Upload
bagaskara-aspha
View
246
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
1/98
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuntutan dalam perwujudan good governance di Indonesia yang semakin
meningkat berimplikasi pada sistem pengelolaan keuangan secara akuntabel
dan transparan. Hal ini tidak terpisahkan oleh adanya sistem pengendalian dan
pengawasan di setiap instansi pemerintah yang secara sistematis terdiri dari
proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan hingga pertanggungjawaban
secara efektif, efisien dan terkendali.
Dalam mengefektifkan penyelenggaraan sistem pengendalian, audit
internal merupakan satuan pengawas intern dan pembina penyelenggaraan
sistem pengendalian intern pemerintah. Hal tersebut dijelaskan dalam fungsi
audit internal oleh IIAS board (2009 dalam Tunggal 2011:4):
Internal auditing is an independent, objective assurance and consultingactivity designed to add value and improve an organizations operations. Ithelps an organization accomplish its objectives by bringing a systematic,disciplined approach to evaluate and improve the effectiveness of riskmanagement, control, and governance processes.
Definisi tersebut menunjukkan bahwa audit internal merupakan sendi utama
dalam pencapaian tujuan organisasi karena dapat memberikan nilai tambah
dalam menjalankan tanggung jawabnya dengan memberikan analisis, penilaian,
pengendalian dan mampu menghadapi resiko yang potensial dari seluruh
kegiatan yang diaudit dalam organisasi serta memastikan apakah organisasi
telah berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku.
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
2/98
2
Definisi tersebut diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Republik No.60
tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah. Aturan tersebut
menyatakan bahwa pengendalian intern merupakan seluruh proses kegiatan
audit, review, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap
penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan
keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan
tolok ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan
pimpinan dalam mewujudkan pemerintahan yang baik
(http://www.dephut.go.id/files/PP_60_08.pdf:2008). Sementara itu, kedudukan
audit internal dalam mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik
dalam konteks pengawasan, sejatinya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No.79 tahun 2005 tentang Pedoman Dan Pembinaan
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Ketetapan tersebut
menyatakan bahwa pengawasan dilaksanakan oleh aparat pengawasan intern
yaitu inspektorat jenderal departemen, unit pengawasan lembaga pemerintah
non departemen, inspektorat provinsi, dan inspektorat kabupaten/kota dalam
melaksanakan fungsi dan wewenangnya.
Dengan demikian, secara luas inspektorat daerah mempunyai fungsi dan
tanggung jawab sebagai auditor internal yang bekerja dalam pencapaian tujuan
organisasi pemerintah daerah. Kemudian, Amrizal (2004) mengemukakan
kegiatan-kegiatan utama auditor internal yaitu: (1) mampu menelaah dan menilai
kebaikan, memadai tidaknya penerapan sistem pengendalian manajemen,
struktur pengendalian intern dan pengendalian operasional lainnya serta
mengembangkan pengendalian yang efektif dengan biaya yang tidak terlalu
mahal; (2) memastikan ketaatan terhadap kebijakan, rencana dan prosedur-
prosedur yang telah ditetapkan oleh manajemen; (3) memastikan seberapa jauh
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
3/98
3
harta perusahaan dipertanggungjawabkan dan dilindungi dari kemungkinan
terjadinya segala bentuk pencurian, kecurangan dan penyalahgunaan; (4)
memastikan bahwa pengelolaan data yang dikembangkan dalam organisasi
dapat dipercaya; (5) menilai mutu pekerjaan setiap bagian dalam melaksanakan
tugas yang diberikan oleh manajemen; (6) menyarankan perbaikan-perbaikan
operasional dalam rangka meningkatkan efisensi dan efektifitas. Dari kegiatan-
kegiatan tersebut secara garis besar dapat diindikasikan bahwa auditor internal
antara lain memiliki peranan dalam: (a) pencegahan kecurangan (fraud
prevention); (b) pendeteksian kecurangan (fraud detection); dan (c)
penginvestigasian kecurangan (fraud investigation). Dengan demikian audit
internal merupakan lembaga yang secara langsung menerima dampak atas
pendekatan pencegahan, pendeteksian dan penginvestigasian terhadap
kecurangan (fraud).
Peran dalam penerapan kebijakan fraud sangat bervariasi dari satu
instansi dengan instansi lainnya, namun terdapat suatu kesepakatan umum
bahwa pemilik tanggung jawab kebijakan anti-fraudada pada pimpinan instansi
(tone at the top)di mana para pimpinan instansi harus membantu memantau dan
menegakkan tanggung jawab operasional atas pelaksanaan pengujian dan
penilaian yang dilakukan oleh audit internal. Pengujian dan penilaian risiko yang
dilakukan oleh internal audit harus diberikan prioritas yang tinggi, kebutuhan ini
akan semakin mendorong dan memacu audit internal untuk meningkatkan
kemampuan dan keahliannya. Sejalan dengan pernyataan standar profesional
audit internal (2004 dalam Tunggal 2012: 13) yang menerangkan bahwa auditor
internal harus memiliki pengetahuan yang memadai untuk dapat mengenali,
meneliti dan menguji adanya indikasi kecurangan.
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
4/98
4
Secara teoritis, seluruh gambaran di atas menunjukkan adanya
ekspektasi terhadap pengawasan internal pemerintah (inspektorat) yang ketat
dan diharapkan mampu mengidentifikasikan dan meredam gejala fraud. Oleh
karenanya, inspektorat memiliki posisi yang sangat strategis, sebagai katalisator
dan dinamisator dalam menyukseskan pembangunan daerah yang berkaitan
dengan kelancaran jalannya pemerintahan daerah, optimalnya pembangunan,
pembinaan aparatur daerah, dan sebagainya. Sehingga inspektorat daerah
sebagai pengawas internal dapat menjadi tombak untuk mewujudkan
akuntabilitas dan transparansi menuju good governance.
Namun, di sisi lain fakta di Indonesia menunjukkan masih banyak terjadi
ketimpangan dalam pengawasan intern khususnya di instansi pemerintahan.
Bagi mereka yang berkecimpung di dunia pengawasan (baik internal maupun
eksternal), temuan tersebut sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru dan
mengejutkan. Terlebih oleh kepala instansi, hal tersebut bukan lagi menjadi
alasan bahwa kepala instansi tidak mengetahui ataupun tidak menyadari adanya
penyimpangan kebijakan ataupun kecurangan di instansinya.
Dengan kata lain terdapat kemungkinan bahwa inspektorat tidak mampu
memberikan solusi yang nyata kepada instansi untuk menghentikan atau
setidaknya mencegah terjadinya penyimpangan meski telah mampu mengetahui
gejala-gejala (symptoms) di berbagai kecurangan (fraud). Penyimpangan
kecurangan (fraud) dapat dilakukan baik oleh manajemen puncak maupun
pegawai lainnya untuk mendapatkan keuntungan secara tidak beretika dengan
cara melakukan tindakan-tindakan kriminal seperti korupsi, kolusi, penipuan, dan
lain sebagainya (Santoso: 2008, Pambelum: 2008).
Praktik korupsi yang telah sejak lama terjadi di Indonesia merupakan
salah satu bentuk fraud yang paling mencolok di negeri kita. Praktik-praktiknya
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
5/98
5
berupa penyalahgunaan wewenang, penyuapan, pungutan liar, hingga kolusi dan
nepotisme serta pemanfaatan uang negara untuk kepentingan pribadi secara
tidak beretika. Ironisnya, meskipun pemerintah berupaya dalam
memberantasnya, praktik-praktik korupsi tersebut tetap berlangsung tanpa ada
penurunan pada tingkat persentasenya bahkan terjadi peningkatan dari tahun ke
tahun. Wakil Ketua KPK Jasin, menilai dengan tiadanya perbaikan dalam
pemberantasan korupsi, target Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar skor
IPK Indonesia pada tahun 2015 sebesar 5,0 dipastikan tak akan terwujud. Target
Presiden itu disampaikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
tahun 2010. Diperkirakan, IPK Indonesia paling tinggi 3,1
(http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=1631, diakses 5 Oktober
2012).
Hal tersebut telah menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara
terkorup di kawasan Asia Tenggara dan dunia(www.tranparency.org: diakses 7
Maret 2012). Hal ini dapat dilihat pada tabel 1 yang berisi peringkat tingkat
korupsi negara Indonesia berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) negara-
negara di dunia yang dikeluarkan pada tahun 2011.
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
6/98
6
Tabel 1. Peringkat Tingkat Korupsi Negara-Negara di Asia Tenggara PeringkatNegara-Negara Skore IPK 2011
No. Skor NegaraIndeks Persepsi Korupsi
(IPK)
1 5 Singapore 9.22 44 Brunei 5.2
3 60 Malaysia 4.3
4 80 Thailand 3.4
5 100 Indonesia 3.0
6 112 Vietnam 2.9
7 129 Philippines 2.6
8 143 Timor Leste 2.4
9 154 Laos 2.210 164 Kamboja 2.1
11 180 Myanmar 1.5
*Jumlah negara yang diikutsertakan dalam pemeringkatan sebanyak 182 negara** Skor IPK berdasarkan persepsi para pebisnis dan para analis negara tentang tingkatkorupsi yang teramati. Rentangan skor antara 10 (sangat bersih) dan 0 (sangat korup)
Data yang diperoleh dari situs korupsi dunia yang dipublikasikan oleh
organisasi Transparency International, diperoleh angka indeks korupsi dimana
posisi negara Indonesia berada pada rangking 100 dari 159 negara. Mengingat
Indonesia berada di kawasan Asia Tenggara, dapat diurutkan pula tingkat
persepsi korupsi negara Indonesia berada pada ranking 5 dari seluruh negara
anggota ASEAN. Dari data tersebut, dapat diketahui bahwa negara Indonesia
dengan IPK 3.0 menunjukkan di Indonesia telah banyak terjadi praktik korupsi.
Peringkat tingkat korupsi di Indonesia yang tampak pada Tabel 1 menunjukkan
sebuah indikasi bahwa penggunaan keuangan negara Indonesia yang tidak
ekonomis, efisien, dan efektif karena mengalami kebocoran yang disebabkan
praktik korupsi. Akibatnya akan timbul pertumbuhan pembangunan yang lambat
dan juga tidak meratanya pendistribusian hasil-hasil pembangunan. Hal tersebut
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
7/98
7
akan berimplikasi kepada masyarakat sebagai sasaran akhir dan fokus utama
seluruh kegiatan pembangunan karena pemerintah tidak mampu secara
maksimal memberikan pelayanan dalam berbagai segi kehidupan seperti
kesehatan, pendidikan, ekonomi.
Kemudian di Indonesia, Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi
Keuangan (PPATK) melansir persentase kasus dugaan korupsi di beberapa
provinsi di Indonsia.
