26
Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Populasi, Sampel, dan Pemilihan Subyek 1 POPULASI, SAMPEL, DAN PEMILIHAN SUBYEK “Never doubt that a small group of committed citizens can change the world. Indeed, it's the only thing that has” - Margaret Meade PENDAHULUAN Temuan riset kesehatan masyarakat ditujukan untuk memperoleh kesimpulan umum yang valid tentang populasi manusia, bukan orang per orang atau kelompok kecil manusia. Persoalannya, tidak mungkin peneliti mengamati semua subyek dalam populasi yang sangat besar untuk membuat kesimpulan tentang karakteristik maupun fenomena yang ada pada populasi itu. Peneliti hanya dapat mengamati sebagian dari populasi besar, yang dinamakan sampel. Jika peneliti memilih sampel dengan tepat, maka penaksiran tentang distribusi dan hubungan paparan-penyakit tidak jauh meleset. Tutorial ini dimulai dengan pengantar tentang alasan melakukan pencuplikan, dan menjelaskan konsep-konsep dasar populasi, sampel, dan pencuplikan. Kemudian Tutorial ini mendeskripsikan kategorisasi desain pencuplikan, mengupas jenis-jenis teknik pencuplikan, serta mengklarifikasi sejumlah prinsip dan konsep seputar pencuplikan yang sering dikacaukan. Sebelum membahas aspek-aspek di atas, satu hal perlu diketahui. Terma elemen, subyek, anggota, individu, unit, item, akan digunakan secara silih-berganti untuk merujuk kepada pengertian yang sama – yaitu, bagian terkecil dari populasi yang secara sendiri- sendiri atau kelompok (klaster) merupakan materi untuk dicuplik membentuk sampel. Mari kita mulai saja perjalanan kita.

POPULASI, SAMPEL, DAN PEMILIHAN SUBYEKfkm.malahayati.ac.id/wp-content/uploads/2015/12/Populasi-Sampel... · Populasi, Sampel, dan Pemilihan Subyek 1 POPULASI, SAMPEL, DAN ... sendiri

  • Upload
    dinhtu

  • View
    243

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat,

Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret

Populasi, Sampel, dan Pemilihan Subyek 1

POPULASI, SAMPEL, DAN

PEMILIHAN SUBYEK

“Never doubt that a small group of committed citizens can change

the world. Indeed, it's the only thing that has” - Margaret Meade

PENDAHULUAN

Temuan riset kesehatan masyarakat ditujukan untuk memperoleh kesimpulan umum yang

valid tentang populasi manusia, bukan orang per orang atau kelompok kecil manusia.

Persoalannya, tidak mungkin peneliti mengamati semua subyek dalam populasi yang

sangat besar untuk membuat kesimpulan tentang karakteristik maupun fenomena yang

ada pada populasi itu. Peneliti hanya dapat mengamati sebagian dari populasi besar, yang

dinamakan sampel. Jika peneliti memilih sampel dengan tepat, maka penaksiran tentang

distribusi dan hubungan paparan-penyakit tidak jauh meleset.

Tutorial ini dimulai dengan pengantar tentang alasan melakukan pencuplikan, dan

menjelaskan konsep-konsep dasar populasi, sampel, dan pencuplikan. Kemudian Tutorial

ini mendeskripsikan kategorisasi desain pencuplikan, mengupas jenis-jenis teknik

pencuplikan, serta mengklarifikasi sejumlah prinsip dan konsep seputar pencuplikan yang

sering dikacaukan.

Sebelum membahas aspek-aspek di atas, satu hal perlu diketahui. Terma elemen,

subyek, anggota, individu, unit, item, akan digunakan secara silih-berganti untuk merujuk

kepada pengertian yang sama – yaitu, bagian terkecil dari populasi yang secara sendiri-

sendiri atau kelompok (klaster) merupakan materi untuk dicuplik membentuk sampel. Mari

kita mulai saja perjalanan kita.

Naskah Tutorial (Pengembangan Bahan Pengajaran) – Dr. Bhisma Murti, Bagian Ilmu Kesehatan

Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret

Populasi, Sample, dan Pemilihan Subyek 2

MENGAPA MELAKUKAN PENCUPLIKAN?

Dalam menganalisis hubungan paparan-penyakit, peneliti umumnya tidak menyelidiki

seluruh populasi, melainkan sebuah sampel dari populasi, untuk menarik kesimpulan

(inferensi) tentang populasi itu. Gambar 7.1. menyajikan pencuplikan sampel dan inferensi

populasi.

Pencuplikan (sampling) memberikan sejumlah keuntungan (Gerstman, 1998; Kothari,

1990; Cochran, 1977): (1) Mengurangi biaya penelitian; (2) Meningkatkan kecepatan

pengumpulan dan analisis data; (3) Meningkatkan akurasi pengumpulan data karena

berkurangnya volume kerja; (4) Memperluas perolehan informasi tentang berbagai faktor.

Pendeknya pencuplikan memberikan cara praktis, cepat, dan ekonomis untuk

memperoleh informasi yang diinginkan peneliti. Tetapi sebelum mengupas cara mencuplik

sampel, perlu dipahami dulu konsep-konsep dasar terkait pencuplikan.

POPULASI DAN SAMPEL

Populasi

Populasi adalah keseluruhan elemen/subyek riset (misalnya manusia). Populasi dapat

terbatas atau tak terbatas. Populasi terbatas jika elemen-elemen dapat dihitung. Contoh:

semua pria di Indonesia; semua wanita umur 15–49 tahun. Populasi tak terbatas jika

elemen-elemen penelitian tak terhitung banyaknya. Contoh: jumlah eritrosit dalam tubuh

manusia; jumlah orang yang positif HIV di Indonesia. Sesungguhnya tidak ada populasi

Pencuplikan (sampling)

Inferensi

Sampel

Populasi

Gambar 7.1. Pencuplikan sampel dan inferensi tentang populasi.

Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat,

Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret

Populasi, Sampel, dan Pemilihan Subyek 3

yang tak terbatas. Persoalannya hanya ketidakmampuan menghitung elemen-elemen di

dalam populasi, paling tidak dalam jangka waktu yang tersedia.

Populasi sumber

Populasi sasaran

Sampel (populasi studi)

Populasi eksternal

Validitas eksternal

Inferensi statistik

Kelompok studi

Kelompok studi

Validitas internal

Gambar 7.2. Populasi, sampel, dan validitas inferensi.

Populasi Sasaran

Populasi sasaran (populasi target, reference population) (Last, 2001; Hennekens dan

Buring, 1987; Mercer, 1991; Kleinbaum et al., 1982) – merupakan keseluruhan subyek,

item, pengukuran, yang ingin ditarik kesimpulan oleh peneliti melalui inferensi. Tujuan

utama riset adalah untuk memperoleh gambaran distribusi (epidemiologi deskriptif) atau

penjelasan tentang fenomena hubungan paparan-penyakit (epidmiologi analitik) yang

terjadi pada populasi sasaran. Sejauh mana temuan-temuan tentang distribusi atau

hubungan paparan-penyakit seperti ditunjukkan oleh statistik sampel adalah sahih untuk

digunakan menarik inferensi tentang parameter yang sama pada populasi sasaran disebut

validitas internal.

Contoh: Dalam suatu studi kohor pengaruh kontrasepsi oral (OC) terhadap infark

otot jantung (MI), populasi sasarannya adalah semua wanita Indonesia keturunan Cina

Naskah Tutorial (Pengembangan Bahan Pengajaran) – Dr. Bhisma Murti, Bagian Ilmu Kesehatan

Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret

Populasi, Sample, dan Pemilihan Subyek 4

berusia 25–49 tahun yang tinggal di perkotaan (urban). Perhatikan Gambar 7.2. tentang

populasi dalam riset epidemiologi.

