Upload
arief-satrio
View
243
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8/11/2019 tekhnik anestesi
1/25
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar BelakangKata anestesia diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes yang
menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian
obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan. Analgesia ialah
pemberian obat untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran
pasien (Latief dkk, 2009). Ada dua jenis anestesi yaitu anestesi umum, local dan
regional. Anestesi umum membuat pasien tidak sadar, sementara anestesi local
dan regional hanya membuat mati rasa sebagian tubuh yang akan dilakukan
tindakan akan tetapi pasien tetap sadar. Sementara itu istilah anestesiologi ialah
ilmu kedokteran yang pada awalnya berprofesi menghilangkan nyeri dan rumatan
pasien sebelum, selama dan sesudah pembedahan (Latief dkk, 2009). Dalam
istilah anestesi kita mengenal trias anestesi yang meliputi analgesia (hilangnya
nyeri), hipnotik (hilang kesadaran) dan relaksasi otot.
Prosedur anestesi memerlukan persiapan yang matang baik sebelum
anestesi, selama anestesi, dan setelah anestesi. Persiapan sebelum dilakukan
anestesi merupakan hal yang sangat penting karena memiliki tujuan, antara lain
mempersiapkan mental dan fisik penderita secara optimal, merencanakan, dan
memilih obat dan teknik anestesi yang sesuai, mengurangi angka kesakitan, dan
mengurangi angka mortalitas. Persiapan yang kurang memadai merupakan factor
penyumbang sebab-sebab terjadinya kecelakaan anestesi. Seorang dokter ahli
anestesi sudah seharusnya mengunjungi pasien sebelum pasien dibedah, agar
dapat mempersiapkan pasien dengan sebaik-baiknya, sehingga pada saat
dilakukan tindakan, pasien dalam keadaan segar bugar (Latief dkk, 2009).
Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai proses anesthesia
dari awal hingga akhir dengan pemahaman melalui contoh kasus anestesi
regional.
8/11/2019 tekhnik anestesi
2/25
2
1.2 Rumusan Masalah
- Bagaimanakah penatalaksanaan anastesi pada pasien appendisitis?
1.3 Tujuan
- Untuk mengetahui anastesi spinal pada penatalaksanaan appendisitis
1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari pembuatan laporan kasus ini antara lain :
a. Menambah wawasan mengenai anastesi spinal.
b. Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang
mengikuti kepaniteraan klinik bagian ilmu Anastesi.
8/11/2019 tekhnik anestesi
3/25
3
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1. Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Usia : 28 th
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Pakisaji, Malang
Berat Badan : 55 kg
Register : 351228
Jenis Pembedahan : Appendiktomi, Eksplorasi Laparatomi
Rencana Anestesi : Regional Anesthesi, Sub Arachnoid Block
2.2 Persiapan Pre Operasi
2.2.1 Anamnesis (18 Juni 2014)
A (Alergy) : tidak ada riwayat alergi obat-obatan, makanan dan asma
M (Medication) : tidak sedang menjalani pengobatan penyakit tertentu
P (Past Medical History) : riwayat DM (-), HT (-). Sakit yang sama dan
riwayat operasi (-)
L (Last Meal) : Pasien terakhir makan jam 24.00 WIB (18 Juni 2014)
E (Elicit History) : Nyeri pada perut kanan bawah sejak 3 hari SMRS dan
memberat dengan nyeri pada seluruh area perut pada hari H MRS.
2.2.2 Pemeriksaan Fisik Pre-operasi (18 Juni 2014)
B1 : Airway paten, nafas spontan, simetris, retraksi(-), RR 22x/mnt, Rh (-
), Wh (-),leher bebas, gigi (+), foto thorax normal.
B2 : Akral hangat, nadi 109 x /mnt, TD 110/69, S1S2 single regular,
murmur (-), gallop (-)
B3 : Sadar penuh, GCS 456, Pupil isokor 3mm/3mm, reflek cahaya +/+
B4 : BAK spontan (+), warna kuning muda (+)
B5 : Soefl, BU (+) , mual (+), muntah (-), Nyeri tekan pada seluruh
abdomen, defense muscular (-), nyeri tekan Mc Burney (+)
8/11/2019 tekhnik anestesi
4/25
4
B6 : Mobilitas (+) pasien merasa sangat nyeri hingga kesulitan untuk
berjlan, edema (-), akral hangat, skoliosis (-).
