referat sindroma ekstrapiramidal

Embed Size (px)

Citation preview

REFARAT

BAB I

PENDAHULUANA. Latar Belakang

Gejala psikosis dikaitkan terutama dengan adanya hiperaktivitas dari neurotransmiter dopamin. Oleh karena itu, obat-obat yang digunakan untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan gejala psikosis mempunyai mekanisme memblok reseptor dari dopamin, khususnya reseptor D2 dopamin.

Selain dari pengurangan gejala psikosis, penggunaan obat-obat antipsikosis juga mempunyai efek samping yang berkaitan dengan neurotransmiter dopamin.

Efek samping ekstrapiramidal merupakan efek samping dari obat-obat antipsikosis yang sering muncul dan sangat mengganggu pasien sehingga dapat menurunkan ketaatan pasien untuk teratur mengkonsumsi obat, yang mana akan menyebabkan sulitnya gejala-gejala psikosis untuk berkurang atau hilang.

Sistem ekstrapiramidal merupakan jaringan syaraf yang terdapat pada otak bagian sistem motorik yang mempengaruhi koordinasi dari gerakan. Letak dari ekstrapimidal adalah terutama di formatio retikularis dari pons dan medulla, dan di target saraf di medulla spinalis yang mengatur refleks, gerakan-gerakan yang kompleks, dan kontrol postur tubuhSindrom ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu gejala atau reaksi yang ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi antipsikotik golongan tipikal. Obat antipsikotik tipikal yang paling sering memberikan efek samping gejala ekstrapiramidal yakni Haloperidol, Trifluoperazine, Pherpenazine, Fluphenazine, dan dapat pula oleh Chlorpromazine. Gejala bermanifestasikan sebagai gerakan otot skelet, spasme atau rigiditas, tetapi gejala-gejala tersebut di luar kendali traktus kortikospinal (piramidal).B. Tujuan dan Manfaat

1) Tujuan

Untuk mengetahui lebih mengenai sindrom ekstrapiramidal.

2) Manfaat

Manfaat dari pembuatan referat ini adalah untuk membantu memahami mengenai sindrom ekstrapiramidal.BAB II

TINJAUAN PUSTAKAA. Definisi

Sindrom ekstrapiramidal merupakan suatu gejala atau reaksi yang ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau jangka panjang dari medikasi antipsikotik golongan tipikal dikarenakan terjadinya inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia basalis. Adanya gangguan transmisi di korpus striatum yan mengandung banyak reseptor D1 dan D2 dopamin menyebabkan depresi fungsi motorik sehingga bermanifestasi sebagai sindrom ekstrapiramidal.B. EPIDEMIOLOGI Sindrom ekstrapiramidal yang terdiri dari reaksi distonia akut, akhatisia, dan sindrom parkinsonism umumnya terjadi akibat penggunaan obat-obat antipsikotik. Lebih banyak diakibatkan oleh antipsikotik tipikal terutama yang mempunyai potensi tinggi.Reaksi distonia akut terjadi pada kira-kira 10% pasien, biasanya pada pria muda. Tardive dyskinesia berupa gerakan involunter otot seperti mulut, rahang, umumnya terjadi akibat penggunaan antipsikotik golongan tipikal jangka panjang. Sekitar 20-30% pasien telah menggunakan antipsikotik tipikal dalam kurun waktu 6 bulan atau lebih, berkembang menjadi tardive dyskinesia. Sindrom parkinson umumnya timbul 1-3 minggu setelah pengobatan awal, lebih sering pada dewasa muda, dengan perbandingan perempuan:laki-laki = 2:1.C. ETIOLOGI Sindrom ekstrapiramidal terjadi akibat pemberian obat antipsikotik yang menyebabkan adanya gangguan keseimbangan antara transmisi asetilkolin dan dopamine pusat. Obat antispikotik dengan efek samping gejala ekstrapiramidalnya sebagai berikutObat antispikosis dengan efek samping gejala ekstrapiramidalnya sebagai berikut :AntipsikosisDosis (mg/hr)Gej. ekstrapiramidal

