6
Edisi: April/Thn. III/2013 Ongkos Cetak: Rp. 600,- *Hentikan Pembangunan Bendungan Jatigede, selesaikan terlebih dahulu konflik agraria Pembangunan Bendungan Jatigede! Semua permasalahan konflik agraria di Indonesia adalah tanggungjawab negara, termasuk penyelesaian konflik agraria pembangunan bendungan Jatigede yang sampai sekarang rakyat Korban pembangunan BendunganJatigede masih disengsarakan atas perampasan alat-alat produksi yaitu tanah milik yang merupakan warisan termasuk benda-benda di atasnya. Alat produksi berupa tanah milik kaum tani di wilayah bakal genangan bendunganJatigede merupakan sumber utama bagi kelangsungan hidup untukkesejahteraannya. Dengan demikian, sebagai konsekuensi logis jika Pemerintah memaksakan pembangunan Bendungan Jatigede, pemerintah sekarang harus terlebih dahulu menyelasiakan: Menyelesaikan sengketa agraria atas tanah yang belum tuntas proses ganti untungnya seperti terlewat murni, kekurangan luasan, salah klasifikasi, salah penerima hak, tanah terisolir dan tanah rawan bencana. (kasus pembebasan tanah/lahan tahun 1982, 1984, 1986) yang menggunakan regulasi Permendagri No. 15 Tahun 1975 yang meliputi 13 desa. Penyelesaian pembebasan tanah tahun 1995-1997. Penyelesaian pembebasan tanah tahun 2002-2005 yang meliputi Desa Cibogo, Desa Tarunajaya. Satuan Kerja NVT Pembangunan Bendungan Jatigede dan Panitia Pembebasan Tanah (P2T) Kabupaten Sumedang harus segera melakukan langkah-langkah kongkrit, cermat, akurat, sistematis, dan tidak diskriminatif dalam menyikapi masalah pembebasan tanah sesuai dengan peraturan yang berpihak pada rakyat korban konflik agraria. Pembebasan tanah secara keseluruhan harus dituntaskan sesuai dengan UUPA No. 5 Tahun 1960 dan UU No. 20 Tahun 1961 dan regulasi-regulasi di bawahnya harus sesuai, apabila bertentangan maka harus dikembalikan pada UUPA No. 5 Tahun 1960 dan UU No. 20 Tahun 1961. Pembebasan tanah secara keseluruhan harus dituntaskan sesuai dengan UUPA No. 5 Tahun 1960 dan UU No. 20 Tahun 1961 dan regulasi-regulasi di bawahnya harus sesuai, apabila bertentangan maka harus dikembalikan pada UUPA No. 5 Tahun 1960 dan UU No. 20 Tahun 1961. Lebih lanjut memperhatikan relokasi penduduk yang telah diterapkan di wilayah bakal genangan bendungan Jatigede mengacu kepada Lampiran Presiden No. 9 Tahun 1973, tentang Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda di atasnya, Pasal 6 ayat (2) berbunyi : Rencana penampungan orang-orang yang hak atas tanahnya dicabut oleh yang berkepentingan harus diusahakan sedemikian rupa agar mereka yang dipindahkan itu tetap menjalankan kegiatan usahanya mencari nafkah kehidupan yang layak seperti semula."" Peraturan Menteri Dalam Negeri N0. 15 Tahun 1975, tentang Ketentuan- ketentuan Mengenai Tatacara Pembebasan Tanah dalam Bab V tentang Lain-lainnya pasal 13 ayat (1) berbunyi: "Apabila pembebasan tanah oleh yang berkepentingan dengan meliputi area yang luas dalam mana pembebasan tanah tersebut mengakibatkan pemukiman penduduk maka pemberian ijin pembebasan tanah disertai pula kewajiban bagi pihak yang memerlukan tanah untuk menyediakan tempat penampungan pemukiman baru. Ayat (2), kewajiban untuk menyediakan tempat penampungan dalam rangka pembebasan tanah tersebut dalam

surat kabar Reforma Agraria. Edisi April Thn. III 2013

Embed Size (px)

DESCRIPTION

surat kabar Reforma Agraria. Edisi April Thn. III 2013

Citation preview

Page 1: surat kabar Reforma Agraria. Edisi April Thn. III 2013

Edisi: April/Thn. III/2013 Ongkos Cetak: Rp. 600,-

*Hentikan Pembangunan Bendungan Jatigede, selesaikan terlebih

dahulu konflik agraria Pembangunan Bendungan Jatigede!

