11
33 SENI SASTRA, TEATER, DAN FILM DALAM KONTEKS PERKOTAAN: INDUSTRIALISASI DAN URBANISME (STUDI KASUS SERIAL SINETRON FILM ”INTAN”) Literary, Theater, and Film Art in Urban Context: Industrialization and Urbanism (A Case Study on Film Sinetron Series Intan) Soediro Satoto Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Jalan Ir. Sutami, Ketingan, Solo, Telepon 0271-632480 (Makalah diterima tanggal 14 April 2009—Disetujui tanggal 17 Mei 2010) Abstrak: Tulisan ini bertujuan memaparkan korelasi antara produksi seni sastra, seni teate, dan film serta menjelaskan keterkaitan yang erat antara urbanisasi, industrialisasi, dan urbanisme dengan perkembangan iptek dan seni, termasuk seni sastra, seni drama/teater, dan seni film/sinetron. Seirama dengan dinamika proses globalisasi di segala bidang, termasuk budaya dan seni, fenomena tersebut akan berdampak pada proses akulturasi lintas/silang budaya, perge- seran dan atau perubahan tata nilai dan identitas budaya bangsa. Akankah muncul identitas bu- daya ’baru’ (sebut yang khas ’urban’) dengan cara mengesampingkan atau membuang jauh-jauh identitas budaya ’lama’ (sebut tradisional) yang dianggap sudah ketinggalan zaman? Bagaimana sepantasnya ’masyarakat sastra, teater, dan film’ menyikapi fenomena-fenomena tersebut secara kritis, realistis, dinamis, dan arif? Serial Sinetron Film “Intan” dalam makalah ini diambil seba- gai studi kasus karena rating-nya yang relatif konstan tertinggi jika dibandingkan dengan serial sinetron film lainnya di media yang sama dalam kurun waktu yang sama. Kata-Kata Kunci: seni sastra, industrialisasi, urbanisme Abstract: This paper is aimed to describe correlation between literary, theater, and film art production and explain the strong interrelatedness between urbanization, industrialization, and urbanism by the development of science technology and art, including literary art, drama/theater art, and film/sinetron art. Along with the dynamic of globalization process in all aspects, including culture and art (literary, theater, and film art in this case), the phenomena will have influences to cross/inter-cultural acculturation process, shift and/or change in a nation’s cultural identity and values. Will a ‘new’ (call it urban) cultural identity emerge by putting aside or getting rid of the ‘old’ cultural identity (call it traditional) which is regarded as old fashion? How should a ‘literary, theater, and film community’ behave critically, realistically, and dynamically, and wisely to the phenomena? Sinetron series Intan in this article has been taken as a case study for its relatively-constant-high rating compared to other sinetrons in the same media and period. Key Words: literary art, industrialization, urbanism PENGANTAR Barangkali sampai sekarang pun, belum atau bahkan tidak semua pihak, baik pa- kar ilmu susastra, pakar seni pertunjukan (termasuk seni sastra, teater, dan film), seniman (dalam hal ini sastrawan, teaterawan, atau sineas), para pengamat atau kritikus seni dan atau ilmu, baik yang langsung maupun tak langsung ber- urusan atau bersinggungan dengan seni sastra, seni teater, dan seni film, dengan legawa (tulus dan ikhlas) mengakui dan

SENI SASTRA, TEATER, DAN FILM DALAM KONTEKS …

  • Upload
    others

  • View
    15

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: SENI SASTRA, TEATER, DAN FILM DALAM KONTEKS …

33

SENI SASTRA, TEATER, DAN FILM DALAM KONTEKSPERKOTAAN: INDUSTRIALISASI DAN URBANISME(STUDI KASUS SERIAL SINETRON FILM ”INTAN”)

Literary, Theater, and Film Art in Urban Context: Industrialization and Urbanism(A Case Study on Film Sinetron Series Intan)

Soediro Satoto

Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas MaretJalan Ir. Sutami, Ketingan, Solo, Telepon 0271-632480

(Makalah diterima tanggal 14 April 2009—Disetujui tanggal 17 Mei 2010)

Abstrak: Tulisan ini bertujuan memaparkan korelasi antara produksi seni sastra, seni teate, danfilm serta menjelaskan keterkaitan yang erat antara urbanisasi, industrialisasi, dan urbanismedengan perkembangan iptek dan seni, termasuk seni sastra, seni drama/teater, dan senifilm/sinetron. Seirama dengan dinamika proses globalisasi di segala bidang, termasuk budayadan seni, fenomena tersebut akan berdampak pada proses akulturasi lintas/silang budaya, perge-seran dan atau perubahan tata nilai dan identitas budaya bangsa. Akankah muncul identitas bu-daya ’baru’ (sebut yang khas ’urban’) dengan cara mengesampingkan atau membuang jauh-jauhidentitas budaya ’lama’ (sebut tradisional) yang dianggap sudah ketinggalan zaman? Bagaimanasepantasnya ’masyarakat sastra, teater, dan film’ menyikapi fenomena-fenomena tersebut secarakritis, realistis, dinamis, dan arif? Serial Sinetron Film “Intan” dalam makalah ini diambil seba-gai studi kasus karena rating-nya yang relatif konstan tertinggi jika dibandingkan dengan serialsinetron film lainnya di media yang sama dalam kurun waktu yang sama.

Kata-Kata Kunci: seni sastra, industrialisasi, urbanisme

Abstract: This paper is aimed to describe correlation between literary, theater, and film artproduction and explain the strong interrelatedness between urbanization, industrialization, andurbanism by the development of science technology and art, including literary art, drama/theaterart, and film/sinetron art. Along with the dynamic of globalization process in all aspects,including culture and art (literary, theater, and film art in this case), the phenomena will haveinfluences to cross/inter-cultural acculturation process, shift and/or change in a nation’s culturalidentity and values. Will a ‘new’ (call it urban) cultural identity emerge by putting aside orgetting rid of the ‘old’ cultural identity (call it traditional) which is regarded as old fashion?How should a ‘literary, theater, and film community’ behave critically, realistically, anddynamically, and wisely to the phenomena? Sinetron series Intan in this article has been takenas a case study for its relatively-constant-high rating compared to other sinetrons in the samemedia and period.

