Upload
kikiwulansar6001
View
2.015
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Globalisasi membawa dampak yang besar bagi perkembangan dunia bisnis. Pasar
menjadi semakin luas dan peluang ada dimana-mana, namun sebaliknya persaingan
menjadi semakin ketat dan sulit diprediksikan. Kondisi ini menuntut perusahaan untuk
menciptakan keunggulan kompetitif bisnisnya agar mampu bersaing secara
berkesinambungan.
Perusahaan yang ingin berkembang dan mendapatkan keunggulan kompetitif
harus dapat memberikan produk berupa barang atau jasa yang berkualitas dan pelayanan
yang baik kepada para pelanggan lebih dari pesaingnya. Kualitas harus dimulai dari
kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi pelanggan (Kotler, 1994). Hal ini berarti
bahwa citra kualitas yang baik bukanlah berdasarkan sudut pandang atau persepsi
perusahaan, melainkan berdasarkan sudut pandang atau persepsi pelanggan (Tjiptono,
2004:61).
Sehubungan dengan itu pekerjaan dibidang penjualan atau biasa disebut dengan
salesperson pantas mendapat perhatian lebih karena pekerjaan tersebut memegang
peranan penting dalam menunjang perekonomian perusahaan (Vinchur, Schippmann,dkk,
1998; Smee, 1990) Individu yang bekerja di bidang ini harus selalu siap menerima
penolakan dari pelanggan, mencari pelanggan baru, dan mempertahankan pelanggan
lama (Vinchur, Schippmann, dkk, 1998). Chan (2003) menyatakan bahwa konsumen saat
ini butuh dikenali, diberi reward, dan pelayanan yang baik. Oleh karena itu hubungan
interpersonal yang baik, memegang peranan penting dalam kesuksesan individu yang
bekerja dalam bidang penjualan. Ries dan Ries (2002), menyatakan bahwa era dominasi
periklanan sudah mulai berakhir dan muncul era baru dalam menjual, yaitu dengan public
relations .
Di Indonesia banyak perusahaan manufaktur dan jasa memasuki lingkungan
kompetitif dengan menggunakan salesperson dalam memasarkan produknya. Hal
tersebut mengingatkan tentang pentingnya meningkatkan kualitas dari buyer-seller
relationship, karena sejak awal penjualan perilaku salesperson dalam memberikan
service (salesperson service behavior) dapat meningkatkan relationship quality yang
terdiri atas kepuasan dan kepercayaan konsumen. Hal ini didukung oleh Crosby et.al
(1997) yang menyatakan bahwa relationship quality adalah bentuk permintaan yang
tinggi yang mengandung kepuasan (satisfaction) dan kepercayaan (trust) pada
salesperson.
Diungkapkan oleh Storbacka et al (1994,p.25) peran satisfaction sebagai
pengukur pada relationship quality adalah “customer cognitive and affective evaluation
based on their personal experience across all service episodes within the relationship.”
Crosby et al (1990) menyatakan bahwa kepuasan adalah ukuran kesimpulan yang
menyajikan suatu evaluasi kualitas dari semua interaksi yang terdahulu dengan
penyediaan jasa dan kemudian membentuk harapan tentang kualitas interaksi di masa
yang akan datang.
Sementara itu, Trust atau kepercayaan telah secara luas didefinisikan oleh
Anderson dan Weitz (1998,p.312) sebagai “one party belief that their needs will be
fulfilled by other party in the future. Requires a judgment as to the integrity and
reliability of an exchange partner”. Dari pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa
kepercayaan merupakan pusat untuk usaha pada evaluasi hubungan relasi karena ada
faktor untuk mengandalkan pihak lain dalam memenuhi keinginan pihak lain.
Oleh sebab itu salesperson service behavior yang ditampilkan oleh seorang
salesperson kepada konsumennya akan sangat berpengaruh pada kepuasan (satisfaction)
dan kepercayaan (trust) konsumen tersebut. Apabila seorang salesperson menampilkan
minus service behavior maka satisfaction konsumenpun akan minus. Sedangkan apabila
seorang salesperson menampilkan service behavior yang tidak dapat dipercaya maka
konsumen tidak akan terikat hubungan jangka panjang yang dapat memberikan
keuntungan bagi perusahaan.
Penelitian ini mengintegrasikan pendekatan Churchill (1979) dan Michael et al
(2007) mengenai dimensi-dimensi salesperson service behavior sehingga dimensi-
dimensi salesperson service behavior yang diteliti terdiri atas Diligence, information
communication, Inducements, sportsmanship dan emphaty. Pada penelitian sebelumnya
menyatakan bahwa SSB penting dalam memelihara hubungan pembeli-penjual, oleh
sebab itu setiap SSB mempengaruhi kualitas hubungan. Banyak penelitian percaya bahwa
beberapa perilaku (Diligence, information communication, dan inducements) langsung
mempengaruhi satisfaction, sementara yang lain (empathy dan Sportmanship) langsung
mempengaruhi trust.
Diligence merupakan suatu gabungan dari dua jenis perilaku: responsiveness dan
reliability. Para konsumen menunjukkan bahwa di dalam lingkungan bisnis saat ini yang
bersifat hiper-kompetitif, dan membutuhkan banyak waktu, para salesperson harus
memberikan layanan mereka dengan tepat waktu agar para konsumen
mempertimbangkan perilaku tersebut sebagai hal yang dapat diandalkan dan akurat.
Berry, Zeithaml, dan Parasuraman (1990, hal 30) menyatakan bahwa responsiveness dan
reliability dalam SERVQUAL mengukur reliability sebagai "the heart of excellent
service" dan menunjukkan reliability yang bagus dan responsiveness dapat memuaskan
pelanggan. Ingram (1996) berpendapat, bahwa perilaku-perilaku tersebut dapat
membantu meningkatkan satisfaction pelanggan.
Sementara itu para konsumen menunjukkan bahwa salah satu komponen paling
penting pada salesperson dalam memberikan layanan adalah information communication,
dan para konsumen menyetujui bahwa hal ini harus meliputi keseluruhan proses
penjualan dan tidak hanya berhenti ketika mereka mulai melakukan pembelian.
Parasuraman dkk. (1988) menjelaskan bahwa penting secara efektif dalam melayani dan
memuaskan konsumen. Selain itu, penelitian lain menunjukkan bahwa pelanggan akan
menilai lebih baik salesperson yang selalu berbagi informasi (Anderson & Narus, 1990;
Morgan & Hunt, 1994). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dengan komunikasi
informasi secara efektif, salesperson sedang berusaha untuk meningkatkan satisfaction
pelanggan.
Inducement merupakan suatu perilaku yang ditujukan dalam mempersonalisasi
berbagai kejadian personal. Para konsumen menjelaskan bahwa inducement yang
demikian dapat “brighten their day” dan dapat “membedakan” satu tenaga sales dari
tenaga sales lainnya dan menunjukkan bahwa pemberian hadiah merupakan cara unik
untuk mengucapkan terima kasih, membangun hubungan dengan pelanggan, dan
membuat kesan yang baik serta meningkatkan satisfaction (Bird, 1989; Crosby dkk.,
1990; McMaster, 2001; The American Salesman, 1997).
Empathy merupakan suatu demonstrasi atas ketertarikan dan perhatian
salesperson atas kesejahteraan konsumennya (Jones, Stevens, & Chonko, 2005).
Parasuraman t al. (1985) memasukan empathy sebagai dimensi yang penting dari
SERVQUAL. Empathy memerlukan demonstrasi kemauan untuk memahami posisi
pelanggan, sehingga lebih menuntut bisnis untuk menyadari nilai pelanggan (Comer &
Drollinger, 1999). Dalam buku The Seven Habits of Highly Effective People, Covey
(1989) menjelaskan bahwa empathy adalah kunci yang benar-benar efektif dalam
membangun interpersonal relationship. Karena memprioritaskan pemahaman pihak lain
yang lebih penting daripada pemahaman sendiri, empathy membangun sebuah "emotional
bank account" dengan pihak lain, sehingga empathy dapat dikatakan sebagai pemimpin
dalam membentuk kepercayaan. Penelitian lain menunjukkan bahwa kurangnya Empathy
akan mengurangi trust konsumen (Comer & Drollinger, 1999; Ingram, 1996)
Sportmanship merupakan suatu keinginan salesperson untuk mentoleransi
berbagai kondisi yang kurang ideal tanpa menunjukkan sifat negatif. Di dalam konteks
hubungan konsumen, sportmanship berarti menunjukkan penghakiman atau anggapan
sosial yang baik dan profesionalisme selama proses interaksi dengan kliennya. Dalam
penelitian ini menyatakan bahwa sportsmanship sama dengan empathy yang berasal dari
kualitas salesperson yang lebih kekal. Sementara Diligence, information communication,
dan inducements lebih mengarah pada perilaku untuk jangka pendek, sportmanship lebih
bertahan dan kemungkinan dapat mempengaruhi pelanggan untuk melihat siapa
salesperson yang baik dan siapa salesperson yang menunjukkan kebajikan lebih, oleh
sebab itu dapat sportsmanship merupakan bagian penting dari trust (Doney & Cannon,
1997; Ganesan, 1994).
