Upload
others
View
15
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pondasi
Semua rekayasa konstruksi yang bertumpu langsung pada tanah harus
didukung oleh pondasi. Pondasi sendiri memiliki pengertian, sebagai bagian dari
suatu sistem struktur bawah (sub structure) yang menahan berat sendirinya dan
seluruh beban gaya dari struktur atas, kemudian meneruskannya ke lapisan tanah
dan batuan yang terletak dibawahnya. Dengan kata lain pondasi sebagai struktur
yang terletak pada bagian paling bawah harus dibuat menjadi satu kesatuan kuat
dan stabil terhadap struktur diatasnya.
Perencanaan pondasi didasari pada beberapa aspek, diantaranya yakni
fungsi dari bangunan, jenis tanah, kedalaman tanah keras pendukung pondasi,
maupun dari aspek biaya (finansial). Berikut ini aspek-aspek yang
dipertimbangankan dalam pemilihan jenis pondasi untuk perencanaan :
a. Keadaan tanah pondasi
Keadaan tanah dibawah pondasi erat kaitannya dengan pemilihan tipe
pondasi. Hal ini dikarenakan setiap tipe pondasi memiliki bentuk serta mekanisme
penyaluran beban yang berbeda tergantung pada kondisi tanahnya. Faktor tanah
yang diperhitungkan antaralain jenis tanah, parameter tanah, daya dukung,
kedalaman tanah keras dan sebagainya.
b. Batasan akibat struktur diatasnya
Kondisi beban struktur atas dapat meliputi total besar beban akibat struktur
atas, arah gaya beban baik beban vertikal maupun horizontal dan penyebaran beban
serta sifat dinamis yang dimiliki oleh struktur tersebut.
c. Batasan keadaan lingkungan dari sekitar
Batasan lingkungan yang dimaksud dalam poin ini ialah kondisi lingkungan
sekitar proyek. Mengingat dalam mengerjakan suatu pembangunan perlu
memperhatikan kondisi lingkungan sekitar, sehingga diharapkan dalam melakukan
6
pekerjaan bangunan tidak menggagu dan membahayakan lingkungan sekitar atau
bangunan yang telah ada disekitarnya.
d. Biaya dan waktu pekerjaan
Faktor biaya dan waktu pelaksanaan pekerjaan perlu diperhatikan karena
termasuk dalam manajemen konstruksi sebuah bangunan dan sangat berhubungan
dengan pencapaian kondisi yang tepat dan ekonomis.
2.1.1 Pondasi Dangkal (Shallow Foundation)
Pondasi dangkal (shallow foundation) adalah pondasi yang mendukung
beban secara langsung. Pondasi ini digunakan apabila lapisan tanah pendukung
pada dasar pondasi terletak relatif jauh dari permukaan tanah / daya dukung tanah
pada dasar bangunan lemah. Menurut Braja (1988:3) pada umunya kedalaman
pondasi dangkal sebesar D/B 1. Adapun berikut beberapa jenis pondasi dangkal :
a. Pondasi Telapak (Pad Foundation)
Pondasi telapak digunakan untuk mendukung beban titik individual
seperti kolom struktural. Pondasi pad ini dapat dibuat dalam bentuk melingkar,
persegi. Jenis pondasi ini terdiri dari lapisan beton bertulang dengan ketebalan
yang seragam, tetapi pondasi pad dapat juga dibuat dalam bentuk bertingkat jika
pondasi ini dibutuhkan untuk menyebarkan beban dari kolom berat.
b. Pondasi Memanjang atau Menerus (Strip Foundation)
Pondasi memanjang adalah jenis pondasi yang digunakan untuk mendukung
beban memanjang atau beban garis, baik untuk mendukung beban dinding atau
beban kolom dimana penempatan kolom dalam jarak yang dekat dan fungsional
kolom tidak terlalu mendukung beban berat sehingga pondasi tapak tidak terlalu
dibutuhkan.
c. Pondasi Rakit (Raft Foundation)
Pondasi yang digunakan untuk mendukung bangunan yang terletak pada
tanah lunak atau digunakan bila susunan kolom-kolom jaraknya sedemikan dekat
disemua arahnya, sehingga menggunakan pondasi telapak, sisinya berhimpit satu
sama lain
7
2.1.2 Pondasi Rakit (Raft Foundation)
Pondasi rakit (raft foundation atau mat foundation) merupakan pondasi
yang berbentuk rakit melebar ke seluruh bagian dasar bangunan dimana beban yang
diterima pada tiap deret kolom paralel akan disalurkan secara merata pada tanah
dibawahnya. Sehingga besar penurunan pada tiap sisi pondasi adalah sama. Pondasi
rakit digunakan bila lapisan tanah bangunan memiliki daya dukung yang rendah.
Gambar 2.1 Macam tipe pondasi rakit. (a) pelat rata; (b) pelat yang ditebalkan
dibawah kolom; (c) balok dan pelat; (d) pelat dengan kaki tiang; (e) dinding ruangan
bawah tanah sebagai bagian pondasi telapak
Sumber : Braja M. Das (2011:295)
Pondasi rakit memiliki bentuk yang beragam bergantung dari beban dan
jarak kolom yang ditumpu oleh pondasi rakit. Kondisi tersebut menentukan besaran
momen dan gaya geser yang dialami pondasi rakit yang digunakan sebagai acuan
perencanaan ketebalan pondasi rakit. Apabila dalam perencanaan pondasi rakit
memiliki ketebalan ≤ 400 mm, maka pondasi rakit dapat direncanakan
menggunakan pondasi rakit dengan sistem pelat datar. Untuk beban yang lebih
8
besar, pondasi rakit dapat dikombinasikan menggunakan sistem pelat datar dengan
balok, namun ketebalan balok yang digunakan dibatasi maksimal 900 mm. Untuk
beban kontruksi yang lebih besar lagi, maka dapat digunakan pondasi rakit sistem
sel (Setiawan, 2016).
Pondasi rakit juga dapat dikombinasikan dengan tiang pancang,
penggunaan sistem ini biasanya digunakan dalam keadaan air tanah yang tinggi
sehingga dapat digunakan untuk mengontrol gaya apung atau dimana tanah dasar
memiliki penurunan yang besar. Kelebihan dari penggunaan pondasi rakit pada
sebuah struktur adalah dapat mencegah terjadinya perbedaan penurunan
(differential settlement) yang menyebabkan bangunan retak dan patah, karena
beban disebarkan ke seuruh area plat pondasi.
2.2 Pembebanan
Pembebanan merupakan hal yang paling awal diperhitungkan dalam
perencanaan dan analisis gedung. Umumnya pembebanan pada struktur gedung
dikelompokkan menjadi dua berdasarkan arah kerjanya yakni beban vertikal dan
horizontal. Beban vertikal yang bekerja pada struktur gedung meliputi beban mati
(D) dan beban hidup (L), sedangkan beban horizontal berupa beban angin serta
beban gempa. Pada perencanaan ini beban horizontal yang digunakan hanya berupa
beban gempa, dikarenakan perencanaan struktur beton bertulang untuk gempa lebih
dominan dibanding beban angin. Hasil analisa dari pembebanan ini berupa reaksi-
reaksi yang bekerja pada dasar bangunan yang nantinya akan digunakan dalam
perencanaan pondasi rakit.
2.2.1 Beban Mati atau Dead Load (D)
Beban mati ialah berat dari keseluruhan bagian gedung yang bersifat tetap
baik berupa komponen utama struktur gedung maupun komponen arsitekturalnya.
Beban mati dapat diperoleh dengan cara mengkalikan volume komponen dengan
berat jenis masing-masing. Berikut terlampir berat jenis komponen berdasarkan
PPURG (Pedoman Perencanaan Pembebanan Untuk Rumah dan Gedung) tahun
1987 pada Tabel 2.1.
9
Tabel 2.1 Berat sendiri bahan bangunan dan komponen gedung
No Nama material Berat Isi Satuan
1 Air 10 kN/m3 2 Adukan semen/Spesi 22 kN/m3 3 Beton 22 kN/m3 4 Beton Bertulang 24 kN/m3 5 Dinding (pasangan ½ bata) 2.5 kN/m2 6 Langit-langit/Plafond 0.11 kN/m2 7 Pasir 16 kN/m3
8 Penutup lantai (keramik) per Cm tebal 0.24 kN/m2
9 Penggantung langit-langit 0.07 kN/m2 10 Instalasi plumbing dan ME 0.25 kN/m2 11 Pelapis kedap air 0.14 kN/m3
Sumber : PPURG 1987
2.2.2 Beban Hidup atau Live Load (L)
Definisi beban hidup menurut SNI 1727 : 2013, ialah beban yang
diakibatkan oleh pengguna dan penghuni bangunan gedung atau struktur lain yang
tidak termasuk beban konstruksi dan beban lingkungan, seperti beban angin, beban
hujan, beban gempa, beban banjir, atau beban mati. Berikut pendistribusian beban
merata dan terpusat yang disajikan pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Beban hidup terdistribusi merata minimum Lo dan terpusat minimum
Hunian atau penggunaan Merata
psf (kN/m2) Terpusat lb (kN)
Hotel (lihat rumah tinggal)
Ruang pertemuan Kursi tetap (terikat di lantai)
Lobi Kursi dapat dipindahkan Panggung pertemuan Lantai podium
100 (4,79)a 100 (4,79)a 100 (4,79)a 100 (4,79)a 150 (7,18)a
Ruang makan dan restoran 100 (4,79)a
Tangga permanen Lihat pasal 4.5
10
Tabel 2.2 Lanjutan
Hunian atau penggunaan Merata
psf (kN/m2) Terpusat lb (kN)
Garasi/Parkir Mobil penumpang saja Truk dan bus
40 (1,92) a,b,c c
Rumah tinggal Hunian (satu keluarga dan dua keluarga)
Loteng yang tidak dapat didiami tanpa gudang Loteng yang tidak dapat didiami dengan gudang Loteng yang dapat didiami dan ruang tidur Semua ruang kecuali tangga dan balkon
Semua hunian rumah tinggal lainnya Ruang pribadi dan koridor yang melayani mereka
Ruang publika dan koridor yang melayani mereka
10 (0,48)l
20 (0,96)m
30 (1,44) 40 (1,92)
40 (1,92)
100 (4,79)
Sumber : SNI 1727 : 2013
2.2.3 Beban Gempa atau Earth Quake Load (E)
Beban gempa merupakan beban aksi lingkungan yang terjadi akibat adanya
gaya lateral yang bekerja pada bangunan. Dalam hal pengaruh gempa terhadap
struktur, maka beban gempa disini diartikan sebagai gaya-gaya dalam struktur yang
terjadi oleh gerakan tanah akibat gempa itu. Analisa beban gempa pada pondasi
dihitung berdasarkan SNI 1726:2012 mengenai “Tata cara perencanaan ketahanan
gempa untuk struktur bangunan gedung dan non gedung”. Pada perencanaannya
pondasi harus dapat menahan dan mengakomodasi goyangan yang terjadi pada
struktur oleh pergerakan tanah.
