16
1

tari Agraris;seminartari;isisolo/RDP

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Tari dalam kehidupan manusia memiliki peranan penting sebagai media yang merefleksikan tata hubungan manusia dengan daya-daya ilahiah, kemasyarakatan, dan alam. Tubuh sebagai sumber dan media gerak merupakan gejala dunia batin mawujud dibangun oleh pandangan yang utuh dan kompleks tentang kosmis. Tari dalam berbagai kebudayaan dibangun oleh religiositas untuk menemukan dan membangun keterikatan antara manusia dengan daya illahiah yang bersifat sakral dan vertikal.

Citation preview

Page 1: tari Agraris;seminartari;isisolo/RDP

1

Page 2: tari Agraris;seminartari;isisolo/RDP

2

PERTUNJUKAN TARI DALAM TRADISI MASYARAKAT AGRARIS

Religiositas, Kohesi Sosial, dan Kebijakan Ekologi

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

R. Djoko Prakosa

Pengantar

Tari dalam kehidupan manusia memiliki peranan penting sebagai media yang

merefleksikan tata hubungan manusia dengan daya-daya ilahiah, kemasyarakatan, dan

alam. Tubuh sebagai sumber dan media gerak merupakan gejala dunia batin mawujud

dibangun oleh pandangan yang utuh dan kompleks tentang kosmis. Tari dalam berbagai

kebudayaan dibangun oleh religiositas untuk menemukan dan membangun keterikatan

antara manusia dengan daya illahiah yang bersifat sakral dan vertikal. Ruang kosmis tari

juga mencoba mencari dan membangun tata hubungan insani yang humani sebagai

struktur masyarakat. Bahkan secara mendasar tari juga merupakan bagian penting dari

dunia batin manusia yang dengan gigih mencari dan membangun hubungan maknawi

dengan lingkungan alammnya.

Dalam tari terdapat pemerian dan verikasi permasalahan hidup manusia. Tari

menjadi gugus aktivitas simbolik menempatkan manusia dalam tata hubungan yang

hakiki antara manusia sebagai Titah dengan daya-daya ilahiah yang menciptakan dan

menguasai manusia. Tari menempatkan manusia dalam tatanan alam dan peristiwanya

sebagai insan yang membangun nilai insani yang humani secara hakiki. Hubungan hahiki

antar ego yang intrapersonal dan komunal dalam pranata sosial membangun kohesivitas

Tari. Hal ini memposisikan tari sebagai gugus dasar ritual yang dibangun manusia

sebagai media komunikasi sakral dan profan dengan Jagad Tripurusa (Tuhan, Manusia,

dan Alam). Subagya memaparkan gejala tersebut sebagai berikut,

Ritus atau upacara adalah kelakuan simbolis yang mengkonsolidasi atau

memulihakan tata alam dan menempatkan manusia dan perbuatannya dalam tata

tersebut. Dalam ritus dipergunakan kata-kata, doa, dan gerak-gerik tangan atau

badan.baik mitos mapun ritus bermakna mengokokhkan tata rencana alam raya

semula dan diharapkan akan mempartisipasikan hidup seluruh umat dalam tata

keselamatan. Kelakuan simbolis manusia yang mengharapkan keselamatan itu

punya banyak bentuk: menceriterakan kembali mitos asal, mementaskan isi mitos,

melakukan upara adat, menghadirkan tata alam dalam tari menari, cara khuss

menanam atau mengetam padi, beraneka perayaan, kurban, berdoa dan makan

bersama (selamatan)penegasan jenjang peralihan dalam hidup dan lain-lain (1981:

116)

Pandangan Spiritual terhadap tari sebagai aktivitas manusia menempatkan tari ke

dalam tiga esensi yang hirarkies, yaitu tataran apresiatif, kreatif, dan reflektif. Pada

tataran apresiatif, tari membuka wahana sikap dan perilaku yang membangun bentuk

penghargaan, pemahaman dan penilaian terhadap makna tari, hakikat tari yang utuh

Page 3: tari Agraris;seminartari;isisolo/RDP

3

dengan tujuan-tujuanya. Dengan peristiwa tari atau menari manusia dapat

mengembangkan hakikat hidupnya yang insani dan humani.1

Pada tataran kreatif tari merupakan ekspresi estetik yang utuh dari dunia batin.

Pengalaman religi, etik, estetik, pengembaraan intelektual menuntun seseorang

menggerakan tubuhnya atau tatanan gerak tubuh sebagai media menyatakan tanggapan

dunia batin terhadap hidup, peristiwa alam, reka budi dalam mencapai kesejahteraan dan

kelestarian hidup. Pada tataran reflektif, tari menjadi bagian significant mencakup dan

terkait dengan aspek keagamaan, kebudayaan, dan keilmuan. Dari sisi ini ari dapat dikaji

dengan pendekatan yang kritis, teoritik, dan sistematik.

Kosmologi Tari: Tubuh, Gerak, dan Penafsiran Ruang Kosmis

Gerak merupakan subtansi hidup. Indikasi awal adanya kehidupan adalah dengan

terdeteksinya gerak dalam setiap unsur organik. Tubuh manusia, binatang, tumbuh-

tumbuhan, bahkan dalam konteks pemahaman tertentu benda atau dzat tertentu bergerak

untuk menyatakan hidup atau kehidupannya. Konteks pemahaman gerak dalam

kehidupan merupakan pernyataan akan Eksistensi dikotomi yang sering disebut sebagai

roh, jiwa, dengan tubuh, jasad, atau raga. Tubuh yang bergerak secara implisit

menyatakan keberadaan Jiwa atau roh, ini menimbulkan pertayaan apakah roh

menyebabkan gerak dalam tubuh. Atau juga dipersoalkan tubuh bergerak dengan

sendirinya sebagai kesatuan mekanis yang organik.