Chlorpromazine

Thioridazine

Perphenazine

trifluoperazine

Fluphenazine

Haloperidol

Pimozide

Clozapine

Zotepine

Sulpride

Risperidon

Quetapine

Olanzapine

Aripiprazole150-1600

100-900

8-48

5-60

5-60

2-100

2-6

25-100

75-100

200-1600

2-9

50-400

10-20

10-20++

+

+++

+++

+++

++++

++

-

+

+

+

+

+

+

D. PATOFISIOLOGISusunan PiramidalSemua neuron yang menyalurkan impuls motorik secara langsung ke lower motor neuron (LMN) atau melalui interneuronnya, tergolong dalam kelompok upper motor neuron (UMN). Neuron-neuron tersebut merupakan penghuni girus presentralis . Oleh karena itu, maka girus tersebut dinamakan korteks motorik. Mereka berada dilapisan ke-V dan masing-masing memiliki hubungan dengan gerak otok tertentu. Melalui aksonnya neuron korteks motorik menghubungi motoneuron yang membentuk inti motorik saraf kranial dan motor neuron dikornu anterius medula spinalis.Akson-akson tersebut menyusun jaras kortikobulbar dan kortikospinal. Sebagai berkas saraf yang kompak mereka turun dari korteks motorik dan ditingkat thalamus dan ganglia basalia mereka terdapat diantara kedua bangunan yang dikenal sebagai kapsula interna.Sepanjang batang otak, serabut-serabut kortikobulbar meninggalkan kawasan mereka untuk menyilang garis tengah dan berakhir secara langsung di motorneuron saraf kranial motorik atau interneuronnya disisi kontralateral. Sebagian dari serabut kortikobulbar berakhir di inti-inti saraf kranial motorik sisi ipsilateral juga.Diperbatasan antara medulla oblongata dan medulla spinalis, serabut-serabut kortikospinal sebagian besar menyilang dan membentuk jaras kortikospinal lateral yang berjalan di funikulus posterolateral kontralateralis. Sebagian dari mereka tidak menyilang tapi melanjutkan perjalanan ke medula spinalis di funikulus ventralis ipsilateralis dan dikenal sebagai jaras kortikospinal ventral atau traktus piramidalis ventralis.Susunan Ekstrapiramidal Susunan ekstrapiramidal terdiri dari : korpus striatum, globus palidus, inti-inti talamik, nukleus subtalamikus, subtansia nigra, formatio retikularis batang otak, serebelum berikut dengan korteks motorik tambahan yaitu area 4, area 6 dan area 8. Komponen-komponen tersebut dihubungkan satu dengan yang lain oleh akson masing-masing komponen itu. Dengan demikian terdapat lintasan yang melingkar yang dikenal sebagai sirkuit. Oleh karena korpus striatum merupakan penerima tunggal dari serabut-serabut segenap neokorteks, maka lintasan sirkuit tersebut dinamakan sirkuit striatal yang terdiri dari sirkuit striatal utama (principal) dan 3 sirkuit striatal penunjang (aksesori).Sirkuit striatal prinsipal tersusun dari tiga mata rantai, yaitu :