2.2.3 Pemeriksaan Laboratorium Pre-Operasi (18 Juni 2014)
Darah Lengkap
Hb : 11,5 gr/dL
Hematokrit : 35,0 %
Eritrost : 4,54 juta/cmm
Leukosit : 13.800 sel/ cmm
Trombosit : 419.000 sel/cmm
BT : 200 menit
CT : 1130 menit
Kimia Darah
Glukosa Darah Sewaktu : 74 mg/dl
SGOT : 17 U/L
SGPT : 12 U/L
Ureum : 14 mg/dl
Kreatini : 0,34 mg/dl
Elektrolit Natrium : 131 mmol/L
Kalium : 4,4 mmol/L
Chlorida : 99 mmol/L
Rontgen Thorax AP
Normo thorax
Rontgen Thorax AP
Appendicisitis Perforasi
EKG
Sinus Rhythm. Tidak didapatkan kelainan.
2.3 Diagnosa
- Appendicitis Perforasi
2.4 Penatalaksanaan
- Eksplorasi Laparatomi
- Appendiktomi
8/11/2019 tekhnik anestesi
5/25
5
STATUS ANASTESI
KETERANGAN UMUM
Nama penderita : Ny. S Umur : 28 thn, Tgl : 19 Juni 2014
Ahli bedah : dr. H., Sp.B Ahli anastesi : dr. J., Sp.An
Ass. Bedah : - Prwt. Anastesi : -
Diagnose Pra bedah : Appendicisitis Perforasi
Diagnose pasca bedah : Peritonitis Appandictomy
Jenis pembedahan : Appendictomy, Eksplorasi Laparatomi
Jenis anastesi : Regional Anastesi, Sub Arachnoid Block
KEADAAN PRABEDAH
Keadaan umum : gizi kurang/cukup/gemuk/anemis/sianosis/sesak
Tekanan darah :110/69 nadi: 109x/mnt Pernapasan : 22x/mnt, Suhu: 36,6C,
Berat badan : 55 kg, Golongan darah :.
Hb : 11,5 gr%, Lekosit :13.800 cell/cmm, PVC :35,0 % Lain-
lain:
Penyakit-penyakit lain: STATUS FISIK ASA: 1 2 3 4 Elektif/ darurat
PREMEDIKASI : S. Atropinmg Valiummg Petidinmg
DBP.mg
Lain-lainJam :IMIV Lain-lain Efek:
POSISI : Supine/prone/lateral/lithotomic/lain-lain
AIRWAY : Masker muka/endotraheal/traheostomi/lain-
lain(Nasal canule)
TEKNIK ANASTESI : Semi closed/closed/spinal/Epidural/Blok
Saraf/Lokal/lain-lain
PERNAPASAN : SPONTAN/ASSISTED/KONTROL
OBAT ANASTESI
1. Metoklopramid 10 mg
2. Midazolam 2,5 mg
8/11/2019 tekhnik anestesi
6/25
8/11/2019 tekhnik anestesi
7/25
7
hemodinamik tubuh. Jika terdapat anemia dan terdapat penurunan dari hematokrit
dapat diberikan transfusi PRC (Packed Red Cells)atau WB (Whole Blood).
Larutan kristaloid dan koloid harus diberikan untuk mengganti cairan yang hilang.
Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan cairan
intravaskuler, tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan kristaloid lebih
murah, mudah didapat tetapi membutuhkan jumlah yang lebih besar karena
kemudian akan dikeluarkan lewat ginjal.
Premedikasi
Sebelum obat anestesi diberikan pasien diberi obat premedikasi yaituMetoklopramid 10 mg dan midazolam 2,5 mg disuntikan IV
Anestesi
Obat yang diberikan yaitu Bupivacaine/Decaine 20 mg yang disuntikkan
pada spinal setinggi L3 - L4.
Maintenance
Selama operasi berlangsung pasien diobservasi tekanan darah, nadi dan
pernapasannya. karena durasi operasi yang lama di masukan ketamin 50 mg iv
Setelah 15 menit operasi hampir selesai diberikan ketorolac 30 mg.
Recovery
Setelah operasi selesai, pasien dipindahkan ke ruang recovery dan
diobservasi berdasarkan Aldrete Score. Jika Aldrete Score 8 dan tanpa ada nilai
0 atau Aldrete Score > 9, maka pasien dapat dipindahkan ke ruangan. Pada pasien
ini didapatkan Aldrete Score 0 dan tanpa ada nilai 0, maka pasien bisa
dipeindahkan ke ruang recovery.
