Skenario 1, BLOK 30

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Forensik Penjeratan dan Kekerasan

Citation preview

Tinjauan Pustaka

Kasus Forensik Penjeraran dan Kekeransan

Raditia Kurniawan

102011219 / F-5

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jakarta 2014

Jl. Terusan Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731

Email : [email protected] kedokteran forensik, juga dikenal dengan nama legal medicine, adalah salah satu cabang spesialistik dari ilmu kedokteran, yang mempelajari pemenfaatan ilmu kedokteran untuk kepentingan penegakan hokum serta keadilan.Dalam perkembanganya lebih lanjut, ternyata ilmu kedokteran forensik tidak semata-mata bermanfaat dalam urusan penegakan hokum dan keadilan di lingkup pengadilan saja, tetapi juga bermanfaat dalam segi kehidupan bermasyarakat lain, misalnya dalam membantu penyelesaian klaim asuransi yang adil, baik bagi pihak yang diasuransi maupun pihak yang mengasuransim dalam membantu pemecahan paternitas (penemuan ke-ayah-an), membantu upaya keselamatan kerja dalam bidang industry maupun kecelakaan lalu-lintas dan sebagainya.2 Jerat (strangulation by ligature) adalah suatu strangulasi berupa tekanan pada leher korban akibat suatu jeratan dan menjadi erat karena kekuatan lain bukan karena berat badan korban (1,4). Dalam penyidikan untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban yang diduga karena peristiwa tindak pidana, seorang penyidik berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. Seorang dokter sebagaimana pasal 179 KUHAP wajib memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan di bidang keahliannya demi keadilan.Skenario

Seorang laki-laki ditemukan di sebuah sungai kering yang penuh batu-batuan dalam keadaan mati tertelungkup. Ia mengenakan kaos dalam (oblong) dan celana panjang yang di bagian bawahnya di gulung hingga setengah tungkai bawahnya. Lehernya terikat lengan baju (yang kemudian diketahui sebagai baju miliknya sendiri) dan ujung lengan baju lainnya terikat kesebuah dahan pohon perdu setinggi 60 cm. posisi tubuh relative mendatar, namun leher memang terjerat oleh baju tersebut. Tubuh mayat tersebut telah membusuk, namun masih dijumpai adanya satu luka terbuka di daerah ketiak kiri yang memperlihatkan pembuluh darah ketiak yang putus, dan beberapa luka terbuka di daerah tungkai bawah kanan dan kiri yang memiliki cirri-ciri yang sesuai dengan akibat kekerasan tajam.

Perlu diketahui bahwa rumah terdekat dari TKP adalah kira-kira 2 km. TKP adalah suatu daerah perbukitan yang berhutan cukup lebat.PembahasanVISUM ET REPERTUM

Visum et repertum adalah keterangan yang dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup atau mati ataupun bagian atau diduga bagian dari tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah, untuk kepentingan peradilan. Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis dalam pasal 184 KUHAP. Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Visum et repertum menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam bagian Pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti benda bukti. Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medic tersebut yang tertuang didalam bagian Kesimpulan.1,2,3Visum et repertum dibuat secara tertulis, sebaiknya dengan mesin ketik, di atas surat putih dengan kepala surat institusi kesehatan yang melakukan pemeriksaan, dalam bahasa Indonesia, tanpa memuat singkatan, dan sedapat mungkin tanpa istilah asing, bila terpaksa digunakan agar diberi penjelasan bahasa Indonesia. Apabila diperlukan gambar atau foto untuk lebih memperjelas uraian tertulis dalam visum et repertum, maka gambar atau foto tersebut diberikan dalam bentuk lampiran.

Visum et repertum terdiri dari 5 bagian yang tetap, yaitu:1,2

1. Kata Pro justitia yang diletakkan di bagian atas. Kataini menjelaskan bahwa visum et repertum khusus dibuat untuk tujuan peradilan. Visum et repertum tidak membutuhkan meterai untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti di depan sidang pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum.

2. Bagian Pendahuluan. Kata Pendahuluan sendiri tidak ditulis di dalam visum et repertum, melainkan langsung dituliskan berupa kalimat-kalimat dibawah judul. Bagian ini menerangkan nama dokter pembuat visum et repertum dan institusi kesehatannya, instansi penyidik pemintanya berikut nomor dan tanggal surat permintaannya, tempat dan waktu pemeriksaan, serta identitas korban yang diperiksa. Dokter tidak dibebani pemastian identitas korban, maka uraian identitas korban adalah sesuai dengan uraian identitas yang ditulis dalam surat permintaan visum et repertum. Bila terdapat ketidaksesuaian identitas korban antara surat permintaan dengan catatan medik atau pasien yang diperiksa, dokter dapat meminta kejelasannya dari penyidik.

3. Bagian Pemberitaan. Bagian ini berjudul Hasil pemeriksaan dan berisi hasil pemeriksaan medik tentng keadaan kesehatan atau sakit atau luka korban yang berkaitan dengan perkaranya, tindakan medik yang dilakukan serta keadaannya selesai pengobatan/perawatan. Biala korban meninggal dan dilakukan autopsy, maka diuraikan keadaan seluruh alat dalam yang berkaitan dengan perkara dan matinya orang tersebut. Yang diuraikan dalam bagian ini merupakan pengganti barang bukti, berupa perlukaan/keadaan kesehatan/sebab kematian yang berkaitan dengan perkaranya. Temuan hasil pemeriksaan medik yang bersifat rahasia dan tidak berhubungan dengan perkaranya tidak dituangkan ke dalam bagian pemberitaan dan dianggap tetap sebagai rahasia kedokteran.24. Bagian Kesimpulan. Bagian ini berjudul Kesimpulan dan berisi pendapat dokter berdasarakan keilmuannya, mengenai jenis perlukaan/ cedera yang ditemukan dan jenis kekerasan atau zat penyebabnya, serta derajat perlukaan atau sebab kematiannya.

