Studi Fenomena Lanskap di Indonesia: Menuju Lanskap yang Berkelanjutan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Pembelajaran lanskap dapat dilakukan dengan banyak cara salah satunya adalah mempelajari fenomena yang ada di sekitar kita. Kekayaan kearifan lokal yang telah tumbuh dan mengakar di Indonesia merupakan hal yang menarik untuk dipeajari. Perkembangan lanskap dari tradisional ke kontemporer memberikan pandangan yang baru untuk kita dapat lebih memahami keragaman lanskap Indonesia. Metode yang dilakukan adalah metode kualitatif dengan analisis deskriptif, penulis memberikan contoh-contoh fenomena lanskap yang ada di Indonesia baik tradisional dan kontemporer. Contoh fenomena yang diambil adalah lanskap Kampung Beting, Rumah Tradisional Bali, dan Kota Satelit Kebayoran Baru. Pembelajaran mengenai lanskap dapat dilihat dari cara adaptasi manusia dengan lingkungannya, bagaimana manusia mengorganisasi ruang di sekitarnya, dan perkembangan lanskap kontemporer. Penjabaran fenomena ini dilakukan agar mengetahui pentingnya ilmu arsitektur lanskap dalam pembangunan Indonesia yang berkelanjutan. Pelestarian kearifan lokal lanskap tradisional dan keberhasilan pembangunan lanskap kontemporer dapat diwujudkan dengan studi komprehensif arsitektur lanskap, dimana fokus utama dari ilmu arsitektur lanskap adalah mempertahankan dan menciptakan keharmonisan antara manusia dan lingkungannya.

Citation preview

  • Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia

    Jurnal Lingkungan Binaan No.1 | 1

    Studi Fenomena Lanskap di Indonesia: Menuju Lanskap yang Berkelanjutan

    Cherish Nurul Ainy(1), RR. Dhian Damajani(2)

    (1) Mahasiswa Program Magister, Jurusan Arsitektur Lanskap, Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung. (2) Staf Pengajar Pogram Magister, Jurusan Arsitektur Lanskap, Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung.

    Abstrak Pembelajaran lanskap dapat dilakukan dengan banyak cara salah satunya adalah mempelajari fenomena yang ada di sekitar kita. Kekayaan kearifan lokal yang telah tumbuh dan mengakar di Indonesia merupakan hal yang menarik untuk dipeajari. Perkembangan lanskap dari tradisional ke kontemporer memberikan pandangan yang baru untuk kita dapat lebih memahami keragaman lanskap Indonesia. Metode yang dilakukan adalah metode kualitatif dengan analisis deskriptif, penulis memberikan contoh-contoh fenomena lanskap yang ada di Indonesia baik tradisional dan kontemporer. Contoh fenomena yang diambil adalah lanskap Kampung Beting, Rumah Tradisional Bali, dan Kota Satelit Kebayoran Baru. Pembelajaran mengenai lanskap dapat dilihat dari cara adaptasi manusia dengan lingkungannya, bagaimana manusia mengorganisasi ruang di sekitarnya, dan perkembangan lanskap kontemporer. Penjabaran fenomena ini dilakukan agar mengetahui pentingnya ilmu arsitektur lanskap dalam pembangunan Indonesia yang berkelanjutan. Pelestarian kearifan lokal lanskap tradisional dan keberhasilan pembangunan lanskap kontemporer dapat diwujudkan dengan studi komprehensif arsitektur lanskap, dimana fokus utama dari ilmu arsitektur lanskap adalah mempertahankan dan menciptakan keharmonisan antara manusia dan lingkungannya. Kata-kunci : lanskap, tradisional, kontemporer, teori Pendahuluan

    Indonesia merupakan negara terbesar keempat di dunia, dengan populasi mencapai 220 juta jiwa. Terdiri dari 19.000 pulau-pulau yang berjajar di sepanjang garis ekuator. Pulau-pulau di Indonesia seperti Kalimantan dan Papua termasuk dalam daftar pulau-pulau terbesar di dunia. Indonesia memiliki 200 macam budaya dan bahasa yang berbeda-beda1. Kekayaan alam dan budaya Indonesia berpadu dan menciptakan lanskap yang memiliki ciri khas dan keunikan di setiap sudut wilayahnya.