NO PENILAIAN NILAI
1. WARNA Merah muda
Pucat
2
1
8/11/2019 tekhnik anestesi
8/25
8
Sianotik 0
2. PERNAFASAN Dapat bernafas
dalam dan
batuk
Dangkal namun
pertukaran
udara adekuat
Apnea atau
obstruksi
2
1
0
3. SIRKULASI Tensi
menyimpang
50% dari
normal
2
1
0
4. KESADARAN Sadar, siaga
dan orientasi
Bangun namuncepat kembali
tertidur
Tidak berespon
2
1
0
5. AKTIVITAS Seluruh
ekstremitas
dapat
digerakkan
2
8/11/2019 tekhnik anestesi
9/25
9
Dua ekstremitas
dapat
digerakkan
Tidak bergerak
1
0
Instruksi Paska Bedah
Awasi : Vital sign, kesadaran dan perdarahan tiap 5 menit selama 1 jam
Posisi : Tidur terlentang tanpa bantal
Makan/minum : Bising usus (+), mual (-), muntah (-), makan minum bertahab.
Infus/transfusi : Cairan Rl 1000 mlObat-obatan : Ketorolac 3x30 mg
Lain-lain : Awasi Kesadaran dan airway
8/11/2019 tekhnik anestesi
10/25
10
BAB III
PEMBAHASAN
2.1 Anestesi RegionalSubarachnoid Block
Sejak anestesi spinal / Sub-arachnoid block (SAB) diperkenalkan oleh
August Bier (1898) pada praktis klinis, tehnik ini telah digunakan dengan luas
untuk menyediakan anestesi, terutama untuk operasi pada daerah bawah
umbilicus. Kelebihan utama tehnik ini adalah kemudahan dalam tindakan,
peralatan yang minimal, memiliki efek minimal pada biokimia darah, menjaga
level optimal dari analisa gas darah, pasien tetap sadar selama operasi dan
menjaga jalan nafas, serta membutuhkan penanganan post operatif dan analgesia
yang minimal (USU, 2011).
Anestesi regional meliputi 2 cara yaitu blok sentral yang meliputi blok
spinal, epidural, dan kaudal. Yang kedua adalah blok perifer seperti blok pleksus
brachialis, aksiler, anestesi regional intravena, dan lainnya. Anestesi spinal adalah
pemberian obat anestetik local ke dalam ruang subarachnoid. Anestesi spinal
diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik local ke dalam ruang subarachnoid.
Terjadi blok saraf yang reversibel pada radix anterior dan posterior, radix
ganglion posterior dan sebagian medula spinalis yang akan menyebabkan
hilangnya aktivitas sensoris, motoris dan otonom (Latief dkk, 2009).
Tabel 2.1 Indikasi, Kontraindikasi, dan Komplikasi Analgesia Spinal
Indikasi/Kontraindikasi/
KomplikasiKeterangan
Indikasi
Bedah ekstremitas bawah
Bedah panggul
Tindakan sekitar rectum-perineum
Bedah obstetric-ginekologi
Bedah urologi
Bedah abdomen bawah
8/11/2019 tekhnik anestesi
11/25
11
Pada bedah abdomen atas dan bedah
pediatric biasanya dikombinasikan
dengan anesthesia umum ringan
Indikasi Kontra Absolut
Pasien menolak
Infeksi pada tempat penyuntikan
Hipovolemia berat, syok
Koagulopati atau mendapat terapi
antikoagulan
Tekanan intra cranial tinggi
Fasilitas resusitasi minimal
Kurang pengalaman/tanpa didampingi
konsultan anesthesia
Indikasi Kontra Relatif
Infeksi sistemik (sepsis, bakteremia)
Infeksi sekitar tempat penyunikan
Kelainan neurologis
Kelainan psikis
Bedah lama
Penyakit jantung
Hipovolemia ringan
Nyeri punggung kronis
Komplikasi Tindakan
Hipotensi berat
Bradikardia
Hipoventilasi
Trauma pembuluh darah
Trauma saraf
Mual muntah
Gangguan pendengaran
8/11/2019 tekhnik anestesi
12/25
12
Blok spinal tinggi, atau spinal total
Komplikasi Pasca Tindakan
Nyeri tempat suntikan
Nyeri punggung
Nyeri kepala karena kebocoran likuor
Retensio urine
Meningitis
Persiapan untuk anestesi spinal pada dasarnya sama dengan persiapan
pada anestesi umum. Adapun yang perlu diperhatikan adalah adanya informed
consent dari pasien, pemeriksaan fisik (lebih diperhatikan terhadap kemungkinan
kelainan spesifik seperti kelainan tulang belakang, kondisi pasien yang gemuk
sehingga sulit identifikasi prosesus spinosus, dan lainnya), serta pemeriksaan
laboratorium anjuran seperti hemoglobin, hematokrit, PT, dan PTT.
Peralatan yag diperlukan dalam anestesi spinal ini terdiri aatas peralatan
monitor seperti teknan darah, nadi, pulse oxymetri, dan EKG; peralatan
resusitasi/anestesi umum; serta jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bamboo
runcing, Quincke-Babcock) atau jarum spinal dengan ujung pensil (pencil point,
Whitecare).