Key Words: literary art, industrialization, urbanism

PENGANTARBarangkali sampai sekarang pun, belumatau bahkan tidak semua pihak, baik pa-kar ilmu susastra, pakar seni pertunjukan(termasuk seni sastra, teater, dan film),seniman (dalam hal ini sastrawan,

teaterawan, atau sineas), para pengamatatau kritikus seni dan atau ilmu, baikyang langsung maupun tak langsung ber-urusan atau bersinggungan dengan senisastra, seni teater, dan seni film, denganlegawa (tulus dan ikhlas) mengakui dan

Page 2: SENI SASTRA, TEATER, DAN FILM DALAM KONTEKS …

34

atau menerima bahwa ada korelasi yangsignifikan, baik secara ilmiah maupunseni, antara produksi seni sastra dan pro-duksi seni teater serta seni film. Merekaumumnya mengatakan bahwa seni teaterbukan wilayah kajian seni sastra karenaberbeda. Yang menjadi wilayah kajiansastra adalah “drama sastra”, itu punterbatas pada teks naskah lakon sebelumdipentaskan. Kajian sastra juga bukanhanya kajian teks tertulis karya sastra(pendekatan tekstual). Mereka yangkurang atau tidak legawa berpandanganbahwa seni teater menjadi wilayah kajianLembaga Pendidikan Seni (LPS) sepertiASTI, STSI, ISI, atau IKJ yangberurusan dengan seni, termasuk seniteater dan film. Lalu apakah seni sastrajuga dikaji di LPS tersebut? Mungkinmasih ada yang beranggapan bahwakarya sastra bukan merupakan karya seniyang perlu dikaji juga layaknya sebuahkarya seni—sastra bisa dikaji dalamperspektif ilmu sekaligus juga seni.

Pernah ada anggapan bahwa teaterdijajah sastra. Kemudian Arifin C. Noerjustru ingin mengembalikan teater ke da-lam habitat sastra. Dalam wawancara sa-ya dengan Putu Wijaya, pernah iamengatakan bahwa ia tidak begitu terta-rik jika diajak memperbincangkan dra-ma-dramanya di masa lalu karena bagi-nya drama modernnya kini tidak meru-pakan kelanjutan drama masa lalu.Arifin C. Noer menyebut drama-drama-nya “Teater Tanpa Masa Silam”, sedang-kan N. Riantiarno memberi nama kelom-pok teaternya adalah ”Teater Koma”, ar-tinya belum titik? Dramaturgi dan sine-matografi adalah sebuah proses kreatifseni teater atau ‘proses teater’, kataGunawan Muhammad. Lebih lanjut,Gunawan Muhammad mengatakan,”Naskah lakon ibarat ‘sel telor’ sedang-kan proses pertunjukannya adalah ‘pro-ses pembuahan’”. “Naskah lakon barulahsempurna manakala sudah dipentaskan(dipertunjukkan)”, kata Boen S.Oemarjati.

Begitu pula, seni film bukan wila-yah kajian seni teater hanya karena ber-beda. Padahal, novel, puisi, dan dramayang secara konvensional mapan selamaini sama-sama dikategorikan ke dalamjenis atau ragam sastra, pada hakikatnyajuga berbeda. Sastra (prosa, puisi, dandrama) lokal juga ‘berbeda’ dengan, mi-salnya, sastra kota, sastra urban, sastramarginal, sastra kontemporer, sastra eks-perimental, dan sastra absurd. Sastra tu-lis juga berbeda dengan sastra lisan.Sastra koran dan majalah (media cetak)juga berbeda dengan sastra radio (mediaauditif), sastra pertunjukan (mediapanggung), dan sastra televisi (mediaaudio visual).

Naskah lakon, skenario film, dan‘naskah-naskah’ seni teater klasik, teatertradisional, dan teater daerah atau lokal,misalnya wayang kulit purwa Jawa, wa-yang orang, ketoprak, ludruk, dan le-nong, sebagai ‘teks dramatik’ (dramatictext), juga ‘berbeda’ jika teks-teks dra-matik tersebut dipertunjukkan (per-formance text, ‘teks pertunjukan’). Bah-kan puisi-puisi Muhammad Yamin juga‘berbeda’, misalnya, dengan puisi-puisiAmir Hamzah, Sutan TakdirAlisyahbana, Chairil Anwar, Asrul Sani,Gunawan Mohammad, Sapardi DjokoDamono, Subagio Sastrowardoyo,Abdulhadi WM, W.S. Rendra, DarmantoJatman, Taufiq Ismail, Sutardji CalzoumBachri, Hamid Jabbar, dan puisi-puisirupa Made Wianta.

Karya-karya seni sastra pada era BP(Balai Pustaka), ‘berbeda’, dengan no-vel-novel pada periode zaman PB (Pu-jangga Baru), periode Angkatan 45,Angkatan 66, Angkatan 70—2000, danzaman sekarang. Karya-karya seni sas-tra, teater, dan film, misalnya: (1) novelSiti Nurbaya (Marah Rusli), SalahAsuhan (Abdul Muis), Gairah untukHidup dan untuk Mati (Nasjah Djamin),Hati yang Damai dan Pada SebuahKapal (N.H. Dini), Orang-Orang Bloo-mington dan Olenka (Budi Darma), Seri-

Page 3: SENI SASTRA, TEATER, DAN FILM DALAM KONTEKS …

35

bu Kunang-Kunang di Manhattan (UmarKayam), Lebanon Legenda dan Air Mata(Kahlil Gibran), Supernova (DEE),Saman dan Larung (Ayu Utami), Nayla(Djenar Maesa Ayu); (2) puisi Blouseuntuk Bonie (W.S. Rendra), Buru Abadi(Dami N. Toda), Kerygma dan Martyria(Remy Silado); (3) teater Romeo danYuliet dengan berbagai versi, misalnya,Romi dan Yuli, San Pek Eng Tay,Tumenggung Wiroguno dan RoroMendud (cf. Roro Mendut versi AyipRosidi dan versi Y.B. Mangunwijaya),Pronocitro dan Layon Sari, serta lakonSan Pek Eng Tai versi N. Riantiarno, la-kon-lakon dalam Ramayana dan MahaBharata versi Jawa Indonesia, KelantanMalaysia, dan India; dan (4) film SitiNurbaya, Salah Asuhan, Atheis, PagarKawat Berduri, Jangan Cabut Nyawaku,Karmila, Lupus, Malam Jahanam,Cintaku Jauh di Pulau (semua merupa-kan ‘ekranisasi’ dari jenis sastra ke jenisfilm), Serangan Fajar, dan R.A Kartini.