5. Bagian Penutup. Bagian ini tidak berjudul dan berisikan kalimat baku Demikianlah visum et repertum ini saya buat dengan sesungguhnya berdasarkan keilmuan saya dan dengan mengingat sumpah sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

IDENTIFIKASI FORENSIK3Identifiasi forensik merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan membantu penyidik untuk menentukan identitas seseorang. Identifikasi personal sering merupakan suatu masalah dalam kasus pidana maupun perdata. Menentukan identitas personal dengan tepat amat penting dalam penyidikan karena adanya kekeliruan dapat berakibat fatal dalam proses pengadilan. Peran ilmu kedokteran forensic dalam identifikasi terutama pada jenazah tidak dikenal, jenazah yang telah membusuk, rusak, hangus terbakar, dan pada kecelakaan masal, bencana alam atau huru-hara yang mengakibatkan banyak korban mati, serta potongan tubuh manusia atau kerangka. Selain itu identifikasi forensic juga berperan dalam berbagai kasus lain seperti penculikan anak, bayi yang tertukar atau diragukan orang tuanya. Identitas seseorang dipastikan bila paling sedikit 2 metode yang digunakan memberikah hasil positif (tidak meragukan).Penentuan identitas personal dapat menggunakan metode identifikasi sidik jari, visual, dokumen, pakaian dan perhiasan, medik, gigi, serologic, dan secara eksklusi. Akhir-akhir ini dikembangkan pula metode identifikasi DNA. Dari sembilan metode identifikasi yang dikenal hanya metoda penentuan jati diri dengan sidik jari (daktiloskopi), yang tidak lazim dikerjakan oleh dokter, melainkan dilakukan oleh pihak kepolisian. Delapan metode yang lain, yaitu: metode visual, pakaian, perhiasan, dokumen, medis, gigi, serologi, dan metode eksklusi. Dengan diketahuinya jati diri korban, pihak penyidik dapat melakukan penyidikan untuk mengungkap kasus menjadi lebih terarah; oleh karena secara kriminologis pada umumnya ada hubungan antara pelaku dengan korbannya. Dengan diketahuinya jati diri korban, penyidik akan lebih mudah membuat satu daftar dari orang-orang yang patut yang dicurigai. Daftar tersebut akan lebih diperkecil lagi bila diketahui saat kematian korban serta alat yang dipakai oleh tersangka pelaku kejahatan.1Metode Identifikasi ForensikIdentitas seseorang dipastikan bila paling sedikit dua metode yang digunakan memberikan hasil positip (tidak meragukan). Secara garis besar ada dua metode pemeriksaan, yaitu:

a. Identifikasi primerMerupakan identifikasi yang dapat berdiri sendiri tanpa perlu dibantu oleh kriteria identifikasi lain. Teknik identifikasi primer yaitu :

Pemeriksaan DNA Pemeriksaan sidik jari Pemeriksaan gigiPada jenazah yang rusak/busuk untuk menjamin keakuratan dilakukan dua sampai tiga metode pemeriksaan dengan hasil positif.

b. Identifikasi sekunderPemeriksaan dengan menggunakan data identifikasi sekunder tidak dapat berdiri sendiri dan perlu didukung kriteria identifikasi yang lain. Identifikasi sekunder terdiri atas cara sederhana dan cara ilmiah. Cara sederhana yaitu melihat langsung ciri seseorang dengan memperhatikan perhiasan, pakaian dan kartu identitas yang ditemukan. Cara ilmiah yaitu melalui teknik keilmuan tertentu seperti pemeriksaan medis.

Ada beberapa cara identifikasi yang biasa dilakukan, yaitu:

1) Pemeriksaan sidik jariMetode ini membandingkan gambaran sidik jari jenazah dengan data sidik jari antemortem. Pemeriksaan sidik jari merupakan pemeriksaan yang diakui paling tinggi akurasinya dalam penentuan identitas seseorang, oleh karena tidak ada dua orang yang memiliki sidik jari yang sama.

2) Metode visualMetode ini dilakukan dengan cara keluarga/rekan memperhatikan korban (terutama wajah). Oleh karena metode ini hanya efektif pada jenazah yang masih utuh (belum membusuk), maka tingkat akurasi dari pemeriksaan ini kurang baik.

3) Pemeriksaan dokumenMetode ini dilakukan dengan dokumen seperti kartu identitas (KTP, SIM, kartu golongan darah, paspor dan lain-lain) yang kebetulan dijumpai dalam saku pakaian yang dikenakan. Namun perlu diingat bahwa dalam kecelakaan massal, dokumen yang terdapat dalam saku, tas atau dompet pada jenazah belum tentu milik jenazah yang bersangkutan.

