Upload
others
View
32
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
TUGAS AKHIR (606404A)
SIMULASI DAN OPTIMASI DESAIN PENGECORAN CETAKAN PASIR PADA PRODUK IDLER MENGGUNAKAN METODE TAGUCHI
RIFKY KURNIA PUTRA NRP.0615040005
DOSEN PEMBIMBING MUHAMMAD ARI, S.T., M.T. DHIKA ADITYA PURNOMO., S.ST., M.T.
PROGRAM STUDI TEKNIK DESAIN DAN MANUFAKTUR
JURUSAN TEKNIK PERMESINAN KAPAL
POLITEKNIK PERKAPALAN NEGERI SURABAYA SURABAYA
2019
i
TUGAS AKHIR (606404A)
SIMULASI DAN OPTIMASI DESAIN PENGECORAN CETAKAN PASIR PADA PRODUK IDLER MENGGUNAKAN METODE TAGUCHI
RIFKY KURNIA PUTRA NRP.0615040005
DOSEN PEMBIMBING MUHAMMAD ARI, S.T., M.T. DHIKA ADITYA PURNOMO., S.ST., M.T.
PROGRAM STUDI TEKNIK DESAIN DAN MANUFAKTUR
JURUSAN TEKNIK PERMESINAN KAPAL
POLITEKNIK PERKAPALAN NEGERI SURABAYA SURABAYA 2019
ii
Halaman ini sengaja dikosongkan
vii
KATA PENGANTAR
Segaja puji dan syukur kepada Allah S.W.T, karena kasih karunia,
pertolongan, dan hikmat yang telah diberikan, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan Tugas Akhir dengan judul “ Simulasi dan Optimasi
Desain Pengecoran Cetakan Pasir pada Produk Idler Menggunakan Metode
Taguchi ”.
Selama proses pengerjaan tugas akhir, penulis mengalami banyak kesulitan
dan tantangan. Akan tetapi banyak pula pihak yang telah mendukung dan
membantu serta memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dalam
menghadapi setiap kesulitan untuk menyelesaikan penulisan tugas akhir. Oleh
karena itu, penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada :
1. Bapak Ir. Eko Julianto, M.Sc., MRINA selaku Direktur Politeknik
Perkapalan Negeri Surabaya.
2. Bapak George Endri Kusuma, S.T., M.Sc. Eng., selaku Ketua Jurusan
Teknik Pemesinan Kapal Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya.
3. Bapak Anda Iviana J., S.T., M.T., selaku Ketua Program Studi Teknik
Desain dan Manufaktur Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya.
4. Bapak Muhammad Ari, S.T., M.T. selaku Dosen Pembimbing 1 yang
berkenan memberikan bimbingan, saran, dan pengetahuan baru.
5. Bapak Dhika Aditya Purnomo, S.ST., M.T. selaku Dosen Pembimbing 2
yang juga berkenan memberikan bimbingan, saran, dan pengetahuan baru.
6. Seluruh dosen dan karyawan di Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya
yang telah memberikan ilmu, bantuan serta dukungan dalam penyusunan
Tugas Akhir.
7. Kedua orang tua penulis, bapak Rudi Kurnianto dan ibu Suciati, serta
kakakku Merisa Kurniasari dan seluruh keluarga yang selalu memberikan
semangat, doa, motivasi serta bimbingan selama pengerjaan tugas akhir ini
sehingga penulis mampu menyelesaikan perkuliahan dan tugas akhir ini
dengan sebaik mungkin.
8. Seluruh teman seperjuangan Teknik Desain dan Manufaktur angkatan 2015,
yang selalu membantu, berbagi, mendukung dan berjuang selama 4 tahun.
viii
9. Tim On the Job Training Nofan, Rizky, Fikri dan Aji yang telah bekerja
sama saat On the Job Training serta membantu dan memberikan semangat
pada penulis.
10. Seluruh pihak yang telah membantu penulis secara langsung maupun tidak
langsung dalam penyusunan tugas akhir.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih atas seluruh bantuan yang telah
diberikan. Penulis sangat menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan tugas akhir ini.Besar harapan dari penulis agar tugas akhir ini
nantinya mampu memberikan manfaat bagi setiap orang yang membaca. Selain
itu juga dapat memberikan referensi untuk penelitian selanjutnya.
Surabaya, 15 Juli 2019
ix
SIMULASI DAN OPTIMASI DESAIN PENGECORAN
CETAKAN PASIR PADA PRODUK IDLER MENGGUNAKAN
METODE TAGUCHI
Rifky Kurnia Putra
ABSTRAK
PT. Barata Indonesia (Persero) adalah salah satu perusahaan yang
memproduksi Idler dengan proses manufaktur sand casting. Namun dalam
pelaksanaannya sand casting masih terjadi cacat (defect) terutama cacat porositas.
Tidak dapat dihindari bahwa banyak cacat yang bermacam-macam terjadi dalam
proses pengecoran, dengan begitu cara meningkatkan kualitas pengecoran (Yield
Casting) menjadi penting. Kualitas pengecoran sangat tergantung pada
keberhasilan desain Gating System (Saluran Tuang) dan Riser (Saluran Penambah),
yang saat ini dilakukan hanya mengandalkan pengalaman teknisi (trial and error).
Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas produk adalah dengan optimasi
parameter. Dalam penelitian ini dilakukan dengan cara memodelkan produk cor
Idler secara 3D kemudian melakukan simulasi pengecoran dengan software dan
mempertimbangkan desain gating system (sprue dan runner) dan penambahan
riser. Analisa optimasi menggunakan metode Taguchi dengan pendekatan Ratio
Signal to Noise (RSN) tertuju pada nilai tertentu untuk mengetahui pengaruh faktor
yaitu ukuran diameter sprue, runner, dan riser, serta menentukan kombinasi
parameter optimal agar didapatkan nilai persentase cacat porositas yang seminimal
mungkin. Hasil dari penelitian ini yaitu diperolehnya kombinasi optimum
parameter yang terdiri dari ∅ sprue bernilai 70 mm, ∅ runner bernilai 77 mm, dan
∅ riser bernilai 110 mm dengan persentase cacat porositas sejumlah 3,61706 %.
Kata Kunci : Idler, Sand Casting, Porositas, Gating System, Riser, Taguchi.
x
Halaman ini sengaja dikosongkan
xi
SIMULATION AND OPTIMIZATION SAND CASTING DESIGN
OF IDLER PRODUCT USING TAGUCHI METHOD
Rifky Kurnia Putra
ABSTRACT
PT. Barata Indonesia (Persero) is one of the companies that produce Idler
with a sand casting manufacturing process. But in its implementation, the sand
casting still has defects, especially porosity defects. It is inevitable that many
different defects occur in the casting process, so the way to improve casting quality
(Yield Casting) is important. The quality of casting is very dependent on the success
of the design of the Gating System and Riser, which currently only relies on
technical experience (trial and error). One way to improve product quality is by
parameter optimization. In this study carried out by modeling the Idler cast product
in 3D, then performing a casting simulation with software and considering the
design of the gating system (sprue and runner) and riser. Optimization analysis
using the Taguchi method with the Signal to Noise Ratio (RSN) approach is focused
on certain values to determine the influence of factors, namely the size of the sprue
diameter, runner and riser, and determine the optimal combination of parameters
to obtain a minimum percentage porosity defect. The results of this study are
obtained by the optimum combination of parameters consisting of ∅ sprue valued
at 70 mm, ∅ runner valued at 77 mm, and ∅ riser valued at 110 mm with a defect
percentage of porosity of 3,61706 %.
Keywords : Idler, Sand Casting, Porosity, Gating System, Riser, Taguchi.
xii
Halaman ini sengaja dikosongkan
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ............................................................ v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vii
ABSTRAK ...................................................................................................... ix
ABSTRACT ..................................................................................................... xi
DAFTAR ISI ................................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xvii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xix
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah .................................................................................. 3
1.3. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 3
1.4. Manfaat Tugas Akhir ................................................................................ 3
1.5. Batasan Masalah ....................................................................................... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Komponen Idler ........................................................................................ 5
2.2. Proses Pengecoran Logam ........................................................................ 5
2.3. Pengecoran Cetakan Pasir (Sand Casting) ................................................ 7
2.4. Kualitas Pengecoran (Yield Casting) ........................................................ 8
2.5. Sistem Saluran (Gating System) ................................................................ 8
2.5.1.Cawang Tuang (Pouring Basin).................................................. 9
2.5.2.Saluran Turun (Sprue) ................................................................. 10
2.5.3.Saluran Turun Dasar (Well Base) ................................................ 11
2.5.4.Pengalir (Runner) ........................................................................ 11
2.5.5.Pengalir Tambahan (Runner Extention) ...................................... 12
2.5.6.Saluran Masuk (Ingate) ............................................................... 12
2.6. Perencanaan Sistem Saluran ..................................................................... 13
2.7. Penentuan Tambahan Penyusutan yang Disarankan ................................. 16
2.8. Saluran Penambah (Riser) ......................................................................... 17
2.8.1.Merancang Riser ......................................................................... 19
2.9. Proses Solidifikasi ..................................................................................... 21
2.10. Cacat Coran ............................................................................................. 21
2.10.1.Porositas Gas ............................................................................. 22
xiv
2.10.1.1.Persentase Porositas .......................................................... 23
2.10.2.Retakan ...................................................................................... 24
2.10.3.Penyusutan (Shrinkage) ............................................................. 24
2.10.3.1.Persentase Penyusutan ..................................................... 26
2.11.Software Flow Cast 3D ....................................................................... 26
2.11.1.Permodelan Gambar .................................................................. 27
2.12.Software Minitab 17 .......................................................................... 27
2.13.Metode DOE (Design of Experiment) ................................................ 27
2.13.1.Desain Faktorial (Factorial Design).......................................... 28
2.13.2.Response Surface ....................................................................... 28
2.13.3.Taguchi ...................................................................................... 29
2.14.Metode DOE (Design of Experiment) Terpilih .................................. 30
2.14.1.Tahap Perencanaan .................................................................... 30
2.14.2.Tahap Pelaksanaan .................................................................... 34
2.14.3.Tahap Analisis ........................................................................... 34
2.15.Eksperimen Konfirmasi ...................................................................... 39
2.16.Penelitian Terdahulu ........................................................................... 40
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Sumber Data ........................................................................................ 45
3.1.1.Tempat Penelitian .................................................................. 45
3.1.2.Waktu Penelitian ................................................................... 45
3.2. Variabel Penelitian .............................................................................. 45
3.3.Tahapan-tahapan Simulasi .................................................................... 49
3.3.1. Geometry Input dan Geometry Interpretation ...................... 49
3.3.2. Solid Object .......................................................................... 49
3.3.3. Meshing ................................................................................ 50
3.3.4. Boundary Condition ............................................................. 51
3.3.5. Metal Input ........................................................................... 52
3.3.6. Metal Parameter ................................................................... 53
3.3.7. Heat Transfer Coefficient ..................................................... 54
3.3.8. Solver Parameter .................................................................. 54
3.3.9. Post Processing ..................................................................... 55
3.4.Rancangan Penelitian ........................................................................... 56
3.5.Diagram Alir Penelitian ........................................................................ 57
3.6.Penjelasan Tentang Diagram Alir ........................................................ 58
3.5.1.Studi Literatur ....................................................................... 58
3.5.2.Permodelan 3D ..................................................................... 58
3.5.3.Simulasi Flow Cast 3D ......................................................... 59
3.5.4.Pengolahan Data ................................................................... 59
3.5.5.Optimasi Desain ................................................................... 59
3.5.6.Kesimpulan dan Saran .......................................................... 60
3.5.7.Jadwal Kegiatan .................................................................... 60
xv
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Penentuan Yield Casting ..................................................................... 61
4.2. Pengujian Design of Experiment (DOE) ........................................... 63
4.2.1. Design Cycle 1 .................................................................... 63
4.2.2. Design Cycle 2 .................................................................... 65
4.2.3. Design Cycle 3 .................................................................... 66
4.2.4. Design Cycle 4 .................................................................... 67
4.2.5. Design Cycle 5 .................................................................... 69
4.2.6. Design Cycle 6 .................................................................... 70
4.2.7. Design Cycle 7 .................................................................... 71
4.2.8. Design Cycle 8 .................................................................... 73
4.2.9. Design Cycle 9 .................................................................... 75
4.3. Analisa Signal to Noise Ratio ............................................................. 76
4.3.1. Perhitungan S/N Ratio Porositas ......................................... 76
4.4. Analysis of Variance (ANOVA) ........................................................ 80
4.4.1. Perhitungan Sum of Square (SS) ........................................ 80
4.4.2. Perhitungan Mean of Square (MS) .................................... 82
4.4.3. Perhitungan F-Hitung ......................................................... 84
4.4.4. Perhitungan Persen Kontribusi ........................................... 86
4.4.5. Perhitungan ANOVA Menggunakan Minitab 17 .............. 88
4.5. Perhitungan Asumsi Residual ............................................................ 89
4.5.1. Uji Independen ..................................................................... 89
4.5.2. Uji Identik ............................................................................ 89
4.5.3. Uji Kenormalan ................................................................... 90
4.6. Eksperimen Konfirmasi ...................................................................... 91
4.6.1. Prediksi Rasio S/N Porositas yang Optimal ........................ 91
4.6.2. Pengujian Konfirmasi .......................................................... 92
4.6.3. Perhitungan Rasio S/N Pengujian Konfirmasi .................... 94
4.7. Analisa Hasil ....................................................................................... 95
4.8. Pembahasan ......................................................................................... 96
4.8.1. Pengaruh Variabel Proses Terhadap Respon Individu ........ 96
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan ......................................................................................... 99
5.2. Saran .................................................................................................... 99
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 101
LAMPIRAN .................................................................................................... 103
xvi
Halaman ini sengaja dikosongkan
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2. 1 Bagian Under Carriage ................................................................ 5
Gambar 2. 2 Bagian Cetakan Pasir .................................................................. 8
Gambar 2. 3 Sistem Saluran ............................................................................. 9
Gambar 2. 4 Jenis cawang tuang ...................................................................... 10
Gambar 2. 5 Jenis bentuk sprue ....................................................................... 10
Gambar 2. 6 Bentuk saluran turun dasar (well base) ....................................... 11
Gambar 2. 7 Jenis bentuk pengalir ................................................................... 11
Gambar 2. 8 Jenis saluran masuk (ingate) ....................................................... 12
Gambar 2. 9 Top Gating................................................................................... 14
Gambar 2. 10 Bottom Gating ........................................................................... 14
Gambar 2. 11 Parting line Gating .................................................................... 15
Gambar 2. 12 Dimensi Well Base .................................................................... 15
Gambar 2. 13 Skematik Ilustrasi shrinkage pada tiap fase .............................. 16
Gambar 2. 14 Top riser dan side riser .............................................................. 17
Gambar 2. 15 Peletakan Top riser dan side riser pada cetakan ........................ 18
Gambar 2. 16 Contoh-Contoh Penambah ........................................................ 18
Gambar 2. 17 Casting modulus ........................................................................ 19
Gambar 2. 18 Persentase penyusutan ............................................................... 20
Gambar 2. 19 Desain dan ukuran penambah samping ..................................... 20
Gambar 2. 20 Proses solidifikasi ...................................................................... 21
Gambar 2. 21 Macam-macam bentuk cacat ..................................................... 21
Gambar 2. 22 Cacat Porositas Gas ................................................................... 22
Gambar 2. 23 Cacat surface crack.................................................................... 24
Gambar 2. 24 Cacat penyusutan (shringkage) ................................................. 25
Gambar 2. 25 Ilustrasi terjadinya cacat penyusutan (shrinkage) ..................... 25
Gambar 3. 1 I-Properties 3D produk Idler....................................................... 47
Gambar 3. 2 Geometry Interpretation .............................................................. 49
Gambar 3. 3 Solid Object ................................................................................. 49
Gambar 3. 4 Meshing ....................................................................................... 50
Gambar 3. 5 Boundary Condition .................................................................... 51
Gambar 3. 6 Metal Input .................................................................................. 52
Gambar 3. 7 Metal Parameter .......................................................................... 53
Gambar 3. 8 Heat Treatment Coefficient ......................................................... 54
Gambar 3. 9 Solver Parameter ......................................................................... 54
Gambar 3.10 Indikasi Solidifikasi Selesai ....................................................... 55
Gambar 3.11 Diagram Alir Penelitian ............................................................. 57
Gambar 3.12 Produk Idler dan Desain Pengecorannya ................................... 58
Gambar 4.1 Parameter pengujian beserta yield castingnya ........................... 63
Gambar 4.2 Persentase Cacat Porositas Design Cycle 1 Isometri ................. 63
Gambar 4.3 Persentase Cacat Porositas Design Cycle 1 Potongan ................ 63
xviii
Gambar 4.4 Kurva Volume Cacat Porositas Design Cycle 1 ......................... 64
Gambar 4.5 Persentase Cacat Porositas Design Cycle 2 Isometri .................. 65
Gambar 4.6 Persentase Cacat Porositas Design Cycle 2 Potongan ................ 65
Gambar 4.7 Kurva Volume Cacat Porositas Design Cycle 2 ......................... 66
Gambar 4.8 Persentase Cacat Porositas Design Cycle 3 Isometri .................. 66
Gambar 4.9 Persentase Cacat Porositas Design Cycle 3 Potongan ................ 67
Gambar 4.10 Kurva Volume Cacat Porositas Design Cycle 3 ......................... 67
Gambar 4.11 Persentase Cacat Porositas Design Cycle 4 Isometri .................. 68
Gambar 4.12 Persentase Cacat Porositas Design Cycle 4 Potongan ................ 68
Gambar 4.13 Kurva Volume Cacat Porositas Design Cycle 4 ......................... 68
Gambar 4.14 Persentase Cacat Porositas Design Cycle 5 Isometri .................. 69
Gambar 4.15 Persentase Cacat Porositas Design Cycle 5 Potongan ................ 69
Gambar 4.16 Kurva Volume Cacat Porositas Design Cycle 5 ......................... 70
Gambar 4.17 Persentase Cacat Porositas Design Cycle 6 Isometri .................. 70
Gambar 4.18 Persentase Cacat Porositas Design Cycle 6 Potongan ................ 71
Gambar 4.19 Kurva Volume Cacat Porositas Design Cycle 6 ......................... 71
Gambar 4.20 Persentase Cacat Porositas Design Cycle 7 Isometri .................. 72
Gambar 4.21 Persentase Cacat Porositas Design Cycle 7 Potongan ................ 72
Gambar 4.22 Kurva Volume Cacat Porositas Design Cycle 7 ......................... 73
Gambar 4.23 Persentase Cacat Porositas Design Cycle 8 Isometri .................. 73
Gambar 4.24 Persentase Cacat Porositas Design Cycle 8 Potongan ................ 74
Gambar 4.25 Kurva Volume Cacat Porositas Design Cycle 8 ......................... 74
Gambar 4.26 Persentase Cacat Porositas Design Cycle 9 Isometri .................. 75
Gambar 4.27 Persentase Cacat Porositas Design Cycle 9 Potongan ................ 75
Gambar 4.28 Kurva Volume Cacat Porositas Design Cycle 9 ......................... 75
Gambar 4.29 Grafik Main effects Plot for S/N Ratio ....................................... 80
Gambar 4.30 Anova untuk Rasio S/N .............................................................. 88
Gambar 4.31 Plot ACF ..................................................................................... 89
Gambar 4.32 Plot Residual versus Fitted Values ............................................. 90
Gambar 4.33 Plot Uji Distribusi Normal .......................................................... 91
Gambar 4.34 Persentase Cacat Porositas Pengujian Konfirmasi Isometri ....... 93
Gambar 4.35 Persentase Cacat Porositas Pengujian Konfirmasi Potongan ..... 93
Gambar 4.36 Plot rata-rata Percobaan Konfirmasi dengan Prediksi ................ 95
xix
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Tambahan penyusutan karena solidification contraction ................ 17
Tabel 2.2 Penentuan diameter penambah......................................................... 20
Tabel 2.3 Perbandingan Desain Eksperimen ................................................... 29
Tabel 2.4 Ortogonal Array L4 ( 2 3 ) ............................................................... 32
Tabel 2.5 Ortogonal Array L8 ( 2 7 ) ............................................................... 32
Tabel 2.6 Ortogonal Array L9 ( 3 4 ) ............................................................... 32
Tabel 2.7 Ortogonal Array ............................................................................... 33
Tabel 2.8 Analisis Variansi (ANOVA) ............................................................ 35
Tabel 2.9 Penelitian Terdahulu ........................................................................ 43
Tabel 3.1 Variabel Bebas dan Level Kendali................................................... 56
Tabel 3.2 Matriks Ortogonal Array L9 ( 3 3 ) .................................................. 56
Tabel 3.3 Jadwal Pelaksanaan Kegiatan .......................................................... 60
Tabel 4.1 Hasil Simulasi .................................................................................. 76
Tabel 4.2 Nilai S/N Rasio Persentase Porositas ............................................... 77
Tabel 4.3 Respon S/N Rasio Persentase Porositas ........................................... 79
Tabel 4.4 Nilai S/N Rasio Kuadrat .................................................................. 81
Tabel 4.5 Hasil Analisis Rasio S/N .................................................................. 84
Tabel 4.6 Nilai F-Hitung Analisis Varians ...................................................... 85
Tabel 4.7 Nilai Persen Kontribusi Analisis Varians ........................................ 87
Tabel 4.8 Nilai Tabel Perbandingan S/N ......................................................... 95
xx
Halaman ini sengaja dikosongkan
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sektor industri di Indonesia saat ini menjadi pusat pembangunan dan
perekonomian bangsa. Hal ini menunjukan semakin meningkatnya peranan
perusahaan manufaktur untuk memenuhi kebutuhan industri, salah satunya industri
manufaktur alat berat. Guna memenuhi kebutuhan suku cadang, peralatan
pendukung dan komponen lainnya PT. Barata Indonesia (Persero) selaku
perusahaan milik negara yang bergerak di bidang manufaktur mensuplai produk-
produknya ke industri alat berat di Indonesia. Salah satu komponen vital alat berat
Traktor Roda Kelabang (Crawler Tractor) yang diproduksi oleh PT. Barata
Indonesia (Persero) yaitu Idler. Idler diproduksi dengan proses manufaktur sand
casting atau pengecoran logam dengan cetakan pasir. Pemilihan proses manufaktur
sand casting didasarkan pada kerumitan bentuk geometri komponen Idler.
