Upload
phamtuong
View
270
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
STUDI POPULASI SIAMANG (Simphalangus syndactilus)
DI HUTAN LINDUNG REGISTER 25 PEMATANG TANGGANG
KABUPATEN TANGGAMUS
(Skripsi)
Oleh
NUR LUTFIATUZ ZAHRA
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2016
ABSTRAK
STUDI POPULASI SIAMANG (Simphalangus syndactylus)
DI HUTAN LINDUNG REGISTER 25 PEMATANG TANGGANG
KABUPATEN TANGGAMUS
Oleh
NUR LUTFIATUZ ZAHRA
Siamang (Simphalangus syndactylus Raffles, 1821) merupakan salah satu primata
yang dilindungi oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
1999. Keberadaan siamang sangat berperan penting dalam ekosistem hutan,
selain itu berperan sebagai polinator dan penyebar biji tumbuh-tumbuhan.
Meningkatnya alih fungsi lahan menjadi lahan perkebunan dan pertanian
mengakibatkan penyebaran populasi siamang menjadi menurun. Hutan Lindung
Register 25 Pematang Tanggang Kabupaten Tanggamus berbatasan dengan Hkm,
sehingga rentan mengalami alih fungsi lahan yang memungkinkan populasi
siamang semakin menurun. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui ukuran
kelompok, susunan komposisi umur, rasio seksual dan mengetahui kondisi habitat
di hutan lindung Register 25 Pematang Tanggang. Metode yang digunakan adalah
area terkonsentrasi dengan 3 areal pengamatan. Pengamatan dilakukan selama 30
hari efektif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok siamang yang
dijumpai di lokasi penelitian berjumlah 3 kelompok/7 individu. Distribusi kelas
umur pada individu fase dewasa siamang berjumlah 6 individu, fase remaja
Nur Lutfiatuz Zahra
berjumlah 1 individu dan fase bayi tidak dijumpai dalam kelompok ini. Nilai
rasio seksual pada kelas umur fase dewasa yaitu 1:1 dan pada kelas umur fase
remaja 1:0. Menurut masyarakat siamang tidak mengganggu aktivitas manusia
sehingga tidak akan diburu dan kondisi habitatnya masih memadai untuk populasi
siamang.
Kata kunci : hutan lindung, populasi, siamang.
ABSTRACT
STUDY POPULATION OF SIAMANG (Simphalangus syndactylus)
IN PROTECTED FOREST REGISTER 25 PEMATANG TANGGANG
TANGGAMUS REGENCY
By
NUR LUTFIATUZ ZAHRA
Siamang (Simphalangus syndactylus Raffles, 1821) was the primates that
protected by government regulation of Republic Indonesia number 7 in 1999. The
existence of the siamang was important role in forest as pollinator and seed
dispersers. Conversion land has increased into plantations and agriculture so that
siamang population became descreased. Protected forest on Register 25
Pematang Tanggang Tanggamus Regency was bordered by community forest,
thus vulnerable to land use that siamang population became descreased. The
aimed of the research was to find the size of the group, the composition of age, the
sexual ratio and the habitat of siamang in protected forest Register 25 Pematang
Tanggang. The method used an area concentrated in 3 areal observation.
Observations were 30 days effective. The results of this research showed that the
Group of siamang found about 3 groups/7 individuals. The distribution of age
classes in the individual adult phase of siamang about 6 individuals, adolescent
phase about 1 individual and baby phase not found in this group. The sex ratio
value in the adult age class phase was 1:1 and at adolescent age class phase was
Nur Lutfiatuz Zahra
1:0. According to siamang society does not interfere with human activities so that
not harm for them and their habitat was quite adequate for a population of
siamang.
Keywords: protected forest, population, siamang.
STUDI POPULASI SIAMANG (Simphalangus syndactilus)
DI HUTAN LINDUNG REGISTER 25 PEMATANG TANGGANG
KABUPATEN TANGGAMUS
Oleh
NUR LUTFIATUZ ZAHRA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai Gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Jurusan Kehutanan
Fakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2016
RIWAYAT HIDUP
Dengan rahmat Allah SWT. Penulis dilahirkan di Pringsewu
tanggal 14 November 1994. Penulis merupakan anak pertama dari
4 bersaudara dari pasangan Bapak Nurdin dan Ibu Turiyati.
Jenjang pendidikan penulis dimulai pada tahun 2000 di Sekolah
Dasar Negeri 1 Patoman, kemudian melanjutkan pendidikan di
Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Pringsewu pada tahun 2006 hingga tamat pada
tahun 2009. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah
Menengah Atas Negeri 1 Pringsewu dan menyelesaikannya pada tahun 2012. Pada
tahun 2012 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Kehutanan Fakultas
Pertanian Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan
Tinggi Negeri (SNMPTN) tertulis.
Penulis aktif menjadi anggota Utama Himasylva (Himpunan Mahasiswa Kehutanan)
Universitas Lampung. Penulis pernah menjadi pengurus Bidang IV Komunikasi,
Informasi dan Pengabdian Masyarakat sebagai anggota (2013–2014), sekretaris
bidang (2014–2015), ketua bidang (2015–2016). Anggota Forum Komunikasi Kader
Konservasi Indonesaia (FK3I) korda Lampung tahun 2013 sampai sekarang, serta
aktif mengikuti kegiatan Sylva Indonesia. Menjadi asisten dosen matakuliah
Kewirausahaan pada tahun ajaran 2014/2015.
Pada Bulan Juli Tahun 2015 penulis melakukan Praktek Umum selama ± 1 bulan di
Divisi Regional Jawa Tengah KPH Kedu Selatan BKPH Gombong Utara. Pada tahun
2014 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Mulyodadi
Kecamatan Rawa Pitu Kabupaten Tulang Bawang selama ± 40 hari.
Dengan kerendahan hati kupersembahkan karya kecil untuk
Ayahanda dan Ibunda serta saudara-saudariku tercinta, untuk semua
doa yang telah dipanjatkan.
iii
SANWACANA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas Rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Studi Populasi
Siamang di Hutan Lindung Register 25 Pematang Tanggang Kabupaten
Tanggamus” skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Kehutanan pada Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
Shalawat dan salam penulis sampaikan kepada junjungan Rasulullah Muhammad
SAW, dengan harapan di hari akhir akan mendapatkan syafaatnya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, hal ini disebabkan
oleh keterbatasan yang ada pada penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun sangat diharapkan guna langkah penulis berikutnya yang lebih baik.
Namun terlepas dari keterbatasan tersebut, penulis mengharapkan skripsi ini akan
bermanfaat bagi pembaca. Terwujudnya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan
saran berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :
1) Bapak Prof.Dr. Ir. Irwan S. Banuwa, M.S., selaku Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Lampung.
2) Ibu Dr. Melya Riniarti, S.P., M.Si., selaku Ketua Jurusan Kehutanan Fakultas
Pertanian Universitas Lampung.
iii
3) Bapak Dr. Ir. Gunardi Djoko Winarno, M.Si., selaku pembimbing utama atas
kesediaan memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian
skripsi ini.
4) Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto M.S., selaku penguji utama dalam
penyusunan skripsi.
5) Ibu Rommi Qurniati, S.P., M.Si,. selaku pembimbing akademik yang telah
membantu penulis dan menjadi orang tua selama menuntut ilmu di Jurusan
Kehutanan Universitas Lampung.
6) Seluruh Dosen Pengajar dan Staf Pegawai di Jurusan Kehutanan Universitas
Lampung yang telah memberikan ilmunya selama penulis menempuh
pendidikan di Jurusan Kehutanan Universitas Lampung.
7) Kepada Keluarga, Ayahanda Nurdin dan Ibunda Turiyati tercinta yang selalu
mendoakan keberhasilanku dan memberiku semangat serta saudaraku tercinta
Ashya Azifatuz Zahra, Salsabila Ivi Azzahra dan DJ. Muhammad Zulfikardo,
terimakasih untuk bantuan, senyuman semangat dan dukungannya selama ini.
8) Zulfa, Bunga, Erin, Gustaf, Rayi, Elva, Yustinus, Anggi, Hendra, Imawan,
Riki, Lukas, Putut, Kamal, Ambar, Bang Kiki dan Bang Erwin yang telah
membantu penelitian dan memberikan semangat dan dukungan secara penuh.
9) Saudara-saudaraku kehutanan 2012 “Evesyl” terima kasih atas kebersamaan
baik dalam suka maupun duka.
10) Seluruh Anggota HIMASYLVA Unila, Abang-abang, Mba-mba dan adik-
adik yang banyak memberi dukungan serta kebersamaan yang tidak pernah
habis dan seluruh pihak yang tak dapat disebutkan satu per satu yang telah
iv
membantu penulisan skripsi ini dan mohon maaf atas segala kesalahan
penulis. “Salah Atau Benar Dia Tetap Saudaraku Sesama Kehutanan”
Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan mereka semua yang telah
diberikan kepada penulis. Penulis berharap kritik dan saran yang membangun
untuk kesempurnaan skripsi ini. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca.