Contoh-contoh munculnya karya-karya seni sastra, teater, dan film sepertitelah disebut di atas, menunjukkan bah-wa bukan saja ada keterkaitan antara je-nis seni sastra, teater, dan film, tetapi ju-ga ada keterkaitan dengan perkembang-an sastra dalam konteks perkotaan, ur-banisasi, urbanisme, industrialisasi, ko-mersialisasi, dan pergeseran, bahkan per-ubahan, sistem tata nilai sebagai dampakglobalisasi, transformasi, akulturisasi lin-tas/silang budaya sehingga terjadi pulapergeseran atau perubahan identitas bu-daya suatu bangsa – budaya lokal-global.

TELAAH SENI SASTRA, TEATER,FILM, DAN FILM SINEMATIKSastra itu Seni, Ilmu, atau Keduanya?Pertanyaan itu tidak begitu menarik jikaditujukan kepada bidang teater atau film.Pada umumnya, orang sepakat bahwateater dan film adalah seni. Namun, ke-duanya juga memiliki konsep dan teorimasing-masing, meskipun ada juga kesa-maannya (di samping perbedaan, tentu).

Di satu pihak, pakar atau pemerhatimungkin lebih menekankan pada aspekhiburannya. Di sisi lain, mereka mung-kin lebih menekankan pada aspek infor-masi dan komunikasinya. Di sisi lain la-gi, mereka mungkin lebih menekankanpada aspek seni atau artistiknya. Akantetapi, di sisi yang lain lagi, merekamungkin lebih menekankan pada aspekedukatif, filosofis, ideologi, atau komer-sialisasinya—profit oriented; dsb., ber-gantung pada pemahaman, wawasan,dan kepentingan masing-masing pelaku,pengamat, pemerhati, atau kritisi senidan atau ilmu yang bersangkutan.

Di bidang sastra, agak lain—tidakmarketable—kurang menggairahkan dankurang menjanjikan (?). Terkesan adadua jalur pengembangan dan perkem-bangan sastra. Pertama yang ada di seko-lah dan kampus, dan kedua yang ada diluar sekolah dan kampus. Yang pertamalebih berorientasi ke teori dan ilmiah, se-dangkan yang kedua lebih berorientasike olah dan kegiatan kreatif seni. Keduajalur tersebut, lagi-lagi terkesan, seringtidak seiring dan sejalan, apalagi sinkrondan harmonis. Rachmat Djoko Pradopomembedakan kritik sastra ke dalam tigakategori: (1) Kritik Akademik; (2) KritikSeniman/Sastrawan; dan, (3) KritikAwam. Akibatnya, pembelajaran sastradi sekolah-sekolah dan di kampus-kam-pus lebih berorientasi pada teori sastradaripada apresiasi sastra, apalagi kreati-vitas seni sastra. Maka, muncullah upayamenggalakkan “Sastra Masuk Sekolah”-—entah mengapa fakultas sastra di bebe-rapa perguruan tinggi berubah menjadifakultas ilmu pengetahuan budaya. Tentuada alasan yang lebih masuk akal.

Topik “Sastra itu seni, ilmu, ataukeduanya” mengingatkan saya pada per-tanyaan klasik yang sering terlontar,“karya sastra itu seni (art), ilmu (scien-ce), atau keduanya? Bahkan, ada yanglebih umum, “Apakah Sastra”? (baca,misalnya, Dami N. Toda (2005); Maman

Page 4: SENI SASTRA, TEATER, DAN FILM DALAM KONTEKS …

36

S. Mahayana (2005), dan Ignas Kleden(2004).

Kaum Sufi berpendapat bahwa ke-cerdasan pikiran itu tidak cukup untukmengantar kita kepada pemahaman rasakeindahan yang sebenarnya, tetapi kitaharus meletakkan diri kita ‘di luar kecer-dasan’ atau menurut kata mereka, ‘diatas kesadaran’. Dalam keadaan ekstasi,di mana kebenaran yang tidak bersifatinderawi tersingkap secara irasional.Kebenaran itu, menurut Plotanius, tidakdapat dicapai kecuali oleh seniman danfilsuf. “Seni adalah ibadah”, kataRuskin. Bergson dan para pengikutnyamengganti ekstasi dengan intuisi. Ke-indahan dapat disingkap dan ditafsirkanhanya dengan cara menggauli, mengha-yati, dan menyelami dalam batin kita.Setiap usaha untuk menelaah seni ataukeindahan secara rasional adalah berartiusaha menghancurkan dan membunuh-nya. Intuisi, dan juga ekstasi, melam-paui, dan berusaha selalu melampaui, ba-tas-batas benar dan salah (logika), baikdan buruk (etika), indah dan tak indah(estetika) sebagaimana yang dimengertioleh umum dan pakar ilmu pengetahuanempirik. Tidak ada metode yang melam-paui batas-batas akal, maka tidak seha-rusnya metode demikian diada-adakandan dipaksakan. Estetika harus datangdari hati (rasa), bukan dari kepala (akalatau pikiran). Estetika adalah inspirasi,bukan pemikiran. Estetika adalah filsafatseni, bukan sekadar ilmu pengetahuanyang cukup untuk diketahui, belum sam-pai pada tingkat pemahaman, apalagitingkat apresiasi seni yang pencapaian-nya melalui proses apresiatif.

Kini, para filsuf tidak lagi membica-rakan keindahan semata, melainkan jugaseni dengan segala aspeknya, sepertipenciptaan, pengkajian (penelaahan ataupenganalisisan), penilaian, penghargaan,peranan sosial, dan unsur-unsur seni ser-ta pengalaman estetik dan semua impli-kasinya, seperti pengalaman estetik,sikap estetik, kesadaran estetik, tanggap-

an estetik, dan penilaian estetik – kuali-tatif.