Dalam casting, ada dua tahapan utama yaitu proses filling dan proses
solidifikasi. Dalam proses filling logam cair akan mengalir dari ladle menuju gating
system yang terdiri dari pouring cup, sprue, runner dan gate. Selanjutnya logam
cair dituangkan ke dalam cetakan lalu dibiarkan membeku ke dalam bentuk sesuai
dengan rongga cetaknya (Solidifikasi). Namun dalam pelaksanaannya, sand casting
masih terjadi cacat (defect), seperti inklusi, crack dan flash. Akan tetapi, untuk
mengatasi cacat coran tersebut dapat dihilangkan dengan proses machining,
sedangkan cacat yang sulit ditangani dan umumnya timbul pada produk cor yaitu
cacat gas porositas. (Fahruddin, 2015)
Cacat gas porositas adalah cacat berbentuk rongga bulat dengan permukaan
halus akibat adanya gas hidrogen yang masuk pada logam cair dan terperangkap
selama proses solidifikasi yang tidak merata atau karena terjadi kontraksi waktu
pendinginan logam cair dan perbedaan ketebalan produk cor. (Jolly, 1978).
Semakin tebal produk cor maka persentase cacat semakin besar. Untuk membantu
menanggulangi mengurangi dampak cacat, ditambahkan sistem saluran penambah
(Riser). Riser adalah tempat cadangan logam cair yang digunakan untuk memberi
2
pengisian rongga cetakan dalam pengecoran selama solidifikasi dan diletakan dekat
bagian produk cor yang tebal.
Tidak dapat dihindari bahwa banyak cacat yang bermacam-macam terjadi
dalam proses pengecoran, dengan begitu cara meningkatkan kualitas pengecoran
(Yield Casting) menjadi penting. Memaksimalkan Yield Casting yang didefinisikan
sebagai berat coran/casting dibagi dengan berat logam tuang (yaitu termasuk logam
yang membeku di Riser, Runner, Sprue, dll) adalah salah satu pertimbangan penting
dalam industri pengecoran baja. Kualitas pengecoran sangat tergantung pada
keberhasilan desain Gating System (Saluran Tuang) dan Riser (Saluran Penambah)
yang saat ini dilakukan hanya mengandalkan pengalaman teknisi (trial and error).
Oleh sebab itu diperlukan cara untuk meminimalisir cacat porositas sekaligus
memaksimalkan kualitas pengecoran yang baik selain mengandalkan cara trial and
error.
Untuk meminimalkan cacat porositas dan memastikan kualitas pengecoran
yang baik dengan mempertimbangkan desain Gating dan Riser yang tepat, salah
satu cara yaitu dengan simulasi pengecoran dengan perangkat lunak dan optimasi
parameter, dalam hal ini optimasi parameter yang menjadi penelitian yaitu pada
sprue, runner dan riser.
Pada penelitian sebelumnya Aryadita, L (2018) melakukan eksperimen
tentang pengaruh diameter sprue terhadap cacat porositas yang menyatakan bahwa
semakin besar diameter sprue maka semakin kecil terjadinya aliran (turbulensi)
yang dapat menyebabkan terjadinya porositas pada produk coran. Yussni, dkk
(2007) menyebutkan bahwa besar ukuran diameter runner dapat meminimalkan
cacat porositas dan meningkatkan sifat mekanis produk cor. Tjitro (2001) dalam
penelitiannya untuk mengurangi cacat porositas yang didahului oleh penyusutan
akibat riser belum membeku lebih lama dari produk coran, sehingga dalam
penelitiannya dilakukan penambahan ukuran diameter riser.
Metode optimasi yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan desain
eksperimen Taguchi. Tujuan metode taguchi sendiri adalah untuk menentukan
pengaturan faktor control yang menghasilkan respon yang dapat diterima terlepas
dari pengaruh alami lingkungan dan proses variabilitas (Proust, 2007).
3
Dengan demikian dalam penelitian ini akan dilakukan penelitian tentang
pengaruh parameter diameter sprue, runner, dan riser terhadap respon persentase
cacat porositas pada produk Idler melalui simulasi pengecoran menggunakan
perangkat lunak dan optimasi parameter menggunakan metode Taguchi.
1.2. Perumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang, kami mengambil beberapa perumusan
masalah diantaranya adalah :
1. Bagaimana pengaruh parameter sprue, runner dan riser terhadap cacat
porositas hasil simulasi pada produk Idler?
2. Bagaimana desain sprue, runner dan riser yang paling optimal pada
produk Idler?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Menemukan pengaruh dari parameter sprue, runner dan riser terhadap
cacat porositas hasil simulasi pada produk Idler.
2. Menentukan desain sprue, runner dan riser yang paling optimal pada
produk Idler.
1.4. Manfaat Tugas Akhir
Adapun manfaat penelitian ini adalah :
1. Membantu mengembangkan teori dan teknologi dibidang pengecoran
secara simulasi software.
2. Mengetahui cara untuk mencegah dan mengatasi cacat coran yang
terjadi pada produk Idler.
3. Sebagai pembanding dari segi desain gating dan riser produk cor Idler
yang sudah ada.
4
1.5. Batasan Masalah
Adapun ruang lingkup dan asumsi yang diajukan pada penelitian ini untuk
memfokuskan arah penelitian adalah sebagai berikut :
1. Perancangan pada penelitian ini meliputi permodelan 3D menggunakan
software Autodesk Inventor, simulasi pengecoran menggunakan
Flowcast 3D, lalu optimasi menggunakan metode Taguchi.
2. Data properti dari pasir cetak dan material besi tuang yang digunakan
pada simulasi mengacu pada software dan dianggap sudah mewakili
kondisi nyata di lapangan.
3. Parameter yang digunakan pada penelitian ini seperti jenis material,
temperatur logam cair, dimensi produk cor, jenis gating system dan
riser mengacu pada SOP (Standart Operational Procedure)
pengecoran produk Idler.
4. Tidak menganalisa efisiensi biaya dan waktu produksi pengecoran.
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Komponen Idler
Idler merupakan salah satu komponen sub-assembly komponen Under
Carriage (komponen bawah dari alat berat tipe track rantai) pada alat berat Crawler
Tractor (Traktor Roda Kelabang). Idler berfungsi untuk memandu track keluar dan
masuk kedalam track roller, menahan sebagian beban mesin dan komponen dan
mengontrol kerenggangan track.
Gambar 2. 1 Bagian Under Carriage
2.2 Proses Pengecoran Logam
Proses pengecoran logam adalah suatu proses manufaktur yang menggunakan
logam cair dan cetakan untuk menghasilkan part dengan bentuk yang mendekati
bentuk geometri akhir produk jadi. Logam cair akan dituangkan atau ditekan ke dalam
cetakan yang memiliki rongga sesuai dengan bentuk yang diinginkan. Setelah logam
cair memenuhi rongga dan kembali ke bentuk padat, selanjutnya cetakan disingkirkan
dan hasil cor dapat digunakan untuk proses berikutnya (Campbell, 2003).
Pengecoran logam dapat dilakukan untuk bermacam-macam jenis logam
seperti besi, baja, paduan tembaga (perunggu, kuningan, alumunium dan lain
6
sebagainya), paduan logam ringan (paduan alumunium, paduan magnesium, dan
sebagainya), serta paduan lain, semisal paduan seng, monel (paduan nikel dengan
sedikit tembaga), hasteloy (paduan yang mengandung molibdenum, krom, dan
silikon), dan sebagainya.
Keuntungan proses pembentukan dengan pengecoran :
1. Proses pengecoran logam memungkinkan untuk membuat benda dengan
interval ukuran coran yang sangat luas yaitu dari produk yang kecil seperti
kawat dengan diameter 0,5 mm hingga benda seberat 200 ton dan proses
pengecoran adalah metoda yang sangat cocok untuk membuat objek-objek
tunggal yang pejal.
2. Proses pengecoran dapat digunakan untuk membuat benda-benda dengan
bentuk yang paling sedrhana hingga bentuk yang paling rumit sekalipun, yaitu
proses yang sulit dibuat melalui cara lain seperti proses permesinan, tempa dll.
3. Pembuatan benda melalui proses pengecoran dapat menghemat bahan
sehingga menjadi efisien dan ekonomis.
4. Proses pengecoran idealnya cocok untuk membuat prototype guna mendukung
rancangan produk baru.
5. Memungkinkan variasi yang luas dalam hal sifat bahan dan perubahannya
untuk memenuhi tuntutan pemakai.
6. Proses pengecoran umumnya merupakan suatu metoda termurah untuk
membuat benda-benda logam.
7. Benda-benda coran dengan tingkat kerumitan bentuk yang tinggi dapat dibuat
melalui pemilihan metoda cetakan dan proses pengecoran yang tepat.
8. Proses pengecoran logam dapat beradaptasi untuk segala tipe produksi, baik
untuk tipe produksi job order maupun produksi massal.
Kekurangan proses pembentukan dengan pengecoran :
1. Kurang ekonomis untuk produksi skala kecil.
2. Permukaan yang dihasilkan umumnya lebih kasar daripada produk
permesinan.
3. Toleransi kepresisian ukuran lebih besar daripada produk permesinan
4. Membutuhkan pengetahuan yang cukup luas dari seorang perancang.
7
2.3 Pengecoran Cetakan Pasir (Sand Casting)
Pengecoran sand casting adalah proses pengecoran logam untuk membuat
suatu benda kerja atau komponen dengan metode penuangan logam cair ke dalam
cetakan pasir. Jenis pengecoran ini paling banyak dipakai karena biaya produksinya
murah dan dapat membuat benda coran yang berkapasitas besar. Secara umum cetakan
pasir harus memiliki bagian-bagian utama berikut ini :
1. Cavity (rongga cetakan), merupakan ruangan tempat logam cair yang
dituangkan kedalam cetakan. Bemtuk rongga ini sama dengan benda kerja
yang akan dicor. Rongga cetakan dibuat menggunakan pola.
2. Core (inti), fungsinya adalah membuat rongga pada benda coran. Inti
dibuat terpisah dengan cetakan dan dirakit pada saat cetakan akan
digunakan. Bahan inti harus tahan terhadap temperatur cair logam dan
biasanya paling sering dijumpai bahannya dari pasir.
3. Gating system (sistem saluran masuk), merupakan saluran masuk kerongga
cetakan dari saluran turun melalui saluran turun dasar, pengalir, dan gate.
Gating sistem suatu cetakan tergantung dengan ukuran rongga cetakan
yang akan diisi oleh logam cair
4. Sprue (Saluran turun), merupakan saluran pertama yang dilalui cairan
logam dari cawang tuang kedalam pengalir dan saluran masuk. Saluran
turun dibuat lurus dan tegak dengan irisan berupa lingkaran ataupun
persegi. Kadang irisan sama besar ukurannya dari atas kebawah atau
terkadang berbentuk tirus kebawah atau mengecil pada bagian bawah.
Saluran turun yang mempunyai luasan yang mengecil pada bagian bawah
berfungsi untuk mengurangi aspirasi dari udara dan gas yang terjebak.
Bentuk straight sprue menyebabkan aliran logam cair akan membentuk
olakan dan aliran jatuh bebas dan akibat aliran jatuh bebas tersebut
mengakibatkan pasir cetak menjadi rontok dan terbawa oleh logam cair.
5. Pouring cup/basin, merupakan cekungan pada cetakan yang fungsi
utamanya adalah untuk mengurangi kecepatan logam cair masuk langsung
dari ladle ke sprue. Kecepatan aliran logam yang tinggi dapat terjadi erosi
pada sprue dan terbawanya kotoran-kotoran logam cair yang berasal dari
tungku kerongga cetakan.
8
6. Riser (penambah), merupakan cadangan logam cair yang berguna dalam
mengisi kembali rongga cetakan bila terjadi penyusutan akibat solidifikasi.
7. Vent, adalah saluran untuk membuang gas, udara dan uap air.
Gambar 2. 2 Bagian Cetakan Pasir
2.4 Kualitas Pengecoran (Yield Casting)
Yield Casting adalah efisiensi penggunaan cairan logam, sehingga cairan
logam yang menjadi gating system menjadi lebih sedikit dibandingkan dengan produk
atau coran. Nilai yield ini dapat dihubungkan dengan biaya yang telah dikeluarkan
dalam tiap produksi. Perhitungan nilai yield merupakan perbandingan berat benda
coran dengan keseluruhan tuangan, berikut rumus untuk menentukan Yield Casting
(Max, 2010) :
Yield = 𝑀𝑎𝑠𝑠𝑎 𝐶𝑜𝑟𝑎𝑛
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑇𝑢𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 (𝑀𝑎𝑠𝑠𝑎 𝐶𝑜𝑟𝑎𝑛+𝑀𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑆𝑖𝑠𝑡𝑒𝑚 𝑆𝑎𝑙𝑢𝑟𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑛 𝑅𝑖𝑠𝑒𝑟) 𝑥 100%
2.5 Sistem Saluran (Gating System)
Secara garis besar sistem saluran didefinisikan sebagai jalan masuk atau saluran
bagi logam cair yang dituangkan dari ladel menuju ke dalam rongga cetakan. Pada
umumnya sistem saluran dirancang untuk mengisi cetakan secepat mungkin dan tidak
menimbulkan terbentuknya turbulensi.
9
Sistem saluran mempunyai fungsi utama yang dijelaskan seperti di bawah ini :
1. Mengurangi turbulensi pada aliran logam cair ketika melalui sistem saluran
dan menuju ke rongga cetakan.
2. Menghilangkan udara dan gas yang terjebak di dalam logam.
3. Mengurangi kecepatan dari aliran logam ketika melalui sistem saluran dan
masuk ke rongga cetakan.
4. Mengikuti cetakan agar diisi secara cukup cepat untuk mencegah pembekuan
terlalu dini dan menghasilkan cacat coran.
5. Berperan dalam membentuk gradien temperatur yang tepat untuk
menghasilkan pembekuan langsung di dalam pengecoran.
Gambar 2. 3 Sistem Saluran
Sistem saluran dari proses pengecoran mempunyai bagian-bagian
seperti berikut:
2.5.1 Cawang Tuang (Pouring Basin)
Merupakan bagian yang menerima cairan logam langsung dari ladel.
Cawan tuang tidak boleh terlalu dangkal sebab hal itu bisa menyebabkan pusaran
karena bentuk dari cawan tuang itu sendiri sehingga timbul terak atau kotoran yang
terapung pada logam cair. Pada gambar dibawah ini cawan tuang dengan tanpa inti
pemisah mengakibatkan kemungkinan kotoran atau terak yang terapung dapat masuk
ke rongga cetakan, maka dari itu dibuatkan inti pemisah supaya kotoran atau terak
yang terapung dihambat oleh inti tersebut sehingga logam cair yang bersih yang masuk
ke dalam rongga cetakan.
10
Gambar 2. 4 Jenis cawang tuang tanpa inti pemisah (a),
dengan inti pemisah (b), dengan penutup (c)
2.5.2 Saluran Turun (Sprue)
Saluran turun adalah saluran pertama cairan logam dari cawang tuang
kedalam pengalir dan saluran masuk. Saluran turun dibuat lurus dan tegak
dengan irisan berupa lingkaran. Kadang irisan sama besar ukurannya dari atas
kebawah atau terkadang berbentuk tirus kebawah. Dengan kita memilih bentuk
straight sprue maka aliran logam cair akan membentuk olakan dan aliran jatuh
bebas dimana di daerah yang bertekanan rendah kemungkinan akan
menyebabkan menghisapan udara dan gas yang akan dijerat dalam aliran logam
cair. Sehingga kemungkinan adanya cacat rongga udara, selain itu akibat aliran
jatuh bebas tersebut mengakibatkan pasir cetak menjadi rontok dan terbawa
oleh logam cair.
Gambar 2. 5 Jenis bentuk sprue : tapered sprue (a), dan straight sprue (b)
(a) (b)
(a) (b) (c)
11
2.5.3 Saluran Turun Dasar (Well Base)
Adalah bagian dasar sprue dimana luasan bagian dasarnya diperluas,
biasanya berbentuk silinder atau segi empat yang berfungsi untuk merangkap
kotoran pada aliran logam cair dan mengurangi energy kinetic yang jatuh bebas
yang mengakibatkan aliran turbulen. Biasanya pemilihan bentuk dari well base
adalah silindris karena mudah dibuat dari pada bentuk yang lain.
Gambar 2. 6 Bentuk saluran turun dasar (well base)
2.5.4 Pengalir (Runner)
Adalah saluran yang membawa logam cair dari saluran turun menuju
rongga cetak. Pengalir biasanya mempunyai irisan seperti trapesium atau
setengah lingkaran sebab irisan yang demikian mudah dibuat pada permukaan
pemisah (parting line). Menurut AFS untuk pemasangan pengalir diletakan di
posisi drug dan saluran masuk (ingate) di letakan di cup, dimaksudkan agar
pasir yang rontok di harapkan mengendap didasar pengalir dan yang masuk ke
rongga cetak adalah aliran logam cair yang bersih.
Gambar 2. 7 Jenis bentuk pengalir : Wide shallow runner (a), dan Square runner (b)
Luas = 1 in2
Luas = 1 in2
SA/V = 5 SA/V = 4 (a) (b)
12
Yang membedakan antara Square runner (gambar 2.7 b) dengan Wide
shallow runner diatas (gambar 2.7 a) yakni, semakin rendah SA/V maka
kehilangan panas (heat loss) juga semakin rendah, sedangkan untuk
perbandingan SA/V tinggi menunjukkan bahwa terjadi friction loss yang tinggi
pula.
2.5.5 Pengalir Tambahan (Runner Extention)
Adalah bagian pengalir yang diperpanjang, berfungsi untuk merangkap
kotoran dari logam cair akibat erosi dinding cetakan karena aliran turbulen dan
kotoran saat penuangan. Pengalir tambahan harus cukup panjang untuk
mencegah backflow aliran logam cair sehingga aliran logam cair tidak masuk
kedalam saluran masuk terakhir.
2.5.6 Saluran Masuk (Ingate)
Adalah saluran untuk mengisikan logam cair dari saluran pengalir
kedalam rongga cetakan. Saluran ini dibuat dengan irisan yang lebih kecil dari
pada irisan pengalir agar dapat mencegah kotoran masuk kedalam rongga
cetakan. Saluran ini dapat terdiri dari satu atau lebih saluran masuk dalam
sistem saluran yang direncanakan. Untuk bentuk saluran masuk lebih baik pilih
dengan bentuk straight karena mudah dibuat, dan peletakannya diatas pengalir
(runner).