    Sayangnya pembelajaran tentang lanskap masih sangat minim dipublikasikan di Indonesia. Banyak artikel yang mengulas

    tentang kekayaan dan kemajuan lanskap negara-negara lain, tetapi Indonesia dengan keragaman budayanya masih sangat minim dieksplorasi. Hal ini membuat kurangnya kebanggaan masyarakat akan kekayaan budaya negeri ini dan membanggakan kekayaan budaya negeri orang lain. Tidak heran apabila di Indonesia mudah sekali mengadopsi budaya negeri lain sehingga tidak hanya berakibat pada degradasi lingkungan, tetapi juga krisis budaya. Hal ini membuat pembelajaran tentang lanskap sangat esensial untuk dapat mempertahankan harmonisasi antara manusia dengan lingkungannya.

    Menurut JB Jackson2, lanskap terbentuk ketika seseorang menetap di suatu tempat, melakukan apapun yang mereka bisa untuk

  • Studi Fenomena Lanskap di Indonesia: Menuju Lanskap yang Berkelanjutan

    2 | Jurnal Lingkungan Binaan No.1

    dapat bertahan hidup, dan secepatnya mengatur dirinya masuk ke dalam suatu kelompok untuk membangun hubungan yang positif serta memberikan perlindungan pada dirinya. Lanskap di Indonesia sangat beragam dari pantai hingga ke pegunungan, manusia dengan naluri alaminya akan menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sekitarnya untuk dapat bertahan hidup. Usaha penyesuaian diri manusia terhadap lingkungan menghasilkan kearifan lokal yang tercermin dari lanskap sekitarnya.

    Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memahami bagaimana cara mempelajari lanskap melalui fenomena yang ada di Indonesia. Pemahaman ini sangat dibutuhkan untuk dapat mempertahankan atau menciptakan lanskap yang dapat menjaga keharmonisan manusia dengan lingkungannya serta memperhatikan nilai-nilai budaya yang perlu dilestarikan.

    Metode

    Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan analisis deskriptif. Metode ini dipilih guna mendapatkan pemahaman yang mendalam mengenai fenomena lanskap yang ada di Indonesia. Penggambaran secara deskripsi tentang fenomena tersebut juga dilengkapi dengan ilustrasi yang digambar ulang oleh penulis.

    Metode pengumpulan data dilakukan dengan studi literatur terkait dengan fenomena lanskap di Indonesia yang akan disajikan sebagai contoh. Literatur yang digunakan berupa buku, jurnal, dan foto-foto yang menunjang pemahaman terhadap materi yang akan disampaikan.

    Metode analisis deskriptif yang digunakan mengacu pada penjabaran tentang bagaimana mempelajari lanskap yang dijelaskan oleh JB Jackson (1950). Pembelajaran mengenai lanskap dapat dilihat dari cara adaptasi manusia dengan lingkungannya, bagaimana manusia mengorganisasi ruang di sekitarnya, dan perkembangan lanskap kontemporer. Setiap tahap dari pembelajaran tersebut

    dianalisis dengan literatur terkait dan dipahami lebih lanjut dengan memberikan contoh fenomena yang ada di Indonesia.

    Adaptasi manusia dengan lingkungannya

    Manusia dapat bertahan hidup karena memiliki dua kekuatan penting yang telah melekat dalam diri manusia yaitu kemampuan manusia dalam presepsi dan deduksi. Presepsi yang dimaksud adalah membuat dirinya sadar atas semua kondisi di sekitarnya dan faktor-faktor yang dapat diaplikasikan untuk membuat kondisi di sekitarnya lebih baik. Deduksi memiliki arti manusia dapat menarik kesimpulan dan arti yang tepat dari prosedur3. Manusia secara nalurinya akan menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sekitarnya agar dapat dihuni dan memberikan manfaat positif bagi dirinya.

    Sungai Kapuas merupakan sungai terpanjang di Indonesia dengan panjang 1.143 km. Sungai yang melintas di Pulau Kalimantan ini menjadi sumber aktivitas dan kehidupan bagi masyarakat. Kota Pontianak, kota yang dilalui oleh sungai ini juga mempunyai hubungan yang sangat erat secara fisik maupun sosial dengan Sungai Kapuas. Budaya yang berkaitan erat dengan aktivitas di Sungai Kapuas membuat masyarakat melakukan proses adaptasi kondisi lanskap tepian sungai.