4) Pengamatan pakaian dan perhiasanMetode ini dilakukan dengan memeriksa pakaian dan perhiasan yang dikenakan jenzah. Dari pemeriksaan ini dapat diketahui merek, ukuran, inisial nama pemilik, badge, yang semuanya dapat membantu identifikasi walaupun telah terjadi pembusukan pada jenazah. Untuk kepentingan lebih lanjut, pakaian atau perhiasan yang telah diperiksa, sebaiknya disimpan dan didokumentsikan dalam bentuk foto.

5) Identifikasi medicMetode ini dilakukan dengan menggunakan data pemeriksaan fisik secara keseluruhan, meliputi tinggi dan berat badan, jenis kelamin, warna rambut, warna tirai mata, adanya luka bekas operasi, tato, cacat atau kelainan khusus dan sebagainya. Metode ini memiliki akurasi yang tinggi, oleh karena dilakukan oleh seorang ahli dengan menggunakan berbagai cara atau modifikasi.

6) Pemeriksaan GigiPemeriksaan ini meliputi pencatatan data gigi yang dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan manual, sinar x, cetakan gigi serta rahang. Odontogram memuat data tentang jumlah, bentuk, susunan, tambalan, protesa gigi dan sebagainya. Bentuk gigi dan rahang merupakan ciri khusus dari seseorang, sedemikian khususnya sehingga dapat dikatakan tidak ada gigi atau rahang yang identik pada dua orang yang berbeda, bahkan kembar identik sekalipun.

7) SerologiPemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan golongan darah yang diambil baik dari tubuh korban atau pelaku, maupun bercak darah yang terdapat di tempat kejadian perkara. Ada dua tipe orang dalam menentukan golongan darah, yaitu:

Sekretor : golongan darah dapat ditentukan dari pemeriksaan darah, air mani dan cairan tubuh. Non-sekretor : golongan darah hanya dari dapat ditentukan dari pemeriksaan darah.8) Metode ekslusiMetode ini digunakan pada identifikasi kecelakaan massal yang melibatkan sejumlah orang yang dapat diketahui identitasnya. Bila sebagian besar korban telah dipastikan identitasnya dengan menggunakan metode identifikasi lain, sedangkan identitas sisa korban tidak dapat ditentukan dengan metode tersebut di atas, maka sisa diidentifikasi menurut daftar penumpang.

9) Identifikasi kasus mutilasiPemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan apakah potongan berasal dari manusia atau binatang. Bila berasal dari manusia ditentukan apakah potongan tersebut berasal dari satu tubuh. Untuk memastikan apakah potongan tubuh berasal dari manusia dilakukan beberapa pemeriksaan seperti pengamatan jaringan secara makroskopik, mikroskopik dan pemeriksaan serologik berupa reaksi antigen-antibodi.

10) Identifikasi kerangkaIdentifikasi ini bertujuan untuk membuktikan bahwa kerangka tersebut adalah kerangka manusia, ras, jenis kelamin, perkiraan umur, tinggi badan, ciri-ciri khusus, deformitas dan bila memungkinkan dapat dilakukan rekonstruksi wajah. Kemudian dicari pula tanda kekerasan pada tulang serta keadaan kekeringan tulang untuk memperkirakan saat kematian.

11) Forensik molekulerPemeriksaan ini memanfaatkan pengetahuan kedokteran dan biologi pada tingkatan molekul dan DNA. Pemeriksaan ini biasa dilakukan untuk melengkapi dan menyempurnakan berbagai pemeriksaan identifikasi personal pada kasus mayat tak dikenal, kasus pembunuhan, perkosaan serta berbagai kasus ragu ayah (paternitas).ASPEK HUKUM2,3,4Didalam melakukan pemeriksaan terhadap orang yang menderita luka akibat kekerasan, pada hakekatnya dokter diwajibkan untuk dapat memberikan kejelasan dari permasalahan sebagai berikut:

a. Jenis luka apa yang terjadi

b. Jenis kekerasan/senjata apakah yang menyebabkan luka

c. Bagaimana kualifikasi luka itu

Pengertian kualifikasi luka disini semata-mata pengetian ilmu Kedokteran Forensik, yang hanya baru dipahami setelah mempelajari pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang bersangkutan dengan Bab XX (Tentang Penganiayaan), terutama pasal 351 dan 352; dan Bab IX (Tentang Arti Beberapa Istilah Yang Dipakai Dalam Kitab Undang-undang), yaitu pasal 90.

Pasal 351 KUHP

1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak 4500 rupiah

2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.

3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.

4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan

5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Pasal 352 KUHP

1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ratus ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi bawahannya.42) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Pasal 90 KUHP

Luka berat berarti:

Jatuh sakit atau medapat luka yang tidak member harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut

Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian

Kehilangan salah satu panca indra

Mendapat cacat berat

Menderita sakit lumpuh

Terganggunya daya piker selama empat minggu lebih

Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan

ASPEK MEDIKOLEGAL

Kewajiban dokter dalam membantu peradilan tercantum dalam pasal 133 KUHAP:31) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.42) Permintaan keterangan ahli senagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan mayat dan atu pemeriksaan bedah mayat.

3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.

TANATOLOGI1,3,4,5Dalam tanatologi dikenal beberapa istilah tentang mati, yaitu mati somatic (mati klinis), mati suri, mati seluler, mati serebral dan mati otak (mati batang otak).