Dua pertanyaan tersebut akan menjadi persoalan mendasar dalam berbagai

wacana seni yang berkaitan erat dengan gerak—tari, teater, fashion, atau mungkin

bentuk peryataan seni yang lain—karena akan berkenaan dengan tujuan ekspresi estetik.

Dalam ekspresi estetik tersebut gerak akan berkaitan erat dengan media fisikal dan psikis

dalam menyatakan tujuan estetiknya. Tubuh merupakan medium pokok yang bersifat

fisikal untuk menyatakan kondisi psikis tertentu. Tubuh dan garis-garis plastisnya

menjadi bahasa dalam menyatakan nilai, tujuan, atau kehendak tertentu.

Secara mendasar kaitan tubuh dan jiwa yang bersifat psikis tidak dapat dipisahkan

dalam pernyataan estetik, setiap tubuh tampil dengan garis, ruang, dan tempo akan

disertai penampakan kesan, rasa bathin, atau sesuatu yang dapat disebut sebagai roh.

Gerak merupakan perubahan ruang dalam kurun waktu tertentu. Tubuh sebagai salah satu

sumber gerak melalui garis-garis plastisnya mampu membuat ruang, melintasi rentang

waktu,. Lintasan ruang dan waktu yang dibentuknya menyusun persepsi visual, kesan,

dan bahkan membentuk gugus imaji dan suasana batin tertentu. Pemahaman ini oleh

generasi manusia dikembangkan dalam berbagai penafsiran.

Paling tidak, dapat ditemukan dua penafsiran dasar, yang pertama berupa

penafsiran yang berakar pada pemikiran klasik yang cenderung mengasumsikan ruang

dan waktu yang dibentuk oleh gerak merupakan sesuatu yang bersifat religi (sakral).

Yang kedua penafsiran yang berakar pada asumsi bahwa ruang dan waktu adalah lintasan

organik yang mekanis lebih bersifat fungsional.

1 Dalam pewacaan aprasiasi seni akan menuntun manusia menjadi sosok kejiwaan religios, berpenalaran,

dan berperasaan yang secara praktis membangun moral melalui wacana etika dan estetika.

Page 4: tari Agraris;seminartari;isisolo/RDP

4

Dalam konteks pemikiran pertama tubuh merupakan bagian penting dari roh dan

jiwa, komunikasi dibentuk berdasarkan pemikiran asumsi dasar spritual ruang dan waktu

sebagai sesuatu yang bermakna religi, filosofis. Setiap gerak tubuh berkutat pada makna

simbolis. Asumsi tersebut melahirkan konsep ruang dan waktu yang sarat dengan makna

sombolis, ini dapat dijumpai pada generasi awal manusia yang primitif, yang kemudian

merintis pada gugus masyarakat tradisional.

Dalam budaya pertunjukan primitif dapat ditemukan konsep Axis Mundi dunia

terpusat pada satu poros, Gunung, nyala api, pohon dan sebagainya. Dalam praktek

pertunjukannya gerak terpusat pada satu arah. Dalam berbagai penuturan dapat hampir

dapat dipastikan upacara ritul, seni, atau praktik magi masyarakat primitif berakar pada

siklus yang terpusat pada satu poros. Gerak terpusat pada siklus ruang ruang mistik dan

gaib, gerak terpusat pada titik mana yang diasumsikan pada pusar atau pusat-pusat mana

yang menghasilkan daya-daya magis, syakti dan kekuatan yang lebih bersifat

transendental.

Ket: Pola ruang mistis a merupakan poros dan pusat

Dalam masyarakat tradisi-jawa-ditemukan konsep ruang keblat papat lima pancer

yang pada prinsipnya juga berakar pada pemikiran konseptual bahwa dunia terpusat pada

satu poros

Pemahaman waktu juga berakar pada lintas yang bersifat siklus, titik lintasan

waktu tertentu selalu diasumsikan sebagai saat khaos yang sakral yang mampu

menghubungkan daya imanen dengan realitas dan tubuh yang bersifat ragawi. Pola yang

dapat diamati pada ritus sekarang berupa saat matahari terbit, bedug tengange, menjelang

matahari terbenam Surup, atau didasarkan pada siklus bulan purnama. Waktu tersebut

menjadi bagian penting dalam berbagai aktivitas ritual.

Dari pola ruang keblat papat lima pancer kemudian muncul varian-varian ruang

mistis lain yang sejenis yaitu, (1) rakit Pajupat , (2) rakit gawang pasangan. Kedua pola

merupakan pola simetris yang didasari oleh konsep tubuh ruang kosmos yang disebut

t

a

Page 5: tari Agraris;seminartari;isisolo/RDP

5

dengan jagad cilik. Dasar pemikiran yang melandasi konsep ruang ini adalah tentang

ruang tubuh Batak, Gulu, Dhadha, dan boncit. Istilah batak, gulu, dhadha, dan

boncit/buntil merupakan simbol jagad cilik yang berkaitan erat dengan daya hidup

manusia. Dalam ruang tubuh manusia diyakini ada empat titik yang menjadi pusat

kekuatan/daya hidup manusia.

Pola simbolis ini juga dapat diamati pada garap ruang tari bedaya yang mencoba

membangun hubungan antara jagad cilik (tubuh) dengan jagad gedhe (alam).

Terminologi peran dan posisi penari terkait secara kompleks dengan astronomi, horoskop

dan terbangunnya shakti/pradnya (keluhuran atau kemakmuran?)2. Sudah barang tetntu

ini sangat terkait dengan budaya agraris yang sinkrist (antara Hindu Buda dan Islam).

Konsep dewa raja yang sekaligus raja sebagai kalifatullah panatagama menuntun pada

gagasan tentang kemakmuran dan kelestarian seluruh negeri.