Lima dimensi tersebut penting karena mereka membantu menumbuhkan
relationship quality. Keduanya, satisfaction dan trust merupakan komponen-komponen
penting dalam menaksir the quality of the buyer-seller exchange dengan satisfaction yang
memiliki pengaruh langsung terhadap trust (Crosby et al., 1990; Doney & Cannon, 1997;
Morgan & Hunt, 1994; Ramsey & Sohi, 1997). Ganesan (1994) menunjukkan bahwa
trust pelanggan dijalankan (drive) oleh satisfaction, dan penelitian lain mendukung
hubungan positif antara kedua constructs (Jap, 2001; Ramsey & Sohi, 1997).
Selain satisfaction mempunyai pengaruh langsung terhadap trust, keduanya
satisfaction dan trust merupakan dua komponen yang berpengaruh terhadap Relationship
Commitment. Pengaruh satisfaction terhadap Relationship Commitment dikembangkan
dari studi Boonajsevee (2007), dan Hennig-Thurau et al. (2002). Hasil penelitian mereka
menunjukkan bahwa peningkatan satisfaction pelanggan akan membangun Relationship
Commitment yang lebih kuat terhadap produk yang ditawarkan oleh seorang salesperson.
Jadi konsumen akan puas apabila salesperson dapat memenuhi atau melebihi harapan
mereka akan service yang diberikan dan kurang suka mengembangkan relationship yang
baru dengan salesperson lain apabila sudah memiliki kedekatan emosional yang kuat
dengan seorang salesperson tertentu.
. Komitmen pelanggan adalah bukti dari adanya emosi yang menstranformasikan
perilaku pembelian berulang menjadi suatu relationship. Jika konsumen tidak merasakan
adanya kedekatan dengan salesperson, maka hubungan antara konsumen dan salesperson
tidak memiliki karakteristik suatu hubungan. Temuan Mormaan et al. (1993) ini
didukung oleh studi yang dilakukan Venetis and Ghauri (2004). Venetis and Ghauri
menggunakan komitmen sebagai variabel antara yang memainkan peran penting dalam
membentuk hubungan jangka panjang. Penelitian ini merupakan replikasi penelitian
Michael et al (2007) dengan menggunakan dimensi salesperson service behavior yang
digunakan dalam penelitian tersebut dan memfokuskan pada pembentukan satisfaction
dan trust. Penelitian ini juga menekankan pada pengalaman konsumen ketika berinteraksi
dengan salesperson. Penelitian ini juga digunakan untuk mengetahui dimensi-dimensi
salesperson yang berpengaruh terhadap relationship quality dan mengidentifikasi
relationship quality yang mengarah pada Relationship Commitment. Namun demikian,
penelitian ini tidak menggunakan hubungan yang digunakan Michael et al (2007) dalam
mengidentifikasi hubungan relationship quality yang diteliti. Penelitian ini
mengidentifikasi hubungan relationship quality yang mengarah pada Relationship
Commitment dari Boonajsevee (2007)
Salesperson di industri kartu kredit diambil sebagai study kasus pada penelitian
ini. Ada beberapa alasan penelitian ini memilih sampel tersebut. Pertama, industri kartu
kredit merupakan setting yang ideal untuk memeriksa adanya the buyer-seller, dan sudah
sering digunakan di masa lalu pada penelitian yang terkait dengan penjualan ( misalnya,
Ahearne dkk., 1999; DeSarbo dkk., 2002). Hal ini menjadikan industri kartu kredit
khususnya penting untuk konteks dalam mengevaluasi kualitas layanan. Kedua,
Walaupun merek satu dengan yang lainnya saling bersaing. Dalam industri ini, pada
umumnya merk-merk tersebut dianggap sangat substitutable. Oleh sebab itu perusahaan
dalam industri ini cenderung mengarahkan salesperson mereka agar memiliki pengaruh
yang signifikan pada calon nasabah yang akan memakai kartu kredit.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disusun
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah Diligence, information communication, Inducements yang
ditunjukkan oleh salesperson kepada konsumennya membentuk
satisfaction konsumen terhadap service?
2. Apakah sportsmanship dan emphaty pada perilaku yang ditunjukkan oleh
salesperson membentuk trus konsumen pada service?
3. Bagaimana satisfaction dan trust dapat digunakan untuk mengadaptasi
Relationship Commitment ?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang diharapkan oleh peneliti berdasarkan latar belakang dan rumusan
masalah diatas adalah untuk mengetahui:
1. Diligence, information communication, Inducements yang ditunjukkan
oleh salesperson kepada konsumennya membentuk satisfaction konsumen
terhadap service
2. Sportsmanship dan emphaty pada perilaku yang ditunjukkan oleh
salesperson membentuk trus konsumen pada service
3. Satisfaction dan trust yang terbentuk dapat digunakan untuk mengadaptasi
Relationship Commitment
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Dapat memberikan wawasan tambahan yang sangat berharga pada bidang
ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan perilaku konsumen khususnya
bagaimana perilaku monsumen dapat dibentuk melalui pengaruh dari salesperson
1.4.2 Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti
Dapat memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengetahui hal–hal
yang menyangkut sikap konsumen dalam merespon salesperson service behavior
dan pengaruhnya terhadap relationship commitment
b. Bagi Lembaga Fakultas Ekonomi – UNAIR
Dapat memberikan sumbangan penelitian bagi khasanah ilmu pengetahuan
khususnya manajemen pemasaran mengenai perilaku dan sikap konsumen. Dan
hasil dari penelitian ini dapat memberikan informasi yang dapat digunakan
sebagai acuan bagi penelitian–penelitian selanjutnya.
1.5 Sistematika Penulisan Skripsi
Penulisan skripsi ini dibagi dalam lima bab, dimana antara bab yang satu dengan
yang lainnya terdapat keterkaitan yang erat. Adapun sistematika penulisannya adalah
sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Bagian ini mengemukakan ide dasar yang mendasari penyusunan skripsi
ini dan berisi latar belakang yang secara garis besar memuat hal-hal yang
mengantarkan pada pokok permasalahan, rumusan masalah yang menjadi
dasar dilakukannya penelitian, tujuan yang hendak dicapai dan manfaat
yang diharapkan dari penelitian serta sistematika penulisan skripsi.
BAB II : TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Bagian ini berisi uraian tentang konsep-konsep dan teori-teori yang
berkaitan dengan permasalahan yang dirumuskan yaitu tentang pengaruh
salesperson service behavior terhadap relationship Quality dan
pengaruhnya terhadap relationship commitment serta relationship
intention. Uraian tentang konsep dan teori ini diperoleh melalui studi
kepustakaan dari literatur, buku, jurnal, dan penelitian-penelitian
terdahulu.
BAB III : METODE PENELITIAN
Bagian ini akan menguraikan tentang pendekatan penelitian yang
digunakan oleh penulis, batasan pengertian, ruang lingkup analisis, jenis
dan sumber data, prosedur pengumpulan data dan teknik analisis yang
akan digunakan untuk menjawab perumusan masalah.
BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN
Bagian ini memberikan gambaran tentang data-data yang telah diolah
dan ditabulasikan, prosedur pengujian data yang telah dilakukan dan
pada akhirnya melakukan analisis data untuk menguji hipotesis yang
ada.