Seni dapat didefinisikan sebagai su-atu kegiatan manusia yang menjelajahidan menciptakan dunia baru (penafsiranseniman) berdasarkan penginderaan sertapenyajian realita itu secara imaji sebagaisebuah kebulat-utuhan dunia besar. Parapenelaah atau kritisi seni juga melakukankegiatan menafsirkan karya seni hasilpenafsiran seniman yang bersangkutan.Itulah sebabnya kritik seni juga bisa me-rupakan karya seni baru. Sebut misalnya,kritik seni yang dilakukan oleh Danarto(seniman) dan Budi Darma.

Bagi manusia, filsafat, seni, dan il-mu sama-sama dibutuhkan. Melalui kar-ya seni, manusia dapat menanamkan danmeningkatkan daya apresiasinya di da-lam pengalaman hidup dan jiwanya. Ber-bekalkan wawasan seni dan pengalamanestetik, manusia bisa merebut dan ataumemberi makna hidup yang lebih berartiyang oleh pengetahuan ilmiah semata se-ring tidak dapat dijangkaunya. Para seni-man sering bisa melihat dan menghayatiobjek seni sampai ke sumsum-sumsumyang berada di dalam tulang-tulang yangtidak dapat terlihat oleh orang awam,bahkan oleh para ilmuwan sekalipun,tanpa minta bantuan alat hasil temuanilmu pengetahuan dan teknologi modernyang canggih, khusus untuk keperluananalisis dan penghayatan seni tersebut.

Dengan demikian, seni (termasukseni sastra, teater, dan film) juga dapatdisebut ilmu normatif di samping este-tika. Di samping seni dan estetika, etika,logika, dan agama juga bisa disebutilmu-ilmu normatif, yang baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dapat di-pakai untuk menentukan kebenaran, wa-laupun kebenaran logika, misalnya, tidakharus identik dengan kebenaran ilmiah.Dengan kata lain, seni sastra, teater, danfilm adalah objek ilmu sekaligus jugaseni.

Page 5: SENI SASTRA, TEATER, DAN FILM DALAM KONTEKS …

37

STUDI KASUS SERIAL SINETRONFILM “INTAN” (“Intan”)1. Mengapa “Intan” Memperoleh

Rating Tertinggi (Puncak)?Ada beberapa faktor dan indikator me-ngapa “Intan” memperoleh rating ter-tinggi jika dibandingkan dengan serialsinetron film-serial sinetron film selain“Intan”, misalnya “Candy” yang sama-sama ditayangkan RCTI, atau ditayang-kan media televisi lainnya dalam kurunwaktu yang bersamaan, misalnya “SiEntong” (TPI), “Cinderella” (SCTV),dan “Nayla” (Indosiar). Faktor-faktordan indikator-indikator yang dimaksudadalah sebagai berikut.

(a) Banyaknya Iklan pada Jam Ta-yang Sinetron “Intan”

Sebenarnya, setiap episode “Intan”dengan durasi 60 menit (pukul 18.00—19.00) yang ditayangkan setiap hari, ke-cuali hari Sabtu dua episode (durasi 120menit), jumlah iklan saat tayang “Intan”diprogram ada 100 spot, dibagi ke dalamlima jeda iklan, @ 20 spot iklan. Akantetapi, kenyataannya sering sekali jumlahiklan lebih dari 100 spot, terutama padahari Sabtu. Banyaknya iklan dalam“Intan” menyebabkan rating “Intan” re-latif tetap berada di puncak, meskipunpernah terjadi penurunan rating, dan ke-mudian naik lagi—memang fantastik.Sebagai contoh, berikut ini saya lukiskanperbandingan durasi yang tersedot oleh

iklan dan durasi tayang “Intan” dalambentuk tabel 1.

(b) Jam Tayang Sinetron “Intan” Te-pat pada Prime Time (18.00—19.00)

Prime time saat tayang sinetron ”Intan”bertepatan pada saat para keluarga leng-kap (bapak, ibu, dan anak-anak) adawaktu longgar bersama-sama nonton te-levisi. Korelasi antara banyaknya jumlahpenonton “Intan” dengan pemasanganiklan dan produk-produk iklan yang di-tayangkan, rating, industrialisasi, komer-sialisasi, urbanisme, diaspora yang tetapmenetap sebagai migran, yang berdam-pak pada sikap, perilaku, pola dan gayahidup para remaja dan orang-orang tuasekalipun yang terimajinasi ke dalamkarya seni (termasuk sastra, teater, danfilm), amatlah besar. Itulah sebabnya ba-nyak rumah produksi pembuat iklanberamai-ramai memasang iklan pada“Intan” yang rating-nya relatif konstantertinggi dalam kurun waktu lama, lebihdari 247 hari (247 episode) sejak No-vember 2006 s.d. sekarang—saat maka-lah ini ditulis—dan terus berlangsungsampai kapan? Pimpinan Produser“Intan” (Leo Sutanto) dan Sutradara“Intan” (Doddi Djanas) pun tidak tahukapan sinetron “Intan” berakhir. Jawab-nya tentu bergantung pada masih banyakatau tidaknya iklan dan penempatan“Intan” pada rating puncak.

Tabel 1

PERBANDINGAN DURASI PENAYANGAN IKLAN DAN SINETRON INTAN DALAM SATU EPISODEEPISODE KE-210 EPISODE KE-211 EPISODE KE-212

Com

erci

alB

reak

Ke-

Dur

asi I

klan

(Men

it)

Jml.

Ikla

n

Tota

l Dur

asi

Ikla

n (M

enit)

Tota

l Dur

asi

Sine

tron

(Men

it)

Com

erci

alB

reak

Ke-

Dur

asi I

klan

(Men

it)

Jml.

Ikla

n

Tota

l Dur

asi

Ikla

n (M

enit)

Tota

l Dur

asi

Sine

tron

(Men

it)

Com

erci

alB

reak

Ke-

Dur

asi I

klan

(Men

it)

Jml.