Tabel 1.2 Peringkat Tingkat dan Persentase Korupsi Provinsi-Provinsi DiIndonesia 2011
No. Provinsi %
1 DKI Jakarta 46,7
2 Jawa Barat 6,0
3 Kalimantan Timur 5,7
4 Jawa Timur 5,2
5 Jambi 4,1
6 Sumuatera Utara 4,0
7 Jawa Tengah 3,5
8Kalimantan Selatan, Nangroe Aceh
Darussalam2,1
9 Papua 1,8
10 Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, Riau 1,5
11 Sulawesi Utara 0,9
12 Sumatra Barat, Bali 0,7
13 Kalimantan Tengah 0,6
14 Nusa Tenggara Barat, Papua Barat 0,5
15 Sulawesi Tengah 0,4
16 Sulawesi Barat 0,3
17 Bangka Belitung 0,1
Sumber: http://www.lensaindonesia.com (diakses 5 Oktober 2012)
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
8/98
8
Wakil Ketua PPATK Agus Santoso menyatakan bahwa umumya korupsi
di daerah menggunakan modus memindahkan dana anggaran APBD ke
rekening bendahara provinsi. Berdasarkan persentase di tabel 1.2, Provinsi
Sulawesi Selatan berada pada urutan ke sebelas dengan persentase 1.5%
menunjukkan cukup besarnya praktik korupsi yang ada. Hal ini disebabkan
bahwa minimnya integritas yang dimiliki oleh Provinsi sulawesi selatan, sesuai
dengan survei integritas KPK di 98 instansi tingkat pusat dan daerah yang
dilakukan pada 2009, skor integritas pemprov Sulawesi Selatan menduduki
urutan terendah alias rentannya kasus korupsi yang ditemukan. Senada dengan
pernyataan tersebut, laporan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(BAPPENAS) punya kesimpulan sama bahwa Sulawesi Selatan lemah dalam
rencana aksi daerah pemberantasan korupsi. Hal demikian dipertegas oleh
Abraham Samad (ketua KPK yang pernah menjabat sebagai Direktur Anti-
Corruption Committee (ACC) bahwa mereka yang bersalah tidak takut
dikarenakan aparatnya yang lemah
(http://infokorupsi.com/id/korupsi.php?ac=4579&l=sulawesi-selatan-daerah-
surga-para-koruptor, diakses 22 Oktober 2012). Tidak dapat dielakkan lagi
bahwa Provinsi Sulawesi Selatan merupakan surga bagi orang yang ingin
melakukan korupsi. Namun, untuk meminimalisir keadaan yang demikian perlu
ada upaya-upaya khusus untuk mendorong perbaikan-perbaikan di Provinsi
Sulawesi Selatan.
Singh (1974) mengungkapkan penyebab terjadinya korupsi yang ditulis
oleh Revida dalam artikelnya yang berjudul Korupsi Di Indonesia: Masalah Dan
Solusinya (2003:2) yaitu kelemahan moral (41,3%), tekanan ekonomi (23,8%),
hambatan struktur administrasi (17,2%), hambatan struktur sosial (7,08 %).
Apabila diperluas penyebab terjadinya korupsi di Indonesia diantaranya yaitu
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
9/98
9
lambannya struktur pemerintahan, serta lemahnya peraturan hukum di Indonesia
terutama pada tindak pidana korupsi. Hal ini dibuktikan bahwa sampai saat ini
belum ada hukuman berat yang sesuai dengan hasil korupsi yang dinikmati oleh
sebagian koruptor. Ditambah lagi dengan moral bangsa yang mulai bobrok yang
dipengaruhi oleh memudarnya nilai-nilai etika dan agama, padahal kita ketahui
bahwa Indonesia merupakan negara beragama dan menjunjung tinggi budaya
timur yang peduli terhadap moralitas. Salah satu faktor utama yang lain yaitu
kesejahteraan masyarakat di Indonesia sangat kurang yang berasal dari upah
ataupun gaji rendah yang mereka dapat dari hasil kerja mereka. Oleh karena itu,
Pemerintah harus mampu menurunkan atau mengurangi tingkat korupsi di
Indonesia melalui pengawasan terstruktur yang cukup ketat. Maraknya korupsi
dapat berujung pada tidak optimalnya pembangunan.
Praktik penyimpangan lain yang marak terjadi yaitu terhadap anggaran
daerah dengan berbagai macam modus oleh PNS. Salah satunya dan yang
sudah melekat di instansi pemerintah yaitu perjalanan dinas fiktif. Hal tersebut
diperjelas oleh wakil ketua KPK, Bambang Wiljajanto, ada beberapa modus yang
dilakukan oleh PNS dan pejabat negara dalam melakukan korupsi perjalanan
dinas. Pertama, mengakali jumlah tiket pesawat; kedua, menggelembungkan
biaya akomodasi penginapan (hotel); dan ketiga, mengagendakan biaya
perjalanan fiktif (Republika.co.id, diakses 27 September 2012).
Pernyataan tersebut adalah wajar, Hutasuhut (2012) dalam penelitiannya
menyatakan bahwa di SKPD telah terjadi kecurangan. Penyebab kecurangan
adalah faktor interen kesempatan (opporturity), motivasi (motivation),dan faktor
ekstern yaitu kurang efektifnya pengendalian intern pemerintahan
kabupaten/kota. Penelitian tersebut juga memperoleh hasil bahwa internal audit
mampu mendeteksi kecurangan pada SKPD Kabupaten/Kota.
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
10/98
10
Sesungguhnya kecurangan (fraud) yang terjadi di lingkungan instansi
pemerintah bukan hanya perjalanan dinas dan korupsi, masih banyak modus-
modus lainnya. Hampir pada semua proses bisnis dan pelayanan yang
dijalankan oleh instansi pemerintah, pusat maupun daerah masih sarat dengan
kecurangan dan KKN. Selain modus perjalanan dinas fiktif, penyimpangan yang
sudah banyak terungkap mencakup; rekayasa pengadaan barang/jasa,
penyimpangan penerimaan negara/daerah, biaya perijinan, pungutan tidak resmi,
penyalahgunaan wewenang, kontribusi pihak swasta yang tidak
dipertanggungjawabkan dan bantuan dana antar instansi yang
dipertanggungjawabkan secara tidak benar.
Dari beberapa bentuk kecurangan di atas tidak dapat dihindari lagi
pertanyaan bahwa apakah sesungguhnya Inspektorat sebagai pengawas internal
mampu menjalankan fungsi dan wewenangnya sesuai tugas dan
tanggungjawabnya memberikan pembinaan dan pengawasan terhadap instansi/
SKPD sebagaimana yang terulis dalam konsep pemerintah dalam rangka
mencapai good governance? Sebaliknya apakah Inspektorat ikut berperan dalam
proses pembiaran terjadinya fraud? Berdasarkan uraian dari latar belakang di
atas, penulis tertarik untuk mengambil judul penelitian Analisis Peranan Audit
Internal dalam Mendeteksi Kecurangan pada Pemerintahan Provinsi Sulawesi
Selatan.
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
11/98
11
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka penulis merumuskan
masalah sebagai berikut: Bagaimana peranan audit internal inspektorat dalam
mendeteksi kecurangan pada Pemerintahan Provinsi Sulawesi Selatan?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang dan perumusan masalah tersebut di
atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
peranan audit internal oleh Inspektorat dalam mendeteksi kecurangan pada
Pemerintahan Provinsi Sulawesi Selatan.
1.4 Kegunaan Penelitian
Kegunaan Penelitian dari penulisan ini terdiri dari kegunaan praktis dan
kegunaan teoritis.
a) Kegunaan praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
pemerintah provinsi mengenai seberapa jauh peranan audit internal dalam
mendeteksi kecurangan. Permasalahan ini sangat penting dikemukakan
karena tidak menutup kemungkinan akan terjadi ketidak konsistenan peran
dan fungsi auditor internal sebagai bagian dari salah satu fasilitas pengelolaan
keuangan pemerintah provinsi. Selain itu audit internal merupakan pilar utama
dalam sistem pengawasan keuangan pemerintahan, oleh karena itu auditor
internal harus menjalankan tugasnya dengan baik.
b) Kegunaan teoritis
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
12/98
12
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan
peneliti di bidang audit internal khususnya di sektor pemerintahan. Selain itu
diharapkan dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan dan akademisi
khususnya untuk menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya yang lebih lanjut
yang berkaitan dengan masalah ini.
1.4. Sitematika Penulisan
Untuk memperoleh gambaran yang utuh mengenai penulisan skripsi ini,
maka dalam penulisannya akan dibagi menjadi lima bab, dengan rincian sebagai
berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pemanduan uraian-uraian mengenai masalah yang timbul
sehingga mendorong penulisan skripsi ini, yang meliputi latar
belakang masalah, rumusan permasalahan, tujuan dan manfaat
penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Uraian mengenai teori-teori dan penelitian terdahulu yang
melandasi penulisan skripsi ini. Selain itu, dijelaskan pula definisi
variabel operasional. Bab ini juga akan menguraikan kerangka
pemikiran.
BAB III METODE PENELITIAN
Uraian mengenai lokasi penelitian, rancangan penelitian, jenis
penelitian, teknik pengumpulan data dan analisis data.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
13/98
13
Pada bab ini terdiri dari uraian atas data yang diperoleh setelah
melaksanakan penelitian. Data disajikan berasal dari jawaban
informan yang diperoleh dari lapangan dan memberikan
interpretasi terhadap masalah yang diajukan.
BAB V PENUTUP
Berisi kesimpulan dan saran yang sesuai dengan hasil penelitian
yang telah dilakukan.
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
14/98
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Peran Mencerminkan Fungsionalisme
Dalam hubungan antar manusia terdapat tiga teori yang dapat dijadikan
acuan untuk membantu menerangkan model dan kualitas hubungan antar
manusia. Salah satunya adalah teori peran.
Berawal dari pemikiran fungsionalis yang merupakan kontribusi dari
sosiolog Amerika yaitu Talcott Parsons (Biddle, 2010). Teori ini memanfaatkan
konsep peran dan hingga saat ini banyak penulis yang berupaya memformalkan
fungsionalisme.
Peran adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan dari seesorang pada
situasi sosial tertentu (Barbara,1995: 21 dalam Lia, 2009). Ahmadi (1982)
mendefinisikan peran sebagai suatu kompleks pengharapan manusia terhadap
cara individu harus bersikap dan berbuat dalam situasi tertentu berdasarkan
status dan fungsi sosialnya.
Levinson dalam Soekanto (2009: 213) mengatakan peranan mencakup
tiga hal, antara lain: (1) peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan
dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini
merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam
kehidupan bermasyarakat; (2) peranan merupakan suatu konsep tentang apa
yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi; (3)
peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi
struktur sosial masyarakat.
14
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
15/98
15
Pada dasarnya ada dua paham yang dipergunakan dalam mengkaji teori
peran yakni paham strukturisasi dan paham interaksionis. Paham strukturisasi
lebih mengaitkan antara peran-peran sebagai unit cultural, serta mengacu ke
perangkat hak dan kewajiban, yang secara normatif telah dicanangkan oleh
sistem budaya. Sistem budaya tersebut, menyediakan suatu sistem posisional,
yang menunjuk pada suatu unit dari struktur sosial. Pada intinya, konsep struktur
menonjolkan suatu konotasi pasif-statis, baik pada aspek permanensasi maupun
aspek saling-kait antara posisi satu dengan lainnya.
