115
SENJATA PEMUSNAH MASSAL DAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI KOLONIALIS Alih Bahasa: M. Ramdhan Adhi, dkk.

Senjata Pemusnah Massal

Embed Size (px)

Citation preview

SENJATA PEMUSNAH MASSAL

DAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI

KOLONIALIS

Alih Bahasa: M. Ramdhan Adhi, dkk.

THE WEST’S WEAPONS OF MASS

DESTRUCTION AND COLONIALIST

FOREIGN POLICY

THE ASSESSMENT OF THE MUSLIM COMMUNITY IN BRITAIN

Hizbut Tahrir – Inggris

3 November 2002/25 Sya’ban 1423

Khilafah Publications

www.mindspring.eu.com

Alih Bahasa: M. Ramdhan Adhi Mahardhika Zifana

R. Dian Dia-an Muniroh

Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT) Senjata Pemusnah Massal dan Kebijakan Luar Negeri Kolonialis; Penerjemah, M. Ramdhan Adhi,

dkk.; Penyunting ……………………; Cetakan I Bogor, 2003.

… hlm. ; 14,8 x 21 cm

ISBN …………………………

Judul Asli : THE WEST’S WEAPONS OF MASS DESTRUCTION AND COLONIALIST FOREIGN POLICY – THE ASSESSMENT OF THE MUSLIM COMMUNITY IN BRITAIN

Penulis : Hizbut Tahrir – Inggris Penerbit : Khilafah Publications

Tahun : 2002 M / 1423 H :

Edisi Indonesia Judul : Senjata Pemusnah Massal dan Kebijakan Luar Negeri Kolonialis

Penerjemah : M. Ramdhan Adhi, dkk. Penyunting : A. Saifullah

Penatak letak : Disain Sampul :

Penerbit : Alamat :

Cetakan : I, Maret 2003

Kata Pengantar Hizbut Tahrir – Inggris

Statesmen will invent cheap list, putting blame upon the nation that is attacked, and

every man will be glad of those conscience falsities, and will dilligently study them,

and refuse to examine any refutations of them; and thus he will by-and-by convince

himself that the war is just, and will thank God for the better sleep he enjoys after

this process of grotesque self-deception

(Para negarawan akan membuat daftar murahan, menyalahkan bangsa yang

diserang, dan setiap orang akan merasa senang dengan kesalahan secara sadar

itu, dan ia akan rajin mempelajarinya, serta menolak mengkaji setiap penolakan

atasnya; lantas ia akan terus-menerus meyakinkan dirinya bahwa perang itu adil,

dan akan bersyukur kepada Tuhan atas tidurnya yang lebih nyenyak begitu

selesainya proses penipuan diri sendiri yang demikian fantastis)

[Mark Twain]

Buku ini terbit ketika genderang perang telah ditabuh. Mesin perang AS dan

Inggris bersiap-siap membombardir rakyat Irak yang tak berdosa dalam rangka

perang kolonial dan mengganti rezim bentukan Barat berupa ‘Hamid Karzai versi

Irak’ yang setia.

Pada tanggal 24 September 2002, pemerintah Inggris menerbitkan sebuah

dokumen busuk yang berjudul Iraq’s Weapons of Mass Destruction, yang penuh

propaganda akan tetapi kering dengan fakta. Minimnya fakta itu bukanlah sesuatu

yang mengherankan apabila kita menyimak ucapan Tony Blair pada bulan Agustus

2002, ‘Kami tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi selama 4 tahun

belakangan ini’. Pengakuan atas kebodohannya itu ternyata tidak menyurutkan

langkah untuk menerbitkan ‘dossier of evidence’ (dokumen penuh bukti) tersebut.

Hal ini menunjukkan betapa proses penerbitan dokumen itu tidak lebih dari upaya

untuk menggalang opini publik atas aksi militer terhadap Irak.

Tidaklah mengherankan jika kemudian dokumen yang diterbitkan pemerintah

Inggris tersebut ditanggapi dengan penuh skeptisme dan keraguan, terutama bagi

kalangan Muslim. Mereka sudah sampai pada kesimpulan bahwa ‘perang terhadap

teror’ pada hakikatnya adalah kampanye untuk memperkokoh dan memperkuat

hegemoni dan pengaruh Barat atas negeri-negeri Islam, kaum Muslim, dan sumber

daya alamnya, sebagai upaya represif terhadap setiap bentuk kebangkitan Islam

politik.

Buku kecil ini secara jeli memuat motif-motif sejati di balik serangan AS

terhadap Irak, dengan mengkaji kepentingan strategis, ekonomi, dan politik Barat.

Juga memuat sejarah dunia kontemporer di bawah dominasi ideologi Kapitalisme,

dengan memaparkan penggunaan senjata pemusnah massal oleh Barat, dukungan

Barat terhadap sejumlah penguasa diktator dan tiran yang memiliki reputasi buruk

di sejumlah negara di seluruh penjuru dunia, dengan tanpa mengindahkan

eksistensi PBB dan hukum internasional. Buku ini juga menyajikan sejumlah

dakwaan dan sejarah yang memalukan bagi pemerintahan Barat, ideologi

Kapitalisme dan pandangan kolonialisnya.

Mengumpulkan informasi dan data-data intelijen tentang hal ihwal kebijakan

luar negeri Barat adalah perkara mudah. Rezim Barat-Kapitalis sangat terbuka

dalam menyatakan tujuan riil kebijakan luar negeri mereka. Oleh karena itu, buku

ini mampu menyingkap ‘data-data intelijen secara rinci’. Meskipun seringkali

bersembunyi di balik klaim altruisme, nation building, penegakan HAM dan

demokrasi, akan tetapi tujuan riil kebijakan luar negeri Barat teramat jelas dan

gamblang bagi siapapun.

Selama beberapa dekade, AS berupaya memainkan peranan yang lebih

permanen dalam keamanan kawasan Teluk. Selagi konflik berkepanjangan dengan

Irak memberikan pembenaran, kebutuhan akan hadirnya pasukan AS di Teluk

melebihi isu rezim Saddam Husein. [Rebuilding America’s Defences: Strategies,

Forces and Resources for a New Century].

Eksistensi akan ‘tatanan dunia’ atau hukum internasional, yang mengontrol

hubungan antar negara di dunia, telah berubah menjadi kontrol oleh satu negara,

atau sejumlah kecil negara terhadap negara-negara lain di dunia. Hal ini

mengancam stabilitas internasional dan kedaulatan negara-negara lemah.

Hasilnya, peperangan terjadi dimana-mana hanya karena masalah yang sepele.

Terlebih lagi, tatanan dunia seperti itu memberi kesempatan negara-negara kuat

untuk tanpa sungkan (dan tidak tahu malu) mencampuri masalah dalam negeri dan

tata nilai yang dianut negara lain. Hal ini makin mengokohkan kolonialisme,

arogansi dan tirani, serta perluasan pengaruh dengan memperbudak bangsa-bangsa

lain. Semuanya dilakukan dengan mengatasnamakan hukum internasional dan

tatanan dunia. Jurang antara negara-negara kaya dan miskin, Utara dan Selatan,

Dunia Kesatu dan Dunia Ketiga, menjadi semakin dalam dan lebar.

Walhasil, orang-orang di hampir seluruh dunia, Muslim maupun non-Muslim,

kini menyaksikan sendiri bahwa negara-negara Barat bukanlah sebagai penjaga

kebebasan dan kesempatan (peluang), melainkan penjaga keserakahan dan

kepentingannya sendiri; dengan pengerahan kekuatan militer dan ekonomi yang

menghancurluluhkan kultur negara-negara lain; sebuah bangsa pembajak di darat

maupun di laut, yang semakin kaya di atas penderitaan bangsa-bangsa lain.

Karena itu, ancaman dari negara-negara kolonialis Barat sangat serius dan

nyata di hadapan kita. Upaya mereka mengejar ambisi materialistis di seluruh dunia

harus dihentikan. Setiap orang yang telah memiliki kesadaran wajib untuk melawan

barbarisme Barat.

Buku ini ditutup dengan sebuah pesan yang jelas dan gamblang, yang kini

diemban oleh mayoritas Muslim di seluruh dunia. Sebuah pesan perubahan, bukan

hanya ‘perubahan rezim’, melainkan ‘perubahan ideologi’. Perubahan dalam

tatanan dunia. Sudah saatnya dunia membuang jauh-jauh ideologi Kapitalisme dan

setiap penyakit yang diakibatkan olehnya; untuk kemudian diganti dengan ideologi

yang adil, yang bisa dipahami dan diemban oleh setiap orang di seluruh dunia,

setelah mereka menyaksikan (dan merasakan sendiri) penerapan praktis ideologi

tersebut. Yaitu ideologi Islam.

Komunitas Muslim (Inggris) mengajak Anda mengkaji, memikirkan dan

memperjuangkan perubahan, karena hanya orang-orang yang memiliki kesadaran

saja yang mampu menghentikan Kapitalisme.

Dr. Imran Wahid

3 November 2002 M

28 Sya’ban 1423 H

IKHTISAR

(Executive Summary)

1. Pada tanggal 24 September 2002, pemerintah Inggris menerbitkan dokumen

yang berjudul Iraq’s Weapons of Mass Destruction. Dokumen yang sangat

ditunggu-tunggu banyak orang itu memuat serangkaian mitos dan kebohongan,

seraya mendaur ulang kisah propaganda klasik. Poin-poin berikut ini berupaya

mengemukakan beberapa mitos dan kebohongan tersebut.

2. Inggris dan AS dengan sok alim mengklaim bahwa mereka hanya bermaksud

untuk melucuti persenjataan Irak. Namun, klaim ini bertentangan dengan

ucapan seorang pembantu kebijakan luar negeri senat AS, yang mengatakan,

ketakutan terbesar gedung putih adalah diizinkannya inspektur persenjataan

PBB masuk (ke Irak). [Majalah TIME, edisi 13 Mei 2002].

3. Inggris dan AS berupaya membenarkan perang yang mereka canangkan dengan

argumentasi bahwa mereka hanya bermaksud menggusur rezim yang kejam dan

brutal. Akan tetapi, yang sebenarnya direncanakan oleh Barat adalah

mendudukkan ‘Hamid Karzai’ versi Irak, yang lebih loyal kepada mereka,

bukan untuk menghilangkan penderitaan rakyat Irak. Hal itu dikatakan oleh

Richard Haas pada tahun 1991, pada saat ia bekerja di National Security

Council (kini ia bekerja di Departemen Luar Negeri AS), kebijakan kami

adalah mengenyahkan Saddam, bukan rezimnya. [dalam Andrew Cockburn

dan Patrick Coburn., ‘Out of the Ashes The Resurrection of Saddam

Hussain., hal. 37].

4. AS dan Inggris mengklaim bahwa serangan terhadap Irak dapat dibenarkan

karena Irak tidak mematuhi tim inspeksi persenjataan PBB sejak tahun 1998.

Akan tetapi, justru AS dan sekutunyalah yang memastikan kegagalan tim

inspeksi senjata PBB tersebut. Mereka melakukan hal itu melalui tindakan

provokatif dan memanfaatkan ketua UNSCOM (saat itu) Richard Butler.

Butlerlah, bukannya Irak, yang atas desakan AS menarik inspektur senjata PBB

keluar dari Irak pada bulan Desember 1998, seusai pertemuannya dengan Duta

Besar AS, Peter Burleigh. Butler memerintahkan penarikan tim inspeksi PBB

meskipun ia mengaku bahwa Irak sebenarnya melanggar hanya lima dari tiga

ratus insiden. [Richard Butler., ‘Saddam Defiant’., hal. 224., dan laporan

Associated Press tertanggal 17 Desember 1998]. Butler bahkan tidak

melaporkan penarikan para inspektur itu kepada DK PBB, suatu hal yang

seharusnya ia lakukan. Ketika pemboman atas Irak dimulai, Duta Besar Rusia

untuk PBB mengakui bahwasanya krisis tersebut adalah ‘krisis rekaan’,

sedangkan perwakilan RRC di DK PBB menuding Butler telah memainkan

peran ‘yang tidak terhormat’ dalam konfrontasi itu. [Guardian, 18 Desember

1998].

5. AS dan Inggris mengklaim bahwa tim inspeksi PBB telah gagal dalam

menjalankan misinya, sementara Saddam Husein terus-menerus -dalam bahasa

mereka- ‘main kucing-kucingan’ (cheat and retreat). Satu hal yang tidak

mereka ungkapkan dan luput dalam dokumen pemerintah Inggris adalah fakta

tentang adanya penyusupan terhadap UNSCOM oleh intelijen Barat dan Israel.

Fakta ini diungkap oleh mantan ketua UNSCOM, Rolf Ekeus, pada bulan Juli

2002. Ia mengaku telah ditipu semasa memimpin UNSCOM. Setelah Ekeus

mundur, Scott Ritter, inspektur senjata senior AS, mengatakan bahwa ia bekerja

sama dengan seseorang yang dijuluki ‘Moe Dobbs’. Moe Dobbs adalah staf

‘CIA Special Activites (Operasi Khusus CIA)’ dan spesialis covert operationsi

yang, dengan menggunakan teknologi CIA, menyambungsiarkan informasi

intelijen langsung ke Dewan Keamanan National AS di Fort Meade, untuk

diterjemahkan dan diuraikan isi sandinya. Dalam tulisannya, Ritter juga

mengungkap pertemuannya dengan intelijen Israel dan bagaimana mereka

membekalinya dengan pencari frekuensi dan alat perekam kode komunikasi

dari Irak [Scott Ritter., ‘Endgame’., hal. 135., dan Dilip Hero., ‘Neighbours

Not Friends’., hal. 103-104]. Pertanyaannya adalah, sudikah suatu negara

mengizinkan para inspektur senjata, yang mengaku tim inspeksi PBB, padahal

bekerja untuk agen intelijen asing, masuk secara leluasa ke negerinya sendiri?

6. Inggris dan AS kerap kali berargumentasi bahwa kepemilikan Irak atas senjata

pemusnah massal dan hasrat Irak membuat senjata nuklir menunjukkan

semacam itikad buruk yang harus direspon. Akan tetapi setiap negara atau

bangsa yang licik seperti AS dan Inggris sebenarnya telah mengembangkan

pula senjata tersebut, baik untuk kepentingan pertahanan maupun demi tujuan

kebijakan luar negeri mereka di masa yang akan datang. Sebagaimana dibahas

dalam Bab 1, Barat secara sistematis telah menggunakan senjata pemusnah

massal mereka untuk mencapai tujuannya. Satu hal yang tidak diungkapkan

baik oleh AS maupun Inggris adalah fakta bahwa Irak berada di posisi yang

sulit, yakni menghadapi musuh potensial seperti Israel, serta terancam oleh

kehadiran –dalam jumlah besar– pasukan Barat di Teluk yang beroperasi di

zona larangan terbang. Israel sendiri memiliki senjata nuklir dan

mengembangkan fasilitas produksi gas mustard dan gas syaraf di daerah Sinai

sejak tahun 1982. Anthony Cordesman dan Ahmed Hashim, analis militer AS,

dengan lugas menyatakan, ‘Mengasumsikan bahwa upaya tersebut –yaitu

mengembangkan senjata pemusnah massal– dapat dikaitkan dengan

kelangsungan Saddam Hussein dan elit (partai) Ba’ath adalah hal yang

berbahaya. Mayoritas calon pemimpin Irak memiliki rasa takut dan ambisi

yang sama setidaknya dalam waktu dekat ini. Tidak akan ada pemimpin Irak

yang mampu mengabaikan upaya Iran atau Israel atau tantangan potensial

dari AS dan sekutunya di bagian selatan Teluk’ [Cordesman dan Hashim.,

‘Iraq Sanctions and Beyond’., hal. 336].

7. AS dan Inggris senantiasa menuding rezim Irak telah melakukan tindakan

represif terhadap rakyatnya sendiri, terutama terhadap rakyat Kurdi dan

kelompok Syi’ah. Dalam Bab 3, kami akan mengekspos argumentasi tersebut

dengan menggambarkan kedekatan Barat dengan beberapa ‘world’s worst

leaders’ (para pemimpin terburuk sedunia). Namun, perkara yang bisa dengan

jelas dilihat adalah bahwa AS dan Inggris tidak memiliki kecenderungan

kepada pihak manapun selain kepentingan materi mereka sendiri. Hal ini

terlihat usai Perang Teluk ketika mereka mengabaikan suku Kurdi dan

kelompok Syi’ah yang dibantai. Brigadir Ali, pejabat Irak yang dibuang,

mengatakan, ‘Kami mendapat pesan bahwa Amerika mendukung kami. Tetapi

saya melihat dengan mata kepala sendiri pesawat-pesawat Amerika terbang di

atas helikopter. Kami berharap mereka membantu; kini kami dapat melihat

mereka menyaksikan kepunahan kami di antara Najaf dan Kerbala’ [Andrew

dan Patrick Coburn., ‘Out of the Ashes’., hal. 23].

8. UNICEF menyatakan bahwa sejumlah 500.000 anak-anak Irak tewas akibat

sanksi ekonomi PBB. Namun Inggris dan AS mengklaim bahwa kematian itu

disebabkan kebijakan rezim Irak. Argumentasi itu merupakan upaya sistematis

bangsa Kapitalis dan menunjukkan betapa mereka tidak menghargai nyawa

manusia. Dr. Leon Eisenberg, yang bekerja untuk Harvard Medical School,

menyaksikan bahwa penghancuran pembangkit tenaga listrik pada tahun 1991,

telah ‘menyebabkan terhentinya seluruh sistem penjernihan air dan saluran

distribusinya, mengakibatkan epidemi kolera, demam tipus, dan

gastroenteritis, khususnya pada anak-anak’. Sebuah kelompok studi

internasional yang disponsori oleh UNICEF menyimpulkan, bahwa ‘selama 8

bulan pertama tahun 1991, sekitar 47.000 anak di bawah usia lima tahun

meninggal dunia’ [Len Eisenberg., ‘The Sleep of Reason Produces

Monsters – Human Costs of Economic Sanctions’., New England Journal

of Medicine., 24 April 1997., hal. 1248-1250]. Hal yang sama dinyatakan oleh

Milan Rai, ‘Banyak yang dilakukan ketika cerita (rekaan) tentang inkubator

Kuwait dicuri pasukan Irak. Namun sedikit yang dikatakan tatkala inkubator di

Irak hilang akibat diputusnya pasokan listrik’ [Milan Rai., ‘War Plan Iraq’.,

hal.138].

9. AS dan Inggris mengklaim bahwa serangan terhadap Irak kelak tidak akan

banyak memakan korban warga sipil, dan bahwa serangan terhadap pembangkit

tenaga listrik harus dilakukan mengingat pembangkit tenaga listrik tersebut bisa

dimanfaatkan pasukan bersenjata Irak. Akan tetapi, jika serangan itu nantinya

mengikuti pola tahun 1991, maka kita akan menyaksikan kembali sebuah

bencana kemanusiaan. Mitos bahwa pembangkit tenaga listrik harus dijadikan

sasaran karena berpotensi digunakan untuk kepentingan militer telah ditolak

mentah-mentah oleh kelompok HAM di AS, yaitu Middle East Watch, yang

mengatakan bahwa ‘Beberapa target militer penting langsung diserang pada

awal-awal perang, dan serangan terhadap target militer tersebut seharusnya

sudah menghilangkan keinginan untuk menghancurkan sumber-sumber tenaga

listrik secara simultan meski sebelumnya telah memasoknya’ [Middle East

Watch., ‘Needless Deaths in the Gulf War 1991’., dalam Mark Curtis.,

‘The Ambiguities of Power’., hal. 192]. Serangan terhadap pembangkit

tenaga listrik hanya berdampak kecil bagi militer Irak, akan tetapi berdampak

sangat besar terhadap kematian sejumlah warga sipil khususnya anak-anak,

yang diakibatkan oleh pengaruh penjernihan air. Lalu, untuk apa Bush dan Blair

melakukan hal itu? Jawabannya ada pada ucapan Kolonel John Warden, yang

berbicara seusai perang. Ia adalah kolega Jenderal Buster Glosson, yang terlibat

dalam penyusunan daftar target. ‘Saddam Hussein tidak dapat memulihkan

kembali listriknya. Ia perlu bantuan. Seandainya koalisi PBB memiliki tujuan

politik barangkali dapat dikatakan kepada Saddam, ‘jika Anda menyetujui

beberapa hal, kami akan mengizinkan orang-orang datang dan memperbaiki

listrik Anda’’, ujar Warden [Norman., ‘Sanctions against Iraq’]. Dengan

kata lain, anak-anak Irak harus mati agar Barat dapat meraih pengaruh dan

manfaat ekonomi.

10. AS menuding Irak memiliki keterkaitan dengan serangan dan pemboman 11

September 2001 di New York dan Washington. Bukti yang diajukan atas hal ini

adalah adanya pertemuan pada bulan April 2001 antara Muhammad Atta, yang

mengaku pemimpin aksi 11 September, dengan seorang agen intelijen Irak di

Praha, Republik Ceko. Pada bulan Oktober 2001, menteri dalam negeri

Stanislav Gross mengkonfirmasi ‘fakta’ bahwa Atta berada di Praha pada tahun

2001 dan telah bertemu dengan Samir al-Ani, seorang diplomat Irak. Setelah

itu al-Ani diusir dari Irak karena tindakannya tidak sesuai dengan statusnya.

Menurut sebuah majalah di Jerman, Atta telah memberi instruksi berkenaan

aksi 11 September beberapa waktu sebelumnya, kemudian kembali ke Praha

untuk mengambil sebotol anthraks pada bulan April 2001 [Daily Telegraph, 1

Desember 2001]. Ketika polisi Ceko menuntaskan penyelidikannya, mereka

berkesimpulan tidak ada dokumen yang dapat menunjukkan bahwa Atta telah

mengunjungi Praha pada tahun 2001, meskipun ia memang pernah berkunjung

ke sana dua kali di tahun 2000. Polisi juga mengatakan bahwa ada seorang pria

yang mirip Atta bertemu dengan Samir al-Ani. Pria itu dipanggil ‘Saleh’,

seorang penjual mobil bekas dari Nurenberg, Jerman [Daily Telegraph, 18

Desember 2001]. Kisah di atas, sebagaimana kebanyakan kampanye Barat,

merupakan cerita bohong. Buktinya, majalah TIME pada tanggal 13 Mei 2002

menulis bahwa kisah tersebut ‘tidak dapat dipercaya’, sementara BBC

menyebutkan bahwa pada tanggal pertemuan itu Atta sedang berada di Florida

[BBC Online, 1 Mei 2002]. Meskipun demikian, mitos pertemuan Praha tetap

saja ada di dalam benak setiap orang, dan menjadi bagian penting dari

pertikaian AS–Irak.

11. Dokumen terbitan pemerintah Inggris disusun berdasarkan laporan PBB dan

bukti-bukti dari para pembelot Irak. Salah satu pembelot terkenal yang muncul

di televisi AS setelah peristiwa 11 September adalah Dr. Khidir Hamza, yang

mengaku sebagai kepala program senjata nuklir Irak yang lari dari tanah airnya

pada tahun 1994. Terry Taylor, mantan Inspektur Senjata Inggris yang

mendukung perang baru sekalipun, berkomentar negatif tentang para pembelot

itu dengan mengatakan bahwa ‘mereka cenderung melebih-lebihkan

pengetahuan dan pentingnya diri mereka pribadi demi tunjangan,

perlindungan dan pekerjaan’ [Peter Beaumont, Kamal Ahmed dan Edward

Helmore., ‘Should We Go To War Against Saddam’., Observer., 17 Maret

2002]. Namun AS dan Inggris ingin agar kita percaya bahwa kesaksian para

pembelot merupakan keterangan kunci dalam melawan Irak. Agak

mengherankan, dokumen Inggris tidak mempublikasikan ‘bukti rinci’ atau

menyebutkan ‘sumber-sumber terpercaya’ mereka.

12. Poin terakhir yang perlu kami bantah adalah argumentasi bahwa serangan

terhadap Irak tidak ada hubungannya dengan minyak. Sudah teramat jelas dan

tak dapat disangkal lagi bahwa politik di Timur Tengah sejak akhir PD II

dibentuk oleh politik minyak. Pada bulan September 1945, Lord Altrincham,

seorang menteri Inggris yang tinggal di Timur Tengah, mengatakan bahwa

wilayah Timur Tengah ‘Menawarkan cadangan minyak pelumas dan bahan

bakar terkaya, yang andaikan kita tidak bisa menguasainya, kita tidak boleh

membiarkan kekuatan lain menguasai wilayah itu’ [Altrincham., 2 September

1945 dalam William Roger Louis., ‘Imperialism at Bay’]. AS pun

menyadari pentingnya cadangan minyak ‘sebagai sumber kekuatan strategis

yang menakjubkan, dan salah satu bahan paling berharga dalam sejarah

dunia’ [Dokumen Departemen Luar Negeri AS, tahun 1945, Volume VIII].

Untuk menggambarkan besaran keuntungan dari minyak, AIOC sebagai

cikal-bakal BP (British Pteroleum) mengeruk £170 juta dari Iran selama

periode tahun 1950 saja. Ketika pemerintahan Iran memiliki keberanian untuk

menasionalisasi minyak untuk kebaikan rakyatnya, Pemerintahan Buruh yang

telah menasionalisasi asetnya sendiri merasa geram, sehingga muncul

pernyataan Departemen Luar Negeri, ‘satu-satunya harapan mengenyahkan

Mr. Musadiq (PM Iran saat itu) adalah kudeta, dengan syarat adanya seorang

pemimpin yang kuat untuk mengemban tugas tersebut. Seorang diktator akan

mampu melaksanakan reformasi pemerintahan dan ekonomi serta mengatur

masalah minyak secara lebih rasional’ [Foreign Office Memorandum., Sir F.

Shepherd’s analysis of the Persian situation 28 January 1952. FO

371/98684]. Bagi mereka yang tetap skeptis agaknya cukup menyimak ucapan

Condoleeza Rice, Penasihat Keamanan AS, yang baru-baru ini berbicara dalam

siaran stasiun TV Fox. Saat ditanya tentang masa lalunya sebagai Dewan

Direksi (perusahaan) Chevron, ‘Saya sangat bangga akan hubungan saya

dengan Chevron, dan saya kira sudah seharusnya kita bangga terhadap

perusahaan-perusahaan minyak Amerika yang melakukan eksplorasi di luar

negeri, di dalam negeri, dan yang memastikan bahwa kita memiliki persediaan

energi yang cukup’. Meskipun sudah sedemikian banyak dan gamblangnya

keterangan semacam ini, Bush dan Blair tetap mengatakan bahwa serangan itu

tidak ada hubungannya sama sekali dengan urusan minyak.

Bab I

Barat dan Senjata Pemusnah Massal

Dokumen Inggris menyatakan bahwa Irak positif memiliki senjata

pemusnah massal dan berniat memiliki senjata nuklir. Namun dokumen itu

menutup mata tentang fakta bahwa negara-negara Barat memiliki senjata pemusnah

massal yang jauh lebih besar ketimbang Irak, bahkan lebih dari cukup untuk

menghancurkan seisi bumi. Bab ini menyoroti persenjataan dan senjata pemusnah

massal Barat serta bahaya besar yang dihadapi umat manusia, dan secara gamblang

mengilustrasikan bagaimana Barat secara sistematis dan menyengaja telah

menggunakan ‘senjata terparah sedunia’ (the world’s worst weapons).

1. AS adalah negara pertama di dunia yang mengembangkan bom atom

pada tahun 1945. Pemerintah AS melihat adanya kemungkinan untuk

mengembangkan senjata nuklir yang memiliki daya rusak luar biasa. Sepanjang

tahun 1940-an, mereka telah membelanjakan US$ 2 milyar untuk proyek bom

atom, yang dikenal sebagai Proyek Manhattan; proyek yang menyita pikiran

para ilmuwan dan ahli teknik mereka. Mereka melihat proyek ini sebagai upaya

untuk menjadi negara pertama yang memiliki bom atom karena mereka

menyadari betul kekuatan strategis yang akan mereka miliki di masa depan.

Pada kurun 1940-an, uang US$ 2 milyar kira-kira setara dengan US$ 20 milyar

nilai sekarang. Uji coba pertama bom atom milik AS adalah di kawasan uji

Trinity, dekat Alamogordo, New Mexico. Berdasarkan pengamatan setelah

ledakan, mereka menyimpulkan bahwa kekuatan bom tersebut setara dengan

20.000 ton TNT, jauh lebih dahsyat dari perkiraan semula.

2. Pengamatan atas pengaruh ledakan nuklir. Para ilmuwan AS meneliti hasil

ujicoba ledakan di Trinity, dan berikut ini adalah hasil pengamatan mereka.

Tanah di bawah tempat ledakan terbagi menjadi beberapa tingkat kerusakan.

Sampai radius setengah mil dari hiposenter (pusat ledakan) disebut

vaporization point (fatalitas 98%, tubuh manusia hilang atau terbakar tanpa

dapat dikenali). Di area ini, segala sesuatu hancur. Sedangkan temperaturnya

mencapai 3000-4000 0 C. Sampai radius 1 mil disebut total destruction zone

(fatalitas 90%). Seluruh bangunan di atas permukaan tanah hancur. Sampai

radius 1,75 mil disebut severe blast damage area (fatalitas 65%, cedera 30%).

Bangunan besar runtuh, jembatan dan jalan rusak berat. Sampai radius 2,5 mil

disebut severe heat damage area (fatalitas 50%, cedera 45%). Segala sesuatu

dalam radius ini mengalami semacam luka bakar. Sampai radius 3 mil disebut

severe fire and wind damage areas (fatalitas 15%, cedera 50%). Rumah dan

bangunan lain rusak. Orang-orang terlempar dan mengalami luka bakar dengan

stadium 2 dan 3, itupun jika mereka bertahan hidup.

3. Serangan nuklir terhadap Jepang. Meskipun sudah mendapat gambaran

pasti tentang daya rusak bom tersebut, pemerintah AS tetap memutuskan untuk

menjatuhkan dua bom atom ke kota sipil, Hiroshima dan Nagasaki, Jepang.

Pada saat itu, menurut Konvensi Jenewa, pembantaian secara menyengaja

dengan sasaran warga sipil dalam kondisi perang dianggap ilegal. Adapun

kedua target bom atom yang dinamai ‘Little Boy’ dan ‘Fat Man’ itu sengaja

dipilih karena besarnya ukuran kedua kota itu memungkinkan AS mengetahui

seberapa besar daya rusak bom tersebut.

4. Justifikasi atas serangan ke Jepang. Saat itu ada dua justifikasi yang

digunakan AS untuk menjatuhkan dua bom atom itu. Pertama, invasi darat

akan mengakibatkan korban yang mengerikan sebagaimana perang di Iwo Jima

dan Okinawa. Kedua, perlunya mengakhiri perang secara cepat yang tak

mampu Jepang hindari. Setelah menyerahnya Nazi Jerman pada bulan Mei,

Jepang berada dalam keadaan lemah dan tak berdaya. Akhir tahun 1945, Jepang

tidak memiliki satu pesawatpun, dan para pilot AS leluasa melakukan

pemboman. Tokyo, Nagoya, Osaka, Kobe, Yokohama sudah dihancurkan lebih

dulu. Jepang dapat dikalahkan, dalam arti menyerah, sebagaimana yang kita

ketahui sekarang. Tanggal 13 Mei 1945, Departemen Luar Negeri Jepang

secara resmi memberitahu kepada Rusia bahwa Kaisar ‘menghendaki

perdamaian’ dengan para sekutu. Mengetahui hal tersebut, Bushido, sebutan

militer Jepang, yang memang dituntut untuk selalu tunduk dan patuh secara

mutlak, segera menyerah ketika mengetahui Kaisar mereka telah menyerah.

Rusia mengabaikan manuver diplomatik ini karena alasan strategis.

Berdasarkan perjanjian Yalta, mereka akan berperang melawan Jepang tiga

bulan setelah Jerman menyerah, dan Rusia berhasrat mengambil harta

rampasan perang. Intelijen AS ternyata mengetahui pendekatan diplomatis

Jepang terhadap Moskow tersebut sehingga Proyek Manhattan dipercepat,

karena mereka kuatir Jepang menyerah sebelum dijatuhkan bom. Dua kota

yang dijadikan target bom itu sengaja dibiarkan semasa perang karena

keduanya sudah lebih dulu dipilih sebagai tempat ‘eksperimen’ –kata yang

digunakan oleh Truman dan Mayor Groves (saat itu sebagai Kepala Proyek

Manhattan). Pada bulan Agustus 1945, Presiden Truman berkata perihal

pemboman Hiroshima, ‘Dunia akan menyaksikan bahwa bom atom pertama

dijatuhkan ke Hiroshima, sebuah basis militer. Hal itu kami lakukan dengan

harapan serangan pertama ini sebisa mungkin menghindari korban sipil’. Ia

juga mengatakan, ‘Kami telah mengeluarkan US$ 2 milyar untuk perjudian

ilmiah terbesar dalam sejarah, dan kami menang’. Yang AS capai adalah

sebuah demonstrasi yang secara gamblang memperlihatkan kekuatan baru

mereka dengan mengorbankan 200 ribu nyawa; mayoritas adalah warga sipil;

sebagian tewas seketika dan yang lainnya mati setelah terbakar atau terkena

radiasi. Banyak tokoh militer sekutu menganggap pemboman atas Hiroshima

dan Nagasaki itu sebagai hal yang tidak perlu. Dalam History of Warfare, Field

Marshal Montgomery menulis, ‘Dijatuhkannya dua bom atom ke Jepang pada

bulan Agustus 1945 itu merupakan hal yang tidak perlu, dan saya tidak bisa

menganggap hal itu sebagai hal yang benar, menjatuhkan bom semacam itu

adalah sebuah blunder politik dan contoh nyata tentang turunnya standar

perang modern’. Jenderal Eisenhower, Komandan Tertinggi Sekutu yang di

kemudian hari menjadi presiden AS, mengatakan bahwasanya Jepang ketika itu

sedang berupaya mencari cara untuk menyerah tanpa harus kehilangan muka.

