Upload
buiquynh
View
248
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
SKRIPSI
RISIKO Staphylococcus aureus
PADA PANGAN TRADISIONAL SIAP SANTAP
DAN EVALUASI KEBERADAANNYA DALAM NASI UDUK
Oleh
TRI ERZA APRIYADI
F24052683
2010
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
RISIKO Staphylococcus aureus
PADA PANGAN TRADISIONAL SIAP SANTAP
DAN EVALUASI KEBERADAANNYA DALAM NASI UDUK
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
TRI ERZA APRIYADI
F24052683
2010
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
ii
Judul Skripsi : Risiko Staphylococcus aureus Pada Pangan Tradisional Siap
Santap dan Evaluasi Keberadaannya Dalam Nasi Uduk
Nama : Tri Erza Apriyadi
NIM : F24052683
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
(Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc)
NIP: 19620920 198603 2 002
Mengetahui,
Ketua Departemen
(Dr. Ir. Dahrul Syah)
NIP: 19650814 199002 1 001
Tanggal Lulus: 20 Januari 2010
iii
Tri Erza Apriyadi. F24052683. RISIKO Staphylococcus aureus PADA PANGAN TRADISIONAL SIAP SANTAP DAN EVALUASI KEBERADAANNYA DALAM NASI UDUK. Di bawah bimbingan Ratih Dewanti-Hariyadi.
RINGKASAN
Staphylococcus aureus adalah bakteri yang umum terdapat pada manusia. Bakteri ini tergolong sebagai bakteri patogen yang dapat menyebabkan keracunan pada manusia, terutama melalui pangan yang mengalami kontak dengan manusia selama penanganan, pengolahan, penyimpanan, dan penyajian. Keracunan yang disebabkan oleh bakteri ini tergolong dalam kasus intoksikasi, yaitu tertelannya enterotoksin stafilokoki, toksin yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus. Intoksikasi merupakan salah satu jenis dari food-borne disease. Food-borne disease adalah gejala-gejala yang diakibatkan karena mengkonsumsi pangan yang mengandung sejumlah tertentu suatu bahan beracun atau patogen (Riemann dan Bryan, 1979). Kasus-kasus food-borne disease yang terjadi tentunya memerlukan penanganan. Di Indonesia data-data mengenai food-borne disease sangat terbatas sehingga manajemen pangan yang tepat sulit dirancang. Kajian risiko Staphylococcus aureus pada pangan-pangan tradisional siap santap yang lazim disajikan oleh industri jasa boga perlu dilakukan dan memerlukan dukungan data yang mencukupi. Tujuan penelitian ini adalah menetapkan risiko Staphylococcus aureus pada pangan-pangan tradisional siap santap secara kualitatif serta melakukan evaluasi keberadaan Staphylococcus aureus koagulase positif dalam nasi uduk yang dijajakan oleh pelaku usaha diantaranya sebagai upaya verifikasi kajian risiko kualitatif yang dilakukan. Penetapan risiko pada penelitian ini dilakukan dengan melakukan kajian risiko mikrobiologis secara kualitatif (BPOM, 2004b). Pada tahap ini dikaji tiga puluh pangan tradisional siap santap (PTSS) berdasarkan tinjauan literatur dan diskusi dengan pakar, dan keluarannya berupa pengelompokan pangan ke dalam kelompok risiko diabaikan, rendah, sedang, dan tinggi. Evaluasi keberadaan Staphylococcus aureus koagulase positif dilakukan dengan memeriksa keberadaan dan jumlah Staphylococcus aureus pada nasi uduk yang dijajakan oleh pelaku usaha kecil jasa boga. Pengujian dilakukan sesuai metode BAM (2001) dengan modifikasi. Berdasarkan hasil penetapan peluang kontaminasi yang telah dilakukan pada 30 PTSS, didapatkan bahwa peluang kontaminasi Staphylococcus aureus dalam 28 PTSS (termasuk nasi uduk) adalah sedang, sementara 2 PTSS lainnya memiliki peluang kontaminasi yang rendah. Bila dikombinasikan dengan peluang dan dampak risiko lainnya, maka PTSS dengan peluang kontaminasi sedang memiliki risiko Staphylococcus aureus sedang. Faktor-faktor yang mendorong peningkatan peluang kontaminasi adalah faktor rekontaminasi, waktu penyimpanan, dan keadaan matriks pangan, sedangkan proses pemanasan yang cukup merupakan faktor yang menurunkan peluang kontaminasi. Verifikasi di lapangan meliputi enumerasi, isolasi, dan karakterisasi Staphylococcus aureus koagulase positif pada nasi uduk yang dijajakan di enam warung. Sampel nasi uduk yang diuji umumnya tercemar Staphylococcus aureus.
iv
Jumlah cemaran selama selang waktu penyimpanan dari jam 8 pagi sampai jam 16 sore dari 6 warung yang diuji berkisar antara 2,36 sampai dengan 6,93 Log MPN/g, sehingga ada kondisi dimana diduga Staphylococcus aureus mampu membentuk enterotoksin dalam pangan. Meskipun demikian, tidak semua Staphylococcus aureus yang ditemukan bersifat koagulase positif. Frekuensi isolasi Staphylococcus aureus koagulase positif dalam sampel nasi uduk adalah 6,67%, serta tidak semua ditemukan pada jumlah yang cukup untuk membentuk enterotoksin. Hasil pengujian Staphylococcus aureus dalam nasi uduk sejalan dengan penetapan risiko kualitatif yang menyimpulkan bahwa risiko Staphylococcus aureus pada nasi uduk tergolong sedang.
v
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Tri Erza Apriyadi yang merupakan putra ketiga
dari Bapak Zainal Amanti dan Ibu Ellya Roza. Penulis dilahirkan di desa Tanjung
Sari, salah satu desa di daerah Lampung Selatan, pada tanggal 18 April 1987.
Penulis memulai pendidikan formal di TK Dharmawanita Palas, lalu
berlanjut ke SD Negeri 2 Bangunan, kemudian berlanjut ke SLTP PGRI 2 Palas.
Sebagai usaha memperoleh pendidikan yang lebih baik, penulis melanjutkan
sekolah ke daerah perkotaan, tepatnya di SMA Negeri 2 Bandar Lampung, yang
kemudian di sekolah ini penulis mendapat undangan seleksi masuk ke Institut
Pertanian Bogor (IPB), dan penulis menerimanya.
Penulis memulai pendidikan di IPB pada tahun 2005 tanpa memiliki
jurusan karena saat itu IPB sedang melakukan uji coba sistem baru yang dikenal
dengan sistem Mayor Minor. Setelah setahun kuliah tanpa jurusan, akhirnya
penulis diterima di departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (ITP). Di departemen
ini penulis mendapatkan dasar-dasar teknologi pangan dari berbagai bidang
seperti kimia pangan, analisis pangan, mikrobiologi pangan, dan lainnya.
Selama masa kuliah penulis tidak banyak aktif dalam kegiatan organisasi
internal kampus dikarenakan satu dan lain hal, demikian juga penulis tidak banyak
aktif dalam kegiatan-kegiatan internal kemahasiswaan yang ada.
Kemudian, untuk menyelesaikan pendidikan di departemen ITP, penulis
memilih untuk melakukan penelitian pada bidang mikrobiologi pangan yang
dibiayai oleh Seafast Center. Penelitian yang dipilih penulis adalah Risiko
Staphylococcus aureus Pada Pangan Tradisional Siap Santap dan Evaluasi
Keberadaannya Dalam Nasi Uduk, yang tertuang dalam skrisi ini.
Dia pernah, dia sedang, dan dia ingin, tetapi dia hanyalah keturunan seorang yang telah diusir dari rumahnya oleh
Robb-nya, lalu menjadi musafir di dunia, dan tidaklah ada tujuan seorang musafir, melainkan kembali ke rumahnya.
Meski belum mengerti semuanya, yang dia tau, terbaik yang dapat dilakukannya saat ini, itulah yang dia perbuat, untuk
menyelesaikan misinya di dunia, satu hari, satu minggu, satu bulan, satu, sepuluh, seratus tahun...
...hingga dia kembali kepada penciptanya.
Dia tumbuh menjadi tunas baru, yang dulu bibitnya telah disemai, disiram segarnya air hujan, dan dihangatkan kilau
mentari. Dua telah berselang, dan tunas ketiga mulai tumbuh. Berharap kelak akarnya menjadi akar yang kokoh, daunnya
menjadi yang terhijau, dan batangnya menjadi penopang kuat, karena kelak, bunga-bunga yang indah juga yang akan
bertahta di atasnya, insya Alloh...
vi
KATA PENGANTAR
ÉÉ ÉÉΟΟΟΟ óó óó¡¡¡¡ ÎÎ ÎÎ0000 «« ««!!!! $$ $$#### ÇÇ ÇÇ≈≈≈≈ uu uuΗΗΗΗ ÷÷ ÷÷qqqq §§ §§����9999 $$ $$#### ÉÉ ÉÉΟΟΟΟŠŠŠŠ ÏÏ ÏÏmmmm §§ §§����9999 $$ $$####
Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh Segala puji beriring cinta dan pengagungan hanya untuk Alloh, kami
memuji-Nya, memohon pertolongan-Nya, dan memohon ampun kepada-Nya. Dan
kami berlindung kepada Alloh dari kejahatan jiwa-jiwa kami dan dari keburukan
amal-amal kami, barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Alloh maka tidak akan
ada yang mampu menyesatkannya, dan barang siapa yang disesatkan oleh Alloh
maka tidak akan ada yang mampu menunjukinya. Aku bersaksi bahwa tidak ada
sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali hanya Alloh yang tidak
ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan
Rosul-Nya.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Alloh dengan
sebenar-benarnya takwa, dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam
keadaan Islam.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 102) “Hai sekalian manusia, bertakwalah
kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari
padanya Alloh menciptakan isterinya, dan dari keduanya Alloh memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak, dan bertakwalah kepada Alloh
yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain,
dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasi kamu.” (QS. An Nisaa’ [4]: 1) “Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kamu kepada Alloh dan katakanlah perkataan yang benar. Niscaya
Alloh memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-
dosamu. Dan barangsiapa mentaati Alloh dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia
telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al Ahzaab [33]: 70-71)
Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabulloh, dan sebaik-
baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Sholallahu ‘alaihi wa sallam, dan
seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan dalam agama, dan setiap yang
diada-adakan dalam agama adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat, dan setiap
kesesatan tempatnya di neraka. Amma ba’du:
vii
Penulis menyadari bahwa skripsi ini diselesaikan dengan bantuan banyak
pihak. Oleh karena itu, penulis hendak mengucapkan terimakasih kepada:
1. Ba’, Ibu, Bang Eko, Bang Dwi, Kak Linda, Kak Rini, dan segenap
keluarga atas doa dan dukungannya.
2. Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc. selaku dosen pembimbing
akademik.
3. Dr. Dra. Suliantari, M.S. dan Elvira Syamsir, S.TP, M.Si., yang telah
bersedia menjadi dosen penguji dan memberikan masukan dalam
perbaikan skripsi ini.
4. Seafast Center atas dukungan dana penelitian dan fasilitas yang
disediakan, terutama fasilitas DE yang sering menjadi tempat istirahat
penulis saat melakukan penelitian.
5. Seluruh staf dan teknisi Seafast Center atas bantuannya selama penulis
melakukan penelitian.
6. Seluruh laboran, pegawai, dan teknisi, baik dari Seafast Center maupun
Departemen ITP, terutama Mba Ari, Pak Abah, Bu Ntin, Mas Yeris dan
Mba Sofah.
7. Rekan-rekan satu laboratorium, termasuk laboratorium tetangga, yang
juga sedikit banyak telah membantu penulis dalam melakukan penelitian.
8. Teman-teman di markas, baik At Tauhid, Al Furqon, Al Ghuroba,
maupun yang semisal dengan mereka, atas, atas apa ya, pokoknya syukron
lah, Jazakumullohu khoiron.
9. Juga kepada teman-teman ITP 42, khususnya para penghuni dan alumni
Aulia, serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Terakhir, penulis berharap agar hasil penelitian ini berguna bagi dunia
teknologi pangan dan bidang-bidang lain yang terkait dengan penelitian ini. Dan
akhir doa penulis adalah Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin.
Bogor, 26 Safar 1431 H/10 Feb 2010
Penulis
kaptenbombay.wordpress.com
viii
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN .........................................................................ii
RINGKASAN ...............................................................................................iii
RIWAYAT HIDUP ......................................................................................v
KATA PENGANTAR .................................................................................vi
DAFTAR ISI ................................................................................................viii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................ix
DAFTAR TABEL ........................................................................................x
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................xii
I. PENDAHULUAN .....................................................................................1
A. LATAR BELAKANG .................................................................1
B. TUJUAN PENELITIAN .............................................................3
C. MANFAAT PENELITIAN ........................................................3
II. TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................4
A. Staphylococcus aureus .................................................................4
B. PENYAKIT ASAL PANGAN KARENA S. aureus ................9
C. PENETAPAN RISIKO ..............................................................16
III. METODOLOGI PENELITIAN ..........................................................24
A. BAHAN DAN ALAT ..................................................................24
B. METODE PENELITIAN ...........................................................24
C. METODE KAJIAN DAN ANALISIS .......................................26
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................47
A. PENETAPAN RISIKO KERACUNAN S. aureus
DALAM PANGAN TRADISIONAL SIAP SANTAP..............47
B. EVALUASI KEBERADAAN Staphylococcus aureus
KOAGULASE POSITIF PADA NASI UDUK .........................61
V. KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................................79
A. KESIMPULAN ............................................................................79
B. SARAN .........................................................................................79
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................xiii
LAMPIRAN ..................................................................................................81
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Penampakan Staphylococcus aureus di bawah mikroskop
elektron.....................................................................................6
Gambar 2. Diagram penentuan Staphylococcus aureus.............................7
Gambar 3. Klasifikasi food-borne disease.................................................10
Gambar 4. Komponen analisis Risiko............... .......................................17
Gambar 5. Diagram alir kajian risiko........................................................19
Gambar 6. Proses manajemen Risiko........................................................20
Gambar 7. Peta penyamplingan nasi uduk................................................41
Gambar 8. Kondisi sampel yang diperoleh dari warung...........................42
Gambar 9. Penampakan sampel nasi uduk................................................42
Gambar 10. Diagram alir penelitian............................................................46
Gambar 11. Tabung-tabung MPN yang keruh karena pertumbuhan
Staphylococcus aureus.............................................................62
Gambar 12. Timbulnya endapan putih menunjukkan pertumbuhan
Staphylococcus aureus.............................................................63
Gambar 13. Cawan berisi agar Baird-Parker yang telah ditumbuhi
Staphylococcus aureus dengan koloni berwarna hitam...........64
Gambar 14. Penampakan koloni Staphylococcus aureus pada agar Baird-
Parker.......................................................................................64
Gambar 15. Isolat Staphylococcus aureus pada TSA miring......................65
Gambar 16. Penampakan sel Gram (+) dan bulat bergerombol..................65
Gambar 17. Gumpalan plasma kelinci pada uji koagulase.........................66
Gambar 18. Gelembung-gelembung gas pada uji katalase.........................67
Gambar 19. Perubahan warna media pada uji fermentasi...........................68
Gambar 20. Grafik jumlah presumtif Staphylococcus aureus dari
6 warung pengujian.................................................................68
x
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Spesies mikroba predominan yang dijumpai di beberapa
daerah anatomi manusia............................................................5
Tabel 2. Klasifikasi ilmiah Staphylococcus aureus.................................5
Tabel 3. Karakteristik tipikal dari S. aureus, S. epidermidis, dan
Mikrococci................................................................................7
Tabel 4. 10 Besar agen penyebab food-borne disease di Eropa
periode tahun 1990-1992.........................................................12
Tabel 5. Data Keracunan Pangan di Indonesia......................................15
Tabel 6. Data cemaran Staphylococcus aureus pada beberapa jenis
pangan......................................................................................16
Tabel 7. 30 Jenis Pangan Tradisional Siap Santap (PTSS) yang
dijadikan sampel dalam penetapan risiko S. aureus.................26
Tabel 8. Matriks kombinasi peringkat dan perkiraan skor.....................32
Tabel 9. Kisaran total skor terbobot.......................................................32
Tabel 10. Identifikasi bahaya pada pangan..............................................33
Tabel 11. Peluang kontaminasi bahan mentah oleh Staphylococcus
aureus.......................................................................................34
Tabel 12. Efektivitas proses produksi dalam menurunkan jumlah
Staphylococcus aureus.............................................................35
Tabel 13. Peluang terjadinya rekontaminasi............................................35
Tabel 14. Suhu penyimpanan yang mendukung pertumbuhan
Staphylococcus aureus.............................................................36
Tabel 15. Peluang adanya waktu inkubasi...............................................37
Tabel 16. Matriks pangan yang mendukung pertumbuhanS. aureus.......38
Tabel 17. Keberadaan pemanasan ulang pada pangan..... .......................39
Tabel 18. Penentuan kemungkinan peluang kontaminasi........................40
Tabel 19. Penetapan peluang kontaminasi pada 30 PTSS.......................47
Tabel 20. Peluang kontaminasi Staphylococcus aureus pada nasi uduk.56
Tabel 21. Matriks kombinasi peringkat dan perkiraan risiko
Staphylococcus aureus pada nasi uduk...................................60
xi
Tabel 22. Jumlah presumtif Staphylococcus aureus...............................69
Tabel 23. Data simulasi pertumbuhan Staphylococcus aureus pada
nasi uduk.................................................................................71
Tabel 24. Frekuensi isolasi Staphylococcus aureus koagulase positif
dari nasi uduk..........................................................................75
Tabel 25. Hubungan antara keberadaan Staphylococcus aureus
koagulase positif dengan jumlah dugaan Staphylococcus
aureus......................................................................................76
Tabel 26. Pengaruh penambahan waktu inkubasi terhadap keberadaan
Staphylococcus aureus koagulase positif................................77
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Data penetapan peluang kontaminasi dari tiga puluh
jenis PTSS.................................................................................81
Lampiran 2. Data Enumerasi, Isolasi, dan Karakterisasi Staphylococcus
aureus koagulase positif pada nasi uduk..................................83
Lampiran 3. Persiapan Media dan Bahan.....................................................95
Lampiran 4. Tabel nilai MPN 3 Seri Pengenceran untuk 0.1, 0.01,
dan 0.001 g inokulum...............................................................98
1
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Staphylococcus aureus adalah bakteri yang umum terdapat pada manusia
dan tergolong sebagai patogen yang dapat menyebabkan keracunan pada manusia
melalui pangan. Keracunan yang disebabkan oleh bakteri ini tergolong dalam
kasus intoksikasi, yaitu tertelannya enterotoksin yang dihasilkan oleh
Staphylococcus aureus dalam pangan. Menurut Pelczar dan Chan (2005), gejala
umum keracunan enterotoksin stafilokoki berupa mual, pusing, muntah, dan diare.
Heritage et al. (1999) menyebutkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk
terjadinya gejala keracunan sejak tertelannya toksin tersebut adalah sekitar tiga
puluh menit sampai enam jam.
Staphylococcus aureus secara alami terdapat pada tubuh manusia, maka
bakteri ini merupakan salah satu agen terpenting penyebab food-borne disease
yang sering terjadi di masyarakat. Food-borne disease (penyakit asal pangan)
adalah gejala-gejala yang diakibatkan karena mengkonsumsi pangan yang
mengandung sejumlah tertentu suatu bahan beracun atau patogen (Riemann dan
Bryan, 1979). Menurut Jaykus (2003), food-borne disease adalah penyebab utama
morbiditas dan mortilitas di seluruh dunia.
Penyebab terbesar masuknya Staphylococcus aureus ke dalam rantai
pangan (yang kemudian menyebabkan keracunan stafilokoki) adalah karena
rendahnya sanitasi pekerja yang menangani pangan. Selain itu, faktor lingkungan
juga berpengaruh pada tingkat kontaminasi. Pangan yang disiapkan di bawah
kondisi dan lingkungan yang kurang baik berimplikasi dengan tingginya kejadian
food-borne disease dari pada yang lainnya (Ray, 2001). Ray (2001) juga
menjelaskan bahwa secara umum, kejadian food-borne disease lebih banyak
terjadi pada negara berkembang dari pada negara maju. Hal ini tentunya karena
perbedaan tingkat sanitasi antara negara maju dengan negara berkembang.
Di Amerika Serikat yang tergolong sebagai negara maju, food-borne
disease diduga bertanggung jawab terhadap 76 juta kasus sakit, 325.000 kasus
rawat inap, dan 5.000 kasus kematian per tahunnya (Mead et al., 1999 di dalam
Jaykus, 2003). Hal ini baru dampak terhadap kesehatan, sementara itu masih ada
dampak lain berupa turunnya produktivitas kerja, biaya rumah sakit, dan lainnya.
2
Banyaknya kasus food-borne disease yang terjadi tentunya memerlukan
penanganan. Akan tetapi, penanganan ini terhambat dengan sedikitnya data hasil
pelaporan kejadian sehingga sulit dilakukan identifikasi penyebab kasus-kasus ini.
Kebanyakan kasus keracunan tidak dilaporkan sehingga monitoring dan
evaluasinya pun tidak terlaksana dengan baik. Heritage et al. (1999) menjelaskan
salah satu penyebabnya adalah bahwa kasus-kasus ini banyak terjadi pada kondisi
terbatas dalam selang waktu yang singkat sehingga tidak pernah dilaporkan pada
petugas yang berwenang untuk dicatat. Lebih lanjut Heritage et al. (1999)
menambahkan bahwa kejadian keracunan pangan sebenarnya mungkin sepuluh
sampai seratus kali lebih besar dari pada dugaan resmi yang ada. Oleh karena itu,
penelitian untuk mengidentifikasi penyebab kasus-kasus food-borne disease
sangat penting untuk dilakukan.
Di Indonesia, yang merupakan negara berkembang, sedikitnya pelaporan
kejadian keracunan pangan juga menyebabkan sulitnya mengidentifikasi
penyebab keracunan. Data yang tersedia umunya hanya menyatakan lokasi
kejadian dan jumlah korban, namun tidak sampai pada menjelaskan penyebabnya.
Data yang lain menyebutkan penyebabnya, namun sangat umum, seperti yang
dilaporkan BPOM (2005) di dalam Hariyadi dan Andarwulan (2007) bahwa
penyebab keracunan pangan yang dilaporkan di Indonesia adalah faktor
mikrobiologis sebesar 14%, faktor kimia sebesar 12%, dan sisanya tidak diketahui
(57%).
Namun, dengan mempertimbangkan latar belakang sosial, budaya, dan
pendidikan yang ada di Indonesia, maka diduga kuat bahwa kasus-kasus
keracunan yang terjadi merupakan dampak dari rendahnya praktek sanitasi dalam
mengolah dan menyiapkan pangan, terutama pada industri jasa boga. Hal ini
didukung dengan laporan BPOM (2005) di dalam Hariyadi dan Andarwulan
(2007) bahwa salah satu sumber terbesar penyebab keracunan pangan di Indonesia
selama tahun 2001-2004 adalah industri jasa boga, yaitu sebanyak 31%.
Berdasarkan dugaan di atas, maka besar kemungkinannya bahwa
keracunan pangan yang terjadi di Indonesia merupakan kasus-kasus food-borne
disease, terutama pada industri jasa boga tradisional yang menyediakan pangan
siap santap. Hal ini karena umumnya industri jasa boga tradisional menyediakan
3
pangan dalam jumlah yang cukup banyak dan disajikan dalam waktu yang cukup
lama dengan praktek sanitasi yang minimalis, sehingga memungkinkan terjadinya
kontaminasi bakteri dari tubuh manusia. Berdasarkan dugaan ini juga, maka besar
kemungkinannya bahwa Staphylococcus aureus merupakan salah satu agen
penyebab food-borne disease karena keberadaannya yang secara alami ada pada
tubuh manusia.
Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian untuk mengetahui risiko
Staphylococcus aureus pada pangan-pangan tradisional siap santap yang
umumnya disajikan oleh industri jasa boga. Pengetahuan yang baik mengenai
risiko Staphylococcus aureus pada pangan-pangan tradisional siap santap tersebut
dapat digunakan untuk memprediksi peluangnya sebagai penyebab kasus-kasus
food borne disease. Selain itu, diketahuinya risiko Staphylococcus aureus pada
pangan-pangan tradisional siap santap dapat digunakan sebagai salah satu acuan
untuk menetapkan prioritasisasi manajemen risiko di Indonesia.
Kemudian, untuk memverifikasi risiko Staphylococcus aureus yang telah
ditetapkan pada pangan-pangan tradional siap santap, maka perlu dilakukan
evaluasi keberadaan Staphylococcus aureus pada salah satu jenis pangan tersebut.
Pangan yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah nasi uduk.
B. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk menetapkan risiko Staphylococcus
aureus pada pangan tradisional siap santap secara kualitatif, serta mengevaluasi
keberadaan Staphylococcus aureus di dalam nasi uduk yang dijajakan oleh pelaku
usaha, yang juga merupakan verifikasi dari penetapan risiko kualitatif di atas.
C. MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh pihak terkait sebagai salah satu
acuan untuk menetapkan prioritasisasi manajemen risiko di Indonesia, khususnya
pengelolaan keamanan pangan tradisioanal siap santap.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus adalah salah satu bakteri yang umum
ditemukan pada berbagai bagaian tubuh manusia. Kira-kira 50% penduduk
membawa Staphylococcus aureus dalam daerah saluran pernafasan, yaitu
hidung dan kerongkongan. Dari sini organisme dengan mudah dipindahkan ke
kulit, terutama tangan, dan ke rambut. Juga, Staphylococcus aureus adalah
bakteri yang biasa menginfeksi luka, bisul, dan luka terbuka. Organisme
tersebut juga dijumpai pada hewan, seperti lembu dan kambing, dan
kemungkinan dalam susu segar (Gaman dan Sherrington, 1992). Keberadaan
Staphylococcus aureus dan beberapa jenis mikroba lainnya yang umum
ditemukan pada beberapa bagian tubuh manusia dapat dilihat pada Tabel 1.
Di dalam Bergey’s Manual oleh Holt et al. (1994) diterangkan ciri-ciri
genus Staphylococcus sebagai berikut. Sel-sel berbentuk bola, berdiameter 0,5
sampai 1,5 µm, terdapat tunggal, berpasangan, dan dalam kelompok tak
beraturan. Gram positif, nonmotil, tidak membentuk spora. Anaerob fakultatif.
Kemoorganotrof baik dengan respirasi maupun fermentasi. Koloni umumnya
opaq dan mungkin putih atau krim, dan juga terkadang kuning sampai jingga,
biasanya katalase positif. Memiliki sitokrom tapi umumnya oksidase negatif.
Seringkali mereduksi nitrat menjadi nitrit. Mudah lisis oleh lysostaphin tapi
tidak dengan lysozim (Schleifer dan Kloos, J. Clin, Mikrobiol. 1: 337-338,
1995). Umunya tumbuh dengan 10% NaCl. Suhu optimum 30-37°C. Sebagian
besar berasosiasi dengan kulit dan membran mukosa hewan vertebrata
berdarah panas, namun sering juga diisolasi dari produk pangan, debu, dan air.