Semua permasalahan konflik agraria di Indonesia adalah tanggungjawab negara, termasuk penyelesaian konflik agraria pembangunan bendungan Jatigede yang sampai sekarang rakyat Korban pembangunan BendunganJatigede masih disengsarakan atas perampasan alat-alat produksi yaitu tanah milik yang merupakan warisan termasuk benda-benda di atasnya. Alat produksi berupa tanah milik kaum tani di wilayah bakal genangan bendunganJatigede merupakan sumber utama bagi kelangsungan hidup untukkesejahteraannya. Dengan demikian, sebagai konsekuensi logis jika Pemerintah memaksakan pembangunan Bendungan Jatigede, pemerintah sekarang harus terlebih dahulu menyelasiakan:

Menyelesaikan sengketa agraria atas tanah yang belum tuntas proses ganti untungnya seperti

terlewat murni, kekurangan luasan, salah klasifikasi, salah penerima hak, tanah terisolir dan tanah rawan bencana. (kasus pembebasan tanah/lahan tahun 1982, 1984, 1986) yang menggunakan regulasi Permendagri No. 15 Tahun 1975 yang meliputi 13 desa.

Penyelesaian pembebasan tanah tahun 1995-1997. Penyelesaian pembebasan tanah tahun 2002-2005 yang meliputi

Desa Cibogo, Desa Tarunajaya. Satuan Kerja NVT Pembangunan Bendungan Jatigede dan Panitia

Pembebasan Tanah (P2T) Kabupaten Sumedang harus segera melakukan langkah-langkah kongkrit, cermat, akurat, sistematis, dan tidak diskriminatif dalam menyikapi masalah pembebasan tanah sesuai dengan peraturan yang berpihak pada rakyat korban konflik agraria.

Pembebasan tanah secara keseluruhan harus dituntaskan sesuai dengan UUPA No. 5 Tahun 1960 dan UU No. 20 Tahun 1961 dan regulasi-regulasi di bawahnya harus sesuai, apabila bertentangan maka harus dikembalikan pada UUPA No. 5 Tahun 1960 dan UU No. 20 Tahun 1961.

Pembebasan tanah secara keseluruhan harus dituntaskan sesuai dengan UUPA No. 5 Tahun 1960 dan UU No. 20 Tahun 1961 dan regulasi-regulasi di bawahnya harus sesuai, apabila bertentangan maka harus dikembalikan pada UUPA No. 5 Tahun 1960 dan UU No. 20 Tahun 1961. Lebih lanjut memperhatikan relokasi penduduk yang telah diterapkan di wilayah bakal genangan bendungan Jatigede mengacu kepada Lampiran Presiden No. 9 Tahun 1973, tentang Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda di atasnya, Pasal 6 ayat (2) berbunyi : Rencana penampungan orang-orang yang hak atas tanahnya dicabut oleh yang berkepentingan harus diusahakan sedemikian rupa agar mereka yang dipindahkan itu tetap menjalankan kegiatan usahanya mencari nafkah kehidupan yang layak seperti semula."" Peraturan Menteri Dalam Negeri N0. 15 Tahun 1975, tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Tatacara Pembebasan Tanah dalam Bab V tentang Lain-lainnya pasal 13 ayat (1) berbunyi: "Apabila pembebasan tanah oleh yang berkepentingan dengan meliputi area yang luas dalam mana pembebasan tanah tersebut mengakibatkan pemukiman penduduk maka pemberian ijin pembebasan tanah disertai pula kewajiban bagi pihak yang memerlukan tanah untuk menyediakan tempat penampungan pemukiman baru. Ayat (2), kewajiban untuk menyediakan tempat penampungan dalam rangka pembebasan tanah tersebut dalam

