262
TESIS APA DAN SIAPA BATAK TOBA YOGYAKARTA: IDENTITAS KEWARGAAN BUDAYA BATAK TOBA DI YOGYAKARTA Untuk memenuhi persyaratan mendapat Gelar Magister Humaniora (M.Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Disusun oleh Ando Harapan Gurning 156322008 PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2018 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

TESIS APA DAN SIAPA BATAK TOBA YOGYAKARTA: IDENTITAS KEWARGAAN BUDAYA BATAK TOBA …repository.usd.ac.id/38151/2/156322008_full.pdf · 2020. 10. 1. · HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

  • Upload
    others

  • View
    12

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

  • TESIS

    APA DAN SIAPA BATAK TOBA YOGYAKARTA: IDENTITAS

    KEWARGAAN BUDAYA BATAK TOBA DI YOGYAKARTA

    Untuk memenuhi persyaratan mendapat Gelar Magister Humaniora (M.Hum) di

    Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma

    Yogyakarta

    Disusun oleh

    Ando Harapan Gurning

    156322008

    PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

    UNIVERSITAS SANATA DHARMA

    YOGYAKARTA

    2018

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • i

    TESIS

    APA DAN SIAPA BATAK TOBA YOGYAKARTA: IDENTITAS

    KEWARGAAN BUDAYA BATAK TOBA DI YOGYAKARTA

    Untuk memenuhi persyaratan mendapat Gelar Magister Humaniora (M.Hum) di

    Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma

    Yogyakarta

    Disusun oleh

    Ando Harapan Gurning

    156322008

    PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

    UNIVERSITAS SANATA DHARMA

    YOGYAKARTA

    2018

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

    TESIS

    APA DAN SIAPA BATAK TOBA YOGYAKARTA: IDENTITASKEWARGAAN BUDAYA BATAK TOBA DI YOGYAKARTA

    oleh

    Ando Harapan Gurning

    E$22A08

    TELAH DISETUJUI OLEH

    Dr. Albertus Budi Susanto. SJPembimbing

    /4fu1Tanggal: 7 AUru. Zo

    ^8

    (nfvw

    ,e),6

    i Program Magister IRB

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • - ------------]

    PENGESAHAN

    . -- -ifGsi*,,,. . l

    APA DANSIAPA BATA(.TQBA Y@YAKARTA: DENTITAS EEWARGAAN

    OIoh:

    AndoHarapan'Gurnirrg ,' ,Nmn rxtzoog

    Telah dipertdrar*an di depn Deuam Penguji Tesis padatanggal4 Juli 2018dan dinptakan b[ah memenuhi syamt

    Pac@sariana

    I

    Sut r" S.J.

    nt

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • a

    SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

    Yang bertandatangan di bawah ini:

    Nama

    NIM

    Program

    Institusi

    Ando Harapan Gurning

    156322008

    Ilmu Religi dan Budaya

    Universitas Sanata Dharma

    Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis

    Judul : APA DAN SIAPA BATAK TOBA YOGYAKARTA: IDENTITASKEWARGAAN BUDAYA BATAK TOBA DI YOGYAKARTA

    Pembimbing : Dr. Albertus Budi Susanto, S.J.

    Tanggal diuji : 4 Juli 2018

    Adalah benar-benar karya saya

    Di dalam sikripsi/karya tulis/ makalah ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagianfulisan atau gagasan orang lain, yang saya ambil dengan cara menyalin atau menirudalam bentuk rangkaian kalimat atau simbol yang saya akui seolah-olah sebagai tulisan

    saya sendiri tanpa memberikan pengakuan kepada penulis aslinya.

    Apabila kemudian terbukti bahwa saya temyata melakukan tindakan menyalin atau

    meniru tulisan orang lain atau seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, saya bersediamenerima sanksi, sesuai peraturan yang berlaku di Program Pascasarjana Ilmu Religidan Budaya Univ. Sanata Dharma Yogyakarta termasuk pencabutan gelar MagisterHumaniora (M.Hum) yang telah saya peroleh.

    uth^r !ol8

    uming

    IV

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

    PUBLIKASI KARYA ILMIAH TINTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

    Yang bertandatangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

    Nama : Ando Harapan Gurning

    Nomor Mahasiswa : 156322008

    Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaanUniversitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

    APA DAN SIAPA BATAK TOBA YOGYAKARTA: IDENTITAS KEWARGAANBUDAYA BATAK TOBA DI YOGYAKARTA

    Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikankepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkanke bentuk media lain mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikansecara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentinganakademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada sayaselama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

    Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya

    Dibuat di Yogyakarta

    Pada tanggal 2l Juli2018

    Harapan Gurning)

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • viii

    ABSTRAK

    Tesis ini menggambarkan perjuangan komunitas Batak Toba di Jogja, dalam

    merepresentasikan (identitas) komunitasnya - dalam gagasan liminal community Victor

    Turner - ketika berhadapan dengan “harmonisasi” Yogya dalam arus globalisasi.

    Meskipun (perlu) menjadi citizen of the world, komunitas warga “yang lain” dari

    sesama “asli” Batak Toba maupun sesama warga Jawa Jogja, berdasar nasionalisme dan

    solidaritas mereka, selalu jeli bernegosiasi atau bahkan berkontestasi untuk nyaman

    dengan “harmonisasi’ tersebut. Bagi komunitas Batak Toba Jogja, kejelian menyadur

    politik Dalihan Na Tolu (tungku berkaki tiga) adalah kejelian mengoperasionalkan

    simbol, mitos dan ritus dengan efektif tanpa. Kemampuan menyadur juga tidak lepas

    dari dinamika identitas terbayangkan dari jejak-langkah politik identitas di Jogja, bagi

    Indonesia saat ini.

    Dalam kaitannya dengan konteks sejarah nasionalisme (Medan, Jakarta, Bandung,

    HKBP, PRRI, dll.), identitas merupakan sentimen dari rasa kepemilikian terhadap

    simbol-simbol, keyakinan, dan cara hidup serta keinginan untuk menentukan politik

    mereka sendiri. Rumusanm masalah yang dikembangkan dalam penelitian ini yakni:

    1. Bagaimana masa lalu komunitas Batak Toba mengonstruksi identitas Ke-Batak-an di tengah kewargaan budaya Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sampai masa kini.

    Konstruksi identitas bermula dari situasi Yogyakarta yang terus-menerus menarik

    dan menampung berbagai warga budaya. Poin ini akan dibahas dalam bab kedua.

    2. Kedua, bagaimana komunitas Batak dengan tradisi dan “bahasa ibu”-nya mengekspresikan identitas ke-Batak-annya di dalam relasi sosialnya di masyarakat

    Jogja (bahasa ibu Jawa); membangun dan memperkembangkan relasi sosialis

    nasionalis. Perumusan ini akan didalami di bab ketiga

    3. Ketiga, apa implikasi dan makna perubahan identitas budaya bagi Batak Toba di DIY ketika memanfaatkan lingua franca, “tidak saling mencerminkan dan ....tidak saling

    menyebabkan rasa rikuh” (Siegel 2009: 342) sebagai syarat dasar membangun

    “harmonisasi”. Poin ini akan dibahas pada bab keempat.

    Penulis menggunakan kajian Oral History lewat metode wawancara dan

    pengamatan langsung di lapangan untuk menangkap kata-kata si/apa yang

    diucapkan/dicakapkan, gagasan si/apa dicita-citakan, dan kenyataan macam apa atau

    dari siapa yang sukses/gagal dihasilkan. Oral history lebih terbuka ruang dialog antara

    teks maupun konteks.

    “Komunitas nasionalisme” terbayangkan membantu warga Batak Toba Jogja ikut

    bersolidaritas meskipun ....” tidak bakal tahu dan takkan kenal...tidak akan bertatap

    muka...bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka” (Anderson

    2008:8). Analisa, kajian ulang dan paparan data-data temuan dalam penelitian lapangan

    diolah dengan bantuan dari kerangka teori identitas kewargaan budaya Nick Stevenson.

    Kewargaan budaya merupakan terbentuknya masyarakat demokratis yang membuka

    ruang bagi munculnya warga yang beragam dengan kehidupan yang bermakna,

    menghormati pembentukan identitas-identitas hibrid yang kompleks dengan

    perlindungan dari negara secara sosial. Makna hamajuon memudahkan komunitas Batak

    Toba Yogya ikut memperkembangkan imajinasi harmonisasi yang inklusif dalam

    nasionalisme-kosmopolitan.

    Kata kunci: Batak Toba, Imagined Communities, Kewargaan Budaya, Identitas

    Nasional, Dalihan Na Tolu, Asosiasi Klan, adat, klan

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • ix

    ABSTRACT

    This thesis describe the struggle of Batak Toba community in Jogja during this time,

    to represent (the identity) of their community -in the concept of Victor Tunner’s liminal

    community- who are confronted with the “harmonization” of Jogja in globalization.

    Despite being citizen of the world, the other communities of original Batak Toba and

    also the citizens of Java Jogja, based on their nationalism and solidarity, always

    enthusiasm to negotiate or even to contribute to be comfortable with the harmonization.

    For Batak Toba community, the foresight in adapting politics of Dalihan Na Tolu

    (three-legged stove) is the foresight to operationalize the symbol, myths, and rites

    effectively. This thesis intends to explain how the Batak Toba communities adapt an

    imaginable identity according to the context of identity politics trace in Jogja, for

    Indonesia nowadays. In relation to the historical context of nationalism (Medan, Jakarta,

    Bandung, HKBP, PRRI, etc), the identity is a sentiment of belonging in a community

    whose the members are identified with the symbols, the confidence, and the way of life

    also there is a desire to determine their own politics.

    There are three the formulations of problem which is developed in this research:

    1. How the past of Batak Toba community constructed the identity of the Batak’s in the middle of cultural civility of Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) nowadays.

    The constructions of this identity begin from the situation of Yogyakarta which

    constantly attract and accommodate many kinds of cultural citizens and follow the

    time. This point will be discussed in the second chapter.

    2. Second, how the Batak community with the tradition and mother tongue of Batak express the identity of the Batak in their social relations in Jogja society (mother

    tongue of Java); build and develop nationalist socialist relations. This formulation

    will be explored in the third chapter.

    3. Third, what is the implication and the meaning of the changing of the cultural identity to Batak Toba in DIY when need to utilize lingua franca as the basic

    requirement to build harmonization. The main requirement lingua franca is “not

    reflect …not causing the awkwardness” (Siegel 2009:342). This point will be

    discussed in the fourth chapter.

    In this research, the writer in the certain meaning use Oral History study where the

    interview method and direct observation in the field able to capture the words who/what

    is spoken/conversed, the concept of who/what aspired, and what kind of reality between

    text or context.

    The idea of Ben Anderson about the nationalist community to help Batak Toba Jogja

    society to join solidarity with others, even though…they would not know and wouldn’t

    know…would not meet face to face-might not never have heard about them (Anderson

    2008:8). But in every minds of the members lives an image of togetherness.The analysis

    of review and exposure of finding the data in the field research has processed by the

    assistance of the theory of cultural citizenship of Nick Stevenson. The cultural

    citizenship is the formation of a democratic society which opens the space for the

    emergence of diverse citizens with the meaningfull lives, respecting the formation of the

    complex hybrid identities with the protection of the state socially.