Beberapa spesies berpeluang bersifat patogen pada manusia dan hewan, atau
membentuk toksin ekstraselular. Spesies tipe: Staphylococcus aureus.
Klasifikasi ilmiah Staphylococcus aureus dapat dilihat pada Tabel 2,
sementara penampakannya di bawah mikroskop elektron dapat dilihat pada
Gambar 1.
5
Tabel 1. Spesies mikroba predominan yang dijumpai di beberapa daerah anatomi manusia (Pelczar dan Chan, 2005)
DAERAH MIKROORGANISME % TIMBULNYA Kulit Staphylococcus epidermidis
Staphylococcus aureus Propionibacterium acnes Korinebakteri (difteroid) aerobik
85 – 100 5 – 25
45 – 100 55
Hidung dan nasofaring
Staphylococcus epidermidis Staphylococcus aureus Korinebakteri (difteroid) aerobik Branhamella catarrhalis Haemophilus influenzae
90 20 – 85 5 – 80
12 12
Mulut (air liur dan permukaan
gigi)
Staphylococcus epidermidis Staphylococcus aureus Streptococcus mitis dan Streptococcus α-hemolitik lainnya Staphylococcus salivarius Peptostreptokokus Veillonella alcalescens Lactobasilus Actinomyces israelii Haemophilus influenzae Bacterioides fragilis B. melaninogenicus B. oralis Fusobacterium nucleatum Candida albicans Treponema denticola dan T. vincentii
75 – 100 Umum
100 100
Banyak 100 95
Umum 25 – 100 Umum Umum Umum 15 – 90 6 – 50
Umum
Orofaring (bagian
belakang mulut, ed)
Staphylococcus epidermidis Staphylococcus aureus Difteroid Streptococcus pneumoniae Streptococcus –α dan nonhemolitik Branhamella catarrhalis Haemophilus influenzae H. parainfluenzae Neisseria meningitidis
30 – 70 35 – 40 50 – 90 0 – 50 25 – 99 10 – 97 5 – 20 20 – 35 0 - 15
Tabel 2. Klasifikasi ilmiah Staphylococcus aureus (Anonim, 2009)
Domain Bakteria
Kingdom Eubakteria
Filum Firmicutes
Kelas Cocci
Ordo Bacillales
Famili Staphylococcaceae
Genus Staphylococcus
Spesies Staphylococcus aureus
6
Gambar 1. Penampakan Staphylococcus aureus di bawah mikroskop elektron (Anonim, 2008) Jay (2000) mengatakan bahwa meskipun Staphylococcus aureus dapat
tumbuh baik pada media tanpa NaCl, Staphylococcus aureus dapat tumbuh
dengan baik pada konsentrasi garam 7-10%, dan beberapa strain dapat tumbuh
pada konsentrasi garam 20%. Staphylococcus aureus dapat tumbuh pada pH
antara 4.0 sampai 9.9, tetapi pH optimumnya ada pada kisaran 6 sampai 7,
sementara aw minimum untuk pertumbuhan Staphylococcus aureus umumnya
adalah 0.86.
Secara sederhana, pengujian untuk mengisolasi dan mengarakterisasi
Staphylococcus aureus pada suatu sampel dilakukan dengan mengikuti
serangkaian prosedur yang diperlihatkan pada Gambar 2. Gambar 2 tersebut
merupakan prosedur pengujian bertahap untuk mengisolasi Staphylococcus
aureus berdasarkan perbedaan-perbedaan karakterteristik dengan bakteri-
bakteri lainnya. Sementara itu, karakteristik tipikal Staphylococcus aureus
dapat dilihat pada Tabel 3.
7
Bakteri Gram positif Bulat? Batang? (cocci) (bacili) Hidup di udara? Tidak Ya Anaerobic Katalase? cocci Tidak Ya Memfermentasi glukosa? Ya Tidak Koagulase? Micrococci Ya Tidak Staphylococcus aureus
Gambar 2. Diagram penentuan Staphylococcus aureus (Heritage et al., 1999, dengan modifikasi) Tabel 3. Karakteristik tipikal dari S. aureus, S. epidermidis, dan Mikrococcia
Karakteristik S. aureus S. epidermidis Mikrococci
Aktivitas katalase + + +
Kemampuan membentuk
koagulase
+ - -
Kemampuan membentuk
termonuclease
+ - -
Sensitifitas lisostafin + + -
Fermentasi glukosa + + -
Fermentasi mannitol + - - a+, Kebanyakan (lebih dari 90%) strain positif; -, kebanyakan (lebih dari 90%) strain negatif (BAM, 2001)
8
Dua uji yang umumnya digunakan untuk membedakan Staphylococcus
aureus dari stafilokoki lainnya adalah uji koagulase (penggumpalan plasma
darah) dan uji thermostable nuclease (pemecahan DNA oleh nuklease yang
bertahan selama pemanasan). Namun, kedua uji ini tidak secara mutlak
bersifat spesifik terhadap Staphylococcus aureus (Baird-Parker, 1979, di
dalam ICMSF, 1996). Hal ini disebabkan karena adanya stafilokoki lain yang
juga memproduksi koagulase. Spesies stafilokoki lainnya mungkin
memproduksi sejumlah kecil koagulase dan karena alasan ini biasanya
disarankan bahwa hanya pembentuk koagulase yang kuat (banyak) saja yang
dianggap sebagai Staphylococcus aureus (ICMSF, 1978, di dalam ICMSF,
1996).
Jay (2000) menyatakan bahwa pengujian yang telah berlangsung lama
secara menyakinkan membuktikan bahwa strain stafilokoki koagulase positif
adalah penghasil enterotoksin. Demikian pula Bryan (1976) menyatakan
bahwa keberadaan koagulase sangat terkait erat dengan patogenisitas dan
digunakan sebagai pembeda antara Staphylococcus aureus dengan stafilokoki
lainnya.
Penelitian yang dilakukan Normanno et al. (2005) menyatakan bahwa
dari 11.384 sampel (terdiri dari 9869 sampel pangan dan 1515 sampel usap
dari permukaan yang kontak dengan pangan) yang diuji, sebanyak 1971
sampel (17,3%) terbukti mengandung Staphylococcus koagulase positif.
Sebanyak 541 sampel diuji lebih lanjut (dengan uji katalase, pewarnaan Gram,
dan API Staph Sytem) dan terbukti bahwa 537 sampel (99,3%) teridentifikasi
sebagai Staphylococcus aureus. Kemudian, dari 537 isolat tersebut terbukti
bahwa 298 isolat (55,5%) diketahui memproduksi enterotoksin. Dengan
demikian, uji kemampuan Staphylococcus aureus untuk membentuk enzim
koagulase merupakan bagian penting dari pendugaan kemampuannya sebagai
pembentuk enterotoksin yang dapat menyebabkan keracunan pangan.
Keberadaan thermostable nuclease juga merupakan bagian penting
dari pendugaan kemampuan Staphylococcus aureus untuk memproduksi
enterotoksin. Minor dan Marth (1976) menyatakan bahwa heat-stable
nuclease (atau thermostable nuclease) adalah salah satu karakteristik fisiologi
9
yang dapat digunakan sebagai indikasi kemampuan Staphylococcus untuk
membentuk enterotoksin. Prinsip pengujian karakteristik ini adalah dengan
menumbuhkan kultur bakteri pada suatu agar yang mengandung DNA.
Perubahan penampakan agar, yang umumnya dengan terbentukanya zona
jernih, menunjukkan adanya proses pemecahan DNA pada agar oleh enzim
thermostable nuclease yang dihasilkan oleh bakteri uji. Dengan demikian,
perubahan penampakan tersebut menunjukkan keberadaan bakteri yang
memiliki karakteristik pembentuk thermostable nuclease.
Uji lain yang digunakan untuk membedakan Staphylococcus aureus
dari stafilokoki lainnya adalah pengujian sensitifitas lisostafin. Lisostafin
adalah salah satu jenis antimikroba. Lisostafin dapat berfungsi sebagai
antimikroba terhadap Staphylococcus aureus (Anonim1, 2009). Uji
sensitifitas lisostafin pada Staphylococcus aureus ditunjukkan dengan
kemampuan lisostafin melisiskan sel-sel Staphylococcus aureus dalam suatu
suspensi yang ditandai dengan berubahnya suspensi dari keruh (suspensi sel
Staphylococcus aureus) menjadi jernih.
B. PENYAKIT ASAL PANGAN KARENA Staphylococcus aureus
Penyakit asal pangan (food-borne disease) adalah gejala-gejala yang
diakibatkan karena mengkonsumsi pangan yang mengandung sejumlah
tertentu suatu bahan beracun atau patogen (Riemann dan Bryan, 1979).
Menurut Jaykus (2003), food-borne disease adalah penyebab utama
morbiditas dan mortilitas di seluruh dunia. Terdapat berbagai jenis food-borne
disease yang penyebabnya juga bermacam-macam. Secara ringkas, jenis-jenis
food-borne disease ini dapat dilihat pada Gambar 3.
10
Gambar 3. Klasifikasi food-borne disease (Bryan, 1976 di dalam Frazier dan Westhoff, 1978)
Jika ruang lingkup penyebabnya dikhususkan pada bakteri, maka food-
borne disease secara umum dibedakan menjadi dua jenis, yaitu intoksikasi dan
infeksi. Heritage et al. (1999) menjelaskan bahwa pada kasus intoksikasi,
toksin diproduksi oleh mikroba dan dapat menimbulkan gejala penyakit
meskipun seseorang tidak mengkonsumsi bakteri hidup. Pada kasus infeksi
bakteri harus terkonsumsi dalam bentuk hidup dan melakukan perbanyakan
dalam saluran pencernaan sebelum akhirnya gejala keracunan mulai tampak.
Diantara kedua jenis kasus ini terdapat kasus lain yang disebut toksikoinfeksi.
Ray (2001) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan toksikoinfeksi adalah
penyakit yang disebabkan tertelannya bakteri patogen hidup dalam jumlah
besar melalui makanan dan air yang terkontaminasi, kemudian bakteri ini
11
mengalami sporulasi atau mati, kemudian mengeluarkan toksin yang
menyebabkan gejala sakit.
Salah satu jenis food borne disease adalah keracunan stafilokoki.
Kasus ini merupakan jenis kasus intoksikasi, yaitu tertelannya stafilokoki
enterotoksin yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus ke dalam saluran
pencernaan. Gejala keracunan atau intoksikasi stafilokoki ini pertama kali
dipelajari pada tahun 1894 oleh J. Denys dan berikutnya tahun 1914 oleh
Barber, yang membuat tanda-tanda dan gejala penyakit pada dirinya sendiri
dengan mengkonsumsi susu yang dikontaminasi dengan kultur
Staphylococcus aureus (Jay, 1996). Menurut Buckle et al. (1978) jumlah
Staphylococcus aureus yang diperlukan untuk membentuk enterotoksin dalam
suatu pangan adalah sekitar 106 sel/g pangan. Sumber lain (Forsythe, 2000 di
dalam Forsythe, 2002) menyatakan bahwa jumlah Staphylococcus aureus
yang diperlukan untuk membentuk enterotoksin dalam suatu pangan adalah
105 - <106 sel/g. Sementara itu, jumlah minimal toxin yang menyebabkan
keracunan adalah 0,5-5 µg (Forsythe, 2000 di dalam Forsythe, 2002). Menurut
Pelczar dan Chan (2005), pada umumnya gejala keracunan enterotoksin
stafilokoki berupa mual, pusing, muntah, dan diare. Jay (2000) menyatakan
bahwa tingkat kematian karena keracunan ini rendah atau nol. Dia juga
menyatakan bahwa pengobatannya cukup dengan istirahat dan memelihara
keseimbangan cairah tubuh. Buckle et al. (1978) menambahkan bahwa waktu
yang diperlukan untuk penyembuhan umumnya cukup cepat (sekitar satu
hari). Meskipun demikian, dampak keracunan ini tentunya tidak dikehendaki
oleh konsumen.
Keracunan yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus merupakan
salah satu kasus keracunan terpenting di dunia. Zhang et al. (1998) di dalam
Normanno et al. (2005) menyatakan bahwa Staphylococcus aureus
dipertimbangkan sebagai penyebab terbesar ketiga dari kejadian-kejadian
food-borne illness di dunia. Laporan WHO mengenai food-borne disease di
Eropa pada tahun 1990-1992 menempatkan Staphylococcus aureus diurutan
kedua dalam sepuluh besar agen penyebab food-borne disease (Tabel 4).
12
Tabel 4. 10 Besar agen penyebab food-borne disease di Eropa periode tahun 1990-1992 (Clark et al., 2000)
Agen food borne disease Jumkah kejadian % Salmonella spp. 9822 84,5 Staphylococcus aureus 409 3,5 Clostridium perfringens 356 3 Trichinella 181 1,5 Jamur 152 1,3 Clostridium botulinum 123 1,1 Bacilus cereus 113 1 Campylobacter spp. 85 0,7 Shigella spp. 64 0,5 Escherichia coli 33 0,3 Lainnya* 301 2,6
*Lainnya meliputi virus (60 kejadian), senyawa kimia (54), Scombrotoxin (48), E. coli O157 (12)
Staphylococcus aureus adalah mikroba kompetitor lemah dan
pertumbuhannya mudah dihambat oleh mikroba lainnya (Baird-Parker, 2000).
Demikian juga Buckle et al. (1978) menyatakan bahwa Staphylococcus aureus
tidak berkompetisi kuat dengan mikroba lainnya sehingga tidak berpengaruh
nyata pada bahan pangan mentah. Namun, pada pangan matang atau pangan
bergaram yang bakteri lainnya telah dihancurkan dengan panas atau dihambat
pertumbuhannya dengan garam, Staphylococcus aureus dapat berkembang
sampai pada level yang membahayakan.
Dengan demikian, modus keracunan oleh Staphylococcus aureus yang
umum adalah pada pangan matang (terutama pangan yang tinggi protein) yang
telah bersih dari mikroba, namun kemudian terkontaminasi oleh
Staphylococcus aureus dalam selang waktu yang cukup hingga terbentuknya
racun pada pangan tersebut. Hal ini dicontohkan oleh Bergdoll (1979) yang
menjelaskan salah satu modus keracunan yang disebabkan karena ham
panggang. Ham panggang merupakan menu yang umum dalam acara piknik,
yang biasanya melibatkan banyak orang, dan secara umum sangat sulit untuk
menjaga ham pada suhu refrigerasi hingga ham tersebut dikonsumsi.
Refrigerasi diperlukan untuk menghambat pertumbuhan Staphylococcus yang
mungkin ada pada pangan. Terlebih, suhu hangat pada musim panas akan
memperparah keadaan ini. Keadaan ini akan memberikan kesempatan bagi
Staphylococcus aureus yang telah mengontaminasi ham untuk tumbuh dan
13
membentuk racun sehingga saat dikonsumsi akan menyebabkan keracunan
pangan.
Sumber utama kontaminasi Staphylococcus aureus adalah manusia
yang menangani pangan. Gaman dan Sherrington (1992) menyebutkan bahwa
Staphylococcus aureus disebarkan oleh para pengelola pangan, selama
pemasakan dan penyiapannya. Penanganan pangan dengan tangan, yang tidak
meggunakan peralatan memadai, barangkali merupakan cara penyebaran yang
paling umum, terutama jika orang yang menangani pangan mengalami infeksi
atau luka pada tangannya. Batuk dan bersin dekat dengan pangan dapat
menyebabkan kontaminasi, dan rambut yang jatuh pada makanan atau
menggantung (terurai) dekat dengan makanan juga dapat menimbulkan
bahaya.
Bergdoll (1979) menyatakan bahwa sumber utama kontaminasi
Staphylococcus aureus pada pangan yang banyak berhubungan dengan
keracunan Staphylococcus adalah orang yang bekerja menangani pangan.
Contoh yang diberikan dalam hal ini adalah pangan yang telah dipanaskan
dengan cukup selama pengolahan untuk menghancurkan Staphylococcus,
misalnya ham panggang, maka keracunan pangan yang berkaitan dengan ham
panggang kebanyakan adalah karena hasil kontaminasi dari orang yang
mengiris ham. Demikian pula peralatan dapat menjadi sumber kontaminasi,
seperti yang pernah terjadi pada suatu kasus keracunan Staphylococcus yang
disebabkan karena ham panggang, ternyata pada mesin pemotong ham
ditemukan banyak Staphylococcus enterotoksigenik yang sama dengan yang
ditemukan pada ham yang menyebabkan sakit. Walaupun ham secara
langsung terkontaminasi dari mesin, namun sumber aslinya kemungkinan
besar adalah manusia.
Staphylococcus aureus hidup pada matriks yang tinggi protein,
sehingga kasus-kasus keracunan Staphylococcus aureus pun umumnya terjadi
pada pangan dengan kriteria tersebut. Beberapa jenis pangan yang pernah
dilaporkan berasosiasi dengan keracunan Staphylococcus aureus adalah
daging dan ayam, ham, produk-produk susu, seperti es krim, keju, dan lainnya
(Buckle et al., 1978); produk roti berisi custard –dan krim-, ham, unggas,
14
daging dan produk daging, ikan dan produk ikan, susu dan produk susu, saus
krim, salad, puding, custard, pai, dan salad dressing (Frazier dan Westhoff
1978); sementara di Amerika Serikat, daging babi, terutama ham panggang,
adalah pangan yang paling sering menyebabkan kejadian keracunan (Bergdoll
1979).
Kejadian food-borne disease di Indonesia (yang tergolong sebagai
negara berkembang) masih cukup tinggi. Di tahun 2004 misalnya telah terjadi
lebih dari 50 kali kejadian keracunan makanan massal di Indonesia, 15 orang
korbannya dinyatakan meninggal dunia (UNTAG, 2008). Sementara itu,
menurut data Departemen Kesehatan (2008), setidaknya ada 32 kasus
keracunan pangan sepanjang April 2006 sampai dengan November 2008. Tiga
puluh dua kasus tersebut mencakup 4307 korban dengan rincian 57 orang
meninggal, 2357 orang rawat inap, dan 1893 orang rawat jalan (Tabel 5).
Namun, minimnya tindakan lanjut dari pelaporan kasus-kasus
keracunan pangan ini menyebabkan sulitnya mengidentifikasi penyebab
keracunan. Data yang tersedia umunya hanya menyatakan lokasi kejadian dan
jumlah korban, namun tidak sampai pada menjelaskan penyebabnya. Data
yang lain menyebutkan penyebabnya, namun sangat umum, seperti yang
dilaporkan BPOM (2005) di dalam Hariyadi dan Andarwulan (2007) bahwa
penyebab keracunan pangan yang dilaporkan di Indonesia selama tahun 2001-
2004 adalah faktor mikrobiologis sebesar 14%, faktor kimia sebesar 12%, dan
sisanya tidak diketahui (yaitu sebesar 57%), bahkan sebanyak 9% data laporan
tidak diketahui lokasi kejadiannya. Hal ini karena 50% data yang diterima
oleh BPOM sendiri berasal dari media massa (koran), sehingga sudah
terlambat bagi pihak BPOM melakukan analisis penyebab keracunan
mengingat sudah tidak tersedianya lagi sampel pangan untuk diuji.
Namun, dengan mempertimbangkan latar belakang sosial, budaya, dan
pendidikan yang ada di Indonesia, maka diduga kuat bahwa kasus-kasus
keracunan yang terjadi merupakan dampak dari rendahnya praktetk sanitasi
dalam mengolah dan menyiapkan pangan, terutama pada industri jasa boga.
Hal ini didukung dengan laporan BPOM (2005) di dalam Hariyadi dan
Andarwulan (2007) bahwa salah satu sumber terbesar penyebab keracunan
15
makanan di Indonesia selama tahun 2001-2004 adalah industri jasa boga, yaitu
sebanyak 31%.
Tabel 5. Data Keracunan Pangan di Indonesia (Depkes, 2008)
Korban No
Tempat dan Tanggal Meninggal Rawat Inap Rawat Jalan
1 Bandung, 04-04-06 0 0 82 2 Klaten, 02-06-06 0 380 0 3 Cirebon, 30-10-06 0 118 0 4 Kediri, 02-12-06 0 5 107 5 Jayapura, 19-07-07 0 0 135 6 Magelang, 22-07-07 10 22 0 7 Subang, 13-08-07 0 29 22 8 Bogor, 03-02-08 0 3 83 9 Makasar, 09-02-08 0 169 0 10 Magetan, 26-02-08 0 39 57 11 Cianjur, 08-03-08 0 34 13 12 Cianjur, 15-03-08 0 0 415 13 Jambi, 20-03-08 23 5 0 14 Takalar, 21-03-08 0 71 0 15 Malang, 30-03-08 0 0 56 16 Dompu, 09-04-08 4 130 244 17 Sukabumi, 14-04-08 1 240 0 18 Banyumas, 19-04-08 0 76 16 19 Tegal, 16-05-08 1 121 115 20 Kediri, 31-05-08 0 4 48 21 Sukabumi, 06-06-08 0 89 103 22 Makasar, 08-06-08 0 30 0 23 Majalengka, 09-06-08 0 45 20 24 Sukabumi, 23-07-08 0 2 28 25 Subang, 24-07-08 0 113 229 26 Merauke, 27-07-08 18 119 0 27 Bandung, 16-08-08 0 132 0 28 Bandung,18-08-08 0 160 0 29 Magelang, 19-09-08 0 55 10 30 Lhokseumawe, 20-09-08 0 143 0 31 Bantul, 25-09-08 0 16 0 32 Jayapura, 21-11-08 0 7 110
Jumlah 57 2357 1893
Berdasarkan data-data yang dijelaskan di atas, Staphylococcus aureus
kemungkinan merupakan salah satu agen penyebab keracunan pangan yang
selama ini terjadi di Indonesia. Hal ini disebabkan karena Staphylococcus
aureus yang secara alami ada pada tubuh manusia sangat mungkin untuk
mengkontaminasi pangan yang diolah dan disiapkan dengan kondisi sanitasi
yang tidak baik. Penelitian di Indonesia, di antaranya oleh Hartini (2001) dan
16
Ruslan (2003), menunjukkan bahwa beberapa produk pangan tradisional siap
santap yang dijajakan oleh pelaku usaha jasa boga yang diuji telah tercemar
bakteri Staphylococcus aureus (Tabel 6).
Tabel 6. Data cemaran Staphylococcus aureus pada beberapa pangan
Jenis Pangan Jumlah Staphylococcus aureus (Log CFU/g)
Sumber data
Bakso 1,74 a (Hartini, 2001)* Gado-gado 3,72 a Mie ayam 1,78 a Nasi Rames 3,21 a Siomay 2,43 a Soto ayam 1,65 a Touge goreng 5,10 a Gado-gado 5,81 b (Ruslan, 2003)^ Kacang panjang rebus 5,61 b Kol rebus 5,15 b Wortel rebus 5,23 b Tauge rebus 4,74 b
*) Dengan media Vogel-Johnson Agar (VJA), sampel diambil jam 11 siang ^) Dengan media Baird-Parker Agar (BPA), sampel diambil 2-3 jam sejak
penjaja mulai berjualan (data asli dalam satuan CFU/g).
C. PENETAPAN RISIKO
Risiko adalah fungsi dari kemungkinan terjadinya efek buruk terhadap
kesehatan dan tingkat keparahan dari efek tersebut (Forsythe, 2002). Analisis
risiko merupakan perkembangan terbaru dalam dunia keamanan pangan,
sebagimana yang dikatakan oleh Forsythe (2002) bahwa analisis risiko adalah
“generasi ketiga” dari sistem keamanan pangan, yang terdiri dari:
1. Good hygienic practices dalam produksi dan penyiapan pangan untuk
mereduksi prevalensi dan konsentrasi bahaya mikrobiologi.
2. HACCP atau pendekatan yang serupa dengan HACCP yang secara
proaktif mengidentifikasi dan mengendalikan bahaya.
3. Analisis risiko yang memfokuskan pada penanggulangan kemungkinan
terjadinya gangguan kesehatan jika manusia mengkonsumsi pangan yang
mengandung bahaya mikrobiologi, dan terdaparnya bahaya pada seluruh
rantai pangan (from farm to fork).
Lebih lanjut Forsythe (2002) menjelaskan bahwa analisis risiko terdiri
dari tiga komponen, yaitu 1) kajian risiko untuk mengidentifikasi risiko dan
17
faktor yang mempengaruhinya; 2) manajemen risiko untuk mengetahui
bagaimana risiko dikendalikan atau dicegah; dan 3) komunikasi risiko.
Hubungan ketiga komponen tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Komponen analisis Risiko (Forsythe, 2002, dengan tambahan dari Ross dan McMeekin, 2003)
Kajian risiko adalah suatu proses penentuan risiko yang berlandaskan
pada data-data ilmiah yang terdiri dari empat tahapan, yaitu: 1) identifikasi
bahaya; 2) karakterisisasi bahaya; 3) kajian pemaparan; dan 4) karakterisasi
risiko, selain tahap awal berupa penetapan tujuan dan tahap akhir berupa
pembuatan laporan resmi.
Identifikasi bahaya terdiri dari identifikasi agen-agen biologi, kimia,
dan fisik yang mungkin menyebabkan efek buruk terhadap kesehatan yang
mungkin ada pada suatu pangan atau suatu kelompok pangan. Informasi
potensi bahaya mikroba dan toksinnya dapat diperoleh dari berbagai sumber,
seperti studi pengawasan oleh pemerintah dan berbagai jenis organisasi yang
memiliki reputasi dalam hal ini (Forsythe, 2002).
Kajian pemaparan adalah evalusi secara kualitatif dan/atau kuantitatif
terhadap kemungkinan asupan agen-agen biologi, kimia, dan fisik melalui
pangan atau sumber lain yang relevan. Kajian pemaparan menentukan
kemungkinan pengkonsumsian dan kemungkinan dosis patogen yang mungkin
terpapar pada konsumen melalui pangan (Forsythe, 2002). Kajian pemaparan
terhadap agen mikrobial didasarkan pada potensi terkontaminasinya pangan
Kajian Risiko
(‘scientific’)
Manajemen Risiko
(‘political’)
Komunikasi Risiko
Pertukaran informasi dan opini yang
interaktif
18
oleh agen tersebut atau oleh toksinnya, dan didasarkan juga pada informasi
yang berhubungan dengan pangan. Jika memungkinkan, data prevalensi dan
konsentrasi bahaya dapat digunakan (Sumner, 2002).
Forsythe (2002) menjelaskan bahwa kajian pemaparan adalah bagian
paling kompleks dari kajian risiko. Faktor-faktor yang terlibat pada tahap ini
antara lain meliputi:
o Ekologi mikroba pada pangan
o Kebutuhan pertumbuhan mikroba (parameter intrinsik dan ekstrinsik)
o Tingkat kontaminasi awal bahan mentah
o Prevalensi infeksi pada pakan ternak
o Efek produksi, proses, pemasakan, penanganan, penyimpanan,
distribusi, dan penyiapan akhir terhapat agen mikrobial
o Variabilitas proses dan kontrol proses
o Level sanitasi, praktek pemotongan, dan tingkat penyebaran hewan
o Potensi terjadinya rekontaminasi (seperti kontaminai silang)
o Metode dan kondisi pengemasan, distribusi, dan penyimpanan pangan.