BAB V : SIMPULAN DAN SARAN
Bagian terakhir dari skripsi ini akan menyajikan suatu simpulan yang
ditarik dari permasalahan dan pembahasan yang ada, untuk selanjutnya
dapat diberikan saran-saran berupa pokok pikiran sebagai pemecahan
masalah yang telah dibahas didalam bab-bab sebelumnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teori
2.1.1 Pemasaran Jasa
Industri jasa pada saat ini merupakan sektor ekonomi yang sangat besar dan
tumbuh sangat pesat. Pertumbuhan tersebut selain diakibatkan oleh pertumbuhan jenis
jasa yang sudah ada sebelumnya, juga disebabkan oleh munculnya jenis jasa baru,
sebagai akibat dari tuntutan dan perkembangan teknologi. Dipandang dari konteks
globalisasi, pesatnya pertumbuhan bisnis jasa antar negara ditandai dengan meningkatnya
intensitas pemasaran lintas Negara serta terjadinya aliansi berbagai penyedia jasa di
dunia. Perkembangan tersebut pada akhirnya mampu memberikan tekanan yang kuat
terhadap perombakan regulasi, khususnya pengenduran proteksi dan pemanfaatan
teknologi baru yang secara langsung akan berdampak kepada menguatnya kompetisi
dalam industry (Lovelock, 2004 : 2). Kondisi ini secara langsung menghadapkan para
pelaku bisnis kepada permasalahan persaingan usaha yang semakin tinggi. Mereka
dituntut untuk mampu mengidentifikasikan bentuk persaingan yang akan dihadapi,
menetapkan berbagai standar kinerjanya serta mengenali secara baik para pesaingnya.
Dinamika yang terjadi pada sektor jasa terlihat dari perkembangan berbagai
industri seperti perbankan, asuransi, penerbangan, telekomunikasi, retail, konsultan dan
pengacara. Selain itu terlihat juga dari maraknya organisasi nirlaba seperti LSM, lembaga
pemerintah, rumah sakit, perguruan tinggi yang kini semakin menyadari perlunya
peningkatan orientasi kepada pelanggan atau konsumen. Perusahaan manufaktur kini juga
telah menyadari perlunya elemen jasa pada produknya sebagai upaya peningkatan
competitive advantage bisnisnya (Hurriyati, 2005: 41). Implikasi penting dari fenomena
ini adalah semakin tingginya tingkat persaingan, sehingga diperlukan manajemen
pemasaran jasa yang berbeda dibandingkan dengan pemasaran tradisional (barang).
Zeithaml and Bitner (2003 : 319) menyatakan bahwa pemasaran jasa adalah
mengenai janji-janji, janji yang dibuat kepada pelanggan dan harus dijaga. Kerangka
kerja strategik diketahui sebagai service triangle (Gambar 2.1) yang memperkuat
pentingnya orang dalam perusahaan menjaga janji mereka dan sukses dalam membangun
customer relationship. Segitiga menggambarkan tiga kelompok yang saling berhubungan
yang bekerja bersama untuk mengembangkan, mempromosikan dan menyampaikan jasa.
Ketiga pemain utama ini diberi nama pada poin segitiga: perusahaan (SBU atau
departemen atau manajemen), pelanggan dan provider (pemberi jasa). Provider dapat
pegawai perusahaan, subkontraktor, atau pihak luar yang menyampaikan jasa perusahaan.
Antara ketiga poin segitiga ini, tiga tipe pemasaran harus dijalankan agar jasa dapat
disampaikan dengan sukses: pemasaran eksternal (external marketing), pemasaran
interaktif (interactive marketing), dan pemasaran internal (internal marketing).
Pada sisi kanan segitiga adalah usaha pemasaran eksternal yaitu membangun
harapan pelanggan dan membuat janji kepada pelanggan mengenai apa yang akan
disampaikan. Sesuatu atau seseorang yang mengkomunikasikan kepada pelanggan
sebelum menyampaikan jasa dapat dipandang sebagai bagian dari fungsi pemasaran
eksternal. Pemasaran eksternal yang merupakan permulaan dari pemasaran jasa adalah
janji yang dibuat harus ditepati
Gambar 2.1 THE SERVICES MARKETING TRIANGLESumber: Zeithaml and Bitner (2003:319)
Pada dasar segitiga adalah akhir dari pemasaran jasa yaitu pemasaran interaktif
atau real time marketing. Disini janji ditepati atau dilanggar oleh karyawan,
subkontraktor atau agen. Ini merupakan titik kritis. Apabila janji tidak ditepati pelanggan
akan tidak puas dan seringkali meninggalkan perusahaan. Sisi kiri segitiga menunjukkan
peran kritis yang dimainkan pemasaran internal. Ini merupakan kegiatan manajemen
untuk membuat provider memiliki kemampuan untuk menyampaikan janji-janji yaitu
perekrutan, pelatihan, motivasi, pemberian imbalan, menyediakan peralatan dan
teknologi. Apabila provider tidak mampu dan tidak ingin memenuhi janji yang dibuat,
perusahaan akan gagal, dan segitiga jasa akan runtuh.
Company
Eksternal MarketingMaking Promises
Customers
Interactive MarketingKeeping Promises
Provider
Internal MarketingEnabling Promises
2.1.1.1 Pengertian Jasa
Kotler and Keller (2006 : 372) mengemukakan pengertian jasa (service) sebagai
berikut: “A service is any act or performance that one party can offer to another that is
essentially intangible and does not result in the ownership of anything. Its production
may or may not be tied to a physical product.” (Jasa adalah setiap tindakan atau kinerja
yang ditawarkan oleh satu pihak ke pihak lain yang secara prinsip tidak berwujud dan
tidak menyebabkan perpindahan kepemilikan. Produksi jasa dapat terikat atau tidak
terikat pada suatu produk fisik). Selanjutnya Stanton (2002 : 537) mengemukakan
definisi jasa sebagai berikut:
“Services are identifiable, intangible activities that are the main object of a transaction
designed to provide want-satisfaction to customers. By this definition we exclude
supplementary services that support the sale of goods or other services.”
Zeithaml and Bitner (2003 : 3) mengemukakan definisi jasa sebagai berikut:
Include all economic activities whose output is not a physical product or
construction, is generally consumed at the time it is produced, and provided
added value in forms (such as convenience, amusement, timeliness, comfort, or
health) that are essentially intangible concerns of its first purchaser.
Jasa pada dasarnya adalah seluruh aktivitas ekonomi dengan output selain produk dalam
pengertian fisik, dikonsumsi dan diproduksi pada saat bersamaan, memberikan nilai
tambah dan secara prinsip tidak berwujud bagi pembeli pertamanya.
2.1.1.2 Karakteristik Jasa
Menurut Zeithaml and Bitner (2003 : 20), jasa memiliki empat ciri utama yang
sangat mempengaruhi rancangan program pemasaran, yaitu sebagai berikut:
1. Tidak berwujud (Intangibility)
Jasa merupakan sesuatu yang tidak berwujud, artinya tidak dapat dilihat,
dirasa, diraba, dicium sebelum dibeli. Hal ini mengakibatkan pelanggan tidak
dapat memprediksi hasilnya sebelum membeli jasa tersebut. Kesulitan untuk
memprediksi suatu jasa membuat seseorang mencari bukti-bukti yang dapat
menunjukkan kualitas suatu jasa. Kualitas suatu jasa dapat diprediksikan
melalui tempat jasa tersebut diproduksi atau dihasilkan orang penghasil jasa,
peralatan, alat komunikasi, simbol dan harga jasa tersebut. Beberapa hal yang
dapat dilakukan perusahaan untuk meningkatkan kepercayaan calon konsumen,
yaitu sebagai berikut: (a) Meningkatkan visualisasi jasa yang tidak berwujud,
(b) Menekankan pada manfaat yang diperoleh, (c) Menciptakan suatu nama
merek (brand name) bagi jasa, atau (d) Memakai nama orang terkenal untuk
meningkatkan kepercayaan konsumen.
2. Tidak terpisahkan (inseparability).
Jasa tidak dapat dipisahkan dari sumbernya, yaitu perusahaan jasa yang
menghasilkannya. Jasa diproduksi dan dikonsumsi pada saat bersamaan. Jika
konsumen membeli suatu jasa maka ia akan berhadapan langsung dengan
sumber atau penyedia jasa tersebut, sehingga penjualan jasa lebih diutamakan
untuk penjualan langsung dengan skala operasi terbatas. Untuk mengatasi
masalah ini, perusahaan dapat menggunakan strategi-strategi, seperti bekerja
dalam kelompok yang lebih besar, bekerja lebih cepat, serta melatih pemberi
jasa supaya mereka mampu membina kepercayaan konsumen.
3. Bervariasi (variability).
Jasa yang diberikan sering kali berubah-ubah tergantung siapa yang
menyajikannya, kapan dan dimana penyajian jasa tersebut dilakukan. Ini
mengakibatkan sulitnya menjaga kualitas jasa berdasarkan suatu standar.