Perhitungan dan analisa beban gempa dalam studi perencanaan ini dilakukan
pada keseluruhan struktur, baik struktur atas, maupun pondasinya. Dimana beban
gempa dikombinasikan sesuai dengan kombinasi pembebanan yang ada untuk
didapatkan reaksi maksimum dan digunakan untuk dasar perencanaan. Analisa
pada struktur atas dapat dianggap sebagai jepit lateral dan analisa struktur bawah
dapat dianggap terpisah dengan struktur atas, sehingga reaksi kombinasi
pembebanan dari struktur atas seluruhya ditopang oleh struktur bawah. Menurut
11
pasal 7.1.5 SNI 1726:2012, pada gedung tanpa basement, taraf penjepitan lateral
struktur atas dapat dianggap terjadi pada dasar/muka tanah.
Dalam studi perencanaan ini akan digunakan 2 metode analisa gempa yaitu
metode statik ekivalen dan metode respon spektra. Tahapan analisa perhitungan
beban gempa adalah sebagai berikut.
2.2.3.1 Kategori Resiko Gempa dan Faktor Keutamaan Gempa
Faktor keutamaan dan kategori resiko bangunan berkaitan dengan tingkat
resiko yang diperbolehkan pada bangunan yang direncanakan sesuai fungsinya,
pengaruh gempa rencana terhadapnya harus dikalikan dengan Ie sebagaimana pasal
4.1.2, SNI 1726:2012. Penentuan kategori resiko bangunan dan faktor keutamaan
gempa sebagaimana disajikan pada Tabel 2.3 Tabel 2.4..
Tabel 2.3 Kategori risiko bangunan gedung dan non gedung untuk beban gempa
Jenis Pemanfaatan Kategori
Risiko
Semua gedung dan struktur lain, kecuali yang termasuk dalam kategori risiko I,III,IV, termasuk, tetapi tidak dibatasi untuk:
II
- Perumahan
- Rumah toko dan rumah kantor
- Pasar
- Gedung Perkantoran
- Gedung apartemen/ rumah susun
- Pusat perbelanjaan/ mall
- Bangunan Industri
- Fasilitas manufaktur
- Pabrik
Sumber : SNI 1726 : 2012
Tabel 2.4 Faktor keutamaan gempa
Kategori risiko Faktor keutamaan gempa, Ie
I atau II 1,0
III 1,25
IV 1,5
Sumber : SNI 1726 : 2012
12
2.2.3.2 Klasifikasi Situs
Klasifikasi situs dapat ditetapkan dengan tiga parameter yaitu, kecepatan
rata-rata gelombang, tahanan penetrasi standar lapangan rata-rata, atau tahanan
penetrasi standar rata-rata untuk lapisan tanah non kohesif, serta kuat geser nilai
rata-rata. Dari ketiga parameter diatas didapatkan faktor-faktor kriteria desain
seismik yang digunakan pada bangunan. Berupa amplifikasi besaran percepatan
gempa puncak dari batuan dasar ke permukaan tanah suatu situs. Ketentuan
mengenai penggunaan parameter diatas dijelaskan dalam SNI 1726:2012 pada
pasal 5.1 dan 5.3 yang kemudian disajikan pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5 Klasifikasi Situs
Kelas Situs 𝑽𝒔 (m/detik) 𝐍 atau 𝑵𝒄𝒉 𝑺𝒖 (kPa)
SA (Batuan keras) >1500 N/A N/A
SB (Batuan) 750 sampai 1500 N/A N/A
SC (Tanah keras, sangat padat
dan batuan lunak) 359 sampai 750 > 50 ≥ 100
SD (Tanah sedang) 175 sampai 350 15 sampai 50 50 sampai 100
SE (Tanah lunak)
< 175 < 15 < 50
Atau setiap tanah yang mengandung lebih dari 3 m tanah
dengan karakteristik sebagai berikut :
1. Indeks plastisitas, PI > 20
2. Kadar air, w ≥ 40 %
3. Kuat geser nilalir 𝑺𝒖 < 25 kPa
Sumber: SNI 1726 (2012:17)
Penetapan kelas situs SA dan kelas situs SB tidak diperkenankan jika
terdapat lebih dari 3 m lapisan tanah antara dasar pondasi rakit dan permukaan
batuan dasar. Tabel klasifikasi situs diatas berdasarkan dari data lapisan tanah
kedalaman 30 meter dari permukaan tanah. Jika pada hasil tinjauan lapisan tanah
memiliki jenis yang berbeda maka setiap lapisan tanah diberi nomor dari 1 hingga
n, dimana n adalah jumlah lapisan tanah hingga kedalaman 30 meter. Apabila tanah
terdiri dari lapisan kohesif dan non-kohesif, maka k ialah jumlah lapisan kohesif, m
ialah jumlah lapisan non kohesif, dan i merupakan lapisan antara 1 hingga n.
13
Penentuan besaran nilai 𝑁 untuk tanah kohesif dan non-kohesif dan lapisan batuan
ditentukan oleh SNI 1726 (2012:20) dengan persamaan berikut.
(2.1)
Keterangan
di Tebal setiap lapisan antara kedalaman 0 - 30 meter
Ni Nilai tahanan penetrasi standar 60 % energi (N60)
2.2.3.3 Parameter Percepatan Terpetakan
Parameter Ss (percepatan batuan dasar pada perioda pendek) dan S1
(percepatan batuan dasar pada perioda 1 detik) harus ditetapkan dari respon spectral
percepatan 0,2 detik dan 1 detik dalam peta gerak tanah seismik dan koefisien
resiko dari gempa maksimum yang dipertimbangkan (Maximum Considered
Earthquake, MCE) dapat dijumpai pada lampiran peraturan SNI 1726 2012 pasal
14 atau dapat diakses melalui situs: puskim.pu.go.id/aplikasi/
desain_spektra_indonesia_2011/ seperti Gambar 2.2 dan Gambar 2.3.
Gambar 2.2 SS, Gempa maksimim yang dipertimbangkan risiko tertarget (MCER), Kelas situs SB Sumber : SNI 1726:2012
14
Gambar 2.3 S1, Gempa maksimum yang dipertimbangkan risiko tertarget (MCER), kelas situs SB
Sumber : SNI 1726:2012
2.2.3.4 Koefisien-koefisien Situs dan Paramater-parameter Respons Spektral Percepatan Gempa Maksimum
Penentuan besaran respon spektral percepatan gempa MCER di permukaan
tanah disesuaikan dengan SNI 1726 (2012:21), dimana diperlukan faktor amplikasi
seismik pada perioda 0,2 detik dan perioda 1,0 detik. Faktor amplifikasi meliputi
getaran akibat percepatan pada getaran perioda pendek (Fa) dan percerpatan yang
mewakili perioda 1,0 detik (Fv). disajikan pada Tabel 2.6 dan Tabel 2.7.
Tabel 2.6 Koefisien Situs Fa
Kelas Situs
Parameter respons spektral percepatan gempa (MCER) terpetakan pada perioda pendek, T = 0,2 detik, SS
SS ≤ 0,25 SS ≤ 0,5 SS ≤ 0,75 SS ≤ 1,0 SS ≤ 1,25
SA 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8
SB 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0
SC 1,2 1,2 1,1 1,0 1,0
SD 1,6 1,4 1,2 1,1 1
SE 2,5 1,7 1,2 0,9 0,9
SF SSb Sumber: SNI 1726 (2012:22)
15
Tabel 2.7 Koefisien Situs Fv
Kelas Situs
Parameter respons spektral percepatan gempa (MCER) terpetakan pada perioda 1,0 detik, S1
S1 ≤ 0,1 S1 ≤ 0,2 S1 ≤ 0,3 S1 ≤ 0,4 S1 ≤ 0,5
SA 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8
SB 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0
SC 1,7 1,6 1,5 1,4 1,3
SD 2,4 2 1,8 1,6 1,5
SE 3,5 3,2 2,8 2,4 2,4
SF SSb Sumber: SNI 1726 (2012:22)
Catatan :
a) Untuk nilai-nilai SS dan S1 dapat dilakukan interpolasi linier
b) SS = situs yang memerlukan investigasi geoteknik spesifik dan analisis respons situs-spesifik
Penentuan parameter spektrum respons percepatan pada perioda pendek
(SMS) dan perioda 1,0 detik (SM1) ditentukan berdasarkan hasil klasifikasi situs,
dengan perumusan sebagai berikut.