Paham interaksionis, lebih memperlihatkan konotasi aktif-dinamis dari
fenomena peran, terutama setelah peran tersebut merupakan suatu perwujudan
peran (role performance) yang bersifat lebih hidup dan lebih organis serta
sebagai unsur dari sistem sosial yang telah diinternalisasi oleh selfdari individu
pelaku peran. Dalam hal ini, pelaku peran menjadi sadar akan struktur sosial
yang didudukinya. Karenanya ia berusaha untuk selalu nampak mumpuni dan
dipersepsi oleh pelaku lainnya bahwa ia tak menyimpang dari sistem harapan
yang ada dalam masyarakatnya.
Kejelasan peran pada paham strukturisasi, dapat dilihat dari pemahaman
terhadap tugas dan tanggung jawab, serta pemahaman mengenai batas
wewenang dan hak-hak dalam pekerjaan. Sedangkan paham interaksionis,
dapat dilihat dari penerimaan tugas yang sesuai dengan latar belakang dan
pengalaman, serta hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas.
Wirutomo (1981 dalam Kaghoo, 2010) mengemukakan pendapat David
Berry bahwa dalam peranan yang berhubungan dengan pekerjaan, seseorang
diharapkan menjalankan kewajiban-kewajibannya yang berhubungan dengan
peranan yang dipegangnya.
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
16/98
16
Selanjutnya dikatakan bahwa di dalam peranan terdapat dua macam
harapan, yaitu: pertama, harapan-harapan dari masyarakat terhadap pemegang
peran atau kewajiban-kewajiban dari pemegang peran, dan kedua harapan-
harapan yang dimiliki oleh pemegang peran terhadap masyarakat atau terhadap
orang-orang yang berhubungan dengannya dalam menjalankan peranannya atau
kewajiban-kewajibannya. Dalam pandangan Berry (Kaghoo, 2010), peranan-
peranan dapat dilihat sebagai bagian dari struktur masyarakat sehingga struktur
masyarakat dapat dilihat sebagai pola-pola peranan yang saling berhubungan.
Jika diperincikan lebih detail dapat digambarkan bahwa masyarakat
mempunyai harapan terhadap para pemegang peranan apakah mewakili
organisasi atau institusi tertentu selaras dengan kewajiban dan
tanggungjawabnya. Dalam hubungan dengan penelitian ini peranan diartikan
berfungsinya inspektorat di Pemerintahan Provinsi Sulawesi Selatan yang secara
sengaja dibentuk oleh pemerintah sebagai audit internal. Dalam hal ini audit
internal diharapkan dapat memberikan keyakinan dalam menangani sistem
keuangan dan non keuangan dari hal-hal yang berbau ketidakwajaran dan
berbagai aspek di seluruh instansi pemerintah provinsi.
2.2 Audit Internal
Faktor utama diperlukannya audit internal adalah meluasnya rentang
kendali yang dihadapi instansi di pemerintah provinsi yang memilki ribuan
pegawai serta mengelola kegiatan yang bervariasi sesuai bidang yang ada.
Sehingga, berbagai penyimpangan dan ketidakwajaran dalam
menyelenggarakan laporan keuangan daerah ataupun yang bersifat non-
keuangan merupakan potensial masalah nyata yang harus dihadapi.
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
17/98
17
Untuk mendeteksi dan mencegah berbagai masalah yang ada pada
sistem birokrasi pemerintahan maka diperlukan audit internal untuk melakukan
pengawasan serta pembinaan. Oleh karena itu, diperlukan pengujian dan
pengevaluasian pada kegiatan-kegiatan dalam pemerintahan tersebut.
2.2.1 Pengertian Audit Internal
Konsorsium organisasi profesi Auditor Internal Indonesia menyatakan
definisi audit internal yang sepenuhnya mengikuti definisi yang dikembangkan
oleh The Institute of Internal Auditors Inc.(IIA) yang dikutip oleh Tunggal (2012:
1)dalam bukunya yang berjudul Pedoman Pokok Audit Internal:
Audit internal adalah kegiatan assurance dan konsultasi yang independendan obyektif, yang dirancang untuk memberikan nilai tambah danmeningkatkan kegiatan operasi organisasi.
Definisi lain dalam buku Tunggal (2012: 3) menurut Sawyer:
Internal auditing is a systematic, objectif appraisal by internal auditor ofthe diverse operation an d control within on organization to determinewhether (1) financial and operating information is accurate and reliable;(2) risk to the enterprise are identified and minimized; (3) external
regulations and acceptable internal policies and procudere are followed;(4) satisfactory operating criteria are met; (5)resources are used efficientlyand economically and, (6) the organizations objectives are effectivelyachieved-all for the purpose of consulting with management and forassisting member of the organization in the effecive discharge of theirresponsibilities.
Definisi menurut Sawyer secara jelas diterangkan bahwa audit internal
merupakan tonggak utama dalam mendukung keefektifan suatu organisasi
dalam mencapai tujuannya, serta efisiennya terhadap penggunaan seluruh
sumber daya yang ada. Tercapainya tujuan secara efektif dan efisien dalam
organisasi yaitu melalui perbaikan manajemen risiko terhadap integrityrisk yang
akan timbul dalam organisasi melalui identifikasi ataupun meminimalisirnya.
Keandalan informasi keuangan dan operasi merupakan salah satu kriteria yang
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
18/98
18
dimasukkan dalam proses audit internal. Uraian di atas menunjukkan bahwa
audit internal memberikan kontribusi terhadap operasi dan pengendalian secara
objektif dan sitematis dalam pencapaian tujuan organisasi.
Selanjutnya IIAS Board of Directors memperbarui definisi audit internal
disebabkan definisi yang dikeluarkan oleh sawyer tidak mengikat lagi kebutuhan
stakeholders seiring perkembangan dunia bisnis dan teknologi. Berikut definisi
yang telah diperbarui yang dikeluarkan oleh IIAS Board of Directorsyang ditulis
oleh Tunggal (2012: 4):
Internal auditing is an indepent, objective assurane and consulting activitydesigned to add value and improve an organization/operation. It help anorganization accomplish its objectives by bringing a systematis, diciplinedapproach to evaluate and improve to effectiveness of risk management ,control and governance processes.
Secara spesifik perbedaan antara definisi baru dan definisi lama dapat
diformulasikan pada tabel di bawah ini.
Tabel 2 Perbedaan definisi baru dan definisi lama audit internal
No. Definisi Lama Definisi Baru
1) Fungsi penilaian yang independen
yang dibentuk dalam suatu
organisasi
Suatu aktivitas independen dan
objektif
2) Fungsi penilaian Aktivitas pemberian jaminan
keyakinan dan konsultasi
3) Mengkaji dan mengevaluasi
aktivitas organisasi sebagai bentuk
jasa yang diberikan bagi organisasi
Dirancang untuk memberikan
suatu nilai tambah, serta
meningkatkan kegiatan operasi
organisasi
4) Membantu para anggota organisasi
agar dapat menjalankan tanggung
jawabnya secara efektif
Membantu organisasi dalam
usaha mencapai tujuannya
5) Memberi hasil analisis, penilaian,
rekomendasi, konseling dan
informasi yang berkaitan dengan
Memberikan suatu pendekatan
disiplin yang sistematis untuk
mengevaluasi dan meningkatkan
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
19/98
19
aktivitas yang dikaji dan
menciptakan pengendalian efektif
dengan biaya wajar
keefektifan manajemen risiko,
pengendalian dan proses
pengaturan dan pengelolaan
organisasi
Sumber: Tunggal (2012)
Dari beberapa definisi tentang audit internal di atas, dapat disimpulkan
beberapa poin penting yaitu:
1) Audit internal merupakan suatu fungsi penilaian independen dalam suatu
organisasi. Hal Ini menunjukkan bahwa orang yang melakukan penilaian
tersebut adalah anggota dari organisasi tersebut.
2) Dalam pengukuran yang dilakukan auditor internal, independensi dan
objektivitas harus dipegang.
3) Memberikan suatu pendekatan disiplin yang sistematis untuk mengevaluasi
dan meningkatkan efektivitas manajemen risiko pengendalian dan proses
pengelolaan organisasi.
4) Auditor internal memeriksa dan mengevaluasi seluruh kegiatan baik finansial
maupun non finansial.
5) Menentukan apakah kebijakan dan prosedur yang telah ditetapkan dijalankan
sesuai target dalam mencapai tujuan organisasi.
2.2.2 Fungsi dan Tanggung Jawab Audit Internal
Menurut Hartadi (1991), fungsi audit internal adalah melaksanakan
kegiatan bebas dan memberi saran-saran suatu fungsi pengendalian manajemen
guna mengukur dan meneliti efektivitas sistem pengendalian intern.
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
20/98
20
Tanggung jawab audit internal ditulis oleh Hartadi (1991) dalam bukunya
Internal Auditing: Suatu Tinjauan Sistem Informasi Manajemen dan Cara
Pelaporannya yaitu:
1) Menilai prosedur dan menilai hal-hal yang saling berhubungan, terdiri dari:
a) Memberi pendapat efisiensi atau kelayakan prosedur
b) Mengembangkan atau memperbaiki prosedur
c) Menilai personalia
d) Ide-ide seperti pembuatan standar.
2) Verifikasi dan analisis data, yang menyangkut:
a) Penelaahan data yang dihasilkan sistem akuntansi guna membuktikan
bahwa laporan-laporan yang dihasilkan adalah benar (valid)
b) Membuat analisis-analisis lebih lanjut untuk memberi dasar/membantu
penyimpulan-penyimpulannya.
3) Verifikasi kelayakan yaitu:
Prosedur akuntansi atau kebijakan lainnya yang telah dilakukan
a) Prosedur operasi/kegiatan yang mengikuti peraturan-peraturan
pemerintah telah dilaksanakan
b) Kewajiban-kewajiban yang bersangkutan dengan kontrak yang berjalan
telah dipatuhi.
Sedangkan fungsi perlindungan audit internal yaitu:
1) Menghindari dan menemukan penggelapan, ketidakjujuran atau
kecurangan.
2) Memeriksa semua kekayaan dalam organisasi.
3) Meneliti transaksi dengan pihak luar.
4) Melatih dan memberi bantuan kepada pegawai/staf terutama bidang
akuntansi.
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
21/98
21
5) Jasa-jasa lainnya termasuk penyelidikan khusus yaitu dengan membantu
pihak luar seperti, kantor akuntan (yang memeriksa laporan keuangan
secara periodik), atau konsultan lainnya yang berkepentingan dengan data
kegiatan di dalam organisasi.