    Contoh yang nyata proses adaptasi manusia dengan lingkungannya dapat dilihat dari bagaimana warga Kampung Beting, Pontianak beradaptasi. Kampung Beting yang berada di tepi Sungai Kapuas, membuat penduduk di sekitarnya membuat rumah lanting 4 . Perkampungan di atas air ini telah ada semenjak tahun 19305.

    Namun, seiring dengan bertambahnya penduduk, pendangkalan sungai, harga kayu yang mahal, dan peningkatan aktivitas warga ke luar kampung, maka penduduk mulai beralih dari rumah lanting ke rumah tiang6. Pembuatan gertak 7 juga dilakukan untuk memudahkan akses warga. Penggunaan materialnya pun yang telah umum digunakan yaitu menggunakan cor beton, bukan

  • Cherish Nurul Ainy

    Jurnal Lingkungan Binaan No.1 | 3

    menggunakan kayu besi sebagai ciri khas material tradisional Kampung Beting.

    Kampung Beting yang seharusnya memiliki potensi untuk menjadi waterfront city 8yang indah, menjadi semakin menghilang identitasnya. Kurangnya pengetahuan untuk melestarikan lanskap dari pemerintah dan warga setempat membuat Kampung Beting semakin kumuh dan kriminalitasnya semakin meningkat.

    Gambar 1. Kondisi Kampung Beting saat ini, didominasi oleh gertak beton dan rumah tiang. (sumber: dokumen pribadi, 2011)

    Selama kurun waktu kurang dari 100 tahun, begitu banyak perubahan yang dilakukan oleh penduduk Kampung Beting sebagai bentuk adaptasi dengan perkembangan lingkungan di sekitarnya. Hal ini membuktikan adanya respon cepat dari manusia untuk membuat dirinya tetap bertahan hidup. Namun sayangnya, apabila proses adaptasi tersebut tidak disertai dengan pengetahuan yang bijak, maka proses adaptasi tersebut tidak akan berkelanjutan. Lambat laun budaya yang ada mulai terkikis identitasnya hingga menghilang dan hanya tinggal cerita.

    Identifikasi ruang berdasarkan kearifan lokal

    Proses adaptasi yang dilakukan manusia tidak hanya berdasarkan perubahan keadaan lingkungannya. Nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat selama ratusan bahkan ribuan tahun menciptakan kearifan lokal 9 . Manusia seiring dengan pembelajaran yang kemudian menjadi keyakinan, mengaplikasikannya dalam pembentukan ruang. Menurut JB Jackson2,

    ruang dapat mengidentifikasi penghuninya. Manusia akan membentuk batas-batas, perbedaan ruang publik dan privat dengan tujuan memperjelas tata tertib masyarakat

    Kebutuhan manusia untuk mendefinisikan ruang di sekitarnya agar menjadi lingkungan yang layak dihuni, sudah dilakukan oleh nenek moyang kita dari ratusan tahun lalu. Masyarakat Bali, telah mengidentifikasi ruangnya berdasarkan kearifan lokal dengan sangat jenius. Orientasi yang benar dalam ruang, kombinasi antara ide-ide dari acara ritual yang mensucikan dan gangguan dari luar adalah konsep utama penataan rumah masyarakat Bali. Mereka menyusun konsep berdasarkan kosmologi untuk menjaga kehamonisan antara makhluk hidup yang hidup di dalam tembok dan di luar tembok10.

    Gambar 2. Penataan rumah masyarakat Bali 1) halaman tengah, 2) kuil keluarga, 3) ruang tidur utama, 4) ruang tidur lainnya, 5) ruang penerima tamu, 6) bale sekenam, g) dapur, 7) lumbung padi, 8) kandang babi, 9) pintu masuk, 10) tembok kecil. (sumber: Sularto, 2012, diilustrasikan kembali oleh penulis).