SMS = Fa SS (2.2)
SMS = Fa SS (2.3)
Keterangan
SMS Parameter spektrum respons percepatan pada perioda pendek
SM1 Parameter spektrum respons percepatan pada perioda 1 detik Fa Faktor koefisien perioda pendek Fv Faktor koefisien perioda 1,0 detik SS Parameter respons spektral percepatan gempa MCER
terpetakan untuk perioda pendekS1 Parameter respons spektral percepatan gempa MCER
terpetakan untuk perioda 1,0 detik
2.2.3.5 Parameter Percepatan Spektral Desain
Penentuan parameter percepatan spektral desain untuk perioda pendek (SDS)
dan perioda 1,0 detik (SD1) dilakukan dengan menggunakan perumusan pada SNI
1726 (2012:22) berikut:
SDS = 𝟐
𝟑 SMS (2.4)
SD1 = 𝟐
𝟑 SM1 (2.5)
16
2.2.3.6 Spektrum Respon Desain
SNI 1726: 2012 pasal 6.4 menyebutkan bahwa, apabila spektrum
respon desain digunakan dalam metode ini dan prosedur gerak tanah dari spesifik-
situs tidak digunakan, maka kurva spektrum respon desain harus dikembangkan
dengan mengacu Gambar 2.5. Mengikuti ketentuan sebagai berikut:
1. Untuk perioda yang lebih kecil dari T0, spektrum respon percepatan desain,
Sa, harus diambil dari persamaan;
Sa = SDS 𝟎, 𝟒 𝟎, 𝟔𝑻
𝑻𝟎(2.6)
2. Untuk perioda lebih besar atau sama dengan T0 dan lebih kecil atau sama
dengan TS, spektrum respons percepatan desain, Sa, sama dengan SDS.
3. Untuk perioda lebih besar dari TS, spektrum respons percepatan desain, Sa,
diambil berdasarkan persamaan:
𝑺𝒂
𝑺𝑫𝟏
𝑻
(2.7)
Keterangan
SDS Parameter respons spektral percepatan desain pada perioda pendek
SD1 Parameter respons spektral percepatan desain pada perioda 1,0 detik
T Perioda getar fundamental struktur
𝑻𝒔𝑺𝑫𝟏
𝑺𝑫𝒔 𝑻𝟎 𝟎, 𝟐
𝑺𝑫𝟏
𝑺𝑫𝒔
(2.8)
Gambar 2.4 Spektrum respon desain
Sumber : SNI 1726 (2012:23)
17
2.2.3.7 Kategori Desain Seismik
Masing-masing bangunan dan struktur harus ditetapkan kedalam kategori
desain seismik yang lebih parah, dengan mengacu pada Tabel 2.8 atau Tabel 2.9,
terlepas dari nilai perioda fundamental getaran struktur, T.
Tabel 2.8 Kategori desain seismik berdasarkan parameter respons percepatan pada perioda pendek
Nilai SDS Kategori Risiko
I atau II atau III IV
SDS < 0,167 A A
0,167 ≤ SDS < 0,33 B C
0,33 ≤ SDS < 0,50 C D
0,50 ≤ SDS D D Sumber: SNI 1726 (2012:24)
Tabel 2.9 Kategori desain seismik berdasarkan parameter respons percepatan pada perioda 1 detik
Nilai SD1 Kategori Risiko
I atau II atau III IV
SD1 < 0,167 A A
0,167 ≤ SD1 < 0,133 B C
0,133 ≤ SD1 < 0,20 C D
0,20 ≤ SD1 D D Sumber: SNI 1726 (2012:24)
2.2.3.8 Struktur Penahan Beban Gempa (Kombinasi Sistem Perangkai dalam Arah yang Berbeda)
Sistem sturktur penahan gaya gempa lateral dan vertikal dasar harus
memenuhi salah satu kombinasi sistem penahan gempa dengan batasan sistem
struktur dan ketinggian struktur sebagaimana Tabel 2.10. Dimana sistem penahan
yang berbeda diizinkan digunakan untuk menahan gaya gempa pada masing-
masing arah kedua sumbu orthogonal struktur. Setiap sistem struktur menentukan
nilai koefisien modifikasi respons R, faktor kuat lebih sistem, Ω0, dan koefisien
amplifikasi defleksi, Cd , yang nantinya akan digunakan sebagai penentuan besar
gaya geser dasar, elemen, dan besar nilai simpangan antar lantai..
18
Tabel 2.10 Faktor R, Cd, dan Ω0, untuk sistem penahan gaya gempa
Sistem penahan gaya seismik
Koef. Modifi
kasi respons, Ra
Faktor kuat lebih
sistem, Ω0
g,
Faktor pembesa ran defleksi, Cd
b
Batasan sistem struktur dan batasan tinggi struktur,
hn(m)c
Kategori desain seismik
B C Dd Ed Fe A Sistem dinding penahan B Sistem rangka Bangunan C Sistem rangka pemikul momen D Sistem ganda dengan rangka
pemikul momen khusus yang mampu menahan paling sedikit 25 persen gaya gempa yang ditetapkan
1 Rangka baja dengan bresing eksentris
8 2 ½ 4 TB TB TB TB TB
2 Rangka baja dengan bresing konsentris khusus
7 2 ½ 5 ½ TB TB TB TB TB
3 Dinding geser beton bertulang khusus
7 2 ½ 5 ½ TB TB TB TB TB
4 Dinsing geser beton bertulang biasa
6 2 ½ 5 TB TB TB TB TB
5 Rangka baja & beton komposit dengan bresing eksentris
8 2 ½ 4 TB TB TB TB TB
6 Rangka baja & beton komposit dengan bresing konsentris khusus
6 2 ½ 5 TB TB TB TB TB
7 Dinding geser pelat baja & beton komposit
7 ½ 2 ½ 6 TB TB TB TB TB
Sumber: SNI 1726 (2012:36)
2.2.3.9 Periode Fundamental Pendekatan
Menurut SNI 1726 (2012:55) Perioda fundamental struktur, T, dalam arah
yang ditinjau harus diperoleh menggunakan properti struktur dan karakteristik
deformasi elemen penahan dalam analisis yang teruji. Sebagai alternative pada
pelaksanaan analisis untuk menentukan perioda fundamental struktur, T, diijinkan
secara langsung menggunakan perioda bangunan pendekatan, Ta. Perioda
fundamental struktur, T, tidak boleh melebihi hasil koefisien untuk batasan atas
pada perioda yang dihitung (Cu ) dari Tabel 2.11 dan perioda fundamental
pendekatan, Ta yang dihitung sebagaimana berikut.
19
Ta = Ct . 𝒉𝒏𝒙 (2.9)
Dan tidak boleh melebihi
Tmax = Cu .Ta (2.10)
Keterangan
Ta Perioda fundamental pendekatan
hx Ketinggian struktur (m) Ct, n Koefisien ditentukan dari Tabel 2.12
Tabel 2.11 Koefisien untuk batasan atas pada perioda yang dihitung Parameter percepatan respons spektral desain pada
1 detik, SD1 Koefisien Cu
≥ 0,4 1,4
0,3 1,4
0,2 1,5
0,15 1,6
≤ 0,1 1,7
Sumber: SNI 1726 (2012:56)
Tabel 2.12 Nilai parameter perioda pendekatan Ct dan x
Tipe struktur Ct x
Sistem rangka pemikul momen dimana rangka memikul 100 persen gaya gempa yang disyaratkan dan tidak dilingkupi atau dihubungkan dengan komponen yang lebih kaku dan akan mencegah rangka dari defleksi jika dikenai gaya gempa
Rangka baja pemikul momen 0,0724a 0,8
Rangka beton pemikul momen 0,0466a 0,9
Rangka baja dengan bresing eksentris 0,0731a 0,75
Rangka baja dengan bresing terkekang terhadap tekuk 0,0731a 0,75
Semua sistem struktur lainnya 0,0488a 0,75
Sumber: SNI 1726 (2012:56)
2.2.3.10 Perhitungan Koefisien Respon Seismik (Cs)
Berdasarkan SNI 1726 (2012:54) Koefisien respons seismik, CS, harus
ditentukan dengan persamaan sebagai berikut:
20
𝑪𝒔
𝑺𝑫𝑺
𝑹𝑰𝒆
(2.11)
Keterangan SDS Parameter percepatan spektrum respons desain dalam rentang
periode pendek R Faktor modifikasi respons Ie Faktor keutamaan gempa
Koefisien respons seismik, CS yang dihitung sebagaimana ketentuan diatas
tidak perlu melebihi nilai koefisien respons seismik berikut:
𝑪𝒔
𝑺𝑫𝟏
𝑻 𝑹𝑰𝒆
(2.12)
Dan juga harus tidak kurang dari
CS = 0,044 SDS Ie ≥ 0,01 (2.13)
Dan jika struktur berlokasi didaerah dimana S1 sama dengan atau lebih besar
dari 0,6g, maka CS tidak boleh kurang dari
𝑪𝒔
𝟎, 𝟓 𝑺𝟏
𝑹𝑰𝒆
(2.14)
Keterangan SD1 Parameter percepatan spektrum respons desain dalam rentang
periode 1,0 detik T Perioda fundamental struktur yang ditentukan S1 Parameter percepatan spektrum respons maksimum yang
dipetakan
2.2.3.11 Geser Dasar Seismik
Berdasarkan SNI 1726 (2012:54) Gaya geser dasar seismik, V, harus
ditentukan dengan persamaan sebagai berikut:
V = CS W (2.15)
Keterangan
CS Koefisien respons seismik yang ditentukan W Berat seismik efektif (kN)
21
2.2.3.12 Distribusi Vertikal Gaya Gempa
Berdasarkan SNI 1726 (2012:57) Gaya gempa lateral (Fx) yang timbul
disemua tingkat harus ditentukan sebagaimana persamaan berikut :
Fx = CVX V (2.16)
Dan
𝑪𝑽𝑿
𝑾𝒙 . 𝒉𝒙𝒌
∑ 𝑾𝒊𝒏𝒊 𝑰 . 𝒉𝒊
𝒌 (2.17)
Keterangan
CVX Faktor distribusi vertikal
V Gaya lateral desain total atau geser di dasar struktur, dinyatakan dalam kolinewton (kN)
wi dan wx Bagian berat seismik efektif total struktur (W) yang ditempatkan atau dikenakan pada tingkat i atau x
hi dan hx Tinggi dari dasar sampai tingkat i atau x (m)
k Eksponen yang terkait dengan perioda struktur sebagai berikut - Untuk struktur yang mempunyai perioda sebesar 0,5 detik atau kurang, k = 1 - Untuk struktur yang mempunyai perioda sebesar 2,5 detik atau lebih, k = 2 - Untuk struktur yang mempunyai perioda antara 0,5 dan 2,5 detik, k harus
sebesar 2 atau harus ditentukan dengan interpolasi linier antara 1 dan 2
2.2.4 Kombinasi Pembebanan Terfaktor
Hasil perhitungan pembebanan kemudian dikombinasikan dan dikalikan
dengan faktor pembebanan yang disesuaikan dengan kebutuhan perhitungan
struktur. Komponen struktur & pondasi harus dirancang hingga mencapai kuat
rencana yang disyaratkan atau melebihi pengaruh dari beban terfaktor dan
kemudian dimasukkan ke dalam program bantu analisa. Kombinasi pembebanan
terfaktor diberikan pada Tabel 2.13..