Mati Somatis (mati klinis) terjadi akibat terhentinya fungsi ketida system oenunjang kehidupan, yaitu susunan saraf pusat, system kardiovaskular dan system pernapasan, yang menetap (irreversible). Secara klinis tidak ditemukan reflex-refleks, EEG mendatar, nadi tidak teraba, denyut jantung tidak terdengar, tidak ada gerak pernapasan dan suara nafas tidak terdengar auskultasi. Mati Suri (suspended animation, apparent death) adalah terhentinya ketiga system kehidupan diatas yang ditentukan dengan alat kedokteran sederhana. Dengan peralatan kedokteran canggih masih dapat dibuktikan bahwa ketiga system tersebut masih berfungsi. Mati suri sering ditemukan pada kasus keracunan obat tidur, tersengat aliran listrik dan tenggelam. Mati Seluler (mati molekuler) adalah kematian organ atau jaringan tubuh yang timbul beberapa saat setelah kematian somatic. Daya tahan tubuh masing-masing organ atau jaringan berbeda-beda, sehingga terjadinya kematian seluler pada tiap organ dan jaringan tidak bersamaan. Pengetahuan ini penting dalam transplantasi organ. Mati Serebral adalah kerusakan kedua hemisfer otak yang irreversible kecuali batang otak dan serebelum, sedangkan kedua system lainnya yaitu system pernapasan dan kardiovaskular masih berfungsi dengan bantuan alat. Mati Otak (mati batang otak) adalah bila telah terjadi kerusakan seluruh isi neuronal intracranial yang ireversibel, termasuk batang otak dan serebelum. Dengan diketahuinya mati otak (mati batang otak) maka dapat dikatakan seseorang secara keseluruhan tidak dapat dinyatakan hidup lagi, sehingga alat bantu dapat dihentikan.2Tanda kematian tidak pasti

1. Pernapasan berhenti, dinilai selama lebih dari 10 menit (inspeksi, palpasi, auskultasi)

2. Terhentinya sirkulasi, dinilai selama 15 menit, nadi karotis tidak teraba

3. Kulit pucat, tetapi bukan merupakan tanda yang dapat dipercaya, karena mungkin terjadi spasme agonal sehingga wajah tampak kebiruan.

4. Tonus otot menghilang dan relaksasi. Relaksasi dari otot-otot wajah menyebabkan kulit menimbul sehingga kadang-kadang membuat orang menjadi tampak lebih muda. Kelemasan otot sesaat kematian disebut relaksasi primer. Hal ini mengakibatkan pendataran daerah-daerah yang tertekan, misalnya daerah belikat dan bokong pada mayat yang terlentang.

5. Pembuluh darah retina mengalami sedmentasi beberapa menit setelah kematian. Segmen-segmen tersebut bergerak kea rah tepi retina dan kemudian menetap.

6. Pengeringan kornea menimbulkan kekeruhan dalam waktu 10 menit yang masih dapat dihilangkan dengan meneteskan air.TANDA PASTI KEMATIAN1. Lebam mayat (livor mortis). Setelah kematian klinis maka eritrosit akan menempati tempat terbawah akibat gaya tarik bumi (gravitasi), mengisi vena dan venula, membentuk bercak merah ungu (livide) pada bagian terbawah tubuh, kecuali pada bagian tubuh yang tertekan alas keras.6Darah tetap cair karena adanya aktivitas fibrinolisin yang berasal dari endotel pembuluh darah. Lebam mayat biasnaya mulai tampak 20-30 manit pasca mati, makin lama intensitasnya bertambah dan menjadi lengkap dan menetap setelah 8-12 jam. Sebelum waktu ini, lebam mayat masih hilang (memucat) pada penekanan dan dapat berpindah jika posisi mayat diubah. Memucatnya lebam akan lebih cepat dan lebih sempurna apabila penekanan atau perubahan posisi tubuh tersebut dilakukan dalam 6 jam pertama setelah mati klinis. Tetapi, walaupun setelah 24 jam, darah masih tetap cukup cair sehingga sejumlah darah darah masih dapat mengalir dan membentuk lebam mayat di tempat terendah yang baru. Kadang-kadang dijumpai bercak perdarahan warna biru kehitaman akibat pecahnya pembuluh darah. Menetapnya lebam mayat disebabkan oleh bertimbunnya sel-sel darah dalam jumlah cukup banyak sehingga sulit berpindah lagi. Selain itu kekakuan otot-otot dinding pembuluh darah ikut mempersulit perpindahan tersebut.1,3

2. Kaku mayat (rigor mortis). Kelenturan otot setelah kematian masih dipertahankan karena metabolism tingkat seluler masih berjalan berupa pemecahan cadangan glikogen otot yang menghasilkan energy. Energy ini digunakan untuk mengubah ADP menjadi ATP. Selama masih terdapat ATP maka serabut aktin dan myosin tetap lentur. Bila cadangan glikogen dalam otot habis, maka energy tidak terbentuk lagi, aktin dan myosin menggumpal dan otot menjadi kaku.

Kaku mayat dibuktikan dengan memeriksa persendian. Kaku mayat mulai tampak kira-kira 2 jam setelah mati klinis, dimulai dari bagian luar tubuh (otot-otot kecil) kea rah dalam (sentripetal). Teori lama menyebutkan bahwa kaku mayat ini menjalar kraniokaudal. Setelah mati klinis 12 jam kaku mayat menjadi lengkap, dipertahankan selama 12 jam dan kemudian menghilang dalam urutan yang sama. Kaku mayat umumnya tidak disertai pemendekan serabut otot, tetapi jika sebelum terjadi kaku mayat otot berada dalam posisi teregang, maka saat kaku mayat terbentuk akan terjadi pemendekan otot.

