang batu bara.

Abu layang mempunyai mutu yang beragam tergantung pada mutu dan

jenis batubara, efisiensi pembakaran, kehalusan serbuk batubara, dimensi tungku

untuk membakar batubara, dan cara penangkapan abu layang dari pembakaran

batubara (Neville, 1996). Abu layang bersifat pozzolan. Pozzolan adalah bahan

alam atau buatan yang sebagian besar terdiri dari silikat dan atau aluminat yang

reaktif. Bahan ini tidak mempunyai sifat-sifat semen, tetapi dalam keadaan halus

jika dicampur dengan kapur padam dan air setelah beberapa waktu dapat

mengeras pada suhu kamar sehingga membentuk suatu massa yang padat dan

sukar larut (Husin, 2002).

Bentuk, kehalusan, distribusi ukuran pertikel, berat jenis dan komposisi

dari partikel abu layang berpengaruh terhadap sifat-sifat dari campuran beton,

beton basah dan pada perkembangan kekuatan dari beton yang telah mengeras.

7

Page 25: Tesis Khosna Irani

Mayoritas dari partikel abu layang adalah seperti kaca, padat, berlubang atau

berbentuk bola. Bentuk bola-bola kosong berlubang disebut cenosphere dan yang

berbentuk bulatan-bulatan yang mengandung lebih sedikit partikel abu layang

disebut plerosphere. Sisa partikel abu layang yang lainnya adalah tembus cahaya

sampai tak tembus cahaya, berpori sedikit sampai berpori banyak, bulat sampai

persegi panjang (Lauf, 1982). Sifat fisik abu layang menurut ACI (1992) adalah

ukuran partikelnya dari 1µm-1mm, spesific gravity dari 2,2-2,8, persentasi

kehalusan tertahan ayakan 0,075 mm; 0,045 mm; dan sampai ke dasar berturut-

turut adalah 3,5 %; 19,3 %; dan 77,2 %.

Abu layang dibedakan menjadi 2 tipe berdasarkan atas kandungan kalsium

oksidanya (CaO), yaitu:

1. Tipe C

Menurut ASTM C 618 abu layang ini mengandung CaO lebih dari 10%

dari beratnya. Senyawa lain yang terkandung didalamnya adalah SiO2 sebanyak

30-50%. Al2O3 sebanyak 17-20%, Fe2O3, MgO, Na2O dan sedikit K2O.

Mempunyai spesifik grafity 2,31-2,86. Abu layang tipe C biasanya didapat dari

pembakaran lignite atau sub-bitumenous batubara. Abu layang ini mempunyai

sifat seperti pozzolan, tetapi juga dapat bereaksi langsung dengan air untuk

membentuk kalsium silikat hidrat, kalsium hidroksida dan ettringite, yang

mengeras seperti semen. Sifat ini disebabkan oleh kandungan kalsium yang tinggi,

sehingga dalam penggunaannya abu layang ini dapat mempercepat atau

memperlambat waktu setting, tergantung komposisi penggunaannya, bahkan pada

komposisi tertentu penggunaan abu layang tipe ini tidak mempengaruhi proses

pengerasan.

2. Tipe F

Menurut ASTM C 618 abu layang ini mengandung CaO kurang dari 10%

dari beratnya. Senyawa yang terkandung didalamnya adalah SiO2 sebanyak 45-

60%, Al2O3 sebanyak 20-28%, Fe2O3, MgO, K2O dan sedikit Na2O. Mempunyai

spesifik grafity antara 2,15-2,45. Abu layang tipe F didapat dari pembakaran

anthracite atau bitumenous batubara. Abu layang ini bersifat pozzolan, tidak dapat

mengadakan sementasi secara langsung dengan air, karena kandungannya CaOnya

8

Page 26: Tesis Khosna Irani

sedikit. Dengan kandungan CaO yang sedikit maka Ca(OH)2 yang dihasilkan juga

lebih kecil dibandingkan tipe C, jadi cenderung memperlambat waktu setting.

Salah satu pemanfaatan abu layang adalah sebagai bahan dasar pembuatan

polimer anorganik yang dikenal dengan sebutan geopolimer. Sejak

diperkenalkannya bahan geopolimer dari bahan dasar yang mengandung

aluminasilikat seperti tanah lempung dan kaolin oleh J. Davidovits, pemanfaatan

abu layang sebagai bahan bangunan semakin berkembang dengan pesat

(Davidovits, 1999).

Menurut Davidovits (1994), material geopolimer mempunyai manfaat

yang luas dalam bidang industri. Manfaat material geopolimer ditentukan oleh

struktur kimia perbandingan atomik Si/Al. Pengelompokan manfaat geopolimer

berdasarkan perbandingan Si/Al ditunjukkan pada tabel dibawah ini.

Tabel 2.1. Perbandingan Si/Al dan Aplikasinya

Perbandingan Si/Al Aplikasi

1 -batu bata-keramik-pelindung api

2 -semen dan beton dengan kadar CO2 rendah

3 -komposit serat gelas tahan api-peralatan pengecoran logam-komposit tahan panas, 200°C hingga 1000°C-alat untuk proses aeronautika titanium

>3 -penutup/segel untuk industri, 200°C hingga 1000°C-alat untuk aeronautika SPF alumunium

20-35 -komposit serat tahan panas dan tahan api

2.2 Geopolimer

Geopolimer merupakan polimer anorganik dengan komposisi kimia

materialnya sama dengan material zeolit alam tetapi mikrostrukturnya adalah

amorf. Davidovits juga menggunakan istilah poly(sialate) untuk desain kimia

geopolimer yang berdasarkan silika-aluminat (Davidovits, 1991; Van Jaarsveld,

2002). Sialate adalah singkatan untuk silicon-oxo-aluminate. Poly(sialate)

merupakan rantai atau cincin polimer dengan Si4+ dan Al3+ dalam koordinasi lipat

9

Page 27: Tesis Khosna Irani

4 dengan oksigen dengan range dari amorf sampai semi kristal. Rumus empiris

poly(sialate) adalah Mn(-SiO2)z (-AlO2)n.wH2O, dimana z = 1,2,3 sampai 35; M =

kation seperti kalsium; dan n = derajat polikondensasi. Ada 3 jenis poly(sialate)

yaitu poly(sialate) (Si-O-Al-O), poly(sialate-siloxo) (Si-O-Al-O-Si-O) dan

poly(sialate-disiloxo) (Si-O-Al-O-Si-O-Si-O). Struktur dari ketiganya adalah:

Gambar 2.1. Struktur Kimia Poly(sialate) ( Davidovits, 1994)

Beton geopolimer merupakan produk beton geosintetik dimana reaksi

pengikatan yang terjadi adalah reaksi polimerisasi. Dalam reaksi polimerisasi ini

aluminat dan silikat mempunyai peranan penting dalam membentuk ikatan

polimer. Proses polimerisasi melibatkan reaksi kimia dibawah kondisi alkali

dalam mineral Si-Al, yang menghasilkan rantai polimer 3 dimensi dan struktur

yang mengandung ikatan Si-O-Al-O (Davidovits, 1994) sedangkan ikatan yang

terjadi pada beton konvensional yang menggunakan semen menghasilkan ikatan

kalsium silikat hidrat (CSH).

Proses pembuatan beton geopolimer disebut dengan proses polimerisasi

kondensasi, yaitu reaksi gugus fungsi banyak (molekul yang mengandung 2 gugus

fungsi atau lebih yang dapat bereaksi) yang menghasilkan satu molekul besar

bergugus fungsi banyak dan diikuti oleh pelepasan molekul kecil. Dalam proses

geopolimer, molekul kecil yang dilepaskan adalah air. Pelepasan air ini terjadi

selama proses curing berlangsung. Proses polimerisasi kondensasi ini tidak

menghasilkan CO2, yang berarti bahwa pembuatan beton dengan beton

geopolimer dapat mereduksi jumlah CO2 yang dihasilkan dari proses pembuatan

semen biasa (semen Portland) sebagaimana yang dianalisis oleh Gartner (2004).

Poly(sialate)(-Si-O-Al-O-)

Poly(sialate-siloxo)(-Si-O-Al-O-Si-O-)

Poly(sialate-disiloxo)(-Si-O-Al-O-Si-O-Si-O-)

10

Page 28: Tesis Khosna Irani

Terdapat dua unsur utama geopolimer, yaitu sumber material dan larutan

alkali. Sumber material untuk geopolimer didasarkan pada aluminasilikat dimana

material ini harus kaya akan silikon dan alumunium. Contoh mineral alam dengan

rumus empiris mengandung silikon, alumunium dan oksigen adalah kaolinite,

lempung, mica, andalousite, spinel dan lain-lain. Sebagai alternatifnya, material

produk samping seperti abu layang, silica fume, slag, abu sekam padi, lempung

merah dan lain-lain dapat digunakan sebagai sumber material. Pemilihan sumber

material ini tergantung beberapa faktor yaitu ketersediaan, biaya, tipe aplikasi dan

permintaan khusus dari pengguna.

Dalam penelitian ini, pembuatan geopolimer menggunakan abu layang

tipe F dengan kandungan kalsium kurang dari 10%. Van Jaarsveld, et. al.,

(2003) melaporkan bahwa kandungan kalsium mempengaruhi

sifat-sifat geopolimer yang dihasilkan, selain ukuran partikel,

kandungan logam alkali, kandungan fasa amorf, morfologi dan

sifat alami abu layang. Selain itu juga ditunjukkan bahwa

kandungan kalsium dalam abu layang berpengaruh signifikan

terhadap pembangunan kekuatan dan kuat tekan akhir geopolimer. Ketika

kandungan kalsium itu tinggi, dapat mengakibatkan pengembangan kekuatan

lebih cepat dan hasil kuat tekan lebih tinggi. Namun, dalam rangka menghasilkan

sifat ikatan yang optimal dari material, abu layang sebagai sumber material

seharusnya mempunyai kandungan kalsium yang rendah dan sifat-sifat yang

lainnya seperti material yang tidak terbakar kurang dari 5%, kandungan Fe2O3

tidak lebih dari 10%, kandungan silika 40-50%, dan 80-90% ukuran partikel

kurang dari 45 m (Fernández-Jiménez, et. al., 2003) dan mempunyai

kandungan total oksida SiO2, Al2O3 dan Fe2O3 minimal 70% (Husin, 2002).

Gourley (2003) juga menyatakan bahwa adanya CaO dan Fe2O3

dalam abu layang dalam kuantitas yang signifikan dapat

mengganggu laju polimerisasi dan dapat mengubah

mikrostruktur. Selain itu, kebanyakan abu layang secara global adalah abu

layang tipe F yang merupakan hasil samping dari pembakaran antrachite atau

bituminous batubara (Malhotra, 2006). Karenanya abu layang tipe F lebih

11

Page 29: Tesis Khosna Irani

baik daripada tipe C sebagai sumber material untuk membuat

geopolimer.

2.2.1 Larutan Aktivator

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Davidovits (1994), diusulkan bahwa

larutan alkali dapat digunakan untuk bereaksi dengan silikon (Si) dan alumunium

(Al) dalam sumber material geologi alam atau produk samping seperti abu layang

untuk menghasilkan binder. Larutan alkali yang digunakan adalah larutan natrium

dan kalium. Penggunaan kombinasi KOH dan Na2SiO3 sebagai larutan alkalin

dalam pembuatan geopolimer dengan bahan dasar metakaolin telah dilakukan oleh

Cheng dan Chiu (2003). Palomo, et. al., (1999) melaporkan studi tentang

geopolimer dari bahan abu layang dengan membedakan penggunaan kombinasi

larutan NaOH dan Na2SiO3 dengan larutan KOH dan K2SiO3. Palomo menyatakan

bahwa tipe larutan alkali merupakan faktor yang signifikan yang mempengaruhi

kuat tekan geopolimer, dan kombinasi larutan NaOH dan Na2SiO3 ternyata

memberikan kuat tekan lebih tinggi daripada kombinasi larutan KOH dan K2SiO3.

Natrium silikat terdapat dalam 2 bentuk, yaitu padatan dan larutan.

Natrium silikat dapat digunakan untuk berbagai macam keperluan, antara lain

untuk bahan campuran dalam sabun, campuran dalam semen, pengikat keramik,

coating, campuran cat serta dalam beberapa keperluan industri, seperti kertas,

tekstil dan serat. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa natrium silikat

dapat digunakan untuk bahan campuran dalam beton (Hardjito, et. al., 2004).

Natrium silikat ini memainkan peranan penting dalam proses polimerisasi karena

natrium silikat mempunyai fungsi untuk mempercepat reaksi polimerisasi. Reaksi

terjadi secara lebih cepat pada larutan alkali yang banyak mengandung larutan

silikat seperti natrium silikat ataupun kalium silikat dibandingkan larutan alkali

yang banyak mengandung larutan hidroksida. Di dalam Gambar 2.2 ditunjukkan

campuran abu layang dengan natrium silikat yang diamati dalam ukuran

mikrostruktur, terlihat bahwa campuran antara abu layang dan natrium silikat

membentuk ikatan yang sangat kuat namun banyak terjadi retakan-retakan.

12

Page 30: Tesis Khosna Irani

Natrium hidroksida berfungsi untuk mereaksikan Al dan Si

yang terkandung dalam abu layang sehingga dapat menghasilkan ikatan polimer

yang kuat. Gambar 2.3 menunjukkan campuran abu layang dengan natrium

hidroksida yang diamati dalam ukuran mikrostruktur, bahwa campuran antara abu

layang dan natrium hidroksida membentuk ikatan yang kurang kuat tetapi

menghasilkan ikatan yang lebih padat dan tidak ada retakan seperti pada

campuran natrium silikat dengan abu layang.

(a) (b)

Gambar 2.2. Analisis dengan SEM dari (a) Abu Layang dan (b) Campuran Antara Abu Layang dengan Natrium Silikat (Hardjito, 2008)

(a) (b)

Gambar 2.3. Analisis dengan SEM dari (a) Abu Layang dan (b) Campuran Antara Abu Layang dengan Natrium Hidroksida (Hardjito, 2008)

2.2.2 Karakterisasi Geopolimer

Untuk mengetahui sifat-sifat geopolimer yang dihasilkan, dilakukan

karakterisasi pada produk geopolimer sehingga dapat diketahui kualitas hasil

geopolimerisasi. Secara umum, kualitas geopolimer dilihat dari skala makro dapat

13

Page 31: Tesis Khosna Irani

ditentukan oleh sifat mekanik dan fisik antara lain kuat tekan dan porositas,

sedangkan sifat kimia (skala mikro) dapat dilihat dari ikatan kimianya, struktur

mikro (morfologi) serta fasa yang dikandungnya (Rowles, 2004).

Kuat tekan dan daya kerja beton geopolimer dipengaruhi oleh proporsi dan

sifat unsur material dalam pembuatan pasta geopolimer. Hasil eksperimen

(Hardjito dan Rangan, 2005) antara lain menunjukkan bahwa semakin tinggi

konsentrasi (molaritas) larutan natrium hidroksida, semakin tinggi kuat tekan

beton geopolimer, semakin tinggi perbandingan masa larutan natrium silikat

terhadap natrium hidroksida, semakin tinggi kuat tekan beton geopolimer,

semakin tinggi perbandingan molar H2O terhadap Na2O, kuat tekan beton

geopolimer semakin menurun. Berdasarkan tes laboratorium,

Davidovits (1994) melaporkan bahwa geopolimer dapat

mengeras dengan cepat pada suhu ruang dan didapatkan kuat

tekan sekitar 20 Mpa hanya setelah 4 jam pada 20°C dan sekitar

70-100 Mpa setelah 28 hari. Menurut Hardjito, et. al., (2004),

kuat tekan tidak mengalami kenaikan secara signifikan setelah

28 hari.

Baik waktu curing dan suhu curing berpengaruh terhadap kuat tekan beton

geopolimer. Pemanasan yang diberikan dapat membantu reaksi kimia yang terjadi

pada pasta geopolimer. Pada gambar 2.4 menunjukkan bahwa waktu curing yang

diberikan dapat meningkatkan proses polimerisasi yang dapat menghasilkan kuat

tekan yang lebih tinggi. Laju peningkatan kuat tekan meningkat hingga waktu

curing 24 jam; melewati 24 jam, perolehan kuat tekan tidak meningkat secara

signifikan. Karenanya, waktu curing tidak membutuhkan lebih dari 24 jam dalam

aplikasi praktisnya (Hardjito dan Rangan, 2005).

Waktu curing (jam)

Kua

t Tek

an 7

har

i (M

Pa)

14

Page 32: Tesis Khosna Irani

Gambar 2.4. Grafik Waktu Curing Terhadap Kuat Tekan (Hardjito dan Rangan, 2005)

Proses desain campuran beton sangat luas dan secara umum didasarkan

pada kriteria daya gunanya. Untuk memenuhi kriteria daya gunanya,

perbandingan masa padatan (solid) terhadap larutan (liquid), perbandingan masa

air terhadap geopolimer, suhu curing, dan waktu curing adalah parameter yang

dipilih. Penelitian laboratorium yang dilakukan Hardjito dan Rangan (2005)

menunjukkan bahwa perbandingan masa natrium silikat terhadap natrium

hidroksida sekitar 2,5. Natrium silikat mempunyai fungsi untuk mempercepat

reaksi polimerisasi. Sedangkan natrium hidroksida berfungsi untuk mereaksikan

Al dan Si yang terkandung dalam abu layang sehingga dapat menghasilkan ikatan

polimer yang kuat.

2.3 Penelitian Modifikasi Abu Layang

Perbaikan sifat abu layang untuk campuran semen secara ekstensif telah

dipelajari dan dilaporkan, sifat fisik dan mekaniknya telah dibandingkan dengan

semen biasa (Bai, et. al., 2000). Walaupun semua studi fokus terhadap perbaikan

sifat fisik dan mekanik beton, pembelajaran secara detail dan sistematik untuk

pembuatan geopolimer khusus (misalnya geopolimer yang tahan korosi, tahan

asam dan tahan panas) masih jarang dilakukan. Karenanya, dugaan realistik untuk

aktivasi abu layang sangat penting dalam memperkirakan sifat fisik dan mekanik

geopolimer yang dihasilkan.

Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa panas adalah salah satu

faktor penting untuk aktivasi abu layang. Dilaporkan juga bahwa energi aktivasi

untuk abu layang lebih tinggi daripada slag dan karenanya perlakuan panas lebih

penting untuk aktivasi abu layang (Jiang, et. al., 1990).

15

Page 33: Tesis Khosna Irani

Gambar 2.5. Range Suhu Kristalisasi dari Sistem SiO2/Al2O3 (Davidovits, 1991)

Beberapa peneliti telah mempelajari aktivasi abu layang pada suhu curing

yang dinaikkan (Palomo, et. al., 1999; Swanepoel, et. al., 2002; Fernandez-

Jimenez, et. al., 2000). Swanepoel dan Strydom (2002) meneliti pemanfaatan abu

layang dan lempung kaolinit material geopolimer yang dicuring pada suhu hingga

70°C dengan kuat tekan setelah 28 hari adalah 8 MPa. Palomo, et. al., (1999)

mempelajari abu layang yang diaktivasi dengan alkali yang dicuring pada 65°C

dan 85°C dengan perbandingan S/L adalah 4 dan 3,3. Studi ini menunjukkan

pembentukan alkali aluminasilikat amorf yang sama dengan yang dihasilkan

dalam metakaolin yang teraktivasi alkali. Kuat tekan yang dicapai sekitar 60 MPa.