    Satu kompleks rumah dapat dihuni oleh beberapa keluarga, dimana para kepala keluarga masih memiliki hubungan saudara. Penataan rumah Bali tersebut mengindikasikan adanya kesadaran manusia untuk membuat lingkungannya nyaman sehingga dapat menunjang kehidupan sehari-hari. Adanya kesadaran tersebut dikombinasikan dengan kearifan lokal yang telah mengakar di masyarakat, sehingga sampai sekarang pun masyarakat Bali masih menjaga kearifan lokalnya.

  • Studi Fenomena Lanskap di Indonesia: Menuju Lanskap yang Berkelanjutan

    4 | Jurnal Lingkungan Binaan No.1

    Penataan ruang oleh masyarakat modern

    Penataan ruang berdasarkan kearifan lokal apabila dibandingkan dengan penataan ruang oleh masyarakat modern sangatlah berbeda. Jakarta, ibukota yang perkembangannya sangat dinamis karena kemudahan akses dan lapangan pekerjaan membuatnya sangat menarik untuk dikunjungi oleh berbagai macam suku masyarakat di Indonesia. Pertambahan penduduk Jakarta sangat drastis tiap tahunnya 11 . Sehingga ada kesadaran pemerintah pada masa itu untuk membangun kota satelit12.

    Pada tahun 1951 di Kebayoran Baru, Jakarta telah selesai dibangun dengan luas sekitar 730 Ha pada waktu itu sebagai kota satelit Jakarta yang dirancang sejak tahun 1948 dengan rapi dan teratur. Kebayoran baru direncanakan sebagai kota yang hijau, nyaman, sejuk, estetis, dan sehat untuk 100.000 orang penduduk. Pada waktu itu Jakarta hanya berjumlah 1.661.125 orang dan lokasi Kebayoran Baru sewaktu itu dianggap udik dan tranportasi masih kurang 13 . Daerah Kebayoran Baru saat itu berjarak kurang lebih 4.5 km dari Jakarta. Master plan Kebayoran Baru dirancang oleh arsitek lokal yaitu Moh. Soesilo.

    Gambar 4. Master plan Kebayoran Baru oleh Moh. Soesilo (1950). Keterangan: 1) Area pemukiman, 2) Area indsutri, 3) Area perdagangan/ pasar, 4) Area bangunan khusus, 5) Area terbuka hijau/ taman, 6) Area pemakaman umum. (sumber: Hadinoto, 1950, diilustrasikan kembali oleh penulis).

    Master plan yang dibuat pada tahun 1950 tersebut terdiri dari area pemukiman (45%),

    area perdagangan dan bangunan lainnya (14%), area terbuka hijau (16%), dan jalan (25%) dengan total luas area sebesar 730 Ha. Sayangnya, pelaksanaannya tidak sesuai dengan rencana. Rencana yang sangat bagus tidak didukung oleh pelaksanaan yang sesuai dengan perencanaan serta profesional dan masyarakat pada saat itu masih belum berwawasan lingkungan. Perencanaan Kebayoran Baru sebagai kota satelit yang membantu meringankan permasalahan di ibukota tidak berhasil pada saat itu karena lingkungan di ibukota masih dianggap nyaman.

    Isu-isu degradasi lingkungan di Indonesia

    Sejak tahun 1960-an hutan dan taman yang ada sebagai peninggalan sejarah banyak dialih-fungsikan menjadi kawasan permukiman, bandar udara, kawasan industri, jalan raya, kompleks perdagangan. Kasus yang terjadi di DKI Jakarta secara umum telah terjadi pengurangan luasan hutan dan taman. Sebanyak 181 dari 394 taman yang ada di DKI Jakrat telah berubah fungsi. Oleh sebab itu, pada tanggal 2 Mei 1990 Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WLHI) mempertanyakan realisasi pembangunan hutan dan taman kota di DKI Jakarta. Realisasi yang tercapai hanya 10% saja, padahal targetnya 40% dari wilayah DKI Jakarta dapat dihijaukan14.