‘Menghantam mereka dengan benda mengerikan itu adalah hal yang tidak

perlu’. Kepala Staf Truman, Admiral Leahy menulis, ‘Saya berpendapat

penggunaan senjata barbar di Hiroshima dan Nagasaki tersebut sama sekali

tidak membantu kita dalam perang melawan Jepang. Jepang sudah lebih dulu

kalah dan siap menyerah karena blokade kita yang efektif dan keberhasilan

pemboman dengan senjata konvensional seperti itu hanya dengan alasan agar

kita menjadi yang pertama menggunakannya, berarti kita telah mengadopsi

standar etik yang hanya lazim di masa Abad Kegelapan (Dark Ages). Saya

tidak diajarkan untuk berperang dengan cara seperti itu, dan perang tidak

dapat dimenangkan dengan membantai wanita dan anak-anak’. Brigadir

Jenderal Carter Clarke (petugas intelijen militer yang bertanggung jawab untuk

menyadap komunikasi Jepang bagi Truman dan penasehatnya) menulis, ‘ketika

kita tidak perlu melakukannya, dan kita tahu kita tidak perlu melakukannya,

dan mereka tahu bahwa kita tahu kita tidak perlu melakukannya, berarti kita

memanfaatkan mereka sebagai eksperimen untuk dua bom atom itu’.

5. Pengembangan bom hidrogen. Tidak puas dengan keampuhan bom atom, AS

mengembangkan bom hidrogen atau bom super. Yaitu bom yang –dalam

bahasa para ilmuwan yang merekomendasikannya ke pemerintah AS– akan

‘memiliki daya ledak tidak terbatas kecuali dalam hal pengirimannya’. Komite

penasehat umum Atomic Energy Commission yang bertanggung jawab atas

pengembangan senjata atom di AS merekomendasikan agar AS tidak

menjalankan program percepatan untuk membuat bom-H (bom hidrogen)

karena, ‘itu bukan senjata, yang biasa digunakan hanya untuk tujuan

menghancurkan instalasi militer atau semi-militer. Penggunaan bom-H jauh

lebih parah ketimbang bom atom, suatu kebijakan yang akan memusnahkan

penduduk sipil’. Posisi militer AS sendiri dalam pengembangan bom hidrogen

dengan gamblang dinyatakan oleh Kepala Staf Gabungan, ‘Pihak AS akan

berada pada keadaan yang amat berat, jika pihak yang berpotensi menjadi

musuh memiliki bom itu sedangkan AS tidak’.

6. Dampak uji nuklir AS. Untuk mengetahui dampak ledakan nuklir terhadap

kapal perang, bangunan, peternakan dan objek lain, serta untuk memperbaiki

dan meningkatkan teknologi senjatanya, AS telah melakukan uji

pengembangan bom atom dan bom-H selama beberapa dekade setelah PD II.

Tempat uji pertama pasca perang yang AS pilih adalah pulau Bikini, di

Samudera Pasifik. Pulau yang merupakan bagian dari kepulauan Marshal

tersebut direbut dari kekuasaan Jepang. Dua tahun setelah mengklaim

kekuasaan atas pulau itu, Commodore Ben H. Wyatt, Gubernur Militer

kepulauan Marshal, melakuan misi perjalanan ke Bikini. Seusai misa gereja

Minggu di bulan Februari 1946, Wyatt mengumpulkan penduduk setempat dan

meminta mereka meninggalkan rumah mereka ‘untuk sementara’ agar AS dapat

menguji bom atom ‘demi kebaikan umat manusia dan mengakhiri setiap

peperangan di dunia’.

7. Raja Juda beserta penduduk Bikini bingung dan tertekan, seraya merundingkan

permintaan AS itu. Akhirnya, Raja Juda berkata pada Wyatt, ‘kami akan pergi

dengan mempercayakan segala sesuatunya kepada Tuhan’. Selama beberapa

dekade penduduk Bikini menderita kekurangan gizi, dipindahkan dari satu

pulau ke pulau lain, terkena radiasi radioaktif –semua masalah yang

diakibatkan pengujian bom oleh AS. Lebih dari lima puluh tahun sejak

dimulainya uji coba bom di pulau Bikini, penduduk pulau masih mengajukan

petisi menuntut AS untuk membayar ganti rugi yang dijanjikan atas kerusakan

tanah dan kehidupan mereka. Tempat uji coba kedua yang AS gunakan adalah

Nevada Proving Ground, di Yucca Flat, kira-kira 65 mil sebelah utara Las

Vegas. Selama tahun 1950-an dan 1960-an, telah dilakuan 90 kali uji coba bom

nukir di gurun Nevada. Pada tahun 1990-an, sebuah lembaga pemerintah AS,

National Cancer Institute (NCI), memeriksa pengaruh uji coba bom itu. Mereka

menyatakan bahwa uji coba bom itu menimbulkan awan buangan radioaktif

hampir ke seluruh wilayah Amerika Serikat. Dan di antara zat berbahaya yang

turut tersebar akibat ledakan adalah isotop yang dikenal dengan iodine-131

(I-131). Partikel radioaktif ini, yang berakumulasi dalam kelenjar gondok

diduga kuat menjadi penyebab kanker. Baru-baru ini NCI memperkirakan

sekitar 10,000-75,000 kasus kanker tiroid di AS disebabkan oleh radioaktif

isotop iodine-131 dari buangan bom-A di Nevada. Selain personel militer yang

terkena radiasi tingkat tinggi di sekitar tempat pengujian, ribuan warga AS

–sesuai arah angin– harus membayar mahal akibat pengujian bom atom

tersebut. Ini menjadi contoh nyata bahwa warga AS telah menjadi korban

senjata pemusnah massal pemerintahnya sendiri.

8. Pengembangan nuklir selama era perang dingin. Pada masa perang dingin,

AS memelopori perlombaan senjata dengan Uni Soviet dan menimbun ribuan

senjata nuklir. Mereka juga mengembangkan berbagai cara untuk menghasilkan

sejumlah persenjataan termasuk: pesawat pembom B-52, beragam tipe rudal

balistik darat antar benua, juga rudal balistik laut. AS pun menempatkan ribuan

senjata nuklir taktis di setiap perbatasan Uni Soviet, di Eropa Barat, Turki,

Korea Selatan, Jepang, dan lain-lain., untuk mempersiapkan kemampuan

serangan pertama dan menghalangi agresi Uni Soviet. Namun, ketika Kuba

mengundang Uni Soviet untuk menempatkan rudal nuklirnya di Kuba dalam

rangka menghambat agresi AS –sejak 1960 AS telah menunjukkan upaya keras

menjatuhkan Fidel Castro dari tampuk kekuasaan– serta merta AS murka dan

mendorong Soviet untuk menarik mundur seluruh rudal dengan ancaman akan

melakukan perang secara habis-habisan.

9. Pengendalian senjata nuklir. Banyak perjanjian pengendalian senjata nuklir

yang telah AS tandatangani, termasuk ‘Strategic Arm Limitation Talks’ (SALT

1 dan SALT 2), ‘Strategic Arms Reduction Treaty’ (START 1 dan START 2),

‘Nuclear Non-Proliferation Treaty’, ‘Comprehensive Test Ban Treaty’,

‘Intermediate Range Nuclear Forces Treaty’ (INF) dan lain-lain. Tetapi,

dengan kemajuan teknologi, akurasi rudal, jangkauan jarak, dan keampuhan

rudal siluman, yang terjadi selama beberapa dekade terakhir, didukung dengan

data hasil uji coba yang begitu lengkap, tidak satupun perjanjian di atas yang

mampu menghambat kemampuan AS untuk melakukan atau mengancam

serangan nuklir terhadap bangsa lain. Beberapa perjanjian itu justru

diberlakukan secara diskriminatif terhadap bangsa-bangsa lain di dunia.

Misalnya, Non-Priliferation Treaty (NPT), yang diberlakukan pada tahun 1970

dan didukung penuh oleh AS, bertujuan membatasi penyebaran senjata nuklir.

Sejumlah 187 negara penandatangan NPT dibagi menjadi dua kategori:

kelompok negara-negara yang memiliki senjata nukir, termasuk AS, Rusia,

Cina, Perancis, Inggris; dan kelompok negara-negara yang tidak memiliki

senjata nuklir. Berdasarkan perjanjian NPT, lima negara pemilik senjata nuklir

berkomitmen untuk berupaya mencapai pelucutan senjata nuklir secara

menyeluruh, sedangkan negara-negara yang tidak memiliki senjata nuklir

bersepakat untuk tidak mengembangkan atau memiliki senjata nuklir. Dengan

keanggotaannya yang hampir mendunia, NPT menjadi perjanjian pengendalian

senjata dengan anggota terbanyak, mengingat hanya Kuba, India, Israel, dan

Pakistan saja yang tidak ikut serta. Jika keempat negara ini ingin berpartisipasi,

mereka akan berstatus sebagaimana negara yang tidak memiliki senjata nuklir,

karena perjanjian itu membatasi status negara pemilik senjata nuklir sebagai

negara yang ‘membuat dan meledakkan sebuah senjata nuklir atau perangkat

ledak nuklir lain sebelum 1 Januari 1967’. Bagi India, Israel, dan Pakistan

–ketiganya dikenal atau dicurigai memiliki senjata nuklir– berpartisipasi dalam

perjanjian tersebut dengan status sebagai negara yang tidak memiliki senjata

nuklir akan mengharuskan mereka untuk melucuti senjata nuklirnya dan

menyerahkan bahan-bahan pembuatan nuklir di bawah perlindungan

internasional. Dengan adanya NPT, setiap negara yang tidak memiliki senjata

nuklir namun berupaya memilikinya, dengan mudah akan dianggap sebagai

‘anak nakal’ dan akan dijadikan sasaran, seperti yang terjadi dengan Irak, Iran

dan Korea Utara baru-baru ini. Sedangkan AS, meski tetap menjadi negara

adidaya tunggal, tetap merasa berhak mengancam negara-negara lain dengan

menggunakan senjata nuklir untuk kali pertama, dalam rangka menghalangi

musuh-musuh potensialnya. Pada prakteknya, tidak satupun dari lima negara

pemilik senjata nuklir yang menunjukkan niat serius melucuti senjata mereka

sebagaimana yang ditetapkan oleh perjanjian. Justru mereka –dipimpin oleh

AS– berupaya mempertahankan kontrol monopoli atas senjata nuklir dengan

mengingkari peraturan yang memayungi seluruh negara anggota, sebuah

bentuk lain dari sikap standar ganda mereka. Sejauh ini, AS melihat NPT hanya

sebagai alat untuk menekan negara-negara berkemampuan nuklir seperti Iran,

Irak, dan Korea Utara, serta sebagai jalan untuk menjaga perkembangan nuklir

Rusia dan Cina, dengan tanpa melakukan langkah-langkah progresif dalam

perkara pelucutan senjatanya sendiri. Bahkan AS berencana mengembangkan

senjata nuklir model baru. Hal ini dilihat sebagai kemunafikan AS. AS baru saja

secara unilateral keluar dari Anti Ballistic Missile Treaty dengan Uni Soviet

untuk mengembangkan ‘sistem pertahanan rudal’, akan tetapi pada saat yang

sama mengutuk Irak dan Korea Utara dengan alasan melanggar perjanjian yang

menetapkan larangan bagi dua negara tersebut untuk membuat senjata nuklir

sendiri.

10. Perkembangan nuklir saat ini dan yang akan datang. Awal tahun 2002, AS

merampungkan suatu tinjauan terhadap strategi nuklir mereka dalam US

Nuclear Posture Review (NPR). Beberapa bagian dalam tinjauan ini

dikemukakan kepada pers AS. NPR meminta agar dibuatkan rencana darurat

(contingency plan) untuk membidik Korea Utara, Iran, Libya, Syria, Rusia, dan

Cina; serta agar AS lebih fleksibel dalam mengembangkan dan menyebarkan

kekuatan nuklir yang dibutuhkan. Salah satu bentuk kefleksibelan itu ialah

dengan melanjutkan kembali pengujian nuklir. Salah satu alasan mengenai

diperlukannya pengujian ini adalah untuk mengembangkan bom dan rudal tipe

baru yang dapat menghancurkan target yang terkubur dalam dan keras. Yaitu

bangunan dan fasilitas yang dapat digunakan sebagai pusat komando dan

kontrol operasi pihak musuh, markas pimpinan atau area penyimpanan senjata

pemusnah massal. Dokumen kebijakan AS lain seperti dari Paul Robinson,

Direktur Sandia National Laboratories, menyerukan pengembangan senjata

nuklir berukuran mini. Saat ini AS tercatat sebagai penandatangan

Comprehensive Test Ban Treaty (CTBT) meski Senat AS belum

meratifikasinya. Dari perkembangan ini terkandung pesan AS bagi seluruh

dunia bahwa AS beritikad mengembangkan senjata nuklir yang lebih canggih

dan akan mengabaikan CTBT demi kepentingannya sendiri. AS pun telah

menyatakan, dalam NPR dan presentasi lain, niat mereka untuk mengenalkan

pertahanan rudal strategis yang mampu menghalau serangan rudal jarak jauh

negara lain. Mereka yakin bahwa sistem pertahanan rudal global akan

menciptakan sebuah tameng yang akan memberi kekebalan bagi AS untuk

secara leluasa beroperasi ke seluruh dunia. Secara militer, hal ini akan membuat

AS dengan mudah menggasak setiap negara lain yang berupaya menyerang AS

dengan menggunakan senjata pemusnah massal dan rudal jarak jauh. Pada

tanggal 13 Desember 2001, AS mengumumkan akan menarik diri dari

Anti-Ballistic Missile Treaty 1972 (ABM), semata-mata karena traktat tersebut

melarang pengujian sistem pertahanan rudal penjelajah antirudal balistik

antarbenua. Untuk anggaran awal, pemerintahan baru AS meminta kenaikan

anggaran sebesar 57% untuk mendanai sistem pertahanan rudal itu, dari 5.3

milyar dolar ke 8.3 milyar dolar, 7.8 milyar di antaranya dari Kongres. Semua

ini mengindikasikan bahwa AS akan semakin ditakuti negara-negara lain,

mengingat AS tengah berupaya menjadikan dirinya kebal dari serangan rudal

nuklir sementara pada saat yang sama AS pun membuat senjata nuklir yang

lebih mumpuni. AS adalah negara yang, seperti telah kita bahas sebelumnya,

tidak mempunyai rasa sesal sedikitpun akan dampak penggunaan senjata

semacam itu terhadap warga sipil tak berdosa.

11. Senjata kimia dan biologi. Dalam era modern, senjata kimia untuk pertama

kalinya digunakan dalam Perang Dunia I oleh Perancis, Jerman, Inggris dan

AS; negara-negara yang kini ramai-ramai menghakimi Irak. Untuk membalas

serangan (gas) klorin yang dilakukan Jerman di sekitar Ypres, Belgia, yang

menewaskan lebih dari 5000 pasukan Sekutu, Inggris lantas membuat senjata

kimianya sendiri. Mayor Charles Foulkes dari Royal Engineers ditunjuk

sebagai ‘penasehat gas’ pertama mereka. Tugasnya adalah mengusahakan

senjata kimia bagi Inggris dalam tempo sesingkat mungkin dengan tanpa

menghiraukan masalah etik. Segera saja setiap ahli kimia Inggris mengerjakan

proyek senjata gas tersebut. Fasilitas Porton Down dibangun dan menjadi

markas proyek senjata kimia Inggris, dengan mempekerjakan lebih dari 1000

orang ilmuwan dan tentara.

12. Dinas Senjata Kimia AS. AS mendirikan Chemical Warfare Service – CWS

(Dinas Persenjataan Kimia) pada pertengahan tahun 1918, dengan Jenderal

Amos A. Fries sebagai direkturnya. Edgewood Arsenal, basis militer di dekat

Baltimore, Maryland, menjadi pusat riset senjata kimia AS yang

mempekerjakan lebih dari 1200 orang asisten teknisi dan 700 orang petugas

yang menguji lebih dari 4000 zat beracun. Dengan 218 bangunan pabrik dan 28

mil rel kereta, Edgewood mampu memproduksi 200.000 bom kimia dan

selongsong per hari. Pada tahun 1918, sekitar seperlima dan sepertiga dari

seluruh selongsong yang ditembakkan diisi zat kimia dari berbagai tipe.

Selama 18 bulan terakhir PD I, satu dari setiap enam korban tewas karena gas

mustard yang sangat ditakuti itu. Gas mustard membakar dan melepuhkan

kulit, lalu korban mati secara perlahan atau sangat lemah karena gas mustard

menguliti selaput lendir pada rongga tenggorokan dan menghambat pernafasan.

‘Secara resmi’, terdapat lebih dari 91.000 kasus kematian dan 1,3 juta korban

akibat senjata gas. Namun para ahli sejarah kini menganggap remeh

angka-angka tersebut.

13. Penggunaan kimia selama masa vakum perang. Penggunaan senjata kimia

tidak hanya terjadi pada PD I. Dalam rangka menunggangi pihak White Army

dalam Perang Sipil Rusia pada tahun 1919, Inggris mempersenjatai mereka

dengan selongsong berisi gas mustard, dan menggunakan ‘M’ Device untuk

memproduksi gumpalan asap arsenik yang disebarkan kepada sang lawan, Red

Army. Inggris memanfaatkan setiap kesempatan untuk menggunakan senjata

mereka. Mayor Foulkes, yang dikirim ke India pada 1919, menekan militer

Inggris agar menggunakan senjata kimia dalam perang melawan Afghanistan,

‘Kelengahan, kurangnya instruksi dan disiplin, dan tiadanya perlindungan

terhadap sebagian wilayah Afghan dan suku-suku di sana akan meningkatkan

korban akibat penggunaan gas mustard di garis depan’. Departemen Perang

Inggris setuju untuk mengirimkan pasokan phosgene dan gas mustard, juga

setuju agar prajurit Inggris dilatih menggunakan seragam anti-gas di Khyber

Pass. Tetapi, hingga kini Tony Blair masih saja ingin menunjukkan bahwa

Pemerintah Inggris adalah salah satu bangsa ‘beradab’ dengan ‘catatan bersih’

dan nilai-nilai luhur ketimbang rezim Saddam di Baghdad.

14. Pembentukan Protokol Jenewa. Seusai Perang Dunia I, kekecewaan terhadap

senjata gas merebak di mana-mana. Pada bulan Mei 1925, dengan dukungan

Liga Bangsa-Bangsa (LBB), diselenggarakan konferensi internasional tentang

perlombaan senjata di Jenewa, Swiss. Konferensi tersebut menghasilkan

Protokol Jenewa, yang berisi larangan penggunaan senjata kimia maupun

biologi sampai kapanpun. Seorang pengamat berkomentar bahwa

‘Penandatanganan Protokol Jenewa 1925 merupakan cerminan prestasi

tertinggi opini publik melawan senjata kimia’. Akan tetapi, menandatangani

pakta tersebut tidak otomatis terikat, karena pemerintah setiap negara masih

harus meratifikasinya. Di AS, CWS menyerang Protokol Jenewa dan mendapat

dukungan dari berbagai organisasi sejenis seperti American Chemical Society

(Masyarakat Kimia Amerika), dan menyatakan bahwa ‘pelarangan senjata

kimia berarti pengabaian metoda manusiawi untuk mengatasi pertempuran

klasik yang mengerikan’. Dihadapkan pada oposisi yang begitu kuat,

Departemen Luar Negeri AS menarik ratifikasi atas Protokol Jenewa. Sebagian

besar negara Eropa meratifikasi Protokol Jenewa, dengan menambahkan

beberapa klausul yang membuat protokol menjadi macan ompong. Salah satu

klausul itu menyatakan bahwa suatu negara tidak terikat dengan protokol

tersebut kecuali negara yang dilawannya juga meratifikasi protokol yang sama.

Klausul lain memberikan hak kepada negara penandatangan untuk balas

menyerang setiap serangan kimia atau biologi dengan senjata yang sama.

Protokol Jenewa pun tidak bisa mencegah penelitian atau penimbunan senjata

biokimia; melainkan hanya melarang untuk lebih dulu menggunakannya.

Pengaruh Protokol Jenewa bukanlah untuk menghentikan pengembangan

senjata biokimia melainkan untuk lebih menjaga kerahasiaan penelitian dan

pengembangan senjata biokimia. Pada tahun 1925, Winston Churchill secara

tidak sengaja membeberkan semuanya ketika ia menulis tentang wabah yang

secara khusus dan disengaja disiapkan untuk manusia dan binatang. Ada Blight

untuk menghancurkan tanaman, Anthraks untuk membunuh kuda dan hewan

ternak, Plague untuk meracuni tidak saja tentara melainkan juga seluruh warga

satu distrik. Semua itu sejalan dengan pencapaian sains militer yang tak

mengenal belas kasihan. Rupanya perang penelitian semacam ini harus tetap

dirahasiakan untuk menghindari oposisi publik.

15. Pembangunan Porton Down di Inggris. Holland Committee yang didirikan

oleh pemerintah Inggris usai PD I untuk mengkaji senjata kimia dan bagaimana

kebijakan Inggris nantinya, telah merekomendasikan agar fasilitas Porton

Down dipertahankan di sebuah markas yang permanen. Agenda Holland

Committee ditambah dengan kajian dan pengembangan senjata kuman di

Porton Down. Holland Committee juga membuat sebuah pengakuan penting.

Dikatakan bahwa, ‘tidak mungkin memisahkan kajian tentang pertahanan dari

gas dengan penggunaan gas sebagai senjata ofensif, mengingat efisiensi sistem

pertahanan sangat bergantung kepada pengetahuan yang akurat tentang

perkembangan yang terjadi atau yang akan terjadi dalam hal penggunaan

senjata tersebut secara ofensif’. Pemerintah Inggris sedari awal mengetahui

bahwasanya tidak akan pernah ada yang namanya penelitian senjata kimia yang

murni defensif. Alhasil, pemerintah membantu para ilmuwan untuk merancang

senjata paling mematikan yang pernah mereka bayangkan, dengan asumsi dasar

pengetahuan akan keampuhan senjata tersebut harus lebih dulu diketahui agar

bisa menyiapkan sistem pertahanannya. Para ilmuwan di pangkalan senjata

rahasia Porton Down mengetahui bahwa mereka berisiko mengorbankan nyawa

para sukarelawan muda yang digunakan sebagai kelinci percobaan dalam

pengujian gas syaraf, demikian menurut para ahli toksikologi. Keluarga setiap

korban dalam eksperimen itu menuduh para ilmuwan sebagai pembunuh.

Menurut Alastair Hay dari Universitas Leeds, catatan taklimat yang dibuat para

ilmuwan di markas Wiltshire menunjukkan bahwa para ilmuwan sebenarnya

menyadari dosis yang diberikan kepada para sukarelawan itu akan berakibat

fatal. ‘Mereka bermain dengan api, mereka memberikan senyawa yang tidak

hanya dapat membunuh satu orang saja, tetapi juga sejumlah orang lain’.

Beberapa sukarelawan yang diberi bayaran dan liburan ekstra atas

partisipasinya dalam pengujian itu, diberitahu bahwa percobaan itu adalah

dalam rangka menemukan obat demam. Menteri Pertahanan berulangkali

menyangkal tuduhan telah menyesatkan para sukarelawan. Sebuah tayangan

dokumenter televisi pada tahun 1999 memperlihatkan salah seorang mantan

‘kelinci perbobaan’, Mike Cox, 68 tahun, dari Southampton, yang berada di

samping sukarelawan Ronald Maddison pada masa kematiannya di kamar gas

tempat pengujian. Program televisi itu juga memperlihatkan kerabat Mr.

Maddison yang berbicara tentang peristiwa yang berlangsung 46 tahun lalu

tersebut. Lilias Clark, saudara perempuan Maddison, berkata, ‘Jika ia tewas

dalam perang, saya bisa mengerti, tapi mati karena hal bodoh yang mereka

(para ilmuwan) tempelkan di lengannya, yang seharusnya tidak Anda lakukan

kepada siapapun, maaf saja, saya pikir mereka telah membunuhnya’.

16. Peran Senjata Kimia dan Biologi dalam PD II. Senjata gas tidak digunakan

selama PD II karena sulit membawa senjata itu tanpa membahayakan pasukan

dan untuk menjaga kemungkinan serangan balasan mengingat negara-negara

kuat waktu itu masing-masing menimbun ratusan ton senjata kimia, khususnya

gas mustard, untuk berjaga-jaga. Inggris membuat bom anthraks untuk kali

pertama pada tahun 1942. Sebuah bom sederhana diisi spora anthraks

diledakkan di Pulau Gruinard di lepas pantai Skotlandia. Domba-domba yang

ada di pulau tersebut pun mati. Sampai kini, Pulau Gruinard tidak dapat

didiami, dan pesawat terbang pun tidak diperkenankan mendarat di sana.

Inggris kemudian memproduksi 5 juta ‘kue anthraks (anthraks cakes)’ untuk

dijatuhkan di Jerman. Rencana Inggris untuk menjatuhkan bom anthraks ke

Jerman diperkirakan akan menewaskan 3 juta orang. Inggris juga

bereksperimen dengan racun mematikan B-IX, atau botulism. AS juga secara

besar-besaran mengembangkan program senjata kumannya selama PD II. Pada

tahun 1940, The US Health and Medical Committee of the Council for National

Defence (Komite Medis dan Kesehatan Dewan Pertahanan Nasional AS) mulai

mempertimbangkan ‘potensi defensif dan ofensif senjata biologi’. George

Merck dari Merck Pharmaceuticals, ditunjuk menjadi dierektur War Research

Service (Dinas Penelitian Perang), yang bertanggung jawab atas penelitian

senjata kuman. Pada tahun 1943, Camp Detrick didirikan di Maryland, dan

langsung menjadi pusat program senjata kuman AS. Antara tahun 1942-1945,

AS menginvestasikan lebih dari US$ 40 juta untuk membangun pabrik dan

peralatan serta mempekerjakan lebih dari 4.000 orang di Camp Detrick; di The

Field Testing Station di Horn Island, Pascagoula, Mississipi; pabrik produksi di

Vigo, Indiana; dan di Dugway Proving Grounds. Di Camp Detrick, anthraks,

tularaemia, plague, tipus, penyakit kuning (yellow fever), dan encephalitis

diujicoba untuk digunakan dalam perang. Juga berbagai jenis kutu beras,

kentang, dan sereal. AS mengkaji kemungkinan menghancurkan panen beras

Jepang dengan senjata kuman. Pada bulan Mei 1944, sebuah paket yang berisi

5000 bom anthraks selesai diproduksi di Camp Detrick. Di Vigo, Indiana, AS

membangun sebuah pabrik yang mampu memproduksi 500.000 bom anthraks

per bulan dan 250.000 bom yang diisi botulism. Untungnya, semua bom itu

tidak pernah digunakan. AS membangun pabrik produksi gas beracun terbesar

di dunia selama PD II, yang mampu menghasilkan 135.000 ton gas beracun.

Berarti 20.000 ton lebih banyak dari total gabungan gas beracun yang

digunakan berbagai negara selama PD I. AS pun mulai mengungguli Inggris

dalam hal senjata kuman.

17. Belajar dari pengalaman Jepang. Usai PD II, George Merck menghendaki

agar program senjata kuman dilanjutkan. Pada tahun 1956, Camp Detrick

berubah menjadi Fort Detrick, sebuah lembaga penelitian dan pengembangan

militer yang bersifat permanen. Disini diproduksi virus dan gas paling

mematikan yang menambah persenjataan AS, termasuk gas syaraf seperti gas

GB dan VX, yang begitu mematikan, sehingga jika kulit kita terkena satu tetes

kecil saja, kita akan mati dalam waktu kurang dari satu menit. Perang Dingin

juga berarti para mantan musuh direhabilitasi dan mendapat biaya perbaikan

dari AS. Ini berarti para kriminal perang Jepang yang telah bereksperimen

mengorbankan jiwa manusia kini terhindar dari tuntutan. Selama pendudukan

Jepang atas Cina yang begitu lama dan brutal antara tahun 1930-an hingga

1940-an, sebuah unit khusus Tentara Jepang yang dikenal dengan Unit 371,

dipimpin oleh Jenderal Ishii Shiro, banyak melakukan tindak kejahatan perang.

Misalnya, mereka menguji efek bom anthraks terhadap manusia dan

menyuntikkan tetanus, cacar, dan plague kepada tentara dan warga sipil Cina.

Dari sejumlah orang yang dipelajari oleh AS pada tahun 1947, anthraks

menewaskan 31 orang, kolera 50 orang, gas mustard 16 orang, plague 106

orang, typhoid 22 orang, dan typhus 9 orang. Serta masih banyak lagi penyakit

yang juga diujicobakan. Rusia menghendaki agar anggota-anggota Unit 371,

termasuk Shiro, diadili. Tetapi AS menjamin kekebalan mereka. Sebagai

imbalan, AS mendapat hasil eksperimen mereka. Sebagaimana yang ditulis ahli

sejarah, Robert Harris dan Jeremy Paxman, ‘AS justru melindungi para

bakteriologis Jepang dari tuntutan kejahatan perang sebagai imbalan atas

data-data eksperimen manusia’. Informasi ini disembunyikan hingga selama 30

tahun setelah perang.

18. Penggunaan senjata kimia dalam Perang Vietnam. Sejak PD I, AS

meluncurkan perang biokimia untuk pertama kalinya dalam perang Vietnam.

AS menggunakan gas CS dan defoliant, seperti Agent Orange, untuk melawan

gerilyawan National Liberation Front. Pada tahun 1970, ‘Operation Ranch

Hand’ menumpahkan 12 juta galon Agent Orange ke Vietnam, menghancurkan

4,5 juta hektar tumbuh-tumbuhan di daerah luar kota dan meracuni tanahnya

selama beberapa tahun. Para pendukung Ranch Hand memiliki slogan khas,

‘only we can prevent forests’. Agent Orange mengandung dioksin, salah satu

bahan kimia penyebab kanker paling mematikan di muka bumi. Digunakannya

Agent Orange oleh AS menimbulkan penderitaan yang mendalam terhadap

rakyat Vietnam dan tentara AS beserta keluarga mereka.

19. Alasan di balik dukungan AS terhadap konvensi senjata biologi dan

kimia. Pada tahun 1972, Presiden Richard Nixon mengumumkan bahwa AS

menghentikan program senjata biologi dan kimia. Hal tersebut dilakukan bukan

karena tujuan kemanusiaan, melainkan karena pemerintahannya telah

menyadari bahwa teknologi yang dibutuhkan dalam memproduksi senjata

semacam itu terlihat akan tersebar demikian luasnya sampai-sampai

pengembangannya tidak akan dapat dihindari. Produksi senjata biokimia akan

jauh lebih murah dan mudah dibandingkan senjata nuklir. Dari sini akan

muncul kesulitan untuk mempertahankan posisi monopolistik terhadap senjata

biokimia tersebut. Segera setelah keputusan AS ini, Biological Weapons

Convention (BWC) ditandatangani pada tanggal 10 April 1972 dan mulai

berlaku terhitung 26 Maret 1975. Sedangkan Chemical Weapons Convention

(CWC) ditandatangani pada tanggal 13 Januari 1993 dan resmi berlaku sejak 29

April 1997. Senasib dengan perjanjian pengendalian senjata nuklir, AS

memperlakukan kedua perjanjian ini secara selektif dan diskriminatif. DK PBB

dapat menyelidiki setiap keluhan, akan tetapi kekuasaan untuk melakukan hal

itu tidak pernah diajukan. Dengan hak veto yang dimilikinya, AS, Inggris,

Perancis, Rusia, dan Cina, mampu memblok setiap keputusan untuk

menyelidiki senjata biologi. Pada bulan Juli lalu, AS menolak penerapan

protokol perjanjian BWC karena dipandang tidak sesuai dengan

kepentingannya.