Tabel 2.13 Kombinasi Pembebanan Beban Kombinasi Ultimit
Beban Mati 1,4 D Beban Hidup 1,2 D + 1,6 L + 0,5 (Lr atau R)
Beban Angin 1,2 D + 1,6 (Lr atau R) + (L atau 0,5 W) 1,2 D + 1,0 W + L +0,5 (Lr atau R) 0,9 D + 1,0 W
Beban Gempa 1,2 D + 1,0 E + L 0,9 D + 1,0 E
Sumber: SNI-1727-2013
22
2.3 Titik Berat Beban dan Titik Berat Penampang
Perhitungan titik berat terhadap beban dan luas penampang pondasi rakit
dilakukan guna mencari nilai eksentrisitas pusat penampang pondasi rakit terhadap
pusat beban struktur gedung. Selain untuk menentukan eksentrisitas, titik berat
beban dan penampang digunakan untuk mengontrol stabilitas gedung, mencari
luasan efektif pondasi, tegangan dibawah pondasi dan sebagainya.
Penentuan titik berat beban dan penampang pada pondasi rakit dihitung
berdasarkan arah sumbunya dengan menggunakan persamaan berikut.
Persamaan titik berat beban arah x
∑ 𝑾𝒊 𝒙𝒏𝒊 𝟏 𝑿𝒊
∑ 𝑾𝒊𝒏𝒊 𝟏
(2.18)
Persamaan titik berat beban arah y
∑ 𝑾𝒊 𝒙𝒏𝒊 𝟏 𝒀𝒊
∑ 𝑾𝒊𝒏𝒊 𝟏
(2.19)
Keterangan Wi Xi Yi
Beban kerja kolom ke-i (kN) Jarak kolom ke-i dengan sumbu pondasi rakit arah x (m) Jarak kolom ke-i dengan sumbu pondasi rakit arah y (m)
Persamaan titik berat penampang arah x
∑ 𝑨𝒊 𝒙𝒏𝒊 𝟏 𝑿𝒊
∑ 𝑨𝒊𝒏𝒊 𝟏
(2.20)
Persamaan titik berat penampang arah y
∑ 𝑨𝒊 𝒙𝒏𝒊 𝟏 𝒀𝒊
∑ 𝑨𝒊𝒏𝒊 𝟏
(2.21)
Keterangan Ai Xi Yi
Luas area pondasi rakit (m2) Jarak kolom ke-i dengan sumbu pondasi rakit arah x (m) Jarak kolom ke-i dengan sumbu pondasi rakit arah y (m)
23
2.4 Dimensi Pondasi Rakit
Tahap perencanaan pendimensian pondasi rakit mencakup panjang dan lebar
area dari pondasi rakit. Pondasi rakit umumnya direncanakan seluas denah struktur
diatasnya, dengan menambah satu meter atau lebar dari sisi terluar denah. Selain
perencanaan diatas, diperlukan juga penentuan dimensi ketebalan pondasi rakit
secara keseluruhan (termasuk ketebalan selimut beton pondasi rakit dan
tulangannya).
2.4.1 Tebal Pondasi Rakit
Berdasarkan Braja M. Das (2011), tebal pondasi rakit dapat direncanakan
dengan mengitung tebal efektif dari pondasi rakit yang mengalami beban terbesar
pada bagian tepi sebagaimana persamaan ACI code 318-95 berikut.
𝑼 𝒃𝒐. 𝒅 ø 𝟎, 𝟑𝟒 𝒇𝒄 (2.22)
Keterangan U Faktor beban kolom (MN)
bo Keliling bidang kritis (mm) d Tebal efektif pondasi (mm) ø Faktor reduksi (0,85)
Fc’ Kuat tekan beton (MPa)
Kemudian tebal pondasi total diambil dari tinggi efektif pondasi
ditambahkan dengan diameter tulangan dan tebal selimut beton yang digunakan.
Tebal pondasi diperhitungkan dengan mempertimbangkan kontrol keamanan
terhadap geser 2 arah (geser pons). Sehingga apabila ketebalan pondasi yang
didapat dari hasil perhitungan menggunakan rumus diatas tidak memenuhi maka
dilakukan penambahan ketebalan pondasi hingga kontrol Vc memenuhi.
2.4.2 Tebal Selimut Pondasi Rakit
Penentuan tebal minimum pondasi rakit dapat disamakan dengan penentuan
tebal minimum pondasi tapak. Menurut pasal 15.7, SNI 2847:2013 dijelaskan
bahwa tebal minimum pondasi tapak diatas tulangan bawah tidak boleh < 150 mm
untuk pondasi tapak yang berada di atas tanah, atau < 300 mm untuk pondasi tapak
di atas tiang pondasi.
24
Perencanaan tebal selimut beton untuk tulangan tidak boleh kurang dari
ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam SNI 2847-2013 pada Tabel 2.14.
Tabel 2.14 Tebal minimum selimut beton untuk tulangan
Kondisi Beton Struktur Selimut
Beton, mm
(a) Beton yang dicor diatas dan selalu berhubungan dengan tanah 75 (b) Beton yang berhubungan dengan tanah atau cuaca: Batang tulangan D-19 hingga D-57 50
Batang tulangan D-16, kawat M-16 ulir atau polos, dan yang lebih kecil
40
(c)
Beton yang dicor diatas dan selalu berhubungan dengan tanah
Slab, dinding, balok usuk:
Batang tulangan D-44 dan D-57 40
Batang tulangan D-36 dan yang lebih kecil 20
Balok, kolom:
Tulangan utama, pengikat, sengkang, spiral 40
Komponen struktur cangkang, pelat lipat:
Batang tulangan D-19 dan yang lebih besar 20
Batang tulangan D-16, kawat M-16 ulir atau polos, dan yang lebih kecil
13
Sumber: SNI 2847 (2013:51)
2.4.3 Kontrol Ketebalan Pondasi Terhadap Gaya Geser
Gaya geser pondasi rakit di sekitar kolom, beban terpusat, atau daerah reaksi
ditentukan oleh kondisi terberat dari dua hal berikut sebagaimana dijelaskan dalam
SNI 1728:2013 pasal 11.11.1.1 dan pasal 11.11.1.2 berikut.
a) Aksi balok dimana masing-masing penampang kritis yang diperiksa
menjangkau sepanjang tiang yang memotong seluruh lebar (aksi satu arah).
b) Aksi dua arah, masing-masing penampang kritis yang diperiksa harus
ditempatkan sedemikian hingga perimeternya bo adalah minimum tetapi
tidak perlu lebih dekat dari d/2
Desain penampang yang mengalami gaya geser harus didasarkan pada
persamaan sebagai berikut.
ϕ Vn ≥ Vu (2.23)
25
Keterangan ϕ Faktor reduksi geser (0,75)
Vn Kekuatan geser nominal (kN) Vu Gaya geser terfaktor pada penampang yang ditinjau (kN)
Dimana
Vn = Vc + Vs (2.24)
Keterangan Vc Kekuatan geser nominal oleh beton (kN)
Vs Kekuatan geser nominal oleh tulangan (kN)
2.4.3.1 Terhadap Aksi Geser Satu Arah
Pemeriksaan kemungkinan kegagalan geser satu arah pada pondasi tapak
seperti Gambar 2.5 (kiri) dapat dilakukan seperti halnya analisis geser pada balok.
Dalam perencanaan pondasi tapak, keruntuhan geser hendaknya terjadi sebelum
kuat lentur penampang tercapai. Sehingga perumusan yang digunakan sebagai
berikut.
Vc = 0,17 λ 𝒇𝒄 bo (2.25)
Gambar 2.5 Geser satu arah pada pondasi tapak (kiri), geser dua arah pada pondasi tapak (kanan)
Sumber : Setiawan (2016:307)
2.4.3.2 Terhadap Aksi Geser Dua Arah
Keruntuhan geser dua arah ditimbulkan oleh munculnya tegangan tarik
diagonal yang disebabkan beban kolom yang disalurkan ke pondasi. Dalam SNI
26
2847:2013, pasal 11.11.2.1, dinyatakan bahwa kuat geser pondasi akibat geser dua
arah, Vc, diperoleh dari nilai terkecil antara :
Vc = 0,17 𝟏 𝟐
𝜷 λ 𝒇𝒄 bo d (2.26)
Vc = 0,083 𝜶𝒔 𝒅
𝒃𝒐𝟐 λ 𝒇𝒄 bo d (2.27)
Vc = 0,33 λ 𝒇𝒄 bo d (2.28)
Keterangan bo Keliling dari penampang kritis pada pelat pondasi rakit (mm)
d Tinggi efektif pelat pondasi (mm) 𝜶𝒔 40 untuk kolom dalam, 30 untuk kolom tepid an 20 untuk kolom sudut 𝜷c Rasio sisi panjang terhadap sisi pendek dari beban terpusat atau daerah tumpuan
Kuat geser dua arah diperiksa terhadap tiap kolom, dari keseluruhan kolom
yang ditopang pondasi dipilih tiga daerah kolom yang dianggap memiliki beban
paling besar. Yakni kolom daerah pinggir, pojok serta tengah pondasi, seperti yang
terlihat pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6 Perhitungan keliling penampang kritis pada pondasi Sumber : Braja M.Das (2011:306)
2.5 Kontrol Stabilitas Pondasi Rakit
Kontrol stabilitas pada pondasi rakit, ditinjau dari beban struktur atas
pondasi, gaya gravitasi, serta gaya horizontal yang bekerja pada bangunan tinggi
berupa gempa. Oleh karena itu, pondasi rakit yang menahan bangunan bertingkat
tinggi perlu dikontrol terhadap momen yang mengakibatkan guling (gaya
horizontal, gempa) dan momen terhadap geser akibat gesekan antara tanah dengan
pondasi.