Populasi Sumber

Populasi sumber (source population, actual population) (Mercer, 1991; Kleinbaum et al.,

1982) merupakan himpunan subyek dari populasi sasaran yang digunakan sebagai sumber

pencuplikan subyek penelitian. Contoh: Populasi sasaran studi OC dan MI adalah wanita

Indonesia keturunan Cina berusia 25–49 tahun yang tinggal di perkotaan. Maka peneliti

dapat menentukan populasi sumber berupa populasi yang memenuhi kriteria tersebut,

tinggal di sejumlah kota yang terpilih (dus tidak semua kota di Indonesia), dan

mengunjungi klinik keluarga berencana (KB).

Prinsipnya, populasi sumber memiliki karakteristik yang sama dengan populasi

sasaran. Jikalau terdapat karakteristik yang berbeda (misalnya, mengunjungi atau tidak

mengunjungi klinik KB) maka harus diyakinkan perbedaan itu tidak berhubungan dengan

pemakaian OC maupun kejadian MI. Jika kunjungan ke klinik KB berhubungan dengan

pemakaian OC, dan peneliti memutuskan untuk menggunakan pengunjung klinik KB saja

(dan tidak menggunakan bukan pengunjung klinik KB) sebagai populasi sumber, maka

inferensi hasil studi hanya valid untuk “subset” populasi sasaran tersebut, yakni populasi

wanita Indonesia keturunan Cina berusia 25–49 tahun yang tinggal di perkotaan dan

pengunjung klinik KB.

Dari populasi sumber dapat dibuat kerangka pencuplikan (sampling frame), yaitu

daftar semua subyek dalam populasi sumber yang digunakan sebagai basis pemilihan

subyek ke dalam sampel.

Sampel

Sampel (study population) (Last, 2001; Hennekens dan Buring, 1987; Kleinbaum et al.,

1982) merupakan sebuah subset yang dicuplik dari populasi, yang akan diamati atau

diukur peneliti. Perhatikan Tabel 7.1, pencuplikan sampel dapat dilakukan secara random

atau non-random, dengan restriksi atau tanpa restriksi pemilihan subyek.

Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat,

Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret

Populasi, Sampel, dan Pemilihan Subyek 5

Dalam studi epidemiologi dikenal kriteria restriksi pemilihan subyek yang disebut

eligibility criteria – pernyataan eksplisit tentang syarat-syarat subyek untuk dapat

dimasukkan ke dalam sampel. Kriteria eligibilitas terdiri dari kriteria inklusi (kriteria

dimasukkan) dan kriteria eksklusi (kriteria dikeluarkan).

Beberapa di antara anggota sampel yang memenuhi syarat mungkin tidak bersedia

untuk berpartisipasi, menarik diri dari partisipasi, atau hilang selama follow up

pengamatan. Proporsi subyek dalam sampel yang bersedia ikut serta dalam penelitian

disebut tingkat partisipasi (response rate, participation rate). Non-partisipan dapat

mengancam validitas, disebut non-response bias (withdrawal bias, loss to follow up bias)

(Gerstman, 1998).

Tingkat partisipasi dikatakan dapat diterima (acceptable) jika lebih besar dari 85%,

terlalu rendah jika kurang dari 50% (Agudo dan Gonzalez, 1999). Contoh, hingga 40 tahun

follow-up, studi kohor Doll, Hill, dan Peto di Inggris tentang hubungan merokok dan

kematian karena kanker paru dengan sangat mengesankan mampu mempertahankan 94%

dari keseluruhan 40,000 subyek penelitian yang direkrut sejak 1951 (Doll dan Peto, 1976;

Doll et al., 1994).

Populasi Eksternal

Populasi eksternal (external population) adalah populasi yang lebih luas atau di luar

populasi sasaran tetapi peneliti masih berminat membuat generalisasi (ekstrapolasi)

temuan riset (Gerstman, 1998; Kleinbaum et al, 1982). Tujuan utama riset epidemiologi

adalah memperoleh gambaran distribusi penyakit, atau penjelasan tentang hubungan

paparan-penyakit pada populasi sasaran. Kadang-kadang peneliti masih ingin

mengekstrapolasikan hasil risetnya di luar populasi sasaran – disebut populasi eksternal.

Sejauh mana temuan-temuan tentang karakteristik (epidemiologi deskriptif) atau

hubungan paparan-penyakit (epidemiologi analitik) seperti ditunjukkan oleh statistik

sampel adalah sahih untuk digunakan menarik inferensi tentang parameter yang sama

pada populasi eksternal disebut validitas eksternal (generalisasi).

Contoh: Andaikata sebuah studi menemukan bahwa pemakaian OC meningkatkan

risiko terkena MI pada wanita Indonesia perkotaan keturunan Cina berusia 25–49 tahun,

ada kemungkinan peneliti ingin memperluas kesimpulan itu bagi populasi wanita Indonesia

Naskah Tutorial (Pengembangan Bahan Pengajaran) – Dr. Bhisma Murti, Bagian Ilmu Kesehatan

Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret

Populasi, Sample, dan Pemilihan Subyek 6

pribumi perkotaan berusia 25–49 tahun – maka populasi ini merupakan populasi eksternal.

Satu hal perlu diingat, generalisasi temuan penelitian kepada populasi eksternal

dilakukan berdasarkan keputusan (judgment) peneliti. Tidak ada satu perangkat

statistikpun dapat digunakan untuk menentukan validitas eksternal (Last 2001; Rothman,

1986).

Kohor

Mula-mula arti kohor (cohort) adalah sekelompok orang yang lahir dalam tahun yang sama

(cohort at birth) (Streiner et al., 1989). Kini terma kohor digunakan lebih luas, merujuk

kepada kelompok subyek penelitian yang di identifikasi pada suatu titik waktu memiliki

sejumlah atribut (baca: ciri-ciri!) yang sama, lantas diamati sepanjang suatu periode waktu

untuk dideteksi timbulnya kasus baru penyakit.

Dua jenis kohor (Rothman, 2002, Kleinbaum et al., 1986): (1) Kohor tertutup; dan

(2) Kohor terbuka. Kohor tertutup (closed cohort, fixed cohort) merupakan kohor dimana

tidak ada lagi subyek baru dapat dimasukkan ke dalam sampel setelah dimulainya

pengamatan. Sebaliknya selama follow-up pengamatan bisa saja jumlah subyek berkurang

akibat tidak lagi bersedia berpartisipasi dalam penelitian, pindah dari area penelitian,

meninggal, atau bentuk-bentuk lain kegagalan kelangsungan partisipasi. Karena diikuti

sepanjang waktu, umumnya rata-rata umur sebuah kohor akan meningkat sesuai dengan

meningkatnya durasi follow-up.

Kohor terbuka (open cohort, dynamic cohort, dynamic population) merupakan

kohor dimana anggotanya dapat saja berubah sepanjang waktu, karena sejumlah anggota

populasi datang dan pergi sepanjang periode penelitian. Sebagai contoh, fluoridasi air

minum sudah sejak setengah abad silam dianjurkan di Inggris dan AS untuk mencegah

karies gigi. Di samping bermanfaat bagi gigi, intake fluorida juga meningkatkan

mineralisasi tulang, dalam jangka panjang berpengaruh protektif bagi kerangka tubuh.

Tetapi temuan kontroversial akhir-akhir ini menunjukkan kemungkinan pengaruh negatif

jangka panjang fluoridasi yang mengakibatkan fluorosis, selanjutnya meningkatkan risiko

osteoporosis dan fraktura tulang panggul (hip fracture) (Rosen, 2000).