Gambar 2. 8 Jenis saluran masuk (ingate)
13
2.6 Perencanaan Sistem Saluran
Berdasarkan American Foundrymen’s Society (AFS), sistem saluran yang
optimal dapat dibuat berdasarkan ketentuan sebagai berikut:
1. Sistem saluran menggunakan sistem tanpa tekanan dimana perbandingan
antara luasan saluran turun : pengalir : saluran masuk adalah 1 : 4 : 4.
2. Saluran turun yang digunakan adalah saluran turun yang meruncing dengan
bagian bawah saluran turun mengecil merupakan luasan penyempitan.
3. Menggunakan cawan tuang.
4. Sprue Base digunakan untuk menyerap energi kinetik yang jatuh dari saluran
turun.
5. Runner diletakkan di drag dan ingate di cup.
6. Perpanjangan pengalir digunakan untuk menjebak slag atau pengotor dari
logam cair, terjebaknya udara atau gas dalam coran.
Di dalam melakukan perhitungan sistem saluran dibutuhkan beberapa data awal
yang akan digunakan untuk menentukan dimensi sistem saluran. Secara matematis
perhitungan sistem saluran antara lain :
a) Menghitung volume pola (V). Gunakan gambar pola ataupun ukuran dari pola
yang sudah disertai toleransi ukuran serta penambahan untuk penyusutan,
penyelesaian mesin, dan kemiringan pola.
b) Menghitung berat benda coran (w) dengan menggunakan rumus:
w = ρ . V (Pers 2.1)
c) Menghitung waktu tuang (t) untuk coran menggunakan material steel casting
dapat dihitung dengan menggunakan rumusan berikut:
t = (1,35 log W) √𝑊 (Pers 2.2)
Dimana :
t = Waktu tuang (detik)
w = Berat benda coran (kg)
14
d) Menentukan Choke Area (AB) dapat dihitung berdasarkan rumusan:
AB = 𝑤
𝑑.𝑡.𝑐.√2.𝑔.𝐻 (Pers 2.3)
Dimana :
AB = Luasan penyempitan Choke Area (mm2)
w = Berat coran (gr)
d = Densitas logam cair (gr / cm3)
t = Waktu penuangan (detik)
H = Ketinggian efektif saluran turun (cm)
g = Percepatan gravitasi (981 cm/det2)
c = Faktor efisiensi dari saluran turun
a) 0,88 (tapered sprue)
b) 0,47 (round straight sprue)
c) 0,74 (square tapered sprue)
Untuk menentukan ketinggian efektif saluran turun didasarkan atas sistem
saluran yang digunakan antara lain sebagai berikut:
a) Top Gating system, dengan menggunakan rumus :
H = h (Pers 2.4)
Gambar 2. 9 Top Gating
b) Bottom gating system, dengan menggunakan rumus :
= h − 𝐶
2 (Pers 2.5)
Gambar 2. 10 Bottom Gating
15
c) Parting line gating system, dengan menggunakan rumus :
= (Pers 2.6)
Gambar 2. 11 Parting line Gating
d) Menentukan Area of the Top of Sprue (AT) dapat dihitung dengan rumusan :
AT = AB √𝐻
𝑏 (Pers 2.7)
Dimana :
AB = Choke Area (mm2)
b = Kedalaman logam pada cawan tuang (mm)
Menentukan Luasan Pengalir (Runner Area) dan luasan saluran masuk (Gate
Area) dengan menggunakan rekomendasi AFS pengecoran horizontal maka untuk
menentukan luasan pengalir menggunakan perbandingan antara choke area :
runner area : gate area = 1 : 4 : 4. Maka runner area sama dengan empat kali
choke area dan gate area sama dengan empat kali choke area.
e) Menghitung Saluran Turun Dasar (Well Base)
Perumusan well base sebagai berikut:
Gambar 2. 12 Dimensi Well Base
2hc-p2
2c
Choke Area = AB
Well base = 5 x AB
Runner depth = d
Well depth = 2d
16
Dimana :
Well base = 5 x AB (Pers 2.8)
Well depth = 2 x Runner depth (d) (Pers 2.9)
Dimana : AB = Choke Area (mm)
2.7 Penentuan Tambahan Penyusutan yang Disarankan
Tambahan untuk penyusutan diperlukan karena coran menyusut pada saat
pembekuan paling akhir, pada proses peleburan logam dari padat menjadi cair, logam
akan mengalami tiga tahap perubahan fase seperti pada gambar dibawah, dimana di
ikuti oleh kontraksi dari ikatan – ikatan atom logam yang selanjutnya membuat volume
logam tersebut menjadi lebih besar. Sebaliknya setelah proses penuangan pada
cetakan, logam cair yang dituang akan mengalami pendinginan dan mengalami
penyusutan volume dari logam cair, berkebalikan seperti pada proses pemanasan.
Cacat shrinkage tejadi akibat adanya ketidak seragaman pendinginan dalam proses
pengecoran sehingga pada bagian yang memiliki laju pendinginan yang relatif lambat
dan luas permukaan bidang cor yang cukup besar maka sangat rawan terjadi
penyusutan. Oleh karena itu diperlukan persyaratan penyusutan pada daftar tabel 2.1.
Untuk bahan besi cor dengan panjang 1.000 mm maka penyusutan yang terjadi adalah
8 mm.
Gambar 2. 13 Skematik Ilustrasi shrinkage pada tiap fase
17
Tabel 2. 1 Tambahan penyusutan karena solidification contraction
Tambahan penyusutan
(mm/mm) Bahan
8/1.000 Besi cor, baja cor tipis
9/1.000 Besi cor, baja cor tipis yang banyak menyusut
10/1.000 Besi cor, baja cor tipis yang banyak menyusut dan aluminium
12/1.000 Paduan Aluminium, bronze, baja cor (tebal 5-7 mm)
14/1.000 Kuningan kekuatan tinggi, baja cor
16/1.000 Baja cor (tebal lebih dari 10 mm)
20/1.000 Coran baja yang besar
25/1.000 Coran baja besar dan tebal
2.8 Saluran Penambah (Riser)
Fungsi dari saluran penambah (riser) adalah sebagai penyimpan/reservoir yang
akan mensuplai logam cair tambahan pada produk cor selama proses solidifikasi.
Dalam hal ini logam cair dalam riser harus membeku lebih lambat dari benda coran.
Proses solidifikasi dimulai dari bagian tertipis menuju ke bagian yang paling
tebal. Oleh karena itu, pada bagian yang paling tebal harus ada riser, serta diperlukan
untuk penentuan arah solidifikasi. Ketersediaan logam pengisi (feed metal) selama
proses solidifikasi bergantung dari beberapa variabel yang sangat berkaitan erat
dengan riser, yaitu bentuk dan lokasi riser serta ukurannya harus disesuaikan dengan
benda coran.
Riser sangat didesain untuk membeku paling akhir dalam proses pengecoran
dan juga berfungsi untuk menarik cacat shrinkage keluar dari produk cor. Ada 2 jenis
riser yang umum digunakan yaitu penambah atas (top riser) dan penambah samping
(side riser).
Gambar 2. 14 Top riser dan side riser
18
Gambar 2. 15 Peletakan Top riser dan side riser pada cetakan
Riser yang terbuka ke udara luar disebut riser terbuka (open riser),
sedangkan riser yang dekat pada bagian atasnya yang biasanya berbentuk
setengah bola disebut riser buta (blind riser). Riser buta tidak dapat
memberikan logam cair kalau bagian luarnya membeku, karena di bagian-
bagian yang tidak membeku di atasnya menjadi hampa udara. Untuk
menghindari kesukaran ini disisipkan kerucut inti yang berukuran kecil dan
berujung tajam. Riser buta lebih ekonomis sebab dapat diusahakan riser buta
yang kecil sebagai pengganti riser terbuka yang lebih besar. Tetapi hal ini
menyebabkan pembuatan cetakan lebih lama.
(a) (b)
Gambar 2. 16 Contoh-Contoh Penambah : (a) Penambah atas, (b) Penambah buta, dan (c) Penambah
samping
(c)
19
Jumlah berat riser tidak seluruhnya berfungsi sebagai penambah, sebab logam
cair menyentuh permukaan cetakan atau udara luar akan membeku lebih dulu karena
penurunan temperatur yang cepat. Perbandingan pengisian yang efektif dari side riser
yang dihubungkan dengan sistem pengisian berbeda dengan top riser yang diisi
dengan logam cair melalui rongga cetakan karena perbedaan temperatur dari logam
cair dalam riser-riser itu. Pada umumnya, riser dibuat dalam bentuk silinder karena
mudah membuatnya.
2.8.1 Merancang Riser
Langkah-langkah untuk merancang riser pada proses pengecoran dengan
metode Jhon R. Brown (Foseco Ferrous Foundryman) dapat dirumuskan sebagai
berikut:
a) Menentukan nilai modulus (C%) yang efisien sesuai dengan jenis riser.
• 33% apabila menggunakan Foseco sleeve.
• 16% apabila menggunakan natural feeder/riser (logam cair mengalir
sebelum mencapai rongga cetak).
• 10%-14% untuk natural feeder yang lainnya.
b) Menentukan nilai shrinkage pada paduan yang akan dicor. Nilai shrinkage
untuk pengecoran paduan diberikan pada gambar berikut.
Gambar 2. 17 Casting modulus
20
Gambar 2. 18 Persentase penyusutan
c) Memperkirakan berat logam cair yang ada di dalam riser (WF) dengan terlebih
dahulu menentukan berat dari benda yang akan di cor (WC). Hubungan antara
WF dan WC dapat dilihat pada rumus berikut:
WF =
Dengan mendapatkan berat logam cair yang ada di dalam riser (WF) maka
dapat ditentukan dimensinya. Sedangkan dengan metode Tata Surdia perancangan
riser dengan bahan atau material coran besi adalah sebagai berikut:
Tabel 2. 2 Penentuan diameter penambah
Kekuatan tarik bahan Diameter (D) (mm)
Penambah samping Penambah atas
20-25 kgf/mm2 T + 30 T + 40
≥ 30 kgf/mm2 T + 40 T + 50
Catatan : T = Tebal bagian coran di bawah penambah.
Dan desain riser untuk metode Tata Surdia adalah untuk coran besi adalah sebagai
berikut:
Gambar 2. 19 Desain dan ukuran penambah samping
WC 100 S%
C% 100 X X
21
2.9 Proses Solidifikasi
Proses solidifikasi adalah proses transformasi logam cair ke wujud padatnya
(solid), disaat itu pula tumbuh inti padatan (nuclei). Setelah terbentuknya nuclei maka
terjadi pertumbuhan solidifikasi, atom-atom yang menempel pada nuclei akan
tersolidifikasi dan seterusnya. Solidifikasi dari atom-atom logam ini akan membentuk
suatu struktur yang biasa disebut dengan dendrit. Dendrit akan tumbuh ke segala arah
sehingga cabang- cabang akan saling bertemu dan bersentuhan. Pertemuan antar
dendrit disebut batas butir. Setelah itu, batas butir antar tiap dendrit membeku seiring
dengan penurunan suhu. Sehingga proses solidifikasi pada pengecoran berakhir.
Gambar 2. 20 Proses solidifikasi
2.10 Cacat Coran
Pada proses pengecoran banyak sekali adanya cacat pada produk. Apabila
produk tersebut akan diproduksi dan banyak adanya cacat coran maka banyak pula
kerugian yang didapatkan, sehingga cacat tersebut harus dikurangi semaksimal
mungkin.
Gambar 2. 21 Macam-macam bentuk cacat
22
Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi cacat pada coran, misal desain sistem
saluran yang kurang masimal, waktu penuangan yang terlalu lama, dll. Cacat-cacat
tersebut biasanya berupa cacat penyusutan, porositas, salah alur, retakan, slag, inklusi
pasir dan masih banyak cacat-cacat yang lain.
2.10.1 Porositas Gas
Porositas gas dapat muncul sebagai lubang pada permukaan atau di
dalam coran, terutama sedikit di bawah permukaan yang merupakan rongga-
rongga bulat. Cacat ini disebabkan ketika penuangan logam cair lalu mengisi
cetakan, udara/gas yang sebelumnya ada di cetakan mulai mengompresi dan
tekanan naik.
Gambar 2. 22 Cacat Porositas Gas
Sebab-sebab cacat porositas gas secara kasar digolongkan menjadi dua,
yaitu disebabkan gas dari logam cair dan disebabkan gas dari cetakan. Sebab
utama dari porositas gas adalah sebagai berikut :
a. Logam cair yang dioksidasi.
b. Tidak cukup keringnya saluran cerat ladel, sehingga logam cair
membawa gas.
c. Temperatur penuangan yang rendah.
d. Penuangan yang terlalu lambat.
e. Cawan tulang dan sistem saluran yang basah.
f. Permeabilitas yang kurang sempurna.
g. Lubang angin yang tidak memadai pada inti.
h. Cetakan yang kurang kering.
i. Terlalu banyak gas yang timbul dari cetakan.
j. Tekanan di atas terlalu rendah.
k. Rongga udara oleh penyangga, cil atau cil dalam.
23
2.10.1.1 Persentase Porositas
Porositas berhubungan dengan massa jenis (densitas) material.
Densitas adalah perbandingan massa terhadap volume. Sebelum
menentukan persentase porositas, terlebih dahulu menentukan densitas
teoritis dan densitas aktual menggunakan rumus Archimedes
berdasarkan standar ASTM D3800 (Siswanto dkk, 2018) :
𝐷𝑎 =𝑊𝑎.𝐷𝑤
𝑊𝑎−𝑊𝑤 (Pers 2.10)
Dimana :
Da = densitas aktual (gram/cm3)
Dw= densitas air (gram/cm3)
Wa= berat specimen dalam udara (gram)
Ww= berat specimen dalam air (gram)
𝐷𝑡 =𝑚𝑠
𝑣𝑠 (Pers 2.11)
Dimana :
Dt = densitas teoritis (gram/cm3)
Ms= Massa spesimen (gram)
Vs= Volume spesimen (cm3)
Data densitas teoritis dan data aktual produk cor kemudian digunakan
untuk menghitung persentase porositas :
𝑃% = 1 −𝐷𝑎
𝐷𝑡ℎ 𝑥100% (Pers 2.12)
Dimana :
P%= Persentase Porositas Produk Cor (%)
Da = Densitas aktual (gram/cm3)
Dth= Densitas teoritis (gram/cm3)
24
2.10.2 Retakan (Crack)
Retakan secara luas dibagi menjadi retak penyusutan dan retak karena
tegangan sisa, sebabnya berbeda satu sam lain. Retak penyusutan sering terjadi
pada bagian filet yang tajam dari suatu coran. Lebar cetakan berbeda, tetapi
bentuk retakan tidak tajam. Salah satu retakan yang disebabkan tegangan sisa
adalah robekan panas yang terjadi pada temperatur tinggi, dan lainnya retakan
pada temperatur rendah. Keduanya disebabkan karena pendinginan tak
seimbang pada penyusutan. Robekan panas tidak tajam dan dalam beberapa
hal tidak kontinu, tetapi robekan pada temperatur rendah, tidak lebar, runcing
dan lurus.
Retak penyusutan mudah terjadi pada bagianpersilanagn dinding tebal
dan sudut-sudut tajam. Kalau bagian ini tersapu oleh logam cair untuk waktu
yang lama, maka retak penyusutan mudah diteruskan.
Gambar 2. 23 Cacat surface crack
2.10.3 Penyusutan (Shrinkage)
Pada setiap pembuatan cetakan (mould) harus selalu memperhitungkan
terjadinya penyusutan (shrinkage) setelah terjadi pembekuan. Hal itu terjadi
karena adanya perubahan fase dari material cair menjadi padat sehingga akan
terjadi perubahan volume. Jadi jika dibandingkan dengan ukuran pada rongga
cetak, ukuran produk akan berbeda, yakni ukurannya akan menjadi lebih kecil
dibandingkan rongga cetaknya.
25
Gambar 2. 24 Cacat penyusutan (shringkage)
Proses pembekuan logam cair dimulai dari bagian logam cair yang
bersentuhan dengan dinding cetakan karena panas dari logam cair diambil oleh
cetakan sehingga bagian logam yang bersentuhan dengan cetakan itu
mendingin sampai titik beku. Selama proses pembekuan berlangsung, inti-inti
kristal tumbuh. Bagian dalam coran mendingin lebih lambat daripada bagian
luarnya. Akibat adanya perbedaan kecepatan pembekuan, terbentuklah arah
pembekuan yang disebut dendritik.
Gambar 2. 25 Ilustrasi terjadinya cacat penyusutan (shrinkage)
Bentuk benda coran mempengaruhi terjadinya cacat shrinkage. Untuk
itu, dihindari benda coran yang memiliki perubahan tebal yang sangat besar
dan pada bidang lengkung yang memerlukan pekerjaan tangan diubah menjadi
datar. Adanya perubahan tebal yang terlalu besar dan bentuk benda coran yang
rumit memperbesar kemungkinan terjadinya cacat penyusutan (shrinkage).
Cacat penyusutan (shrinkage) merupakan cacat pada coran berupa
cekungan bila bentuk cetakan terbuka seperti pada gambar 2.26 dan berupa
rongga bila bentuk cetakan tertutup dengan bentuk tidak beraturan seperti pada
gambar 2.25, terlihat kondisi permukaannya yang kasar, terjadi karena
penyusutan volume logam cair pada saat proses pembekuan dan tidak
mendapatkan pasokan logam cair dari riser.
Pada saat logam membeku, tiap bagian coran yang berbeda bentuknya
memiliki kecepatan pembekuan yang berbeda pula, cacat tersebut mudah
26
terjadi pada bagian yang paling lambat membeku. Sebab-sebab adanya rongga
penyusutan antara lain sebagai berikut:
1. Tidak menggunakan saluran penambah (riser).
2. Temperatur penuangan yang terlalu rendah menyebabkan penambah
membeku lebih dahulu.
3. Perencanaan dan pembuatan riser kurang sempurna.
4. Logam cair yang teroksidasi menyebabkan perbandingan penyusutan
yang besar.
5. Ukuran leher riser yang tidak cukup.
6. Penempatan riser yang tidak tepat.
7. Cetakan membengkak karena tekanan dari logam cair di tempat yang
kurang mampat.
8. Perubahan yang mendadak dari ketebalan menyebabkan sukarnya
proses pengisian dari riser.
9. Terdapat bagian coran yang cekung terlalu tajam atau mempunyai
radius terlalu kecil.
10. Logam cair yang dialirkan mengandung banyak karat dan kotoran.
2.10.3.1 Persentase penyusutan
Nilai persentase penyusutan secara kualitatif dapat dihitung
dengan persamaan berikut (Prasetyorini, 2013) :
𝑆% =𝑉𝑐𝑒𝑡𝑎𝑘𝑎𝑛− 𝑉𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘
𝑉𝑐𝑒𝑡𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑥100% (Pers 2.13)
Dimana :
S% = Persentase Penyusutan Produk Cor (%)
Vcetakan = Volume cetakan (cm3)
Vproduk = Volume produk (cm3)
2.11 Software Flow Cast 3D
Flow Cast 3D merupakan salah satu dari sekian banyak software simulasi
pengecoran yang dibekali dengan fasilitas untuk membantu para casting designer
untuk merancang proses pengecoran. Pengguna mampu mengoperasikan hanya
dengan satu tampilan dan satu dokumen pada setiap simulasi. Ukuran geometri seperti
27
penempatan obyek dan perhitungan ukuran mesh nampak secara visual dan
perubahannya langsung ditampilkan. Terdapat data material secara global dan umum
digunakan pada proses pengecoran. Software ini memverifikasi rancangan coran yang
telah dikembangkan menggunakan analisis aliran cairan yang komprohensif dan
mengkombinasikannya dengan analisis thermal serta analisis untuk memastikan
desain coran bebas dari cacat.
2.11.1 Permodelan Gambar
Beberapa fitur yang menyusun sebuah model solid 3D selalu diawali
dengan pendefinisian sketsa. Pendefinisian sketsa dapat dilakukan di modul sketsa
yang kemudian diubah dalam bentuk 3D solid dan disassembly pada software-
software, seperti Autocad, Solidwork, Catia, dan lain sebagainya. Untuk Flow Cast
3D dibutuhkan format file .STL untuk melakukan simulasi.
2.12 Software Minitab 17
Minitab adalah program komputer yang dirancang untuk melakukan
pengolahan data statistic. Minitab mengkombinasikan kemudahan layaknya
Microsoft Excel dengan kemampuannya melakukan analisis statistic yang kompleks.
Minitab sebagai pengolah data terutama proses peramalan menyediakan berbagai
perintah yang memungkinkan proses pemasukan data, pembuatan grafik, peringkasan
numerik dan peramalan.