Karakterisasi bahaya adalah evalusi secara kualitatif dan/atau
kuantitatif terhadap efek merugikan yang diasosiasikan dengan agen biologi,
kimia, dan fisik yang mungkin ada pada pangan (Forsythe, 2002). Sumner
(2002) menjelaskan bahwa karakterisasi bahaya diperoleh dengan
mengumpukan informasi perilaku bahaya dan asupan bahaya yang
kemungkinan menyebabkan sakit.
Karakterisasi risiko adalah integrasi dari tiga langkah sebelumnya
(identifikasi bahaya, kajian pemaparan, karakterisasi bahaya) untuk
memperoleh dugaan risiko yang mungkin terjadi dan tingkat keparahan dari
efek buruknya terhadap suatu populasi, yang disertai adanya ketidakpastian
(Forsythe, 2002). Hubungan keempat tahap kajian risiko ini dapat dilihat pada
Gambar 5.
19
Gambar 5. Diagram alir kajian risiko (Notermans et al., 1996, di dalam Forsythe, 2002) Kajian risiko bersifat spesifik terhadap suatu kombinasi bakteri dan
jenis pangan tertentu. Forsythe (2002) menyebutkan beberapa kajian risiko
yang telah dilakukan, yang secara spesifik memfokuskan pada kombinasi
suatu bakteri dan pangan tertentu, seperti risiko B. cereus pada susu
pasteurisasi, Salmonella pada produk daging ayam, E. coli O157:H7 pada
daging giling (cincang), dan S. enteritidis pada telur dan produk telur.
Manajemen risiko diperlukan ketika data epidemiologi dan
pengawasan menunjukkan bahwa sutu pangan yang spesifik mungkin
membahayakan kesehatan konsumen karena adanya mikroorganisme patogen
atau toksinnya (Forsythe, 2002). Forsythe (2002) juga menjelaskan bahwa
manajemen risiko adalah proses yang terpisah dari kajian risiko, dengan
mempertimbangkan alternatif kebijakan yang ada, dalam suatu konsultasi
dengan pihak-pihak yang terkait, dengan mempertimbangkan kajian risiko dan
faktor lain yang relevan, untuk melindungi kesehatan konsumen dan
PENETAPAN TUJUAN
IDENTIFIKASI BAHAYA Identifikasi bahaya mikrobiologis, yang dapat
membahayakan kesehatan
KAJIAN PEMAPARAN Evaluasi tingkat asupan yang mungkin terhadi
KARAKTERISASI BAHAYA Evaluasi efek buruk kesehatan yang
berasosiasi dengan bahaya mikrobiologi, yang mungkin ada pada pangan.
Kajian dosis-respon sebaiknya dilakukan jika data tersedia.
KARAKTERISASI RISIKO Integrasi kajian pemaparan dan karakterisasi bahaya.
Perkiraan risiko terhadap kesehatan yang mungkin terjadi pada suatu populasi, dengan adanya keragaman dan ketidakpastian.
PENULISAN LAPORAN RESMI
20
mempromosikan perdagangan yang ‘fair’, dan jika diperlukan memilih opsi
pencegahan dan pengendalian yang sesuai.
Manajemen risiko dapat dibagi ke dalam empat aspek, yaitu: 1)
evaluasi risiko yang merupakan bagian awal dari aktivitas manajemen; 2)
pengkajian opsi manajemen risiko; 3) implementasi dan manajemen
keputusan; dan 4) monitoring dan review (Forsythe, 2002). Bagian-bagian dari
tahap manajemen risiko dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Proses manajemen Risiko (BPOM, 2004a)
Komunikasi risiko adalah pertukaran informasi dan opini secara
interaktif dalam pelaksanaan analisis risiko mengenai risiko, faktor yang
berkaitan dengan risiko, dan persepsi risiko, antara pengkaji risiko, manajer
risiko, konsumen, industri, komunitas akademisi, dan pihak-pihak lain yang
berkepentingan, termasuk penjelasan tentang temuan-temuan dalam kajian
risiko dan landasan keputusan manajemen risiko (Forsythe, 2002).
Evaluasi Risiko - identifikasi masalah - pengembangan profil risiko - pengurutan bahaya - pembentukan komisi kajian risiko - pertimbangan keputusan
Monitoring dan Review - review hasil - pengkajian keberhasilan tindakan yang diambil
Mengkaji Opsi Manajemen Risiko
- identifikasi opsi - seleksi opsi - pengambilan keputusan akhir manajemen
Implementasi Keputusan Manajemen Risiko
- pelaksanaan tindakan terbaik untuk menangani masalah
21
Keluaran yang dihasilkan dari suatu analisis risiko dapat berbentuk
kuantitatif maupun kualitatif. Hal ini bergantung pada kajian risiko yang
dilakukan. Forsythe (2002) menyatakan bahwa karakterisasi risiko adalalah
tahap akhir dalam kajian risiko yang dapat berupa karakterisasi kualitatif
(rendah, sedang, tinggi) atau kuantitatif (jumlah manusia yang terinfeksi, sakit,
atau mati per tahun atau per 100.000 populasi), tergantung pada tahap kajian
pemaparan.
Dengan demikian, kajian risiko dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
kajian risiko secara kualitatif dan kajian risiko secara kuantitatif. Kajian risiko
secara kuantitatif merupakan analisis matematis terhadap data-data numerik.
Analisis matematis yang digunakan dalam kajian risiko secara kuantitatif ini
terdiri dari metode-metode statistika yang dibangun atas dua dasar, yaitu
adanya ketidakpastian (uncertainty) dan adanya keragaman (variability) dari
analisis yang dilakukan. Keluaran yang dihasilkan merupakan perkiraan risiko
yang meliputi peluang dan keparahan sakit yang disebabkan karena
mengkonsumsi pangan yang mengandung bahaya, misalnya jumlah kejadian
luar biasa per tahun; jumlah sakit per tahun atau per jumlah tertentu (misal
100.000) populasi, atau jumlah yang sakit per jumlah tertentu (misal 100.000)
porsi pangan. Kajian risiko kuantitatif dapat memberikan jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan manajemen risiko secara yang lebih detil daripada
kajian risiko kualitatif.
Ching (2009) menjelaskan bahwa secara umum ada dua pendekatan
yang dapat digunakan dalam kajian risiko secara kuantitatif, yaitu pendekatan
secara deterministic dan pendekatan secara probabilistic (stochastic).
Pendekatan secara deterministic merupakan pendekatan untuk
mengkuantifikasi risiko dalam suatu nilai tertentu, sedangkan pendekatan
secara probabilistic merupakan pendekatan untuk mengkuantifikasi risiko
dalam suatu interval nilai tertentu.
Kajian risiko secara kualitatif adalah kajian yang deskriptif atau
merupakan penetapan kategori risiko berdasarkan informasi-informasi yang
tersedia. Keluaran yamg diperoleh biasanya dinyatakan dalam kategori risiko
tinggi, sedang, rendah, atau risiko yang dapat diabaikan.
22
Baik kajian risiko kualitatif maupun kuantitatif adalah penting pada
keadaan yang berbeda (BPOM, 2004a). Lebih lanjut BPOM (2004a)
menyebutkan bahwa kajian kuantitatif merupakan pilihan yang lebih disukai,
terutama jika data cukup tersedia. Pada kondisi di mana terdapat keterbatasan
data, waktu, ataupun sumber daya lain, pilihan dapat diberikan pada kajian
kualitatif.
BPOM (2004b) menyatakan bahwa pada kajian risiko secara kualitatif,
dalam memberikan perkiraan peringkat kategori risiko seringkali sangat
diperlulan opini atau pertimbangan para ahli (expert panel) dari berbagai
bidang ilmu. Peran para ahli dalam memberikan opininya menjadi sangat
penting, karena dalam memperkirakan suatu peluang, misalnya peluang
kontaminasi atau peluang pemaparan, diperlukan pertimbangan ahli-ahli
dalam bidang masing-masing.
Penetapan risiko kualitatif merupakan penetapan besarnya risiko suatu
sumber bahaya pada suatu jenis pangan berdasarkan kategori-kategori risiko.
Salah satu kajian risiko secara kualitatif adalah kajian risiko yang mengacu
pada prinsip-prinsip kajian risiko mikrobiologis secara kualitatif yang disusun
oleh BPOM (2004b).
Unsur-unsur yang tercakup dalam penetapan kategori risiko ini
meliputi peluang dan dampak. Peluang meliputi peluang kontaminasi, peluang
pemaparan, dan penyebaran yang luas dan/atau potensi penyebaran sekunder
penyakit. Sedangkan dampak meliputi spektrum inang dan dampak kesehatan,
dampak ekonomi, dan dampak lingkungan.
Peluang kontaminasi adalah peluang terjadinya kontaminasi sepanjang
rantai pangan, yang meliputi bahan baku dan produk, selama proses,
penyimpanan, distribusi, dan penyiapan. Peluang pemaparan merupakan
peluang yang diperkirakan berdasarkan ambang batas kritis pemaparan atau
jumlah mikroba yang diperlukan untuk menyebabkan penyakit atau
menyebabkan pengaruh buruk terhadap kesehatan. Sementara penyebaran
yang luas dan/atau potensi penyebaran sekunder penyakit, penting untuk
menentukan dampak penyakit dan pengontrolannya.
23
Spektrum inang dan dampak kesehatan memuat dampak biologis dari
bahaya, termasuk dosis-respon, status kronis atau akut, serta dampak bagi
kelompok umur atau kondisi populasi tertentu. Dampak ekonomi mencakup
dampak akibat perawatan yang dilakukan atau diharapkan, eradikasi penyakit,
kehilangan pekerjaan akibat sakit, kehilangan perdagangan dan penjualan, dan
kerugian finansial. Sementara dampak lingkungan merupakan akibat dari
kemungkinan berpindahnya mikroba patogen ke ekosistem yang dikaji.
24
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT
1. Bahan
Bahan yang digunkan adalah nasi uduk, kultur Staphylococcus
aureus (kontrol positif, ATCC 25923, koleksi Seafast Center), kultur
Staphylococcus epidermidis (kontrol koagulase negatif, dari UI), dan
berbagai media. Media-media tersebut adalah Trypticase Soy Broth (TSB,
Difco), Trypton Soya Agar (TSA, Oxoid), Baird-Parker Base (BP, Difco),
Brain Heart Infusion (BHI, Oxoid) Broth, kuning telur, tellurit 1%, yeast
extract, glukosa, mannitol, tripton, agar, buffer posfat, NaCl, plasma
kelinci dengan EDTA (FKH IPB), H2O2 5%, pereaksi pewarnaan Gram,
parafin cair steril, bromcresol purple, air destilata, alkohol 70%, spritus,
kapas, tissue, plastik stomacher, alufo, label, minyak imersi, dan korek
api.
2. Alat
Alat-alat yang digunakan antara lain adalah otoklaf (121ºC; 103,4
kPa), inkubator 35ºC, neraca analitik, hot plate, vortex, stomacher,
termometer, mikroskop, gelas preparat, bunsen, pipet mikro, pipet
volumetrik, bulb, gelas ukur, erlenmeyer, botol semprot, cawan petri,
jarum ose, tabung reaksi bertutup, rak tabung reaksi, sendok steril, sudip
steril, gelas pengaduk steril, gelas preparat, termos nasi uduk, dispenset,
dan alat untuk pembersihan peralatan.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 1) penetapan risiko
Staphylococcus aureus pada beberapa pangan tradisional siap santap; dan 2)
evaluasi keberadaan Staphylococcus aureus pada nasi uduk, yang meliputi
enumerasi, isolasi, dan karakterisasi Staphylococcus aureus koagulase positif.
25
1. Penetapan Risiko Staphylococcus aureus pada Pangan Tradisional
Siap Santap
Penetapan risiko dilakukan dengan kajian risko secara kualitatif
berdasarkan informasi-informasi yang tersedia dalam pustaka. Keluaran
yang diperoleh dinyatakan dalam kategori risiko tinggi, sedang, rendah,
atau risiko yang dapat diabaikan. Penetapan risiko ini mengacu dan
dikembangkan dari prinsip-prinsip kajian risiko mikrobiologis secara
kualitatif yang disusun oleh BPOM (2004b). Penetapan risiko keracunan
Staphylococcus aureus ini diterapkan pada tiga puluh jenis pangan
tradisional siap santap.
2. Evaluasi Keberadaan Staphylococcus aureus Koagulase Positif Dalam
Nasi Uduk yang Dijajakan Oleh Pelaku Usaha Jasa Boga
Tahap ini bertujuan untuk menghitung, mengisolasi, dan
mengkarakterisasi Staphylococcus aureus dalam nasi uduk yang dijajakan
oleh pelaku usaha. Staphylococcus aureus yang dijadikan target dalam
tahap ini adalah Staphylococcus aureus yang memproduksi enzim
koagulase. Tahap ini sekaligus sebagai verifikasi dari penetapan risiko
pada tahap pertama. Untuk itu, evaluasi ini dilakukan pada satu pangan
tradisional siap santap, yaitu nasi uduk.
Sampel nasi uduk diperoleh dari warung-warung di sekitar tempat
penelitian (kampus IPB Dramaga) yang menyediakan sampel tersebut.
Pemilihan warung dilakukan secara acak dengan sistem pengundian.
Sampel dibeli dari pedagang pada pagi hari (sekitar jam 7.00), kemudian
di bawa ke laboratorium mikrobiologi Seafast Center untuk di analisis
pada beberapa selang waktu penyimpanan pada suhu termos (sekitar
37oC).
Evaluasi ini dilakukan dengan metode BAM (2001) yang
dikembangkan oleh US FDA, dengan beberapa perubahan. Tahap ini
diawali dengan menentukan satu sampel yang akan diuji. Penentuan
sampel ini didasarkan pada tahap penetapan risiko sebelumnya. Kemudian,
sampel diuji untuk menghitung Staphylococcus aureus secara
26
semikuantitatif dengan menggunakan metode Most Probable Number
(BAM, 2001). Tahap evaluasi ini juga dilakukan untuk menentukan
frekuensi isolat Staphylococcus aureus koagulase positif melalui uji
pembentukan koloni pada agar Baird-Parker, lalu uji-uji biokimia yang
meliputi aktivitas koagulase, aktivitas katalase, pewarnaan Gram, uji
fermentasi glukosa, dan uji fermentasi mannitol.
Hasil akhir penelitian adalah laporan hasil dari pengolahan data yang
diperoleh selama penelitian, berupa data penetapan risiko keracunan
Staphylococcos aureus pada tiga puluh jenis pangan tradisional siap santap
dan data evaluasi keberadaan Staphylococcos aureus koagulase positif pada
nasi uduk. Selain itu, diharapkan diperoleh isolat Staphylococcos aureus
koagulase positif yang dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya.
C. METODE KAJIAN DAN ANALISIS
1. Risiko Staphylococcus aureus pada Pangan Tradisional Siap Santap
(BPOM, 2004b)
Risiko Staphylococcus aureus ditetapkan terhadap tiga puluh jenis
pangan tradisional siap santap (Tabel 7). Pangan-pangan tersebut dipilih
karena merupakan jenis pangan yang umum ditemukan pada industri jasa
boga tradisional.
Tabel 7. 30 Jenis Pangan Tradisional Siap Santap (PTSS) yang dijadikan sampel dalam penetapan risiko Staphylococcus aureus
Telur mata sapi Tahu goreng Martabak kacang Telur dadar Sate padang Karedok Sate jeroan Rujak Ayam suir di bubur ayam Ikan tongkol sambal Pergedel kentang Tempe goreng Ikan goreng Lele goreng pecel lele Tempe bacem Ikan asin teri goreng Bakso Ketoprak Ayam goreng Soto mi Gado-gado Telur asin Pecel sayur Rendang Soto daging Nasi kuning Siomay Nasi uduk Mie ayam Nasi goreng
27
Risiko Staphylococcus aureus pada ketiga puluh pangan tradisional
siap santap tersebut dilakukan dengan memeriksa unsur peluang
kontaminasi, peluang pemaparan, peluang penyebaran, dampak kesehatan,
dampak ekonomi, dan dampak lingkungan.
a. Peluang Kontaminasi
Peluang ini ditentukan dengan memperkirakan peluang
terjadinya kontaminasi sepanjang rantai pangan, yang meliputi bahan
baku dan produk, selama proses, penyimpanan, distribusi, dan
penyiapan; sumber kontaminasi; dan jalur kontaminasinya. Hal-hal
yang harus dipertimbangkan meliputi:
• Diagram skenario penanganan, pengolahan, distribusi,
penyajian
• Sumber kontaminasi (tanaman, hewan, atau manusia)
• Prevalensi dan distribusi mikroba
• Pemanenan, pengolahan, penyimpanan, distrubusi, pengolahan
• Praktek sanitasi pangan
• Program preventif sepanjang rantai pangan
Peringkat peluang kontaminasi dikelompokkan menjadi:
A = Diabaikan: peluang kontaminasi dangat rendah atau dapat
diabaikan pada kombinasi faktor-faktor yang disebutkan di atas.
B = Rendah: peluang kontaminasi rendah tetapi mungkin terjadi
dengan pertimbangan kombinasi faktor-faktor seperti yang
dijelaskan di atas.
S = Sedang: peluang kontaminasi mungkin terjadi dengan
pertimbangan faktor yang dijelaskan di atas.
T = Tinggi: peluang kontaminasi sangat mungkin atau pasti terjadi
dengan pertimbangan kombinasi faktor-faktor yang dijelaskan di
atas.
b. Peluang Pemaparan
Peluang pemaparan diperkirakan berdasarkan ambang batas
kritis pemaparan atau jumlah mikroba yang diperlukan untuk
28
menyebabkan penyakit atau menyebabkan pengaruh buruk terhadap
kesehatan. Peluang pemaparan diperkirakan dengan
mempertimbangkan:
• Survival mikroba, potensi untuk tumbuh atau mati pada pangan
dengan mempertimbangkan faktor-faktor pengolahan,
penyimpanan, distribusi, dan penyiapan yang meliputi suhu,
waktu, pH, dan aktivitas air (aw), kompetisi mikroba dan
interaksinya serta perubahan kimia.
• Efektifitas dan pengendalian proses untuk menghambat atau
menginaktivasi bahaya.
• Konsumen beserta pola konsumsinya.
• Variasi dan distribusi populasi yang rentan.
Peringkat peluang pemaparan dikelompokkan menjadi:
A = Diabaikan: peluang pemaparan terhadap populasi yang rentan
sangat rendah atau dapat diabaikan dengan mempertimbngankan
faktor-faktor yang disebutkan di atas.
B = Rendah: peluang pemaparan terhadap populasi yang rentan
rendah tetapi jelas mungkin terjadi dengan mempertimbangkan
kombinasi faktor-faktor di atas.
S = Sedang: peluang pemaparan terhadap populasi yang rentan
mungkin terjadi dengan mempertimbangkan faktor-faktor di
atas.
T = Tinggi: peluang pemaparan terhadap populasi yang rentan
mungkin terjadi dengan mempertimbangkan kombinasi faktor-
faktor di atas.
c. Penyebaran yang Luas dan/atau Potensi Peyebaran Sekunder
Penyakit
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran mikroba patogen
dan penyebaran sekundernya penting untuk menentukan dampak
penyakit dan pengontrolannya. Potensi penyebaran tingkat pemaparan
secara luas dan penyebarab sekundernya dari tempat asal kejadian
29
penyakit dipengaruhi oleh metode distribusi pangan dan biologi
penyakit atau mikroba. Biologi penyakit dapat dinyatakan sebagai
jumlah kasus per kejadian keracunan pangan di daerah studi
epidemiologi dengan metode distribusi yang sama. Peringkat distribusi
dan potensi penyebaran dikelompokkan menjadi:
A = Diabaikan: peluang distribusi dan/atau penyebarannya dari asal
wabah dapat diabaikan.
B = Rendah: peluang distribusi dan/atau penyebarannya dan
kejadian wabah penyakit cenderung sangat lokal.
S = Sedang: peluang distribusi dan/atau penyebarannya moderat.
T = Tinggi: peluang distribusi dan/atau penyebarannya tinggi dengan
potensi untuk terjadi pada beberapa daerah selain daerah asal.
d. Spektrum Inang dan Dampak Kesehatan
Dampak biologis dari bahaya, termasuk dosis-respon, dapat
diketahui dengan mencatat kisaran populasi yang potensial terpengaruh
dan dampak penyakit terhadap kesehatan dan kualitas hidup.
Keparahan dampak bisa bervariasi berdasarkan kelompok umur,
misalnya anak-anak versus dewasa versus orang tua dan kondisi yang
bersangkutan (misalnya individu dengan immuno compromised).
Peringkat spektrum dan dampak kesehatan dikelompokkan menjadi:
A = Diabaikan: penyakit terjadi pada kelompok yang terbatas dan
atau mempunyai dampak kesehatan dan kualitas hidup yang
dapat diabaikan.
B = Rendah: kisaran populasi yang menderita penyakit terbatas
dengan dampak kesehatan minor.
S = Sedang: kisaran populasi yang terkena penyakit cukup luas
(moderat) dengan dampak kesehatan sedang.
T = Tinggi: penyakit terjadi pada kisaran yang luas dan/atau dengan
dampak terhadap kesehatan dan kualitas hidup yang berat.
30
e. Dampak Ekonomi
Kajian mencakup dampak ekonomi akibat perawatan yang
dilakukan/diharapkan, eradikasi penyakit, kehilangan pekerjaan akibat
sakit, kehilangan perdagangan dan penjualan dan kerugian finansial
jika suatu pangan yang mempunyai nilai ekonomis diketahui berisiko
tinggi serta biaya-biaya lain yang berhubungan dengan terjadinya
risiko seperti biaya inspeksi dan lain-lain. Peringkat dampak ekonomi
dikelompokkan menjadi:
A = Diabaikan: dampak kecil atau tidak ada terhadap biaya
pengobatan atau biaya pembersihan, kehilangan pekerjaan atau
perdagangan.
B = Rendah: dampak minor terhadap faktor-faktor di atas.
S = Sedang: dampak moderat terhadap faktor-faktor di atas.
T = Tinggi: dampak berat (parah) terhadap faktor-faktor di atas.
f. Dampak Lingkungan
Dampak lingkungan merupakan akibat dari kemungkinan
berpindahnya mikroba patogen ke ekosistem yang dikaji, misalnya
pengaruhnya terhadap spesies lain. Potensi dampak negatif terhadap
lingkungan akibat manajemen risiko misalnya penggunaan
desinfektan, eradikasi penyakit, atau pembersihan serta hubungannya
dengan peraturan perlindungan lingkungan yang berlaku juga perlu
dipertimbangkan. Peringkat dampak lingkungan dikelompokkan
menjadi:
A = Diabaikan: tidak ada potensi merusak lingkungan/merubah
ekosistem.
B = Rendah: potensi dampak terbatas terhadap lingkungan.
S = Sedang: berpotensi menyebabkan dampak yang moderat pada
lingkungan.
T = Tinggi: berpotensi menyebabkan kerusakan berat pada
lingkungan dengan kerugian yang nyata pada ekosistem.
31
Masing-masing kemungkinan peringkat dari keenam unsur peluang
dan dampak di atas memiliki simbol dan nilai, yaitu peluang atau dampak
yang diabaikan diberi simbol A (bernilai 1), peluang atau dampak rendah
diberi simbol R (bernilai 2), peluang atau dampak sedang diberi simbol S
(bernilai 3), dan peluang atau dampak tinggi diberi simbol T (bernilai 4).
Sementara itu, masing-masing unsur tersebut juga memiliki bobot sebagai
berikut:
1. Peluang kontaminasi berbobot 0.2
2. Peluang pemaparan berbobot 0.2
3. Peluang penyebaran berbobot 0.2
4. Spektrum inang berbobot 0.2
5. Dampak ekonomi berbobot 0.1
6. Dampak lingkungan berbobot 0.1
Jumlah bobot keseluruhan peluang dan dampak adalah 1 dengan
bobot terbesar (0,8) diberikan kepada perkiraan risiko yang berhubungan
langsung dengan pengaruh buruk terhadap kesehatan, yaitu peluang
kontaminasi, peluang pemaparan, peluang penyebaran, dan spektrum.
Sementara bobot sisanya (0,2) diberikan kepada perkiraan risiko yang
tidak berhubungan langsung dengan pengaruh buruk terhadap kesehatan.
Kemudian, dari kombinasi enam unsur, empat kemungkinan, dan
bobot tersebut, dibentuklah sebuah matriks yang akan digunakan untuk
menentukan nilai skor terbobot suatu risiko. Berdasarkan nilai skor
terbobot, ditentukan pengelompokan risiko secara kualitatif berdasarkan
kisaran nilai skor. Matriks kombinasi skor dan pembobotan tersebut
disajikan pada Tabel 8. Sedangkan kisaran total skor terbobot untuk
pengelompokan risiko secara kualitatif disajikan pada Tabel 9.
Matriks tersebut diperlukan untuk mendapatkan peringkat
keseluruhan yang diperlukan untuk menetapkan risiko dari masing-masing
pangan tradisional siap santap yang dikaji. Kombinasi yang mungkin dari
keenam peluang dan dampak dengan empat kemungkinan peringkat
32
peluang dan dampak adalah sebanyak 4096 kombinasi. Skor kombinasi
terbobot tertinggi adalah 4 di mana seluruh peluang dan dampak berisiko
tinggi (T,T,T,T,T,T), dan yang terendah adalah 1 di mana seluruh peluang
dan dampak dapat diabaikan (A,A,A,A,A,A). Sementara skor kombinasi
terbobot lainnya berkisar antara 1-4.
Tabel 8. Matriks kombinasi peringkat dan perkiraan skor
Skor peluang/dampak Peluang/
dampak
Bobot
Konta-
minasi
(X)
Pema-
paran
(Y)
Penye-
baran
(Z)
Spek-
trum
(K)
Eko-
nomi
(L)
Ling-
kungan
(M)
Skor
terbobot
Kontaminasi
0.2 (a)
A=1 R=2 S=3 T=4
aX
Pemaparan
0.2 (b)
A=1 R=2 S=3 T=4
bY
Penyebaran
0.2 (c)
A=1 R=2 S=3 T=4
cZ
Spektrum
0.2 (d)
A=1 R=2 S=3 T=4
dK
Ekonomi
0.1 (e)
A=1 R=2 S=3 T=4
eL
Lingkungan
0.1 (f)
A=1 R=2 S=3 T=4
fM
Total skor terbobot (aX+bY+cZ+dK+eL+fM)
Tabel 9. Kisaran total skor terbobot Risiko Kisaran total skor terbobot
N= diabaikan 1 - 1.4
L= rendah 1.5 - 2.4
M= sedang 2.5 - 3.4
H= tinggi 3.4 - 4.0
Namun, karena matriks kombinasi skor ini diterapkan hanya pada
satu jenis mikroba (yaitu Staphylococcus aureus) pada kelompok pangan
33
yang memiliki karakterisasi yang hampir sama (yaitu pangan tradisional
siap santap) maka peluang pemaparan, peluang penyebaran, spektrum
inang dan dampak kesehatan, dampak ekonomi, dan dampak lingkungan
akan bernilai relatif sama sehingga dapat dianggap sebagai konstanta.