Page 2: surat kabar Reforma Agraria. Edisi April Thn. III 2013

ayat (1), di atas merupakan keharusan disamping kewajiban pembayaran ganti rugi sebagai dimaksud dalam pasal 6 ayat (3), bagi mereka yang terkena ketentuan tersebut dalam ayat (1) di atas mempunyai minat untuk dipindahkan berikut biaya-biayanya yang diperlukan, untuk itu diatur dan ditetapkan lebih lanjut oleh Bupati/Walikotomadya/Kepala Daerah yang bersangkutan." Penyelesaian Konflik Agraria Pembangunan Bendungan Jatigede merupakan tanggungjawab Pemerintah, termasuk pemukiman kembali penduduk korban waduk Jatigede. Jumlah Rakyat Korban Waduk Jatigede yang masih berdomisili di areal bakal genangan sebanyak 8.485 KK atau 26.010 jiwa. Arah minat perpindahan Penduduk Rakyat Korban Waduk jatigede melalui opsi resettlement 80% sebanyak 6.677 KK, Swakarsa Mandiri 13% sebanyakt 1.103 KK, dan transmigrasi 7% sebanyak 595 KK. Pemerintah harus memperhatikan:

Legal aspek kelayakan tanah harus jelas dan tegas. Sesuai dengan arah minat rakyat korban pembangunan

bendungan Jatigede. Penduduk asli di sekitar pemukiman menerima kehadiran rakyat

korban pembangunan bendungan Jatigede. Terdapat sumber mata pencaharian yang syarat diberdayakan sesuai

dengan kualifikasi keahlian atau profesi rakyat korbanbendungan Jatigede yaitu petani.

Penyediaan lahan garapan seperti persawahan yang layak bagi petani korban pembangunan bendungan Jatigede.

Pemukiman relatif strategis untuk memudahkan mobilisasi dan kumunikasi dengan dunia luar.

Adanya kesamaan kultur sosial kemasyarakatan dengan daerah asal. Daya dukung lingkungan memungkinkan untuk mengembangkan pola

usaha masyarakat lebih lanjut. Akses modal dan teknologi bagi peningkatan pertanian kolektif yang

produktif. Menjadi mendesak dan pentingnya menyelesaikan

persoalan konflikagraria Bendungan Jatigede demi keadilan seluruh rakyat korban konflik agraria Bendungan Jatigede, kami menyatakan dengan tegas:

Menolak penggenangan sebelum konflik agraria pembangunan bendungan Jatigede selesai. Apabila perintah memaksakan kehendak, seluruh rakyat korban pembangunan bendunganJatigede akan melawan sampai titik darah penghabisan.

Menolak kesimpulan hasil verifikasi dan validasi penduduk terkaitpembebasan dengan Permendagri No 15 Tahun 1975.

Menolak fasilitas rumah tipe 36 di atas lahan 400 m2 untuk relokasi, karena tidak layak dan sangatlah naif rumah tempat berlindung dan beraktifitas disamakan dengan kandang sapi atau istal kuda;

Menolak relokasi situs makam Cipeueut Prabu Guru Adji Putih, tetapi harus diselamatkan dengan cara-cara teknologi;

Menolak tindakan diskriminatif penyelesaian konflik agraria pembangunan bendungan Jatigede.

Menolak semua regulasi yang telah diterapkan sejak tahun 1982 sampai sekarang dalam proses ganti-rugi dan relokasi, karena bertentangan dengan amanat UUPA No. 5 Tahun 1960 dan UU No. 20 Tahun 1961.

Demi keadilan sosial yang seadil-adilnya, Atas Nama Rakyat Korban Waduk jatigede menuntut pemerintah:

1. Apabila pihak pemerintah memaksakan pembanguna BendunganJatigede adalah sebuah kebutuhan mendesak untuk menciptakan kesejahteraan rakyat, maka selesaikan terlebih dahulu konflik agrariannya sesuai dengan UUPA No. 5 Tahun 1960 UU dan UU No. 20 Tahun 1961 sebelum proses rencana pembangunanbendungan Jatigede dilanjutkan!

