54
TEATER TEORI Teater (bahasa Inggris: theater atau theatre, bahasa Perancis théâtre berasal dari kata theatron (θέατρον) dari bahasa Yunani, yang berarti "tempat untuk menonton").awalnya sendiri diperkenalkan pada kultus dyonisius,awalnya sebagai ritual upacara pengorbanan domba/lembu kepada Dyonisius dan nyanyian yang digunakan pada masa itu disebut "tragedi".dalam perkembangannya Dyonisius dewa yang berwujud hewan itu kemudian berubah menjadi manusia dan dipuja sebagai dewa anggur dan kesuburan. [1] adalah cabang dari seni pertunjukan yang berkaitan dengan akting/seni peran di depan penonton dengan menggunakan gabungan dari ucapan, gestur (gerak tubuh), mimik, boneka, musik, tari dan lain-lain. Bernard Beckerman, kepala departemen drama di Universitas Hofstra, New York, dalam bukunya, Dynamics of Drama, mendefinisikan teater sebagai " yang terjadi ketika seorang manusia atau lebih, terisolasi dalam suatu waktu/atau ruang, menghadirkan diri mereka pada orang lain." Teater bisa juga berbentuk: opera, ballet, mime, kabuki, pertunjukan boneka, tari India klasik, Kunqu, mummers play, improvisasi performance serta pantomim.

TEATER TEORI

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: TEATER TEORI

TEATER TEORI

Teater (bahasa Inggris: theater atau theatre, bahasa Perancis théâtre berasal dari kata theatron (θέατρον) dari bahasa Yunani, yang berarti "tempat untuk menonton").awalnya sendiri diperkenalkan pada kultus dyonisius,awalnya sebagai ritual upacara pengorbanan domba/lembu kepada Dyonisius dan nyanyian yang digunakan pada masa itu disebut "tragedi".dalam perkembangannya Dyonisius dewa yang berwujud hewan itu kemudian berubah menjadi manusia dan dipuja sebagai dewa anggur dan kesuburan.[1] adalah cabang dari seni pertunjukan yang berkaitan dengan akting/seni peran di depan penonton dengan menggunakan gabungan dari ucapan, gestur (gerak tubuh), mimik, boneka, musik, tari dan lain-lain. Bernard Beckerman, kepala departemen drama di Universitas Hofstra, New York, dalam bukunya, Dynamics of Drama, mendefinisikan teater sebagai " yang terjadi ketika seorang manusia atau lebih, terisolasi dalam suatu waktu/atau ruang, menghadirkan diri mereka pada orang lain." Teater bisa juga berbentuk: opera, ballet, mime, kabuki, pertunjukan boneka, tari India klasik, Kunqu, mummers play, improvisasi performance serta pantomim.

Page 2: TEATER TEORI

TEKNIK PENGAKTORAN

PENDAHULUAN

BEBERAPA PENGERTIAN

Kata drama berasal dari bahasa Yunani Draomai yang berarti berbuat, berlaku, bertindak. Jadi drama bisa berarti perbuatan atau tindakan.

ARTI DRAMA

Arti pertama dari Drama adalah kualitas komunikasi, situasi, actiom (segala yang terlihat di pentas) yang menimbulkan perhatian, kehebatan (axciting), dan ketegangan pada para pendengar.

Arti kedua, menurut Moulton Drama adalah hidup yang dilukiskan dengan gerak (life presented in action).

Menurut Ferdinand Brunetierre : Drama haruslah melahirkan kehendak dengan action.

Menurut Balthazar Vallhagen : Drama adalah kesenian melukiskan sifat dan sifat manusia dengan gerak.

Arti ketiga drama adalah cerita konflik manusia dalam bentuk dialog yang diproyeksikan pada pentas dengan menggunakan percakapan dan action dihadapan penonton (audience).

ARTI TEATER

Ada yang mengartikan sebagai “gedung pertunjukan”, ada yang mengartikan sebagai “panggung” (stage). Secara Etimologi (asal kata), Teater Adalah Gedung Pertunjukan (auditorium).

Dalam arti luas Teater adalah kisah hidup dah kehidupan manusia yang dipertunjukan di depan orang banyak. Misalnya Wayang Orang, Ludruk, Lenong, Reog, Sulapan.

Dalam arti sempit Teater adalah kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan dalam pentas, disaksikan oleh orang banyak, dengan media, gerak, percakapan dan laku, dengan atau tanpa dekor (layer); Didasarkan pada naskah yang tertulis (hasil seni sastra) dengan atau tanpa musik.