hubungan segenap neokorteks dengan korpus striatum serta globus palidus hubungan korpus striatum/globus palidus dengan thalamus hubungan thalamus dengan korteks area 4 dan 6. Data yang tiba diseluruh neokorteks seolah-olah diserahkan kepada korpus striatum/globus paidus/thalamus untuk diproses dan hasil pengolahan itu merupakan bahan feedback bagi korteks motorik dan korteks motorik tambahan. Oleh karena komponen-komponen susunan ekstrapiramidal lainnya menyusun sirkuit yang pada hakekatnya mengumpani sirkuit striata utama, maka sirkuit-sirkuit itu disebut sirkuit striatal asesorik. Sirkuit striatal asesorik ke-1 merupakan sirkuit yang menghubungkan stratum-globus palidus-talamus-striatum. Sirkuit-striatal asesorik ke-2 adalah lintasan yang melingkari globus palidus-korpus subtalamikum-globus palidus. Dan akhirnya sirkuit asesorik ke-3, yang dibentuk oleh hubungan yang melingkari striatum-subtansia nigra-striatum. Umumnya semua neuroleptik menyebabkan beberapa derajat disfungsi ekstrapiramidal dikarenakan inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia basalis. Pada pasien skizofrenia dan pasien dengan gangguan psikotik lainnya terjadi disfungsi pada sitem dopamin sehingga antipsikotik tipikal berfungsi untuk menghambat transmisi dopamin di jaras ekstrapiramidal dengan berperan sebagai inhibisi dopaminergi yakni antagonis reseptor D2 dopamin. Namun penggunaan zat-zat tersebut menyebabkan gangguan transmisi di korpus striatum yang mengandung banyak reseptor D1 dan D2 dopamin. Gangguan jalur striatonigral dopamin menyebabkan depresi fungsi motorik sehingga bermanifestasi sebagai sindrom ekstrapiramidal. Beberapa neuroleptik tipikal (seperti haloperidol, fluphenazine) merupakan inhibitor dopamin ganglia basalis yang lebih poten, dab sebagai akibatnya menyebabkan efek samping gejala ekstrapiramidal yang lebih menonjol. Dengan mengetahui jalur neuronal dopamin, dapat dimengerti bagaimana efek dari obat-obat antipsikosis dan juga efek sampingnya. Terdapat 4 jalur dopamin dalam otak :

Jalur dopamin mesolimbik

Jalur ini dimulai dari batang otak sampai area limbik, berfungsi mengatur perilaku dan terutama menciptakan delusi dan halusinasi jika dopamin berlebih. Dengan jalur ini dimatikan maka diharapkan delusi dan halusinasi dapat dihilangkan.

Jalur dopamin nigrostriatal

Jalur ini berfungsi mengatur gerakan. Ketika reseptor dopamin pada jalur ini dihambat pada postsinaps, maka akan menyebabkan gangguan gerakan yang muncul serupa dengan penyakit Parkinson, sehingga sering disebut drug-induced Parkinsonism. Oleh karena jalur nigrostriatal ini merupakan bagian dari sistem ekstrapiramidal dari sistem saraf pusat, maka efek samping dari blokade reseptor dopamin juga disebut reaksi ekstrapiramidal.

Jalur dopamin mesokortikal

Masih merupakan perdebatan bahwa blokade reseptor dopamin pada jalur ini akan menyebabkan timbulnya gejala negatif dari psikosis, yang disebut neuroleptic-induced deficit syndrome. Jalur dopamin tuberoinfundibular

Jalur ini mengontrol sekresi dari prolaktin. Blokade dari reseptor dopamin pada jalur ini akan menyebabkan peningkatan level prolaktin sehingga menimbulkan laktasi yang tidak pada waktunya, disebut galaktorea.E. GEJALA KLINISSistem ekstrapiramidal merupakan jaringan saraf yang terdapat pada otak bagian sistem motorik yang mempengaruhi koordinasi dari gerakan. Letak dari sistem ekstrapiramidal adalah terutama di formatio reticularis dari pons dan medulla dan di target saraf di medula spinalis yang mengatur refleks, gerakan-gerakan yang kompleks, dan kontrol postur tubuh. Istilah sindrom ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu kelompok atau reaksi yang ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi antipsikotik. Istilah ini mungkin dibuat karena banyak gejala bermanifestasikan sebagai gerakan otot skelet, spasme atau rigitas, tetapi gejala-gejala itu di luar kendali traktus kortikospinal (piramidal).Gejala ekstrapiramidal sering dibagi dalam beberapa kategori yaitu:1. Reaksi distonia akut 2. Tardive diskinesia 3. Akatisia4. Parkinsonism (Sindrom Parkinson)1. Reaksi Distonia Akut (Acute Dystonia Reaction)