Bandar Lampung, Desember 2016
Penulis,
NUR LUTFIATUZ ZAHRA
vi
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... viii
I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................. 3
C. Tujuan Penelitian .............................................................................. 4
D. Manfaat Penelitian ............................................................................ 4
E. Kerangka Pemikiran
...................................................................... 8
A. Sejarah dan Silsilah Siamang ............................................................ 8
B. Habitat dan Distribusi Populasi ...................................................... 11
C. Morfologi Siamang ..................................................................... 12
D. Perilaku Sosial Siamang .................................................................... 14
1. Kegiatan Bersuara ..................................................................... 14
2. Perilaku Istirahat ........................................................................... 16
3. Pergerakan dan Home Range ........................................................ 16
4. Sistem Sosial ................................................................................. 18
E. Perilaku Makan ................................................................................ 20
F. Perilaku Seksual ............................................................................... 22
G. Dinamika Populasi ............................................................................ 23
H. Ciri-Ciri Populasi .............................................................................. 24
1. Seks Rasio ..................................................................................... 24
2. Komposisi Umur ........................................................................... 25
3. Natalitas ........................................................................................ 27
4. Mortalitas ...................................................................................... 27
5. Ukuran Populasi ........................................................................... 28
III. METODE PENELITIAN ................................................................. 30
A. Waktu dan Tempat Penelitian ....................................................... 30
B. Bahan dan Alat Penelitian ............................................................. 30
C. Batasan Penelitian ......................................................................... 31
D. Jenis Data ...................................................................................... 31
E. Metode Pengumpulan Data dan Cara Kerja ................................... 32
F. Analisis Data .................................................................................. 36
.......................................................................... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA
vi
Halaman
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ............................ 38
A. Letak dan Kondisi Geografis ......................................................... 38
B. Sejarah Wilayah KPHL ................................................................. 39
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 40
A. Habitat Siamang .............................................................................. 40
1. Komponen Habitat ....................................................................... 40
2. Kelimpahan Flora dan Fauna ........................................................ 42
B. Karakteristik Masyarakat ................................................................. 46
C. Persepsi Masyarakat ........................................................................ 49
D. Populasi Siamang ............................................................................ 53
1. Ukuran Kelompok ....................................................................... 53
2. Susunan Komposisi Umur ............................................................ 57
3. Rasio Seksual ................................................................................ 59
V. SIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 61
A. Simpulan .......................................................................................... 61
B. Saran ................................................................................................ 62
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 63
LAMPIRAN .............................................................................................. 68
Tabel 13 -15 ............................................................................................... 69
Gambar 17 – 18 .......................................................................................... 70
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Klasifikasi Siamang ............................................................................. 10
2. Jenis data primer yang dikumpulkan oleh peneliti ............................... 31
3. Jenis data sekunder yang dikumpulkan oleh peneliti .......................... 32
4. Lembar Kerja Pengamatan Kelompok Siamang .................................. 33
5. Lembar jenis pohon yang dijadikan habitat siamang ........................... 34
6. Lembar jenis satwa yang hidup berdampingan dengan siamang ......... 34
7. Lembar wawancara mengenai tindakan masyarakat terhadap
keberadaan satwa ................................................................................. 35
8. Lembar wawancara mengenai tindakan masyarakat terhadap
keberadaan habitatnya .......................................................................... 35
9. Lembar wawancara mengenai tindakan masyarakat terhadap
habitat siamang ..................................................................................... 35
10. Keanekaragaman tumbuhan (flora) yang terdapat di lokasi
penelitian ............................................................................................. 42
11. Keanekaragaman satwa (fauna) yang hidup berdampingan dengan
siamang di lokasi penelitian ................................................................ 46
12. Hasil pengamatan perjumpaan dengan siamang ................................ 53
13. Tingkat kesukaan masyarakat terhadap satwa ................................... 69
14. Tindakan masyarakat terhadap habitat siamang ............................... 69
15. Tindakan masyarakat terhadap habitat siamang (hutan) ................... 69
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Studi Populasi Siamang
di Hutan Lindung Register 25 Pematang Tanggang,
Kabupaten Tanggamus .................................................................... 7
2. Klasifikasi ordo primata. ................................................................. 8
3. Peta persebaran Gibbon di wilayah Asia Tenggara beserta
macam-macam jenis gibbon ................................................................. 10
4. Peta Lokasi Penelitian Studi Populasi Siamang
di Hutan Lindung Register 25 Gunung Pematang Tanggang,
Kabupaten Tanggamus .................................................................... 30
5. Peta lokasi kelompok siamang setiap grid di lokasi penelitian ........ 41
6. Komposisi masyarakat berdasarkan suku ....................................... 47
7. Komposisi masyarakat berdasarkan agama .................................... 48
8. Latar belakang pendidikan yang dianut masyarakat ....................... 48
9. Latar belakang profesi masyarakat.................................................. 49
10. Persepsi masyarakat terhadap satwa yang disukai. ....................... 51
11. Preperensi tindakan masyarakat terhadap siamang ........................ 51
12. Preperensi tindakanmasyarakata terhadap habitat siamang ........... 52
13. Pohon tidur/sarang siamang pada lokasi penelitian Grid 1 ............ 54
14. Pohon tidur/sarang siamang pada lokasi penelitian Grid 2 ............ 55
15. Aktivitas siamang saat bersuara pada lokasi pengamatan
Grid 3 .............................................................................................. 55
ix
Gambar Halaman
16. Grafik struktur umur siamang yang ditemukan dilokasi
penelitian ........................................................................................ 58
17. Pengamatan dilakukan peneliti di Hutan Lindung Register 25
pada Bulan Agustus 2016 .............................................................. 70
18 . Kuisioner kepada masyrakat Dusun Kuyung ................................ 70
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara dengan ragam jenis primata yang ada, 40
jenis ditemukan di Indonesia dan 24 jenis di antaranya merupakan satwa endemic
yang hanya hidup di negara ini. Klasifikasi ke-40 jenis itu dikelompokan ke dalam 5
suku dan 9 marga (Supriatna dan Wahyono, 2000).
Siamang (Simphalangus syndactylus Raffles, 1821) merupakan salah satu primata
yang dilindungi oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999
tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa yang menyatakan bahwa semua Famili
Hylobatidae dilindungi. Berdasarkan tingkat kerentanan terhadap perdagangan
satwa liar Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna
and Flora (CITES, 2009), mencantumkan status siamang sebagai Appendix I,
sedangkan International Union for Conservation of Nature and Natural Resources
(IUCN 2009) siamang dikategorikan terancam punah (endangered species).
Keberadaan primata salah satunya siamang sangat berperan penting dalam ekosistem
hutan, yaitu membantu proses pertumbuhan tanaman (regenerasi dan suksesi hutan)
dengan memakan daun dan buah, selain itu siamang berperan sebagai polinator dan
penyebar biji tumbuh-tumbuhan karena pada umumnya primata memainkan peran
2
sebagai spesies kunci (key species) dalam sebuah ekosistem (Cowlishaw dan
Dunbar, 2000 dalam Santosa dkk, 2010).
Saat ini populasi primata (termasuk siamang) mulai berkurang. Menurut Basalamah
(2010) keberadaan satwa primata pada kawasan konservasi Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango dan Taman Nasional Halimun Salak terancam oleh peningkatan
aktivitas manusia, seperti ekowisata dan pertambahan jumlah penduduk di sekitar
kawasan. Populasi satwa primata sangat dipengaruhi oleh kondisi habitat mereka,
yang menyediakan sumber makanan dan tempat hidup. Kegiatan ekowisata yang
dilakukan pada tiap taman nasional bertujuan untuk memberikan kontribusi dalam
pengelolaan kawasan. Eksploitasi yang berlebihan dari kegiatan ekowisata tersebut
dapat memengaruhi perilaku satwa primata khususnya dan akan mempe-ngaruhi
fungsi ekologis satwa primata.
Ancaman utama terhadap populasi siamang adalah adanya penurunan kuantitas dan
kualitas habitat, antara lain terjadinya fragmentasi habitat, selain itu masih terjadi
perburuan satwa liar untuk diperdagangkan. Terjadinya fragmentasi hutan akibat
pembukaan kawasan hutan dan pembukaan lahan untuk perkebunan menyebabkan
populasi siamang terdesak pada habitat dan wilayah yang sempit. Populasi siamang
yang tersisa saat ini di Sumatera sebagian besar terdapat di kawasan lindung dan
konservasi (Nijman & Geissman, 2008 dalam Kwartina dkk, 2013).
Tekanan terhadap siamang terutama disebabkan oleh hilangnya tutupan hutan
sebagai habitat alaminya. Hal ini terlihat dari populasi siamang yang telah
kehilangan sekitar 66% habitat aslinya, yang semula seluas 340.000 km2 menjadi
hanya 120.000 km2. Jumlah siamang di alam diperkirakan sekitar 31.000 ekor yang
3
mendiami daerah seluas 20.000 km2 dari habitat yang tersisa (Supriatna dan
Wahyono, 2000). Sementara penyebaran satwa langka ini terbatas di Pulau
Sumatera dan beberapa wilayah Semenanjung Melayu, menempati hutan tropis
dataran rendah dan hutan tropis pegunungan hingga ketinggian 2000 mdpl.
Lampung termasuk wilayah yang memiliki hutan lindung salah satunya Hutan
Lindung Register 25 Pematang Tanggang, kawasan tersebut dari tahun ketahun
luasannya semakin berkurang diakibatkan oleh konversi lahan menjadi lahan perke-
bunan karena disebabkan kawasan tersebut merupakan kawasan yang berbatasan
langsung dengan lahan Hkm maka rentan mengalami alih fungsi lahan dan perburuan
liar sehingga memungkinkan populasi siamang tertekan serta mengurangi jumlah
satwa yang ada, termasuk siamang.
Informasi mengenai jumlah satwa liar diperlukan dalam setiap program pengolahan
kawasan hutan, diantaranya pengelolaan kawasan lindung itu sendiri dan kawasan
konservasi baik untuk program pemanfaatan sebagai penangkaran, objek rekreasi
(wisata satwa liar) atau bahkan penanggulangan gangguan satwa serta penetapan
status yang jumlahnya semakin menurun dan terancam punah. Maka dari itu penulis
meneliti mengenai populasi siamang.
B. Perumusan masalah
1. Bagaimanakah ukuran kelompok siamang, susunan komposisi umur dan rasio
seksual di Hutan Lindung Register 25 Pematang Tanggang, Kabupaten
Tanggamus ?
4
2. Bagaimanakah kondisi hubungan habitat dengan populasi siamang di hutan
lindung Register 25 Pematang Tanggang, Kabupaten Tanggamus ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui ukuran kelompok siamang, susunan komposisi umur siamang, serta
rasio seksual siamang di Hutan Lindung Register 25 Pematang Tanggang,
Kabupaten Tanggamus
2. Mengetahui kondisi habitat siamang di hutan lindung Register 25 Pematang
Tanggang, Kabupaten Tanggamus.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Sebagai sumber informasi terbaru tentang populasi siamang di Hutan Lindung
Register 25 Pematang Tanggang, Kabupaten Tanggamus.
2. Hasil penelitian menjadi dasar ilmiah bagi Pemerintah Kabupaten Tanggamus
dalam rangka pelestarian dan perlindungan siamang di Hutan Lindung Register
25 Pematang Tanggang, Kabupaten Tanggamus.
3. Sebagai informasi tambahan bagi penelitiain yang berminat untuk meneliti
masalah yang berkaitan dengan penelitian ini.
4. Sebagai data penunjang untuk pembentukan wisata alam khususnya satwa liar
di Daerah Klumbayan Kabupaten Tanggamus.
5
E. Kerangka Pemikiran
Perubahan populasi terjadi pada setiap spesies termasuk siamang. Dinamika tersebut
dipengaruhi faktor-faktor alami misalnya kompetisi, pemangsaan, natalitas, morta-
litas, emigrasi, imigrasi dan bencana alam. Penyebab perubahan populasi juga dapat
terjadi karena faktor campur tangan manusia misalnya introduksi jenis dari tempat
lain, pengendalian genetik dan perburuan. Seringkali faktor manusia lebih berperan
besar dalam pengendalian populasi dalam suatu jenis.
Hutan lindung Register 25 Pematang Tanggang merupakan salah satu habitat bagi
flora dan fauna termasuk siamang. Luasan hutan dari tahun ketahun semakin berku-
rang dan perburuan liar masih terjadi. Kedua penyebab pokok tersebut dapat mengu-
rangi jumlah satwa yang ada, termasuk siamang. Perubahan populasi dan kerusakan
habitat yang diakibatkan oleh aktifitas manusia yang secara langsung maupun tidak
langsung mengganggu keberaadaan siamang di habitat alaminya maka dilakukanlah
penelitian untuk upaya pelestarian siamang.