Jika populasi adalah penduduk bertempat tinggal di sejumlah kabupaten selama

periode waktu – katakanlah dari tahun 2003 hingga 2013, maka populasi tersebut

Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat,

Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret

Populasi, Sampel, dan Pemilihan Subyek 7

dikatakan dinamik, karena ada penduduk baru dan ada yang pindah. Ukuran dan distribusi

umur populasi dinamik bisa saja tetap sepanjang waktu pengamatan, maka populasi

dinamik itu dikatakan stabil. Dalam studi Rosen (2000) tentang hubungan fluoridasi

dengan osteoporosis di atas perlu memperhitungkan umur, sebab kejadian ostoporosis

dan patah tulang panggul tergantung umur, sedang umur berhubungan dengan tingkat

(akumulasi) fluoridasi, sehingga umur merupakan faktor perancu (confounding factor)

yang harus dikontrol pengaruhnya.

DESAIN PENCUPLIKAN

Desain pencuplikan (sampling design) merupakan rancangan yang dibuat peneliti untuk

memperoleh sampel dari seluruh anggota populasi. Desain pencuplikan merupakan bagian

penting dari desain penelitian (research design), karena itu keduanya harus konsisten.

Mengapa repot-repot merancang pencuplikan? Ada dua alasan untuk “repot”.

Pertama, memilih subyek penelitian secara gegabah akan mengakibatkan kesalahan

sistematis yang disebut bias seleksi (selection bias). Contoh: kelompok-kelompok studi

yang akan diperbandingkan dalam studi analitik - baik studi potong-lintang, kasus-kontrol,

kohor, maupun eksperimen – intinya harus sebanding dalam hal distribusi faktor-faktor di

luar paparan, agar penilaian hubungan antara paparan dan penyakit tersebut valid. Kedua,

ukuran sampel mempengaruhi presisi penelitian; ukuran sampel yang tidak cukup besar

akan memperbesar kesalahan random (random error).

Tabel 7.1. menyajikan kategori desain pencuplikan berdasarkan dua kriteria –

randomness dan restriksi pemilihan subyek. Berdasarkan kriteria random, cara

pencuplikan dapat dibagi dua - pencuplikan random (pencuplikan probabilitas) dan

pencuplikan non-random (pencuplikan non-probabilitas). Berdasarkan kriteria restriksi

pemilihan subyek, cara pencuplikan dibagi dua – pencuplikan tanpa kriteria retriksi, dan

pencuplikan dengan kriteria restriksi.

Naskah Tutorial (Pengembangan Bahan Pengajaran) – Dr. Bhisma Murti, Bagian Ilmu Kesehatan

Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret

Populasi, Sample, dan Pemilihan Subyek 8

Tabel 7.1. Kategori desain pencuplikan

Kriteria random

(randomness

criteria)

Kriteria restriksi pemilihan subyek

Tanpa restriksi Dengan restriksi

Pencuplikan

random

(probabilitas)

Pencuplikan random

sederhana (simple

random sampling)

Pencuplikan random kompleks

(complex random sampling)

misalnya pencuplikan

sistematis, pencuplikan klaster,

pencuplikan area, pencuplikan

random berstrata, pencuplikan

bertingkat

Pencuplikan non-

random

(non-probabilitas)

Pencuplikan

seenaknya

(covenience

sampling, haphazard

sampling, grab

sampling, accidental

sampling)

Pencuplikan purposif (purposive

sampling) misalnya, fixed-

exposure sampling, fixed-

disease sampling, restriksi,

matching, pencuplikan kuota

(quota sampling), expert

sampling, pencuplikan bola salju

(snowball sampling).

PENCUPLIKAN RANDOM

Penggunaan prosedur pencuplikan random mengandung implikasi, setiap elemen dari

populasi diketahui peluangnya untuk terpilih ke dalam sampel. Peluang tersebut tidak

ditentukan dengan sengaja oleh peneliti, melainkan suatu “peluang buta” (“blind chance”)

seperti mengambil gulungan kertas lotere. Dengan cara demikian peneliti dapat

mengetahui probabilitas hasil pencuplikan dan besarnya kesalahan estimasi – disebut

sampling error atau sampling variation (Vogt, 1993). Karakteristik itu merupakan

keunggulan relatif pencuplikan random dibandingkan desain pencuplikan purposif.

Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat,

Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret

Populasi, Sampel, dan Pemilihan Subyek 9

Dalam pencuplikan random berlaku Hukum Regularitas Statistik (The Law of

Statistical Regularity). Artinya, jika secara rata-rata sampel terpilih merupakan sampel

random, maka sampel itu akan memiliki komposisi dan karakteristik populasi (Kothari,

1990). Jadi prosedur pencuplikan random menghasilkan sampel yang represen-tatif

terhadap populasi.

Berdasarkan kriteria restriksi, pencuplikan random dapat dibagi dua kategori: (1)

Pencuplikan random sederhana; dan (2) Pencuplikan random kompleks.

PENCUPLIKAN RANDOM SEDERHANA

Pencuplikan random sederhana (simple random sampling) dari suatu populasi terbatas

(finite population) merupakan metode pemilihan sampel dimana masing-masing item

(elemen) dari keseluruhan populasi memiliki peluang yang sama dan independen (baca:

tidak bergantung!) untuk terpilih ke dalam sampel.

Pencuplikan random banyak digunakan dalam studi deskriptif untuk memberikan sampel

yang representatif terhadap populasi. Pencuplik-an itu biasanya dilakukan tanpa

pengembalian (without replacement). Artinya, sekali sebuah item terpilih ke dalam sampel,

maka item tersebut tidak dapat lagi muncul dalam proses pencuplikan item berikutnya.

Sebaliknya, dalam pencuplikan dengan pengembalian (with replacement) elemen yang

telah terpilih ke dalam sampel dikembalikan ke dalam populasi sebelum proses pencuplikan

elemen berikutnya. Jadi elemen yang sama dapat muncul dua kali dalam satu sampel

sebelum elemen berikutnya terpilih. Pencuplikan dengan pengembalian jarang dilakukan.

Gambar 7.3. Pencuplikan random

Populasi

Prosedur pencuplikan random

Sampel

R

Naskah Tutorial (Pengembangan Bahan Pengajaran) – Dr. Bhisma Murti, Bagian Ilmu Kesehatan

Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret

Populasi, Sample, dan Pemilihan Subyek 10

Satu cara untuk menjalankan prosedur random adalah memberikan nomer kepada

setiap individu, mulai dari 0, 1, 2, 3, dan seterusnya. Lalu nomer-nomer itu dipilih secara

random dengan menggunakan tabel angka random atau program komputer sampai ukuran

sampel diinginkan tercapai. Gambar 7.3. menyajikan pencuplikan random.

PENCUPLIKAN RANDOM KOMPLEKS

Pencuplikan random kompleks (complex/mixed random sampling) merupakan pencuplikan

random dengan restriksi, biasanya memadukan prosedur pencuplikan random dengan

pencuplikan non-random. Beberapa desain pencuplikan random kompleks yang populer

sebagai berikut: (1) pencuplikan sistematis; (2) pencuplikan, klaster; (3) pencuplikan area;

(4) pencuplikan berstrata (stratified sampling); (5) pencuplikan bertingkat (multi-stage

sampling).

Studi deskriptif menggunakan pencuplikan random kompleks untuk mendapatkan

sampel representatif dengan lebih efisien ketimbang pencuplikan random sederhana.

Sedang studi analitik umumnya memadukan pencuplikan random dengan pencuplikan

purposif (misalnya, fixed-exposure sampling, fixed-disease sampling). Motif di balik

pencuplikan random kompleks dalam studi analitik adalah untuk memperoleh kelompok-

kelompok penelitian yang memang “comparable” untuk diperbandingkan, dengan demikian

meminimalkan bias pemilihan subyek penelitian (selection bias).

1. Pencuplikan sistematis

Dalam beberapa situasi, cara paling praktis adalah memilih setiap nama ke 10 dalam daftar

kerangka pencuplikan, atau setiap kasus baru bernomer genap, dan sebagainya.

Pencuplikan jenis ini dikenal sebagai pencuplikan sistematis (systematic sampling).