    Kota-kota besar di Indonesia mulai mengalami degradasi lingkungan karena pembangunan yang hanya berorientasi terhadap ekonomi dan jangka pendek. Kekayaan kearifan lokal yang dimiliki oleh Indonesia seakan-akan hilang begitu saja. Isu-isu lingkungan baik di Indonesia maupun dunia mulai membuat beberapa kalangan cemas, khususnya kalangan profesional. Hingga munculnya kesadaran pemerintah untuk merevitalisasi kota dengan penggunaan konsep green city. Pemerintah mengeluarkan UU Nomor 26 Tahun 2007 Tetang Penataan Ruang yang berisi tentang proporsi RTH kota yang harus mencapai angka 30% sebagai awal perwujudan untuk perbaikan lingkungan kota.

  • Cherish Nurul Ainy

    Jurnal Lingkungan Binaan No.1 | 5

    Rusaknya lingkungan karena perilaku dan keputusan manusia yang tidak berdasarkan keberlanjutan lingkungan selama hampir seratus tahun tentu tidak mudah dikembalikan begitu saja. Semua golongan masyarakat harus mempunyai kesadaran penuh akan perbaikan lingkungan sehingga proses perencanaan yang sudah berlandaskan perbaikan lingkungan dapat berjalan dengan baik.

    Proses perencanaan dan penataan ruang dengan dasar ilmu lanskap

    Permasalahan lingkungan yang kita hadapi sekarang adalah dampak dari kurangnya pemahaman kita akan pentingnya hubungan yang harmonis antara alam dan manusia. Arsitektur lanskap pertama kali dicanangkan sebagai keprofesian oleh Frederick Law Olmstead. Sensitivitas yang dimiliki oleh Olmstead melihat terjadinya degradasi lingkungan karena revolusi industri pada tahun 1850an membuatnya mampu menciptakan karya yang sampai sekarang kita ketahui ketenarannya yaitu Central Park.

    Arsitektur lanskap di Indonesia sendiri dipelopori oleh Zain Rachman dan Slamet Wirosanjaya pada akhir tahun 1960an. Fokus arsitektur lanskap akan keharmonisan alam dan manusia menjadi salah satu solusi untuk menghadapi permasalahan lingkungan yang kita hadapi sekarang. Proses studi yang komprehensif dan berbasis ekologi dilakukan oleh para arsitek lanskap untuk melakukan perencanaan dan penataan ruang.

    Menurut LaGro, 2008, terdapat karakteristik kesesuaian lahan untuk pengembangan yang berkelanjutan. Karakteristik tersebut dibagi dalam tiga kategori yaitu sumber daya alam, sumber daya budaya, dan lingkungan terbangun. Sumber daya alam pengembangannya cocok untuk fungsi-fungsi yang meliputi regulasi, produksi, daya dukung, dan informasi. Sumber daya yang bernilai budaya tinggi cocok dikembangkan sebagai situs arkeologi, bangunan bersejarah, lanskap vernakular, dan kampung tradisional. Sedangkan untuk lingkungan terbangun cocok

    untuk infrastruktur, penggunaan lahan, servis, dan regulasi-regulasi terkait pembangunan.

    Penjelasan LaGro menunjukkan pentingnya mengenali karakteristik tapak yang akan dikembangkan. Hal ini merupakan kunci dari pembangunan berkelanjutan. Setiap tapak memiliki nilai dan kearifan unik yang harus kita gali sehingga pembangunan yang diciptakan memberikan keuntungan bagi manusia tetapi tidak merusak lingkungan. Pertimbangan-pertimbangan seperti itulah yang diperlukan untuk menciptakan pembangunan Indonesia yang berkelanjutan.

    Kesimpulan

    Lanskap Indonesia dapat kita pelajari dengan mencoba memahami dan menggali fenomena lanskap yang ada di sekitar kita. Kampung Beting dan kearifan lokal Bali hanya seperseribu dari fenomena lanskap yang ada di Indonesia. Kekuatan budaya yang ada di setiap lanskap Indonesia pun berbeda-beda. Kampung Beting mengalami perubahan yang signifikan dalam kurun waktu kurang dari 100 tahun, sedangkan Bali mengalami perubahan yang sedikit selama beratus-ratus tahun. Untuk itu, sangat penting mengenal aspek budaya dan kearifan lokal yang ada sebelum melakukan pengembangan.