Penelitian mengenai studi populasi siamang dilakukan dengan cara mencari data
kondisi populasi siamang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah me-
tode titik terkonsentrasi (Concentration Count) (Rinaldi, 1992), yaitu pengamatan
dilaksanakan terkonsentrasi pada titik yang diduga memiliki intensitas penjumpaan
terhadap satwa tinggi pada lokasi pengamatan sehingga di dapatkan data dan infor-
masi mengenai kondisi populasi siamang meliputi rasio seksual, komposisi umur,
ukuran kelompok, kondisi habitat, selain itu dibutuhkan data mengenai persepsi
masyarakat terhadap siamang. Persepsi tersebut menunjukan bahwa seberapa besar
6
kepedulian masyarakat sekitar hutan terhadap keberadaan siamang dan kondisi
habitatnya. Data tersebut di peroleh menggunakan metode quisioner.
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan salah satu informasi untuk bahan pertim-
bangan dalam upaya pelestariaan populasi siamang dan dasar pertimbangan untuk
rencana pengelolahan Hutan Lindung Register 25 Klumbayan Kabupaten
Tanggamus, selain itu sebagai data penunjang untuk pembentukan wisata alam khu-
susnya satwa liar di daerah tersebut. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini
disajikan pada Gambar 1.
7
Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Studi Populasi Siamang di Hutan
Lindung Register 25 Gunung Pematang Tanggang, Kabupaten
Tanggamus.
Siamang (Symphalangus syndactylus)
Termasuk dalam spesies terancam yang dilindungi
(PP No. 7 Tahun 1999; IUCN redlist, CITES Appendix I)
Tekanan spesies
Degradasi hutan sebagai habitat alami Perburuan liar untuk diperdagangkan
Upaya konservasi siamang di wilayah yang terindetifikasi sebagai habitat (Areal Hutan Lindung Register 25)
Diperlukan data dan informasi populasi siamang
Penelitian
Metode penelitian
Metode Area Terkonsentrasi (Concentration Count)
Rasio Seksual Ukuran
Kelompok
Komposisi Umur
1. Anak-
anak
2. Remaja 3. Dewasa
(Adult)
Betina Jantan Perhitungan
langsung
individu
yang ditemui
1. Remaja 2. Dewasa
1. Remaja 2. Dewasa
Kondisi Populasi Siamang (Simphalangus syndactylus) di hutan lindung register 25
Rasio Seksual
Quisioner
Kondisi Habitat
1. Pelindung 2. Ruang
3. Air
4. Ketersediaan pakan
Monografi
desa
Persepsi
masyaraka
t terhadap
satwa dan
Habitat
8
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Sejarah dan Silsilah Siamang
Primata muncul sekitar 70 juta tahun yang lalu seiring dengan punahnya
dinosaurus. Setidaknya, itulah fosil tertua yang pernah ditemukan dari primata.
Sekarang, ordo primata dibagi menjadi dua sub ordo, yaitu Prosimian (meliputi
lemur, tarsius, dll) dan Antropoid (kera, monyet, manusia). Prosimian (lemur)
yang dahulu mendominasi primata, sekarang semakin tersingkir dan akhirnya men-
jadi endemik beberapa daerah seperti Madagaskar. Dengan pemisahan garis filo-
genetik, maka cabang dari Anthropoidea ada 3 yaitu monyet, kera dan Hominid
(manusia). Gambar 2. Merupakan penjelasan pembagian ordo primata.
Gambar 2. Klasifikasi ordo primata.
9
Monyet pertama muncul kira-kira 50 juta tahun lalu. Awal mulanya, monyet dunia
baru muncul dari cabang primata kuno, dan belakangan monyet dunia lama berevo-
lusi sebagai garis keturunan terpisah. Garis keturunan yang tersisa setelah pemisah-
an monyet disebut garis Hominoid (Rafferty, 2011).
Simpson menerangkan pengelompokan garis itu ke super familia Hominoidea.
Pengelompokan itu mencakup Hylobatidae (kera kecil), Pongidae (kera besar),
Hominidae (manusia). Namun, belakangan ini para taksonom cende-rung tidak
membedakan lagi antara kera kecil dan kera besar. Kera kecil mencakup siamang
alias gibbon dan kerabatnya. Kera besar contohnya gorila, simpanse, dan orangutan
(Rafferty, 2011).
Primata merupakan salah satu penghuni hutan yang memiliki arti penting dalam ke-
hidupan di alam. Keberadaan primata tidak hanya sebagai penghias alam, namun
penting artinya dalam regenerasi hutan tropic. Sebagian besar primata memakan bu-
ah dan biji sehingga mereka berperan penting dalam penyebaran biji-bijian.
Semula Ordo Primata oleh Linnaeus di bagi dalam empat negara, yaitu Homo (ma-
nusia), Simia (monyet dan kera), Lemur (lemur adan loris) dan Vespertilio (kelela-
war). Kelelawar sendiri kemudian ditempatkan pada ordo tersendiri terpisah dari
primata, yaitu Chiropter (Napier dan Napier, 1986).
Semula semua jenis kera digolongkan kedalam famili Pongidae (Grovers 1972 dalam
Harianto, 1988). Selanjutnya perkembangan sistematik ini mengikuti penelitian di-
bidang biokimia dan morfologi sehingga famili tersebut terpecah menjadi
Hilobatidae, Pongidae, dan Hominidae, yang menempatkan siamang pada famili
Hilobatidae (Napier dan Napier, 1986).
10
Informasi data populasi siamang yang merupakan kelompok gibbon saat ini
termasuk dalam kategori No Recent population estimate Available (NRA), artinya
belum ada informasi dugaan populasi terbaru karena informasi yang lebih dari 20
tahun tidak termasuk dalam penilaian (Geissman, 1995). Klasifikasi siamang pada
Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi Siamang (Napier dan Napier,1986).
Klasifikasi Siamang
Kingdom
Filum
Sub-filum
Animalia
Chordata
Vertebrata
Kelas
Ordo
Subordo
Famili
Genus
Mammalia
Primates
Antropoidea
Hylobatidae
Simphalangus
Spesies Simphalangus syndactylus
Nama lokal Siamang
Gambar 3. Peta persebaran gibbon di wilayah Asia Tenggara beserta macam-macam
jenis gibbon.
Hilobates Moloch
Symphalangus syndactilus
Hilobates Pileatu
Nomascus leucoggenys
Hoolock leuconedys
11
B. Habitat dan Distribusi Populasi
Siamang dapat hidup di hutan primer, hutan hujan dataran rendah, hutan sekunder
dan hutan rawa (Supriatna dan Wahyono, 2000). Menurut Curtin & Chivers
(1979) dalam Bangun (2009), satwa ini dapat beradaptasi terhadap beberapa peru-
bahan lingkungan habitat. Hutan primer memiliki peranan penting sebagai habitat
jenis Hylobatidae karena kondisinya lebih dapat memenuhi kebutuhan hidupnya
(Setya, 2012). Siamang jarang sekali turun kelantai hutan dan pergerakannya ber-
ayun dari pohon ke pohon lain (brakhiasi) sehingga habitat dengan vegetasi yang
memiliki tajuk kontinyu antar pohon memiliki peranan penting (Sultan, 2009 dalam
Sari, 2015). Siamang menempati hutan tropik primer/skunder, mulai dari hutan
dataran rendah sampai hutan perbukitan hingga ketinggian 3800 mdpl.
Sebaran primata di Indonesia cukup luas, mulai dari barat yaitu kepulauan mentawai,
menyebrang ke daratan Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan
Sulawesi serta pulau-pulau disekitarnya. Keadaan geografis Indonesia yang terdiri
dari pulau-pulau memicu terbentuknya jenis khas setiap pulau. (Supriatna dan
Wahyono, 2000) sedangkan genus Hylobates yang memiliki 9 spesies, salah satunya
siamag tersebar di Indonesia, Malaysia, Brima, thailand dan Kamboja (Chivers,
1986).
Siamang merupakan salah satu jenis primata di Pulau Sumatera. Di luar wilayah
Indonesia, populasi asli siamang hanya ditemukan di Semenanjung Malaysia dan
sedikit areal di Thailand (Nijman & Geissman, 2008). Siamang terdiri dari 2 anak
jenis yaitu Hylobates syndactylus syndactylus ditemukan hampir di seluruh daratan
sumatera. Hylobates syndacyles continentis di jumpai di Simenanjung Malaya.
12
Perhitungan analisis pola sebaran spasial menggunakan analisis yaitu metode sebar-
an frekuensi dan metode indeks. Ada tiga pola sebaran yang diuji, yaitu pola sebaran
acak, mengelompok, atau seragam. Metode indeks digunakan index of dispersion
dan index of clumping. Menguji sebaran siamang secara mengelompok digunakan
uji chi square. Secara alamiah siamang sangat sering dijumpai pada ketinggian > 300
m dpl, namun jarang ditemukan pada ketinggian > 1.500 m dpl. Hasil penelitian me-
nunjukkan bahwa sebaran dan populasinya dipengaruhi oleh ketersediaan pakan
pada habitat, yang mengakibatkan primata memilih tempat-tempat tertentu di dalam
habitatnya (Sari dan Harianto, 2015).
C. Morfologi Siamang
Berdasarkan pada bentuk tubuhnya, primata dikelompokan kedalam kelas mamalia.
Beberapa ciri khas primata memiliki tulang selangka (clavicle), bentuk bahu yang
dapat menunjang pergerakan tangan ke seluruh arah dan bentuk siku yang dapat
menunjang pergerakan lengan, umumnya memiliki lima jari tangan dan kaki,
kukunya relatif lebih lurus dibandingkan dengan kuku mamalia lain, jumlah gigi
lebih sedikit dibanding dengan jumlah gigi mamalia lain, memmiiki organ
pengelihatan yang kompleks, yang terletak di depan muka, sehingga memungkinkan
melihat lurus, ukuran otak yang relatif besar dibandingkan ukuran tubuhnya
mempunyai plasenta, puting hanya dua dan umumnya hanya melahirkan satu anak
dalam satu periode masa kehamilan (Supriatna dan Wahyono 2000).
Anggota keluarga Hilobatidae tidak berekor, hanya ada sebuah tungging, sebagai
luluhan tekukan ekor kedalam. Taju ruas belakang pada pinggang (spina lumbalis)
berukuran pendek, sedangkan taju pada ruas dibagian dada (spina toraksis) yang
13
menyangga tulang iga berukuran panjang sehingga tulang punggung menjadi kaku,
ringga dada lebar dan tulang belikat (skapula) berada dibelakang membuat pusat
gaya berat lebih ketengah tubuh apabila hewan ini berdiri tegak dan memberi kele-
luasan gerak bagi lengan, akibatnya sendi bahu sangat leluasa untuk bergerak dengan
jalan brakiasi/ berayun (Yudhana, 2000 dalam Sari dan Harianto 2015).
Siamang memiliki ukuran fisik yang paling besar diantara jenis Hylobatidae lain-
nya. Hewan ini dapat dikenali melalui warna rambutnya yang hitam pekat dengan
warna sedikit keabu-abuan diantara dagu dan mulut mereka. (Ankel dan Simon,
2000) namun menurut Supriatna dan Wahyono (2000) rambut siamang berwarna
hitam pekat baik jantan maupun betina, kecuali rambut dimuka yang berwarna ke-
coklatan.