27
2.5.1 Kontrol Stabilitas Guling
Stabilitas terhadap guling dipengaruhi oleh besarnya gaya momen yang
terjadi, eksentrisitas dan beban-beban yang terjadi pada arah vertikal. Momen yang
terjadi pada stabilitas guling didapatkan dari hasil kali beban gempa terhadap jarak
titik berat ke titik guling. Kontrol stabilitas guling ditinjau dari sumbu lemah dan
sumbu kuat bangunan. Sehingga, menurut Braja (2011:382) kontrol stabilitas
bangunan gedung dan pondasi rakit dapat dinyatakan aman terhadap guling apabila
memenuhi persamaan berikut.
𝑴𝑹
𝑴𝑶𝟏, 𝟓 (2.29)
Keterangan MR Momen penahan guling (kN.m)
MO Momen penyebab guling (kN.m)
Momen penahan guling dapat dihitung dengan persamaan
𝑴𝑹 𝑾 𝒙 𝒅 (2.30)Keterangan
W Berat sendiri bangunan (kN)
d Jarak titik beban ke titik guling (m)
2.5.2 Kontrol Stabilitas Geser
Stabilitas geser pada gedung dipertimbangkan terhadap nilai gaya geser
yang terjadi akibat gaya horizontal yg dialami oleh tanah baik akibat gesekan antara
tanah dengan pondasi maupun akibat gempa/angin. Gaya geser menyebabkan
terjadinya perpindahan bangunan pada arah horizontal. Apabila dibiarkan maka
akan merusak komponen struktur bangunan tersebut, maka dari itu perlunya kontrol
stabilitas terhadap geser. Menurut Braja (2011:384) bangunan gedung dan pondasi
rakit dapat dinyatakan aman terhadap geser apabila memenuhi persamaan berikut.
𝑭𝑹′ 𝑭𝑫
𝟐, 𝟎 (2.31)
Keterangan FR’ Gaya penahan geser (kN) FD Gaya penyebab geser (kN)
28
Gaya penahan geser dapat dihitung dengan persamaan
𝑭𝑹 𝑪 𝑨 𝑽 𝒕𝒂𝒏 ø (2.32)
Keterangan C Kohesi tanah pada permukaan yang
mengalami geser (kN/m2)A Luas area permukaan geser (m2) V’ Beban vertikal efektif (kN) ø Sudut geser tanah (o)
2.6 Kapasitas Dukung Pondasi Rakit
Daya dukung tanah didefinisikan sebagai kekuatan maksimum tanah
menahan tekanan dengan baik tanpa menyebabkan terjadinya kegagalan (failure).
Kegagalan pada pondasi terjadi akibat ketidak mampuan pondasi menahan gaya
geser, ketidakmampuan meneruskan beban ketanah, dan terjadi penurunan pada
tanah yang melewati batas.
Perhitungan kapasitas dukung pondasi rakit dibagi menjadi 2, tergantung
dengan kondisi tanahnya berpasir ataukah lempung. Pondasi rakit merupakan
pondasi dangkal yang kapasitas dukungnya dapat dihitung selayaknya telapak
sebar. Menurut Hardiyatmo (2011:421) beban pondasi yang mengakibatkan
keruntuhan tanah tidak bergantung pada lebar pondasi rakit. Sedangkan
penambahan kedalaman pondasi rakit, menyebabkan besar nilai beban merata
bertambah (po=Df) dan meningkatkan nilai kapasitas dukung ultimit. Sedangkan
untuk mengurangi tekanan akibat berat bangunan pada tanah, lebar pondasi rakit
harus ditambah. Dan apabila penambahan lebar pondasi tidak memungkinkan
akibat terbatasnya luas lokasi proyek, maka bila rakit terletak pada lempung lunak
dilakukan penambahan kedalaman pondasi untuk mengurangi tekanan tanah yang
besar.
Kapasitas dukung ijin (qs) ditentukan dari kapasitas dukung ultimit (qult)
dibagi dengan faktor aman yang sesuai. Dalam analisa pondasi telapak ada terdapat
bebrapa metode analisa yang umum digunakan yaitu analisa terzaghi dan analisa
mayerhof.
29
Terzhagi (1943) memberikan pengaruh bentuk daya dukung ultimit yang
didasarkan pada analisis pondasi memanjang sebagaimana Tabel 2.15 :
Tabel 2.15 Kapasitas dukung ultimit Terzaghi (1943)
Bentuk Pondasi Kapasitas dukung ultimit (qu)
Pondasi Bujur Sangkar = 1,3 CNc + po Nq + 0,4 γ BNγ
Pondasi Lingkaran = 1,3 CNc + po Nq + 0,3 γ BNγ
Pondasi Empat Persegi Panjang = C Nc (1+ 0,3 B/L) + po Nq + 0,5 γ BNγ (1- 0,2 B/L)
Sumber: Hardiyatmo (2014:122
Gambar 2.7 Grafik hubungan ϕ dan Nγ, Nc , Nq (Terzaghi, 1943)
Sumber: Hardiyatmo (2014:119)
Nilai faktor daya dukung Terzaghi yang dibagi berdasarkan hubungan sudut
geser terhadap jenis keruntuhannya dapat dilihat melalui Tabel 2.16.
Keterangan
C Kohesi Po Tekanan overburden pada dasar pondasi
γ Berat volume tanah yang dipertimbangkan terhadap kedudukan air tanah
Df Kedalaman pondasi
Bw Lebar pondasi
L Panjang pondasi
Nγ, Nc , Nq Faktor daya dukung Terzaghi sesuai Gambar 2.7 atau Tabel 2.15
30
Tabel 2.16 Nilai faktor kapasitas dukung Terzaghi (1943)
φ Keruntuhan geser umum Keruntuhan geser lokal
Nc Nq Nγ Nc’ Nq
’ Nγ’
0 5,7 1,0 0,0 5,7 1,0 0,0
5 7,3 1,6 0,5 6,7 1,4 0,2
10 9,6 2,7 1,2 8,0 1,9 0,5
15 12,9 4,4 2,5 9,7 2,7 0,9
20 17,7 7,4 5,0 11,8 3,9 1,7
25 25,1 12,7 9,7 14,8 5,6 3,2
30 37,2 22,2 19,7 19,0 8,3 5,7
34 52,6 36,5 35,0 23,7 11,7 9,0
35 57,8 41,4 42,4 25,2 12,6 10,1
40 95,7 81,3 100,4 34,9 20,5 18,8
45 172,3 173,3 297,5 51,2 35,1 37,7
48 258,3 287,9 780,1 66,8 50,5 60,4
50 347,6 415,1 1153,2 81,3 65,6 87,1 Sumber: Hardiyatmo (2014:121)
Sedangkan Mayerhof (1955) menyarankan dalam metodenya, untuk
menghitung kapasitas dukung perlu mempertimbangkan faktor bentuk pondasi,
kemiringan beban, dan besar kuat geser tanah diatas pondasi. Sehingga persamaan
Mayerhof sebagai berikut.
qult = Sc dc ic C Nc + Sq dq iq Po Nq + Sγ dγ iγ B’γ Nγ (2.33)
Keterangan
C Kohesi (kN/m2) Po Tekanan overburden pada dasar pondasi (kN/m2)
γ Berat volume tanah yang dipertimbangkan terhadap kedudukan air tanah (kN/m3)
B’ Lebar efektif pondasi (m) Sc, Sq, Sγ Faktor bentuk pondasi sebagaimana Tabel 2.18 dc, dq, dγ Faktor kedalaman pondasi sebagaimana Tabel 2.19 ic, iq, iγ Faktor kemiringan beban sebagaimana Tabel 2.20
Nγ, Nc, Nq Faktor daya dukung Terzaghi sebagaimana Tabel 2.17
Jika beban eksentris, maka dimensi efektif pondasi yang disarankan
Mayerhof ialah B’=B-2ex dan L’=L-2ey. Sedangkan bila beban eksentris 2 arah
maka digunakan B’/L’ sebagai ganti B/L untuk persamaan pada Tabel 2.18 dan 2.19.