    Lanskap kontemporer yang ada di Indonesia juga menimbulkan fenomena yang sangat beragam. Wawasan manusia akan lingkungan bertambah seiring timbulnya dampak buruk akibat perbuatan manusia sendiri. Perbaikan lingkungan mulai disuarakan secara lantang oleh pemerintah dan komunitas-komunitas yang ada di masyarakat.

    Pembelajaran lanskap merupakan hal yang esensial dalam penanganan dampak dari degradasi lanskap. Pemahaman akan pembangunan yang menciptakan keharmonisan antara manusia dan lingkungannya merupakan fokus utama dari ilmu arsitektur lanskap.

    Lanskap di Indonesia masih jarang digaungkan, sehingga perlunya publikasi mengenai ilmu

  • Studi Fenomena Lanskap di Indonesia: Menuju Lanskap yang Berkelanjutan

    6 | Jurnal Lingkungan Binaan No.1

    arsitektur lanskap baik berupa ulasan teori maupun praktik. Harapannya penelitian-penelitian tentang lanskap semakin banyak dan berkembang sehingga mudah diakses dan menambah wawasan lingkungan terhadap masyarakat.

    Ucapan Terima Kasih

    Penulis mengucapkan terima kasih banyak terhadap rekan-rekan penulis yang namanya tidak bisa disebutkan satu per satu yang banyak membantu memberikan masukan untuk pembuatan artikel ini. Semoga artikel ini bermanfaat bagi kita semua.

    Daftar Pustaka

    Dahlan, E. N. (2004). Kota Kebun: Bernuansa Hutan Kota. Bogor: Penerbit IPB Press.

    Hadinoto, K. (1950). Kebajoran: A New Town Under Construction. Jakarta: Van Dorp Djakarta.

    Irwan, Z. D. 2008. Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota. Jakarta: PT Bumi Aksara.

    Khaliesh dkk. (2012). Karakteristik Permukiman Tepian Sungai Kampung Beting di Pontianak: Dari Rumah Lanting ke Rumah Tiang. Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2012, 69-72.

    LaGro, J. A. (2008). Site analysis : a contextual approach to sustainable land planning and site design. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.

    Simonds, J. O. dan Starke, B. W. (2006). Landscape Architecture: A Manual of Envieronmental Planning and Design. New York: McGraw-Hill.

    Sularto, R. (2001). Indonesian Heritage Architecture: The Balinese House. Singapore: Archipelago Press.

    Swaffield, S. (2002). Theory in Landscape Architecture, Philadelphia: University of Pennsylvania Press.

    Vickers, A. (2005). A History of Modern Indonesia, New York: Cambridge University Press.

    Catatan Kaki 1 Lihat Vickers, 2005, hal. I. 2 Lihat Swaffield, 2002, hal. 12. 3 Lihat Simonds dan Starke, 2006, hal. 2. 4 Rumah lanting merupakan rumah yang terapung di atas air, karena ditopang oleh ikatan bambu atau kayu gelondongan sebagai penyangga (Zaini, 2008). 5 Lihat Khaliesh dkk, 2012, hal. 69. 6 Rumah tiang adalah rumah yang konstruksi lantainya jauh di atas tanah. Rumah tiang adalah sebutan rumah dengan struktur gantung (panggung) bagi penduduk Kampung Beting (Khaliesh dkk, 2012). 7 Gertak merupakan istilah yang digunakan masyarakat Kalimantan Barat untuk menyebut jembatan kayu berbentuk susunan papan dengan ukuran lebar 72-150 cm yang menghubungkan antara rumah-rumah di tepian sungai (Khaliesh dkk, 2012). 8 Kawasan yang berbatasan langsung dengan badan air. 9 Kearifan lokal adalah ilmu/kebiajakan yang diterapkan oleh leluhur yang berlaku di daerah setempat. 10 Lihat Sularto, 2001, hal. 36. 11 Pada tahun 2008: 7.616.838, tahun 2009: 8.523.157, tahun 2010: 8.524.152 (sumber: BPS). 12 Kota kecil di tepi sebuah kota besar yang meskipun merupakan komunitas mandiri, sebagian besar penduduknya tergantung dengan kehidupan di kota besar. 13 Lihat Irwan, 2008, hal. 5. 14 Lihat Dahlan, 2004, hal. 53.