Unsur prosedur random dapat diterapkan ke dalam jenis pencuplikan ini untuk

memilih elemen pertama sampel. Setelah itu elemen-elemen berikut dipilih setiap interval

5, atau 10, atau 20, dan sebagainya, hingga jumlah elemen sampel yang diinginkan

tercapai. Prosedur ini sangat praktis ketika kerangka pencuplikan sudah tersedia dalam

bentuk daftar.

Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat,

Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret

Populasi, Sampel, dan Pemilihan Subyek 11

2. Pencuplikan klaster

Pencuplikan klaster (cluster sampling) adalah metode pencuplikan dimana unit pencuplikan

merupakan kelompok (baca: klaster) subyek (misalnya dukuh, atau anggota keluarga),

bukannya individu. Pengamatan dilakukan terhadap seluruh individu dalam klaster terpilih.

Dengan kata lain, variabel tetap diukur pada level individu (Last, 2001; Streiner et al.,

1989). Pencuplikan klaster cocok digunakan jika populasi menempati area luas (Kothari,

1990).

Keuntungannya, pencuplikan klaster menghemat biaya karena cukup mengamati klaster-

klaster terpilih dan “mengabaikan” klaster-klaster tak terpilih. Kerugiannya, metode ini

kurang teliti dibandingkan pencuplikan random. Pertama, peneliti tidak mengetahui persis

jumlah elemen, dus tidak mengetahui probabilitas masing-masing elemen yang terpilih ke

dalam sampel (Kothari, 1990). Kedua, analisis data akan mengalami bias ketika terdapat

korelasi intra-kelas dalam klaster – disebut herd effect (Gay, 2002). Jika ini terjadi, maka

meneliti semua orang dalam klaster ibarat hanya meneliti satu orang. Gambar 7.4.

menyajikan pencuplikan klaster.

Contoh, Salmaso et al. (1999) menggunakan teknik pencuplikan klaster untuk

menaksir cakupan imunisasi oral poliovirus (OPV), difteri-tetanus (DT), dan hepatitis virus

B (HBV) pada bayi di Italia. Hasil survai diharapkan memberikan cross-check terhadap

catatan imunisasi pemerintah yang mungkin belum meliput vaksinasi swasta. Pertama-

tama peneliti menentukan 18 dari seluruh 20 wilayah di Italia, lalu dengan sistematis

memilih 30 klaster dari masing-masing wilayah. Tujuh anak dicuplik dari masing-masing

klaster dengan pencuplikan random sederhana, menggunakan tabel angka random.

Gambar 7.4. Pencuplikan klaster

Populasi

Prosedur pencuplikan

Sampel

Klaster

Naskah Tutorial (Pengembangan Bahan Pengajaran) – Dr. Bhisma Murti, Bagian Ilmu Kesehatan

Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret

Populasi, Sample, dan Pemilihan Subyek 12

Register kelahiran setempat dimanfaatkan sebagai kerangka pencuplikan. Hasil akhir

pencuplikan diperoleh sampel 4310 anak usia 12-24 bulan. Karena peneliti memadukan

pencuplikan klaster dengan pencuplikan random sederhana, maka prosedur itu disebut

pencuplikan klaster random (random cluster sampling).

3. Pencuplikan area

Pencuplikan area (area sampling) merupakan metode pencuplikan yang dapat digunakan

ketika anggota populasi tersebar dalam area luas. Dalam metode ini, seluruh area yang

akan dicuplik dibagi dulu dalam sub-area, lalu sub-area diberi nomer dan dicuplik dengan

menggunakan tabel angka random. Selanjutnya anggota-anggota dalam area yang dicuplik

diberi nomer untuk menjalani pencuplikan tahap kedua. Pencuplikan area sebenarnya

analog dengan pencuplikan klaster yang ditentukan berdasarkan pembagian geografis.

4. Pencuplikan Berstrata

Pencuplikan berstrata (stratified sampling) merupakan teknik pencuplikan subyek di mana

populasi sasaran pertama-tama dibagi dalam strata (subpopulasi) yang berbeda menurut

karakteristik penting tertentu untuk penelitian bersangkutan, misalnya umur, status sosio-

ekonomi, lalu dilakukan pencuplikan dari masing-masing stratum.

Pencuplikan pada masing-masing stratum populasi biasanya dilakukan secara

random, sehingga prosedur pencuplikan keseluruhan disebut pencuplikan random

berstrata (stratified random sampling). Gambar 7.5. menyajikan pencuplikan random

berstrata.

Gambar 7.5. Pencuplikan random berstrata

R

R

R

Populasi

(dibagi dalam strata)

Prosedur pencuplikan random

Sampel

Strata 1

Strata k

Strata 2

Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat,

Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret

Populasi, Sampel, dan Pemilihan Subyek 13

Tujuan pencuplikan berstrata adalah untuk memperoleh kasus (studi kasus kontrol)

atau subyek terpapar (studi kohor) dalam jumlah yang cukup pada masing-masing strata,

sehingga kelak dapat dianalisis secara statistik. Variabel yang dilakukan stratifikasi adalah

variabel yang berhubungan dengan penyakit atau paparan, misalnya umur, etnik, dan ras.

Contoh: Peneliti berminat meneliti penyakit jantung koroner (PJK) di semua usia.

Insidensi PJK pada usia muda lebih rendah daripada usia dewasa. Agar memperoleh

jumlah kasus PJK yang cukup dari kelompok usia muda, maka peneliti perlu membagi

populasi sasaran dalam strata umur. Kalau saja tidak dilakukan stratifikasi tetapi langsung

melakukan pencuplikan random, maka - karena peran peluang - peneliti akan memperoleh

jumlah PJK usia muda terlalu sedikit untuk bisa dianalisis secara statistik.

5. Multi-stage sampling

Multi-stage sampling (pencuplikan bertingkat) merupakan teknik pencuplikan dimana

peneliti mencuplik sampel melalui proses bertingkat-tingkat (strata hirarkis). Tahap

pertama, peneliti membagi populasi ke dalam strata, dan mencuplik sampel dari strata di

tingkat pertama tersebut. Tahap kedua, peneliti mencuplik dari sampel tingkat pertama

untuk mendapatkan sampel tingkat kedua. Demikian seterusnya hingga terpilih unit-unit

pencuplikan dari strata hirarkis terakhir. Tergantung jumlah tingkat, desain pencuplikan

dapat bertingkat dua (two-stage sampling), bertingkat tiga (three-stage sampling), dan

seterusnya.

Umumnya peneliti mencuplik unit-unit pencuplikan secara random di tiap-tiap

tingkat – disebut multi-stage random sampling. Bila unit-unit pencuplikan itu merupakan

klaster maka desain itu menjadi multi-stage random cluster sampling. Bila klaster

ditentukan berdasarkan wilayah geografis, maka desain itu menjadi multi-stage random

area sampling. Pencuplikan bertingkat pada umumnya memang dipilih tatkala populasi

sasaran menempati suatu area geografis yang sangat luas, misalnya sebuah negara.

Tiga keuntungan pencuplikan bertingkat. Pertama, lebih mudah dilakukan daripada

teknik satu tingkat umumnya, sebab kerangka pencuplikan bertingkat dibuat dalam unit-

unit terpisah. Kedua, untuk anggaran yang sama, pencuplikan bertingkat menghasilkan

jumlah sampel lebih besar daripada teknik pencuplikan sederhana (Kothari, 1990). Ketiga,

dapat memberikan data hirarkis yang selanjutnya dianalisis dengan analisis multilevel

Naskah Tutorial (Pengembangan Bahan Pengajaran) – Dr. Bhisma Murti, Bagian Ilmu Kesehatan

Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret

Populasi, Sample, dan Pemilihan Subyek 14

(multilevel analysis) menggunakan model multilevel (multilevel modelling).