20. Perkembangan senjata biokimia terkini. Pada tanggal 4 September 2001,

New York Times mengungkapkan bahwa para peneliti sistem pertahanan

biologi CIA, dengan dalih kepentingan defensif, mengujicoba sampel bom

biologi dan membangun fasilitas produksi senjata biologi di Nevada, aktivitas

yang tidak dapat dipisahkan dari penelitian senjata biologi ofensif. AS

merahasiakan aktivitas tersebut dan tidak pula mengungkapkannya dalam

confidence building report kepada BWC. Kajian defensif yang AS lakukan itu

dapat diartikan sebagai pengembangan senjata biologi. Misalnya, serangan

anthraks pada bulan Oktober 2001 di AS, sepertinya diawali oleh ilmuwan

domestik dari ahli laboratorium senjata biologi AS sendiri.

21. Hubungan AS dengan konvensi senjata biokimia. Menurut CWC,

Organisation for the Prohibition of Chemical Weapons dapat melakukan

inspeksi terhadap laboratorium, pabrik dan mempelajari kerusakan yang

ditimbulkan senjata-senjata kimia. AS kemudian memaksa organisasi tersebut

untuk mengganti direkturnya, Jose Bustani. Kesalahan Jose Bustani adalah

keinginannya untuk memeriksa AS sama seperti negara-negara lain yang

diperiksa, dan mengajak Saddam Hussein menandatangani CWC. Amat kontras

dengan sikapnya yang giat memaksa dilakukannya inspeksi terhadap

persenjataan Irak, AS tidak perlu berpikir lama untuk menolak setiap inpeksi

senjata terhadap negaranya sendiri. Pada tahun 1997, Senat AS meluluskan

Chemical Weapons Convention Implementation Act, yang pada Pasal 307-nya

berbunyi: ‘Presiden berhak menolak permintaan dilakukannya inspeksi

terhadap setiap fasilitas di Amerika Serikat bilamana Presiden menganggap

bahwa inspeksi tersebut dapat menimbulkan ancaman bagi kepentingan

keamanan nasional Amerika Serikat’.

22. Dukungan AS terhadap program senjata biokimia Irak. AS juga berperan

dalam pengembangan senjata biokimia. Pada tahun 1998, siaran berita Channel

4 di Inggris mengklaim penemuan dokumen intelijen AS, yang menunjukkan

bahwa sejumlah 14 pengiriman bahan-bahan biologi telah diekspor dari AS ke

Irak. Termasuk 19 paket bakteri anthraks dan 15 paket botulinum, organisme

yang menimbulkan botulisme. Siaran berita itu menunjukkan mereka memiliki

bukti bahwa Irak telah membeli sejumlah toksin setelah Irak menggunakan gas

untuk menyerang perkampungan Kurdi di Halajaba yang menewaskan 5000

orang.

Kesimpulan

Dari paparan di atas, jelas sekali bahwa Barat tidak dapat dipercaya dalam

hal kepemilikan senjata pemusnah massal. Senjata tersebut telah digunakan secara

sistematis oleh Barat terhadap jutaan orang tak berdosa dalam PD I, PD II, Perang

Vietnam dan bahkan terhadap warga mereka sendiri. Hal ini menunjukkan betapa

anak-anak masa kini dan masa depan tidak boleh lagi dijadikan objek pembantaian

Barat, atau dengan meminjam kata-kata Truman, ‘eksperimen’ berikutnya yang

akan mereka hadapi. Kita pun perlu mengingatkan diri kita sendiri akan nilai-nilai

yang muncul dari pemerintahan Kapitalis-Barat dengan menyimak kembali ucapan

Major Foulkes, salah satu arsitek senjata kimia Inggris, tatkala ia dikirim ke India

pada tahun 1919. Sebagai upaya menekan militer Inggris agar menggunakan

senjata kimia dalam perang melawan Afghanistan, ia berargumentasi bahwa

‘‘Kelengahan, kurangnya instruksi dan disiplin, dan tiadanya perlindungan

terhadap sebagian wilayah Afghanistan dan suku-suku di sana akan meningkatkan

korban akibat penggunaan gas mustard di garis depan’.

BAB 2

Barat dan Hukum Internasional

Salah satu poin penting yang dijadikan alasan pembenaran serangan ke Irak

adalah klaim bahwa Irak telah melanggar berbagai hukum internasional dan tidak

menghormati sejumlah resolusi PBB. Bab ini mencoba mengupas kontradiksi Barat

sendiri tehadap hukum internasional, dan fakta bahwa lima negara anggota tetap

DK PBB mempunyai hak veto, sebuah pilihan yang tidak dimiliki negara-negara

lain seperti Irak.

Liga Bangsa-Bangsa dan Perserikatan Bangsa-Bangsa

1. Abad ke-20 mungkin dikenal sebagai Abad Perang. Setelah berlalunya dua

perang dunia yang telah merenggut nyawa sekitar sepuluh juta orang, beberapa

konflik lain menghasilkan kematian bagi jutaan orang lainnya. Entah karena

kehilangan sejumlah besar rakyatnya atau karena adanya tantangan untuk

perimbangan kekuasaan, meletusnya dua perang dunia ditindak lanjuti dengan

adanya upaya dari kekuatan baru dunia untuk bersekutu guna mencegah potensi

konflik selanjutnya. Maka, setelah Perang Dunia I, lahirlah Liga

Bangsa-Bangsa (LBB). Sementara, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lahir

usai Perang Dunia II. Kedua organisasi ini bertujuan untuk menjaga dan

memelihara perdamaian melalui persatuan internasional. Akan tetapi keduanya

telah gagal mencapai tujuan mereka, yakni menciptakan perdamaian dan

keamanan dunia.

2. Liga Bangsa-Bangsa dibentuk segera setelah The Great War (1914-1918).

Presiden AS Woodrow Wilson, adalah salah seorang pemrakarsanya melalui 14

poinnya yang terkenal, termasuk di dalamnya penghapusan diplomasi rahasia

dengan keterbukaan, kebebasan perairan internasional dari peperangan,

penghapusan pembatasan perdagangan internasional bila memungkinkan dan

sebagainya. Sebagai hasil dari LBB, muncullah format baru peta Eropa dan peta

Timur Tengah; Polandia, Yugoslavia dan Cekoslowakia, menjadi batas Eropa

yang baru, dan tentu saja ada peta Timur Tengah yang baru. Irak modern

diciptakan oleh LBB sebagaimana halnya negara-negara baru seperti Palestina,

Syria, dan Libanon. Bagaimanapun, tidak seluruh kekuatan dunia berpartisipasi

dalam LBB; Kongres AS menolak bergabungnya Jerman ke dalam LBB, dan di

tahun 1933, Jerman pun keluar.

3. Di antara seluruh anggota LBB, negara-negara kuat saat itu cenderung lebih

mementingkan urusannya masing-masing; Perancis menduduki Rhineland

untuk menekan Jerman agar membayar kerugian yang mereka derita akibat

perang sebelumnya, dan Italia menduduki Corfu. Keduanya terjadi di tahun

1923. Invasi Italia atas Abbessinia pada tahun 1935, dan selanjutnya perang

saudara di Spanyol yang meletus sejak tahun 1936, lebih mempertegas betapa

impotennya LBB, terutama ketika sanksi yang dijatuhkan terhadap Spanyol

ternyata tidak mampu menghentikan perang saudara di sana.

4. Negara-negara kecil mencoba untuk menggoyang kekuatan para adidaya.

Ketika Eamon de Valera dari Irlandia menjadi Presiden Dewan LBB –cikal

bakal Dewan Keamanan PBB– ia mengusulkan agar LBB memiliki sebuah

pasukan multinasional untuk menghentikan agresi Italia tahun 1935. Ia bahkan

siap menyumbangkan pasukan Irlandia yang berjumlah kecil untuk proyek

tersebut, namun tawarannya tidak memperoleh dukungan dari negara-negara

besar. De Valera pun mengeluh, ‘Kita belum pernah mampu menahan

keinginan kita dengan mengorbankan kepentingan sendiri ketika kepentingan

itu bertentangan dengan keadilan’ [The Independent, 6 Oktober 2002]. Uni

Soviet, anggota sejak tahun 1934, dikeluarkan karena menyerang Finlandia di

tahun 1939. Akhirnya, LBB sama sekali tidak berdaya untuk mencegah

meletusnya Perang Dunia II. Pada tahun 1946, dilakukan voting untuk

membubarkan LBB. Setelah itu, beragam properti dan kelengkapan

organisasinya banyak yang ditransfer ke PBB.

5. Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh

kekuatan utama dunia, dengan tujuan –secara teoritis– menyelesaikan

persengketaan internasional yang berpotensi menimbulkan peperangan, yang

pada gilirannya dapat menyebabkan hilangnya nyawa manusia. PBB juga

mempromosikan nilai-nilai semacam hak asasi manusia, yang sejalan dengan

nilai-nilai kekuatan dunia Barat. Meskipun demikian, terlepas dari eksistensi

organisasinya yang besar dengan perwakilan lebih dari 180 negara anggota

guna memecahkan beragam sengketa internasional secara diplomatis, kekuatan

dunia tetap bermain dan menelikung organisasi ini untuk meraih tujuan mereka

masing-masing. AS, Inggris, Cina, Rusia dan Perancis telah menjadi anggota

tetap Dewan Keamanan PBB, tanpa pemilihan. Mereka memiliki kekuatan

untuk memveto setiap resolusi PBB yang tidak mereka sepakati, sehingga

resolusi itu tidak bisa menjadi hukum. Karena itulah, Anda tidak akan

menemukan resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengutuk invasi AS ke

Panama, penggunaan senjata kimia mereka di Vietnam ataupun pembunuhan

massal yang dilakukan Rusia di Chechnya.

Invasi Irak ke Kuwait tahun 1991 konon melanggar hukum internasional

dan resolusi PBB. Namun, seandainya Kuwait diinvasi oleh salah satu dari lima

anggota tetap Dewan Keamanan, niscaya DK PBB tidak akan mampu berbuat

apa-apa. Konsekuensi dari dimilikinya hak veto oleh lima negara tersebut

adalah mereka dapat membatalkan sebuah resolusi, sekalipun resolusi tersebut

mendapatkan dukungan internasional. AS dikenal paling sering

mempergunakan hak vetonya untuk mencegah resolusi yang bertentangan

dengan kepentingannya sendiri. Akan tetapi, PBB kerap dianggap sebagai

benteng demokrasi dan dasar objektivitas internasional, hingga kini.

6. Beragam resolusi yang ditujukan untuk isu-isu Timur Tengah pun banyak yang

dibatalkan oleh veto AS. Beberapa waktu yang lalu, sebuah majalah Inggris

Economist, mencoba mengilustrasikan tidak adanya standar ganda antara

penggunaan kekuatan terhadap Irak dan kurangnya opsi militer terhadap

negara-negara semacam Israel. Dalam majalah tersebut disebutkan, bahwa

resolusi-resolusi yang digunakan berbeda secara hukum [Economist, halaman

23-25, edisi 12-18 Oktober 2002]. Namun demikian, majalah tersebut luput

melihat fakta bahwa negara-negara semacam Amerika dan Inggris tidak akan

pernah meloloskan resolusi yang memungkinkan dilakukannya upaya militer

untuk menekan Israel, walaupun beberapa kasus pencaplokan tanah, kejahatan

perang dan pembunuhan sistematis terhadap warga sipil terus terjadi. Beberapa

veto AS yang terbaru di antaranya mencakup: usul pengiriman pasukan

perdamaian PBB ke Tepi Barat, Gaza, 2001; tuntutan agar Israel menghentikan

pembangunan pemukiman di sebelah Timur Yerusalem serta pembangunan

berbagai pemukiman serupa di daerah-daerah pendudukan lainnya, 1997;

seruan agar pemerintahan Israel menahan diri untuk tidak melakukan segala

tindakan termasuk perencanaan pembangunan pemukiman, 1997; penegasan

bahwa pengambilalihan tanah yang dilakukan Israel di Yerusalem Timur

adalah tidak sah dan melanggar berbagai resolusi yang dikeluarkan oleh Dewan

Keamanan PBB dan ketetapan yang diatur dalam poin 4 Konvensi Jenewa;

menunjukkan dukungan terhadap proses perdamaian, termasuk Declaration of

Principles 13 September 1993, 1995; rancangan resolusi NAM untuk

menciptakan sebuah komisi yang beranggotakan tiga anggota Dewan

Keamanan PBB ke Rishon Lezion, di mana seorang tentara Israel menembaki

tujuh orang warga Palestina, 1990; daftar ini masih lebih panjang lagi (Lihat

tabel ihwal sejumlah veto yang dikeluarkan AS dan menguntungkan Israel pada

bagian akhir bab ini).

7. Pada musim panas 2002, AS memveto perpanjangan misi di Bosnia karena

takut tentara mereka yang dikirimkan ke sana akan diseret ke International

Criminal Court (Mahkamah Kriminal Internasional) oleh musuh-musuh mereka

[BBC online, 3 Juli 2002]. Ini jelas menunjukkan bahwa manuver yang

dilakukan AS untuk PBB hanya terjadi bilamana hal itu menguntungkan AS.

Bagaimanapun, sikap pilih kasih terhadap hukum internasional merupakan

bagian dan menjadi paket dari kebijakan luar negeri AS. AS senantiasa

menuntut Irak untuk mematuhi hukum internasional, sedangkan AS sendiri

tidak mengindahkannya dan malah menginjak-injak aturan yang sama. Robin

Theurkauf, seorang Visiting Fellow pada Yale University dan istri dari salah

satu korban peristiwa 11 September 2001, mengatakan, ‘Kita yang berada di

AS menyukai hukum internasional dan kita pun ingin negara-negara lain

mematuhinya. Akan tetapi, adalah sebuah kemunafikan yang sangat kentara

ketika kita menuduh negara-negara lain melanggar aturan sementara kita

sendiri secara agresif menolak gagasan untuk tunduk kepada sistem hukum

internasional sebagai bagian dari masyarakat dunia’ [Milan Rai., ‘War Plan

Iraq’., hal. 205].

8. Hak asasi manusia –sebuah istilah yang digunakan secara sangat subjektif–

secara teori diakui sebagai hal yang fundamental oleh PBB dan seperti kita

ketahui, tercantum dalam Pembukaan Piagam PBB: ‘… untuk kembali

menegakkan penghargaan terhadap hak asasi manusia yang fundamental,

dalam martabat dan nilai-nilai kemanusiaan, dalam persamaan hak antara

pria dan wanita serta negara kecil dan besar…’. Tatkala mereka menjajakan

nilai-nilai yang diadopsi oleh PBB kepada seisi dunia, kekuatan dunia semacam

AS, Inggris, Rusia dan yang lain, justru secara terbuka mendukung rezim

penindas rakyat dan pelanggar hak-hak dasar rakyatnya sendiri. Meski kami

telah membuat bab tersendiri untuk membahas topik ini, sangat penting bagi

kita untuk melihat bagaimana PBB melanggar prinsip-prinsip mereka sendiri

dengan tetap bersikap pasif ketika negara-negara kuat melanggar setiap hak

dasar kemanusiaan. Di satu sisi, AS, Inggris dan yang lain menyerukan kepada

dunia agar menaati berbagai nilai ‘universal’. Sementara di sisi lain mereka pun

secara terbuka memberi dukungan moral dan finansial kepada berbagai rezim,

misalnya Mesir dan Uzbekistan yang secara terang-terangan melanggar

hak-hak rakyatnya.

9. Baru-baru ini dalam sebuah konferensi pers bersama dengan Sekjen PBB di

Tashkent, Uzbekistan, Presiden Karimov dengan berang menanggapi

pertanyaan seputar pelanggaran HAM di Uzbekistan. Ia berkata, ‘Saya ingin

menjawab pertanyaan wartawan tadi dengan pertanyaan juga. Katakan pada

saya, adakah satu saja negara di dunia ini yang tidak melanggar HAM?

Mungkin Anda dapat menyebut satu negara yang tidak melanggar HAM atau

yang tidak terbukti melakukan pelanggaran HAM?’ [Reuters, 18 Oktober

2002]. Meskipun rajin mengajarkan nilai-nilai HAM ke seluruh dunia dan

hingga tahun 2001 masih menjadi anggota Dewan HAM PBB, negara Barat

seperti AS tercatat sering melakukan pelanggaran HAM. Laporan sebuah

kelompok HAM menyoroti kasus pelanggaran HAM di penjara-penjara AS

yang melebihi kapasitasnya, termasuk rasisme [CNN, 6 Oktober 1998], juga

rasisme dalam pelaksanaan hukuman mati [Amnesti Internasional, 16

Oktober 2002], dan kebrutalan polisi dalam kasus terkenal, Amado Dialo dan

Rodney King, serta pembinasaan penduduk asli Indian dalam rangka perluasan

wilayah. Dengan fakta-fakta seperti ini, AS dan Inggris, yang masa lalunya

tidak perlu lagi dikomentari, masih berani menceramahi negara seperti Irak

supaya menghormati HAM. Australia pun dilaporkan melanggar hak-hak

pengungsi yang ingin sekadar mencari tempat berlabuh di wilayahnya. Selain

AS dan Inggris, negara besar lain seperti Rusia dan Cina juga memiliki catatan

suram berkenaan dengan HAM. Rusia dengan kasus Chechnya, sedangkan

Cina tersandung kasus di Xinjaing.

10. Berbagai kekerasan yang dilakukan negara-negara kuat, yang juga anggota

PBB, anggota Dewan Keamanan dan anggota Badan HAM PBB,

memperlihatkan pandangan mereka bahwa kepentingan bangsanya sendiri

adalah lebih penting daripada hak asasi manusia, kesejahteraan, pemukiman

atau masalah-masalah kemanusiaan secara umum.

11. Pada tahun 1994, terjadi pembantaian besar-besaran terhadap jutaan orang di

Afrika Tengah. Sekjen PBB Boutros Boutros Ghali menuduh suku Hutu yang

mendominasi angkatan bersenjata Rwanda telah melakukan pembantaian

terhadap suku Tutsi. Ketika peristiwa itu sedang mencapai puncaknya, pasukan

PBB yang memang tidak diperintahkan untuk melindungi warga sipil, tanpa

rasa malu meninggalkan Kigali dan untuk beberapa bulan kemudian, warga

Rwanda –umumnya suku Tutsi– dibantai. Pasukan Rwandan Patriotic Front

memasuki Kigali dan pembantaian pun tak terelakkan. PBB kemudian datang

ke wilayah tersebut. Namun, Boutros Boutros Ghali, Sekjen PBB saat itu,

mengeluhkan minimnya dukungan negara-negara kuat –khususnya AS– dalam

operasi perdamaian PBB. Pembantaian warga Rwanda sebenarnya dapat

dihindari, karena tiga negara anggota PBB (Belgia, Prancis dan AS), dua di

antaranya anggota tetap Dewan Keamanan, sebelumnya telah mengetahui

rencana pembantaian suku Tutsi itu.

Paparan berikut yang disarikan dari biografi Boutros Boutros Ghali

menunjukkan fakta bahwa negara-negara kuat sebelumnya telah mengetahui

pembantaian yang akan terjadi: ‘Jenderal Dalaire telah mengirim telegram

kepada Department of Peace-Keeping Operations (DPKO) (Departemen

Operasi Penjaga Perdamaian PBB), isinya tentang laporan seorang informan

perihal adanya penimbunan senjata yang dilakukan pasukan Hutu untuk

persiapan pembantaian suku Tutsi. Dalaire meminta izin untuk mencoba

menyita senjata tersebut, namun permohonannya ditolak oleh DPKO dengan

alasan bahwa mandat untuk operasi PBB di Rwanda tidak mencakup perkara

semacam itu. Keesokan harinya, 12 Januari 1994, Dalaire, dalam rangka

menjalankan perintah PBB, memberitahu Duta Besar Belgia, Perancis dan AS

tentang informasi tersebut. Dengan kata lain, PBB sebenarnya telah

menginformasikan kabar itu kepada negara-negara kuat yang sebenarnya

dapat bertindak untuk mencegah pembantaian tersebut’ [Boutros Boutros

Ghali., ‘Unvanquished’., 1998]. Sekali lagi, ketidakpedulian negara-negara

kuat yang menguasai PBB telah menimbulkan bencana kemanusiaan. Tidak

seperti Irak, Rwanda tidak memiliki minyak dan terletak di lokasi yang tidak

strategis.

Boutros Boutros Ghali dalam biografinya memaparkan masalah yang

terjadi di PBB tersebut. ‘Belum lama ini seluruh dunia mengira mampu

mengetahui dan mencegah pembunuhan massal. ‘Takkan lagi’ adalah kata

yang paling tepat. Namun pembantaian kembali terjadi; di Kamboja, saat lebih

dari satu juta korban jatuh di tangan Khmer Merah; di bekas wilayah

Yugoslavia, saat terjadi pembantaian yang termasyhur sebagai ‘pembersihan

etnis’; di Somalia, ketika terjadi genosida akibat perang saudara yang telah

membuat terhambatnya bantuan untuk rakyat yang kelaparan dan menderita

sakit, serta ketika 350.000 orang mati sebelum Dewan Keamanan memutuskan

untuk turun tangan. Di Rwanda, hampir satu juta orang terbunuh akibat

genosida, namun Dewan Keamanan PBB tidak melakukan apapun’

[Boutros-Boutros Ghali., ‘Unvanquished’., 1998].

12. Dalam Earth Summit terakhir di Johannesburg, masalah kesenjangan antara

dunia kesatu dan dunia ketiga menjadi sorotan. Juga terungkap upaya

negara-negara kuat menghindari masalah lingkungan hidup dan target bantuan

dunia ketiga. Keengganan negara-negara maju ini adalah sebuah cerita lama

mengingat dalam Earth Summit sebelumnya di Rio, Brazil, pada tahun 1992,

hal ini telah terlihat. Ketika itu negara-negara anggota PBB berikrar untuk

memperbaiki lingkungan dunia dengan mengurangi kebiasaan mengkonsumsi

sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Beberapa negara anggota

yang menghadiri pertemuan tersebut telah mengkhianati ikrar mereka sendiri

dan gagal menerapkan atau meratifikasi undang-undang atau kebijakan yang

diperlukan.

13. Seorang juru bicara WWF mengatakan bahwa pemerintahan AS yang dipimpin

oleh Bush serta Kanada dan Australia berupaya keras agar proses itu tidak

menghasilkan sesuatu yang positif. ‘Mereka benar-benar menghalang-halangi

setiap kemajuan dalam hal rencana aksi konkrit dan ini menimbulkan sebuah

efek domino yang menakutkan’ [CNN, 7 Juni 2002]. Sepuluh tahun kemudian,

muncul banyak kritik atas nihilnya ketercapaian tujuan yang dicanangkan

dalam pertemuan Rio. Beberapa negara anggota telah mengkhianati janji

mereka sendiri, gagal mengimplementasikan atau meratifikasi undang-undang

atau kebijakan yang diperlukan. Subsidi yang diberikan oleh negara-negara

maju untuk para petani lokal merupakan isu lain yang berkembang. Menurut

Bank Dunia, subsidi untuk para petani di Eropa dan AS secara keseluruhan

mencapai US$ 1 milyar per hari, benar-benar tidak mempedulikan jatah para

produsen yang berasal dari negara-negara berkembang [AFP, 28 Agustus

2002].

14. Akibatnya, para ahli lingkungan mengkritik kebijakan negara-negara besar,

khususnya AS. Bahkan ada yang memprotes serta mencemooh pidato Menteri

Luar Negeri AS, Colin Powell, pada Earth Summit di Johannesburg. Vandana

Shiva, pendiri India’s Research Foundation for Science, Technology and

Ecology, menuding, ‘AS tidak memiliki strategi’. Berkenaan dengan masalah

privatisasi, ia katakan, ‘Mereka ingin agar kita menutup mata dan berkata:

‘serahkan semuanya kepada pasar’, dan itu tidak terjadi’ [Washington Post,

30 Agustus 2002]. Politisi dari Partai Republik, George Miller (distrik

California), yang menghadiri pertemuan Johannesburg, ikut mengkritik

kebijakan pemerintahan Bush. ‘Pemerintah AS telah menjadi penghambat

dalam upaya mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan’, ujarnya

[Washington Post, 30 Agustus 2002].

15. Pemerintah AS menolak disalahkan dan malah melimpahkan tanggung jawab

kepada negara-negara dunia ketiga. Menteri Luar Negeri AS, Colin Powell,

mengkritik Zambia yang menolak bantuan pangan dari AS, termasuk di

dalamnya bijih padi hasil modifikasi genetik yang akan menguntungkan

perusahaan-perusahaan AS. Rezim AS yang sama telah menolak penambahan

bantuan untuk negara dunia ketiga, seraya menjajah mereka melalui berbagai

lembaga semacam IMF dan Bank Dunia. AS juga menolak sebuah resolusi

pertemuan dunia PBB di Monterrey awal tahun ini yang bertujuan untuk

meningkatkan target bantuan kepada negara-negara dunia ketiga menjadi

sebesar 0,7% dari pendapatan nasional negara maju. Washington telah menjadi

salah satu dari donor paling kikir –meski menjadi negara dengan perekonomian

terkuat– yaitu hanya mencurahkan 0,1% dari pengeluaran nasionalnya untuk

bantuan internasional [The Guardian, 23 Januari 2002]. Sebelum pertemuan

itu berlangsung, AS berupaya menghilangkan setiap penyebutan tujuan

pembangunan yang telah disepakati secara internasional dan menentang

pendapat bahwa negara maju harus memenuhi target PBB perihal alokasi 0,7%

dari pendapatan nasionalnya untuk bantuan internasional.

16. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sepanjang dekade 1990-an AS

menunggak iuran ke PBB. Pada saat AS mulai melunasi utangnya ke PBB, nilai

yang harus mereka bayar sudah sebesar US$ 1,5 milyar. Alasan AS untuk tidak

membayar secepatnya tidak berhubungan dengan kesulitan finansial,

mengingat sepanjang tahun 1990-an mereka mengalami ledakan ekonomi

berkat dot com mania. Dihadapkan pada resiko kehilangan hak suara mereka

dalam Majelis Tinggi PBB dan semakin melemahnya pengaruh mereka di PBB,

Washington segera menyetorkan sedikit uang pada tahun 1999. Namun

Washington memang gemar melakukan segala sesuatu dengan caranya sendiri

dan mereka menolak keras membayar tambahan biaya penjagaan perdamaian;

juga telah menahan uang untuk beberapa proyek yang AS anggap mubazir atau

tidak jelas, dan meributkan jumlah pajak yang dibayarkan PBB bagi para

pekerja Amerika dalam program penyetaraan pajak [New York Times, 28 Juni

1998].

Kesimpulan

Lembaga-lembaga internasional semacam PBB dan IMF merupakan

organ-organ imperialis yang dirancang untuk menjajah negara-negara berkembang,

termasuk negeri-negeri muslim. Syariat Islam melarang kaum Muslim untuk

menggantungkan nasibnya pada lembaga-lembaga seperti itu secara politis dan

pemerintahan, dalam bentuk apapun. Namun, seperti yang telah digambarkan

dalam bab ini, bangsa-bangsa semacam AS dan Inggris tidak meyakini bahwa

konsep hukum internasional harus ditegakkan di atas kepentingan negara manapun.

Karena itulah upaya pembenaran perang terhadap Irak dengan menggunakan

argumentasi pelanggaran Irak terhadap hukum internasional, menemui kegagalan.

Sangat jelas bahwa penyalahgunaan PBB oleh sekutu merupakan sebuah langkah

taktis, bukan strategis, yang menjadi alasan mengapa mereka selalu bergerak di

jalur unilateral sebagai sebuah opsi yang tetap ada. Karenanya, kecenderungan dan

determinasi untuk beraksi secara unilateral merupakan sebuah ujung final dalam

peti mati bagi mereka yang berpendapat bahwa perdebatan ini berkisar pada

kedudukan PBB dan hukum internasional.

Veto AS terhadap berbagai Resolusi Penting

tentang Israel – (1972-2002)

Veto: 1972-1982

Masalah Tanggal

Pertemuan

Perwakilan

AS yang

Memveto

Hasil Voting

Palestina: Masalah

Syria-Libanon. Tiga draft

resolusi 2/10784

10-9-1972 Bush 13-1,1

Palestina: Pemeriksaan

situasi Timur Tengah.

Berkekuatan 8 draft resolusi

(S/10974)

2-7-1973 Scali 13-1,0 (Cina

tidak

berpartisipasi

)

Palestina: Masalah Mesir

lawan Libanon.

Berkekuatan 5 draft resolusi

(S/11898)

8-12-1975 Moynihan 13-1,1

Palestina: Masalah Timur

Tengah, termasuk

pertanyaan di seputar warga

Palestina. Berkekuatan 6

draft resolusi (S/11940)

26-1-1976 Moynihan 9-1,3 (Cina &

Libya tidak

berpartrisipas

i)

Palestina: situasi di daerah

Pendudukan Arab.

Berkekuatan 5 draft

resolusi. (S/12022)

25-3-1976 Scranton 14-1,0

Palestina: Laporan dari

Komisi Hak-hak Warga

29-6-1976 Sherer 10-1,4

Palestina. Berkekuatan 4

draft resolusi. (S/121119)

Palestina: Hak-hak warga

Palestina. Draft resolusi

Tunisia. (S/13911)

30-4-1980 McHenry 10-1,4

Palestina: Dataran tinggi

Golan. Draft resolusi

Yordania. (S/14832 Rev.2)

20-1-1982 Kirkpatrick 9-1,5

Palestina: Situasi di daerah

pendudukan. Draft resolusi

Yordania. (S/14943)

2-4-1982 Lichenstein 13-1,1

Palestina: Insiden Kubah

Batu di Yerusalem.

Berkekuatan 4 draft

resolusi.

20-4-1982 Kirkpatrick 14-1,0

Palestina: Konflik Libanon.

Draft resolusi Spanyol.

(S/15185)

8-6-1982 Kirkpatrick 14-1,0

Palestina: Konflik Libanon.

Draft resolusi Perancis.

(S/15255/Rev.2)

26-6-1982 Lichenstein 14-1

Palestina: Konflik Libanon.

Draft resolusi Uni Soviet.

(S/15347/Rev. 1, dilakukan

secara lisan)

8-6-1982 Lichenstein 11-1,3

Palestina: Situasi di daerah

Pendudukan. Berkekuatan

20 Draft resolusi. (S/15895)

8-2-1983 Lichenstein 13-1,1

Veto-veto dalam Dewan Keamanan PBB/Hasil Voting

Negatif sejak 1983 – sekarang

Subyek Tanggal Hasil Voting

Libanon Selatan: Memberi sanksi atas

aksi Israel di Libanon Selatan. S/16732.

6-9-1984 Diveto: 13-1 (AS),

dengan 1 abstain

(Inggris)

Daerah Pendudukan: mengecam keras

‘Kekerasan Terencana’ oleh Israel

terhadap warga Arab. S/19459.

13-9-1985 Diveto: 10-1 (AS),

dengan 4 abstain

(Australia, Denmark,

Inggris, Prancis)

Libanon: Memberi sanksi atas kekerasan

Israel terhadap warga di Libanon Selatan.

S/17000.

12-3-1985 Diveto: 11-1 (AS),

dengan 3 abstain

(Australia, Denmark,

Inggris)

Daerah pendudukan: Menyeru Israel agar

menghargai tempat-tempat suci umat

Islam. S/17769/Rev. 1

30-1-1986 Diveto: 11-1 (AS),

dengan 1 abstain

(Thailand)

Libanon: Memberi sanksi atas kekerasan

Israel terhadap warga di Libanon Selatan.

S/17730/Rev.2.

17-1-1986 Diveto: 11-1 (AS),

dengan 3 abstain

(Australia, Denmark,

Inggris)

Libya/Israel: Memberi sanksi kepada

Israel atas penangkapan pesawat Libya.

S/17796/Rev.1

6-2-1986 Diveto: 10-1 (AS),

dengan 4 abstain

(Australia, Denmark,

Prancis, Inggris)

Libanon: Draft untuk mengecam keras

serangan berulang-kali Israel terhadap

wilayah Libanon dan pelanggaran lain

serta praktek kekerasan terhadap

18-1-1988 Diveto: 13-1 (AS),

dengan 1 abstain

(Inggris)

penduduk; (S/19434)

Libanon: Draft pemberian sanksi kepada

Israel atas invasi terhadap Libanon

Selatan dan kembali menyerukan

penarikan seluruh tentara Israel dari

wilayah Libanon secepatnya; (S/19868)

10-5-1988 Diveto: 14-1 (AS)

Libanon: Draft mengecam keras serangan

Israel terhadap wilayah Libanon pada 9

Desember 1988; (S/20322)

14-12-1988 Diveto: 14-1 (AS)

Daerah Pendudukan: Draft menyeru

Israel agar menerima ketetapan de jure

konvensi Jenewa ke-4; (S/19466)

1988 Diveto: 14-1 (AS)

Daerah Pendudukan: Draft menekan

Israel agar tetap mematuhi ketetapan

konvensi Jenewa ke-4, menarik

keputusan pendeportasian warga sipil

Palestina, serta memberi sanksi atas

kebijakan dan tindakan Israel yang

melanggar hak-hak Asasi manusia warga

Palestina di daerah pendudukan;

(S/19780)

1988 Diveto: 14-1 (AS)

Daerah pendudukan: Mengecam keras

tindakan dan kebijakan Israel di daerah

pendudukan, serta mengecam keras

ketidakpatuhan Israel terhadap berbagai

keputusan Dewan Keamanan PBB.