Siamang dapat tumbuh hingga mencapai ukuran lebih dari1meter ketika mereka
dewasa dan bobot tubuh siamang jauh lebih berat dari pada ungko dengan berat
rata-rata mencapai10-15 kg (Palombit,1997). Betina relatif lebih ringan dari jantan,
bertanya kurang lebih 92% dari berat badan sang jantan. Taring pada jantan dan be-
tina memiliki ukuran yang sama. Jantan juga dibedakan dari betina melalui rambut
scrotal yang menjuntai diantara kedua pahanya, sedangkan betina dibedakan dari
jantan melalui sepasang puting di dadanya (Gittin dan Raemaekers, 1980).
Siamang memiliki panjang rentang tangan mencapai 1,5 m dengan panjang badan
berkisar antara 800-900 mm. Berat tubuh rata-rata siamang dewasa sekitar 11,2 kg.
Rambut siamang berwarna hitam pekat baik jantan maupun betina, kecuali rambut
dimuka yang berwarna kecoklatan (Supriatna danWahyono, 2000).
14
Siamang mempunyai kantong suara yang dapat membesar (gularsacs), dengan
warna kelabu sebelum berteriak dan warna merah muda ketika berteriak. Individu
jantan dibedakan dari individu betina melalui rambut skrotal yang menjuntai diantara
kedua paha dari individu jantan sedangkan pada betina tidak. Betina relatif lebih
kecil dari jantan, beratnya kurang lebih 92% dari berat jantan (Fedigan, 1992).
D. Perilaku Sosial Siamang
1. Kegiatan Bersuara
Aktivitas harian kelompok Hylobates diawali dengan bersuara, hal ini dilakukan
untuk menunjukkan territorial dan pengaturan ruang antar kelompok. Aktivitas ber-
suara dilakukan sebagai pengaturan ruang dengan alasan suara keras dilakukan agar
terdengar oleh kelompok lain sebagai komunikasi antar kelompok kemudian saling
bersautan dan jarang terjadinya kontak langsung antar kelompok (Bates, 1970).
Serupa dengan Rinaldi (1992) berpendapat bahwa kegiatan bersuara merupakan
kegiatan yang selalu dilakukan oleh kelompok gibbon yang berfungsi untuk mem-
pertahankan dan menunjukkan teritorialnya serta pengaturan ruang antar kelompok.
Pada kelompok siamang kegiatan bersuara umumnya dilakukan pada satu atau
beberapa pohon yang tinggi yang berdekatan sambil melakukan gerakan-gerakan ak-
robatik. Pada saat kegiatan bersuara terjadi, kelompok siamang tidak terganggu akan
keberadaan pengamat di bawah pohon tersebut, sedangkan pada ungko (Hilobates
agilis) dan Owa kelawat (Hilobates muellcri) kegiatan bersuara dapat terhenti. Pada
siamang kegiatan bersuara dlilakukan selama lebih kurang 15 menit umumnya dila-
kukan pada pagi hari (81%), sedangkan pada Owa Kelawat (Hilobates teulleri) dan
Ungko (Hilobates agilis) kegiatan bersuara dilakukan agak lebih lama. Kegiatan
15
bersuara juga dilakukan secara sendiri oleh individu jantan yang mengalami proses
penyapihan dan biasanya dilakukan agak jauh dari kelompok.
Gittins dan Raemaerkers (1980), menyebutkan aktivitas bersuara Hylobates
dilakukan selama ± 15 menit yang terdengar hingga1km. Hylobates jantan hampir
dewasa kegiatan bersuara juga dilakukan untuk menarik lawan jenis. Aktivitas
bersuara biasanya dilakukan di pohon sumber pakan atau yang berdekatan.
Carpenter (1960) dalam Bates (1970) menduga bahwa suara pagi (morning call)
pada gibbon sebagai informasi bagi kelompok yang berdekatan tentang lokasi ke-
lompoknya, sedangkan Jay (1965) dalam Bates (1970) mengatakan bahwa salah satu
mekanisme pengaturan ruang antara kelompok primata ditandai dengan kegiatan
hersuara (vocalization).
Batcs (1970) dalam Rinaldi (1992) berpendapat bahwa suara pada gibbon lebih
berfungsi sebagai pengaturan ruang (spacing mechanism) dengan alasan sebagai
berikut:
1. Suara yang dikeluarkan cukup keras untuk didengar oleh kelompok terdekat dan
dapat dianggap sehagai komunikasi antar kelornpok.
2. Kegiatan bersuara biasanya dimulai oleh suatu kelompok yang kemudian diikuti
oleh kelompok lainnya.
3. Jarang terjadinya kontak langsung antar kelompok yang berdekatan.
Selanjutnya ditegaskan juga, bahwa suara yang keras yang dapat didengar sampai
jarak yang jauh merupakan tanda sehagai mekanisme pengaturan ruang. Hal ini di-
kuatkan juga dari penelitian Rinaldi (1985) dimana dijumpai titik terjadinya aktivi-
tas bersuara antara dua kelompok yang tidak berdekatan atau overlap tetapi saling
16
melihat (± 300 m). Pada kelompok siamang kegiatan bersuara umumnya dilakukan
pada satu atau beherapa pohon yang tinggi yang berdekatan samil melakukan gerak-
an-gerakan akrobatik.
Kegiatan bersuara juga dilakukan secara sendiri oleh individu jantan yang meng-
alami proses penyapihan dan biasanya dilakukan agak jauh dari kelompok utamanya.
Kegiatan bersuara ini ditujukan untuk menarik atau mencari pasangan dari kelompok
lain dan menunjukkan kesiapan untuk melakukan aktivitas seksual (Rinaldi, 1992)
2. Perilaku Istirahat
Aktivitas istirahat merupakan periode tidak aktif. Saat istirahat siamang menghin-
dari teriknya sinar matahari dengan cara turun ke bagian tajuk yang paling rendah
(Chivers, 1979). Kegiatan istirahat umumnya dilakukan pada siang hari setelah me-
lakukan kegiatan makan dan kondisi cuaca yang panas atau gerimis, hujan.
Kegiatan istirahat akan meningkat frekuensinya setelah siang hari dan dilakukan
pada pertengahan tajuk pohon-pohon yang rindang.
Pada saat istirahat semua anggota kelompok akan berkumpul dan melakukan kegi-
atan berkutu-kutuan menelisik (grooming) atau kegiatan bermain (playing) bagi indi-
vidu muda. Lamanya kegiatan istirahat pada Siamang ± 155-184 menit dari waktu
aktifnya (Raemaekers dan Chivers, 1980 dalam Rinaldi, 1992).
3. Pergerakan dan Home Range
Aktivitas harian pada satwa liar adalah refleksi fisiologis terhadap lingkungan
sekitarnya. Hylobates umumnya melakukan aktivitas harian di tajuk- tajuk pohon
(arboreal) yaitu dimulai dari meninggalkan pohon tidur hingga masuk ke pohon
tidur selanjutnya (Chivers, 1980). Duma (2007) menyebutkan bahwa Hylobates
17
mulai beraktivitas sebelum matahari terbit dan mengakhirinya pada sore hari untuk
beristirahat lebih awal dari jenis primata diurnal lainnya. Waktu aktivitas hariannya
kurang lebih berlangsung 9,5 jam, dari pukul 06.19 hingga 15.43. Aktivitas yang di-
lakukan antaralain bersuara, berpindah, makan, bermain dan istirahat.
Secara umum jenis-jenis Hylobatidae memiliki perilaku yang sama. Hasil
penelitian Iskandar (2007) perilaku yang dilakukanya itu makan, sosial, lokomosi
agresi dan istirahat. Owa jawa paling banyak melaksanakan aktifitas istirahat dan
makan. Hampir sama dengan hasil penelitian Duma (2007) pada klawet,
aktivitasnya lebih banyak makan dan istirahat. Lebih jauh menjelaskan klawet
memulai aktivitas hari-an antara pukul 04.50-07.10 WIB yaitu vokalisasi (duet call).
Setelah itu mulai meninggalkan pohon tidur untuk berpindah, makan dan istirahat.
Setelah pukul 16.00 WIB, sudah beristirahat penuh.
Nurcahyo dalam penelitiannya mengenai pola jelajah harian siamang yang dilakukan
pada bulan Juni hingga Oktober 1998, menyebutkan bahwa day range siamang
sejauh 672 meter. Berdasarkan penelitian pada bulan Februari 2001 hingga Januari
2002 di lokasi yang sama terjadi peningkatan day range menjadi 898 meter
(Nurcahyo, 2001; Andriyansyah, 2005).
Betina lebih sering memimpin pada saat melakukan penjelajahan dalam wilayahnya
dari pada jantan. Sering kali betina jalan duluan dan kadang menunggu untuk
beberapa saat kemudian kembali ke belakang jika anggota yang lain tidak mengikuti
(Chivers, 1974 dalam Andriansyah, 2005).
Ukuran home range pada siamang rata-rata 28 hektar (MacKinnon dan MacKinnon,
1980 dalam Rinaldi 1992), menurut Gittins dan Raemackers (1980) dalam Rinaldi
18
1992 ukuran home range siamang 15-38 hektar, dan 23-48 hektar sedangkan pada
jenisyang lebih kecil Hilobates Lar dilaporkan 53-59 hektar (Raemaekers dan
Chivers, 1980 dalam fitri dkk, 2013).
4. Sistem Sosial
Harianto (1988) berpendapat bahwa setiap binatang untuk kelangsungan hidupnya
mempunyai tingkah laku yang berbeda, baik sesama individu dalam kelompoknya,
dan dengan kelompok lain yang sejenis atau individu dan kelompok lain yang berlain
jenis. Pada dasarnya sistem sosial primata berdasarkan pada jumlah pergerakan
betina dalam kelompoknya menurut (Wrangham, 1982 dalam Harianto, 1988)dapat
dibagi menjadi empat kategori adalah sebagai berikut.
1. Sistem transfer betina
Tipe organisasisosial seperti ini memungkinkan betina berpindah kelompok dari
kelompok dimana betina ini lahir ke kelompok lainnya. Sebagian besar primata
yang memiliki sifat seperti ini hidup dalam kelompok-kelompok yang relatif
kecil.
2. Sistem transfer bukan betina
Sebagian besar waktu hidup betina dengan sistem organnisasi sosial seperti ini
dihabiskan dalam kelompok. Umumnya ukuran kelompok lebih besar diban-
dingkan dengan sistem organisasi sosial pertama.
3. Spesies monogami
Dengan kelompok sistem ini umumnya dijumpai pasangan jantan dan betina
dengan beberapa keturunannya.
19
4. Spesies soliter
Kehidupan primata dengan sistem ini ini cenderung menyendiri, terpisah dari
kelompoknya dan beraktivitas sendiri.