Merupakan spasme atau kontraksi involunter satu atau lebih otot skelet yang timbul beberapa menit dan dapat pula berlangsung lama, biasanya menyebabkan gerakan atau postur yang abnormal. Kelompok otot yang paling sering terlibat adalah otot wajah, leher, lidah atau otot ekstraokuler, bermanifestasi sebagai tortikolis, disastria bicara, krisis okulogirik dan sikap badan yang tidak biasa hingga opistotonus (melibatkan seluruh otot tubuh).Reaksi distonia akut sering terjadi dalam satu atau dua hari setelah pengobatan dimulai, tetapi dapat terjadi kapan saja. Distonia lebih banyak diakibatkan oleh psikotik tipikal terutama yang mempunyai potensi tinggi dan dosis tinggi seperti haloperidol, trifluoroperazin dan fluphenazine. Terjadi pada kira-kira 10% pasien, lebih lazim pada pria muda.Perkembangan gejala distonik ditandai oleh onsetnya yang awal selama perjalanan terapi dengan neuroleptik dan tingginya insiden pada laki-laki, pada pasien di bawah usia 30 tahun, dan pada pasien yang mendapatkan dosis tinggi medikasi antipsikotik potensi tinggi (contohnya haloperidol). Walaupun onset seringkali tiba-tiba, onset dalam tiga sampai enam jam dapat terjadi, seringkali keluhan pasien berupa lidah yang tebal atau kesulitan menelan. Kontraksi distonik dapat cukup kuat sehingga dapat mendislokasi sendi, distonia laring dapat menyebabkan tercekik jika pasien tidak segera diobati. Otot-otot yang sering mengalami spasme adalah otot leher (torticolis dan retrocolis), otot rahang (trismus, gaping, grimacing), lidah (protrusion, memuntir) atau spasme pada seluruh otot tubuh (opistotonus). Pada mata terjadi krisis okulogirik. Distonia glosofaringeal yang menyebabkan disartri, disfagia, kesulitan bernafas hingga sianosis bahkan kematian. Spasme otot dan postur yang abnormal, umumnya yang dipengaruhi adalah otot-otot di daerah kepala dan leher tetapi terkadang juga daerah batang tubuh dan ekstremitas bawah.Mekanisme patofisiologi distonia adalah tidak jelas, walaupun perubahan dalam konsentrasi neuroleptik dan perubahan yang terjadi dalam mekanisme homeostatik di dalam ganglia basalis mungkin merupakan penyebab utama distonia. Reaksi distonia akut dapat merupakan penyebab utama dari ketidakpatuhan dengan neuroleptik karena pandangan pasien mengenai medikasi secara permanen dapat memudar oleh suatu reaksi distonik yang menyusahkan.Kriteria diagnostik dan riset untuk distonia akut akibat neuroleptik menurut DSM IV adalah sebagai berikut :

Posisi abnormal atau spasme otot kepala, leher, anggota gerak, atau batang tubuh yang berkembang dalam beberapa hari setelah memulai atau menaikkan dosis medikasi neuroleptik (atau setelah menurunkan medikasi yang digunakan untuk mengobati gejala ekstrapiramidal)A. Satu (atau lebih) tanda atau gejala berikut yang berkembang berhubungan dengan medikasi neuroleptik :

1. Posisi abnormal kepala dan leher dalam hubungannya dengan tubuh (misalnya tortikolis)

2. Spasme otot rahang (trismus, menganga, seringai)

3. Gangguan menelan (disfagia), bicara, atau bernafas (spasme laring-faring, disfonia)

4. Penebalan atau bicara cadel karena lidah hipertonik atau membesar (disartria, makroglosia)

5. Penonjolan lidah atau disfungsi lidah

6. Mata deviasi ke atas, ke bawah, ke arah samping (krisis okulorigik)

7. Posisi abnormal anggota gerak distal atau batang tubuh

B. Tanda atau gejala dalam kriteria A berkembang dalam tujuh hari setelah memulai atau dengan cepat menaikkan dosis medikasi neuroleptik, atau menurunkan medikasi yang digunakan untuk mengobati (atau mencegah) gejala ekstrapiramidal akut (misalnya obat antikolinergik)

C. Gejala dalam kriteria A tidak diterangkan lebih baik oleh gangguan mental (misalnya gejala katatonik pada skizofrenia). Tanda-tanda bahwa gejala lebih baik diterangkan oleh gangguan mental dapat berupa berikut : gejala mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik atau tidak sesuai dengan pola intervensi farmakologis (misalnya tidak ada perbaikan setelah menurunkan neuroleptik atau pemberian antikolinergik)

D. Gejala dalam kriteria A bukan karena zat nonneuroleptik atau kondisi neurologis atau medis umum. Tanda-tanda bahwa gejala adalah karena kondisi medis umum dapat berupa berikut : gejala mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik, terdapat tanda neurologis fokal yang tidak dapat diterangkan, atau gejala berkembang tanpa adanya perubahan medikasi.