Teknik anestesi spinal dimulai dengan memposisikan pasien duduk atau posisi
tidur lateral. Posisi ini adalah yang paling sering dikerjakan. Perubahan posisi
berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
Berikut teknik anesthesia spinal dengan blok subarachnoid:
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus laterl.
Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang spinosusmudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
8/11/2019 tekhnik anestesi
13/25
13
Gambar 2.1 Posisi anestesi spinal
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka dengan
tulang punggung ialah L4 atau L4-5. Tentukan tempat tusukannya,misalnya L2-3, L3-4, atau L4-5. Tusukan pada L1-2 atau di atasnya
berisiko trauma medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alcohol.
4. Beri anestetik local pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2%
2-3 ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal sebesar 22 G,
23 G atau 25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27
G atau 29 G, dianjurkan menggunakan introducer(penuntun jarum), yaitu
jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan introdusersedalam kira-kira 2
cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut
mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Setelah resistensi menghilang,
mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi
obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik) diselingi
aspirasi sedikit, hanya utuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.
8/11/2019 tekhnik anestesi
14/25
14
Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 37C adalah 1,003
1,008.Anestetik local dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobaric.
Anestetik local dengan berat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik.
Anestetik local dengan berat jenis lebih kecil dari CSS disebut hipobarik.
Anestetik local yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan
mencampur anestetik local dengan dekstrosa. Untuk jenis hipobarik biasanya
digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi (Latief dkk,
2009). Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi blockade saraf pada
pemberian anestesi spinal. Faktor tersebut antara lain barisitas, posisi pasien
selama dan sesaat setelah injeksi, serta dosis obat. Pada umumnya makin tinggidosis dan posisi injeksi, maka level anestesi akan semakin tinggi. Oleh karena itu
pada posisi supine head down, cairan hiperbarik akan menyebar kea rah kepala
dan cairan hipobarik menyebar ke kaudal dan sebaliknya pada posisi head up.
Sementara pada posisi lateral, cairan spinal hiperbarik akan berefek pada bagian
yang lebih rendah dan cairan hipobarik akan mencapai daerah yang lebih tinggi
(Morgan, 2006).
Tabel 2.2 Anestetik Lokal yang Paling Sering Digunakan
Anestesi
lokal
Berat
jenis
Sifat Dosis Dosis
maksimal
Durasi
Lidokain
2% plain
5% dalam
dekstrose
7,5%
1,006
1,033
Isobarik
Hiperbarik
20-100 mg
(2-5ml)
20-50 mg
(1-2ml)
4.5 mg/
kg BB
45
menit- 2
jam
Bupivakain
0,5% dalam
air
0,5% dalam
dextrose
8,25%
1,005
1,027
Isobarik
Hiperbarik
5-20 mg (1-
4ml)
5-15 g (1-
3ml)
3 mg/ kg
BB
1.5 8
jam
8/11/2019 tekhnik anestesi
15/25
15
Obat yang sering digunakan pada anestesi spinal ini adalah bupivacaine
hiperbarik dan tetrakain. Toksisitas bupivacain lebih rendah dibandingkan
lidocain. Walaupun onset kerja bupivacain lebih lama (10-15 menit) dibandingkan
lidocain (5-10 menit) tetapi durasi kerjanya lebih lama yaitu sekitar (1,5-8 jam)
dibandingkan lidocain (1-2 jam). Penggunaan lidokain harus diperhatikan karena
seringkali menyebabkan transient neurological symptoms (TNS) dan cauda equine
sindrom. Namun ada ahli yang menyatakan penggunaan lidokain ini aman pada
anestesi spinal dengan dosis terbatas 60 mg dan diencerkan 2.5%. Oleh karena itu
penggunaan bupivacaine lebih aman dan lebih efektif (Morgan, 2006).
Pada pasien ini direncanakan untuk dilakukan regional anestesi. Pemilihan
anestesi regional sebagai teknik anestesi pada pasien ini berdasarkan
pertimbangan bahwa pasien akan menjalani operasi appendiktomi sehingga
pasien memerlukan blockade pada regio abdomen bawah untuk mempermudah
operator dalam melakukan operasi. Teknik ini umumnya sederhana, cukup efektif,
dan mudah digunakan.
Saat sebelum operasi dimulai, pasien diposisikan supine, selanjutnya
pasien diberi metoclopramide digunakan sebagai anti emetic untuk mencegah
pasien mual. Setelah itu, pasien diposisikan duduk rileks sambil memeluk bantal
untuk mengekspose area lumbal yang akan dilakukan anestesi. Setelah memberi
tanda pada L4 atau L4-5 (perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua
Krista iliaka dengan tulang punggung), kemudian tempat tusukan ditentukan.