Dalam tradisi kerakyatan/masyarakat agraris gagasan kosmos terikat dengan

daya-daya illahiah yang menggendalikan alam, dhanyang, leluhur, kesuburan tanah,

melimpahnya wulu wetu (hasil bumi), pembebasan hama, keamanan dan keselamatan

desa. Kosmologi tari menjadi rangkaian struktur yang mendasar. Mitos asal muasal desa,

mitos dhanyang, tari, dan religiositas masyarakat. Tradisi tayuban terkait dengan ritual

mangan, sedhekah bumi, penghormatan kepada leluhur, ungkapan rasa syukur kepada

Tuhan panen dan keselamatan.

Kosmis tradisi tayuban terikat secara hakiki dengan pundhen, intregitas dan

religositas masyarakat, dan pemeliharaan kelestarian alam. Mata air (sendhang, sumur,

telaga, belik), pundhen, makam desa menjadi situs suci yang berkaitan erat dengan

pengendalian kemakmuran dan kesejateraan warga desa. Tradisi tayuban, manganan,

nyekar terpusat pada situs suci tersebut. Pada beberapa desa dipedalaman situs itu

memiliki tata letak yang sama atau memiliki kemiripan.

2 Dalam penuturan tradisi tari keraton bedaya dipersepsikan sebagai symbol kesuburan, keluhuran,

kekuasaan raja atas tri bawana (darat, laut, langit).simbol ini dikuatkan dengan mitos kanjeng ratu kidul,

sunan kalijaga, juru mertani sebagai penyelaran jagad alus dan jagad wadhag. perkawinan panembahan

senapa dan raja-raja mataram dengan kanjeng ratu kidul mejadi legitimasi yang kokoh dalam tradisi

keraton.

Page 6: tari Agraris;seminartari;isisolo/RDP

6

Gambar 1. tata letak punden, makam desa, telaga mata air,

: pohon : Pundhen : makam desa : mata air/telaga

: tempat padusan/pemadian : tempat pertunjukan tari Tayub

: Pundhen : Telaga/belik : Pohon

: tempat tayuban : Kuburan desa

Hal tersebut di atas sangat terkait dengan Istilah sedhekah bumi, bersih desa,

merti desa, ruwat desa. Nilai dan semangat yang tercermin dari istilah tersebut adalah

harapan kesuburan, tentang kemakmuran, dan keselamatan. Ritual diawali dengan

slametan dan kirim doa kepada leluhur, ngebur sendhang, menyapa kepada cikal bakal

desa (dhanyang) atau sing mbaureksa, dengan acara manganan (makan dan minum,

kemudian menari/nayub). Tradisi tayuban dalam ritual mencerminkan keutuhan kosmis,

manusia, alam, dan daya-daya illahiah yang mengendalikan manusia maupun alam.

Spirit menghormati leluhur desa, sing mbau reksa, sing babat alas, dhayang cikal

bakal merupakan hajat kebudayaan masyarakat untuk membangun hubungan vertikal

antara manusia, leluhur, dan sang pencipta. Kerangka berpikir yang dibangun oleh

budaya agraris mengasumsikan bahwa nenek moyang/dhahyang/cikal bakal/sing babat

Page 7: tari Agraris;seminartari;isisolo/RDP

7

alas memiliki jasa yang besar karena telah membuka hutan menjadi desa, sawah, tegal

sehingga anak cucu/generasi sekarang menikmati kesuburan dan kemakmuran.

Para leluhur tersebut diyakini sangat dekat dengan sang pencipta (Gusti Allah) tetap memberikan pengayoman kepada anak cucu, desa, dan alam sekitarnya. Dhanyang,

sing mbau reksa desa dianggap sebagai mediator antara masyarakat dengan Gusti Allah.

Ungkapan rasa syukur atas panen ‖wulu wetu3‖ yang diwujudkan dengan manganan

4 dan

tayuban merupakan refleksi religiusitas masyarakat. Hubungan relevansi yang kompleks

antara manusia lingkungan, kebudayaan dan agama.

Keselarasan dan keseimbangan hubungan antara masyarakat, lingkungan alam,

dan sang pencipta diatur dan dipandu oleh kebudayaan dan agama. Tradisi tayuban

dalam konteks sedekah bumi/manganan merupakan media interaksi yang bersifat sakral

antara masyarakat dengan roh leluhur, Dhanyang, dan sang pencipta. Menari merupakan

kewajiban memenuhi hajat ritual yang bersifat sakral. Seluruh masyarakat menyerahkan

sebagian dari hasil panennya5 untuk menyelenggarakan hajat ritual tayuban.

Sisi lain tradisi tayuban merupakan aktivitas sosial yang dilandasi oleh spirit

guyub rukun. Spirit ini menjadi landasan mendasar terbangunnya interaksi dan integrasi

masyarakat dalam bermasyarakat. Asas guyub rukun secara mendasar tersirat pada istilah

tayub, ‖ditata ben guyub‖, asas ini terrefleksikan pada aktivitas estetik tari. Struktur

gerak tarian tayub yang dilakukan oleh penari lebih menggambarkan rasa kebersamaan,

keselarasan. Kesetangkupan gerakan yang dilakukan secara serempak memiliki makna

significant bagi pengendalian ruang gerak, irama, serta ekspresi komunalnya.Menari

dalam konteks ritual ini merupakan kewajiban sosial untuk menjaga integritas.

Tayuban, Tandhak, Tuwak: Kesadaran Ritual dan Tanggung Jawab

Sosial

Tradisi tayuban pada prinsipnya memiliki perspektif ganda yaitu sebagai aktivitas

estetik dan aktivitas sosial. Estetika tradisi tayuban meluluhkan unsur religiusitas ke

dalam aktivitas estetik dan sosial dalam sebuah peristiwa seni. Dalam konteks yang

demikian masyarakat dituntun oleh ruang budaya untuk memahami dirinya sebagai

individu yang religius, dan diri sebagai bagian dari masyarakat dan lingkungannya.

Tayub, tandhak, dan tuwak merupakan istilah yang significant dalam tradisi tayuban.