Untuk mengatasi hal tersebut, perusahaan dapat menggunakan tiga pendekatan
dalam pengendalian kualitasnya, yaitu sebagai berikut: (a) Melakukan investasi
dalam seleksi dan pelatihan personil yang baik. (b). Melakukan standarisasi
proses produksi jasa. (c) Memantau kepuasan pelanggan melalui sistem saran
dan keluhan, survei pelanggan, dan comparison shopping, sehingga pelayanan
yang kurang baik dapat diketahui dan diperbaiki.
4. Mudah musnah (perishability).
Jasa tidak dapat disimpan sehingga tidak dapat dijual pada masa yang akan
datang. Keadaan mudah musnah ini bukanlah suatu masalah jika
permintaannya stabil, karena mudah untuk melakukan persiapan pelayanan
sebelumnya. Jika permintaan berfluktuasi, maka perusahaan akan menghadapi
masalah yang sulit dalam melakukan persiapan pelayanannya. Untuk itu perlu
dilakukan perencanaan produk, penetapan harga, serta program promosi yang
tepat untuk mengantisipasi ketidaksesuaian antara permintaan dan penawaran
jasa.
2.1.3 Dimensi-dimensi Salesperson Service Behavior
Crosby et.al (1997) yang menyatakan bahwa relationship quality adalah bentuk
permintaan yang tinggi yang mengandung kepuasan (satisfaction) dan kepercayaan
(trust) pada salesperson. Hal tersebut mengingatkan tentang pentingnya meningkatkan
kualitas dari buyer-seller relationship, karena sejak awal penjualan perilaku salesperson
dalam memberikan service (salesperson service behavior) dapat meningkatkan
relationship quality yang terdiri atas kepuasan dan kepercayaan konsumen.
Churchill (1979) dan Michael et al (2007) mengintegrasikan pendekatan
mengenai dimensi-dimensi salesperson service behavior sehingga dimensi-dimensi
salesperson service behavior terdiri atas Diligence, information communication,
Inducements, sportsmanship dan emphaty.
Diligence merupakan suatu gabungan dari dua jenis perilaku: responsiveness dan
reliability. Para konsumen menunjukkan bahwa di dalam lingkungan bisnis saat ini yang
bersifat hiper-kompetitif, dan membutuhkan banyak waktu, para salesperson harus
memberikan layanan mereka dengan tepat waktu agar para konsumen
mempertimbangkan perilaku tersebut sebagai hal yang dapat diandalkan dan akurat.
Berry, Zeithaml, dan Parasuraman (1990, hal 30) menyatakan bahwa responsiveness dan
reliability dalam SERVQUAL mengukur reliability sebagai "the heart of excellent
service" dan menunjukkan reliability yang bagus dan responsiveness dapat memuaskan
pelanggan. Ingram (1996) berpendapat, bahwa perilaku-perilaku tersebut dapat
membantu meningkatkan satisfaction pelanggan.
Sementara itu para konsumen menunjukkan bahwa salah satu komponen paling
penting pada salesperson dalam memberikan layanan adalah information communication,
dan para konsumen menyetujui bahwa hal ini harus meliputi keseluruhan proses
penjualan dan tidak hanya berhenti ketika mereka mulai melakukan pembelian.
Parasuraman dkk. (1988) menjelaskan bahwa penting secara efektif dalam melayani dan
memuaskan konsumen. Selain itu, penelitian lain menunjukkan bahwa pelanggan akan
menilai lebih baik salesperson yang selalu berbagi informasi (Anderson & Narus, 1990;
Morgan & Hunt, 1994). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dengan komunikasi
informasi secara efektif, salesperson sedang berusaha untuk meningkatkan satisfaction
pelanggan.
Inducement merupakan suatu perilaku yang ditujukan dalam mempersonalisasi
berbagai kejadian personal. Para konsumen menjelaskan bahwa inducement yang
demikian dapat “brighten their day” dan dapat “membedakan” satu tenaga sales dari
tenaga sales lainnya dan menunjukkan bahwa pemberian hadiah merupakan cara unik
untuk mengucapkan terima kasih, membangun hubungan dengan pelanggan, dan
membuat kesan yang baik serta meningkatkan satisfaction (Bird, 1989; Crosby dkk.,
1990; McMaster, 2001; The American Salesman, 1997).
Empathy merupakan suatu demonstrasi atas ketertarikan dan perhatian
salesperson atas kesejahteraan konsumennya (Jones, Stevens, & Chonko, 2005).
Parasuraman t al. (1985) memasukan empathy sebagai dimensi yang penting dari
SERVQUAL. Empathy memerlukan demonstrasi kemauan untuk memahami posisi
pelanggan, sehingga lebih menuntut bisnis untuk menyadari nilai pelanggan (Comer &
Drollinger, 1999). Dalam buku The Seven Habits of Highly Effective People, Covey
(1989) menjelaskan bahwa empathy adalah kunci yang benar-benar efektif dalam
membangun interpersonal relationship. Karena memprioritaskan pemahaman pihak lain
yang lebih penting daripada pemahaman sendiri, empathy membangun sebuah "emotional
bank account" dengan pihak lain, sehingga empathy dapat dikatakan sebagai pemimpin
dalam membentuk kepercayaan. Penelitian lain menunjukkan bahwa kurangnya Empathy
akan mengurangi trust konsumen (Comer & Drollinger, 1999; Ingram, 1996)
Sportmanship merupakan suatu keinginan salesperson untuk mentoleransi
berbagai kondisi yang kurang ideal tanpa menunjukkan sifat negatif. Di dalam konteks
hubungan konsumen, sportmanship berarti menunjukkan penghakiman atau anggapan
sosial yang baik dan profesionalisme selama proses interaksi dengan kliennya. Dalam
penelitian ini menyatakan bahwa sportsmanship sama dengan empathy yang berasal dari
kualitas salesperson yang lebih kekal. Sementara Diligence, information communication,
dan inducements lebih mengarah pada perilaku untuk jangka pendek, sportmanship lebih
bertahan dan kemungkinan dapat mempengaruhi pelanggan untuk melihat siapa
salesperson yang baik dan siapa salesperson yang menunjukkan kebajikan lebih, oleh
sebab itu dapat sportsmanship merupakan bagian penting dari trust (Doney & Cannon,
1997; Ganesan, 1994).
Lima dimensi tersebut penting karena mereka membantu menumbuhkan
relationship quality.
2.1.4 Kepercayaan (Trust)
Morgan dan Hunt (1994) menyatakan bahwa kepercayaan merupakan variable
kunci bagi kesuksesan relationship marketing. Variable ini memiliki dampak yang kuat
pada keefektifan dan keefisienan relationship marketing. Kepercayaan adalah suatu
keadaan yang terjadi ketika seorang mitra percaya atas keandalan serta kejujuran
mitranya. Kepercayaan melibatkan kesediaan seseorang untuk bertingkah laku tertentu
karena keyakinan bahwa mitranya akan memberikan apa yang ia harapkan dan suatu
harapan yang umumnya dimiliki seseorang bahwa kata, janji atau pernyataan orang lain
dapat dipercaya (Barnes, 2003:148).
Sheth (2004) mendefinisikan sebagai berikut “Trust is a willingness to rely on the
ability, integrity and motivation of the other party to act to serve the needs and interests
as a agreed upon implicitly or explicitly”. Pengertian tersebut memiliki beberapa hal
penting yang dapat dicatat yaitu:
1. Konsumen yang memiliki kepercayaan akan bersedia untuk bergantung
pada penyedia jasa dan juga bersedia untuk melakukan tindakan untuk
penyedia jasa.
2. Kepercayaan memiliki tiga aspek dari karakteristik penyedia jasa yaitu
ability, integrity, motivation. Pertama-tama konsumen akan menilai
apakan provider cukup kompeten untuk menjalankan kewajibannya dan
melayani konsumen. Kedua konsumen akan menilai apakah perusahaan
memiliki integritas, dimana konsumen dapat percaya pada pekerjaan
perusahaan. Terakhir konsumen mempercayai bahwa penyedia jasa
memiliki motivasi untuk tidak melakukan tindakan yang tidak sesuai
dengan harapan konsumen.
3. Pihak yang dipercaya akan menjaga pihak yang lain, memperlihatkan
kebutuhan dan harapan pihak lain tersebut, bukan hanya memperlihatkan
kebutuhan dan harapannya sendiri.
Kepercayaan adalah keyakinan bahwa pasangan dalam sebuah hubungan akan
melakukan yang terbaik untuk apa yang diinginkan pasangannya (Wilson,1995). Waktu
adalah salah satu elemen yang perlu diperhitungkan ketika membicarakan kepercayaan
konsumen pada penyedia jasa dalam relationship marketing. Wilson (1995) juga
menambahkan bahwa kepercayaan adalah elemen dasar pembangunan model relationship
quality.