Siamang dapat hidup di hutan primer, hutan hujan dataran rendah, hutan sekunder
dan hutan rawa (Supriatna dan Wahyono, 2000). Menurut Curtin & Chivers
(1979) dalam Bangun (2009), satwa ini dapat beradaptasi terhadap beberapa peru-
bahan lingkungan habitat. Hutan primer memiliki peranan penting sebagai habitat
jenis Hylobatidae karena kondisinya lebih dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Siamang jarang sekali turun kelantai hutan dan pergerakannya berayun dari pohon ke
pohon lain (brakhiasi) sehingga habitat dengan vegetasi yang memiliki tajuk
kontinyu antar pohon memiliki peranan penting (Sultan, 2009).
Siamang hidup dalam kelompok kecil yang terdiri atas jantan dewasa, betina dewasa,
dan tidak lebih dari empat keturunannya. Mereka hidup selama kurang lebih 20-30
tahun dengan sifat perkawinan monogami, berpasangan sampai mati atau paling ti-
dak stabil. Jarak kelahiran antara 2-3 tahun (Gittin dan Raemaker, 1980).
Pertentangan antara induk betina atau jantan dengan anaknya yang hampir dewasa
secara lambat laun akan meningkat sejalan dengan peningkatan kematangannya se-
cara seksual (Suyanti dkk, 2009). Proses pertentangan ini akan diakhiri dengan pro-
ses penyapihan atau keluarnya anak tersebut dari kelompok untuk mencari pasangan
sendiri. Proses penyapihan pada siamang ini terjadi pada anaknya yang berumur di
atas 8 atau 9 tahun, sedangkan pada jenis Hylobatidae lainnya bisa terjadi lebih awal,
yaitu umur 6 atau 7 tahun (Rinaldi, 1992).
20
Jenis-jenis Hylobatidae bertubuh kecil umumnya allopatric dalam distribusinya,
tersebar di Thailand, Malaysia dan Kalimantan (Gittins, 1978). Berbeda dengan
siamang yang tumpang tindih dengan spesies Hylobatidae lain (H. lar atau H.agilis)
diseluruh rentang mereka (Geissmann,1995). Oleh karena itu, siamang selalu meng-
hadapi kompetisi intraspesifik dan persaingan dalam memperoleh sumber daya
sangat tinggi. Ukuran tubuh besar siamang menjadi peran kunci sehingga memung-
kinkannya hidup bersama dengan jenis yang ukurannya lebih kecil (Raemaekers,
1984). Elder (2009) dalam Rinaldi (1992) berasumsi bahwa siamang mengkonsumsi
lebih banyak daun untuk mengurangi persaingan langsung dengan Hylobatidae lain
saat mereka hidup simpatrik.
E. Perilakau Makan
Makan adalah aktivitas yang menghabiskan waktu paling besar setiap jam dan setiap
hari bila dibandingkan dengan bergerak dan hampir berimbang dengan waktu isti-
rahatnya. Siamang sangat selektif dalam memilih pakannya, hal tersebut barkaitan
dengan strategi makan dan ketersediaan pakan. Siamang akan banyak memakan
buah ketika musim buah tiba, tapi ketika tidak ada akan lebih banyak mengkonsumsi
pucuk daun (Harianto, 1988).
Primata mempunyai tingkah laku makan yang khas, yaitu dapat menggenggam ma-
kanan yang akan dimakan dan perkembangan sekum yang baik sehingga meningkat-
kan kemampuan sistem digesti dalam mencerna makanan. Primata memiliki naluri
terhadap makanan yang perlu dimakan, dan hal ini mempengaruhi tingkah laku
makan mereka. Pada umumnya hewan primata adalah omnivore (pemakan hewan
dan tumbuhan) (Karyawati, 2012).
21
Makan merupakan aktivitas yang dilakukan setelah bersuara. Hylobates dapat
melakukan kegiatan makan pada satu pohon yang sama selama 2-3 hari berturut-
turut. Pada saat itu, satwa jenis ini melakukan perpindahan dan biasanya tidur diseki-
tar atau didekat pohon pakan. Lama aktivitas makan tergantung pada jenis dan
kelimpahan jenis pakan Hylobates makan dengan cara memetik satu per satu buah
atau daun muda yang dimakan (Rinaldi, 1992). Secara umum, jenis-jenis
Hylobatidae (Symphalangus syndactylus, Hylobates agilis, Hylobates moloch,
Hylobates klosii, Hylobates lar, dll) memiliki perilaku yang sama. Iskandar (2007),
menyatakan perilaku yang dilakukan siamang yaitu makan, sosial, lokomosi agresi
dan istirahat.
Lamanya kegiatan makan di suatu pohon sangat bervariasi, terutama ditentukan jenis
dan kelimpahan makanan. Apabila suatu pohon makanan sedang berbuah dan me-
limpah, kelompok siamang dapat seharian berada di pohon makanan tersebut,
sedangkan pada kondisi tidak berbuah hanya didatangi untuk makan pucuk atau daun
muda. Kelompok gibbon melakukan kegiatan makan dengan cara memetik satu per-
satu buah atau daun yang akan dimakan, sehingga membutuhkan waktu yang cukup
lama. Raemaekers (1984) dalam Rinaldi (19792). Chiver (1977) dalam Rinaldi
(1992) menyatakan bahwa Siamang memakan hampir semua bagian tumbuhan,
seperti daun, buah, biji dan bunga. Satwa ini juga memakan beberapa jenis serangga.
Komposisi makanan, 59% daun, 31% buah, 8 % bunga, dan 2 % berbagai jenis
serangga. Siamang dikenal sebagai penyebar biji-bijian (secel dispertal) beberapa
jenis tumbuhan ficius.
22
Hasil penelitian Rosyid (2007) menyatakan bahwa sebelum melakukan aktivitas
makan, siamang selalu memulai dengan membuang kotoran di sekitar pohon tidur
yang dilanjutkan dengan menjelajah dalam usaha pencarian sumber pakan. Inisiatif
penjelahan untuk pencarian sumber makanan biasanya dimulai oleh jantan dewasa
atau betina dewasa. Lama aktivitas makan siamang F1 setiap hari berkisar 2,65 jam
sampai 4,11 jam.
Menurut penelitian karyawati (2012) tingkah laku makan pada hewan primata di-
pengaruhi oleh ukuran tubuh, kondisi gigi, ketersediaan sumber makanan, struktur
anatomi saluran pencernaan, kondisi organ reproduksi, penggunaan indera peng-
lihatan/penciuman/peraba dalam memilih makanan, pengetahuan tentang bahan
makanan, perubahan musim, sistem hierarki dan struktur sosial, serta kepadatan
populasi dan kompetisi antara sesama primata.
F. Perilaku Seksual
Siamang merupakan primata yang bersifat monogamous. Memiliki kelompok yang
kecil yang hanya terdiri dari satu jantan dewasa, satu betina dewasa dan beberapa
indifidu muda. Individu siamang siap untuk melakukan perkawinan pada umur 8 - 9
tahun. Masa kehamilan antara 7 – 8 bulan/ ± 200 – 210 hari dengan jarak kelahiran
antara 2 – 2,5 tahun. Masa hidup dapat mencapai 35 tahun. Siamang jantan ikut
merawat dan menggendong anaknya. (Supriatna dan Wahyono, 2000).
Menurut penelitian Astuti dkk. (2006) menyatakan bahwa pada primata jenis tertentu
termasuk H. moloch, tingginya kadar testosteron tidak berkaitan langsung dengan
tingkah laku seksual serta kopulasi meskipun salah satu fungsi testosteron adalah
23
untuk menimbulkan libido. Kadar tertinggi testosteron dalam plasma maupun feses
terjadi pada malam hari sampai pukul 06.00, namun aktivitas seksual serta kopulasi
dilakukan pada sianghari. Jhonson dan Everrit (1996) dalam (Astuti dkk, 2006)
menjelaskan bahwa berbeda dengan mamalia lain, tingkah laku seksual pada primata
sangat tergantung kepada, status sosial, dan aktivitas harian.
G. Dinamika Populasi
Populasi adalah sekelompok organisme yang mempunyai spesies sama (takson
tertentu) serta hidup/menempati kawasan tertentu pada waktu tertentu. Suatu popu-
lasi memiliki sifat-sifat tertentu seperti kepadatan (densitas), laju/tingkat kelahiran
(natalitas), laju/tingkat kematian (mortalitas), sebaran umur dan sex (rasio bayi, anak,
individu muda, dewasa dengan jenis kelamin betina atau jantan), dll. Sifat-sifat ini
dapat dijadikan sebagai parameter untuk mengetahui / memahami kondisi suatu po-
pulasi secara alami maupun perubahan kondisi populasi karena adanya pengaruh pe-
rubahan lingkungan. Sebagai salah satu sifat populasi, densitas merupakan cermin-an
ukuran populasi (jumlah total individu) yang hidup dalam kawasan tertentu (Tobing,
2008). Sedangkan menurut Alikodra (2002) sifat-sifat tersebut tersebut berfluktuasi
dari waktu kewaktu mengikuti keadaan lingkungannya. Keadaan fluktu-asi tersebut
mempunyai tiga kemungkinan, yaitu jika angka kelahiran lebih besar dari kematian,
populasi akan berkembang, jika angka kelahiran sama dengan angka kematian popu-
lasi akan stabil dan jika agka kematian lebih besar dari angka kelahiran, populasi
akan menurun.
24
Menurut Caughley (1977) dalam Santosa dkk (2010), studi-studi tentang dinamika
populasi sangat tergantung dari kemampuan mengenali umur individu. Apabila
umur telah diketahui, maka struktur umur, umur matang seksual, angka kematian,
angka kelahiran, fekunditas, umur spesifik dan kecenderungan pertumbuhan populasi
dapat ditentukan. Parameter populasi dan kondisi fisiologi penting untuk diketahui
dalam pelestarian jenis satwa liar untuk menciptakan kestabilan populasi. Terdapat
beberapa teknik untuk menduga umur satwa, semua teknik dalam pendugaan umur
mamalia dapat mempunyai kesalahan, beberapa teknik mungkin lebih baik daripada
yang lain (Caughley, 1977). Penentuan kelas umur siamang di lapangan dapat dila-
kukan karena kekhasan yang dimiliki semasa fase pertumbuhannya (Gittins and
Raemaekers,1980). Kelebihan pendugaan umur seperti ini dapat dilakukan melalui
pengamatan dari jauh tetapi hasil pendugaan akan lebih bersifat perkiraan kasar
bahkan cukup besar rentangnya. Selain itu, metode pendugaan umur dapat dilaku-
kan melalui gigi geligi (Caughley, 1977), tetapi metode ini mempunyai kelemahan
dapat merusak atau menyakiti satwa, sehingga beresiko pada kematian. Selanjutnya
menurut Caughley (1977), ukuran-ukuran bagian tubuh dapat dijadikan tanda-tanda
untuk menduga umur.