Dengan demikian, penetapan risiko keracunan Staphylococcus
aureus pada pangan tradisional siap santap ini akan difokuskan pada
penetapan peluang kontaminasi sepanjang rantai pangan. Peluang
kontaminasi sepanjang rantai pangan tersebut ditetapkan berdasarkan
identifikasi aspek-aspek risiko peluang kontaminasi sepanjang rantai
pangan seperti tercantum dalam Tabel 10. Identifikasi ini merupakan
kumpulan keadaan-keadaan yang mendukung atau tidak mendukung
keberadaan dan atau pertumbuhan Staphylococcus aureus pada suatu
pangan, termasuk asal keberadaan Staphylococcus aureus tersebut pada
pangan.
Tabel 10. Identifikasi aspek risiko peluang kontaminasi sepanjang rantai pangan
No Aspek Risiko Peluang Kontaminasi Nilai 1 Peluang kontaminasi awal Staphylococcus aureus pada
bahan mentah a
2 Efektivitas pengolahan dalam menurunkan jumlah Staphylococcus aureus
b
3 Peluang terjadinya rekontaminasi (dari tangan, udara terbuka, dan lainnya)
c
4 Suhu penyimpanan yang mendukung pertumbuhan Staphylococcus aureus
d
5 Peluang adanya waktu inkubasi e 6 Matriks pangan yang mendukung pertumbuhan
Staphylococcus aureus f
7 Ada tidaknya proses pemanasan ulang g Peluang adanya Staphylococcus aureus pada pangan Σ
Penentuan nilai-nilai pada Tabel 10 ini mengikuti perincian yang
tercantum pada Tabel 11 sampai dengan Tabel 17 yang memuat
penjabaran kriteria nilai dari aspek-aspek risiko yang berhubungan dengan
peluang kontaminasi sepanjang rantai pangan. Penyusunan tabel-tabel
penjabaran tersebut didasarkan pada studi literatur seperti yang dijelaskan
di bawah setiap tabel. Selain itu, penyusunan kriteria ini juga melibatkan
diskusi dengan tenaga ahli.
34
Tabel 11. Peluang kontaminasi bahan mentah oleh Staphylococcus aureus Nilai Keterangan
1 Tipe 1: Bahan mentah yang tidak memberikan lingkungan
yang mendukung adanya Staphylococcus aureus, seperti
dominan nabati dan adanya mikroba kompetitor
3 Tipe 2: Bahan mentah yang merupakan keadaan pertengahan
antara nilai 1 dan 5.
5 Tipe 3: Bahan mentah yang memberikan lingkungan yang
mendukung adanya Staphylococcus aureus, seperti dominan
hewani dan tidak adanya mikroba kompetitor
Genus Staphylococcus aureus sebagian besar berasosiasi dengan
kulit dan membran mukosa hewan vertebrata berdarah panas, namun
sering juga diisolasi dari produk pangan, debu, dan air (Holt et al., 1994)
Namun, Staphylococcus aureus adalah mikroba kompetitor lemah dan
pertumbuhannya mudah dihambat oleh mikroba lainnya (Baird-Parker,
2000). Demikian juga Buckle et al. (1978) menyatakan bahwa
Staphylococcus aureus tidak berkompetisi kuat dengan mikroba lainnya
sehingga tidak berpengaruh nyata pada bahan pangan mentah.
Bergdoll (1979) menyatakan bahwa kebanyakan daging telah
terkontaminasi oleh Staphylococcus, namun secara normal hal ini tidak
terlalu penting karena organisme ini biasanya tidak membelah secara cepat
pada bahan pangan mentah dan dihancurkan ketika proses pemasakan.
Staphylococcus yang ada pada daging sebelum pengolahan jarang
berhubungan dengan kejadian keracunan pangan.
Penelitian yang dilakukan Normanno et al. (2005) membuktikan
bahwa dari 11.384 sampel yang diuji, sebanyak 1971 sampel (17,3%)
terbukti mengandung Staphylococcus koagulase positif. Sampel-sampel
tersebut terdiri dari daging segar, produk daging, susu segar, susu olahan,
keju, es krim, produk telur, produk ikan, dan lainnya.
Dengan demikian, keberadaan Staphylococcus aureus pada bahan
mentah kemungkinan akan menimbulkan masalah jika proses pengolahan
bahan pangan tidak mampu menghancurkan bakteri tersebut.
35
Tabel 12. Efektivitas proses pengolahan dalam menurunkan jumlah Staphylococcus aureus
Nilai Keterangan
1 Pengolahan dengan kombinasi suhu dan waktu atau
penambahan bahan yang mampu menghancurkan seluruh
kontaminasi mikroba pada bahan mentah.
3 Pengolahan dengan kombinasi suhu dan waktu atau
penambahan bahan yang mampu menekan jumlah
kontaminasi mikroba pada bahan mentah, namun tidak
memusnakan seluruhnya.
5 Pengolahan minimalis tanpa adanya proses panas.
Gaman dan Sherington (1992) menyatakan bahwa Staphylococcus
aureus mudah mati karena panas, yaitu pemanasan pada suhu 66oC selama
10 menit.
Tabel 13. Peluang terjadinya rekontaminasi
Nilai Keterangan
1 Peluang kontak dengan tangan atau bagian tubuh lainnya
rendah dan pangan dikemas
3 Peluang kontak dengan tangan atau bagian tubuh lainnya
tinggi tetapi pangan tersebut dikemas, atau peluang kontak
dengan tangan atau bagian tubuh lainnya rendah tetapi
pangan tidak dikemas
5 Peluang kontak dengan tangan tinggi dan pangan tidak
dikemas
Keberadaan Staphylococcus aureus baik pada bagian-bagian tubuh
manusia maupun pada lingkungan memberikan peluang untuk
mengkontaminasi pangan jika terjadi kontak pangan dengan manusia dan
atau dengan lingkungan. Pangan yang tidak terbungkus dan atau
mengalami kontak dengan manusia selama penyiapan akan lebih mudah
terkontaminasi daripada pangan yang dikemas dan atau disiapkan tanpa
kontak dengan tubuh manusia. Demikian juga frekuensi kontak pangan
dengan tubuh manusia dan atau lingkungan akan mempengaruhi tingkat
kontaminasi.
36
Buckle et al. (1978) menyatakan bahwa keracunan pangan oleh
Staphylococcus aureus umumnya berasosiasi dengan pangan matang yang
memerlukan proses penanganan oleh manusia seperti daging dan ayam,
ham, produk-produk susu, seperti es krim, keju, dan lainnya. Penelitian
yang dilakukan Hartini (2001) dan Ruslan (2003) membuktikan bahwa
Staphylococcus aureus telah mencemari beberapa pangan tradisional siap
santap seperti gado-gado, nasi rames, soto ayam, touge goreng, dan lain-
lain. Hal ini kemungkinan terjadi karena pangan-pangan yang diuji telah
mengalami kontak dengan tubuh pedagang dan atau dengan lingkungan.
Bergdoll (1979) menyatakan bahwa sumber utama kontaminasi
Staphylococcus aureus pada pangan yang banyak berhubungan dengan
keracunan Staphylococcus adalah orang yang bekerja menangani pangan.
Contoh yang diberikan dalam hal ini adalah pangan yang telah dipanaskan
dengan cukup selama pengolahan untuk menghancurkan Staphylococcus,
misalnya ham panggang, maka keracunan pangan yang berkaitan dengan
ham panggang kebanyakan adalah karena hasil kontaminasi dari orang
yang mengiris ham. Demikian pula peralatan dapat menjadi sumber
kontaminasi, seperti yang pernah terjadi pada suatu kasus keracunan
Staphylococcus yang disebabkan karena ham panggang, ternyata pada
mesin pemotong ham ditemukan banyak Staphylococcus enterotoksigenik
yang sama dengan yang ditemukan pada ham yang menyebabkan sakit.
Walaupun ham secara langsung terkontaminasi dari mesin, namun sumber
aslinya kemungkinan besar adalah manusia.
Tabel 14. Suhu penyimpanan yang mendukung pertumbuhan Staphylococcus aureus
Nilai Keterangan
1 Penyimpanan suhu rendah (suhu refrigerasi, yaitu pada suhu
di bawah 10oC)
3 Penyimpanan suhu kamar (± 25-28oC yang merupakan bagian
dari danger zone, yaitu 5-65oC)
5 Penyimpanan suhu pertumbuhan optimum Staphylococcus
aureus (30-37°C)
37
Penilitian yang dilakukan Dewi (2008) dengan melakukan simulasi
pertumbuhan Staphylococcus aureus pada beberapa pangan tradisional
siap santap (nasi uduk, soto ayam, dan tumis buncis) menunjukkan bahwa
penyimpanan pada suhu 5ºC tidak memperlihatkan pertumbuhan
Staphylococcus aureus bahkan jumlah bakteri cenderung konstan. Hal ini
juga terjadi pada penyimpanan suhu 10ºC yang tidak memperlihatkan
pertumbuhan sel Staphylococcus aureus yang signifikan.
BMKG (Undate) melaporkan bahwa rata-rata suhu udara bulanan
di Jakarta adalah berkisar antara 26-28°C. Sementara Mas’ad (Undate) di
dalam BMKG (Undate) menjelaskan bahwa suhu di daerah Jakarta
cenderung lebih tinggi 0,7-0,9°C dibandingkan daerah pinggiran. Dengan
demikian, suhu ruang di daerah penelitian ini (Bogor) diperkirakan sedikit
di bawah suhu ruang daerah Jakarta, terlebih daerah Bogor adalah daerah
pegunungan sehingga suhu udara cenderung lebih dingin. Dengan
demikian, suhu ruang di daerah penelitian ini masuk ke dalam danger zone
yang merupakan zona suhu di mana bakteri akan tumbuh dengan cepat,
namun tidak masuk dalam kisaran suhu optimum pertumbuhan
Staphylococcus aureus. Suhu optimum pertumbuhan Staphylococcus
aureus adalah 30-37°C (Holt et al.,1994), sementara suhu pertumbuhan
Staphylococcus aureus secara umum berkisar pada 7-47,8°C (Jay, 2000).
Tabel 15. Peluang adanya waktu inkubasi
Nilai Keterangan
1 Pangan disantap langsung setelah diolah
3 Pangan baru disantap beberara lama (kurang dari 3 jam)
setelah diolah
5 Pangan baru disantap setelah lama dibiarkan (lebih dari 3
jam) sejak waktu pengolahan
Berdasarkan penelitian Rawendra (2008) tentang simulasi
pertumbuhan Staphylococcus aureus pada beberapa pangan tradisional
siap santap (nasi uduk, tumis buncis, dan soto ayam), direkomendasikan
bahwa waktu maksimum penyimpanan pada suhu ruang untuk
meminimalisasikan risiko keracunan pangan adalah 6 jam. Sementara itu,
38
FSIS (2007) merekomendasikan untuk tidak menyimpan pangan-pangan
yang mudah rusak seperti daging, unggas, telur, dan casserole lebih dari 2
jam pada suhu ruang. Berdasarkan kedua rekomendasi ini, maka pada
penelitian ini ditetapkan bahwa pangan yang dikaji dikatakan telah
memiliki waktu inkubasi yang cukup berbahaya jika telah disimpan lebih
dari 3 jam pada suhu ruang.
Tabel 16. Matriks pangan yang mendukung pertumbuhan Staphylococcus aureus
Nilai Keterangan
1 Tipe 1, yaitu pangan dengan matriks dengan aw yang tidak
mendukung pertumbuhan S. aureus, rendah protein, dan atau
mengandung mikroba kompetitor atau faktor penghambat
pertumbuhan sehingga benar-benar menghambat
pertumbuhan Staphylococcus aureus.
3 Tipe 2, yaitu pangan dengan matriks yang mendukung
pertumbuhan Staphylococcus aureus, namun bukan
pertumbuhan optimum, yaitu dengan adanya sebagian faktor
pendukung pertumbuhan, namun juga ada faktor penghambat
pertumbuhan.
5 Tipe 3, yaitu pangan dengan matriks yang benar-benar
mendukung pertumbuhan optimum Staphylococcus aureus
seperti aw yang tinggi, tanpa mikroba kompetitor, dan
kandungan protein yang cukup tinggi.
Staphylococcus aureus merupakan kompetitor lemah terhadap
mikroba lainnya. Akan tetapi, pada pangan matang atau pangan bergaram
yang bakteri lainnya telah dihancurkan dengan panas atau dihambat
pertumbuhannya dengan garam, Staphylococcus aureus dapat berkembang
sampai pada level yang membahayakan (Buckle et al., 1978). Frazier dan
Westhoff (1978) menyebutkan bahwa pangan yang banyak terkait dengan
penyebab keracunan Staphylococcus aureus diantaranya adalah produk
roti berisi custard –dan krim-, ham, unggas, daging dan produk daging,
ikan dan produk ikan, susu dan produk susu, saus krim, salad, puding,
custard, pai, dan salad dressing.
39
Bergdoll (1979) juga menjelaskan bahwa banyak pangan yang
menyediakan medium yang baik bagi pertumbuhan Staphylococcus yang
terkait dengan kasus keracunan pangan. Di Amerika Serikat, daging babi,
terutama ham panggang, adalah pangan yang paling sering menyebabkan
kejadian keracunan. Selain itu, bahan dari unggas, salad, dan roti-roti yang
berisi krim adalah pangan-pangan lain yang bertanggungjawab terhadap
banyak kasus keracunan.
Penelitian yang dilakukan Dewi (2008) membuktikan bahwa
pertumbuhan Staphylococcus aureus di soto ayam dan nasi uduk lebih
cepat daripada di tumis buncis, karena pada tumis buncis kebutuhan nutrisi
berupa protein atau karbohidrat tidak tersedia sehingga pertumbuhan yang
terjadi tidak optimum.
Tabel 17. Keberadaan pemanasan ulang pada pangan Nilai Keterangan
1 Pemanasan dengan kombinasi suhu dan waktu yang mampu
menghancurkan seluruh rekontaminan pada pangan.
3 Pemanasan ulang minimalis dengan kombinasi suhu dan
waktu yang mampu menekan jumlah rekontaminan pada
bahan namun tidak memusnakan seluruhnya.
5 Pengolahan minimalis tanpa adanya proses panas.
Gaman dan Sherington (1992) menyatakan bahwa Staphylococcus
aureus mudah mati karena panas, yaitu pemanasan pada suhu 66oC selama
10 menit. Akan tetapi, jika pada pangan telah terbentuk enterotoksin maka
proses pemanasan ulang tidak cukup untuk menghancurkannya karena
enterotoksin yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus memiliki sifat
tahan panas, yaitu bertahan selama 30 menit pada suhu 100ºC.
Penjumlahan nilai-nilai dari Tabel 11 sampai dengan Tabel 17 di
atas menunjukkan peluang adanya Staphylococcus aureus pada pangan,
yang mewakili peluang kontaminasi. Untuk menentukan kemungkinan
penjumlahan dari ketujuh nilai ini digunakan Tabel 18 yang merupakan
pengkategorian tingkat peluang kontaminasi pada pangan.
40
Tabel 18. Penentuan kemungkinan peluang kontaminasi Nilai Kemungkinan
7 - 13 A (diabaikan)
14 - 20 R (rendah)
21 - 27 S (sedang)
28 - 35 T (tinggi)
Kemudian, setelah didapatkan nilai skor terbobot dari ketigapuluh
pangan tradisional siap santap tersebut, maka dilakukan pemilihan pangan
tradisonal yang akan dijadikan sampel pada pengujian tahap selanjutnya,
yaitu tahap evaluasi keberadaan Staphylococcus aureus koagulase positif
pada salah satu pangan tradisonal siap santap. Pangan tradisional siap
santap yang dipilih pada penelitian ini adalah nasi uduk.
2. Evaluasi Keberadaan Staphylococcus aureus Koagulase Positif Pada
Nasi Uduk (BAM, 2001, dengan modifikasi)
Tahap ini merupakan kelanjutan tahap sebelumnya. Diagram alir
tahap ini serta hubungannya dengan tahap sebelumnya dapat dilihat pada
Gambar 10. Tahap ini terdiri dari bagian-bagian sebagai berikut.
a. Sampling
Sampel yang dibeli dari warung-warung di sekitar tempat
penelitian (kampus IPB Dramaga) dibawa menuju laboratorium analisis.
Pada penelitian ini keadaan alami sampel dijaga dengan membawa
sampel ke laboratorium lalu disimpan di dalam termos nasi sebagai
simulasi keberadaan nasi uduk pada warung-warung penjualan.
Sampel yang digunakan diambil dari 6 warung (Gambar 7). Dari
setiap warung diambil sebanyak 5 unit sampel untuk uji selama 5
interval waktu. Dari setiap warung diuji sebanyak 2 kali ulangan.
Dengan demikian, sampel yang diuji berjumlah 60 unit sampel. Setiap
unit sample diuji secara duplikat. Selama pengambilan sampel juga
dilakukan pengamatan terhadap praktek sanitasi pekerja dan proses
penyiapannya.
41
Gambar 7. Peta penyamplingan nasi uduk
b. Persiapan Peralatan
Semua peralatan gelas dan logam yang akan digunakan harus
dibersihkan dan disterilkan terlebih dahulu. Sterilisasi dilakukan dengan
menggunakan otoklaf. Sterilisasi di dalam aotoklaf umumnya dicapai
dengan perlakuan pada 121°C selama 15-30 menit dalam uap jenuh
murni pada tekanan 103,4 kPa (15 lb in-2) di atas tekanan atmosfir
(Harrigan, 1998).
c. Persiapan Media dan Bahan Lain
Prosedur penyiapan media dan bahan lainnya dapat dilihat pada
bagian Lampiran 3.
d. Persiapan Sampel Pangan
Nasi uduk didapatkan dalam keadaan terbungkus kertas
pembungkus nasi (Gambar 8) yang berisi nasi dan lauk pauk (Gambar
9) seperti bihun, tempe orek, telur dadar iris, kerupuk, dan bawang
goreng. Namun, dalam penelitian ini hanya digunakan bagian nasinya
saja. Nasi dipisahkan dari lauk pauk kemudian diambil 25 g nasi sebagai
42
sampel secara aseptik ke dalam plastik stomacher, kemudian tambahkan
larutan pengencer sebanyak 225 ml, lalu lakukan penghancuran sampel
dengan stomacher selama 2 menit. Kemudian dibuat pengenceran
berseri dalam tabung-tabung pengenceran secara aseptik. Pengenceran
yang dibuat adalah 10-1, 10-2, 10-3, dan 10-4 atau disesuaikan dengan
keadaan.
Gambar 8. Kondisi sampel yang diperoleh dari warung
Gambar 10. Penampakan sampel nasi uduk
43
e. Enumerasi, Isolasi, dan Karakterisasi Stapylococcus aureus
Metode enumerasi, isolasi, dan karekterisasi Staphylococcus
aureus yang digunakan adalah metode Most Probable Number (MPN)
dari BAM (2001). Sebanyak 1 ml dari masing-masing pengenceran
sampel diinokulasikan ke tiga tabung berisi media trypticase soy broth
(TSB) + 10% NaCl. Tabung dengan pengenceran tertinggi harus
memberikan titik akhir/hasil yang negatif. Tabung-tabung diinkubasi
pada 35oC selama 4 hari ± 2 jam.
Tabung yang terlihat keruh harus divorteks terlebih dahulu dan
sebanyak 1 loop inokulum dari masing-masing tabung yang
menunjukkan pertumbuhan (keruh) ini dipupuk ke permukaan cawan
berisi media Baird-Parker (BP) agar yang permukaannya telah
memadat. Inokulum digoreskan di atas permukaan agar untuk
memperoleh koloni terisolasi dan diinkubasi terbalik pada 35oC selama
48 jam.
Dari setiap cawan yang menunjukkan pertumbuhan, pilih minimal
satu koloni yang tumbuh, yang diduga sebagai Staphylococcus aureus,
lalu dipindahkan ke BHI Broth untuk tes konfirmasi. Koloni yang
dipilih adalah koloni tipikal Staphylococcus aureus yakni berbentuk
bundar, halus, cembung, basah, diameter koloni 2-3 mm pada cawan
yang tidak padat pertumbuhannya, berwarna abu-abu kehitaman dengan
pinggiran sedikit putih keruh, dikelilingi oleh zona opaquedan
seringkali dengan zona terluar yang jernih, koloni mempunyai
konsistensi seperti mentega sampai seperti gum ketika disentuh dengan
jarum inokulasi. Terkadang, dari jenis pangan tertentu dan dari produk-
produk susu, dijumpai strain nonlipolitik yang memiliki penampakan
serupa, kecuali tidak ada zona apaquedan dan zona jernih.
Jumlah Staphylococcus aureus per gram sampel dilaporkan
sebagai MPN/gram berdasarkan tabel nilai-nilai MPN dengan tiga seri
tabung. Tabel nilai-nilai MPN dengan tiga seri tabung dapat dilihat pada
Lampiran 4. Selanjutnya dilakukan karekterisasi mikroba yang tumbuh
pada cawan berisi agar Baird-Parker dengan uji-uji di bawah ini.
44
f. Uji Aktivitas Koagulase (BAM, 2001)
Uji koagulase dilakukan dengan cara satu koloni tipikal presumtif
Staphylococcus aureus dari masing-masing cawan dipindahkan ke
dalam tabung-tabung kecil berisi 0.2-0.3 ml brain heart infusion (BHI)
broth dan diemulsikan seutuhnya. Sebanyak 1 loop suspensi BHI
diinokulasikan pada agar miring dengan medium TSA. Inkubasi kultur
BHI dan agar miring pada 35oC selama 18-24 jam. Kultur pada agar
miring dipertahankan pada suhu ruang untuk uji tambahan atau uji
lanjutan apabila uji koagulase diragukan hasilnya.
Sebanyak 0.5 ml plasma koagulase rekonstitusi dengan EDTA
ditambahkan ke dalam kultur BHI broth, dicampur seluruhnya,
diinkubasi pada 35oC dan diperiksa pembentukan gumpalan secara
periodik dengan periode lebih dari 6 jam. Tabung yang positif
mengandung Staphylococcus aureus koagulase positif adalah tabung
berisi gumpalan yang sempurna dan mantap berada di dasar tabung
ketika tabung digoyang atau dibalikkan. Pada tabung yang berisi
gumpalan sebagian (mengalami reaksi koagulase 2+ dan 3+) harus diuji
lebih lanjut. Pengujian dilakukan bersamaan dengan kultur positif dan
negatif yang telah diketahui. Semua kultur yang diduga Staphylococcus
aureus diberi pewarnaan Gram dan diamati di bawah mikroskop.
g. Uji Pewarnaan Gram (Harrigan, 1998)
� Siapkan lapisan tipis yang difiksasi-panas dari kultur berusia 18-24
jam pada gelas preparat.
� Genangi dengan larutan kristal violet selama 2 menit, pastikan
semua bagian lapisan tergenangi oleh larutan pewarna.
� Letakkan gelas preparat dengan sudut 45°, bilas sempurna larutan
kristal violet dengan air, kemudian genangi dengan iodium selama
1 menit.
� Buang larutan iodium, keringkan dengan kertas hisap lalu letakkan
dengan sudut 45°, bilas dengan etanol 95% hingga tidak ada lagi
sisa pewarna violet yang mengalir (sekitar 5 – 15 detik).
45
� Bilas dengan air, kemudian genangi dengan larutan safranin selama
15 detik.
� Bilas dengan air dan keringkan dengan kertas hisap.
h. Uji Aktivitas Katalase (Harrigan, 1998)
Diambil kultur dari TSA dengan menggunakan loop, letakkan
pada gelas preparat. Kemudian emulsikan dengan satu loop hidrogen
peroksida. Amati pembentukan gelembung-gelembung gas yang
mengindikasikan keberadaan katalase pada kultur yang di uji.
i. Uji Fermentasi Glukosa (BAM, 2001)
Inokulasikan kultur pada tabung fermentasi karbohidrat yang
mengandung glukosa (0,5%) dengan menggunakan loop inokulum.
Pastikan inokulum mencapai dasar tabung. Tutupi permukaan medium
dengan parafin steril paling sedikit dengan ketebalan 25 mm. Inkubasi
selama 5 hari pada suhu 35°C. Asam yang terproduksi secara anaerob
akan mengubah warna indikator menjadi kuning. Lakukan uji ini
bersamaan dengan kontrol (kultur positif, kultur negatif, dan medium).
j. Uji Fermentasi Mannitol (BAM, 2001)
Serupa dengan uji fermentasi glukosa, hanya saja menggunakan
mannitol sebagai karbohidrat. Lakukan juga pengujian bersama kontrol
(kultur positif, kultur negatif, dan medium).
46
Gambar 10. Diagram alir penelitian
Enumerasi dengan MPN
Konfirmasi dengan Agar Baird Parker + EY Telurit
Uji konfirmasi pewarnaan Gram
Uji konfirmasi aktivitas koagulase
Isolasi
Pengolahan data
Laporan
Uji konfirmasi aktivitas katalase, fermentasi glukosa, dan fermentasi mannitol
Persiapan alat dan bahan
Sampel terpilih dari warung
Isolat
Penentuan 30 sampel
Diskusi dengan pakar
Penetapan Risiko
47
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. RISIKO Staphylococcus aureus DALAM PANGAN TRADISIONAL
SIAP SANTAP
Risiko Staphylococcus aureus pada tiga puluh jenis pangan tradisional
siap santap hanya ditekankan pada unsur peluang kontaminasi, karena unsur
peluang dan dampak lainnya dianggap sebagai konstanta. Berdasarkan penetapan
peluang kontaminasi yang telah dilakukan, diperoleh hasil sebagaimana terlihat
dalam Tabel 19, sementara perinciannya dapat dilihat pada Lampiran 1.
Tabel 19. Peluang kontaminasi S. aureus pada 30 Pangan Tradisional Siap Santap (PTSS)
No. PTSS Nilai Peluang Kontaminasi 1 Sate jeroan 27 Sedang 2 Ayam goreng 27 Sedang 3 Nasi uduk 27 Sedang 4 Telur dadar 25 Sedang 5 Telur mata sapi 25 Sedang 6 Ikan tongkol sambal 25 Sedang 7 Ikan goreng 25 Sedang 8 Ikan asin teri goreng 25 Sedang 9 Soto daging 25 Sedang 10 Ayam suir di bubur ayam 25 Sedang 11 Martabak kacang 25 Sedang 12 Tahu goreng 25 Sedang 13 Karedok 25 Sedang 14 Telur asin 23 Sedang 15 Bakso 23 Sedang 16 Sate padang 23 Sedang 17 Rujak 23 Sedang 18 Tempe goreng 23 Sedang 19 Tempe bacem 23 Sedang 20 Mie ayam 23 Sedang 21 Soto mi 23 Sedang 22 Lele goreng pecel lele 21 Sedang 23 Pergedel kentang 21 Sedang 24 Gado-gado 21 Sedang 25 Ketoprak 21 Sedang 26 Pecel sayur 21 Sedang 27 Nasi kuning 21 Sedang 28 Rendang 21 Sedang 29 Nasi goreng 17 Rendah 30 Siomay 15 Rendah
48
Berdasarkan Tabel 19 di atas terlihat bahwa 28 pangan tradisional siap
santap yang dikaji memiliki peluang kontaminasi sedang, sedangkan sisanya
memiliki peluang kontaminasi rendah (yaitu sebanyak 2 jenis). Namun, jika
diurutkan berdasarkan nilai peluang, maka dapat terlihat urutan nilai yang cukup
beragam. Nilai peluang kontaminasi dapat dikelompokkan menjadi 6 kelompok
nilai, yaitu kelompok nilai 27, 25, 23, 21, 17, dan 15. Kelompok tertinggi, yaitu
kelompok nilai 27, terdiri dari sate jeroan, ayam goreng, dan nasi uduk. Kelompok
nilai 25 terdiri dari telur dadar, telur mata sapi, ikan tongkol sambal, ikan goreng,
ikan asin teri goreng, soto daging, ayam suir di bubur ayam, martabak kacang,
tahu goreng, dan karedok. Kelompok nilai 23 terdiri dari telur asin, bakso, sate
padang, rujak, tempe goreng, tempe bacem, mie ayam, dan soto mi. Kelompok
nilai 21 terdiri dari lele goreng pecel lele, pergedel kentang, gado-gado, ketoprak,
pecel sayur, nasi kuning, dan rendang. Sedangkan kelompok nilai 17 dan 15
masing-masing terdiri dari satu jenis PTSS, yaitu nasi goreng dan siomay.