    With the development of information technology today, imaginable nasionalism that

    has built and promoted – according to hamajuon – by the Batak Toba community in

    Yogyakarta, enabling them to participate in developing non-exclusive harmonization in

    the concept of nationalism – cosmopolitan.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • x

    DAFTAR ISI

    Halaman Judul ……………………………………………..………………………. i

    Halaman Persetujuan Dosen Pembimbing ..…………………..…………………… ii

    Halaman Pengesahan ………………………………………………………………. iii

    Halaman Pernyataan ……………………………………………………………….. iv

    Halam Persetujuan Publikasi ………………………………………………………. v

    Kata Pengantar …………………………………………………………..………… vi

    Abstrak ……………………………………………………………..……………… viii

    Abstract …………………………………………………………….……………… ix

    Daftar Isi …………………………………………………………………..………. x

    Daftar Gambar …………………………………………………………….……….. xii

    Daftar Tabel ………………………………………………………………..………. xiii

    BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………..…….. 1

    1. Latarbelakang Penelitian ……………………………………………………… 1 2. Perumusan dan Pembatasan Tema ……………………………………………. 5 3. Tujuan Penelitian ……………………………………………………………… 5 4. Manfaat Penelitian …………………………………………………………….. 6 5. Kajian Pustaka ………………………………………………………………… 7 6. Landasan Teoritis ……………………………………………………………… 13

    6.1.Imagined Communities dalam Nasionalisme-Kosmopolitan ……………… 13

    6.2.Kewargaan Budaya ………………………………………………………… 18

    6.2.1. Jaringan (network) ……………………………………………………... 22 6.2.2. Sistem Informasi ……………………………………………………….. 23 6.2.3. Globalisasi ……………………………………………………………... 24 6.2.4. Masyarakat Beresiko …………………………………………………… 25 6.2.5. Modernitas Refleksif (reflexive modernity) …………………………… 26 6.2.6. Konsumsi ………………………………………………………………. 27

    7. Metode Penelitian……………………………………………………………….. 29 7.1.Pengamatan Terlibat ……………………………………………………….. 31

    7.2.Wawancara ………………………………………………………………… 31

    7.3.Informan dan Rapport……………………………………………………… 32

    7.4.Pengumpulan data …………………………………………………………. 33

    8. Sistematika Penyajian …………………………………………………………. 33

    BAB II YOGYAKARTA MENUJUKOTA KEWARGAAN BUDAYA ……… 35

    1. Yogyakarta: Peleburan Kampung dan Kota…………………………………… 36 2. Pendidikan untuk Kewargaan Budaya ………………………………………… 50 3. Dunia kuliner dari Lokal ke Global …………………………………………… 60 4. Batak Toba Yogyakarta ……………………………………………………….. 61

    4.1. Koloni Hindia Belanda dan Jepang (1890-an – 1945) …………………… 61 4.2. Pemoeda Batak dalam Revolusi di Yogyakarta …………………………. . 69 4.3. Orde Baru ………………………………………………………………… 76 4.4. Reformasi ………………………………………………………………… 83

    5. Batak Toba Melawan Prasangka demi Pengakuan ………………………….… 85

    BAB III AMBANG KOMUNITAS BATAK TOBA DI YOGYAKARTA …… 92

    1. Identitas Batak Toba di Tiga Kota Urban …………………………………..… 93

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • xi

    2. Batak di Yogja: Rekonstruksi Identitas ……………………………………… 97 2.1. Berbahasa ………………………………………………………………… 104 2.2. Genealogi dan Identitas …………………………………………………… 111 2.3. Adat ……………………………………………………………………… 124 2.4. Dalihan Natolu…………………………………………………………… 132 2.5. Religi ……………………………………………………………………… 135

    3. Kontekstualisasi Adat Dalihan Natolu dan Religi di Yogyakarta ……………. 138 3.1. Network di Pedukuhan …………………………………………………… 139 3.2. Network Kerja ………………………………………………………….… 143 3.3. Network Famili dan Media Sosial ……………………………………….. 146

    BAB IV RE-IMAGINED KOMUNITAS KOSMOPOLITAN BATAK TOBA

    YOGJA ……………………………………………………………………… 153

    1. Nasionalisme Berbahasa ……………………………………………………… 153 2. Kapitalisme Cetak Lewat Pendidikan ………………………………………… 167 3. Yogya:Re-imagined Dalihan Na Tolu Communities …………………………. 177

    3.1. Genealogi dalam Kapitalisme Cetak ………………………………………. 178

    3.2. Mencari Tuhan-Tuhan Digital …………………………………………….. 184

    3.3. Identitas Yang Hibrid ……………………………………………………… 190

    4. Komunitas Dalam Kewargaan Budaya ……………………………………….. 203 4.1. Komunitas dan Konsumsi ………………………………………………… 203

    4.2. Komunitas Virtual Network …………………………………………….… 217

    4.3. “Rapat Online ma Hita”: Antara Komunitas dan Globalisasi ………….… 220 4.4. Aliansi Marga dalam Group Whatshap …………………………………... 225

    5. Komunitas dalam Pasar dan Uang ……………………………………………. 227 6. Dinamika Network Sosial Batak Toba ………………………………………… 233

    BAB V KESIMPULAN …………………………………………………………… 238

    DAFTAR KEPUSTAKAAN ……………………………………………………… 243

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • xii

    DAFTAR TABEL

    Tabel 1: Penduduk Kota Yogyakarta tahun 1980-an …...……………………………. 37

    Tabel 2: Penduduk Kota Yogyakarta tahun 2000-an …..……………………………. 38

    Tabel 3: Penduduk Menurut Kabupaten/Kota dan Suku Bangsa ..…………………….….. 39

    Tabel 4: Komposisi Grup Etnis berdasarkan Jenis Kelamin 2010………………..……39

    Tabel 5: Perbandingan penduduk dengan kekurangan beras …………………..…….. 81

    Tabel 6: Oposisi Biner Levi-Strauss …...…………………………………………… 127

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • xiii

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 1: Peta D.I. Yogyakarta …………………………………………………. 35

    Gambar 2: Dua Tuan Pesta sama-sama memasuki Ruangan ……………………… 137

    Gambar 3: Ziarah ke anggota asosiasi klan yang beragama islam…………………. 139

    Gambar 4: Syukuran akhir tahun asosiasi Klan Parna 2016 …..…………………… 177

    Gambar 5: Daftar Silsilah Elektronik …..…………………………………………. 181

    Gambar 6:Screenshoot Whatsapp Group Batak Katolik …… …………………….. .. 189

    Gambar 7: Screenshoot Whatsapp Group Batak Katolik ……. …………………….. 189

    Gambar 8: Foto Famflet angkringan ….…………………………………………… 191

    Gambar 9: Foto Framflet angkringan Lapo Hasian ……………………………….. 192

    Gambar 10: Foto Perjamuan Makan Pestak Perkawinan Batak … ………………… 193

    Gambar 11: Foto Keluarga Batak Berdansa ………………………………………… 195

    Gambar 12: Foto Syukuran Ulangtahun Asosiasi Klan ……………………….......... 196

    Gambar 13: Foto Keluarga Batak Berpakaian Jawa Yogja …….…………………… 197

    Gambar 14: Foto Upacara Pengarakan Kain tenun Batak …………………………... 204

    Gambar 15: Foto Pemain Keybord Batak Toba ……………………………………. 207

    Gambar 16: Foto Pihak Pemberi Isteri (hulahula) memasuki ruangan ……………. 208

    Gambar 17: Foto Syukuran Akhir Tahun dengan jenis minuman ……………. ….. 213

    Gambar 18: Screenshoot BKY Rapat Online ……………………………………… 220

    Gambar 18: Screenshoot Whatshapp berisi tentang doa …………………………… 221

    Gambar 19: Penghormatan Hulahula, uang di atas daging penghormatan …………. 227

    Gambar 20: Dua foto tempat jualan …...…………………………………………… 228

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    1. Latar Belakang Penelitian

    Pada tanggal 17 September 2016, peneliti mengikuti peringatan seribu hari

    (ritual nyewu) meninggalnya Bapak Giovanni Battista Saroha Sinaga di Mlati,

    Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Hampir tujuh puluh lima persen peserta selamatan

    berasal dari orang Batak, baik pihak marga1 Sinaga maupun Nainggolan sebagai pihak

    pemberi isteri (Hulahula). Di dekat altar disediakan sepasang burung merpati putih.

    Pada penutupan upacara, kedua burung merpati dibawa keluar dan di depan pintu

    rumah, istri bapak Sinaga bersama dengan anaknya melepaskan burung tersebut. Salah

    satu dari burung merpati itu tidak mau terbang, sedangkan yang satu langsung terbang.

    Secara spontan orang yang ikut serta pada upacara berkata, “Ayahnya belum bersedia

    pergi.”

    Upacara di atas merupakan salah satu bagian dari selamatan, ritual nyewu

    menjadi puncak peringatan kematian seseorang dalam budaya masyarakat Jawa.

    Perayaan puncak ini membawa keyakinan bahwa roh manusia yang meninggal sudah

    tidak akan kembali ke tengah-tengah keluarga. Dari pihak keluarga yang masih hidup,

    sikap rela melepas pergi roh termasuk hal penting dari ritual sebagaimana disimbolkan

    1Marga ialah nama persekutuan dari orang-orang bersaudara, seketurunan menurut garis bapak.

    Marga menjadi landasan utama dalam mengatur ketertiban dalam masyarakat Batak Toba mengenai relasi

    antarsesama. Nama-nama marga yang disebutkan dalam tesis ini adalah marga yang berasal dari Batak

    Toba. [Lihat M.A. Marbun dan I.M.T. Hutapea, Kamus Budaya Batak Toba (Jakarta: Balai Pustaka,

    1987), hlm. 93-95.].

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 2

    oleh pelepasan burung merpati. Roh “diyakini” meninggalkan keluarga untuk

    menghadap Tuhan.2

    Sebagai pihak pemberi isteri, marga Nainggolan hadir atas nama asosiasi klan

    marga. Tentang kehadiran asosiasi klan di perantauan, terdapat perbedaan pendapat di

    antara para ahli.3 Edward Bruner melihat asosiasi marga di kota sebagai pengganti

    keluarga dari kampung untuk menghadapi kontestasi yang keras di perkotaan, terutama

    dalam perebutan sumber-sumber kehidupan ekonomi. Menurut Kartini, sebagai asosiasi

    klan yang terkuat, perkumpulan marga Batak Toba di Jakarta bertujuan untuk

    kepentingan adaptasi dan penguatan adat di tanah perantauan. Penguatan identitas ini

    menjadi pemicu semakin eksklusifnya komunitas Batak Toba.4 Selama tinggal di

    Yogyakarta, penulis cukup sering menjumpai keluarga Batak Toba yang tidak

    bergabung dengan asosiasi klan mereka. Alasan yang sering muncul karena keluarga

    tidak sanggup memenuhi persyaratan secara ekonomis.