Ikla

n

Tota

l Dur

asi

Ikla

n (M

enit)

Tota

l Dur

asi

Sine

tron

(Men

it)

1 10 33

46 14

1 8 23

34 26

1 8 22

44 162 10 34 2 5 18 2 10 213 8 31 3 7 21 3 10 224 8 31 4 6 20 4 8 215 10 36 5 8 22 5 8 26

Juml. 46 165 60 Juml. 34 104 60 Juml. 44 112 60

Page 6: SENI SASTRA, TEATER, DAN FILM DALAM KONTEKS …

38

(c) Lagu ”Ruang Rindu” (Grup BandLetto) Dijadikan Sound TrackSinetron “Intan”

Grup band Letto merupakan band pen-datang baru asal Yogyakarta. Para pen-dukungnya adalah Noe (vokalis), pemba-wa lagu “Ruang Rindu”, Dedi (drumer),Patub (gitaris), dan Arian (bas). Grupband Letto menjadi besar di Jakarta. Le-bih-lebih setelah tiga lagunya (“RuangRindu”, “Sampai Nanti, Sampai Mati”,dan “Sandaran Hati”) dikontrak untukdijadikan sound track sinetron yang se-dang populer di hati masyarakat dan paramaniak sinetron yang sedang ngetop.“Ruang Rindu” dikontrak menjadi soundtrack “Intan”; “Sampai Nanti, SampaiMati” dikontrak menjadi sound track se-rial sinetron “I Love U, Boss”, sedang-kan lagu “Sandaran Hati” dikontrakmenjadi sound track sinetron “Wulan”.Karena lagu-lagu Letto dikontrak dan di-gunakan sebagai sound track dalam ber-bagai serial sinetron, album-album Lettoyang banyak dijual dalam bentuk CDdan kaset, penjualannya meningkat dras-tis. Angka penjualan album-album Letto,termasuk lagu “Ruang Rindu”, dapatmenembus angka 200 ribu keping se-hingga Letto berhak mendapat penghar-gaan platinum. Fenomena-fenomena diatas jelas bisa mendongkrak “Intan” pa-da rating puncak. Di bawah ini, saya cu-plikkan syair lagu “Ruang Rindu”.

Di daun yang ikut mengalir lembutterbawa sungai ke ujung mataDan aku mulai takut terbawa cintamenghirup rindu yang sesakkan dadaJalanku hampa dan kusentuh dia, terasahangat di dalam hatiKupegang erat dan kuhalangi waktu,tak urung jua ku lihatnya pergi

Tak pernah kuragu dan selalu kuingatkerlingan matamu dan sentuhan hangatKu saat itu takut mencari makna,tumbuhkan rasa yang sesakkan dadaKau datang dan pergi begitu saja,semua ku terima apa adanya

Mata terpejam dan hati menggumam,di ruang rindu kita bertemu

(d) Pemilihan Pemain (Casting)Pemilihan pemain dalam sebuah MegaSinetron (seperti “Intan”) seharusnya di-lakukan secara cermat dan selektif, bu-kan hanya berdasarkan wajahnya yangfilmis, Indo, tampan dan cantik, ataumarketable, tetapi juga harus bisa danmampu membawakan karakter tokoh se-suai dengan tuntutan skenario. Meng-ingat alur cerita “Intan” semakin longgar(digresi), loncat sana-loncat sini, bahkansering menyimpang dari alur inti aslinyadalam skenario pertama, maka pemilihanpemain yang dilakukan oleh castingdirector, di bawah perintah produser dansutradara ‘terpaksa’ menjadi lebih mem-pertahankan rating untuk mengejar pe-masukan iklan yang tinggi nilai uangnyadaripada nilai estetik dan artistiknya.Tokoh-tokoh baru bermunculan sesuaidengan alur cerita yang dibuat dan disi-sip-sisipkan untuk ‘kejar tayang’. Feno-mena demikian sudah lazim di dunia in-dustri perfilman Indonesia yang lebihprofit oriented daripada menjamin danmenjaga kualitas film yang juga sebagaikarya seni. Fenomena menunjukkan bah-wa casting “Intan”, baik terhadap tokoh-tokoh inti, tokoh-tokoh pembantu, mau-pun tokoh-tokoh baru sebagai tokoh-to-koh tambahan untuk memperpanjangalur dan episode nyatanya relatif berha-sil. Hingga pada episode ke-174 (Sabtu,28 April 2007) rating “Intan” masih ber-tengger di posisi teratas dari semua kate-gori program di seluruh stasiun televisiIndonesia. Sinetron “Intan”, produksi Si-nemArt itu, memperoleh audience sharerata-rata 38% atau ditonton oleh 38% pe-mirsa televisi pada jam tayang yangsama.

Direktur Pemrograman (Programm-ing) RCTI, Harsiwi Ahmad mengatakanbahwa audience share “Intan” pernahmencapai angka 46%. Sebaliknya, rating“Intan” pernah turun ke angka delapan

Page 7: SENI SASTRA, TEATER, DAN FILM DALAM KONTEKS …

39

dari sebelumnya 10, kemudian naikmenjadi 11. Sinetron “Wulan” memper-oleh audience share antara 25—28%.Bahkan, sinetron “Kawin Muda” punyang baru ditayangkan 20 episode, kalaitu, selalu masuk kategori 10 besar (ter-masuk “Intan”), meskipun bukan yangteratas, program dengan rating untuk se-mua kategori. Sinetron, hingga saat ini,ternyata masih menjadi primadona layarkaca. Hal itu tentu akan berpengaruh ter-hadap sikap, perilaku para pemain, kru,pemirsa yang menggambarkan pergeser-an atau perubahan identitas dan budayabangsa ke dalam budaya populer, budayakota, budaya urban. Bukan mustahilakan berpengaruh pula pada dinamikaperkembangan seni sastra, teater, danfilm sebagai manifestasi, representasi,atau interpretasi realita sosial-budaya,dalam pengertian tidak sempit, dan begi-tu sebaliknya.

(e) Pemilihan Judul “Intan”.Intan, di samping merupakan nama to-koh utama, sekaligus juga dipakai seba-gai judul serial sinetron. Penggunaan ka-ta Intan yang hanya terdiri atas satu katayang pendek dan memiliki makna sim-bolis yang bagus, indah, kuat, mahal,menjadi impian setiap orang untuk me-milikinya, membuat “Intan” mudah dike-nal dan menarik untuk segera dinikmati(ditonton). Nama-nama tokoh dalam“Intan” juga pendek. Fenomena serupajuga dilakukan dalam senetron “Wulan”dan “Candy” (RCTI), “Nadia” (SCTV),serta “Nayla” (Indosiar). Sinetron-sine-tron tersebut menjadi pesaing “Intan”.