Minitab punya dua layar primer, yaitu worksheet untuk melihat dan mengedit
lembar kerja, serta sesi command untuk menampilkan hasil. Perintah-perintah
Minitab dapat diakses melalui menu, kotak dialog maupun perintah interaktif. Untuk
keperluan perancangan percobaan, Minitab menyediakan fasilitas analisis statistik,
yaitu Analisis Ragam (ANOVA), Uji Perbandingan rata-rata, Analisa Regresi dan
Korelasi.
2.13 Metode DOE (Design of Experiment)
DOE menyediakan sebuah arti yang kuat untuk mencapai peningkatan pada
kualitas produk dan efisiensi proses. Dari pandangan bidang manufaktur, DOE dapat
mengurangi jumlah eksperimen yang dibutuhkan ketika mengambil sejumlah faktor
yang mempengaruhi hasil eksperimen. (Coleman dan Montgomery, 1993).
28
Metode-metode eksperimental dapat digunakan untuk memecahkan masalah
yang berkaitan dengan proses manufaktur, untuk menggantikan sebuah proses dengan
proses lainnya, untuk mengembangkan produk yang berbeda, dan untuk memahami
pengaruh berbagai faktor pada kualitas akhir dari produk yang diberikan.
Desain of Experiments (DOE) adalah teknik eksperimental yang membantu
untuk menyelidiki kombinasi terbaik dari parameter proses, kuantitas yang berubah,
tingkat dan kombinasi dalam rangka mendapatkan hasil yang statis yang dapat
diandalkan. Ini adalah rute yang sistematis yang dapat diikuti untuk mencari solusi
pada masalah proses industri dengan objektivitas yang lebih besar dengan
menggunakan teknik eksperimental dan statistik (Coleman and Montgomery, 1993).
Dalam desain eksperimen terdapat beberapa metode yang umum digunakan dalam
industry manufaktur diantaranya adalah :
2.13.1. Desain Faktorial (Factorial Design)
Desain Faktorial (FactorialDesign) adalah suatu percobaan yang
perlakuannya terdiri atas semua kemungkinan kombinasi taraf dari beberapa
percobaan dengan menggunakan faktor dan level. Tujuan dari percobaan
factorial adalah untuk melihat interaksi antara faktor yang kita uji. Adakalanya
kedua faktor saling sinergi terhadap respon (positif), namun adakalanya juga
keberadaan salah satu faktor justru menghambat kinerja dari faktor lain
(negatif). Adanya kedua antar faktor yang dijadikan sebagai acuan untuk
mengukur kegagalan salah satu faktor terhadap setiap level faktor lainnya.
2.13.2. Response Surface
Metode Response Surface merupakan sekumpulan teknik menganalisis
permasalahan dimana beberapa variabel bebas mempengaruhi variabel respon
dan tujuan akhirnya adalah untuk mengoptimalkan respon. Secara matematis
metode response surface menampikan permodelan antara beberapa variabel
bebas dengan satu atau lebih variabel respon. Tujuan utamanya adalah
menentukan titik optimal pada variabel respon yang bersesuaian dengan
pengaturan level pada variabel-variabel bebasnya. Ketika model response
surface ini diterapkan dalam eksperimen , maka error pada data-data hasil
29
eksperimen tidak akan dapat dihindari sehingga interpretasi secara statistic
untuk response surface sangat melekat pada penerapannya.
2.13.3. Taguchi
Metode Taguchi diperkenalkan oleh Dr. Genichi Taguchi pada
tahun 1940. Metode ini digunakan untuk mengoptimalkan hasil
eksperimen dan berprinsip pada perbaikan mutu dengan memperkecil
efek variasi tanpa menghilangkan penyebab variasi tersebut. Metode
Taguchi juga bertujuan untuk menekan biaya pemesinan dan resources
seminimal mungkin. Soejanto (2009) menyatakan bahwa metode
Taguchi menjadikan produk dan proses tidak sensitif terhadap berbagai
faktor seperti material, perlengkapan manufaktur, operator, dan kondisi-
kondisi lainnya. Metode Taguchi menjadikan produk dan proses memiliki
sifat kokoh (robust) terhadap faktor gangguan sehingga metode ini disebut
juga sebagai perancangan kokoh atau robust design.
Berikut terdapat perbandingan diantara metode desain faktorial, response
surface dan Taguchi pada tabel 2.3 :
Tabel 2. 3 Perbandingan Desain Eksperimen
Parameter Desain Faktorial Response Surface Taguchi
Tujuan Melihat interaksi
antar faktor yang
sedang diuji
Menentukan titik
optimal pada
variabel respon
sesuai peraturan
level pada faktor
Menentukan nilai-
nilai variabel yang
independen dari
percobaan yang
dilakukan
Kelebihan Interaksi antar
faktor dapat
diduga, sehingga
dapat diketahui
apakah faktor
bekerja sendiri
atau memiliki
interaksi dengan
faktor lainnya
Dapat
menghasilkan
optimasi yang
lebih akurat
apabila model
matematis
memenuhi seluruh
asumsi statistik
Menghasilkan
produk lebih
konsisten dan
tingkat
kesensitifan
rendah (robust)
terhadap
variabilitas oleh
faktor-faktor yang
tidak dapat
dikendalikan
(noise)
30
Kekurangan Jumlah faktor
yang semakin
banyak maka
kombinasi
perlakuan semakin
meningkat pula,
sehingga ukuran
percobaan
semakin besar dan
akan
mengakibatkan
ketelitiannya
semakin berkurang
Terdapat asumsi
statistika dan
matematis yang
digunakan,
sehingga lebih
kompleks dan
rumit
Mengorbankan
pengaruh interaksi
dan ada pula
rancangan
rancangan yang
mengorbankan
pengaruh utama
dan pengaruh
interaksi yang
cukup signifikan
Sumber : Raharjo (2016), Roy (2001)
2.14 Metode DOE (Design of Experiment) Terpilih
Pada penelitian ini metode desain eksperimen yang digunakan ialah metode
Taguchi, dikarenakan pada penelitian ini tidak melibatkan interaksi antar faktor dan
lebih mementingkan pengamatan pada pengaruh di setiap faktornya. Selain itu metode
ini memiliki tahap analisa perhitungan yang relatif singkat, sehingga dapat
memperoleh kesimpulan mengenai faktor-faktor yang berpengaruh dan respon yang
optimum lebih cepat.
Namun demikian, metode Taguchi memiliki struktur rancangan yang
sangat kompleks, sehingga pemilihan rancangan percobaan harus dilakukan
secara hati-hati dan sesuai dengan tujuan penelitian. Secara umum, desain
eksperimen Taguchi dibagi menjadi dua tahap utama, yaitu :
2.14.1. Tahap Perencanaan
Pada tahap ini seseorang peneliti dituntut untuk mempelajari
eksperimen-eksperimen yang pernah dilakukan sebelumnya. Kecermatan
pada tahap ini akan menghasilkan eksperimen yang memberikan
informasi positif atau negatif. Informasi positif terjadi apabila hasil
eksperimen memberikan indikasi tentang faktor dan level yang mengarah
pada peningkatan performansi produk. Informasi negatif terjadi apabila hasil
eksperimen gagal memberikan indikasi tentang faktor-faktor yang
31
mempengaruhi respon. Tahap ini (Soejanto, 2009) terdiri dari beberapa
langkah sebagai berikut:
a) Perumusan Masalah
Perumusan masalah harus secara spesifik dan jelas secara teknis
sehingga dapat dituangkan ke dalam percobaan yang akan dilakukan.
b) Penentuan Tujuan Eksperimen
Tujuan eksperimen harus dapat menjawab masalah yang telah
dirumuskan.
c) Penentuan Variabel Respon atau Variabel Tidak Bebas
Variabel respon memiliki nilai yang tergantung pada variabel-
variabel lain yang disebut variabel tidak bebas.
d) Pengidentifikasian Variabel Proses
Variabel proses didefinisikan sebagai variabel yang perubahannya
tidak tergantung pada variabel lain. Pada langkah ini akan dipilih
variabel proses yang akan diselidiki pengaruhnya terhadap variabel
respon yang bersangkutan. Dalam suatu eksperimen, tidak semua
variabel proses yang diprediksi mempengaruhi variabel respon harus
diteliti. Dengan demikian, eksperimen dapat dilaksanakan secara
efektif dan efisien.
e) Pemisahan Variabel Proses dan Faktor Gangguan
Dalam rancangan eksperimen Taguchi, variabel proses dan
faktor gangguan perlu diidentifikasi dengan jelas sebab pengaruh
antar kedua faktor tersebut berbeda. Variabel proses adalah
variabel proses yang nilainya dapat dikendalikan sedangkan faktor
gangguan adalah variabel yang nilainya tidak dapat dikendalikan.
f) Penentuan Jumlah dan Nilai Level Variabel Proses
Penentuan dan pemilihan jumlah level akan mempengaruhi ketelitian
hasil dan biaya pelaksanaan eksperimen. Semakin banyak level
yang akan diteliti maka hasil eksperimen yang diperoleh akan semakin
akurat, tetapi biaya yang harus dikeluarkan juga akan semakin besar.
32
g) Perhitungan Derajat Kebebasan
Derajat kebebasan adalah sebuah konsep untuk mendeskripsikan
seberapa besar eksperimen harus dilakukan dan seberapa banyak
informasi yang dapat diberikan oleh eksperimen tersebut. Perhitungan
derajat kebebasan dilakukan untuk menentukan jumlah eksperimen
yang akan dilakukan untuk menyelidiki faktor yang diamati.
Derajat kebebasan dari matriks ortogonal (υmo) dapat ditentukan
dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
υmo = jumlah eksperimen – 1 (Pers 2.14)
Derajat kebebasan dari variabel proses dan level (υvpl) dapat
ditentukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
υvpl = jumlah level variabel proses – 1 (Pers 2.15)
h) Pemilihan Matriks Ortogonal
Pemilihan matriks ortogonal yang sesuai ditentukan oleh jumlah
derajat kebebasan dari jumlah variabel dan jumlah level variabel.
Matriks ortogonal memiliki kemampuan untuk mengevaluasi
sejumlah variabel dengan jumlah eksperimen yang minimum.
Suatu matriks ortogonal dilambangkan dalam bentuk :
La (bc) (Pers 2.16)
Dengan:
L = Rancangan bujur sangkar latin
a = Banyaknya eksperimen
b = Banyaknya level variable
c = Banyaknya variable
Berikut ini adalah beberapa contoh tabel Matriks Orthogonal Array
pada desain eksperimen Taguchi:
Tabel 2. 4 Ortogonal Array L4 ( 2 3
)
Faktor
EXP A B C
1 1 1 1
2 1 2 2
3 2 1 2
4 2 2 2
33
Tabel 2. 5 Ortogonal Array L8 ( 2 7
)
Faktor
EXP A B C D E F G
1 1 1 1 1 1 1 1
2 1 1 1 2 2 2 2
3 1 2 2 1 1 2 2
4 1 2 2 2 2 1 1
5 2 1 2 1 2 1 2
6 2 1 2 2 1 2 1
7 2 2 1 1 2 2 1
8 2 2 1 2 1 1 2
Tabel 2.6 Ortogonal Array L9 ( 3 4
)
Faktor
EXP A B C D
1 1 1 1 1
2 1 2 2 2
3 1 3 3 3
4 2 1 2 3
5 2 2 3 1
6 2 3 1 2
7 3 1 3 2
8 3 2 1 3
9 3 3 2 1
Dari matrik diatas dapat disajikan sebuah tabel orthogonal Array untuk
jumlah faktor dan level tertentu yaitu sebagai berikut:
Tabel 2.7 Ortogonal Array
Matrik Ortogonal Jumlah faktor Jumlah level
L4 ( 2 3
) 3 2
L8 ( 2 7
) 7 2
L12 ( 2 11
) 11 2
L16 ( 2 15
) 15 2
L32 ( 2 31
) 31 2
L9 ( 3 4
) 4 3
L18 ( 2 1
,3 7
) 1 dan 7 2 dan 3
L27 ( 313
) 14 3
L16 ( 4 5
) 5 4
L32 ( 2 1
, 4 9
) 1 dan 9 2 dan 4
L64 ( 4 21
) 21 4
(Ranjit, 1990)
34
Untuk dua level, tabel OA terdiri dari L4, L8, L12, L16, dan L32,
sedangkan untuk tiga level tabel OA terdiri dari L9, L18 dan L27.
Pemilihan jenis orthogonal array yang akan digunakan pada percobaan
didasarkan pada jumlah derajat bebas total (Ishak, 2002).
2.14.2. Tahap Pelaksanaan
Ada 2 hal yang harus dilakukan pada pelaksanaan eksperimen, yaitu:
1. Replikasi
Replikasi adalah pengulangan kembali kombinasi perlakuan yang sama
pada sebuah percobaan untuk mendapatkan ketelitian yang lebih tinggi,
mengurangi tingkat kesalahan serta memperoleh harga taksiran dari kesalahan.
2. Randomisasi
Pengaruh variabel-variabel proses lain yang tidak diinginkan atau tidak
dapat dikendalikan selalu ada dalam sebuah eksperimen. Pengaruh itu
dapat diperkecil dengan menyebarkan variabel-variabel proses tersebut
melalui randomisasi (pengacakan) urutan percobaan. Randomisasi
bertujuan untuk menyebarkan pengaruh dari variabel-variabel proses
yang tidak dapat dikendalikan pada semua unit eksperimen serta
memberikan kesempatan yang sama pada semua unit eksperimen untuk
menerima suatu perlakuan, sehingga ada kehomogenan pengaruh dari setiap
perlakuan yang sama. Jika replikasi bertujuan untuk memungkinkan
dilakukannya uji signifikansi, maka randomisasi bertujuan untuk
memberikan validasi terhadap uji signifikansi tersebut dengan
menghilangkan sifat bias.
2.14.3. Tahap Analisis
Pada tahap ini, pengumpulan dan pengolahan data dilakukan. Tahap
ini meliputi pengumpulan data, pengaturan data, perhitungan serta
penyajian data dalam suatu tampilan tertentu yang sesuai dengan desain
yang dipilih. Selain itu, perhitungan dan pengujian data statistik dilakukan
pada data hasil eksperimen.
35
a) Analisis variansi (ANOVA)
Analisis variansi adalah teknik yang digunakan untuk menganalisis data
yang telah disusun dalam desain secara statistik. Analisis ini dilakukan
dengan menguraikan seluruh variansi atas bagian-bagian yang diteliti. Pada
tahap ini akan dilakukan pengklasifikasian hasil eksperimen secara statistik
sesuai dengan sumber variasi sehingga dapat mengidentifikasi kontribusi
variabel proses. Dengan demikian akurasi perkiraan model dapat ditentukan.
Analisis variansi pada matriks ortogonal dilakukan berdasarkan perhitungan
jumlah kuadrat untuk masing-masing kolom. Analisis variansi digunakan
untuk menganalisis data percoban yang terdiri dari dua variabel proses atau
lebih dengan dua level atau lebih. Tabel ANOVA terdiri dari perhitungan
derajat kebebasan (db), jumlah kuadrat (sum of square, SS), kuadrat tengah
(mean of square, MS), dan Fhitung seperti ditunjukkan pada Tabel.
Tabel 2.8 Analisis Variansi (ANOVA)
Sumber
Variansi
db()
SS
MS
Fhitung
Faktor A A SSA MSA FA
Faktor B SSB MSB FB
Error error SSerror MSerror
Total T SST Sumber: Blank, 1982
Dengan :
υT = derajat bebas total
= N-1 (Pers 2.17)
υA = derajat bebas faktor A
= kA-1 (Pers 2.18)
υB = derajat bebas faktor B
= kB-1 (Pers 2.19)
υerror = derajat bebas error
= υT – υA – υB (Pers 2.20)
SST = jumlah kuadrat total
= ∑ (𝑌𝑖 − ��)29
𝑖=1 (Pers 2.21)
36
SSA = jumlah kuadrat factor A
= [𝑛𝐴 ∑ (𝐴𝑖 − ��)2
𝑘𝐴
𝑖=1 ] (Pers 2.22)
SSB = jumlah kuadrat factor B
= [𝑛𝐵 ∑ (𝐵𝑖 − ��)2
𝑘𝐵
𝑖=1 ] (Pers 2.23)
SSerror= jumlah kuadrat error
= SST – SSA – SSB (Pers 2.24)
MSA = kuadrat tengah faktor A
= SSA/ υA (Pers 2.25)
MSA = kuadrat tengah faktor A
= SSA/ υA (Pers 2.26)
MSerror= kuadrat tengah faktor error
= SSerror/ υerror (Pers 2.27)
FA = Fhitung faktor A
= MSA/MSE (Pers 2.28)
FB = Fhitung faktor B
= MSB/MSE (Pers 2.29)
kA = jumlah level faktor A
kB = jumlah level faktor B
Ai = level ke-i faktor A
N = jumlah total percobaan
nAi = jumlah total pengamatan faktor A
nBj = jumlah total pengamatan faktor B
b) Uji Distribusi F
Pengujian uji distribusi F dilakukan dengan cara membandingkan variansi
yang disebabkan oleh masing-masing faktor dan error. Variansi error adalah
variansi setiap individu dalam pengamatan yang timbul karena faktor-faktor
yang tidak dapat dikendalikan (Soejanto, 2009). Secara umum, hipotesis yang
37
digunakan dalam pengujian ini untuk faktor yang tidak diambil secara random
(fixed) adalah :
H0 : μ1 = μ2 = μ3 = … = μk
H1 : sedikitnya ada satu pasangan μ yang tidak sama
Kegagalan menolak H0 mengindikasikan tidak adanya perbedaan rata-rata
dari nilai respon yang dihasilkan pada perlakuan yang berbeda, sedangkan
penolakan H0 mengindikasikan adanya perbedaan rata-rata dari nilai respon
tersebut. Selain itu, karena respon pada setiap eksperimen dapat dimodelkan
dalam bentuk (Montgomery, 2009) :
Yijk = μ + τi + βj + εijk (Pers 2.30)
Maka hipotesis yang juga dapat digunakan dalam pengujian ini adalah :
Untuk taraf factor A → H0 : τ1 = τ2 = τ3 = … = τk = 0
H1 : paling sedikit ada satu τi ≠ 0
Untuk taraf factor B → H0 : β1 = β2 = β3 = … = βk = 0
H1 : paling sedikit ada satu βj ≠ 0
Kegagalan menolak H0 mengindikasikan tidak adanya pengaruh factor A
dan factor B terhadap respon serta tidak ada interaksi antara factor A dengan
factor B, sedangkan penolakan H0 mengindikasikan adanya pengaruh factor A
dan factor B terhadap respon serta adanya interaksi antara factor A dengan
factor B. kegagalan menolak atau penolakan H0 berdasarkan pada nilai Fhitung
yang dirumuskan :
Untuk taraf faktor A → Fhitung = (Pers 2.31)
Untuk taraf faktor B → Fhitung = (Pers 2.32)
Kegagalan menolak H0 pada masing-masing kasus dilakukan jika
mengalami kondisi berikut :
Untuk taraf faktor A → Fhitung <,A ,E F (Pers 2.33)
Untuk taraf faktor B → Fhitung <,B ,E F (Pers 2.34)
38
Bila menggunakan perangkat lunak statistik, kegagalan menolak H0
dilakukan jika Pvalue lebih besar daripada α (taraf signifikansi). Kegagalan
menolak H0 bisa juga dilakukan apabila nilai Fhitung > 2.
c) Rasio S/N
Signal adalah nilai rata-rata dari karakteristik dan menampilkan komponen
yang diinginkan, yang mendekatinilai target yang telah ditentukan. Sedangkan
noise adalah komponen yang tidak diinginkan dan diukur melalui variabilitas
karakteristik output. Rasio S/N ini merupakan suatu nilai yang menunjukkan
seberapa besar pengaruh faktor terkendali terhadap kualitas produk yang
dihasilkan dan memperhitungkan variasi produk yang dihasilkan, serta
seberapa dekat produk tersebut dengan target yang telah ditentukan.