2.2.3 Aktivitas Audit Internal
Kosasih (1981) dalam bukunya berjudul Auditing: Prinsip dan Prosedur
memaparkan aktivitas audit internal. Aktivitas audit internal menyangkut dua hal
yaitu: financial audit atau pemeriksaan keuangan adalah verifikasi eksistensi
kekayaan dan meyakinkan bahwa pengamanannya cukup dan apakah sistem
akuntansi dan sistem pelaporan dapat dipercaya termasuk pembahasaninternal
control. Selanjutnya yaitu operational/management audit atau pemeriksaan
pengelolaan merupakan perluasan jangkauan internal auditingke seluruh
tingkat operasi dari perusahaan, tidak terbatas pada keuangan dan
pembukuan.
Dari pernyataan di atas diterangkan bahwa financial auditmemusatkan
pemeriksaannya pada informasi keuangan dan operasi dalam hal ini untuk
memperoleh kebenaran atas proses pencatatannya. Sedangkan, management
auditing berfokus pada keekonomisan dan efisiensi penggunaan sumber daya
perusahaan dalam rangka pencapaian tujuan organisasi, atau dengan kata lain,
menilai efektivitas kinerja organisasi tersebut.
2.2.4 Tahap-tahap Audit Internal
Tahap pekerjaan audit internal menurut Tunggal (2012: 120) terdiri atas
lima proses:
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
22/98
22
a) Audit Planningdan Risk Analysis
Dalam tahap ini proses audit memfokuskan perencanaan bahwa apa yang
seharusnya dilakukan, di mana, dan kapan dilakukan. Adapun poin penting
dalam tahap ini adalah menganalisis penilaian audit, mengumpulkan fakta
tentang wilayah audit, analisis risiko kinerja, mengidentifikasi bukti audit,
menuliskan secara detail objek yang diaudit, mengembangkan program kerja
audit, menentukan jadwal serta membagi pekerjaan kepada staf.
b) Preliminary Survey
Dalam tahap ini seorang auditor menentukan segala aspek terhadap wilayah
audit yang terdiri dari program, fungsi, entitas atau yang diaudit. Poin penting
dalam tahap ini yaitu: mengetahui latar belakang informasi, menelusuri
wilayah aktivitas, menentukan segala kemungkinan alasan dan dokumentasi,
dan menggunakan hasil survey secara efektif.
c) Audit Field Work
Audit kerja lapangan yaitu usaha yang dilakukan oleh auditor internal dalam
membentuk suatu opini dan menghadirkan, serta merekomendasikan tentang
wilayah audit. Dalam tahap ini terdapat dua hal utama yaitu: mengevaluasi
sistem pengendalian internal, serta mendesain tes audit.
d) Audit Findingdan Recomendation
Adanya temuan merupakan pernyataan dari kondisi yang menyatakan suatu
fakta. Temuan audit yang baik tergantung pada kualitas kerja lapangan
seorang auditor dan dilengkapi dengan kertas kerja. Terdapat empat poin
penting dalam tahap ini: mengembangkan temuan audit, mendokumentasikan
temuan audit, dan melakukan penutupan (closing).
e) Reporting
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
23/98
23
Reporting merupakan bagian yang terpenting dalam tahap proses audit
internal. Banyak yang mampu menulis sebuah report, tapi tak satupun yang
mampu menulisnya dengan benar. Empat poin penting dalam tahap ini:
outline report, menulis draf awal, mengedit draf dan menuliskan final report.
f) Follow Up
Dalam tahap ini dilakukan pengoreksian terhadap kontrol yang lemah yang
telah diidentifikasi oleh internal audit dan dilaporkan kepada manajemen. Ada
dua hal penting pada tahap ini: kebutuhan akan follow up atau tindak lanjut
dan melakukan tindak lanjut terhadap audit.
2.2.5 Perbedaan Auditor Internal dan Auditor Eksternal
Berikut perbedaan audit internal dan auditor eksternal yang
dielaborasikan:
a) Perbedaan Misi
Auditor internal memiliki tanggung jawab utama yang tidak terbatas pada
pengendalian internal berkaitan dengan tujuan reliabilitas pelaporan
keuangan saja, namun juga melakukan evaluasi desain dan implementasi
pengendalian internal, manajemen risiko, dan governance dalam
pemastian pencapaian tujuan organisasi. Selain tujuan pelaporan
keuangan, auditor internal juga mengevaluasi efektivitas dan efisiensi serta
kepatuhan aktivitas organisasi terhadap ketentuan perundang-undangan
dan kontrak, termasuk ketentuan-ketentuan internal organisasi. Sedangkan
audit eksternal memiliki tanggung jawab utama dalam memberikan opini
atas kewajaran pelaporankeuangan organisasi, terutama dalam penyajian
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
24/98
24
posisi keuangan dan hasil operasi dalam suatu periode. Mereka juga
menilai apakah laporan keuangan organisasi disajikan sesuai dengan
prinsip-prinsip akuntansi yang diterima secara umum, diterapkan secara
konsisten dari periode ke periode, dan seterusnya. Opini ini akan
digunakan para pengguna laporan keuangan, baik di dalam organisasi
terlebih di luar organisasi, antara lain untuk melihat seberapa besar tingkat
reliabilitas laporan keuangan yang disajikan oleh organisasi tersebut.
b) Perbedaan Organisasional
Dalam organisasi auditor internal merupakan bagian integral di mana klien
utama mereka adalah manajemen dan dewan direksi, serta dewan
komisaris, termasuk komite-komite yang ada. Biasanya auditor internal
merupakan karyawan organisasi yang bersangkutan. Meskipun dalam
perkembangannya pada saat ini dimungkinkan untuk dilakukan outsourcing
atau co-sourcing internal auditor, namun sekurang-kurangnya penanggung
jawab aktivitas audit internal (CAE) tetaplah bagian integral dari organisasi.
Sementara auditor eksternal sebaliknya, di mana auditor eksternal
merupakan pihak ketiga alias bukan bagian dari organisasi. Mereka
melakukan penugasan berdasarkan kontrak yang diatur dengan ketentuan
perundang-udangan maupun standar profesional yang berlaku untuk auditor
eksternal.
c) Perbedaan Pemberlakuan
Secara umum, fungsi audit internal tidak wajib bagi organisasi. Namun
demikian, untuk perusahaan yang bergerak di industri tertentu, seperti
perbankan, dan juga perusahaan-perusahaan yang listing di Bursa Efek
Indonesia diwajibkan untuk memiliki auditor internal. Perusahaan-
perusahaan milik negara (BUMN) juga diwajibkan untuk memiliki auditor
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
25/98
25
internal. Sementara itu, pemberlakuan kewajiban untuk dilakukan audit
eksternal lebih luas dibandingkan audit internal. Perusahaan-perusahaan
yang listing, badan-badan sosial, hingga partai politik dalam keadaan-
keadaan tertentu diwajibkan oleh ketentuan perundang-undangan untuk
dilakukan audit eksternal.
d) Perbedaan fokus dan Orientasi
Auditor internal lebih berorientasi ke masa depan, yaitu kejadian-kejadian
yang diperkirakan akan terjadi, baik yang memiliki dampak positif (peluang),
maupun dampak negatif (risiko), serta bagaimana organisasi bersiap
terhadap segala kemungkinan pencapaian tujuannya. Sedangkan, auditor
eksternal berfokus pada akurasi dan bisa dipahaminya kejadian-kejadian
historis sebagaimana terefleksikan pada laporan keuangan organisasi.
e) Perbedaan Kualifikasi
Kualifikasi yang diperlukan untuk seorang auditor internal tidak harus
seorang akuntan, namun juga teknisi, personil marketing, insinyur produksi,
serta personil yang memiliki pengetahuan dan pengalaman lainnya tentang
operasi organisasi sehingga memenuhi syarat untuk melakukan audit
internal. Berbeda dengan auditor eksternal yang harus memiliki kualifikasi
akuntan yang mampu memahami dan menilai risiko terjadinya errors dan
irregularities, mendesain audit untuk memberikan keyakinan memadai dalam
mendeteksi kesalahan material, serta melaporkan temuan tersebut. Pada
kebanyakan negara, termasuk di Indonesia, auditor perusahaan publik harus
menjadi anggota badan profesional akuntan yang diakui oleh ketentuan
perundang-undangan.
f) Perbedaan Timing
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
26/98
26
Auditor internal melakukan review terhadap aktivitas organisasi secara
berkelanjutan. Sedangkan auditor eksternal biasanya melakukan secara
periodik/tahunan.
2.3 Kecurangan (Fraud)
2.3.1 Pengertian Kecurangan
Menurut kamus hukum, mengartikan fraud (Inggris) = fraude (Belanda)
sebagai kecurangan. Frauderen/verduisteren (Belanda) berarti menggelapkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 KUHP, Pasal 268 KUHPer.
Sedangkan definisif fraud menurut Black Law Dictionaryadalah:
(a) A knowing misrepresentation of the truth or concealment of materialfact to induce another to act to his or her detriment; is usual a tort, but insome cases (especially when the conduct is willful) it may be a crime; (2)a misrepresentation made recklessly without belief in its truth to induceanother person to act; (3) a tort arising from knowing misrepresentation,concealment of material fact, or reckless misrepresentation made toinduce another to act to his or her detriment.
Sementara itu, Institute of Internal Auditors (IIA) menyatakan bahwa
kecurangan mencakup suatu kesatuan ketidakberesan (irregularities) dan
tindakan ilegal yang bercirikan penipuan yang disengaja. Definisi lain menurut
Comer yang ditulis oleh Tunggal (2011: 1):
Fraud is any behavior by which one person gains or intends to gain adishonest advantage over another. A crime is a intentional act thatviolates the criminal law under which no legal excuse applices and wherethere is a state to codify such laws and endores penalties in response totheir breach. The distinction is important . Not all frauds are crimes andthe majority of crimes are not frauds. Companies lost through frauds, butthe police and other enforcement bodies can take action only againtscrime.
Selain itu, definisi menurut Bologna, Lindquist dan Wellsoleh Tunggal (2011: 1),
fraud is criminal deception intended to financially benefit the deceiver.
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
27/98
27
Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kecurangan dapat
menyebabkan timbulnya kerugian dari tempat melakukan tindakan fraud. Hal
tersebut dikarenakan bahwa fraud merupakan suatu perbuatan yang
bertentangan dengan kebenaran karena dilakukan secara sengaja oleh pihak
yang ingin memperoleh keuntungan yang bukan merupakan hak pelakunya.
2.3.2 Tipe Tipe Kecurangan
Secara garis besar kecurangan berdasarkan pelakunya terbagi atas dua
kelompok menurut Tunggal(2011: 3):
1) Pihak dalam perusahaan (Internal)
a) Manajemen untuk kepentingan perusahaan, yaitu salah saji yang timbul
karena kecurangan pelaporan keuangan (misstatements arising from
fraudulent financial reporting). Contoh: perusahaan yang membuat neraca
palsu dengan menaikkan nilai aktiva serta tidak mencatat hutang. Hal ini
dilakukan biasanya untuk perusahaan yang ingin menarik investor.
b) Pegawai untuk keuntungan individu, yaitu salah saji yang berupa
penyalahgunaan aktiva (misstatements arising from misappropriation of
assets). Contoh: Seorang pegawai di bidang persediaan yang juga
memegang catatan persediaan. Dengan kesempatan yang ada, mereka
dapat mengambil item-item persediaan dan menutupi pencurian itu
dengan menyesuaikan catatan akuntansi.