17-2-1989 Diveto: 14-1 (AS)

Daerah pendudukan: Memberi sanksi atas

kebijakan dan tindakan Israel di daerah

pendudukan

9-6-1989 Diveto: 14-1 (AS)

Daerah pendudukan: Memberi sanksi atas

kebijakan dan tindakan Israel di daerah

pendudukan

7-11-1989 Diveto: 14-1 (AS)

Daerah pendudukan: Draft resolusi NAM

untuk menciptakan sebuah komisi dan

mengirim tiga anggota Dewan Keamanan

ke Rishon Lezion, tempat di mana

seorang Israel yang bersenjata

menembaki tujuh orang pekerja Palestina.

31-5-1990 Diveto: 14-1 (AS)

Daerah pendudukan: Pernyataan bahwa

tindakan pengambilalihan tanah yang

dilakukan Israel di Yerusalem timur

adalah tidak sah dan melanggar berbagai

resolusi Dewan Keamanan serta

ketetapan konvensi Jenewa ke-4;

memberikan dukungan terhadap proses

perdamaian, termasuk Deklarasi Prinsip

13-9-1993

17-5-1995 Diveto: 14-1 (AS)

Timur Tengah: Menyeru Pemerintah

Israel agar menahan diri untuk tidak

melakukan tindakan atau rencana,

termasuk aktivitas pembangunan

pemukiman

7-3-1997 Diveto: 14-1 (AS)

Timur Tengah: Meminta Israel

menghentikan konstruksi pemukiman di

Yerusalem timur (tempat yang dinamai

Jabal Abu Ghneim oleh orang Palestina

atau Har Homa oleh orang Israel), beserta

seluruh aktivitas pembangunan

pemukiman di wilayah pendudukan

21-3-1997 Diveto: 13-1,1 (AS)

Menghadirkan pasukan pengamat PBB di

tepi Barat, Gaza

27-3-2001 Diveto: 9-1 (AS),

dengan empat abstain

(Inggris, Prancis,

Irlandia dan

Norwegia)

Memberikan sanksi atas tindakan teror,

meminta untuk menghentikan kekerasan

dan meningkatkan mekanisme

monitoring untuk menghadirkan para

pengamat.

15-12-2001 Diveto: 12-1 (AS),

dengan dua abstain

(Inggris dan

Norwegia)

[Sumber: Departemen Luar Negeri AS]

BAB 3

Barat dan Rezim Diktator

Dokumen pemerintah Inggris berupaya keras menjustifikasi perang dengan

menjadikan rezim represif Saddam Hussein sebagai alasan. Walau demikian, sedari

dulu sudah ada asosiasi buruk antara negara-negara Barat yang ‘terpilih secara

demokratis’ dengan ‘rezim-rezim diktator’ di dunia. Ketika manfaat menjadi

aksioma dijalankannya politik Barat, maka segala macam hukum internasional,

prinsip-prinsip dan kebijakan ‘etis’ luar negeri dapat disingkirkan dengan mudah.

Sehingga, bukan merupakan suatu kejutan ketika Inggris dan AS berada di garis

terdepan dalam membangun aliansi dengan berbagai rezim diktator paling brutal

sepanjang abad yang lalu dan yang masih berlanjut hingga kini. Banyak contoh

yang memperlihatkan bagaimana mereka mendudukkan, mendukung dan

menjatuhkan pemimpin sebuah negara berdasarkan kepentingan nasional mereka.

Aliansi mereka dengan berbagai rezim tercipta di bawah eufimisme yang

berhubungan dengan strategi, geopolitik dan semacamnya. Bab ini mencoba

menapaktilasi keterkaitan Barat dengan rezim-rezim diktator dan selanjutnya

membuktikan bagaimana mereka berkolusi dan mendukung aktivitas despotisme

yang brutal. Anda, sidang pembaca, harus menyadari sepenuhnya bahwa AS dan

Inggris senantiasa memunculkan sejumlah premis kosong untuk memberlakukan

berbagai hukum dan standar terhadap seluruh negara di dunia.

Terrorists become any foreign people you don’t like

(Kini teroris adalah setiap orang asing yang tidak Anda sukai).

[Frank Furedi]

If the Nurenberg laws were applied today, then every Post-War American President

would have to be hanged

(Andaikata hukum Nurenberg diberlakukan sekarang, maka setiap Presiden AS

pasca perang harus digantung).

[Noam Chomsky]

1. Daftar para diktator, di mana Barat turut membantu dan bersekongkol dengan

mereka, sangatlah panjang dan terkenal. Bisa jadi kita perlu sebuah dokumen

tersendiri jika ingin mengkaji semuanya secara utuh. Sekadar informasi saja,

berikut ini daftar para dikatator yang kami buat.

Sani Abacha

Daniel Arap Moi

Jerry Rawlings

Yoweri Museveni

Muammar Khaddafi

Gamal Abdul Nasser

Anwar Sadat

Hosni Mubarak

Islam Karimov

Adeeb Shishkaly

Hosni As Zaim

Abdul Kareem Kassem

Hafez Al Asad

Jenderal Ayub Khan

Jenderal Yahya Khan

Jenderal Zia ul Haq

Jenderal Pervaiz Musharraf

Jenderal Suharto

Ferdinand Marcos

Pol Pot

Josef Stalin

Adolf Hitler

Jenderal Augustine Pinochet

Reza Pahlevi – Shah Iran

Mobuto Sese Seko

Laurent Kabila

Robert Mugabe

Saddam Hussein

2. Agaknya sejarah akan menempatkan Josef Stalin dan Adolf Hitler di antara

para pembunuh massal dan tirani pada zaman kita. Jumlah orang yang mereka

bunuh berada pada kisaran jutaan dan itu pun baru perkiraan. Bagaimanapun,

pihak Baratlah yang telah memberi mereka peluang untuk tampil ke pentas

dunia sekaligus membantu kejahatan yang mereka lakukan.

3. Pernyataan George W. Bush bahwa ‘Diktator Irak adalah murid Stalin,’

merupakan sesuatu yang ironis. Hal ini mengingat Baratlah, khususnya AS,

yang menjalin dan menciptakan persekutuan dengan diktator –yang secara

historis tidak diragukan lagi– paling brutal sepanjang Perang Dunia II itu.

Nama Josef Stalin akan selalu dikenang dalam sejarah sebagai diktator terbrutal

di zaman ini. Pada tahun 1932, ia memerintahkan untuk membuat bangsa

Ukraina kelaparan agar mau menjalankan program kolektivisasi dan

menanggalkan nasionalisme mereka. Setidaknya 8 juta orang Ukraina dibunuh,

sementara yang lain terpaksa menjalankan praktek kanibalisme. Sejak tahun

1917 hingga kematian Stalin di tahun 1953, Uni Soviet telah menembaki,

menyiksa, mengusir, membekukan dan semacamnya hingga menewaskan lebih

dari 40 juta orang rakyatnya. Beberapa sejarawan Rusia bahkan mengklaim

bahwa jumlah yang sebenarnya adalah lebih dari itu. Akan tetapi, hal itu tidak

menghentikan Barat untuk tetap menjalin persahabatan dan memberikan

bantuan sepanjang Perang Dunia II atas dasar ‘greater good’ (kemaslahatan

yang lebih besar).

4. Fenomena tentang hubungan Presiden AS Roosevelt dengan Stalin telah

dikenal luas. Dalam bukunya, ‘From Chronicles of Wasted Time: Number 2

The Infernal Grove’, penulis Inggris Malcolm Muggeridge di halaman 199

menulis: ‘Roosevelt… melakukan apapun yang dapat ia lakukan untuk

memastikan bahwa, ketika Jerman kalah, Stalin dengan mudahnya menduduki

dan menguasai berbagai negara bersama dengan sekutu-sekutunya…. Dan

ahli spionase muda kita (semacam Kim Philby dan lain-lain) telah

menunjukkan maksud yang sama dengan mengatur agar, di negara yang jauh,

dia (Stalin) diberi pasukan dengan persenjataan yang lengkap, keuangan yang

besar dan pasukan bawah tanah yang terorganisasi dengan baik’. AS melihat

bahwa partisipasi Rusia sangat krusial untuk membentuk tatanan dunia pasca

perang dan karenanya, menjalin perjanjian dengan Stalin dipandang sebagai

strategi imperatif yang sangat esensial. Harry Hopkins, ajudan terdekat

Roosevelt, merefleksikan pemikiran sang presiden itu dalam tulisan yang

dibuatnya: ‘Kita tidak dapat mengatur dunia antara Inggris dan kita begitu

saja tanpa menyertakan Rusia sebagai mitra sejajar. Untuk itu, jika urusan

dengan Chiang Kai Sek berjalan dengan baik, aku pun akan menyertakan

Cina’. Di antara para pembesar Inggris pun ada yang cenderung mengagumi

sang pembantai hampir 20 juta orang tersebut. ‘Bila aku harus menyusun

sebuah tim negosiasi, Stalin akan menjadi pilihan pertamaku,’ ucap Anthony

Eden, Menteri Luar Negeri Inggris. Dalam sebuah pertemuan di Teheran pada

tahun 1943, Churchil berkata, ‘Marshal Stalin berhak mengambil tempat di

antara tokoh-tokoh besar dalam sejarah Rusia, dan layak disebut sebagai

‘Stalin yang Agung’’ [Edward Radzinsky, ‘Stalin’].

5. Alvin Finkel dan Clement Leibovitz mengupas keterlibatan Inggris dengan

Nazi dalam karya tentang Nazi yang baru terbit, ‘The Chamberlain-Hitler

Collusion’. Sang penulis menyodorkan berbagai bukti tertulis untuk

meyakinkan bahwa pada kenyataannya para penguasa Inggris tidak

menemukan sesuatu yang perlu dibenci dari Nazi. Ini bertentangan dengan

kepercayaan yang lazim bahwa Inggris boleh berbangga hati dengan perannya

saat Perang Dunia II di mana seluruh rakyat bersatu untuk mempertahankan

demokrasi dan hak-hak negara-negara kecil, dan untuk mengalahkan tirani

Fasisme. Penguasa Inggris justru menyambut baik rezim Hitler (seperti yang

mereka lakukan terhadap rezim Franco dan Mussolini), mendukung Jerman

untuk kembali mempersenjatai diri, dan sangat berharap untuk bersekutu

dengan Jerman hingga tahun 1939. Buku tersebut menghapus anggapan bahwa

Chamberlain mengharapkan sebuah kesepakatan dengan Hitler karena dia

sangat naif atau ingin menghindari pertumpahan darah. Sir Neville Henderson,

Duta Besar Inggris untuk Jerman periode 1937-1939, pada bulan Oktober 1939

menulis, ‘ada banyak hal di dalam organisasi dan institusi sosial Nazi … yang

harus kita pelajari dan terapkan terhadap bangsa kita dan demokrasi model

lama’. Adapun tentang Hitler, ‘andai saja dia tahu kapan dan di mana dia

harus berhenti: misalnya, setelah adanya dekrit Munich dan Nurenberg untuk

Yahudi, dia akan dikenang sebagai pemimpin besar di dunia’. Bagi

orang-orang Inggris, Nazi bebas melakukan apapun di Eropa Timur dan Eropa

Tengah. Pemerintah Inggris dapat menerima aksi Hitler di Austria,

Cekoslowakia, dan lain-lain. Dengan kata lain, Inggris dapat menerima semua

tindakan Nazi sepanjang tidak mengganggu koloni dan pasar Inggris.

6. Finkel dan Leibovitz menyoroti bagaimana pemerintah Inggris sangat

mendukung dipersenjatainya kembali Jerman karena mereka melihat Nazi

sebagai sekutu alami dan potensi kuat yang dapat digunakan untuk melawan

komunisme. Chamberlain menulis kepada Raja, mengemukakan gagasan

bahwa Jerman dan Inggris akan menjadi ‘dua pilar perdamaian Eropa dan

benteng perlawanan terhadap Komunisme’. Ketika pada tahun 1936 Rhineland

di-remiliterisasi, kabinet Inggris secara gencar menentang rencana Perancis

yang bermaksud menghentikan hal tersebut. Laporan kabinet memperlihatkan

bahwa mereka merasa apabila rencana Perancis berhasil, maka Hitler akan

terguling dan itu merupakan sebuah keuntungan bagi kaum komunis di Jerman.

Argumentasi ini selalu diandalkan oleh pemerintahan Chamberlain. Inggris

membenarkan invasi Jerman ke Austria di bulan Februari 1938 dengan alasan

bahwa kedua negara itu telah memutuskan untuk bersatu secara damai. Hitler

pun diberitahu bahwa mengingat banyaknya populasi suku Sudeten Jerman di

Cekoslowakia, maka Inggris tidak akan menghalangi invasi terhadap ‘tujuan

Jerman berikutnya (her next goal)’. Inggris bahkan menandatangani

Anglo-German Naval Accord di tahun 1935, yang memungkinkan Hitler untuk

mengembangkan mesin-mesin perang, sesuatu yang secara langsung

bertentangan dengan Perjanjian Versailles dan LBB. Rencana tersebut akan

membuat Hitler memiliki ‘kebebasan’ di Eropa Tengah dan Timur, sementara

Kerajaan Inggris tidak diusik sama sekali. Inilah makna sebenarnya dari

ungkapan Chamberlain tentang ‘peace in our time’ –yaitu stabilitas bagi

pemerintahan dan untuk mengusir orang-orang Yahudi, Slavia, Rumania, dan

bangsa atau kaum lain yang tidak dikehendaki, terutama Komunis. Keterlibatan

AS dengan apa yang disebut sebagai ancaman Nazi pun lebih tersembunyi

daripada yang mereka akui. Antara tahun 1929 dan 1939, investasi

perindustrian AS di Nazi-Jerman jauh lebih pesat ketimbang investasinya di

negara manapun.

7. Baru-baru ini, keterkaitan AS dengan para diktator dan kelompok teroris telah

melibatkan aktivitas pelatihan (training), pendanaan (funding) dan dukungan

politis terhadap rezim-rezim paling brutal. Hal ini paling jelas terlihat di

negara-negara Amerika Tengah dan Selatan. Sepanjang tahun 1981–1985,

sebuah pasukan teroris Amerika, Contra, yang dilatih, dipersenjatai dan didanai

di Nikaragua oleh CIA, telah membunuh 3.346 orang anak dan remaja

Nikaragua serta membunuh salah satu atau kedua orang tua dari 6.236 orang

anak [Dianna Melrose., ‘Nicaragua: The Threat of a Good Example’.,

Oxfam, Oxford, 1985, hal. 26]. Mantan analis CIA, David Mac Michael,

memberikan alasan untuk hal ini dalam bukti yang diajukan ke International

Court of Justice (Mahkamah Keadilan Internasional). Ia mengatakan bahwa

teror Amerika dirancang, ‘untuk memprovokasi serangan lintas perbatasan

oleh pasukan Nikaragua sehingga memperlihatkan sikap agresif Nikaragua’,

dalam rangka menekan pemerintah Nikaragua ‘agar mengawasi kebebasan

sipil di Nikaragua, menahan para penentang kebebasan sipil, menunjukkan

sifat totalitarian mereka sehingga meningkatkan pertentangan di negara

tersebut’. Adapun tujuan sebenarnya adalah untuk menghancurkan

perekonomian Nikaragua. Pada tahun 1986, World Court mengutuk AS atas

‘penggunaan pasukan tanpa landasan hukum’ dan tekanan ekonomi ilegal

terhadap Nikaragua. Menanggapi hal itu, AS memveto resolusi PBB yang

menyerukan seluruh pemerintah agar menghormati hukum internasional pada

tahun 1986 [Noam Chomsky., ‘Western State Terorism’., hal.19].

8. Menurut United States Commission on Human Rights (Komisi HAM AS),

dalam waktu lima belas bulan, lebih dari 20.000 warga sipil di El Salvador

tewas oleh pasukan tempur yang tergabung atau berhubungan dengan pasukan

keamanan yang dilatih AS dan didanai sebesar US$ 532 juta dalam bentuk

‘hibah’ [Memo Central for International Policy Aid, Washington, April

1981. Lihat New York Times, 1 April 1981]. Di Amerika Tengah, selama

tahun 1980-an, setelah Kongres AS menyangkal pendanaannya, AS terbukti

telah merestui pendanaan dari obat terlarang dalam ‘Perang Rahasia (Secret

War)’ CIA terhadap kaum Sandanista. Dalam acara dengar pendapat (hearing)

Kongres oleh subkomisi Terorisme, Narkotika, dan Hubungan Internasional

pimpinan Senator John Kerry, terungkap bahwa, ‘berdasarkan bukti yang

ditemukan, jelas diketahui bahwa Contra menerima bantuan finansial dan

material dari penyelundup obat bius… Apapun itu, salah satu badan

pemerintah AS memiliki informasi tentang keterlibatan itu… Meski demikian,

para pembuat kebijakan AS tidak mengharamkan uang dari narkotika sebagai

sebuah solusi bagi masalah keuangan Contra’ [Laporan dari Sub Committee

on Terrorism, Narcotics, and International Operations of the Committee

on Foreign Relations, US Senate, Drugs, Law Enforcement and Foreign

Policy, Desember 1986, hal.36].

9. ‘Saya tidak melihat alasan mengapa kita harus berpangku tangan dan

menyaksikan sebuah negara menjadi komunis karena rakyatnya sendiri yang

tidak bertanggungjawab’, ujar Henry Kissinger, Menteri Luar Negeri dan

Penasehat Keamanan Nasional AS. Pada bulan September 1970, kandidat dari

sayap kiri, Salvadore Allende meraih tampuk kekuasaan dengan 36,2% suara

dalam pemilihan Presiden Chili. Banyak dokumen yang kemudian

membuktikan bahwa pengambilalihan kekuasaan oleh Jenderal Augustine

Pinochet adalah berkat keterlibatan dan dukungan finansial AS. Jenderal

Pinochet yang muncul mewakili rezim militer dikenal sering menyingkirkan

lawan politiknya. Kudeta yang terjadi ketika Jenderal Augusto Pinochet

merebut kekuasaan pada tahun 1973 adalah kudeta paling berdarah selama abad

20 di Amerika Selatan. Lebih dari 3.000 orang tewas dalam serangan gencar

militer di bulan September, yang diawali dengan pemboman jet-jet tempur

terhadap Istana Kepresidenan, padahal Salvador Allende, Presiden yang terpilih

secara demokratis, masih di dalam istana. Itulah awal dari pemerintahan

Jenderal Pinochet yang berlangsung selama 17 tahun. Banyak bukti tertulis

yang mengarah pada keterlibatan AS dalam naiknya Jenderal Pinochet.

Beberapa dari dokumen itu dapat dilihat secara lebih rinci berikut ini.

10. CIA, Catatan Pertemuan dengan Presiden di Chili, 15 September 1970: di

dalam catatan yang dibuat oleh tulisan tangan direktur CIA, Richard Helms ini

terdapat perintah Presiden AS, Richard Nixon, untuk membantu kudeta di

Chili. Catatan Helms menggambarkan perintah Nixon: kesempatan mungkin

hanya satu per sepuluh, namun selamatkan Chile; pengeluaran yang sepadan;

tidak perlu diperhatikan; tanpa keterlibatan kedutaan; tersedia dana US$

10.000.000, bisa ditambah jika diperlukan; pekerjaan penuh (full time job)

–orang-orang terbaik yang kita miliki; rencana aksi; ciptakan kesulitan

ekonomi; 48 jam untuk waktu aksi. Perintah langsung dari sang presiden

mengawali covert operations untuk menghalangi Allende memasuki kantor

barunya dan menciptakan kudeta di Chili.

11. CIA, Laporan Aktivitas Satuan Tugas CIA di Chili, 15 September sampai

3 November 1970, 18 November 1970: CIA mempersiapkan ikhtisar rencana

mereka untuk mencegah pelantikan Allende sebagai presiden dan menciptakan

kudeta di Chili –track I and track II covert operations. Ikhtisar tersebut merinci

komposisi satuan tugas, dikepalai oleh David Atlee Phillips, tim operasi rahasia

‘yang disusupkan ke Chili secara perseorangan’, dan kontak mereka dengan

Kol. Paul Winert, atase militer AS yang diperbantukan kepada CIA untuk

operasi tersebut. Laporan itu mengulang operasi propaganda yang dirancang

untuk menekan Presiden Chili Eduardo Frei agar mendukung ‘kudeta militer

yang akan mencegah Allende memasuki kantornya tanggal 3 November’.

12. CIA, Memorandum Percakapan dari Pertemuan dengan Henry Kissinger,

Thomas Karamessines dan Alexander Haig, 15 Oktober 1970: Di dalam

memo ini terdapat catatan diskusi yang membahas upaya kudeta di Chili,

dikenal sebagai ‘track II of covert operations’ guna menghalangi Allende.

Ketiga pejabat itu membahas kemungkinan seandainya komplotan Roberto

Viaux, salah seorang pejabat militer Chili, mengalami ‘kegagalan yang tidak

diharapkan’ dalam upayanya mencapai tujuan AS.

13. Dewan Keamanan Nasional, Memorandum 93 Keputusan Keamanan

Nasional, Kebijakan Menyangkut Chili, 9 November 1970: Memorandum

ini merangkum keputusan presiden perihal perubahan kebijakan pemerintah AS

terhadap Chili sehubungan dengan kemenangan Allende dalam pemilihan.

Ditulis oleh Henry Kissinger dan dikirimkan kepada Menteri Luar Negeri,

Pertahanan, Direktur Kantor Siaga Darurat (The Office of Emergency

Preparedness) dan Direktur CIA. Dokumen ini memberi arahan kepada

agen-agen Amerika untuk mengambil sikap ‘dingin’ terhadap pemerintahan

Presiden Allende, untuk menghalangi upaya konsolidasi kekuatan oleh Allende

dan ‘membatasi kemampuannya dalam menerapkan kebijakan yang

bertentangan dengan kepentingan AS dan Barat’. Memo tersebut menyebutkan

bahwa bantuan dan investasi AS yang ada di Chili harus dikurangi dan

hendaknya tidak dibuat komitmen baru. Lebih jauh lagi, berdasarkan memo

Kissinger, ‘hubungan baik’ dengan para pemimpin militer se-Amerika Latin

harus dijalin dan dipelihara demi mengkoordinir tekanan dan upaya oposisi

yang lain.

14. Departemen Luar Negeri, Memorandum untuk Henry Kissinger di Chili,

4 Desember 1970: Untuk menindaklanjuti perintah Kissinger tertanggal 27

November, Kelompok Kerja Ad-Hoc antar-agensi di Chili mempersiapkan

rencana ini secara tertulis, meliputi sejumlah sanksi dan tekanan yang

memungkinkan untuk melawan pemerintahan Allende. Termasuk pula di

dalamnya sebuah upaya diplomatis untuk menekan Chili agar mengundurkan

diri atau dikeluarkan dari Organizaton of American States, serta sejumlah

konsultasi dengan negara Amerika Latin lain tentang bagaimana ‘meminta

saran mereka seputar kepedulian kita terhadap Chili’. Dokumen tersebut

menunjukkan bahwa pemerintahan Nixon pun terlibat dalam sebuah blokade

ekonomi terbuka terhadap Allende, mengintervensi Bank Dunia, IDB, dan

Bank Ekspor-Impor untuk membatasi atau menghapuskan kredit dan pinjaman

bagi Chili sebelum Allende bertugas selama satu bulan. Salah satu sekutunya

saat itu adalah mantan Perdana Menteri Margaret Thatcher yang menjadi kawan

baik bagi pemerintahan yang lalim itu. Dalam sebuah surat yang dikirim

sehubungan dengan ditahannya Pinochet pada tahun 1998 di Inggris, Thatcher

menulis, ‘banyak hal terjadi setelah itu –dan tidak ada yang mengarah pada

kebaikan. Hari ini saya menarik kembali kebijakan penyangkalan diri yang

saya buat dan untuk sebuah alasan yang bagus –untuk mengekspresikan

kebodohan saya menyangkut kekejaman dan ketidakadilan yang dilakukan oleh

Senator Pinochet’.

Keterkaitan dengan Suharto

15. Saat Suharto mengunjungi Washington di tahun 1995, seorang pejabat

pemerintahan Clinton –dikutip dari New York Times– mengatakan bahwa

Suharto adalah ‘orang kita (our kind of guy)’. Pada tahun 1965, saat Suharto

menjatuhkan Sukarno, presiden RI ketika itu, diperkirakan lebih dari setengah

juta orang Indonesia terbunuh. Jumlah sebesar itu merupakan salah satu

pembantaian terhebat dalam sejarah modern. Di Timor Timur, diyakini bahwa

keputusan pemerintahan Jenderal Suharto memicu kematian sekitar 200.000

orang atau kira-kira sepertiga penduduk Timor Timur. Pada tahun 1990,

beberapa orang mantan diplomat AS dan pejabat CIA, termasuk juga mantan

Duta Besar untuk Indonesia, Marshall Green, memberikan pengakuan tentang

adanya bantuan bagi pembunuhan massal yang diatur oleh pihak militer

Indonesia. Berdasarkan sebuah laporan dari States News Service yang dimuat

di Washington Post tanggal 21 Mei 1991, pejabat Departemen Luar Negeri dan

CIA di kedutaan besar AS di Jakarta secara pribadi memberikan nama ribuan

pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk tingkat lokal, regional dan

nasional, kepada angkatan bersenjata Indonesia, yang lantas membunuh atau

menahan nama-nama tersebut.

16. Seorang mantan pejabat politik di kantor kedutaan besar AS di Jakarta, Robert

Martens, mengatakan, ‘mereka mungkin membunuh begitu banyak orang dan

saya mungkin memiliki lumuran darah di tangan saya, namun tidak semuanya

buruk. Ada saat di mana kita harus bertindak keras dalam waktu yang

mendesak’. Martens mengatakan bahwa ia memberikan daftar nama tersebut

kepada salah seorang ajudan Adam Malik, Menteri Luar Negeri Indonesia yang

memainkan peran sangat penting dalam rencana kudeta militer. Sang ajudan,

Tirta Kentjana Adhyatman, yang diwawancarai di Jakarta, membenarkan

bahwa dia menerima daftar ribuan nama dari Martens kemudian

menyerahkannya kepada Adam Malik yang lantas memberikan daftar tersebut

ke kantor Suharto. Beberapa orang mantan pejabat Departemen Luar Negeri AS

dan CIA yang diwawancarai oleh States News Service pada tahun 1990, secara

terbuka mengakui bahwa tujuan dibuatnya daftar nama pemimpin PKI adalah

untuk rencana pembunuhan massal. ‘Takkan ada seorang pun yang peduli

mereka dibantai, selama mereka adalah komunis’, ujar Howard Federspeil,

seorang ahli Indonesia yang bekerja di Departemen Luar Negeri AS saat

Suharto menyusun rencana anti-komunis. ‘Tidak ada seorang pun yang

benar-benar serius mengurusi masalah ini’.

17. Jutaan orang sekaligus dibunuh atau dipenjarakan di kamp penahanan, di mana

mereka meninggal karena penyiksaan, ditelantarkan dan kerja paksa. Bahkan

menurut sebuah laporan internal CIA, yang bocor kepada pers pada tahun 1968,

pasukan keamanan Indonesia membunuh 250.000 orang dalam ‘salah satu

pembantaian terbesar di abad duapuluh’. Selain itu, AS pun telah mendukung

rezim Ferdinand Marcos di Filipina dan secara tidak langsung ikut membantu

naiknya Pol Pot sang penjagal di Kamboja.

Peran Barat di Irak Sepanjang Era Saddam Hussein

18. Lima tahun sebelum Saddam Hussein, yang kini amat terkenal, memerintahkan

serangan gas terhadap warga Kurdi, sebuah pertemuan penting telah

diselenggarakan di Baghdad. Pertemuan itu selanjutnya memainkan peran yang

sangat penting dalam upaya menutup-nutupi hubungan erat Saddam Hussein

dan Washington. Itu terjadi saat Saddam untuk kali pertama diduga

menggunakan senjata Kimia. Pertemuan yang diadakan akhir Desember 1993

itu mencoba merumuskan cara untuk memulihkan hubungan Irak dan AS yang

rusak sejak meletusnya perang Arab-Israel tahun 1967.

19. Saat konflik Iran-Irak memanas, Presiden Ronald Reagan mengirim Utusan

Timur Tengahnya, mantan Menteri Pertahanan di masa Presiden Ford, ke

Baghdad dengan membawa sebuah surat tulisan tangan untuk Presiden Irak,

Saddam Hussein, serta sebuah pesan bahwa Washington bersedia membuka

kembali hubungan diplomatiknya dengan Irak. Sang utusan itu tidak lain adalah

Donald Rumsfeld. Dengan kunjungannya ke Baghdad pada tanggal 19-20

Desember 1983 itu, Rumsfeld menjadi pejabat AS dengan jabatan tertinggi

yang mengunjungi Irak dalam kurun waktu 6 tahun terakhir. Ia bertemu dengan

Saddam Hussein dan, menurut Menteri Luar Negeri Irak, keduanya

mendiskusikan ‘topik-topik kepentingan bersama’. ‘(Saddam) memberikan

penjelasan bahwa Irak tidak tertarik untuk terlibat dalam perusakan dunia’,

tutur Ramsfeld kemudian kepada New York Times. Ia melanjutkan, ‘kami

menyadari pentingnya menjalin hubungan, karena kami benar-benar peduli

pada pemecahan masalah Timur Tengah’. Tepat dua belas hari setelah

pertemuan dimaksud, yaitu tanggal 1 Januari 1984, Washington Post

memberitakan bahwa AS, ‘sebagai bagian dari perubahan kebijakan, telah

memberitahu negara-negara sahabat di Teluk Persia bahwa kekalahan Irak

dalam perang tiga tahun melawan Iran merupakan sesuatu yang ‘berlawanan

dengan kepentingan AS’ dan karenanya AS telah membuat beberapa langkah

untuk mencegah hal tersebut’.

20. Pada bulan Maret 1984, saat perang Iran-Irak semakin bertambah brutal dari

hari ke hari, Rumsfeld kembali ke Baghdad untuk mengadakan pertemuan

dengan Menteri Luar Negeri Irak saat itu, Tariq Aziz. Pada tanggal 24 Maret,

hari saat Rumsfeld berkunjung, United Press International (UPI) melaporkan

dari PBB: ‘Gas mustard yang menyerang sistem syaraf digunakan oleh tentara

Iran sepanjang 43 bulan Perang Teluk Persia antara Iran dan Irak, demikian

kesimpulan tim ahli PBB… Sementara itu di ibukota Irak, Baghdad, utusan

presiden AS Donald Rumsfeld mengadakan pertemuan dengan Menteri Luar

Negeri Irak, Tariq Aziz, menyangkut Perang Teluk sebelum meninggalkan

tempat tersebut menuju tempat yang tidak disebutkan secara pasti’. Sehari

sebelumnya, kantor berita Iran menduga bahwa Irak kembali menggunakan

senjata kimia lain di daerah Selatan medan pertempuran, melukai 600 orang

tentara Iran. ‘Senjata kimia dalam bentuk bom-bom udara telah digunakan di

beberapa wilayah Iran yang diamati oleh para ahli’, ungkap laporan PBB

tersebut. ‘Jenis senjata kimia yang digunakan Irak adalah

bis-(2-chlorothyl)-sulfide yang juga dikenal sebagai gas mustard dan ethyl N,

dimethyl phosphoroamido cyanidate, jenis racun syaraf yang juga dikenal

sebagai Tabun’.

21. Sebelum terbitnya laporan PBB, pada tanggal 5 Maret 1984 Departemen Luar

Negeri AS mengeluarkan pernyataan, ‘bukti-bukti yang ada memang mengarah

kepada penggunaan senjata kimia yang mematikan oleh Irak’. Mengomentari

laporan PBB, Duta Besar AS Jean Kirkpatrick –seperti dikutip New York

Times– mengatakan, ‘kami kira penggunaan senjata kimia adalah sesuatu yang

sangat serius. Kami telah menjelaskannya baik secara umum maupun khusus’.

Dibandingkan dengan pernyataan-pernyataan retoris yang muncul dari

pemerintahan saat ini, berdasarkan spekulasi tentang apa yang mungkin

Saddam miliki, reaksi yang diucapkan Kirkpatrick jelas merupakan sebuah

ajakan untuk melakukan aksi. Bukti yang lebih jelas lagi adalah bahwa Donald

Rumsfeld sedang berada di Irak ketika laporan PBB tahun 1984 itu dikeluarkan

dan Rumsfeld tidak menyinggung masalah kepemilikan senjata kimia,

meskipun Departemen Luar Negeri AS memiliki ‘bukti’ tentang hal itu. Pada

tanggal 29 Maret 1984, New York Times memberitakan dari Baghdad bahwa

‘para diplomat AS mengatakan mereka puas dengan hubungan antara Irak dan

AS dan mengungkapkan bahwa hubungan diplomatik secara keseluruhan telah

pulih’.