31
Tabel 2.17 Nilai faktor-faktor kapasitas dukung Mayerhof (1963), Hansen (1961), dan Vesic (1973)
φ Mayerhof (1963) Hansen (1961) Vesic (1973)
Nc Nq Nγ Nc Nq Nγ Nc Nq Nγ
1 5,14 1,00 0,00 5,14 1,00 0,00 5,14 1,00 0,00
2 5,38 1,09 0,00 5,38 1,09 0,00 5,38 1,09 0,07
3 5,63 1,20 0,01 5,63 1,20 0,01 5,63 1,20 0,15
4 6,19 1,43 0,04 6,19 1,43 0,05 6,19 1,43 0,24
5 6,49 1,57 0,07 6,49 1,57 0,07 6,49 1,57 0,45
6 6,81 1,72 0,11 6,81 1,72 0,11 6,81 1,72 0,57
7 7,16 1,88 0,15 7,16 1,88 0,16 7,16 1,88 0,71
8 7,53 2,06 0,21 7,53 2,06 0,22 7,53 2,06 0,86
9 7,92 2,25 0,28 7,92 2,25 0,30 7,92 2,25 1,03
10 8,34 2,47 0,37 8,34 2,47 0,39 8,34 2,47 1,22
Sumber: Hardiyatmo (2014:150)
Tabel 2.18 Faktor bentuk pondasi (Mayerhof, 1963)
Faktor Bentuk Nilai Keterangan
Sc 1 + 0,2 (B/L) tg2 (45 + φ/2) Untuk sembarang φ
Sq = Sγ
1 + 0,1 (B/L) tg2 (45 + φ/2) Untuk φ ≥ 10o
1 Untuk φ = 0
Sumber: Hardiyatmo (2014:152)
Tabel 2.19 Faktor kedalaman pondasi (Mayerhof, 1963)
Faktor Kedalaman Nilai Keterangan
dc 1 + 0,2 (D/B) tg (45 + φ/2) Untuk sembarang φ
dq = dγ 1 + 0,1 (D/B) tg (45 + φ/2) Untuk φ ≥ 10o
1 Untuk φ = 0
Sumber: Hardiyatmo (2014:152)
Tabel 2.20 Faktor kemiringan beban pondasi (Mayerhof, 1963) Faktor kemiringan
beban Nilai Keterangan
ic = iq 1𝛿°
90°
2
Untuk sembarang φ
iγ 1
𝛿°
𝜑
2
Untuk φ ≥ 10o
1 Untuk φ = 0
Sumber: Hardiyatmo (2014:152)
32
2.7 Beban Eksentris
Beban vertikal yang eksentris pada fondasi memanjang yang terletak di
permukaan tanah kohesif ( 𝜑 = 0) dan tanah granuler (c = 0 dan 𝜑 = 35°),
menyebabkan terjadinya pengurangan atau reduksi kapasitas dukung dari pondasi.
Pada tanah-tanah granuler, reduksi kapasitas dukung lebih besar daripada tanah
kohesif.
Meyerhof (1953) menganggap bahwa pengaruh eksentrisitas beban pada
kapasitas dukung adalah mereduksi dimensi fondasi. Bila area fondasi sebenamya
berukuran B dan L, akibat pengaruh beban yang eksentris, Meyerhof mengusulkan
koreksi untuk lebar dan panjangnya yang dinyatakan dalam dimensi efektif fondasi
B' dan L '. Untuk eksentrisitas beban satu arah, dimensi efektif fondasi dinyatakan
sebagai berikut:
Jika beban eksentris pada arah lebamya, maka :
B ' = B - 2ex dengan L ' = L (2.34)
Jika beban eksentris pada arah memanjangnya, maka :
L ' = L - 2ey, dengan B ' = B (2.35)
Jika eksentrisitas beban dua arah, yaitu ex dan ey, maka lebar ef ektif fondasi
(B') ditentukan sedemikian hingga resultan beban terletak di pusat berat area efektif
A' . Komponen vertikal beban total ultimit (Qult) menurut Braja M. Das (2011) yang
dapat didukung oleh fondasi dengan beban eksentris dinyatakan oleh:
Qult = qu A’ = qu B’ L’ (2.36)
dengan A' adalah luas efektif dengan sisi terpanjang L ', sedemikian hingga
pusat beratnya berimpit dengan garis kerja resultan beban pondasi. Dengan ini lebar
efektif pondasi dapat didefinisikan sebagai berikut :
B’ = A’/ L’ (2.37)
Untuk eksentrisitas beban 2 arah, Meyerhof (1953), menyarankan
penyederhanaan luas dasar efektif pondasi seperti yang ditunjukkan pada Gambar
2.8, dengan persamaan :
B’ = B – 2ex dan L’ = L - 2ey (2.38)
33
Gambar 2.8 Area kontak efektif, a) Eksentrisitas satu arah, b) Eksentrisitas dua arah, c) Eksentrisitas dua arah disederhanakan (Meyerhof, 1953)
Setelah menghitung luasan efektif pondasi , langkah selanjutnya yakni
menentukan koordinat titik berat, serta besar eksentrisitas beban pondasi menurut
Braja M. Das (2011:305) dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan :
𝒙
𝑸𝟏𝒙′𝟏 𝑸𝟐𝒙′𝟐 𝑸𝟑𝒙′𝟑 ⋯𝑸
(2.39)
dan
𝒆𝒙 𝒙𝑩𝟐
(2.40)
kemudian untuk arah y’,
𝒚
𝑸𝟏𝒚′𝟏 𝑸𝟐𝒚′𝟐 𝑸𝟑𝒚′𝟑 ⋯𝑸
(2.41)
dan
𝒆𝒚 𝒚𝑳𝟐
(2.42)
Keterangan
B’ , L’ Lebar efektif , panjang efektif Q1
Beban kerja kolom ke-1 x1 Jarak kolom ke-1 dengan sumbu pondasi rakit pada arah x y1 Jarak kolom ke-1 dengan sumbu pondasi rakit pada arah y
𝒆𝒙 Eksentrisitas arah x 𝒆𝒚 Eksentrisitas arah y
34
2.8 Kapasitas Dukung Tiang Pancang
Kapasitas dukung tiang pancang dihitung pada tiang tunggal dan tiang kelompok. Serta ditinjau terhadap daya dukungnya terhadap beban vertikal dan horizontal. Berikut penjabarannya.
2.8.1 Daya Dukung Vertikal
Berdasarkan Sosrodarsono dan Nakazawa (2000), daya dukung ultimit pada
pondasi tiang tunggal didapat dari besar tahanan ujung dan besar gaya gesek yang
terjadi antara tiang dengan tanah dibagi dengan faktor keamanan sebagaimana
persamaan berikut.
𝑞𝑄𝑏𝐹𝑘
𝑄𝑠𝐹𝑘
(2.43)
𝑞𝑞𝑑 . 𝐴𝑏
𝐹𝑘
∑ 𝑙𝑖. 𝑓𝑖. 𝑈𝐹𝑘
(2.44)
Keterangan
𝑞𝑢 Daya dukung ultimit satu tiang (ton)
Qb Daya dukung ujung tiang (ton) Qs Gaya gesek tiang (ton)
qd Daya dukung terpusat tiang (ton)
Ab Luas ujung tiang (m2)
li Tebal lapisan tanah dengan geseran dinding tiang (m) fi Gaya geser maksimum degan geseran dinding tiang (ton/m2)
2.8.2 Daya Dukung Horisontal
Daya dukung lateral tiang dengan ujung terjepit dan berada pada lapisan tanah
granuler dapat dihitung dengan metode broms dalam Hardiyatmo (2015:309)
sebagaimana persamaan berikut.
H32
γ d L K (2.45)
Keterangan
H Daya dukung horisontal tiang (ton)
γ Berat volume tanah (kN/m3) d Diameter tiang (m)
L Panjang tiang (m)
Kp Tg2 (45o + φ/2)
35
2.8.3 Daya Dukung Kelompok Tiang
Daya dukung tiang kelompok dipengaruhi oleh konfigurasi tiang, jarak tiang, dan
faktor efisiensi sebagaimana berikut.
𝑄 𝑁 𝑥 𝐸 𝑥 𝑞𝑢 (2.46)
Keterangan
Q Daya dukung kelompok tiang (ton)
N Jumlah tiang Ef Faktor efisiensi tiang
𝑞𝑢 Daya dukung tiang tunggal (ton)
Dengan nilai efisiensi daya dukung kelompok tiang dihitung dengan persamaan
yang disarankan oleh Converse-Labarre dalam Hardiyatmo (2015:218).
𝐸 1 𝑡𝑔𝑑𝑠
𝑛 1 𝑚 𝑚 1 𝑛90 𝑚 𝑛′
(2.47)
Keterangan
𝐸𝑓 Faktor efisiensi kelompok tiang
𝑁 Jumlah tiang d Diameter tiang (m)
𝑠 Jarak antar tiang (m)
m Baris tiang
n Jumlah tiang dalam satu baris
Jarak maksimal antar tiang pada pondasi rigid dapat dihitung dengan
persamaan berikut.
= (2.48)
Keterangan
𝐵1 Lebar pondasi (m)
𝑘 Modulus reaksi tanah dasar (kN/m3)
Ef Modulus elastisitas material pondasi (kN/m2)
If Momen inersia pada pondasi (m4) (1/12) B1 h3
h Tebal pondasi (m)
36
2.9 Penurunan (Settlement)
Perpindahan suatu titik tertentu pada bangunan terhadap titik awal yang
tetap disebut dengan istilah penurunan. Suatu penurunan dinilai aman apabila
penurunan terjadi secara seragam, tidak berlebihan, dan tidak bisa dilihat secara
langsung oleh mata maka penurunan tersebut dianggap tidak menyebabkan
kerusakan pada bangunan. Namun apabila kondisi yang terjadi sebaliknya dan
penurunan yang terjadi tak seragam maka penurunan tersebut dianggap lebih
membahayakan dari penurunan total (Hardiyatmo, 2014).
Meskipun faktor-faktor yang mempengaruhi pondasi rakit dan pondasi
telapak sama, karateristik penurunan yang terjadi pada pondasi rakit dan pondasi
telapak cenderung berbeda. Perbedaan karakteristik penurunan pada pondasi rakit
disebabkan oleh luas area zona tekan pondasi rakit yang jauh lebih besar dibanding
pondasi telapak. Sehingga zona tanah yang tertekan mengalami penurunan
berkembang lebih dalam. Pada pondasi rakit penurunan maksimum terletak pada
bagian tengah pondasi, berbeda halnya dengan pondasi telapak yang memiliki
penurunannya relative seragam seperti pada Gambar 2.9. .
