Upload
stephanie-quinn
View
42
Download
9
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Extrapyramidal Sydrome
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Kerjasama yang terpadu antara sistem piramidal dan sistem ekstrapiramidal diperlukan dalam fungsi
motorik yang sempurna pada otot rangka, keduanya mempunyai andil besar dalam gerakan yang terjadi
pada tubuh, meskipun demikian keduanya memiliki fungsi yang berbeda dalam menghasilkan gerakan.
Sistem piramidal berperan dalam gerakan volunter, yaitu gerakan sadar yang harus dilakukan,
sedangkan sistem ekstrapiramidal menentukan landasan untuk dapat terlaksananya suatu gerakan
volunter yang terampil dan mahir.
Sistem Piramidal
Sistem piramidal merupakan jalur desending yang terdiri dari serabut yang berasal dari korteks motorik
pada otak yang kemudian disalurkan ke batang otak dan turun ke spinal cord.
Mekanisme kerja sistem piramidal
Mekanisme kerja sistem piramidal diawali pada korteks motorik, impuls gerakan yang diinginkan di
teruskan menuju bagian posterior kapsula interna,kapsula interna meneruskan impuls kepada medula
oblongata, setelah mencapai medulla oblongata impuls diteruskan menuju medula spinalis substansi
kelabu, yaitu bagian integral dari neuron motorik, respon kembali diteruskan menuju ujung-ujung akson
yaitu efektor hingga akhirnya menjadi suatu gerakan yang sadar.
Traktus piramidal dibagi 2:
Traktus piramidal (kortikospinal) lateral
Neuron dari motorik korteks serebral. Akson akan berdescenden ke medulla . Diperbatasan antara
medulla oblongata dan medulla spinalis, 85% serabut kortikospinal akan berdekusasi dan terus
memanjang sampai tanduk posterior untuk bersinapsis langsung atau melalui interneuron dengan neuron
motorik bawah dalam tanduk anterior. Akson akan berterminasi pada lempeng ujung motorik otot rangka.
Traktus piramidal (kortikospinal) ventral / anterior
Neuron dari motorik korteks serebral. Akson akan berdescenden ke medulla . Diperbatasan antara
medulla oblongata dan medulla spinalis, 15% serabut kortikospinal akan menyilang, lalu secara langsung
atau melalui interneuron dengan neuron motorik bawah dalam tanduk anterior. Akson akan berterminasi
pada lempeng ujung motorik otot rangka.
Fungsi sistem piramidal adalah:
1. Memulai timbulnya suatu gerakan volunteer atau suatu gerak sadar yang bersifat halus.
2. Kontraksi otot distal, khususnya pada tangan dan jari.
Sistem ekstrapiramidal
Sistem ekstrapiramidal meupakan jalur antara corteks serebal, basal ganglia, batang otak, spinal cord
yang keluar dari traktus piramidal.
Traktus ekstrapirimidal dibagi menjadi:
Traktus retikulospinal, dari formasio reticular dan berujung pada sisi yang sama di neuron motorik bagian
bawah dalam tanduk anterior medulla spinalis.
Traktus vestibulospinal lateral, dari nucleus vestibular lateral dan berujung pada sisi yang sama di neuron
motorik bagian bawah dalam tanduk anterior medulla spinalis.
Traktus vestibulospinal medial, dari nucleus vestibular lateral dan berujung pada sisi yang sama di
neuron motorik bagian bawah dalam tanduk anterior medulla spinalis. Tanduk ini tidak berdescenden ke
bawah area serviks.
Traktus rubrospinal, dari nucleus merah otak tengah, traktus olivispinal dari olive inferior medulla, traktus
tektospinal dari tektum otak tengah.
Fungsi sistem ekstrapiramidal untuk :
1. mempertahankan tonus otot
2. gerakan kasar.