Tidak ada produk kristalin zeolit yang teramati namun spektra FTIR menunjukkan

kemungkinan keberadaannya. Gambar 2.5 menunjukkan bahwa kristal zeolit

dapat diperoleh dengan reaksi hidrotermal pada suhu tinggi dari gel aluminasilikat

dengan Si/Al tertentu (Davidovits, 1991).

Penelitian yang dilaporkan oleh Saraswathy, et. al., (2003) menunjukkan

bahwa sistem abu layang yang teraktivasi dapat meningkatkan kuat tekan beton

yang dihasilkan. Diantara sistem teraktivasi, modifikasi abu layang secara kimia,

yaitu dengan mencampurkan abu layang ke dalam larutan natrium hidroksida,

ternyata dapat meningkatkan ketahanan terhadap korosi. Abu layang untuk beton

yang teraktivasi secara kimia dan termal menunjukkan pencapaian yang lebih baik

daripada semen biasa. Diantara metode aktivasi yang dipelajari yaitu aktivasi

secara termal, fisika dan kimia, ternyata aktivasi abu layang secara kimia adalah

yang terbaik.

Abu layang yang tidak dimodifikasi mempunyai aktifitas yang rendah

(Fan, et. al., 1999). Lapisan permukaan partikel abu layang yang berbentuk glassy

sangat rapat dan stabil. Lapisan ini melindungi unsur-unsur didalamnya, yang

berpori dan amorf, dan karenanya mempunyai aktifitas yang tinggi. Rantai glassy

silika-alumina ini stabil dan rantai ini mengandung Si dan Al yang tinggi. Rantai

16

Page 34: Tesis Khosna Irani

ini harus dihancurkan untuk meningkatkan aktifitas kimia. Penambahan larutan

dengan kebasaan yang tinggi menyebabkan lapisan luar yang rapat menjadi rusak

dan gugus-gugus yang terdapat didalamnya menjadi keluar (Yan, et. al., 2003).

Bila konsentrasi OH- cukup tinggi, rantai glassy silika-alumina akan cepat rusak

dan akan menghasilkan sejumlah besar gugus-gugus yang aktif. Dengan merusak

lapisan permukaan yang glassy ini, gugus-gugus aktif seperti silika dan alumina

yang ada di dalam juga akan terlarut (Goni, et. al., 2003). Sejumlah abu layang

yang teraktivasi secara kimia, silika dan alumina aktif bereaksi dengan kapur

terhidrat untuk membentuk macam-macam produk silikat dan aluminat, yang

terendapkan, membentuk inti, dan tumbuh dalam permukaan abu layang dimana

produk silikat dan aluminat ini melapisi permukaan abu layang yang tidak hanya

mengubah morfologi permukaan abu layang termodifikasi tetapi juga

meningkatkan nilai dari modifikasi abu layang itu sendiri (Yu-Fen, et. al., 2006).

Penelitian yang lain untuk mengaktifasi abu layang adalah seperti yang

dilakukan oleh Cao, et. al., (2007) yaitu memodifikasi abu layang dengan cara

mencampurkan abu layang ke dalam polydimethydiallylammonium chloride

(PDMDAAC) dan diagitasi dengan faktor suhu, waktu, konsentrasi PDMDAAC

dan pH. Aplikasi penggunaan abu layang yang dimodifikasi ini yaitu untuk

material pencampur semen dan diperoleh hasil kuat tekan yang memuaskan

menurut Chinese cement standard.

Modifikasi abu layang juga dapat dilakukan dengan cara refluks.

Penelitian yang dilakukan oleh Sarbak, et. al., (2002) menunjukkan bahwa abu

layang yang direfluks selama 24 jam dengan suhu 90-100°C dapat meningkatkan

luas permukaan, jari-jari pori, dan volume pori abu layang dan juga dapat

mengubah struktur abu layang dari amorf menjadi kristalin (Sutarno, et. al.,

2004). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wu, et. al., (2008) yang didukung

oleh Tabel 2.2 berikut ini menyatakan bahwa tidak ada perubahan fase kristalin

yang terjadi dibawah suhu 90°C. Modifikasi abu layang yang dilakukan oleh Wu,

et. al, ini yaitu dengan cara mencampurkan larutan natrium hidroksida dan abu

layang, kemudian dipanaskan dengan variasi suhu dalam jangka waktu tertentu.

Ketika abu layang teraktivasi, produk reaksi yang terbentuk disebut

“alkaline aluminosilicate gel” dengan struktur kristalin orde rendah, yang mana

17

Page 35: Tesis Khosna Irani

tidak terpola tetapi terlihat dengan pita yang rendah dan menyebar seperti yang

terlihat pada Gambar 2.6. Puncak ini, dalam difraktogram XRD overlap sebagian

dengan abu murninya, dan terlihat sedikit bergeser ke nilai yang lebih tinggi yaitu

antara 2θ=25-35°. Dalam spektra XRD, fase kristalin secara alami terdapat dalam

abu layang (mullite dan quartz) tidak akan berubah oleh adanya reaksi aktivasi.

Beberapa peneliti percaya bahwa mullite dan quartz sedikit berubah ketika

bereaksi dengan media alkali yang kuat (Fernandez-Jimenez, et. al., 2005).

Dalam perkembangan kekuatan, ternyata perubahan fasa dari amorf

menjadi kristalin mengarah kedalam penurunan nilai kuat tekan (De Silva, et. al.,

2007). Oleh karena itu diperlukan usaha untuk menurunkan kristalinitas yang

terbentuk selama proses aktivasi. Salah satu cara untuk menurunkan kristalinitas

adalah dengan penggerusan. Tujuan penggerusan antara lain memperkecil dan

menyeragamkan ukuran abu layang selain berfungsi untuk menurunkan

kristalinitas. Hal ini terlihat pada Tabel 2.3 tentang perbandingan kristalinitas

dalam sintesis faujasite yang digerus dan tanpa digerus dari abu layang yang

dimodifikasi yang dilakukan oleh Sutarno, et. al., (2004).

18

Page 36: Tesis Khosna Irani

Gambar 2.6. Analsis dengan XRD untuk Abu Layang yang Teraktivasi (Fernandez-Jimenez, et. al., 2005)

Tabel 2.2. Kondisi Sintesis dan Hasil Spesi Zeolit yang Teridentifikasi XRD

Suhu (°C) Konsentrasi NaOH (M)

Rasio S/L (mL/g)

Waktu reaksi (jam)

Intensitas XRD

karena zeolita

Intensitas XRD karena

kandungan mineral alamia

Suhu ruang 0 0 0 - Q(vs), M(w)

60 2 10 24 - Q(vs), M(w)

80 2 10 24 - Q(vs), M(w)

90 2 10 24 - Q(s), M(w)

120 2 10 24 P(s), C(w) Q(w), M(w)

120 0,5 10 24 P(m) Q(s), M(w)

120 1 10 24 P(s) Q(s), M(w)

120 2 10 24 P(s), C(w) Q(w), M(w)

120 4 10 24 HS(s) Q(w), M(w)

120 2 2,5 24 P(s) Q(m), M(w)

120 2 5 24 P(s), C(w) Q(w), M(w)

120 2 10 24 P(s), C(w) Q(w), M(w)

120 2 10 2 - Q(vs), M(w)

120 2 10 4 - Q(vs), M(w)

120 2 10 8 P(w), C(s) Q(vs), M(w)

120 2 10 16 P(m), C(m) Q(m), M(w)

120 2 10 24 P(s), C(w) Q(w), M(w)a semua produk tidak murni zeolit tetapi mangandung abu layang yang tidak bereaksi sebagai pengotor. P=P1 zeolite; C=Chabazite; HS=Hydroxysodalite; Q=Quartz; M=Mullite (Q dan M diturunkan dari abu layang); vs=sangat kuat; s=kuat; m=medium; w=lemah.

Tabel 2.3. Data Intensitas 5 Puncak Utama Faujasite Hasil Sintesis Dibandingkan Intensitas Faujasite Standar

2θ Faujasite (tanpa penggerusan) Faujasite (dengan penggerusan)

IF/IO IF/IO

7,37 70 56,7

19

Page 37: Tesis Khosna Irani

15,36 16,7 12

23,87 22 14

27,44 20,7 12,7

29,70 23,3 14

IF = intensitas XRD faujasite hasil sintesisIO = intensitas XRD faujasite standar

Tabel 2.3 menunjukkan bahwa kristalinitas faujasite hasil sintesis dari abu

layang batubara tanpa penggerusan memiliki kristalinitas sebesar 70 % (puncak

utama) dibandingkan terhadap faujasite standar. Sedangkan faujasite hasil sintesis

dari abu layang dengan penggerusan memiliki kristalinitas sebesar 56,7 %

(puncak utama) dibandingkan faujasite standar. Rendahnya kristalinitas faujasite

yang dihasilkan dengan perlakuan penggerusan tersebut disebabkan karena

penggerusan memberikan ukuran partikel yang lebih kecil. Ukuran partikel yang

lebih kecil menyebabkan jumlah spesi silikat dan aluminat terlarut menjadi lebih

besar, terutama konsentrasi Si terlarut akan semakin tinggi dalam sistem gel silika

aluminat. Bertambahnya konsentrasi Si terlarut yang lebih besar dari Al tersebut

relatif meningkatkan perbandingan Si/Al (Sutarno et. al., 2004). Mekanisme

geopolimerisasi abu layang melibatkan proses pelarutan silika dan alumina dari

permukaan partikel abu layang, dilanjutkan transportasi (orientasi) spesies terlarut

(Si dan Al) dari permukaan partikel abu layang ke ruang antar partikel, dan diikuti

polikondensasi membentuk struktur tiga dimensi aluminasilikat (terbentuk gel

antara komplek Si dan Al dengan silikat dalam larutan yang menyebabkan

pengerasan) (Fernandez-Jimenez, et. al., 2005). Penyelidikan terhadap hasil

modifikasi abu layang dapat dilakukan dengan teknik-teknik analisis seperti XRD

untuk melihat perubahan fasanya, SEM untuk mengetahui perubahan

morfologinya, FTIR untuk mengetahui struktur molekulnya, dan BET untuk

mengetahui perubahan luas permukaannya.

2.3.1 Analisis Struktur Abu Layang

2.3.1.1 Difraksi Sinar X (XRD)

Difraksi sinar X (XRD) digunakan untuk menganalisis struktur kristal dari

abu layang karena difraksi sinar X dapat digunakan untuk memperoleh informasi

20

Page 38: Tesis Khosna Irani

mengenai struktur, komposisi, dan keadaan polikristalin suatu materi. Sinar X

merupakan radiasi dari sumber elektron berenergi tinggi yang mengenai logam

target (besi, tembaga atau molibdenum). Gelombang sinar X memiliki spektrum

yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu pita lebar untuk radiasi kontinyu serta khas

(Kα dan Kβ). Jumlah radiasi sinar X yang diserap oleh sampel ditentukan oleh

koefisien absorpsi zat sesuai dengan panjang gelombang sinar. Aplikasi kualitatif

dari difraksi sinar X terhadap studi bahan polimer antara lain penentuan fraksi

kristalin bahan dan penentuan derajat kekristalan bahan. Daerah kristal ditandai

dengan puncak yang tajam sedang daerah amorf ditandai dengan puncak yang

melebar.

Analisis dengan XRD untuk abu layang murni mengandung mullite,

quartz, dan sejumlah kecil hematite. Mullite, terbentuk dari SiO2 yang bereaksi

dengan Al2O3 pada suhu tinggi 1200-1650°C dalam boiler PLTU dan mempunyai

struktur kristalin yang stabil. Adanya hump antara 2θ=20°-30° menunjukkan

adanya fase amorf alumina dan silika dengan aktifitas yang besar (Lin, et. al.,

2003). Fase amorf silika lebih aktif dari kristalin quartz (Yu-Fen, et. al., 2006).

Gambar 2.7 Pola XRD untuk Abu Layang dan Abu layang Teraktivasi Pada Suhu yang Berbeda-beda (M: Mullite, Q: Quartz, A: Zeolite A, F: Faujasite, S: Sodalite) (Fernandez-Jimenez, et. al., 2005)

Aktivasi 200ºC

Aktivasi 150ºC

Aktivasi 85ºC

Abu Layang murni

21

Page 39: Tesis Khosna Irani

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Fernandez-Jimenez, et. al., (2005),

aktivasi abu layang dengan variasi suhu yang diperlakukan menunjukkan bahwa

pada difraktogram XRD terjadi pergeseran hump yaitu dari abu layang murni pada

2θ=20-30º menjadi 2θ=25-35º untuk abu layang teraktivasi pada suhu 85º, 150º

dan 200º seperti yang terlihat pada Gambar 2.7. Perubahan suhu yang

diperlakukan tidak mengubah pergeseran hump ini. Hump pada 2θ=20-30º ini

menunjukkan karakteristik ketidakteraturan senyawa secara struktural. Adanya

sejumlah puncak pada 2θ=20-30º ini berhubungan dengan fasa kristalin minor

yaitu quartz dan mullite. Aktivasi terhadap abu layang menyebabkan pergeseran

hump ke kanan. Pergeseran ini berhubungan dengan pembentukan aluminasilikat

yang amorf. Sedangkan fasa kristalin quartz dan mullite yang terdeteksi pada

difraktogram XRD merupakan fasa kristalin asli yang ada pada abu layang murni.

2.3.1.2 Spektrofotometri Inframerah Transformasi Fourier (FTIR)

Spektrofotometri Inframerah Transformasi Fourier (FTIR) digunakan

untuk mengidentifikasi material, menentukan komposisi dari campuran, dan

membantu memberikan informasi dalam memperkirakan struktur molekul.

Sampel yang digunakan biasanya berupa material dalam keadaan padat, cair, atau

gas. Dalam penelitian yang dilaporkan Yu-Fen, et. al., (2006), pengaruh waktu

pemanasan isotermal dalam gugus–OH untuk abu layang yang tidak termodifikasi

dan abu layang yang dimodifikasi 2, 4 dan 6 jam dengan kondisi suhu 90°C,

terdapat dalam Gambar 2.8.

Spektra FTIR dari abu layang tanpa modifikasi pada Gambar 2.8

menunjukkan pita pada bilangan gelombang 3400 cm-1 untuk vibrasi stretching

gugus OH berbeda dengan abu layang yang dimodifikasi. Hasil ini menunjukkan

bahwa terdapat beberapa komponen dengan gugus –OH atau kisi kristal air yang

melapisi permukaan abu layang yang termodifikasi. Kesimpulan ini didasarkan

pada pengamatan stretching simetri –OH dan H2O antara 3650-3100 cm-1. Ketiga

abu layang yang termodifikasi menunjukkan perbedaan persentase gugus –OH.

Hal ini menunjukkan bahwa persentase gugus –OH meningkat dengan

22

Page 40: Tesis Khosna Irani

meningkatnya waktu pemanasan isotermal (Omotoso, et. al., 1995; Neergaard, et.

al., 1998).

Perubahan spektra FTIR diantara bilangan gelombang 1400-900 cm-1

untuk keempat sampel terdapat dalam Gambar 2.9. Puncak FTIR pada 1085 cm-1

untuk abu layang yang tidak termodifikasi berhubungan dengan internal SiO4

tetrahedral, khususnya struktur rantai Si-O-Si. Puncak pada 1010-1090 cm-1 dari

abu layang yang dimodifikasi berhubungan dengan struktur siklis Si-O-Si. Hal ini

menunjukkan bahwa jaringan glass yang acak dari abu layang yang tidak

dimodifikasi berubah kedalam struktur seperti zeolit dengan meningkatnya waktu

pemanasan (Omotoso, et. al., 1995; Neergaard, et. al., 1998).

Gambar 2.8. Spektra FTIR dari 4000-2800 cm-1 (Yu-Fen, et. al., 2006)

Abs

orba

nsi

Abu Layang Murni

6 jam pemanasan4 jam pemanasan2 jam pemanasan

Bilangan Gelombang (1/cm)

Vibrasi Ulur -OH

Abs

orba

nsi

Bilangan Gelombang (1/cm)

Abu Layang Murni

4 jam pemanasan6 jam pemanasan2 jam pemanasan

Vibrasi stretching C-OVibrasi stretching Si-O-Si

23

Page 41: Tesis Khosna Irani

Gambar 2.9. Spektra FTIR dari 1400-900 cm-1 (Yu-Fen, et. al., 2006)

2.3.2 Analisis Morfologi Abu Layang

Pada dasarnya analisis dengan Scanning Electron Microscopy (SEM) ini

menggunakan sinyal yang dihasilkan elektron yang dipantulkan atau sebagai

berkas sinar elektron sekunder. Prinsip kerja alat SEM adalah scanning, dimana

berkas elektron diarahkan pada titik-titik permukaan bahan. Gerakan elektron dari

satu titik ke titik yang lain pada suatu daerah disebut scan. Bila seberkas elektron

ditembakkan pada permukaan spesimen maka sebagian elektron akan dipantulkan

kembali dan sebagian lagi diteruskan (Brockway dan Moser, 1963). Jika

permukaan spesimen tidak rata, ada lekukan, lipatan, retakan atau lubang-lubang,

maka bagian-bagian permukaan itu akan memantulkan elektron dengan jumlah

dan arah yang berbeda. Berkas elektron ini akan ditangkap oleh detektor

kemudian diteruskan ke monitor sehingga diperoleh gambar yang khas dari

permukaan spesimen dalam tiga dimensi.

Analisis morfologi abu layang dengan menggunakan Scanning Electron

Microscopy (SEM) menunjukkan bahwa hampir 100% partikel adalah globular

atau elliptoid dengan permukaan yang lembut dan penyebaran yang baik seperti

yang terlihat pada gambar 2.10 (Woolard, et. al., 2002).

(a) (b)

24

Page 42: Tesis Khosna Irani

Gambar 2.10. SEM Abu Layang (a) yang Tidak Termodifikasi dan (b) Abu Layang yang Dimodifikasi dengan NaOH (Woolard, et. al., 2002)

Perbedaan struktur mikro dari abu layang yang tidak termodifikasi dan

yang dimodifikasi tampak pada Gambar 2.10. Abu layang yang tidak

termodifikasi mempunyai permukaan yang lembut. Partikel ini hasil dari

pendinginan produk yang meleleh hasil pembakaran batubara (White dan Case,

1990). Permukaan abu layang yang dimodifikasi jauh lebih kasar. Sejumlah

butiran partikel yang kecil terdapat dalam permukaan abu layang.