Berdasarkan penetapan peluang kontaminasi (Lampiran 1), maka terlihat
ada 3 aspek yang meningkatkan peluang kontaminasi, yaitu aspek rekontaminasi,
adanya waktu inkubasi, dan matriks pangan. Demikian pula terlihat ada 1 aspek
yang menurunkan peluang kontaminasi, yaitu aspek proses pengolahan. Hal ini
mengonfirmasi bahwa modus keracunan Staphylococcus aureus adalah pada
pangan matang yang diolah dengan proses yang mampu menghancurkan
Staphylococcus aureus, namun kemudian mengalami rekontaminasi, baik dari
pekerja, lingkungan, maupun peralatan, yang kemudian mengalami waktu
inkubasi yang cukup hingga terbentuk enterotoksin yang dapat menyebabkan
keracunan pada orang yang mengonsumsi pangan tersebut.
Nasi uduk bersama dua jenis pangan tradisional siap santap lainnya
memiliki nilai peluang kontaminasi tertinggi dengan nilai sebesar 27, dan dipilih
sebagai sampel untuk uji verifikasi. Nasi uduk dipilih sebagai sampel uji verifikasi
dikarenakan adanya beberapa data penelitian lain tentang Staphylococcus aureus
pada nasi uduk sehingga dapat digunakan sebagai data tambahan pada tahap
penetapan risiko yang lebih rinci. Alasan lainnya adalah karena nasi uduk
merupakan jenis pangan tradisional siap santap yang banyak ditemukan di sekitar
tempat penelitian.
49
Berikut ini adalah pengembangan kerangka kajian risiko kualitatif untuk
Staphylococcus aureus dalam nasi uduk.
1. Peluang Kontaminasi
Peluang ini ditentukan dengan memperkirakan peluang terjadinya
kontaminasi sepanjang rantai pangan, yang meliputi bahan baku dan
produk, selama proses, penyimpanan, distribusi, dan penyiapan; sumber
kontaminasi; dan jalur kontaminasinya. Hal-hal yang harus
dipertimbangkan meliputi:
• Diagram skenario penanganan, pengolahan, distribusi, dan
penyajian
• Sumber kontaminasi
• Prevalensi dan distribusi mikroba
• Pengolahan, penyimpanan, distrubusi, dan pengolahan
• Praktek sanitasi pangan
• Program preventif sepanjang rantai pangan
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka peluang
kontaminasi dijabarkan dalam poin-poin di bawah ini.
a. Kontaminasi Awal Pada Bahan Mentah
Genus Staphylococcus aureus sebagian besar berasosiasi dengan
kulit dan membran mukosa hewan vertebrata berdarah panas, namun
sering juga diisolasi dari produk pangan, debu, dan air (Holt et al., 1994)
Penelitian yang dilakukan Normanno et al. (2005) menunjukkan
beberapa sampel yang telah terkontaminasi Staphylococcus, seperti
daging segar, produk daging, susu segar, susu olahan, keju, es krim,
produk telur, produk ikan, dan lainnya. Namun, Staphylococcus aureus
adalah mikroba kompetitor lemah dan pertumbuhannya mudah dihambat
oleh mikroba lainnya (Baird-Parker, 2000). Demikian juga Buckle et al.
(1978) menyatakan bahwa Staphylococcus aureus tidak berkompetisi
kuat dengan mikroba lainnya sehingga tidak berpengaruh nyata pada
bahan pangan mentah.
50
Bahan mentah utama yang digunakan pada pembuatan nasi uduk
meliputi beras, santan kelapa, tempe, dan telur. Kadar protein beras
adalah sekitar 6,9% (Dowd dan Jameson, 1925) dengan kondisi kering
(aw kurang dari 0,85); kadar protein telur adalah sekitar 11,9% (Dowd
dan Jameson, 1925), namun umumnya terkontaminasi dengan mikroba
lainnya, terutama Salmonella spp; sedangkan kadar protein tempe adalah
sekitar 18,3% (Soedarmo dan Sediaoetama, 1985 di dalam Koswara,
1992), namun kehadiran kapang pada tempe akan menghambat
pertumbuhan Staphylococcus aureus.
Dengan kondisi tersebut, maka peluang kontaminasi awal
Staphylococcus aureus pada bahan mentah adalah rendah. Dengan
demikian, peluang kontaminasi awal Staphylococcus aureus pada bahan-
bahan mentah untuk pembuatan nasi uduk diberi nilai 1.
b. Efektivitas Pengolahan
Gaman dan Sherington (1992) menyatakan bahwa Staphylococcus
aureus mudah mati karena panas, yaitu pemanasan pada suhu 66oC
selama 10 menit. Kondisi ini akan tercapai pada pengolahan nasi uduk
karena suhu yang digunakan adalah suhu tinggi dengan waktu yang lama.
Hal ini cukup untuk mereduksi Staphylococcus aureus karena
Staphylococcus aureus adalah bakteri yang sensitif terhadap pemanasan
meskipun enterotoksinnya tahan panas.
Oleh karena itu, pengolahan nasi uduk dapat dikatakan mampu
memberikan kondisi yang aman dari tertinggalnya sel-sel Staphylococcus
aureus yang mengalami kondisi subletal. Fardiaz (1990) menjelaskan
bahwa kondisi subletal adalah kondisi yang dapat terjadi karena sebagian
dari sel-sel mikroorganisme yang terdapat dalam makanan yang telah
mengalami proses pengolahan tersebut mungkin belum mati meskipun
tidak dapat hidup secara normal seperti sel-sel yang normal. Sel-sel
tersebut dikatakan mengalami kerusakan subletal, yaitu kerusakan sel
yang tidak mematikan, di mana sel mengalami stres atau sakit. Jika
kemudian nutrien dan kondisi lingkungan memungkinkan, sel-sel yang
51
sakit atau stres tersebut dapat kembali dan berkembang biak seperti
halnya sel-sel normal.
Dengan demikian, efektifitas pengolahan pada proses pembuatan
nasi uduk untuk mereduksi Staphylococcus aureus yang mungkin ada
pada bahan mentah dikatakan cukup efektif sehingga diberi nilai 1.
c. Peluang Terjadinya Rekontaminasi
Keberadaan Staphylococcus aureus baik pada bagian-bagian tubuh
manusia maupun pada lingkungan memberikan peluang untuk
mengkontaminasi pangan jika terjadi kontak pangan dengan manusia dan
atau dengan lingkungan. Pangan yang tidak terbungkus dan atau
mengalami kontak dengan manusia selama penyiapan akan lebih mudah
terkontaminasi daripada pangan yang dikemas dan atau disiapkan tanpa
kontak dengan tubuh manusia. Demikian juga frekuensi kontak pangan
dengan tubuh manusia dan atau lingkungan akan mempengaruhi tingkat
kontaminasi.
Buckle et al. (1978) menyatakan bahwa keracunan pangan oleh
Staphylococcus aureus umumnya berasosiasi dengan pangan matang
yang memerlukan proses penanganan oleh manusia. Penelitian yang
dilakukan Hartini (2001) dan Ruslan (2003) membuktikan bahwa
Staphylococcus aureus telah mencemari beberapa pangan tradisional siap
santap seperti gado-gado, nasi rames, soto ayam, touge goreng, dan lain-
lain. Hal ini kemungkinan terjadi karena pangan-pangan yang diuji telah
mengalami kontak dengan tubuh pedagang dan atau dengan lingkungan.
Bergdoll (1979) menyatakan bahwa sumber utama kontaminasi
Staphylococcus aureus pada pangan yang banyak berhubungan dengan
keracunan Staphylococcus adalah orang yang bekerja menangani pangan.
Staphylococcus aureus umumnya berpindah ke makanan dari sumber
manusia, misalnya orang yang menangani makanan, atau karena
kontaminasi silang dari sumber lainnya (seperti peralatan) yang
sebelumnya telah terkontaminasi oleh manusia (Eley, 1992). Gaman dan
Sherrington (1992) menyebutkan bahwa penanganan pangan dengan
52
tangan, yang tidak meggunakan peralatan memadai, barangkali
merupakan cara penyebaran yang paling umum, terutama jika orang yang
menangani pangan mengalami infeksi atau luka pada tangannya. Batuk
dan bersin dekat dengan pangan dapat menyebabkan kontaminasi, dan
rambut yang jatuh pada makanan atau menggantung (terurai) dekat
dengan makanan juga dapat menimbulkan bahaya. Hal ini diperkuat oleh
fakta bahwa Staphylococcus aureus merupakan mikroba alami yang ada
pada berbagai bagian tubuh manusia.
Pengamatan yang dilakukan pada praktek penyajian nasi uduk pada
warung-warung yang diuji produknya pun menunjukkan bahwa peluang
terjadinya rekontaminasi pada nasi uduk sangat besar, baik pada nasinya
maupun pada lauk pauknya seperti tempe orek, bihun, telur dadar iris,
dan lainnya. Hal ini karena selama penyajian begitu sering terjadi kontak
antara tangan dengan produk pangan yang disajikan. Selain itu, penjual
pun umumnya berbicara ketika menyiapkan nasi uduk sehingga ada juga
kemungkinan rekontaminasi dari saluran pernafasan. Peralatan yang
digunakan pun terlihat kurang bersih, seperti serbet yang selain
digunakan untuk membersihkan tangan juga digunakan untuk menyeka
meja. Demikian pula piring, sendok, dan garpu yang dicuci ala kadarnya
dengan air yang jumlahnya terbatas pun sangat mungkin menjadi sumber
rekontaminasi. Hal ini diperkuat dengan penelitian Kusumawardani
(2002) yang menunjukkan bahwa Staphylococcus aureus dapat
menempel pada permukaan stainless steel (yang umumnya bahan ini
merupakan bahan pembuatan sendok dan garpu). Selain itu, transaksi
langsung yang terjadi antara pedagang dan pembeli memungkinkan
adanya rekontaminasi dari uang yang digunakan.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka peluang terjadinya
rekontaminasi Staphylococcus aureus pada nasi uduk sangat besar, baik
dari manusia maupun dari lingkungan. Dengan demikian, peluang
rekontaminasi ini diberi nilai 5.
53
d. Suhu Penyimpanan
Berdasarkan pengamatan terhadap warung-warung penjualan nasi
uduk, nasi uduk biasanya disimpan di dalam termos nasi untuk menjaga
suhunya tetap hangat, meskipun ada beberapa warung yang tidak
melakukan hal yang demikian. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
Rawendra (2008) suhu rata-rata termos adalah 37°C. Hal ini berarti suhu
tersebut sangat mendukung pertumbuhan Staphylococcus aureus karena
suhu optimum pertumbuhan Staphylococcus aureus 30-37ºC (Holt et al.,
1994).
Dengan demikian, bila terjadi rekontaminasi Staphylococcus
aureus pada nasi uduk maupun pada lauknya, sangat besar
kemungkinannya bagi Staphylococcus aureus untuk melakukan
pertumbuhan cepat karena setidaknya dua hal. Pertama, nasi uduk dan
lauk tersebut telah bersih dari mikroba kompetitor sehingga
Staphylococcus aureus dapat tumbuh dengan baik pada nasi uduk
tersebut. Kedua, pertumbuhan pada nasi didukung oleh suhu yang sesuai
dengan suhu optimum pertumbuhan Staphylococcus aureus.
Rawendra (2008) melakukan penelitian yang menyimulasikan
pertumbuhan Staphylococcus aureus pada tiga jenis pangan, yaitu nasi
uduk yang disimpan pada suhu 37°C, serta soto ayam dan tumis buncis
yang disimpan pada suhu ruang. Berdasarkan penelitian tersebut,
diperoleh hasil bahwa pada nasi uduk terjadi pertumbuhan
Staphylococcus aureus yang lebih cepat daripada soto ayam dan tumis
buncis. Hal tersebut dijelaskan oleh Rawendra (2008) terjadi karena suhu
penyimpanan nasi uduk adalah suhu optimum yang mendukung
pertumbuhan Staphylococcus aureus.
Kesimpulan di atas didukung dengan penelitian Dewi (2008) yang
melakukan simulasi pertumbuhan Staphylococcus aureus pada nasi uduk
pada suhu rendah. Berdasarkan penelitian tersebut, diketahui bahwa
penyimpanan pada suhu 5ºC tidak memperlihatkan pertumbuhan
Staphylococcus aureus bahkan jumlah bakteri cenderung konstan. Hal ini
54
juga terjadi pada penyimpanan suhu 10ºC yang tidak memperlihatkan
pertumbuhan sel Staphylococcus aureus yang signifikan.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka suhu penyimpanan nasi uduk
sangat mendukung pertumbuhan Staphylococcus aureus. Dengan
demikian, aspek suhu penyimpanan nasi uduk diberi nilai 5.
e. Waktu Inkubasi
Berdasarkan penelitian Rawendra (2008) yang melakukan simulasi
pertumbuhan Staphylococcus aureus pada nasi uduk diketahui bahwa
Staphylococcus aureus dapat meningkat hingga 7,39 Log CFU/g dengan
waktu inkubasi selama 12 jam (dengan konsentrasi awal 3 Log CFU/g)
atau meningkat hingga 8,22 Log CFU/g (dengan konsentrasi awal 5 Log
CFU/g). Jumlah ini sudah cukup bagi Staphylococcus aureus untuk
membentuk enterotoksin dalam pangan, karena menurut Buckle et al.
(1978) jumlah Staphylococcus aureus yang diperlukan untuk membentuk
enterotoksin dalam suatu pangan adalah sekitar 106 sel/g pangan.
Berdasarkan penelitiannya tersebut, Rawendra (2008)
merekomendasikan waktu maksimum penyimpanan pada suhu ruang
untuk meminimalisasikan risiko keracunan pangan adalah 6 jam.
Sementara itu, FSIS (2007) merekomendasikan untuk tidak menyimpan
pangan-pangan yang mudah rusak seperti daging, unggas, telur, dan
casserole lebih dari 2 jam pada suhu ruang. Berdasarkan kedua
rekomendasi ini, maka pada penelitian ini ditetapkan bahwa pangan yang
dikaji dikatakan telah memiliki waktu inkubasi yang cukup berbahaya
jika telah disimpan lebih dari 3 jam pada suhu ruang.
Berdasarkan pengamatan terhadap aktivitas pedagang nasi uduk,
secara umum pedagang nasi uduk beroperasi dari pagi hari (sekitar jam 6)
hingga menjelang siang, walaupun ada juga yang selesai beroperasi lebih
cepat dari itu. Waktu inkubasi ini cukup untuk Staphylococcus aureus
melakukan pertumbuhan sebagaimana simulasi yang dilakukan oleh
Rawendra (2008), atau mungkin lebih besar mengingat sumber
kontaminasi pada keadaan sebenarnya tidak hanya berasal dari
55
kontaminasi awal, tetapi juga dari manusia dan lingkungan sepanjang
waktu penyimpanan.
Dengan demikian, waktu inkubasi yang cukup lama ini
berkontribusi besar pada tingkat kontaminasi Staphylococcus aureus
pada nasi uduk, sehingga diberi nilai 5.
f. Matriks Pangan
Staphylococcus aureus merupakan kompetitor lemah terhadap
mikroba lainnya. Akan tetapi, pada pangan matang atau pangan bergaram
yang bakteri lainnya telah dihancurkan dengan panas atau dihambat
pertumbuhannya dengan garam, Staphylococcus aureus dapat
berkembang sampai pada level yang membahayakan (Buckle et al.,
1978).
Penelitian yang dilakukan Dewi (2008) membuktikan bahwa
pertumbuhan Staphylococcus aureus di soto ayam dan nasi uduk lebih
cepat daripada di tumis buncis, karena pada tumis buncis kebutuhan
nutrisi berupa protein atau karbohidrat tidak tersedia sehingga
pertumbuhan yang terjadi tidak optimum. Penelitian yang dilakukan
Dewi (2008) hanya dilakukan pada bagian nasi saja, sementara
berdasarkan pengamatan di lapangan, dalam penyajiannya, seringkali
nasi uduk disajikan bersama telur dan tempe orek. Kedua lauk ini
merupakan matriks protein yang mendukung pertumbuhan
Staphylococcus aureus.
Selain itu, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa nasi
uduk yang telah mengalami proses pengolahan telah bersih dari mikroba
kompetitor, sehingga jika terjadi rekontaminasi Staphylococcus aureus
maka mikroba tersebut dapat tumbuh dengan baik. Berdasarkan
penjelasan ini, maka matriks nasi uduk tergolong matriks pangan tipe 3,
yaitu matriks pangan yang cukup untuk mendukung pertumbuhan
Staphylococcus aureus. Dengan demikian, aspek matriks pangan ini
diberi nilai 5.
56
g. Pemanasan Ulang
Berdasarkan pengamatan dilapangan diketahui bahwa nasi uduk
yang umum ditemukan adalah untuk dijual sekali jalan. Maksudnya, para
pedagang hanya akan menghentikan usahanya jika nasi uduk mereka
telah habis, sehingga sangat rendah adanya kemungkinan pemanasan
ulang.
Dengan demikian, pemanasan ulang dianggap tidak pernah ada
sehingga tidak berpengaruh dalam penurunan jumlah cemaran yang ada
pada sampel, sehingga aspek pemanasan ulang ini diberi nilai 5.
Berdasarkan penjelasan di atas, jumlah nilai peluang kontaminasi
adalah 27 (Tabel 20). Berdasarkan Tabel 18, maka nilai tersebut berarti
peluang kontaminasi Staphylococcus aureus pada nasi uduk adalah sedang.
Dengan demikian nilai skor peluang untuk peluang kontaminasi adalah 3,
dengan bobot 0,2 maka memiliki nilai skor terbobot sebesar 0,6.
Tabel 20. Peluang kontaminasi Staphylococcus aureus pada nasi uduk
No Aspek Risiko Nilai 1 Peluang kontaminasi awal Staphylococcus aureus pada
bahan mentah 1
2 Efektivitas pengolahan dalam menurunkan jumlah Staphylococcus aureus
1
3 Peluang terjadinya rekontaminasi (dari tangan, udara terbuka, dan lainnya)
5
4 Suhu penyimpanan yang mendukung pertumbuhan Staphylococcus aureus
5
5 Peluang adanya waktu inkubasi 5 6 Matriks pangan yang mendukung pertumbuhan
Staphylococcus aureus 5
7 Ada tidaknya proses pemanasan ulang 5 Peluang adanya Staphylococcus aureus pada nasi uduk 27
2. Peluang Pemaparan
Peluang pemaparan diperkirakan berdasarkan ambang batas kritis
pemaparan atau jumlah mikroba yang diperlukan untuk menyebabkan
penyakit atau menyebabkan pengaruh buruk terhadap kesehatan. Peluang
pemaparan diperkirakan dengan mempertimbangkan survival mikroba,
efektifitas dan pengendalian proses untuk menghambat atau menginaktivasi
57
bahaya, konsumen beserta pola konsumsinya, serta variasi dan distribusi
populasi yang rentan.
Menurut Buckle et al. (1978) jumlah Staphylococcus aureus yang
diperlukan untuk membentuk enterotoksin dalam suatu pangan adalah
sekitar 106 sel/g pangan. Sumber lain (Forsythe, 2000 di dalam Forsythe,
2002) menyatakan bahwa jumlah Staphylococcus aureus yang diperlukan
untuk membentuk enterotoksin dalam suatu pangan adalah 105 - <106 sel/g.
Sementara jumlah minimal toxin yang menyebabkan keracunan adalah 0,5-
5 µg (Forsythe, 2000 di dalam Forsythe, 2002).
Secara umum pengolahan nasi uduk maupun lauknya mampu
menghancurkan Staphylococcus aureus, namun rendahnya praktetk sanitasi
menyebabkan mudahnya Staphylococcus aureus merekontaminasi baik nasi
uduk maupun lauknya, baik dari tubuh manusia, lingkungan, maupun
peralatan. Jika Staphylococcus aureus telah mengkontaminasi nasi uduk
atau lauknya, maka bakteri ini dapat bertahan dalam nasi uduk atau lauk
tersebut karena tersedia cukup nutrisi untuk pertumbuhan, sehingga ada
peluang untuk tumbuh hingga jumlah yang membahayakan.
Nasi uduk biasa dikonsumsi oleh segala golongan umur sehingga
mungkin memamar populasi rentan seperti orang tua, ibu hamil, dan orang
sakit, bahkan balita. Dengan demikian, peluang pemaparan ini dinyatakan
tinggi dengan nilai skor peluang sebesar 4, dengan bobot 0,2 maka memiliki
nilai skor terbobot sebesar 0,8.
3. Peluang Penyebaran
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran mikroba patogen dan
penyebaran sekundernya penting untuk menentukan dampak penyakit dan
pengontrolannya. Potensi penyebaran tingkat pemaparan secara luas dan
penyebarab sekundernya dari tempat asal kejadian penyakit dipengaruhi
oleh metode distribusi pangan dan biologi penyakit atau mikroba.
Keracunan Staphylococcus aureus merupakan kasus intoksikasi
yang disebabkan oleh enterotoksin, dan bukan oleh sel hidupnya, sehingga
kasus ini tidak menular. Dengan demikian, peluang penyebaran dapat
58
diabaikan sehingga nilai skor peluang untuk peluang penyebaran adalah 1,
dengan bobot 0,2 maka memiliki nilai skor terbobot sebesar 0,2.
4. Spektrum dan Dampak Kesehatan
Dampak biologis dari bahaya, termasuk dosis-respon, dapat
diketahui dengan mencatat kisaran populasi yang potensial terpengaruh dan
dampak penyakit terhadap kesehatan dan kualitas hidup. Keparahan dampak
bisa bervariasi berdasarkan kelompok umur, misalnya anak-anak versus
dewasa versus orang tua dan kondisi yang bersangkutan (misalnya individu
dengan immuno compromised).
Keracunan Staphylococcus aureus menyerang populasi yang luas
dengan dampak kesehatan yang sedang berupa diare, pusing, muntah-
muntah, dan lainnya. Menurut Pelczar dan Chan (2005), pada umumnya
gejala keracunan enterotoksin stafilokoki berupa mual, pusing, muntah, dan
diare. Jay (2000) menyatakan bahwa tingkat kematian karena keracunan ini
rendah atau nol. Dia juga menyatakan bahwa pengobatannya cukup dengan
istirahat dan memelihara keseimbangan cairah tubuh. Buckle et al. (1978)
menambahkan bahwa waktu yang diperlukan untuk penyembuhan
umumnya cukup cepat (sekitar satu hari).
Meskipun demikian, dampak keracunan ini tentunya tidak
dikehendaki oleh konsumen karena sedikit banyak akan mengganggu
aktivitas keseharian mereka. Dengan demikian, dampak spektrum dan
kesehatan dikatakan sedang dengan nilai skor dampak untuk dampak
spektrum adalah 3, dengan bobot 0,2 maka memiliki nilai skor terbobot
sebesar 0,6.
5. Dampak Ekonomi
Kajian mencakup dampak ekonomi akibat perawatan yang
dilakukan/diharapkan, eradikasi penyakit, kehilangan pekerjaan akibat sakit,
kehilangan perdagangan dan penjualan dan kerugian finansial jika suatu
pangan yang mempunyai nilai ekonomis diketahui berisiko tinggi serta
59
biaya-biaya lain yang berhubungan dengan terjadinya risiko seperti biaya
inspeksi dan lain-lain.
Dampak ekonomi keracunan Staphylococcus aureus berbeda antara
produsen maupun konsumen tergantung skala ekonomi industri yang
bersangkutan. FSIS (Undate) melaporkan bahwa di Amaerika Serikat telah
terjadi beberapa kali penarikan produk yang kemungkinan tercemar
Staphylococcus aureus, seperti 340 pon daging ham dan daging sapi asap
pada tahun 2005, 664 pon daging ham pada tahun 2006, dan 330 pon sosis
siap santap pada tahun 2007. Namun, untuk kasus nasi uduk, dampak
ekonomi tidak akan terlalu tinggi mengingat skala penjualan industri jasa
boga tradisional tidaklah terlalu besar. Sehingga kalaupun terjadi
pemusnahan produk, maka hal itu tidak akan menyebabkan kerugian besar
bagi produsen.
Adapun bagi konsumen, seperti yang telah dijelaskan pada dampak
kesehatan bahwa menurut Jay (2000) pengobatan karena keracunan
Staphylococcus aureus cukup dengan istirahat dan memelihara
keseimbangan cairah tubuh. Dengan demikian, efek ini tidak akan
berpengaruh nyata secara ekonomi baik terhadap produsen maupun
konsumen. sehingga dampak ekonomi dikatakan rendah. Nilai skor dampak
ekonomi adalah 2, dengan bobot 0,1 maka memiliki nilai skor terbobot
sebesar 0,2.
6. Dampak Lingkungan
Dampak lingkungan merupakan akibat dari kemungkinan
berpindahnya mikroba patogen ke ekosistem yang dikaji, misalnya
pengaruhnya terhadap spesies lain. Potensi dampak negatif terhadap
lingkungan akibat manajemen risiko misalnya penggunaan desinfektan,
eradikasi penyakit, atau pembersihan serta hubungannya dengan peraturan
perlindungan lingkungan yang berlaku juga perlu dipertimbangkan.
Keracunan Staphylococcus aureus dapat diabaikan karena
Staphylococcus aureus merupakan mikroba alami yang ada pada
lingkungan, bahkan memiliki kapasitas kompetisi rendah dengan mikroba-
60
mikroba lainnya. Dengan demikian, nilai skor dampak lingkungan adalah 1,
dengan bobot 0,1 maka memiliki skor terbobot sebesar 0.1.
Total skor terbobot dari ketiga peluang dan ketiga dampak di atas sebesar
2,5 (Tabel 21) yang berdasarkan Tabel 9 maka diketahui bahwa peluang risiko
Staphylococcus aureus pada nasi uduk adalah sedang.