Tayub dan tayuban dipahami sebagai sarana sosial untuk membangun integrasi

dan keutuhan masyarakat dan lingkungannya. Sturuktur gerak tayuban memberikan

gambaran inspiratif tentang penataan lingkungan hidup manusia, ruang kosmis--jagad

3 Hasil bumi.

4 Manganan dalam tradisi masyarakat jawa tidak hanya melekat pada konteks sedekah bumi, tetapi juga

pada peristiwa budaya terkait dengan religi. Manganan juga dilakukan dalam rangka ngluwari ujar, kaul,

yang secara significan merupakan rasa syukur yang diwujudkan dengan acara berdoa (kirim donga) untuk

leluhur yang disertai acara makan bersama. 5 Dari setiap rumah penduduk membawa makanan ke punden untuk menyelenggarakan hajat. Di janten,

ngino (Tuban), dan sekitarnya penduduk membawa nasi, lauk pauk, buah, tuak, dan makanan ringan.

Page 8: tari Agraris;seminartari;isisolo/RDP

8

cilik dan jagad gedhe—dengan konsep ruang gerak ajon-ajon, tayungan6. Tayungan,

ajon-ajon, simpangan/jeblos dan papasan lebih memberikan gambaran pemahaman ruang

ego yang selalu menjaga keselarasan dengan menghidari benturan. Penari dituntun selalu

menjaga lintasan gerak untuk tidak salaing bertabrakan tetapi selalu berhadapan, dan

berpapasan.

Dalam tradisi tayuban dapat menari menjadi kewajiban sosial untuk menjaga

integritas dirinya ditengah masyarakat. Peristiwa tradisi tayuban yang melekat pada

tradisi manganan sedekah bumi di Tuban memberikan gambaran yang sangat nyata

bahwa setiap anggota masyarakat mengambil partisipasi aktif dalam tradisi besar ini.

Makanan, minuman dan uang diperuntukkan bagi penyelenggaraan hajat tradisi tayuban.

Setiap orang memiliki tanggung jawab sosial dengan menyatakan diri sebagai penayub.

Hajat tayuban tidak hanya dihadiri oleh warga dusun saja tetapi juga dusun-dusun

sekitarnya berdatangan dalam tradisi tayuban. Mereka duduk dijamu dengan makanan,

tuwak, dan mereka dipersilahkan menari. Setelah menikmati jamuan makan dan minum

setiap tamu mendapat giliran menari dengan ditandai pemberian sampur. Mereka telah

menyiapkan sejumlah uang dalam amplop kertas yang nantinya dimasukan pada nampan

atau tempat telah disediakan oleh panitia.

Ditata cik ben guyub memberikan kemerdekaan ego untuk menyatakan

eksistensinya terhadap masyarakat dan ruang kosmisnya dengan tatanan garis lurus

sejajar. Setiap ego memiliki ruang gerak yang sepadan dengan ruang anatomi tubuhnya

(jagad cilik) kemudian secara merdeka merespon ruang makro (jagad gedhe) yang

melingkupinya7. Dalam setiap gedog penayub akan membangun ruang geraknya sesuai

dengan jajaran penayub lainnya. Lintasan gerak tungkai, lengan dan pandangan mata

lebih bersifat konsentris kedalam larasan irama gerak dan gendhingnya.

Mengendalikan gerakan tubuh berdasarkan irama dan laras gendhing merupakan

kenikmatan kinetik bagi para penayub. Para penari khusuk menikmati gerakan dan irama

gendhing yang dilantunkan oleh sindhir/sindhen. Dalam perhelatan ini sindhir lebih

berperan sebagai pelantun gendhing dan lagu-lagu tayuban. Pramugari mengantur tata

cara gedog sesuai dengan tradisi masyarakat. Nilai guyub rukun luluh dalam estetika

komunal, dampak sosial dari perilaku guyub dan rukun pada perhelatan tradisi tayuban

menjadikan suasana regeng dan marem. Konsep lingkungan ayem tentrem terwujud dari

pengendalian masing-masing ego dalam mengendalikan ruang gerak dan emosi-emosi

geraknya melalui larasan gendhing.

Tandhak, Lengger, Ledhek, dan Sindhir8 merupakan peran yang sangat diidealkan

dalam tradisi tayuban. Wanita yang ‖ayu solah bawane endah suarane9‖ menjadi orentasi

6 Gerakan tari lumaksana dengan sikap saling berhadapan kemudian saling berpapasan (jeblos). Lintasan

gerak ini menjadi struktur dasar bagi para penayub. 7 Pada sajian tradisi tayuban di Njanten, Ngino, tegal agung, serut kabupaten Tuban setiap gedog berdiri

berjajar 25 pasang sampai dengan 40 pasang penayub.mereka menari dengan khuusk tanpa ada gangguna

terhadap ruang gerak ego, tidak seperti yang diinformasikan terjadi kerusuhan karena minuman atau

ketersinggungan. 8Tandhak, Lengger, Ledhek, dan Sindhi juga disebut dengan istilah joged. Dalam persepsi maasyarakat

istilah ini mengnacu pada aksistensi gerak dan solah ditenggah perhelatan. 9 Kencatikan kemolekan tubuh daya pikat suara menjadi bagian simbol kesuburan, rangsang kejiwaan yang

berindikasi pada tumbuhnya semangat hidup. Hal ini dapat diamati pada berbagai tingkatan ungkapan dari

Page 9: tari Agraris;seminartari;isisolo/RDP

9

simbolis tentang spirit dan tujuan hidup, terungkap dari tuturan lisan pendhemen tradisi

tayuban, ‖sing ayu......suarane nggemesi.....semangat......mergawene mesthi tenanan‖.

Kalangan pendhemen tradisi tayuban memiliki cita rasa dan harapan pada figur sindhir

tandhak lengger dan ledhek, daya tarik yang dimiliki diharapkan mampu memberikan

tumbuhnya spirit hidup bagi khalayak.