Terapi distonia harus dilakukan dengan segera, paling sering dengan antikolinergik atau antihistaminergik. Jika pasien tidak berespon dengan tiga dosis obat-obatan tersebut dalam dua jam, klinisi harus mempertimbangkan penyebab gerakan distonik selain medikasi neuroleptik.

Untuk terapi distonia akut akibat neuroleptik, diberikan 1-2 mg benztropine IM. Jika dosis tersebut tidak efektif dalam 20-30 menit, obat harus diberikan lagi. Jika pasien masih tidak membaik dalam 20-30 menit lagi, suatu benzodiazepin (contohnya 1 mg lorazepam IM/IV) harus diberikan.

Distonia laring merupakan kegawatdaruratan medis dan harus diberikan 4 mg benztropine dalam 10 menit, diikuti dengan 1-2 mg lorazepam, diberikan perlahan melalui jalur IV.

Profilaksis terhadap distonia diindikasikan pada pasien yang pernah memiliki satu episode atau pada pasien yang berada dalam resiko tinggi (laki-laki muda yang menggunakan antipsikotik potensi tinggi). Profilaksis diberikan selama 4-8 minggu dan selanjutnya diturunkan perlahan selama periode 1-2 minggu untuk memungkinkan pemeriksaan tentang kebutuhan untuk melanjutkan terapi profilaksis.2. Tardive Diskinesia

Sindrom yang terjadi lambat dalam bentuk gerakan koreoatetoid abnormal, gerakan otot abnormal, involunter, menghentak, balistik, atau seperti tik memperngaruhi gaya berjalan, berbicara dan bernafas. Ini merupakan efek yang tidak dikehendaki dari obat antipsikotik. Hal ini disebabkan defisiensi kolinergik yang relatif akibat supersensitif reseptor dopamine di putamen kaudatus. Wanita tua yang diobati jangka panjang mudah mendapatkan gangguan tersebut walaupun dapat terjadi di perbagai tingkat umur pria ataupun wanita. Prevalensi bervariasi tetapi tardive diskinesia diperkirakan terjadi 20-40% pasien yang berobat lama. Tetapi sebagian kasus sangat ringan dan hanya sekitar 5% pasien memperlihatkan gerakan berat nyata. Namun, kasus-kasus berat sangat melemahkan sekali, yaitu mempengaruhi berjalan, berbicara, bernapas dan makan.

Faktor predisposisi dapat meliputi umur lanjut, jenis kelamin wanita, dan pengobatan berdosis tinggi atau jangka panjang. Pasien dengan gangguan afektif atau organik juga lebih berkemungkinan untuk mengalami tardive diskinesia. Gejala hilang dengan tidur, dapat hilang timbul dengan berjalannya waktu dan umumnya memburuk dengan penarikan neuroleptik. Diagnosis banding jika mempertimbangkan tardive diskinesia meliputi penyakit Hutington, Khorea Sindenham, diskinesia spontan, tik dan diskinesia yang ditimbulkan obat (contohnya levodopa, stimulant dan lain-lain). Perlu dicatat bahwa tardive diskinesia yang diduga disebabkan oleh kesupersensitivitasan reseptor dopamine pasca sinaptik akibat blokade kronik dapat ditemukan bersama dengan sindrom Parkinson yang diduga disebabkan karena aktifitas dopaminergik yang tidak mencukupi. Pengenalan awal perlu karena kasus lanjut sulit di obati. Banyak terapi yang diajukan tetapi evaluasinya sulit karena perjalanan penyakit sangat beragam dan kadang-kadang terbatas. Tardive diskinesia dini atau ringan mudah terlewatkan dan beberapa merasa bahwa evaluasi sistemik, Skala Gerakan Involunter Abnormal (AIMS) harus dicatat setiap enam bulan untuk pasien yang mendapatkan pengobatan neuroleptik jangka panjang.3. Akatisia