Penggunaan Rasio S/N dilakukan untuk memilih faktor-faktor yang memiliki
kontribusi pada pengurangan variasi suatu faktor. Perhitungan rasio S/N
tergantung dari jenis karakteristik kualitas, yaitu :
• Semakin kecil semakin baik (smaller is better)
Rasio S/N untuk karakteristik ini dihitung dengan menggunakan
persamaan berikut ini :
(Pers 2.35)
• Tertuju pada nilai tertentu (nominal is best)
Rasio S/N untuk karakteristik ini dihitung dengan menggunakan
persamaan berikut ini :
(Pers 2.36)
• Semakin besar semakin baik (larger is better)
Rasio S/N untuk karakteristik ini dihitung dengan menggunakan
persamaan berikut ini :
(Pers 2.37)
39
2.15 Eksperimen Konfirmasi
Langkah terakir dalam proses perancangan percobaan adalah eksperimen
konfirmasi. Eksperimen ini dilakukan dengan melakukan dengan suatu
pengujian yang menggunakan kombinasi tertentu dari faktor-faktor dan level
dari hasil evaluasi sebelumnya. Menentukan kombinasi level terbaik dari
faktor-faktor yang signifikan dapat ditetapkan pada sembarang level. Setelah
itu dapat dilakukan pengambilan beberapa sampel dan diamati.
Tujuan eksperimen konfirmasi adalah untuk melakukan validasi
terhadap kesimpulan yang diperoleh selama tahap analisa. Karena adanya
pencampuran didalam kolom, kesimpulan yang diperoleh harus dianggap
sebagai kesimpulan awal hingga dilakukan validasi oleh eksperimen
konfirmasi. Ketika eksperimen yang digunakan berbentuk faktorial –
fraksional dan beberapa faktor memiliki kontribusi terhadap variasi,
terhadap kemungkinan bahwa kombinasi terbaik dari faktor dan level tidak
nampak pada kombinasi pengujian matriks ortogonal (Soejanto,2009).
Metode perhitungan interval kepercayaan (CI) untuk level faktor digunakan
formula :
CI = √F, v1, v2 x Ve x (1
𝑛)
Keterangan :
𝐹, 1, 𝑣2 = Nilai F-ratio dari tabel
α = Resiko, Level kepercayaan = 1 – resiko
v1 = Derajat kebebasan untuk pembilang yang berhubungan
dengan suatu rata – rata dan selalu sama dengan 1 untuk suatu interval
kepercayaan
v2 = Derajat kebebasan untuk penyebut yang berhubungan
dengan derajat kebebasan dari variasi pooled error
Ve = Variasi pooled error
N = Jumlah pengamatan yang digunakan untuk menghitung rata-
rata (mean)
40
Sehingga, jika rata-rata sesungguhnya adalah 𝜇 𝐴1 , maka
𝜇 𝐴1 = 𝐴1 ± 𝐶𝐼
𝐴1 − 𝐶𝐼 ≤ 𝜇 𝐴1 ≤ 𝐴1 ± 𝐶𝐼
2.16 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu digunakan sebagai dasar dalam rangka penyusunan
penelitian ini. Kegunaannya untuk mengetahui hasil yang telah dilakukan oleh peneliti
terdahulu. Sedangkan manfaat pokok penelitian terdahulu adalah menegaskan sifat
ilmiah penelitian yang dilakukan, menegaskan keasliannya, membedakan/menegaskan
perbedaan yang sedang dilakukan sekarang dengan penelitian terdahulu.
Dalam penelitian ini mengambil referensi penelitian-penelitian sebelumnya
sebagai berikut :
1. Fachrudin, A. (2015):
Melakukan penelitian tentang Simulasi dan perbaikan pengecoran
cetakan pasir pada cranckshaft SINJAI (Mesin Jawa Timur) material FCD 600.
Penelitian ini dilakukan dengan cara memodelkan produk cor (crankshaft)
secara 3D, kemudian melakukan pengecoran secara simulasi software dengan
1 gate system untuk validasi pengecoran, serta mengaplikasikan sistem
penambah (riser) yakni blind riser dan open riser pada 1 gate system, dimensi
awal dari blind riser yang digunakan yakni sebesar ø 66,4 x 110 mm, sedangkan
untuk dimensi open riser yakni ø 55 x 161 mm. Selanjutnya dilakukan
perbaikan pada variabel bebas dari perencanaan pengecoran yakni
memperbesar diameter riser, dan meningkatkan tinggi riser pada blind riser.
Perbaikan dilakukan hingga tidak terjadi cacat shrinkage pada produk cor
dengan mengoptimasi dimensi dari variabel bebas. Untuk proses meshing dan
pengaturan parameter dilakukan pada software pengecoran. Dari penelitian ini
didapatkan data hasil simulasi software berupa letak dan persentase cacat
shrinkage yang terjadi pada produk cor dengan metode 1 gate system, serta efek
pengaplikasian blind riser dan open riser. Dari data tersebut selanjutnya
dilakukan analisa dan validasi, serta dilakukan perbaikan dengan memperbesar
volume riser, kemudian diambil kesimpulan mengenai dimensi dari riser yang
41
efektif untuk mencegah terjadinya cacat shrinkage pada pengecoran cetakan
pasir dengan material logam FCD 600.
2. Aryadita, L. (2018) :
Melakukan penelitian tentang Pengaruh Perbedaan Diameter Saluran
Turun pada Cetakan Pasir pada Pembuatan Produk Cor Sepatu Rem Tromol
dengan Bahan Alumunium. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh perbedaan diameter saluran turun terhadap penyusutan,cacat
porositas, density, kekerasan dan foto mikro. Bahan baku penelitian ini adalah
alumunium bekas atau rosok dari berbagai komponen yang dicor ulang. Hasil
penelitian menunjukan bahwa hasil rata-rata penyusutan tertinggi terdapat pada
diameter saluran turun (sprue) 22 mm sebesar 7,71 %, sedangkan diameter
saluran turun (sprue) 18 mm 6,659 % dan diameter saluran turun (sprue) 14
mm sebesar 6,191 %. Hasil density tertinggi terdapat pada pada sprue diameter
22 mm sebesar 2,590 dan sprue diameter 18 mm sebesar 2,576, dan didapatkan
nilai density terendah pada sprue diameter 14 mm sebesar 2,567. Hasi
komposisi kimia di temukan unsur kimia yaitu Alumunium (Al) 87,10%
sebagai bahan utama,serta Silikon (Si) 9,51%, sehingga dari unsure yang ada
material ini termasuk logam alumunium paduan silicon (Al-Si). Harga
kekerasan tertinggi terdapat pada sprue berdiameter 22 mm sebesar 108
(HBN), sedangkan sprue diameter 18 mm 103 (HBN) dan sprue diameter 14
mm sebesar 82,5 (HBN).
3. Yussni, H., dkk (2007) :
Melakukan penelitian tentang Effects of Runner Diameter on the
Mechanical Strength and porosity Distribution of Thin Section Castings.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh diameter runner pada
mechanical strength distribusi kekuatan dan porositas penampang Alumunium
alloy Al-12Si yang tipis yang dicor melalui proses pengecoran pasir. Control
Fluid Dynamics (CFD) digunakan untuk mengidentifikasi perilaku aliran
selama proses pengisian. Tes radiografi sinar-X digunakan untuk memeriksa
distribusi cacat secara umum coran dari diameter runner yang berbeda. 3-point
42
bending test diterapkan mengukur kekuatan lentur. Sebaran hasil kekuatan
lentur adalah dikuantifikasi oleh statistik Weibull. Cacat casting yang ada pada
fraktur permukaan spesimen casting diamati dengan pemindaian mikroskop
electron (SEM). Hasil simulasi menunjukkan bahwa lokasi porositas yang
diprediksi pindah ke ingate dan area runner saat ukuran diameter runner
bertambah.
4. Krisnawan, H., dkk (2012) :
Melakukan penelitian tentang Pengaruh Ukuran Riser terhadap Cacat
Penyusutan dan Cacat Porositas produk Cor Alumunum Cetakan Pasir.
Eksperimen ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ukuran riser terhadap
penyusutan dan cacat porositas coran aluminium dengan menggunakan cetakan
pasir. Bahan paduan aluminium dalam percobaan ini berasal dari limbah piston
sepeda motor. Bentuk riser digunakan dengan ukuran neck 25 mm dengan
diameter dan tinggi 5 mm. Variasi ukuran riser adalah: 30 mm diameter dengan
tinggi 100 mm, diameter 40 mm dengan tinggi 56 mm, dan diameter 50 mm
dengan tinggi 36 mm. Pengujian shrinkage adalah dilakukan dengan
membandingkan volume tuang dengan volume cetakan. Pengamatan shrinkage
pada cavity dilakukan dengan membelah coran menjadi dua potongan.
Porositas diuji dengan membandingkan massa jenis sebenarnya dengan massa
jenis teoritis. Pengujian massa jenis sebenarnya menggunakan ASTM E-252
standar. Hasil Percobaan ini adalah untuk menghasilkan coran dengan
penyusutan dan porositas rendah serta riser yang berdiameter besar dan ukuran
tinggi.
5. Anindita, B. (2018) :
Melakukan penelitian tentang Optimasi Desain Runner System dan
Cooling System Produk Top T-Dost Untuk Mengurangi Cacat Short Shot dan
Shrinkage dengan Pendekatan DOE Metode Taguchi. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk merancang sistem pendinginan yang optimal dan sistem
runner untuk produk instalasi listrik terbaik. Perangkat lunak Autodesk
Moldflow Insight 2016 digunakan untuk mensimulasikan desain sistem
43
pendingin dan runner untuk memprediksi respons short shot dan shrinkage dan
mengoptimalkan kualitas produk. Proses pertama adalah merancang beberapa
tata ruang pendingin dan sistem runner, kemudian mensimulasikan desain ke
dalam Moldflow untuk mengetahui desain terbaik dalam mengurangi
cacat. Proses kedua adalah menganalisis parameter proses yang optimal
menggunakan S / N Ratio dan metode analisis ANOVA. Proses terakhir adalah
melakukan percobaan konfirmasi untuk mengetahui parameter proses yang
dinyatakan optimal oleh analisis R / S yang dapat benar-benar mengurangi
short shot dan shrinkage pada produk Top T-Dost. Optimalisasi desain sistem
pendingin dan sistem runner menggunakan metode Taguchi terbukti mampu
meminimalkan terjadinya short shot dan shrinkage pada produk-produk Top
T-Dost menggunakan tekanan injeksi 100 MPa, suhu cetakan 30 ˚C, suhu leleh
200 200C, waktu injeksi 0,6 detik dalam respons shrinkage menjadi
11,13%. Sedangkan parameter proses optimal untuk mengurangi short shot
adalah tekanan injeksi 100 MPa, suhu cetakan 60 ˚ C, suhu leleh 200 ˚ C.
Untuk lebih jelas tentang penelitian terdahulu dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2. 9 Penelitan Terdahulu
No Referensi Judul Penelitian Variabel
Penelitian Metode Hasil
1. Fachrudin, A.
(2015)
Simulasi dan
perbaikan
pengecoran cetakan
pasir pada
cranckshaft SINJAI
(Mesin Jawa
Timur) material
FCD 600
Simulasi,
Shrinkage,
Material
FCD 600
Permodelan 3D
dan simulasi
numerik
menggunakan
software
Flowcast 3D
Letak dan persentase
cacat shrinkage yang
terjadi pada produk
cor dengan metode 1
gate system, serta
efek pengaplikasian
blind riser dan open
riser
2. Aryadita, L.
(2018)
Pengaruh
Perbedaan
Diameter Saluran
Turun pada
Cetakan Pasir pada
Pembuatan Produk
Cor Sepatu Rem
Tromol dengan
Bahan Alumunium
Saluran
Turun,
Penyusutan,
Porositas,
density,
paduan
aluminium,
kekerasan
Eksperimen
pengecoran dan
pengujian
penyusutan, uji
density,
pengamatan
porositas, uji
kimia, dan uji
kekerasan
Didapatkan variasi
ukuran diameter
saluran turun, hasil
density, hasil
komposisi kimia, dan
harga kekerasan
3. Yussni, H.,
dkk (2007)
Effects of Runner
Diameter on the
Mechanical
Strength and
porosity
Distribution of Thin
Section Castings
Alumunium
casting,
Runner
system
design,
Casting
defect,
Eksperimen dan
simulasi
menggunakan
software
Magmasoft serta
uji X-ray
Didapatkan cacat
pada permukaan
disertai hasil simulasi
software
menunjukkan lokasi
cacat
44
No Referensi Judul Penelitian Variabel
Penelitian Metode Hasil
4.
Krisnawan,
H., dkk
(2012)
Pengaruh Ukuran
Riser terhadap
Cacat Penyusutan
dan Cacat Porositas
produk Cor
Alumunum
Cetakan Pasir
Riser,
Shrinkage ,
Porosit,
Alumunium
Alloy
Eksperimen
pengecoran dan
Pengamatan
struktur mikro
Didapatkan variasi
ukuran tinggi dan
diameter Riser, dan
gambaran struktur
mikro
5. Anindita, B.
(2018)
Optimasi Desain
Runner System dan
Cooling System
Produk Top T-Dost
Untuk Mengurangi
Cacat Short Shot
dan Shrinkage
dengan Pendekatan
DOE Metode
Taguchi
Optimalisasi,
Moldflow,
Runner
System,
Cooling
System,
Cacat,
Taguchi
Simulasi dibantu
software
Moldflow serta
Optimasi dengan
Metode Taguchi
Pilihan Desain
Runner System dan
Cooling System,
didapatkan parameter
proses optimal, hasil
peningkatan kualitas
produk
45
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Sumber Data
Diperlukan sebuah langkah-langkah yang nantinya dapat memepermudah
proses penelitian yang terstruktur dengan baik. Hal ini bertujuan untuk mencapai
sasaran atau tujuan penelitian. Urutan langkah-langkah yang dikerjakan dalam
kegiatan penelitian adalah sebagai berikut :
3.1.1. Tempat Penelitian
Proses produksi pengecoran cetakan pasir produk Idler dan pengukuran
dimensi pattern, core dan mold dilakukan di Workshop 1 Divisi Pengecoran
PT. Barata Indonesia.
3.1.2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian adalah kapan saat penelitian ini dilakukan. Penelitian
ini akan dilaksanakan selama 6 bulan. Dengan jadwal yang sudah direncanakan
oleh peneliti. Dimulai dari studi literatur sampai pembuatan laporan.
3.2. Variabel Penelitian
a. Variabel Tak Bebas (Respon)
Variabel merupakan salahsatu karakteristik kualitas yang kritis pada
produk yang dipilih dan diamati. Dalam hal ini variabel respon yang
dipilih adalah persentase cacat porositas.
b. Variabel bebas
Variabel bebas adalah variabel yang dapat diubah-ubah untuk melihat
hubungan objek penelitian yang diteliti. Penentuan nilai variabel ini selain
berdasarkan dari pengalaman pekerja dilapangan dilihat juga berdasarkan
hasil penelitian yang sebelumnya.
46
Berikut variabel bebas yang ditentukan :
1) Diameter Sprue (∅50 mm, ∅60 mm, ∅70 mm)
Sprue merupakan saluran pertama yang dilalui cairan logam
dari cawang tuang kedalam runner dan gate. Pada proses
penuangan, logam cair turun bergerak bebas (memutar) karena
tidak adanya sudut pada dinding saluran turun yang menahan aliran
tersebut supaya bergerak stabil. Dengan kata lain semakin kecil
diameter sprue maka semakin besar pula terjadinya aliran
(turbulensi) yang dapat menyebabkan terjadinya porositas pada
produk coran, berlaku juga sebaliknya (Aryadita, 2018). Pada
penelitian ini diameter sprue diperoleh dari diameter sprue produk
awal didukung dokumen penentuan gating sistem divisi pengecoran
Barata.
2) Diameter Runner (∅55 mm, ∅66 mm, ∅77 mm)
Runner merupakan saluran yang membawa logam cair dari
sprue menuju rongga (cavity) produk cor. Menurut penelitian
Yussni, dkk (2007), besar ukuran diameter runner dapat
meminimalkan cacat porositas dan meningkatkan sifat mekanis
produk cor. Dengan bertambahnya diameter runner membuat
logam cair pada saat solidifikasi tidak terlalu cepat, sehingga
meminimalisir kemungkinan terjadinya porositas dalam rongga
produk cor karena logam cair mampu memenuhi rongga secara
efektif mencapai fase dendrit. Pada penelitian ini diameter runner
juga diperoleh dari diameter runner produk awal didukung
dokumen penentuan gating sistem divisi pengecoran Barata.
3) Diameter Riser (∅86 mm, ∅96 mm, ∅110 mm)
Riser merupakan cadangan logam cair yang berguna dalam
mengisi kembali rongga cetakan bila terjadi penyusutan akibat
solidifikasi, sehingga riser harus membeku lebih lama dari coran
dan memiliki modulus riser lebih besar dari modulus coran. (Tjitro,
2001).
47
Sebelum menentukan modulus coran dan modulus riser,
terlebih dahulu mengetahui besaran volume dan area pelepas panas
dengan 3D geometri produk cor menggunakan perintah i-properties
dari software Autodesk Inventor.
Gambar 3.1 i-properties 3D produk Idler
Dari data tersebut diketahui volume sebesar 1 7.427.201,346 mm3
dan area pelepas panas sebesar 1.840.300,660 mm2 untuk
menentukan modulus coran berdasarkan aturan Chvorinov sebagai
berikut :
Modulus Coran = 𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒
𝐴𝑟𝑒𝑎 𝑃𝑒𝑙𝑒𝑝𝑎𝑠 𝑃𝑎𝑛𝑎𝑠
= 17.427.201,346 mm3
1.840.300,660 mm2
= 9,3697 mm
= 0,94 cm
Pada penelitian ini didapatkan perbandingan antara modulus
cor, modulus neck (saluran antara produk cor dengan riser) dan
modulus riser sebagai berikut :
Mc : Mn : Mr
1 : 1,1 : 1,2
0,94 : 1,04 : 1,14
48
Dari hasil modulus riser sebesar 1,14 dan sesuai dengan
diameter riser produk awal, dapat ditentukan parameter-parameter
berdasarkan tabel Blind feeder head with penetration core menurut
R. Wlodawer (1966) dalam bukunya yang berjudul Directional
Solidification of Steel Castings.
c. Variabel Konstan
Variabel konstan merupakan variabel proses yang tidak diteliti.
Variabel ini dibuat konstan dan dijaga agar tidak berubah selama
percobaan berlangsung. Tujuannya agar tidak mempengaruhi hasil
penelitian. Dalam penelitian ini variabel konstan yang digunakan antara
lain :
- Komposisi Baja Cor SCSiMn2H standar JIS G 5111
C : 0.25-0.35 %
Si : 0.50-0.80 %
Mn : 0.90-1.20 %
P : Max 0.040 %
S : Max 0.040 %
- Temperatur Penuangan : 1540o ± 10o C
- Temperatur Tapping : 1580o ± 10o C
- Pendinginan dalam cetakan : ≥ 4 jam (≤ 500o C)
49
3.3. Tahapan-tahapan Simulasi
3.3.1. Geometry Input dan Geometry Interpretation
Gambar 3.2 Geometry Interpretation
Geometry input yakni penggunaan simulasi pada model 3D dengan
format STL yang telah dibuat, dan geometri interpretation merupakan
pengaturan properti atau jenis material pada model 3D yang telah dibuat,
pengaturan yang digunakan yakni model 3D sebagai logam (metal) dan ruang
sisa (remaining space) sebagai cetakan (mould).
3.3.2. Solid Object
Gambar 3.3 Solid Object
50
Solid Object merupakan pengaturan material dan temperatur mula pada
benda padat, jika jenis material yang diinginkan tidak ada pada pilihan maka
dapat menggunakan menu custom untuk membuat database material baru.
pengaturan yang digunakan yakni pasir silika sebagai material benda padat
(pada mould) dan 27°C sebagai temperatur mula yang terjadi
3.3.3. Meshing
Gambar 3.4 Meshing
Meshing dilakukan agar kondisi batas dan parameter yang diperlukan
dapat diaplikasikan dalam volume-volume kecil, dan dilakukan dengan cara
membagi model solid menjadi volume kecil sesuai dengan jumlah cell yang
diinginkan. Pengaturan jumlah cell pada meshing yang digunakan sesuai
dengan aturan mula yakni pada sumbu x, y, dan z masing-masing 50. Semakin
besar jumlah cell maka hasil analisa yang didapat semakin akurat dan semakin
besar pula data penyimpanan hasil simulasi.
51
3.3.4. Boundary Condition
Gambar 3.5 Boundary Condition
Boundary Condition merupakan penentuan parameter dan batasan yang
terjadi dinding cetakan (solid wall). Data yang diperlukan pada boundary
Condition tergantung pada tipe kondisi batas (solid wall, symmetry plane,
specific gas pressure, dan lain-lain) sedangkan macam-macam parameter yang
dimasukkan antara lain tekanan, temperatur, kecepatan, laju aliran volume,
densitas dan koefisien perpindahan panas pada dinding cetakan masing-masing
per waktu. Pengaturan yang digunakan yakni tipe kondisi batas solid wall pada
masing-masing sumbu x, y, z minimal dan maksimal, untuk temperatur ruang
menggunakan 27°C dan untuk koefisien perpindahan panas pada obstacle
menggunakan 334 W/m2/K.