Model multilevel menggunakan variabel-variabel di tingkat lebih tinggi (misalnya,

kecamatan) untuk diperhitungkan dalam analisis hubungan variabel-variabel di tingkat

individu. Sebagai contoh, Merlo et al. (2001) meneliti di Swedia tentang pengaruh

lingkungan sosial (diukur dalam persentase penduduk dengan tingkat pendidikan rendah)

terhadap tekanan darah diastolik individu, dengan mengontrol pengaruh umur dan tingkat

pendidikan individu.

PENCUPLIKAN NON-RANDOM

Prosedur pencuplikan non-random (non-random sampling, non-probability sampling)

memilih subyek-subyek populasi ke dalam sampel tidak secara random, dengan kata lain

tidak menggunakan Hukum Regularitas Statistik. Apakah itu berarti sampel non-random

tidak representatif terhadap populasi? Jawabnya: Not necessarily.

Sampel non-random belum tentu tidak representatif. Tetapi yang jelas peneliti tidak

mengetahui apakah sampel yang diperoleh dengan cara itu memang representatif atau

tidak. Mengapa? Karena pencuplikan non-random tidak tergantung pada Hukum

Regularitas Statistik, sehingga tidak dapat diketahui sejauh mana sampel – jika dicuplik

berulang-ulang dari populasi – bervariasi terhadap karakteristik populasi sesungguhnya.

Sebaliknya dalam sampel random peneliti dapat mengetahui “odds” atau

probabilitas tentang sejauh mana sampel yang diperoleh merepresentasikan populasi.

Dengan kata lain peneliti dapat menghitung besarnya kesalahan estimasi karena variasi

pencuplikan – disebut sampling error (sampling variation).

Pencuplikan non-random dapat dibagi dalam dua kategori: (1) Pencuplikan seenaknya

(convenience sampling); dan (2) Pencuplikan purposif (purposive sampling).

PENCUPLIKAN SEENAKNYA

Pencuplikan seenaknya (convenience sampling, haphazard sampling, grab sampling,

accidental sampling) merupakan metode pencuplikan non-random yang dilakukan dengan

“bebas” tanpa restriksi atau rencana khusus dari pihak peneliti (Last, 2001; Kothari, 1990,

Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat,

Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret

Populasi, Sampel, dan Pemilihan Subyek 15

Streiner et al., 1989). Pencuplikan “liberal” ini mudah dilakukan, semudah mencuplik

sampel dari orang yang ditemui di jalan (“man-in-the-street”) atau pengunjung sebuah

stan bazar (Last, 2001). Karena tidak ada diskresi obyektif dari pihak peneliti dalam

mendesain sampel, maka teknik pencuplikan seenaknya cenderung mengintroduksi bias

pencuplikan (sampling bias), dengan demikian validitas penarikan kesimpulan hasil kepada

populasi sasaran lemah. Selain itu, sampel melalui pencuplikan seenaknya tidak

representatif terhadap populasi.

PENCUPLIKAN PURPOSIF

Umumnya studi epidemiologi analitik menggunakan lebih dari satu metode pencuplikan

untuk mendapatkan kelompok-kelompok penelitian (misalnya, kelompok-kelompok

terpapar dan tak terpapar dalam studi kohor, kelompok berpenyakit dan tak berpenyakit

dalam studi kasus-kontrol). Prosedur pencuplikan random biasanya dipadukan dengan

berbagai metode pencuplikan purposif.

Apakah pencuplikan purposif? Pencuplikan purposif (purposive sampling, deliberate

sampling) (Kothari, 1990) merupakan metode pencuplikan non-random dimana peneliti

melakukan pendekatan terhadap masalah pencuplikan dengan rencana spesifik tertentu

dalam benaknya sesuai dengan masalah dan hipotesis penelitian. Peneliti memiliki diskresi

untuk memilih elemen dengan sengaja, tetapi pemilihan itu tidak dilakukan sembarangan

melainkan dengan rencana tertentu sesuai dengan tujuan penelitian.

Karena unsur subyektif peneliti sangat kental dalam prosedur pencuplikan ini, dan

probabilitas masing-masing elemen dalam populasi untuk terpilih ke dalam sampel tidak

diketahui, maka prosedur ini tidak tepat untuk dipilih jika tujuan penelitian adalah

mendeskripsikan karakteristik populasi dalam studi deskriptif. Jika dilakukan dengan hati-

hati, prosedur ini sangat bermanfaat untuk mendapatkan kelompok-kelompok studi yang

memiliki karakteristik “comparable” untuk diperbandingkan dalam studi analitik.

Pencuplikan purposif sangat populer di kalangan peneliti sejati maupun peneliti

yang karena ketidaktahuannya (ignorance) tentang prinsip dan metode pencuplikan lalu

mencari mudahnya asal sebut (disingkat “asbut”, saudaranya “asbun”) pencuplikan

purposif untuk penelitiannya, tanpa pemahaman memadai tentang makna dan implikasi

“purposif”. Jika seorang peneliti memilih metode pencuplikan purposif, maka ia harus bisa

Naskah Tutorial (Pengembangan Bahan Pengajaran) – Dr. Bhisma Murti, Bagian Ilmu Kesehatan

Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret

Populasi, Sample, dan Pemilihan Subyek 16

menjelaskan maksud “purposif” dan tujuan yang diharapkan dari memilih metode itu untuk

penelitiannya.

Pencuplikan purposif mencakup sejumlah teknik pemilihan subyek sebagai berikut

(Gerstman, 1998, Kothari, 1990; Rothman, 1986; Kleinbaum et al., 1982): (1) Fixed-

exposure sampling; (2) Fixed-disease sampling; (3) Restriksi; (4) Pencocokan (matching);

(5) Pencuplikan kuota; (6) Expert sampling; (7) Pencuplikan bola salju (snowball

sampling).

1. Fixed-exposure sampling

Fixed-exposure sampling merupakan prosedur pencuplikan berdasarkan status paparan

subyek, sedang status penyakit subyek bervariasi mengikuti status paparan subyek yang

sudah “fixed” tersebut (Gerstman, 1998). Ketika paparan di alam langka, maka prosedur

pencuplikan berdasarkan status paparan anggota-anggota populasi akan memastikan

jumlah subyek penelitian yang cukup dalam kelompok-kelompok terpapar dan tak

terpapar. Fixed-exposure sampling paling umum dilakukan pada studi kohor.

2. Fixed-disease sampling

Fixed-disease sampling merupakan prosedur pencuplikan berdasarkan status penyakit

subyek, sedang status paparan subyek bervariasi mengikuti status penyakit subyek yang

sudah “fixed” tersebut (Gerstman, 1998). Ketika penyakit di alam langka, maka prosedur

fixed-disease sampling akan memastikan jumlah subyek penelitian yang cukup dalam

kelompok-kelompok berpenyakit dan tak berpenyakit. Fixed-disease sampling paling umum

dilakukan pada studi kasus-kontrol.

3. Restriksi

Restriksi (restriction) merupakan proses mempersempit eligibilitas subyek potensial ke

dalam sampel penelitian dengan menggunakan kriteria restriksi (kriteria eligibilitas,

admissibility criteria). Dua jenis kriteria restriksi: (1) Kriteria inklusi menentukan subyek-

Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat,

Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret

Populasi, Sampel, dan Pemilihan Subyek 17

subyek yang boleh dimasukkan ke dalam sampel penelitian; dan (2) Kriteria eksklusi

menentukan subyek-subyek yang harus digusur ke luar sampel.

Sampel dapat diperoleh dengan atau tanpa kriteria restriksi. Sampel yang diperoleh

dengan restriksi disebut sampel dengan pembatasan (restricted sample). Karena ada

peneliti mengintervensi pemilihan sampel, maka pencuplikan dengan restriksi dikategorikan

pencuplikan purposif. Sedang sampel yang diperoleh tanpa restriksi disebut sampel tanpa

pembatasan (unrestricted sample). Lihat Tabel 7.1.tentang desain dasar pencuplikan.