2. Apabila pihak pemerintah tidak bisa menyelesaikan konflik agraria Waduk Jatigede yang mengacu pada amanat UUPA No. 5 tahun 1960 dan UU No. 20 tahun 1961, hentikan pembanguna Waduk Jatigede sekarang juga!.

3. Menjalankan amanat UUPA No. 5 Tahun 1960 dan UU No. 20 Tahun 1961, yang menyangkut Land Reform dan Akses Reform dalam Menuntaskaskan konflik agraria di wilayah bakal genangan bendungan Jatigede dari tahun 1982 sampai sekarang!

4. Mengkaji ulang studi Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bendungan Jatigede dan atau melakukan pengkajian terhadap Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH)!

5. Melakukan penanganan situs cagar budaya sesuai dengan peraturan yang berlaku!

6. Usut tuntas kasus korupsi, adili dan penjarakan para koruptor serta sita harta koruptor yang terlibat dalam proses penyelesaian konflik agraria pembangunan bendungan Jatigede dari tahun 1982 sampai sekarang untuk subsidi rakyat!

--------- *Oleh: Rudi Brata Manggala, STN-PRM Desa Cipaku

Page 3: surat kabar Reforma Agraria. Edisi April Thn. III 2013

*KONFLIK PETANI DENGAN PERHUTANI (STUDI KASUS DI DESA

GENTENG KECAMATAN SUKASARI KABUPATEN SUMEDANG)

ABSTRAK

Penelitian ini mengenai konflik agraria yang terjadi antara petani dengan

Perhutani di Desa Genteng. Dalam penelitian ini dijelaskan sejarah konflik

dan proses perkembangan konflik serta faktor-faktor penyebab konflik.

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan kehidupan masyarakat Desa

Genteng dan bentuk-bentuk konflik yang ada di Desa Genteng. Metode

penlitian ini adalah studi kasus yang menggunakan pendekatan kualitatif.

Penelitian ini dilakukan selama dua setengah bulan, yaitu mulai dari awal

bulan Oktober sampai pada akhir bulan Desember. Lokasi penelitian

terletak di Desa Genteng Kecamatan Sukasari Kabupaten Sumedang,

Jawa Barat.

Bedasarkan temuan penelitian, konflik yang terjadi diakibatkan oleh

perbedaan kepentingan lahan antara petani Desa Genteng dengan

Perhutani. Petani yang menginginkan lahan Perhutani dikelola, khususnya

pengelolaan secara intensif yang dilatarbelakangi oleh motif ekonomi.

Berbeda dengan Perhutani, mereka ingin menjaga hutan agar tetap lestari

demi generasi yang akan datang. Perhutani juga tidak ingin kerusakan

hutan yang ada di Timur Manglayang semakin rusak parah karena bisa

berdampak pada orang lain, seperti banjir atau erosi tanah. Dalam

masyarakat petani Desa Genteng konflik sudah berlangsung sejak tahun

1982. Konfliknya ada yang berlangsung secara damai dan ada juga yang

berujung pada kerusuhan. Kondisi petani di Desa Genteng kebanyakan

tidak bertanah dan menggunakan alat pertanian yang sangat sederhana.

Para petani yang ada di Desa Genteng menggarap lahan Perhutani hanya

untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Petani berani menggarap lahan

Perhutani tidak terlepas dari peran kelompok tani. Dalam kelompok tani

sering dilakukan diskusi sehingga pengetahuan mereka bertambah

khususnya dalam politik dan hukum. Petani malah menuntut kepada

pemerintah agar landreform dijalankan. Sekarang telah dibentuk

kelompok kecil untuk mencari solusi yang terbaik.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah petani yang ada di Desa Genteng

membutuhkan tanah untuk bertani karena mereka hanya punya

kamampuan bertani untuk menyambung hidup. Perhutani juga tanggung

jawab untuk menjaga hutan agar tetap lestari. Kedua kepentingan ini

menjadikan sebuah konflik antara petani yang ada di Desa Genteng

dengan Perhutani.