3. Perencanaan suatu gerakan
Sindrom ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu gejala atau reaksi yang ditimbulkan oleh
penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi antipsikotik golongan tipikal. Obat antipsikotik
tipikal yang paling sering memberikan efek samping gejala ekstrapiramidal yakni Haloperidol,
Trifluoperazine, Pherpenazine, Fluphenazine, dan dapat pula oleh Chlorpromazine. Gejala
bermanifestasikan sebagai gerakan otot skelet, spasme atau rigiditas, tetapi gejala-gejala tersebut di luar
kendali traktus kortikospinal (piramidal).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Sindrom ekstrapiramidal adalah suatu gejala atau reaksi yang ditimbulkan oleh penggunaan jangka
pendek atau jangka panjang dari medikasi antipsikotik golongan tipikal karena terjadinya inhibisi transmisi
dopaminergik di ganglia basalis. Adanya gangguan transmisi di korpus striatum yang mengandung
banyak reseptor D1 dan D2 dopamin menyebabkan depresi fungsi motorik sehingga bermanifestasi
sebagai sindrom ekstrapiramidal.
Gejala ekstrapiramidal sering dibagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi distonia, tardive dyskinesia,
akatisia, dan Sindrom Parkinson. Namun ada beberapa sumber menyebutkan bahwa Sindrom
Neuroleptik Maligna juga masuk ke dalam gangguan ekstrapiramidal.
B. EPIDEMIOLOGI
Reaksi distonia akut terjadi pada kira-kira 10% pasien, biasanya pada pria muda, terutama yang
mendapat pengobatan dengan neuroleptik haloperidol dan flufenarizin.
Tardive dyskinesia terjadi pada sekitar 20-30% pasien yang telah menggunakan antipsikotik tipikal dalam
kurun waktu 6 bulan atau lebih. Tetapi sebagian besar kasus sangat ringan. Hanya 5% pasien yang
memperlihatkan gejala nyata.
Akatisia merupakan gejala EPS yang paling sring terjadi. Kemungkinan besar terjadi pada pasien dengan
medikasi neuroleptik. Umumnya pada pasien muda.
Sindrom parkinson lebih sering pada dewasa muda, dengan perbandingan perempuan:laki-laki = 2:1.
Sindrom Neuroleptic Maligna sangat jarang dijumpai.
C. ETIOLOGI
Sindrom ekstrapiramidal terjadi akibat pemberian obat antipsikotik baik dalam jangka waktu singkat atau
lama yang menyebabkan adanya gangguan keseimbangan antara transmisi asetilkolin dan dopamine
pusat. Obat antispikotik dengan efek samping gejala ekstrapiramidalnya sebagai berikut:
Obat-Obat Antipsikotik dan Efek Samping Gejala Ekstrapiramidalnya
Antipsikosis Dosis (mg/hr) Gejala Ekstrapiramidal
Chlorpromazine 150-1600 ++
Thioridazine 100-900 +
Perphenazine 8-48 +++
Trifluoperazine 5-60 +++
Fluphenazine 5-60 +++
Haloperidol 2-100 ++++
Pimozide 2-6 ++
Clozapine 25-100 -
Zotepine 75-100 +
Sulpride 200-1600 +
Risperidon 2-9 +
Quetapine 50-400 +
Olanzapine 10-20 +
Aripiprazole 10-20 +
Beberapa hal lain yang mempengaruhi kerja ekstrapiramidal:
Ketidakseimbangan degeneratif
Ketidakseimbangan metabolik
Ketidakseimbangan sistem endokrin dan eksokrin
Inflamasi
Racun
Tumor atau SOL
Anoxia
D. PATOFISIOLOGI
Umumnya semua neuroleptik menyebabkan beberapa derajat disfungsi ekstrapiramidal Beberapa
neuroleptik menginhibisi transmisi dopaminergik di ganglia basalis. Penggunaan beberapa neuroleptik
tersebut menyebabkan gangguan transmisi di korpus striatum yang mengandung banyak reseptor D1
dan D2 dopamin sehingga menyebabkan depresi fungsi motorik yang bermanifestasi sebagai sindrom
ekstrapiramidal. Beberapa neuroleptik tipikal (seperti haloperidol, fluphenazine) merupakan inhibitor
dopamin ganglia basalis yang lebih poten, dan sebagai akibatnya menyebabka efek samping gejala
ekstrapiramidal yang lebih menonjol.