    Peringatan seribu hari meninggalnya orang Batak di Yogyakarta dibahas sebagai

    pembuka latar belakang penelitian karena upacara tersebut merupakan bentuk

    konstruksi identitas komunitas Batak Toba. Slametan sendiri dirayakan dengan

    mengundang struktur sosial Batak Toba. Bagi orang Batak Toba yang sangat kuat

    mempertahankan adat-istiadatnya (esensialis), praktik peringatan seribu hari tidak

    termasuk bagian adat Batak, sedangkan bergabung dengan asosiasi klan merupakan

    bagian dari adat marga. Adat merupakan salah satu kategori kebenaran yang

    menunjukkan identitas sebagaimana dipraktikkan di Tapanuli. Para esensialis ini hadir

    2 Bdk. Endraswara, Agama Jawa, Ajaran, Amalan, dan Asal-usul Kejawen (Yogyakarta: Narasi,

    2015), hlm. 26-30. 3 Sitor Situmorang dan Kartini berbeda pendapat berkaitan dengan motif masyarakat Batak Toba

    membentuk asosiasi klan di kota. Sitor melihat bahwa terbentuknya asosiasi klan dipengaruhi oleh tradisi

    kampung, sedangkan Kartini melihatnya dari sudut ekonomi kapitalisme. 4 Sjahrir Kartini, “Asosiasi Klan Orang Batak Toba di Jakarta” dalam PRISMA I 1982, hlm. 75

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 3

    dalam diri para penatua adat (raja parhata) yang sering memimpin acara-acara adat dan

    ketua perkumpulan marga. Tidak jarang para penatua dan pencinta adat

    mempertahankan identitasnya tanpa melihat konteks keberadaannya.

    Dengan predikat Jogja sebagai kota plural5, terdapat sejumlah besar manusia

    yang hidup berdekatan tetapi semakin lama benar-benar tidak saling mengenal, yang

    dalam kondisi tertentu terpaksa melakukan transaksi-transaksi dan perjumpaan

    instrumental. Dalam kehidupan urban, semakin terjalin relasi yang bersifat superfisial,

    sementara, dan kompetetif serta perasaan terasing dan tidak berdaya. Penghuni kota

    membentuk asosiasi berdasarkan gaya hidup, budaya, dan etnisitas bahkan sesuai

    dengan kebutuhan. Warga kota berkomunikasi dan berbagi pengalaman satu sama lain

    dengan pelbagai cara, bahkan berusaha untuk mencipta ruang kultural baru.6

    Pergerakan dan mobilitas warga kota berakibat pada proses pergeseran identitas

    kultural sampai pada pembentukan identitas baru. Identitas diproduksi dalam dimensi

    persamaan dan perbedaan, percampuran, keberagaman, dan keberadaban.7 Namun

    cukup banyak kota seperti yang digambarkan Karl Marx, ada pertentangan kelas, ada

    pihak-pihak yang mendistorsi realitas demi kepentingan sendiri tanpa peduli pihak lain.8

    Akhirnya, kota sungguh menjadi simbol realitas terjadinya proses tarik-menarik, dalam

    pengertian negosiasi antara pendatang dan daerah tujuan.9

    5 Imam Subakhan, Hiruk-Pikuk Wacana Pluralisme Yogyakarta (Yogyakarta: Kanisius dan Impulse,

    2007), hlm. 49-56. 6 Bdk. Geroge Ritzer, Teori Sosiologi Moder, Edisi ketujuh. Diterjemahkan Triwibowo B.S.,

    (Jakarta: Prenadamedia Group, 2013) hlm. 285-289. 7 Chris Barker, Kamus Kajian Budaya. Diterjemahkan B. Hendar Putranto (Yogyakarta: Kanisius,

    2014), hlm. 132-133. 8 Bagus Takwin, “Kota dan Kita” dalam Alfathri Adlin (ed.), Resistensi Gaya Hidup: Teori dan

    Realitas (Yogyakarta: Jalasutra, 2006), hm. 133 9 Carola Suarez Orozco, “Formulating Identity in a Globalized World,” dalam Marcelo M. Suarez –

    Orozco and Desire Baolian Qin-Hilliard (ed.), Globalization Culture and Education in The New

    Millenium, (Los Angeles and London: University of California, 2004), hlm. 173-175.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 4

    Integrasi sosial akan menjadi masalah baru bagi individu atau kelompok yang

    berpindah ke Yogyakarta. Masalah ini juga terkait dengan apa yang dikatakan oleh

    Anderson bahwa setiap individu memiliki ikatan dengan tanah kelahirannya sehingga

    individu memiliki keinginan untuk kembali ke asalnya. Keinginan ini semakin diperkuat

    oleh alat komunikasi dan transportasi sehingga dengan cepat dan mudah kembali ke

    tanah airnya bahkan mendapatkan perkembangan-perkembangan tentang negara

    asalnya. Bagi Anderson, keterikatan antara globalisasi dan nasionalisme disebut long

    distance nasionalism yaitu berupa klaim identitas oleh individu maupun kelompok

    terhadap wilayah lain yang diyakini sebagai asal-usulnya. Dengan demikian terjadi

    suatu “kontestasi” antara perjuangan untuk berintegrasi secara sosial dengan keinginan

    untuk kembali ke tanah asal.

    Ketika masih berada di Tapanuli Utara, perubahan identitas tidak begitu kuat

    disadari dan dilakukan karena ikatan primordialisme kesukuan dan kebudayaannya

    secara sosio-kultural. Orang Batak Toba diikat oleh perasaan persaudaraan yang erat,

    sebagaimana diurai Edward Bruner karena kesamaan identitas sebagai halak kita10

    . Uli

    Kozok sendiri melihat ikatan identitas sebagai halak hita dipengaruhi oleh dominasi

    Gereja Protestan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang dari awal

    melestarikannya karena keterkaitan antara bangsa dan bahasa.11

    Namun, pada saat

    10

    Konsepsi halak hita cukup sering dipakai oleh orang Batak Toba untuk membedakan identitasnya

    dengan etnis atau orang lain yang bukan Batak. Konsepsi ini memperkuat relasi psikologis dan sosial

    sesama orang Batak dengan suasana empati [Lihat Ihromi (ed.), Pokok-pokok Antropologi Budaya

    (Jakarta:Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016), hlm. 213.] 11

    Uli Kozok,Utusan Damai di Kemelut Perang (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010),

    hlm. 73.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 5

    memasuki kota seperti Yogyakarta, konstruksi identitas budaya Batak Toba semakin

    kompleks karena berhadapan dengan situasi sosial yang baru.12

    2. Perumusan dan Pembatasan Tema

    Judul tesis ialah, Apa dan Siapa Batak Toba Yogyakarta: Identitas

    Kewargaan Budaya Batak Toba di Yogyakarta. Identitas merupakan sebuah „entitas‟

    yang dapat berubah menurut sejarah, waktu dan ruang, atau selalu dalam proses menjadi

    yang dikonstruksi secara penuh dalam budaya dan masyarakat. Proses pembentukannya

    berlangsung secara politis dalam sebuah komunitas yang ditempatkan dalam pandangan

    kewarganegaraan.13

    Merujuk pada pengertian identitas tersebut maka pertanyaan utama

    yang akan dijawab dalam pengajuan tesis ini adalah:

    1. Bagaimana migran Batak Toba merekonstruksi identitas komunitas ke-Batak-an

    di tengah kewargaan budaya Daerah Istimewa Yogyakarta saat ini?

    2. Bagaimana komunitas Batak Toba mengekspresikan identitas ke-Batak-an di

    dalam relasi sosial budaya?

    3. Apa implikasi dan makna perubahan masa kini dari identitas budaya bagi etnis

    Batak Toba di Daerah Istimewa Yogyakarta?

    3. Tujuan Penelitian

    Tesis ini mempunyai beberapa tujuan yakni:

    1. Untuk mengetahui perubahan identitas migran Batak Toba di Daerah

    Istimewa Yogyakarta yang plural.

    12

    Bdk. Ihromi (ed.), Pokok-pokok…, hlm. 214-218. Bdk. juga Daniel Perret, Kolonialisme dan

    Etnisitas Batak dan Melayu di Sumatera Timur Laut. Diterjemahkan Saraswati Wardhany (Jakarta:

    Kepustakaan Populer Gramedia, 2010), hlm. 17-18. 13

    Chris Barker, Cultural…, hlm. 270-273

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 6

    2. Untuk mengetahui cara komunitas terbayangkan masyarakat Batak Toba

    mengekspresikan identitas ke-Batak-Toba-an dalam relasi sosial budaya

    masa kini.

    3. Untuk mengetahui strategi-strategi budaya yang dikembangkan masyarakat

    Batak Toba dalam membangun identitas di Daerah Istimewa Yogyakarta.

    4. Manfaat Penelitian

    Terdapat point penting dari manfaat penelitian ini. Pertama, memberi sumbangan

    pada kajian akademik ilmu sosial humaniora bagaimana konsep kewargaan budaya

    (cultural citizenship) semakin berkembang dalam suatu daerah yang semakin plural.

    Kedua, bagi komunitas/kelompok sosial yang diteliti, penelitian ini berguna untuk

    mendalami secara teoritis bagaimana mereka hidup dalam suatu kota cultural

    citizenship.

    Ketiga, penelitian ini berguna bagi pengambil kebijakan di Yogyakarta dengan

    melihat bagaimana komunitas merekonstruksi identitas seturut perkembangan

    Yogyakarta yang hidup dalam cultural citizenships (kewargaan budaya). Keempat, bagi

    penulis, dengan penelitian ini penulis akan semakin mendalami sebuah strategi yang

    dipakai oleh komunitas tertentu yang “bertarung” di daerah yang semakin mendunia.

    Ternyata ketika hendak survive, proses rekonstruksi identitas menjadi sangat penting

    dalam menempatkan diri di daerah kewargaan budaya. Rekonstruksi menjadi jalan

    untuk menempatkan diri yang semula sebagai migran berubah menjadi anggota

    kewargaan budaya. Warga Jogja sendiri juga menggagas dan membayangkan “Batak

    Jogja”.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 7

    5. Kajian Pustaka

    Urbanisasi sangat berpengaruh pada pembentukan kewargaan budaya karena terkait

    dengan mereka yang tinggal dan yang baru datang. Masri Singarimbun dalam artikelnya

    Urbanisasi: Apakah itu suatu Problema? mengatakan bahwa salah satu dilema dalam

    membendung urbanisasi adalah kenyataan perbedaan pendapatan antara desa dan kota.

    Perbedaan itu menyebabkan ketidakmerataan fasilitas terutama penyediaan sarana dan

    prasarana transportasi dan pertumbuhan industri yang membuka peluang kerja. Peluang

    ekonomi menjadi faktor utama arus urbanisasi.14

    Hanya saja Singarimbun tidak

    mendalami lebih jauh dampak urbanisasi dalam aspek sosial budaya komunitas

    pendatang.