Kata kunci : konflik, landreform, kelompok tani, faktor konflik, bentuk

konflik, ekonomi petani.

PENDAHULUAN

Penelitian ini adalah studi kasus sengketa lahan antara petani dan

Perhutani yang ada di Desa Genteng, Kecamatan Sukasari, Kabupaten

Sumedang. Mayoritas mata pencaharian masyarakat Desa Genteng adalah

bertani. Layaknya seorang petani untuk meningkatkan perekonomiannya,

maka tanah sangat dibutuhkan. Begitu juga dengan petani di Desa

Genteng, mereka juga butuh tanah untuk dikelola. Bukan hanya tanah

saja yang mereka butuhkan, modal, teknologi juga mereka butuhkan.

Tanah adalah aset yang paling penting dalam kehidupan masyarakat

karena tanah adalah sumber kehidupan. Dalam negara agraris tanah

merupakan sumber utama dalam berproduksi sehingga di Indonesia

dalam hak kepemilikan, hak guna usaha, hak pakai, hak sewa, hak

membuka tanah, hak memungut hasil hutan dibatasi dalam undang-

undang pokok agraria. Sebagian besar petani di Indonesia adalah buruh

tani dan petani gurem atau sering disebut sebagai Peasant bukan farmer

(Noertjahyo,2005: 14). Peasant merupakan petani yang bercocok tanam

dan berternak di daerah Pedesaan, sedangkan farmer merupakan

pengusaha pertanian yang mengambil keuntungan dari hasil penjualan

produksinya di pasar (Wolf Eric,1985: 2). Secara ekonomi, Wolf

mengatakan, petani merupakan produsen utama kekayaan sosial dan

masyarakat yang lain hanya menduduki posisi sekunder (1985: 17).

Masyarakat petani yang ada di Desa Genteng masih bercocok tanam dan

beternak dengan skala yang kecil.

Sengketa tanah yang terjadi di Desa Genteng antara petani dan Perhutani

terjadi karena pendudukan lahan yang dilakukan oleh petani di lahan

Perhutani. Masyarakat yang membutuhkan tanah memanfaatkan lahan

Page 4: surat kabar Reforma Agraria. Edisi April Thn. III 2013

dari Perhutani. Sementara Perhutani ingin melakukan konservasi hutan

agar sumber airnya tidak kekeringan. Musyawarah yang dilakukan belum

menemukan solusi sehingga permasalahannya telah sampai pada

pemerintah Kabupaten Sumedang. Bagi masyarakat petani Desa Genteng

jaminan atas tanah tertuang dalam UU Pokok Agraria. Undang-undang ini

dibuat untuk memberikan tanah kepada masyarakat Indonesia secara

menyeluruh. Di lain pihak UU Kehutanan merupakan salah bentuk jaminan

bagi Perhutani untuk melakukan konservasi hutan. Hal ini membuat

banyak petani Desa Genteng tergusur dari tanah yang sedang dia kelola

untuk menyambung hidup.

METODE PENELITIAN DAN TEKNIK PENGUMPULAN DATA

1. Metode Penelitian

Untuk menjawab pertanyaan penelitian ini, metode pengumpulan data

yang dipakai secara umum merujuk kepada bentuk penelitian kualitatif

berorientasi etnografis. Orientasi etnografis dilaksanakan karena dirasa

adanya sesuatu yang penting dalam melihat konteks sosio-kultural yang

menjembatani hubungan-hubungan antar konsep yang sekiranya berguna

untuk menjawab pertanyaan penlitian. Selain itu etnografi juga akan

membantu melihat kepemilikan tanah dalam masyarakat Genteng.