Tabel 21. Matriks kombinasi peringkat dan perkiraan risiko Staphylococcus aureus pada nasi uduk
Skor peluang/dampak Peluang/
dampak
Bobot
Konta-
minasi
(X)
Pema-
paran
(Y)
Penye-
baran
(Z)
Spek-
trum
(K)
Eko-
nomi
(L)
Ling-
kungan
(M)
Skor
terbobot
Kontaminasi 0.2 (a) S=3 0.6
Pemaparan 0.2 (b) S=4 0.8
Penyebaran 0.2 (c) A=1 0.2
Spektrum 0.2 (d) S=3 0.6
Ekonomi 0.1 (e) R=2 0.2
Lingkungan 0.1 (f) A=1 0.1
Total skor terbobot 2.5
Risiko keseluruhan: SEDANG
Penetapan risko terhadap 29 pangan tradisional lainnya serupa dengan cara
di atas, bahkan untuk peluang pemaparan, peluang penyebaran, spektrum dan
dampak kesehatan, dampak ekonomi, dan dampak lingkungan dapat dianggap
sebagai konstanta. Dengan demikian, pembeda status risiko keracunan
Staphylococcus aureus dari 30 pangan tradisional siap santap ini adalah pada
peluang kontaminasi seperti yang tertuang dalam Tabel 19. Penjabaran peluang
kontaminasi untuk 29 pangan tradisional siap santap lainnya dapat dilihat pada
Lampiran 1. Bila hasil penetapan peluang kontaminasi dari 30 pangan tradisional
siap santap (termasuk nasi uduk) tersebut dimasukkan ke dalam matriks skor
terbobot, maka untuk PTSS dengan peluang kontaminasi sedang akan diperoleh
kategori risiko keseluruhan yang sedang. Adapun PTSS dengan peluang
kontaminasi yang rendah, maka akan memiliki kategori risiko keseluruhan yang
rendah.
Tidak adanya PTSS yang memiliki risiko Staphylococcus aureus yang
tinggi dikarenakan bahaya keracunan Staphylococcus aureus relatif lebih kecil
61
dibandingkan dengan bahaya bakteri patogen lainnya, bahkan beberapa patogen
dapat menyebabkan kematian dalam jangka waktu singkat. Sementara menurut
Pelczar dan Chan (2005), pada umumnya gejala keracunan enterotoksin
stafilokoki hanya berupa mual, pusing, muntah, dan diare. Jay (2000) juga
menyatakan bahwa tingkat kematian karena keracunan ini rendah atau nol. Dia
juga menyatakan bahwa pengobatannya cukup dengan istirahat dan memelihara
keseimbangan cairah tubuh. Buckle et al. (1978) menambahkan bahwa waktu
yang diperlukan untuk penyembuhan umumnya cukup cepat (sekitar satu hari).
Meskipun demikian, dampak keracunan ini tentunya tidak dikehendaki oleh
konsumen.
Selanjutnya, untuk melakukan verifikasi dari penetapan risiko di atas,
maka dilakukan pengujian laboratorium untuk mengevaluasi keberadaan
Staphylococcus aureus koagulase positif pada nasi uduk.
B. EVALUASI KEBERADAAN Staphylococcus aureus KOAGULASE
POSITIF PADA NASI UDUK
Berdasarkan penetapan risiko Staphylococcus aureus pada berbagai
PTSS, khususnya pada nasi uduk, selanjutnya dilakukan evaluasi keberadaan
Staphylococcus aureus koagulase positif pada nasi uduk yang dijajakan oleh
pelaku usaha untuk memverifikasi penetapan peluang kontaminasi pada saat
penetapan risiko dengan keadaan sesungguhnya. Untuk melakukan verifikasi ini
maka dilakukan pengujian labolatorium berupa enumerasi, isolasi, dan
karakterisasi Staphylococcus aureus koagulase positif pada nasi uduk.
Nasi uduk yang akan digunakan dalam tahap verifikasi ini diambil dari
enam warung yang berada di sekitar kampus IPB sebanyak dua kali ulangan.
Setiap ulangan diambil sebanyak lima sampel sehingga total sampel dari tiap
warung adalah sepuluh sampel. Enumerasi, isolasi, dan karakterisasi
Staphylococcus aureus yang dilakukan mengacu pada metode BAM (2001)
dengan modifikasi. Staphylococcus aureus yang dievaluasi keberadaanya adalah
Staphylococcus aureus koagulase positif karena diduga bahwa Staphylococcus
aureus yang menghasilkan enterotoksin adalah Staphylococcus aureus yang
bersifat koagulase positif. Jay (2000) menyatakan bahwa pengujian yang telah
62
berlangsung lama secara menyakinkan membuktikan bahwa strain stafilokoki
koagulase positif adalah penghasil enterotoksin. Berikut ini penjelasan uji-uji
yang digunakan.
1. Enumerasi Semi Kuantitaif dengan MPN
Enumerasi semi kuantitatif dilakukan dengan metode Most Probable
Number (MPN). Uji MPN yang dilakukan menggunakan tiga seri
pengenceran dengan medium Trpticase Soy Broth (TSB) dengan tambahan
10% NaCl. NaCl digunakan sebagai inhibitor terhadap bakteri lainnya yang
umumnya tidak tahan garam dalam konsentrasi tinggi, sementara
Staphylococcus aureus adalah bakteri yang tahan garam. Jay (2000)
mengatakan bahwa meskipun Staphylococcus aureus dapat tumbuh baik
pada media tanpa NaCl, Staphylococcus aureus dapat tumbuh dengan baik
pada konsentrasi garam 7-10%, dan beberapa strain dapat tumbuh pada
konsentrasi garam 20%. Hasil pertumbuhan positif Staphylococcus aureus
berupa perubahan medium menjadi keruh dan/atau adanya endapan putih
seperti terlihat pada Gambar 11 dan Gambar 12.
Gambar 11. Tabung-tabung MPN yang keruh karena pertumbuhan Staphylococcus aureus
Tabung jernih
Tabung keruh
63
Gambar 12. Timbulnya endapan putih menunjukkan pertumbuhan Staphylococcus aureus
2. Isolasi
Setelah tahap enumerasi, dilakukan tahap isolasi Staphylococcus
aureus dari tabung MPN. Tahap ini dimulai dengan menumbuhkan
Staphylococcus aureus pada agar Baird-Parker yang diperkaya dengan Egg
Yolk Telurit. Robinson et al. (2000) mengatakan bahwa kuning telur dan
telurit digunakan untuk diagnostik, sedangkan litium klorida dan potasium
telurit digunakan sebagai inhibitor selektif. Harrigan (1998) menjelaskan
bahwa potasium telurit menghambat pertumbuhan bakteri Gram negatif.
Koloni yang dipilih adalah koloni tipikal Staphylococcus aureus
yakni berbentuk bundar, halus, cembung, basah, diameter koloni 2-3 mm
pada cawan yang tidak padat pertumbuhannya, berwarna abu-abu
kehitaman dengan pinggiran sedikit putih keruh, dikelilingi oleh zona
opaquedan seringkali dengan zona terluar yang jernih, koloni mempunyai
konsistensi seperti mentega sampai seperti gum ketika disentuh dengan
jarum inokulasi (Gambar 13 dan Gambar 14). Warna hitam adalah hasil
reduksi garam telurit (potasium telurit), metabolisme kuning telur
menghasilkan zona jernih disekitar koloni (Baird-Parker, 2000; Minor dan
Marth, 1976), sedangkan endapan putih di dalam zona jernih adalah hasil
pengendapan garam kalsium dan magnesium (Baird-Parker, 2000).
Endapan putih
64
Gambar 13. Cawan berisi agar Baird-Parker yang telah ditumbuhi Staphylococcus aureus dengan koloni berwarna hitam
Gambar 14. Penampakan koloni Staphylococcus aureus pada agar Baird-Parker
Kemudian, koloni terpilih dipindah ke dalam agar miring Tryton
Soya Agar (TSA) sebagai isolat untuk uji karakterisasi (Gambar 15).
Karakterisasi yang dilakukan meliputi uji pewarnaan Gram, uji koagulase,
uji katalase, uji fermentasi glukosa, dan uji fermentasi manitol.
Zona opaq
Zona jernih
Zona putih
65
Gambar 15. Isolat Staphylococcus aureus pada TSA miring
3. Karakterisasi
Karakterisasi pertama yang dilakukan adalah pewarnaan Gram.
Bakteri Staphylococcus aureus adalah bakteri Gram positif dengan bentuk
kokus (bulat) bergerombol (Gambar 16). Gram positif tampak dari sel yang
berwarna ungu.
Gambar 16. Penampakan sel Gram (+) dan bulat bergerombol
66
Karekterisasi utama Staphylococcus aureus penghasil enterotoksin
adalah aktivitas koagulasenya. Koagulase adalah enzim yang dapat
menyebabkan menggumpalnya plasma darah. Pada penelitian ini digunakan
plasma kelinci dengan EDTA sebagai target bagi aktivitas koagulase yang
dihasilkan Staphylococcus aureus. Hasil positif ditunjukkan dengan
menggumpalnya plasma kelinci (Gambar 17).
Gambar 17. Gumpalan plasma kelinci pada uji koagulase
Karakterisasi berikutnya adalah uji aktivitas katalase.
Staphylococcus aureus adalah bakteri katalase positif yang menghasilkan
enzim katalase yang berperan dalam pengolahan oksigen dalam sel. Fardiaz
(1992) menjelaskan bahwa setiap bakteri mempunyai suatu enzim yang
tergolong flavoprotein yang dapat bereaksi dengan oksigen membentuk
senyawa-senyawa beracun, yaitu H2O2 dan suatu radikal bebas yaitu O2-*
sebagai berikut:
Flavoprotein H2O2 + O2-*
Bakteri yang bersifat aerobik dan bersifat anaerobik tetapi tidak
sensitif terhadap oksigen (aerotoleran) mempunyai enzim-enzim yaitu
superoksida dismutase yang memecah radikal bebas tersebut, dan enzim
katalase yang memecah H2O2 sehingga menghasilkan senyawa-senyawa
akhir yang tidak beracun. Reaksinya dapat dituliskan sebagai berikut:
+ O2
(+)
(-)
67
2O2-* + 2H+ H2O2 + O2
2H2O2 2H2O + O2
Gas yang dihasilkan dilepaskan sebagai gelembung-gelembung gas
yang teramati secara kasat mata (Gambar 18).
Gambar 18. Gelembung-gelembung gas pada uji katalase
Uji terakhir adalah uji fermentasi glukosa dan mannitol.
Staphylococcus aureus adalah bakteri yang mampu melakukan fermentasi
bila lingkungan kurang oksigen. Pada percobaan ini lingkungan kurang
oksigen dibentuk dengan melapisi medium fermentasi dengan parafin cair
lalu diinkubasi selama lima hari pada suhu 35ºC. Hasil positif ditandai
dengan berubahnya warna medium yang awalnya merah keunguan menjadi
kuning karena berubahnya pH sebagai akibat fermentasi asam. Indikator
yang digunakan adalah bromkresol purple, yang memiliki kisaran pH 5.2-
6.8 (kuning-purple) (Harjadi, 1986) sehingga manjadi kuning pada kondisi
asam (Gambar 19).
Gelembung udara
Superoksida dismutase
Katalase
68
Gambar 19. Perubahan warna media pada uji fermentasi
Berdasarkan enumerasi, isolasi, dan karakterisasi yang dilakukan diperoleh
sekumpulan data yang akan dijelaskan sebagai berikut.
1. Jumlah Presumtif Staphylococcus aureus dalam Nasi Uduk
a. Keberadaan Staphylococcus aureus dalam Nasi Uduk
Jumlah presumtif Staphylococcus aureus dari tiap-tiap warung
pada beberapa selang waktu pengamatan disajikan pada Tabel 22,
sedangkan visualisasinya dalam bentuk grafik disajikan pada Gambar 20.
Jumlah Presumtif S. aureus pada berbagai waktu penyimpanan
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
7,00
8,00
6 8 10 12 14 16 18
Jam pengujian
Lo
g M
PN
/g
Warung 1 Warung 2 Warung 3 Warung 4 Warung 5 Warung 6
Gambar 20. Grafik jumlah presumtif Staphylococcus aureus dari 6 warung pengujian
Warna kuning menunjukkan hasil positif
69
Tabel 22. Jumlah presumtif Staphylococcus aureus Jumlah presumtif S. aureus (Log MPN/g) pada jam- Warung
8 10 12 14 16 1 3,63 4,42 5,08 5,83 6,89 2 2,36 3,36 4,77 3,18 5,29 3 4,44 3,63 4,16 4,11 4,12 4 3,38 3,83 4,53 4,20 6,54 5 4,37 5,29 6,22 6,93 6,04 6 3,92 4,18 5,40 5,77 6,51
Berdasarkan Tabel 22 dan Gambar 20 di atas, terilhat bahwa
secara umum sampel dari setiap warung telah tercemar oleh
Staphylococcus aureus. Cemaran ini mungkin berasal dari manusia
maupun peralatan karena selama penyajian seringkali terjadi kontak
antara tangan penjual dengan produk. Demikian juga peralatan yang
digunakan relatif tidak bersih. Jumlah cemaran selama selang waktu
penyimpanan dari jam 8 pagi sampai jam 16 sore dari 6 warung yang
diuji berkisar dari 2,36 sampai dengan 6,93 Log MPN/g.
Berdasarkan tabel tersebut juga terlihat bahwa terjadi
peningkatan jumlah bakteri selama waktu penyimpanan yang
menunjukkan terjadinya pertumbuhan Staphylococcus aureus dalam nasi
uduk. Bahkan, dari keenam warung tersebut, nasi uduk dari warung 5
telah menunjukkan angka 5,29 Log MPN/g pada jam 10, suatu jumlah
yang diduga memungkinkan bagi Staphylococcus aureus untuk
membentuk enterotoksin bila diasumsikan bahwa jumlah minimum
Staphylococcus aureus yang dibutuhkan untuk membentuk toksin adalah
105 sel/g. Pada jam 12, nasi uduk dari warung 1, 5, dan 6 telah memiliki
kandungan Staphylococcus aureus yang diduga memungkinkan untuk
membentuk enterotoksin, yaitu 5,08; 6,22; dan 5,40 Log MPN/g.
Sementara pada akhir waktu pengujian (jam 16) hanya satu warung
(warung 3) yang tidak menunjukkan kandungan Staphylococcus aureus
pada nasi uduk yang diduga memungkinkan untuk membentuk
enterotoksin.
Hasil lain yang diperoleh dari tahap ini adalah bahwa jumlah
Staphylococcus aureus dari setiap warung untuk setiap jam pengujian
menunjukkan jumlah yang bervariasi. Warung 1 dan warung 5 secara
70
umum menunjukkan jumlah Staphylococcus aureus yang lebih tinggi
daripada warung lainnya. Berdasarkan pengamatan di lapangan, warung
1 adalah warung yang menunjukkan kontak tangan dengan produk paling
tinggi, sementara pada warung 5 seorang pedagangnya terlihat memiliki
penyakit kulit yang menunjukkan rendahnya praktek sanitasi. Hal ini
menguatkan dugaan bahwa cemaran Staphylococcus aureus pada nasi
uduk kemungkinan berasal dari kontaminasi oleh pekerja. Sementara itu,
warung 3 merupakan warung dengan jumlah Staphylococcus aureus
paling rendah. Hal ini karena berdasarkan pengamatan di lapangan,
warung 3 menunjukkan sanitasi pekerja yang cukup baik.
b. Rekomendasi Waktu Penyimpanan Nasi Uduk
Jika diasumsikan bahwa seluruh nasi uduk yang diuji ini dibuat
pada jam 6 pagi, maka hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat
sampel yang dengan penyimpanan selama 4 jam (jam 10) telah
mengandung Staphylococcus aureus mencapai jumlah lebih dari 5 Log
MPN/g (Warung 5), sehingga diduga berpeluang menyebabkan
keracunan Staphylococcus jika dikonsumsi.
Jika dibandingkan dengan penelitian Rawendra (2008) yang
merekomendasikan batas aman penyimpanan pangan siap santap pada
suhu ruang selama tidak lebih dari 6 jam (Tabel 23), maka data pada
penelitian ini menunjukkan bahwa waktu 6 jam telah cukup untuk
menjadikan pangan siap santap tidak aman lagi untuk dikonsumsi.
Penyimpanan nasi uduk selama 6 jam pada penelitian ini (yang diamati
pada selang waktu jam 12-14) menunjukkan bahwa tidak semua nasi
uduk yang diuji mengandung Staphylococcus aureus di bawah jumlah
aman. Jumlah aman yang dimaksud adalah jumlah yang diduga belum
mampu menghasilkan toksin. Hal ini jika diasumsikan bahwa jumlah
minimum Staphylococcus aureus yang diperlukan untuk membentuk
toksin adalah 5 Log MPN/g). Warung-warung yang menunjukkan bahwa
penyimpanan selama 6 jam telah mampu memberi kesempatan bagi
71
Staphylococcus aureus untuk tumbuh sampai jumlah yang diduga mampu
membentuk toksin adalah warung 1, 5, dan 6.
Tabel 23. Data simulasi pertumbuhan Staphylococcus aureus pada nasi uduk (Rawendra, 2008)
Jumlah Staphylococcus aureus (Log CFU/g) Waktu Penyimpanan
Inokulasi awal 3 Log CFU/g
Inokulasi awal 5 Log CFU/g
0 3,10 5,09 2 4,19 5,66 4 5,21 6,53 6 6,50 7,76 8 6,95 8,03 10 7,16 8,05 12 7,39 8,22 24 7,49 8,77
Perbedaan hasil tersebut disebabkan karena pada penelitian
Rawendra (2008) pertumbuhan Staphylococcus aureus yang terjadi pada
nasi uduk adalah pertumbuhan simulasi, yaitu pertumbuhan hasil dari
penginokulasian Staphylococcus aureus pada nasi uduk buatan sendiri,
lalu disimpan di lingkungan labolatorium yang tentunya lebih baik dari
pada lingkungan penjualan nasi uduk sebenarnya. Demikian pula
simulasi yang dilakukan memungkinkan pencegahan kontak tangan
antara peneliti dengan nasi uduk sehingga peluang kontaminasi selain
dari inokulasi adalah rendah. Hal ini mengakibatkan jumlah
Staphylococcus aureus pada penelitian ini melebihi dari rekomendasi
penyimpanan yang diajukan oleh Rawendra (2008).
Selain itu, pada kondisi sebenarnya, nasi uduk seringkali
disajikan dengan lauk pauk yang mungkin juga telah terkontaminasi
Staphylococcus aureus, bahkan lauk pauk seperti tempe orek dan telur
dadar iris merupakan matriks yang lebih bagi pertumbuhan
Staphylococcus aureus daripada matriks nasinya. Dengan demikian,
rekomendasi waktu 6 jam yang diberikan Rawendra (2008) masih belum
cukup untuk mencegah keracunan Staphylococcus aureus pada nasi uduk.
Terlebih FSIS (2007) merekomendasikan untuk tidak menyimpan
pangan-pangan yang mudah rusak (perishable) lebih dari 2 jam pada
suhu ruang.
72
c. Sumber Kontaminasi Staphylococcus aureus dalam Nasi Uduk
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa sampel nasi yang diuji di
dapatkan dengan tambahan lauk pauk seperti tempe orek, bihun, dan telur
dadar suir, maka ada kemungkinan bahwa Staphylococcus aureus yang
terdeteksi pada penelitian ini berasal dari lauk pauknya. Namun, terlepas
dari manakah Staphylococcus aureus yang terdeteksi (apakah dari nasi
atau dari lauk), maka sumber utama yang diduga sebagai sumber
kontaminasi adalah pedagang yang menangani pangan.
Hal ini diperkuat dengan pernyataan Bergdoll (1979) yang
menjelaskan bahwa sumber utama kontaminasi Staphylococcus aureus
pada pangan yang banyak berhubungan dengan keracunan
Staphylococcus adalah orang yang bekerja menangani pangan. Contoh
yang diberikan dalam hal ini adalah pangan yang telah dipanaskan
dengan cukup selama pengolahan untuk menghancurkan Staphylococcus,
misalnya ham panggang, maka keracunan pangan yang berkaitan dengan
ham panggang kebanyakan adalah karena hasil kontaminasi dari orang
yang mengiris ham. Demikian pula peralatan dapat menjadi sumber
kontaminasi, seperti yang pernah terjadi pada suatu kasus keracunan
Staphylococcus yang disebabkan karena ham panggang, ternyata pada
mesin pemotong ham ditemukan banyak Staphylococcus
enterotoksigenik yang sama dengan yang ditemukan pada ham yang
menyebabkan sakit. Walaupun ham secara langsung terkontaminasi dari
mesin, namun sumber aslinya kemungkinan besar adalah manusia.
d. Perbandingan Jumlah Staphylococcus aureus dalam Nasi Uduk
dengan PTSS Lain yang Diuji pada Penelitian Lainnya
Hartini (2001) melakukan penelitian untuk menghitung
Staphylococcus aureus pada bakso, gado-gado, mie ayam, nasi rames,
siomay, soto ayam, dan tauge goreng. Namun penelitian yang
dilakukannya tersebut menggunakan media Vogel-Johnson Agar (VJA)
dengan metode hitungan cawan. Hartini (2001) melakukan penelitiannya
tersebut dengan mengambil sampel pada jam 11 siang. Jika dibandingkan
73
dengan penelitian ini, maka data Hartini (2001) dapat dibandingkan
dengan data nasi uduk yang diuji pada selang waktu antara jam 10
sampai dengan jam 12. Berdasarkan perbandingan tersebut, didapatkan
bahwa jumlah Staphylococcus aureus pada nasi uduk dari keenam
warung yang diuji relatif lebih tinggi dari ketujuh sampel yang diuji oleh
Hartini (2001), kecuali untuk tauge goreng yang jumlahnya hampir sama
dengan nasi uduk. Jumlah Staphylococcus aureus pada nasi uduk dari
keenam warung yang diuji pada selang waktu antara jam 10 sampai jam
12 adalah berkisar pada 3,36 sampai 6,22 Log MPN/g, sementara jumlah
Staphylococcus aureus pada pangan-pangan yang diteliti oleh Hartini
(2001) berturu-turut adalah, bakso 1,74; gado-gado 3,72; mie ayam 1,78;
siomay 2,43; soto ayam 1,65; dan tauge goreng 5,10 Log CFU/g.
Rendahnya jumlah Staphylococcus aureus pada bakso, mie
ayam, siomay, dan soto ayam kemungkinan karena pangan-pangan ini
mendapat pemanasan yang cukup selama proses penyimpanan.
Sementara pada gado-gado jumlah Staphylococcus aureus menempati
jumlah terbanyak kedua setelah tauge goreng meskipun masih lebih
rendah bila dibandingkan dengan jumlah Staphylococcus aureus pada
nasi uduk secara umum. Cukup tingginya jumlah Staphylococcus aureus
pada gado-gado mungkin berasal dari bumbu kacang yang merupakan
bahan yang mengandung protein yang tinggi, dalam keadaan sudah
matang, dan adanya kemungkinan sering kontak dengan tangan sehingga
diduga telah terkontaminasi dengan Staphylococcus aureus.
Penelitian yang lain yang dilakukan oleh Ruslan (2003) yang
menggunakan metode hitungan cawan dengan media Baird-Parker Agar
menunjukkan jumlah Staphylococcus aureus pada gado-gado sebesar
5,81 Log CFU/g. Penelitian ini dilakukan untuk sampel yang diambil 2-3
jam sejak pedagang mulai berjualan. Jika diasumsikan pedagang mulai
berjualan mulai pukul 6 pagi, maka data ini dapat dibandingkan dengan
data jumlah Staphylococcus aureus pada nasi uduk yang diuji pada selam
waktu jam 8 sampai jam 10.
74
Jumlah Staphylococcus aureus pada nasi uduk dari keenam
warung pada selang waktu tersebut berkisar antara 2,36 sampai 5,29 Log
MPN/g. Hal ini berarti bahwa jumlah Staphylococcus aureus pada nasi
uduk lebih rendah daripada gado-gado. Tingginya jumlah Staphylococcus
aureus pada gado-gado mungkin berasal dari bumbu kacang seperti yang
telah dijelaskan di atas. Adapun bila penelitian Ruslan (2003) ini
dibandingkan dengan penelitian Hartini (2001), perbedaan jumlah
Staphylococcus aureus pada gado-gado mungkin disebabkan karena
perbedaan media analisis yang digunakan, meskipun sebenarnya
pengujian yang dilakukan Hartini (2001) dilakukan dengan waktu
inkubasi yang lebih lama daripada yang dilakukan oleh Ruslan (2003).
Secara umum penggunaan media Baird-Pareker lebih baik dalam
merecovery Staphylococcus aureus dari sampel uji dari pada agar Vogel-
Johnson. Hal ini karena medium Baird-Parker mengandung sodium
piruvat yang menstimulasi pertumbuhan Staphylococcus aureus (Minor
dan Marth, 1976). Selain itu, penambahan kuning telur pada media
Baird-Parker juga membantu merecovery sel-sel yang mengalami
kerusakan (Baird-Parker, 2000). Oleh karena itu Bair-Parker (2000)
menyatakan bahwa dari banyak percobaan internasional yang dilakukan,
medium Baird-Parker secara umum menunjukkan performa terbaik
daripada media lainnya.
2. Frekuensi Isolasi Staphylococcus aureus Koagulase Positif
Pengujian aktifitas koagulase dilakukan untuk mengetahui frekuensi
isolat Staphylococcus aureus koagulase positif pada nasi uduk. Hal ini
dilakukan untuk mengetahui secara tidak langsung apakah Staphylococcus
aureus yang mengontaminasi nasi uduk yang diuji berpotensi membentuk
enterotoksin atau tidak. Jay (2000) menyatakan bahwa pengujian yang telah
berlangsung lama secara menyakinkan membuktikan bahwa strain
stafilokoki koagulase positif adalah penghasil enterotoksin. Demikian pula
Bryan (1976) menyatakan bahwa keberadaan koagulase sangat terkait erat
75
dengan patogenisitas dan digunakan sebagai pembeda antara
Staphylococcus aureus dengan stafilokoki lainnya.
Penelitian yang dilakukan Normanno et al. (2005) membuktikan
bahwa dari 11.384 sampel yang diuji, sebanyak 1971 sampel (17,3%)
terbukti mengandung Staphylococcus koagulase positif. Sebanyak 541
sampel diuji lebih lanjut dan terbukti bahwa 537 sampel (99,3%)
teridentifikasi sebagai Staphylococcus aureus, dan dari 537 isolat tersebut
terbukti bahwa 298 isolat (55,5%) diketahui memproduksi enterotoksin.
Dengan demikian, uji kemampuan Staphylococcus aureus untuk
membentuk enzim koagulase merupakan bagian penting dari pendugaan
kemampuannya sebagai pembentuk enterotoksin yang dapat menyebabkan
keracunan pangan.
Data isolasi Staphylococcus aureus koagulase positif menunjukkan
bahwa sebagian warung positif terkontaminasi Staphylococcus aureus
koagulase positif. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 24, sementara
rinciannya dapat dilihat pada Lampiran 2.
Tabel 24. Frekuensi isolasi Staphylococcus aureus koagulase positif dari nasi uduk
Jam pengujian Warung 8 10 12 14 16
Total
1 0/2 0/2 0/2 0/2 0/2 0/10 2 0/2 0/2 1/2 0/2 0/2 1/10 3 0/2 0/2 0/2 0/2 0/2 0/10 4 0/2 0/2 0/2 0/2 1/2 1/10 5 0/2 0/2 1/2 0/2 0/2 1/10 6 0/2 0/2 0/2 0/2 1/2 1/10
Total 0/12 0/12 2/12 0/12 2/12 4/60 (6,67%)
Berdasarkan data di atas, dari keenam warung yang diuji, empat
warung memiliki frekuensi isolasi Staphylococcus aureus koagulase positif
sebesar 10%, sedangkan dua warung lainnya memiliki frekuensi isolasi
Staphylococcus aureus koagulase positif sebesar 0%. Pada penelitian ini
digunakan sejumlah 60 sampel nasi uduk, sementara jumlah sampel yang
menunjukkan positif mengandung Staphylococcus aureus koagulase adalah
4 sampel. Dengan demikian, frekuensi isolasi Staphylococcus aureus
76
koagulase positif pada nasi uduk berdasarkan penelitian ini adalah sebesar
6,67%.