H. Ciri-ciri populasi
1. Seks Rasio
Seks rasio adalah perbandingan antara jumlah individu jantan potensial reproduksi
dengan jumlah betina potensial reproduksi (Santosa, 1990 dalam Bugiono, 2001).
Sedangkan menurut Alikodra (2002) seks rasio adalah perbandingan jumlah individu
jantan dengan betiina dari suatu populasi, biasanya dinyatakan dalam 100 ekor betina
25
(Alikodra,1990). Seks rasio populasi akan berpengaruh pada-pada laju reproduksi
dan interaksi sosial pada beberapa vertebrata (Krebs, 1976 dalam Bugiono,2001).
2. Komposisi Umur
Penyebaran komposisi umur merupakan sifat yang penting dari populasi karena
dapat mempengaruhi mortalitas dan natalitas (Qiptiyahdan Setiawan, 2012). Per-
bandingan berbagai golongan umur dalam populasi karena dapat menentukan ke-
adaan reproduktif yang berlangsung dalam populasi dan dapat dipakai untuk mem-
perkirakan keadaan populasi dimasa depan (Odum, 1971).
Siamang yang termasuk keluarga Hylobatidae hidup dalam kelompok sosial mono-
gami yang kecil yangterdiri dari sepasang jantan dan betina dewasa, dengan 1 – 4
ekor anaknya. Padatempat-tempat alami, umumnya anggota (ukuran) kelompok
gibbon rata-rata 4 ekor. Pasangan gibbon umumnya melahirkan seekor anak dengan
selang 2-3 tahun sekali (Gittins dan Raemakers, 1980).
Umur merupakan salah satu parameter yang penting untuk diketahui dalam pengelo-
laan suatu populasi, karena berkaitan dengan kelestarian suatu spesies. Pengetahuan
tentang umur penting diketahui untuk mengetahui struktur umur dan dapat diguna-
kan untuk menilai keberhasilan perkembangbiakan satwa liar (Alikodra, 2002).
Terdapat beberapa teknik untuk menduga umur satwa, semua teknik dalam
pendugaan umur mamalia dapat mempunyai kesalahan, beberapa teknik mungkin
lebih baik daripada yang lain (Caughley, 1977). Gittin dan Raemaker (1980)
membagi kelas umur pada siamang kedalam lima kelas umur berbeda berdasarkan
ukuran badan dan tingkat perkembangan perilaku adalah sebagai berikut.
26
1. Bayi (infant)
Individu siamang yang termasuk kedalam kelas umur ini adalah individu yang baru
dilahirkan hingga umur dua tahun, dengan ukuran badan yang sangat kecil. Bayi
siamang belum bisa beraktifitas dan selalu dalam gendongan induk betinanya pada
tahun pertama. Induk jantan selanjutnya mengambil alih pengasuhan bayi pada
tahun kedua (paternal care).
2. Juvenile I (anak-anak)
Juvenile I adalah individu yang berumur lebih dari dua tahun hingga empat tahun.
Badannya kecil namun relatif lebih besar dari bayi. Telah bisa beraktivitas sendiri,
namun cenderung selalu dekat dengan induknya.
3. Juvenile 2 (remaja besar)
Juvenile 2 adalah individu yang termasuk dalam kelas umur ini adalah individu-
individu yang berumur lebih dari 4-6 tahun. Ukuran bdannya sedang dan sering
melakukan aktivitas sendiri namun tidak dalam jarak yang sangat jauh dari
kelompoknya.
4. Sub-Adult (pra-dewasa)
Umurnya lebih dari 6 tahun dan mulai sering memisahkan diri jauh dari
kelompoknya, namun masih dalam satu kesatuan kelompoknya, belum matang
secara seksual dan badannya hampir sama dengan ukuran badan individu dewasa.
5. Adult (dewasa)
Secara seksual sudah matang dan telah berpasangan untuk kemudian membentuk
kelompok sendiri dan memisahkan diri dari kelompoknya. Ukuran badan telah
maksimal.
27
Penentuan kelas umur siamang di lapangan dapat dilakukan karena kekhasan yang
dimiliki semasa fase pertumbuhannya (Gittins and Raemaekers, 1980). Kelebihan
pendugaan umur seperti ini dapat dilakukan melalui pengamatan dari jauh tetapi
hasil pendugaan akan lebih bersifat perkiraan kasar bahkan cukup besar rentangnya
(Semiadi dan Nugraha, 2005). Selain itu, metode pendugaan umur dapat dilakukan
melalui gigi geligi (Caughley, 1977), tetapi metode ini mempunyai kelemahan dapat
merusak atau menyakiti satwa, sehingga beresiko pada kematian. (Raemakers,1984).
Selanjutnya menurut Caughley (1977), ukuran-ukuran bagian tubuh dapat dijadikan
tanda-tanda untuk menduga umur pada struktur umur seperti ini populasi akan terus
menurun, dan jika keadaan tidak berubah populasi akan punah setelah beberapa
waktu.
3. Natalitas
Natalitas merupakan kemampuan populasi untuk tumbuh. Laju natalitas dapat
diperoleh dari kelahiran, menetas, berkecambah dan sebagainya. Natalitas juga
penting sebagai penduga kecepatan laju populasi Pertumbuhan populasi sangat
tergantung pada besar kecilnya angka kelahiran.
4. Mortalitas
Mortalitas sebagia jumlah kematian individu-individu dalam suatu populasi pada
waktu tertentu. Beberapa faktor kematian satwa contohnya penyakit, pemangsaan,
kebakaran, kelaparan, kerusakan habitat dan sebagainya. Dijelaskan lebih lanjut
bahwa faktor kematian dapat mengurangi kepadatan populasi. Angka kematian yang
terlmpau tinggi akan menimbulkan penurunan kepadatan populasi yang sangat
drastis.
28
5. Ukuran Populasi
Ukuran populasi dan densitas merupakan parameter populasi yang saling berkaitan.
Bila densitas diketahui, maka ukuran populasi dalam suatu kawasan akan dapat di-
duga demikian juga sebaliknya. Berbagai metode telah banyak dikemukakan untuk
estimasi populasi beberapa dapat diterapkan untuk berbagai spesies tetapi beberapa
metode umumnya hanya digunakan untuk spesies (takson) tertentu saja.
Estimasi ukuran populasi secara akurat sangat susah dilakukan, dan memerlukan tek-
nik/metode tersendiri. Metode-metode yang digunakan secara umum dapat diklasifi-
kasikan ke dalam 3 (tiga) golongan, yaitu penghitungan seluruh anggota populasi
secara langsung, pendugaan ukuran populasi berdasarkan densitas, dan pendugaan
berdasarkan tanda-tanda khas (dari suatu spesies) yang ditinggalkan. Estimasi uku-
ran populasi pada spesies-spesies primata juga demikian halnya, dapat dilakukan
dengan berbagai metode, namun demikian, metode yang paling umum digunakan
adalah yang didasarkan pada densitas, terutama metode jalur (line transects method)
(Tobing, 2008).
Ukuran populasi suatu spesies primata akan diketahui bila dilakukan penghitungan
secara langsung dan menyeluruh (total counts /direct counts) terhadap semua indi-
vidu (anggota populasi) yang ada dalam suatu kawasan. Metode ini merupakan tek-
nik paling akurat dalam menentukan ukuran populasi (primata), sehingga bila masih
memungkinkan untuk diterapkan merupakan metode terbaik untuk dipilih.
Penerapan metode ini umumnya dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu :
1. Membagi kawasan menjadi beberapa blok (block counts), dan menghitung
jumlah individu yang ada pada setiap blok secara berurutan. Cara lain juga
29
dapat dilakukan dengan menghitung di blok berbeda secara bersamaan oleh
beberapa observer.
2. “Menyisir” kawasan (memerlu-kan banyak observer) dengan berbaris dalam
posisi “shaf” dan berjalan serentak menelusuri seluruh kawasan untuk
mendeteksi dan menghitung anggota populasi.
Metode ini dapat digunakan sekaligus untuk mengetahui pola sebaran populasi
dalam kawasan serta sebaran umur dan sex dari populasi tersebut, namun demikian,
metode total counts hanya akan akurat bila selama pelaksanaan tidak ada individu
yang berpindah atau bersembunyi sehingga tidak terdeteksi/terhitung. Total counts
akan baik dan cepat bila diterapkan di daerah terbuka, sebaliknya akan banyak
kendala (dalam mendeteksi populasi) bila diterapkan di kawasan hutan, sehingga
akan mempunyai bias yang besar. Selanjutnya, jika areal yang diamati luas maka
relatif akan susah dilaksanakan dalam suatu waktu yang bersamaan (Tobing, 2008).
Jantan dan betina hampir dewasa atau mencapai dewasa kelamin akan meninggal-
kan kelompoknya dan hidup sendiri dengan pasangannya sebagai keluarga baru
(Duma, 2007). Ukuran kelompok dengan jumlah lebihdari 4 jarang ditemukan.
Adanya kelompok berjumlah 5 individu biasanya disebabkan anak umur dewasa
belum keluar dari kelompok induknya untuk membentuk kelompok baru (Sultan,
2009).
30
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Juli - Agustus 2016 di Hutan Lindung
Register 25 Pematang Tanggang, Kabupaten Tanggamus. Peta lokasi penelitian
dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian Studi Populasi Siamang di Hutan Lindung
Register 25 gunung Pematang Tanggang, Kabupaten Tanggamus.
B. Bahan dan Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS (Global Positioning
System), kamera digital, binokular, jam tangan digital, alat tulis, laptop dan
31
lembar data/kerja. Objek penelitian adalah siamang dan komponen ekologi
habitat siamang yang berada di dalam kawasan Hutan Lindung Register 25
Gunung Pematang Tanggang, Kabupaten Tanggamus.
C. Batasan Penelitian
Batasan dalam penelitian ini sebagai berikut.
1. Waktu penelitian dilakukan selama satu bulan.
2. Luasan lokasi penelitian ± ¼ dari luasan Hutan Lindung Register 25.
3. Sampel kelompok siamang yang digunakan adalah kelompok siamang yang
dijumpai secara visual di area pengamatan.
D. Jenis Data
Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder.
1. Data Primer
Data primer yang dikumpulkan oleh peneliti disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2 . Jenis data primer yang dikumpulkan oleh peneliti
No. Jenis Data Metode pengumpulan data
1 Pembuatan peta Mencari data mengenai peta, dan menitik
langsung.
2 Perhitungan populasi siamang Menggunakan metode terkonsentrasi
3 Inventarisasi pohon yang digunakan
siamang makan, istirahat, bermain.
Menggunakan metode rappid asigement.
4 Menghimpun satwa selain siamang Menggunakan metode rappid asigement.
2. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data penunjang penelitian meliputi studi literatur
seperti karakteristik lokasi penelitian berupa kondisi umum lokasi penelitian.