E. MANIFESTASI KLINIS
Gejala ekstrapiramidal sering dibagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi distonia, tardive dyskinesia,
akatisia, dan Sindrom Parkinson. 2 Namun ada beberapa sumber menyebutkan bahwa Sindrom
Neuroleptik Maligna juga masuk ke dalam gangguan ekstrapiramidal.
Reaksi Distonia
Merupakan spasme atau kontraksi involunter satu atau lebih otot skelet yang timbul beberapa menit dan
dapat pula berlangsung lama, biasanya menyebabkan gerakan atau postur yang abnormal.
Kelompok otot yang paling sering terlibat adalah otot wajah, otot rahang (trismus, gaping, grimacing),
leher (torticolis dan retrocolis), lidah (protrusion, memuntir) , seluruh otot tubuh (opistotonus) atau otot
ekstraokuler (krisis okulogirik). Distonia juga dapat terjadi pada glosofaringeal yang menyebabkan
disartria, disfagia, kesulitan bernafas hingga sianosis bahkan kematian. Distonia juga dapat terjadi
pada otot diafragmatik yang membantu pernapasan sehingga sulit bernafas hingga sianosis bahkan
kematian..
Spasme otot dan postur yang abnormal, umumnya yang dipengaruhi adalah otot-otot di daerah kepala
dan leher tetapi terkadang juga daerah batang tubuh dan ekstremitas bawah.
Reaksi distonia akut sering terjadi dalam satu atau dua hari setelah pengobatan dimulai, tetapi dapat
terjadi kapan saja.
Kriteria diagnostik dan riset untuk distonia akut akibat neuroleptik menurut DSM-IV adalah sebagai
berikut:
1 Posisi abnormal atau spasme otot kepala, leher, anggota gerak, atau batang tubuh yang
berkembang dalam beberapa hari setelah memulai atau menaikkan dosis medikasi neuroleptik (atau
setelah menurunkan medikasi yang digunakan untuk mengobati gejala ekstrapiramidal).
a. Satu (atau lebih) tanda atau gejala berikut yang berkembang berhubungan dengan medikasi
neuroleptik:
1. Posisi abnormal kepala dan leher dalam hubungannya dengan tubuh (misalnya tortikolis)
2. Spasme otot rahang (trismus, menganga, seringai)
3. Gangguan menelan (disfagia), bicara, atau bernafas (spasme laring-faring, disfonia)
4. Penebalan atau bicara cadel karena lidah hipertonik atau membesar (disartria, makroglosia)
5. Penonjolan lidah atau disfungsi lidah
6. Mata deviasi ke atas, ke bawah, ke arah samping (krisis okulorigik)
7. Posisi abnormal anggota gerak distal atau batang tubuh.
b. Tanda atau gejala dalam kriteria A berkembang dalam tujuh hari setelah memulai atau dengan
cepat menaikkan dosis medikasi neuroleptik, atau menurunkan medikasi yang digunakan untuk
mengobati (atau mencegah) gejala ekstrapiramidal akut (misalnya obat antikolinergik).
c. Gejala dalam kriteria A tidak diterangkan lebih baik oleh gangguan mental (misalnya gejala
katatonik pada skizofrenia). Tanda-tanda bahwa gejala lebih baik diterangkan oleh gangguan mental
dapat berupa berikut : gejala mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik atau tidak sesuai
dengan pola intervensi farmakologis (misalnya tidak ada perbaikan setelah menurunkan neuroleptik atau
pemberian antikolinergik).
d. Gejala dalam kriteria A bukan karena zat nonneuroleptik atau kondisi neurologis atau medis
umum. Tanda-tanda bahwa gejala adalah karena kondisi medis umum dapat berupa berikut : gejala
mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik, terdapat tanda neurologis fokal yang tidak dapat
diterangkan, atau gejala berkembang tanpa adanya perubahan medikasi.