Mengapa melakukan restriksi? Ada sejumlah alasan. Pertama, mengendalikan

faktor perancu (confounding factor) potensial yang dipandang dapat merancukan

penaksiran pengaruh paparan terhadap penyakit (Rothman, 2002; Kleinbaum et al., 1982).

Kedua, memastikan akurasi pengukuran variabel-variabel dalam penelitian epidemiologi.

Contoh, dalam studi kohor, waktu yang tepat tentang kapan subyek dikatakan mulai

terpapar dan kapan pengamatan pengaruh paparan terhadap penyakit harus dihentikan

sangat menentukan akurasi pengukuran paparan. Dalam hal ini peneliti harus melakukan

restriksi tentang kapan memulai pengamatan dan berapa lama agar pengamatan mampu

meliput masa inkubasi atau masa laten penyakit yang bersangkutan (Rothman, 1986).

Ketiga, memudahkan pemilihan subyek, misalnya pembatasan berdasarkan area tempat

tinggal (area sampling) (Kleinbaum et al., 1982).

Kerugian restriksi: (1) Kesimpulan hanya berlaku untuk populasi yang telah

mengalami pembatasan tersebut, dus makin banyak restriksi makin meningkat validitas

internal, tetapi makin berkurang kemampuan generalisasi hasil penelitian; (2) Mengurangi

jumlah elemen dalam sampel, dus mengurangi efisiensi penelitian.

4. Pencocokan

Pencocokan (matching) adalah teknik memilih kelompok pembanding agar sebanding

dengan kelompok indeks dalam hal faktor-faktor perancu (Rothman 2002; Rothman, 1986;

Kleinbaum et al., 1982). Yang dimaksudkan dengan subyek/ kelompok indeks adalah

subyek/ kelompok yang dibandingkan dengan kelompok pembanding. Pada studi kasus

kontrol, subyek indeks adalah kasus, sedang pada studi kohor, subyek indeks adalah

subyek terpapar. Yang dimaksudkan dengan subyek pembanding adalah kontrol pada studi

kasus kontrol, dan subyek tak terpapar pada studi kohor.

Naskah Tutorial (Pengembangan Bahan Pengajaran) – Dr. Bhisma Murti, Bagian Ilmu Kesehatan

Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret

Populasi, Sample, dan Pemilihan Subyek 18

Pencocokan digunakan pada studi observasional dan eksperimen kuasi. Pada studi

kohor dan eksperimen kuasi, tujuan pencocokan untuk mengontrol pengaruh faktor

perancu dalam menilai pengaruh paparan terhadap penyakit, atau pengaruh perlakuan

terhadap hasil. Pada studi kasus kontrol, tujuan pencocokan untuk meningkatkan efisiensi

penaksiran pengaruh paparan terhadap penyakit (Rothman, 2002; Mercer, 1991; Rothman,

1986).

Contoh: dalam studi kohor tentang infark otot jantung (MI) dan aktivitas fisik,

peneliti mengendalikan pengaruh perancu obesitas, dengan cara memilihkan (baca:

mencocokkan) seorang inaktif secara fisik yang non-obes (subyek pembanding) untuk

seorang aktif secara fisik yang juga non-obes (subyek indeks). Pengaruh obesitas terhadap

hubungan aktivitas fisik dan MI dikendalikan, karena kedua subyek yang dibandingkan

sudah dibuat setara dalam tingkat faktor obesitas.

Pencocokan disebut juga restriksi parsial, sebab pembatasan diterapkan hanya

kepada subyek pembanding, tidak kepada subyek indeks (Kleinbaum et al., 1982).

5. Pencuplikan kuota

Pencuplikan kuota (quota sampling) merupakan teknik pencuplikan non-random dimana

peneliti membagi populasi ke dalam kategori (strata), lalu memberikan “jatah” jumlah

subyek untuk masing-masing stratum tersebut (Vogt, 1993, Kothari, 1990). Subyek dalam

masing-masing kategori tidak dipilih secara random, melainkan berdasarkan kemudahan,

dan mungkin sedikit restriksi. Jenis pencuplikan ini jelas mudah dilakukan dan relatif

murah. Meskipun mirip dengan pencuplikan random berstrata, tetapi sampel yang dicuplik

dengan pencuplikan kuota tidak memiliki karakteristik sampel random, sehingga tidak

reliabel untuk digunakan penarikan kesimpulan.

Pencuplikan kuota terdiri dari dua jenis – proporsional dan non-proporsional. Pada

pencuplikan kuota proporsional, peneliti mencuplik subyek untuk masing-masing kategori

karakteristik sampel dalam jumlah proporsional sesuai komposisi karakteristik tersebut

pada populasi. Sebagai contoh, jika populasi memiliki komposisi 60% perempuan dan 40%

laki-laki, dan peneliti menginginkan ukuran sampel total 100, maka peneliti dapat

melakukan pencuplikan hingga persentase tersebut terpenuhi. Jika kuota 60 perempuan

dalam sampel telah terpenuhi, tetapi belum didapatkan 40 laki-laki, maka pencuplikan

Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat,

Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret

Populasi, Sampel, dan Pemilihan Subyek 19

diteruskan untuk memenuhi kuota laki-laki. Jika dalam proses itu peneliti memperoleh lagi

subyek perempuan, maka tentu ia tidak perlu memasukkannya ke dalam sampel sebab

“jatah” untuk perempuan sudah terpenuhi.

Pencuplikan kuota non-proporsional lebih restriktif. Dalam metode ini, peneliti

menentukan jumlah minimum unit pencuplikan sesuai yang diinginkan peneliti dalam

masing-masing kategori. Dalam hal ini tujuan pencuplikan bukan untuk memperoleh

jumlah yang sesuai dengan proporsi dalam populasi, melainkan untuk mendapatkan

jumlah subyek yang memadai untuk mewakili kategori karakteristik tertentu di dalam

sampel. Metode ini dapat dipandang merupakan analog non-random dari pencuplikan

berstrata, dimana bagi peneliti yang penting memiliki sekelompok kecil subyek yang cukup

terwakili di dalam sampel.

6. Expert sampling

Expert sampling (judgment sampling) merupakan teknik pencuplikan dimana peneliti

mewawancarai sekelompok individu yang diketahui merupakan pakar di bidang yang

sedang diteliti. Kepakaran tersebut tidak harus berarti pernah mengenyam pendidikan

formal, melainkan merujuk kepada suatu pengetahuan khusus.

Individu yang dianggap pakar dapat diambil dari kalangan akademik, dengan syarat

tentu saja harus “mumpuni” (baca: menguasai) di bidang atau topik yang sedang diteliti.

Penggunaan expert sampling dalam studi epidemiologi, misalnya untuk memperoleh

sampel pakar yang akan diminta untuk memberikan “judgment” (penilaian) tentang

validitas instrumen penelitian.

Critical case sampling merupakan sebuah varian dari expert sampling, dimana

sampel merupakan sekelompok individu yang dianggap memiliki pengalaman istimewa

tentang suatu bidang atau topik penelitian, misalnya pengalaman aktris Elizabeth Taylor

sebagai penyantun setia penderita HIV/AIDS, pengalaman mendiang Ibu Teresa

(pemenang hadiah Nobel) dalam memberikan pelayanan kepada populasi sangat miskin di

Calcutta, India.

Naskah Tutorial (Pengembangan Bahan Pengajaran) – Dr. Bhisma Murti, Bagian Ilmu Kesehatan

Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret

Populasi, Sample, dan Pemilihan Subyek 20

7. Pencuplikan bola salju

Pencuplikan bola salju (snowball sampling, chain referral sampling, network sampling)

dimulai dengan mengidentifikasi seorang atau dua orang subyek yang memenuhi kriteria

inklusi untuk suatu penelitian. Subyek tersebut kemudian diminta memberikan keterangan

tentang subyek-subyek lainnya yang menurut subyek pertama tadi memenuhi kriteria

inklusi. Meskipun sulit untuk dapat memberikan sampel representatif, metode ini

bermanfaat untuk mencuplik populasi yang sulit dijangkau.