2.3.3 Analisis Luas Permukaan

Luas permukaan spesifik didefinisikan sebagai luas permukaan padatan

per satuan massa material. Luas permukaan dapat ditentukan dengan metode

adsorpsi gas N2 yang dikenal dengan teori Brunauer, Emmet, Teller (BET)

berdasarkan asumsi bahwa terjadi adsorpsi multilayer bahkan pada tekanan yang

sangat rendah, tidak terjadi interaksi antara molekul yang teradsorpsi, kecepatan

adsorpsi sama dengan desorpsi dan padatan mempunyai permukaan yang

homogen (mempunyai keadaan energi sama). Penentuan luas permukaan spesifik

menggunakan metode adsorpsi gas nitrogen dapat dihitung dengan persamaan

(Yolanda, et. al., 2000).:

(2.1)

dengan:

s = luas permukaan spesifik (m2/g)

Wm = jumlah molekul N2 yang teradsorpsi pada monolayer substrat

a = luas permukaan 1 molekul N2 (16,2 x 10-20 m2)

N0 = bilangan Avogadro (6,02 x 1023 mol-1)

BM N2 = berat molekul N2

g = berat sampel (g)

Proses adsorpsi terjadi dengan mempertimbangkan kuantitas gas nitrogen

yang diperlukan untuk menutupi permukaan dengan membentuk lapis tunggal

molekul adsorbat. Luas seluruh permukaan padatan ditentukan setelah diketahui

25

Page 43: Tesis Khosna Irani

luas permukaan yang ditempati oleh gas molekul adsorbat. Nitrogen fisisorpsi

tersebut dapat menunjukkan tekstur material, misalnya luas permukaan dan

volume pori.

Gambar 2.11. Distribusi Volume Pori Sebagai Fungsi Jari-Jari Pori untuk Abu Layang yang Tidak Termodifikasi (Sarbak, et. al., 2002)

Vol

ume

Por

i (10

-5 c

m3/g)

Jari-jari pori (Å)

Vol

ume

Por

i (10

-4cm

3/g)

Jari-jari pori (Å)

26

Page 44: Tesis Khosna Irani

Gambar 2.12. Distribusi Volume Pori Sebagai Fungsi Jari-Jari Pori untuk Abu Layang yang Dimodifikasi dengan NaOH (Sarbak, et. al., 2002)

Menurut penelitian yang dilakukan Sarbak, et. al, (2002), luas permukaan

abu layang yang termodifikasi ternyata lebih besar daripada abu layang yang tidak

dimodifikasi. Modifikasi ini juga menghasilkan volume pori yang lebih besar

daripada abu layang sebelum modifikasi seperti yang terlihat pada Gambar 2.11

dan Gambar 2.12. Sarbak, et. al., (2002) juga mengatakan bahwa peningkatan

volume pori sebagai akibat dari perubahan abu layang menjadi struktur seperti

zeolit.

2.3.4 Analisis Kuat Tekan dan Porositas

Secara umum, kualitas geopolimer untuk skala makronya dapat dilihat dari

sifat fisik dan mekanik. Salah satu sifat mekanik yang digunakan sebagai

parameter geopolimer adalah kuat tekan dan untuk sifat fisiknya adalah porositas.

Porositas sangat berpengaruh terhadap kualitas geopolimer terutama kuat tekan

yang dihasilkan. Hal ini karena adanya perubahan volume partikel abu layang

mempengaruhi porositas sistem geopolimer (De Silva, et. al., 2007).

Geopolimer berbentuk silinder dengan ukuran tertentu diberi tekanan

secara perlahan-lahan hingga mengalami keretakan. Nilai yang teramati adalah

gaya perlawanan dari geopolimer. Nilai kuat tekan dihitung melalui rumus:

(2.2)

dengan P adalah tekanan yang dialami (Pa atau Mpa), L adalah luas permukaan

yang menahan tekanan (m2), m adalah massa beban yang diberikan (Kg), g adalah

percepatan gravitasi bumi (ms-2), dan r adalah jari-jari silinder (m).

Porositas merupakan ukuran zat cair yang mampu diserap oleh

geopolimer. Porositas yaitu ukuran volume semua pori-pori yang terdapat dalam

material. Ada beberapa metode pengukuran porositas, diantaranya adalah

penguapan kandungan air, porositas penjenuhan kembali, porosimetri gangguan

merkuri, dan serapan-nitrogen. Metode penguapan air merupakan metode yang

27

Page 45: Tesis Khosna Irani

paling sederhana dan dapat diterima berbagai kalangan penelitian (Day & Marsh,

1987). Porositas dapat dinyatakan dengan rumus (Jastrzebski, 1997):

P = (2.3)

P = porositas tampak (%)

D= berat padatan kering (g)

W= berat padatan yang telah jenuh air (g)

Geopolimer berbahan abu layang sebenarnya masih amorf dan memiliki

lubang mikro. Lubang berbentuk bola tersebut terbentuk saat pembuatan dan saat

pencetakan selesai. Saat pembuatan pasta geopolimer, terdapat gelembung udara

yang bertahan saat pengerasan. Geopolimer menggunakan bahan air yang

menempati ruang, dan jika air menguap maka dapat meninggalkan rongga udara.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Frantisek Skvara, et. al., (2006), porositas

geopolimer berbahan dasar abu layang dapat dipengaruhi oleh perbandingan

air/abu layang.

Dari uraian panjang yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa

modifikasi kimia abu layang dapat mempengaruhi sifat dan struktur geopolimer

yang dihasilkan, dimana modifikasi abu layang ini tergantung pada konsentrasi

larutan basa NaOH. Oleh karena itu dalam penelitian yang akan dilakukan, dicari

pengaruh antara abu layang yang termodifikasi dengan larutan NaOH terhadap

sifat fisik dan mekanik dari geopolimer yang dihasilkan, meliputi kuat tekan,

porositas, struktur mikro, perkembangan fasa, dan perubahan ikatan kimianya.

Modifikasi abu layang akan menghasilkan sejumlah Si dan Al reaktif yang lebih

banyak daripada abu layang yang tidak termodifikasi. Sifat-sifat geopolimer

secara signifikan ditentukan oleh perubahan yang kecil dari konsentrasi silika dan

alumina selama sintesis. Kombinasi antara ketersedian gugus OH di permukaan

partikel-partikel abu layang ditambah dengan peningkatan kelarutan Si dan Al

akan berimbas kepada perbaikan sifat-sifat fisika dan kimia dari geopolimer yang

terbentuk.

28

Page 46: Tesis Khosna Irani

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan Penelitian

3.1.1 Alat Penelitian

Peralatan yang digunakan antara lain seperangkat alat gelas, cetakan

silinder film, oven, pengaduk (mixer), neraca analitik, peralatan plastik (beaker

polipropilen, botol, gelas dan sebagainya), dan seperangkat alat refluks. Peralatan

untuk karakterisasi antara lain Mesin Penguji Kuat Tekan (Universal Testing

Machine), XRF (X-Ray Fluorescence), ICP (Inductively Coupled Plasma), alat

XRD (X-Ray Diffraction), SEM (Scanning Electron Microscopy), dan alat FTIR

(Fourier Transform Infra Red).

3.1.2 Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan antara lain abu layang PLTU Asam-asam, PLTU

Paiton, PLTU Cilacap, dan PT. Semen Gresik Tuban, natrium hidroksida (NaOH)

(NaOH 99%, Merck), larutan natrium silikat (Na2SiO3) teknis dan aquades (H2O).

3.2 Cara Kerja

3.2.1 Analisis Abu Layang

Penentuan komposisi kimia abu layang sebelum dan sesudah dimodifikasi

dengan larutan NaOH dilakukan dengan menggunakan analisis flouresensi sinar-

X (XRF), XRD untuk analisis fasenya, SEM untuk analisis morfologinya, FTIR

untuk analisis ikatan kimia dan BET untuk analisis luas permukaannya.

29

Page 47: Tesis Khosna Irani

3.2.2 Pembuatan Larutan Aktivator

Sebanyak 4 gram NaOH dilarutkan dalam 8 gram aquades sehingga

terbentuk larutan alkalin. Larutan alkalin yang terbentuk kemudian didiamkan

selama 24 jam. Selanjutnya, 10 gram natrium silikat ditambahkan kedalam larutan

alkalin setelah reaksi eksotermis dari larutan alkalin tersebut berhenti. Campuran

antara larutan NaOH (H2O dan NaOH) dengan Na2SiO3 selanjutnya disebut

sebagai larutan pengaktif.

3.2.3 Modifikasi Abu Layang dengan NaOH

Sebanyak 31,25 gram abu layang dicampur dengan 250 mL larutan NaOH

(dengan variasi konsentrasi NaOH 0; 1; 2; 3 M). Campuran tersebut kemudian

direfluks pada suhu (85-90)°C selama 5 jam. Hasil refluks disaring dan residu

yang dihasilkan dikeringkan dalam oven pada temperatur 120oC selama 12 jam

(Sarbak et. al, 2002; Sutarno et. al, 2004). Selanjutnya, abu layang yang telah

dimodifikasi digerus kemudian diayak dengan ukuran 100 mesh untuk

menghomogenkan ukuran partikel. Abu layang hasil modifikasi dengan NaOH

diamati perubahan fasanya dengan XRD, perubahan morfologinya dengan SEM,

perubahan struktur molekulnya dengan FTIR dan perubahan luas permukaannya

dengan adsorpsi gas nitrogen (metode BET). Hasilnya kemudian dibandingkan

dengan abu layang sebelum dimodifikasi.

3.2.4 Analisis Struktur Abu Layang

3.2.4.1 Difraksi Sinar X

Dilakukan analisis fasa atau kandungan mineral secara kualitatif terhadap

abu layang sebelum dan sesudah modifikasi dengan larutan NaOH untuk

mengetahui perkembangan fasa karena pengaruh modifikasi abu layang terhadap

variasi konsentrasi NaOH. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan alat XRD

dengan merk Philips tipe X’Pert MPD yang dilengkapi dengan data base Software

Expert Graphic and Identify yang terdapat pada Laboratorium XRD di Research

30

Page 48: Tesis Khosna Irani

Center LPPM ITS. Kondisi operasional difraktogram sinar X adalah sumber sinar

Cu K1 (=1,54056 Å), tegangan dan arus adalah 40 kV, 30 mA, kecepatan : 2

permenit dan sudut difraksi 2 = (570). Analisis fasa ini juga digunakan untuk

mengetahui perubahan fasa sampel geopolimer yang disintesis dari abu layang

sebelum modifikasi dan geopolimer terbaik yang disintesis dari abu layang hasil

modifikasi.

Penelusuran data jenis mineral yang dihasilkan yang berupa intensitas

dan sudut difraksi (2) dilakukan dengan cara mencocokkan sudut difraksi dengan

pola difraktogram standard pada data base Software Expert Graphic and Identify

dengan teknik Search and Match.

3.2.4.2 Spektrofotometri Inframerah Transformasi Fourier (FTIR)

Analisis ikatan kimia dengan FTIR bertujuan untuk mengetahui perubahan

ikatan kimia yang terjadi pada abu layang yang tidak dimodifikasi dan abu layang

yang dimodifikasi. Analisis data dilakukan dengan melihat dan membandingkan

perubahan yang terjadi pada tingginya serapan (%T) dan juga pada pergeseran

bilangan gelombang yang mengindikasikan kuat lemahnya ikatan dan perbedaan

struktur. Teknik yang digunakan untuk preparasi sampel adalah teknik KBr Pelet

dengan perbandingan berat 1:10 untuk sampel (abu layang) : KBr. Analisis ikatan

kimia ini juga digunakan untuk mengetahui perubahan pada sampel geopolimer

yang disintesis dari abu layang sebelum modifikasi dan geopolimer terbaik yang

disintesis dari abu layang hasil modifikasi.

3.2.5 Analisis Morfologi dengan SEM

Morfologi abu layang sebelum dan sesudah modifikasi dengan larutan

NaOH dianalisis dengan menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy)

untuk melihat pengaruh konsentrasi NaOH terhadap abu layang. Analisis dengan

SEM dilakukan pada abu layang sebelum modifikasi dan abu layang sesudah

modifikasi dengan larutan NaOH. Analisis dilakukan dengan menggunakan alat

Analitical Scanning Electron Microscope merk JEOL JSM-6360LA yang ada di

Laboratorium Geologi Kuarter V PPGL Bandung. Analisis perubahan morfologi

31

Page 49: Tesis Khosna Irani

ini juga digunakan untuk mengetahui perubahan morfologi sampel geopolimer

yang disintesis dari abu layang sebelum modifikasi dan geopolimer yang

disintesis dari abu layang sesudah modifikasi. Perbesaran maksimum untuk

analisis dengan SEM ini hingga 10.000 kali. Gambar mikrograf yang diperoleh

dibandingkan dan dilihat secara detil bentuk dan sebaran partikelnya.

3.2.6 Analisis Pori Dan Luas Permukaan

Luas permukaan dan volume pori dari abu layang, baik sebelum dan

sesudah modifikasi dianalisis dengan metode adsorpsi gas N2 menggunakan

metode BET di Lemigas Jakarta untuk dianalisis menggunakan peralatan

Quantachrome dengan program analisis NovaWin2-Data Acquisition and Red for

NOVA instruments version 2.1.

3.2.7 Pembuatan Pelet Geopolimer

Abu layang, baik sebelum dan sesudah dimodifikasi, dijadikan adonan

geopolimer dengan cara dicampur dengan larutan alkalin sampai homogen.

Campuran ini dituang ke dalam cetakan berbentuk silinder berukuran tertentu

dengan perbandingan diameter terhadap tinggi adalah 1:2. Penuangan dilakukan

secara bertahap sampai cetakan terisi penuh oleh adonan geopolimer dan

digetarkan untuk memadatkannya serta mengurangi gelembung udara.

Selanjutnya adonan tersebut didiamkan dalam suhu ruang sampai dapat dilepas

dari cetakannya. Adonan berbentuk silinder yang telah dilepas dari cetakannya

kemudian ditata didalam loyang dan ditutup dengan plastik film untuk mencegah

laju penguapan air yang terlalu tinggi, kemudian dipanaskan di dalam oven pada

suhu 60 oC selama 24 jam. Setelah pemanasan selesai, geopolimer yang terbentuk

dibiarkan di dalam ruang terbuka pada suhu dan tekanan kamar. Kuat tekan

geopolimer diukur setelah masa simpan 7, 14, 21 dan 28 hari.

3.2.8 Pengukuran Kuat Tekan

Pengukuran kuat tekan silinder geopolimer dilakukan dengan

menggunakan mesin penguji kuat tekan (Universal Testing Machine) di

32

Page 50: Tesis Khosna Irani

Laboratorium Struktur Jurusan Teknik Sipil FTSP ITS. Setiap uji kuat tekan

menggunakan 3 benda uji agar didapatkan kuat tekan rata-rata. Pengukuran kuat

tekan dilakukan setelah 7, 14, 21 dan 28 hari untuk setiap modifikasi abu layang

dengan variasi konsentrasi larutan NaOH.

Benda uji berupa geopolimer berbentuk silinder dengan diameter 1,5 cm

dan tinggi 3 cm ditekan hingga benda uji hancur dan pecah. Perhitungan kuat

tekan menggunakan Persamaan 2.2.

3.2.9 Pengukuran Porositas

Pengujian porositas dilakukan terhadap sampel geopolimer untuk

mengetahui tingkat ketahanannya terhadap serangan air (water proof). Langkah-

langkah pengujiannya yaitu sampel geopolimer dipanaskan dalam oven dengan

suhu 105°C selama 24 jam. Setelah dikeluarkan dari oven kemudian didinginkan

dan ditimbang. Berat ini disebut berat kering. Kemudian sampel geopolimer

direndam dalam air selama 48 jam dan dilap dengan kain, kemudian ditimbang.

Berat ini disebut berat jenuh air, (ASTM C 642-90). Hasil pengukuran selanjutnya

dihitung dengan Persamaan 2.3.

3.2.10 Uji Pendahuluan

Uji pendahuluan ini dilakukan dengan memvariasi S/L (Solid/Liquid) yaitu

variasi berat abu layang yang ditambahkan (sebagai solid), sedangkan yang dibuat

konstan adalah Na2SiO3, NaOH dan H2O (sebagai liquid), seperti yang

ditampilkan pada Tabel 3.1. Bahan-bahan ini diperlakukan sama dengan

perlakuan untuk pembuatan pelet geopolimer seperti pada 3.2.7. Geopolimer yang

terbentuk diuji kuat tekannya pada umur 28 hari.

Tabel 3.1 Variasi Komposisi S/L pada Uji Pendahuluan Abu Layang PLTU Asam-asam

Solid/liquid Berat abu layang (g)

Berat Na silikat (g)

Berat NaOH (g)

Berat H2O (g) Rasio mol SiO2/Al2O3

bahan awal

1,24 27,28 10 4 8 4,11

1,36 30,00 10 4 8 4,05

33

Page 51: Tesis Khosna Irani

1,60 35,26 10 4 8 3,98

1,72 37,93 10 4 8 3,95

1,85 40,70 10 4 8 3,92

“Halaman ini sengaja dikosongkan”

34

Page 52: Tesis Khosna Irani

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam penelitian ini dibahas tentang modifikasi abu layang tipe F yang

diaplikasikan untuk pembuatan geopolimer. Modifikasi abu layang dilakukan

dengan merefluks abu layang tipe F pada kondisi tertentu sehingga produk abu

layang hasil refluks ini diharapkan dapat memperbaiki sifat-sifat geopolimer yang

dihasilkan. Dengan demikian kualitas geopolimer yang dihasilkan dapat

meningkat.

Larutan yang digunakan dalam merefluks abu layang adalah larutan

NaOH. Larutan NaOH yang digunakan divariasi konsentrasinya yaitu 0, 1, 2 dan

3 M dengan tujuan untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh larutan ini dalam

memodifikasi abu layang yaitu sampai dengan batas-batas reaksi yang

memungkinkan terbentuknya fasa geopolimer. Kemudian akan dibahas pengaruh

modifikasi abu layang pada geopolimer yang dihasilkan. Untuk itu dilakukan

karakterisasi abu layang menggunakan XRF (X-Ray Fluorescence) dan ICP

(Inductively Coupled Plasma) untuk mengetahui perubahan komposisi pada abu

layang, XRD (X-Ray Diffraction) untuk mengetahui perubahan fasa, FTIR

(Fourier Transform Infra Red) untuk mengetahui perubahan struktur kimia,

analisis pengukuran luas permukaan dengan metode adsorpsi gas N2 dan SEM

(Scanning Electron Microscopy) untuk menganalisis morfologinya.

Pengaruh modifikasi terhadap sifat fisik dan mekanik geopolimer

dipelajari dengan melakukan karakterisasi. Karakterisasi geopolimer yang

disintesis dari abu layang sebelum modifikasi dan geopolimer terbaik yang

disintesis dari abu layang sesudah modifikasi dilakukan dengan XRD (X-Ray

Diffraction) untuk mengetahui perubahan fasa, FTIR (Fourier Transform Infra

35

Page 53: Tesis Khosna Irani

Red) untuk mengetahui perubahan struktur kimia dan SEM (Scanning Electron

Microscopy) untuk perubahan morfologi, kemudian dibandingkan.