2. Teknik pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, data diperoleh langsung dari informan (sebagai

data primer). Teknik pengumpulan data primer adalah observasi dan

wawancara. Selain data primer, data juga diperoleh melalui beberapa

referensi buku, media-media informasi lainnya (data sekunder). Data

sekunder diperoleh dari lembaga resmi seperti Kantor Kecamatan,

Kantor Desa, Kepala Dusun. Untuk mengumpulkan data dilakukan

dengan kegiatan :

2.1 Observasi / pengamatan

Observasi merupakan pengamatan terhadap fenomena yang dapat dilihat

secara langsung sebagai pelengkap data yang diperoleh. Metode

pengamatan digunakan untuk memahami gejala-gejala yang terjadi dalam

kehidupan sehari-hari individu yang diteliti untuk dicocokan relevansi atau

kebenarannya dengan informasi yang diperoleh melalui wawancara. Salah

satu kegunaan metode pengamatan adalah untuk mendeskripsikan

perilaku manusia, proses kerja dan gejala-gejala alam

(Sugiyono,2006:162).

Observasi yang akan digunakan adalah observasi partisipasi. Observasi

partisipasi melibatkan keikutsertaan peneliti dengan individu yang

diobservasi atau komunitas. Di dalam observasi partisipasi hubungan

antara peneliti dengan komunitas baru yang akan diobservasi harus

dibangun dengan baik agar data yang diperoleh lebih lengkap dan tajam

(Sugiyono, 2006: 162). Observasi dilakukan untuk melihat kondisi lahan

pertanian, tempat tinggal penduduk, aktivitas sehari-hari dan gambaran

umum ekonomi penduduk yang ada di Desa Genteng.

2.2 Wawancara

Wawancara merupakan percakapan yang dilakukan oleh dua orang atau

lebih dan berlangsung antara narasumber dan pewawancara. Tujuan dari

wawancara adalah untuk mendapatkan informasi dari orang yang

diwawancarai melalui pertanyaan-pertanyaan untuk dijawab oleh

informan. Dalam mempersiapkan informan, ada tiga (3) hal yang harus

diperhatikan yaitu, pertama seleksi individu yang akan diwawancara,

kedua pendekatan terhadap individu yang akan diwawancara dan yang

ketiga adalah pengembangan suasana yang wawancara sehingga

menimbulkan saling pengertian antara peneliti dan yang diwawancarai

(Koentjaraningrat,1977: 163)

Dalam penelitian ini ada 6 orang informan dan informan tersebut dibagai

menjadi dua yaitu, informan kunci dan informan utama. Informan kunci

adalah individu yang bisa membuka pintu untuk memberikan informasi

yang dibutuhkan oleh peneliti (Sugiyono, 2006). Dalam penelitian ini yang

menjadi informan kunci adalah petani Desa Genteng yang menggarap

lahan Perhutani dan sebagai informan utamanya adalah Kepala Desa.

Selain informan tersebut ada informan ahli yang diwawancarai untuk

melangkapi data. Contohnya adalah pakar agraria dan orang-orang yang

telah lama bergerak dibidang agraria seperti KPA, LSM dan organisasi

Serikat Tani Nasional Politik Rakyat Mikin (STN-PRM).

2.3 Studi kepustakaan

Studi kepustakaan diperlukan untuk memanfaatkan data sekunder, seperti

data yang berasal dari buku dan bahan tertulis lainnya yang berhubungan

dengan masalah penelitian. Studi kepustakaan ini juga untuk

mempercepat pemahaman tentang kondisi lapangan penelitian, sekaligus

mempertajam analisa, studi kepustakaan dilengkapi dengan riset data

sekunder. Sumber data sekunder masyarakat terdiri dari arsip data desa,

data pemerintah, dan bahan-bahan yang dipublikasikan lainnya.

2.4 Diskusi kelompok

Diskusi kelompok digunakan selama penelitian. Diskusi kelompok berfokus

pada reforma agraria yang tertuang dalam Undang-undang Pokok Agraria.

Diskusi dilakukan bersama dengan masyarakat Genteng dan para

Page 5: surat kabar Reforma Agraria. Edisi April Thn. III 2013

perangkat desa. Diskusi kelompok bertujuan bukan untuk mendapatkan

data pokok, melainkan untuk membangun kedekatan dengan masyarakat

yang diteliti agar tidak muncul kecurigaan saat penelitian berlangsung.