22. Satu setengah bulan kemudian, pada bulan Mei 1984, Donald Rumsfeld

mengundurkan diri. Di bulan November tahun yang sama, hubungan

diplomatik antara Irak dan AS telah kembali pulih. Dua tahun kemudian, dalam

sebuah artikel yang mengupas tentang aspirasi Rumsfeld untuk menjadi

nominasi Presiden 1998 dari Partai Republik, Chicago Tribune Magazine

membuat daftar prestasi Rumsfeld. Di antaranya adalah membantu ‘membuka

kembali hubungan AS dan Irak’. Namun, The Tribune tidak mengungkapkan

bahwa bantuan tersebut datang ketika Irak –menurut Deplu AS– menggunakan

senjata kimia. Selama periode Rumsfeld menjabat sebagai Utusan

pemerintahan Reagan untuk Timur Tengah, Irak secara gila-gilaan membeli

persenjataan berat dari perusahaan-perusahaan Amerika, mengingat transaksi

tersebut mendapat restu Gedung Putih. Pembelian besar-besaran dimulai saat

Irak dicoret dari daftar negara pendukung terorisme pada tahun 1982.

Berdasarkan sebuah artikel yang dimuat dalam Los Angeles Times tertanggal

13 Februari 1991, ‘urutan pertama dalam daftar belanja Saddam Hussein

adalah beberapa buah Helikopter –dia membeli sekitar 60 buah helikopter

Hughes dan para pelatih tanpa publikasi besar-besaran. Namun, pemesanan

kedua untuk Helikopter Bell ‘Huey’ bermesin ganda seperti yang digunakan

untuk membawa pasukan tempur di Vietnam, ditentang oleh kalangan oposisi

Kongres pada bulan Agustus 1983… Tetap saja, transaksi itu disetujui’.

23. Pada tahun 1984, menurut LA Times, Departemen Luar Negeri dengan

mengatasnamakan ‘peningkatan penetrasi AS dalam pasar pesawat sipil yang

kompetitif’, memaksakan penjualan sekitar 45 unit helikopter Bell 214 ST ke

Irak. Helikopter tersebut, yang nilai keseluruhannya mencapai US$ 200 juta,

aslinya dirancang untuk keperluan militer. New York Times kemudian

memberitakan bahwa Saddam ‘mentransfer hampir semua (helikopter itu)

kepada militer’. Pada tahun 1988, pasukan Saddam menyerang warga sipil etnis

Kurdi dengan gas beracun dari helikopter dan pesawat Irak. Sumber intelijen

AS kemudian mengatakan kepada LA Times pada tahun 1991, bahwa mereka

‘meyakini beberapa helikopter buatan AS ada di antara helikopter yang

menjatuhkan bom-bom mematikan itu’.

24. Dalam rangka merespon serangan gas tersebut, Senat AS menjatuhkan sanksi

sweeping dengan suara bulat sehingga tidak memungkinkan Irak untuk

mengakses sebagian besar teknologi AS. Namun Gedung Putih kemudian

mengabaikan hal tersebut. Para pejabat senior kemudian mengatakan kepada

para wartawan bahwa mereka tidak sepenuhnya mendukung sanksi tersebut

untuk saat itu, karena mereka ingin mempertahankan kemampuan Irak dalam

perang melawan Iran. Penelitian lebih lanjut memperlihatkan tidak adanya

pernyataan publik oleh Donald Rumsfeld yang secara terbuka mengekspresikan

perhatian terhadap penggunaan dan penguasaan senjata kimia oleh Irak hingga

saat di mana Irak menginvasi Kuwait pada bulan Agustus 1990, saat Rumsfeld

muncul dalam acara berita khusus BBC. Delapan tahun kemudian, Donald

Rumsfeld menandatangani ‘surat terbuka’ yang ditujukan kepada Presiden

Clinton, menyerukan Clinton untuk menghentikan ‘ancaman yang dibuat oleh

Saddam’. Surat itu mendorong Clinton untuk, ‘menunjukkan wujud

kepemimpinan yang diperlukan untuk menyelamatkan diri kita dan dunia dari

bahaya yang diciptakan Saddam dan senjata pemusnah massal yang tidak ingin

dimusnahkannya’. Pada tahun 1984, Donald Rumsfeld berada dalam posisi

yang menguntungkan untuk menarik perhatian dunia terhadap ancaman senjata

kimia Saddam. Dia sedang berada di Baghdad saat PBB menyimpulkan bahwa

senjata kimia telah dipergunakan untuk memerangi Iran. Rumsfeld mendapat

informasi bahwa Departemen Luar Negeri memiliki ‘bukti kuat’ menyangkut

penggunaan senjata kimia oleh Irak., namun ketika itu, dia diam saja.

25. Kini Washington berceloteh tentang ancaman Saddam dan konsekuensi yang

terjadi jika gagal melakukan tindakan. Terlepas dari fakta bahwa pemerintah

AS gagal memberikan sedikitpun bukti keterkaitan Irak dengan Al Qaeda atau

bukti bahwa Irak telah memproduksi senjata kimia atau biologi, Rumsfeld

bersikeras, ‘tidak ada bukti bukan berarti terbukti tidak ada’. Namun, ucapan

Donald Rumsfeld tentang ‘terbukti tidak ada’ itu justru terbukti sejak Irak

dituduh telah menjadi ancaman bagi keamanan internasional –dan dalam hal

ini, ‘terbukti tidak ada’ itu memang menjadi bukti.

26. Peran Inggris dalam naiknya Saddam sebelum Perang Teluk pun

disembunyikan oleh pemerintah. Berlawanan dengan pedoman PBB,

pemerintahan Margareth Thatcher pada tahun 1980-an, dan kemudian John

Major di tahun 1990-an, terbukti melakukan penjualan senjata secara

diam-diam kepada rezim Saddam Hussein. Senjata-senjata tersebut Irak

gunakan dalam perang melawan Iran, dalam menumpas pemberontak etnis

Kurdi dan untuk membantu program nuklir Saddam Hussein. Laporan yang

dibuat oleh seorang hakim Pengadilan Tinggi, Sir Richard Scott, tersebut

mengungkapkan adanya jaringan konspirasi, intrik, dan penyelewengan yang

berlangsung di tubuh pemerintahan. Pemerintahan konservatif di bawah

Perdana Menteri John Major mampu mengungguli Scott dengan selisih satu

suara dalam perdebatan di House of Commons, 26 Februari; dalam beberapa

pemungutan suara Tories melawan oposisi Partai Buruh. Skandal yang

sebenarnya menunjukkan bahwa pada tahun 1980-an, berdasarkan laju ekspor

senjata yang disokong Perdana Menteri Margareth Thatcher, putra kandungnya,

Mark, berperan sebagai penjual keliling tidak resmi bagi perusahaan senjata

Inggris. Mark Thatcher diperkirakan meraup keuntungan sekitar US$ 160 juta

sebagai komisi selama proses tersebut, termasuk hampir US$ 40 juta dari hasil

transaksi dengan Arab Saudi.

27. Meskipun penjualan senjata kepada rezim-rezim diktator tidak menimbulkan

masalah diplomatik (protes hanya muncul dari politisi sayap kiri), penjualan ke

Iran dan Irak adalah perkara lain. Pasar yang potensinya besar itu terhambat

oleh larangan PBB untuk menjual senjata ke kedua negara tersebut, yang saat

itu berada di tengah-tengah peperangan yang menewaskan lebih dari satu juta

orang. Potensi kerugian dari pasar Irak sangat terasa, antara tahun 1970-1990

Inggris memasok beragam perlengkapan perang secara besar-besaran kepada

rezim Saddam, mulai dari mobil-mobil kelas VIP berlapis baja hingga

perlengkapan tank dan komunikasi tercanggih. Baru sekarang diketahui bahwa

perusahaan-perusahaan Inggris memasok persenjataan kepada kedua belah

pihak yang bertikai pada tahun 1980-an dengan cara yang sederhana, yaitu

mengirim senjata-senjata tersebut kepada negara-negara perantara yang

kemudian mengekspornya ke Iran atau Irak. Perusahaan Inggris BMARC,

direkturnya adalah mantan menteri Jonathan Aitken, menyuplai ratusan senjata

angkatan laut ringan ke Singapura, sebuah negara yang sebetulnya tidak

memiliki armada angkatan laut dalam jumlah besar. Dari sana, senjata-senjata

tersebut dialirkan ke Iran. Adapun negara-negara yang dikenal sebagai

perantara untuk penjualan senjata ke Irak adalah Oman dan Yordania. Pada

tahun 1986 pihak pabean Swedia mendapati sebuah kartel Eropa, termasuk

beberapa perusahaan Inggris, sedang berupaya menyuplai bahan-bahan peledak

melalui Yordania.

Sebagian orang berargumentasi, seperti juga Presiden Clinton dalam

pidatonya baru-baru ini dalam Konferensi Partai Buruh, bahwa negara-negara

Barat telah membuat kesalahan –yaitu dengan memanjakan para diktator.

Namun hal ini sebenarnya hanya sebuah katalis untuk menjernihkan situasi

dengan menggulingkan rezim Irak. Logika terbalik tersebut barangkali cukup

membuat delegasi Partai Buruh terkesan, akan tetapi tidak bisa membuat

terkesan para pengamat yang cermat mengkaji situasi politik internasional

terkini. Ketika terjadi serangan 11 September terhadap New York dan

Washington, alih-alih belajar dari ‘kesalahan’ masa lalu, Barat malah

menjadikan para diktator itu sebagai sekutu dalam ‘Perang terhadap

Terorisme’-nya.

Aliansi Utara

28. Di antara kelompok Afganistan yang bersekutu dengan Barat dalam perang

terhadap terorisme dan Taliban ada yang sangat anti-Amerika, ada para

pelanggar HAM, juga ada mantan sekutu Osama bin Laden dan mantan tentara

rezim komunis. Resminya, mereka bernama United Islamic Front for the

Salvation of Afghanistan (Front Islam Bersatu untuk Pembebasan Afganistan).

Tidak resminya, mereka menyebut diri sebagai Aliansi Utara. Para pejabat AS

menyediakan persenjataan untuk aliansi tersebut yang diperkirakan

berkekuatan 15.000 pasukan, di luar bantuan non-militer yang telah diberikan

Washington sejak 1998. News Media menjuluki aliansi tersebut sebagai para

pejuang kebebasan Afganistan yang baru. Mike Vickers, mantan pejabat CIA

yang kini menjadi direktur bidang kajian strategis Washington-based Centre for

Strategic and Budgeting Assessments mengatakan, ‘Aliansi Utara mungkin

tidak sempurna, tetapi mereka benar-benar memiliki anasir yang sangat

bagus’.

29. Sidney Jones, direktur eksekutif Human Rights Watch divisi Asia, berujar,

‘Amerika Serikat dan para sekutu seharusnya tidak bekerjasama dengan para

komandan yang catatan kebrutalannya memicu banyak pertanyaan tentang

legitimasi mereka di Afganistan’. Human Rights Watch secara khusus

menekankan tidak perlunya bekerjasama dengan Abdul Rashid Dostum,

pimpinan milisi Junbish; Haji Muhammad Muhaqqiq, komandan senior Hizb

al-Wahdat; Abdul Rasul Sayyaf, pemimpin jaringan Ittihad al-Islami; dan

Abdul Malik Pahlawan, mantan komandan senior Junbish. Gary Leupp, dalam

CounterPunch.org pada tanggal 16 Juli 2002 mengabarkan bahwa “Mereka

yang menjadi sekutu Amerika adalah para pemerkosa. Pada awal tahun 1996

dalam laporannya tentang HAM di Afganistan, Departemen Luar Negeri AS

menyimpulkan bahwa pasukan yang dipimpin Ahmed Shah Massod secara

sistematis telah memperkosa dan membunuh wanita-wanita suku Hazzara di

Kabul pada bulan Maret 1995. Pasukan ‘Massod’ mengamuk dan kemudian

secara sistematis merampok di jalan-jalan dan memperkosa para wanita.’

'Sejak mereka kembali berkuasa, pasukan Aliansi Utara telah kembali kepada

kebiasaan lama mereka…”

30. Di antara berbagai pelanggaran hukum kemanusiaan internasional yang

dilakukan oleh faksi Front Bersatu adalah sebagai berikut. Akhir 1999-awal

2000. Pengusiran orang-orang yang mengungsi dari pedesaan di daerah

Sangcharak dan sekitarnya dengan melakukan eksekusi kilat, pembakaran

rumah-rumah, dan perampokan besar-besaran sepanjang empat bulan mereka

menduduki wilayah tersebut. Menurut berita, beberapa eksekusi dilakukan di

depan anggota keluarga korban sendiri. Mereka yang menjadi korban serangan

pada umumnya adalah dari etnis Pashtun dan dalam beberapa kasus, ada pula

etnis Tajik. Tanggal 20-21 September 1998. Serangkaian roket ditembakkan

ke arah utara kota Kabul, salah satunya menghantam sebuah pasar malam yang

dipadati orang. Diperkirakan jumlah orang yang tewas dalam peristiwa tersebut

antara 76-180 orang. Serangan itu diyakini dilakukan oleh pasukan Massood

yang bermarkas sekitar duapuluh lima mil di Utara kota Kabul. Seorang juru

bicara komandan Front Bersatu Ahmad Shah Mashood menyangkal pihaknya

telah menjadikan warga sipil sebagai sasaran. Dalam pernyataan pers tertanggal

23 September 1998, Palang Merah Internasional mengomentari serangan

tersebut sebagai sesuatu yang paling membabi-buta dan mematikan yang

pernah terjadi di kota Kabul dalam tiga tahun terakhir. Akhir Mei 1997.

Sekitar 3000 orang pasukan Taliban yang ditawan telah dieksekusi dengan

cepat di Mazar-i Sharif dan sekitarnya oleh pasukan Junbish atas perintah

Jenderal Abdul Malik Pahlawan. Pembunuhan tersebut merupakan aksi

lanjutan pengunduran diri Malik dari sebuah aliansi singkat dengan Taliban dan

juga aksi penangkapan pasukan Taliban yang masih terperangkap di dalam

kota. Sebagian serdadu Taliban dibawa ke padang pasir dan kemudian

ditembak, sementara yang lain dilemparkan ke sumur yang lantas diledakkan

dengan granat. Tanggal 5 Januari 1997. Pesawat-pesawat tempur Junbish

menjatuhkan serangkaian bom di daerah pemukiman Kabul. Beberapa orang

warga sipil terbunuh sementara yang lain terluka parah dalam serangan udara

yang membabi-buta tersebut, yang juga menggunakan bom-bom konvensional.

Bulan Maret 1995. Pasukan faksi yang beraksi di bawah Komandan Mashood,

Jamiat al-Islami, bertanggung jawab atas perkosaan dan perampokan setelah

mereka merebut daerah Karte She, yang didominasi etnis Hazara, di kota

Kabul, dari faksi lain. Menurut Laporan Departemen Luar Negeri AS tahun

1996 tentang praktek HAM selama tahun 1995, ‘Pasukan Mashood mengamuk

dan secara sistematis melakukan perampokan di jalanan serta memperkosa

para wanita’. Pada malam tanggal 11 Februari 1993, pasukan Jamiat al-Islami

dan faksi lainnya, Ittihad al-Islami pimpinan Abdul Rasul Sayyaf, melakukan

penggerebekan di daerah Barat Kabul kemudian membunuhi dan

‘menghilangkan’ warga sipil etnis Hazara serta melakukan perkosaan di

mana-mana. Diperkirakan mereka yang terbunuh sekitar tujuhpuluh hingga

lebih dari seratus orang.

31. Selain itu, pihak-pihak yang tergabung dalam Front Bersatu telah melakukan

berbagai pelanggaran lain terhadap hak-hak yang diakui hukum internasional.

Sebelum Taliban menguasai hampir seluruh wilayah Afganistan, faksi-faksi itu

sendiri telah membagi-bagi jatah wilayah negara, sementara mereka tetap

saling berebut penguasaan atas Kabul. Sepanjang tahun 1994 saja, sekitar 25

ribu orang terbunuh di Kabul; sebagian besar adalah warga sipil yang terbunuh

oleh serangan roket dan artileri. Sepertiga wilayah kota hancur menjadi

puing-puing sementara bangunan yang masih bertahan pun rusak berat. Secara

jelas terlihat bahwa tidak ada hukum yang berlaku di daerah-daerah yang

berada di bawah pengawasan faksi-faksi itu. Di Kabul, pasukan Jamiat

al-Islami, Ittihad, dan Hizb al-Wahdat, semuanya terlibat dalam perkosaan,

pembunuhan, penangkapan, penyiksaan, dan ‘penghilangan’. Di Bamiyan, para

komandan Hizb al-Wahdat terus-menerus menyiksa tahanan dengan tujuan

pemerasan. Para anggota senior aliansi, termasuk mantan Presiden

Afghanistan, Burhanudin Rabbani dan penguasa Utara, Abdul Rashid Dostum,

para sekutu utama Uni Soviet selama negara tersebut berupaya menduduki

Afganistan, disebut oleh AS sebagai pelanggar HAM. Di lain waktu, faksi-faksi

itu saling membantai satu sama lain. Pada tahun 1993, berdasarkan informasi

dari organisasi non-pemerintah, Human Rights Watch, Society of Islam

pimpinan Rabbani telah membunuh sekitar 70 hingga 100 orang warga etnis

minoritas Hazara yang memiliki hubungan dengan rival Rabbani, yaitu Party of

Islamic Unity, yang juga anggota Aliansi Utara.

32. Dua tahun kemudian, berdasarkan laporan dari Departemen Luar Negeri AS,

pasukan Rabbani –di bawah komando Ahmad Shah Massood (jurnalis Barat

menjulukinya sebagai ‘Singa Panjshir’)– bertanggung jawab atas kekerasan

anti-Hazara yang lain, ‘perampokan di jalan-jalan dan perkosaan secara

sistematis’. Sementara itu, karir Jenderal Dostum benar-benar memuakkan.

Sejak tahun 1979 hingga 1992, dia beraliansi dengan pemerintahan komunis di

Kabul. Saat pemerintahan tersebut akan jatuh, Dostum berputar haluan dengan

bergabung bersama ‘Pejuang Kebebasan’ Mujahidin anti-komunis. Saat

berbagai faksi Mujahidin berjatuhan, mula-mula dia bergabung dengan

Rabbani untuk melawan Hekmatyar. Lantas ia bergabung dengan Hekmatyar

untuk melawan Rabbani. Tahun 1995, dia mendukung pasukan Taliban dalam

melawan pasukan Hekmatyar sekaligus Rabbani. Tahun 1996, dia kembali

beraliansi dengan Rabbani dan Hekmatyar untuk menghancurkan Taliban.

33. Aliansi Utara mendanai perangnya dari hasil perdagangan heroin. Menurut

Departemen Luar Negeri AS, seluruh ladang opium yang pada tahun ini panen

sekitar 77 ton tumbuh di daerah yang mereka kuasai. Media Rusia melaporkan

bahwa heroin yang diolah dari opium itu diselundupkan ke Eropa dan AS

melalui negara tetangga semisal Tajikistan. Vickers, mantan agen CIA,

mengakui tentang sulitnya membeking aliansi Utara yang bukan aliansi sejati

itu. Dengan agak pasrah ia mengatakan bahwa AS tidak punya pilihan lain.

‘Taliban adalah target utama. Serangan udara tidak akan berpengaruh bagi

mereka. Kita memerlukan pasukan darat. Namun ‘pertanyaannya adalah:

pasukan darat siapa? Itulah sebabnya mengapa pihak oposisi memiliki daya

tarik tersendiri… Bisa jadi mereka tidak sempurna. Namun pertanyaannya:

mana yang lebih baik, menggunakan pasukan darat mereka atau pasukan darat

Barat?’

Kesimpulan

Catatan di atas hanyalah sebuah contoh, bukti kemunafikan, korupsi dan

kejahatan yang dilakukan oleh Barat dalam hal persekutuan mereka dengan para

penguasa yang lalim, tiran dan diktator di masa lalu maupun sekarang. Hal ini

menimbulkan pertanyaan tentang peran Barat dalam memimpin dan memelihara

dunia. Ketika mengamati rangkaian akumulasi senjata pemusnah massal Barat,

kepalsuan standar dan penerapan Hukum Internasional serta kemerosotan

masyarakat Barat, seorang pengamat yang netral tidak perlu lagi meragukan bahwa

Kapitalisme adalah sumber kejahatan masa kini. Nilai-nilai dan kepercayaan

Kapitalisme tentang kebebasan, demokrasi dan materialisme telah mendorong

fanatisme dan kejahatan dunia yang lebih luas.

BAB 4

Barat dan Sikap Represif terhadap

Rakyat

Dalam propagandanya, Barat berupaya memberikan pembenaran akan

perang terhadap Irak dengan menjadikan tindakan represif Irak terhadap rakyatnya

sendiri sebagai alasan. Akan tetapi ketika kita menengok dunia Barat, kita pun akan

menyaksikan rakyat yang tertindas dalam beragam masalah kehidupan. Bab ini

menegaskan bahwa dunia tidak lagi terpikat oleh Amerika dan pandangan hidup

kapitalisnya. Selain itu, bab ini juga menyatakan bahwa seandainya warga Amerika

tidak termakan propaganda Goebbels-esq yang dijejalkan pada mereka, niscaya

mereka akan memiliki sikap yang sama terhadap pemerintahnya. Banyak

pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia terjadi di Barat, terutama di Amerika.

Sayangnya masyarakat tidak menyadarinya. Rupanya mantra Washington DC dan

Trendy London telah membuat orang-orang buta akan aktivitas tak

berperikemanusiaan yang terjadi di depan pelupuk mata mereka. Lebih jauh lagi

dapat dikatakan bahwa jika saja orang Amerika terbangun dari impian Amerika

(American dream) mereka, George W. Bush tidak hanya akan bertanya mengapa

mereka (non-Amerika) membenci kita, tetapi ia akan bertanya mengapa warga

kami sendiri membenci kita (pemerintahan Bush)?

1. Robbie Burns menulis, ‘I would that God gift would give us, to see ourselves as

other see us’. Di sini, sang pujangga Skotlandia itu menyampaikan

pandangannya bahwa kemampuan untuk melihat kekurangan dan kelemahan

seseorang merupakan suatu anugerah. Kebanyakan dari kita menghargai

pentingnya evaluasi diri dalam proses peningkatan diri. Ketika evaluasi diri

yang jujur dan adil tidak ada maka yang muncul adalah arogansi. Bagi suatu

negara yang tidak memandang dirinya sebagaimana negara lain di dunia

memandangnya, hal ini akan membawa negara itu ke arah penguatan mitos dan

persepsi diri yang tidak tepat. Ketika ini terjadi pada suatu negara kuat, yang

terjadi adalah beragam kecaman terhadap negara lain sementara dirinya terlena

akan masalah yang dibuatnya sendiri. Ketika ini terjadi dalam suatu negara

adidaya, yang memiliki senjata pemusnah massal, maka hasilnya adalah dunia

yang penuh masalah, terendam dalam lautan darah manusia dan

ketidakseimbangan, serta berada di jurang kehancuran.

2. Ketidakmampuan AS untuk melihat dirinya sendiri sebagaimana negara lain di

dunia melihatnya, terilustrasikan ketika seorang wanita berlari menuju sebuah

mikrofon kru film, dari awan debu di kota Manhattan pada bulan September

2001 dan berkata, ‘Mengapa?’ Sejak itu frase ‘Mengapa mereka membenci

kita?’ sering diulang-ulang. Kita sampai bosan melihatnya di koran-koran,

siaran televisi, dan mendengarnya dalam komentar radio. Bagi kita yang berada

di luar lingkungan pergaulan Amerika, satu-satunya perkara yang membuat kita

terperangah dengan pertanyaan ‘mengapa’ itu adalah fakta betapa kagetnya AS

ketika mengetahui bahwa orang-orang membenci mereka. Kita mampu berkata

seperti ini karena kita melihat Amerika sebagai orang luar. Kebanyakan dari

kita, mungkin secara naïf, berpikir tentang adanya indikator yang luas tentang

sentimen dunia terhadap Amerika.

Kontrol Pemikiran

3. Kami bermaksud menegaskan bahwa keadaan sulit yang umumnya menimpa

warga Amerika benar-benar mengerikan. Tetapi sebelum membahas tentang

hal itu, penting untuk dibuat sketsa tentang bagaimana pemikiran kebanyakan

orang Amerika telah terbentuk melalui cara-cara tertentu yang membuat

mereka mampu menerima keadaan ini. Baik kaum Ba’ath maupun AS

bersikeras bahwa sistem mereka membuat iri negara-negara lain di dunia.

Mereka sama-sama bersikukuh bahwa warga Irak dan AS harus bersyukur

dengan kenyataan bahwa mereka adalah orang Irak dan Amerika.

Teknik-teknik propaganda yang AS gunakan sama seperti yang digunakan oleh

rezim Ba’ath.

4. Hal itu terlihat dalam komentar yang dimuat media Amerika pada tahun lalu.

Misalnya kolomnis Richard Brookhiser dalam The New York Observer (17

September 2001) menggambarkan AS sebagai ‘… sebuah imperium

kapitalisme dan demokrasi. New York City juga dipersepsikan sebagai pusat

salah satu subsistem itu, mesin uang yang bergemuruh. Siapapun di dunia ini

yang mencari nasibnya dan tidak bahagia, lihatlah kami —negara dan kota—

carilah alternatif yang ada. Jika ia memiliki kerangka pemikiran yang

bercita-cita tinggi, ia akan datang ke sini atau meniru kita. Jika ia memiliki

kerangka pemikiran yang murung, ia akan meminta tanggung jawab kita. Jika

ia adalah negara yang bermusuhan, atau semacamnya, ia akan mencoba

membunuh kita … Para pecundang di dunia ini membenci kita karena kita kuat,

kaya dan baik (atau sekurang-kurangnya lebih baik dari mereka). Bila mereka

yang beraksi dalam kebencian itu telah dibalas, tujuh kali lipat, kita akan

membangun kembali Menara World Trade Centre, ditambah satu lantai, hanya

untuk mengulangnya kembali’.

5. Anggapan keliru tentang irinya dunia kepada AS adalah sesuatu yang

digembar-gemborkan media dan politisi AS secara terus-menerus. Sejarawan

militer, Victor Davis Hanson menulis dalam City Journal (25 Februari 2002),

‘mereka membenci kita karena kultur mereka terbelakang dan korup’ dan

karena ‘mereka iri dengan kekuatan dan prestise kita’. Pemeo tentang ‘dunia

cemburu pada kita’ ini jelas sekali hanya berlaku untuk tingkat domestik. Jenis

propaganda seperti ini membantu terciptanya iklim kepuasan yang statis.

Lagipula, tidak ada satu orangpun di luar orang AS yang cukup bodoh untuk

mempercayai hal itu.

6. Setelah peristiwa 11 September 2001, hanya ada sedikit tulisan yang berbeda

melawan arus para pejabat Amerika. Siapapun yang tidak mengekspresikan

rasa hormat secara utuh terhadap sikap mereka, ia akan menjadi orang yang

terancam. The Guardian (17 Januari 2002) menyimpulkannya dengan tepat,

‘Dalam hari-hari berkabung di New York dan Washington, tampaknya,

siapapun yang pernah bersikap kritis secara terangan-terangan kepada

Amerika tiba-tiba mendapati diri mereka dituduh terlibat dengan Osama bin

Laden –atau lebih buruk lagi. Di kalangan pers Inggris, mereka digambarkan

sebagai ‘pecundang dan tidak patriotis’, ‘nihilis dan masokistis’, dan ‘Stalinis

dan fasis’; sebagai ‘gerombolan Baader Meinhof’, ‘tangan kanan Osama’, dan

‘pembantu para diktator’; sebagai ‘si pincang’, ‘mudah goyah’, ‘tidak punya

hati dan tolol’; dan ‘cacing yang termakan propaganda Soviet’; sebagai yang

penuh dengan ‘omong kosong’, ‘pengkhayal’ dan ‘dekadensi intelektual’;

sebagai kumpulan ‘idiot-idiot berguna’, ‘zombi yang buta’; dan ‘manusia yang

membenci manusia’.’

7. Kembali ke gaya pembedaan media AS, ada ribuan contoh yang bisa dikutip

untuk menggambarkan bagaimana AS menyamarkan dirinya sebagai kekuatan

demi kebaikan di dunia padahal ia sebenarnya adalah kekuatan jahat yang

mendatangkan kematian dan kehancuran. Ada satu contoh khusus dari omong

kosong jingoistis yang benar-benar menyuarakan tabiat pemerintah, rakyat dan

media AS. Rich Lowry menulis artikel di situs National Review Online —‘situs

utama kaum konservatif Amerika’— dengan judul ‘Lots of sentiment for nuking

Mecca’. Di dalamnya ia menulis: ‘Ini hal yang berat, saya tidak tahu betul apa

yang harus saya pikirkan. Mekah terlihat ekstrim, tentu saja, tetapi kemudian

beberapa orang akan mati dan akan menjadi suatu pertanda. Agama

sebelumnya telah mengalami kemerosotan yang merupakan bencana besar …

Dan, sebagai masalah umum, sekaranglah waktunya untuk serius, bukan

setelah jatuh korban orang Amerika yang jumlahnya ribuan lebih—termasuk

memikirkan apa yang akan kita lakukan untuk membalas dendam, jadi mungkin

sentimen memiliki efek yang kecil terhadap pencegahan’ [R. Lowry, ‘Lots of

sentiment for nuking Mecca’, National Review Online,

www.nationalreview.com/thecorner].

8. Apakah itu sebuah ancaman? Apakah itu sebuah janji? Ataukah hanya mulut

besar belaka? Apapun itu, kita harus diam sesaat dan merenungkan kesesuaian

pernyataan tersebut dengan pembahasan kita tentang senjata pemusnah massal.

Harus diingat bahwa AS memiliki senjata itu, dan suara sayap kanan AS telah

terdengar. Mulut besar atau bukan, bahasa emotif seperti itu seharusnya menjadi

seruan kebangkitan bagi penduduk dunia ini, Muslim dan non-Muslim.

Barangkali itu bukan sekadar pandangan orang jalanan. Rata-rata orang

Amerika lebih tertarik pada olahraga serta film dan tidak berminat membaca

halaman situs yang berisi bualan sayap kanan. Ketika Hollywood

mengeluarkan film berjudul Rules of Engagement, banyak kelompok

Arab-Amerika mengutuknya. Salah satu kelompok mengomentarinya sebagai

‘mungkin inilah film rasis anti-Arab paling keji yang pernah dibuat oleh studio

besar Hollywood’. Dalam ulasan yang muncul dalam film.com, Peter Brunette

mengatakan, ‘para penonton yang bersama saya menonton film ini terlihat

gembira ketika marinir membantai warga sipil’ [‘Down Right Offensive’,

film.com]. Robert Bowman, seorang veteran Vietnam dan sekarang menjabat

uskup United Catholic Churc di Melbourne Beach, Florida mengatakan, ‘Kita

tidak dibenci karena mempraktekkan demokrasi, menjunjung kebebasan, atau

menegakkan hak-hak asasi manusia. Kita dibenci karena pemerintah kita

menyangkal hal ini pada masyarakat negara–negara dunia ketiga yang

sumber-sumber alamnya diincar perusahaan-perusahaan multinasional kita.

Kebencian yang kita taburkan telah kembali membayangi kita dalam bentuk

terorisme dan di masa yang akan datang, akan menjadi terorisme nuklir’ [The

National Catholic Reporter, 2 Oktober 1998].

‘Kita membutuhkan musuh bersama untuk mempersatukan kita’

–Condoleeza Rice, Maret 2000

9. AS membutuhkan cara untuk menangani permasalahan internal yang begitu

banyak. Ternyata cara yang dipilih untuk menyelesaikan setumpuk

permasalahan itu bukanlah dengan menghadapinya, melainkan dengan

mengalihkan perhatian dari masalah tersebut. Hal itu terlihat pada kasus-kasus

seperti kematian bayi, usia pengharapan hidup pria kulit hitam dan kondisi

pemukiman di wilayah tertentu masyarakat AS. Tiga puluh enam juta penduduk

AS mengalami kekurangan pangan dan jumlah itu kian bertambah. Hampir

setengah dari mereka harus antri di dapur umum memiliki satu atau lebih

anggota keluarga yang bekerja. Begitu miskinnya mereka sampai makanan pun

tak terbeli. Golongan kaya (the have’s) tidak mengakui golongan miskin (the

have-not’s) dengan mengatakan, ‘Why don’t you get a job’. Hanya sedikit yang

menyadari, bahwa hanya kurang dari 1,1% orang-orang yang dihapus dari

daftar nama sejahtera, menurut reformasi kesejahteraan tahun 1996, yang

mampu mendapatkan pekerjaan dengan upah yang mencukupi biaya hidup

mereka. Dengan upah minimum US$ 5,15/jam mereka tidak bisa memenuhi

biaya sewa rumah dan menghidupi keluarga yang tinggal di kota utama

manapun di AS, walaupun bekerja sampai 50 jam seminggu. Belum termasuk

masalah sandang dan kebutuhan yang lain. Ini baru masalah kemiskinan.