Sejauh ini EPS ini merupakan yang paling sering terjadi. Kemungkinan terjadi pada sebagian besar pasien yang diobati dengan medikasi neuroleptik, terutama pada populasi pasien lebih muda. Manifestasi berupa keadaan gelisah, gugup atau suatu keinginan untuk tetap bergerak, atau rasa gatal pada otot. Manifestasi klinis berupa perasaan subjektif kegelisahan (restlessness) yang panjang, dengan gerakan yang gelisah, umumnya kaki yang tidak bisa tenang. Penderita dengan akatisia berat tidak mampu untuk duduk tenang, perasaannya menjadi cemas atau iritabel, juga telah dilaporkan sebagai rasa gatal pada otot.

Pasien dapat mengeluh karena anxietas atau kesukaran tidur yang dapat disalah tafsirkan sebagai gejala psikotik yang memburuk. Sebaliknya, akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik akibat perasaan tidak nyaman yang ekstrim. Agitasi, pemacuan yang nyata, atau manifestasi fisik lain dari akatisia hanya dapat ditemukan pada kasus yang berat. Juga, akinesis yang ditemukan pada parkinsonisme yang ditimbulkan neuroleptik dapat menutupi setiap gejala objektif akatisia.

Akatisia sering timbul segera setelah memulai medikasi neuroleptik dan pasien sudah pada tempatnya mengkaitkan perasaan tidak nyaman. Yang dirasakan ini dengan medikasi sehingga menimbulkan masalah ketidakpatuhan pasien.

4. Sindrom Parkinson

Merupakan EPS lain yang agak lazim yang dapat dimulai berjam-jam setelah dosis pertama neuroleptik atau dimulai secara berangsur-angsur setelah pengobatan bertahun-tahun. Patofisiologi parkinsonisme akibat neuroleptik melibatkan penghambatan reseptor D2 dalam kaudatus pada akhir neuron dopamin nigrostriatal, yaitu neuron yang sama yang berdegenerasi pada penyakit Parkinson idiopatik. Pasien yang lanjut usia dan wanita berada dalam resiko tertinggi untuk mengalami parkinsonisme akibat neuroleptik.Manifestasinya meliputi berikut : Akinesia : yang meliputi wajah topeng, kejedaan dari gerakan spontan, penurunan ayunan lengan pada saat berjalan, penurunan kedipan, dan penurunan mengunyah yang dapat menimbulkan pengeluaran air liur. Pada bentuk yang yang lebih ringan, akinesia hanya terbukti sebagai suatu status perilaku dengan jeda bicara, penurunan spontanitas, apati dan kesukaran untuk memulai aktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan gejala negative skizofrenia.

Tremor : khususnya saat istirahat, secara klasik dari tipe penggulung pil. Tremor dapat mengenai bibir dan otot-otot perioral yang disebut sebagai sindrom kelinci. Keadaan ini dapat dikelirukan dengan tardive diskinesia, tapi dapat dibedakan melalui karakter lebih ritmik, kecerendungan untuk mengenai rahang daripada lidah dan responnya terhadap medikasi antikolinergik. Kekakuan otot/rigiditas : merupakan gangguan pada tonus otot, yaitu derajat ketegangan yang ada pada otot. Gangguan tonus otot dapat menyebabkan hipertonia. Hipertonia yang berhubungan dengan parkinsonisme akibat neuroleptik adalah tipe pipa besi (lead-pipe type) atau tipe roda gigi (cogwheel type). Istilah tersebut menggambarkan kesan subjektif dari anggota gerak atau sendi yang terkena. Penanganan Efek Samping EkstrapiramidalGejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga banyak ahli menganjurkan terapi profilaktik. Gejala ini penting terutama pada pasien dengan riwayat EPS atau para pasien yang mendapat neuroleptik poten dosis tinggi.