Terdapat kekakuan pada mayat yang menyerupai kaku mayat :

a. Cadaveric spasm (instaneous rigor), adalah bentuk kekakuan otot yang terjadi pada saat kematian dan menetap. Cadaveric spasm sesungguhnya merupakan kaku mayat yang timbul dengan intensitas sangat kuat tanpa didahului oleh relaksasi primer. Penyebabnya adalah akibat habisnya cadangan glikogen dan ATP yang bersifat setempat pada saat mati klinis karena kelelahan atau emosi yang hebat sesaat sebelum meninggal

b. Heat stiffening, yaitu kekakuan otot akibat koagulasi protein otot oleh panas. Otot-otot berwarna merah muda, kaku, tetapi rapuh (mudah robek). Keadaan ini dapat dijumpai pada korban terbakar.

c. Cold stiffening, yaitu kekakuan tubuh akibat lingkungan dingin, sehingga terjadi pembekuan cairan tubuh, termasuk cairan sendi, pemadatan jaringan lemak subkutan dan otot, sehingga bila sendi ditekuk akan terdengar bunyi oecahnya es dalam rongga sendi.

3. Penurunan suhu tubuh (algor mortis). Penurunan suhu tubuh terjadi karena proses pemindahan panas dari suatu benda ke banda yang lebih dingin, melalui cara radiasi, konduksi, evaporasi dan konveksi.

4. Pembusukan (decomposition, putrefaction). Pembusukan adalah proses degradasi jaringan yang terjadi akibat autolysis dan kerja bakteri. Autolysis adalah pelunakan dan pencairan jaringan yang terjadi dalam keadaan steril. Autolysis timbul akibat kerja digestif oleh enzim yang dilepaskan sel pascamati dan hanya dapat dicegah dengan pembekuan jaringan.

Setelah seseorang meninggal, bakteri yang normal hidup dalam tubuh segera masuk ke jaringan. Darah merupakan media terbaik bagi bakteri tersebut untuk bertumbuh. Sebagian besar bakteri berasal dari usus dan yang terutama adalah Clostridium Welchii. Pada proses pembusukan ini terbentuk gas-gas alkana, H2S dan HCN serta asam amino dan asam lemak

5. Adiposera atau lilin mayat. Adiposera adalah terbentuknya bahan yang berwarna keputihan, lunak atau berminyak, berbau tengik yang terjadi di dalam jaringan lunak tubuh pasca mati. Dulu disebut sebagai saponifikasi, tetapi istilah adiposera lebih disukai karena menunjukan sifat-sifat diantara lemak dan lilin.

Pembusukan akan terhambat oleh adanya adiposera, karena derajat keasaman san dehidrasi jaringan bertambah. Lemak segar hanya mengandung kira-kira 0,5% asam lemak bebas, tetapi dalam waktu 4 minggu pasca mati dapat naik menjadi 20% dan setelah 12 minggu menjadi 70% atau lebih. Pada saat ini adiposera menjadi jelas secara makroskopik sebagai bahan berwarna putih kelabu yang menggantikan atau menginfiltrasi bagian-bagian lunak tubuh. Pada stadium awal pembentukannya sebelum maksoskopik jelas, adiposera paling baik dideteksi dengan analisis asam palmiat.

PERKIRAAN SAAT KEMATIAN Perubahan pada mata. Bila mata terbuka pada atmosfer yang kering, sclera di kiri-kanan kornea akan berwarna kecoklatan dalam beberapa jam berbentuk segitiga dengan dasar di tepi kornea (taches noires sclerotiques). Kekeruhan kornea terjadi lapis demi lapis. Kekeruhan yang terjadi pada lapis terluar dapat dihilangkan dengan meneteskan air, tetapi kekeruhan yang telah mencapai lapisan lebih dalam tidak dapat dihilangkan dengan tetsan air. Kekeruhan yang menetap ini terjadi kira-kira 6 jam pascamati. Baik dalam keadaan mata tertutup maupun terbuka, kornea menjadi keruh kira-kira 10-12 jam pascamati dan dalam beberapa jam saja fundus tidak tampak jelas. Setelah kematian tekanan bola mata menurun, memungkinkan distorsi pupil pada penekanan bola mata. Tidak ada hubungan antara diameter pupil dengan lamanya mati.4 Perubahan pada retina dapat menunjukan saat kematian hingga 15 jam pascamati. Hingga 30 menit pascamati tamapak kekeruhan macula dan mulai memucatnya diskus optikus. Kemudian hingga 1 jam pascamati, macula lebih pucat dan tepinya tidak tajam lagi. Selama 2 jam pertama pasca mati, retina pucat dan daerah sekitar diskus menjadi kuning. Warna kuning juga tampak di sekitar macula yang menjadi lebih gelap. Pada saat itu pola vascular koroid yang tampak sebagai bercak-bercak dengan latar belakang merah dengan pola segmentasi yang jelas, tetapi pada kira-kira 3 jam pascamati menjadi kabur dan setelah 5 jam menjadi homogeny dan lebih pucat. Pada kira-kira 6 jam pascamati, batas diskus kabur dan hanya pembuluh-pembuluh besar yang mengalami segmentasi yang dapat dilihat dengan latar belakang kuning-kelabu.