    Tentang perubahan identitas dalam konteks migrasi, cukup banyak ahli telah

    melakukan penelitian orang Batak Toba di luar Tapanuli Utara15

    . Sebut saja misalnya,

    Edward Bruner. Ia telah melakukan penelitian kehidupan komunitas Batak Toba di Kota

    Medan, Jakarta, dan Bandung. J. Hasselgren secara spesifik melakukan penelitian etno-

    religius di daerah Provinsi Sumatera Utara. Jauh sebelum Bruner dan J. Hasselgren,

    Daniel Perret telah melihat rekonstruksi idenitas masyarakat Batak Toba dalam

    perspektif kolonialisme di Sumatera Timur. K. Sjahrir meneliti tentang masyarakat

    Batak Toba dalam kaitannya dengan fungsi asosiasi klan di Jakarta. Togar Nainggolan

    menempatkan penelitiannya dalam teori kontinuitas dan diskontinuitas kehidupan

    masyarakat Batak Toba di Jakarta.16

    Secara umum, para antropolog tersebut membagi

    tiga tipe perubahan identitas.17

    Pertama, tipe perubahan total yang dialami oleh para

    migran dalam kultur lokal yang homogen yang terjadi pada masa kolonial. Dalam

    14

    Prisma, Mei 1977 hlm. 3-11 15

    Sebutan Tapanuli Utara dalam tesis ini adalah wilayah administratif pemerintahan sebelum terjadi

    pemekaran pada tahun 1998. 16

    Togar Nainggolan, Batak Toba di Jakarta, (Medan: Bina Media Perintis, 2006), hlm. 141-183.] 17

    Togar Nainggolan, Batak Toba… hlm. 19-22.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 8

    bukunya yang berjudul Kolonialisme dan Etnisitas, Daniel Perret mempertanyakan

    identitas Batak yang mengingkari diri ketika ada bersama dengan masyarakat Melayu.18

    Mereka melakukan perubahan identitas untuk meraih kemajuan. Resistensi yang cukup

    tinggi berakibat pada migran Batak Toba yang mengambil alih kultur dan menjadikan

    identitas Melayu sebagai identitas baru. Mereka tidak lagi menggunakan marga, sistem

    perkawinan yang bersifat eksogami, dan tidak menjalankan sistem sosial masyarakat

    Batak Toba (Dalihan Natolu19

    ) bahkan adat Batak Toba sendiri. Model perubahan

    identitas seperti ini berlangsung saat kolonialisme masih menguasai Melayu.20

    Hasselgren lebih mendalami perubahan identitas Batak Toba berdasarkan motif etnis

    religius ke Sumatera Timur terutama pada tahun 1912-1965, sedangkan Anthony Reid

    melihat migrasi Batak Toba secara besar-besaran ketika pemerintah menghapus

    kerajaan-kerajaan di Medan dengan terciptanya tirani mutlak rasialisme.21

    Hanya Reid

    sendiri tidak menjelaskan apakah migrasi membawa perubahan di daerah migran.

    Kedua, tipe perubahan identitas yang terbatas, yaitu tergantung pada kuat tidaknya

    kultur lokal. Di sini tidak terjadi perubahan identitas secara total kepada hegemoni

    kultur dominan setempat. Komunitas Batak Toba di Bandung menampilkan model

    perubahan terbatas.22

    Perubahan yang terbatas itu diakibatkan oleh patokan-patokan

    yang diberlakukan oleh kultur dominan Sunda. Para migran mengambil posisi dalam

    18

    Daniel Perret, Kolonialisme…,hlm. 316-319. 19

    Dalihan Na Tolu merupakan gabungan dari tiga kata bahasa Batak Toba, yakni Dalihan, Na dan

    Tolu. Dalihan artinya tungku, Na artinya yang atau nan dan tolu artinya tiga. Jadi, Dalihan Na Tolu

    berarti tungku nan tiga. Dalihan Na Tolu diserap menjadi sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba.

    Dalihan Na Tolu terdiri dari pihak pemberi isteri (Hulahula), saudara semarga dari pihak penerima isteri

    (Dongan Sabutuha) dan pihak penerima isteri (Boru). Ketiganya merupakan golongan fungsional

    Masyarkaat Batak Toba yang berhubungan sangat erat, satu kesatuan yang tidak terpisahkan [Lihat M.A.

    Marbun dan I.M.T. Hutapea, Kamus…, hlm. 37] 20

    Daniel Perret, Kolonialisme…, hlm. 178-180 21

    Anthony Reid, Sumatera, Revolusi dan Elite Tradisional. Diterjemahkan Tom Anwar (Depok:

    Komunitas Bambu, 2011), hlm. 74-78. 22

    Hasselgren, Batak Toba di Medan, Perkembangan Identitas Etno-Religius Batak Toba di Medan

    (1912-1965). Diterjemahkan Bina Media Perintis. (Medan: Bina Media Perintis, 2000) hlm. 19; E.M.

    Bruner, „Batak ethnic associations in three Indonesian cities‟, dalam Southwestern Journal of

    Anthropology 28, 1972, hlm. 211.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 9

    sistem perkotaan di Bandung yang mengacu pada kehidupan sosial kebudayaan

    dominan Sunda. Artinya, para migran mengadaptasi diri dengan kebudayaan dan

    cenderung menjadi seperti Sunda (Suparlan).

    Proses adapatasi terjadi dalam bentuk mekanisme identifikasi. Sumadi Dila dalam

    dalam penelitiannya yang berjudul “Simbolisasi Muna di Bandung: Studi Identitas

    Etnik Orang Muna” menggarisbawahi pentingnya partisipasi sosial, berorganisasi dan

    lingkungan kerja yang meliputi: dialog diri, penyesuaian diri, dan penataan diri.23

    Dila

    melakukan penelitian dengan kerangka teori interaksi simbolik dan dramaturgi.

    Tipe ketiga adalah perubahan identitas dengan penyesuaian kepada suatu

    lingkungan yang heterogen dengan berbagai jenis kelompok etnis di mana tidak ada satu

    kultur yang dominan. Di Jakarta tidak ada satu suku bangsa pun yang dominan secara

    demografi sosial, dan tidak ada kebudayaan dominan seperti yang terdapat di Bandung.

    Orang Jawa yang merupakan mayoritas di Jakarta bukanlah kelompok dominan karena

    tidak mempunyai kekuatan sosial, ekonomi, dan politik. Karena itu, kebudayaannya

    tidak merupakan model kebudayaan bagi kelompok-kelompok suku bangsa lainnya.

    Masing-masing suku bangsa mempertahankan identitas etnis, hidup mengelompok di

    antara sesama suku bangsanya. Para migran di Jakarta mengelompok bersama dengan

    sesama warga suku bangsanya dan memperkuat posisi kelompok suku bangsanya dalam

    hubungan antar suku bangsa dan dalam bersaing untuk posisi-posisi yang ada dalam

    struktur kekuasaan kota Jakarta.24

    Di Jakarta masing-masing kelompok etnis menciptakan keteraturan sosial dalam

    lingkungan kehidupan masyarakat suku bangsanya. Di tempat-tempat umum mereka

    23

    Sumadi Dila, “Simbolisasi Etnik Muna di Bandung: Studi Identitas Etnik Orang Muda” dalam

    MEDIATOR Vol. 9. No. 2 Desember 2008, hlm. 320-322. 24

    https://etnobudaya.net/2011/01/02/kemajemukan-hipotesis-kebudayaan-dominan-dan-

    kesukubangsaan/, Selasa, 27 Desember 2016

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 10

    saling berkompetisi menunjukkan identitas kultural. Tawar-menawar kekuatan dalam

    bentuk konflik atau kerja sama di antara kelompok-kelompok suku bangsa dalam

    memenangkan persaingan menyebabkan corak kesukubangsaan di Jakarta berbeda

    dengan yang terdapat di Bandung.

    Terhadap penelitian ini, peneliti mengikuti teori Bruner yang mendekati identitas

    dari sudut kultur dominan.25

    Penelitian Bruner berada di sekitar Jakarta dan Bandung

    sementara penulis mencoba di kota Yogyakarta yang juga sedang mengalami

    perubahan. Namun, hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian Bruner dan

    Nainggolan yakni menyangkut objek formal penelitian. Dengan metode kajian budaya,

    penulis akan lebih melihat komunitas orang Batak Toba yang merekonstruksi

    identitasnya karena identitas selalu bersifat dinamis dan diproduksi.

    Berkaitan dengan teori Bruner, Suparlan26

    memberi pandangan yang mengatakan

    bahwa dalam hipotesis kebudayaan dominan tercakup tiga unsur yang masing-masing

    berdiri sendiri, tetapi satu sama lainnya saling berhubungan, dan menentukan corak

    kesukubangsaan atau produk dan hubungan antar suku bangsa yang terjadi. Unsur-unsur

    tersebut yakni: Pertama, demografi sosial yang mencakup rasio populasi dan corak

    heterogenitas serta tingkat percampuran hubungan di antara suku-suku bangsa yang ada

    dalam sebuah konteks latar tertentu. Kedua, kemantapan atau dominasi kebudayaan

    suku bangsa setempat, bila ada, dan cara-cara yang biasanya dilakukan oleh anggota-

    anggota kelompok-kelompok suku bangsa pendatang dalam berhubungan dengan suku-

    suku bangsa setempat, dan penggunaan kebudayaan masing-masing serta

    pengartikulasiannya. Akhirnya, keberadaan dan kekuatan sosial dan pendistribusiannya

    di antara berbagai kelompok suku bangsa yang hidup dalam konteks latar tersebut.

    25

    Togar Nainggolan, Batak Toba…, hlm. 2-6. 26

    https://etnobudaya.net/2011/01/02/kemajemukan-hipotesis-kebudayaan-dominan-dan-

    kesukubangsaan/,Selasa, 27 Desember 2016

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 11

    Empat puluh tahun setelah studi Bruner, Nainggolan melakukan penelitian di

    Jakarta dengan konteks tanpa kultur yang dominan. Temuan Nainggolan mengatakan

    bahwa perubahan identitas sangat jelas terjadi terutama orang Batak kelahiran Jakarta.

    Titik berangkat dari perubahan itu yakni kesadaran diri dari dalam atau pengaruh dari

    luar. Etnis yang heterogen tanpa kultur yang dominan membuat komunitas Batak Toba

    di Jakarta semakin longgar terhadap norma dan nilai-nilai masyarakat Batak Toba.

    Motif kehadiran orang Batak Toba di Bandung karena ekonomi. Motif ekonomi ini

    dipengaruhi oleh budaya Sunda yang dominan. Berbeda dengan motif kedatangan orang

    Batak Toba ke Yogyakarta yang semula untuk kepentingan kepentingan pendidikan.

    Unsur budaya Jawa yang dominan membuat penelitian ini berbeda dengan apa yang

    diteliti oleh Nainggolan.27

    Yogyakarta sebagai daerah pendidikan tentu saja menjadi

    penyebab utama kehadiran orang Batak Toba.

    Mulder mendalami adaptasi budaya yang terjadi antara agama Islam dengan

    budaya Jawa; antara agama Katolik dengan budaya Filipina, dan antara agama Budha

    dengan budaya Thailand, sampai pada pernyataan bahwa antara ketiganya menunjukkan

    persamaan-persamaan yang khas. Persamaan-persamaan itu adalah apa yang disebut

    oleh Mulder dengan istilah lokalisasi. Konsep ini menyoroti inisiatif dan sumbangan

    masyarakat lokal sebagai jawaban dan penanggung jawab atas hasil-hasil pertemuan

    budaya. Dengan kata lain, budaya yang menerima pengaruh dari luar menyerap dan

    menyatakan kembali unsur-unsur asing dengan cara menempa unsur-unsur asing itu

    sesuai dengan pandangan hidup. Dalam proses lokalisasi, unsur-unsur asing perlu

    menemukan akar-akar lokal, atau cabang asli daerah tersebut, di mana unsur-unsur

    27

    Togar Nainggolan, Batak Toba…, hlm. 268-281

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 12

    asing itu dapat dicangkokkan. Melalui peresapan oleh getah budaya asli itu, cangkokan

    itu akan berkembang dan berbuah.28

    Hasil penelitian Mulder menjadi rujukan penting dalam penelitian ini karena

    pada dasarnya terdapat kesamaan, meskipun cakupan wilayah penelitiannya lebih

    sempit. Penelitian Mulder tentu bisa menjadi tuntunan dalam mengkaji persoalan-

    persoalan adaptasi budaya orang Batak Toba di Yogyakarta, yakni bagaimana yang

    lokal (Budaya Jawa Yogyakarta) memengaruhi budaya asing (Batak Toba) dan

    sebaliknya. Lokalitas menjadi tempat terjadinya hubungan-hubungan sosial antarorang

    dalam berbagai bentuk-bentuk komunikasi dan informasi yang melintasi ruang dan

    waktu.