Kemudian, bila diperhatikan sampel-sampel yang mengandung
Staphylococcus aureus koagulase positif (Lampiran 2), maka terlihat bahwa
isolat-isolat Staphylococcus aureus koagulase positif tersebut ditemukan
pada saat jumlah presumtif Staphylococcus aureus berkisar antara 3,96
sampai dengan 6,63 Log MPN/g sampel (Tabel 25). Dengan demikian, jika
diasumsikan bahwa jumlah minimal Staphylococcus aureus yang
diperlukan untuk memproduksi enterotoksin adalah 105 sel/g (Forsythe,
2000 di dalam Forsythe, 2002), maka sebagian besar (10 isolat)
Staphylococcus aureus koagulase positif yang diisolasi pada penelitian ini
diperoleh dari sampel dengan jumlah Staphylococcus aureus yang telah
mencapai jumlah minimum yang diduga mampu menghasilkan
enterotoksin. Maknanya, meskipun pada beberapa sampel dinyatakan
mengandung Staphylococcus aureus koagulase positif namun belum tentu
sampel itu mengandung enterotoksin stafilokoki.
Tabel 25. Hubungan antara keberadaan Staphylococcus aureus koagulase positif dengan jumlah dugaan Staphylococcus aureus
Isolat Staphylococcus aureus Koagulase Positif
Jumlah Staphylococcus aureus (Log MPN/g)
NU1 4,63 NU2 6,38 NU3 5,97 NU4 6,56 NU5 5,38 NU6 5,97 NU7 4,97 NU8 6,38 NU9 6,38 NU10 6,63 NU11 6,63 NU12 5,38 NU13 3,96 NU14 4,36
77
3. Pengaruh Inkubasi Terhadap Keberadaan Staphylococcus aureus
Koagulase positif
Data-data yang disajikan sebelumnya adalah hasil yang diperoleh
dengan waktu inkubasi 0, 2, 4, 6, dan 8 jam untuk lima sampel. Jika
keempat sampel awal (dari jam 8, 10, 12, dan 14) ditambah waktu
inkubasinya selama 8, 6, 4, dan 2 jam (yaitu semuanya diuji ulang pada jam
16), beberapa sampel yang awalnya tidak mengandung Staphylococcus
aureus koagulase positif menjadi mengandung Staphylococcus aureus
koagulase positif sebagaimana yang terlihat pada Tabel 26.
Tabel 26. Pengaruh penambahan waktu inkubasi terhadap keberadaan Staphylococcus aureus koagulase positif
Warung
Jumlah Sampel Positif
Sampel dengan hasil nehatif
dari jam-
Tambahan Waktu
Inkubasi (jam) 1 0 - - 2 2 12 4 14 2 3 1 14 2 4 2 10 6 14 2 5 1 14 2 6 1 12 4
Hal ini menunjukkan bahwa sampel yang berdasarkan pengujian
tidak mengandung Staphylococcus aureus koagulase positif sebenarnya
mungkin saja mengandung Staphylococcus aureus koagulase positif dalam
jumlah yang sedikit sehingga tidak terdeteksi. Dengan penambahan waktu
inkubasi maka jumlah Staphylococcus aureus koagulase positif meningkat
sehingga terdeteksi saat diuji ulang. Alasan lain yang mungkin
menyebabkan hal ini adalah kontaminasi Staphylococcus aureus koagulase
positif yang tidak seragam pada sampel sehingga pada dua pengujian bisa
saja terdeteksi pada satu sampel dan tidak pada sampel lainnya.
Berdasarkan perincian jumlah presumtif Staphylococcus aureus dan isolasi
Staphylococcus aureus koagulase positif di atas, dapat dikatakan bahwa peluang
kontaminasi Staphylococcus aureus koagulase positif pada nasi uduk bernilai
sedang, yang didefinisikan oleh BPOM (2004b) bahwa peluang kontaminasi
78
mungkin terjadi dengan pertimbangan faktor-faktor yang telah dijelaskan. Dengan
demikian, bila hasil verifikasi peluang kontaminasi ini dikombinasikan dengan
nilai peluang dan dampak lainnya yang juga telah dijelaskan pada tahap penetapan
risiko, maka didapatkan bahwa status risiko Staphylococcus aureus koagulase
positif pada nasi uduk adalah sedang.
79
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Peluang kontaminasi Staphylococcus aureus pada 28 PTSS (termasuk nasi
uduk) adalah sedang, sementara 2 PTSS lainnya memiliki peluang kontaminasi
yang rendah. Bila dikombinasikan dengan peluang dan dampak risiko lainnya,
maka dinyatakan bahwa risiko Staphylococcus aureus adalah sedang pada PTSS
dengan peluang kontaminasi sedang. Faktor-faktor yang mendorong peningkatan
peluang kontaminasi adalah faktor rekontaminasi, waktu penyimpanan, dan
keadaan matriks pangan, sedangkan proses pemanasan yang cukup merupakan
faktor yang menurunkan peluang kontaminasi. Verifikasi hasil penetapan risiko
Staphylococcus aureus dilakukan pada nasi uduk yang dipilih karena ketersediaan
data-data pendukung.
Sampel nasi uduk yang diperoleh dari pelaku usaha jasa boga pada
umumnya mengandung Staphylococcus aureus. Jumlah cemaran selama selang
waktu penyimpanan dari jam 8 pagi sampai jam 16 sore dari 6 warung yang diuji
berkisar dari 2,36 sampai dengan 6,93 Log MPN/g, sehingga ada kondisi dimana
diduga Staphylococcus aureus mampu membentuk enterotoksin dalam pangan.
Meskipun demikian, Staphylococcus aureus koagulase positif yang
umumnya mampu memproduksi enterotoksin ditemukan tidak pada semua
sampel. Frekuensi isolasi Staphylococcus aureus koagulase positif pada sampel
nasi uduk adalah 6,67%, serta tidak selalu ditemukan pada jumlah yang cukup
untuk membentuk enterotoksin.
Hasil pengujian Staphylococcus aureus pada nasi uduk sesuai dengan hasil
penetapan risiko kualitatif yang menyatakan bahwa risiko Staphylococcus aureus
pada nasi uduk tergolong sedang.
B. SARAN
Mengingat adanya beberapa kekurangan pada penelitian ini, maka
disarankan untuk melakukan penelitian lanjutan dengan beberapa perbaikan,
seperti:
80
1. Pada tahap penetapan peluang kontaminasi perlu penjabaran lebih lanjut
terhadap aspek-aspek peluang kontaminasi sepanjang rantai pangan.
2. Perlu pengujian lebih lanjut untuk mengetahui sumber kontaminasi utama
Staphylococcus aureus pada nasi uduk.
3. Memperbanyak jenis pangan tradisional siap santap yang dianalisis, baik
pada tahap penetapan risiko maupun tahap verifikasinya.
4. Memperbanyak jumlah warung yang disampling (maupun jumlah
sampelnya) pada tahap verifikasi.
5. Mengidentifikasi kemampuan membentuk enterotoksin dari isolat-isolat
yang telah didapatkan.
6. Melakukan analisis keberadaan stafilokoki enterotosin pada pangan yang
diuji.
xiii
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Staphylococcus aureus. http://commons.wikimedia.org/wiki/ File:Staphylococcus_aureus_01.jpg [3 Maret 2009]
Anonim. 2009. Staphylococcus aureus. http://en.wikipedia.org/wiki/
Staphylococcus_aureus [3 Maret 2009] Anonim1. 2009. Lysostaphin. http://en.wikipedia.org/wiki/Lysostaphin [20 April
2009] Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Undate. Rata-rata
Suhu Udara Bulanan di Jakarta. http://iklim.bmg.go.id/normal.asp?Jenis=URL&IDS=5298674162878850443 [27 Januari 2010]
Baird-Parker, A. C. 1979. Methods for identification of Staphylococci and
Micrococci. Di dalam Skinner, F.A. dan Lovelock D. W. (eds): Identification Methods for Microbiologists 2nd ed. SAB Technical serries No. 14. 201-9. Academic Press, London.
Baird-Parker, T. C. 2000. Stapylococcus aureus. Di dalam The Microbiolocical
Safety and Quality of Food Volume II. Editor: Lund, B. M., Baird-Parker, T. C., dan Gould, G. W. Aspen Publishers, Inc, Gaithersburg, Maryland.
Bergdoll, M. S. 1979. Staphylococcal Intoxications. Di dalam Food Borne
Infections and Intoxications Second Edition. Editor: Riemann, H. dan Bryan, F. L. Acedemic Press, Newyork-San Francisco-London.
BPOM. 2004a. Prinsip-Prinsip Analisis Risiko. Direktorat Surveilan dan
Penyuluhan Keamanan Pangan, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, Jakarta.
BPOM. 2004b. Prinsip-Prinsip Kajian Risiko Mikrobiologis Secara Kualitatif.
Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, Jakarta.
Bryan, F. L. 1976. Diseases transmitted by foods. US DHEW Pub. No. (CDC) 76-
8237, Center for Disease Control, Atlanta, Ga. Bryan, F. L. 1976. Staphylococcus aureus. Di dalam Food Microbiology, Public
Health & Spoilage Aspects. Editor: Defigueiredo, M. P. dan Splittstoesser, D. F. The Avi Publishing Company, Inc., Westport, Connecticut.
xiv
Buckle, K.A., Edwards, R.A., Fleet, H.H., dan Wootton, M. 1978. Food Science. Australian Vice-Chancellors’ Commitee.
Ching, C.L. 2009. Scenario analysis: Probabilistic approach. Makalah workskop
ICMSF Seafast Center. Bogor. Clark, J., Sharp, M., dan Reilly, W (Bill) J. 2000. Food Borne Disease. Di dalam
The Microbiolocical Safety and Quality of Food Volume II. Editor: Lund, B. M., Baird-Parker, T. C., dan Gould, G. W. Aspen Publishers, Inc, Gaithersburg, Maryland.
Depkes. 2008. Data Bencana. Pusat Penaggulangan Krisis Departemen
Kesehatan. http://www.ppk-depkes.org/index.php?option=com_databencana&task=bencana&id=12&Itemid=163 [28 Maret 2009]
Dewi, S. P. 2008. Praktik Sanitasi dan Penyimpanan Pangan Pada Suhu Rendah
di Tingkat Rumah Tangga dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus. IPB, Bogor. Skripsi.
Kusumawardani, D. 2002. Kompetisi Bakteri Asam Laktat dan Staphylococcus
aureus Dalam Penempelan dan Pembentukan Biofilm Pada Permukaan Stainless Steel. IPB, Bogor. Skripsi.
Dowd, M. T. dan Jameson, J. D. 1925. Food, Its Composition and Preparation
Second Edition. John Wiley & Sons, Inc., New York. Eley, A. R. 1992. Microbial Food Poisoning. Chapman & Hall, London-Glasgow-
New York-Tokyo-Melbourne-Madras. Fardiaz, S. 1990. Mikrobiologi Pengolahan Pangan Lanjut. Labolatorium
Mikrobiologi Pangan, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Food Safety and Inspection Service (FSIS). 2007. Take out and delivered foods.
United States Department of Agriculture. http://www.fsis.usda.gov/ [27 Januari 2010]
Food Safety and Inspection Service (FSIS). Undated. News & Events: News
Release. United States Department of Agriculture. http://www.fsis.usda.gov/Search/Search_Results/Index.asp?q=staphylococcus+aureus&mode=simple&num=10&as_occt=any&btnG.x=15&btnG.y=8&btnG=Submit&site=FSIS&select=Information+For... [27 Januari 2010]
Forsythe, S. J. 2000. The Microbiology of Safe Food. Blackwell Science, Oxford.
xv
Forsythe, S. J. 2002. The Microbiological Risk Assessment of Food. Blackwell Science.
Frazier, W.C. dan Westhoff, D.C. 1978. Food Microbiology. Mc Graw-Hill Book
Company, New York, St. Louis, San Francisco, Auckland, Bogotá, Düsseldorf, Johannesburg, London, Madrid, Mexico, Montreal, New Delhi, Panama, Paris, São Paulo, Singapore, Sydney, Tokyo, Toronto.
Gaman, P.M. dan Sherrington, K. B. 1992. Ilmu Pangan, Pengantar Ilmu Pangan
dan Mikrobiologi Edisi kedua. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Hadioetomo, R. S. 1993. Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium. PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta. Hariyadi, P. dan Andarwulan, N. 2007. Menghentikan Peredaran Pangan
Bermasalah di Pasar, Konsolidasi Sistem Keamanan Pangan di Indonesia. Piramedia, Depok.
Harjadi, W. 1986. Ilmu Kimia Analitik Dasar. PT Gramedia, Jakarta. Harrigan, W. F. 1998. Laboratory Methods in Food Microbiology Third Edition.
Academic Press, San Diego, London, Boston, New York, Sydney, Tokyo, Toronto.
Hartini, P. B. 2001. Studi Keamanan Mikrobiologis Makanan Jajanan Di Kantin
FATETA-IPB, Bogor. Skripsi. IPB. Heritage, J., Evans, E.G.V., dan Killington, R.A. 1999. Microbiology in Action.
Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom. Holt, J.G., Krieg, N. R., Sneath, P. H. A., Staley, J. T., dan Williams, S. T. 1994.
Bergey’s Manual of Deteminative Bacteriology Ninth Edition. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia-Baltimore-New York-London-Buenos Aieres-Hong Kong-Sydney-Tokyo.
ICMSF. 1978. Microorganism in Food 1. Their Significance and Methods of
Evaluation 2nd ed. University of Toronto Press, Toronto. ICMSF. 1996. Microorganisms in Foods 5. Microbiological Specifications of
Food Pathogens. Blackie Academic & Professional, London-Weinheim-New York-Tokyo-Melbourne-Madras.
Jay, J. M. 1996. Modern Food Microbiology Fifth Edition. Chapman & Hall, New
York, Albany, Bonn, Boston, Cincinnati, Detroit, London, Madrid, Melbourne, Mexico City, Pacific Grove, Paris, San Francisco, Singapore, Tokyo, Toronto, Washington.
xvi
Jay, J. M. 2000. Modern Food Microbiology Sixth Edition. An Anpen Publication, Aspen Publishers, Maryland.
Jaykus, L.A.. 2003. Academic activities in food safety: Centers, consortia, and
initiatives. Di dalam: Torrence, M. E. dan Isaacson, R. E. Microbial Food Safety in Animal Agriculture, Current Topics. Iowa State Press, USA.
Koswara, S. 1992. Teknologi Pengolahan Kedelai. Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta. Mas’at, A. Undate. Dampak Pembangunan Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah
DKI Jakarta. Di dalam bagian artikel iklim BMKG: http://www.bmkg.go.id/depan.bmkg [27 Januari 2010]
Mead, P.S., Slutsker, L., Dietz, V. McCaig, C.F., Bresee, J.S., Shapiro, C. Griffin,
P.M., dan Tauxe, R.V. 1999. Food-borne illness and death in the United States. Emerg. Infect. Dis. 5: 607-625.
Minor, T. E. dan Marth, E. H. 1976. Staphylococci and Their Significance in
Foods. Elsevier Scintific Publishing Company, Amsterdam-Oxford-New York.
Normanno, G., Firinu, A., Virgilio, S., Mula, G., Dambrosio, A., Poggiu, A.,
Decastelli, L., Mioni, R., Scuota, S., Bolzoni, G., Di Giannatale, E., Salinetti, A.P., La Salandra, G., Bartoli, M., Fuccon, F., Pirino, T., Sias, S., Parisi, A., Quaglia, N.C., Celano, G.V. 2005. Coagulase positive staphylococci and staphylococcus aureus in food products marketed in italy. Int J. Food Microbiology 98: 73-79.
Notermans, S., Nauta, M.J., dan Jouve, J.L. 1996. Food products and consumer
protection: a conceptual approach and glossary of termas. Int. J. Food Microbiol. 30, 175-183.
Pelczar Jr., M.J. dan Chan, E.C.S. 2005. Dasar-dasar Mikrobiologi 2.
Diterjemahkan dari Elements of Microbiology. Penerjemah: Ratna Siri Hadioetomo, Teja Imas, S. Sutarmi Tjitrosomo, dan Sri Lestari Angka. UI Press, Jakarta.
Rawendra, R. 2008. Pengaruh Praktik Penyimpanan dan Pemanasan Ulang
Dengan Oven Microwave Terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus Dalam Beberapa Pangan Tradisional Indonesia. IPB, Skripsi.
Ray, B. 2001. Fundamental Food Microbiology Second Edition. CRC Press, Boca
Raton, London, New York, Washington D.C. Riemann, H. dan Bryan, F. L. 1979. Food-Borne Infections and Intoxications
Second Edition. Academic Press, New York-San Francisco-London.
xvii
Robinson, R. K., Batt, C. A., dan Patel, P. D. 2000. Encyclopedia of Food Microbiology Volume III. Academic Press, San Diego-San Francisco-New York-Boston-London-Sydney-Tokyo.
Ruslan. 2003. Keamanan Mikrobiologi Dan Survei Lapang Sayuran Olahan Di
Daerah Bogor Barat. IPB, Bogor. Skripsi. Shapton, D. A. dan Shapton, N. F. 1993. Principles and Practices for the Safe
Processing of Foods. Butterworth-Heineman Ltd., Oxford, Great Britain. Soedarmo, P. dan Sediaoetama, A. D. 1985. Ilmu Gizi. Dian Rakyat, Jakarta. Sumner, J. 2002. Food Safety Risk Profile for Primary Industries in South
Australia (Final Report). Primary Industries and Resources South Australia.
Tom, R. dan McMeekin, T. 2003. Risk assessment and pathogen management. Di
dalam Foodborne Pathogens, Hazard, Risk Analysis, and Control, editor: Clive de W. Blackburn dan Peter J. McClure. CRC Press, Boca Raton- Boston-New York-Washington DC.
UNTAG. 2008. Keracunan Makanan Penyebab & Cara Menghindarinya. Web
Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya. http://www.untag-sby.ac.id/index.php?mod=berita&id=65 [28 Maret 2009]
US FDA. 2001. Chapter 12, Staphylococcus aureus. Bacteriological Analytical
Manual Online. Center for Food Safety & Applied Nutrition. US FDA. 2006. Appendix 2, Most Probable Number from Serial Dilutions.
Bacteriological Analytical Manual Online. Center for Food Safety & Applied Nutrition.
Zhang, S., Iandolo, J., dan Stewart, C. 1998. The enterotoxin D plasmid of
Staphylococcus aureus encodes a second enterotoxin determinant (sej). FEMS Microbiol. Lett. 168, 227–233.
81
Lampiran 1. Data penetapan peluang kontaminasi dari tiga puluh sampel PTSS
Kontaminasi Awal
Efektifitas Pengolahan
Peluang Kontaminasi
Suhu Penyimpanan
Waktu Inkubasi
Matriks Pangan
Pemanasan Ulang
No.