Akatisia
Manifestasi berupa keadaan subjektif kegelisahan (restlessness) yang panjang,, gugup atau suatu
keinginan untuk tetap bergerak umumnya kaki yang tidak bisa tenang, atau rasa gatal pada otot.
Penderita dengan akatisia berat tidak mampu untuk duduk tenang, perasaannya menjadi cemas atau
iritabel, agitasi, dan pemacuan yang nyata. Akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik yang
memburuk akibat perasaan tidak nyaman yang ekstrim.
Sindrom Parkinson
Faktor risiko antipsikotik menginduksi parkinson adalah peningkatan usia, dosis obat, riwayat parkinson
sebelumnya, dan kerusakan ganglia basalis.
Terdiri dari akinesia, tremor, dan bradikinesia. Akinesia meliputi wajah topeng, jedaan dari gerakan
spontan, penurunan ayunan lengan saat berjalan, penurunan kedipan, dan penurunan mengunyah yang
dapat menimbulkan pengeluaran air liur. Pada suatu bentuk yang lebih ringan, akinesia hanya terbukti
sebagai suatu status perilaku dengan jeda bicara, penurunan spontanitas, apati dan kesukaran untuk
memulai aktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan gejala skizofrenia negatif. Tremor dapat
ditemukan pada saat istirahat dan dapat pula mengenai rahang. Gaya berjalan dengan langkah kecil dan
menyeret kaki diakibatkan karena kekakuan otot.
Tardive Dyskinesia
Disebabkan oleh defisiensi kolinergik yang relatif akibat supersensitif reseptor dopamin di puntamen
kaudatus. Merupakan manifestasi gerakan otot abnormal, involunter, menghentak, balistik, atau seperti
tik mempengaruhi gaya berjalan, berbicara, bernafas, dan makan pasien dan kadang mengganggu.
Faktor predisposisi dapat meliputi umur lanjut, jenis kelamin wanita, dan pengobatan berdosis tinggi atau
jangka panjang. Gejala hilang dengan tidur, dapat hilang timbul dengan berjalannya waktu dan umumnya
memburuk dengan penarikan neuroleptik. Diagnosis banding jika dipertimbangkan diskinesia tardive
meliputi penyakit Hutington, Khorea Sindenham, diskinesia spontan, tik dan diskinesia yang ditimbulkan
obat seperti Levodova, stimulant, dan lain-lain.
Gambar 2. Gerakan Involunter pada Tardive Dyskinesia
Perlu dicatat bahwa tardive diskinesia yang diduga disebabkan oleh kesupersensitivitasan reseptor
dopamin pasca sinaptik akibat blockade kronik dapat ditemukan bersama dengan sindrom parkinson
yang diduga disebabkan karena aktifitas dopaminergik yang tidak mencukupi. Pengenalan awal perlu
karena kasus lanjut sulit diobati. Banyak terapi yang diajukan tetapi evaluasinya sulit karena perjalanan
penyakit sangat beragam dan kadang-kadang terbatas. Diskinesia tardive dini atau ringan mudah
terlewatkan dan beberapa merasa bahwa evaluasi sistemik, Skala Gerakan Involunter Abnormal (AIMS)
harus dicatat setiap enam bulan untuk pasien yang mendapatkan pengobatan neuroleptik jangka
panjang.
F. DIAGNOSIS
Diagnosa awal dilakkan dengan anamnesa pasien. Pemeriksaan yang dapat dilakukan di antaranya
adalah pemeriksaan fisik pada umumnya yaitu tanda – tanda vital dan kondisi fisik seluruhnya. Dapat
ditambah pemeriksaan neurologis.
Pemeriksaan laboratorium tergantung pada tampilan klinis. Pemeriksaan rutin elektrolit, pemeriksaan
potassium, asam urat, keratin kinase-MM , nitrogen dan urea darah, kreatinin darah, glukosa darah,
mioglobin dan bikarbonat bermanfaat dalam menilai status hidrasi, fungsi ginjal, status asam basa,
kerusakan otot dan hipoglikemi .