Dalam waktu 7-10 jam pascamati akan mencapai tepi retina dan batas diskus akan sangat kabur. Pada 12 jam pasca mati diskus hanya dapat dikenali dengan adanya konvergensi beberapa segmen pembuluh darah yang tersisa. Pada 15 jam pascamati tidak ditemukan lagi gambaran pembuluh darah retina dan diskus, hanya macula saja yang tampak berwarna coklat gelap. Perubahan dalam lambung. Kecepatan pengososngan lambung sangat bervariasi, sehingga tidak dapat digunakan untuk memberikan petunjuk pasti waktu antara makan terakhir dan saat mati. Namun keadaan lambung dan isinya mungkin membantu dalam membuat keputusan. Ditemukannya makanan tertentu (pisang, kulit tomat, biji-bijian) dalam isi lambung dapat digunakan untuk menyimpulkan bahwa korban sebelum meninggal telah makan makanan tersebut. Perubahan rambut. Dengan mengingat bahwa kecepatan tumbuh rambut rata-rata 0,4 mm/hari, panjang rambut kumis dan jenggot dapat dipergunakan untuk memperkirakan saat kematian. Cara ini hanya dapat digunakan bagi pria yang mempunyai kebiasaan mencukur kumis atau jenggotnya dan diketahui saat terakhir ia mencukur. Pertumbuhan kuku. Sejalan dengan hal rambut tersebut di atas, pertumbuhan kuku yang diperkirakan sekitar 0,1 mm per hari dapat digunakan untuk memperkirakan saat kematian bila dapat diketahui saat terakhir yang bersangkutan memotong kuku. Perubahan dalam cairan serebrospinal. Kadar nitrogen asam amino kurang dari 14 mg% menunjukan kematian belum lewat 10 jam, kadar nitrogen non-protein kurang dari 80 mg% menunjukan kematian belum 24 jam, kadar keratin kurang dari 5 mg% dan 10 mg% masing-masing menunjukan kematian belum mencapai 10 jam dan 30 jam. Dalam cairan vitreus terjadi peningkatan kadar Kalium yang cukup akurat untuk memperkirakan saat kematian antara 24 hingga 100 jam pascamati. Kadar semua komponen darah berubah setelah kematian, sehingga analis darah pascamati tidak memberikan gambaran konsentrasi zat-zat tersebut semasa hidupnya. Perubahan tersebut diakibatkan oleh aktivitas enzim dan bakteri, serta gangguan permeabilitas dari sel yang mati. Selain itu gangguan fungsi tubuh selama proses kematian dapat menimbulkan perubahan dalam darah bahkan sebelum kematian itu terjadi. Hingga saat ini belum ditemukan perubahan dalam darah yang dapat digunakan untuk memperkirakan saat mati yang lebih tepat. Reaksi supravital, yaitu reaksi jaringan tubuh sesaat pascamati klinis yang masih sama seperti reaksi jaringan tubuh pada seseorang yang hidup.

Beberapa uji dapat dilakukan terhadap mayat yang masih segar, misalnya rangsang listrik masih dapat menimbulkan kontraksi otot mayat sehingga 90-120 menit pascamati dan mengakibatkan sekresi kelenjar keringat sampai 60-90 menit pasca mati, sedangkan trauma masih dapat menimbulkan perdarahan bawah kulit samapai 1 jam pascamati.TRAUMATOLOGI LUKA AKIBAT BENDA TAJAM

Luka akibat benda tajam pada umumnya mudah dibedakan dari luka yang disebabkan oleh benda tumpul dan dari luka akibat tembakan senjata api. Pada kematian yang disebabkan oleh benda tajam, walaupun tetap harus dipikirkan kemungkinankarena suatu kecelakaan, tetapi pada umumnya karena suatu peristiwa pembunuhan atau peristiwa bunuh diri. Luka yang diakibatkan oleh benda tajam dapat dibedakan dari luka yang disebabkan oleh benda lainnya, yaitu dari keadaan sekitar luka yang tenang tidak ada luka lecet atau luka memar, tapi luka yang rata dan sudut-sudutnya yang runcing seluruhnya atau hanya sebagian yang runcing serta tidak adanya jembatan jaringan.2Di dalam ilmu kedokteran kehakiman luka akibat benda tajam yang banyak dijumpai terdapat dalam dua bentuk, yaitu dalam bentuk luka iris dan dalam bentuk luka tusuk, dan di dalam dunia kriminal luka-luka tersebut biasanya disebabkan oleh pisau. Bentuk dari luka yang disebabkan oleh pisau yang mengenai tubuh korban, dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:

a) Sifat-sifat dari pisau: bentuk, ketajaman dari ujung dan ketajaman dari kedua tepinya, bermata satu atau bermata dua.

b) Bagaimana pisau itu mengenai dan masuk ke dalam tubuh.

c) Tempat dimana terdapatnya luka.