Data pendukung lainnya diperoleh melalui studi literatur dari pustaka, jurnal dan
sumber pustaka lainnya untuk melengkapi data primer yang diambil di lapangan
32
yang sesuai dengan topik penelitian. Data yang dikumpulkan oleh peneliti
disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Jenis data sekunder yang dikumpulkan oleh peneliti
No. Jenis Data Metode pengumpulan data
1 Data kondisi lokasi penelitian Meminta data di dinas terkait
2 Monografi desa Meminta data denagan aparatur desa
E. Metode Pengumpulan Data dan Cara Kerja
1. Pengumpulan Data Primer
a. Survei Pendahuluan
Survei pendahuluan dilakukan untuk menentukan lokasi penelitian, mengetahui
kondisi umum lokasi penelitian dan menentukan jalur dan titik yang memiliki
peluang tinggi ditemukannya kelompok siamang yang akan dijadikan sebagai
objek pengamatan serta untuk mengetahui kondisi habitat siamang. Berdasarkan
survei pendahuluan yang telah dilakukan telah teridentifikasi 3 titik lokasi yang
memiliki intensitas perjumpaan yang tinggi terhadap siamang.
b. Observasi Langsung (Direct Observation)
Sebelum dilakukan pengamatan terlebih dahulu dilakukan habituasi selama 7 hari
dengan tujuan untuk membiasakan siamang terhadap keberadaan pengamat
sehingga memudahkan pengamat melakukan pengambilan data. Pengambilan
data populasi siamang menggunakan metode terkonsentrasi (Concentration
Count) (Rinaldi 1992), yaitu pengamatan dilaksanakan terkonsentrasi pada satu
titik yang diduga memiliki intensitas penjumpaan yang tinggi terhadap satwa.
Pengamatan dilakukan selama 30 hari dilapangan. Pengamatan populasi siamang
33
dimulai pukul 06.00 WIB pada saat siamang tersebut masih berada di tempat
tidur hingga pukul 18.00 WIB saat siamang tersebut mencari tempat untuk tidur
(Harianto, 1988), adapun penghitungan difokuskan pada pukul 11.30-13.45 disaat
siamang beristirahat, dengan alasan pada saat ter-sebut siamang berkumpul
berdekatan. Siamang yang ditemukan di lokasi pengamatan kemudian dihitung
ukuran kelompoknya kemudian mencatat komposisi umur serta rasio seksual
siamang pada lembar kerja.
Ukuran kelompok siamang yang ditemui di titik pengamatan dicatat pada lembar
kerja yang meliputi lokasi/titik koordinat, jumlah individu dan keterangan cuaca.
Komposisi umur siamang dicatat pada lembar kerja, yang meliputi lokasi/titik
koordinat, komposisi umur yang terbagi menjadi bayi, remaja dan dewasa. Rasio
seksual siamang yang ditemui dicatat pada lembar kerja yang meliputi lokasi/titik
koordinat, rasio seksual yang terbagi atas jantan dan betina. Lembar kerja
pengamatan kelompok siamang disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Lembar Kerja Pengamatan Kelompok Siamang
No Lokasi Klp (ke) Anak Remaja Dewasa ∑
J B J B
1.
2.
3
Jumlah Total
Keterangan :
J : Jantan B : Betina
Klp : Kelompok ∑ : Jumlah individu
Setelah mencatat data populasi siamang, di perlukan pencatatan pohon yang
dijadikan habitat bagi siamnag tersebut, lembar kerja pengamatan disajikan pada
Tabel 5.
34
Tabel 5. Lembar kerja jenis pohon yang dijadikan habitat siamang
No. Nama lokal Nama latin Lokasi
1.
2.
Setelah mencatat pohon yang dijadikan habitat bagi siamnag tersebut, diperlukan
pula pencatatan satwa selain siamang yang terdapat di lokasi tersebut. Lembar
kerja jenis satwa yang hidup berdampingan dengan siamang disajikanpada Tabel
6.
Tabel 6. Lembar kerja jenis satwa yang hidup berdampingan dengan siamang
No. Nama lokal Nama Ilmiah Lokasi Keterangan
1.
2.
3.
Setelah mencatat jenis satwa yang hidup berdampingan dengan siamnag tersebut,
di-perlukan pula kondisi habitat siamang di lokasi tersebut. Lembar kerja kondisi
habi-tat siamang siamang disajikanpada Tabel 7.
Data persepsi masyarakat terhadap satwa dan habitatnya (hutan) dilakukan dengan
menggunakan sampel warga sebanyak 30 orang. Persepsi ini di himpun karena
ingin mengetahui aspek sosial masyarakat terhadap keberadaan populasi siamang.
Data persepsi masyarakat terhadap siamang disajikan pada Tabel 8 dan data
persepsi masyarakat terhadap habitanya disajikan pada Tabel 9.
35
Tabel 7. Lembar wawancara mengenai tindakan masyarakat terhadap habitat
siamng
No. Satwa 1 2 3 4 5 6 7
1 Siamang
2 Beruk
3 Simpai
4 Monyet ekor panjang
5 Beruang
6 Ular phyton
7 Burung Rangkong
Tabel 8. Lembar wawancara mengenai tindakan masyarakat terhadap siamang
No. Tindakan 1 2 3 4 5 6 7
1 Diburu
2 Dilindungi
3 Dijual
4 Dibiarkan
5 Dipindahkan
6 Ditangkarkan
7 Dijadikan ekowisata satwa
liar
Tabel 9. Lembar wawancara mengenai tindakan masyarakat terhadap habitat
siamng
No. Tindakan 1 2 3 4 5 6 7
1 Dilindungi
2 Ditebang
3 Dibakar
4 Dirambah
5 Ditanami sayur
6 Ditanami kopi/kakao
7 Ditanami pohon hutan
Keterangan :
1 = Sangat benci/Sangat tidak setuju
2 = Benci/Tidak setuju
3 = Agak benci/Agak tidak setuju
4 = Hampir benci/Hampir tidak setuju
5 = Agak Tidak benci/Agak setuju
6 = Tidak benci/Setuju
7 = Sangat Tidak benci/Sangat setuju
36
2. Pengumpulan Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder diperoleh dari berbagai sumber, melalui studi
litetaratur dan kemudian data yang diperoleh digunakan untuk melengkapi data
primer yang diambil di lapangan dan sebagai data penunjang yang terdapat dalam
dokumen resmi yang dipakai sebagai bahan referensi, yaitu dengan cara
wawancara. Data monografi desa dilakukan kepada aparatur desa.
F. Analisis data
Data yang telah terkumpul dan telah tersusun dalam bentuk tabel, kemudian
diolah untuk mendapatkan nilai-nilai sebagai berikut.
1. Data yang telah diperoleh dari pengamatan kelompok siamang.
a. Struktur umur siamang
Jumlah umur siamang yang diamati di lapangan kemudian dikelompokan dalam
kelas umur tertentu (Gittin dan Raemakers, 1980).
c. Seks rasio
Nilai Nilai dugaan terhadap seks rasio populasi siamang ditentukan dengan
persamaan yang menunjukan perbandingan antara jumlah jantan dan jumlah
betina (Alikodra, 1990 dalam Sari dan Hariato, 2015).
SR =
Keterangan : SR = Seks rasio
J = Jumlah Jantan
B = Jumlah betina
J
B
37
2. Analisis habitat siamang
Data yang telah diperoleh dari hasil pengambilan data langsung di lapangan yaitu
pohon tempat istirahat, makan dan bermain beserta tinggi dan diameternya
dihimpun dan dianalisis untuk mengetahui kondisi habitat siamang.
3. Sosial masyarakat terhadap satwa dan habitatnya.
Hasil wawancara yang telah dilakukan akan diperoleh data persepsi masyarakat
terhadap satwa dan habitatnya. Dapat diketahui apakah masyarakat sadar bahwa
satwa dan habitatnya perlu dijaga, jika mereka sadar maka keberadaan satwa
khususnya siamang tidak terancam. Sebaliknya, jika masyarakat banyak yang
tidak peduli maka keberadaan siamng terancam dan kemungkinan besar dengan
waktu yang tidak terlalu lama, siamang akan punah. Kuisioner akan di analisis
menggunakan metode 1 skor 1 indikator dengan menggunakan skala riket.
Rata-rata Skor = (Jumlah jawaban tiap variabel x skor)
Jumlah seluruh responden (30)
Keterangan skor :
1 = Sangat benci/Sangat tidak setuju
2 = Benci/Tidak setuju
3 = Agak benci/Agak tidak setuju
4 = Hampir benci/Hampir tidak setuju
5 = Agak Tidak benci/Agak setuju
6 = Tidak benci/Setuju
7 = Sangat Tidak bdenci/Sangat setuju
4. Pemetaan Siamang
Titik – titik keberadaan kelompok siamang yang diperoleh dengan menggunakan
GPS kemudian dipetakan menggunakan program Arc GIS.
38
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Letak dan Kondisi Geografis
Hutan Lindung Register 25 Pematang Tanggang berada di dalam Kesatuan
Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Pematang Neba (Unit XI) wilayah
pengelolaan masih dibawah Dinas Kehutanan Kabupaten Tanggamus. Berdasar-
kan administrasi pemerintahan, wilayah Hutan Lindung Register 25 Pematang
Tanggang terletak di Kecamatan Klumbayan Kabupaten Tanggamus (Dishut
Lampung, 2014).
Secara geografis Hutan Lindung Register 25 Pematang Tanggang terletak di
pesisir barat Sumatera yang memiliki luas 3380 Ha dengan ketinggian kurang
lebih 0-120 mdpl dari permukaan laut dengan curah hujan rata-rata 2000-3000
mm/th (KPHL Kotaagung Utara, 2014). Wilayahnya secara administratif
berbatasan dengan sebagai berikut.
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Penyandingan.
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut/ Teluk Semaka.
3. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Bangun Rejo.
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Laut/Teluk Semaka
39
B. Sejarah Wilayah KPHL
Sejarah pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Pematang
Neba dimulai dengan Surat Gubernur Lampung No. 522/4577/III.16/2009
Tanggal 14 Desember 2009 perihal Usulan Penetapan Wilayah Kesatuan Penge-
lolaan Hutan (KPH). Provinsi Lampung yang mengusulkan sebanyak 16 Unit
KPH dan 2 KPH diantaranya terdapat di Kabupaten Tanggamus yaitu KPHL
Kotaagung Utara dan KPHL Pematang Neba.
Atas dasar usulan Gubernur tersebut, keluar Keputusan Menteri Kehutanan RI No.
SK. 68/MENHUT-II/2010 Tanggal 28 Januari 2010 Tentang Penetapan Wilayah
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan
Produksi (KPHP) Provinsi Lampung. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam
Negeri No. 61 Tahun 2010 pemerintah kabupaten, sesuai kewenangan, mem-
bentuk organisasi KPHL yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten,
dimana kedudukan dari KPHL tersebut berada di bawah dan bertanggung jawab
kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah.