Medikasi anti-EPS yang digunakan terutama adalah antikolinergik. Hal tersebut disebabkan adanya reaksi reciprocal (berlawanan) antara dopamin dan asetilkolin pada jalur dopamin nigrostriatal. Neuron-neuron dopamin pada jalur nigrostriatal mempunyai koneksi postsinaps dengan neuron kolinergik. Secara normal, dopamin menghambat pelepasan asetilkolin dari postsinaps jalur kolinergik nigrostriatal. Obat antipsikosis menghambat dopamin sehingga menyebabkan aktivitas asetilkolin yang berlebih.Untuk mengurangi efek asetilkolin yang berlebih ini, digunakan antikolinergik. Sehingga untuk setiap pemberian obat antipsikosis diberikan antikolinergik untuk mencegah adanya efek samping ekstrapiramidal. Medikasi anti-EPS mempunyai efek sampingnya sendiri yang dapat menyebabkan komplians yang buruk. Antikolinergik umumnya menyebabkan mulut kering, penglihatan kabur, gangguan ingatan, konstipasi dan retensi urine. Selain dengan medikasi anti-EPS, dapat juga dilakukan pengurangan dosis obat anti-psikosis atau dengan mengganti obat anti-psikosis dengan jenis atipikal seperti olanzapine, risperidone, atau clozapine. Obat anti-psikosis atipikal ini hanya sedikit berpengaruh terhadap jalur nigrostriatal sehingga efeknya terhadap ekstrapiramidal lebih sedikit dibanding obat-obat anti-psikosis konvensional.Umumnya disarankan bahwa suatu usaha dilakukan setiap enam bulan untuk menarik medikasi anti-EPS pasien dengan pengawasan seksama terhadap kembalinya gejala.

F. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan umum untuk sindrom ekstrapiramidal yakni dengan mulai menurunkan dosis antipsikotik, kemudian pasien diterapi dengan antihistamin seperti difenhidramine, sulfas atropine atau antikolinergik seperti trihexyphenidil ((THP), 4-6mg per hari selama 4-6 minggu. Setelah itu dosis diturunkan secara perlahan-lahan, yaitu 2 mg setiap minggu, untuk melihat apakah pasien telah mengembangkan suatu toleransi terhadap efek samping sindrom ekstrapiramidal ini. Dosis antipsikotik diturunkan hingga mencapai dosis minimal yang efektif. Antihistamin yang dapat digunakan seperti difenhidramin pada pasien yang mengalami distonia. Selain itu epinefrin dan norepinefrin juga memberikan efek menurunkan konsentrasi antipsikotik dalam plasma sehingga absorbsi reseptor dopamin berkurang dan efek gejala ekstrapiramidal dari antipsikotik dapat berkurang.Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga dianjurkan untuk memberikan terapi profilaktik. Gejala ini penting terutama pada pasien dengan riwayat pernah mengalami sindrom ekstrapiramidal sbelumnya atau pada pasien yang mendapat neuroleptik poten dosis tinggi. Umumnya disarankan bahwa suatu usaha dilakukan setiap enam bulan untuk menarik medikasi anti-ekstrapiramidal sindrom pasien dengan pengawasan seksama terhadap kembalinya gejala.Pasien yang mengalami reaksi distonia akut harus segera ditangani. Penghentian obat-obatan psikotik yang sangat dicurigai sebagai penyebab reaksi harus dilakukan sesegera mungkin. Pemberian terapi antikolinergik merupakan terapi primer yang diberikan. Bila reaksi distonia akut berat harus mendapatkan penanganan cepat dan agresif. Umumnya lebih praktis untuk memberikan difenhidramin 50 mg IM atau bila obat ini tidak tersedia gunakan benztropin 2 mg IM.Penatalaksanaan akatisia dengan memberikan anti kolinergik dan amanditin, dan pemberian proanolol dan benzodiazepine seperti klonazepam dan lorazepam.Untuk sindrom parkinson diberikan agen antikolinergik. Sementara untuk tardive dyskinesia ditangani dengan pemakaian obat neuroleptik secara bijaksana untuk dosis medikasinya. Levadopa yang dipakai untuk pengobatan penyakitan Parkinson idiopatik umumnya untuk tidak efektif akibat efek sampingnya yang berat. Namun penggunaan golongan Benzodiazepin dapat mengurangi gerakan involunter pada banyak pasien.G. DIAGNOSIS BANDINGSindrom ekstrapiramidal dapat didiagnosis banding sebagai berikut:1.Sindroma putus obat 2.Parkinson disease3.Tetanus4.Gangguan gerak ekstrapiramidal primer5.Distonia primerPada pasien dengan tardive diskinesia dapat pula didiagnosis banding meliputi penyakit Hutington, Khorea SindenhamH. PROGNOSIS Prognosis pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang akut akan lebih baik bila gejala langsung dikenali dan ditanggulangi. Sedangkan prognosis pada pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang kronik lebih buruk, pasien dengan tardive distonia hingga distonia laring dapat menyebabkan kematian bila tidak diatasi dengan cepat. Sekali terkena, kondisi ini biasanya menetap pada pasien yang mendapat pengobatan neuroleptik selama lebih dari 10 tahun.I. KOMPLIKASI Gangguan gerak yang dialami penderita akan sangat mengganggu sehingga menurunkan kualitas penderita dalam beraktivitas dan gaangguan gerak saat berjalan dapat menyebabkan penderita terjatuh dan mengalami fraktur. Pada distonia laring dapat menyebabkan asfiksia dan kematian. Medikasi anti-EPS mempunyai efek sampingnya sendiri yang dapat menyebabkan komplikasi yang buruk. Anti kolinergik umumnya menyebabkan mulut kering, penglihatan kabur, gangguan ingatan, konstipasi dan retensi urine. Amantadine dapat mengeksaserbasi gejala psikotikBAB III