Setelah itu, area tersebut disterilkan dengan betadin atau alkohol. Anestetik local
dengan lidokain 1-2% diberikan pada tempat tusukan.
Teknik anestesi regional pada pasien ini dengan menggunakan jarum 27 G
dan dibantu dengan introducer (penuntun jarum). Setelah introduser disuntikkansedalam kira-kira 2 cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian jarum spinal berikut
mandrinnya dimasukkan ke lubang jarum tersebut. Setelah resistensi menghilang,
mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor. Setelah terjadi barbotage, yaitu
keluarnya cairan serebrospinal tanpa disertai keluarnya darah, maka pasang
semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik) diselingi
aspirasi sedikit, hanya utuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.
8/11/2019 tekhnik anestesi
16/25
16
Pada pasien ini diberikan obat anestesi bupivacain dikarenakan toksisitas
bupivacain lebih rendah dibandingkan lidocain. Walaupun onset kerja bupivacain
lebih lama (10-15 menit) dibandingkan lidocain (5-10 menit) tetapi durasi
kerjanya lebih lama yaitu sekitar (1,5-8 jam) dibandingkan lidocain (1-2 jam).
Selain itu diberikan morphine 0,1 mg dengan tujuan untuk memperpanjang waktu
kerja obat anestesi dan sebagai analgetik. Meskipun demikian, perlu diwaspadai
efek samping hipotensi akibat pemakaian obat ini.
2.2 Persiapan Pre Anestesi dan Pre Operasi
Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan persiapan
pre operasi terlebih dahulu untuk mengurangi terjadinya kecelakaan anastesi.
Persiapan sebelum tindakan anestesi ini memerlukan kunjungan pasien. Adapun
persiapannya meliputi anamnesis pasien yang leliputi poin AMPLE (A=allergy
baik alergi makanan atau obat atau lainnya; M= medicationobat-obatan yang
dipakai pasien sebelum tindakan anestesi, karena ada beberapa obat yang
berinteraksi dengan obat-obatan anestesi dan menimbulkan efek yang merugikan;
P= past medical history riwayat penyakit atau tindakan medis yang pernah
dialami atau sedang dialami pasien; L= last mealmasukan oral terakhir pasien;
E= elicit history keadaan yang menjelaskan mengapa pasien perlu dioperasi),
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium yang berhubungan. Evaluasi
tersebut juga harus dilengkapi klasifikasi status fisik pasien berdasarkan skala
ASA (The American Society of Anesthesiologists). Operasi yang elektif dan
anestesi lebih baik tidak dilanjutkan sampai pasien mencapai kondisi medis
optimal. Selanjutnya dokter anestesi harus menjelaskan dan mendiskusikan
kepada pasien tentang manajemen anestesi yang akan dilakukan, hal ini tercermindalam informed consent.
Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain. Pemeriksaan
fisik dapat membantu mendeteksi abnormalitas yang tidak muncul pada history
taking, sedangkan history taking membantu memfokuskan pemeriksaan pada
sistem organ tertentu yang harus diperiksa dengan teliti. Pemeriksaan yang
dilakukan pada pasien yang sehat dan asimtomatik setidaknya meliputi tanda-
tanda vital (tekanan darah, heart rate, respiratory rate, suhu) dan pemeriksaan
8/11/2019 tekhnik anestesi
17/25
17
airway, jantung, paru-paru, dan system musculoskeletal. Pemeriksaan neurologis
juga penting terutama pada anestesi regional sehingga bisa diketahui bila ada
defisit neurologis sebelum diakukan anestesi regional.
Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan. Pemeriksaan gigi
geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek dan kaku sangat
penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan dalam melakukan intubasi.
Kesesuaian masker untuk anestesi yang jelek harus sudah diperkirakan pada
pasien dengan abnomalitas wajah yang signifikan. Mikrognatia (jarak pendek
antara dagu dengan tulang hyoid), insisivus bawah yang besar, makroglosia,
Range of Motion yang terbatas dari Temporomandibular Joint atau vertebrae
servikal, leher yang pendek mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk
dilakukan intubasi trakeal.
Klasifikasi status fisik ASA merupakan klasifikasi yang digunakan untuk
menilai kebugaran fisik pasien. Klasifikasi ASA ini bukan alat prakiraan risiko
anestesi, karena efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping
pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6
selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status
fisik ASA secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif.
(Barin, 2006; Miller, 2009)
Tabel 2.2 Kategori ASA danMortality Rate
KATEGORI DISKRIPSI PASIENMORTALITY
(%)
I
Pasien sehat organik,
fisiologis, biokimia, atau
psikiatri.