Sifat-sifat luka pada kasus bunuh diri

Pada kasus bunuh diri dengan benda atau senjata tajam, maka cara yang terbanyak dijumpai ialah dengan cara memotong/mengiris, tenggorokan. Bila korban mempergunakan tangan kanan untuk maksud tersebut maka pada umumya luka iris akan dimulai dari bawah telinga sebelah kiri dan berjalan melewati bawah dagu ke sebelah kanan; dengan demikian luka tersebut berjalan dari sebelah kiri atas belakang ke kanan bawah depan. Bila korban mempergunakan tangan kirinya, akan terdapat keadaan sebaliknya. Pada pemeriksaan yang teliti dari luka akan sering didapatkan satu atau lebih luka yang lebih dangkal dan berjalan sejajar disekitar luka yang utama, luka-luka tersebut adalah luka-luka percobaan. Luka-luka percobaan dapat pula ditemukan pada bagaian lain dari tubuh, seperti pada pergelangan tangan atau pergelangan kaki, lipat siku atau pada daerah perut.1

Selain daerah leher maka daerah dada, dalam hal ii sesuai letak jantung dan pada daerah perut yang biasanya daerah lambung, didalam kasus tersebut biasanya bentuk luka yang didapatkan adalah luka tusuk. Luka-luka percobaan tentunya dapat pula dijumpai. Pada kasus bunuh diri, tidak jarang pada tangan korban ditemukan pisau yang tergenggam dengan sangat kuatnya.

Sifat-sifat luka pada kasus pembunuhan Adalah sulit untuk membunuh seseorang hanya dengan satu tusukan saja, kecuali biala korbannya sedang tidur atau dalam keadaan yang sangat lemah atau bila korban diserang secara mendadak dan yang terkena adalah organ tubuh yang vital. Jumlah luka umumnya lebih dari satu, tidak mempunyai tempat atau lokasi khusus, seringkali didapatkan luka-luka yang didapat sewaktu korban mengadakan perlawanan, luka-luka yang terakhir tadi disebut luka tangkis. Luka-luka tangkis dapat ditemukan pada daerah lengan bawah bagian dalam atau pada telapak tangan. Luka-luka pada telapak tangan dimungkinkan bila korban berusaha menangkap atau merebut ataupun menangkis serangan lawannya.2Luka yang mematikan biasanya pada daerah leher, dada dan pada daerah perut dimana organ-organ vital terdapat. Pada kasus pembunuhan dimana korban digorok lehernya, maka kasus seperti itu dapat dibedakan dengan kasus bunuh diri, yaitu dengan adanya perbedaan-perbedaan pokok, diantaranya arah atau letak luka yang mendatar, tidak adanya luka-luka percobaan dan didapatkannya luka-luka tangkis.

Perlu diingat pula bahwa makin banyak benda atau senjata tajam yang bentuknya runcing langsing, misalnya pisau saku. Dengan benda atau senjata yang demikian pembunuhan dapat dilakukan dengan jalan menghantamkan benda atau senjata tajam tersebut ke kepala korban, menembus tulang dan masuk ke dalam otak. Oleh karena luka-luka yang terjadi pada kasus-kasus seperti diatas tadi hanya kecil dan berbentuk celah saja, maka pada pemeriksaan luar dari korban haruslah dilakukan dengan seteliti dan secermat mungkin.1

INTERPRETASI TEMUAN

Pemeriksaan forensik terhadap jenasah meliputi pemeriksaan luar jenasah, tanpa melakukan tindakan yang merusak keutuhan jaringan jenasah. Pemeriksaan dilakukan dengan teliti dan sistematik, serta kemudian dicatat secara rinci, mulai dari bungkus atau tutup jenasah, pakaian, benda-benda di sekitar jenasah, perhiasan, cirri-ciri umum identitas, tanda-tanda tanatologik, gigi geligi, dan luka atau cedera atau kelainan yang ditemukan di seluruh bagian luar. Apabila penyidik hanya meminta pemeriksaan luar saja, maka kesimpulan cisum et repertum menyebutkan jenis luka atau kelainan yang ditemukan dan jenis kekerasan penyebabnya, sedangkan sebab matinya tidak dapat ditentukan karena tidak dilakukan pemeriksaan (perkiraan saat kematian), apabila dapat diperkirakan, dapat dicantumkan dalam kesimpulan.

Umumnya luka akibat kekerasan benda tajam pada kasus pembunuhan, bunuh diri atau kecelakaan memiliki ciri-ciri berikut:

Pembunuhan Bunuh diriKecelakaan

Lokasi lukaSembarang Terpilih Terpapar

Jumlah lukaBanyak Banyak Tunggal/banyak

Pakaian Terkena Tidak terkenaTerkena

Luka tangkisAda Tidak adaTidak ada

Luka percobaanTidak adaAda Tidak ada

Cedera sekunderMungkin adaTidak adaMungkin ada

Kemudian dilakukan pemeriksaan bedah jenasah menyeluruh dengan membuka rongga tengkorak, leher, dada, perut dan panggul. Kadang kala dilakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan seperti pemeriksaan histopatologik, toksikologik dan serologi.Dari pemeriksaan dapat disimpulkan sebab kematian korban, selain jenis luka atau kelainan, jenis kekerasan, jenis kekerasan penyebabnya, dan saat kematian.