Masalah lain seperti kriminal, ketergantungan obat dan alkohol, hancurnya

tatanan keluarga serta semua masalah sosial lain semakin menjauhkan

masyarakat AS dari sistem Thomas Jefferson yang berdasarkan pursuit of

happiness (upaya mengejar kebahagiaan).

10. Instrumen utama yang digunakan untuk menyembunyikan permasalahan AS

adalah media massa. Memang terkesan klise, tetapi efektivitas propaganda

merupakan sesuatu yang tidak bisa dibantah. Pada masa perang, seperti Perang

melawan Teror, realitas slogan ini menjadi sangat nyata. Seperti yang dikatakan

Jenderal Douglas Mac Arthur, ‘Seseorang tidak bisa berperang dalam kondisi

sekarang ini tanpa dukungan opini publik dan opini itu terbentuk dengan hebat

melalui pers dan bentuk-bentuk propaganda yang lain’. Selain sentimen yang

meluas ke seluruh AS ini, masih banyak efek-efek lain industri media terhadap

negara. Efek sampingnya seperti ketamakan dan konsumerisme massal adalah

masalah-masalah yang menimbulkan penindasan publik oleh korporasi AS

dengan restu sepenuh hati dari pemerintah.

11. Kita perlu mengulas secara singkat tentang industri media untuk

menggambarkan bagaimana industri ini mengabdi pada dirinya sendiri dan

pada pemerintah pusat yang korup. Pada tahun 1983, kepemilikan media

terkonsentrasi di tangan 50 konglomerat trans-nasional [Ben Bagdikian: The

Media Monopoly]. Sekarang berkurang menjadi 9 perusahaan yang

mendominasi media AS dan internasional. Mereka adalah AOL-Time-Warner,

Disney, Bertelsmann, Viacom, News Corporation, TCI, General Electric

(pemilik NBC), Sony (pemilik Columbia dan Tri Star Pictures dan perusahaan

rekaman besar lain), dan Seagram (pemilik Universal, perusahaan film dan

musik). Jadi, satu industri-super global sekarang menyediakan segala sesuatu

yang dapat dilihat dan didengar oleh orang-orang Amerika melalui layar kaca,

gelombang udara, dalam bentuk media cetak dan melalui internet.

Perusahaan-perusahaan itu berfungsi sebagai sebuah lobi politik yang kuat di

tingkat nasional, regional, maupun global. Di Washington, mereka

menghabiskan sekira US$ 125 juta per tahun untuk upaya lobi melawan

pembatasan kepemilikan. Mereka tidak hanya memiliki pengaruh yang besar

dalam membuat rancangan hukum dan peraturan nasional, melainkan juga

memegang peran penting dalam membentuk dan mengarahkan hukum dan

peraturan internasional. Pada tahun 2000, misalnya, raksasa media melobi

untuk menginisiasi perdagangan dengan Cina, dan mengabaikan mereka yang

mengangkat keprihatinan terhadap masalah kebebasan berbicara dan kebebasan

pers (di Cina). Mereka juga menggunakan AS untuk membuka pasar India

terhadap televisi satelit.

12. Yang diberikan oleh mafia media massa itu kepada AS hanya propaganda

semata. Termasuk di dalamnya berita, versi lain dari hiburan yang ditawarkan

kartel media. Program-program itu bukan untuk kebaikan manusia. Mereka pun

ada harganya, dan harganya tidak hanya berupa uang. ‘Kita perlu mengetahui

kebenaran tentang perusahaan-perusahaan seperti itu sedangkan mereka

seringkali berkepentingan untuk menutupinya (sebagaimana juga para

pengiklan). Selagi dibutuhkan waktu dan biaya yang banyak untuk

mengungkap kebenaran, perusahaan induk lebih memilh untuk memotong

anggaran jurnalisme yang diperlukan, mereka lebih memilih sesuatu yang bisa

mengarahkan obrolan agitasi yang tak berujung (sebelum peristiwa 11

September, ada kasus Monica, kemudian Survivor dan Chandra Levy,

sedangkan setelah hari naas itu, kita punya kasus anthraks ditambah langkah

heroik Pentagon). Pemirsa yang disukai kartel adalah yang kelas sosialnya

paling diminati para pengiklan – dengan demikian media telah mengabaikan

kaum pekerja dan orang-orang miskin. Dan ketika pers seharusnya membantu

melindungi kita melawan mereka yang akan menyalahgunakan kekuasaan

pemerintah, oligopoli media begitu intim dengan Gedung Putih dan Pentagon,

yang tentu tidak mau kesalahan dan kejahatannya diekspos. Para bos besar

media menginginkan bantuan dari negara, sedangkan para wartawan tidak

berani mengambil resiko mengecewakan sumber berita mereka. Media yang

mengabdikan diri pada kepentingan publik akan menyelidiki buruknya prestasi

CIA, FBI, FAA, dan CDC, sehingga kinerja keempat lembaga itu bisa

ditingkatkan untuk melindungi kita –tetapi tim berita (begitu pun Kongres)

belum pernah tergerak untuk meninjaunya. Begitu pula, demi kepentingan

publik, media seharusnya melaporkan semua yang dapat mengancam

keamanan kita –termasuk golongan kanan yang membidik masalah klinik

aborsi dan, tampaknya, melakukan terorisme biologis, tetapi wartawan televisi

tidak menaruh minat terhadap hal ini… Media pun seharusnya menyoroti,

bukannya membiarkan, serangan pemerintah terhadap kebebasan sipil

–penahanan massal, bukti rahasia, peningkatan pengawasan, peniadaan hak

klien-pengacara, dorongan untuk memata-matai, ancaman untuk tidak berbeda

pendapat, gambar-gambar yang disensor, tulisan-tulisan publik yang disita,

kunjungan tak terduga dari Secret Service dan sebagainya. Dan media

seharusnya tidak membeo terhadap apa yang dikatakan Pentagon tentang

perang sekarang ini, karena laporan yang diperhalus telah membuat kita

terlena dan melindungi kita dari kebodohan fatal tentang apa yang

sesungguhnya orang, dari negara lain, pikirkan tentang kita –dan mengapa.

Dan masih banyak lagi –tentang eksploitasi tragedi yang menghebohkan,

terutama oleh kubu Republik; tentang hubungan keluarga Osama bin Laden

dan Bush; tentang kegilaan yang sedang berlangsung di Florida –media

seharusnya memberitakan itu kepada masyarakat, jika mereka… peduli

terhadap kepentingan publik’ [Mark C. Miller., ‘The Nation’., 7 Januari

2001].

Paradigma Demokrasi

13. Pemilihan umum terakhir di Irak menjadi bahan cemoohan pers Barat dan dunia

internasional. Rezim Ba’ath memang konyol dan layak mendapatkan kecaman

apapun yang diarahkan terhadap tipu daya murahan yang mereka lakukan.

Akan tetapi, tipu daya murahan bukan monopoli Saddam semata. Salah satu

masalah penting yang masih menjadi misteri bagi orang Amerika adalah proses

demokrasi itu sendiri. Sangat sedikit orang di seluruh AS yang memahami

sistem Electoral College. Demikian halnya ketika sistem itu berjalan lancar, tak

ada yang mempertanyakannya dan ketika tidak berjalan lancar, tak satu orang

pun yang peduli. Pemilihan presiden tahun 2000 menggambarkan dengan tepat

betapa tidak demokratisnya sistem Amerika. Terlebih lagi pemilihan umum

tahun 2000 itu menunjukkan bagaimana orang Amerika ditipu serta bagaimana

raksasa media dan pemerintah memandang rendah masyarakat awam.

14. Di dunia ini terdapat berbagai bentuk demokrasi, yang setiap bentuk

diimplementasikan dengan coraknya masing-masing. Dalam sistem pemilihan

presiden AS, seorang kandidat yang mendapatkan jumlah suara pemilih

individual terbanyak di seluruh daerah pemilihan belum tentu menjadi presiden.

Karena suara individu tidak langsung untuk memilih presiden melainkan untuk

menentukan Electoral College yang diatur secara proporsional sesuai negara

bagian masing-masing. Jumlah Elector (orang yang tergabung dalam Electoral

College) untuk setiap negara bagian diproporsionalkan dengan jumlah

penduduk negara bagian bersangkutan. Tiap-tiap negara bagian memiliki

pengaturan yang berbeda-beda dalam hal menentukan para Elector mereka. Di

beberapa negara bagian para kandidat mendapati jumlah Elector sesuai jumlah

suara yang mereka peroleh, sedangkan di negara bagian lain, pemenang

mengambil seluruhnya. Maka untuk terpilih menjadi presiden, seorang

kandidat harus memiliki dukungan di beberapa negara bagian. Meraih

mayoritas suara popular vote di daerah tertentu, atau bahkan di beberapa negara

bagian, bisa jadi tidak berpengaruh terhadap hasil pemilu secara keseluruhan.

Manakala terjadi masalah, yang memilih presiden adalah perwakilan pemilih,

yakni para politisi profesional di Kongres. Pada tahun 2000, keputusan

Mahkamah Agung mengakhiri prosedur yang begitu rumit dan menetapkan

George W. Bush sebagai pemenang pemilu. Pada musim panas tahun 1999,

Katherine Harris, Ketua Bersama kampanye pemilihan presiden George W.

Bush dan sekretaris negara bagian Florida untuk pemilihan umum, membayar

US$ 4 juta kepada Database Technologies untuk memeriksa daftar pemilih di

Florida dan menghapus setiap orang yang ‘dicurigai’ sebagai mantan

narapidana. Hal itu dilakukan dengan persetujuan Gubernur Florida, Jeb Bush,

yang notabene adalah saudara dari George W. Bush. Hukum Florida

menyatakan bahwa mantan narapidana tidak punya hak pilih –sehingga 31%

dari semua penduduk pria berkulit hitam di Florida dilarang mengikuti pemilu

karena mereka memiliki catatan kriminal. Rupanya, kaum kulit hitam Florida

adalah golongan demokrat. Ini terlihat ketika Al Gore mendapat suara lebih dari

90% dari mereka pada tanggal 7 November 2000. Yaitu 90% dari mereka yang

memiliki hak pilih. Ini menunjukkan terjadinya kecurangan massal elektoral di

Florida. Tim kampanye Bush tidak hanya menghapus ribuan mantan

narapidana kulit hitam dari daftar nama pemilih, melainkan juga menghapus

ribuan warga kulit hitam yang sepanjang hidupnya tidak pernah terlibat tindak

kriminal –serta ribuan pemilih yang sah yang hanya pernah melakukan tindak

pidana ringan.

15. Walhasil, sejumlah 173.000 pemilih yang terdaftar di Florida dihapus secara

permanen dari daftar pemilih. Di Miami-Dade, wilayah terbesar Florida, 66%

dari pemilih yang dihapus namanya adalah mereka yang berkulit hitam. Di

daerah Tampas, 54% dari pemilih yang hak pilihnya ditolak juga berasal dari

kulit hitam. Tak perlu dikatakan lagi betapa banyaknya praktek-praktek tipu

muslihat yang terjadi di Florida, barangkali terlalu banyak untuk disebutkan.

Akan tetapi hasil akhirnya menunjukkan bahwa seseorang yang memenangkan

minoritas suara telah terpilih menjadi presiden. Surat kabar New York Times

merangkum olok-olok yang terjadi di Florida; sebanyak 344 kertas suara tidak

jelas diberikan kepada pemilih, apakah pada saat atau sebelum hari pemilihan,

183 kertas suara diberi stempel pos AS, 96 kertas suara tidak memiliki

keterangan saksi yang memadai, 169 kertas suara berasal dari pemilih yang tak

terdaftar, dengan amplop yang tidak ditandatangani sebagaimana mestinya,

atau berasal dari orang yang tidak meminta kertas suara, 5 kertas suara masuk

setelah tanggal batas akhir penyerahan yaitu 17 November, 19 pemilih dari luar

negeri memilih dalam 2 kertas suara –dan keduanya dihitung. Semua kertas

suara di atas melanggar hukum Florida, tetapi tetap dihitung. Singkatnya,

Amerika tidak memiliki paradigma demokrasi.

Impian Amerika

16. Selain demokrasi, ada aspek lain dari cara hidup orang Amerika yang mereka

klaim telah membuat negara-negara lain iri kepada AS. Woodrow Wilson

(1919) mengatakan, ‘terkadang orang-orang menyebut saya seorang idealis,

memang begitulah adanya selaku orang Amerika. Karena Amerika adalah

satu-satunya negara yang idealis.’ Pasca 11 September, AS tidak juga sadar

bahwa selama ini mereka tidur sambil berjalan. Akan tetapi, kini AS telah

terbangun dari tidur pulas dan mimpinya. Enron, WorldCom dan realitas

pertumpahan darah di ibu pertiwinya telah membuat AS menjadi negara yang

mencemaskan aspirasinya menjadi rapuh. Mungkin untuk kali pertama sejak

Great Depression, para orangtua berbicara secara terbuka tentang anak-anak

mereka yang tumbuh di sebuah negeri yang keadaannya lebih buruk daripada

negara tempat orangtua mereka dilahirkan.

17. Impian Amerika telah berada jauh di luar jangkauan tujuh juta muslim yang

tinggal di antara Los Angeles dan New York. Hampir dua pertiganya

mengatakan mereka telah menjadi korban prasangka dan diskriminasi sejak

peristiwa 11 September. Ketika naik pesawat, mereka dipaksa keluar oleh para

penumpang yang menaruh curiga, sebagian yang lain bahkan tidak

diperbolehkan sama sekali untuk menaiki pesawat. Hak-hak sipil yang

termasyhur dibuat oleh pendiri AS sebagaimana diabadikan dalam Bill of

Rights ternyata tidak lebih dari slogan kosong. ‘Para pecinta kebebasan’ yang

menguasai tanah kebebasan telah mengorbankan ‘kebebasan’ dengan

mengatasnamakan keamanan nasional. Para tersangka ditahan tanpa diadili,

para pengacara dilarang menemui kliennya. Edward Said, seorang Profesor di

Columbia University– New York, menulis dalam Al Ahram (edisi mingguan)

‘Saya tidak melihat adanya seorang Arab atau Muslim Amerika yang sekarang

tidak merasa bahwa ia termasuk kubu musuh dan berada di Amerika saat ini

memberi kita pengalaman keterasingan yang tidak mengenakkan dan

khususnya menjadi sasaran permusuhan yang begitu meluas [‘Thought about

America’, 28 Februari – 6 Maret 2002].

18. Kita kembali lagi ke suara sentimen Amerika yang sesungguhnya, The National

Review. Kontributor Editor Ann Coulter menulis: ‘Sekarang bukan saatnya

lagi mencari individu yang secara langsung terlibat dalam serangan teroris

ini.. Tanggung jawab ini termasuk siapapun dan di manapun yang tersenyum

dengan peristiwa pembinasaan para patriot seperti Barbara Olsen.

Orang-orang yang menginginkan negara kita hancur tinggal di sini, bekerja

untuk perusahaan penerbangan kita, dan bekerja untuk bandara yang persis

sama sebagai seorang tukang kayu dari Idaho. Ini seperti meminta Wehrmacht

berimigrasi ke Amerika dan bekerja untuk perusahaan penerbangan kita

selama Perang Dunia II. Tetapi Wehrmacht tidak begitu haus darah. Kita

harus menyerbu negara mereka, membunuh pemimpin mereka, dan

memurtadkan mereka menjadi Kristen. Kita kurang cermat ketika hanya

menemukan dan menghukum Hitler dan para pejabat terasnya. Kita

membombardir kota-kota di Jerman, kita membunuhi warga sipil. Itulah

perang. Dan ini pun adalah perang’ [National Review, ‘This is War’ 13

September 2001].

19. Demikianlah yang tertulis. Bagaimana faktanya? Pada bulan Maret 2002

dilaporkan bahwa Adeel Akhtar, orang Inggris, terbang ke Amerika untuk

audisi peran. Ketika pesawat yang ia tumpangi mendarat di bandara JFK New

York, ia dan teman wanitanya diborgol. Dari gambarannya ia terlihat tidak

seperti seorang fundamentalis. Ia dibawa ke suatu ruangan dan diinterogasi

selama beberapa jam. Para petugas bertanya apakah ia memiliki teman di Timur

Tengah, atau mengetahui seseorang yang berada di balik serangan 11

September.

Pengalaman Adeel itu bukan hal yang asing bagi ratusan orang yang berasal

dari Asia atau Timur Tengah. Seperti contoh seorang wanita Inggris (berusia 50

tahun) yang terbang ke JFK untuk mengunjungi saudara perempuannya yang

menderita kanker. Di bandara, petugas imigrasi mendapati bahwa pada

kunjungan sebelumnya, ia melebihi masa kunjungan yang tertera dalam

visanya. Ia menjelaskan bahwa saat itu ia sedang menolong saudaranya yang

sedang sakit parah, dan ia telah mengajukan perpanjangan. Ketika petugas

memintanya untuk kembali ke Inggris, ia menerima keputusan itu tetapi

sebelumnya meminta untuk berbicara kepada konsul Inggris. Mereka menolak

permintaannya, malah mengatakan bahwa ia bisa menelepon konsulat Pakistan.

Sang wanita menjelaskan bahwa ia orang Inggris, bukan Pakistan. Paspornya

pun mengatakan ia adalah warga Inggris. Para petugas keamanan bandara mulai

menginterogasinya. Ia bisa bicara dalam berapa bahasa? Sudah berapa lama ia

tinggal di Inggris? Mereka membongkar-paksa tas kopornya dan mengambil

sidik jarinya. Kemudian ia diborgol dan dirantai serta digiring melewati tempat

duduk pemberangkatan. ‘Saya merasa seolah-olah petugas keamanan bandara

memamerkan saya di depan para penumpang lain layaknya tangkapan

berharga. Mengapa saya diborgol? Saya hanya seorang ibu rumah tangga

berusia 50 tahun dari daerah pinggiran London. Ancaman apa yang saya

lakukan yang membahayakan keselamatan penumpang lain?’

20. Juga pada bulan Maret 2001, seorang koresponden majalah Time menemukan

30 orang laki-laki dan seorang wanita bermalam di sebuah hotel kumuh di

Mogadishu, Somalia. Mereka semua orang Afrika-Amerika asal Somalia yang

sudah tiba di Amerika sejak bayi dan anak-anak. Kebanyakan dari mereka

adalah para profesional dengan pekerjaan yang terjamin dan kehidupan yang

mapan. Pada bulan Januari, tidak lama setelah dirilisnya film Black Hawk

Down (film tentang kegagalan misi militer Amerika di Somalia), mereka

ditangkapi. Mereka dipukuli, diancam dengan suntikan dan tidak boleh

menerima telepon dan pengacara. Kemudian dua minggu yang lalu, tanpa

adanya tuntutan atau alasan, tiba-tiba mereka dideportasi ke Somalia. Sekarang

mereka tanpa paspor, surat-surat, atau uang di negara yang asing (bagi mereka).

21. Semua orang yang kami sebut di atas merupakan korban rasialis. Dalam waktu

6 bulan setelah peristiwa 11 September, Jaksa Agung AS memanggil 5000

orang laki-laki asal Arab untuk ditanyai oleh penyelidik federal. Selama

periode itu lebih dari 1000 orang yang dilahirkan di Timur Tengah telah

ditawan untuk jangka waktu yang tak terbatas dengan alasan ‘pelanggaran

imigrasi’. Tidak terhitung lagi banyaknya contoh diskriminasi petugas terhadap

wanita muslimah AS yang digeledah di bandara, sementara yang laki-laki

diseret dari tempat tidur dengan todongan pistol di tengah malam. Ini

menunjukkan bahwa bukti, yang tidak diketahui para tersangka, yang diizinkan

oleh US Patriot Act, ‘telah digunakan hampir secara eksklusif terhadap Muslim

dan orang Arab-Amerika’. Di AS, saat ini, kaum Muslim dan orang-orang

keturunan atau berasal dari Timur Tengah semuanya menjadi tersangka teroris.

Mereka dianggap bersalah sampai mereka terbukti tidak bersalah.

Kriminalitas dan Hukuman

22. Amerika, tanah kebebasan, dikuasai oleh kriminalitas dan rasa takut terhadap

tindak kriminal yang mencengkeram masyarakatnya. Poling yang dilakukan

Associated Press menunjukkan 52% laki-laki dan 68% perempuan takut

menjadi korban kejahatan. Di AS, pembunuhan terjadi setiap 22 menit,

pemerkosaan setiap 5 menit, perampokan setiap 49 detik, dan pencurian setiap

10 detik. Kerugian akibat kejahatan diperkirakan mencapai US$ 675 milyar

setiap tahunnya. Menurut penelitian terbaru dari Texas A&M University,

Profesor Morgan Reynolds mendapati bahwa dari 500.000 kasus perampokan

yang terjadi setiap bulan, hanya 6000 orang perampok saja yang dipenjara.

Situasi ini diperparah oleh penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol.

Penembakan dalam rangka memerangi komplotan pengedar obat di dalam kota

menjadi perhatian pers. Namun, penembakan itu hanyalah titik kulminasi dari

kejahatan yang mempengaruhi semua warga kota. Di Inggris, obat-obatan

‘Kelas A; seperti heroin dan kokain (terutama jenis crack ‘jalanan’ yang lebih

digemari kaum miskin daripada jenis isap yang lebih digandrungi orang kaya)

mendorong timbulnya kejahatan lain seperti pencurian dan perampokan.

Penelitian UK Home Office menunjukkan bahwa mereka yang ditangkap

karena kasus serangan terhadap hak milik seringkali karena pengaruh

obat-obatan tadi. Hampir 70% dari mereka yang melakukan tes terbukti positif

menggunakan heroin dan atau kokain. Sekitar 30% dari mereka yang ditangkap

karena mencuri barang di toko terbukti sebagai pengguna kokain dan 47%-nya

adalah pemadat. Tampaknya kriminalitas paling sering dikaitkan dengan

kokain. Setengah dari tahanan karena kasus penyerangan terbukti positif,

melalui tes, mengkonsumsi crack (salah satu jenis kokain). Seperempat dari

para tahanan itu adalah pengguna kedua jenis obat-obatan terlarang tersebut.

Angka-angka itu belum termasuk alkohol yang lebih luas penyebarannya

karena secara hukum dianggap legal dan secara sosial lebih dapat diterima oleh

masyarakat. Dampak alkohol terhadap statistik kriminalitas hampir-hampir tak

terhitung lagi. Selain itu, alkohol juga menguras anggaran kesehatan –dilihat

dari penyakit-penyakit yang diakibatkan alkohol dan tindakan penyerangan

yang disebabkan alkohol serta pemakaian kamar di rumah sakit.

23. Orang Amerika mengalami penyerangan, perampokan dengan penodongan

senjata, pemerkosaan atau penculikan, dua kali lebih parah dibandingkan

cedera karena kecelakaan mobil. Asisten Jaksa Agung, dalam Simposium

Nasional tahun 1998 tentang Penyalahgunaan Alkohol dan Kriminalitas,

menunjukkan bahwa hampir 4 dari 10 kejahatan kekerasan melibatkan

penggunaan alkohol. Kira-kira 4 dari 10 kecelakaan kendaraan yang fatal juga

terkait dengan alkohol; dan sekitar 4 dari 10 orang pelanggar, terlepas apakah

mereka ada dalam masa percobaan, di penjara lokal, atau penjara negara bagian,

mengaku sendiri bahwa mereka menggunakan alkohol pada saat melakukan

tindak pelanggaran hukum. Kekerasan antara pasangan hidup sekarang dengan

mantan pasangan hidup, dan kekasih sekarang dengan mantan kekasih, juga

melibatkan penggunaan alkohol.

24. Yang paling banyak melakukan kejahatan dengan cara kekerasan adalah

remaja. Pembunuhan dan perampokan lebih banyak dilakukan oleh remaja

laki-laki berusia 18 tahun ketimbang oleh kelompok usia lain. Lebih dari

sepertiga kasus pembunuhan dilakukan oleh mereka yang masih berusia di

bawah 21 tahun. Pembunuhan sekarang menjadi penyebab utama kematian para

remaja Afrika-Amerika. Hal ini dapat dilihat dalam statistik kejahatan.

Bagaimana cara menguranginya? Solusi yang ditawarkan Clinton/Gore adalah

dengan memenjarakan mereka, sedangkan Bush/Cheney adalah dengan

membunuh para pelaku. Di awal tahun 1990-an terdapat 1 juta orang yang

dipenjara di AS. Di akhir periode kepemimpinan Clinton angka itu bertambah

menjadi 2 juta. Sejak tahun 1976, sudah lebih dari 700 kali eksekusi yang

dilakukan di AS. Sejak tahun 1973, 95 terpidana mati dibebaskan oleh

pengadilan. Sebuah studi terbaru terhadap 4.578 kasus dalam kurun waktu 23

tahun (1973-1995) menyimpulkan bahwa pengadilan menemukan kesalahan

yang serius dan dapat diperbaiki dalam 7 dari setiap 10 kasus hukuman mati

yang sepenuhnya ditinjau ulang selama periode tersebut. Dari 85% terpidana

mati, tingkat kesalahannya mencapai 60% atau bahkan lebih. Tiga perlima dari

hukuman itu memiliki tingkat kesalahan rata-rata sekurangnya 70%. Kesalahan

yang paling umum terjadi adalah (1) ketidakcakapan pengacara pembela yang

tidak berupaya, atau luput mencari bukti penting yang bisa membuktikan

tersangka tidak bersalah; (2) polisi atau jaksa penuntut yang menemukan bukti

penting itu malah menyembunyikannya, yang berarti menyelewengkan proses

peradilan.

25. AS merupakan satu dari beberapa negara di dunia yang menghukum mati para

pelaku kekerasan yang mengalami keterbelakangan mental dan masih belum

dewasa. AS juga merupakan satu-satunya negara selain Somalia yang tidak

menandatangani The United Nations Convention on the Rights of the Child

(Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak). Mahkamah Agung mengizinkan

eksekusi terhadap mereka yang berusia 16 tahun jika melakukan pelanggaran

berat. Ini terlepas dari fakta bahwa lembaga peradilan yang sama telah

menetapkan bahwa remaja usia 16 tahun tidak memiliki ‘kedewasaan atau

penilaian’ untuk menandatangani kontrak/perjanjian. Sehingga tidak adanya

kapasitas pada dirinya untuk menandatangani perjanjian dipandang sebagai

hambatan hukum untuk melaksanakan sebuah perjanjian, tetapi dalam hal hak

dieksekusi, kapasitas remaja usia 16 tahun dianggap sama dengan orang

dewasa. Amerika adalah sebuah masyarakat yang membiarkan korupsi di

perusahaan, bahkan Amerika memberikan penghargaan terhadap sistem

akuntansi yang kreatif. Pada saat yang bersamaan Amerika membunuh orang

yang terbelakang dan mereka yang menurut orang Amerika dianggap belum

dewasa.

George W. Bush dan Korporasi

26. Telah kita bahas sebelumnya bahwa George W. Bush menjadi presiden melalui

cara yang meragukan. Bush juga memiliki masa lalu yang meragukan perihal

kebiasaan minum, mengebut dan usaha-usaha untuk menutupi masa lalunya itu.

Dalam urusan bisnisnya pun, hingga awal 1990-an tidak menunjukkan

tanda-tanda kesuksesan meski tidak juga ilegal. Bush boleh saja mengantongi

gelar sarjana di bidang bisnis, akan tetapi prestasi akademiknya itu tidak diikuti

prestasinya dalam bidang bisnis yang sesungguhnya. Kisah tentang seorang

pecundang yang berubah menjadi orang kaya ini terjadi ketika sang ayah

menjabat sebagai presiden. Kejahatan yang dilakukannya terhadap rakyat AS

adalah ketika dia menjual saham sebuah perusahaan minyak, tempatnya

menjabat sebagai direktur, pada bulan Juni tahun 1990. Transaksi itulah yang

membuat dia menjadi kaya mendadak dan menjadi seorang tokoh politik di

Texas. Diperkirakan pada saat itu Bush Jr. sudah mengetahui bahwa nilai

saham perusahaannya, Harken Oil, hampir jatuh karena terus merugi. Ia

langsung menjual seluruh sahamnya pada waktu yang sangat tepat sehingga dia

memperoleh keuntungan sebesar US$ 835.807 (£ 553.514). Dengan

keuntungan yang diperolehnya Bush membeli sebuah tim baseball yang di

kemudian hari dijualnya kembali dan membuatnya menjadi seorang multi

milyuner. Penjualan saham Harken milik Bush diselidiki oleh Securities and

Exchange Commision yang bekerja atas perintah sang ayah, George Bush

senior, yang mendapati bahwa pemberitahuan atas transaksi tersebut ditunda

selama 9 bulan. Tetapi tidak ada tindakan apapun atas hal itu. Baru-baru ini

muncul berita bahwa Bush junior mendapat pinjaman dengan bunga rendah dari

Harken –seperti yang juga diterima oleh CEO WorldCom, Bernie Ebbers

(sekarang sedang dalam penyelidikan)– yang menurut Bush sendiri hal itu

harus dilarang. Bukan hanya sandiwara Bush saja yang sekarang ini ramai

dipertanyakan orang. Dalam minggu yang sama, nama wakil presiden Dick

Cheney disebut-sebut dalam aksi sipil menentang grup konstruksi energi,

Halliburton dan akuntannya, yaitu Andersen, yang telah bersekongkol

menggelembungkan nilai pendapatan perusahaan. Ada persaman mencolok

antara kasus Halliburton dan kehancuran Enron.

27. Pada tanggal 29 Januari, sebuah artikel di Washington Post menggambarkan

perbandingan kasus Halliburton dan Enron. Artikel tersebut menunjukkan

bahwa saham kedua perusahaan tersebut sama-sama mengalami penurunan

drastis pada musim gugur tahun lalu dan juga punya akuntan yang sama, yakni

Arthur Andersen (Halliburton sebelumnya pernah terlibat perkara hukum atas

penggunaan asbes, yang mengurangi kepercayaan para investor). Persamaan

lain adalah masing-masing CEO mereka menguangkan sahamnya pada saat

yang bersamaan. Dalam kasus Halliburton, Wakil Presiden Dick Cheney

menguangkan sahamnya senilai $20.6 juta sebelum mengundurkan diri dari

jabatannya sebagai CEO. Dengan keadaan keuangan Halliburton yang

bermasalah, wajar jika Departemen Pertahanan, yang pada masa Bush senior

dipimpin Cheney, bersedia memberikan jaminan. Dalam situsnya, Pentagon

mengumumkan keseluruhan nilai kontrak melebihi $5 juta, tetapi dalam kasus

Halliburton menolak mengungkapkan perkiraan nilai pemberiannya. Juru

bicara Halliburton menyebut angka $2,5 milyar sebagai jumlah pendapatan

perusahaan yang diperoleh dari jasa-jasa utamanya pada tahun 1990-an, seraya

mengakui bahwa nilai kontrak bisa melebihi jumlah yang diperkirakan seiring

makin meluasnya jangkauan kekuatan militer AS dalam jangka waktu sepuluh

tahun mendatang.

28. Harvey Wasserman, penulis The Last Energy War, mengomentari tingkah

polah Bush dan Cheney dengan mengatakan, ‘Tim Bush dan Cheney telah

membuat Amerika menjadi sebuah bisnis keluarga. Karenanya kita belum

pernah melihat Cheney memutuskan kesepakatan dengan teman-teman

lamanya yang bernilai jutaan dolar,’ Wasserman melanjutkan, ’Apakah

mereka tidak memiliki kehormatan, rasa malu, akal sehat? Mengapa tidak kita

biarkan saja Enron menjalankan Amerika? Atau membiarkan Zapata

Petroleum (Bisnis eksplorasi minyak George W. Bush yang gagal) membangun

pipa saluran melalui Afghanistan’?’ Sepertinya, sang presiden membuat

dirinya dikelilingi orang-orang yang semuanya bisa ditangkap karena kasus

keuntungan fiktif yang dibuat George W. Bush melalui para pedagang

korporasi. Selain Dick Cheney, penasehat bayangan Bush adalah Kenneth L.

Lay yang merupakan mantan bos Enron. Menteri Luar Negeri, Colin Powell,

pernah duduk dalam dewan direktur AOL. Ketika ia masih di AOL, perusahaan

tersebut melakukan merger dengan Time-Warner dan nilai sahamnya naik

menjadi US$ 4 juta. Michael Powell, putra Collin, merupakan satu-satunya

anggota Federal Communications Commission (FCC) yang mengadvokasi agar

proses merger AOL dengan Time-Warner disetujui tanpa perlu dipertanyakan.