KESIMPULAN

Sindrom ekstrapiramidal merupakan kumpulan gejala yang dapat diakibatkan oleh penggunaan antipsikotik. Antipsikotik yang menghambat transmisi dopamine di jalur striatonigral juga memberikan inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia basalis. Adanya gangguan transmisi di korpus striatum menyebabkan depresi fungsi motorik. Umumnya terjadi pada pemakaian jangka panjang antipsikotik tipikal dan penggunaan dosis tinggi.Manifestasi sindrom ini dapat berupa reaksi distonia, sindrom parkinsonisme, dan tardive dyskinesia. Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga dianjurkan memberikan terapi profilaktik. Sindrom ekstrapiramidal ditangani dengan mulai menurunkan dosis antipsikotik, kemudian pasien diterapi dengan antihistamin dan antikolinergik seperti trihexyphenidil (THP) dan difenhidrami. Bila reaksi distonia akut berat harus mendapatkan penanganan cepat umumnya diberikan Beztropin secara IV atau difenhidramin secara IM. Untuk akatisia diberikan antikolinergik dan amantadin, dan pemberian proanolol dan benzodiazepine seperti klonazepam dan lorazepam.Pengenalan gejala dengan cepat dan penatalaksanaan yang baik dapat memperbaiki prognosis. Namun penangan yang terlambat dapat memberikan komplikasi mulai dari gejala yang irreversibel hingga kematian.

Penggunaan obat-obat antipsikosis mempunyai efek samping yang bisa mempengaruhi kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat. Hal tersebut dapat menyebabkan penyakit pasien berlangsung kronis dan terus-menerus relaps.Efek samping ekstrapiramidal memang mengganggu pasien, namun tanpa obat antipsikosis sulit untuk pasien untuk sembuh dari gejala psikosisnya.

Dengan adanya agen antikolinergik, diharapkan efek samping ekstrapiramidal akibat obat antipsikosis dapat ditekan dan pasien dapat lebih teratur mengkonsumsi obat antipsikosis dan diharapkan dapat meningkatkan kesembuhan dari pasien.

DAFTAR PUSTAKA

http://en.wikipedia.org/wiki/Extrapyramidal_system

http://en.wikipedia.org/wiki/Dystonia

Kaplan & Saddock. Sinopsis Psikiatri Jilid 2 ed 9. Lippincott Williams & Wilkins. 1998

Stahl, Stephen M. Essential Psychopharmacology : Neuroscientific Basis and Practical Applications. Cambridge University Press. 1996.