Dari sisi subyektif sindhir, tandhak, ledhek, lengger spirit untuk mengabdikan

hidup pada statusnya sebagai joged dilandasi falsasfah yang sangat kuno. Tandhak harus

menekan dan meniadakan ego, diinya adalah miliki alam dan masyarakat yang

membutuhkan kehadirannya. Nandhak berarti meniadakan dirinya, setara dengan istilah

mataya 10

. Spirit tariani semacam ini juga luluh dalam jiwa masyarakat agraris, para

penayub, pendhemen tayub yang nandhak juga meniadakan dirinya untuk lebur dalam

gerakan tubuhnya, irama gendhing. Pencapaian ekstase tiap ego mengarah pada

pengosongan diri dari nafsu dan kehendak.

Spirit tariani ini juga terkait pandangan filosofis terhadap legen, tuwak, dan arak

yang secara umum tak terpisahkan. Jenis minuman ini memiliki hubungan filosofis dalam

pengendalian diri dan gerakan tubuh dalam menari. Legen dan tuwak merupakan

minuman yang dihasilkan oleh pohon siwalan/tal menjadi simbol kelelakian. minum

tuwak maupun legen menjadi tradisi bagi kaum lelaki dengan spirit nata awak agar

tampak manis. Towak dari kata nata awak sedangkan legen berakar pada kata legi lan

genah11

ungkapan ini merupakan refleksi dari spirit untuk mencapai kemapanan tubuh

ego pada ruang kosmis. Setiap penari memiliki orentasi mendalam tentang ruang dan

waktu. Tubuh sebagai jagad cilik dan ruang diluar tubuh sdebagai jagad gedhe. Tiap ego

menjadi diri yang (sebagai ruang kosmis) terorentasikan dengan ruang dan waktu.

Dalam konteks tradisi tayuban nata awak dengan tuwak dalam merespon ruang

kosmis gerak dan perilaku menari dalam tayuban. Arak diminum sebagai media ngarak

sigrake awak—menggiring tubuh ego pada kekosongan--menuju pada keilahian Sang

Pencipta12

. Sudah barang tentu ini berbeda dengan fakta harfiahnya. Namun tradisi

tayuban menjadi sangat interpersonal karena setiap subyek ego memiliki pemaknaan

mendalam tentang gerakan dan perilaku tubuh, minuman menjadi bagian penting dalam

menumbuhkan gairah dan rangsang psikologis.

yang paling harifiah maupun yang sangat simbolis. Munculnya celotehan seronok (outlet?) wah bokong

semog.....wihhh sangune....mberah sambil melirik payudara bahkan sampai pada ungkapan.......wah jan

kemelon....dll yang sering dijumpai pada perhelatan tradisi tayuban. 10

Mataya menurut A M Munardi memiliki arti menjadi taya /menjadi tan ana; menjadi samar, kosong,

dan hampa dekat sekali dengan makna tandhak yang artinya tan ana. Istilah tandhak, taya, dan mataya

erat sekali dengnan konsep beksa yang berakar pada pemikiran tentang suwung nanging kebak,10

mengadung makna dalam menari harus menghilangkan rasa emosi yang bersifat (subyektif/keakuan)

pribadi mencapai kasatuan cipta, rasa, lan karsa dikosentrasikan pada satu kehendak yang esa menyatu

dengan sifat ke Esaan (1994:5) 11

Masyarakat menolak bwaha tuwak/towak itu memabukan dan menjadikan oramng lupa diri. Ungkapan

setra, ‖alah...... sedaya nek mboten ditaker nggih dados sesuker...mendemi...mboten sah tuwak.....tembung

manis lamis rak malah langkung mendemi.... sedaya kedahe nggih ngangge aturan sing sae sing genah. 12

Pandangan filosofis ini mengingatkan saya pada tantrisme Hindu kuno yang menggunakan ritual tariani

dan minuman untuk melepaskan dii dari eksistensi material menuju pada keesaan. Sekte bairawa, memiliki

ritual dengan gerak dan minuman untuk mencapai esktase

Page 10: tari Agraris;seminartari;isisolo/RDP

10

Hubungan makna antar komponen tradisi tayuban menjadi sangat kompleks.

Bahasa tubuh penari merupakan sensansi reflektif gairah hidup yang memiliki dampak

kejiwaan bagi setiap pelakunya. Suara indah dari sindhir, irama permainan gamelan,

tuwak, gerakan tubuh penari merupakan akselerasi estetik yang seringkali bersifat

interpersonal. Setiap ego memiliki kesadaran kognitif atas tubuh dan perilaku estetiknya

sebagai akses membangun kedalaman personal. Menari dalam konteks ini menjadi ritual

bagi ego yang personal untuk mengenali ruang kosmis dirinya baik sebagai ego yang

terikat dalam garis vertikal dengan sang pencipta dan ego yang terikat secara horisontal

dengan lingkungan alam dan masyarakat di sekitarnya.

Hubungan maknawi antara tuwak, sindhir, penayub, dan permainan gendhing

dalam tradisi tayuban merupakan fakta surface structure yang didukung oleh aktivitas

simbolik yang menjadi bagian dalam deepstructure yang berkaitan erat dengan aktivitas

masyarakat yang mengandung hajat hidup yang insani dan humani. Dapat digambarkan

sebagai berikut,

Tari, Penari, Daya Illahiah: Irasional Ke Rasional

Motif kosmologi tari yang lain dapat diamati pada tari Ujung dan banthengan

yang tumbuh dan berkembang diwilayah jombang, mojokerto. Tarian ritual minta hujan,

banthengan yang mengisyaratkan kearifan masyarakat untuk menjaga keselamatan desa

dengan bela diri dan tolak bala. Ritual ujung dilaksanakan untuk meminta turunnya

hujan. Masyarakat percaya dengan darah yang mengucur dari penari ujung merupakan

pengorbanan yang dapat mempengaruhi alam, semakin darah mengucur dengan deras

makan hujan akan turun dengan lebat.