Sejak saat itu Michael Powell diangkat menjadi Ketua FCC; dan salah satu

tugasnya adalah mengawasi aktivitas AOL/Time-Warner.

29. Selain nama-nama tersebut di atas, ada Thomas White, Menteri Angkatan

Bersenjata yang mantan eksekutif Enron. Antara bulan Juni sampai November

2001, ia menjual $ 12 juta saham Enron. White adalah wakil pemimpin Enron

Energy Services, yang terlibat manipulasi biaya listrik dalam krisis energi di

California.

30. Kemudian ada Paul O’Neill, Menteri Keuangan, mantan CEO Alcoa,

perusahaan alumunium terbesar di dunia. O’Neill memperoleh uang pensiun

sebesar $ 926.000 per tahun. Ketika masih di Alcoa, ia menunda penjualan

sahamnya di Alcoa sampai nilai saham itu naik sebesar 30 persen. Terakhir, ada

Larry Lindsey, penasehat ekonomi Gedung Putih, mantan konsultan Enron. Ia

masih bekerja untuk Enron ketika menjadi perancang kebijakan ekonomi Bush

dalam kampanye pemilihan presiden. Lindsey meneliti dampak bangkrutnya

sebuah perusahaan energi yang besar terhadap perekonomian. Itu dilakukan

persis sebelum masalah Enron muncul ke permukaan.

31. Tidak hanya koneksi per individu saja yang patut diselidiki. Partai Republik

secara keseluruhan pun patut diselidiki. Pada pemilihan presiden tahun 2000

lalu, 70% dari US$ 1,9 juta sumbangan politik WorldCom mengalir ke Partai

Republik. Sementara Andersen menyumbang 71% dari US$ 1,4 juta alokasi

sumbangan politiknya ke partai yang sama. Dari tahun 1989 hingga 2001,

Enron telah memberi sumbangan sebesar US$ 113.800 ke Partai Republik,

sedangkan Al Gore memperoleh US$ 13.750. Enron menyumbang sebesar US$

300.000 untuk dana pelantikan Bush tahun 2001 dan menanggung biaya

penghitungan ulang suara pada tahun 2000.

32. Maraknya skandal telah memperburuk citra kapitalisme di mata dunia.

Sekarang ini, kapitalisme adalah satu-satunya ideologi yang terus bertahan

menyelesaikan problematika manusia sejak keruntuhan komunisme lebih dari

satu dekade lalu. Kini ia mendapat pukulan keras. Pukulan terhadap asas

kapitalisme itu datang dari dalam dirinya sendiri. Kepercayaan terhadap

kapitalisme sepertinya mulai memudar. Eropa cepat-cepat menyebut skandal

yang terjadi di AS sebagai masalah Amerika sendiri, yaitu ‘kapitalisme ala

Amerika’, seraya melupakan bahwa mereka sendiri menghadapi skandal yang

sama. Penamaan dan tuduhan tersebut merupakan alat untuk melindungi

seluruh sistem, dari kulit terluar hingga ke jantung terdalamnya. Orang-orang

tidak mempertanyakan penyebab skandal-skandal itu, karena mereka terlalu

sibuk mempermasalahkan isu-isu sekunder marginal yang lain atau mencari

perusahaan atau individu yang dapat dijadikan kambing hitam. Solusi terhadap

masalah itu bahkan semakin mengkhawatirkan, terutama ketika para politisi

menyerukan agar dunia usaha memiliki karakter dan hati nurani, seperti yang

Bush katakan, ’Semua investasi adalah kepercayaan, dan kepercayaan

diperoleh melalui integritas. Dalam pelaksanaannya, tidak ada kapitalisme

tanpa hati nurani. Tidak ada kemakmuran tanpa karakter’. Ini merupakan

bentuk kemunafikan George W. Bush dan kroni sang ayah yang ada di

sekililingnya. Upaya mengejar materi adalah satu-satunya minyak yang

melumasi mesin kapitalisme.

Kelinci percobaan dalam uji coba nuklir

33. Selama bertahun-tahun hak-hak tentara angkatan bersenjata AS dan Inggris

terus menerus telah dilanggar. Para tentara itu diberi obat halusinasi, dikirim ke

pertempuran tanpa diberi latihan atau mendapat perlindungan yang memadai,

juga semua tindakan tak berperikemanusiaan ditimpakan kepada mereka.

Sehubungan dengan isu terkini ihwal senjata pemusnah massal, ada dua cerita

yang muncul ke permukaan mengenai bagaimana perasaan pemerintahan AS

dan Inggris terhadap keadaan tentara dan warga sipil mereka. Baru-baru ini

Pentagon mengakui bahwa para tentara yang terlibat dalam uji coba senjata

kimia dan biologi pada tahun 1960-an, kemungkinan tidak diberi tahu sama

sekali mengenai percobaan rahasia yang dilakukan di laut. Beberapa ujicoba

menggunakan racun syaraf militer paling mematikan, yaitu VX. Pejabat tinggi

Departemen Pertahanan AS mengatakan ribuan rakyat sipil Hawaii dan Alaska

juga tidak menyadari bahwa di sekililing mereka terdapat banyak bakteri yang

merupakan senjata kuman, seperti anthraks. Menurut laporan Pentagon, dalam

uji coba yang dilakukan di Alaska, para tentara dengan menggunakan pakaian

pelindung didekatkan ke racun syaraf yang mematikan tersebut, termasuk VX.

Sedangkan uji coba di Hawaii menggunakan zat halusinasi yang dikembangkan

menjadi senjata kimia. VX merupakan racun syaraf yang canggih, bisa bertahan

di lingkungan lebih lama dibandingkan dengan yang sejenis. Uji coba itu

dilakukan untuk mengukur seberapa lama VX akan tetap mematikan dan sebaik

apa prosedur dekontaminasi yang dilakukan.

34. Baru-baru ini, sebuah klaim ganti rugi menjadi berita utama di Inggris.

Sejumlah mantan tentara berusaha memperoleh ganti rugi karena telah

dijadikan saksi peledakan nuklir di Pasifik Selatan. Tetapi apa yang sebenarnya

dialami oleh ribuan tentara muda di Christmas Island 40 tahun yang lalu itu?

Saat itu merupakan puncak perang dingin dan ribuan tentara Inggris dikirim ke

Pasifik Selatan untuk menyaksikan uji coba ledakan senjata nuklir. Kebanyakan

mereka baru berusia belasan tahun atau 20-an, dan sedang melaksanakan tugas

wajib militernya. Bagi mereka, iklim Christmas Island yang hangat dan eksotis

merupakan sebuah pelarian yang menyenangkan dari penderitaan yang mereka

alami pasca perang Inggris. Para tentara itu diperintahkan untuk merunduk

beberapa saat sebelum ledakan terjadi. Tak banyak upaya yang dilakukan untuk

melindungi kesehatan mereka dari radiasi radioaktif. Padahal mereka berada

dalam jarak hanya 30 mil dari tempat ledakan. Mereka diperintahkan untuk

membelakangi ledakan atau mengenakan celana panjang.

Kesimpulan

Seperti yang telah kita bahas, sistem kapitalisme sedang mengalami

keruntuhan dari dasarnya. Kapitalisme sekarang ini hanya ditopang oleh

sekelompok elit yang putus asa melihat keuntungan mereka terancam. Inilah

saatnya bagi kita untuk mengutip pernyataan pendahulu George W. Bush, William

Jefferson Clinton, sang Presiden AS ke-42, sebagai penutup bab ini. Tidak seperti

penerusnya, yakni Presiden Bush, Bill Clinton dikenal memiliki kecakapan

berorasi dan prestasi akademik yang bagus. Dia dikenal sebagai orang yang

mengetahui hakikat sistem yang ia terapkan. Apakah pernyataan berikut ini

merupakan refleksi dari apa yang buku-buku sejarah jadikan acuan atau hanya

sebuah ironi belaka? ‘Kita lahir dengan sebuah deklarasi kemerdekaan yang

menyatakan bahwa kita semua diciptakan sama dan oleh sebuah konstitusi yang

mengabadikan perbudakan. Kita berjuang dalam perang sipil yang berdarah untuk

menghapuskan perbudakan tetapi kita tetap tidak mempunyai kedudukan yang

sama di hadapan hukum dalam beberapa abad setelahnya. Atas nama kebebasan,

kita mengalami kemajuan sampai ke luar negeri tetapi kita telah mengusir

penduduk asli Amerika dari tanah airnya. Kita menyambut para imigran tetapi

setiap gelombang imigran yang datang itu telah merasakan pedihnya diskriminasi’

[Presiden Clinton dalam pidato di Universitas California, tahun1997].

BAB 5

Sejarah Kolonialisme Barat di

Timur Tengah

Amerika Serikat dan Inggris mengklaim bahwa perang yang mereka

lancarkan terhadap Irak merupakan tindakan yang adil lagi mulia. Mereka

menambahkan bahwa apa yang mereka lakukan merupakan upaya untuk

membebaskan dunia dari ancaman dan memulihkan tata pemerintahan yang baik

(good governance) kepada rakyat Irak. Bab ini akan memaparkan kebohongan

yang mereka lakukan dan membuktikan bahwa perang terhadap Irak erat kaitannya

dengan kolonialisme, dan memang kolonialisme-lah yang menjadi dalang semua

itu.

1. Gerakan Renaissance di Eropa telah memicu revolusi intelektual yang

berpuncak dengan industrialisasi dan menandai sebuah tata dunia baru.

Dihadapkan kepada tirani aristokratik dan dogma teokratik, para pemikir Barat

membangun dasar filosofis peradaban Barat. Terlepas dari perbedaan

intelektual di antara mereka sendiri, mereka bersepakat dalam pandangan dunia

yang khas oksidental mengenai pengaturan masyarakat yang memisahkan

gereja dan negara. Namun demikian, para pemuka filsafat itu hanya mengganti

tirani dan kemunduran intelektual dengan penindasan berbentuk ide. Sungguh

ironis bahwa ternyata berkembangnya prinsip-prinsip kebebasan dan demokrasi

liberal berasal dari doktrin yang sama dengan kolonialisme. Ajaran

Jean-Jacques Rousseau tentang demokrasi mengenai persamaan dan kebebasan

mengatakan bahwa, ‘Man was born free, and he is everywhere in chains’ [The

Social Contract, 1743], namun pada saat yang sama, negara yang dijadikan

teladan dalam urusan kebebasan justru memperbudak negara-negara di dunia.

Jules Harmand, salah satu tokoh utama imperialisme Perancis mengatakan,

“Kenyataan akan adanya hierarki ras dan peradaban harus kita terima dan

jadikan sebagai prinsip dan titik tolak, serta fakta bahwa kita termasuk ras dan

peradaban superior…Legitimasi mendasar ihwal penaklukan atas

orang-orang pribumi adalah (cerminan) keyakinan akan kesuperioran kita….”

[Edward Said., ’Culture & Imperialism’., 1993, hal.17]. Kontradiksi

filosofis seperti tersebut di atas merupakan ciri budaya Barat dan lebih jauhnya

lagi memperlihatkan ketidakmampuan akal untuk menentukan sistem hidup

yang akan benar-benar meningkatkan derajat manusia.

2. Dalam kenyataannya, kolonialisme berkembang melalui urat nadi peradaban

Barat; jika kapitalisme dianggap jiwa, maka kolonialisme adalah detak

jantungnya –kebebasan kepemilikan menjadi suatu hal yang dominan dalam

filosofi sekular, yang menentukan tujuan hidup masyarakat. Upaya negara

dalam mengejar kepentingan material diterjemahkan ke dalam prinsip-prinsip

pokok yang menjadi metode untuk menyebarkan ideologi kapitalis, seperti

yang ditegaskan oleh Robert Cooper dalam esainya, ‘Negara Postmodern’.

Seraya menyerukan imperialisme liberal baru dan perlunya kerajaan,

kata-katanya menyuarakan ambisi Inggris satu abad yang lalu ketika Duta

Besar Kolonial Inggris, Joseph Chamberlain mengatakan, ‘sekarang adalah

masanya kerajaan, bukan negara-negara kecil’ [John Norris., ‘Farewell to

the Trumpets; An Imperial Retreat’]. Oleh karena itu, apa yang dikatakan

Robert Cooper, Penasihat Kebijakan Luar Negeri Tony Blair, memang sesuai

dengan tradisi penjajahan mereka, ‘Tantangan bagi dunia postmodern adalah

untuk terbiasa dengan gagasan standar ganda. Di antara kita sendiri, kita

bertindak berdasarkan atas hukum dan keamanan kooperatif yang terbuka.

Namun ketika kita berurusan dengan negara-negara terbelakang di luar benua

postmodern Eropa, kita harus kembali ke metode-metode yang lebih kasar

seperti pada masa sebelum ini –kekuatan, preemptive attack ii , muslihat–

pokoknya apapun yang diperlukan dalam berurusan dengan negara-negara

yang masih hidup dalam dunia abad ke-19. Di antara kita sendiri, kita

mempertahankan hukum. Tetapi ketika berada di hutan maka kita harus

memakai hukum rimba…. Dengan demikian yang dibutuhkan adalah

imperialisme jenis baru, yang bisa diterima oleh dunia yang menganut hak-hak

asasi manusia dan nilai-nilai kosmopolitan. Kita sudah dapat melihat

gambarannya: sebuah imperialisme yang, sama seperti semua imperialisme,

bertujuan membuat tatanan dan keteraturan tetapi kini berdasarkan prinsip

sukarela….’ [Robert Cooper., ‘The New Liberal Imperialism’., 2002].

3. Jadi, kolonialisme benar-benar hidup –bahkan kolonialisme dan peradaban

Barat adalah laksana kembar siam, karena kolonialisme pun lahir dari doktrin

sekular. Sikap standar ganda dalam kebijakan Barat, selama sejarahnya yang

memalukan, bukan sekadar kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi

melainkan juga merupakan suatu kebutuhan ideologis. Memahami filosofi yang

mendasari kolonialisme Barat sangatlah penting, sehingga kita tidak hanya

mampu membaca upaya penghasutan perang atas Irak melainkan juga

menyadari bahwa kolonialisme merupakan bagian integral dari peradaban

Barat, dan membuat kita sadar bahwa sekularisme tidak sesuai untuk dijadikan

kepemimpinan ideologis bagi umat manusia. Oleh karena, tindakan

memerdekakan negeri-negeri Islam berdasarkan prinsip sekular itu bisa

dikatakan tindakan bunuh diri secara politis. Pada hakikatnya para pemikir

Barat berupaya menghilangkan tirani tetapi mereka mengalami kegagalan yang

menyedihkan, karena mereka telah mengganti tirani feodalisme dengan sistem

aturan manusia yang lebih merusak, yang telah menimbulkan bencana yang

tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah manusia. Bagaikan tsunami

yang mengerikan, bencana ideologis ini telah merusak kehidupan manusia

selama berabad-abad dan gelombangnya mengenai Irak, menenggelamkan

orang-orang yang kesulitan ekonomi.

Penjajahan dan Kekejaman

4. ‘Masyarakat yang bebas tidak mengintimidasi melalui penjajahan dan

kekejaman’ ujar Presiden Bush dalam usahanya yang gagal membujuk PBB

memberi legitimasi menyerang Irak. Gaung kata-kata itu sama arogannya

dengan kata-kata Lord Rosebarry satu abad silam, ketika menggambarkan

kerajaan Inggris sebagai ‘agen sekular terhebat yang pernah ada di muka bumi’

[J.A.Hobson., Imperialism’s Study]. Dalam sejarah, Presiden Bush akan

bergabung dengan Lord Roseberry dalam daftar orang-orang termasyhur yang

angkuh, juga bersama Adolf Hitler dan Joseph Stalin, atas kontribusi tindakan

tak bermoral mereka yang luar biasa. Sejarah Irak dibentuk bukan hanya oleh

kekejaman dan penjajahan melainkan juga oleh masalah-masalah di Timur

Tengah yang muncul selama masa imperialisme Eropa yang berabad lamanya,

dan diperparah oleh hegemoni AS. Sungguh sebuah ironi terbesar dalam

sejarah, ketika AS menjadi suatu kekuatan imperial pada saat ia berusaha

membebaskan dirinya dari kolonialisme Inggris dan Eropa. Hal-hal demikian

merupakan konsekuensi yang mengerikan bagi negara yang mendasarkan

dirinya pada ideologi sekular seperti AS, yang meniru Kerajaan Inggris di masa

lampau.

5. The East Indian Company, sebuah percontohan korporasi Barat, menginjakkan

kakinya untuk kali pertama di Mesopotamia pada tahun 1763, saat Inggris

mencari rute perdagangan ke India, koloninya sendiri. Hal itu merupakan

pertanda datangnya sesuatu, seperti saat Lord Palmerston memulai sebuah

pencarian untuk menemukan pasar-pasar baru di Timur Tengah bagi

kepentingan industri dan perdagangan Inggris di tahun 1830-an –sebuah

doktrin yang menjadi bagian integral peradaban Barat– sebagaimana yang

pernah juga dinyatakan oleh Anthony Lake, Penasihat Keamanan Nasional di

masa Presiden Clinton, ‘perusahaan-perusahaan swasta merupakan sekutu

alami dalam usaha kita memperkuat ekonomi pasar’ [Mark Curtis., The

Great Deception Anglo-American Power & World Order., 1998, hal.310].

Demikian pula mantan Menteri Luar Negeri AS, Cordell Hull, yang

mengatakan, ‘Tongkat kepemimpinan menuju sistem baru hubungan

internasional dalam perdagangan dan masalah ekonomi lain sebagian besar

akan berpindah ke Amerika Serikat… Kita harus memikul kepemimpinan ini,

beserta tanggung jawab yang menyertainya, terutama demi kepentingan

nasional kita semata’ [Gabriel Kolko., Politics of War., hal.251].

6. Kepentingan nasional, bahasa eufemisme untuk ketamakan, menjadi stimulus

penjajahan Eropa, ketika Inggris menduduki Aden pada tahun 1839. Di tahun

1882, Inggris menginvasi Mesir yang tengah membangun Terusan Suez dengan

Perancis sejak 1869, yang oleh Perdana Menteri Gladstone dianggap sebagai

‘pencarian kepentingan Inggris terbesar’ karena pada waktu itu 13% dari

seluruh perdagangan luar negeri Inggris berlangsung melalui Terusan Suez.

Earl Kimberley, Duta Besar untuk India pada tahun 1885 menyatakan, ‘Apakah

orang benar-benar mengira jika kita tidak menguasai Kerajaan India maka

kita harus mempengaruhi Mesir?’ [Ronald Hyam., ‘Britain’s Imperial

Century 1815 to 1914’., 1976, hal.180]. Ini merupakan sentimen yang kembali

mengemuka selama Perang Teluk tahun 1991 ketika Lawrence Korb, Asisten

Menteri Pertahanan di masa pemerintahan Reagan, menyatakan, ‘Kita tidak

akan ambil pusing sekalipun Kuwait menghasilkan wortel’ [Paul D’Amato.,

‘US Intervention in the Middle East; Blood for Oil’., International

Socialist Review, Issue 15, December 2000–January 2001]. Pada tahun

1856, Inggris berupaya membuka jalan ke Persia dalam rangka mencari akses

darat menuju koloninya di India dan memenuhi kewajiban-kewajiban

perjanjian untuk melindungi para syeikh penguasa Kuwait, Bahrain, Qatar, dan

Oman untuk menjamin bahwa keempat negeri itu hanya akan diberikan kepada

Inggris.

7. Kemenangan atas Khilafah Utsmaniyah pada PD I selanjutnya mengokohkan

Inggris sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di Timur Tengah. Ia menguasai

Mesopotamia, Persia, Teluk dan Mesir sebagaimana ditetapkan dalam

perjanjian yang terkenal, Sykes-Picot, di tahun 1916. Maret 1917, Inggris

menduduki Baghdad dan dari sebuah telegram yang dikirimkan kepada

pasukan Inggris terdapat indikasi adanya strategi baru kolonialisme Barat pada

abad ke-20. War Office memberitakan, ‘Baghdad akan menjadi Negara Arab

dengan penguasa atau pemerintahan lokal di bawah perlindungan Inggris dalam

segala sesuatunya. Sehingga Baghdad tidak akan memiliki hubungan dengan

kekuatan asing…. Baghdad akan diatur di belakang tirai Arab sejauh mungkin

[P.W. Ireland, ‘Iraq; A Study in Political Development’, 1937]. Tidak

sekadar memelihara rezim boneka sebagai doktrin kolonial, Inggris juga telah

menemukan seni kolonisasi. Penjajahan gaya baru itu terurai dalam pernyataan

Departemen Luar Negeri pada tahun 1947, ‘Kepentingan keamanan dan

strategis kami di seluruh dunia akan terlindungi dengan baik dengan

didirikannya ‘kantor-kantor polisi’ di titik-titik yang tepat yang akan

diperlengkapi dengan kemampuan mengatasi keadaan darurat dalam radius

jarak jauh. Kuwait merupakan salah satu titik untuk mengontrol Irak, Persia

Selatan, Arab Saudi dan Teluk Persia’. Namun demikian, era pasca Perang

Teluk menunjukkan betapa AS telah menerapkan gaya baru itu sekaligus

menggantikan posisi Inggris sebagai kekuatan dominan di Timur Tengah.

8. Dunia melihat AS memelopori doktrin baru kolonialisme Barat, menemukan

gaya baru dalam menjajah negara lain dengan menekankan pada aksi-aksi

rahasia, perbudakan ekonomi dan intrik-intrik politik. Model penjajahan yang

menindas masyarakat Timur Tengah melalui rezim boneka dan mendorong

terjadinya penindasan, penahanan dan pembunuhan. Jesse Leaf, Kepala Analis

Iran CIA, menjelaskan intimidasi AS di Timur Tengah ketika dia mengatakan,

‘Kami bentuk mereka (SAVAK), kami atur mereka, kami ajari mereka apapun

yang kami tahu… teknik interogasi yang ekstrim… termasuk penyiksaan…

ruang penyiksaaan dibuat dan semuanya itu dibiayai oleh Amerika Serikat’

[Salaam Al-Sahrqi, ‘Iran: Unholy Alliances, Holly Terror’, Covert Action

Information Bulletin, No.37, Summer 1991]. Pengendalian penduduk Timur

Tengah lebih jauh lagi diuraikan dalam memorandum pemerintah AS,

‘Kebijakan terbaru Amerika adalah membatasi penjualan senjata ke

negara-negara Timur Tengah demi memenuhi jumlah layak yang dibutuhkan

untuk menjaga keamanan internal’ [Statement by the United States &

United Kingdom Groups, FRUS, 1947, Vol. V hal. 613] dan Dewan

Keamanan Nasional AS mengatakan bahwa bantuan militer sangat penting

‘sebagai alat untuk mempertahankan keamanan internal’ [National Security

Council, Statement of U.S. Policy toward Iran, 15 November 1958, FRUS,

1958-1960, Vol.XII, hal. 611-613]. Senator AS, Hubert Humphrey

menjelaskan kebijakan tersebut dalam kaitannya dengan pertemuan antara

pejabat AS dengan pemimpin militer Iran, ‘Tahukah Anda apa yang dikatakan

pimpinan tentara Iran kepada salah satu orang kita? Dia mengatakan pasukan

berada dalam kondisi yang baik, berkat bantuan AS, sekarang tentara mampu

menjalin hubungan dengan penduduk sipil’ [Fred Halliday, ‘Arabia Without

Sultans’].

9. Kudeta dan kudeta balasan telah menjerat politik Timur Tengah ke dalam racun

persaingan Barat, segera setelah PD II. AS menempatkan Husni Zaim di Syria

pada tanggal 30 Maret 1949. Miles Copeland, yang sudah memimpin berbagai

operasi CIA di wilayah Teluk, menggambarkan, ‘Jika Anda tidak dapat

mengubah permainannya, ubahlah pemainnya’ [Miles Copeland, ‘The Game

of Nations’, 1969, hal. 28]. Tahun 1958, AS melakukan intervensi di Libanon

dengan mengirim angkatan laut dan pasukan marinir untuk mempertahankan

apa yang disebut sebagai ‘stabilitas’; sebuah eufemisme untuk menyebut

pengaruh AS di wilayah tersebut. AS kembali melakukan intervensi terhadap

masalah Libanon pada tahun 1983, dengan mengirim pasukan marinir ke

daerah konflik yang ditimbulkan oleh persaingan imperial. Perang Teluk tahun

1991 bisa dikatakan sebagai aksi militer terbesar yang dilakukan AS di Timur

Tengah. Hal itu bahkan memfasilitasi pendudukan militer dalam segala hal di

mana AS memperkokoh keberadaan basis militer sambil mengamankan

pendudukan baru di Arab Saudi, Qatar, dan Kuwait. Anthony Cordesman,

Ketua Strategi di Pusat Kajian Strategis dan Internasional (Chair for Strategy at

the Center for Strategic and International Studies), mengungkapkan

fundamentalisme kolonial AS, ‘Satu dekade silam, di bawah Presiden Bush

senior, kami mengangkat krisis kebijakan luar negeri yang utama di Timur

Tengah dengan posisi yang paling menguntungkan yang pernah kami dapatkan

sejak Perang Dunia II’ [Anthony H Cordesman, ‘Iraq and America’s

Foreign Policy Crisis in the Middle East’, 1 Maret 2001]. Suatu keuntungan

yang dinikmati oleh para pemimpin militer, seperti yang tanpa ragu-ragu

digambarkan oleh Brigadir Jenderal William Looney, ‘Mereka mengetahui

bahwa kita menguasai negara mereka… Kita mendikte cara bicara dan cara

hidup mereka. Dan itulah hal terhebat tentang AS sekarang ini. Itu hal yang

bagus, khususnya ketika di sana ada banyak sekali minyak yang kita butuhkan’

[Dr. Eric Herring, ‘Iraq: the Realities of Sanctions and the Prospects for

War’, October 2002].

10. Karena itu, kekuasaan AS dan Inggris terhadap Timur Tengah bukan hanya

dibentuk oleh penaklukkan, tetapi juga dicirikan oleh kekejian, sesuatu yang

sudah teramat familiar bagi rakyat Irak. Tahun 1919, rakyat Irak dicekam

ketakutan akan gas mustard dan sekarang ini pesawat tempur AS dan Inggris

melanjutkannya dari tempat yang ditinggalkan para pendahulu mereka,

menggunakan maksim Harris ‘Pembom’, menjatuhkan ‘sebuah bom di setiap

desa yang banyak omong’ [Martin Wrollacott, ‘Getting the Dosage Right’,

Guardian 19 Januari 1993]. Kebiadaban seperti itu merupakan hakikat

kolonialisme Barat dan tidakkah mengherankan ketika Presiden Bush

mengadopsi cara-cara Winston Churchill, yang baru-baru ini dianggapnya

sebagai negarawan panutan. ‘Dia adalah orang yang secara aktif mendorong

penggunaan gas mustard dan memberikan sanksi kepada pilot-pilot Inggris

yang menembaki secara brutal anak-anak dan wanita Irak ketika mereka

melarikan diri dari rumah karena belum membayar pajak’ [David Omissi.,

‘Baghdad and British Bombers’ Guardian, 19 Januari 1991]. Saat itu

Sunday Times menulis, ‘Kita membunuh sekitar 10 ribu orang Arab di awal

musim panas ini. Kita tidak bisa berharap mempertahankan jumlah sebanyak

itu’ [Elie Kedourie, ‘England & the Middle East, the Destruction of the

Ottoman Empire 1914-1921’].

11. Churchill sendiri mengakui kebiadaban nafsu kolonialisme Barat di Irak

dengan mengatakan, ‘Tidak diragukan lagi bahwa kami adalah orang-orang

yang sangat kejam’ [Mark Curtis., ‘The Great Deception Anglo-American

Power & World Order’., 1998, hal. 136]. Bahkan ketika mantan Menteri Luar

Negeri AS, Madeline Albright, ditanya apakah kematian setengah juta

anak-anak di Irak merupakan sanksi yang setimpal bagi Irak, dengan tenang dia

menjawab, ‘Saya pikir ini merupakan pilihan yang sangat sulit, tapi kami pikir

memang setimpal’ [Wawancara Lesley Stahl dengan Madeline Albright di

televisi CBS, 1996]. Kekejaman seperti itulah yang kemudian menyebabkan

Koordinator Kemanusiaan PBB di Irak, Denis Halliday, mengundurkan diri. Ia

mengatakan, ‘Saya mengundurkan diri karena kebijakan sanksi ekonomi itu

benar-benar menyengsarakan. Kita sedang berada dalam proses

penghancuran masyarakat secara keseluruhan…. Saya diberi mandat untuk

menjalankan kebijakan yang akan termasuk ke dalam pengertian genosida;

suatu kebijakan yang secara efektif telah membunuh lebih dari satu juta anak

dan orang dewasa’ [Dr. Eric Herring, ‘Iraq; the Realities of Sanctions and

the Prospects for War’, October 2002]. Bisa jadi pembenaran moral atas

kejahatan Barat terlihat dalam pandangan para pengambil kebijakan Inggris

yang menggambarkan orang Irak sebagai orang-orang yang ‘kejam, kasar, dan

suka berkuasa’ [Louis, ‘The British Empire in the Middle East’, hal. 159].

Atau mungkin pandangan mantan Duta Besar Inggris di Iran dapat memberikan

sedikit pencerahan, ia mengatakan, ‘orang yang berpikiran primitif lebih

mudah memeluk Islam dengan lima kewajibannya yang simpel itu’ [Ibid, hal.

60].

12. Terlihat adanya paradoks ketika para ideolog Barat mengaku dirinya sebagai

pembebas, padahal pemerintahan mereka, bukan hanya di Timur Tengah tetapi

juga di dunia, tidak memiliki apapun kecuali kebijakan keji yang dirancang

untuk orang-orang yang dijajah. Bagaimanapun juga harus diperhatikan bahwa

para politisi Barat menjadi sangat bersungguh-sungguh terhadap ideologi

mereka karena inilah realita kapitalisme. Bahkan mereka sangat bangga akan

peninggalan yang mereka wariskan, seperti yang tanpa malu-malu diungkapkan

Blair, ‘Inggris telah menjadi kekuatan utama di dunia selama beberapa abad’

dan ‘tak ada satupun patriotis Inggris yang rela melepaskan status itu’ [Mark

Curtis., ‘The Great Deception Anglo-American Power & World Order’.,

1998, hal. 49]. Bahkan prinsip ‘membangun bangsa (nation building)’ tidak

mengalami perubahan sejak abad ke-19. Ketika Mesir mengembangkan industri

tekstilnya pada tahun 1830-an, pada saat yang sama Eropa sedang mengalami

revolusi industri. Eropa mencoba mencegah industrialisasi di dunia Islam. Pada

tahun 1817 konsul Perancis memperingatkan, ‘Pabrik-pabrik sutera yang

didirikan di Mesir akan menghantam sutera Italia, dan bahkan sutera kita’

[Noam Chomsky., ‘World Orders, Old and New’., 1998, hal. 117]. Inggris

pun ‘tidak menghendaki adanya sebuah negara merdeka baru di Mediterania,

negara yang secara ekonomi dan militer memiliki kekuatan yang membuatnya

mampu memantau kemajuannya di daerah itu dan Teluk Persia’ [ibid]. Oleh

karena itu Inggris berkonspirasi untuk mencegah kemajuan ekonomi dan

industrialisasi di Mesir dengan mengirimkan angkatan lautnya ‘untuk

menghancurkan usaha Mesir memperjuangkan kemerdekaan dan

perkembangan ekonomi’ [ibid], sesuatu yang terus-menerus dilakukan Barat

sebagaimana terbukti di Irak. Economist mengatakan, ‘Negara kesejahteraan

Irak sampai saat ini merupakan salah satu negara yang paling komprehensif

dan murah hati di dunia Arab’ [Dr. Eric Herring, ‘Iraq; the Realities of

Sanctions and the Prospect of War’, October 2002]. Namun sebagai bangsa

yang menyombongkan diri dengan konsep negara kesejahteraannya, Barat telah

membebankan utang kepada Irak sebesar US$ 200 juta dengan bunga berlipat

ganda, yang membuat Irak berada berdampingan dengan Rwanda dalam rasio

utang terhadap ekspor. Hal itu membuat orang-orang Irak akan memiliki utang

selama beberapa generasi ke depan. Konsep ‘masyarakat bebas’ telah

mengurangi status Irak atas apa yang disampaikan PBB dalam laporan tahun

1991 sebagai, ‘hasil yang terungkap dari infrastruktur ekonomi dari

masyarakat yang, hingga Januari 1991, terkena dampak urbanisasi dan

mekanisasi… Untuk beberapa lama peringkat Irak akan seperti negara masa

pra-industri’.