Gambar 2.9 Distribusi tekanan pada tanah dibawahnya
(a) pondasi kelompok tiang, (b) pondasi telapak Sumber: Hardiyatmo (2014:422)
Penurunan yang terjadi pada tanah dibagi menjadi 3, yaitu penurunan segera
(immediate settlement), penurunan konsolidasi primer dan sekunder. Total
penurunan yang terjadi merupakan akumulasi dari ketiga jenis penurunan yang
telah disebutkan. Persamaan penurunan tersebut dinyatakan sebagai berikut.
(b) (a)
37
S = Si + Sc + Ss (2.49)
Keterangan S Penurunan total (mm)
Si Penurunan segera (mm) Sc Penurunan konsolidasi primer (mm) Ss Penurunan konsolidasi sekunder (mm)
2.9.1 Penurunan Segera (Immediate Settlement)
Penurunan segera merupakan penurunan yang berlangsung seketika (cepat)
pada saat tanah mengalami proses pembebanan, biasanya terjadi saat pelaksanaan
masa konstruksi. Umumnya penurunan segera terjadi dalam jangka waktu yang
pendek antara 0-7 hari, dan terjadi pada lapisan tanah dengan butir kasar atau halus
yang tidak jenuh . Besarnya penurunan segera dipengaruhi oleh modulus elastisitas,
kekakuan tanah, serta besarnya beban yang terjadi pada permukaan tanah.
Persamaan penurunan segera ditunjukan sebagaimana berikut:
𝑺𝒊𝒒𝒏 𝑩
𝑬𝒔𝟏 µ𝟐 𝒍𝒑 (2.50)
Keterangan qn Tekanan pada dasar pondasi netto
B Lebar pondasi μ Rasio poisson sebagaimana Tabel 2.22 Es Modulus elastisitas tanah sebagaimana Tabel 2.23 Ip Faktor pengaruh sebagaimana Tabel 2.21
Sedangkan menurut Janbu (1956) mengusulkan persamaan penurunan segera rata-rata pada beban terbagi rata fleksibel berbentuk empat persegi panjang dan lingkaran sebagai berikut.
Si = 1o
Keterangan Si Penurunan segera rata-rata
1 Faktor koreksi untuk lapisan tanah dengan tebal terbatas H (Gambar 2.9)
o Faktor koreksi untuk kedalaman pondasi (Gambar 2.9)
B Lebar pondasi empat persegi panjang / diameter lingkaran (m)
q Tekanan pondasi neto kN/m2 E Modulus elastisitas tanah (kN/m2
38
Gambar 2.9 Grafik nilai 1 dan o
Tabel 2.21 Faktor pengaruh Im (Lee,1962) dan Ip (Schleicer,1962) untuk pondasi kaku, dan faktor pengaruh untuk pondasi fleksibel (Terzaghi,1943)
Bentuk fondasi Fleksibel (Ip) Kaku
Pusat Sudut Rata-rata Ip Im
Lingkaran 1,00 0,64 0,85 0,88*
Bujur sangkar 1,12 0,36 0,95 0,82 3,70
Empat persegi panjang
L/B = 1,5 1,36 0,68 1,20 1,06 4,12 2,0 1,53 0,77 1,31 1,20 4,38 5,0 2,10 1,05 1,83 1,70 4,82 10,0 2,52 1,26 2,25 2,10 4,93 100,0 3,38 1,69 2,96 3,40 5,06
Sumber: Hardiyatmo (2014:278)
39
Tabel 2.22 Perkiraan rasio poisson (µ) (Bowles,1968)
Macam Tanah µ
Lempung jenuh 0,4 – 0,5
Lempung tak jenuh 0,1 – 0,3
Lempung berpasir 0,2 – 0,3
Lanau 0,3 – 0,35
Pasir padat 0,2 – 0,4
Pasir kasar (angka pori, e = 0,4 – 0,7) 0,15
Pasir halus (angka pori, e = 0,4 – 0,7) 0,25
Batu (agak tergantung dari macamnya) 0,1 – 0,4
Loess 0,1 – 0,3
Sumber: Hardiyatmo (2014:280)
Tabel 2.23 Perkiraan modulus elastis (E) (Look,2007)
Tipe Kondisi Modulus Elastisitas E (kPa)
Kerikil
Longgar 25.000 - 50.000
Kepadatan sedang 50.000 - 100.000
Padat 100.000 - 200.000
Pasir butiarn sedang sampai kasar
Sangat longgar < 5.000
Longgar 3.000 - 10.000
Kepadatan sedang 8.000 - 30.000
Padat 25.000 - 50.000
Sangat padat 40.000 - 100.000
Pasir halus
Longgar 5.000 - 10.000
Kepadatan sedang 10.000 - 25.000
Padat 25.000 - 50.0000 Jangka pendek; Jangka panjang;
Lanau
Lunak < 10.000 < 8.000
Kaku 10.000 - 20.000 8.000 - 15.000
Keras > 20.000 > 15.000
Lempung
Sangat lunak < 3.000 < 2.000
Lunak 2.000 - 7.000 1.000 - 5.000
Sedang 5.000 - 12.000 4.000 - 8.000
Kaku 10.000 - 25.000 7.000 - 20.000
Sangat kaku 20.000 - 50.000 15.000 - 35.000
Keras 40.000 - 80.000 30.000 - 60.000
Sumber: Hardiyatmo (2014:281)
40
2.9.2 Penurunan Konsolidasi Primer
Penurunan konsolidasi primer merupakan penurunan yang ditandai dengan
berkurangnya volume tanah akibat keluarnya aliran air dan udara dalam pori tanah
pada zona tertekan akibat bekerjanya beban luar. Umumnya terjadi pada lapisan
tanah lempung atau tanah dengan derajat kejenuhan yang tinggi. Penurunan yang
terjadi pada konsolidasi primer lebih lama dibanding penurunan segera. Hal ini
diakibat karena tanah lempung memiliki tingkat permeabilitas yang rendah.
Penurunan yang terjadi cukup besar, besarnya penurunan tergantung pada lamanya
pembebanan. Penurunan konsolidasi primer dapat ditentukan dengan persamaan
berikut
𝑺𝒄
𝑪𝒄 𝑯𝟏 𝒆𝟎
𝐥𝐨𝐠𝒑𝒐 𝒑
𝒑𝒐 (2.51)
Keterangan
Cc Indeks pemampatan H Tebal lapisan tanah Po Tekanan awal akibat berat tanah 𝒑 Penambahan tekanan
𝒆𝟎 Angka pori awal Sumber: Braja (1995:194)
2.9.3 Penurunan Ijin
Menurut RSNI3 Geoteknik (2017:178), pasal 9.2.4.3 besarnya penurunan
total dan beda penurunan yang diizinkan ditentukan berdasarkan toleransi struktur
atas dan bangunan sekitar yang harus ditinjau berdasarkan masing-masing kasus
tersendiri dengan mengacu pada integritas, stabilitas dan fungsi dari struktur di
atasnya. Berikut persamaan penurunan izin untuk bangunan tinggi.
𝑺 𝟏𝟓 𝒄𝒎
𝒃𝟔𝟎𝟎
(2.52)
KeteranganS Penurunan izin (cm)b Lebar pondasi (cm)
Sedangkan Skempton dan MacDonald (1955) menyarankan batas
penurunan maksimum pondasi sebagaimana pada Tabel 2.24.
41
Tabel 2.24 Penurunan ijin maksimum
Jenis Pondasi Batas Penurunan Maksimum
(mm)
Pondasi terpisah pada tanah lempung 65
Pondasi terpisah pada tanah pasir 40
Pondasi rakit pada tanah lempung 65-100
Pondasi rakit pada tanah pasir 40-65
Sumber: Hardiyatmo (2014:335)
2.10 Tekanan Tanah pada Dasar Pondasi (Soil Pressure Check)
Beban-beban yang harus diperhitungkan dalam hitungan tekanan tanah
akibat beban fondasi yang harus dicek terhadap kapasitas dukung ijin (qa) adalah
beban mati yang benar-benar aktif dikurangi dengan beban terbagi rata akibat berat
tanah di atas dasar fondasi. Bila tekanan pada tanah akibat bebannya terlalu tinggi,
pondasi perlu diperdalam. Setelah kedalaman fondasi ditentukan, dilakukan
hitungan gaya-gaya yang bekerja pada pelat dasar rakit.
Berat fondasi rakit dapat tidak dimasukkan dalam hitungan struktur
rakitnya, karena di setiap titik pada rakit didukung tanah secara langsung oleh tanah
di bawahnya, sehingga tidak menimbulkan momen lentur (Hardiyatmo, 2002).
Penyebaran tekanan pada dasar fondasi, dihitung dengan persamaan :
𝒒
𝑸𝑨
𝑴𝒚𝒙
𝑰𝒚
𝑴𝒙𝒚𝑰𝒙
(2.46)
Dimana Q Jumlah total beban pondasi (kN) A Luas total pondasi rakit (m2)
x, y Koordinat pada sembarang titik pada rakit arah sumbu x-y yang melewati pusat berat luasan pondasi (m)
Ix, Iy Momen inersia terhadap sumbu x dan sumbu y (m4) ex, ey Eksentrisitas searah sumbu x dan y (m)
2.11 Penulangan Pondasi Rakit
Perencanaan penulangan pada pondasi rakit, dipengaruhi oleh lendutan atau
reaksi yang terjadi akibat adanya tekanan beban dari kolom yang menimbulkan
reaksi tegangan tanah pada dasar pondasi, seperti Gambar 2.9.
42
Gambar 2.10 Lentur pada pondasi gabungan Sumber : Ref. 16.8
Penulangan pondasi rakit didesain sebagaimana desain penulangan pada
pondasi menerus atau balok menerus, apabila rakit sangat rigid dan beban serta
jarak kolom hampir seragam. Menurut Setiawan (2016) penulangan pondasi rakit
didesain secara lentur layaknya balok menerus denngan lebar 1 meter dan menerima
beban merata berupa tegangan tanah akibat reaksi beban dari kolom.