Dalam penelitian ini dilakukan uji pendahuluan dengan tujuan untuk

mendapatkan nilai kuat tekan tertinggi geopolimer yang disintesis dari abu layang

tipe F. Geopolimer dengan kuat tekan tertinggi dijadikan sebagai acuan untuk

membuat geopolimer dengan bahan abu layang termodifikasi.

4.1 Uji Pendahuluan

Uji pendahuluan ini dilakukan dengan memvariasi S/L (Solid/Liquid)

seperti yang ditampilkan pada Tabel 3.1. Variasi S/L ini diperoleh dengan cara

S/L 1,36 sebagai patokan kemudian memvariasi S/L dengan range yang sama

yaitu range kebawah dan keatas. Range batas variasi S/L adalah sampai campuran

abu layang, natrium silikat, natrium hidroksida dan air menghasilkan pasta yang

tidak dapat dicetak lagi antara lain karena terlalu encer ataupun terlalu kental.

Pasta dicetak pada cetakan plastik berbentuk silinder dengan diameter 2,9 cm dan

tinggi 4,5 cm. Hasil pencetakan ini disebut pelet atau benda uji. Pelet diletakkan

pada loyang dan ditutup plastik kemudian disimpan dalam oven selama 24 jam

pada suhu 60C dan diuji kuat tekannya pada umur 28 hari. Tabel 4.1

menunjukkan hasil pengukuran kuat tekan dari geopolimer yang dihasilkan dari

abu layang tipe F yaitu abu layang PLTU Asam-asam.

Tabel 4.1 Nilai Kuat Tekan pada Variasi Perbandingan Mol SiO2/Al2O3

S/L Kuat tekan (MPa)

1,24 10,14

1,36 24,21

1,60 16,19

1,72 24,21

1,85 37,83

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa kuat tekan tertinggi terjadi pada

perbandingan S/L=1,85 yakni 37,83 MPa. Naiknya kuat tekan sejalan dengan

naiknya komposisi S/L. Hal ini sesuai dengan teori yang dinyatakan oleh

36

Page 54: Tesis Khosna Irani

Chindaprasirt, et. al., (2007) bahwa workabilitas akan meningkat dengan

penambahan air, namun penambahan lebih banyak air justru akan menjadikan

kekuatan menjadi lebih rendah. Semakin banyak abu layang yang ditambahkan,

maka kandungan air dalam geopolimer semakin kecil. Penguapan air yang sedikit

ini akan meninggalkan sedikit pula rongga-rongga kosong (pori), sehingga kuat

tekannya menjadi semakin meningkat. Kuat tekan akan menurun saat jumlah air

tidak lagi mampu menyeimbangkan jumlah solid yang ditambahkan. Komponen

solid yang tidak bereaksi ini justru menurunkan kuat tekan. Pada penelitian ini

didapatkan nilai tertinggi S/L=1,85. Perbandingan S/L ini dijadikan acuan untuk

membuat geopolimer dengan bahan dasar abu layang hasil modifikasi.

4.2 Analisis Abu Layang

4.2.1 Analisis Komposisi Kimia Abu Layang Sebelum dan Sesudah Modifikasi

Komposisi kimia abu layang batubara berbeda berdasarkan asal dan jenis

batubara tersebut. Komposisi kimia ini biasanya digunakan untuk

mengelompokkan jenis abu layang yang dihasilkan. Abu layang yang diproduksi

dari satu tempat yang sama belum tentu setiap kali produksi menghasilkan abu

layang dengan komposisi yang sama pula. Abu layang mempunyai mutu yang

beragam tergantung pada jenis batubara, efisiensi pembakaran, kehalusan serbuk

batubara, dimensi tungku untuk membakar batubara, dan cara penangkapan abu

layang dari pembakaran batubara (Neville, 1996). Oleh karena itu setiap abu

layang yang akan digunakan, harus dianalisis kandungan-kandungan kimianya.

Pengukuran kandungan kimia abu layang ini perlu dilakukan karena perbedaan

kandungan kimia abu layang berpengaruh terhadap kuat tekan dan porositas

geopolimer yang akan dihasilkan.

Dalam penelitian ini, geopolimer yang disintesis berasal dari abu layang

murni dan hasil modifikasi oleh larutan NaOH melalui metode refluks. Selama

ini, geopolimer yang dihasilkan disintesis dari abu layang murni secara langsung

tanpa perlakuan apapun. Tujuan memodifikasi abu layang adalah untuk

memperbaiki sifat-sifat geopolimer yang disintesis dari abu layang tipe F yang

meliputi sifat fisik dan mekanik geopolimer yang dihasilkan.

37

Page 55: Tesis Khosna Irani

Abu layang batubara yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari

PLTU Asam-asam Kalimantan Selatan. Sintesis geopolimer dilakukan melalui

dua tahap yaitu refluks abu layang dan pembuatan geopolimer itu sendiri.

Refluks abu layang dilakukan dengan larutan NaOH 0, 1, 2 dan 3 M,

dimana perbandingan komponen dalam sistem refluks adalah 30,25 gram abu

layang dengan 250 mL larutan NaOH (1:8). Refluks dilakukan pada suhu 90ºC

selama 5 jam. Filtrat yang diperoleh dianalisis kandungannya yaitu kandungan Si

dan Al. Sedangkan abu layang hasil refluks kemudian dikeringkan dalam oven

pada suhu 105ºC selama 12 jam untuk menghilangkan kandungan air. Padatan

yang diperoleh kemudian digerus untuk menurunkan kristalinitas dan membuat

ukuran abu layang menjadi lebih kecil. Abu layang hasil penggerusan diayak

dengan ayakan 100 mesh untuk menghomogenkan ukurannya. Ukuran partikel

yang lebih kecil akan menyebabkan jumlah Si dan Al terlarut dari abu layang

tersebut menjadi lebih besar. Hal ini bisa dilihat pada analisis filtrat abu layang

dengan ICP (Tabel 4.4) dan perbandingan Si/Al (Tabel 4.5) dimana apabila

konsentrasi Si terlarut lebih besar dari Al terlarut maka akan didapatkan

perbandingan Si/Al yang lebih besar, yang akan berpengaruh terhadap geopolimer

yang dihasilkan. Padatan yang diperoleh selanjutnya dikarakterisasi untuk

mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi sehingga dapat diketahui sifat-

sifatnya.

Komposisi abu layang sebelum modifikasi dan abu layang yang sudah

dimodifikasi dianalisis dengan menggunakan XRF (X-ray Flourescence). Analisis

dengan XRF dilakukan untuk mengetahui komposisi abu layang, meliputi kadar

silika, alumina, dan komponen-komponen lainnya. Komposisi kimia dari abu

layang tersebut baik sebelum dan sesudah modifikasi disajikan pada Tabel 4.2 dan

4.3.

Tabel 4.2 dan 4.3 menunjukkan bahwa abu layang dari PLTU Asam-asam

adalah abu layang tipe F dimana abu layang ini mengandung CaO kurang dari

10%. Dapat dilihat juga bahwa semua komposisi kimia dari abu layang

mengalami perubahan sesudah modifikasi. Hal ini jelas menunjukkan bahwa

modifikasi abu layang dengan NaOH melalui metode refluks dapat mengubah

komposisi kandungan abu layang.

38

Page 56: Tesis Khosna Irani

Tabel 4.2 Komposisi Kimia Abu Layang Sebelum dan Sesudah Modifikasi Dalam Persen Senyawa (% w/w)

No Senyawa Oksida

Sebelum Modifikasi

Sesudah Modifikasi (%w/w)

0 M 1 M 2 M 3 M

1 SiO2 43,70 38,20 36,00 32,10 29,60

2 Al2O3 21,00 19,00 17,00 17,00 15,00

3 CaO 4,85 5,79 6,68 6,65 6,56

4 Fe2O3 22,50 32,94 37,00 40,05 43,13

5 K2O 0,88 0,98 0,79 0,32 0,49

6 TiO2 0,95 1,27 1,32 1,38 1,37

7 MnO 0,44 0,56 0,62 0,65 0,70

8 BaO 0,21 0,29 0,38 0,38 0,41

9 SrO 0,06 0,11 0,12 0,14 0,15

Tabel 4.3 Komposisi Kimia Abu Layang Sesudah Modifikasi dalam Persen Unsur (% w/w)

No Unsur Sesudah Modifikasi (%w/w)

0 M 1 M 2 M 3 M

1 Si 27,80 24,80 22,10 21,40

2 Al 15,00 13,00 12,00 12,00

3 Ca 6,95 7,71 7,67 7,55

4 Fe 44,55 48,47 52,17 53,27

5 K 1,34 1,10 0,45 0,56

6 Ti 1,31 1,36 1,37 1,34

7 Mn 0,81 0,86 0,91 0,93

8 Ba 0,50 0,50 0,60 0,54

9 Sr 0,19 0,21 0,25 0,26

Larutan basa, dalam hal ini NaOH, dapat mengubah komposisi abu layang

dengan cara merusak lapisan luar abu layang sehingga silika dan alumina yang

ada dalam abu layang keluar ke permukaan abu layang dan menyebabkan

terjadinya perubahan prosentase jumlah unsur atau senyawa yang dikandung abu

layang. Silika dan alumina ini bereaksi dengan larutan NaOH yang akan

39

Page 57: Tesis Khosna Irani

membentuk beberapa produk reaksi seperti silikat dan aluminat. Perubahan

komposisi ini diperjelas dengan analisis ICP untuk filtrat hasil refluks abu layang

seperti yang terlihat pada Tabel 4.4. Tabel 4.4 ini menunjukkan bahwa semakin

tinggi konsentrasi larutan NaOH yang diberikan untuk merefluks abu layang,

maka semakin tinggi pula jumlah kelarutan Si dan Al. Menurut Yan, et. al.,

(2003) dan Goni, et. al., (2003) lapisan permukaan partikel abu layang yang

berbentuk glassy ini sangat rapat dan stabil. Karena berpori dan amorf inilah,

maka gugus didalam lapisan abu layang memiliki aktifitas yang tinggi. Untuk

mendapatkan gugus-gugus aktif ini, maka lapisan tersebut harus dihancurkan.

Penghancuran lapisan ini dapat dilakukan dengan penambahan larutan yang

memiliki kebasaan tinggi seperti NaOH. Larutan basa ini menyebabkan lapisan

luar yang rapat menjadi rusak, sehingga gugus-gugus aktif yang ada didalamnya,

seperti silika dan alumina, keluar ke permukaan abu layang. Bila konsentrasi OH-

cukup tinggi, rantai glassy silika-alumina yang rapat akan cepat rusak dan akan

menghasilkan sejumlah besar gugus-gugus yang aktif. Dengan merusak lapisan

permukaan yang glassy ini, gugus aktif yang ada di dalam juga akan terlarut.

Gambar 4.1 menunjukkan diagram modifikasi abu layang oleh larutan

alkali. Untuk Gambar 4.1a, menunjukkan tahap penyerangan awal pada

permukaan abu layang. Penyerangan alkali terhadap abu layang ini yaitu dengan

merusak rantai silika dan alumina pada permukaan abu layang. Peningkatan

konsentrasi larutan alkali yang menyerang abu layang ini menyebabkan kerusakan

rantai silika dan alumina semakin meningkat sehingga perluasan lubang pada

permukaan abu layang semakin besar. Gambar 4.1b, menunjukkan bahwa

penyerangan alkali terhadap abu layang menyebabkan partikel-partikel yang

terdapat didalam abu layang keluar sedangkan larutan alkali akan masuk kedalam

abu layang kemudian gugus-gugus yang aktif yang terdapat didalam seperti silika

dan alumina akan bereaksi dengan larutan NaOH membentuk produk-produk

silikat dan aluminat yang merupakan reaktan utama untuk terbentuknya

geopolimer. Produk reaksi yang dihasilkan akan memenuhi lapisan abu layang

baik di dalam maupun diluar permukaannya, hingga hampir semua partikel abu

layang yang terkonsumsi itu bereaksi dengan NaOH seperti yang terlihat pada

Gambar 4.1c. Mekanisme yang terlibat dalam tahap ini adalah tahap pelarutan

40

Page 58: Tesis Khosna Irani

dimana larutan alkali akan menembus dan kontak dengan partikel-partikel yang

terdapat didalam lapisan abu layang, seperti yang terlihat pada Gambar 4.1d.

Salah satu akibat dari produk reaksi yang terbentuk yang berupa endapan pejal

akan menutupi permukaan abu layang. Endapan seperti kerak ini menyebabkan

permukaan abu layang menjadi kasar seperti yang terlihat pada Gambar 4.1e.

Proses yang terjadi tidak sepenuhnya seragam/sama melainkan bervariasi,

tergantung dari distribusi ukuran partikel dan kondisi reaksi kimia seperti pH.

Perbedaan morfologi dari abu layang hasil modifikasi meliputi morfologi partikel

abu layang yang tidak bereaksi, partikel abu layang yang terserang larutan alkali,

produk reaksi dan lain-lain (Fernandez-Jimenez, et. al., 2005).

Gambar 4.1 Model Penggambaran Aktivasi Alkali pada Abu Layang (Fernandez-Jimenez, et. al., 2005)

Produk reaksi dari abu layang yang dimodifikasi yang berupa silikat dan

aluminat akan membentuk rantai geopolimer. Rantai-rantai ini akan membentuk

makromolekul dengan struktur tiga dimensi. Geopolimer itu sendiri merupakan

suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan hasil reaksi polimerisasi

Produk Reaksi

Abu Layang

41

Page 59: Tesis Khosna Irani

material aluminasilikat dengan larutan alkali berupa natrium hidroksida atau

kalium hidroksida. Mekanisme pelarutan dan geopolimerisasi pada tahap awalnya

melibatkan transportasi ion hidroksil kedalam permukaan abu layang, diikuti

dengan hidrolisis, kemudian pembentukan silikat dan aluminat. Monomer-

monomer ini membentuk oligomer dengan geometri yang berbeda-beda yang

menyebabkan pembentukan fasa gel geopolimer. Reaksi geopolimerisasi secara

sederhana diusulkan seperti persamaan reaksi 4.1 dan 4.2 berikut (Davidovits,

1994) :

n(Si2O5,Al2O2) + 2nSiO2 + 4nH2O KOH/NaOH n(OH)3-Si-O-Al--O-Si-(OH)3 (4.1)

(OH)2

n(OH)3-Si-O-Al--O-Si-(OH)3 KOH/NaOH (Na,K)+-(-Si-O-Al--O-Si-O-) + 4 nH2O (4.2)

(OH)2 O O O

Tabel 4.2 dan 4.3 menunjukkan bahwa komposisi silika dan alumina hasil

modifikasi pada abu layang semakin menurun tetapi pada Tabel 4.4 kandungan Si

dan Al pada filtrat semakin meningkat sehingga dapat dikatakan bahwa dengan

peningkatan konsentrasi larutan NaOH maka terjadi peningkatan jumlah kelarutan

Si dan Al lebih banyak sehingga akan mempengaruhi perbandingan Si/Al yang

terjadi. Peningkatan kelarutan Si dan Al ini akan berimbas pada peningkatan

kualitas geopolimer yang dihasilkan. Panias, et. al., (2006) mengatakan bahwa

penambahan konsentrasi larutan NaOH akan menambah laju pelarutan Si dan fasa

Si-Al dari abu layang sehingga akan meningkatkan proses geopolimerisasi.

Penambahan Si dan Al dalam larutan dalam sistem geopolimer penting untuk

inisiasi pembentukan prekursor oligomer, dan dengan demikian juga penting

untuk polikondensasi yang merupakan proses utama terhadap peningkatan

kekuatan dalam sistem geopolimer.

Komposisi kimia dari abu layang, seperti yang tertera pada Tabel 4.2 dan

4.3, yang menjadi pusat perhatian adalah kandungan dari abu layang sesudah

modifikasi yaitu penurunan kadar SiO2 dan Al2O3 sejalan dengan peningkatan

konsentrasi larutan NaOH. Penurunan kandungan SiO2 dan Al2O3 sebelum dan

42

Page 60: Tesis Khosna Irani

sesudah modifikasi pada abu layang disebabkan oleh sebagian Si terlarut hilang

ketika proses modifikasi berlangsung. Sebagaimana yang akan dijelaskan pada

analisis abu layang dalam difraksi sinar X (XRD) pada sub bab 4.1.2, semakin

tinggi konsentrasi larutan NaOH yang digunakan untuk merefluks abu layang,

maka semakin berubahlah struktur abu layang untuk menjadi struktur mirip zeolit.

Hilangnya Si terlarut dapat dijelaskan dengan fakta bahwa (1) Pembentukan

zeolit-silika rendah (low-silica zeolite) dari Si terlarut lebih mudah dibandingkan

Al terlarut (2) Komponen Si dalam abu layang lebih mudah larut daripada

komponen Al (3) Sebagian Al, yang terdapat dalam mullite, inert dalam media

alkalin. Walaupun tidak ada penyelidikan yang sistematis dalam perubahan

komposisi kimia selama proses modifikasi sampai sekarang, tetapi penelitian yang

dilakukan oleh Amrhein, et. al., (1996) telah berhasil menghubungkan penentuan

komposisi kimia dari abu layang murni dengan zeolit yang dihasilkan dari abu

layang itu. Perubahan yang terjadi adalah penurunan komposisi SiO2 secara

signifikan setelah proses modifikasi dan terjadi pembentukan zeolit silika-rendah

(low-silica zeolite) sesudah proses modifikasi.

Tabel 4.4 Hasil Analisis ICP Untuk Filtrat Hasil Modifikasi Abu Layang dengan Larutan NaOH

Konsentrasi Larutan NaOH (M)

Kadar (ppm)

Al Si

0 57,85 3,08

1 175,09 545,40

2 62,58 656,39

3 31,27 >700

Seiring dengan peningkatan larutan NaOH ini juga, jumlah Si dan Al

dalam filtrat meningkat (Tabel 4.4). Tetapi terdapat perkecualian untuk

kandungan Al dalam filtrat ini. Ternyata kandungan Al yang meningkat ini,

mencapai titik tertinggi pada konsentrasi larutan NaOH 1 M, kemudian menurun

setelah konsentrasi 1 M. Fenomena penurunan kandungan Al setelah mencapai

titik tertinggi dikarenakan peningkatan konsentrasi NaOH akan meningkatkan laju

reaksi yang terjadi pada Al (Fernandez-Jimenez, et. al., 2006) sehingga Al yang

43

Page 61: Tesis Khosna Irani

reaktif ini akan bereaksi dengan OH- dan unsur-unsur lain membentuk produk

baru yang dalam penelitian ini adalah kristal Gibbsite (Al(OH)3), Kaolinite

(Al2Si2O5(OH)4) dan Sodalite (Al6Na8(SiO4)6Cl2). Dengan demikian laju pelarutan

Al dalam filtrat pada konsentrasi larutan NaOH 2 M dan 3 M menjadi semakin

menurun dan menyebabkan jumlah Si dalam filtrat jauh melebihi jumlah Al.