G. DIAGNOSIS BANDING
Sindroma putus obat
Parkinson Disease
Distonia primer
Tetanus
Gangguan gerak ekstrapiramidal primer
Penyakit Huntington,
Chorea Syndenham
Anxietas
gejala psikotik yang memburuk
H. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan umum untuk sindrom ekstrapiramidal yakni :
Non-farmakologis :
Menurunkan dosis antipsikotik hingga mencapai dosis minimal yang efektif
Farmakologis
Pada pasien > 60 tahun diberikan L-dopa .Pemberian L-dopa 3-4x 1 hari dengan total dosis
maksimal 600 mg/ hari diberikan 30 menit sebelum makan, contoh madopar, sinemet.
Pada pasien muda diberikan da (dopamine antagonist)
Pemberian dopamine agonist , dibagi menjadi ergot da dan non-ergot da
Contoh ergot da:
Bromocriptin dimulai dengan dosis 1,25 mg ditingkatkan sampai total maksimal 40mg/ hari terbagi
dalam 3-5 dosis.
pergolide mesylate dimulai dari 0,05 mg 0,05 mg tiap 4-7 hari sampai 2-4 mg / hari untuk 3x beri
Piribedil 50 mg terbagi 5x/ hari
Cabergoline , dostinex 0,5 mg setiap 2 hari
Contoh Non-ergot da
Pramipexole, sifrol 1 mg dimulai dari 0,125 mg. Dosis umumnya 3-4,5 mg / hari
Ropinirole, requip 2 mg, dimulai dari 0,25 mg. Dosis umumnya 3-9 mg/ hari
Pemberian antihistamin seperti difenhidramine, sulfas atropine
Pemberian antikolinergik seperti :
trihexyphenidil ((THP), 4-6mg per hari selama 4-6 minggu. Setelah itu dosis diturunkan secara
perlahan-lahan, yaitu 2 mg setiap minggu, untuk melihat apakah pasien telah mengembangkan suatu
toleransi terhadap efek samping sindrom ekstrapiramidal ini.
n-Methyl-D-Aspartate Receptor Inhibitor: amantadine dimulai dari 100 mg. Dosis umumnya 300-400
mg/ hari terbagi dalam 3-4 dosis
enzyme inhibitor: Monoamine Oxidase Type B inhibitor MAO –B contoh selegiline, selegos 5 mg,
rasagiline sebagai neuroprotektor.
COMT –I (Cathechol o Methyl Transferase Inhibitors) : entacapone, comtan 200mg dosis maksimal
1600 mg, tolcapone untuk menurunkan degradasi dopamine otak dan meningkatkan efek L-dopa.
Pemberian epinefrin dan norepinefrin juga memberikan efek menurunkan konsentrasi antipsikotik
dalam plasma sehingga absorbsi reseptor dopamin berkurang dan efek gejala ekstrapiramidal dari
antipsikotik dapat berkurang.
Bila reaksi distonia akut berat harus mendapatkan penanganan cepat dan agresif. Umumnya lebih
praktis untuk memberikan difenhidramin 50 mg IM atau bila obat ini tidak tersedia gunakan benztropin 2
mg IM.
Penatalaksanaan akatisia dengan memberikan anti kolinergik dan amanditin, dan pemberian
proanolol dan benzodiazepine seperti klonazepam dan lorazepam.
I. PROGNOSIS
Prognosis pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang akut akan lebih baik bila gejala langsung dikenali
dan ditanggulangi. Sedangkan prognosis pada pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang kronik lebih
buruk, pasien dengan tardive distonia hingga distonia laring dapat menyebabkan kematian bila tidak
diatasi dengan cepat. Sekali terkena, kondisi ini biasanya menetap pada pasien yang mendapat
pengobatan neuroleptik selama lebih dari 10 tahun.