2) Pihak Luar Perusahaan (External)
Pihak di luar perusahaan, yaitu pelanggan, supplier, mitra usaha, dan pihak
asing yang dapat menimbulkan kerugian bagi perusahaan. Contoh: Supplier,
kecurangan yang dilakukan berupa kecurangan pada saat pengiriman
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
28/98
28
barang yang tidak sesuai dengan perjanjian jual-beli, seperti kualitas barang
berbeda, jumlah tidak sesuai, pengiriman tidak tepat waktu, penagihan
berulang-ulang yang dilakukan pada transaksi sama. Sedangkan, oleh
debitur sebagai penerima piutang pada umumnya melakukan penggelapan
barang, pembayaran piutang tidak sesuai perjanjian.
Fraud (kecurangan) merupakan penipuan yang sengaja dilakukan yang
menimbulkan kerugian tanpa disadari oleh pihak yang dirugikan tersebut dan
memberikan keuntungan bagi pelaku kecurangan. Namun, kecurangan timbul
bukan karena tanpa alasan. Umumnya kecurangan terjadi karena adanya
tekanan untuk melakukan penyelewengan atau dorongan untuk memanfaatkan
kesempatan yang ada dan adanya pembenaran (diterima secara umum)
terhadap tindakan tersebut.
Secara sederhana, Tunggal (2012:119) mengungkapkan kondisi
penyebab kecurangan diilustrasikan seperti gambar di bawah ini, atau yang
populer dengan nama segitiga kecurangan(fraud triangle):
I need to hitmy monthly targets
Nobody really checks everyones doing it
Gambar 1.2 : Segitiga Kecurangan
Incentive /
pressure
Fraud
Attitude/Opportunity
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
29/98
29
Berikut ulasan dari segitiga kecurangan di atas:
1) Incentive/pressure(tekanan). Pressure adalah dorongan yang menyebabkan
seseorang melakukan fraud, contohnya hutang atau tagihan yang
menumpuk, gaya hidup mewah, ketergantungan narkoba, dan lain-lain. Pada
umumnya yang mendorong terjadinya fraudadalah kebutuhan atau masalah
finansial. Tapi banyak juga yang hanya terdorong oleh keserakahan.
2) Opportunity (kesempatan). Opportunityadalah peluang yang memungkinkan
fraud terjadi. Biasanya disebabkan karena internal controlsuatu organisasi
yang lemah, kurangnya pengawasan, dan/atau penyalahgunaan wewenang.
Di antara tiga elemen fraud triangle, opportunity merupakan elemen yang
paling memungkinkan untuk diminimalisir melalui penerapan proses,
prosedur kontrol dan upaya deteksi dini terhadap fraud.
3) Attitude (Rasionalisasi).Attitudemerupakan elemen penting terjadinya fraud,
di mana pelaku mencari pembenaran atas tindakannya atau merasionalkan
tindakannya, sehingga pelaku membenarkan hal tersebut, misalnya: pelaku
merasa telah cukup lama bekerja dan dia merasa seharusnya berhak
mendapatkan lebih dari yang telah dia dapatkan sekarang (posisi, gaji,
promosi, dan lain-lain). Perusahaan telah mendapatkan keuntungan yang
sangat besar tetapi seorang manajer tidak memberikan sedikitpun kepada
karyawannya.
2.3.3 Jenis-jenis Kecurangan
Amrizal (2004) mengungkapkan menurut Association of Certified Fraud
Examinations (ACFE) kecurangan dapat dikategorikan dalam tiga kelompok
sebagai berikut:
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
30/98
30
1) Kecurangan Laporan Keuangan (Financial Statement Fraud)
Kecurangan laporan keuangan dapat didefinisikan sebagai kecurangan yang
dilakukan oleh manajemen dalam bentuk salah saji material laporan
keuangan yang merugikan investor dan kreditor. Kecurangan ini dapat
bersifat financialatau kecurangan non financial.
2) Penyalahgunaan Aset (Asset Misappropriation)
Penyalahgunaan aset dapat digolongkan ke dalam kecurangan kas dan
kecurangan atas persediaan dan aset lainnya, serta pengeluaran-
pengeluaran biaya secara curang (fraudulentdisbursement). Pada kasus ini
biasanya mudah untuk dideteksi karena sifatnya tangible atau dapat diukur.
3) Korupsi (Corruption)
Korupsi dalam konteks pembahasan ini adalah korupsi menurut ACFE,
bukannya pengertian korupsi menurut UU Pemberantasan TPK di Indonesia.
MenurutACFE, korupsi terbagi ke dalam pertentangan kepentingan (conflict
of interest), suap (bribery), pemberian illegal (illegal gratuity), dan pemerasan
(economic extortion).
2.3.4 Pencegahan dan Pendeteksian Kecurangan
Dewasa ini kecurangan merupakan tindakan yang sifatnya kontinyu dan
memang sulit dalam upaya menghapuskan tindakan tersebut, meski telah ada
upaya internal audit dalam suatu organisasi dikarenakan kecurangan itu sendiri
telah membudaya serta sifat manusia yang terkadang mempunyai sifat serakah
yang akhirnya dapat memicu hal tersebut. Meski demikian, internal audit tetap
berupaya dalam meminimalisir kecurangan dalam organisasi dengan
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
31/98
31
mengupayakan pencegahan dini, serta memberikan pembinaan-pembinaan
dalam sebuah perusahaan atau organisasi.
AICPA bersama dengan organisasi profesional, menerbitkan
Management Anti Fraud Program and Controls: Guidance to Prevent, Deter, and
Detect Fraud. Dalam pedoman tersebut, mengungkapkan tiga unsur untuk
mencegah, menghalangi, dan mendeteksi kecurangan: (1) budaya jujur dan etika
yang tinggi; (2) tanggung jawab manajemen untuk mengevaluasi resiko
kecurangan; (3) pengawasan oleh komite audit.
Mencakup ketiga hal di atas, maka pengendalian internal merupakan cara
yang paling efektif dalam mencegah dan menghalangi kecurangan. Namun,
penciptaan lingkungan pengendalian yang efektif tidak luput dari adanya nilai
atau norma yang dianut dalam perusahaan tersebut. Dengan adanya nilai dan
norma dapat membantu menciptakan budaya jujur dan etika yang tinggi.
Penciptaan budaya jujur dan etika yang tinggi menurut Tunggal (2012:
220) mencakup enam unsur:
1) Tone at the top.
Manajemen dan dewan direksi berada pada posisi atas. Dalam hal ini
menajemen dan dewan direksi selaku pemberi arahan terhadap
karyawannya serta tidak membiarkan karyawan yang tidak menanamkan
kejujuran dan perilaku etis.
2) Menciptakan lingkungan kerja positif.
Semangat karyawan akan semakin meningkat jika dalam perusahaannya ia
merasa lebih santai, namun tetap memiliki dedikasi yang tinggi. Dengan
demikian, karyawan tidak merasa terabaikan dalam lingungannya, misalnya
seorang karyawan yang tidak mendapatkan tekanan berlebihan, ancaman
dan sebagainya.
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
32/98
32
3) Mempekerjakan dan mempromosikan pegawai yang tepat.
Perusahaan sebaiknya memprioritaskan karyawan untuk mendapat promosi
atau mempekerjakan berdasarkan tingkat kejujuranya agar karyawan di
dalamnya dapat lebih kompeten dan menanamkan kejujurannya sehingga
dapat membantu pencegahan terjadinya kecurangan. Hal demikian
dimaksudkan agar lebih mengefektifkan pencegahan atau menghalangi
kecurangan.
4) Pelatihan.
Pelatihan merupakan tool serta menjadi pegangan bagi karyawan dalam
perusahaan agar mampu menerapkan perilaku etisnya. Pelatihan
merupakan bagian yang penting dalam pengendalian anti kecurangan ini.
5) Konfirmasi.
Adakalanya pegawai mengkonfirmasikan tanggung jawab serta perilaku
mereka selama bekerja tanpa melaporkan suatu tindakan yang melanggar.
Hal ini dapat mengokohkan kebijakan kode perilaku dan juga membantu
pegawai untuk tidak melakukan kecurangan.
6) Disiplin.
Setiap pegawai harus mengetahui bahwa mereka akan dimintai
pertanggungjawaban jika tidak mengikuti kode perilaku perusahaannya atau
melanggar nilai dan norma, sehingga pegawai akan merasa enggan untuk
berbuat tidak etis yang merujuk pada kecurangan.
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
33/98
33
2.4 Penelitian Terdahulu
Untuk mendukung penelitian ini, berikut dikemukakan beberapa hasil
penelitian yang berhubungan dengan penelitian ini:
Wardhini (2010) dalam penelitian yang berjudul : Peranan Audit Internal dalam
Pencegahan Fraud (Studi Kasus PT. PLN Distribusi Jabar). Tujuan dari
penelitian ini untuk mengetahui peranan audit internal dalam mencegah dan
mengatasi kecurungan khususnya di PT. PLN Distribusi Jabar, serta untuk
mengetahu hambatan yang terjadi dalam menemukan kecurangan. Metode
penelitian yang digunakan yaitu deskriptif dengan analisis kualitatif kuantitatif.
Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner, observasi dan wawancara.
Hasil kuesioner yang disajikan menunjukkan bahwa peranan audit internal
sangat memadai dan tingginya tindakan yang dilakukan dalam pencegahan
kecurangan. Dari hasil penelitiannya menunjukkan adanya peranan audit internal
yang signifikan terhadap pengungkapan kecurangan.
Hutasuhut (2012) dalam penelitian yang berjudul : Pentingnya Audit
Internal Dalam Mendeteksi Kecurangan Pada Inspektorat Pemerintahan Provinsi
Sumatera Utara. Penelitian ini bertujuan untuk menjaga keuangan pemerintahan
kabupaten/kota dengan mencegah dan mendeteksi tindakan korupsi dan
tindakan untuk mencari keuntungan secara tidak beretika, serta memfasilitasi
pengelolaan keuangan pemerintahan kabupaten atau kota secara sehat. Objek
penelitian dalam skripsi ini adalah Inspektorat Pemerintah Provinsi Sumatera
Utara terutama bagian yang menyangkut keuangan, kepegawaian, dan barang
belanja modal. Penelitian ini melakukan pengumpulan data dengan metode
deskriptif kualitatif. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian yng didasarkan
pada teori yang mendukung tentang pentingnya audit internal dalam mendeteksi
kecurangan pada Inspektorat Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Penelitian ini
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
34/98
34
menggunakan wawancara, kuesioner dan studi dokumentasi, untuk memperkuat
hasil penelitian ini. Hasil dari penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa
pentingnya audit internal pada inspektorat pemerintahan Provinsi Sumatera
Utara cukup berperan dalam mendeteksi kecurangan.
2.5 Kerangka Konseptual
Audit internal sebagai suatu cara yang digunakan untuk mencegah
kecurangan dalam suatu organisasi yang kegiatannya meliputi pengujian dan
penilaian efektivitas serta kecukupan sistem pengendalian internal organisasi.