52
3.3.5. Metal Input
Gambar 3.6 Metal Input
Metal Input merupakan pengaturan dimensi, letak dan arah dimana
logam cair mulai masuk kedalam cetakan. Letak penuangan diatur dengan
mengubah angka pada sumbu x, y, dan z pada metal source hingga didapatkan
lokasi yang sesuai untuk penuangan yakni ujung sprue bagian atas. Diameter
meter penuangan disamakan dengan diameter ujung sprue atas, dan mengatur
arah aliran sesuai dengan arah gaya gravitasi dengan mengubah angka pada
sumbu x, y, z metal flow direction. Angka x, y, dan z tergantung dengan bentuk
model atau letak ujung sprue.
53
Pada menu Flow Rate kolom Filling Time menggunakan nilai 34 detik
berdasarkan perhitungan menggunakan persamaan 2.2 :
t = (1,35 log W) √𝑊
t = (1,35 log 136,804) √136,804
t = 33,72908 ≈ 34 detik
3.3.6. Metal Parameter
Gambar 3.7 Metal Parameter
Pengaturan yang digunakan yakni memilih material logam Casting Steel
SCSiMn2H atau membuat database material baru jika material yang diinginkan
tidak ada dipilihan, dengan cara memilih menu custom. Selanjutnya mengatur
temperatur mula saat logam cair sudah masuk cetakan dan mengatur
temperatur logam cair yang akan masuk cetakan, sesuai dengan referensi
didapatkan masing-masing temperatur yakni 1580°C untuk initial metal dan
1540°C untuk incoming metal . Untuk pengaturan properti logam cair sesuai
asumsi tinggi penuangan (initialize metal at height) dianggap 0 mm dari ujung
atas sprue, dan pada mulanya tidak ada logam didalam cetakan (initialize metal
volume = 0 m3).
54
3.3.7. Heat Transfer Coefficient
Gambar 3.8 Heat Transfer Coefficient
Heat Transfer Coefficient yakni mengatur koefisien perpindahan panas
yang terjadi antara logam dengan cetakan, pengaturan ini sama dengan yang
ada pada boundary condition. Untuk pengaturan perpindahan panas antara
logam dengan cetakan pasir silika yakni sebesar 334.9 W/m2/K.
3.3.8. Solver Parameter
Gambar 3.9 Solver Parameter
55
Solver Parameter digunakan untuk mencari data simulasi yang
diinginkan pada software, pengaturan yang digunakan adalah solidifikasi yang
menampilkan cacat porositas pada benda cor tanpa memunculkan efek aliran
dengan hasil simulasi selesai pada saat solidifikasi atau selesai pada waktu
yang telah ditentukan (±30 detik). Sehingga pada hasil simulasi diharapkan
cacat porositas dapat terlihat dan dianalisa. Berikut tampilan yang menyatakan
bahwa simulasi berhasil dihitung setelah solidifikasi berakhir :
Gambar 3.10 Indikasi Solidifikasi Selesai
3.3.9. Post Processing
Post Processing digunakan untuk menampilkan hasil serta analisa yang
telah dilakukan pada simulasi. Hasil yang diharapkan yakni berupa lokasi serta
persentase cacat porostas yang terjadi.
56
3.4. Rancangan Penelitian
Variasi level dan faktor yang digunakan untuk penelitian ini dapat dilihat
pada tabel berikut :
Tabel 3.1 Variabel Bebas dan Level Kendali
Variabel Bebas Level
1 2 3
Diameter Sprue (mm) 50 60 70
Diameter Runner (mm) 55 66 77
Diameter Riser (mm) 86 96 110
Sumber : Diolah dari Dokumen Penentuan Gating Sistem Barata dan Wlodawer (1966)
Dari faktor dan level sesuai tabel 3.1 selanjutnya dilakukan pembuatan DOE
Taguchi menggunakan software Minitab 17. Dari hasil perhitungan ditentukan
matriks orthogonal array L9 (33) yaitu dengan kombinasi 3 level dan 3 faktor
dengan pengujian sebanyak 9 kali. Berikut tabel 3.2 Matriks Ortogonal L9 (33) :
Tabel 3.2 Matriks Ortogonal L9 (33)
Matriks Ortogonal L9 (33)
Cycle Design ∅ Sprue ∅ Runner ∅ Riser
1 50 55 86
2 50 66 96
3 50 77 110
4 60 55 96
5 60 66 110
6 60 77 86
7 70 55 110
8 70 66 86
9 70 77 96 Sumber : Minitab 17
57
3.5. Diagram Alir Penelitian
Mulai
Studi
Literatur
Apakah Parameter
Berpengaruh terhadap
Respon?
Optimasi dengan
Metode Taguchi
Simulasi hasil
Optimasi dengan
Flowcast 3D
Apakah cacat coran pada
produk cor berkurang?
Pembahasan
Ya
A
A
Data Awal :
• Dimensi desain cor Idler
• Material Idler : Besi Cor SCSiMn2
• Material pasir cetak : pasir silika
• Temperatur dan kecepatan
penuangan
• Penentuan Parameter
Perumusan
Masalah
Permodelan 3D
Simulasi Flow
CastTidak
Tidak
Selesai
Pengolahan Data
Ya
Kesimpulan
B
B
Gambar 3.11 Diagram Alir Penelitian
58
3.6. Penjelasan Tentang Diagram Alir
3.5.1. Studi Literatur
Tahap ini merupakan pengkajian beberapa literatur pendukung yang
berkaitan dengan penjelasan produk Idler, proses perancangan benda cor
berupa pedoman desain standar AFS (American Foundry Society), Jenis-jenis
cacat coran, penyebab terbentuknya serta penanganannya, dan pengkajian
metode optimasi Taguchi untuk diterapkan pada desain gating dan riser.
3.5.2. Permodelan 3D
Dalam tahap permodelan 3D semua data yang telah dikumpulkan pada
tahap studi literatur akan diterjemahkan menjadi desain pengecoran berbentuk
gambar 3 dimensi. Permodelan ini dilakukan dengan bantuan software
Autodesk Inventor. Proses pembuatan desain pengecoran produk Idler dengan
software ini tetap mengacu pada data dimensi awal produk dan desain
pengecorannya berdasarkan pedoman AFS.
Pemilihan software ini karena memiliki sistem parametric design dimana
fitur tersebut dapat membantu merevisi dimensi desain pengecoran dengan
mudah untuk mengantisipasi permodelan ulang karena hasil analisa masih
menunjukan cacat coran.
Gambar 3.12 Produk Idler dan desain pengecorannya
59
3.5.3. Simulasi Flow Cast 3D
Dari hasil pendesainan 3D model akan dilakukan proses export ke format
.stl untuk mendukung format dari software pengecoran, termasuk Flow Cast.
Lalu dalam software Flowcast, terdapat fitur geometry interpretation yang
berupa pengaturan property atau jenis material pada Model 3D yang telah
dibuat, pengaturan yang digunakan yakni model 3D sebagai logam dan ruang
sisa (remaining space) sebagai cetakan (mould). Setelah itu, dilakukan proses
meshing model 3D agar kondisi batas dan parameter yang diperlukan dapat
diaplikasikan dalam volume-volume kecil, dan dilakukan dengan cara
membagi model solid menjadi volume kecil sesuai dengan jumlah cell yang
diinginkan. Semakin besar jumlah cell maka hasil analisa yang didapat
semakin akurat namun, semakin besar pula data penyimpanan hasil simulasi.
Proses selanjutnya dilakukan input parameter dengan memasukan data
penunjang yang telah dihimpun sesuai keadaan lapangan, seperti jenis material
besi tuang, jenis material pasir cetakan, temperatur tuang dan sebagainya.
Visual cacat coran akan nampak selama proses simulasi berlangsung yaitu
letak dan persentase cacat porositas.
3.5.4. Pengolahan Data
Setelah simulasi dan pengambilan data selesai, langkah selanjutnya yaitu
dilakukan pengolahan data sesuai dengan parameter-parameter yang telah
ditentukan sesuai dengan rancangan penelitian.
3.5.5. Optimasi Desain
Dari hasil Analisa yang telah dilakukan kemudian desain akan melalui
tahap optimasi agar meminimalisir terjadinya cacat coran sekaligus
memaksimalkan kualitas coran (yield casting). Optimasi dilakukan dengan
Metode Taguchi sebagai dasar pembuatan Design of Experiment (DOE) yang
selanjutnya dilakukan simulasi pengecoran ulang untuk memastikan parameter
optimum yang dipilih dapat meminimalkan persentase cacat porositas.
60
3.5.6. Kesimpulan dan Saran
Setelah tahap optimasi dilakukan, selanjutnya dapat diambil kesimpulan
yang ditarik dari pembahasan parameter-parameter yang berpengaruh pada
desain gating dan riser serta desain yang sesuai hasil optimasi. Serta berisikan
saran untuk menunjang penelitian selanjutnya dan saran untuk perusahaan.
3.5.7. Jadwal Kegiatan
Tabel 3. 3 Jadwal Pelaksanaan Kegiatan
No. Keterangan
2019
Bulan ke-
1 2 3 4 5 6
1. Studi Literatur
2. Perumusan Masalah
3. Pengumpulan Data
4. Pemodelan 3D
5. Simulasi Flow Cast
6. Pengolahan Data
7. Optimasi Desain
8. Simulasi Flow Cast
9. Kesimpulan dan Saran
61
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Penentuan Yield Casting
Penentuan nilai yield casting pada tiap rancangan percobaan produk cor
yang bernilai ≥ 50 % berdasarkan ketentuan pihak Workshop 1 Divisi
Pengecoran PT. Barata Indonesia. Perhitungan nilai yield merupakan
perbandingan berat benda coran yang bernilai 136,804 kg dengan
keseluruhan tuangan (berat benda coran + berat sistem saluran dan berat
riser). Berikut ini perhitungan untuk menentukan yield casting pada tiap
percobaan :
Yield = 𝑀𝑎𝑠𝑠𝑎 𝐶𝑜𝑟𝑎𝑛
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑇𝑢𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 (𝑀𝑎𝑠𝑠𝑎 𝐶𝑜𝑟𝑎𝑛+𝑀𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑆𝑖𝑠𝑡𝑒𝑚 𝑆𝑎𝑙𝑢𝑟𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑛 𝑅𝑖𝑠𝑒𝑟) 𝑥 100%
Yield1 = 136,804 𝑘𝑔
220,571 𝑘𝑔 𝑥 100% = 62,01 %
Yield2 = 136,804 𝑘𝑔
237,166 𝑘𝑔 𝑥 100% = 57,21 %
Yield3 = 136,804 𝑘𝑔
260,401 𝑘𝑔 𝑥 100% = 51,74 %
Yield4 = 136,804 𝑘𝑔
235,769 𝑘𝑔 𝑥 100% = 57,55 %
Yield5 = 136,804 𝑘𝑔
258,552 𝑘𝑔 𝑥 100% = 52,91 %
Yield6 = 136,804 𝑘𝑔
227,756 𝑘𝑔 𝑥 100% = 60,34 %
Yield7 = 136,804 𝑘𝑔
257,411 𝑘𝑔 𝑥 100% = 53,14 %
Yield8 = 136,804 𝑘𝑔
225,948 𝑘𝑔 𝑥 100% = 60,82 %
Yield9 = 136,804 𝑘𝑔
242,966 𝑘𝑔 𝑥 100% = 55,83 %
62
Berikut rancangan percobaan tiap produk cor beserta nilai persentase
yield castingnya :
Percobaan Variabel Bebas % Yield Casting
1.
62,01 %
2.
57,21 %
3.
51,74 %
4.
57,55 %
5.
52,91 %
6.
60,34 %
63
7.
53,14 %
8.
60,82 %
9.
55,83 %
Gambar 4.1 Parameter pengujian beserta yield castingnya
4.2. Pengujian Design of Experiment (DOE)
Setelah menentukan yield casting yang diperoleh berdasarkan masing-
masing rancangan percobaan produk cor selanjutnya dilakukan pengujian
menggunakan perangkat lunak Flowcast 3D. Rancangan percobaan
dilakukan pengujian sebanyak 9 pengujian yaitu Design Cycle 1 hingga
Design Cycle 9. Pada setiap pengujian Design Cycle menggunakan variabel
konstan yang didapatkan dari perusahaan disesuaikan dengan input
parameter dari software.
4.2.1. Design Cycle 1
Pada simulasi ini menghasilkan persentase porositas, dimana
porositas berhubungan dengan massa jenis (densitas) material
SCSiMn2H sebesar 7850 kg/m3 dengan berat produk cor sebesar
220,571 kg. Pada gambar 4.2 didapatkan cacat porositas pada daerah
produk cor (diindikasikan dengan warna magenta), dengan persentase
cacat total berdasarkan perhitungan dari hasil simulasi yakni sebesar
4,13592 %.
64
Gambar 4.2 Persentase Cacat Porositas Design Cycle 1 Tampak Isometri
Gambar 4.3 Persentase Cacat Porositas Design Cycle 1 Tampak Potongan
Pada gambar 4.4 mengindikasikan kurva setelah kondisi logam cair
memenuhi cetakan dengan waktu 30,0064 detik dapat diketahui volume
cacat porositas sebesar 0,000157235 m3.
Gambar 4.4 Kurva Volume Cacat Porositas Design Cycle 1
65
4.2.2. Design Cycle 2
Pada simulasi ini menghasilkan persentase porositas, dimana
porositas berhubungan dengan massa jenis (densitas) material
SCSiMn2H sebesar 7850 kg/m3 dengan berat produk cor sebesar
237,166 kg. Pada gambar 4.5 didapatkan cacat porositas pada daerah
produk cor (diindikasikan dengan warna magenta), dengan persentase
cacat total berdasarkan perhitungan dari hasil simulasi yakni sebesar
4,18276 %.
Gambar 4.5 Persentase Cacat Porositas Design Cycle 2 Tampak Isometri
Gambar 4.6 Persentase Cacat Porositas Design Cycle 2 Tampak Potongan
66
Pada gambar 4.7 mengindikasikan kurva setelah kondisi logam cair
memenuhi cetakan dengan waktu 30,0375 detik dapat diketahui volume
cacat porositas sebesar 0,000157367 m3.
Gambar 4.7 Kurva Volume Cacat Porositas Design Cycle 2
4.2.3. Design Cycle 3
Pada simulasi ini menghasilkan persentase porositas, dimana
porositas berhubungan dengan massa jenis (densitas) material
SCSiMn2H sebesar 7850 kg/m3 dengan berat produk cor sebesar
260,401 kg. Pada gambar 4.8 didapatkan cacat porositas pada daerah
produk cor (diindikasikan dengan warna magenta), dengan persentase
cacat total berdasarkan perhitungan dari hasil simulasi yakni sebesar
3,94354 %.
Gambar 4.8 Persentase Cacat Porositas Design Cycle 3 Tampak Isometri
67
Gambar 4.9 Persentase Cacat Porositas Design Cycle 3 Tampak Potongan
Pada gambar 4.10 mengindikasikan kurva setelah kondisi logam
cair memenuhi cetakan dengan waktu 30,0172 detik dapat diketahui
volume cacat porositas sebesar 0,000147994 m3.
Gambar 4.10 Kurva Volume Cacat Porositas Design Cycle 3
4.2.4. Design Cycle 4
Pada simulasi ini menghasilkan persentase porositas, dimana porositas
berhubungan dengan massa jenis (densitas) material SCSiMn2H sebesar
7850 kg/m3 dengan berat produk cor sebesar 235,769 kg. Pada gambar
4.11 didapatkan cacat porositas pada daerah produk cor (diindikasikan
dengan warna magenta), dengan persentase cacat total berdasarkan
perhitungan dari hasil simulasi yakni sebesar 4,12166 %.
68
Gambar 4.11 Persentase Cacat Porositas Design Cycle 4 Tampak Isometri
Gambar 4.12 Persentase Cacat Porositas Design Cycle 4 Tampak Potongan
Pada gambar 4.13 mengindikasikan kurva setelah kondisi logam
cair memenuhi cetakan dengan waktu 30,1393 detik dapat diketahui
volume cacat porositas sebesar 0,000149768 m3.
Gambar 4.13 Kurva Volume Cacat Porositas Design Cycle 4
69
4.2.5. Design Cycle 5
Pada simulasi ini menghasilkan persentase porositas, dimana
porositas berhubungan dengan massa jenis (densitas) material
SCSiMn2H sebesar 7850 kg/m3 dengan berat produk cor sebesar
258,552 kg. Pada gambar 4.14 didapatkan cacat porositas pada daerah
produk cor (diindikasikan dengan warna magenta), dengan persentase
cacat total berdasarkan perhitungan dari hasil simulasi yakni sebesar
3,88795 %.
Gambar 4.14 Persentase Cacat Porositas Design Cycle 5 Tampak Isometri
Gambar 4.15 Persentase Cacat Porositas Design Cycle 5 Tampak Potongan
Pada gambar 4.16 mengindikasikan kurva setelah kondisi logam
memenuhi cetakan dengan waktu 30,139 detik dapat diketahui volume
cacat porositas sebesar 0,000140991 m3.
70
Gambar 4.16 Kurva Volume Cacat Porositas Design Cycle 5
4.2.6. Design Cycle 6
Pada simulasi ini menghasilkan persentase porositas, dimana
porositas berhubungan dengan massa jenis (densitas) material
SCSiMn2H sebesar 7850 kg/m3 dengan berat produk cor sebesar
227,756 kg. Pada gambar 4.17 didapatkan cacat porositas pada daerah
produk cor (diindikasikan dengan warna magenta), dengan persentase
cacat total berdasarkan perhitungan dari hasil simulasi yakni sebesar
4,05848 %.
Gambar 4.17 Persentase Cacat Porositas Design Cycle 6 Tampak Isometri
71
Gambar 4.18 Persentase Cacat Porositas Design Cycle 6 Tampak Potongan
Pada gambar 4.19 mengindikasikan kurva setelah kondisi logam
cair memenuhi cetakan dengan waktu 30,139 detik dapat diketahui
volume cacat porositas sebesar 0,000146978 m3.
Gambar 4.19 Kurva Volume Cacat Porositas Design Cycle 6
4.2.7. Design Cycle 7
Pada simulasi ini menghasilkan persentase porositas, dimana
porositas berhubungan dengan massa jenis (densitas) material
SCSiMn2H sebesar 7850 kg/m3 dengan berat produk cor sebesar
257,411 kg. Pada gambar 4.20 didapatkan cacat porositas pada daerah
produk cor (diindikasikan dengan warna magenta), dengan persentase
cacat total berdasarkan perhitungan dari hasil simulasi yakni sebesar
3,77595 %.
72
Gambar 4.20 Persentase Cacat Porositas Design Cycle 7 Tampak Isometri
Gambar 4.21 Persentase Cacat Porositas Design Cycle 7 Tampak Potongan
Pada gambar 4.22 mengindikasikan kurva setelah kondisi logam
cair memenuhi cetakan dengan waktu 30,139 detik dapat diketahui
volume cacat porositas sebesar 0,000134511 m3.
73
Gambar 4.22 Kurva Volume Cacat Porositas Design Cycle 7
4.2.8. Design Cycle 8
Pada simulasi ini menghasilkan persentase porositas, dimana
porositas berhubungan dengan massa jenis (densitas) material
SCSiMn2H sebesar 7850 kg/m3 dengan berat produk cor sebesar
225,948 kg. Pada gambar 4.23 didapatkan cacat porositas pada daerah
produk cor (diindikasikan dengan warna magenta), dengan persentase
cacat total berdasarkan perhitungan dari hasil simulasi yakni sebesar
3,94438 %.
Gambar 4.23 Persentase Cacat Porositas Design Cycle 8 Tampak Isometri
74
Gambar 4.24 Persentase Cacat Porositas Design Cycle 8 Tampak Potongan
Pada gambar 4.25 mengindikasikan kurva setelah kondisi logam
cair memenuhi cetakan dengan waktu 30,139 detik dapat diketahui
volume cacat porositas sebesar 0,000140085 m3.