Kepercayaan merupakan kunci dari relationship quality karena mendorong
pemasar untuk:
1. Bekerja dengan lebih menekankan investasi pada menjaga hubungan
kerjasama yang baik dengan mitra mereka.
2. Menolak alternative jangka pendek yang menarik dengan menekankan pada
manfaat jangka panjang dengan adanya hubungan yang baik dengan
konsumen.
3. Melihat kegiatan yang beresiko tinggi dengan lebih bijaksana karena percaya
bahwa mitranya tidak akan bertindak secara oportunis
Menurut Peppers and Rogers (2004: 43), kepercayaan adalah keyakinan satu
pihak pada reliabilitas, durabilitas, dan integritas pihak lain dalam relationship dan
keyakinan bahwa tindakannya merupakan kepentingan yang paling baik dan akan
menghasilkan hasil positif bagi pihak yang dipercaya. Kepercayaan merupakan hal
penting bagi kesuksesan relationship. Benefit relationship yang didasarkan pada
kepercayaan adalah signifikan dan menggambarkan hal-hal berikut:
1. Cooperation.
Kepercayaan dapat meredakan perasaaan ketidakpastian dan risiko, jadi bertindak
untuk menghasilkan peningkatan kerjasama antara anggota relationship. Dengan
meningkatnya tingkat kepercayaan, anggota belajar bahwa kerjasama memberikan
hasil yang melebihi hasil yang lebih banyak dibandingkan apabila dikerjakan
sendiri.
2. Komitmen.
Komitmen merupakan komponen yang dapat membangun relationship dan
merupakan hal yang mudah hilang, yang akan dibentuk hanya dengan pihak-pihak
yang saling percaya.
3. Relationship duration.
Kepercayaan mendorong anggota relationship bekerja untuk menghasilkan
relationship dan untuk menahan godaan untuk tidak mengutamakan hasil jangka
pendek dan atau bertindak secara oportunis. Kepercayaan dari penjual secara
positif dihubungkan dengan kemungkinan bahwa pembeli akan terlibat dalam
bisnis pada masa yang akan datang, oleh karena itu memberikan kontribusi untuk
meningkatkan durasi relationship.
4. Kualitas.
Pihak yang percaya lebih mungkin untuk menerima dan menggunakan informasi
dari pihak yang dipercaya, dan pada gilirannya menghasilkan benefit yang lebih
besar dari informasi tersebut. Akhirnya, adanya kepercayaan memungkinkan
perselisihan atau konflik dapat dipecahkan secara efisien dan damai. Dalam
kondisi tidak ada kepercayaan, perselisihan dirasakan merupakan tanda akan
adanya kesulitan pada masa yang akan datang dan biasanya menyebabkan
berakhirnya relationship.
Pada penelitian ini, definisi kepercayaan yang akan dipakai sebagai dasar teori
untuk kemudian digunakan sebagai penentu indicator,adalah defisi menurut Morgan dan
Hunt (1994), yaitu kepercayaan pelanggan adalah keadaan dimana suatu pihak (calon
pengguna kartu kredit) memiliki keyakinan reliabilitas dan integritas terhadap
salesperson kartu kredit BCA. Kepercayaan yang terbentuk dari behavior yang
ditunjukkan oleh salesperson akan dikaitkan dengan kepuasan pelanggan dalam
membentuk relationship commitment.
2.1.5 Kepuasan Pelanggan
Kepuasan adalah tingkat perasaan dimana seseorang menyatakan hasil
perbandingan atas kinerja produk atau jasa yang diterima dan yang diharapkan. Kepuasan
merupakan fungsi dari persepsi/kesan atas kinerja dan harapan, jika kinerja berada di
bawah harapan, pelanggan tidak puas. Jika kinerja memenuhi harapan, pelanggan puas,
jika kinerja melebihi harapan, pelanggan amat puas atau senang (Kotler et al,2002)
Mencapai tingkat kepuasan pelanggan tertinggi adalah tujuan utama pemasaran.
Pada kenyataannya, akhir-akhir ini banyak perhatian tercurah pada konsep kepuasan
“total,” yang implikasinya adalah mencapai kepuasan sebagian saja tidaklah cukup untuk
membuat pelanggan setia dan kembali lagi. Ketika pelanggan merasa puas akan
pelayanan yang didapatkan pada saat proses transaksi dan juga puas akan barang atau
jasa yang mereka dapatkan, besar kemungkinan mereka akan kembali lagi dan melakukan
pembelian-pembelian yang lain dan juga akan merekomendasikan pada teman-teman dan
keluarganya tentang perusahaan tersebut dan produk-produknya. Juga kecil
kemungkinannya mereka berpaling ke pesaing-pesaing perusahaan. Mempertahankan
kepuasan pelanggan dari waktu ke waktu akan membina hubungan yang baik dengan
pelanggan. Hal ini dapat meningkatkan keuntungan perusahaan dalam jangka panjang.
Beberapa penulis memberikan definisi mengenai kepuasan pelanggan. Spreng et
al. (1996) menyatakan bahwa perasaan puas pelanggan timbul ketika konsumen
membandingkan persepsi mereka mengenai kinerja produk atau jasa dengan harapan
mereka. Tse and Wilson (1988) menyatakan kepuasan dan ketidakpuasan adalah respon
pelanggan terhadap ketidaksesuaian (disconfirmation) yang dirasakan antara harapan
sebelumnya (atau norma kinerja lainnya) dan kinerja aktual produk yang dirasakan
setelah pemakaiannya. Lebih jauh lagi Tse and Wilson (1988) menguraikan dua variabel
utama yang menentukan kepuasan pelanggan, yaitu expectations dan perceived
performance. Apabila perceived performance melebihi expectations maka pelanggan
akan puas, tetapi apabila sebaliknya maka pelanggan merasa tidak puas.
Kotler and Keller (2006:136), menyatakan bahwa kepuasan pelanggan adalah
perasaan senang atau kekecewaan seseorang setelah membandingkan kinerja atau hasil
yang dirasakan dibandingkan dengan harapannya. Dari beberapa uraian tersebut dapat
diketahui bahwa kepuasan konsumen dihasilkan dari proses perbandingan antara kinerja
yang dirasakan dengan harapannya, yang menghasilkan disconfirmation paradigm.
Fornell et al. (1996) dalam temuannya menyebutkan bahwa (1) kepuasan konsumen
secara menyeluruh adalah hasil evaluasi dari pengalaman konsumsi sekarang yang
berasal dari keandalan dan standarisasi pelayanan; (2) kepuasan konsumen secara
menyeluruh adalah hasil perbandingan tingkat kepuasan dari usaha yang sejenis, dan (3)
bahwa kepuasan konsumen secara menyeluruh diukur berdasarkan pengalaman dengan
indikator harapan secara keseluruhan, harapan yang berhubungan dengan kebiasaan, dan
harapan yang berhubungan dengan keandalan jasa tersebut.
Selain itu, terdapat beberapa teori tentang kepuasan yakni equity theory dan
atribution theory. Menurut teori equity, seseorang akan merasa puas bila rasio hasil
(outcome) yang diperolehnya dibandingkan dengan input yang digunakan, dirasakan fair
atau adil. Dengan kata lain, kepuasan terjadi apabila konsumen merasakan bahwa rasio
hasil terhadap inputnya (outcome dibandingkan dengan input) proporsional terhadap rasio
yang sama yang diperoleh orang lain (Oliver and De Sarbo, 1988), sedangkan atribution
theory berasal dari teori Weiner (1971) yang dikembangkan oleh Oliver and De Sarbo
(1988) dan Engel et al. (1990). Teori ini menyatakan bahwa ada tiga dimensi yang
menentukan keberhasilan atau kegagalan outcome, sehingga dapat ditentukan apakah
suatu pembelian memuaskan atau tidak memuaskan. Ketiga dimensi tersebut adalah:
1. Stabilitas atau variabilitas. Apakah faktor penyebabnya sementara atau permanen.
2. Locus of causality. Apakah penyebabnya berhubungan dengan konsumen
(external atribution) atau dengan pemasar (internal atribution). Internal
atribution seringkali dikaitkan dengan kemampuan dan usaha yang dilakukan
oleh pemasar, sedangkan external atribution dihubungkan dengan berbagai teori
seperti tingkat kesulitan suatu tugas (task difficulty) dan factor keberuntungan.
3. Controllability. Apakah penyebab tersebut berada dalam kendali ataukah
dihambat oleh faktor luar yang tidak dapat dipengaruhi.