Fungsi audit internal dapat berupa layanan informasi, sistem atau proyek. Tanpa
audit internal, kepala instansi tidak akan memiliki sumber informasi internal yang
bebas mengenai kinerja dalam organisasi.
Gambar 2.1Kerangka Konseptual
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Audit Internal Inspektorat Provinsi
Sulawesi Selatan
Fungsi Audit Internal yang
Memadai
Mendeteksi dan Mengatasi
Kecurangan
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
35/98
35
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian
Desain penelitian merupakan bagian dari penelitian yang menunjukkan
usaha peneliti dalam melihat apakah penelitian yang direncanakan telah memiliki
validitas internal dan validitas eksternal yang komprehensif (Sukardi, 2004).
Uraian berikut ini merupakan tindakan-tindakan oleh peneliti dalam menyusun
penelitian ini:
1) Peneliti menaruh minat terhadap suatu topik, kemudian dilakukan pendalaman
terutama terhadap hal-hal yang berkaitan dengan informan atau audience,
keberadaan dan kemudahan informasi keadaan dan lokasi penelitian.
2) Peneliti kemudian merumuskan sejumlah penelitan pendahuluan, guna
mengetahui lebih lanjut tentang informasi-informasi apa yang diperlukan.
3) Peneliti mengidentifikasi macam-macam metode pengumpulan data, dan
kemudian memilih satu atau dua metode yang relevan dan tepat.
4) Mengidentifikasi tempat atau situs penelitian di mana informan melakukan
kegiatan.
Dalam penelitian ini, pemilihan desain penelitian dimulai dengan
menempatkan bidang penelitian ke dalam pendekatan kualitatif. Selanjutnya,
diikuti dengan mengidentifikasi paradigma penelitian yaitu paradigma interpretif
yang memberikan pedoman terhadap pemilihan metodologi penelitian yang tepat
yaitu interpretif. Langkah yang terakhir adalah pemilihan metode pengumpulan
dan analisis data yang tepat yaitu dengan wawancara, dan analisis dokumen
35
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
36/98
36
3.2. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian kualitatif
dilakukan pada kondisi alamiah dan bersifat penemuan atau eksplorasi. Creswell
(1998:15) mengartikan penelitian kualitatif merupakan suatu proses penelitian
dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu
fenomena sosial dan masalah manusia. Pada pendekatan ini, peneliti membuat
suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan
responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami. Pada penelitian ini,
peneliti sebagai instrumen kunci yang berarti peneliti harus memiliki bekal teori
dan wawasan yang luas sehingga mampu bertanya, menganalisis, dan
mengkonstruksi objek yang diteliti agar menjadi lebih jelas.
Cokroaminoto (2011) membagi lima jenis penelitian kualitatif, yaitu:
biografi, fenomenologi, grounded theory, etnografi, studi kasus. Penelitian ini
menggunakan pendekatan fenomenologi dengan maksud agar peneliti dapat
memahami makna peristiwa serta interaksi pada orang-orang dalam situasi
tertentu (Moelong,1988 dalam Endraswara, 2008).
Jika dikaji lagi, fenomenologi itu berasal dari kata phenomenon yang
berarti realitas yang tampak dan logos yang berarti ilmu. Jadi, fenomenologi
adalah ilmu yang berorientasi untuk mendapatkan penjelasan dari realitas yang
tampak. Dapat diartikan bahwa fenomenologi tidak menganut sepenuhnya teori
atau dengan kata lain menolak teori. Fenomenologi berasumsi bahwa orang-
orang secara aktif menginterpretasi pengalaman-pengalamannya dan mencoba
memahami dunia dengan pengalaman pribadinya (Littlejohn, 2009 dalam
Endraswara, 2008). Dalam hal ini, peneliti lebih mengutamakan peristiwa yang
benar-benar terjadi (realitas) atau pengalaman dengan mengesampingkan
gagasan peneliti untuk memahami objek yang akan diteliti. Dengan demikian,
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
37/98
37
peneliti seolah-olah memasuki sudut pandang orang lain, hal ini dimaksudkan
bahwa peneliti mampu memasuki pandangan yang menjadi subjek penelitian
yaitu organisasi audit internal inspektorat, serta berupaya untuk mengetahui
mengapa demikian terjadi.
Fenomenologi berusaha memahami budaya lewat pandangan pemilik
budaya atau pelakunya. Menurut paham fenomenologi, ilmu bukanlah values
free, bebas nilai dari apa pun, melainkan values bound, memiliki hubungan
dengan nilai. Aksioma dasar fenomenologi adalah: (a) kenyataan ada dalam diri
manusia baik sebagai individu maupun kelompok selalu bersifat majemuk atau
ganda yang tersusun secara kompleks, dengan demikian hanya bisa diteliti
secara holistik dan tidak terlepas-lepas; (b) hubungan antara peneliti dan subjek
inkuiri saling mempengaruhi, keduanya sulit dipisahkan; (c) lebih ke arah pada
kasus-kasus, bukan untuk mengeneralisasi hasil penelitian; (d) sulit
membedakan sebab dan akibat, karena situasi berlangsung secara simultan; (e)
inkuiri terikat nilai, bukan values free.
Penelitian ini dilakukan dalam situasi yang alami, sehingga tidak ada
batasan dalam memaknai atau memahami fenomena yang dikaji. Menurut
Creswell (1998), pendekatan fenomenologi menunda semua penilaian tentang
sikap yang alami sampai ditemukan dasar tertentu. Penundaan ini biasa disebut
epoche (jangka waktu). Konsep epoche adalah membedakan wilayah data
(subjek) dengan interpretasi peneliti. Konsep epoche menjadi pusat di mana
peneliti menyusun dan mengelompokkan dugaan awal tentang fenomena untuk
mengerti tentang apa yang dikatakan oleh informan.
Sebelum melakukan pilihan pendekatan (approach), metode (method),
teknik (technique) atau pun cara dan piranti (ways and instruments), peneliti
menetapkan cara pandang yang digunakan terhadap bahan dan tujuan
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
38/98
38
kajiannya. Cara pandang yang mendasar inilah merupakan paradigma kajian
(paradigm of inquiry). Jadi, paradigma adalah cara pandang, cara memahami,
cara menginterprestasikan, suatu kerangka pikir, dasar keyakinan yang memberi
arahan pada tindakan.
Pengelompokan teori-teori dan pendekatan untuk membentuk paradigma
menghasilkan pemetaan yang bervariasi berdasarkan peneliti. Salah satunya
menurut Burrel dan Morgan (1979 dalam Badu, 2010) yang memetakan
pengetahuan dalam tiga paradigma, yaitu fungsionalis-interpretif (functionalist-
interpretive), radikal-humanis (radical humanist), dan radikal strukturalis (radical
structuralist). Untuk desain penelitian kualitatif merupakan bentuk metode yang
cocok dengan paradigma ini. Paradigma ini memasukkan aliran etnometodologi
dan interaksionis simbolis fenomenologi yang didasarkan pada aliran sosiologis,
hermenetik, dan fenomenologis. Burrel dan Morgan berpendapat bahwa
paradigma interpretif menggunakan cara pandang para nominalis yang melihat
realitas sosial sebagai sesuatu yang hanya merupakan label, nama, atau konsep
yang digunakan untuk membangun realitas dan bukanlah sesuatu yang nyata,
melainkan hanyalah penamaan atas sesuatu yang diciptakan oleh manusia atau
merupakan produk manusia itu sendiri. Dengan demikian, realitas sosial
merupakan sesuatu yang berada pada dalam diri manusia, sehingga bersifat
subjektif bukan objektif.
Paradigma ini menganggap ilmu pengatahuan tidak digunakan untuk
menjelaskan (to explain) melainkan untuk memahami (to understand)(Triyuwono
dalam Ihsan & Ishak, 2005). Paradigma interpretif menyatakan bahwa
pengetahuan dan pemikiran awam berisikan arti atau makna yang diberikan
individu terhadap pengalaman dan kehidupannya seharihari, dan hal
tersebutlah yang menjadi langkah awal penelitian ilmuilmu sosial. Oleh karena
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
39/98
39
itu, dengan menggunakan paradigma ini, penulis dapat melihat fenomena dan
menggali pengalaman dari objek penelitian.
Pendekatan interpretif berangkat dari upaya untuk mencari penjelasan
tentang peristiwa-peristiwa sosial atau budaya yang didasarkan pada perspektif
dan pengalaman orang yang diteliti. Interpretif melihat fakta sebagai sesuatu
yang unik dan memiliki konteks dan makna yang khusus sebagai esensi dalam
memahami makna sosial serta melihat fakta sebagai hal yang cair (tidak kaku)
yang melekat pada sistem makna dalam pendekatan kualitatif. Secara umum
pendekatan kualitatif merupakan sebuah sistem sosial yang memaknai perilaku
secara detail karena secara langsung mengobservasi objek penelitian (Newman,
1997 dalam Erna, 2008). Berkaitan dengan penelitian ini, dengan pendekatan
kualitatif peneliti mendeskripsikan serta menginterpretasikan hasil observasi
berdasarkan fenomena yang ada yaitu pada audit internal dalam mendeteksi
kecurangan yang kemudian memberikan penilaian terhadap realita kinerja audit
internal.
3.3 Lokasi dan Objek Penelitian
Berdasarkan judul yang diangkat oleh penulis yaitu Analisis Peranan
Audit Internal dalam Mendeteksi Kecurangan pada Pemerintah Provinsi Sulawesi
Selatan, maka untuk memperoleh data, penelitian ini dilakukan di Inspektorat
Pemerintahan Provinsi Sulawesi Selatan. Peranan audit internal dalam
mendeteksi kecurangan menjadi objek dalam penelitian ini. Guna memperoleh
data yang berkaitan dengan judul penelitian tersebut, maka dilakukan
pembatasan dari beberapa pihak yang hanya terdiri dari auditor karena memiliki
pengetahuan serta pengalaman tentang audit internal dan yang mempunyai
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
40/98
40
kepentingan yang berkaitan dengan audit internal. Alasan peneliti memilih audit
internal di pemerintahan karena begitu banyaknya kasus-kasus kecurangan yang
mencuat akhir-akhir ini khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Parahnya,
terdapat beberapa kasus kecurangan yang tidak sampai pada penyelesaian akhir
dan seolah-olah kasus kecurangan tidak ada habisnya. Oleh karena itu,
Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan selaku audit internal Provinsi Sulawesi
Selatan menjadi objek dalam menemukan jawaban dari tujuan penelitian ini.
3.4 Sumber Data
Bila dilihat dari keperluan penelitian, sumber data yang digunakan yaitu :
1) Data primer terdiri dari dokumen-dokumen maupun dapat berupa lisan dan
juga ada yang tercatat jika langsung dari sumbernya (tentang diri sumber
data).
2) Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dan
mengkaji buku-buku, referensi-referensi yang berkaitan dengan judul yang
merupakan data pendukung primer.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1) Wawancara
Wawancara dalam penelitian ini yaitu proses tanya jawab ataupun diskusi
antara penelti dan informan yang menjadi narasumber. Informan yang
dimaksud yaitu yang memungkinkan peneliti memperoleh data berupa
informasi yang memadai tentang tujuan penelitian.
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
41/98
41
2) Studi Dokumentasi
Teknik Dokumentasi, yaitu upaya peneliti dalam mengumpulkan data
sekunder yang telah terdokumentasi dalam Inspektorat Provinsi Sulawesi
Selatan. Data berupa dokumen seperti ini bisa dipakai untuk menggali
infromasi yang terjadi di masa silam. Peneliti perlu memiliki kepekaan teoretik
untuk memaknai semua dokumen tersebut sehingga tidak sekadar barang
yang tidak bermakna.
3.6 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Teknik pengolahan dan analisis data merupakan tahapan penting dalam
penelitian. Data yang telah diperoleh tidak akan berarti apa-apa jika tidak diolah
dan dianalisis, sebab dengan proses analisis dapat diperoleh kesimpulan dari
penelitian.
Menurut Moelong (1994 dalam Niammuddin, 2011), analisis data adalah
sebagai proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan
merumuskan ide seperti yang disarankan oleh data sebagai usaha untuk
memberikan bantuan pada tema dan ide. Menurut Muhadjir (2002 dalam
Cokroaminoto, 2012), analisis data merupakan upaya mencari dan menata
secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara, dan lainnya untuk
meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan
menyajikannya sebagai temuan kepada orang lain. Adapun untuk meningkatkan
pemahaman tersebut analisis perlu dilanjutkan dengan berupaya mencari makna
(meaning).
Analisis data penelitian kualitatif menurut Miles dan Hubermen (1992) ada
tiga tahap, yaitu: (a) tahap reduksi data; (b) tahap penyajian data; (c) tahap
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
42/98
42
penarikan kesimpulan dan verifikasi data. Reduksi data adalah proses pemilihan,
pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi
data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis dari lapangan. Reduksi data
merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan,
mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan
cara sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan akhirnya dapat ditarik dan
diverifikasi. Dengan reduksi data peneliti tidak perlu mengartikannya sebagai
kuantifikasi. Data kualitatif dapat disederhanakan dan ditransformasikan dalam
aneka macam cara, yakni: melalui seleksi yang ketat, melalui ringkasan atau
uraian singkat, menggolongkannya dalam satu pola yang lebih luas dan
sebagainya. Kadangkala, dapat juga mengubah data ke dalam angka-angka atau
peringkat-peringkat, tetapi tindakan ini tidak selalu bijaksana.
Penyajian data adalah kegiatan ketika sekumpulan informasi disusun,
sehingga memberi kemungkinan akan adanya penarikan kesimpulan dan
pengambilan tindakan. Kesimpulan hasil penelitian yang diambil dari hasil
reduksi dan panyajian data adalah merupakan kesimpulan sementara. Upaya
penarikan kesimpulan dilakukan terus menerus selama di lapangan. Kesimpulan
sementara ini masih dapat berubah jika ditemukan bukti-bukti kuat lain pada saat
proses verifikasi data di lapangan. Jadi, proses verifikasi data dilakukan dengan
cara peneliti terjun kembali ke lapangan untuk mengumpulkan data yang
dimungkinkan akan memperoleh bukti-bukti kuat lain yang dapat merubah hasil
kesimpulan sementara yang diambil. Jika data yang diperoleh memiliki keajegan
(sama dengan data yang telah diperoleh) maka dapat diambil kesimpulan yang
baku dan selanjutnya dimuat dalam laporan hasil penelitian.
Beberapa bentuk analisis data dalam penelitian kualitatif, didasarkan
pada pendekatan atau studi yang digunakan. Mengingat bahwa penelitian ini
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
43/98
43
menggunakan metode fenomenologi, berikut langkah-langkah analisis datanya,
yaitu:
1) Peneliti mulai mengorganisasikan semua data atau gambaran menyeluruh
tentang fenomena pengalaman yang telah dikumpulkan.
2) Membaca data secara keseluruhan dan membuat catatan pinggir mengenai
data yang dianggap penting.
3) Menemukan dan mengelompokkan makna pernyataan yang dirasakan oleh
informan dengan melakukan horizonaliting yaitu setiap pernyataan pada
awalnya diperlakukan memiliki nilai yang sama. Selanjutnya, pernyataan
yang tidak relevan dengan topik dan pertanyaan, maupun pernyataan yang
bersifat repetitif atau tumpang tindih dihilangkan, sehingga yang tersisa
hanya horizons (arti tekstural dan unsur pembentuk atau penyusun dari
phenomenonyang tidak mengalami penyimpangan).
4) Pernyataan tersebut kemudian dikumpulkan ke dalam unit makna lalu ditulis
gambaran tentang bagaimana pengalaman tersebut terjadi.
5) Selanjutnya peneliti mengembangkan uraian secara keseluruhan dari
fenomena tersebut sehingga menemukan esensi dari fenomena tersebut.
Kemudian mengembangkan textural description (mengenai fenomena yang
terjadi pada informan) dan structural description (yang menjelaskan
bagaimana fenomena itu terjadi).
6) Peneliti kemudian memberikan penjelasan secara naratif mengenai esensi
dari fenomena yang diteliti dan mendapatkan makna pengalaman informan
mengenai fenomena tersebut.
7) Membuat laporan pengalaman setiap partisipan. Setelah itu, gabungan dari
gambaran tersebut ditulis.
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
44/98
44
3.7 Pengujian Kredibilitas Data
Kredibilitas data ialah kesesuaian antara konsep peneliti dan konsep
responden untuk memperoleh keyakinan akan kebenaran dari hasil penelitian
(Cokroaminoto, 2011).Agar kredibilitas terpenuhi maka yang utama adalah lama
penelitian, observasi yang detail, triangulasi, peer debriefing, analisis kasus
negatif, membandingkan dengan hasil penelitian lain, dan member check. Cara
memperoleh tingkat kepercayaan hasil penelitian, yaitu:
a) Memperpanjang masa pengamatan, memungkinkan peningkatan derajat
kepercayaan data yang dikumpulkan, mempelajari kebudayaan dan dapat
menguji informasi dari informan untuk membangun kepercayaan para
informan terhadap peneliti, dan juga kepercayaan diri peneliti sendiri.
b) Pengamatan yang terus menerus, untuk menemukan ciri-ciri dan unsur-
unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang
sedang diteliti, serta memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci.
c) Triangulasi, pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang
lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding
terhadap data tersebut.
d) Peer debriefing (membicarakan informasi dengan orang lain) yaitu
mengekspos hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk
diskusi analitik dengan rekan-rekan sejawat.
e) Mengadakan member check yaitu dengan menguji kemungkinan dugaan-
dugaan yang berbeda dan mengembangkan pengujian-pengujian untuk
mengecek analisis, dengan mengaplikasikannya pada data, serta dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang data.
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
45/98
45
BAB IV
DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN
4.1 Dasar Hukum Organisasi
Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 9
tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah, Lembaga Teknis Daerah dan Lembaga Lain Provinsi
Sulawesi Selatan disebutkan bahwa inspektorat mempunyai tugas pokok
menyelenggarakan urusan di bidang pengawasan berdasarkan asas
desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Penyusunan perda
tersebut mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 tahun 2007
tentang Pedoman Teknis Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat Provinsi dan
Kabupaten/Kota.
4.2 Fungsi Organisasi
Dalam menyelenggarakan tugas tersebut, Inspektorat Provinsi Sulawesi
Selatan mempunyai fungsi :
1) Menyusun perencanaan program pengawasan.
2) Melakukan perumusan kebijakan dan fasilitas pengawasan.
3) Melaksanakan pemeriksaan, pengusutan, pengujian dan penilaian tugas
pengawasan.
4) Penyelenggaraan tugas lain yang diberikan oleh Gubernur sesuai dengan
bidang tugas dan fungsinya.
45
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
46/98
46
4.3 Visi Organisasi
Visi sebagai gambaran abstrak masa depan yang ingin diwujudkan dalam
jangka waktu tertentu atau periode tahun 2008-2013 adalah Menjadi Lembaga
Pengawasan Yang Profesional Dan Responsif Untuk Mendorong Terwujudnya
Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik. Makna profesional adalah suatu upaya
untuk menghasilkan kinerja maksimal dari sebuah organisasi yang dinamis
dengan dukungan sumber daya aparatur yang mempunyai kompetensi baik
dalam menjalankan fungsi pengawasan dalam mendorong tata kelola
pemerintahan yang baik dalam mengawal visi, misi, dan program-program
strategi Gubernur/Wakil Gubernur periode 2008-2013. Sedangkan makna
responsif adalah suatu upaya organisasi untuk senantiasa tanggap terhadap
kondisi lingkungan yang berpengaruh.
4.4 Misi Organisasi
Untuk mewujudkan visi tersebut di atas, maka berdasarkan tugas pokok
dan fungsi Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan, maka dapat dirumuskan misi
sebagai berikut :
1) Meningkatkan kualitas pengawasan dan pembinaan terhadap urusan serta
penyelenggaraan pemerintahan di provinsi dan kabupaten/kota.
2) Meningkatkan pengetahuan, kemampuan teknis dan etika pengawas agar
dapat mandiri melaksanakan tugas pengawasan urusan dan
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
3) Mendorong peningkatan kinerja SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah)
dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi aparat pemerintah daerah
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
47/98
47
serta meningkatkan kepatuhan peraturan perundang-undangan yang berlaku
melalui pembinaan dan pengawasan.
4) Mencegah secara dini terjadinya penyimpangan, penyalahgunaan
wewenang, kebocoran, dan tindakan KKN melalui pembinaan dan
pengawasan.
5) Mendorong peran serta masyarakat terhadap pelaksanaan pengawasan
pelayanan publik dan kegiatan pembangunan.
4.5 Nilai Organisasi
Nilai-nilai yang perlu diterapkan untuk mendukung pencapaian sasaran
dan tujuan Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan sesuai dengan visi dan misi
yang telah ditempuh. Nilai-nilai tersebut adalah: 1) transparansi/keterbukaan; 2)
inovatif; 2) profesionalisme; 3) responsif; 4) akuntabel; 5) kreatif; 6) nilai-nilai
lokal; lempu, adatongeng, sipakatau, tamappasilengeng, danabulosibatang.
Dengan demikian baik nilai-nilai umum dalam pemerintahan (prinsip-
prinsip good governance), maupun nilai-nilai lokal (kearifan lokal) menjadi dasar
mengantar pencapaian tujuan misi dan visi organisasi/Inspektorat Provinsi
Sulawesi Selatan.
4.6 Tujuan dan Sasaran Organisasi
Visi dan misi inspektorat provinsi mempunyai tujuan meningkatkan
kualitas hasil pembinaan dan pengawasan kepada SKPD maupun kepada
pemerintah kabupaten/kota dengan sasaran pokok meningkatnya kinerja SKPD
maupun kepada pemerintah kabupaten/kota serta berkurangnya penyimpangan
aparat, sehingga good governancedapat tercapai.