    Orang-orang Cina di Surabaya menikah dengan perempuan Jawa sehingga hidup

    seperti orang Jawa. Akar tradisi ajaran Hindu yang seperti pemujaan (Jawa: nyekar)

    terhadap leluhur dan “tokoh-tokoh keramat” menjadi merk sekaligus menjadi trend di

    berbagai lapisan kelas sosial.29

    Apakah fenomena seperti ini juga terjadi pada

    masyarakat Batak Toba di Yogyakarta sebagai salah satu usaha untuk mengurangi

    resistensi? Bourdieu yang dikutip oleh Perret mengenai strategi kelompok-kelompok

    kekerabatan mengatakan bahwa hubungan perkawinan sering merupakan hasil dari

    strategi yang diarahkan untuk memenuhi kepentingan materi dan simbolis, yang ditata

    dengan merujuk pada suatu jenis keadaan ekonomi dan sosial terentu.30

    Kajian ini

    menjadi inspirasi dalam tesis ini untuk melihat bagaimana orang-orang Batak Toba

    menunjukkan keinginannya mengonstruksi identitasnya sehingga dapat diterima oleh

    28

    Niels Mulder, Agama Hidup Sehari-hari dan Perubahannya: Jawa, Muangthai, dan Filipina

    (Jakarta: Gramedia, 1999), hlm. 5. 29

    Al Qurtuby, Sumanto, Arus Cina-Islam-Jawa, Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam

    Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV dan XVI, (Jakarta: Inspeal Ahimsakarya Press, 2003),

    hlm. 175-185. 30

    Daniel Perret, Kolonialisme…., hlm. 18.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 13

    masyarakat Jawa-Yogyakarta tanpa memperhitungkan warisan biologis. Perkawinan

    antara orang Batak dengan orang Jawa akan semakin menunjukkan suatu perubahan

    identitas budaya bagi orang Batak Toba.

    Setelah melakukan review terhadap penelitian tentang konstruksi pembentukan

    identitas di atas, penelitian ini memiliki ciri khas dan urgensi tersendiri sehingga

    menarik untuk diteliti. Alasan pertama adalah masih jarangnya studi-studi yang

    mendalam tentang pembentukan identitas ke-Batak-Toba-an di Yogyakarta apalagi

    dalam kajian budaya. Alasan kedua, studi ini diharapkan dapat menambah khasana

    teoritik bagi pengembangan Kajian Kebudayaan identitas etnis di masa-masa

    mendatang, yang berangkat dari realitas empirik komunitas Batak Toba yang

    mengonstruksi identitasnya berdasarkan realitas Yogyakarta yang semakin

    kosmopolitan.31

    6. Landasan Teoritis

    Dalam menganalisis kewargaan komunitas Batak di Yogyakarta, Penulis memakai

    dua teori utama yang dikembangkan oleh dua tokoh yaitu Benedict Anderson dan Nick

    Stevenson. Anderson mengembangkan Imagined Communities untuk membangun suatu

    nasionalisme setelah suatu wilayah tertentu mengalami keterjajahan.Nick Stevenson

    mengembangkan Cultural Citizenship. Kedua teori ahli mempunyai keterhubungan

    dalam istilah cosmopolitan.

    6.1. Imagined Communities dalam Nasionalisme-Kosmopolitan

    Mengapa orang yang tidak saling mengenal bisa terikat dalam satu perasaan

    bagian dari sebuah komunitas yang disebut bangsa? Apa yang membuat mereka merasa

    senasib dan sepenanggungan sebagai bangsa? Mengapa orang mau mati untuk sebuah

    31

    Benedict Anderson sangat menggarisbawahi peran print capitalism dalam mengembangkan

    semangat kosmopolitanisme

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 14

    bangsa, untuk anggota-anggota yang tidak dikenalnya? Sungguh suatu fenomena yang

    tidak pernah terjadi sebelum masa imperialisme dan kolonialisme. Fenomena ini terlihat

    saat terjadi kekompakan berdasarkan aliansi bahasa, etnis, latar belakang sejarah, dan

    penderitaan menuju semangat “persatuan bangsa” melawan “kekuatan luar”.32

    Anderson merumuskan semangat persatuan dengan konsep imagined community,

    yaitu suatu bangsa yang imajiner karena “…para anggota terkecil sekalipun tidak bakal

    tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota lain yang mengikutinya,” 33

    tidak dalam

    pikiran dan setiap kehidupan tetapi terhubung dalam kesamaan ide politik dan mengikat

    diri dengan suatu perjanjian sekalipun tidak pernah berhadapan secara langsung atau

    bahkan nama dan wajah masing-masing tidak pernah saling mengetahui. Komunitas

    Imajiner terbentuk karena adanya rasa persamaan dan persekutuan berupa “horizontal

    comradeship” (pertemanan horizontal dan mendalam). Faktor kolektivitas, atribut,

    sejarah, ciri-ciri, keyakinan, sikap yang sama, teritorialisasi agama dan penurunan

    ikatan kekerabatan. Bahasa sangat berperan dalam membentuk imagined communities

    karena dapat memberi effect particular solidarities (efek solidaritas tertentu). Faktor

    lain yang turut berperan di antaranya adalah karena adanya perubahan dalam birokrasi

    pemerintahan kolonial, yang kemudian mulai diisi oleh orang-orang dari negeri jajahan.

    Dengan menggunakan pisau analisis teori Marxist, Anderson membedah konsep

    negara dan nasionalisme yang dibangun melalui gerakan perlawanan terhadap

    kekuasaan absolut monarki, dan dengan implementasi kapitalisme. Menurutnya, negara

    merupakan “an imagined political community and imagined as both inherently limited

    and sovereign”. Semua anggota dari suatu negara tidak pernah mengenal dan

    32

    Teuku Kemal Fasya, Ritus Kekerasan dan Libido Nasionalisme (Yogyakarta: BukuBaik, 2005),

    hlm. 118. 33

    Benedict Anderson, Imagined Communities, Komunitas-komunitas Terbayang (Yogyakarta: Insist

    Pers dan Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 8.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 15

    memahami. Oleh karena itu, negara hanya sebuah komunitas politik yang imajinatif.

    Unsur penting negara adalah bangsa. Sebanyak apa pun populasi masyarakatnya, negara

    selalu “terbatas” yang secara lahiriah dapat dilihat. Bangsa merupakan sebuah

    komunitas karena ikatan dalam mengabdi negara sampai mengorbankan diri. Anderson

    melihat nasionalisme sebagai sistem budaya yang besar, tidak hanya level ideologi

    politik yang akan bertumbuh apabila terdapat perubahan dalam: agama, dinasti, dan

    konsep tentang waktu.34

    Pertama, perubahan agama mengandaikan bahwa nasionalisme

    semakin bertransformasi dalam arti mendunia. Kedua, sisi kereligiositasan (agama)

    semakin berkurang. Ketiga, perubahan dinasti berarti nasionalisme mempertanyakan

    semangat absolutisme, yang meyakini adanya kekuasaan pusat tertinggi. Akhirnya,

    konsepsi feodal tentang waktu. Sebelumnya, di masa pra-modern, waktu selalu dilihat

    secara simultan dan tanpa pengukuran yang pasti. Di masa modern, waktu diukur dalam

    jam dan kalender. Dalam konstruksi identitas, konsep nasionalisme termasuk menjadi

    penting untuk melihat perjuangan awal Batak Toba di Yogyakarta.

    Terdapat tipe nasionalis baru yaitu Long-Distance Nationalism yang umumnya

    dimiliki oleh kaum ekspatriat, seperti kaum Creole dari Amerika Utara dan Selatan pada

    masa itu. Hal ini seperti soal dua model identitas modern dan posisi eksil (exile) dalam

    nasionalisme di era kapitalisme global. Kaum ini tidak merasakan kedekatan dengan

    negara yang ditinggali. Eksil politik bisa memainkan peran signifikan sebagai nasionalis

    jarak jauh karena di satu sisi ia ''bebas" dari negaranya: tidak membayar pajak dan tidak

    disiksa atau dipenjarakan rezim; tapi, di sisi lain, sebagai kelompok yang cukup mapan

    di Dunia Pertama, ia bisa mengirimkan uang, senjata, dan pamflet serta membangun

    sirkuit komunikasi internasional untuk ''mengobok-obok" negaranya. Oleh karena, itu

    34

    Benedict Anderson, Imagined Communities…,hlm. 17-54.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 16

    kelompok ini akan memainkan politik identitas dengan berpartisipasi dalam konflik

    yaitu melalui senjata, uang, dan propaganda.

    Teuku Kemal Fasya menggarisbawahi poin penting sifat nasionalisme. Pertama,

    nasionalisme adalah budaya tanding (counter-culture) terhadap kolonisasi sehingga

    sanggup menyatakan hak terhadap seluruh sejarah komunitas. Dalam arti teritorial, sifat

    nasionalisme tampak dalam perjuangan untuk mengembalikan bangsa yang terpenjara.

    Kedua, nasionalisme adalah gagasan tentang perlawanan terhadap batas-batas

    kebudayaan metropolitan dan feodalisme sehingga tercipta cerita baru dalam semangat

    pembebasan, imajinasi dan kemerdekaan diri sendiri. Ketiga, nasionalisme selalu

    terarah pada integrasi suatu komunitas menuju pembebasannya.35

    Ketika membicarakan tentang pembentukan identitas pada masa modern (dalam

    esai Nationalism, Identity and Logic of Seriality), Anderson tetap menekankan

    pentingnya surat kabar yang bisa membawa kondisi keserentakan dalam pembentukan

    imajinasi identitas tak terbatas. Identitas yang tidak terbatas dan tidak terikat itu seperti

    pembentukan identitas kultural di atas, berlawanan dengan identitas yang cenderung

    menyempit, yang tidak sama dengan kreasi modernitas. Identitas menyempit merupakan

    jenis identitas yang dibentuk oleh sensus dan pemetaan, yang berpikir dalam kategori

    numerik, dan melupakan adanya pecahan dan keragaman. Di sini identitas dikhayalkan

    sebagai sesuatu yang utuh, anonim, dan total. Contohnya adalah identitas berdasarkan

    etnisitas. Kategori mayoritas-minoritas dalam nomenklatur politik pada dasarnya adalah

    ciptaan identitas berwatak sensus.