0,060,08
II
Pasien dengan penyakit
sistemik ringan sampai
sedang dengan tidak ada
pembatasan fisik.
0,30,4
IIIPasien dengan penyakit
1,84,3
8/11/2019 tekhnik anestesi
18/25
18
sistemik berat, sehingga
aktivitas rutin terbatas.
IV
Pasien dengan penyakit
sistemik berat dengan terapi
obat terus menerus, tidak
dapat melakukan aktivitas
rutin dan penyakit tersebut
dapat menjadi ancaman
setiap saat .
7,823,4
V
Pasien dengan penyakit beratyang akan meninggal dalam
24 jam apabila tidak
dilakukan operasi.
9,457
E
Apabila emergensi
(diletakkan setelah huruf
romawi)
Pada pasien ini, dari history taking tidak didapatkan riwayat alergi
terhadap makanan atau obat-obatan, tidak mengkonsumsi obat-obatan rutin, tidak
didapatkan riwayat operasi sebelumnya, tidak didapatkan riwayat penyakit
jantung, hipertensi, dan kencing manis. Dari pemeriksaan fisik tidak didapatkan
kelainan bermakna yang dapat mengganggu proses anestesi. Dari pemeriksaan
laboratorium didapatkan kadar leukosit yang tinggi yaitu 13.800/ mm3, oleh
karena itu pasien diberikan antibiotic ciprofloxacin intravena 400mg ketika awalmasuk. Tingginya kadar leukosit pasien kemungkinan terjadi karena infeksi
appendisitisnya. Oleh karena itu pada saat masuk dan sebelum operasi dijalankan
pasien diberikan antibiotic yang sesuai sebagai agen penghambat penyebaran
infeksi lebih lanjut. Adapun pemberiannya juga dilanjutkan pada saat perawatan
setelah operasi di ruangan. Dari data-data tersebut pasien kemudian
diklasifikasikan sebagai ASA II dikarenakan adanya penyakit sistemik ringan
sampai sedang tanpa ada pembatasan aktifitas fisik. Pada pasien ini sebelum
8/11/2019 tekhnik anestesi
19/25
19
operasi dilakukan, diberikan Inform consent sebagai bentuk persetujuan
dilakukannya tindakan anestesi dan operasi.
2.3 Terapi Cairan Perioperatif
Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian defisit cairan sebelumnya,
kebutuhan maintenance dan luka operasi seperti pendarahan. Dengan tidak adanya
intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya
pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible losses yang
terus menerus dari kulit dan paru. Kebutuhan maintenance normal dapat
diperkirakan dari tabel dibawah:
Tabel 2.4 Perkiraan CairanMaintenanceBerdasarkan Berat Badan
Berat Badan Kadar
10 kg pertama 4 mL/kg/jam
10 kg berikutnya + 2 mL/kg/jam
Tiap kg di atas 20 kg + 1 mL/kg/jam
Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami
deficit cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan
kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa.
Pada pasien ini, telah diberikan cairan maintenance sebanyak 1000cc
cairan RL sebelum operasi. Berat badan pasien adalah 55kg dimana kebutuhan
cairan maintenance adalah 110cc/jam dan pasien ini telah puasa selama 10-12 jam
sebelum operasi. Jadi defisit cairan pasien ini secara total adalah 1320 cc.
2.4 Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia
diantaranya:
Meredakan kecemasan dan ketakutan
Memperlancar induksi anesthesia
8/11/2019 tekhnik anestesi
20/25
20
Mengurangi sekresi kelenjar ludan dan bronkus
Meminimalkan jumlah obat anestetik
Mengurangi mual muntah pasca bedah
Menciptakan amnesia
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi reflek yang membahayakan
Tabel 2.5 Jenis Premedikasi
Premedikasi Keterangan
1.Premedikasi
tanpa sedasi
Pasien dengan sepsis
Pasien usia tua
Pasien dengan masalah di airway
One daycare surgery
Pasien neurosurgical
Neonatus & infant < 6 bulan
2.Premedikasidengan oral
sedative
Diberikan malam hari apabila ada indikasi
Pasien dengan operasi elektif
Pasien direncanakan regional anestesi
3. Opioid
Pasien sehat yang akan dioperasi dengan
kasus berat
Pasien dengan nyeri
Pasien dengan abortus
4. Pasien pediatric
Untuk pasien < 6 bulan premedikasi
diberikan secara oral diazepam sirup 0,2
mg/kgBB
Untuk pasien > 5 tahun oral diazepam 0,2
mg/kgBB atau oral midazolam 0,5 0,7
mg/kgBB
8/11/2019 tekhnik anestesi
21/25
21
5. Pasien obstetricRanitidine 150 mg
Anti emetic
6. Pasien dengan
risiko regurgitasi
dan aspirasi
Termasuk di dalamnya morbid obese
Pasien obstetric
Pasien dengan riwayat hernia diafragmatika
Pasien dengan esofagitis
Diberikan H2 reseptor antagonis (ranitidine
cimetidin), proton pump inhibitor
(omeprazole), antasida (sodium sitrat),
gastrokinetic agent (metoclopramide)
diberikan bersama-sama
Pada pasien ini diberikan obat premedikasi berupa inj. Metoclopramide 10
mg. midazolam sebelum dilakukan anestesi regional Metoclopramide diberikan
untuk profilaksis dari PONV. Midazolam juga bisa berfungsi sebagai induksi dan
sedasi, dosisnya lebih besar dan pemberiannya melalui intravena.