Persaingan Imperialis

13. Dari paparan di atas, terlihat bahwa penjajahan dan kekejaman merupakan ciri

abadi peradaban Barat, dan masalah-masalah di Timur Tengah telah diperburuk

selama berabad-abad dengan persaingan Barat yang mencapai puncaknya pada

Perang Dunia I dan II. Apa yang kita lihat sekarang ini adalah sama dengan

ketika Napoleon mencoba melemahkan kekuatan Inggris dengan menyerang

Mesir pada tahun 1798. Doktrin sekular telah menggerakkan ‘dunia bebas’

untuk memaksakan fundamentalisme imperial mereka kepada rakyat Timur

Tengah, sebagai bagian upaya negara-negara Barat dalam mencari pengaruh

dan dominasi dunia. Serangan politis terhadap dunia Islam yang dimulai pada

abad ke-18 terus berlangsung hingga abad ke-21 ini. Joseph Chamberlain

mengatakan ambisi negara pada abad ke-9 sebagai upaya ‘membentuk sebuah

imperium’ [Ronald Hyam., ‘Britain’s Imperial Century 1815 to 1914’.,

1976, hal. 2]. Kata-kata inilah yang mengilhami ambisi Perdana Menteri Blair

‘untuk mengembalikan kekuatan kita agar bisa sejajar dengan kekuatan besar

lain’ dan ‘untuk meraih kepentingan Inggris dengan sungguh-sungguh,

terus-menerus, dan mantap’ [Mark Curtis, ‘The Great Deception

Anglo-American Power and World Order’].

14. Pada abad ke-19, Inggris terobsesi dengan kemunduran Khilafah Utsmaniyah

dan bagaimana hal tersebut akan berdampak terhadap pengaruh Inggris dan

keseimbangan kekuatan internasional. Lord Palmerston mengatakan,

‘kepentingan Inggris meliputi seluruh dunia’ [Ronald Hyam, ‘Britain’s

Imperial Century 1825-1914; A Study of Empire and Expansion’, 1976,

hal. 3] dan kepentingan inilah yang coba dilindungi dari ambisi Perancis dan

Rusia, yang berada dalam keadaan terkepung setelah runtuhnya Khilafah

Utsmaniyah. Oleh karena itu, para negarawan imperialis memperdebatkan

apakah mereka harus mereformasi Khilafah di Eropa agar menjadi protektorat

Eropa atau membagi-bagi ke-Khilafahan secara damai di antara negara-negara

Barat. Sebelum menjadi Menteri Luar Negeri pada tahun 1878, Lord Salisbury

mengatakan, ‘… memelihara kepentingan Inggris dengan mempertahankan

Khilafah Utsmaniyah adalah hal yang tidak praktis dan saya pikir sekarang

adalah saatnya untuk mempertahankan kepentingan Inggris secara langsung

dengan beberapa pengaturan wilayah. Saya khawatir, ketika kita mencapai

kesepakatan beberapa tahun kemudian, maka satu dari dua hal akan terjadi.

Entah apakah Perancis akan memulihkan kembali posisinya dan merasa iri

akan perluasan kekuatan kita di Mediterania, atau Jerman akan menjadi

kekuatan di lautan. Kemungkinan-kemungkinan ini akan menyulitkan kita

dalam menyiapkan basis, kalau-kalau kita kehilangan Konstatinopel’ [Elie

Koudrie., ‘England and the Middle East; the Destruction of the Ottoman

Empire 1914-1921’., hal. 21].

15. Dalam perjalanan sejarahnya, Amerika Serikat juga menghadapi tantangan

yang sama dalam kepemimpinan globalnya mengingat AS pun menghadapi

masalah kevakuman politis yang disebabkan oleh runtuhnya kekuatan adidaya.

Abad 19 merupakan abad keruntuhan Khilafah Utsmaniyah yang sangat

berpengaruh terhadap perimbangan kekuatan internasional dan kepentingan

Inggris. Sedangkan akhir abad 20 merupakan keruntuhan negara Uni Soviet,

yang menciptakan rekonfigurasi konteks geopolitis, yang gelombangnya masih

terasa hingga abad 21. Hal itu telah menyita perhatian pemerintahan AS.

Mantan Menteri Luar Negeri, Warren Christopher, menyatakan, ‘sebagai

satu-satunya negara adidaya yang tersisa, kita memiliki kesempatan yang

belum pernah kami peroleh sebelumnya, yaitu membentuk dunia sesuai yang

kita inginkan’ [Mark Curtis., ‘The Great Deception Anglo-American

Power and World Order’., 1998, hal. 35], dan setelah peristiwa 11

September, Amerika mencoba mengeksploitasi kesempatan yang terbuka lebar

untuk menata ulang Timur Tengah. Sebuah laporan dari Presidential Study

Group memperlihatkan perdebatan di kalangan negarawan AS di abad 21.

Laporan yang diberi judul ‘Navigating through Turbulence; America and the

Middle East in a New Century’ itu menggambarkan tantangan strategis pasca

era perang dingin. ‘Pada tanggal 20 Januari 2001, presiden baru akan

menempati kantor selagi di Timur Tengah situasi makin membahayakan.

Selagi beberapa negara di wilayah Teluk masih mencari bentuk hubungan

politis dan militer dengan Amerika Serikat, hubungan Arab-Israel berada

dalam kondisi kritis, keradikalan wilayah Teluk muncul kembali, dan kondisi

rakyat di dunia Arab yang mengkritisi kebijakan AS. Secara keseluruhan,

situasi strategis Amerika di Teluk lebih banyak tantangannya ketimbang

peluangnya’ [Presidential Study Group, ‘Navigating Through Turbulence;

America & the Middle East in a New Century’, Washington Institute for

Near East Affairs, 12 Desember 2000, hal. 7].

16. Puncak pengkajian ulang kebijakan luar negeri AS tertera dalam Strategi

Keamanan Nasional (National Security Strategy-NSS) yang diterbitkan pada

bulan September 2002. Max Boot, seorang jurnalis dan penulis ‘the Savage

Wars of Peace; Small Wars & the Rise of American Power’,

menggambarkannya sebagai ‘pernyataan kebijakan luar negeri AS yang

signifikan sejak NSC 68, naskah tahun 1958 yang menyusun doktrin

penahanan’ [Max Boot, ‘Doctrine of the Big Enchilada’, Washington Post,

14 Oktober 2002] karena NSS menetapkanan prinsip-prinsip bagi pandangan

dunia baru di era pasca Perang Dingin. Dapat dikatakan bahwa Presiden Bush

menapaki jalan yang dulu pernah ditempuh para pendahulunya yang selalu

membuat perubahan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Dimulai dengan

doktrin Truman, diikuti doktrin Eisenhower, dan sekarang Presiden Bush

memiliki doktrinnya sendiri bagi kebijakan luar negeri AS. Dalam State of the

Union pada bulan Januari 2002, ia menyebutkan tiga prinsip kunci doktrin

Bush. Prinsip pertama menekankan pada upaya mempertahankan

kepemimpinan AS di dunia; strategi Bush menyatakan, ‘pasukan kami cukup

kuat untuk menghadapi lawan yang berpotensi mencapai pengembangan

militer dengan harapan bisa melebihi atau minimal menyamai kekuatan

Amerika Serikat’ [Max Boot, ‘Doctrine of the Big Enchilada’, Washington

Post, 14 Oktober 2002]. Kedua, AS akan melakukan pre-emptive attack

terhadap ancaman-ancaman potensial; Presiden Bush mengatakan bahwa

‘musuh Amerika memandang seluruh dunia sebagai medan pertempuran’ dan

bersumpah akan ‘memburu mereka di manapun mereka berada’ [Schimtt and

Donelly, ‘The Bush Doctrine’, 30 Januari 2002]. William Kristol, mantan

Kepala Staf Gedung Putih untuk Wakil Presiden menjelaskan, ‘Pada tahun

1947, Harry Truman membalikkan kebijakan pasca Perang Dunia II mengenai

penarikan diri dari Eropa, dan menggiring AS untuk menghambat dan

menantang Uni Soviet. Pada tahun 1981, Ronald Reagan membalikkan

kebijakan pengurangan tegangan antar negara (detenta) yang gagal dan

bertekad untuk menumbangkan komunisme. Pada Selasa malam, George W.

Bush mengakhiri dekade yang penuh sikap malu-malu serta saling menunggu

dan berkomitmen menghilangkan ancaman tirani musuh yang mengembangkan

senjata pemusnah massal. Ini sama dengan apa yang dilakukan Truman dan

Reagan. Ini tidak akan mudah sekaligus menyakitkan. Tapi inilah harga bagi

sebuah negara besar’ [William Kristol, Taking the War Beyond Terrorism,

Washington Post, 31 Januari 2002]. Akhirnya, sama seperti semua ideolog

terdahulu, perjuangan terkenal untuk mempromosikan prinsip demokrasi

liberal disebarluaskan. Para pemikir pada Project for the New American

Century mengatakan, ‘Doktrin Bush sangat terkenal dan berbeda. Ini bukan

multilateralismenya Clinton; sang presiden tidak memohon kepada PBB,

menyatakan kepercayaan terhadap (perjanjian) pengendalian senjata, atau

menumbuhkan harapan untuk ‘proses perdamaian’. Ini pun bukan realisme

perimbangan kekuatan yang diusung sang ayah, Bush senior. Ini lebih

merupakan penegasan kembali bahwa keberlangsungan keamanan dan

perdamaian hanya bisa dimenangkan dan dipertahankan dengan cara

memaksakan kekuatan militer AS dan prinsip politik Amerika’.

17. Oleh karena itu, AS sang imperialis itu mengulangi kepentingan strategis

saudara mereka, yakni Inggris, di abad ke-19, karena seperti halnya Inggris, AS

pun berusaha keras mempertahankan kepemimpinan mereka di dunia dan

kontrol atas wilayah Timur Tengah merupakan titik sentral yang amat vital

untuk mencapai tujuan tersebut. Sejak pemerintah Inggris menyadari

bahwasanya kontrol atas minyak merupakan ‘nilai yang vital bagi setiap

kekuatan yang ingin memiliki pengaruh atau dominasi atas dunia’

[‘Introductory Paper on the Middle East’, FRUS, 1947, Vol. V, hal. 569],

Menteri Luar Negeri Inggris, Selwyn Lloyd pada tahun 1956 menulis, ‘Kita

harus mempertahankan kontrol atas minyak ini apapun risikonya’ [Pesan dari

Menteri Luar Negeri Inggris Lloyd untuk Menteri Luar Negeri AS Dulles,

23 Januari 1956, FRUS, 1955-1957, Vol. XIII, hal. 323]. AS tidak terlalu

jauh tertinggal dalam menyadari pentingnya hal ini –pada tahun 1953 Dewan

Keamanan Nasional mengatakan, ‘Kebijakan Amerika Serikat adalah

mempertahankan sumber minyak di Timur Tengah agar tetap berada di tangan

Amerika’ [Mohammad Haekal., ‘Cutting the Lions Tail; Suez Through

Egyptian Eyes’., 1986, hal. 38] dan pada tahun 1945 Departemen Luar Negeri

AS menyatakan, ‘Sumber-sumber (minyak) itu menjadi sumber kekuatan

strategis yang sangat menakjubkan, dan merupakan salah satu materi paling

bernilai dalam sejarah dunia… barangkali nilai ekonomis tertinggi di dunia

dalam bidang investasi luar negeri’ [Sejarah Departemen Luar Negeri AS,

1945, Vol. 8, hal. 45]. Karena itulah, AS mencoba mempertahankan

kepemimpinannya di dunia dengan cara mengamankan kontrol atas kekayaan

minyak wilayah Teluk, dengan maksud ‘mencegah munculnya musuh dalam

wujud hegemoni atau koalisi regional’ [Conetta dan Knight, ‘Military

Strategy Under Review, Foreign Policy in Focus’, Vol. IV No. 3, Januari

1999], sebagaimana digambarkan dalam Quadrennial Defence Review yang

diserahkan oleh mantan Menteri Pertahanan, William Cohen, kepada Kongres

AS pada bulan Mei 1997. Paul Wolfowitz juga merefleksikan ambisi AS

mendominasi dunia dalam dokumen rencana yang mengatakan bahwa AS harus

‘mempertahankan mekanisme untuk bahkan menghambat ambisi pesaing

potensial untuk mendapat peran regional atau global yang lebih besar’ [Max

Boot, ‘Doctrine of the Big Enchilada’, Washington Post, 14 Oktober 2002].

18. Dengan sendirinya, hal ini membuat AS terlibat konflik dengan negara-negara

kolonialis lain dan telah mencapai puncaknya di PBB. AS, dengan

unilateralismenya, telah mendesak Presiden Perancis, Chirac, untuk

memberikan peringatan dini akan bahaya yang akan timbul, ketika Chirac

mengatakan, ‘Hal ini juga mempertaruhkan masa depan hubungan

internasional’ [‘UN only legitimate framework for action on Iraq’,

Egyptian Gazette, 18 Oktober 2002]. Namun sejak PD II, secara diam-diam

AS berupaya melikuidasi pengaruh Eropa dan Inggris di Timur Tengah, dan

inilah hal yang paling ditakuti Chirac. Pada tahun 1947, AS mengumumkan

berakhirnya kekuasaan Inggris di Timur Tengah kepada Kedutaan Besar

Inggris di Washington. Miles Copeland menulis, ‘Dua pesan itu merupakan

pemberitahuan resmi bahwa masanya Pax Britannica, yang telah memegang

kekuasaan di berbagai belahan dunia selama lebih dari satu abad, sudah

berakhir’ [Miles Copeland., ‘The Game of Nations’., 1989, hal. 145]. Inilah

awal pertentangan sengit Anglo-Amerika di Timur Tengah yang memuncak

dengan adanya permainan kudeta dan kudeta balasan. Di Mesir, AS menggusur

rezim boneka Inggris Raja Farouk, dan dengan kalem Miles Copeland

menceritakan masalah tersebut, ‘CIA melihat adanya sebuah kesempatan. Kami

memutuskan kontak resmi dengan SIS Inggris’, selanjutnya ia kisahkan,

‘Sehingga pada tanggal 23 Juli 1952, kudeta terjadi secara mendadak tanpa

menemui rintangan, dengan dipimpin oleh Jenderal Mohammed Naguib.

Selama enam bulan berikutnya, kontak dengan Nasser, Revolutionary

Command Council (RCC=Dewan Komando Revolusioner)-nya Nasser, dan

para pejabat sipil dilakukan hanya ‘secara langsung’ di kedutaan kami,

termasuk sang duta besar Caffery sendiri’ [Miles Copeland., ‘The Game of

Nations’., 1989, hal. 145].

19. Dengan demikian krisis Irak yang terjadi sekarang ini merupakan kelanjutan

pertentangan di antara kekuatan-kekuatan Barat. Di awal abad ke-20,

negara-negara Eropa meributkan masalah pembagian tanah Khilafah di antara

mereka, dan seabad kemudian mereka mempersoalkan pembagian

sumber-sumber kekayaan kawasan Teluk di antara mereka, sementara AS

senantiasa mencoba mendapat porsi terbesar. Pakar Rusia dari Carnegie

Endowment Institute, Michael McFaul, mengatakan, ‘Presiden Rusia, Putin,

dan pemerintahannya percaya bahwa AS akan terus maju dengan atau tanpa

Rusia, sehingga Rusia mencoba…mengambil apa yang mereka bisa ambil dari

Amerika’. Sementara Paul Sanders, Direktur Institut Nixon, mengatakan,

‘Minyak merupakan hal yang paling utama… ada ketakutan di Rusia bahwa

bilamana AS mengganti rezim di Irak, maka semua kontrak minyak akan

beralih ke AS sehingga Rusia akan ditinggalkan’ [Eric Boehlert, ‘At the UN

its all about the Money’, 14 Oktober 2002]. Dalam konteks ini kita bisa

melihat negara-negara Barat saling bersaing memperoleh kekuasaan, saling

berebut untuk mengamankan kepentingan minyak mereka di Irak, sebuah

perebutan yang mengingatkan kita terhadap kolonialisasi Eropa atas Afrika

pada abad 19. Kebijakan AS adalah mencoba melemahkan berbagai pengaruh

dan kontrol Eropa di Irak, sebagaimana dikatakan Michael O’Hanlon dari

Brookings Institute kepada The House Armed Services Committee, ‘Wilayah

yang ditempati Irak merupakan daerah yang sangat kritis bagi kepentingan AS

sehingga kita tidak bisa masuk begitu saja, menggulingkan Saddam, dan

membiarkan orang lain membersihkannya… Irak, tidak seperti Afghanistan,

terletak di jantung Arab, sebuah wilayah yang stabilitasnya sangat penting

bagi kepentingan AS’ [Michael O’Hanlon, Anggota Senior, Brooking,

Kesaksian di hadapan Komite Angkatan Bersenjata DPR AS, 2 Oktober

2002]. Karenanya, perubahan rezim di Irak merupakan upaya merealisasikan

cita-cita AS dalam ‘membentuk lingkungan’ Timur Tengah menurut sudut

pandangnya sendiri [Carl Conetta dan Charles Knight, ‘Military Strategy

Under Review’, Foreign Policy in Focus Vol. IV No. 3, Januari 1999].

Perubahan rezim bahkan akan memecah wilayah Irak menjadi beberapa bagian,

sesuatu yang telah AS upayakan sejak akhir Perang Teluk tahun 1991, namun

selalu gagal. Pada bulan September 1998, di hadapan The House National

Security Committee, Deputi Menteri Pertahanan, Paul Wolfowitz, menguraikan

tipu muslihat Amerika dalam melakukan kontrol atas Irak, ‘Membangun zona

aman yang terlindungi di bagian Selatan, di mana pihak oposisi Saddam bisa

berkumpul dan mengorganisir, akan memungkinkan… pemerintahan

sementara mengontrol ladang minyak terbesar di Irak dan membuka

ketersediaan minyak, di bawah pengawasan internasional, sumber-sumber

keuangan yang luar biasa besarnya untuk tujuan politis, kemanusiaan dan

akhirnya, tujuan militer’ [Pernyataan Paul Wolfowitz perihal Kebijakan AS

terhadap Irak, 18 September 1998]. Dukungan Donald Rumsfeld dan Paul

Wolfowitz terhadap sepucuk surat yang disponsori oleh The Project for a New

American Century lebih jauh lagi membuktikan kebijakan AS, ‘menyerukan

pendirian pemerintahan sementara dan berdaulat di wilayah Utara dan

Selatan Irak yang tidak berada di bawah kontrol Saddam… pasukan militer AS

dan sekutu harus dipersiapkan untuk mendukung pihak oposisi Irak dan

bersiap-siap… untuk membantu menggusur Saddam dari tampuk kekuasaan’

[‘Memorandum to Opinion Leaders’ from Tom Donnelly, Deputy

Executive Director of the Project for the New American Century, 6 Juli

2001].

20. Tidak diragukan lagi krisis Irak merupakan episode lanjutan dari rivalitas

kolonialis yang telah berlangsung berabad-abad lamanya. Pada awal abad

ke-20, Inggris dan Perancis membagi Khilafah Utsmaniyah ke dalam

negara-negara boneka, salah satunya adalah Irak, dan di awal abad ke-21, AS

berusaha menandingi imperialisme Eropa dengan, bahkan, memecah-belah

Irak. Mereka menundukkan rakyat dengan menyebarluaskan racun ideologis,

yang baik dahulu maupun sekarang selalu menjadi dorongan di balik

gerakan-gerakan nasionalis yang menimbulkan penderitaan berkepanjangan

bagi kaum Muslim. Bencana ideologis yang lahir pada zaman Renaissance

telah membuat dunia Barat tidak hanya menjajah Timur Tengah tetapi juga

Afrika, Asia, dan Amerika Selatan. Sejarahnya dipenuhi dengan janji-janji

hiprokrit, argumentasi palsu dan tipu muslihat. Sebelumnya, sejarah dunia tidak

pernah mengalami ketidakadilan, korupsi dan kesenjangan ekonomi yang

demikian parah. Dengan hancurnya Khilafah Utsmaniyah pada tanggal 3 Maret

1924 oleh negara-negara kolonialis, maka hilang jualah satu-satunya negara

yang mengemban kepemimpinan ideologis sejati dan yang menjadi alternatif

ideologis selain Kapitalisme Barat. Para kolonialis telah menghancurkan

negara tersebut dan memecah-belah penduduknya pada saat rasa persaudaraan,

cinta dan kasih sayang telah terjalin kuat di antara mereka. Selanjutnya mereka,

kolonialis itu, menabur benih perang di Palestina. Padahal selama

berabad-abad, kaum Muslim, Yahudi, dan Kristen telah hidup berdampingan di

sana dengan penuh martabat, kehormatan, dan keadilan, di bawah naungan

Islam. Bukan hanya itu saja, mereka pun memaksakan penerapan sistem aturan

mereka melalui para rezim diktator di atas puing-puing Khilafah. Rezim-rezim

yang akan melindungi kepentingan-kepentingan Barat dengan cara mencegah

berdirinya kembali Negara Khilafah melalui perjuangan damai. Untuk

membungkam perjuangan damai itu, rezim-rezim tersebut bahkan tega

melakukan pembunuhan, penahanan dan penyiksaan, karena Khilafah

merupakan satu-satunya negara yang akan benar-benar menjadi tandingan

ideologis bagi kapitalisme liberal Barat.

21. Oleh karena itu, kolonialisme terasa begitu hidup karena ia memang bagian

integral dari eksistensi peradaban Barat, dan doktrin Bush sebagaimana juga

doktrin imperialisme liberal baru yang diajukan oleh Robert Cooper,

merupakan produk kolonialisme masa kini. Masa yang oleh para pemikir Barat

disebut sebagai sebuah peralihan menuju ‘abad informasi’ atau ‘era pasca

industri’ yang digambarkan futuris Alvin Toffler sebagai lahirnya sebuah

peradaban baru. Namun, selagi Barat berupaya membangun infrastruktur baru

untuk menciptakan kemakmuran yang akan memajukan peradaban barat,

landasan bagi kemajuan ini tetap berakar pada doktrin sekular dan

masalah-masalah sosial yang terus bertambah sebagai hasil perubahan zaman

itu, bukan semata-mata hasil perubahan seperti yang dikemukakan oleh para

pemikir Barat, melainkan berasal dari kontradiksi filsafat Barat. Kemelut sosial

yang terjadi di Dunia Kesatu dan di Dunia Ketiga merupakan hasil ideologi

sekular dan globalisasi telah benar-benar menampakkan kejahatan kolonialisme

Barat. Tumbuhnya independensi bangsa-bangsa dan perkembangan informasi

telah membuka mata para pemikir Barat terhadap masalah-masalah kapitalisme

global dan karakter imperialisnya. Menciptakan tatanan internasional untuk

keamanan dan kesejahteraan tidak akan mengakhiri ketidakadilan, karena

tatanan tersebut dibentuk dalam konteks sekular, seperti halnya kolonialisme

yang juga lahir dari filsafat sekular.

Kesimpulan

Dokumen yang kami susun ini secara politis dan intelektual menyoroti dua

hal; motif sesungguhnya yang ada di balik perang terhadap Irak, dan kebijakan luar

negeri kolonial Barat. Dokumen ini dengan jelas memperlihatkan kepada para

pengamat yang memiliki kesadaran, bahwa dunia yang kita tempati sekarang sama

sekali tidak memiliki kepemimpinan sejati. Kapitalisme telah gagal

mempersatukan umat manusia, memajukan sarana-sarana material, mencerahkan

pemikiran mereka dan mengabaikan hasrat mereka akan peningkatan spiritual dan

intelektual. Nyatanya, kapitalisme malah membawa dunia menuju jurang

kehancuran. Mayoritas penduduk dunia berada dalam keadaan tertindas, sementara

yang minoritas mengeruk kekayaan dan sumber daya mereka. Ketidakseimbangan

ini dilegitimasi oleh kotak suara, di mana rakyat diberikan sejuta mimpi dan

harapan untuk sekadar melihat pemerintahan demi pemerintahan yang malah

semakin mempererat hubungan mereka dengan kekuasaan korporasi. Ideologi

seperti ini tidak dapat memimpin manusia keluar dari kegelapan menuju

kebangkitan yang hakiki.

Jadi, kami menyerukan perubahan kepada dunia. Bukan perubahan seperti

yang diramalkan Bush terhadap Irak, sekadar perubahan orang, perubahan rezim

–karena kita telah melihat rezim-rezim yang diganti oleh CIA, sehingga dunia

dikotori oleh Hamid Karzai-Hamid Karzai lain. Yang dibutuhkan dunia saat ini

adalah sebuah peninjauan ulang yang mendasar, tentang bagaimana hidup dan

sistem kehidupan itu dipandang. Perubahan yang kami ajukan adalah ideologi

Islam –solusi yang jelas dan satu-satunya terhadap penyakit yang kita derita.

Islam ideologis sudah lama ditindas oleh negara-negara Kapitalis. Kami,

sebagai Muslim, tetap berpendirian bahwa Islam telah memberi landasan yang

cerah yang melahirkan sistem hidup yang mumpuni; sebuah ideologi yang

memperlakukan semua permasalahan secara tepat, bertanggung jawab dan

seimbang. Islam tidak melarang kemajuan materi, namun Islam pun tidak

menjadikan materi sebagai kekuatan pendorong masyarakat, sehingga menafikan

nilai-nilai moral, spiritual dan kemanusiaan, seperti yang sekarang ini kita saksikan

terjadi di Barat. Politik Islam tidak berlandaskan atas prinsip-prinsip amoral Barat,

yang menjadikan ketercapaian kepentingan materi berada di atas segalanya,

sampai-sampai manusia kehilangan nilai-nilai kehidupan.

Satu-satunya proses penerapan Islam secara praktis ialah melalui pendirian

Negara Islam (Khilafah). Dengan absennya Khilafah dari percaturan politik dunia

sejak tahun 1924, dunia berada dalam genggaman kekuasaan tanpa belas kasih

yang berasal dari ideologi yang kini mengalami kemerosotan. Ideologi yang tidak

mengenal batas maupun rasa kemanusiaan. Saat ini, kaum Muslim di seluruh dunia

menyerukan berdirinya kembali Khilafah, karena memang itulah satu-satunya cara

yang dapat membebaskan kita dan bahkan dunia dari kapitalisme.

Kami mendorong Anda untuk memenuhi seruan perubahan ideologi

–sekaranglah saatnya bagi Anda untuk mempelajari Islam sebagai alternatif

ideologis.

Dan jangan sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk

berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan

bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu

kerjakan. (TQS. al-Maidah [5]: 8)

Lampiran 1

Berikut ini adalah beberapa ‘prestasi’ Bush selama 20 bulan pertama masa

kepresidenannya.

1. Memotong anggaran belanja negara untuk perpustakaan sebesar US$ 39 juta.

2. Memotong anggaran pelatihan ilmu kesehatan anak-anak lanjutan bagi dokter

sebesar US$ 35 juta.

3. Memotong anggaran penelitian sumber-sumber energi yang dapat diperbaharui

sekitar 50%.

4. Menunda pemberlakuan peraturan yang akan mengurangi kandungan arsenik

pada air minum.

5. Memotong anggaran penelitian kendaraan bermotor yang lebih bersih dan

efisien sebanyak 28%.

6. Mencabut aturan yang memperkuat kekuasaan pemerintah untuk membatalkan

kontrak dengan perusahaan yang melanggar undang-undang federal,

undang-undang lingkungan dan standar keselamatan kerja.

7. Melanggar janji kampanye untuk mengalokasikan dana sebesar US$ 100 juta

per tahun untuk konservasi hutan tropis.

8. Mengurangi Community Access Program (Program Akses Masyarakat)

sebanyak 86%, yaitu program yang mengkoordinir layanan kesehatan dari

rumah sakit umum, klinik, dan jasa pelayanan kesehatan lain, untuk

orang-orang yang tidak memiliki asuransi kesehatan.

9. Menghilangkan proposal yang ditujukan untuk meningkatkan akses publik

terhadap informasi mengenai potensi ramifikasi kecelakaan pabrik bahan

kimia.

10. Menarik perjanjian Protokol Kyoto 1997 mengenai pemanasan global, yang

telah ditandatangani oleh 178 negara lain.

11. Menolak persetujuan internasional untuk menjalankan traktat tahun 1972

mengenai pelarangan senjata kuman.

12. Memangkas US$ 200 juta dari program pelatihan angkatan kerja bagi para

pekerja yang di-PHK.

13. Memangkas US$ 200 juta dari hibah Childcare and Development, sebuah

program yang memberi layanan perawatan bagi anak-anak yang berasal dari

keluarga berpenghasilan rendah yang membuat anak-anaknya harus bekerja.

14. Memangkas US$ 700 juta dana perbaikan perumahan umum.

15. Menggusur peraturan ergonomis tempat kerja yang dirancang untuk menjamin

kesehatan dan keselamatan pekerja.

16. Mengalokasikan hanya 3% dari jumlah yang diminta pengacara Departemen

Kehakiman dalam lanjutan proses litigasi pemerintah melawan perusahaan

tembakau.

17. Memaksakan potongan pajak, 43% di antaranya diperuntukkan bagi kalangan

terkaya di AS, yang hanya 1% dari total penduduk AS.

18. Memotong US$ 15,7 juta dari program yang mengurusi masalah penelantaran

dan penganiayaan anak.

19. Mengusulkan penghapusan program ‘Reading is Fundamental’, yang memberi

buku-buku gratis kepada anak-anak miskin.

20. Mendorong pengembangan ‘nuklir mini (mini-nukes)’, yang didisain untuk

menyerang sasaran yang terkubur sangat dalam –berarti pelanggaran terhadap

Comprehensive Test Ban Treaty.

21. Berupaya membalikkan regulasi yang melindungi 60 juta ha hutan nasional dari

penebangan dan pembangunan jalan.

22. Menunjuk Eksekutif Monsanto, Linda Fisher, menjadi deputi administrator

Environmental Protection Agency.

23. Menunjuk seorang ahli lobi minyak dan batubara, J. Steven Giles, menjadi

Deputi Menteri Dalam Negeri AS.

24. Mengusulkan penjualan minyak dan lahan di kawasan suaka alam Alaska.

Lampiran 2

Berikut ini adalah beberapa bidang di mana Amerika Serikat dapat berbangga hati

dengan menjadi negara nomor satu di dunia.

1. Dalam korban tewas akibat senjata api.

2. Dalam penggunaan energi per kapita.

3. Dalam emisi karbondioksida (lebih dari emisi gabungan Australia, Brazil,

Kanada, Perancis, India, Indonesia, Jerman, Itali, Meksiko, dan Inggris

sekalipun).

4. Dalam sampah kota total dan per kapita (720 kg per orang per tahun).

5. Dalam produksi sampah yang berbahaya (dengan sebuah faktor lebih dari dua

puluh kali pesaing terdekat Amerika, Jerman).

6. Dalam konsumsi minyak.

7. Dalam konsumsi gas alam.

8. Dalam jumlah pengeluaran pemerintah negara bagian dan federal terminim

(prosentase dari GDP).

9. Dalam konsumsi kalori per kapita per hari.

10. Dalam kehadiran pemilih pemilu terendah.

11. Dalam minimnya jumlah keterwakilan partai politik yang diwakili dalam lower

atau single house.

12. Dalam jumlah pemerkosaan yang tercatat (hampir tiga kali lebih besar dari

pesaing terdekat –yaitu Kanada).

13. Dalam jumlah korban cedera dan meninggal akibat kecelakaan di jalan raya

(hampir dua kali lipat dari peringkat kedua –yakni Kanada).

14. Nomor satu di antara negara-negara anggota PBB dengan pemerintah yang sah

yang tidak meratifikasi Konvensi PBB mengenai Hak-hak Anak.

15. Dalam jumlah eksekusi yang diketahui atas pelaku penyerangan terhadap

anak-anak.

16. Dalam hal kemungkinan anak-anak di bawah usia 15 tahun mati akibat senjata

api.

17. Dalam hal kemungkinan anak-anak di bawah usia 15 tahun melakukan bunuh

diri dengan senjata api.

18. Dalam nilai matematika terendah untuk siswa kelas 8 (setara kelas 2 SLTP). i Covert operations, menurut definisi US Department of Defense (DOD), Interpol

(I), dan Inter-American Defense Board (IADB), adalah operasi yang sangat

terencana dan dieksekusi dengan menyembunyikan identitas atau mengizinkan

penyangkalan yang masuk akal oleh pihak sponsor. Covert operations berbeda

dengan clandestine operations, meskipun sama-sama sering diartikan sebagai

operasi rahasia. Covert operations lebih menekankan masalah ketersembunyian

identitas sponsor dan bukan operasinya itu sendiri (Sumber: Joint Chiefs of Staff,

Department of Defense, JCS Pub 1, 1987, dalam Propaganda and Psychological

Warfare Studies, Glossary – Department of Defense – Military and Associated

Terms). ii Preemptive attack adalah serangan yang bersifat pencegahan terhadap pihak atau

pihak-pihak (bisa individu, kelompok, atau negara) yang dianggap akan melakukan

suatu aksi tertentu terhadap negara pelaku preemptive attack.