Gambar 4.25 Kurva Volume Cacat Porositas Design Cycle 8
4.2.9. Design Cycle 9
Pada simulasi ini menghasilkan persentase porositas, dimana
porositas berhubungan dengan massa jenis (densitas) material
SCSiMn2H sebesar 7850 kg/m3 dengan berat produk cor sebesar
242,966 kg. Pada gambar 4.26 didapatkan cacat porositas pada daerah
produk cor (diindikasikan dengan warna magenta), dengan persentase
cacat total berdasarkan perhitungan dari hasil simulasi yakni sebesar
4,00323 %.
75
Gambar 4.26 Persentase Cacat Porositas Design Cycle 9 Tampak Isometri
Gambar 4.27 Persentase Cacat Porositas Design Cycle 9 Tampak Potongan
Pada gambar 4.28 mengindikasikan kurva setelah kondisi logam
cair memenuhi cetakan dengan waktu 30,139 detik dapat diketahui
volume cacat porositas sebesar 0,000144009 m3.
Gambar 4.28 Kurva Volume Cacat Porositas Design Cycle 9
76
Setelah dilakukan 9 pengujian, agar hasil pengujian lebih mudah
dipahami maka dibuat tabel data hasil simulasi sebagai berikut :
Tabel 4.1 Hasil Simulasi
Cycle
Design
Parameter Hasil
∅ Sprue ∅ Runner ∅ Riser Porositas
(%)
Volume
(m3)
1 50 55 86 4,13592 0,000157235
2 50 66 96 4,18276 0,000157367
3 50 77 110 3,94354 0,000147994
4 60 55 96 4,12166 0,000149768
5 60 66 110 3,88795 0,000140991
6 60 77 86 4,05848 0,000146978
7 70 55 110 3,77595 0,000134511
8 70 66 86 3,94438 0,000140085
9 70 77 96 4,00323 0,000144009
Dari tabel 4.1 didapatkan hasil dari simulasi yang mempunyai
respon persentase porositas yang berbanding lurus dengan volume
porositas yang dihasilkan, semakin tinggi persentase porositas produk
cor maka semakin besar juga volume porositas produk cor, berlaku juga
sebaliknya.
4.3. Analisa Signal to Noise Ratio
Hasil dari beberapa percobaan simulasi parameter proses yang
telah dilakukan, digunakan untuk menghitung S/N Ratio. Perhitungan
ini dapat dilakukan secara manual dan menggunakan software Minitab
2017 untuk memastikan hasil responnya. Pada optimasi parameter
proses untuk mereduksi persentase porositas dengan metode yang
dipilih adalah S/N Ratio small is better karena penilaian persentase
porositas terbaik ialah yang paling rendah sesuai dengan konsep metode
tersebut.
4.3.1. Perhitungan S/N Ratio Persentase Porositas
Perhitungan karakteristik smaller is better sesuai dengan
persamaan 2.37 :
77
𝑆𝑁⁄ = −10 log [∑
𝑦𝑖2
𝑛
𝑛
𝑖=1
]
Karena dalam pengujian ini berdasarkan perhitungan
perangkat lunak, maka nilai n=1 sehingga nilai n dapat diabaikan.
Sedangkan nilai y2 adalah nilai persentase porositas dalam setiap
pengujian.
Berikut ini contoh perhitungan S/N rasio pada Design Cycle 1 :
S/N = -10 log yi2
= -10 log 4,13592 2
= -10 log 17,10583
= -12,33144
Selanjutnya langkah tersebut juga dilakukan terhadap
seluruh pengujian yang hasil perhitungannya dinyatakan dalam
tabel 4.2 sebagai berikut :
Tabel 4.2 Nilai S/N Rasio persentase porositas
Sumber : Hasil Pengujian
Matriks Ortogonal L9 (33)
Cycle
Design
Parameter Hasil
∅
Sprue
∅
Runner
∅
Riser
Porositas
(%)
S/N Rasio
Persentase
Porositas
1 50 55 86 4,13592 -12,33
2 50 66 96 4,18276 -12,43
3 50 77 110 3,94354 -11,92
4 60 55 96 4,12166 -12,30
5 60 66 110 3,88795 -11,79
6 60 77 86 4,05848 -12,17
7 70 55 110 3,77595 -11,54
8 70 66 86 3,94438 -11,92
9 70 77 96 4,00323 -12,05
Jumlah -108,45
Rata-rata -12,05
78
Selanjutnya mencari variabilitas nilai S/N rasio dihitung
nilai rata-rata S/N rasio pada setiap faktor dalam satu level.
Dengan mengetahui pengaruh level terhadap faktor akan
didapatkan level kombinasi optimal. Berikut ini perhitungan
faktor ∅ Sprue, ∅ Runner, ∅ Riser pada level 1, 2 dan 3 :
∅ Sprue Level 1 = (−12,33)+(−12,43)+(−11,92)
3
= -12,23
∅ Sprue Level 2 = (−12,30)+(−11,79)+(−12,17)
3
= -12,09
∅ Sprue Level 3 = (−11,54)+(−11,92)+(−12,05)
3
= -11,84
∅ Runner Level 1 = (−12,33)+(−12,30)+(−11,54)
3
= -12,06
∅ Runner Level 2 = (−12,43)+(−11,79)+(−11,92)
3
= -12,05
∅ Runner Level 3 = (−11,92)+(−12,17)+(−12,05)
3
= -12,04
∅ Riser Level 1 = (−12,33)+(−12,17)+(−11,92)
3
= -12,14
∅ Riser Level 2 = (−12,43)+(−12,30)+(−12,05)
3
= -12,26
∅ Riser Level 3 = (−11,92)+(−11,79)+(−11,54)
3
= -11,75
79
Respon S/N Rasio optimasi persentase porositas dari
pengacakan level parameter proses menunjukkan noise terbesar
pada parameter setiap prosesnya. Semakin besar nilai rata-rata
(mean) S/N Rasio maka semakin besar pula kontribusinya
terhadap suatu pengerjaan. Berikut adalah hasil respon S/N Rasio
yang dirangkum dalam tabel 4.3 sebagai berikut :
Tabel 4.3 Respon S/N Rasio persentase porositas
Level ∅ Sprue ∅ Runner ∅ Riser
1 -12,23 -12,06 -12,14
2 -12,09 -12,05 -12,26
3 -11,84 -12,04 -11,75
Delta 0,39 0,01 0,51
Rank 2 3 1
Sumber : Hasil Pengujian
Dari ketiga parameter proses didapatkan sesuai
perangkingan, parameter proses yang paling berpengaruh adalah
diameter Riser. Seperti pada tabel 4.3 Hasil yang paling
berpengaruh adalah parameter diameter Sprue pada level 3 yaitu
∅ 70 mm, parameter diameter Runner pada level 3 yaitu ∅ 77 mm
dan parameter diameter Riser yaitu ∅ 110 mm.
Setelah melakukan perhitungan manual maka dilakukan
perbandingan menggunakan software Minitab 17 agar data
analisa keakurasiannya dapat dipertanggung jawabkan. Data
hasil perhitungan respon S/N Rasio tersebut dpat dilihat
berdasarkan grafik gambar 4.20 sebagai berikut :
80
Gambar 4.29 Grafik Main Effects Plot for SN Ratios
4.4. Analysis of Variance (ANOVA)
Analisis Variansi dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor utama
yang berpengaruh secara signifikan terhadap data-data respon hasil
pengujian. Dalam analisis variansi terdapat tahapan antara lain :
perhitungan Sum of Square (SS), perhitungan Mean of Square (MS),
perhitungan F-Hitung dan perhitungan Persen Kontribusi.
4.4.1. Perhitungan Sum of Square (SS)
Dalam perhitungan Sum of Square terdapat tahapan sebagai berikut :
1. Sum of Square (SS) Total
Perhitungan Sum of square Total mengikuti persamaan 2.23 :
SST = ∑ (𝑌𝑖 − ��)2𝑁
𝑖=1
Dimana :
N = Jumlah total percobaan
Yi = Nilai tiap percobaan
Y = Rata-rata seluruh percobaan
81
Berikut ini tabel hasil kuadrat S/N :
Tabel 4.4 Nilai S/N Rasio Kuadrat
Sumber : Hasil Pengujian
Sesuai dengan Tabel 4.4 maka SST adalah :
SST = ∑ (𝑌𝑖 − ��)29
𝑖=1
= 0,659423
2. Sum of Square (SS) Factor
Perhitungan Sum of Square Factor mengikuti persamaan 2.22 :
SSF = [𝑛𝐹 ∑ (𝐴𝑖 − ��)2𝑛
𝑖=1 ]
Berikut ini adalah contoh perhitungan SS pada faktor diameter
Sprue, Runner dan Riser :
SS∅sprue =3 ((−12,23 − (−12,05))2
+ (−12,09 − (−12,05))2
+
(−11,84 − (−12,05))2
)
= 0,234599
SS∅runner =3 ((−12,06 − (−12,05))2
+ (−12,05 − (−12,05))2
+
(−12,04 − (−12,05))2
)
= 0,000292
Matriks Ortogonal L9 (33)
Cycle
Design
Parameter Hasil
∅
Sprue
∅
Runner
∅
Riser
Porositas
(%)
S/N Rasio
Persentase
Porositas
𝑌𝑖 − �� (𝑌𝑖 − ��)2
1 50 55 86 4,13592 -12,33 -0,2815 0,079219
2 50 66 96 4,18276 -12,43 -0,3793 0,143849
3 50 77 110 3,94354 -11,92 0,1323 0,017493
4 60 55 96 4,12166 -12,30 -0,2515 0,063231
5 60 66 110 3,88795 -11,79 0,2556 0,065317
6 60 77 86 4,05848 -12,17 -0,1173 0,013755
7 70 55 110 3,77595 -11,54 0,5095 0,259549
8 70 66 86 3,94438 -11,92 0,1304 0,017007
9 70 77 96 4,00323 -12,05 0,0018 0,000003
Jumlah -108,45 -0,2797 0,659423
Rata-rata (��) -12,05 -0,03 0,13
82
SS∅riser =3 ((−12,14 − (−12,05))2
+ (−12,26 − (−12,05))2
+
(−11,75 − (−12,05))2
)
= 0,424241
Maka berikut hasil SS tiap faktor adalah sebagai berikut :
SS ∅sprue = 0,234599
SS ∅runner = 0,000292
SS ∅riser = 0,424241
Maka SSFaktor = SS ∅sprue + SS ∅runner + SS ∅riser
= 0,659132
3. Sum of Square (SS) Error
Perhitungan Sum of Square Error mengikuti persamaan 2.24 :
SSE = SST − SSFaktor
= 0,659423 – 0,659132
= 0,000291
4.4.2. Perhitungan Mean of Square (MS)
Perhitungan MS (rata-rata jumlah kuadrat) dari pembagian jumlah
kuadrat dengan derajat kebebasan yang sesuai dengan persamaan 2.25.
Perhitungan tersebut dapat dilihat dibawah ini :
1. Mean of Square faktor ∅ Sprue
• Derajat kebebasan faktor ∅ Sprue
DF∅sprue = 3-1
= 2
• MS∅sprue = SS ∅𝑠𝑝𝑟𝑢𝑒
DF∅𝑠𝑝𝑟𝑢𝑒
= 0,234599
2
= 0,117300
83
2. Mean of Square faktor ∅ Runner
• Derajat kebebasan faktor ∅ Runner
DF∅runner = 3-1
= 2
• MS∅runner = SS ∅𝑟𝑢𝑛𝑛𝑒𝑟
DF∅𝑟𝑢𝑛𝑛𝑒𝑟
= 0,000292
2
= 0,000146
3. Mean of Square faktor ∅ Riser
• Derajat kebebasan faktor ∅ Riser
DF∅riser = 3-1
= 2
• MS∅riser = SS ∅𝑟𝑖𝑠𝑒𝑟
DF∅𝑟𝑖𝑠𝑒𝑟
= 0,424241
2
= 0,212120
4. Mean of Square Error
• Derajat kebebasan error
DFerror = (N-1)- DF∅sprue - DF∅runner - DF∅riser
= (9-1)-2-2-2
= 2
• MS∅error = SS 𝑒𝑟𝑟𝑜𝑟
DF𝑒𝑟𝑟𝑜𝑟
= 0,000291
2
= 0,000146
Dari perhitungan analisa varians diatas didapatkan tabel anova
seperti yang tertera pada Tabel 4.5 :
84
Tabel 4.5 Hasil Analisis Varians Rasio S/N
Source of Varians
Sum of Square
(SS)
Degrees of
Freedom (DF)
Means of
Square (MS)
Diameter Sprue 0,234599 2 0,117300
Diameter Runner 0,000292 2 0,000146
Diameter Riser 0,424241 2 0,212120
Error 0,000291 2 0,000146
Total 0,659423 8 -
Sumber: Hasil Perhitungan
4.4.3. Perhitungan F-Hitung
F hitung sendiri digunakan untuk di bandingkan dengan F tabel,
sehingga nantinya diketahui apakah nilai dari F hitung ditolak atau
diterima. Perhitungan F hitung menggunakan rumus pada persamaan
2.28, berikut ini perhitungan F hitung untuk faktor ∅ Sprue, ∅ Runner,
dan ∅ Riser.
1. Perhitungan untuk Faktor ∅ Sprue
F Hitung ∅sprue = MS ∅𝑠𝑝𝑟𝑢𝑒
MS 𝑒𝑟𝑟𝑜𝑟
= 0,117300
0,000146
= 805,65
2. Perhitungan untuk Faktor ∅ Runner
F Hitung ∅runner = MS ∅𝑟𝑢𝑛𝑛𝑒𝑟
MS 𝑒𝑟𝑟𝑜𝑟
= 0,000146
0,000146
= 1,00
3. Perhitungan untuk Faktor ∅ Riser
F Hitung ∅riser = MS ∅𝑟𝑖𝑠𝑒𝑟
MS 𝑒𝑟𝑟𝑜𝑟
= 0,212120
0,000146
= 1456,91
Dari perhitungan F hitung diatas , maka di dapatkan tabel F hitung
analisis varians pengabungan seperti pada Tabel 4.6 :
85
Tabel 4.6 Nilai F-Hitung Analisis Varians
Source of Varians
Sum of
Square (SS)
Degrees of
Freedom (DF)
Means of
Square (MS) F Hitung
Diameter Sprue 0,234599 2 0,117300 805,65
Diameter Runner 0,000292 2 0,000146 1,00
Diameter Riser 0,424241 2 0,212120 1456,91
Error 0,000291 2 0,000146 -
Total 0,659423 8 - -
Sumber: Hasil Perhitungan
Dari data pada Tabel 4.6 maka dapat dilakukan pengujian hipotesa
dan kesimpulan terhadap F hitung dan F-tabel adalah sebagai berikut :
Jika nilai F-hitung lebih besar dari F-tabel maka hipotesa alternatif
(H1) diterima. Dan jika F-hitung lebih kecil dari F-tabel maka hipotesa
awal (H0) diterima. Data F-tabel diambil dengan tingkat kepercayaan
90% dengan level signifikan (α) 10%. F-tabel dapat dirumuskan dengan
𝐹(𝛼/2;𝑑𝐹𝐴;𝑑𝐹𝐸) = F (0,05;2;2) sehingga nilai F tabel adalah 19.
1. Pengaruh diameter Sprue
Dimana :
H0 : Diameter Sprue tidak berpengaruh signifikan terhadap
Persentase Porositas
H1 : Diameter Sprue berpengaruh signifikan terhadap Persentase
Porositas
Kesimpulan :
F hitung = 805,65 > F0,05(2,2) = 19, dengan taraf signifikan α sebesar
0,05 maka dapat diputuskan tolak H0 karena F hitung > F0,05(2,2)
sehingga dapat disimpulkan bahwa diameter Sprue memiliki
pengaruh secara signifikan terhadap persentase cacat porositas
produk Idler.
86
2. Pengaruh diameter Runner
Dimana :
H0 : Diameter Runner tidak berpengaruh signifikan terhadap
Persentase Porositas
H1 : Diameter Runner berpengaruh signifikan terhadap Persentase
Porositas
Kesimpulan :
F hitung = 1,00 < F0,05(2,2) = 19, dengan taraf signifikan α sebesar
0,05 maka dapat diputuskan diterima H0 karena F hitung < F0,05(2,2)
sehingga dapat disimpulkan bahwa diameter Runner tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap persentase cacat porositas
produk Idler.
3. Pengaruh diameter Riser
Dimana :
H0 : Diameter Riser tidak berpengaruh signifikan terhadap
Persentase Porositas
H1 : Diameter Riser berpengaruh signifikan terhadap Persentase
Porositas
Kesimpulan :
F hitung = 1456,91> F0,05(2,2) = 19, dengan taraf signifikan α sebesar
0,05 maka dapat diputuskan tolak H0 karena F hitung > F0,05(2,2)
sehingga dapat disimpulkan bahwa diameter Riser memiliki
pengaruh secara signifikan terhadap persentase cacat porositas
produk Idler.
4.4.4. Perhitungan Persen Kontribusi
Untuk mengetahui seberapa besar kontribusi yang diberikan oleh
masing-masing faktor, maka terlebih dahulu menghitung SS’ dan 𝜌 %
menggunakan rumus seperti dibawah ini :
a. Diameter Sprue
• SS’∅sprue = SS∅sprue – MSerror (DF∅sprue)
= 0,234599- 0,000146 (2)
= 0,234307884
87
• 𝜌∅sprue = 𝑆𝑆′∅𝑠𝑝𝑟𝑢𝑒
𝑆𝑆𝑇𝑥100 %
= 0,234307884
0,659423 𝑥100 %
= 35,58 %
b. Diameter Runner
• SS’∅runner = SS∅runner – MSerror (DF∅runner)
= 0,000292- 0,000146 (2)
= 7,24218 x10-7
= 0,000000724218
• 𝜌∅runner = 𝑆𝑆′∅𝑟𝑢𝑛𝑛𝑒𝑟
𝑆𝑆𝑇𝑥100 %
= 0,000000724218
0,659423 𝑥100 %
= 0,04 %
c. Diameter Riser
• SS’∅riser = SS∅riser – MSerror (DF∅riser)
= 0,424241- 0,000146 (2)
= 0,423949583
• 𝜌∅riser = 𝑆𝑆′∅𝑟𝑖𝑠𝑒𝑟
𝑆𝑆𝑇𝑥100 %
= 0,423949583
0,659423 𝑥100 %
= 64,34 %
Dari perhitungan persen kontribusi diatas, maka didapatkan tabel
persen kontribusi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.7.
Tabel 4.7 Nilai Persen Kontribusi Analisis Varians
Source of Varians
SS
DF
MS
F-Hitung
𝜌 %
Diameter Sprue 0,234599 2 0,117300 805,65 35,58
Diameter Runner 0,000292 2 0,000146 1,00 0,04
Diameter Riser 0,424241 2 0,212120 1456,91 64,34
Error 0,000291 2 0,000146 - -
Total 0,659423 8 - - -
Sumber: Hasil Perhitungan
88
Dari Tabel 4.7 menunjukkan bahwa dibandingkan faktor yang lainnya,
faktor Diameter Riser memberikan kontribusi yang paling besar
terhadap persentase cacat porositas produk Idler, yaitu sebesar 64,34 %.
4.4.5. Perhitungan ANOVA Menggunakan Minitab 17
Analisa yang digunakan adalah karakteristik smaller is better, yaitu
apabila pencapaian karakteristik kualitas jika semakin kecil semakin
baik dapat dilihat pada gambar 4.30 seperti dibawah ini :
Gambar 4.30 Anova untuk Rasio S/N
Berdasarkan gambar 4.30 diatas, hasil perhitungan menggunakan
Minitab sama dengan hasil perhitungan secara manual. Dari gambar
tersebut dapat diketahui juga pengaruh dari tiap faktor yaitu dengan cara
membandingkan nilai P dengan α (0,05) dengan keputusan tolak H0
apabila nilai P lebih kecil dari nilai α. Untuk faktor diameter Sprue
memiliki nilai P yaitu 0,001 lebih kecil dari nilai α, sehingga
keputusannya tolak H0 yaitu adanya pengaruh secara signifikan dari
perlakuan faktor diameter Sprue terhadap persentase cacat porositas.
Pada faktor diameter Runner diketahui nilai P sebesar 0,499 lebih besar
dari α, sehingga terima H0 yaitu tidak ada pengaruh secara signifikan
dari perlakuan faktor diameter Runner terhadap persentase cacat
porositas. Pada faktor diameter Riser memiliki nilai P sebesar 0,001
lebih kecil dari nilai α, sehingga keputusannya tolak H0 yaitu ada
pengaruh secara signifikan dari perlakuan faktor diameter Riser
terhadap persentase cacat porositas pada produk Idler .