Kepuasan pelanggan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perasaan senang
atau kecewa pengguna kartu kredit BCA yang muncul setelah membandingkan antara
persepsi/kesannya pada behavior yang ditunjukkan salesperson kartu kredit BCA
terhadap kinerja bank BCA dengan harapan-harapannya. Kepuasan dapat dicapai apabila
pengguna kartu kredit BCA merasa puas atas promise yang ditunjukkan oleh salesperson
behavior kartu kredit BCA dengan kenyataan yang didapat.
2.1.6 Komitmen untuk berhubungan (Relationship Commitment)
Morgan and Hunt (1994) dalam Chen,et al. (2002) mendefinisikan komitmen
sebagai “an exchange partner believing that on going relationship with another is so
important as to warrant maximum efforts at maintaining it; that is, the committed party
believes the relationship is worth working on to ensure that it endures indefinitly.”
Definisi ini hampir sama dengan yang disampaikan oleh Moorman et al. (1992)
dalam Hoccut (1998) yang menyatakan bahwa komitmen sebagai keinginan yang terus –
menerus untuk memelihara hubungan yang bernilai. Relationship yang bernilai
berhubungan dengan keyakinan bahwa komitmen relasional hanya ada ketika
relationship dipertimbangkan sebagai hal yang penting. Selain itu, keinginan yang terus
menerus untuk mempertahankan hubungan berhubungan dengan pandangan bahwa mitra
yang komit menginginkan relationship dapat berjalan terus-menerus dan akan berusaha
untuk mempertahankannya.
Barnes (2003:150) menyatakan bahwa komitmen adalah suatu keadaan psikologis
yang secara global mewakili pengalaman ketergantungan pada suatu hubungan;
komitmen meringkas pengalaman ketergantungan sebelumnya dan mengarahkan reaksi
pada situasi baru. Komitmen merupakan orientasi jangka panjang dalam suatu hubungan,
termasuk keinginan untuk mempertahankan hubungan itu.
Dalam area pemasaran jasa, Berry and Parasuraman (1991:139) menyatakan
bahwa relationships dibangun di atas fondasi mutual komitmen. Selain itu komitmen juga
merupakan proses pelanggan untuk memiliki keinginan menjalin hubungan dengan
perusahaan tertentu. Tema yang sering muncul dari berbagai literatur relationship adalah
berbagai pihak mengidentifikasi komitmen di antara mitra pertukaran sebagai kunci
untuk memperoleh hasil yang bernilai bagi mereka, dan mereka berusaha keras untuk
mengembangkan dan memelihara atribut bernilai ini dalam relationship mereka. Oleh
karena itu, komitmen adalah sentral bagi semua pertukaran relasional antara perusahaan
dan berbagai mitranya.
Secara umum ada dua tipe komitmen yang berbeda. Calculative dan affective
(Peppers and Rogers, 2004 : 46). Calculative commitment berhubungan dengan tipe
instrumen dari komitmen, dan sebagai perluasan dari kebutuhan untuk mempertahankan
relationship yang disebabkan oleh adanya manfaat ekonomi dan switching cost.
Calculative commitment dihasilkan dari analisis ekonomi dari biaya dan manfaat dengan
membuat komitmen.. Sementara affective commitment timbul karena seseorang memiliki
ikatan emosional, bukan karena alasan ekonomi. Calculative commitment berhubungan
negatif dengan kepercayaan dan didasarkan pada perhitungan biaya dan benefit. Jadi
tidak kondusif bagi perkembangan relationship jangka panjang. Sebaliknya, affective
commitment didasarkan pada relationship yang berkesinambungan, bukan karena benefit
ekonomi jangka pendek, tetapi karena setiap pihak merasakan kedekatan emosional atau
psikologikal satu sama lain. Affective commitment secara positif berhubungan dengan
kepercayaan dan mendukung benefit relationship dalam waktu yang lebih lama,
menurunkan opportunism, dan keinginan untuk memecahkan konflik dengan cara damai.
Oleh karena komitmen bersifat rentan, relationship dijalin dengan pihak yang
dapat dipercaya. Oleh sebab itu, kepercayaan adalah kontributor yang kuat bagi
komitmen. Sepanjang garis yang sama, komunikasi dan pertukaran informasi yang
terbuka dapat digunakan untuk menciptakan sikap positif anggota relationship dan dapat
digunakan untuk menguatkan benefit relationship. Anggota relationship yang
menunjukkan kemampuan untuk menyampaikan manfaat superior akan dinilai tinggi oleh
pihak yang secara senang melibatkan diri dalam relationship.
Pada penelitian ini Relationship commitment akan dikaitkan dengan Relationship
Quality yang terdiri atas kepuasan dan kepercayaan pelanggan. Artinya kepercayaan serta
kepuasan pengguna kartu kredit BCA yang terbentuk dari behavior yang ditunjukkan
oleh salesperson kartu kredit BCA akan mempengaruhi dalam pembentukan relationship
commitment para penggu kartu kredit BCA.
2.2 Penelitian Sebelumnya
Tema penulisan proposal skripsi mengenai pengaruh Salesperson Service
Behavior tehadap pembentukan Relationship Quality yang mengarah pada Relationship
Commitment belum pernah dilakukan di lingkungan Fakultas Ekonomi Universitas
Airlangga. Penelitian ini disusun berdasarkan jurnal yang telah dibuat oleh Michael
Aheame, Ronald Jelinek dan Eli Jones yang meneliti tentang “Examining the effect of
Salesperson Service Behavior in a competitive context”
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh Salesperson Service
Behavior yang meliputi diligence, Information Communication,Inducement terhadap
Satisfaction,dan untuk melihat pengaruh Salesperson Service Behavior yang meliputi
Sportmanship, Empathy terhadap Trust. Serta melihat pengaruh Satisfaction dan Trust
yang terbentuk terhadap Share of customer. Data dikumpulkan dengan menjalankan
serangkaian wawancara kualitatif dengan para penjual dan pembeli di New York.
Kuesioner dikirim kepada 15 salesperson dalam bidang medis, 20 kepada physicians,
administrative assistants dan 8 physician assistants. Hipotesis diuji dengan Structural
Equation Modeling (SEM) . Hasil penelitian menunjukkan bahwa komponen Salesperson
Service Behavior yang meliputi Diligence, Information Communication, Inducement
berpengaruh positif langsung terhadap Satisfaction dan berpengaruh tidak langsung
terhadap Trust. Dan komponen Salesperson Service Behavior yang meliputi
Sportmanship, Empathy berpengaruh langsung positif terhadap Trust. Dengan catatan
bahwa Sportmanship juga mempunyai pengaruh terhadap Satisfaction. Sementara
Inducement mempunyai pengaruh langung tidak hanya pada Satisfaction tetapi juga pada
Share of Customer. Namun tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara Satisfaction
dengan Share of Customer.
Persamaannya antara penelitian yang telah dibuat oleh Michael Aheame, Ronald
Jelinek dan Eli Jones dengan penelitian ini adalah keduanya memakai komponen yang
sama pada Salesperson Service Behavior yang diteliti yaitu Diligence, Information
Communication, Inducement, Sportmanship dan Empathy yang akan mempengaruhi
dalam pembentukan Relationship Quality yang terdiri dari Trust dan Satisfaction.
Namun, penelitian ini tidak meneliti Relationship Quality yang mempengaruhi
pembentukan Share of Customer melainkan meneliti pengaruh Relationship Quality pada
Relationship Commitment yang dikembangkan dari studi Boonajsevee (2005), dan
Hennig- Thurau et al. (2002). Selain itu pada proposal skripsi ini dilakukan penelitian
pada perusahaan perbankan dimana kualitas pelayanan sangat penting artinya. Sedangkan
menurut jurnal Michael Aheame, Ronald Jelinek dan Eli Jones pelaksanaan penelitiannya
dilakukan di area rumah sakit.
2.3. Kerangka Analisis dan Hipotesis
2.3.1. Kerangka Analisis
Berdasarkan tujuan penelitian dan landasan teori, maka kerangka berpikir yang
digunakan dalam penelitian ini disusun seperti gambar 2.1 Kerangka ini menggambarkan
karakteristik Salesperson Service Behavior yang diteliti yaitu Diligence, Information
Communication, Inducement, Sportmanship dan Empathy menjadi variabel bebas yang
dikutip dari (Crosby et al., 1990; Doney&Cannon., 1997; Ganesan, 1994; Moorman,
Deshpande,& Zaltman., 1993; Morgan&Hunt., 1994;Ramsey&Sohi, 1997; Michael et
al.2007) yang berpengaruh terhadap Relationship Quality dan Relationship Commitment.