Telaahan staf dilakukan oleh Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Tanggamus kepada Bupati Tanggamus perihal Pembentukan Organisasi KPHL
Kotaagung Utara dan KPHL Pematang Neba yang isinya sesuai dengan
Permendagri No. 61 Tahun 2010, dua KPHL yang dikelola Pemkab Tanggamus
untuk ditetapkan sebagai KPHL Tipe A melalui Perda. KPHL Pematang Neba
mempunyai wilayah kerja Register 25 Pematang Tanggang, Register 26 Serkung
Peji, Register 27 Pematang Sulah dan Register 28 Bukit Neba (KPHL Kota
Agung Utara, 2014).
61
VI. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian populasi siamang (Symphalangus syndactylus) di
Hutan Lindung Register 25 Pematang Tanggang, Kabupaten Tanggamus pada
bulan Agustus 2016 diperoleh simpulan sebagai berikut :
1. jumlah kelompok siamang sebanyak 3 kelompok. Ukuran kelompok siamang
berjumlah 2-3 individu perkelompok. Jumlah seluruh individu dari semua
kelompok sebanyak 7 individu. Kategori umur pada semua kolompok yang
ter-identifikasi terdiri dari 1 siamang remaja dan 6 siamang dewasa. Sex ratio
pada kategori siamang pada kelas umur dewasa yaitu 1:1 sedangkan pada
remaja 1:0. Keadaan-keadaan tersebut menunjukkan belum adanya
kestabilan komposisi jenis kelamin, komposisi umur serta ukuran kelompok
yang nanti-nya dapat berpengaruh terhadap populasi ke depannya.
2. persepsi masyarakat terhadap habitat siamang menunjukan bahwa masyarakat
sadar akan kelestarian habitat akan tetapi masih ada yang mengonversi lahan
disebabkan kecenderungan masyarakat untuk menambah penghasilan dengan
komoditi perkebunan, namun hal ini dapat mengganggu berlangsungnya
kehidupan siamang.
62
B. Saran
1. Perlu adanya penelitian tentang berbagai jenis tumbuhan pakan siamang di
hutan alam.
2. Perlu adanya peningkatan kapasitas masyarakat terhadap fungsi dan peran
hutan alam serta konservasi populasi siamang di habitatnya.
3. Perlu adanya solusi tanaman pengganti untuk menambah penghasilan, namun
tetap memperhatikan kelestarian habitat itu sendiri sehingga habitat siamang
tetap terjaga.
62
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra, H. S. 2002. Teknik Pengelolaan Satwa Liar. Buku. Yayasan Penerbit
Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. 368 p.
Andriansyah, O. 2005. Studi Adaptasi Perilaku Siamang (Hylobates syndactylus)
Pada Habitat yang Mengalami Aktivitas Perladangan di Taman Hutan Raya
Wan Abdul Rachman. Skripsi. Universitas Lampung. Lampung. 60 p.
Ankel-Simons, F dan Simons, F. 2000. Primates Anatomy. Buku. Academic Press.
San Diego. 752 p.
Astuti, P., Yusuf, T. L., Hayes, E., Sjahfirdi, H.M dan Sajuthi, D. 2006. Pola
diurnal metabolit testosteron dan kortisol di dalam feses Owa Jawa (Hylobates
moloch) di Penangkaran. Jurnal Hayati. 13 (2): 69-72.
Bangun, T. M., Mansjoer, S dan Bismark, M. 2009. Populasi dan habitat Ungko
(Hylobates agilis) di Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara. Jurnal
Primatologi Indonesia. 6 (1): 1410-5373.
Basalamah, F., Zulfa, A., Suprobowati, D., Asriana D., Susilowati., Anggraeni, A
dan Nurul, R. 2010. Status populasi satwa primata di Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango dan Taman Nasional Halimun Salak, Jawa Barat. Jurnal
Primatologi Indonesia. 7 (2): 55-59.
Bates, B.C. 1970. Territorial behaviour in primates: review of recent field studies.
Primates. 11(27): 1-2.
Chivers, D. J. 1980. Diagnostic features of Hylobatidae species. Jurnal
International Zoo Yearbook. 18: 57–164.
Convention International Trade Endangered Spesies. 2013. Daftar Apendiks
CITES. www.asean-wen.org. Diakses 10 September 2016.
Dewi, B.S. dan E. Wulandari. 2011. Studi prilaku harian Rusa Sambar (Cervus
Unicolor) di Taman Wisata Bumi Kedaton. Jurnal Sains MIPA. 17(2): 75–82.
65
Dinas Kehutanan Lampung. 2014. Pengembangan hutan lindung Provinsi
Lampung. 28 Agustus 2016. http://www.dephut.go.id/ INFORMASI/
PROPINSI/LAMPUNG/HlLampung.html.
Duma, Y. 2007. Kajian habitat, tingkah laku dan populasi klawet (Hylobates agilis
alibarbis) di Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah. Disertasi.
Institut Pertanian Bogor. Bogor. 167 p.
Fedigan, L.M. 1992. Primate Paradigm Sex Roles and Social Bonds With a New
Introduction. Buku. The University of Chicago Press. USA. 400 p.
Fitri, R., Rizaldi dan Novarino, W. 2013. Kepadatan Populasi dan Struktur
kelompok Simpai (Presbytis melalophos) serta jenis tumbuhan makanannya di
Hutan Pendidikan dan Penelitian Biologi (HPPB) Universitas Andalas. Jurnal
Biologi Universitas Andalas. 2(1): 25-30.
Geissmann, T. 1995. Hylobatidaes Systematic and Species Identification. Jurnal
International Zoo News. 42 (8): 467-501
Gittins, S. P dan Raemakers, S. J. J. 1980. Siamang, Liar and Agile Hylobatidae,
Malayan Forest Primates: Ten Years’ Study in Tropical Rain Forest. Buku.
Plenum Press. New York. 105 p.
Harianto, S.P. 1988. Habitat dan Tingkah Laku Siamang (Hylobates syndactylus) di
Calon Taman Nasional Way Kambas. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
64 p.
IUCN. 2014. IUCN Red List of Threatened Species. www. iucnredlist. Diakses
tanggal 10 September 2016.
Iskandar, E. 2007. Habitat dan Populasi Owa Jawa (Hylobates moloch) di Taman
Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa Barat. Disertasi. Institut Pertanian
Bogor. Bogor. 142 p.
Kartodiharjo, H. dan Supriono, A. 2000. Dampak pembangunan sektoral terhadap
konversi dan degradasi hutan alam : kasus pembangunan HTI dan perkebunan
di Indonesia. Jurnal occasional papper. 26 (1).
Karyawati, A.T. 2012. Tinjauan Umum Tingkah Laku Makan pada Hewan Primata.
Jurnal Penelitian Sains. 15 (1).
KPHL Kota Agung Utara. 2015. Rencana Pengelolaan KPHL Kotaagung Utara
2014-2023. KPHL Kota Agung Utara. Kota Agung. 11p.
Kwartina, R.T., Kuswanda, W dan Setiawati, T. 2013. Sebaran dan Kepadatan
Populasi Siamang di Kecamatan Dolok Sipirok dan Sekitarnya Sumatera Utara.
Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 10 (1): 81-91.
66
Mubarok, A. 2012. Distribusi dan Kepadatan Simpatrik Ungko (Hylobates agilis)
dan Siamang (Symphalangus syndactylus) di Kawasan Hutan Batang Toru,
Sumatera Utara. Skripsi. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. 59 p.
Napier, J.R dan Napier, P.H. 1986. The Natural History of Primates. Buku. The
M.I.T Press. Cambridge, Massachusetts. 288 p.
Nijman, R., Geissman, T.V dan Dallman. 2006. The fate of diurnal primates in
southern Sumatera. Hilobatidaes Journal. 2: 18-24 p.
Odum, E. P. 1971. Fundamentals of Ecology. (Terjemahan Tjahjono Samingan.
1993. Ed. B. Srigandono. Dasar-dasar Ekologi). Buku. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta. 697 p.
Palombit, R. A. 1997. Interand intraspesific variationin dietsof sympatric Siamang
(Hylobates syndactylus) and Lar Hylobatidaes (Hylobates lar). Folia primatol.
68: 321-337 p.
Qiptiyah, M., dan Setiawan, H. 2012. Kepadatan populasi dan karakteristik habitat
Tarsius (Tarsius spectrum Pallas 1779) di Kawasan Patunuang, Taman Nasional
Bantimurung-Bulusaraung, Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Hutan dan
Konservasi Alam. 9 (4): 363-371.
Raemaekers, J. J. 1984. Large Versus Small Hylobatidaes: Relative Roles of
Bioenergetics and Competition in Their Ecological Segregation in
Sympatry. The Lesser Apes: Evolutionary and Behavioral Biology. Buku.
Edinburgh University Press. Edinburgh. 209–218 p.
Rafferty, J. P. 2010. Primates. Buku. Britanica Education Publishing. New York.
250 p.
Rinaldi, D. 1992. Penggunaan Metode Triangle dan Concentration Count dalam
Penelitian Sebaran dan Populasi Hylobatidae. Jurnal Media Konservasi. 4 (1):
9-21 p.
Rosyid, A. 2007. Perilaku makan Siamang dewasa (Hylobates syndactylus Raffles,
1821) yang hidup di hutan terganggu dan tidak terganggu. Jurnal Agroland.
14 (3): 237–240 p.
Santosa, Y., Nopiansyah, F., Mustari, A.H dan Rahman, D.A. 2010. Penggunaan
parameter morfometrik untuk pendugaan Siamang Sumatera. Jurnal Penelitian
Hutan dan Konservasi Alam. 8 (1): 25-33.
Sari, E dan Hariyanto, S.P. 2015. Study Kelompok Siamang di Repong Damar
Pahmungan Pesisir Barat. Jurnal Sylva Lestari. 3 (3): 85-94.
Semiadi, G dan Nugraha, T.P. 2005. Panduan pengamatan reproduksi pada
mamalia liar. Buku. LIPI. Bogor. 93 p.
67
Setya, P. 2012. Studi populasi dan perilaku harian lutung jawa di Situ Sangiang
Resort Sangiang Taman Nasional Gunung Ceremai. Skripsi. Universitas
Lampung. Lampung. 74 p.
Sipayung, J. A. 2010. Distribusi dan Populasi Siamang (Hylobates syndactylus)
Keterkaitannnya dalam Pengembanagn Ekowisata di Areal Kelola SHK Lestari
TAHURA WAR. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar
Lampung. 62 p.
Sultan, K. 2009. Kajian Habitat Dan Populasi Ungko (Hylobates Agilis Ungko)
Melalui Pendekatan Sistem Informasi Geografi Di Taman Nasional Batang
Gadis Sumatera Utara. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 92 p.
Supriatna. J. dan Wahyono, E. H. 2000. Panduan Lapang Primata Indonesia.
Buku. Yayasan Obor. Jakarta. 331 p.
Suyanti, Mansjoer, S dan Mardiastuti, A. 2009. Analisis populasi kalawet
(Hylobates
agilis albibarbis) di Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah. Jurnal
Primatologi Indonesia. 6 (1): 24-29.
Tobing, I. 2008. Teknik estimasi ukuran populasi. Jurnal Vis Vitalis. 1 (1): 42 -52.