Hasil Lapangan

Data Umum

1. Keadaan

Sosial

a. Desa Genteng merupakan salah satu Desa

yang terlibat konflik dengan Perhutani yang

ada di Sumedang. Jarak tempuh Desa

Genteng dari Jatinangor sekitar 45-60 menit.

b. Jumlah penduduk di Desa Genteng adalah

6042 jiwa. Mata pencaharian utama penduduk

tersbut adalah bertani. Selain itu ada juga

yang menjadi PNS, TNI/POLRI dan berdagang.

c. Pendidikan di Desa Genteng termasuk rendah

karena yang masuk perguruan tinggi hanya

4,7%, sedangakan yang tamat SD sebesar

77%.

d. Kondisi pertanian di Desa Genteng cukup

beragam, yaitu tembakau, kopi, kentang, kol,

terong, cabai, kacang panjang dan jagung.

Komuditas utamanya adalah tembakau.

Petani yang ada di Desa Genteng terbagi dua

yaitu petani yang bertanah dan yang tidak

bertanah (buruh tani).

2. Sistem

budaya

a. Organisasi formal:

- RT/RW (Rukun Tetangga dan Rukun

Warga)

- Posyandu

b. Organisasi non-formal:

- Kelompok tani

PEMBAHASAN

KEBIJAKAN PERUNDANG-UNDANGAN

Konflik yang terjadi di Desa Genteng merupakan tanggung jawab dari

pemerintah. Dengan Sistem perundang-udangan sekarang pemerintah

pusat maupun daerah harus mengguakan asas Pancasila sebagai landasan

idiil dan UUD 45 sebagai landasan konstitusionalnya. Berdasarkan UUD 45

pasal 33 ayat 3 bahwa bumi dan air dikuasai oleh negara dan harus

dikelola untuk kemakmuran rakyat Indonesia.

Dengan demikian maka lahirlah UU PA yang bertujuan untuk membagikan

tanah kepada masyarakat petani tanpa terkecuali. Melalui UU ini

pemerintah bisa menyelesaikan konflik yang terjadi di Desa Genteng.

Selain itu ada beberapa UU yang baru dan bisa menjadi penguat

pemerintah khususnya pemerintah daerah. Adapun UU tersebut adalah:

Undang-undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah

Dalam undang-undang ini pasal 10 ayat (3) yang menjadi urusan

pemerintah pusat adalah politik luar negeri, pertahanan, keamanan,

yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama. Di luar dari yang

disebutkan tadi merupakan kewenangan daerah. Ini merupakan angin

segar bahwa untuk menjalankan reforma sangat terbuka jelas karena

menyangkut potensi daerah terutama yang daerah pertanian.

Undang-undang No.25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian

Pada pasal 3, koperasi bertujuan untuk mensejahterakan anggota secara

khususnya dan masyarakat pada umunya. Selain itu koperasi juga

bertujuan untuk membangun tatanan perekonomian nasional dalam

rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sesuai dengan

pancasila dan UUD 1945. Di dalam koperasi petani bisa meminjam modal

yang memiliki bunga rendah dan bisa membagi hasil diakhir tahun sesuai

dengan pasal 45 ayat 2. Hal ini menghindari petani dari rentenir yang bisa

menjerat ekonomi mereka.

Penyelesaian Sengketa Agraria Di Desa Genteng

Dalam penyelsaian kasus sengketa lahan yang ada di Desa Genteng ada

dua caranya, yaitu yang pertama adalah menjalankan landreform. Bila

memang landreform menjadi solusi yang akan dijalankan oleh pemerintah

maka ada hal yang harus diperhatikan yaitu kondisi hutan. Hutan yang

semakin tergerus ekologinya menjadi pertimbangan utama agar tidak

terjadi banjir disaat musim hujan dan kekeringan di saat kemarau.

Kedua adalah petani yang ada di Desa Genteng terkhusus yang berkaitan

langsung dengan konflik bisa dialih profesikan. Selama ini masyarakat

hanya berfokus pada pertanian dan membuat kebutuhan lahan juga

sangat tinggi. Dengan pengembangan potensi yang dimiliki oleh

masyarakat maka ketergantungan terhadap lahan juga semakin

berkurang sehingga konflik antara petani dengan Perhutani dapat

diselesaikan.