Munculnya produk baru ini didukung oleh difraktogram dari difraksi sinar-X

seperti yang akan dibahas dalam Gambar 4.2 untuk konsentrasi NaOH 2 M dan 3

M. Pada difraktogram sinar-X ditunjukkan bahwa ada puncak Gibbsite (Al(OH)3)

pada 2θ=28,18º dan 45,78º, Kaolinite (Al2Si2O5(OH)4) pada 2θ = 12,45 dan

Sodalite (Al6Na8(SiO4)Cl2) pada 2θ= 14,03º; 24,40º sedangkan pada 0 M dan 1 M

tidak terdapat puncak Gibbsite (Al(OH)3), Kaolinite (Al2Si2O5(OH)4) dan Sodalite

(Al6Na8(SiO4)Cl2).

Folliard, et. al., (2005) menjelaskan bahwa jumlah kelarutan Si yang

melebihi kelarutan Al ini disebabkan oleh penambahan ion OH- yang kemudian

memasuki struktur aluminasilikat. Ikatan silanol (Si–OH) ini akan bereaksi

dengan ion OH-, dimana ion OH- ini juga akan menyerang ikatan kuat siloksan

(Si–O–Si). Reaksi yang terjadi dapat ditulis sebagai berikut :

Si–OH + OH- Si–O- + H2O (4.3)

Si–O–Si + 2OH- 2 (Si – O-) + H2O (4.4)

Kation natrium (Na+) berdifusi ke dalam struktur untuk menyeimbangkan

muatan negatif pada terminal atom oksigen. Penyerangan ikatan siloksan ini akan

melemahkan struktur. Jika jumlah alkali hidroksida tersedia cukup banyak dan

didukung oleh temperatur pelarutan, proses ini akan berlanjut menghasilkan

alkalin silikat dalam larutan. Disamping itu, pada kondisi ini komposisi oksida

aluminasilikat dari masing-masing abu layang (Tabel 4.2) juga memainkan

peranan dalam melarutkan jumlah Si dan Al ke dalam larutan basa (Brouwers dan

van Eijk, 2003). Kondisi ini cukup penting dalam proses geopolimerisasi, karena

akan menentukan perbandingan Si/Al yang menentukan sifat-sifat geopolimer

yang terbentuk (Duxon, et. al., 2007).

44

Page 62: Tesis Khosna Irani

Selain penurunan kandungan SiO2 dan Al2O3, yang menjadi pusat perhatian

adalah kandungan CaO dan Fe2O3 yang semakin meningkat (Tabel 4.2).

Peningkatan kandungan CaO dan Fe2O3 dapat mempengaruhi kelarutan Si dan Al

pada permukaan partikel abu layang. Penambahan larutan basa alkali terhadap abu

layang yang mengandung CaO menyebabkan pelarutan yang cepat terhadap

kalsium dari abu layang, yakni dengan mengendapkannya sebagai Ca(OH)2.

Sebagai akibatnya pH sistem akan turun dari nilai seharusnya karena sejumlah ion

OH- dipakai untuk terbentuknya Ca(OH)2 tersebut. Hal ini tentu saja akan

mempengaruhi proses-proses pelarutan Si dan Al.

Hal yang sama juga terjadi bila kandungan Fe2O3 semakin meningkat. Besi

bereaksi dengan ion hidroksida dalam larutan basa alkali membentuk Fe3+, yang

akan mengendap kembali sebagai hidroksida atau oksihidroksida. Ini

menyebabkan pemakaian ion hidroksida dari larutan akan memperlambat

kelarutan partikel-partikel abu layang seperti Si dan Al (van Deventer, et. al.,

2006).

Selain jumlah Si dan Al, tingginya kandungan senyawa kalsium abu

layang juga merupakan faktor pendukung untuk mempercepat pembentukan

kekuatan dari geopolimer. Pembentukan kalsium silikat hidrat, kalsium aluminat

hidrat, dan juga kalsium-siliko-aluminat dapat terjadi dari pelarutan Si dan Al

yang cepat yang bereaksi dengan ion kalsium yang larut sebelum bereaksi dengan

ion hidroksida membentuk Ca(OH)2. Menurut van Jaarsveld (2003), kekuatan

yang tinggi campuran semen geopolimer dapat berasal dari pembentukan senyawa

tersebut. Kandungan CaO meningkat seiring dengan penambahan konsentrasi

larutan NaOH yang digunakan untuk merefluks abu layang. Kandungan CaO pada

abu layang mencapai titik tertinggi pada konsentrasi larutan NaOH 1 M seperti

terlihat pada Tabel 4.2 dan 4.3. Kandungan CaO tertinggi ini mengakibatkan kuat

tekan geopolimer yang dihasilkan tertinggi diantara yang lain.

Tingkat kelajuan dan/atau jumlah pelarutan itu sendiri selain dipengaruhi

oleh tingkat kebasaan larutan juga dipengaruhi oleh struktur dari aluminasilikat.

Menurut Comrie dan Kriven (2004), faktor yang lebih dominan daripada faktor-

faktor lain dalam proses pelarutan ketika padatan sumber Si dan Al dikontakan

dengan larutan alkalin adalah sifat-sifat dari material sumber Si-Al dan

45

Page 63: Tesis Khosna Irani

konsentrasi larutan alkalin. Aluminasilikat amorf atau kurang kristalin cenderung

membentuk struktur alumina dan silika reaktif daripada aluminasilikat yang

kompak atau terkristalisasi (seperti mikrokristalin quartz). Kelarutan padatan

amorf bertambah secara signifikan terhadap pH, sehingga cenderung melarut lebih

baik dalam larutan pH tinggi. Kehadiran padatan kristalin atau berstruktur lebih

kompak, relatif kurang dapat diakses oleh larutan alkali hidroksida, dan pelarutan

hanya terjadi pada permukaan dan dengan laju sangat lambat (Folliard, et. al.,

2005). Difraktogram dari difraksi sinar X pada Gambar 4.2 jelas menunjukkan

bahwa kehadiran kristalin quartz, mullite, gibbsite, kaolinite dan sodalite akan

menghambat akses larutan NaOH pada permukaan abu layang, sehingga

menghambat kelarutan Si dan Al. Dengan demikian penambahan konsentrasi

NaOH dalam fase pelarut selain dapat berpengaruh positif, juga dapat

berpengaruh negatif terhadap pelarutan Si dan Al dari permukaan abu layang.

4.2.2 Analisis Fasa Abu Layang Sebelum dan Sesudah Modifikasi

Analisis fasa pada abu layang dilakukan dengan difraksi sinar X untuk

mengetahui perubahan fasa yang terjadi sebelum dan sesudah modifikasi. Gambar

4.2 menunjukkan difraktogram dari difraksi sinar X untuk abu layang sebelum

dan sesudah dimodifikasi.

Difraktogram pada Gambar 4.2 menunjukkan bahwa quartz (SiO2) dan

mullite (3Al2O3.xSiO2) sebagai kristal utamanya. Quartz dan mullite adalah hasil

dekomposisi dari mineral lempung seperti kaolinite (White and Case, 1990). Abu

layang ini mengandung fasa amorf silika yang ditunjukkan dengan munculnya

gundukan pada 2θ antara 20o-30o. Penentuan kandungan mineral abu layang

dilakukan dengan membandingkan data hasil analisis difraksi sinar X dengan

database JCPDS 1997-International Centre for Diffraction. Hasil penentuan

tersebut menunjukkan bahwa abu layang mengandung mineral utama: (Q) Quartz

(SiO2) yang ditunjukkan oleh puncak-puncak difraksi pada 2θ=20,94; 26,64;

36,59; 39,47; 42,47; 45,80; 50,14; 54,89; 59,94; 68,25 (PDF 05-0490); (M)

Mullite (3Al2O3.xSiO2) pada 2θ=16,43; 33,24; 40,81; 60,63 (PDF 06-0258);

sedangkan mineral-mineral yang lain yang muncul seiring dengan penambahan

konsentrasi larutan NaOH adalah Maghemite (Fe2O3) pada 2θ=30,23; 35,67;

46

Page 64: Tesis Khosna Irani

40,81; 43,26; 62,89 (PDF 39-1346); Gibbsite (Al(OH)3) pada 2θ=28,18; 45,78

(PDF 29-0041); Kaolinite (Al2Si2O5(OH)4) pada 2θ=12,45 (PDF 29-1488);

Sodalite (Al6Na8(SiO4)6Cl2) pada 2θ=14,03 dan 24,50 (PDF 02-0341).

Gambar 4.2. Difraktogram XRD untuk Abu Layang (a) Sebelum Modifikasi (b), (c), (d), dan (e) Sesudah Modifikasi dengan Larutan NaOH Berturut-turut Untuk Konsentrasi 0 M, 1 M, 2 M dan 3 M (K: Kaolinite, S: Sodalite, M: Mullite, Q: Quartz, G: Gibbsite, Ma: Maghemite)

10 11 12 13 14 15 16

2 theta

e

d

c

b

a

Kaolinite

Sodalite

2 θ

Q

5 15 25 35 45 55 65

2 theta

edc

ba

Q Q

QQ Q

MM

K

MS S G G

Ma

2 θ

Ma

47

Page 65: Tesis Khosna Irani

Gambar 4.2a. Difraktogram XRD pada 2 θ = 10-20º untuk Abu Layang (a) Sebelum Modifikasi (b), (c), (d), dan (e) Sesudah Modifikasi dengan Larutan NaOH berturut-turut untuk konsentrasi 0 M, 1 M, 2 M dan 3 M

Gambar 4.2b. Difraktogram XRD pada 2θ = 22-26º dan 2θ = 25-30º untuk Abu Layang (a) Sebelum Modifikasi (b), (c), (d), dan (e) Sesudah Modifikasi dengan Larutan NaOH Berturut-turut Untuk Konsentrasi 0 M, 1 M, 2 M dan 3 M

Gambar 4.2a dan Gambar 4.2b menunjukkan adanya perubahan fasa yang

terjadi pada abu layang yaitu sebelum dan sesudah modifikasi. Pada Gambar 4.2a

dan 4.2b terlihat puncak kaolinite pada 2 θ = 12,45º dan gibbsite pada pada 2 θ =

28,18º untuk abu layang yang direfluks dengan larutan NaOH 2 M, sedangkan

pada abu layang yang direfluks dengan larutan NaOH 0 M, 1 M dan 3 M tidak

2 theta2 theta

22 22.5 23 23.5 24 24.5 25 25.5 26

e

d

c

b

a

25 25.5 26 26.5 27 27.5 28 28.5 29 29.5 30

edcba

Sodalite

Gibbsite

2 θ 2 θ

48

Page 66: Tesis Khosna Irani

terdapat puncak kaolinite dan gibbsite. Adanya fasa baru kaolinite dan gibbsite

setelah peningkatan konsentrasi larutan NaOH untuk 0 M dan 1 M menunjukkan

bahwa laju pelarutan untuk Si dan Al serta pembentukan fasa aluminasilikat

bertambah dengan peningkatan konsentrasi NaOH yang artinya semakin banyak

ketersediaan OH- pada permukaan abu layang untuk bereaksi dengan silika dan

alumina untuk membentuk silikat dan aluminat. Laju pelarutan hidroksida

bergantung pada konsentrasi permukaan ion hidroksida. Konsentrasi permukaan

ion hidroksida berhubungan dengan konsentrasi ion hidroksida ([OH-]).

Peningkatan konsentrasi NaOH menyebabkan percepatan laju pelarutan yang

berarti terhadap promosi reaksi-reaksi pelarutan pada tahap awal proses

geopolimerisasi (Panias, et. al., 2006) dimana keefektifan penambahan laju

pelarutan menyebabkan terbentuknya fasa kristalin minor. Selain itu

kereaktifitasan aluminasilikat secara termodinamika pada akhirnya akan

mengubah abu layang yang teraktivasi tersebut menjadi zeolit (Kovalchuk, et. al.,

2007). Hilangnya puncak kaolinite pada abu layang yang direfluks dengan

konsentrasi larutan 3 M dan munculnya puncak sodalite pada 2 θ = 14,03º dan

24,39º menunjukkan adanya transformasi kristal menjadi kristal yang lain yaitu

transformasi kaolinite menjadi sodalite. Perubahan struktur kristal dari kaolinite

menjadi sodalite dijelaskan oleh Zhao, et. al., (2004) pada reaksi 4.7 dan 4.8.

4.2.3 Analisis Struktur Ikatan Kimia Abu Layang Sebelum dan Sesudah Modifikasi

Analisis perubahan struktur ikatan kimia pada abu layang sebelum dan

sesudah modifikasi dilakukan dengan FTIR. Analisis perubahan spektra FTIR

sebelum dan sesudah modifikasi pada range 1300-400 cm-1 ditampilkan pada

Gambar 4.3. Spektra FTIR berturut-turut untuk aluminasilikat dan quartz tampak

pada daerah 500 cm-1-420 cm-1 dan 1200 cm-1-950 cm-1. Puncak FTIR pada 1085

cm-1 untuk abu layang sebelum modifikasi berhubungan dengan internal SiO4

tetrahedra, khususnya struktur rantai Si-O-Si. Terlihat dari gambar bahwa pita ini

bergeser ke bilangan gelombang yang lebih rendah yaitu sekitar 1000 cm -1 seiring

dengan peningkatan konsentrasi larutan NaOH. Hal ini terjadi sebagai akibat dari

polikondensasi dengan perubahan penggantian Si-O-Si dan Al-O-Si (Lee,

49

Page 67: Tesis Khosna Irani

W.K.W., van Deventer, J.S.J, 2002; Phair, J.W., van Deventer, J.S.J., 2002).

Pergeseran pita pada 1085 cm-1 ke frekuensi yang lebih rendah yaitu sekitar 1000

cm-1 menunjukkan produk baru telah terbentuk sehubungan dengan peningkatan

konsentrasi larutan NaOH. Pergeseran puncak ini juga menunjukkan telah

terjadinya perubahan perbandingan Si/Al (Fernandez-Jimenez, et. al., 2005).

Intensitas adsorpsi pita pada 950-1200, 800, 600, 500 cm-1 meningkat sejalan

dengan peningkatan konsentrasi larutan NaOH. Peningkatan intensitas ini

menunjukkan peningkatan dalam perpanjangan rantai dan menunjukkan lebih

banyak aluminasilikat yang terbentuk. Pada tahap pelarutan, larutan alkali akan

secara langsung menyentuh abu layang. Dalam tahap ini, konsentrasi OH- yang

tinggi akan memutuskan ikatan kovalen Si-O-Si, Si-O-Al dan Al-O-Al,

mengeluarkan ion Si dan Al dalam larutan, dimana ion-ion ini akan membentuk

Si-OH dan Al-OH dalam jumlah yang besar akibat pengaktifan hidroksida

terhadap Si dan Al sehingga terbentuk monomer-monomer seperti yang

digambarkan dalam reaksi 4.5 dan 4.6 (Comrie, et. al., 2004). Spesi kimia ini

berkondensasi memberikan tempat bagi prekursor zeolit. Gel aluminasilikat ini

akan mempengaruhi struktur tiga dimensi dengan orde zeolit pada range yang

pendek (Palomo, et. al., 2004). Pergeseran ke frekuensi yang lebih rendah dengan

peningkatan konsentrasi larutan NaOH ini menunjukkan perubahan abu layang

murni ke dalam struktur seperti zeolit.

Pelarutan Si

OH

4 NaOH + Si 4+ HO Si OH + 4 Na + (4.5)

OH

Pelarutan Al

OH

4 NaOH + Al 3+ HO Al- OH + 4 Na + (4.6)

50

Page 68: Tesis Khosna Irani

OH

Adanya puncak pada daerah 820-500 cm-1 menunjukkan pita baru yang

terdeteksi sebagai gabungan antara SiO4 dan AlO4 tetrahedra yang membentuk

bermacam-macam cincin (Fernandez-Jimenez, et. al., 2005; Mozgawa, et. al.,

2002).

Gambar 4.3. Spektra FTIR untuk Abu Layang (a) Sebelum Modifikasi (b), (c), (d), dan (e) Sesudah Modifikasi dengan Larutan NaOH 0 M, 1 M, 2 M dan 3 M

4.2.4 Analisis Morfologi Abu Layang Sebelum dan Sesudah Modifikasi

Analisis morfologi dilakukan untuk mengetahui perubahan morfologi pada

permukaan abu layang baik sebelum maupun sesudah modifikasi. Gambar 4.4

menunjukkan tampilan gambar dari Scanning Electron Microscope (SEM) untuk

abu layang yang belum dimodifikasi (abu layang murni) dan abu layang yang

sudah dimodifikasi.

4005006007008009001000110012001300

Bilangan Gelombang (1/cm) Bilangan Gelombang (1/cm) Bilangan Gelombang (1/cm)

e

d

c

ba1090,67

1078,13

1026,06

991,34

990,38

51

Page 69: Tesis Khosna Irani

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 4.4. Morfologi Dari Abu Layang untuk (a) Abu Layang Sebelum Modifikasi (b) Abu Layang Hasil Modifikasi dengan Larutan NaOH 1 M (c) Abu Layang Hasil Modifikasi dengan Larutan NaOH 2 M dan (d) Abu Layang Hasil Modifikasi dengan Larutan NaOH 3 M

Gambar 4.4a, 4.4b, 4.4c, 4.4d menunjukkan morfologi yang sangat

berbeda. Abu layang yang tidak termodifikasi berbentuk bulat dengan permukaan

yang halus dengan ukuran yang beragam yaitu mulai kurang dari 1 μm hingga 1

mm. Partikel abu layang ini dihasilkan dari pendinginan produk lelehan dari

pembakaran batubara (White dan Case, 1990) sehingga memiliki ukuran partikel

yang sangat variatif. Berbeda dengan permukaan produk abu layang sesudah

termodifikasi yang tampak lebih kasar (Gambar 4.4b, 4.4c, 4.4d).

Selama dalam proses refluks, larutan NaOH secara terus-menerus

berinteraksi dengan partikel-partikel abu layang yang menyebabkan permukaan

abu layang menjadi kasar. Gambar 4.4b. menunjukkan bahwa permukaan abu

layang hasil modifikasi kasar dan pecah-pecah. Pada Gambar 4.4c. teramati

keretakan yang terjadi pada abu layang. Selain itu tampak bahwa abu layang

52

Page 70: Tesis Khosna Irani

diselimuti oleh kristal-kristal kecil dengan ukuran panjang sekitar 10 μm.

Sedangkan pada Gambar 4.4d. tampak bahwa abu layang dikelilingi oleh banyak

kristal-kristal, baik kristal yang berbentuk jarum maupun kristal yang berbentuk

batangan, walaupun tidak dilakukan analisis khusus untuk kristal pada penelitian

ini, namun kemungkinan besar kristal-kristal ini adalah zeolit.