KESIMPULAN Untuk dapat mengetahui dan dapat membantu dalam proses penyidikan, maka dalam perkara pidana yang menyakut tubuh, kesehatan, dan nyawa manusia diperlukan pengetahuan khusus, yaitu ilmu kedokteran forensik. Selain bantuan ilmu kedokteran forensik tersebut tertung didalam bentuk visum et repertum, maka bantuan dokter dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya sangat diperlukan didalam upaya mencari kejelasan dan kebenaran materil yang selengkap-lengkapnya tentang suatu perbuatan tindak pidana yang telah terjadi.Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis dalam pasal 184 KUHAP. Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Visum et repertum menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam bagian Pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti.

Bilamana pihak penyidik mendapat laporan bahwa suatu tindak pidana yang mengakibatkan kematian korban telah terjadi, maka pihak penyidik dapat meminta/memerintahkan dokter untuk melakukan pemeriksaan di tempet kejadian perkara (TKP) tersebut sesuai dengan Hukum Acara Pidana yang berlaku dan sesuai pula dengan Undang-Undang Pokok Kepolisian tahun 1961 no. 13 pasal 13 atau sesuai dengan ketentuan pasal 3 Keputusan MenHanKam/Pangab No. Kep/B/17/VI/1974.

Gambaran umum luka yang diakibatkan karena kekerasan benda tajam adalah tepid an dinding luka yang rata, berbentuk garis, tidak terdapat jembatan jaringan dan dasar luka berbentuk garis atau titik.

Penjeratan adalah penekanan benda asing berupa tali, ikat pinggang, rantai, stagen, kawat, kabel, kaos kaki dan sebagainya melingkari atau mengikat leher yang makin lama makin kuat sehingga saluran pernapasan tertutup.

Visum Et Repertum

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

Jl. Arjuna utara no. 6 telp. 3106800 Jakarta 11470

Nomor

: 029/ SK II /03/ 2014

Jakarta, 3 Desember 2014Lampiran: -.-

Perihal

: Hasil bedah jenazah atas jenazah Tn.ZPROJUSTITIA

Visum Et Repertum

Yang bertanda tangan di bawah ini, dr.Grace, dokter ahli kedokteran kehakiman pada Bagian Ilmu Kedokteran Forensik, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta, menerangkan bahwa atas permintaan tertulis dari Kepolisian Sektor Tanjung duren tertanggal 2 Desember 2014, Nomor : 199/VER/VII/2013/Sek.Tjd, maka pada tanggal empat desember tahun dua ribu tiga belas, pukul sembilan Waktu Indonesia Barat, bertempat di ruang bedah jenazah Bagian Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana telah melakukan pemeriksaan bedah jenazah atas jenazah yang menurut surat tersebut adalah:

Nama

: Tn. Z. -----------------------------------------------------------

Jenis kelamin

: laki-laki ---------------------------------------------------------

Umur

: 29 tahun ---------------------------------------------------------

Bangsa

: Indonesia.-------------------------------------------------------

Agama

: Budha-------------------------------------------------------------

Pekerjaan

: Swasta.-----------------------------------------------------------

Alamat : Jl. Tanjung Duren- Grogol, Jakarta Barat

------------------------------------------------Hasil Pemeriksaan ----------------------------------------I. Pemeriksaan Luar

1. Mayat tidak terbungkus. ------------------------------------------------------------------------2. Mayat berpakaian sebagai berikut: ------------------------------------------------------------i. Kaos dalam oblong. -------------------------------------------------------------------------ii. Celana panjang dengan bagian bawah di gulung hingga setengah tungkai bawah.

3. Pada tubuh terdapat luka-luka sebagai berikut: ---------------------------------------------i. Pada daerah ketiak kiri ditemukan luka terbuka, pembuluh darah ketiak tampak putus.

ii. Pada tungkai kanan dan kiri ditemukan luka terbuka akibat benda tajam. ----------KesimpulanPada mayat laki-laki ditemukan luka terbuka pada ketiak kiri dan luka beberapa luka terbuka di tungkai bawah kanan dan kiri akibat kekerasan benda tajam. -------------------------Sebab mati orang ini adalah kekerasan tajam pada ketiak kiri yang menyebabkan putusnya pembuluh darah ketiak kiri. ---------------------------------------------------------------Demikianlah saya uraikan dengan sebenar-benarnya berdasarkan keilmuan saya yang sebaik-baiknya mengingat sumpah sesuai dengan KUHAP. -------------------------------------Dokter yang memeriksa,

dr.Grace

NIP 102009003Daftar Pustaka1. Budyanto A, Wibisana W, dan Sudiono S dkk. Ilmu Kedokteran Forensik. Cetakan kedua. Jakarta: Bagian ilmu kedokteran forensik FKUI. 2003.

2. Staf pengajar ilmu kedokteran forensik FKUI. Teknik Autopsi Forensik. Cetakan ke-4. Jakarta : bagian kedokteran Forensik FKUI, 2003.

3. Sampurna, B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan Hukum Kedokteran. Cetakan kedua. Jakarta. 2007.

4. Tindak Pidana Kekerasan. di unduh dari www.focalpointgender.kejaksaan.go.id 03 Desember 20135. Abdul Munim Idries. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi pertama. Jakarta: Binarupa Aksara. 1997. p. 32-37, 54-77, 86-91, 99-106, 286-302.6. Idries AM, Tjiptomartono AL. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan. Cetakan kedua. Jakarta: sagung seto. 2011. p. 9-36, 53-112, 291.7. Peraturan Perundang-Undangan Bidang Kedokteran. Edisi pertama, cetakan kedua. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran UI. 2004. p. 11, 38-39.

18