Kesimpulan

Page 6: surat kabar Reforma Agraria. Edisi April Thn. III 2013

Penelitian tentang konflik petani dengan Perhutani 2012 merupakan salah

bagian konflik agraria yang ada di tanah air. Konflik ini menunujukkan

kepada kita bahwa selama ini kehidupan petani sangat terpinggirkan dan

tidak mendapatkan dari permerintah. Penelitian ini menggambarkan

hubungan antara petani dengan lembaga Perhutani yang memiliki

kepentingan terhadap hutan. Di sisi lain peran organisasi juga sangat

memberikan pengaruh yang sangat besar dalam memberikan pencerdasan

politik. Hasilnya petani memiliki keberanian untuk menuntut pemerintah

agar tanah dibagikan kepada rakyat sesuai yang tertuang dalam UU PA

dan Perpu No.56 tahun 1960. Adanya pengetahuan baru yang berasal dari

organisasi membuat petani merasa punya landasan hukum untuk

menuntut haknya.

Tanah yang dikelola oleh petani merupakan kawasan hutan yang dikuasai

oleh Perhutani. Permasalahan muncul ketika Perhutani melarang

masyarakat untuk bercocok tanam di area tersebut. Bagi Perhutani

kawasan tersebut tidak boleh lagi ditanami karena sudah menjadi hutan

lindung, tetapi disisi lain masyarakat harus tetap bertahan hidup dengan

cara bertani. Pihak Perhutani tetap bertahan karena alasan ekologi hutan

yang harus tetap dijaga. Perhutani takut bila hutan dikelola secara intensif

akan membuat kerusakan hutan semakin parah. Akibatnya pada saat

musim kemarau air bisa habis dan pada musim hujan bisa mengakibatkan

banjir. Permasalahan ini akhirnya muncul kepermukaan saat masyarakat

petani melakukan aksi demontrasi kepemda Sumedang. Masyarakat yang

telah terorganisir mendatangi kantor bupati dan menuntut pemerintah

agar menjalankan landreform.

Kelompok tani memberikan sebuah harapan baru kepada petani, terutama

mereka yang tidak punya tanah. Mereka menuntut supaya agenda

reforma agraria dijalankan karena ada keinginan kehidupan yang lebih

baik lagi. Kehidupan yang selama ini sudah sangat jauh dari harapan ingin

diubah dengan adanya UU PA dan Perpu No.56 tahun 1960 yang mereka

dapatkan dari organisasi tani. Di organisasi mereka dapatkan cara-cara

untuk melakukan aksi, menulis dan bermusyawarah. Coser mengatakan

konflik akan membuat solidaritas kelompok akan semakin meningkat.

Pada kenyataannya para petani brsatu melawan pemerintah karena hak

mereka sebagai warga negara tidak diberikan. Petani seharunya

mendapatkan tanah sesuai yang diatur dalam UU PA dan Perpu No.56

tahun 1960 malah tergusur tanpa ada alokasi yang jelas.

---------

* Oleh: Andri Parangin-angin: Artikel penelitian Mahasiswa

Atropologi Fisip Unpad angkatan 2007.

Solidaritas STN-PRM Sumedang terhadap aksi (menginap) Warga Korban Waduk Jatigede di kantor

Satker Waduk Jatigede; 2 April 2013.

STN-PRM Sumedang Menghadiri undangan Diskusi Publik "Membangun Praksis Kawasan Hutan Kelola Rakyat di Jawa Barat" dalam

Pertemuan Tahunan Konsultasi Daerah Lingkungan Hidup (KDLH) WALHI Jabar; Selasa, 9 April 2013

Pemutaran film dokumenter dan diskusi lepas (ngewangkong) STN-PRM Genteng; 14 April 2013.

Serikat Tani Nasional Politik Rakyat Miskin (STN-PRM) Sumedang Phone: 085722221298 email: [email protected]

Weblog: stnprmsumedang.blogspot.com