Gambar 2.1
2.3.2. Hipotesis
Berdasarkan landasan teori yang telah dijelaskan dan hasil penelitian terdahulu,
maka hipotesis yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah:
Ada kecenderungan bahwa Salesperson yang menunjukkan behavior Diligence
dalam melayani calon konsumen akan meningkatkan satisfaction dari calon konsumen
tersebut. Sehingga dapat disusun hipotesis sebagai berikut:
H1 : Diligence berpengaruh langsung secara positif terhadap pembentukan Satisfaction.
Seperti telah dijelaskan bahwa Information Communication adalah suatu behavior
yang wajib dimiliki seorang salesperson dalam melayani para calon konsumennya. Oleh
sebab itu behavior ini akan mendorong tercapainya satisfaction konsumen. Sehingga
dapat disusun hipotesis sebagai berikut:
H2 : Information Communication berpengaruh langsung secara positif terhadap
pembentukan Satisfaction.
Inducement adalah suatu behavior yang jarang diberikan oleh seorang
salesperson.Oleh sebab itu jika seorang salesperson menunjukkan behavior Inducement
maka otomatis Satisfaction konsumenpun akan meningkat. Sehingga dapat disusun
hipotesis sebagai berikut:
H3 : Inducement berpengaruh langsung secara positif terhadap pembentukan Satisfaction
Sportmanship yang ditunjukkan pada konsumen yang tepat akan memberikan
dampak positif pada Trust yang akan diperikan oleh konsumen. Sehingga dapat disusun
hipotesis sebagai berikut:
H4 : Sportmanship berpengaruh langsung secara positif terhadap pembentukan Trust.
Seorang salesperson yang memiliki Empathy yang besar terhadap konsumennya
cenderung akan membuat konsumennya meningkatkan kepercayaannya. Sehingga dapat
disusun hipotesis sebagai berikut:
H5 : Empathy berpengaruh langsung secara positif terhadap pembentukan Trust.
Ada kecenderungan bahwa peningkatan satisfaction pelanggan akan membangun
Relationship Commitment yang lebih kuat terhadap produk yang ditawarkan oleh seorang
salesperson.Sehingga dapat disusun hipotesis sebagai berikut:
H6 : Satisfaction berpengaruh langsung secara positif terhadap pembentukan Relationship
Commitment.
Konsumen yang mepunyai kepercayaan yang tinggi terhadap seorang salesperson,
cenderung tidak ingin dilayani oleh salesperson lainnya dengan kata lain akan
meningkatkan relationship Commitment yang dimiliki antara salesperson dengan
konsumen tersebut. Sehingga dapat disusun hipotesis sebagai berikut:
H7 : Trust berpengaruh langsung secara positif terhadap pembentukan Relationship
Commitment.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan kuantitatif, dengan merumuskan
hipotesis yang selanjutnya dilakukan pengujian statistik untuk menerima atau menolak
hipotesis. Pada penelitian ini digunakan analisis kausal, yaitu bagaimana satu variabel
mempengaruhi, atau “bertanggungjawab atas” perubahan-perubahan dalam variabel
lainnya (Cooper dan Emory, 1996:136).
Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian yang berusaha mengetahui pengaruh
Salesperson Service Behavior terhadap Relationship Quality yang akan mengarah pada
Relationship Commitment.
3.2. Identifikasi Variabel
Variabel merupakan karakter atau sifat dari obyek kajian yang relevan dengan
permasalahan penelitian (Solimun, 2002: 3).
Dalam penelitian ini, variabel-variabel yang akan dianalisis diidentifikasi sebagai
berikut:
1. Variabel bebas/independent.
Variabel bebas adalah variabel yang dimanipulasi dan efek yang timbul
nantinya diukur lalu dibandingkan (Malhotra, 1999 : 217). Variabel bebas
dalam penelitian ini meliputi, Diligence (X1), Information Communication
(X2), Inducement (X3), Sportmanship (X4) dan Empathy (X5).
2. Variabel tergantung atau terikat (dependent)
Variabel terikat adalah variabel yang mengukur efek dari variabel bebas
pada test unit (Malhotra, 1999 :217). Melalui analisis terhadap variabel
terikat, peneliti dapat menemukan jawaban atau solusi atas masalah
(Sekaran, 2006 : 116). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah
Relationship Quality yang terdiri dari Satisfaction dan Trust dan juga
Relationship Commitment.
3.3. Definisi Operasional
Menurut Danim (1997: 101), variabel akan tampak lebih bernilai apabila
didefinisikan secara operasional. Definisi operasional merupakan penentuan dari
abstraksi fenomena-fenomena kehidupan nyata yang diamati sehingga menjadi varabel
yang dapat diukur (Indriantoro dan Supomo, 1999; 85).
Definisi operasional dari masing-masing variabel penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Variabel bebas (X)
Salesperson Service Behavior merupakan perilaku salesperson dalam
memberikan service (salesperson service behavior) dimana dapat meningkatkan
relationship quality yang terdiri atas kepuasan dan kepercayaan konsumen.
Dalam penelitian ini, Salesperson Service Behavior sebagai variabel bebas
menggunakan dimensi-dimensi yaitu:
a. Diligence
Diligence merupakan suatu gabungan dari dua jenis perilaku: responsifitas dan
reliabilitas.
b. Information Communication
c. Inducement
3.4. Jenis dan Sumber Data
1. Data primer
Data primer merupakan sumber data penelitian yang diperoleh secara
langsung dari sumber asli (tidak melalui media perantara). Data primer dapat
berupa opini subyek secara individual atau kelompok, hasil observesi terhadap
suatu benda, kejadian atau kegiatan (Indriantoro dan Suporno, 1999: 88).
Dalam penelitian ini, data primer diperoleh dari hasil jawaban responden atas
kuisioner yang disesuaikan dengan karakteristik sampel yang ada dalam
penelitian ini.
2. Data sekunder
Data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh secara tidak
langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain)
berupa bukti, catatan atau laporan historis yang telah tersusun dalam arsip
(data dokumenter) yang dipublikasikan dan yang tidak dipublikasikan
(Indriantoro dan Supomo, 2002: 147).
3.5 Prosedur Penentuan Sampel
Permasalahan yang ada dalam penelitian kuantitatif umumnya berkaitan dengan
populasi data yang diteliti. Populasi merupakan sekelompok orang, kejadian atau segala
sesuatu yang mempunyai karakteristik tertentu (Indriantoro dan Supomo, 2002: 115-116).
Menurut Sugiyono (2000 : 55), populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas;
obyek atau subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan
oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi dalam
penelitian ini adalah individu berusia 17-55 tahun serta merupakan golongan masyarakat
menengah ke atas yang memiliki dan menggunakan kartu kredit BCA .
Alasan ditetapkannya populasi dengan usia minimum adalah karena usia batasan
seseorang yang diperbolehkan olh bank untuk memiliki sebuah kartu kredit adalah
individu yang sudah memiliki kartu tanda penduduk (KTP). Sedangkan syarat untuk
mendapatkan KTP tersebut adalah individu yang telah berusia 17 tahun. Instrumen yang
digunakan untuk memperoleh data dari responden dalam penelitian ini adalah kuesioner
dengan daftar pertanyaan terstruktur (structured question).
Sampel adalah sub unit populasi survei atau populasi survei itu sendiri yang oleh
peneliti dipandang mewakili populasi target. Menurut Sudman (dalam Aaker 1999: 407)
bahwa jenis ukuran sampel regional untuk jenis individu maupun rumah tangga adalah
200-500. Jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah 200 konsumen usia 18-
55 tahun yang pernah berbelanja di “X” paling sedikit dua kali selarna bulan November
2004 – April 2005.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah non probability sampling
dimana elemen-elemen populasi tidak mempunyai kesempatan yang sama untuk terpilih
menjadi sampel (Indriantoro dan Supomo, 2002: 130).
Cara penarikan sampel adalah purposive sampling yaitu memilih sampel secara
sengaja kepada subyek yang menjadi pelaku langsung dan memahami seluk-beluk
permasalahan penelitian yang menjadi fokus kerja peneliti (Danim, 1997: 98). Metode ini
dipilih berdasarkan pertimbangan peneliti bahwa unsur penarikan sampel tersebut akan
dapat membantu menjawab pertanyaan penelitian yang sedang dikerjakan (Kinnear dan
Taylor, 1992: 205). Peneliti menggunakan pertimbangan subyektif untuk memilih
anggota populasi dengan ciri atau kriteria tertentu dan menolak anggota populasi yang
tidak mempunyai ciri atau kriteria tersebut (Danini, 1997:98).