Legen,Tuwak, arak

Bahasa tubuh Permainan irama

gendhing

penayub sindhir

Jagad lanang

Ibu pertiiwi Bapa angkasa

Jagad wadon

Petani Tegal sawah Siklus musim cuaca

Dan Hama

Pen

yelarasan

din

amik

a kosm

is

Gemah ripah loh jinawi

Kesuburan Kemakmuran

Page 11: tari Agraris;seminartari;isisolo/RDP

11

Turunnya hujan merupakan simbol kesuburan, darah laki-laki merupakan simbol

kejantanan (keperkasaan) yang nandur labuh labet untuk ibu pertiwi. Tradisi ini berlanjut

dengan tarian banthengan yang menjadi media menolak bala, wabah. Dalam banthengan

ini pula dirakit dengan tradisi pencak. Ada hubungan significant antara laki-laki, ujung,

bumi/desa( ibu Pertiwi), banthengan dan pencak. Dimana laki-laki dipersepsikan dalam

kearifan lokal sebagai pelindung desa agar tetap subur, aman, makmur. Terhadap

hubungan kosmis yang utuh antara laki-laki, desa, kemakmuran, dan keamanan desa.

Fenomena ini melekat pada kondisi geografis yang keras, sehingga tumbuh sistem

nilai yang memberikan peluang bagi laki-laki untuk mengambil peran lebih dominan

dalam masyarakat. Dalam siklus alam, ekologi pedesaan laki-laki memiliki peran religi,

kohesi, serta penentu kebijakan ekologinya. Keutuhan hubungan kosmis laki-laki dengan

kemakmuran desa merupakan siklus yang utuh sebagai wujud ideal.

Tarian ujung, banthengan, pencak dor merupakan refleksi simbolis jagad lanang

(bapa kuasa/angkasa?) yang luluh dengan ibu pertiwi (desa), wulu wetu (hasil Bumi)

sebagai jagad wadon yang harus dirungkebi. Agar tetap subur, lestari, sehingga hasil

panen menjadi jaminan bagi kesejahteraan warga harus dijaga dengan banthengan dan

pencak dor. Ini menggambarkan siklus ruang dan waktu yang terikat secara hakiki

dengan ruang kosmis. Hujan sebagai sumber kehidupan menyuburkan tandur yang harus

dijaga dari gangguan alam (hama, wabah) setelah berbuah dipanen harus dijaga dari

gangguan sosial (pencuri, rampok dll) dengan ketrampilan bela diri. Nampak satu sistem

Keperkasaan, darah,

pengorbanan Ujung

Banthengan

Tolak bala

Pencak dor

keamanan

Hujan

Kesuburan tanah

Panen

makmur

Daya Illahiah

Page 12: tari Agraris;seminartari;isisolo/RDP

12

yang utuh dalam ekologi desa yang agraris yang menunjukan keterikatan secara hakiki

dengan wacana tari sebagai bagian dari sistem ekologi yang utuh.

Kultur pantai yang agraris menumbuhkembangkan tradisi sandhur (Tuban,

Lamongan, sebagian bojonegara) sutu ekspresi yang berbentuk drama tari dan nyanyi.

Perilaku estetik dalam sandur merubagan gugus simbolik budaya agraris tradisional

menyongsong budaya urban. Merefleksikan perubahan kosmis manusia individu sebagai

personal yang menjadi bagian masyarakat komunalnya merespon perubahan alam. Hal

ini dapat diamati pada struktur sajian sandhur maupun tokoh yang dimainkan

didalamnya. Yaitu Petak, Tangsil, Balong, dan Cawik.

No Adegan Misi/refleksi Ket

01 Nyetri sandhur dan Gambuh

Nyetri sandhur, Gambuh

kalangan,Gambuh pedhayangan,

bendrong lugasan, Gambuh

paras, dan Gambuh sesandhuran

Membangun

hubungan

dengan daya

Illahiah, leluhur.

Nyetri dilakukan dari pundhen

satu ke pundhen lain, atau

tempat-tempat yang dianggap

suci keramat

02 Sandur

Tanduk sandhur, golek gaweyan,

bancik endhog, bancik kendhi,

baba alas, waker mantri alas,

ngrakal, nyai-nyaian, icir,

sambang tegal, kaji-kajian dan

cibna dhengklang, undoh-ondoh,

bancik dhengkul, bancik

pundhak, madeg rata, pethak

minggat, manten-mantenan,

besan-besanan, cawik mbobot,

nyolong klapa, bandan

Refleksi siklus

hidup, kebijakan

ekologi

Pethak, cawik, tangsil, dan

balongn. Memainkan berbagai

peran secara variatif. Sesuai

dengan adegan. Setiap

peralihan adegan, pergantuian

peran menggerakan

tubuh,menari dan berdialog

diiringi dengan syair yang

dilagukan oleh Panjak hore.

03 Kalongking/kalongan

Penari memanjat tali yang

dikaitkan pada ujung bambu

yang dipancangnkan

Mencari titik

pencerahan

melalui

renungan suci

Tidak boleh ada lampu blizt,

santer tau yang lain yang

menerangi kalong pada saat

menggelantung dibambu

pancang.