    Lalu sejauh mana nasionalisme yang menempatkan komunitas berbasis teritorial

    dan keterikatan emosional terhadap kolektivitas kompatibel dengan kosmopolitanisme

    35

    Teuku Kemal Fasya, Ritus Kekerasan dan Libido…,hlm. 139-141

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 17

    (prinsip politik dan komitmen kultural)? Terhadap persoalan ini, Anderson menegaskan

    adanya korelasi antara nasionalisme dengan kosmopolitanisme dalam kehidupan sehari-

    hari dan nilai-nilai budaya. Anderson membuktikan bahwa kosmopolitanisme dapat

    timbul, bukan dari tradisi perjalanan atau filsafat yang terkenal, tetapi dari tempat yang

    tak terduga, terluar, terjauh dari tempat wisata mewah. Anderson secara longgar

    menggambarkan konsepnya melalui cerita tentang orang-orang, yang ia identifikasi

    sebagai "secara tidak sadar kosmopolitan" (bdk. etnohistori.org.). Benedict Anderson

    menemukan corak kosmopolitan dalam diri seorang keturunan Tionghoa bernama Kwee

    Thiam Tjing yang memperluas pandangan humanitasnya tanpa bepergian.

    Cynthia Foo dalam wawancaranya dengan Anderson merumuskan secara ketat

    bahwa kosmopolitanisme adalah seseorang yang duniawi, bukan karena perjalanan

    dunia, tetapi keterpaparan mereka terhadap budaya lain. Dengan pendekatan ini, kita

    dapat melihat bahwa kosmopolitanisme dapat dipahami bukan sebagai teori politik

    belaka, tetapi sebagai dinamika sosial budaya, pendekatan kemanusiaan untuk saling

    memahami perbedaan satu sama lain. Kosmopolitanisme menjadi motivasi kaum

    minoritas untuk bekerja sama, berjuang, tidak hanya untuk mendapatkan kembali

    pengakuan tetapi juga kesejahteraan mereka.36

    Dengan demikian, kosmopolitanisme

    merupakan mobilisasi pemikiran dan pencapaian kebaikan bersama dengan hadirnya

    pertukaran intrakultural.37

    Mobilisasi pemikiran menjadi cikal bakal kosmopolitan

    hibrid.

    36

    Fajar Ahmad Setiawan, “Cosmopolitanism as Experience: Global Imagined Solidarity in

    Minorities Struggle,” dalam Budi Susanto, SJ., A. Windarto, & A. Harimurti (ed.), Proceeding of The

    International Conference on Reviving Benedict Anderson: Imagined (Cosmopolitan) Communities

    (Yogyakarta: Sanata Dharma dan Studi Lembaga Realino, 2017), hlm. 400-403. 37

    Robert Holton, “Globalization's Cultural Consequences”, dalam Annals of the American Academy

    of Political and Social Science, Vol. 570 TAHUN 2000, hlm. 140-152

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 18

    Daerah Istimewa Yogyakarta akan mengolah semua pertarungan subjektivitas

    mengenai identitas antara yang satu dengan yang lainnya. Di dalam ruang ketiga, daerah

    Yogyakarta akan mengetahui sejauh mana identitas Batak Toba berkompetisi untuk

    dapat menyatukan atau peleburan identitas. Bagi Barker, peleburan identitas menjadi

    identitas hibrida yaitu berupa identitas baru karena percampuran antara identitas nenek

    moyang seseorang dengan identitas di mana seserang lahir, tinggal, dan hidup. Keadaan

    dunia yang bersifat globalisasi seperti sekarang ini segala sesuatunya bergerak dengan

    cepat, persoalan identitas budaya hibrid banyak dibahas dibandingkan dengan identitas

    budaya bangsa yang homogen. Pemaknaan kata-kata yang berbeda juga mendorong

    manusia untuk memikirkan tentang budaya, identitas, dan identitas sebagai tempat

    dengan batas-batas dan hibriditas, daripada kesatuan yang stabil dan baku.38

    Teori ini

    akan dipakai untuk menjawab rumusan pertanyaan nomor satu (bab dua) dan nomor dua

    (bab tiga).

    6.2. Kewargaan Budaya

    Dahlgren yang dirujuk oleh Barker mengatakan bahwa kewargaan adalah suatu

    bentuk identitas. Sebagai diri yang jamak, “identitas kewargaan” sipil berfungsi untuk

    mengikat suatu nilai dan dunia-kewargaan secara demokratis. Kewargaan atau

    citizenship mengartikulasikan masyarakat sipil dan negara secara terbuka dan tidak

    determinatif.39

    Sebagai sosiolog, T.H. Marshall mendefinisikan citizenship sebagai status yang

    diberikan kepada semua anggota masyarakat sebagai penjamin atas hak dan kewajiban.

    Dalam bukunya yang berjudul Citizenship and Social Class (1950), T.H. Marsall

    38

    Chris Barker, Cultural…,hlm. 263 39

    Chris Barker, Cultural…,hlm. 481-482.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 19

    merumuskan teori kewarganegaraan yang berfokus dalam sistem kelas. Citizenship

    dalam konteks hak warganegaraan terdiri atas tiga hak dasar yakni: Kesamaan di depan

    hukum (Rule of Law); Kesamaan dalam hak memilih (voting rights), dan Kesamaan hak

    dalam memperoleh jaminan kebutuhan dasar (pendidikan, kesehatan, perumahan, dan

    pendapatan minimal, suatu tugas negara kesejahteraan (welfare state). Gagasan atas hak

    sosial dan politik ini menjadi keterangan terhadap fungsi citizenship dalam

    mempertahankan ide “keadilan sosial”. Artinya, bila pemerintah mengambil kebijakan

    yang otoritarian atau menerapkan sistem ekonomi yang kapitalis-monetaristik maka ide

    citizenship segera berakhir.

    Kewargaan berkaitan dengan kewarganegaraan nasional yang berkontribusi

    terhadap unversalisasi hak dan kewajiban pada abad pertengahan di Eropa. Pada masa

    Perang Dunia Kedua, negara berorientasi pada kesejahteraan yang dipengaruhi oleh

    sistem kapitalisme. Kapitalisme berkembang sebagai sistem sosial seiring dengan

    struktur kelas yang berkembang sehingga kewargaan modern berubah dari sistem hak

    menjadi hubungan pasar dalam hubungan antagonis. Bila ditempatkan dalam konteks

    sejarah, T.H. Marsall mengatakan bahwa perjuangan prinsip hak-hak sipil dan hak

    politik sudah berlangsung pada abad ke-18 dan ke-19, sedangkan abad ke-20

    pemenuhan hak sosial40

    . Abad ke-18 merupakan abad yang menekankan hak sipil

    dengan prinsip utamanya kebebasan individu dalam bentuk: berpendapat, berpikir,

    beriman, dan kebebasan untuk memasuki kontrak legal, sedangkan abad ke-19 lebih

    menitik beratkan pada hak politik. Untuk abad ke-20 merupakan periode yang mengejar

    kesejahteraan sosial misalnya: pendidikan gratis, pensiun, kesehatan, dan negara yang

    sejahtera. Lord Acton yang dikuti Benedict Anderson dalam bukunya The Spectre of

    40

    Nick Stevenson, Cultural…, hlm. 6.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 20

    Comparisons memberi tiga kategori abad ke-20 yakni egalitarianisme, komunisme, dan

    nasionalisme.41

    Secara konseptual, citizenship mengandalkan beberapa kondisi seperti: budaya

    kota (berpikir modern dan maju), sekularisasi (hal yang tidak berdasar pada ajaran

    agama dan tradisi budaya tertentu), makin pudarnya nilai-nilai partikular (kepentingan

    individu), munculnya konsep ruang publik (kebebasan berekspresi), dan bekerjanya

    sistem adminsitrasi negara. Kondisi ini semakin membuka peluang bahwa citizenship

    lebih luas dan bersifat universal. Universalitas yang dimaksud adalah peran aktif warga

    negara dalam sebuah wilayah yang luas dan lintas tatanan pemerintahan lain. Hal ini

    didasari oleh paradigma kesetaraan dan kesejahteraan yang berlandaskan pada prinsip

    kemanusiaan. Sebagai warga negara dunia yang ikut serta menjaga dan mengatur

    tatanan dunia yang lebih baik, seperti: kesetaraan, kesejahteraan, dan kedamaian dalam

    masyarakat.

    Lalu bagaimana kita membicarakan antara kewargaan (citizenship) dan budaya?

    Renato Rosaldo (1994) mengatakan bahwa pintu masuk untuk membicarakan atau

    memadukan kewargaan dan budaya terletak pada kesadaran bahwa dalam setiap warga

    mempunyai „hak untuk berbeda‟, sambil menikmati kewargaan masyarakat secara

    demokratis dan partisipatif. Arus demokrasi dan partisipasi membuat anggota warga

    “keluar” dari kewargaannya untuk terhubung dengan persoalan yang melewati

    kewargaannya. Rosaldo sendiri mendefinsikan kewargaan budaya sebagai “hak untuk

    menjadi berbeda termasuk dalam pengertian demokratis partisipatif… bahkan ketika

    perbedaan semacam itu… secara potensial dapat digunakan untuk membuat orang tidak

    setara atau lebih rendah dari orang lain”. Stevenson yang merujuk pada Rosaldo (2001)

    41

    Benedict Anderson, The Spectre of Comparisons Nasionalism, Southeast Asia, and the World

    (London: Verso, 1998), hlm. 58-59.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 21

    mengatakan bahwa kewargaan budaya adalah poliglot42

    yang mampu berjalan dengan

    nyaman di beberapa komunitas tanpa memikirkan identitas yang murni dan kurang

    kompleks. Untuk mendukung teorinya, Stevenson juga mengutip pendapat Jhon Urry

    (1995) yang mengatakan bahwa kita memiliki kewargaan budaya melalui pertumbuhan

    kosmopolitanisme yang mendorong warga semakin terbuka lewat isu-isu global dan

    konsumsi. Oleh karena itu, budaya dan kewarganegaraan atau kewargaan budaya sangat

    terkait, baik dalam praktik politik maupun dalam kepentingan ekonomi.43

    Kewargaan

    budaya berarti upaya membangun kesadaran dan merumuskan identitas kultural, sosial,

    dan individual di tengah transformasi sosial yang sedang berjalan. Identitas kultural

    yang dimaksud bukan yang sudah distandarisasi, tetapi lebih pada kesadaran dan

    subjektivitas masyarakat yang dipengaruhi oleh arus perubahan.44

    Supratiknya45

    memahami teori kewargaan budaya Nick Stevenson sebagai:

    Sejenis kemampuan dalam konteks transnasional atau kosmopolitan untuk

    berpartisipasi dalam kehidupan publik seraya tetap dihargai sebagai subjek dan

    tidak direduksi menjadi yang lain atau liyan, membutuhkan seperangkat nilai

    sebagai pedoman atau panduan.

    Proses pengakuan berlangsung dalam proses dalam status liminal (ambang) melalu

    penanda-penanda seperti: bahasa, simbol, mitos, dan ritual. Unsur-unsur yang

    memengaruhi dan terbentuknya kewargaan budaya, yakni: jaringan (networks),

    informasi, globalisasi, risiko, refleksi, dan konsumsi. Dalam unsur tersebut, komunitas

    Batak Toba menunjukkan identitasnya yang sedeang berada dalam liminal.