Terbentuknya kristal-kristal ini karena adanya proses hidrotermal yang

terjadi ketika abu layang direfluks dengan larutan NaOH dengan konsentrasi yang

lebih tinggi. Kristal zeolit mengendap dalam permukaan abu layang selama proses

perlakuan hidrotermal tersebut sehingga menyebabkan permukaan abu layang

kasar. Pertumbuhan inti kristal yang terjadi dengan cepat dalam permukaan abu

layang dijelaskan oleh Jansen (1991) yakni bahwa adanya pengotor dalam reaktan

akan menyebabkan percepatan terbentuknya kristal dan terbentuknya sifat-sifat

kimia zeolit. Faktanya, pengotor-pengotor ini mengarah pada terbentuknya kristal-

kristal kecil. Hal ini dikarenakan pengotor dapat meningkatkan laju pertumbuhan

inti kristal pada saat kristal tumbuh. Karena abu layang tidak sepenuhnya murni

quartz dan mullite, tetapi terdiri dari sejumlah material lain seperti oksida-oksida,

tidak mengherankan jika pertumbuhan kristal ini dipengaruhi oleh unsur-unsur

lain tersebut. Peningkatan konsentrasi larutan NaOH akan menyebabkan

terbentuknya kristal-kristal yang lebih besar. Terbentuknya kristal-kristal ini

didukung oleh penelitian Lin dan Hsi (1995) dan Wu, et. al., (2008), yang

mengamati telah terjadi penurunan perbandingan Si/Al pada abu layang oleh

sebab yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa Si lebih reaktif dalam

NaOH daripada senyawa Al. Selain itu dapat dikatakan bahwa semakin tinggi

konsentrasi larutan NaOH semakin mudah quartz (SiO2) melarut. Dapat dilihat

pada hasil analisis dengan XRF sebelumnya bahwa komposisi Si setelah direfluks,

dengan semakin meningkatnya konsentrasi larutan NaOH, prosentase Si menurun

lebih tajam daripada Al. Dapat dilihat juga pada Gambar 4.2 bahwa larutan NaOH

2 M dan 3 M yang digunakan untuk merefluks abu layang mengarah pada

pembentukan kristal zeolit dengan mengambil Si dan Al untuk terjadinya kristal-

kristal tersebut. Semua proses ini menyebabkan perbandingan Si dan Al menurun

yang pada akhirnya menyebabkan kuat tekan geopolimer juga menurun.

53

Page 71: Tesis Khosna Irani

Tabel 4.5. Perbandingan Si/Al Sebelum dan Sesudah Modifikasi

Konsentrasi Larutan NaOH

Sebelum Modifikasi

Sesudah Modifikasi

0 M 1 M 2 M 3 M

Perbandingan Si/Al

2,08 2,01 2,12 1,97 1,89

4.2.5 Analisis Luas Permukaan Abu Layang Sebelum dan Sesudah Modifikasi

Untuk menentukan luas permukaan dan volume pori abu layang digunakan

analisis adsorpsi gas N2 (metode BET. Menurut Sarbak, et. al., (2002) dan Yu-

Fen, et. al., (2006) perlakuan hidrotermal abu layang dengan larutan basa akan

meningkatkan luas permukaan abu layang. Tabel 4.6 menunjukkan luas

permukaan spesifik dan volume pori abu layang sebelum dan sesudah modifikasi.

Tabel 4.6 ini menunjukkan bahwa terjadi penurunan luas permukaan abu layang

sesudah modifikasi.

Menurut hipotesis awal, abu layang yang dimodifikasi dengan larutan

NaOH mengakibatkan terjadinya peningkatan luas permukaan. Tetapi pada

penelitian ini terjadi penurunan luas permukaan untuk abu layang sesudah

modifikasi. Hal ini dimungkinkan karena dua alasan yaitu pertama alasan teknis,

dimana ada jeda/penundaan waktu dari sampel untuk dianalisis dan kedua, adanya

kristal yang terbentuk akibat proses hidrotermal abu layang dengan larutan basa.

Penundaan waktu analisis yaitu sekitar 49 hari memungkinkan abu layang hasil

modifikasi yang reaktif ini bereaksi dengan oksida-oksida yang terdapat dalam

abu layang itu sendiri atau bereaksi dengan unsur-unsur lain disekitar

lingkungannya untuk membentuk produk baru yang dapat menurunkan luas

permukaan. Penurunan luas permukaan ini disebabkan karena munculnya produk

baru berupa kristal zeolit. Analisis ini didukung oleh gambar morfologi dari SEM

untuk abu layang yang sudah dimodifikasi baik untuk konsentrasi larutan NaOH 1

M, 2 M dan 3 M, yang menunjukkan bahwa morfologi permukaan abu layang

sesudah modifikasi antara lain retak, kasar serta munculnya produk kristal-kristal

baru yang terbentuk, dimana dengan semakin tingginya konsentrasi larutan NaOH

54

Page 72: Tesis Khosna Irani

yang diperlakukan, semakin banyak kristal-kristal yang menyelimuti permukaan

abu layang. Seiring dengan waktu, kestabilan dari kristal-kristal ini semakin

meningkat (Rios, et. al., 2009). Munculnya kristal-kristal ini menyebabkan

penurunan luas permukaan dari abu layang yang sudah dimodifikasi (Woolard, et.

al., 2002). Namun demikian, adanya fasa baru ini membutuhkan proses yang

sangat kompleks, yaitu pelarutan, perpindahan massa, munculnya inti dan

pertumbuhan kristal, dikarenakan pecahnya kesetimbangan kimia dalam sistem

(Ojha, et. al., 2004).

Tabel 4.6 Pengaruh Modifikasi Kimia Abu Layang Terhadap Luas Permukaan dan Pori-Pori Abu Layang

Jenis Material Luas Permukaan

(m2/g)

Volume Pori

(cm2/g)

Abu Layang Sebelum Modifikasi

8,10 0,01

Abu Layang Sesudah Modifikasi dengan Larutan NaOH

1 M 7,46 0,03

2 M 2,98 0,03

3 M 1,82 0,02

Untuk abu layang sesudah modifikasi, luas permukaan tertinggi dicapai

saat abu layang direfluks dengan larutan NaOH 1 M yaitu sebesar 7,46 m2/g

dengan volume pori meningkat tiga kali lebih besar daripada abu layang sebelum

modifikasi. Hal ini sesuai dengan yang dianalisis oleh Sarbak, et. al., (2002)

bahwa abu layang yang dimodifikasi akan menghasilkan volume pori yang lebih

besar. Dibandingkan dengan abu layang sebelum modifikasi, abu layang sesudah

modifikasi diharapkan dapat berinteraksi atau melakukan kontak dengan

permukaan abu layang lainnya lebih baik karena permukaannya yang lebih kasar

sehingga diharapkan dapat memperbaiki dan meningkatkan sifat fisik dan

mekanik geopolimer yang dihasilkan. Penurunan luas permukaan dari larutan

NaOH 1 M ke larutan NaOH 2 M dan 3 M mencerminkan perubahan kristal

menjadi kristal lainnya yaitu abu layang yang direfluks pada larutan NaOH 2 M

muncul kristal kaolinite dan gibbsite sedangkan abu layang yang direfluks dengan

55

Page 73: Tesis Khosna Irani

larutan NaOH 3 M muncul sodalite. Perubahan struktur kristal dari kaolinite

menjadi sodalite ini dijelaskan oleh Zhao, et. al., (2004), bahwa terdapat dua

proses yang dilibatkan dalam transformasi kaolinite menjadi sodalite setelah

kontak dengan alkali yaitu:

Al2Si2O5(OH)4 + 6 OH- + H2O 2 Al(OH)4- + 2 H2SiO4

2- (4.7)

6 Al(OH)4- + 6 H2SiO4

2- + 8 Na+ + 2 Cl- Na6Si6Al6O24.2 NaCl

+ 12 OH- + 12 H2O (4.8)

Reaksi 4.7 dan 4.8 menggambarkan pelarutan kaolinite telah

mengeluarkan Si dan Al dan membentuk sodalite.

4.3 Hasil Sintesis Geopolimer dari Abu Layang Sebelum dan Sesudah Modifikasi

Pada penelitian ini pembuatan geopolimer dilakukan dengan

mencampurkan abu layang baik sebelum dan sesudah modifikasi dengan larutan

alkalin. Pencampuran dilakukan dengan perbandingan berat padatan dan air sesuai

dengan konsistensi masing-masing. Konsistensi disini dengan menghitung volume

air yang ditambahkan kedalam abu layang yang telah dicampur dengan padatan

NaOH dan larutan Na2SiO3 sampai batas tertentu dan waktu tertentu. Komposisi

bahan dari campuran dengan perbandingan ini dapat dilihat pada Lampiran 4.

Dalam Lampiran 4 terdapat perbedaan komposisi penambahan air untuk

sintesis geopolimer dimana perbedaan ini dipengaruhi oleh komposisi kimia abu

layang sehingga akan mempengaruhi hidrasi abu layang dan pelarutan abu layang.

Hidrasi abu layang adalah pembentukan material geopolimer yang terjadi dari

reaksi antara CaO bebas dengan Al2O3 dan SiO2 dengan melibatkan air. Pelarutan

abu layang akan berbeda jika komposisi SiO2, Al2O3 dan CaO juga berbeda.

Geopolimer disintesis dari abu layang dengan menggunakan larutan

alkalin. Abu layang yang digunakan dikeringkan dalam oven pada suhu 105ºC

selama 24 jam agar kandungan air yang terdapat dalam abu layang hilang

sehingga air yang ada dalam fasa gel hanya berasal dari larutan alkalin saja.

56

Page 74: Tesis Khosna Irani

Larutan alkalin yang digunakan adalah NaOH dan Na2SiO3 yang dilarutkan dalam

air. NaOH yang digunakan mempunyai kemurnian 98% dan berbentuk pelet.

Larutan NaOH yang telah dibuat disimpan dalam wadah tertutup selama 24 jam

sebelum digunakan karena pelarutan NaOH di dalam air akan menimbulkan panas

yang disebabkan oleh reaksi eksotermis pelarutan NaOH. Tujuan penambahan

NaOH dalam reaksi geopolimerisasi adalah untuk melarutkan silika dan alumina

pada abu layang pada saat pembentukan gel. Ion hidroksida mengaktifkan silika

dan alumina dari partikel abu layang sehingga terbentuk monomer-monomer

sebagaimana reaksi pada 4.5 dan 4.6 (Xu, et. al., 1999).

Sampel geopolimer dipanaskan dalam oven selama 24 jam pada suhu

60ºC (Hardjito, 2004). Tujuan pemanasan ini adalah untuk membantu proses

pematangan geopolimer. Selama waktu pemanasan, sampel geopolimer ditutup

dengan plastik film agar molekul air yang menguap dapat diminimalkan. Jika

jumlah molekul air yang hilang selama pemanasan cukup banyak, maka akan

terbentuk pori atau retakan yang mempengaruhi kuat tekan. Kemudian sampel

geopolimer disimpan selama 28 hari sebelum dianalisis lebih lanjut. Penyimpanan

dilakukan sampai umur 28 hari karena geopolimerisasi pada umur 28 hari sudah

dianggap selesai (Swanepoel, 2002) dan tidak ada penambahan kuat tekan yang

berarti setelah berumur 28 hari (Hardjito, 2004). Masa simpan 28 hari juga

merupakan standard pengukuran kuat tekan pada beton, dimana penentuan

kualitas beton dinilai dari pengukuran kuat tekannya pada umur 28 hari. Setelah

masa simpan 28 hari dilakukan analisis kuat tekan.

Geopolimer dalam penelitian ini disintesis dari abu layang sebelum

modifikasi dan abu layang sesudah modifikasi. Dari data kuat tekan geopolimer

tertinggi untuk geopolimer yang disintesis dari abu layang hasil modifikasi

kemudian dianalisis dengan difraksi sinar X (XRD) untuk melihat perubahan

fasanya, SEM (Scanning Electron Microscopy) untuk mengetahui morfologinya,

dan FTIR (Fourier Transform Infra Red) untuk mengetahui perubahan ikatan

kimia untuk dibandingkan dengan geopolimer yang disintesis dari abu layang

sebelum modifikasi.

4.3.1 Pengujian Kuat Tekan dan Porositas Geopolimer

57

Page 75: Tesis Khosna Irani

Pengujian kuat tekan yang merupakan sifat mekanik geopolimer ini

merupakan uji yang penting karena uji kuat tekan ini adalah salah satu aspek yang

berpengaruh yang bisa diperbandingkan dengan beton yang terbuat dari semen.

Pengukuran kuat tekan dilakukan menggunakan mesin penguji kuat tekan

(Universal Testing Machine ). Sampel geopolimer yang diuji kuat tekannya yaitu

berbentuk silinder dengan tinggi 30 mm dengan diameter 15 mm, diberi tekanan

secara perlahan-lahan sehingga mengalami keretakan dan kemudian hancur. Kuat

tekan dihitung pada saat sampel retak ataupun pecah. Hasil pengukuran kuat tekan

pada sampel geopolimer setelah 28 hari ditampilkan pada Tabel 4.7.

Tabel 4.7 Hasil Kuat Tekan dan Porositas Geopolimer dari Abu Layang Hasil Modifikasi dengan Larutan NaOH

Molaritas Larutan NaOH

Kuat Tekan (Mpa) Porositas (%)

Sebelum Modifikasi 35,29 21,80

0 M 34,73 22,10

1 M 36,33 21,50

2 M 11,32 39,40

3 M ≈0 ≈100

Hasil kuat tekan terbaik sampel geopolimer yang disintesis dari abu layang

hasil modifikasi yaitu terjadi pada modifikasi abu layang dengan larutan NaOH 1

M, dengan nilai kuat tekan tertinggi sebesar 36,329 MPa. Selanjutnya dari data

terbaik untuk geopolimer ini dianalisis untuk dibandingkan antara geopolimer

yang disintesis dari abu layang sesudah dimodifikasi dan abu layang sebelum

modifikasi. Pada peningkatan konsentrasi larutan NaOH yang lebih tinggi yaitu

2 M dan 3 M, kekuatan geopolimer yang dihasilkan mengalami penurunan. Hal

ini disebabkan oleh pengaruh komposisi kimia dari abu layang. Kuat tekan

semakin meningkat dengan meningkatnya perbandingan Si/Al. Perbandingan

Si/Al mencapai titik tertinggi untuk konsentrasi NaOH 1 M (Tabel 4.5),

sedangkan kuat tekan untuk geopolimer yang disintesis dari abu layang sebelum

modifikasi mempunyai perbandingan Si/Al lebih rendah daripada geopolimer

yang disintesis dari abu layang hasil modifikasi dengan larutan NaOH 1 M .

58

Page 76: Tesis Khosna Irani

Pengaruh perbandingan Si/Al ini juga akan mempengaruhi pembentukan

kerangka geopolimer, karena penjenisan silikat dan aluminat sebagian besar

ditentukan oleh konsentrasi larutan alkalin dan perbandingan Si/Al. Pelarutan

aluminasilikat amorf yang sangat cepat pada pH tinggi akan menghasilkan suatu

campuran silikat, aluminat dan spesies aluminasilikat yang lewat jenuh yang

dalam konsentrat larutan akan membentuk oligomer dalam fase air dengan

jaringan besar (Duxon, et. al., 2007).

Kelarutan Si dan Al semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi

larutan NaOH. Pelarutan yang menghasilkan perbandingan Si/Al yang semakin

tinggi akan menambah derajat polimerisasi dari rantai geopolimer yang terbentuk

(Fernandez-Jimenez, et. al., 2004) sehingga geopolimer yang dihasilkan akan

memiliki kuat tekan yang semakin tinggi pula. Perbandingan Si/Al yang

mendekati nilai 2 akan membentuk kerangka tiga dimensi poly(sialate-siloxo) (Si-

O-Al-O-Si-O-) dimana reaksi dengan ion natrium dan kalsium dengan

poly(sialaet-siloxo) akan membentuk (Na-Ca)(Si-O-Al-O-Si-O-) yang merupakan

geopolimer berkekuatan tinggi (Davidovits, 2002).

Menurut De Silva (2008), kondensasi dapat terjadi antara spesies silikat

dan aluminat atau antara spesies silikat sendiri tergantung pada konsentrasi Si dan

Al dalam sistem. Untuk Si/Al = 1, kondensasi secara dominan terjadi antara

spesies silikat dan aluminat, menghasilkan struktur polimer poly(sialate). Bila

Si/Al meningkat (>1), spesies silikat yang terbentuk akan berkondensasi dengan

silikat lainnya untuk membentuk silikat oligomerik. Silikat oligomerik ini

kemudian akan berkondensasi dengan aluminat membentuk jaringan struktur

polimer yang lebih panjang, yakni poly(sialate-siloxo) dan poly(sialate-disiloxo).

Laju kondensasi antar spesies silikat lebih rendah daripada antara spesies silikat

dan aluminat. Jika silikat dan aluminat terlarut cukup banyak maka pelarutan

aluminasilikat akan semakin tinggi sehingga geopolimerisasi akan lebih efektif.

Geopolimerisasi yang lebih efektif akan menghasilkan matrik geopolimer

yang lebih rapat dan kuat sehingga akan memiliki porositas yang rendah.

Porositas merupakan ukuran volume semua pori-pori yang terdapat dalam

material. Ukuran pori mempengaruhi kekuatan geopolimer (Skvara, 2006).

59

Page 77: Tesis Khosna Irani

Porositas setiap sampel geopolimer yang diukur setelah 28 hari diberikan

dalam Tabel 4.7. Tabel 4.7 menunjukkan bahwa dalam sampel geopolimer, ada

kaitan antara porositas dengan kuat tekan geopolimer. Disini ditunjukkan bahwa

dari setiap komposisi abu layang, peningkatan kuat tekan hampir selalu diikuti

dengan penurunan porositas. Dengan demikian terdapat hubungan berbanding

terbalik antara kuat tekan dan porositas geopolimer. Geopolimer dengan porositas

rendah menghasilkan kuat tekan tinggi, begitu pula sebaliknya (Duxon, et. al,

2005; Lee dan Van Deventer, 2002). Pori terbentuk akibat adanya udara yang

terjebak selama proses pembentukan geopolimer. Pori juga disebabkan oleh

retakan-retakan yang tidak beraturan yang ada di dalam struktur mikro bahan

geopolimer. Porositas dalam geopolimer merupakan ukuran volume semua pori-

pori yang terdapat dalam sampel geopolimer yang pada kondisi jenuh air akan

terisi air.

Selain dipengaruhi faktor-faktor diatas, kuat tekan geopolimer dipengaruhi

oleh bentuk permukaan abu layang. Permukaan abu layang yang kasar hasil

modifikasi dapat meningkatkan interaksi antarmuka diantara abu layang itu

sendiri daripada bentuk abu layang yang halus sebelum dimodifikasi sehingga

geopolimer yang dihasilkan akan memiliki kuat tekan yang lebih tinggi. Dalam

penelitian ini, kuat tekan untuk geopolimer hasil sintesis dari abu layang yang

direfluks dengan larutan NaOH 1 M memiliki kuat tekan yang lebih tinggi

daripada geopolimer yang disintesis dari abu layang murninya. Peningkatan

interaksi antarmuka abu layang akan menghasilkan material yang berstruktur rapat

sehingga kuat tekan yang dihasilkan lebih tinggi dengan porositas yang rendah.