Contoh, jika peneliti ingin meneliti dampak kemiskinan terhadap status kesehatan

dengan cara mencuplik sampel para tuna wisma (baca: homeless, gelandangan!), maka

peneliti akan sulit memperoleh kerangka pencuplikan (sampling frame) yang memuat

daftar para tuna wisma yang tinggal di suatu area. Tetapi jika strategi yang diambil adalah

pergi ke area itu dan mengidentifikasi seorang atau dua orang tuna wisma, maka peneliti

akan menemukan bahwa tuna wisma tersebut mengetahui persis “tempat tinggal” dan

cara menemukan rekan-rekan lainnya di seputar area itu.

FAKTOR YANG MENENTUKAN DESAIN PENCUPLIKAN

Ciri-ciri desain pencuplikan yang baik:

1. Menghasilkan sampel yang representatif dalam studi deskriptif, atau sampel-sampel

yang dapat diperbandingkan dengan valid dalam studi analitik.

2. Mampu meminimalkan kesalahan pencuplikan (sampling error).

3. Mampu mengontrol bias sistematis dalam studi analitik.

4. Menghasilkan sampel yang hasil-hasil pengamatan pada sampel dapat diterapkan

kepada populasi sasaran dengan tingkat keyakinan yang cukup baik.

Sejumlah faktor menentukan desain pencuplikan yang baik: (1) Desain penelitian; (2)

Parameter yang diinginkan; (3) Unit pencuplikan; (4) Kerangka pencuplikan; (5) Ukuran

sampel; (6) Anggaran penelitian.

Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat,

Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret

Populasi, Sampel, dan Pemilihan Subyek 21

1. Desain penelitian

Dalam riset epidemiologi, keputusan tentang cara pencuplikan ditentukan berdasarkan

masalah, hipotesis, dan tujuan penelitian, khususnya apakah penelitian bersifat deskriptif

atau analitik. Jika penelitian bertujuan mendeskripsikan karakteristik populasi, maka

pencuplikan random menghasilkan sampel yang representatif terhadap karakteristik

populasi, dengan demikian menghasilkan estimasi yang akurat tentang karakteristik itu.

Untuk studi deskriptif, desain penelitian terbaik adalah potong lintang (cross-sectional)

dimana semua karakteristik diamati pada saat sama. Sedang pencuplikan yang

menghasilkan sampel paling representatif terhadap karakteristik populasi adalah

pencuplikan random sederhana.

Sebaliknya, jika tujuan penelitian adalah mempelajari hubungan paparan dan

penyakit, maka sampel yang diteliti tidak harus mewakili karakteristik populasi

keseluruhan. Yang menjadi isu krusial adalah bagaimana membuat perbandingan valid

kelompok-kelompok penelitian tersebut. Implikasinya – pertama - pencuplikan sampel

harus mampu memastikan bahwa sampel-sampel yang dicuplik memiliki distribusi faktor-

faktor perancu secara sebanding, sehingga ketika peneliti menilai hubungan paparan-

penyakit maka penilaian itu tidak dipengaruhi faktor-faktor perancu.

Kedua, desain pencuplikan harus mampu menghindari atau memberi proteksi

terhadap kemungkinan bias sistematis dalam memilih subyek-subyek penelitian - disebut

bias seleksi (selection bias). Singkat kata, output utama yang diharapkan dari desain

pencuplikan studi epidemiologi analitik adalah kepastian validitas, bukannya representasi

karakteristik sampel terhadap karakteristik populasi keseluruhan (Rothman, 1986).

Tergantung tujuan penelitian, sampel-sampel yang dicuplik dalam studi epidemiologi tidak

harus representatif terhadap populasi keseluruhan.

2. Parameter yang akan ditaksir

Parameter spesifik yang ingin ditaksir menentukan desain pencuplikan. Contoh, jika peneliti

ingin menaksir prevalensi penyakit pada masing-masing strata populasi, maka desain

pencuplikan yang sesuai adalah membagi populasi dalam strata, lalu mencuplik elemen

dari masing-masing strata – disebut pencuplikan random berstrata.

Naskah Tutorial (Pengembangan Bahan Pengajaran) – Dr. Bhisma Murti, Bagian Ilmu Kesehatan

Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret

Populasi, Sample, dan Pemilihan Subyek 22

3. Unit pencuplikan

Unit pencuplikan (sampling unit) adalah item/elemen/unit dari populasi yang akan dipilih

ke dalam sampel. Peneliti harus menentukan unit pencuplikan sebelum memilih sampel.

Unit pencuplikan yang sering digunakan adalah individu, karena unit pengamatan dalam

studi epidemiologi umumnya individu. Tetapi pada studi ekologis, unit pencuplikan adalah

kelompok, berdasarkan wilayah geografi (misalnya, desa), atau unit sosial (misalnya,

keluarga dan sekolah). Contoh, jika populasi adalah semua kota di Indonesia berpenduduk

lebih dari 500,000 orang, maka 100 kota yang termasuk kategori itu merupakan unit-unit

pencuplikan.

4. Kerangka pencuplikan

Kerangka pencuplikan (sampling frame), disebut juga daftar sumber (source list) (Kothari,

1990), merupakan daftar berisikan nama-nama atau (karena alasan etis) nomer subyek

populasi sumber yang akan dicuplik ke dalam sampel. Contoh, dalam studi hubungan OC

dan MI, peneliti dapat menggunakan buku register yang dibuat bidan klinik keluarga

berencana sebagai kerangka pencuplikan. Kerangka pencuplikan perlu ekshaustif, benar,

reliabel, dan tepat. Sudah barang tentu kerangka pencuplikan harus seakurat mungkin

mewakili populasi.

5. Ukuran sampel

Ukuran sampel (sample size) adalah jumlah subyek yang dipilih dari populasi sehingga

membentuk sebuah sampel. Ukuran sampel dalam studi epidemiologi harus cukup besar

dalam arti optimal yang memungkinkan peneliti menaksir parameter dengan akurat,

reliabel, dan sekaligus efisien. Beberapa hal menentukan ukuran sampel: (1) Presisi

penaksiran yang diinginkan peneliti; (2) Tingkat keyakinan (confidence level) penaksiran;

(3) Kuasa statistik (statistical power) yang diinginkan; (4) Perkiraan prevalensi penyakit

yang akan ditaksir (epidemiologi deskriptif); (5) Perkiraan besarnya pengaruh paparan

terhadap penyakit (epidemiologi analitik); (6) Varians dan ukuran populasi.

Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat,

Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret

Populasi, Sampel, dan Pemilihan Subyek 23

Intinya, makin tinggi presisi diinginkan, makin besar sampel harus dicuplik. Makin

besar kemampuan yang diinginkan dari sebuah penelitian epidemiologi analitik untuk

mendeteksi adanya pengaruh paparan terhadap penyakit, makin besar sampel dibutuhkan.

Demikian pula, makin besar tingkat keyakinan, makin besar sampel harus dicuplik (contoh,

penaksiran dengan tingkat keyakinan 99% memerlukan sampel lebih besar daripada

tingkat keyakinan 95%).

Selanjutnya, makin rendah perkiraan prevalensi suatu penyakit, makin besar

sampel dibutuhkan. Makin kecil perkiraan pengaruh paparan terhadap penyakit, makin

besar kebutuhan ukuran sampel. Makin besar varians populasi, makin besar sampel

dibutuhkan. Demikian juga makin besar ukuran populasi, makin besar sampel diperlukan.

Ukuran sampel yang cukup besar sangat penting dalam studi epidemiologi. Sebab

makin besar sampel, makin persis (baca: teliti, cermat!) inferensi tentang distribusi

penyakit pada populasi (studi deskriptif), dan makin persis penaksiran pengaruh paparan

terhadap penyakit pada populasi (studi analitik). Dus makin besar sampel, makin kecil

kesalahan pencuplikan (sampling error, sampling variation).