Rating “Intan” pernah turun menja-di peringkat kedua di bawah sinetron“Olivia”, meskipun kemudian bertenggerdi urutan pertama lagi. Hal itu terjadi,antara lain, para pemirsa “Intan” merasakecewa karena tokoh Rangga (RyanMaladi), anak Intan (Naysilla Mirdad),dan Ello (Glenn Alinskie) meninggal ka-rena kecelakaan lalu-lintas ketika bersa-ma satu mobil dengan tokoh utama lain-

nya, yaitu Rado (Dude Herlino), calonpengganti tokoh Ello yang meninggal ju-ga karena kecelakaan lalu lintas, untukmenjadi ayah tiri Rangga. Tokoh Ranggayang diharapkan menjadi perekat hubu-ngan keluarga Arman/Jamal (AnwarFuady) dan Nadine/Yana (MeriamBellina), orang tua Ello dengan Intan se-telah Ello meninggal. Mungkin diharap-kan untuk memuluskan jalan tokoh Intandan Rado ke jenjang pernikahan karenaIntan nyaris menikah dengan Romy(Rama Michael), kakak Ello, untuk me-menuhi syarat yang dikehendaki Nadine.

2. Di Balik Kesuksesan Rating ”Intan”Di balik kesuksesannya memperta-hankan rating puncak, mega sinetron“Intan” produksi Sinem-Art ternyatajuga banyak mendapat komentar miring,antara lain sebagai berikut.

(a) Sebagai Karya Jiplakan atauAdaptasi

Tidak banyak yang mengetahui bahwajalan cerita “Intan” merupakan hasil jip-lakan dari drama film Korea yang ber-judul ”Be Strong Geum Soon” (BSGS).Meskipun demikian, SinemArt tidakmengakui dan mencantumkan judul aslidrama Korea tersebut dalam credittitle—seharusnya ada penjelasan manayang jiplakan dan mana yang adaptasi.BSGS ditulis oleh Lee Jung Sun dan di-sutradarai oleh Lee Dae Young. BSGSbercerita tentang seorang gadis yang di-tinggal ibunya. Ia memiliki cita-citayang kuat untuk menjadi penata rambutterkenal (cf. gadis dalam BSGS tersebutdengan tokoh Intan dalam “Intan”).

Arswendo Atmowiloto, pelaku danpengamat sinetron mengatakan bahwapaling tidak ada 20 judul sinetronberindikasi melakukan penjiplakan beratterhadap serial televisi luar negeri.Bahkan, ada dua judul sinetron yangditayangkan dua stasiun televisi berbedayang sama-sama menjiplak satu judulfilm asing yang sama. Sebagian besar

Page 8: SENI SASTRA, TEATER, DAN FILM DALAM KONTEKS …

40

sinetron yang ditayangkan pada primetime itu menjiplak serial televisi dariKorea.

(b) Alur yang Diulur-Ulur sampaiNgelantur

Sejak episode ke-120, alur cerita ”Intan”tidak sama lagi dengan alur cerita yangdiadaptasi, yaitu serial Korea berjudul”Be Strong Geum Soon” (BSGS) yangsampai akhir serial berjumlah 120 episo-de. Jika sesuai dengan BSGS, mestinya“Intan” juga harus berakhir pada episodeke-120 tersebut. Namun, rating “Intan”sampai dengan episode ke-120 tengahberada di puncak, dan “Intan” masihmendapat tempat di hati para pemirsa,lagi pula iklannya masih banyak. Olehkarena itu, dengan berbagai pertimbang-an perihal tersebut, kabarnya, RCTI me-minta “Intan” diperpanjang menjadi 153episode. Alur ceritera “Intan” pun diper-luas dengan menghadirkan tokoh dokterArdi/Aldi (Mathias Muchus), ayah tokohRado (Dude Herlino) dari hasil hu-bungan sebelum nikah dengan MamahRado, Wina (Nunu Datau). Tokoh Irfan,anak dr. Ardi bukan dengan Wina, jadikakak tiri Rado, hanya muncul beberapakali adegan. Kini disimpan, barangkalinanti ada gunanya untuk bahan meng-ulur-ulur alur cerita “Intan” lagi (?).

Sebetulnya, setelah tokoh Rangga(Ryan Maladi) dan tokoh Lastri (NanyWijaya), nenek Intan meninggal, parapemirsa umumnya kecewa, maka “Intan”harus diakhiri. Dengan dalih mengobatikekecewaan para maniak “Intan”, makadengan berbagai trik, antara lain meng-ubah dan menambah alur cerita di sana-sini, dan memunculkan tokoh-tokoh barudari ‘bintang-bintang’ baru sinetron yangsedang naik daun, “Intan” yang seharus-nya sudah berakhir pada episode 153,dan kemudian diperpanjang sampai de-ngan episode ke-174, nyatanya hinggahari Rabu tanggal 4 Juli 2007, “Intan”masih tayang pada episode ke-247. Sam-pai kapan “Intan” berhenti tayang, baik

produser (Leo Sutanto), sutradara(Doddy Djanas), maupun penulis skena-rio (Serena Luna) sekali pun juga belumtahu. Orientasinya pasti profit.“Bukankah sinetron merupakan genrefilm, dan film merupakan produk indus-tri—industri perfilman?” Berbeda de-ngan proses dramaturgi, proses cinema-tografi adalah proses industrialisasi yangprofit oriented.

(c) Kejar Rating, Kejar Iklan, KejarTayang, Kejar Uang

Terjadi korelasi timbal balik dan salingketergantungan antara upaya ‘kejar ra-ting’, ‘kejar iklan’, ‘kejar tayang’ (strip-ing), dan ‘kejar uang’, termasuk “Intan”.Rating tertinggi tidak akan diperoleh“Intan” jika persentase audience shareterhadap “Intan” tidak tertinggi pula.Persentase audience share terhadap“Intan” meskipun tinggi tidak banyak ar-tinya jika mereka tidak mau menontontayangan iklan pada setiap waktu jedaiklan dan kemudian sebagian besar pe-nonton yang bersangkutan tidak bermi-nat dan tidak membeli produk-produkiklan yang ditayangkan pada saat limakali jeda iklan dalam tayangan ”Intan”pada tiap-tiap episodenya.