Berikut beberapa langkah dalam merencanakan kebutuhan desain tulangan
lentur menurut Rusdianto (2005:118).
a) Rencanakan dimensi pondasi sebagaimana balok persegi dengan lebar (d)
dan tinggi efektif (d).
Kperlu = 𝑴𝒖
𝝓 𝒃 𝒅𝟐 (2.47)
Keterangan
𝑴𝒖 Besar momen yang terjadi [Kg.m]
𝝓 Faktor feduksi d Tinggi efektif pondasi [m] b Lebar pondasi [m]
b) Menghitung rasio tulangan yang digunakan dengan persamaan
𝜔 = 𝛽1− 𝟎, 𝟕𝟐 𝟏, 𝟕𝑲
𝑭𝒄 (2.48)
𝜌 = 𝜔 . 𝐅𝐜
𝐅𝐲 (2.49)
43
𝜌b = 𝟎,𝟖 𝐅𝐜
𝐅𝐲 𝛽1
𝟔𝟎𝟎
𝟔𝟎𝟎 𝐅𝐲
(2.50)
𝜌max = 0,75 𝜌b (2.51)
𝜌min = 𝟏,𝟒
𝐅𝐲 (2.52)
Pemeriksaan terhadap rasio tulangan tarik : ρ min < ρ < ρ max
c) Menghitung luas tulangan rencana dan luas tulangan pakai
Luas tulangan rencana dihitung sebagaimana persamaan
𝐴𝑠 𝜌 . 𝑏 . 𝑑𝑟𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎 (2.53)
Keterangan
𝐀𝐬 Luas Tulangan Rencana
Luas tulangan pakai harus lebih besar sama dengan luas tulangan rencana,
besar luas tulangan pakai dapat diambil dari Tabel 2.25.
Tabel 2.25 Luas Penampang Tulangan Baja Per Meter Panjang Plat Diameter
Batang
(mm)
Luas Penampang (mm)
Jarak Spasi (mm)
50 75 100 125 150 175 200 225 250 275 300
6 565 377 283 226 188 162 141 126 113 103 94
8 1005 670 503 402 335 287 251 223 201 183 168
10 1571 1047 785 628 524 449 393 349 314 286 262
12 2262 1508 1131 905 754 646 565 503 452 411 377
13 2655 1770 1327 1062 885 758 664 590 531 483 442
14 3079 2053 1539 1232 1026 880 770 684 616 560 513
16 4021 2681 2011 1608 1340 1149 1005 894 804 731 670
19 5671 3780 2835 2268 1890 1620 1418 1260 1134 1031 945
22 7603 5068 3801 3041 2534 2172 1901 1689 1521 1382 1267
25 9817 6545 4909 3927 3272 2805 2454 2182 1963 1785 1636
28 12315 8210 6158 4926 4105 3519 3079 2737 2463 2239 2053
29 13210 8807 6605 5284 4403 3774 3303 2936 2642 2402 2202
32 16085 10723 8042 6434 5362 4596 4021 3574 3217 2925 2681
36 20358 13572 10179 8143 6786 5816 5089 4524 4072 3701 3393
40 25133 16755 12566 10053 8378 7181 6283 5585 5027 4570 4189
50 39270 26180 19635 15708 13090 11220 9817 8727 7854 7140 6545
Sumber: Dipohusodo (1994:459)
44
2.12 Perencanaan Sambungan Tiang Pancang
Sambungan antara tiang pancang dengan pile cap direncanakan pada bagian
yang terbenam cukup kecil, dengan memanfaatkan tulangan beton, dimana tiang
masih dapat menahan momen yang terjadi pada. Perencanaan sambungan tiang
pancang dengan pile cap ditunjukkan pada Gambar 2.12
Gambar 2.12 Sambungan tiang pancang dengan pile cap
2.12.1 Perencanaan Beton Pengisi
Beton pengisi merupakan bagian yang mengalami penambahan
direncanakan dengan dianggap sebagai penampang beton bertulang. Dalam hal ini
tiang pancang beton prategang diabaikan. Perencanaan pemakaian tulangan
mengikuti sesuai dengan peraturan SKSNI T15:1991-03 sebagai berikut.
a) Menentukan luas tulangan longitudinal (Ast) yang akan digunakan.
Menurut SNI 2847:2013, luas tulangan struktur komponen tekan tidak
boleh kurang dari 0,01 Ag atau lebih dari 0,08 Ag
𝐴𝑔14
𝜋 𝐷 (2.54)
𝐴𝑠𝑡14
𝜋 𝐷𝑠𝑡 𝑛 (2.55)
Besar luas tulangan longitudinal (Ast), diambil antara 1-4% dari nilai Ag.
45
b) Penampang beton pengisi yang berbentuk lingkaran selanjutnya
diekuivalenkan menjadi penampang segi empat guna menentukan
eksentrisitas dalam keadaan balance.
a. Ekivalen tebal penampang
𝐻 0,8 𝐷 (2.56
b. Ekivalen lebar penampang
𝐿
14 𝜋 𝐷
0,8 𝐷 (2.57)
c. Luas distribusi tulangan untuk dua lapis
𝐴𝑠 𝐴𝑠12
𝐴𝑠𝑡 (2.58)
d. Jarak tiap tulangan
𝐷𝑠23
𝐷𝑠 (2.59
c) Cek eksentrisitas rencana yang diberikan (e) dibandingkan terhadap
eksentrisitas balance (eb).
𝐶𝑏600
600 𝑓𝑦𝐷 (2.60)
𝐴𝑏 𝛽1 𝑥 𝐶𝑏 (2.61)
Menghitung regangan tulangan baja.
𝜀 ′𝜀 𝐶𝑏
𝐻 𝐷𝑠2
𝐶𝑏 (2.62)
Menghitung tegangan tulangan baja.
𝐹 𝐸𝑠 𝑥 𝜀 ′ (2.63)
Gaya tekan balance (Pub) keadaan seimbang.
𝑃𝑢𝑏 0,85 𝑓𝑐 𝑎 𝐿 𝐴𝑠 𝑓𝑠 𝐴𝑠 𝑓𝑦 (2.64)
Momen balance (Mub) keadaan seimbang.
𝑀𝑢𝑏 0,85 𝑓𝑐 𝑎 𝐿12
𝐻12
𝑎
𝐴𝑠 𝑓𝑦12
𝐻𝐻 𝐷𝑠
2
46
𝐴𝑠 𝑓𝑦 𝐷12
𝐻 (2.65)
𝑒𝑏𝑀𝑢𝑏𝑃𝑢𝑏
(2.66)
Kontrol eksentrisitas
eb < e = Keruntuhan yang terjadi adalah keruntuhan tarik.
eb > e = Keruntuhan yang terjadi adalah keruntuhan tekan.
2.12.2 Panjang Beton Pengisi
Panjang beton pengisi yang diisyaratkan menurut Suyono S dan Kazuto
Nakazawa (1994), dirumuskan sebagai berikut.
𝐿1 50 𝑥 ∅ (2.67)
Keterangan L1 Panjang penyaluran beton (mm) ∅ Diameter tulangan (mm)
2.12.3 Panjang Jangkar Penulangan (Penyaluran)
Panjang beton pengisi yang diisyaratkan menurut Suyono S dan Kazuto
Nakazawa (1994), dirumuskan sebagai berikut:
I fy
1,1 λ √fc′x
Ψt x Ψe x ΨsCb Ktr
db
x d (2.68)
Keterangan 𝑓𝑦 Kuat tarik baja (Mpa) λ Beton ringan = 0,7
Beton normal = 1,0 𝑓𝑐′ Kuat tekan beton (Mpa) 𝛹𝑡 Tulangan horisontal dipasang lebih dari 300 mm beton segar dicor di bawah
panjang penyaluran atau sambungan, 𝛹𝑡 = 1.3. Untuk kondisi lain, 𝛹𝑡 = 1.0.
Ψe Untuk batang tulangan dilapisi epoksi, batang tulangan dilapisi ganda bahan seng dan epoksi, kurang dari 3db, atau spasi bersih kurang dari 6db, Ψe = 1.5. Untuk semua batang tulangan dilapisi epoksi, atau kawat dilapisi epoksi lainnya, Ψe = 1.2. Untuk tulangan tidak dilapisi dan dilapisi bahan seng, Ψe = 1.0. Hasil Ψe = tidak perlu lebih besar dari 1.7.
47
Ψs Batang tulangan atau kawat ulir D 19 atau yang lebih kecil, Ψs = 0.8. Batang tulangan ≥ D 22, Ψs = 1.0.
Cb Yang ≤ dari jarak pusat batang tulangan atau kawat ke permukaan beton terdekat, dan setengah spasi pusat ke pusat batang tulangan atau kawat yang disalurkan (mm)
db Diameter tulangan (mm)
Untuk ruas pengekangan,
, tidak boleh diambil lebih besar dari 2,5.
Nilai Ktr dihitung dengan persamaan berikut.
𝐾𝑡𝑟40 𝑥 𝐴𝑡𝑟
𝑠 𝑥 𝑛(2.69)
Keterangan Atr Luas penampangan total tulangan tranversal dalam spasi s, (mm2) 𝑠 Jarak spasi pusat ke tulangan (mm) 𝑛 Jumlah batang tulangan atau kawat yang disambung sepanjang bidang
pembelahan
Untuk penyederhanaan desain, nilai Ktr = 0, walaupun ada tulangan
tranversal. Penyaluran kondisi tekan, Idc, dibandingkan dari persamaan berikut.
𝐼𝑑𝑐0,24 𝑓𝑦
𝜆 𝑓𝑐′𝑑 (2.70)
𝐼𝑑𝑐 0,043 𝑓𝑦 𝑑 (2.71)
Keterangan fy Kuat tarik baja (Mpa) 𝜆 Beton ringan = 0,7
Beton normal = 1,0 𝑓𝑐′ Kuat tekan beton (Mpa) db Diameter tulangan pokok (mm)