Bila dibandingkan dengan geopolimer yang disintesis dari abu layang sebelum

modifikasi, luas permukaan abu layang yang direfluks dengan larutan NaOH 1 M

lebih kecil daripada luas permukaan abu layang sebelum modifikasi tetapi volume

porinya lebih besar. Partikel berpori akan mempengaruhi kuat tekan yang

dihasilkan geopolimer. Kemungkinan yang terjadi dari peningkatan kuat tekan

geopolimer dari abu layang sesudah modifikasi dengan larutan NaOH 1 M ini

dikarenakan mekanisme pengisian pori dengan fasa kalsium silikat hidrat

(Pacewska, et. al., 2002).

60

Page 78: Tesis Khosna Irani

Penurunan kuat tekan yang terjadi pada geopolimer yang disintesis dari

abu layang hasil refluks, seiring dengan peningkatan konsentrasi larutan NaOH

setelah 1 M, terjadi karena lambatnya laju pelarutan Si dan Al pada abu layang

karena dihasilkannya produk kristalin abu layang hasil refluks pada larutan NaOH

2 M dan 3 M. Dari analisis luas permukaan dan volume pori, ditunjukkan bahwa

semakin tinggi konsentrasi larutan NaOH semakin kecil luas permukaan dan

volume porinya. Penurunan luas permukaan ini dikarenakan hadirnya kristal

sebagai akibat dari proses hidrotermal pada abu layang dengan larutan basa.

Padatan kristalin dengan struktur lebih kompak mempunyai ikatan yang kuat dan

kestabilan yang lebih tinggi daripada bentuk amorf, sehingga laju pelarutan Si dan

Al sebagai bahan pembentuk aluminasilikat pada geopolimer menjadi lebih

lambat karena pelarutan hanya terjadi pada permukaannya saja (Folliard, et. al.,

2005). Kuat tekan geopolimer berhubungan erat dengan derajat polimerisasi,

sedangkan polimerisasinya sangat dipengaruhi oleh kelarutan Si dan Al pada

sistem geopolimer. Secara umum, semakin tinggi derajat polimerisasi dalam

struktur geopolimer, akan semakin tinggi pula kuat tekannya.

4.3.2 Analisis Morfologi Geopolimer Sebelum dan Sesudah Modifikasi

Scanning Electron Microscopy (SEM) digunakan untuk mengetahui

morfologi geopolimer. Karakterisasi mikrostruktur geopolimer dilakukan terhadap

sampel geopolimer yang disintesis dari abu layang sebelum modifikasi dan abu

layang sesudah modifikasi dengan larutan NaOH 1 M dan 3 M yang diberikan

pada Gambar 4.5.

Dari gambar 4.5a menunjukkan adanya (a) matrik geopolimer, (b) partikel

abu layang dan (c) pori-pori. Matrik geopolimer merupakan fasa terbesar yang

terdapat di dalam sampel geopolimer. Sedangkan butiran abu layang yang terlihat

merupakan sisa abu layang yang tidak bereaksi dan mengisi bagian-bagian

tertentu dan partikel abu layang ini kurang menyatu dengan matrik geopolimer

serta terdapat pori dan retakan-retakan kecil (microcracks). Adanya pori

disebabkan masuknya udara selama preparasi sampel dan bersama retakan-retakan

yang terjadi akan memperlemah kuat tekan geopolimer.

61

Page 79: Tesis Khosna Irani

ab

c

(a) (b)

(c)

Gambar 4.5 Morfologi Geopolimer dengan Perbesaran 10.000 kali yang Disintesis dari Abu Layang untuk (a) Abu Layang Sebelum Modifikasi, (b) Abu Layang yang Dimodifikasi dengan Larutan NaOH 1 M dan (c) Abu Layang yang Dimodifikasi dengan Larutan NaOH 3 M

Pada Gambar 4.5b. nampak matrik geopolimer yang disintesis dari abu

layang sesudah modifikasi dengan larutan NaOH 1 M lebih banyak dan lebih

rapat, dimana dengan semakin lebih banyak matrik geopolimer dan lebih rapat

maka struktur geoplimer yang terbentuk akan semakin meningkat. Adanya

permukaan abu layang sesudah modifikasi yang lebih kasar daripada abu layang

sebelum modifikasi akan menyebabkan interaksi antar abu layang semakin kuat

dibandingkan dengan abu layang sebelum modifikasi yang bentuk permukaannya

lebih halus sehingga kuat tekan geopolimer yang disintesis dari abu layang

62

Page 80: Tesis Khosna Irani

sesudah modifikasi ini lebih tinggi daripada geopolimer yang disintesis dari abu

layang sebelum modifikasi.

Berbeda dengan Gambar 4.5b, Gambar 4.5c menunjukkan matrik

geopolimer yang lunak. Geopolimer ini tidak bisa dianalisis kuat tekannya karena

setelah masa simpan 28 hari, geopolimer ini tetap lunak dan retak-retak. Penyebab

utamanya adalah laju pelarutan Si dan Al pada abu layang yang sangat lambat

karena adanya fasa kristalin. Abu layang hasil refluks dengan larutan NaOH 3 M

menghasilkan produk sodalite (Al6Na8(SiO4)6Cl2) seperti yang terlihat pada

difraktogram XRD pada Gambar 4.2, dimana struktur kristal ini lebih kompak dan

ikatannya lebih kuat sehingga tingkat kelarutan silika dan alumina untuk

membentuk aluminasilikat pada geopolimer sangat kecil. Sebagai akibatnya kuat

tekan geopolimer yang dihasilkan juga rendah bahkan tidak bisa dianalisis.

4.3.3 Analisis Struktur Ikatan Kimia Geopolimer Sebelum dan Sesudah Modifikasi

Analisis FTIR digunakan untuk mengetahui ikatan Si-O-Al dan gugus

fungsi lain dalam geopolimer. Analisis FTIR dilakukan terhadap sampel

geopolimer yang disintesis dari abu layang sebelum modifikasi dan geopolimer

yang memiliki kuat tekan tertinggi yaitu geopolimer dari abu layang sesudah

modifikasi dengan larutan NaOH 1 M. Hasil analisis spektrum inframerah sampel

geopolimer memperlihatkan adanya pita serapan yang lebar yang terlihat pada

Gambar 4.6 pada 990-1090 cm-1 dari vibrasi ulur asimetrik ikatan Si-O-Si dan Al-

O-Si. Adanya pita serapan yang lebar pada 990-1090 cm-1 dari vibrasi ulur

asimetrik ikatan Si-O-Si dan Al-O-Si mengindikasikan terbentuknya fasa gel

aluminasilikat amorf dalam geopolimer.

Puncak vibrasi ulur asimetrik Si-O-Si dan Si-O-Al sampel geopolimer yang

disintesis dari abu layang murni terdapat pada bilangan gelombang 1006,773 cm-1

dan geopolimer yang memiliki kuat tekan tertinggi yaitu geopolimer yang

disintesis dari abu layang sesudah modifikasi dengan larutan NaOH 1 M yaitu

pada bilangan gelombang 1018,345 cm-1. Puncak serapan pada bilangan

gelombang yang lebih rendah menunjukkan ikatan dalam tetrahedral lebih lemah

sehingga kuat tekan geopolimer yang dihasilkan akan lebih rendah (van Jaarsveld,

63

Page 81: Tesis Khosna Irani

2002). Puncak serapan sampel geopolimer yang disintesis dari abu layang sesudah

modifikasi dengan larutan NaOH 1 M pada bilangan gelombang 1018,345 cm -1,

lebih tinggi dibanding sampel geopolimer yang disintesis dari abu layang sebelum

modifikasi sehingga ikatan dalam tetrahedral geopolimer sesudah modifikasi ini

menjadi lebih kuat. Dengan demikian pada sampel geopolimer sesudah modifikasi

kuat tekannya lebih tinggi dari sampel geopolimer sebelum modifikasi.

Gambar 4.6 Spektra FTIR untuk (a) Geopolimer yang Disintesis dari Abu Layang Sebelum Modifikasi dan (b) Geopolimer yang Disintesis dari Abu Layang Sesudah Modifikasi dengan Larutan NaOH 1 M

4.3.4 Analisis Fasa Geopolimer Sebelum dan Sesudah Modifikasi

Analisis difraksi sinar X dilakukan untuk mengetahui keadaan fasa dan

mineral dalam geopolimer. Analisis difraksi sinar X dilakukan terhadap sampel

geopolimer yang disintesis dari abu layang sebelum modifikasi dan geopolimer

yang memiliki kuat tekan tertinggi yaitu geopolimer dari abu layang yang sudah

dimodifikasi dengan larutan NaOH 1 M. Pola difraktrogram kedua geopolimer ini

mengandung mineral utama berupa kristal quartz dan mullite. Tidak semua Si dan

Al pada abu layang larut pada saat tercampur dengan larutan NaOH. Hanya Si

dari SiO2 dan Al dari Al2O3 dalam fasa amorf yang lebih mudah melarut dalam

kondisi basa kuat (Xu, et. al., 2002).

8071007120714071607

Bilangan Gelombang (1/cm)

b

a 1018,35

1006,77

64

Page 82: Tesis Khosna Irani

Geopolimer yang terbentuk berfasa amorf terlihat pada pola difaksi sinar

X, yaitu adanya gundukan yang lebar (broad hump) pada 2θ antara 25o-35o.

Menurut Panias, et. al., (2007) terjadi pelarutan fase amorf abu layang dan

pembentukan fasa baru gel aluminasilikat yang amorf dalam matrik geopolimer.

Material amorf ini ditunjukkan dengan analisis dari difraktogram

XRD yang menghasilkan karakteristik hump pada daerah sekitar

2θ=25º-35º. Hump yang lebar antara 2θ= 20º-30º pada difraktogram XRD abu

layang, berasal dari fasa amorf, dimana fasa ini bergeser kekanan yaitu dengan

nilai 2θ= 25º-35º dalam difraktogram geopolimer. Perubahan hump ini

menunjukkan pelarutan fasa amorf abu layang dan pembentukan fasa amorf baru

pada material geopolimer.

Gambar 4.7 Difraktogram XRD untuk (a) Geopolimer yang Disintesis Dari Abu Layang Sebelum Modifikasi dan (b) Geopolimer yang disinteis Dari Abu Layang Sesudah Modifikasi Dengan Larutan NaOH 1 M

Secara umum, hasil analisis XRD geopolimer sebelum modifikasi dan

geopolimer sesudah modifikasi tidak mempunyai perbedaan yang signifikan,

tetapi kuat tekan geopolimer sesudah modifikasi lebih tinggi daripada geopolimer

sebelum modifikasi. Perbandingan Si/Al untuk abu layang sesudah modifikasi

10 20 30 40 50 60 70

2 theta

10 10.5 11 11.5 12 12.5 13 13.5 14 14.5 15

2 theta

ba

2 θ

65

Page 83: Tesis Khosna Irani

dengan larutan NaOH 1 M lebih tinggi daripada abu layang sebelum modifikasi

sehingga kuat tekan yang dihasilkan dari geopolimer yang disintesis dari abu

layang sesudah modifikasi lebih tinggi daripada abu layang sebelum modifikasi.

Puncak pada 2θ=12,4º pada sampel geopolimer sesudah modifikasi

adalah puncak untuk kaolinite (Al2Si2O5(OH)4). Terjadinya produk kristal

kaolinite (Al2Si2O5(OH)4 ini dimungkinkan karena abu layang hasil modifikasi

dengan larutan NaOH untuk sintesis geopolimer mengandung lebih banyak unsur-

unsur yang reaktif yang akan bereaksi dengan larutan alkali dibandingkan abu

layang sebelum modifikasi, sehingga produk-produk yang dihasilkan juga lebih

beragam seperti munculnya kristal kaolinite pada geopolimer sesudah modifikasi.

Produk kristalin kaolinite (Al2Si2O5(OH)4 ini tidak diharapkan karena dapat

menurunkan kuat tekan geopolimer, karena seharusnya silika dan alumina reaktif

yang dihasilkan dari refluks abu layang menghasilkan aluminasilikat amorf bagi

pembuatan geopolimer. Kehadiran kristalin kaolinite (Al2Si2O5(OH)4 jelas

menunjukkan bahwa terhambatnya akses larutan NaOH pada permukaan abu

layang akan menurunkan kelarutan Si dan Al yang berakibat terhadap penurunan

kuat tekan geopolimer yang dihasilkan dari nilai sebenarnya.

66

Page 84: Tesis Khosna Irani

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Abu layang tipe F yang telah dimodifikasi permukaannya dengan larutan

NaOH 1 M menghasilkan geopolimer dengan kekuatan yang lebih tinggi

dan porositas yang lebih rendah daripada geopolimer dari abu layang tipe

F yang tidak dimodifikasi.

2. Peningkatan konsentrasi NaOH yang lebih tinggi (setelah 1 M)

menghasilkan geopolimer dengan kuat tekan yang lebih rendah dan

porositas yang lebih tinggi.

3. Peningkatan kekuatan geopolimer yang dibuat dari abu layang tipe F

termodifikasi oleh larutan NaOH 1 M disebabkan oleh: i) Perbandingan

Si/Al tertinggi; ii) Kandungan CaO tertinggi; iii) Permukaan partikel abu

layang yang lebih kasar

4. Peningkatan konsentrasi larutan NaOH menyebabkan terbentuknya fasa-

fasa kristalin baru.

5.2 Saran-saran

Kajian kimia yang mendalam perlu terus dikembangkan dalam upaya

untuk memperbaiki sifat-sifat geopolimer yang disintesis dari abu layang tipe F.

Penyelidikan yang sistematis perlu dilakukan dalam memperoleh geopolimer

dengan sifat-sifat yang terbaik seperti penemuan formula yang baku untuk sintesis

geopolimer dan perlakuan pendahuluan untuk abu layang.

67

Page 85: Tesis Khosna Irani

“Halaman ini sengaja dikosongkan”

68

Page 86: Tesis Khosna Irani

DAFTAR PUSTAKA

ACI Committee 363, (1992), “State of the Art Report on High-Strength Concrete”, American Concrete Institute, Detroit, USA.

ACI Committee 318, (2002), “Building Code Requirements for Structural Concrete”, American Concrete Institute, Farmington Hills, MI.

Amrhein, C., Haghnia, G.H., Kim, T.S., Mosher, P.A., Gagajena, R.C., Amanios, T., De La Torre, L., (1996), “Synthesis and properties of zeolites from coal fly ash”, Environment Science Technology, 30, hal. 35-742.

ASTM C618, (1994), “Standard Specification for Fly Ash and Raw or Calcined Natural Pozzolan For Use as Mineral Admixture in Portland Cement Concrete”. American Society for Testing and Materials, Annual Book of ASTM Standards, Volume 04.02, West Conshohocken, Pennsylvania.

Bai, J., B.B. Sabir, S. Wild, J.M. Kinuthia, (2000), “Strength Development in Concrete Incorporating PFA and Metakaolin”, Magazine Concrete Research, 52, hal. 153-62

Bakharev, T., (2005), “Resistance of geopolymer materials to acid attack”, Cement and concrete Research, 35, hal. 658-670.

Brockway, C.E., Moser, K.B., (1963), “Grafting of Poly (methyl Methacrylate) to Granular Corn-Starch”, Journal of Polymer Science, vol. 1.

Brouwers, H.J.H. dan R.J. van Eijk, (2003), “Chemical Reaction of Fly Ash”, International Congress on the Chemistry of Cement (ICCC), Duban, South Africa.

Cheng, T. W., J. P. Chiu, (2003), “Fire-resistant Geopolymer Produced by Granulated Blast Furnace Slag”, Minerals Engineering, 16(3), hal. 205-210.

Chindaprasirt, P., T. Chareerat, V. Sirivivatnanon, (2007), “Workability and Strength of Coarse High Calsium Fly Ash Geopolymer”, Cement and Concrete Composites, 29, hal. 224-229.

Comrie, D.C., dan W.M. Kriven, (2004), Composite Cold Ceramic Geopolymer in a Refractory Application, America

Day, R.L., B.K. Marsh, (1987), “Measurament of Porosity in Blended Cement Paste”, Cement and Concrete Research, 18, hal. 63-73

69

Page 87: Tesis Khosna Irani

Davidovits, J., (1994), “Gepolymers: Man-made Rock Geosynthesis and The Resulting Development of Very Early High Strength Cement”, Journals of Materials and Education, 16, hal. 91-137.

Davidovits, J., (1999), ”Chemistry of Geopolymeric Systems”, Terminology, Geopolymer 1999 2nd International Conference, Saint-Quentin, France, hal. 9-39.

De Silva, P., K. Sagoe-Crenstil, V. Sirivivatnanon, (2007), “Kinetics of Geopolymerization : Role of Al2O3 and SiO2”, Cement and Concrete Research, 37, hal. 512-518.

Duxson P., J.L. Provis, G.C. Lukey, J.S.J. Van Deventer, (2007), "The Role of Inorganic Polymer Technology in the Development of Green Concrete", Cement and Concrete Research, 37(12), hal. 1590-1597.

Erol. M., Demirler, U., Kucukbayrak, S., Ersoy-Mericboyu, A., Ovecoglu, M.L., (2003), “Characterization Investigations of Glass Ceramics Developed From Seyitomer Thermal Power Plant Fly Ash”, Journal European Ceramic Society, 23, hal. 757-63.

Fan, Y.M., S.H. Yin, Z.Y. Wen, J.Y. Zhong, (1999), “Activation of Fly Ash and its Effects on Cement Properties”, Cemistry Concrete Research, 29, hal. 467-472.

Fernandez-Jimenez, A., Palomo, A., (2000), “Alkali-activated Fly Ashes: Properties and Characteristics”, Proceedings of 11th ICCC 3, hal. 1332-1340.

Fernández-Jiménez, A., Palomo, A., (2003), “Characterisation of fly ashes. Potential reactivity as alkaline cements”,Fuel, 82(18), hal. 2259-2265.

Fernandez-Jimenez, A., Palomo, A., Criado, M., (2004), “Corrosion Resistance in Activated Fly Ash Mortars”, Cement and Concrete Research, 35, hal. 1210-1217.

Fernández-Jiménez, A., Palomo, A., (2005), “Composition and Microstructure of Alkali Activated Fly Ash Binder: Effect of The Activator”, Cement and Concrete Research, 35, hal. 1984-1992.

Folliard, K.J., M.D.A. Thomas, B. Fournier, K.E. Kurtis, dan J.H. Ideker, (2005), Interim Reomendation For the use of Lithium to Migrate or Prevent Alkali-Silica Reaction (ASR), The Transtec Group Inc, Austin.

70

Page 88: Tesis Khosna Irani

Gartner, E., (2004), “Industrially Interesting Approaches to 'Low-CO2' Cements”, Cement and Concrete Research, 34(9), hal. 1489-1498.

Goni, S., A. Guerrero, M.P. Luxan, A. Macias., (2003), “Activation of The Fly Ash Pozzolanic Reaction by Hydrothermal Conditions”, Chemistry Concrete Research, 33 (9), hal. 1399-1405.

Gourley, J. T., (2003), “Geopolymers; Opportunities for Environmentally Friendly Construction Materials”, Paper presented at the Materials 2003 Conference: Adaptive Materials for a Modern Society, Sydney.