89
4.5. Pengujian Asumsi Residual
Analisis variansi mensyaratkan bahwa residual harus memenuhi asumsi
IIDN (0,σ2), yaitu residual harus bersifat Identik, Independen dan Distribusi
Normal dengan mean nol dan nilai variansi tertentu. Berikut ini adalah
pengujian yang dilakukan terhadap residual :
4.5.1. Uji Independen
Pengujian independen pada penelitian ini dilakukan
menggunakan auto correlation function (ACF). Berdasarkan plot ACF
yang ditunjukkan pada Gambar 4.31, tidak ada nilai ACF pada setiap lag
yang keluar dari batas interval. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada
korelasi antar residual artinya residual bersifat independen.
Gambar 4.31 Plot ACF
4.5.2. Uji Identik
Asumsi residual bersifat identik pada penelitian ini dilakukan
secara visual, yaitu dengan plot antara residual dan fitted value seperti
ditunjukkan pada Gambar 4.6. Dari plot menunjukkan bahwa data
tersebar secara acak di sekitar harga nol dan tidak membentuk tren atau
pola tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa asumsi residual bersifat
identik terpenuhi.
54321
1,0
0,8
0,6
0,4
0,2
0,0
-0,2
-0,4
-0,6
-0,8
-1,0
Lag
Au
toco
rrela
tio
n
Autocorrelation Function for RESI_MEANS7(with 5% significance limits for the autocorrelations)
90
Gambar 4.32 Plot residual versus fitted values
4.5.3. Uji Kenormalan
Pengujian asumsi residual normal (0,σ2) dilakukan melalui uji
Kolmogorov-Smirnov. Hipotesis yang digunakan adalah:
H0 : Residual berdistribusi normal
H1 : Residual tidak berdistribusi normal
H0 ditolak jika p-value lebih kecil dari pada α = 0,05.
Gambar 4.32 menunjukan bahwa dengan uji Kolmogorov-
Smirnov diperoleh:
• P-value > 0,150 yang berarti lebih besar dari α = 0,05. Oleh
karena itu dapat disimpulkan bahwa H0 gagal ditolak atau residual
berdistribusi normal.
• Mean bernilai sebesar 3,445835E-16 yang berarti sangat
kecil atau mendekati nol.
• Variansi residual adalah sebesar (0,219)2 = 0,047961
Selain itu dapat dilihat dari sebaran titik-titik pada plot tersebut
membentuk pola linier atau garis lurus. Dengan demikian asumsi
residual berdistribusi normal dengan nilai mean sama dengan nol
(atau mendekati nol) dan memiliki variasi tertentu (sebesar
0,047961) telah terpenuhi.
91
Gambar 4.33 Plot uji distribusi normal
4.6. Eksperimen Konfirmasi
4.6.1. Prediksi Rasio S/N Porositas yang Optimal
Telah diketahui faktor-faktor yng berpengaruh secara
signifikan terhadap rasio S/N Porositas Produk Idler yang
optimum adalah :
1. Faktor Diameter Sprue level 3 (∅ 70 mm)
2. Faktor Diameter Runner level 3 (∅ 77 mm)
3. Faktor Diameter Riser level 3 (∅ 110 mm)
Sehingga model persamaan μprediksi adalah sebagai berikut :
μ = γm
+ ∑ (γi - γ
m)o
i=1
μ = -12,05 + ((-11,84) - (-12,05)) +
((-12,04) - (-12,05)) + ((-11,75) - (-12,05))
μ = -11,23
Setelah μprediksi diketahui maka dilakukan perhitungan interval
kepercayaan pada kondisi perlakuan yang diprediksi (CI) dengan
level signifikansi 90% adalah sesuai persamaan berikut :
CIp=√F(∝,1,dfE) MSE
neff
92
Dimana :
F(∝,1,dfE) = F0,05 ; 1,2
= 18,51
MSE = 0,000146
neff = 𝑁
1+𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑒𝑟𝑎𝑗𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑏𝑒𝑏𝑎𝑠𝑎𝑛 𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎
= 9
1+(2+2+2)
= 1,285
CIp= ±√18,51 x 0,000146
1,285
= ± 0,045859
μprediksi - Cl ≤ μ ≤ μprediksi + Cl
-11,23 – 0,045859 ≤ μ ≤ -11,23 + 0,045859
-11,275859 ≤ μ ≤ -11,184141
4.6.2. Pengujian Konfirmasi
Setelah mendapatkan level faktor kombinasi optimum,
maka dilakukan penentuan nilai yield casting yang bernilai ≥ 50
%. Perhitungan nilai yield merupakan perbandingan berat benda
coran yang bernilai 136,804 kg dengan keseluruhan tuangan
(berat benda coran + berat sistem saluran dan berat riser). Berikut
ini perhitungan untuk menentukan yield casting pada level faktor
kombinasi optimum :
Yieldkonfirmasi = 136,804 𝑘𝑔
263,038 𝑘𝑔 𝑥 100% = 52,009 %
Setelah itu dilakukan pengujian konfirmasi menggunakan
perangkat lunak Flow 3D Cast untuk mendapatkan nilai hasil
pengujian pada level faktor kombinasi optimum. Berikut ini hasil
pengujian level faktor kombinasi optimum menggunakan
perangkat lunak Flow 3D Cast :
93
Pada simulasi ini menghasilkan persentase porositas,
dimana porositas berhubungan dengan massa jenis (densitas)
material SCSiMn2H sebesar 7850 kg/m3 dengan berat produk
cor sebesar 263,038 kg. Pada gambar 4.33 didapatkan cacat
porositas pada daerah produk cor (diindikasikan dengan warna
magenta), dengan persentase cacat total berdasarkan perhitungan
dari hasil simulasi yakni sebesar 3,61706 %.
Gambar 4.34 Persentase Cacat Porositas Pengujian Konfirmasi tampak Isometri
Gambar 4.35 Persentase Cacat Porositas Pengujian Konfirmasi tampak Potongan
94
4.6.3. Perhitungan Rasio S/N Pengujian Konfirmasi
Hasil dari pengujian konfirmasi tersebut kemudian
dihitung/ ditransformasikan ke dalam bentuk Rasio S/N sebagai
berikut :
𝑆𝑁⁄ = −10 log [∑
𝑦𝑖2
𝑛
𝑛
𝑖=1
]
S/N = -10 log yi2
= -10 log 3,617062
= -10 log 13,08312
= -11,17
μkonfirmasi = -11,17
Setelah menentukan Rasio S/N konfirmasi, maka
dilakukan perhitungan interval kepercayaan untuk eksperimen
konfirmasi adalah sebagai berikut :
CI𝑘𝑜𝑛𝑓𝑖𝑟𝑚𝑎𝑠𝑖 = √F(∝,1,dfE)MSE [1
neff+
1
r]
Dimana :
F(∝,1,dfE) = F0,05 ; 1,2
= 18,51
MSE = 0,000146
neff = 𝑁
1+𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑒𝑟𝑎𝑗𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑏𝑒𝑏𝑎𝑠𝑎𝑛 𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎
= 9
1+(2+2+2)
= 1,285
r = Jumlah eksperimen konfirmasi
= 1
CI𝑘𝑜𝑛𝑓𝑖𝑟𝑚𝑎𝑠𝑖 = ±√18,51 x 0,000146 [1
1,285+
1
1]
= ±√0,00270246 𝑥 1,778
= ± 0,0693
95
Interval kepercayaan untuk Rasio S/N Pengujian Konfirmasi
adalah :
μkonfirmasi - Cl ≤ μ ≤ μkonfirmasi + Cl
-11,17 – 0,0693 ≤ μ ≤ -11,17 + 0,0693
-11,2393 ≤ μ ≤ -11,1007
4.7. Analisa Hasil
Dari hasil perhitungan interval kepercayaan pada tingkat kepercayaan
90% untuk eksperimen prediksi kemudian dibandingkan dengan interval
kepercayaan untuk eksperimen konfirmasi sebagai berikut :
Tabel 4.8 Tabel Perbandingan S/N
Respon
μ
Interval Kepercayaan
Eksperimen Prediksi -11,53 -11,53 ± 0,045859
Eksperimen Konfirmasi -11,17 -11,17 ± 0,0693
Sumber: Hasil Perhitungan
Dari tabel 4.8 dapat diketahui perbandingan antara nilai μ eksperimen
prediksi dan nilai μ eksperimen konfirmasi serta interval kepercayaan pada
masing-masing eksperimen. Hasil perbandingan ini menunjukkan nilai
maksimum dan minimum antara kedua eksperimen saling beririsan atau
berada dalam kedua interval. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat secara visual
pada grafik berikut ini :
Gambar 4.36 Plot rata-rata percobaan konfirmasi dan interval keyakinan perdiksi
96
Berdasarkan gambar 4.35 dapat diketahui Interval kepercayaan prediksi
beririsan dengan nilai interval kepercayaan konfirmasi. Sehingga dapat
disimpulkan pengujian konfirmasi dapat diterima.
4.8. Pembahasan
4.8.1. Pengaruh Variabel Proses Terhadap Respon Individu
Pengaruh dari variable-variabel proses yang meliputi diameter
Sprue, Runner dan Riser terhadap respon individu persentase cacat
porositas dapat diketahui berdasarkan data yang diperoleh dari hasil
percobaan melalui software dan dasar teori mengenai pengaruh
ketiga faktor tersebut terhadap respon. Pembahasan mengenai
variable proses terhadap proses terhadap respon individu adalah
sebagai berikut :
a. Diameter Sprue
Sprue merupakan saluran pertama yang dilalui cairan
logam dari cawang tuang kedalam runner dan gate. Pada proses
penuangan, logam cair turun bergerak bebas (memutar) karena
tidak adanya sudut pada dinding saluran turun yang menahan
aliran tersebut supaya bergerak stabil. Dengan kata lain semakin
kecil diameter sprue maka semakin besar pula terjadinya aliran
(turbulensi) yang dapat menyebabkan terjadinya porositas pada
produk coran, berlaku juga sebaliknya semakin besar diameter
sprue maka semakin kecil pula terjadinya aliran (turbulensi)
yang dapat menyebabkan terjadinya porositas pada produk
coran (Aryadita, 2018).
Hasil level proses diameter sprue terhadap persentase
cacat porositas pada percobaan ini terjadi pada level 3 yang
merupakan nilai yang paling besar yaitu ∅ 70 mm. Hal ini sesuai
dengan teori yang telah dijelaskan diatas. Semakin besarnya diameter
sprue memberikan ruang lebih logam cair bergerak turun yang dapat
meminimalisir terjadinya aliran (turbulensi) sehingga dapat
menurunkan persentase adanya cacat porositas pada produk cor. Pada
97
perhitungan persen kontribusi didapatkan 35,58 % besar kontribusi
pengaruh diameter sprue terhadap percobaan ini sehingga dapat
disimpulkan bahwa diameter Sprue berpengaruh secara
signifikan terhadap persentase cacat porositas produk Idler.
b. Diameter Runner
Runner merupakan saluran yang membawa logam cair
dari sprue menuju rongga (cavity) produk cor. Menurut
penelitian Yussni, dkk (2007), besar ukuran diameter runner
dapat meminimalkan cacat porositas dan meningkatkan sifat
mekanis produk cor. Dengan bertambahnya diameter runner
membuat logam cair pada saat solidifikasi tidak terlalu cepat,
sehingga meminimalisir kemungkinan terjadinya porositas
dalam rongga produk cor karena logam cair mampu memenuhi
rongga secara efektif.
Hasil level proses diameter runner terhadap persentase
cacat porositas pada percobaan ini terjadi pada level 3 yang
merupakan nilai yang paling besar yaitu ∅ 77 mm. Hal ini sesuai
dengan teori yang telah dijelaskan diatas. Namun, pada perhitungan
persen kontribusi didapatkan 0,04 % besar kontribusi pengaruh
diameter sprue terhadap percobaan ini. Hal yang bisa menjadi
penyebab adalah desain runner yang kurang tepat dari segi
bentuk penampangnya yang berupa lingkaran ataupun
menggunakan runner hanya satu saluran. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa diameter runner tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap persentase cacat porositas produk Idler.
c. Diameter Riser
Riser merupakan cadangan logam cair yang berguna
dalam mengisi kembali rongga cetakan bila terjadi penyusutan
akibat solidifikasi, sehingga riser harus membeku lebih lama dari
98
coran dan memiliki modulus riser lebih besar dari modulus
coran. (Tjitro, 2001).
Hasil level proses diameter riser terhadap persentase cacat
porositas pada percobaan ini terjadi pada level 3 yang merupakan
nilai yang paling besar yaitu ∅ 110 mm. Hal ini sesuai dengan teori
yang telah dijelaskan diatas. Pada hasil simulasi menggunakan
software menunjukan riser yang memiliki diameter lebih besar
membeku lebih lama dari coran yang dapat mengurangi adanya
cacat porositas. Pada perhitungan persen kontribusi didapatkan
64,34 % besar kontribusi pengaruh diameter riser terhadap
percobaan ini sehingga dapat disimpulkan bahwa diameter riser
berpengaruh secara signifikan terhadap persentase cacat
porositas produk Idler.
99
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari tugas akhir “Simulasi dan
Optimasi Desain Pengecoran Cetakan Pasir pada Produk Idler
Menggunakan Metode Taguchi” adalah sebagai berikut :
1. Hasil analisa menunjukkan bahwa parameter diameter Sprue
dan diameter Riser memiliki pengaruh secara signifikan
terhadap cacat porositas hasil simulasi pada produk Idler.
Sedangkan parameter diameter Runner tidak memiliki
pengaruh secara signifikan terhadap cacat porositas hasil
simulasi pada produk Idler.
2. Desain sprue, runner dan riser yang paling optimal pada
produk Idler adalah diameter Sprue bernilai ∅ 70 mm,
diameter Runner bernilai ∅ 77 mm dan diameter Riser bernilai
∅ 110 mm.
5.2. Saran
Dalam penulisan tugas akhir ini masih jauh dari kata sempurna
sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk lebih
menyempurnakan penelitian ini. Adapun saran apabila penelitian
dilanjutkan :
1. Menambahkan parameter lain yang dapat mempengaruhi
cacat porositas seperti desain Ingate (Saluran Masuk), desain
venting (Saluran Pembuang Udara) dan lain-lain.
2. Menggunakan faktor dan level yang lebih banyak kemudian
data yang dihasilkan dapat dibandingkan dengan penelitian
ini.
3. Untuk hasil yang lebih maksimal dan tingkat akurasi yang
tinggi bisa dilakukan pengecoran sand casting pada setiap
design cycle (percobaan).
100
Halaman ini sengaja dikosongkan
101
DAFTAR PUSTAKA
Antony J, Antony FJ.(1998). Teaching advanced statistical techniquest industrial
engineers and business managers. Journal of Engineering Design
; 9(1):89-100
Campbell, J., (2003). The New Metallurgy of Cast Metal Castings. 2nd ed.
Burlington: Butterworth-Heinemann.
Coleman, D.E. and Montgomery, D.C. (1993) A Systematic Approach to Planning
for a Designed Industrial Experiment. Technometrics, 35, 1-12.
D.M. Steinberg, W.G. Hunter. (1984) Experimental Design: Review and comment
(with discussion). Technometrics 26, 71-130.
Ishak, Aulia.(2002). Rekayasa Kualitas. Universitas Sumatra Utara, 2:1-24
Max, S. (2010) Perancangan Sistem Saluran cetakan Permanen Pada Logam
Alumunium CC401 Dengan Penuangan Gravity Die Casting, pp. 1–15.
Montgomery, DC. (2002). Design and Analysis of Experiments 5th edition. New
York: John Myers & Sons, Inc.
Prasetyorini, B. F. (2013) ‘Pengaruh Ukuran Perusahaan ...’, 1, pp. 125–130.
Siswanto dkk (2018) Analisis Porositas Dan Kerasan Paduan Al-12,6%Si Dengan
Variasi Waktu Tunggu Dalam Cetakan Dan Media Pendingin Hasil
Pengecoran Evaporative, Jukung Jurnal Teknik Lingkungan, 4(1), pp.
72–81.
Soejanto, I. (2009). Desain Eksperimen dengan Metode Taguchi. Graha Ilmu.
Yogyakarta, Indonesia.
Sudjana. (2002). Desain dan Analisis Eksperimen. Edisi IV. Bandung. Tarsito.
Tjitro, S 2001. Pengaruh Bentuk Riser terhadap Cacat Penyusutan produk Cor
Alumunium Cetakan Pasir.Jurnal Teknik Mesin Vol. 3, No. 2, Oktober
2001:41-46.
102
Wlodawer, R. (1966). Directional Solidification of Steel Castings. Oxford:
Pergamon Press.
WU, C. J. and HAMADA, M. S. (2000). Experiments: Planning, Analysis, and
Optimization 2nd . Wiley, New York
103
Lampiran 1. Tabel Penentuan Diameter Sprue dan Runner
104
Lampiran 2. Tabel Penentuan Diameter Riser
105
Lampiran 3. Heat Thermal Conductivity
106
Lampiran 4. F Tabel untuk level signifikansi (α) 0,05
107
Lampiran 5. Lembar Desain Casting
108
Lampiran 6. Detail Drawing Produk Idler
109
Lampiran 7. Detail Drawing Produk Idler dengan gating system dan riser
110
Halaman sengaja dikosongkan
Scale ( 1 : 5 )
A ( 1 : 1 )
B ( 1 : 1 )
A
B
1
1
2
2
3
3
4
4
5
5
6
6
A A
B B
C C
D D
IDLER 630
Produk Idler
Teknik Permesinan Kapal - D4 Teknik Desain Manufaktur
POLITEKNIK PERKAPALAN NEGERI SURABAYA
Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111 - Telp. 031-5947186 e-mail : [email protected]
Rifky Kurnia Putra
27 Juni 2019
Designed by Checked by Approved byDate
1 / 2
Edition Sheet
Scale
1 : 5
190
630
72
152
590
10
9
50
110
R
1
5
7
200
R
1
3
8
,
6
179
177
42
R
1
0
20
15
R
1
0
150
150
40
R
2
8
100
R
1
4
R
5
10
38
1
2
5
5
5
3
4
95
23,5
548
1
2
3
A ( 1 : 2 )
A-A ( 1 : 2 )
B ( 1 : 2 )
A
A
A
B
1
1
2
2
3
3
4
4
5
5
6
6
A A
B B
C C
D D
IDLER HASIL PERCOBAAN KONFIRMASI
Produk Idler
Teknik Permesinan Kapal - D4 Teknik Desain Manufaktur
POLITEKNIK PERKAPALAN NEGERI SURABAYA
Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111 - Telp. 031-5947186 e-mail : [email protected]
Rifky Kurnia Putra
27 Juni 2019
Designed by Checked by Approved byDate
2 / 2
Edition Sheet
Scale
1 : 5
4
0
0
5
0
Riser
Sprue
Exotermic
Riser
Venting
467
66
R
2
5
211
39
R
5
0
R
2
5
R
2
0
252
85
1
2
0
R
4
5
42
77
275 8
8
7
42
32
42
7
7
70
154
103
10
5
8
2
,
5
5
72
167
R
1
0
0
138
R
4
0
5
3
0
0
209
1
8
5
3
R
1
2
,
5
4
0
150 150
152
140
1
0
0
R
5
0
BIODATA PENULIS
Penulis, Rifky Kurnia Putra lahir di Surabaya, pada tanggal
13 Mei 1997. Penulis merupakan anak kedua dari dua
bersaudara. Pendidikan yang telah dijalani oleh penulis
adalah SDN Kedurus 3 Surabaya (2003-2009), SMP Negeri
21 Surabaya (2009-2012) dan MAN Surabaya (2012-2015).
Setelah itu penulis melanjutkan pendidikan di Jurusan Teknik
Permesinan Kapal dengan program studi Teknik Desain dan Manufaktur melalui
seleksi jalur PMDK-PN dan terdaftar sebagai mahasiswa Politeknik Perkapalan
Negeri Surabaya (PPNS) dengan NRP. 0615040005 pada tahun 2015. Penulis
mengikuti organisasi sebagai staff divisi luar negeri Himpunan Mahasiswa Teknik
Desain dan Manufaktur periode 2016-2017 dan periode 2017-2018. Pada bulan
september sampai dengan desember 2018, penulis mengikuti On The Job Training
(OJT) di PT. Barata Indonesia.
Penulis sangat terbuka dengan adanya kritik dan saran yang membangun
sehingga menjadi pendukung untuk dapat menjadi penulis yang lebih baik lagi.
Penulis dapat dihubungi melalui e-mail [email protected].