6. Anggaran yang tersedia

Penentuan desain pencuplikan perlu mempertimbangkan anggaran yang tersedia untuk

penelitian. Contoh, jika anggaran terbatas dan populasi menempati area luas, maka teknik

pencuplikan klaster akan lebih mudah dan murah daripada pencuplikan random sederhana.

Mengapa? Sebab pada pencuplikan random sederhana, elemen-elemen akan tersebar

secara merata di seluruh antero populasi. Implikasinya, peneliti harus “jalan-jalan” ke

hampir seluruh penjuru populasi. Sebaliknya, pada pencuplikan klaster, yang menyebar

adalah klaster. Peneliti cukup “bepergian” ke klaster yang terpilih saja dan mengamati

semua elemen yang “berkerumun” dalam klaster itu.

KLARIFIKASI BEBERAPA KONSEP PENCUPLIKAN

Sejumlah konsep pencuplikan sering disalahtafsirkan sehingga perlu diklarifikasi: (1)

Random dan acak; (2) Randomisasi dan pencuplikan random; (3) Pencuplikan berstrata,

stratifikasi blok, analisis berstrata.

Naskah Tutorial (Pengembangan Bahan Pengajaran) – Dr. Bhisma Murti, Bagian Ilmu Kesehatan

Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret

Populasi, Sample, dan Pemilihan Subyek 24

Random dan acak

Terma random dan acak sering digunakan bergantian untuk merujuk kepada konsep yang

sama. Meskipun demikian penulis anjurkan penggunaan kata random ketimbang acak.

Mengapa? Sebab kata acak sering disalahtafsirkan sebagai suatu mekanisme acak-acakan

(“ngawur”) alias sesuka peneliti. Padahal mekanisme random dilakukan secara sistematis,

mengikuti kaidah-kaidah probabilitas dan Hukum Regularitas Statistik. Pencuplikan elemen-

elemen dilakukan dengan menggunakan tabel angka random, perangkat komputer, atau

boleh juga secara “primitif” menggunakan “lintingan” kertas lotere yang diberi nomer.

Prosedur random yang umum tidak mengembalikan “lintingan” yang telah diambil untuk

pemilihan elemen berikutnya – disebut “without replacement” (tanpa penggantian).

Program komputer umumnya menggunakan formula yang mengasumsikan prosedur

random tanpa penggantian.

Randomisasi dan pencuplikan random

Randomisasi harus dibedakan dengan pencuplikan random. Randomisasi – disebut juga

alokasi random (random allocation, random assignment) - adalah penunjukan subyek-

subyek sampel ke dalam kelompok eksperimen atau kelompok kontrol, dengan prosedur

random. Randomisasi dilakukan pada studi eksperimen random (RCT) untuk menentukan

siapa di antara sampel mendapatkan atau tidak mendapatkan perlakuan. Dengan cara

demikian sebaran faktor-faktor perancu potensial berlangsung melalui “peluang buta”

tanpa pengaruh subyektif peneliti.

Pencuplikan random – di lain pihak - merupakan teknik pemilihan subyek dari

populasi sasaran dengan prosedur random. Dengan prosedur random, maka probabilitas

subyek untuk terpilih ke dalam sampel dapat diketahui peneliti. Jika semua elemen dalam

populasi mempunyai kesempatan (probabilitas) sama dan independen, maka pencuplikan

seperti itu disebut pencuplikan random sederhana.

Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat,

Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret

Populasi, Sampel, dan Pemilihan Subyek 25

Pencuplikan random

Kelompok

eksperimen

Kelompok

kontrol

Populasi Sampel Randomisasi

Pada eksperimen random, sampel random dilakukan randomisasi untuk mendapatkan

kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Gambar 7.6. menyajikan pencuplikan random

dan randomisasi.

Pencuplikan berstrata, stratifikasi blok, dan analisis berstrata

Pembedaan perlu dilakukan antara pencuplikan berstrata, stratifikasi blok, dan analisis

berstrata. Pencuplikan berstrata (stratified sampling) merupakan teknik pencuplikan yang

membagi populasi sasaran dalam strata yang berbeda menurut karakteristik tertentu, lalu

melakukan pencuplikan dari masing-masing stratum. Tujuan pencuplikan berstrata untuk

memperoleh kasus (studi kasus kontrol) atau subyek terpapar (studi kohor) dalam jumlah

yang cukup pada masing-masing strata, sehingga dapat dianalisis secara statistik.

Dalam stratifikasi blok dilakukan stratifikasi sampel ke dalam sejumlah blok, lalu dari

blok itu dilakukan randomisasi (Kleinbaum et al., 1982; Streiner et al., 1989). Stratifikasi

blok digunakan pada eksperimen, untuk mendapatkan subyek yang cukup pada semua

strata, sehingga meningkatkan efisiensi pengujian hipotesis. Eksperimen yang

menggunakan stratifikasi blok disebut desain blok random (randomized block design)

(Streiner et al., 1989).

Analisis berstrata merupakan teknik analisis data yang bertujuan memperhitungkan

pengaruh faktor perancu dengan cara menganalisis hubungan antara paparan dan

penyakit secara terpisah pada tiap-tiap strata faktor perancu. Teknik itu menghasilkan

penilai-an yang valid tentang hubungan antara paparan dan penyakit. Analisis berstrata

dilakukan pada tahap analisis data, sedang pencuplikan berstrata dilakukan pada tahap

desain pencuplikan.

Gambar 7.6. Pencuplikan random dan randomisasi

Naskah Tutorial (Pengembangan Bahan Pengajaran) – Dr. Bhisma Murti, Bagian Ilmu Kesehatan

Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret

Populasi, Sample, dan Pemilihan Subyek 26

REFERENSI

Agudo A, Gonzalez AC (1999). Secondary matching: a method for selecting controls in

case-control studies on environmental risk factors. Int J Epidemiol, 28: 1130-33

Gay JM (2002). Clinical epidemiology & evidence-based medicine glossary: Clinical study

design and methods terminology. http://www.vetmed.wsu.edu/courses-jmgay

Gerstman BB (1998). Epidemiology kept simple. New York: Wiley-Liss

Kleinbaum, D.G., Kupper, L.L., dan Morgenstern, H. (1982). Epidemiologic research:

Principles and quantitative methods. New York: Van Nostrand Reinhold.

Kothari CR (1990). Research methodology: methods and technques. New Delhi: Wiley

Eastern Limited.

Last, JM (2001). A dictionary of epidemiology. New York: Oxford University Press, Inc.

Merlo J, Ostergren PO, Hadberg O, Lindstrom M, Lindgren A, Melander A, Rastam L,

Berglund G (2001). Diastolic pressure and area of residence: multilevel versus

ecological analysis of social inequity. J Epidemiol Community Health, 55: 791-798

Mercer D (1991). Intermediate epidemiology (Coursework). New Orleans, LA: Tulane

School of Public Health and Tropical Medicine.

Rosen CJ (2000). Fluoride and fractures: an ecological fallacy. Lancet, 355: January 22:

247-248.

Rothman, KJ (2002). Epidemiology: an introduction. New York: Oxford University Press.

___________ (1986). Modern epidemiology. Boston: Little, Brown, and Company.

Salmaso S, Rota MC, Ciofi Degri Atti ML, Tozzi AE, Kreidel P, dan ICONA Study Group

(1999). Infant immunization coverage in Italy: estimates by simultaneous EPI cluster

surveys or regions. Bull World Health Organ, 77(10): 843-50

Streiner, DL; Norman, GR; and Blum, HM (1989). PDQ Epidemiology. Toronto: BC Decker

Inc.

Vogt WP (1993). Dictionary of statistics and methodology. Newbury Park, CA: Sage

Publication.