Gourley, J. T., G.B. Johnson, (2005), “Developments in Geopolymer Precast Concrete”, Paper presented at the International Workshop on Geopolymers and Geopolymer Concrete, Perth.

Hardjito, D., S.E. Wallah, D.M.J. Sumajouw, B.V. Rangan, (2004), “Properties of Geopolymer Concrete with Fly Ash as Source Material: Effect of Mixture Composition”, Paper presented at the Seventh CANMET/ACI International Conference on Recent Advances in Concrete Technology, Las Vegas, USA.

Hardjito, D., S.E. Wallah, D.M.J. Sumajouw, B.V. Rangan, (2005), “Fly Ash-Based Geopolymer Concrete”, Australian Journal of Structural Engineering, 6(1), hal. 77-86.

Husin, A.A., (2002), “Pemanfaatan Limbah untuk Bahan Bangunan”, Modul, Puslitbang Pemukiman, Jakarta.

Jansen, J.C., (1991), The preparation of molecular sieves. In: Van Bekkum H, Flanigen EM and Jansen JC (eds.) Introduction to Zeolite Scienceand Practice. Elsevier, Amsterdam.

Jastrzebski, Z.D., (1997), The Nature and Properteis of Engineering Materials, John Wiley & Sons inc., New York.

Jiang, W., Roy, D., (1990), “Hydrothermal Processing of New Fly Ash Cement”, Ceramic Bulletin, 71(4) , hal. 642-647.

Komnitsas, K., D. Zaharaki, (2007), “Geopolimerisation : A Review and Prospects for the Minerals Industry“, Minerals Engineering, 20, hal. 1261-1277.

Kovalchuk, G., Fernandez-Jimenez, A., Palomo, A., (2007), “Alkali-Activated Fly Ash: Effect of Thermal Curing Conditions on Mechanical and Microstructural Development – Part II, Fuel, 86, hal. 315-322.

71

Page 89: Tesis Khosna Irani

Lee, W.K.W., van Deventer, J.S.J. (2002), “Structural Reorganisation of Class F Fly Ash in Alkaline Silicate Solutions, Colloids and Surface”, a Physicochem, Engineering Aspects 211, hal. 49 – 66.

Lin, C., His, H., (1995), “Resource Recovery of Waste Fly Ash: Synthesis of Zeolite-like Materials”, Environment Scence Technology, 29, hal. 1109-1117.

Lin, R.B., S.M. Shih, C.F. Liu, (2003), “Characteristic and Reactivities of Ca(OH)2/silica fume Sorbents for Low Temperatures Flue Gas Desulfurization”, Chemistry Engineering Science, 58 (16), hal. 3659-3668.

Malhotra, V. M., (1999), “Making Concrete 'Greener' with Fly Ash”, ACI Concrete International 21, hal. 61-66

Malhotra, V.M., (2006), “Reducing CO2 Emissions”, ACI Concrete International 28, hal. 42-45.

McCaffrey, R., (2002), “Climate Change and the Cement Industry”, Global Cement and Lime Magazine (Environmental Special Issue), hal. 15-19.

Mozgawa, W., Sitarz, M., (2002), Journal Molecular Structure, 614, hal. 273-279.

Neegaard, L.J., M.B. Nawaz, (1998), “Dry-pressing Behavior of Silicone-Coated Alumina Powders”, Powder Technology, 98, hal. 104-108.

Neville A.M., (1996), Properties of Concrete, 4th ed., New York, John Wiley & Sons, Inc.

Nicholson, A., R. Fletcher, (2005), ”Building Innovation Trough Geopolymer technology”, Industrial Research, hal. 10-12.

Ojha, K., Pradhan, N.C., Samanta, A.N., (2004), “Zeolite from Fly Ash: Synthesis and Characterization”, Bulletin Material Science, 27, hal. 555–564.

Omotoso, O.E., Ivey, D. G., Mikula, R., (1995), “Characterization of Chromiumdoped Tricalcium Silicate Using SEM, EDS, XRD and FTIR”, Journal Hazard Material, 42, hal. 87-102.

Pacewska, B., Bukowska, M., Wilinska, I., Swat, M., (2002), “Modification of the properties of concrete by a new pozzolan A waste catalyst from the catalytic process in a fluidized bed”, Cement and Concrete Research, 32, hal. 145–152.

72

Page 90: Tesis Khosna Irani

Palomo, A., M.W. Grutzeck, M.T. Blanco, (1999), “Alkali-activated Fly Ashes Cement for the Future”, Cement And Concrete Research, 29(8), hal. 1323-1329.

Palomo, A., Alonso, S., Fernandez-Jimenez, A., Sobrados, I., Sanz, J., (2004), “Alkaline activation of Fly Ash. A 29 Si NMR study of the Reaction Products”, Journal American Ceramic Society, 87 (6), hal. 1141-1145.

Panias, D., Giannopoulou, I.P., dan Perraki, Th., (2006), Effect of Synthesis Parameters on The Mechanical Properties of Fly Ash-Based Geopolymers, Colloids and Surfaces a Physicochemical and Engineering Aspect, National Technical University of Athens, Yunani.

Phair, J.W., van Deventer, J.S.J., (2002), “Effect of the silicate activator pH on the microstructural characteristic of waste-based geopolymers”, International Journal of Mineral Processing, 66, hal. 121-143.

Rahier, H., B. Van Mele, J.F. Denayer, (2003), Journal Material Science, 38 (14), hal. 3131.

Ríos, C.A., Williams, C.D., Maple, M.J., (2007), “Synthesis of Zeolites and Zeotypes by Hydrothermal Transformation of Kaolinite and Metakaolinite”, Bistua, 5, hal. 15–26.

Rowles, M. R., (2004), The Structural Nature of Aluminosilicate Inorganic Polymers : A Macro to Nanoscale Study, Tesis Ph. D., Curtin University of Technology, Curtin

Saraswathy, V., S. Muralidharan, K. Thangavel, S. Srinivasan, (2003), “Influence of Activated Fly Ash on Corrosion-Resistance and Strength of Concrete”, Cement and Concrete Composites, 25, hal. 673-680.

Sarbak, Z., M. Kramer-wachowiak, (2002), “Porous Structure of Waste Fly Ash and Their Chemical Modification”, Powder Technology, 123, hal. 53-58.

Škvára, F., Tomas J., Lubomir, K., (2005), “Geopolymer Materials Based On Fly Ash”, Ceramics-Silikaty, 49(3), hal. 195-204.

Swanepoel J.C., C.A. Strydom, (2002), “Utilisation of fly ash in a geopolimeric material”, Application Geochemistry, 17, hal. 1143-1148.

Sutarno, Yateman A, Arief B, (2004), “Sintesis faujasite Dari Abu Layang: Pengaruh Refluks dan Penggerusan Abu Layang Batubara Terhadap Kristalinitas Faujasite, Jurnal matematika dan Sains, 9 (3), hal. 285-290.

Taylor, W. H., (1977), Concrete Technology and Practice, 4th, McGraw-Hill Book Company, Sidney

73

Page 91: Tesis Khosna Irani

Van Deventer , J.S.J., J.L. Provis, P. Duxon, G.C. Luckey, (2006), “Reaction Mechanism in Geopolymeric Conversion of Inorganic Waste to Useful Products”, Journal of Hazardous Materials, Article in Press.

Van Jaarsveld, J.G.S., Van Deventer, J.S.J., & Lukey, G.C., (2003), “The Characterisation of Source Materials in Fly Ash-Based Geopolymers”, Materials Letters, 57(7), hal. 1272-1280.

Van Jaarsveld, J.G.S., J.S.J. Van Deventer, L. Lorenzen, (1997), “The Potential Use of Geopolymeric Materials to Immobilise Toxic Metals: Part I. Theory and Applications”, Minerals Engineering, 10(7), hal. 659-669.

Van Jaarsveld, J.G.S, J.S.J Van Deventer, G.C.Luckey, (2002), “The Effect of Composition and Temperature on The Properties of Fly Ash and Koalinite Based Geopolymers”, Chemical Engineering Journal, 89, hal. 63-73.

Van Jaarsveld, J.G.S, J.S.J Van Deventer, G.C. Luckey, (2003), “The Characterisation of Source Materials in Fly Ash Based Geopolymer”. Material Letters, 57, hal. 272-1280.

White, S.C., E.D. Case, (1990), “Characterization of Fly Ash From Coal-Fired Power Plants”, Journal Material Science, 25, hal. 5215-5219.

Whiston, C., F.E. Prichard, (1987), “X-ray Method, Analitycal Chemistry by Open Learning”, John Wiley and Sons Inc., New York.

Woolard C.D.,J. Strong, C.R Erasmus, (2002), “Evaluation of The Use of Modified Coal Ash as a Potential Sorbent for Organic Waste Streams”, Applied Geochemistry, 17, hal. 1159-1164.

Wu D, S. Yanming, C. Xuechu, H. Shengbing, W. Xinze, K. Hainan, (2008), “Changes of Mineralogical-Chemical Composition, Cation Exchange Capacity, and Phosphate Immobilization Capacity During the Hydrothermal Conversion Process of Coal Fly Ash Into Zeolite”, Fuel, 87, hal. 2194-2200.

Xu, H., J.S.J. Van Deventer, (2002), “Geopolymerisation of Multiple Minerals”, Mineral Engineering, 15, hal. 1131 – 1139.

Yan, S., A.L. Cai, F.X. Yu, C.H. Jiang, (2003), “Dissolving Mechanism of High Sulfate Fly Ash in Water”, Journal Nanjing University Technology, 25 (3), hal. 17-22.

Yolanda, D., Suseno, A. dan Anwar, C., (2000), “Preparasi, Karakterisasi dan Uji Aktivitas Katalis Ni-Mo/-Al2O3”, Jurnal Sains dan Matematika (JSM) Seri B: Jurnal Nasional Kimia Fisik, 2, No. 1, hal. 6.

74

Page 92: Tesis Khosna Irani

- ditambah larutan alkalin - diaduk hingga homogen

- dituang bertahap pada cetakan- divibrasi - didiamkan - dilepaskan dari cetakan- diletakkan dalam loyang dan ditutup plastik- dipanaskan dalam oven pada suhu

60 oC selama 24 jam- dikeluarkan dari oven - disimpan

- diambil 4 gram- dilarutkan dalam 8 gram aquades - didiamkan selama minimal 1 hari - ditambah Na-silikat 10 gram

- diukur kuat tekan (setelah masa simpan 28 hari)

- dikeringkan dalam oven 1050C- dianalisis dengan

XRF dan XRD

Yu-Fen, Y., G. Guo-Sheng, C. Zhen-Fang, C. Qing-Ru, (2006), “Surface Modification of Purified Fly Ash and Application in Polymer”, Journal of Hazardous Materials, B133, hal. 276-282.

Zhao, H., Deng, Y., Harsh, J.B., Flury, M., Boyle, J.S., (2004), “Alteration of Kaolinite to Cancrinite and Sodalite by Simulated Hanford Tank Waste and Its Impact on Cesium Retention”, Clays Clay Mineralogy, 52, hal. 1–13.

LAMPIRAN A: SKEMA KERJA

1. Uji Pendahuluan

Abu layang NaOH

Geopolimer

Pasta

Hasil

75

Page 93: Tesis Khosna Irani

2. Modifikasi Abu Layang dengan NaOH

250 mL Larutan NaOH

62,5 g abu layang tipe F

Campuran

- Direfluks pada suhu (85-90)oC selama 5 jam dengan variasi konsentrasi NaOH 0; 1; 2; 3 M

Campuran hasil refluks

- Disaring

Abu Layang termodifikasi NaOH

- Dikeringkan pada suhu 105oC selama 12 jam

- Digerus dan diayak 100 mesh- Dianalisis dengan XRF, XRD dan

BET

HASIL

- Dibuat geopolimer

76

Page 94: Tesis Khosna Irani

3. Pembuatan Geopolimer

Pasta kering

- Dituangkan pada cetakan- Cetakan divibrasi- Dipanaskan dalam oven pada suhu

60°C selama 24 jam

Sampel geopolimer

- Disimpan 7, 14, 21, 28 hari pada suhu kamar

Data

- Diuji kuat tekan dan porositasnya

Pasta Homogen

Abu layang Asam-asam

-Direfluks dengan variasi konsentrasi NaOH 0; 1; 2; 3 M

Na2SiO3 + NaOH + H2O

Campuran abu layang dan larutan alkalin

- Diaduk dengan mixer selama 2 menit

77

Page 95: Tesis Khosna Irani

4. Komposisi Bahan untuk Sintesis Geopolimer

Komposisi Sebelum

Modifikasi

Sesudah Modifikasi

0 M 1 M 2 M 3 M

Abu Layang 40,59 gram 40,59 gram 40,59 gram 40,59 gram 40,59 gram

Na2SiO3 10 gram 10 gram 10 gram 10 gram 10 gram

NaOH 4 gram 4 gram 4 gram 4 gram 4 gram

H2O 8 mL 8 mL 12,5 mL 17,5 mL 20 mL

Waktu 1 menit 1 menit 1 menit 1 menit 1 menit

78

Page 96: Tesis Khosna Irani

LAMPIRAN B: Data Hasil Pengujian

1. Tabel Hasil Uji Kuat Tekan Sampel Geopolimer untuk Uji Pendahuluan

Komposisi bahan untuk sintesis geopolimer

Solid/liquidBerat abu layang (g)

Berat Na silikat (g)

Berat NaOH (g)

Berat H2O (g)

Rasio mol SiO2/Al2O3

bahan awal1,24 27,28 10 4 8 4,111,36 30,00 10 4 8 4,051,60 35,26 10 4 8 3,981,72 37,93 10 4 8 3,951,85 40,70 10 4 8 3,92

Data Kuat Tekan Pada Penelitian Pendahuluan

Solid/Liquid Hasil Pengukuran (Kg.f)

Pengukuran rata-rata (Kg.f)

Kuat Tekan (MPa)

(S/L) 1 2 31,24 590 700 720 670 10,141,36 1430 1470 1900 1600 24,211,60 1000 1010 1200 1070 16,191,72 1760 1820 1700 1760 26,641,85 2500 2240 2670 2500 37,83

79

Page 97: Tesis Khosna Irani

0

5

10

15

20

25

30

35

40

1 1.2 1.4 1.6 1.8 2

Komposisi S/L

Ku

at T

ekan

(M

Pa)

Grafik Kuat Tekan Geopolimer terhadap Komposisi S/L

2. Tabel Hasil Uji Kuat Tekan Sampel Geopolimer Sebelum dan Sesudah Modifikasi

NO Sampel

Konsentrasi Larutan NaOH

Hari Ke

Hasil Pengujian(kgf)

KUAT TEKAN

Rata-Rata( MPa)

1 2 3

1

Sebelum Modifikasi

7 480 420 430 25,082 14 450 490 500 27,183 21 500 600 610 32,274 28 600 620 650 35,295

Sesudah Modifikasi

0 M 7 440 440 480 25,676 0 M 14 460 480 510 27,377 0 M 21 540 580 600 32,448 0 M 28 600 610 630 34,739 1 M 7 435 450 480 25,7610 1 M 14 475 500 510 28,0511 1 M 21 565 570 600 32,7412 1 M 28 620 640 665 36,3313 2 M 7 150 150 170 8,8714 2 M 14 170 180 200 10,3815 2 M 21 170 200 210 10,9513 2 M 28 180 210 210 11,3214 3 M 7 0 0 0 015 3 M 14 0 0 0 0

80

Page 98: Tesis Khosna Irani

13 3 M 21 0 0 0 014 3 M 28 0 0 0 0

Kuat tekan Geopolimer dihitung dengan persamaan:

Contoh :

Dari hasil uji tekan didapat data geopolimer pecah saat diberi beban 623,33 kg

Luas alas sampel (lingkaran) dengan

r = 0,15 cm adalah Л r2

= 3,14 x (0,75.10-2 m)2

= 1,76625 x 10-4 m2

Kuat Tekan = (623,33 kg x 10 m s-2) / 1,76625 x 10-4 = 35,291 Mpa

3. Tabel Hasil Porositas Sampel Geopolimer

Konsentrasi Larutan NaOH

Massa (g)Porositas

(%)

PorositasRata-rata

(%)Jenuh (W)

Kering (D)

Sebelum Modifikasi0,32 0,25 21,88

21,800,56 0,44 21,431,47 1,15 22,09

Sesudah Modifikasi

0 4,18 3,28 21,6022,100 2,95 2,28 22,80

0 4,39 3,43 21,901 5,44 4,29 21,20

21,501 4,71 3,65 22,501 5,49 4,35 20,802 7,33 4,51 38,50

39,402 5,15 3,11 39,602 7,31 4,38 40,10

Porositas Geopolimer dihitung dengan persamaan:

P =

P = porositas tampak (%)

D = berat padatan kering (g)

W = berat padatan yang telah jenuh air (g)

81

Page 99: Tesis Khosna Irani

Contoh :

Berat padatan kering = 0,25 gram

Berat padatan yang telah jenuh air = 0,32 gram

P =

= 21,88 %

4. Tabel Hasil Kuat Tekan dan Porositas Sampel Geopolimer

Molaritas Larutan NaOH

Kuat Tekan (Mpa) Porositas (%)

Sebelum Modifikasi 35,291 21,80

0 34,725 22,10

1 36,329 21,50

2 11,323 39,40

3 ≈0 ≈100

82

Page 100: Tesis Khosna Irani

Grafik Kuat Tekan dan Porositas Geopolimer terhadap Molaritas Larutan NaOH

LAMPIRAN C: Dokumentasi

1. Pelet Geopolimer

2. Seperangkat Alat Refluks

83

Page 101: Tesis Khosna Irani

BIOGRAFI PENULIS

Penulis bernama Khosna Irani lahir di Malang, tanggal 11 Juni 1983 sebagai putri ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Sudianto dan Mariani dan telah menikah dengan Nurul Fahron, ST pada tahun 2009. Penulis telah menempuh pendidikan formal yaitu di SD Negeri Sumbersari II Malang, SMP Negeri 1 Malang, dan SMU Negeri 8 Malang. Pada tahun 2002, penulis diterima sebagai mahasiswa di Jurusan Kimia FMIPA Universitas Brawijaya dan lulus tahun 2006. Di Jurusan Kimia Universitas Brawijaya ini, penulis mengambil

Skripsi di bidang Kimia Analitik dengan Judul “Penentuan Sianida Dalam Ketela Pohon dengan Metode Pervaporator-Flow Injection (PV-FI)” di bawah bimbingan Ibu Hermin Sulistyarti, Ph.D. Tahun 2007, penulis melanjutkan studi pada Program Pascasarjana Magister Kimia Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya berkat Beasiswa Unggulan dari Departemen Pendidikan Nasional. Di Jurusan Pascasarjana Kimia ITS ini, penulis mengambil Tesis di bidang Kimia Fisik dengan Judul “Modifikasi Permukaan Abu Layang Menggunakan NaOH dan Aplikasinya untuk Geopolimer: Sifat Fisik dan Mekanik” di bawah bimbingan Bapak Lukman Atmaja, Ph.D dan Bapak Hamzah Fansuri, Ph.D.

.

84

Page 102: Tesis Khosna Irani

85