Tabel 2.6 Dosis Midazolam
Midazolam Premedication IM 0.070.15 mg/kg
Sedation IV 0.010.1 mg/kg
Induction IV 0.10.4 mg/kg
2.5 Recovery dari Regional Anestesi
Pasien yang dilakukan regional anestesi, lebih mudah mengalami recovery
dibandingkan dengan general anestesi. Hal ini dikarenakan pasien dalam posisi
sadar, sehingga komplikasi yang terkait airway, breathing, dan circulation lebih
minimal. Meskipun demikian, tetap harus dilakukan pemeriksaan tekanan darah,
nadi, dan frekuensi nafas sampai pasien benar-benar stabil. Fungsi neuromuskuler
harus dinilai misalnya mengangkat kepala. Monitoring tambahan berupa penilaian
8/11/2019 tekhnik anestesi
22/25
22
nyeri (skala deskriptif atau numerik), ada atau tidak mual atau muntah, input dan
output cairan termasuk produksi urin, drainase, dan perdarahan.
Semua pasien post operasi umumnya harus mendapatkan oksigen 30-40%
karena bisa terjadi transient hypoksemia pada pasien yang sehat sekalipun.
Keputusan rasional untuk meneruskan suplementasi oksigen ketika mengeluarkan
pasien dari Post Anesthesia Care Unit (PACU) bisa dibuat berdasarkan SpO2
dengan udara ruangan. Pasien dimotivasi untuk nafas dalam dan batuk.
Pada pasien ini operasi membutuhkan waktu yang lebih lama lagi untuk
kemudian dilanjutkan dari appendiktomi kemudian akan dilakukan eksplorasi
laparotomi. Dibutuhkan waktu operasi yang lebih lama dari yang direncanakan
semula karena pada awalnya hanya akan dilkukan appendiktomi akan tetapi
setelah abdomen dibuka posisi appendik pasien terletak retrograde dan pada ujung
appendik didapatkan telah terjadi perforasi dan didapatkan pocketed abses di
ujung appendiks, sehingga perlu dilakukan pencucian cavum abdomen dengan NS
hangat dan pemasangan drain yang pada akhirnya membuat proses operasi lebih
lama, sehingga anestesi regional SAB dilanjutkan dengan pemberian ketamin 50
mg iv yang mempunya efek sedasi dan analgetik sehingga proses anestesi dapat
lebih lama
2.6 Kontrol Nyeri dan PONV
Pemberian NSAID preoperatif saja atau bersamaan dengan asetaminofen
bisa mengurangi kebutuhan terhadap opioid secara signifikan untuk prosedur
operasi tertentu. Penggunaan inhibitor selektif siklooksigenase-2 (seperti
celecoxib) dapat mengurangi potential adverse effect terhadap fungsi platelet dan
komplikasi gastrointestinal.Nyeri ringan hingga sedang (mild to moderate) bisa diterapi dengan asetaminofen
dan kodein oral. Sebagai alternatif bisa digunakan opioid agonis-antagonis
(butarphanol 1-2mg atau nalbuphine 5-10mg) atau ketorolacmethamine 30 mg iv.
Obat tersebut sering digunakan untuk operasi ortopedi dan ginekologi.
Nyeri sedang-berat (moderate to severe) di PACU bisa diterapi dengan
opioid parenteral atau intraspinal, anestesi regional, atau blok saraf spesifik. Bila
digunakan opioid, pemberian yang aman diberikan dalam titrasi dosis kecil
8/11/2019 tekhnik anestesi
23/25
23
intravena. Opioid yang umum digunakan opioid intermediate-long duration
seperti meperidine 10-20 mg (0.25-0.5 mg/kg pada anak-anak), atau morfin 2-
4mg (0.025-0.05 mg/kg pada anak-anak). Efek analgesik mencapai peak dalam
waktu 4-5 menit.