3.6 Prosedur Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dengan cara survey yang dilakukan secara personal dengan
menyebarkan kuisioner kepada sejumlah responden. Prosedur pengumpulan data dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Teknik Kuisioner dan Wawancara
Teknik ini dilakukan dengan cara menyebarkan seperangkat pertanyaan yang
telah tersusun dengan sistematis. Kuisioner ini dimaksudkan untuk
memperoleh data secara tertulis dari responden yang ditetapkan sebagai
sampel. Sedangkan wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang
dilakukan dengan cara tanya jawab terhadap responden guna menggali
informasi tambahan yang tidak diperoleh dalam daftar pertanyaan. Teknik ini
juga berguna jika ada responden yang kurang jelas dalam memahami
kuisioner yang telah diajukan.
2. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan didapat dengan mempelajari literatur, jurnal dan sumber
pustaka lainnya yang terkait dengan permasalahan dan tujuan penelitian. Serta
mempelajari teori-teori yang menunjang dan berkaitan dengan permasalahan
yang dihadapi untuk membantu dalam pemecahan masalah.
3. Teknik Analisis
Untuk menguji hipotesis yaitu komponen-komponen Salesperson Service
Behavior yang berpengaruh terhadap Relationship Quality dan Relationship
Commitment adalah dengan menggunakan analisis regresi linier berganda.
3.7. Teknik Analisis
Untuk mengetahui pengaruh dimensi-dimensi Salesperson Service Behavior
terhadap Relationship Quality dan Relationship Commitment konsumen kartu kredit BCA
di Surabaya maka menggunakan teknik analisis jalur/path analysis. Analisis jalur
menjelaskan hubungan kausalitas antara satu atau beberapa variabel. Dalam model jalur,
modal dasar yang digunakan untuk menganalisis jalur untuk mengestimasi kekuatan dari
hubungan kausal yang digambarkan dalam model jalur. Dalam analisis jalur pendugaan
parameter menggunakan OLS (Ordinary Least Square) dan dapat dilakukan secara
parsial untuk setiap persamaan yang membentuk model structural. Data input dalam
analisis jalur adalah data normal baku (standardize). Analisis jalur dapat diuji dengan
menggunakan regresi bertahap. Persamaan 1 dalam analisis jalur ini adalah:
Y1 = a + b1X1 + b2X2 + b3X3
Y2 = a2 + bY1 + e
Dimana:
Y1 = Satisfaction
a = Konstanta
b = Koefisien regresi
e = Variabel pengganggu (error)
Nilai error didefinisikan sebagai beda antara nilai Y observasi dan nilai
prediksinya dari variabel dependen untuk nilai-nilai X1.
X1 = Diligence
X2 = Information Communication
X3 = Inducement
Y2 = Relationship Commitment
Persamaan 2 dalam analisis jalur ini adalah:
Y1 = a + b1X1 + b2X2
Y2 = a2 + bY1 + e
Dimana:
Y1 = Trust
a = Konstanta
b = Koefisien regresi
e = Variabel pengganggu (error)
Nilai error didefinisikan sebagai beda antara nilai Y observasi dan nilai
prediksinya dari variabel dependen untuk nilai-nilai X1.
X1 = Sportmanship
X2 = Emphaty
Y2 = Relationship Commitment
3.8. Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur
3.8.1. Validitas alat ukur
Validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur mampu mengukur apa yang
ingin diukur (Danim, 1997:195). Validitas data akan ditentukan oleh keadaan responden
waktu diwawancarai (Umar, 2002: 179). Uji validitas memastikan bahwa pengukuran
memasukkan sekumpulan item yang memadai dan mewakili yang mengungkapkan
sebuah konsep (Sekaran, 2006: 43). Validitas sempurna mengindikasikan tidak adanya
kesalahan pengukuran (Malhotra, 1999: 311). Validitas data diukur dengan
menggunakan teknik korelasi total item.
Item-item tersebut dikatakan konsisten jika memiliki nilai pearson correlation
diatas 0,3 dan signifikansi kurang dari 0,05. Menurut Hair et al (1998), item yang dapat
dikatakan konsisten secara internal bila item memiliki korelasi lebih besar dengan 0,4.
Untuk memperoleh informasi yang akurat mengenai alat ukur atau kuisioner,
seluruh kuesioner diujikan terlebih dahulu terhadap sejumlah responden. Tes awal
dilakukan terhadap 30 responden, kemudian dilanjutkan dengan 200 responden.
3.7.2 Reliabilitas alat ukur
Reliabilitas adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan sejauh mana suatu
hasil pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran diulang dua kali atau lebih (Umar,
2002: 176). Reliabilitas menunjukkan konsistensi suatu alat pengukur di dalam mengukur
gejala yang sama (Smgarimbun dan Effendi, 1989: 140)
Dalam penelitian ini teknik yang digunakan untuk mengukur konsistensi internal
adalah koefisien alfa atau cronbach's alpha. Fungsi dari cronbach's alpha untuk
mengukur tingkat reliabilitas konsistensi internal di antara butir-butir pertanyaan dalam
suatu instrumen untuk mengukur construct tertentu (Indriantoro dan Supomo, 1999: 181).
Item pengukuran dikatakan reliabel jika memiliki nilai koefisien alfa lebih besar dari 0,6
(Malhotra, 1999: 282).
3.8. Asumsi yang digunakan dalam regresi
Asumsi yang digunakan dalam regresi adalah:
1. Nonmultikoliniearitas
Uji multikolinieritas digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh
yang kuat antar masing-masing variabel bebas yang diteliti. Untuk mengetahui ada atau
tidaknya gejala ini digunakan nilai Variance Inflation Factor atau VTF (Hakim, 2001:
301). Marquardt menyatakan bahwa jika VIF > 10 terdapat terlalu besar korelasi di antara
variabel Xi dan variabel bebas yang lain. Menurut Hakim (2001: 301) bahwa peneliti
yang lain menyarankan kriteria lebih konservatif yaitu korelasi akan terlalu besar bahkan
untuk VTF > 5, jika 1 set variabel bebas ttdak berkorelasi, maka VTF akan sama dengan
(tidak terjadi multikolinieritas secara sempurna). Dengan demikian, diambil ketentuan
bahwa tidak terjadi multikolineritas bila VIF berada pada kisaran 1 sampai dengan 5.
2. Tidak terjadi otokorelasi
Tidak terjadi otokorelasi yaitu tidak terdapat pengaruh dari variabel dalam model
melalui tenggang waktu. Tidak ada korelasi antar anggota sampel yang diurutkan
berdasar waktu. Otokorelasi biasanya muncul pada observasi yang menggunakan data
time series. Cara mendeteksi adalah dengan uji Durbin Watson. Pada penelitian ini tidak
menguji ada tidaknya otokorelasi, karena observasi yang digunakan adalah cross section.
3. Homoskedastisitas
Homoskedastisitas artinya varians semua variabel adalah konstan (sama) dalam
arti tidak terjadi hubungan antara variabel pengganggu dengan variabel bebasnya. Hal ini
berarti bahwa variasi nilai-nilai Y di sekitar rata-rata tersebut adalah konstan untuk semua
X. Untuk mendeteksinya digunakan uji korelasi rank dari Spearman.
3.9 Uji Hipotesis
Pengujian hipotesis dilakukan melalui:
1. Uji t
Uji t digunakan untuk menguji ada tidaknya pengaruh variabel-variabel bebas
yaitu Diligence (X1), Information Communication (X2), Inducement (X3), Sportmanship
(X4) dan Empathy (X5), terhadap variabel terikat yaitu Relationship Quality (Y1) dan
Relationship Commitment (Y2) secara parsial atau individual.
a. Apabila t hitung < t tabel , hal ini menunjukkan tidak ada pengaruh yang
signifikan dari variabel bebas terhadap variabel terikat secara individual
b. Apabila t hitung ≥ t tabel , hal ini raenunjukkan adanya pengaruh yang signifikan
dari variabel bebas terhadap variabel terikat secara individual
Pada penelitian ini tingkat signifikansi atau level of significance yang digunakan
adalah 5%. Pengujian hipotesis ini akan dianalisis dengan membandingkan nilai
probabilitas (significant) pada output t test dengan level of significance 5 %. Apabila nilai
probabilitas kurang atau sama dengan dari 5% atau 0,050, maka Ho ditolak atau Ha
diterima dan sebaliknya apabila nilai probabilitas lebih dari 5% atau 0,050 maka Ho
diterima atau Ha ditolak.