Pihak rumah produksi periklanantidak akan beramai-ramai, bahkan bere-but, memasang iklan produk tertentu ditelevisi jika tidak mendapat order de-ngan segala konsekuensinya, terutamabiaya, dari pihak produsen yang produk-nya diiklankan di televisi. Pihak produ-sen yang produknya diiklankan di tele-visi, mana mungkin bersedia mengeluar-kan uang jutaan rupiah untuk membiayaiseluruh proses penayangan iklan produk-nya di televisi jika mereka tidak yakinbahwa biaya seluruh proses penayanganproduk mereka di televisi, dalam jangkawaktu yang telah mereka perhitungkan,akan bisa kembali (plus untung besar pu-la) dari peningkatan omzet hasil penjual-an produk yang bersangkutan sebagaiakibat langsung dari penayangan iklan

Page 9: SENI SASTRA, TEATER, DAN FILM DALAM KONTEKS …

41

produk mereka di televisi. RCTI tidakakan memberi kesempatan makin long-gar kepada pemasang iklan produk-pro-duk tertentu untuk ditayangkan dalam“Intan” jika rating dan audience share“Intan” tidak semakin tinggi peringkat-nya, minimal tidak turun. Rating danaudience share “Intan” sempat turun ga-ra-gara banyak pemirsa “Intan” yang ke-cewa semenjak alur cerita “Intan” sete-lah episode ke-120, 153, dan 174, sepertitelah saya kemukakan di atas, semakinmelenceng, dan terkesan diulur-ulur, di-panjang-panjangkan, atau dibelit-belit-kan dari alur cerita aslinya, BSGS, yangdikabarkan dijiplak atau diadaptasi“Intan”.

Untuk mempertahankan, syukurmeningkatkan, rating dan audienceshare terhadap “Intan”, maka pihak pro-duser, sutradara, penulis skenario, dansegenap kru “Intan” melakukan trik-trik,antara lain menambah tokoh-tokoh baruyang diperankan oleh ‘bintang-bintang’(belum tentu aktor/aktris) yang diper-kirakan marketable, menggeser, menye-lipkan, mengubah, atau mengulur-uluralur cerita di sana-sini sesuai dengan se-lera sebagian (bukan seluruhnya) pasarsehingga rem blong. Konsekuensinya,‘kejar tayang’ (striping) tak terelakkan.Akibatnya sudah dapat diduga. Bahkanproduser, sutradara, penulis skenario,kru, dan para pemeran “Intan” tidak tahukapan “Intan” mau, dapat/bisa berakhiratau dihentikan oleh peringkat audienceshare dan atau rating. “Apakah ”Intan”akan bernasib seperti serial sinetron“Tersanjung”?” Begitulah banyakkomentar yang dapat diakses di internet.

Untuk mengetahui secara kasar be-rapa biaya penayangan iklan produk ter-tentu untuk bisa ditayangkan di RCTIdalam “Intan” per spot untuk setiap epi-sode yang berdurasi 60 menit, terdiri ataslima kali jeda waktu, perhatikan Tabel 1.Saya ambil contoh kasus “Intan” padaepisode 210, 211, dan 212. Tentu tigaepisode tersebut tidak representatif me-

wakili seluruh episode dalam penaya-ngan “Intan” yang saat makalah ini ditu-lis, sudah mencapai episode ke-247, dantidak tahu sampai episode keberapa“Intan” berakhir. Durasi tayang “Intan”perepisode rata-rata 60 menit. Tiap-tiapepisode dibagi ke dalam lima jeda wak-tu. Tiap-tiap jeda waktu diprogramkandapat menayangkan rata-rata 20 spot ik-lan produk tertentu. Jadi, setiap episodedengan durasi rata-rata 60 menit dapatmenayangkan iklan sebanyak 5 x 20 =100 spot tayang iklan. Setiap satu spottayang iklan biayanya rata-rata Rp16 ju-ta. Jadi biaya iklan yang ditayangkan da-lam “Intan” mencapai jumlah 100 xRp16 juta = Rp1,6 miliar. Kalau sampaisekarang, penayangan “Intan” sudahmencapai, katakan, 250 episode tinggalmengalikan Rp1,6 miliar. Jumlah biayatayang iklan dalam “Intan” sampaiepisode 250 saja menjadi 250 x Rp1,6miliar = Rp400 miliar rupiah. Semula,perbandingan durasi untuk tayang iklandengan tayang “Intan” diprogram samayaitu 50% dibanding 50%. Artinya 30menit untuk tayang “Intan” dan 30 menituntuk tayang iklan. Lalu bagaimana ke-nyataannya? Lihat lagi Tabel 1. Namun,dalam praktiknya, perbandingan antaradurasi penayangan iklan dan durasi pe-nayangan “Intan” setiap episodenya ti-daklah sama. Hal ini juga berakibat bah-wa perbandingan antara pemasukanbiaya tayang iklan dan biaya produksi“Intan” selalu mengalami perubahan. Se-bagai contoh, lihat Tabel 1.

Pada episode ke-210, durasi tayangiklan 46 menit, dan durasi tayang “Intan”hanya 14 menit, itu pun termasuk ta-yangan bagian-bagian dari adegan-ade-gan terakhir episode sebelumnya (209)dan bagian-bagian adegan ulang yangmerupakan teknik pengaluran backtracking (sorot balik) untuk mengurangijumlah durasi dan biaya produksi syuting“Intan”. Jumlah biaya iklan pada episode210 adalah 165 x Rp16 juta = Rp2,640miliar.

Page 10: SENI SASTRA, TEATER, DAN FILM DALAM KONTEKS …

42

Pada episode ke-211, durasi tayangiklan 34 menit, dan durasi tayang “Intan”hanya 26 menit, itu pun termasuktayangan bagian-bagian dari adegan-ade-gan terakhir episode sebelumnya (210)dan bagian-bagian adegan ulang yangmerupakan teknik pengaluran backtracking (sorot balik) untuk mengurangijumlah durasi dan biaya produksi syuting“Intan”. Jumlah biaya iklan pada episode211 adalah, 104 x Rp16 juta = Rp1,664miliar.