PTSS N Ket N Ket N Ket N Ket N Ket N Ket N Ket
N
Peluang Kontaminasi
1 Sate jeroan 5 Tipe 3 1 ST WL* 5 Dari tubuh dan lingkungan 3
Suhu ruang 5
> 3 Jam 5 Tipe 3 3 Minimalis 27 Sedang
2 Ayam goreng 5 Tipe 3 1 ST WL 3 Dari lingkungan 3
Suhu ruang 5
> 3 Jam 5 Tipe 3 5
Tidak ada 27 Sedang
3 Nasi uduk 1 Tipe 1 1 ST WL 5 Dari tubuh dan lingkungan 5
Suhu termos 5
> 3 Jam 5 Tipe 3 5
Tidak ada 27 Sedang
4 Telur dadar 3 Tipe 2 1 ST WL 3 Dari lingkungan 3 Suhu ruang 5
> 3 Jam 5 Tipe 3 5
Tidak ada 25 Sedang
5 Telur mata sapi 3 Tipe 2 1 ST WL 3 Dari lingkungan 3
Suhu ruang 5
> 3 Jam 5 Tipe 3 5
Tidak ada 25 Sedang
6 Ikan tongkol sambal 3 Tipe 2 1 ST WL 3 Dari lingkungan 3
Suhu ruang 5
> 3 Jam 5 Tipe 3 5
Tidak ada 25 Sedang
7 Ikan goreng 3 Tipe 2 1 ST WL 3 Dari lingkungan 3 Suhu ruang 5
> 3 Jam 5 Tipe 3 5
Tidak ada 25 Sedang
8 Ikan asin teri goreng 3 Tipe 2 1 ST WL 3 Dari lingkungan 3
Suhu ruang 5
> 3 Jam 5 Tipe 3 5
Tidak ada 25 Sedang
9 Soto daging 5 Tipe 3 1 ST WL 5 Dari tubuh dan lingkungan 3
Suhu ruang 5
> 3 Jam 5 Tipe 3 1 Ada 25 Sedang
10 Ayam suir di bubur ayam 5 Tipe 3 1 ST WL 5
Dari tubuh dan lingkungan 3
Suhu ruang 5
> 3 Jam 5 Tipe 3 1 Ada 25 Sedang
11 Martabak kacang 1 Tipe 1 1 ST WL 5
Dari tubuh dan lingkungan 3
Suhu ruang 5
> 3 Jam 5 Tipe 3 5
Tidak ada 25 Sedang
12 Tahu goreng 3 Tipe 2 1 ST WL 3 Dari lingkungan 3 Suhu ruang 5
> 3 Jam 5 Tipe 3 5
Tidak ada 25 Sedang
13 Karedok 1 Tipe 1 5 PM** 5 Dari tubuh dan lingkungan 3
Suhu ruang 5
> 3 Jam 1 Tipe 1 5
Tidak ada 25 Sedang
14 Telur asin 3 Tipe 2 1 ST WL 1 Terlindung cangkang 3
Suhu ruang 5
> 3 Jam 5 Tipe 3 5
Tidak ada 23 Sedang
15 Bakso 3 Tipe 2 1 ST WL 5 Dari tubuh dan lingkungan 3
Suhu ruang 5
> 3 Jam 5 Tipe 3 1 Ada 23 Sedang
82
16 Sate padang 5 Tipe 3 1 ST WL 3 Dari lingkungan 1 Suhu tinggi 3
1 - 3 Jam 5 Tipe 3 5
Tidak ada 23 Sedang
17 Rujak 1 Tipe 1 5 PM 5 Dari tubuh dan lingkungan 3
Suhu ruang 3
1 - 3 Jam 1 Tipe 1 5
Tidak ada 23 Sedang
18 Tempe goreng 1 Tipe 1 1 ST WL 3 Dari lingkungan 3
Suhu ruang 5
> 3 Jam 5 Tipe 3 5
Tidak ada 23 Sedang
19 Tempe bacem 1 Tipe 1 1 ST WL 3 Dari lingkungan 3
Suhu ruang 5
> 3 Jam 5 Tipe 3 5
Tidak ada 23 Sedang
20 Mie ayam 3 Tipe 2 1 ST WL 5 Dari tubuh dan lingkungan 3
Suhu ruang 5
> 3 Jam 5 Tipe 3 1 Ada 23 Sedang
21 Soto mi 3 Tipe 2 1 ST WL 5 Dari tubuh dan lingkungan 3
Suhu ruang 5
> 3 Jam 5 Tipe 3 1 Ada 23 Sedang
22 Lele goreng pecel lele 3 Tipe 2 1 ST WL 3 Dari lingkungan 1
Suhu tinggi 3
1 - 3 Jam 5 Tipe 3 5
Tidak ada 21 Sedang
23 Pergedel kentang 1 Tipe 1 1 ST WL 3 Dari lingkungan 3
Suhu ruang 5
> 3 Jam 3 Tipe 2 5
Tidak ada 21 Sedang
24 Gado-gado 1 Tipe 1 1 ST WL 5 Dari tubuh dan lingkungan 3
Suhu ruang 5
> 3 Jam 1 Tipe 1 5
Tidak ada 21 Sedang
25 Ketoprak 1 Tipe 1 1 ST WL 5 Dari tubuh dan lingkungan 3
Suhu ruang 5
> 3 Jam 1 Tipe 1 5
Tidak ada 21 Sedang
26 Pecel sayur 1 Tipe 1 1 ST WL 5 Dari tubuh dan lingkungan 3
Suhu ruang 5
> 3 Jam 1 Tipe 1 5
Tidak ada 21 Sedang
27 Nasi kuning 1 Tipe 1 1 ST WL 5 Dari tubuh dan lingkungan 3
Suhu ruang 5
> 3 Jam 1 Tipe 1 5
Tidak ada 21 Sedang
28 Rendang 5 Tipe 3 1 ST WL 3 Dari lingkungan 3 Suhu ruang 5
> 3 Jam 3 Tipe 2 1 Ada 21 Sedang
29 Nasi goreng 1 Tipe 1 1 ST WL 3 Dari lingkungan 1 Suhu tinggi 3
1 - 3 Jam 3 Tipe 2 5
Tidak ada 17 Rendah
30 Siomay 1 Tipe 1 1 ST WL 3 Dari lingkungan 1 Suhu tinggi 5
> 3 Jam 3 Tipe 2 1 Ada 15 Rendah
Keterangan: ST WL : Suhu Tinggi Waktu Lama PM : Pangan Mentah
83
Lampiran 2. Data Enumerasi, Isolasi, dan Karakterisasi Staphylococcus aureus koagulase positif pada nasi uduk Warung 1 Ulangan 1
Uji MPN Jam
D 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8 Kombinasi MPN/g Rataan
Morfologi
Uji Katalase
Uji Koagulase
Fer. Glukosa
Fer. Mannitol
S. aureus
8 1 3 1 0 0 310 4,30E+03 4,30E+03 Kokus (+) (+) (-) (++) (+) (-) 2 3 1 0 0 310 4,30E+03 Kokus (+) (-) (-) (+++) (+++) (-)
10 1 3 2 0 0 320 9,30E+03 2,62E+04 Kokus (+) (+) (-) (+) (+) (-) 2 3 3 1 0 310 4,30E+04 Kokus (+) (+) (-) (+++) (+++) (-)
12 1 3 2 1 0 210 1,50E+05 1,22E+05 Kokus (+) (+) (-) (++) (+) (-) 2 3 2 0 0 320 9,30E+04 Kokus (+) (+) (-) (+++) (+) (-)
14 1 3 3 2 0 320 9,30E+05 6,80E+05 Kokus (+) (+) (-) (+++) (+) (-) 2 3 3 1 0 310 4,30E+05 Kokus (+) (+) (-) (++) (+) (-)
16 1 3 3 3 2 332 1,10E+07 7,80E+06 Kokus (+) (+) (-) (++) (+) (-) 2 3 3 3 1 331 4,60E+06 Kokus (+) (+) (-) (++) (+) (-)
Keterangan: Uji Koagulase: (+) Menggumpal nyata (-) Tidak menggumpal, atau menggumpal tidak nyata Uji Fermentasi: (+++) Seluruh larutan berwarna kuning (++) Lebih dari separuh larutan berwarna kuning (+) Kurang dari separuh larutan berwarna kuning (-) Seluruh larutan berwarna merah
84
Warung 1 Ulangan 2
Uji MPN Jam
D 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8 Kombinasi MPN/g Rataan
Morfologi
Uji Katalase
Uji Koagulase
Fer. Glukosa
Fer. Mannitol
S. aureus
8 1 3 2 0 0 320 9,30E+02 1,67E+03 Kokus (+) (-) (-) 2 3 3 0 0 330 2,40E+03 Kokus (+) (-) (-)
10 1 3 2 2 0 220 2,10E+04 1,80E+04 Kokus (+) (-) (-) 2 3 2 1 0 210 1,50E+04 Kokus (+) (-) (-)
12 1 3 2 0 0 320 9,30E+03 9,30E+03 Basilus (+) 2 3 2 0 0 320 9,30E+03 Kokus (+) (-) (-)
14 1 3 3 1 0 310 4,30E+05 6,80E+05 Kokus (+) (-) (-) 2 3 3 2 0 320 9,30E+05 Kokus (+) (-) (-)
16 1 3 3 2 0 320 9,30E+05 2,77E+06 Kokus (+) (-) (-) 2 3 3 3 1 331 4,60E+06 Kokus (-) (-) (-)
8* 1 3 3 2 0 320 9,30E+05 8,40E+05 Kokus (+) (-) (-) 2 3 3 1 1 311 7,50E+05 Kokus (+) (-) (-)
10* 1 3 3 2 1 321 1,50E+06 1,80E+06 Kokus (+) (-) (-) 2 3 3 2 2 322 2,10E+06 Kokus (+) (-) (-) 12* 1 3 2 1 2 212 2,70E+05 2,10E+05 Kokus (+) (-) (-)
2 3 2 1 0 210 1,50E+05 Kokus (+) (-) (-) 14* 1 3 3 1 0 310 4,30E+05 9,65E+05 Kokus (-) (-) (-)
2 3 3 2 1 321 1,50E+06 Kokus (+) (-) (-)
Keterangan: Uji Koagulase: (+) Menggumpal nyata (-) Tidak menggumpal, atau menggumpal tidak nyata Uji Fermentasi: (+++) Seluruh larutan berwarna kuning (++) Lebih dari separuh larutan berwarna kuning (+) Kurang dari separuh larutan berwarna kuning (-) Seluruh larutan berwarna merah X*: Sampel dari jam ke-X yang diuji ulang pada jam 16
85
Warung 2 Ulangan 1
Uji MPN Jam
D 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8 Kombinasi MPN/g Rataan
Morfologi
Uji Katalase
Uji Koagulase
Fer. Glukosa
Fer. Mannitol
S. aureus
8 1 3 0 0 0 300 2,30E+02 2,30E+02 TD 2 3 0 0 0 300 2,30E+02 TD
10 1 3 3 0 0 300 2,30E+03 2,30E+03 Basilus (+) 2 3 3 0 0 300 2,30E+03 Basilus (+)
12 1 3 3 1 1 311 7,50E+04 5,90E+04 Kokus (+) (+) (-) (+++) (-) (-) 2 3 3 1 0 310 4,30E+04 Kokus (+) (+) (+) (+++) (+++) (+) NU1
14 1 2 2 0 0 220 2,10E+03 1,51E+03 Basilus (+) 2 2 0 0 0 200 9,20E+02 Kokus (+) (+) (-) (+) (+) (-)
16 1 3 3 0 0 330 2,40E+05 1,95E+05 Kokus (+) (+) (-) (+++) (+++) (-) 2 3 2 1 0 210 1,50E+05 Kokus (+) (+) (-) (++) (++) (-)
Keterangan: Uji Koagulase: (+) Menggumpal nyata (-) Tidak menggumpal, atau menggumpal tidak nyata Uji Fermentasi: (+++) Seluruh larutan berwarna kuning (++) Lebih dari separuh larutan berwarna kuning (+) Kurang dari separuh larutan berwarna kuning (-) Seluruh larutan berwarna merah
86
Warung 2 Ulangan 2
Uji MPN Jam
D 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8 Kombinasi MPN/g Rataan
Morfologi
Uji Katalase
Uji Koagulase
Fer. Glukosa
Fer. Mannitol
S. aureus
8 1 3 3 1 0 310 4,30E+03 4,30E+03 Kokus (+) (-) (-) 2 3 3 1 0 310 4,30E+03 Kokus (+) (-) (-)
10 1 3 1 0 0 310 4,30E+03 4,30E+03 Kokus (+) (-) (-) 2 3 1 0 0 310 4,30E+03 Kokus (+) (-) (-)
12 1 3 3 0 0 330 2,40E+04 3,35E+04 Kokus (+) (-) (-) 2 3 3 1 0 310 4,30E+04 Kokus (+) (-) (-)
14 1 3 3 0 0 330 2,40E+05 4,95E+05 Kokus (+) (-) (-) 2 3 3 1 1 311 7,50E+05 Kokus (+) (-) (-)
16 1 3 3 3 0 330 2,40E+06 1,42E+06 Kokus (+) (-) (-) 2 3 3 1 0 310 4,30E+05 Kokus (+) (-) (-)
8* 1 3 3 3 1 331 4,60E+06 2,38E+06 Kokus (+) (-) (-) 2 3 2 1 0 210 1,50E+05 Kokus (+) (-) (-)
10* 1 3 3 1 0 310 4,30E+05 4,30E+05 Kokus (+) (-) (-) 2 3 3 1 0 310 4,30E+05 Kokus (+) (-) (-) 12* 1 3 3 2 0 320 9,30E+05 5,85E+05 Kokus (+) (-) (-)
2 3 3 0 0 330 2,40E+05 Kokus (+) (+) (+) (+++) (+++) (+) NU5 14* 1 3 3 1 0 310 4,30E+05 6,80E+05 Kokus (+) (-) (-)
2 3 3 2 0 320 9,30E+05 Kokus (+) (+) (+) (+++) (+++) (+) NU6
Keterangan: Uji Koagulase: (+) Menggumpal nyata (-) Tidak menggumpal, atau menggumpal tidak nyata Uji Fermentasi: (+++) Seluruh larutan berwarna kuning (++) Lebih dari separuh larutan berwarna kuning (+) Kurang dari separuh larutan berwarna kuning (-) Seluruh larutan berwarna merah X*: Sampel dari jam ke-X yang diuji ulang pada jam 16
87
Warung 3 Ulangan 1
Uji MPN Jam
D 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8 Kombinasi MPN/g Rataan
Morfologi
Uji Katalase
Uji Koagulase
Fer. Glukosa
Fer. Mannitol
S. aureus
8 1 3 3 2 0 320 9,30E+03 2,77E+04 TD 2 3 3 3 1 331 4,60E+04 TD
10 1 3 1 0 0 310 4,30E+03 4,30E+03 TD 2 3 1 0 0 310 4,30E+03 TD
12 1 3 2 1 0 210 1,50E+04 1,45E+04 Kokus (+) (+) (-) (+++) (-) (-) 2 3 2 0 1 201 1,40E+04 Kokus (+) (+) (-) (+++) (-) (-)
14 1 2 1 0 0 210 1,50E+04 1,30E+04 Kokus (+) (+) (-) (+++) (+) (-) 2 1 1 1 0 111 1,10E+04 Kokus (+) (+) (-) (++) (+) (-)
16 1 3 0 0 0 300 2,30E+04 1,33E+04 Kokus (+) (+) (-) (++) (+) (-) 2 1 0 0 0 100 3,60E+03 Kokus (+) (+) (-) (+++) (+) (-)
Keterangan: Uji Koagulase: (+) Menggumpal nyata (-) Tidak menggumpal, atau menggumpal tidak nyata Uji Fermentasi: (+++) Seluruh larutan berwarna kuning (++) Lebih dari separuh larutan berwarna kuning (+) Kurang dari separuh larutan berwarna kuning (-) Seluruh larutan berwarna merah
88
Warung 3 Ulangan 2
Uji MPN Jam
D 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8 Kombinasi MPN/g Rataan
Morfologi
Uji Katalase
Uji Koagulase
Fer. Glukosa
Fer. Mannitol
S. aureus
8 1 3 3 1 0 310 4,30E+03 4,30E+03 TD 2 3 3 1 0 310 4,30E+03 TD
10 1 3 1 0 0 310 4,30E+03 3,30E+03 TD 2 3 0 0 0 300 2,30E+03 TD
12 1 3 1 0 0 310 4,30E+03 3,30E+03 TD 2 3 0 0 0 300 2,30E+03 TD
14 1 1 0 0 0 100 3,60E+03 6,40E+03 TD 2 2 0 0 0 200 9,20E+03 TD
16 1 3 1 0 0 310 4,30E+04 6,80E+04 Kokus (+) (-) (-) 2 3 2 0 0 320 9,30E+04 Kokus (+) (-) (-)
8* 1 3 0 0 0 300 2,30E+04 2,15E+04 Kokus (+) (-) (-) 2 2 1 1 0 211 2,00E+04 Kokus (+) (-) (-)
10* 1 3 1 0 0 310 4,30E+04 3,65E+04 Kokus (+) (-) (-) 2 3 0 1 0 010 3,00E+04 Kokus (+) (-) (-) 12* 1 2 0 0 0 200 9,20E+03 6,40E+03 TD
2 1 0 0 0 100 3,60E+03 TD 14* 1 3 2 0 0 320 9,30E+04 1,47E+05 Kokus (+) (+) (+) (+++) (+++) (+) NU7
2 3 2 1 1 211 2,00E+05 Kokus (+) (-) (-)
Keterangan: Uji Koagulase: (+) Menggumpal nyata (-) Tidak menggumpal, atau menggumpal tidak nyata Uji Fermentasi: (+++) Seluruh larutan berwarna kuning (++) Lebih dari separuh larutan berwarna kuning (+) Kurang dari separuh larutan berwarna kuning (-) Seluruh larutan berwarna merah X*: Sampel dari jam ke-X yang diuji ulang pada jam 16
89
Warung 4 Ulangan 1
Uji MPN Jam
D 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8 Kombinasi MPN/g Rataan
Morfologi
Uji Katalase
Uji Koagulase
Fer. Glukosa
Fer. Mannitol
S. aureus
8 1 3 3 0 0 330 2,40E+03 2,40E+03 Kokus (+) (+) (-) (+++) (-) (-) 2 3 3 0 0 330 2,40E+03 Kokus (+) (+) (-) (++) (+) (-)
10 1 3 1 0 0 310 4,30E+03 6,80E+03 Kokus (+) (+) (-) (+++) (+) (-) 2 3 2 0 0 320 9,30E+03 Kokus (+) (+) (-) (++) (+) (-)
12 1 3 3 0 0 330 2,40E+04 3,35E+04 Kokus (+) (+) (-) (+++) (+) (-) 2 3 3 1 0 310 4,30E+04 Kokus (+) (+) (-) (+++) (-) (-)
14 1 2 2 0 0 220 2,10E+04 1,60E+04 Kokus (+) (+) (-) (+) (+) (-) 2 1 2 0 0 120 1,10E+04 Kokus (+) (+) (-) (+++) (+) (-)
16 1 3 3 3 0 330 2,40E+06 3,50E+06 Kokus (+) (+) (+) (+++) (+++) (+) NU2 2 3 3 3 1 331 4,60E+06 Kokus (+) (+) (-) (+++) (+++) (-)
Keterangan: Uji Koagulase: (+) Menggumpal nyata (-) Tidak menggumpal, atau menggumpal tidak nyata Uji Fermentasi: (+++) Seluruh larutan berwarna kuning (++) Lebih dari separuh larutan berwarna kuning (+) Kurang dari separuh larutan berwarna kuning (-) Seluruh larutan berwarna merah
90
Warung 4 Ulangan 2
Uji MPN Jam
D 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8 Kombinasi MPN/g Rataan
Morfologi
Uji Katalase
Uji Koagulase
Fer. Glukosa
Fer. Mannitol
S. aureus
8 1 3 3 1 0 310 4,30E+04 6,80E+04 Kokus (+) (-) (-) 2 3 3 2 0 320 9,30E+04 Kokus (+) (-) (-)
10 1 3 3 0 0 330 2,40E+05 3,35E+05 Kokus (+) (-) (-) 2 3 3 1 0 310 4,30E+05 Kokus (+) (-) (-)
12 1 3 3 1 0 310 4,30E+05 4,30E+05 Kokus (+) (-) (-) 2 3 3 1 0 310 4,30E+05 Kokus (+) (-) (-)
14 1 3 2 0 0 320 9,30E+05 9,30E+05 Kokus (+) (-) (-) 2 3 2 0 0 320 9,30E+05 Kokus (+) (-) (-)
16 1 3 3 0 0 330 2,40E+06 1,67E+06 Kokus (+) (-) (-) 2 3 2 0 0 320 9,30E+05 Kokus (+) (-) (-)
8* 1 3 3 0 0 330 2,40E+06 2,20E+06 Kokus (+) (-) (-) 2 3 2 1 1 211 2,00E+06 Kokus (+) (-) (-)
10* 1 3 3 0 0 330 2,40E+06 2,40E+06 Kokus (+) (+) (+) (+++) (++) (+) NU8 2 3 3 0 0 330 2,40E+06 Kokus (+) (+) (+) (+++) (+++) (+) NU9 12* 1 3 3 0 0 330 2,40E+06 3,35E+06 Kokus (+) (-) (-)
2 3 3 1 0 310 4,30E+06 Kokus (+) (-) (-) 14* 1 3 3 1 0 310 4,30E+06 4,30E+06 Kokus (+) (+) (+) (+++) (+++) (+) NU10
2 3 3 1 0 310 4,30E+06 Kokus (+) (+) (+) (+++) (+++) (+) NU11
Keterangan: Uji Koagulase: (+) Menggumpal nyata (-) Tidak menggumpal, atau menggumpal tidak nyata Uji Fermentasi: (+++) Seluruh larutan berwarna kuning (++) Lebih dari separuh larutan berwarna kuning (+) Kurang dari separuh larutan berwarna kuning (-) Seluruh larutan berwarna merah X*: Sampel dari jam ke-X yang diuji ulang pada jam 16
91
Warung 5 Ulangan 1
Uji MPN Jam
D 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8 Kombinasi MPN/g Rataan
Morfologi
Uji Katalase
Uji Koagulase
Fer. Glukosa
Fer. Mannitol
S. aureus
8 1 3 3 0 1 301 3,80E+04 2,37E+04 Kokus (+) (+) (-) (+++) (-) (-) 2 3 2 0 0 320 9,30E+03 Kokus (+) (+) (-) (+++) (-) (-)
10 1 3 2 1 0 210 1,50E+05 1,95E+05 Kokus (+) (+) (-) (+) (+) (-) 2 3 3 0 0 330 2,40E+05 Kokus (+) (+) (-) (+) (+) (-)
12 1 3 3 3 0 330 2,40E+06 1,67E+06 Kokus (+) (+) (-) (+++) (+++) (-) 2 3 3 2 0 320 9,30E+05 Kokus (+) (+) (+) (+++) (+++) (+) NU3
14 1 3 3 2 1 321 1,50E+07 8,55E+06 Kokus (+) (+) (-) (+) (+) (-) 2 3 2 2 0 220 2,10E+06 Kokus (+) (+) (-) (++) (+) (-)
16 1 3 1 1 1 111 1,10E+06 1,10E+06 Kokus (+) (+) (-) (+++) (-) (-) 2 3 1 1 1 111 1,10E+06 Kokus (+) (+) (-) (+) (+) (-)
Keterangan: Uji Koagulase: (+) Menggumpal nyata (-) Tidak menggumpal, atau menggumpal tidak nyata Uji Fermentasi: (+++) Seluruh larutan berwarna kuning (++) Lebih dari separuh larutan berwarna kuning (+) Kurang dari separuh larutan berwarna kuning (-) Seluruh larutan berwarna merah
92
Warung 5 Ulangan 2
Uji MPN Jam
D 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8 Kombinasi MPN/g Rataan
Morfologi
Uji Katalase
Uji Koagulase
Fer. Glukosa
Fer. Mannitol
S. aureus
8 1 3 1 0 0 310 4,30E+02 4,30E+02 Kokus (+) (-) (-) 2 3 1 0 0 310 4,30E+02 Kokus (+) (-) (-)
10 1 3 2 0 0 320 9,30E+03 6,80E+03 Kokus (+) (-) (-) 2 3 1 0 0 310 4,30E+03 Kokus (+) (-) (-)
12 1 3 2 1 0 210 1,50E+04 1,28E+05 Kokus (+) (-) (-) 2 3 3 3 0 330 2,40E+05 Kokus (+) (-) (-)
14 1 3 3 2 0 320 9,30E+05 5,85E+05 Kokus (+) (-) (-) 2 3 3 0 0 330 2,40E+05 Kokus (+) (-) (-)
16 1 3 3 3 0 330 2,40E+06 1,95E+06 Kokus (+) (-) (-) 2 3 3 2 1 321 1,50E+06 Kokus (+) (-) (-)
8* 1 3 3 1 0 310 4,30E+05 6,80E+05 Kokus (+) (-) (-) 2 3 3 2 0 320 9,30E+05 Kokus (+) (-) (-)
10* 1 3 3 3 0 330 2,40E+06 2,40E+06 Kokus (+) (-) (-) 2 3 3 3 0 330 2,40E+06 Kokus (+) (-) (-) 12* 1 3 1 1 1 111 1,10E+05 5,20E+05 Kokus (+) (-) (-)
2 3 3 2 0 320 9,30E+05 Kokus (+) (-) (-) 14* 1 3 3 0 0 330 2,40E+05 7,20E+05 Kokus (+) (+) (+) (+++) (+)** (+) NU12
2 3 3 1 2 312 1,20E+06 Basilus (+) (+)
Keterangan: Uji Koagulase: (+) Menggumpal nyata (-) Tidak menggumpal, atau menggumpal tidak nyata Uji Fermentasi: (+++) Seluruh larutan berwarna kuning (++) Lebih dari separuh larutan berwarna kuning (+) Kurang dari separuh larutan berwarna kuning (+)** Putih kekuning-kuningan (-) Seluruh larutan berwarna merah X*: Sampel dari jam ke-X yang diuji ulang pada jam 16
93
Warung 6 Ulangan 1
Uji MPN Jam
D 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8 Kombinasi MPN/g Rataan
Morfologi
Uji Katalase
Uji Koagulase
Fer. Glukosa
Fer. Mannitol
S. aureus
8 1 3 2 0 0 320 9,30E+03 8,25E+03 TD 2 3 1 0 1 101 7,20E+03 TD
10 1 3 2 1 0 210 1,50E+04 1,50E+04 Kokus (+) (+) (-) (-) 2 3 2 1 0 210 1,50E+04 TD
12 1 3 2 3 0 230 2,90E+05 2,50E+05 Kokus (+) (+) (-) (-) 2 3 2 2 0 220 2,10E+05 Kokus (+) (+) (-) (-)
14 1 3 3 1 1 311 7,50E+05 5,90E+05 Kokus (+) (+) (-) (-) 2 3 3 1 0 310 4,30E+05 Kokus (+) (+) (-) (-)
16 1 3 2 2 1 221 2,80E+06 3,20E+06 Kokus (+) (+) (-) (-) 2 3 2 3 1 231 3,60E+06 Kokus (+) (+) (+) (+++) (+++) (+) NU4
Keterangan: Uji Koagulase: (+) Menggumpal nyata (-) Tidak menggumpal, atau menggumpal tidak nyata Uji Fermentasi: (+++) Seluruh larutan berwarna kuning (++) Lebih dari separuh larutan berwarna kuning (+) Kurang dari separuh larutan berwarna kuning (-) Seluruh larutan berwarna merah
94
Warung 6 Ulangan 2
Uji MPN Jam
D 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8 Kombinasi MPN/g Rataan
Morfologi
Uji Katalase
Uji Koagulase
Fer. Glukosa
Fer. Mannitol
S. aureus
8 1 3 3 0 0 330 2,40E+03 2,40E+03 TD 2 3 3 0 0 330 2,40E+03 Kokus (+) (-) (-)
10 1 3 0 0 0 300 2,30E+03 3,30E+03 TD 2 3 1 0 0 310 4,30E+03 Basilus (+) (+)
12 1 3 2 0 0 320 9,30E+03 6,15E+03 Kokus (+) (-) (-) 2 3 0 0 1 001 3,00E+03 Kokus (+) (-) (-)
14 1 3 0 0 0 300 2,30E+04 3,30E+04 TD 2 3 1 0 0 310 4,30E+04 Kokus (+) (-) (-)
16 1 2 1 0 0 210 1,50E+04 2,90E+04 Basilus (+) (+) 2 3 1 0 0 310 4,30E+04 Kokus (+) (-) (-)
8* 1 3 2 0 0 320 9,30E+04 5,80E+04 Kokus (+) (-) (-) 2 3 0 0 0 300 2,30E+04 TD
10* 1 3 1 0 1 101 7,20E+04 4,35E+04 Kokus (+) (-) (-) 2 2 1 0 0 210 1,50E+04 Kokus (-) (-) (-) 12* 1 2 0 0 0 200 9,20E+03 1,61E+04 Kokus (+) (+) (+) (+++) (+++) (+) NU13
2 3 0 0 0 300 2,30E+04 Kokus (+) (+) (+) (+++) (+++) (+) NU14 14* 1 3 1 0 0 310 4,30E+04 3,65E+04 Kokus (-) (-) (-)
2 3 0 0 1 001 3,00E+04 Basilus (+) (-)
Keterangan: Uji Koagulase: (+) Menggumpal nyata (-) Tidak menggumpal, atau menggumpal tidak nyata Uji Fermentasi: (+++) Seluruh larutan berwarna kuning (++) Lebih dari separuh larutan berwarna kuning (+) Kurang dari separuh larutan berwarna kuning (-) Seluruh larutan berwarna merah X*: Sampel dari jam ke-X yang diuji ulang pada jam 16
95
Lampiran 3. Persiapan Media dan Bahan 1. Persiapan Media
a. Tabung TSB
Ditimbang setiap bahan yang dibutuhkan (bubuk TSB (lihat
petunjuk dikemasan), NaCl (10 %), dan sodium piruvat (1%)) lalu
dicampur di dalam gelas piala. Tambahkan air destilata hingga dicapai
konsentrasi yang diinginkan, lalu larutkan dengan memanaskannya di atas
hot plate sambil diaduk, kemudian atur pH. Masukkan larutan media ke
dalam tabung-tabung reaksi lalu tabung reaksi ditutup. Lakukan sterilisasi
terhadap medium ini dengan otoklaf pada suhu 121°C dan tekanan 103,4
kPa selama 15-30 menit. Setelah strilisasi selesai, simpan medium untuk
digunakan saat analisis.
b. Tabung miring TSA
Ditimbang setiap bahan yang dibutuhkan (bubuk TSA (lihat
petunjuk dikemasan), NaCl (10%), dan sodium piruvat (1%)) lalu
dicampur di dalam gelas piala. Tambahkan air destilata hingga dicapai
konsentrasi yang diinginkan, lalu larutkan dengan memanaskannya di atas
hot plate sambil diaduk, kemudian atur pH. Masukkan larutan ke dalam
tabung-tabung reaksi lalu tabung reaksi ditutup. Lakukan sterilisasi
terhadap medium ini dengan otoklaf pada suhu 121°C dan tekanan 103,4
kPa selama 15-30 menit. Setelah strilisasi selesai, letakkan tabung pada
posisi miring dan biarkan membeku, kemudian simpan medium untuk
digunakan saat analisis.
c. Cawan Baird Parker Agar dengan EY Tellurit
Ditimbang bubuk Baird Parker yang diperlukan (lihat petunjuk
dikemasan), masukkan ke dalam erlenmeyer. Tambahkan air destilata
hingga dicapai konsentrasi yang diinginkan, lalu larutkan dengan
memanaskannya di atas hot plate sambil diaduk, kemudian atur pH.
Erlenmeyer yang digunakan diusahakan tidak terlalu besar agar pindah
panas tidak terganggu. Ukuran yang umumnya digunakan adalah 100 ml
96
medium untuk setiap satu erlenmryer. Lakukan sterilisasi terhadap
medium ini dengan otoklaf pada suhu 121°C dan tekanan 103,4 kPa
selama 15-30 menit. Setelah strilisasi selesai, campurkan 50 ml EY tellurit
untuk setiap 1 liter medium jadi (950 ml Baird Parker base), campur rata.
Tuangkan medium pada cawan-cawan petri steril secara aseptis, biarkan
memadat. Cawan Baird Parker siap digunakan untuk analisis.
EY tellurit dibuat dengan mencampur 20 ml kuning telur, 20 ml
NaCl 0.85%, dan 10 ml tellurit 1%.
2. Persiapan Larutan Pengencer
Pelarut digunakan untuk melakukan pengenceran berseri terhadap
sampel. Pelarut dibuat dengan melarutkan 3,4 g KH2PO4 ke dalam 50 ml air
destilata, atur pada pH 7, kemudian tepatkan hingga 100 ml. Ini adalah larutan
stock. Jika akan digunakan, 1,25 ml larutan stock dipipet lalu ditepatkan
hingga 1 liter dengan air destilata. Kemudian, larutan dimasukkan ke dalam
erlenmeyer sebanyak 225 ml dan ke dalam tabung reaksi sebanyak 9 ml.
Erlenmeyer dan tabung reaksi kemudian ditutup lalu disterilisasi dengan
otoklaf suhu 121°C pada tekanan 103,4 kPa selama 15-30 menit. Setelah
sterilisasi selesai, simpan larutan pengencer ini untuk keperluan analisis.
3. Persiapan Reagen Uji Aktivitas Koagulase
Siapkan tabung-tabung kecil, isi dengan 0.2-0.3 ml brain heart
infusion. Siapkan pula plasma koagulase dengan EDTA.
4. Persiapan Bahan Pewarnaan Gram
Dibuat larutan kristal violet, safranin, iodium, dan etanol 95% masing-
masing dalam botol berpipet. Simpan reagen ini untuk keperluan analisis.
Berikut ini prosedur pembuatan masing-masing reagen (Hadioetomo, 1993).
Crystal violet (modifikasi Hucker)
Larutan A:
Crystal violet (kandungan zat warna 85%) 2 g
97
Ethanol (95%) 20 ml
Larutan B:
Amonium oxalate 0.8 g
Air suling 80 ml
Campurkan larutan A dan B
Safranin
Safranin O 0.25 g
Ethanol (95%) 10 ml
Air suling 100 ml
Iodium
KI 2 g
I2 kristal 2 g
Air suling 300 ml
5. Persiapan Medium Fermentasi Glukosa dan Mannitol
Tryptone 10.0 g
Yeast extract 1.0 g
Glukosa / Mannitol 10.0 g
Bromcresol purple 0.04 g
Agar 2.0 g
Air destilata 1 liter
Larutkan agar dengan pemanasan sambil diaduk berlahan, tepatkan
pH sampai 7.0 ± 0.2. Isikan pada tabung 16 x 125 mm sampai 2/3 penuh.
Otoklaf 20 menit pada 115°C. Sebelum digunakan, steam medium 10-15
menit. Bekukan dengan meletakkan tabung pada air es.