    42

    Kamus Besar Bahasa Indonesia mengatakan bahwa poliglot berarti dapat mengetahui,

    menggunakan dan menulis dalam banyak bahasa. 43

    Nick Stevenson (ed.), Culture and Citizenship (London: SAGE Publication, 2001), hlm. 2-3. 44

    Nick Stevenson, Cultural…, hlm. 4-5; bdk. Alexander Koko Siswijayanto, Dilema Warga

    Budaya, Transformasi di Era Informasi dan Pembentukan Kewargaan Budaya, (Seminar Setengah

    Sehari: Universitas Sanata Dharma, 2014), hlm. 8 45

    A. Supratiknya, “Pendidikan di Tengah Tantangan Kewargaan Budaya dan Ekstremisme Global”

    dalam Anne Shakka dan A. Harimurti (ed.), Nasionalisme Di Tengah Kewargaan Budaya dan

    Ekstremisme Global (Yogyakarta: Pusat Sejarah dan Etika Politik dan Sanata Dharma University Press,

    2018), hlm. 130.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 22

    6.2.1. Jaringan

    Di manakah pusat kita sekarang ini? Pertanyaan ini bersumber dari perubahan

    bentuk relasi yang tidak disadari oleh masyarakat. Jaringan (network) merupakan

    sesuatu yang populer di kalangan masyarakat modern yang terdiri dari sebuah struktur

    informatika berdasarkan relasi sosial di dalam sebuah web. Jaringan ini merupakan

    kumpulan dari individu yang saling terhubungkan oleh berbagai ikatan sosial, seperti

    afeksi, profesionalisme, keagamaan, budaya, dan politik.

    Stevenson mengatakan bahwa dalam masyarakat informasi, gagasan jaringan sosial

    (social network) menyiratkan suatu rute yang lebih dinamis layaknya seperti sirkuit

    yang “tidak memiliki pusat tertentu”. Jaringan ada di seluruh “ruang” dan “waktu yang”

    dapat dimanfaatkan untuk berbagai hal. Oleh karena itu karakter kewargaan budaya

    dalam masyarakat modern tidak didefinisikan melalui pusat atau ketunggalan seperti

    yang berlangsung pada masyarakat industri yang menunjukkan pusat-pusat perusahaan.

    Ketunggalan dibentuk dalam struktur yang mempunyai pusat pengorganisasian

    sekaligus menentukan bentuk-bentuk relasi-relasi sosial dengan yang lain.

    Dalam masyarakat informasi, imajinasi jejaring menjadikan suatu visi perputaran

    yang dinamis yang tidak berpusat dan plural. Dibandingkan dengan masyarakat industri,

    ada sebuah pergeseran paradigma dari memperhatikan massa kepada pembacaaan

    sebuah psikologi evolutif hingga politik massa. Siapa pun yang memiliki pengaruh kuat

    di jaringan, dia memiliki sebuah kekuatan dan kekuasaan massa. Kini, sangat tergantung

    pada informasi dan usaha untuk mendapat sumber-sumber jaringan yang lebih tepat.

    Kita mengetahui perkembangan ekonomi, gerakan sosial, politik, dan budaya melalui

    jejaring yang terorganisir secara vertikal bukan secara horizontal.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 23

    6.2.2. Sistem Informasi

    Pekerjaan merupakan merupakan kekuatan masyarakat industri, tetapi berbeda

    dengan masyarakat modern yang menempatkan segala sesuatunya pada informasi.

    Organisasi-organisasi dunia membangun suatu ideologi baru, seperti

    “informasionisme”. Istilah ini mengacu pada suatu pengetahuan yang bersifat mandiri

    dan kurang menanggapi pengetahuan yang datang dari suatu struktur yang hirarkis.

    Perkembangan tehnologi menjadi alat yang secara cepat menyebarluaskan informasi,

    lewat jaringan dan membentuk struktur-struktur yang lebih luas.46

    Munculnya efek budaya yang disebut Castells „real virtuality‟ – di mana budaya

    massa diproduksi oleh berbagai kepentingan manusia melalui jaringan internet hingga

    menyentuh seluruh spektrum komunikasi antar manusia. Dalam bukunya yang berjudul

    The Age of Information, Castell berpendapat bahwa digitalisasi pengetahuan menjadikan

    informasi bisa diproses dan disebarluaskan melampaui batas-batas tertentu. Kapitalisme

    menyandarkan diri pada kemampuan sistem informasi untuk menyebarluaskan

    pengetahuan melampaui jaringan yang terpisah-pisah. Lingkungan media kini telah

    melampaui gagasan suatu budaya massa, dan pesan-pesan secara eksplisit disesuaikan

    terhadap bahasa-bahasa simbol dari audiens yang dituju. Suatu ekonomi yang bersandar

    pada informasi ditandai dengan proses simultan perkembangan ekonomi. Jejaring dan

    informasi mengalami transformasi raksasa yang luar biasa.47

    Pertanyaan seputar sosial kemasyarakatan bisa muncul di sini. Dengan

    kemampuannya untuk mengakses informasi, apakah orang akan semakin individualis

    atau malahan melahirkan suatu bentuk solidaritas baru yang semakin tinggi?

    46

    Nick Stevenson, Cultural Citizenship…, hlm. 10-11. 47

    Nick Stevenson, Cultural Citizenship…,hlm. 11.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 24

    Pertanyaan ini juga semakin relevan ketika ditempatkan dalam konteks kewargaan

    budaya yang banjir informasi. Orang semakin lebih banyak berhubungan dengan

    internet daripada berelasi dalam dunia nyata. “Real virtual” yang menjadi ciri sistem

    informasi akan ditelusuri melalui penggunaan media whatshapp group dari asosiasi klan

    Batak Toba.

    6.2.3. Globalisasi

    Pokok pembicaraan di sini menyangkut akibat dari globalisasi yang tampak pada

    ekonomi, politik dan budaya modern. Stevenson yang merujuk pada pandangan Giddens

    mengatakan bahwa globalisasi menyangkut tehnologi komunikasi yang mampu

    menanamkan gambaran dan informasi melampaui ruang, dan waktu. Dalam pandangan

    Giddens, “mengosongkan” ruang dan waktu (dalam masyarakat modern)

    memungkinkan terjadinya pemisahan hubungan sosial. Pemisahan ruang dan waktu

    dapat dilihat secara nyata dalam kalender, jadwal-jadwal transportasi dan peta. Proses

    ini merupakan sistem sosial yang tercerabut (disembedding of social system).48

    Pada ranah globalisasi ini, kita bisa melihat pada awalnya bahwa penentuan diri

    atas komunitas adalah tanggung jawab negara (nation-state). Transformasi kultural

    bersamaan dengan ledakan budaya pada kehidupan sehari-hari telah membantu

    menyebarluaskan sebuah dunia yang dihuni oleh orang-orang cerdas secara kultural.

    Budaya modern menekankan demokrasi sebagai akibat dari “budaya keahlian” (expert

    cultures). Sebut saja contoh globalisasi, yakni pengguna whatsapp yang membuat ruang

    dan waktu tidak lagi berjarak. Bahkan batas-batas negara pun tidak lagi begitu jelas.

    Media sosial membuat masyarakat menjadi warga global yang membentuk identitas

    baru.

    48

    Nick Stevenson, Cultural Citizenship…hlm. 12.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 25

    Terdapat suatu kesadaran baru tentang efek dari globalisasi sebagaimana dikatakan

    oleh Castell:

    “Di seluruh dunia masyarakat menyesali betapa mereka kehilangan kontrol atas diri

    mereka, atas lingkungan mereka, atas pekerjaan-pekerjaan mereka, atas

    perekonomian mereka, atas pemerintahan mereka, atas negara-negara mereka, dan

    terutama atas nasib bumi ini”.

    Orang yang sudah merasa menjadi warga global bisa jatuh ke dalam ketidak-

    pedulian terhadap segala keprihatian yang ada di sekitarnya. Kepedulian bukan dipicu

    oleh kecuekan mentalitas personal maupun sosial, tetapi karena kekuatan penderitaan

    terlalu masif terjadi dan di luar kontrol individu bahkan suatu kelompok masyarakat

    sekalipun. Inilah akibat yang perlu diwaspadai.

    6.2.4. Masyarakat Berisiko

    Di zaman informasi, muncul suatu manajemen risiko secara luar biasa. Hal ini

    dipicu oleh ambruknya tingkat kepercayaan atas gagasan kemajuan dan kepastian dan

    diganti dengan risiko. Stevenson yang merujuk pada Beck (1992) membuat sebuah

    patokan yang membedakan antara risiko yang menyertai modernitas dan nasib sebelum

    masa industri. Pada zaman pra industri risiko didefinisikan sebagai nasib yang

    menempatkan masyarakat sulit mengendalikan, seperti tulah, kelaparan, bencana alam.

    Sebaliknya, bersama dengan masyarakat industri muncul gagasan risiko, yang secara

    eksplisit memperhitungkan peradaban teknologi. Pengertian yang terakhir ini

    melibatkan hukum, asuransi perusahaan dan perlindungan terhadap bahaya dari

    masyarakat industri. Namun setelah abad keduapuluh, manusia tidak mampu

    mengasuransikan risiko dari penghancuran planet bumi ini sebagai akibat dari

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 26

    perkembangan rasionalitas ilmiah dan kemajuan ekonomi yang menghasilkan pelbagai

    penghancuran.49

    Pada masyarakat berisiko, dunia seolah-olah genting. Situasi ini membayangi

    masyarakat, termasuk juga keluarga, gender, pekerjaan, keyakinan akan ilmu

    pengetahuan dan kemajuan ekonomi, lingkungan hidup bahkan hidup itu sendiri. Ritzer

    yang mengutip pendapat Beck menggarisbawahi bahwa “masyarakat berisiko” dapat

    dilihat sebagai sejenis masyarakat industri karena kebanyakan risikonya itu berasal dari

    industri yang mengeksploitasi sumber kekayaan.50

    Ciri ini tidak terlalu mendapat

    perhatian dalam tesis ini.

    6.2.5. Modernitas Refleksif (Reflexive modernity)

    Kalau masyarakat modern mempunyai kultur berisiko, bagaimanakah mencegah,

    meminimalkannya atau menyalurkannya? Beck menggarisbawahi ciri dari masyarakat

    berisiko yakni masyarakat modernitas refleksif. Bagi masyarkat modern, refleksivitas

    mempunyai arti yang khusus terutama dalam konteks praktik sosial yang di dalamnya

    selalu ada proses menguji dan mengubah seturut informasi yang diterima. Dalam

    kaitannya dengan hubungan sosial, refleksivitas menjadi penting. Dengan jelas Beck

    mengatakan51

    :

    “Bentuk baru relasi sosial dan jaringan sosial sekarang tergantung pada pilihan

    orang secara individual; ikatan sosial pun makin refleksif sehingga ikatan sosial

    itu dibentuk, dipelihara, dan secara tetap mendapat pembaharuan dari individu.”

    Giddens yang dirujuk oleh Stevenson mengatakan bahwa keterlibatan dalam

    produksi refleksi atas identitas membuat kita bertanggungjawab atas otobiografi hidup.

    Dunia semakin kompleks menawarkan pilihan-pilihan yang sulit terutama menyangkut

    49

    Nick Stevenson, Cultural Citizenship…, hlm. 13-14. 50

    George Ritzer, Teori…hlm. 515-516. 51

    Ulric Beck, Risk Society Towords a New Modernity (London: SAGE Pulbications), hlm. 97

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 27

    gaya hidup. Habitus refleksi adalah bukti “praktik-praktik sosial secara terus-menerus

    diuji dan diubah dalam cahaya informasi yang semakin muncul tentang praktik itu dan

    dengan demikian sifatnya diubah”. Proses ini membantu untuk mendorong suatu

    masyarakat baru di mana mereka hidup dalam proyek refleksif.52

    Dalam proyek ini

    manusia menentukan segala sesuatu dari dirinya, tidak ada lagi yang kemudian dianut.