Pada episode ke 212, durasi tayangiklan 44 menit, dan durasi tayang “Intan”cuma 16 menit, itu pun termasuk tayang-an bagian-bagian dari adegan-adeganterakhir episode sebelumnya (211) danbagian-bagian adegan ulang yang meru-pakan teknik pengaluran back trackinguntuk mengurangi jumlah durasi danbiaya produksi syuting “Intan”. Jumlahbiaya iklan pada episode 212 adalah 112x Rp16 juta = Rp1,792 miliar. Contoh diatas berdasarkan data episode 210, 211,dan 212. Bagaimana dengan episode-epi-sode berikutnya? Episode 247 dan sete-rusnya?

SIMPULANBanyak contoh yang menunjukkan bah-wa sudah sejak lama bidang seni sastra,teater, dan film, berkolaborasi denganbaik dengan bidang-bidang ilmu penge-tahuan maupun cabang-cabang seni lain-nya, baik kelembagaan maupun sendiri-sendiri untuk ikut andil besar dalammembangun manusia menjadi lebih ma-nusiawi (humaniora). Hal itu dilakukanlewat kinerja dan karya-karya mereka,iptek dan seni, misalnya sastra, teater,dan film bukan monodisiplin tetapi inter-disiplin dan atau multidisiplin. Telaahtentang sastra, teater, dan film bukan ha-nya kajian tekstual sempit, tetapi jugakontekstual yang melibatkan bidang-bi-dang ilmu pengetahuan dan cabang-ca-bang seni lainnya. Tokoh-tokoh ilmuwandan sastrawan, teaterawan, sekaligus si-neas banyak sekali, misalnya, Asrul Sani

adalah dokter hewan (ilmuwan), sekali-gus juga sastrawan, teaterawan, dan si-neas; Teguh Karya, sastrawan, teatera-wan, sekaligus sineas; Umar Kayam, pa-kar sosiologi (ilmuwan) budayawan, sas-trawan, teaterawan, dan sineas; Arifin CNoer, Sarjana Sosial Politik (ilmuwan),sastrawan (“Selamat Pagi Jajang” adalahkarya puisinya untuk maskawin kepadaJajang Pamuntjak, istrinya), teaterawan,dan sineas; Putu Wijaya, sarjana hukum(ilmuwan), sastrawan, teaterawan, dansineas; Budi Darma, mantan rektor (biro-krat, ilmuwan), sastrawan, kritikus,esais; N. Riantiarno, sastrawan (nomina-tor penulis novel, puisi, apalagi naskahlakon dan skenaro film, seperti halnyaArifin C Noer dan Putu Wijaya); dan,masih banyak lagi.

Film, sebagai seni pertunjukan (per-formance art) nyaris tidak tertandingioleh semua jenis seni pertunjukan manapun termasuk seni teater. Selain kom-pleks (seperti halnya teater), film, terma-suk ragam sinetron film yang ditayang-kan di media televisi, proses penjadian-nya bisa didukung oleh berbagai bidangteknologi informasi komunikasi dan in-dustri sekaligus. Jika esensi utama noveladalah narasi dan alur cerita, esensi te-ater adalah cakapan dan konflik, sedang-kan esensi film, gambar, gerak, dansuara. Dalam ”Intan” esensi gambar, ge-rak, dan suara praktis tak tergarap de-ngan baik, tetapi justru mengandalkanalur cerita yang meloncat-loncat, peru-mitan, dan cakapan, dengan pertim-bangan utama penghematan biaya pro-duksi untuk mengeruk untung sebesar-besarnya, meski mengecewakan banyakpemirsa. Jika peringkat audience shareyang bisa mendongkrak rating “Intan”tetap tinggi, menurut hemat saya, bukankarena kualitas “Intan” dari segi ilmiahmaupun seni. Para pemirsa ingin terusmenonton bukan karena aspek filmyayang bagus, melainkan karena merekaingin tahu apa akhir cerita. Untuk mengi-kat pemirsa agar terus mengikuti

Page 11: SENI SASTRA, TEATER, DAN FILM DALAM KONTEKS …

43

“Intan”, trik yang dianggap jitu oleh pro-duser, sutradara, dan penulis skenario“Intan” adalah mengulur-ulur dan mem-belit-belitkan jalan cerita sehingga“Intan” ibarat teka-teki atau misteri. “Se-ni bukanlah teka-teki yang menjadikanpenonton harus menebak-nebak jalan ce-rita dan maknanya”, kata Arifin C Noerdalam lakonnya ”Umang-Umang”.

Sulit dimengerti peristiwa-peristiwayang terjadi dan bagaimana menyikapikonflik keluarga beserta pemecahannyadalam “Intan” merupakan refleksi danimajinasi realitas sosial setaraf dengankondisi sosiokulturul ekonomi tokoh-to-kohnya. Jika memang mudah mengapaharus dipersulit? Sebaliknya, jika sulitmengapa dipermudah? Jika sudah wak-tunya berhenti mengapa diulur-ulur? Se-baliknya, bila belum selesai mengapa di-hentikan mendadak? Misalnya ketikaDude Herlino sakit, dalam “Intan”, Radodikatakan sedang ke luar kota. Begitu ju-ga ketika Naysilla Mirdad (Intan) sakit,Intan harus berobat ke Amerika mene-mui dr. Ardi (Mathias Muchus) danWina (Nunu Datau), ayah dan ibu Rado.Mereka tak digambarkan dalam “Intan”.Saya kurang sependapat dengan Harsiwiyang mengatakan bahwa alasan “Intan”

digandrungi para penonton karena tema-nya merakyat dan menggambarkan kehi-dupan sehari-hari (di kota Jakarta?).“Intan” mengeksploitasi sikap, perilaku,dan gaya hidup budaya kota Jakarta. Se-moga tidak terjadi dalam perkembangansastra Indonesia dan dunia. Sastra, teater,dan film tidak harus miskin ideologi danbudaya.

Catatan: tulisan ini pernah dipresentasikandi Konferensi Internasional KesastraanXVIII di Jakarta, 7—9 Agustus 2007

DAFTAR PUSTAKA

Bintarto. 1987. Urbanisasi dan Perma-salahannya. Jakarta: Ghalia Indone-sia.

Kleden, Ignas. 2004. Sastra Indonesiadalam Enam Pertanyaan (Esai-esaiSastra dan Budaya). Jakarta: Free-dom Institute.

Mahayana, Maman S. 2005. 9 JawabanSastra Indonesia (sebuah orientasikritik). Jakarta: Bening.

Toda, Dami N. 2005. Apakah Sastra?.Magelang: Indonesiatera.