Sedangkan Postoperative nausea and vomiting (PONV) merupakan
masalah yang sering terjadi setelah prosedur general anestesi, terjadi pada sekitar
20-30% pasien. Bahkan, PONV bisa terjadi ketika pasien di rumah 24 jam setelah
discharge (postdischarge nausea and vomiting). Etiologi PONV biasanya
multifaktorial bisa melibatkan agen anestesi, tipe atau jenis anestesi dan faktor
pasien sendiri.
Terjadi peningktan insiden mual setelah pemberian opioid selama anestesi,
setelah pembedahan intraperitoneal (umumnya laparoskopi), dan operasi
strabismus. Insidensi tertinggi terjadi pada wanita muda. Meningkatnya tonus
vagal bermanifestasi sebagai sudden bradikardi yang seringkali mendahului atau
bersamaan dengan emesis. Anestesi propofol menurunkan insiden PONV.
Selective 5-hydroxytryptamine (serotonin) receptor 3 (5-HT3) antagonis seperti
ondansetron 4 mg (0.1 mg/kg pada anak-anak), granisetron 0.010.04 mg/kg, dan
dolasetron 12.5 mg (0.035 mg/kg pada anak-anak) juga sangat efektif untuk
mencegah PONV dan menerapi PONV yang sudah terjadi. Metoclopramide, 0.15
mg/kg intravena, kurang efektif tetapi obat ini merupakan alternatif yang bagus.
5-HT3 antagonis tidak berhubungan dengan manifestasi akut extrapyramidal
(dystonic) dan reaksi disforik yang mungkin ditimbulkan oleh metoclopramide
atau phenothiazine-type antiemetics. Dexamethasone, 410 mg (0.10 mg/kg in
children), bila dikombinasikan dengan antiemetic lainnya biasanya efektif untuk
mual dan muntah yang refrakter. Bahkan efektif hingga 24 jam sehingga bisadigunakan untuk postdischarge nausea and vomiting. Profilaksis non farmakologis
untuk mencegah PONV misalnya hidrasi yang adekuat (20 mL/kg) setelah puasa
dan stimulasi P6 acupuncture point (pergelangan tangan).
Pada pasien ini tidak dikeluhkan adanya mual dan muntah serta nyeri sangat
yang dapat memicu peningkatan asam lambung, namun tetap diberikan terapi post
operasi dengan menggunakan Inj. ketolorac 30mg iv
8/11/2019 tekhnik anestesi
24/25
24
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Ny. S 28 tahun datang kepoli RSUD kepanjen dengan keluhan Nyeri pada
perut kanan bawah sejak 3 hari SMRS dan memberat dengan nyeri pada seluruh
area perut pada hari H MRS. Pasien sering merasakan nyeri pada epigastrium,
mual (+) tetapi tidak pernah muntah, BAK dan BAB pasien lancar. Nafsu makan
pasien menurun sejak 1 minggu ini.
Pada pemeriksaan lokalis region iliaka dekstra didapatkan nyeri tekan titik Mc
Burney (+), Pada pemeriksaan laboratorium tampak Leukosit meningkat.
Diagnose preoperative appendicitis perforasi eksaserbasi akut. Penatalaksanaan
apendiktomy dan eksplorasi laparatomi. Teknik anastesi regional ananstesi ( sub
arachnoid block). Sedangkan diagnosa pada pasca bedah peritonitis et causa
appendicisitis perforasi
8/11/2019 tekhnik anestesi
25/25
DAFTAR PUSTAKA
Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009.Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
Universitas Sumatera Utara (USU). 2011. Anestesi Spinal.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22847/4/Chapter%20II.pdf.
Diakses pada 11 Juli 2012 pk.10.00.
Miller, R. D., Erikkson, L. I., Fleisher, L. A., Wiener, J. P., Young W. L. 2009.
Millers Anesthesia. 7th Edition. New York: Elsevier.
Morgan, G. Edward; Mikhail, Maged S.; Murray, Michael J. 2006. Clinical
Anesthesiology, Fourth Edition. United States: McGraw-Hill Companies, Inc.
Barin, Kursat. 2006. On the utility of ASA scores to predict postoperative
arthroplasty complications.
http://www.albertaboneandjoint.com/evidence/ASAUtilityReview.pdf. Diakses
pada 11 Juli 2012 pk.10.15.
Aldrete JA, Kronlik D: A postanesthetic recovery score. Anesth Analg
1970;49:924 and Aldrete JA: The post-anesthesia recovery score revisited. J Clin
Anesth 1995;7:89.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22847/4/Chapter%20II.pdfhttp://www.albertaboneandjoint.com/evidence/ASAUtilityReview.pdfhttp://www.albertaboneandjoint.com/evidence/ASAUtilityReview.pdfhttp://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22847/4/Chapter%20II.pdf