    Nilai-nilai menjadi semakin kabur dan pegangan menjadi tidak ada lagi.

    Munculnya kemampuan untuk mengetahui kondisi saat ini akan membawa kita

    ke batas jurang risiko. Bagi Melucci yang dikutip oleh Stevenson, keadaan ini dikenal

    dengan “Integralisme”:

    “Di bawah pengaruh integralisme, orang menjadi intoleran. Mereka mencari

    kunci utama untuk membuka setiap pintu realitas, dan konsekuensinya mereka

    menjadi tidak mampu membedakan berbagai level realitas yang ada. Mereka

    lama untuk kesatuan. Mereka berhadapan dengan kompleksitas. Mereka menjadi

    tidak mampu mengenali perbedaan dan dengan istilah personal dan politik

    mereka menjadi fanatik (bigoted) dan berpikiran singkat (judgmental)”.53

    Zaman mengarahkan orang untuk berpikir untuk menentukan segala sesuatu. Hal

    ini mengarah pada integralisme yang dipahami sebagai pencaharian akan yang integral

    (prinsip, spiritualitas, dan politik). Kecenderungan integralisme mengarah pada

    intoleransi yang mengancam subjektivitas manusia. Apabila subjektivitas terpengaruh

    maka refleksivitas pun akan sulit dibangun dan dibentuk. Poin ini tidak menjadi

    orientasi dari tesis sekalipun ketika membahas poin tertentu akan terasa sisi integralisme

    dalam praktik-praktik kehidupan orang Batak Toba Jogja.

    6.2.6. Konsumsi

    Konsumen adalah aktor sosial yang menggunakan gagasan, gambar, simbol, dan

    produk komersial untuk (kembali) melakukan konfigurasi ke dalam proyek identitas

    52

    Nick Stevenson, Cultural Citizenship…,hlm. 14. 53

    Nick Stevenson, Cultural Citizenship…, hlm. 15.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 28

    yang berarti. Kapitalisme cetak menjadi alat konsumsi untuk membayangkan dan

    membangun pengalaman konsumtif bagi konsumen atau warga. Dengan membaca,

    orang menjadi bersatu dalam komunitas bahasa yang bersebelahan dengan batas-batas

    geografis. Imajinasi pada tindakan mengonsumsi (membeli dan menguraikan teks

    tertulis) menghasilkan konfigurasi identitas baru, industri baru, pasar baru, dan realitas

    sosial baru (Anderson, 1983). Melanjutkan premis Anderson, Appadurai (1996)

    mempertimbangkan fasilitas yang mengartikulasikan potensi dan keterbatasan manusia

    melalui manipulasi tanda, simbol, produk komersial dengan masing-masing makna.

    Dari perspektif Appadurai, imajinasi adalah milik semua orang dan merupakan praktik

    sehari-hari dan proses sosial. Imajinasi sebagai cara memperoleh makna dan

    menciptakan identitas dan komunitas (imagined comsumptive communities).54

    Baudrillard (1998) yang dirujuk oleh Stevenson berpendapat bahwa tanda-tanda

    dan makna dari benda-benda yang dikonsumsi merupakan hasil ciptaan untuk

    menghubungkan emosi dengan produk konsumen. Hal ini menciptakan masyarakat

    yang selalu mencoba segala sesuatu, manusia konsumtif yang dihantui oleh rasa takut

    "hilang" sesuatu dalam berbagai bentuk kenikmatan.55

    Simulasi tanda-tanda dan gambar

    dalam masyarakat konsumen melampaui batas modernitas dengan informasi dan

    perubahan dimensi budaya dan ekonomi. Melalui pengembangan sistem informasi

    modern, masyarakat menjalani hidup dalam “badai salju” informasi. Lebih lanjut,

    konsumsi tanda-tanda berarti bahwa politik dan ekonomi menjadi kebutuhan subjek

    untuk merangsang sensasi dan kesenangan baru. Pertumbuhan ekonomi kapitalis pun

    54

    Hope Jensen Schau, “Consumer Imagination, Identity and Self-Expression", dalam NA -

    Advances in Consumer Research Volume 27 (2000), eds. Stephen J. Hoch and Robert J. Meyer, Provo,

    UT : Association for Consumer Research Tahun 2000, hlm. 50-56. Diakses dari acrwebsite.org, 16 Maret

    2018. 55

    Nick Stevenson, Cultural Citizenship… hlm. 14-15.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 29

    tergantung pada konsumsi individu yang memiliki selera berlapis-lapis dengan produksi

    sosial yang menyenangkan, tuntutan kebebasan, dan gaya hidup baru. Stimulasi

    keinginan kini telah menjadi bagian sentral ekonomi budaya. Pengembangan jasa

    keuangan dan kredit konsumen serta tingkat mempercepat omset desain telah

    menciptakan sebuah masyarakat, di mana kesenangan konsumsi lebih sangat dihargai

    dari tugas kewarganegaraan (Bourdieu, 1984). Komodifikasi kehidupan sehari-hari telah

    memiliki keragaman efek pada budaya kontemporer dan kewarganegaraan.

    Stevenson mengatakan bahwa kewargaan budaya terpenuhi ketika masyarakat

    mencipta budaya semiotik dan material. Tujuan pencipta agar kehidupan sosial

    bermakna, kritik terhadap praktik-praktik dominasi, dan terjadinya pengakuan

    perbedaan dalam situasi yang toleran dan saling menghormati. Untuk mewujudkan

    kewargaan budaya dibutuhkan perangkat institusi publik yang demokratis dan

    terlindungi dari ekses pasar bebas.56

    Teori kewargaan budaya akan dipakai untuk

    menjawab rumusan pertanyaan nomor dua (bab tiga) dan terutama nomor tiga (bab

    empat)

    7. Metode Penelitian

    Untuk meneliti konstruksi identitas Batak Toba, Penulis menggunakan metode

    etnografi. Metode etnografi menggarisbawahi “hubungan reflektif antara peneliti dan

    yang diteliti”.57

    Kebudayaan bukan lagi dilihat sebagai sesuatu “yang ada di luar sana”,

    melainkan lebih dilihat sebagai sesuatu yang dikonstruksi secara aktif lewat kegiatan

    para etnografer. James Clifford dan Marcus menyatakan bahwa budaya bukanlah objek

    untuk dilukiskan, bukan pula batang tubuh simbol-simbol dan makna-makna yang

    56

    Nick Stevenson (ed.), Culture and…, hlm. 3-4. 57

    St. Sunardi, “Kajian Budaya: Pada Mulanya adalah Perlawanan…”, dalam RETORIK-VOL 2 No.

    4 – OKTOBER 2003, hlm. 39.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 30

    menyatu serta bisa diinterpretasikan secara definitif. Budaya itu dikompetisikan, bersifat

    sementara dan tampil (hadir).58

    Representasi baik oleh orang dalam atau orang luar

    tercakup dalam penghadiran ini. Oleh karena itu, yang diperlukan adalah studi

    mengenai representasi identitas dan cara-cara membangun realitas yang ingin mereka

    gambarkan dalam perubahan sosial. Kebudayaan kini bisa dilihat sebagai wilayah

    kompetisi antara representasi dan wacana yang berjuang untuk mendapatkan

    pengakuan, otoritas, dan suara.

    Data tentang dinamika identitas komunitas Batak Toba di Yogyakarta tersebar di

    dalam kehidupan komunitas Batak kini. Metode yang dikembangkan Paula Saukko

    (2003) cukup memperhatikan aspek apa yang sedang diteliti dan yang akan menjadi

    dasar untuk melihat konstruksi identitas yang dilakukan oleh masyarakat Batak Toba di

    Yogyakarta. Dalam bukunya yang berjudul: Doing Research in Cultural Studies,

    Saukko menekankan betapa pentingnya lived experience karena metode ini sangat tepat

    untuk mengetahui pengalaman subjek dalam kaitannya dengan identitas.59

    Senada

    dengan Saukko, Nugroho juga menggarisbawahi pentingnya mendalami pengetahuan

    keseharian yang dialami masyarakat sebagai interpretasi sosial. Mengutip pendapat dari

    Berger dan Lukmann, Nugroho mengatakan,60

    “Kehidupan sehari-hari mewakili dirinya

    sendiri sebagai realitas yang diinterpretasikan oleh individu-individu yang memiliki

    makna intersubjektif terhadap mereka”. Untuk menjalankan metodologi Saukko dan

    Nugroho maka penulis melakukan metode berikut:

    58

    James Clifford dan Marcus, Writing Culture, The Poetic and Politic Ethnography (London:

    Univeristy California Press, 1986), hlm. 10-19. 59

    Paula Saukko, Doing Research in Cultural Studies (London: SAGE Publication,2003). 60

    Heru Nugroho, Uang, Renternis dan Hutang Piutang di Jawa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

    2001), hlm. 42.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 31

    7.1. Pengamatan Terlibat

    Pasar termasuk salah satu tempat mata pencaharian masyarakat Batak Toba di

    Yogyakarta. Ketika mencoba ikut ke pasar, cukup sering penulis dihindari oleh

    responden. Rupanya, status saya sebagai pemimpin agama sering menjadi alasan untuk

    menghindar. Tentu saja hal ini menjadi suatu tantangan dalam tehnik pengumpulan data

    yang digagas oleh Saukko, proses etnografi dengan pengamatan terlibat atau participant

    observation menjadi sentral dalam kajian budaya.

    Penulis juga mengikuti upacara-upacara adat komunitas Batak Toba dan kegiatan

    asosiasi klan yang ada di Yogyakarta. Kepada peserta undangan penulis mengajukan

    pertanyaan yang berkaitan dengan tema tesis. Jawaban spontan mereka jauh lebih

    menceritakan praktik kehidupan orang Batak Toba Yogja.

    Satu hal yang perlu diwaspadai yakni menyangkut kedekatan emosional dan

    psikologis (intimacy) karena akan membuat seorang peneliti menjadi tidak objektif dan

    bias. Bahwa pada bagian-bagian tertentu peneliti tidak netral dan berpihak, misalnya

    peneliti tidak setuju bahkan menentang hal-hal yang tidak sesuai dengan tradisi Batak

    Toba, seperti menyambut pihak pemberi isteri (hulahula) dengan musik Maumere,

    Gemu fa mi re. Untuk menjaga keokjektivan data, saya harus menggunakan kemampuan

    analitis sekaligus berperan sebagai insider view. Peran sebagai insider tentu saja untuk

    membuat distansi karena kedekatan identitas dengan masyarakat Batak Toba

    Yogyakarta.

    7.2. Wawancara

    Siegel dalam “In Place of an Interview” begitu yakin bahwa wawancara membantu

    seseorang memahami apa yang telah dibacanya. Wawancara itu bagaikan suara yang

    dikatakan dari luar buku yang mempunyai posisi yang sama dengan pembaca, tetapi

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 32

    lebih tahu. Oleh karena itu, catatan-catatan tentang kehidupan orang Batak Toba