K. KOMPLIKASI
Gangguan gerak yang dialami penderita akan sangat mengganggu sehingga menurunkan kualitas
penderita dalam beraktivitas dan gangguan gerak saat berjalan dapat menyebabkan penderita terjatuh
dan mengalami fraktur.
Pada distonia laring dapat menyebabkan asfiksia dan kematian.
Medikasi anti-EPS mempunyai efek sampingnya sendiri yang dapat menyebabkan komplikasi yang
buruk. Anti kolinergik umumnya menyebabkan mulut kering, penglihatan kabur, gangguan ingatan,
konstipasi dan retensi urine. Amantadine dapat mengeksaserbasi gejala psikotik.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Sindrom ekstrapiramidal adalah suatu gejala atau reaksi yang ditimbulkan oleh penggunaan jangka
pendek atau jangka panjang dari medikasi antipsikotik golongan tipikal karena terjadinya inhibisi transmisi
dopaminergik di ganglia basalis.
Gejala ekstrapiramidal sering dibagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi distonia, tardive dyskinesia,
akatisia, dan Sindrom Parkinson. Namun ada beberapa sumber menyebutkan bahwa Sindrom
Neuroleptik Maligna juga masuk ke dalam gangguan ekstrapiramidal.
Reaksi distonia merupakan spasme atau kontraksi involunter satu atau lebih otot skelet yang timbul
beberapa menit dan dapat pula berlangsung lama, biasanya menyebabkan gerakan atau postur yang
abnormal.
Akatisia merupakan keadaan subjektif kegelisahan (restlessness) yang panjang,, gugup atau suatu
keinginan untuk tetap bergerak umumnya kaki yang tidak bisa tenang, atau rasa gatal pada otot.
Sindrom Parkinson merupakan kumpulan tanda – tanda berupa akinesia, tremor, dan bradikinesia.
Tardive dyskinesia merupakan manifestasi gerakan otot abnormal, involunter, menghentak, balistik, atau
seperti tik mempengaruhi gaya berjalan, berbicara, bernafas, dan makan pasien dan kadang
mengganggu.
Diagnosis awal dilakukan dengan anamnesa pasien. Pemeriksaan yang dapat dilakukan di antaranya
adalah pemeriksaan fisik pada umumnya yaitu tanda – tanda vital dan kondisi fisik seluruhnya. Dapat
ditambah pemeriksaan neurologis.
Pemeriksaan laboratorium tergantung pada tampilan klinis. Pemeriksaan rutin elektrolit, pemeriksaan
potassium, asam urat, keratin kinase-MM , nitrogendan urea darah, kreatinin darah, glukosa darah,
mioglobin dan bikarbonat bermanfaat dalam menilai status hidrasi, fungsi ginjal, status asam basa,
kerusakan otot .
Diagnosis banding : sindrom putus obat, parkinson disease, distonia primer, tetanus, gangguan gerak
ekstrapiramidal primer, penyakit huntington, chorea syndenham, anxietas, dan gejala psikotik yang
memburuk.
Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga dianjurkan memberikan terapi profilaktik. Sindrom ekstrapiramidal ditangani dengan mulai menurunkan dosis antipsikotik, kemudian dilanjutkan dengan pemberian obat – obat seperti :L-dopa , dopamine antagonist, antihistamin, antikolinergik, n-Methyl-D-Aspartate Receptor Inhibitor, enzyme inhibitor : Monoamine Oxidase Type B inhibitor MAO – B, COMT –I (Cathechol o Methyl Transferase Inhibitors) , epinefrin atau norepinefrin .
Pengenalan gejala dengan cepat dan penatalaksanaan yang baik dapat memperbaiki prognosis. Namun
penangan yang terlambat dapat memberikan komplikasi mulai dari gejala yang irreversibel hingga
kematian
B. Saran
Pengenalan gejala dengan cepat dan penatalaksanaan yang baik dapat memperbaiki prognosis. Namun
penanganan yang terlambat dapat memberikan komplikasi mulai dari gejala yang irreversibel hingga
kematian Sumber : http://si2l7191.blogspot.com/2013/05/jiwa.html