Sandhur memiliki keterbukaan terhadap masalah yang aktual. Hal ini perlu

mendapat catatan khusus karena para pemain adalah cah angon yang masih lugas dan

belum sunat. Meraka menari dan memainkan drama dalam keadaan trance. Hubungan

kosmis antara dunia nyata, daya illahiah, alam dan peristiwa dinamiknya terefleksikan

pada paparan pentas sandhur. Sandhur menjadi zone area transition dunia kasunyatan

dan yang samar. Pada tahun 2002 di Bojonegara pertunjukan sandhur memaparkan,

Page 13: tari Agraris;seminartari;isisolo/RDP

13

klaim tanah oleh investor, kedhuk bumi lenga patra, tanggul bedhah, dan petani yang

menjadi buruh.13

Hal ini mengingatkan kita pada tarian Seblang, Sintren dan Lais. Shamanisme

yang mendasari tarian-tarian ini merupakan usaha manusia untuk menghubungan dirinya

dengan daya-daya illahiah, alam. Tatanan masyarakat agraris memiliki keterikatan

dengan Seblang, Sintren dan Lais sebagai media yang menghubungan dengan kekuatan

diluar dirinya. Manusia sebagai mikrokosmos selalu mencoba membangun integrasi

dalam bentuk keselarasan, harmoni untuk mempertahankan kelestarian hidup, meraih

kemapanan (kesejateraan).

Hakekat dari perilaku tari semacam ini merupakan gambaran yang suci (otentik?)

bagaimana manusia merajut hubungan dengan daya Illahiah, leluhur, dengan kelompok

masyarakatnya, maupun dengan alam yang memangkunya. Tari dalam fenomena ini jelas

memiliki hubungan yang hakiki dalam struktur kehidupan manusia, Tuhan, dan alam.

Penutup Hubungan Maknawi tari manusia, daya illahiah, lingkungan alam merupakan

hubungan hakiki. Masing-masing komponen saling memberikan makna, sistem nilai,

dalam tataran perilaku nyata. Tumbuhnya religiositas, kohesivitas, maupun kebijakan

ekologi (gugus kearifan hidup?). Rangkaian perilaku dalam tari yang merajutkan

13

Ini seperti ramalan tentang pertambangan minyak yang sekarang mulai rintisan yang nyata. Seolah-olah

rasionalitas menjadi tidak terpisahkan dengan perkara yang irasional. Keluguan, kesucian, dan kelugasan

cah angon (mungkin seblang, sintren dan Lais) menjadi bagian penting dalam komunikasi tari.

manusia

Daya-daya illahiah,

Dhanyang, leluhur

Seblang, Sintren, Lais

Pengendalian Dinamika

dan harmoni alam

Pengendalian Dinamika

dan harmoni alam

Laras, Mapan, Lestari

Laras, Mapan,Lestari

Page 14: tari Agraris;seminartari;isisolo/RDP

14

hubungan manusia dengan daya Illahiah, manusia dengan kemasyarakatnya, manusia

dengan lingkungan alam merupakan mitos dan etos yang menuntun manusia menemukan

dirinya sebagai insan yang humani.

Keutuhan kosmos tersirat pada aktivitas tradisi tari, dan slametan yang selalu

terkait dengan komponen alam. Sawah, tegal, pomahan, sendang, kuburan, dan punden,

terkait utuh sebagai sistem yang struktural dalam dimensi kehidupan masyarakat. Sawah

dan tegal merupakan lahan produktif yang selalu diolah sebagai sumber matapencaharian,

pomahan atau omah merupakan tempat tinggal yang memiliki peran sosial sebagai pusat

aktivitas pengelolaan hidup dan hasil jerih payah. Air (sendhang, Air Hujan, belik,

sumur, sungai) yang memberikan jaminan kesuburan tanaman dan kesejahteraan hidup

masyarakat desa. Kuburan dan punden merupakan ikon dari adanya hubungan kosmis

antara yang hidup dan yang telah mati, antara titah14

dan Sang Pencipta.

Semoga tari tetap menjadi wahana integrasi yang utuh antara titah, daya illahiah,

manusia dengan masyarakat dan lingkungan alam yang memangkunya. Dengan demikian

masih selalu ada harapan bagi kita dan generasi mendatang untuk membangun makna

tari dalam konteks manusia yang insani dan humani.

DAFTAR PUSTAKA

Abdillah S, Ubaid. 2002. Politik Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa

Identitas. Magelang: Indonesiatera

Ahimsa Putra, Heddy Shri. 2000. Ketika Orang Jawa Nyeni. Yogyakarta: Galang Press

-----------------, 2001 Strukturalisme Levi strauss: Mitos dan karya sastra. Yogyakarta:

Galang Press

Bakker, Anton. 2000 Antropologi Metafisik.. Yogyakarta: Yayasan Kanisius

Bouvier, Helene. 2002 . Lebur: Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura (

terjemahan Rahayu S. Hidayat, Jean Ceuteau) Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.

Brandon, James. R 1989. Theatre in Southeast Asia. (Alih Bahasa Soedarsono)

Yogyakarta: ISI.

Budisantosa. 1992. ―Man and Culture‖, dalam Seni dan Globalisasi Budaya. Yogyakarta:

ISI Yogyakarta

Budhisantosa. 1981 ‖kesenian dan nilai-Nilai Budaya‖ dalam Analisis Kebudayaan. Th

II 2 Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI.

Damami, Muhammad. 2002. Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa. Yogyakarta:

LESFI

Dinas P dan K Provinsi Jawa Timur. 1996/1997. Ensiklopedi Seni Tari dan Seni Musik

Daerah Jawa Timur. Surabaya: Dinas P Dan K Provinsi Jawa Timur.

Dillistone, F.W. 2002. The Power Of Symbols. Yogyakarta: yayasan Kanisius

Djelantik, A.A. AM. 1999 ―Seni Pertunjukan, Ritual dan Politik‖, Gelar Jurnal Ilmiah

dan Seni STSI Surakarta, Vol. 2, No.I, Oktober 1999, hlm. 9-19.

14

Makhluk yang diciptakan hidup.

Page 15: tari Agraris;seminartari;isisolo/RDP

15

Feldman. 1967. Art as image and idea. Terjemahan Gustami. New Jersey the university

of Georgia: Prencice Hall, Inc.

Geertz, Clifford. 1981. The Religion of Java. Diterjemahkan oleh Aswab Mahasin.

Jakarta: Pustaka Jaya.