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
48/98
48
4.7 Kebijakan dan Program Organisasi
Dalam mengemban visi dan misinya, Inspektorat Provinsi Sulawesi
Selatan mendorong penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih serta
efektif dan efisien dalam pencapaian visi dan misi gubernur/wakil gubernur.
Dengan demikian, diperlukan sebuah rangkaian langkah strategis yang
konsepsional sistematis, realistis dan konstruktif.
Berbagai kecenderungan dan fenomena yang terjadi perlu disikapi dan
dikenali secara cermat dalam rangka penetapan agenda aksi yang tepat guna
dalam memberikan respon agar pengawasan yang dilaksanakan dapat efektif.
A. Kebijakan
Kebijakan pokok yang ditempuh untuk mengefektifkan pencapaian visi
dan misi inspektorat provinsi dalam melaksanakan tugas dan fungsi adalah
kebijakan peningkatan kinerja SKPD, kebijakan peningkatan kualitas
profesionalisme aparatur pemerintah, serta kebijakan penataan kelembagaan
dan ketatalaksanaan pemerintah.
B. Program dan Kegiatan
Untuk mengefektifkan pelaksanaan garis kebijaksanaan pokok dan
strategi tersebut di atas diperlukan berbagai langkahlangkah nyata yang
bersifat strategis dalam bentuk agenda program aksi. Program ini selain
merupakan langkah strategis, juga akan menggambarkan kondisi inspektorat
yang diharapkan dapat dicapai, yang merupakan langkah untuk mencapai visi
dan misi yang diembannya sebagai berikut:
1) Program
a) Kebijakan Peningkatan Kinerja SKPD
Kebijakan peningkatan kinerja SKPD ini diharapkan dapat mengoptimalkan
dukungan terhadap tugas pokok dan fungsi inspektorat provinsi
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
49/98
49
berdasarkan standar pelayanan yang telah ditentukan. Kebijakan
peningkatan kinerja tersebut, meliputi:
1. Program pelayanan administrasi perkantoran.
Program ini memberikan dukungan terhadap pelaksanaan tugas
pembinaan pengawasan secara administrasi.
2. Program peningkatan sarana dan prasarana aparatur.
Program ini memberikan dukungan berupa kelengkapan sarana dan
prasarana bagi aparatur pengawasan yang dapat meningkatkan kinerja
pengawasan dan pembinaan.
3. Program peningkatan disiplin aparatur.
Program ini merupakan upaya bagi inspektorat untuk memberikan citra
positif bagi aparat khususnya dalam meningkatkan kedisiplinan yang
diharapkan kinerjanya akan meningkat pula.
4. Program peningkatan kapasitas sumber daya aparatur.
Untuk meningkatkan kompetensi aparat di lingkungan Inspektorat Provinsi
Sulawesi Selatan dalam mendukung upaya pembinaan dan pengawasan
maka dibutuhkan peningkatan kapasitas sumber daya aparatur antara lain
melalui jalur pendidikan formal, bimbingan teknis, maupun melalui
pengembangan profesi.
5. Program peningkatan pengembangan sistem pelaporan kinerja dan
keuangan.
Untuk mengukur kinerja inspektorat maka dibutuhkan pelaporan secara
berkala maupun berjenjang sehingga akuntabilitas dan transparansi dapat
tercapai.
b) Kebijakan Peningkatan Kualitas Profesionalisme Aparatur Pemerintah
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
50/98
50
Kebijakan ini diarahkan untuk meningkatkan kualitas profesionalisme
aparatur pengawas pada Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan dalam
menjalankan tugas pembinaan dan pengawasan sesuai arah
pengembangan karir dan kebutuhan organisasi. Pada kebijakan ini terdapat
program peningkatan profesionalisme tenaga pemeriksa dan aparat
pengawasan untuk meningkatkan kualitas aparat pengawasan dalam
manajemen umum dan manajemen pemerintahan, keahlian dan kompetensi
khusus serta kepemimpinan yang berkelanjutan. Dengan demikian, melalui
kebijakan peningkatan profesionalisme aparat maka kualitas hasil
pengawasan akan dapat lebih ditingkatkan.
c) Kebijakan Penataan Kelembagaan dan Ketatalaksanaan Pemerintah.
Kebijakan ini diarahkan untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas kinerja
kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintah daerah sesuai dengan
kaidah-kaidah good governance. Kebijakan ini meliputi:
1. Program pengembangan sistem informasi pengawasan.
Untuk memutakhirkan dan otomatisasi data pengawasan sebagai bahan
evaluasi pelaksanaan pembinaan dan pengawasan, serta bahan
masukan dalam pengambilan keputusan organisasi.
2. Program pengembangan standar dan prosedur pengawasan.
Program ini dimaksudkan untuk menyusun kebijakan, peraturan, standar
dan prosedur sebagai pedoman pelaksanaan pembinaan dan
pengawasan. Selain itu, penerapan kode etik pengawasan yang
diharapkan jika telah tersusun maka dapat menjadi pedoman
pelaksanaan kegiatan pembinaan dan pengawasan oleh aparat
pengawasan.
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
51/98
51
3. Program peningkatan kapasitas dan intensitas pengawasan internal dan
pengendalian pelaksanaan kebijakan KDH.
Program ini dimaksudkan untuk meningkatkan pengendalian internal dan
akuntabilitas pelaksanaan APBD, serta upaya pencegahan secara dini
terjadinya penyimpangan pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan.
4. Program peningkatan koordinasi dan kerjasama antar pemerintah daerah.
Program ini dimaksudkan untuk mewujudkan sinkronisasi pelaksanaan
pembinaan dan pengawasan antara pemerintah provinsi maupun
pemerintah kabupaten/kota.
5. Peningkatan intensitas dan responsif penanganan pengaduan
masyarakat.
Program ini dimaksudkan untuk meningkatkan peran serta masyarakat
dalam pengawasan pelayanan publik dan pelaksanaan pembangunan.
Masyarakat sebagai pemberi mandat diharapkan menjadi alat kendali dari
luar sistem pemerintahan sehingga dapat diperoleh kinerja yang lebih
baik.
6. Pemantapan pembudayaan pengawasan dan hasil-hasil pengawasan.
Program ini merupakan upaya lebih membudayakan pengawasan pada
semua lapisan pelaksana kegiatan pemerintahan sehingga semua
elemen dapat melaksanakan pengendalian secara baik pada masing-
masing wilayah kewenangannya sehingga penyimpangan dapat dicegah.
Dalam program ini dilakukan juga pemaparan secara berkala hasil-hasil
pengawasan yang dapat dijadikan bahan evaluasi dalam pengambilan
keputusan pelaksana kegiatan pemerintahan.
7. Peningkatan akuntabilitas dan transparansi pengadaan barang dan jasa
pemerintah.
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
52/98
52
Program ini merupakan upaya mengawal pengadaan barang dan jasa
pemerintah yang merupakan salah satu komponen pengeluaran pada
masing-masing SKPD sehingga dapat dicapai akuntabilitas dan
transparansi mulai dari perencanaan sampai dengan pemanfaatannya.
2) Kegiatan
a) Program pelayanan administrasi perkantoran, dengan kegiatan sebagai
berikut: 1) penyediaan jasa surat menyurat; 2) penyediaan jasa komunikasi,
sumber daya air dan listrik; 3) penyediaan jasa pemeliharaan dan perijinan
kendaraan dinas/operasional; 4) penyediaan jasa kebersihan kantor; 5)
penyediaan jasa perbaikan peralatan kerja; 6) penyediaan alat tulis kantor;
7) penyediaan barang cetakan dan penggandaan; 8) penyediaan komponen
instalasi listrik/penerangan bangunan kantor; 9) penyediaan peralatan dan
perlengkapan kantor; 10) penyediaan bahan bacaan dan peraturan
perundang-undangan; 11) penyediaan makanan dan minuman; 12) rapat-
rapat koordinasi dan konsultasi ke luar daerah; 13) peningkatan administrasi
umum; 14) peningkatan administrasi kepegawaian; 15) pemantapan jabatan
fungsional; 16) penilaian angka kredit jabatan fungsional. Pengembangan
SIMAKDA & SIMGAJI.
b) Program peningkatan sarana dan prasarana aparatur, dengan rincian
kegiatan sebagai berikut: 1) pengadaan kendaraan dinas operasional; 2)
pengadaan perlengkapan gedung kantor; 3) pengadaan meubeleur
pengadaan perlengkapan olahraga; 4) pemeliharaan rutin/berkala gedung
kantor; 5) pemeliharaan rutin/berkala mobil jabatan; 6) pemeliharaan
rutin/berkala kendaraan dinas/operasional; 7) pemeliharaan rutin/berkala
perlengkapan gedung kantor; 8) pemeliharaan rutin/berkala meubeler; 9)
rehabilitasi sedang/berat gedung kantor.
7/25/2019 SKRIPSI SYILVI WAHYUNI
53/98
53
c) Program peningkatan disiplin aparatur, dengan rincian kegiatan sebagai
berikut: 1) pengadaan mesin/kartu absensi; 2) pengadaan pakaian dinas
beserta perlengkapannya; 3) pengadaan pakaian korpri, pengadaan pakaian
khusus hari-hari tertentu.
d) Program peningkatan kapasitas sumber daya aparatur, dengan rincian
kegiatan sebagai berikut:1) pendidikan dan pelatihan formal; 2) sosialisasi
peraturan perundang-undangan; 3) bimbingan teknis fungsional.
e) Program peningkatan pengembangan sistem pelaporan kinerja dan
keuangan, dengan rincian kegiatan sebagai berikut: 1) penyusunan laporan
capaian kinerja dan ikhtisar realisasi kinerja SKPD; 2) penyusunan laporan
keuangan semesteran; 3) penyusunan pelaporan prognosis realisasi
anggaran; 4) penyusunan pelaporan keuangan akhir tahun; 5) peningkatan
perencanaan dan pengendalian pengawasan; 6) peningkatan evaluasi dan
pelaporan pengawasan; 7) peningkatan administrasi keuangan.
f) Program peningkatan profesionalisme tenaga pemeriksa dan aparat
pengawasan, dengan rincian kegiatan sebagai berikut: 1) pelatihan teknis
fungsional pengawasan; 2) pelatihan kantor sendiri dan penyertaan pada
diklat instansi terkait; 3) pendidikan fungsional.
g) Program pengembangan standar dan prosedur pengawasan, dengan rincian
kegiatan sebagai berikut: 1) penyusunan kebijakan sistem dan prosedur
pengawasan; 2) penyusunan peraturan gubernur kode etik pemeriksaan; 3)
penyusunan peraturan gubernur tentang pengawasan.
h) Program peningkatan kapasitas dan intensitas pengawasan internal dan
pengendalian pelaksanaan kebijakan KDH, dengan rincian kegiatan sebagai
berikut:1) pelaksanaan pengawasan internal secara berkala; 2) pengelolaan
temuan hasil pemeriksaan; 3) tindak lanjut hasil temuan pengawasan; 4)