Hauser, Arnold. 1978. The Sosciology of Art. Chicago: The University of Chicago Press

Iqbal Khan, Asif. 2002. Agama, Filsafat, Seni, dalam Pemikiran Iqbal. Yogyakarta: Fajar

Pustaka Baru.

Kusmayati, A.M, Hermien. 1999. ―Seni Pertunjukan Upacara di Pulau Madura‖,

Disertasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

-----------------, 2000. Arak-arakan Seni Pertunjukan dalam Upacara Tradisional di

Madura. Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia dan Lembaga Penelitian Institut

Seni Indonesia Yogyakarta.

Lindsay, Jennifer. 1995a. ―Cultural Policy and the Performing Arts in South East Asia‖,

in Bijdragen Tot de Taal, Land – en Volkenkonde, 151, 4e. p. 656 – 671.

----------------, 1995b. Klasik, Kitsch,Kontemporer: Studi Kasus Seni Pertunjukan Jawa .

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Munardi, AM. 1975. Drama Tari Topeng Jabung. Surabaya: Konservatori Karawitan

Indonesia di Surabaya.

-------------, 1991. Seblang dan Gandrung: Dua Bentuk Tari Tradisional di

Banyuwangi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Paul Sartre, Jean.1989. Pengantar Teori Emosi, Yogyakarta: Jendela.

Pigeaud. 1938. Javanese Volkstorningen: Bijdrage Tot De Beschrijving Van Land En

Volk. Alih bahasa K.R.T. Muhammad Husodo Pringgokusumo. Yogyakarta:

Volkslectuur Batavia.

Poerwanto, Hari. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antroplogi.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Peacock, James L. 1968. Rites of Modernization: Symbolic and Social Aspects of

Indonesian Proletarian Drama. Chicago & London: The University of Chica- go

Press.

Purwawijoyo. 1971. Reyog Ponorogo. Ponorogo: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan Kabupaten Ponorogo.

Royce, Anja Peterson. 1981. The Anthropology of Dance. Bloomington, London: Indiana

University Press

Rustopo. 1999. ―Ritual Baru : Pertunjukan Ritual yang di Politisasi‖ dalam Gelar Jurnal

Ilmiah dan Seni STSI Surakarta, Vol. 2, No.1, Oktober 1999, hlm. 33-41

Sairin, Sjafri. 200. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia: Perspektif Antropologi,

Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI), Yogyakarta.

Sakti, Tri. 2002. ―Eksistensi Kethoprak Siswa Budaya sebagai Seni Pertunjukan di Jawa:

Tinjauan Struktur Dramatik dan Fungsi Sosial‖, Tesis Universitas Udayana,

Denpasar.

Scovers, B. Van Helsdingen. 1923. Surat Bedaya Srimpi. Weltervrieden.

Sedyawati, Edi. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan.

Page 16: tari Agraris;seminartari;isisolo/RDP

16

-----------------, 1998. ―Kepekaan Seni Untuk Semuanya‖, Gelar Jurnal Ilmiah Seni STSI

Surakarta, No. 1, Th. 1998, hlm. 19-25

Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana

Soedarsono. 1985. Peranan Seni Budaya Dalam Sejarah Kehidupan Manusia

Kontinuitas Dan Perubahannya. UGM: Yogyakarta.

Sudiarja, 1982. ―Manusia dalam Dimensi Simbol‖ dalam Manusia Multidimensional

Jakarta:Gramedia

Sudikan, Setya Yuwana. 1998. ―Seni Pertunjukan Rakyat: Problematik, Tantangan dan

Harapan dalam Era Globalisasi‖, Makalah Festival Seni Pertunjukan Rakyat 25

Maret 1995.

------------, 1998 ―Seni Pertunjukan Tradisional: Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa

Depan,‖ Makalah Seminar Seni Pertunjukan, November 1998.

------------, 2000. Metode Penelitian Kebudayaan. Surabaya: Citra Wacana

------------, 2000. Pergelaran Wayang Krucil Di Desa Jenjang, Kecamatan Jiken,

Kabupaten Blora Era 1990-an, Kajian Hegemoni Negara di Tingkat Lokal Melalui

Kesenian Rakyat. Disertasi, Pascasarjana Unifersitas Airlangga. Surabaya.

------------, 2003. ―Kearifan Lokal Sebagai Pendorong Pembangunan Masyarakat Di Jawa

Timur‖, Makalah Seminar Pendekatan Kebudayaan Dalam Pembangunan Propinsi

Jawa Timur. 8-9 Juli 2003

Sularta, B. 1979. Topeng Madura (Topong). Jakarta: Proyek Pengembangan Media

Kebudayaan, Ditjen. Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sumardjan, Selo. 1981. ―Kesenian dalam Perubahan Kebudayaan‖, dalam Analisis

Kebudayaan, Th. I, No. 2, 1980/1981

Suseno, Magnis Franz. 1992. Filsafat Kebudayaan Politik : Butir-Butir Pemikiran Kritis.

Jakarta: Gramedia.

Supriyanto, Henri. 1997. Drama Tari: Wayang Topeng Malang. Malang: Padhepok- an

Seni Mangun Dharma Tumpang.

Suyono, Bambang dan Djoko Prakosa, dkk. 2000. Wacana Tari Surabaya I. Surabaya:

Dewan Kesenian Jawa Timur.

Tasman, A. 1997. ―Tinjauan Estetik Tari Srimpi Lima: Sebuah Pendekatan Analisis

Koreografi‖. Lapoan Penelitian STSI Surakarta.

Timoer, Soenarto. 1979. Reog Di Jawa Timur. Jakarta: Proyek Sasana Budaya Dirjen

Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Widodo, Amrih. 1995. ―The Stages of the State: Arts of the People and Rites of

Hegemonization‖, in Review of Indonesian and Malayan Affairs, Volume 29, 122

Winter/ Summer, p. 1-16.