Page 3: TEATER TEORI

APA PERBEDAAN DRAMA DENGAN TEATER

Teater dan drama, memiliki arti yang sama, tapi berbeda uangkapannya.Teater berasal dari kata yunanikuno "theatron" yang secara harfiah berarti gedung/tempat pertunjukan. Dengan demikian maka kata teater selalu mengandung arti pertunjukan/tontonan. Drama juga dari kata yunanai 'dran' yang berarti berbuat, berlaku atau beracting. Drama cenderung memiliki pengertian ke seni sastra. Didalam seni sastra, drama setaraf denagn jenis puisi, prosa/esai. Drama juga berarti suatu kejadian atau peristiwa tentang manusia. Apalagi peristiwa atau cerita tentang manusia kemudian diangkat kesuatu pentas sebagai suatau bentuk pertunjukan maka menjadi suatu peristiwa Teater. Kesimpulan teater tercipta karena adanya drama.

TEATER SEBAGAI ORGANISASI

Proses Teater merupakan sebuah proses organisasi (bentuk kerja kolektif; dimana segala macam orang dengan segala macam fungsinya tergabung dalam suatu koordinasi yang rapih,dan juga mencakup juga pengertian sampai batas-batas yang sentimentil), seperti hal nya diri manusia itu sendiri, atau layaknya seperti sebuah negara. Keberhasilan suatu pertunjukan Teater dapat juga sebagai keberhasilan suatu seni organisasi; baik organisasi penyelenggaraannya (Panitia Produksi) maupun segi seni-seninya (Penyutradaraan, Penataan set, Permainan, Musik dan unsur-unsur lain).

Berikut ini contoh Elemen dari sebuah Group Teater dalam mengadakan sebuah Produksi.

- Pimpinan Produksi

- Sekretaris Produksi

- Keungan Produksi / Bendahara

- Urusan Dokumentasi

- Urusan Publikasi

- Urusan Pendanaan

Page 4: TEATER TEORI

- Urusan Ticketing atau karcis

- Urusan Kesejahteraan

- Urusan Perlengkapan

- Sutradara

- Art Director / Pimpinan Artistik

- Stage Manager

- Property Master

- Penata Cahaya

- Penata Kostum

- Penata setting

- Perias / Make Uper

- Penata Cahaya

- Penata Musik

Setiap Elemen memiliki tugas sendiri-sendiri dan sudah seharusnya untuk bertanggungjawab penuh atas tugas itu (secara profesional). Sebagai Contoh seorang Urusan Pendanaan, ia harus memikirkan seberapa besar dana yang dibuhtuhkan? Dari mana dana itu didapatkan. Begitupula seorang Sutradara yang bertanggungjawab atas pola permainan panggung; (akting pemain, cahaya, bunyi-bunyian, set, property dan lain-lain).

Jikalau kita memandang Elemen dalam Group Teater, ada kesamaan dengan elemen dalam tubuh kita sendiri; setiap organ tubuh memiliki fungsi sendiri, tetapi saling berhubungan dan tergabung dalam fungsi yang sempurna. Teater ibarat laboratorium kehidupan itu sendiri, seperti yang diungkapkan Peter Brook “Teater akan menjadi tempat yang indah bagi orang-orang yang mabuk dan kesepian, Teater merupakan sebuah tindak budaya, Teater bukanlah tempat untuk melarikan diri ataupun untuk mencari perlindungan”.

Page 5: TEATER TEORI

RUMUSAN TEATER

Teater adalah salah satu bentuk kegiatan manusia yang secara sadar menggunakan tubuhnya sebagai unsur utama untuk menyatakan dirinya yang diwujutkan dalam suatu karya seni suara, bunyi dan rupa yang dijalin dalam cerita pergulatan kehidupan manusia.

Dari rumusan diatas dapt ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur teater menurut urutannya adalah sebabagai berikut :

1. Tubuh, manusia sebagai unsur utama ( pemeran/pelaku/pemain)

2. Gerak, sebagai unsur penunjang.

3. Suara, sebagai unsur penunjang ( kata/untuk acuan pemeran)

4. Bunyi, sebagai unsur penunjang ( bunyi benda,efek dan musik).

5. Rupa sebagai unsur penunjang ( cahaya, rias dan kostum.).

6. Lakon sebagai unsur penjalin ( cerita,non cerita,fiksi dan narasi ).

Page 6: TEATER TEORI

Teknik Olah Suara Pada Seni TeaterJanuary 13th, 2010 • Related • Filed Under

Vokal merupakan tenaga dalam olah suara. Vokal adalah suara yang menyembunyikan kata yang keluar dari mulut. Vokal inilah yang menjadi kunci dalam pergelaran karya seni teater. Dengan vokal yang baik akan bisa memberikan kontribusi yang besar bagi pertunjukkan atau pementasan karya seni teater. Jika vokal tidak bagus atau jelek, maka kalimat menjadi mubazir dan tidak berguna dalam memantaskan karya teater.

Ukuran bagus dan tidaknya suatu vokal terletak pada kuat atau tidaknya suara yang dproduksi lewat mulut. Yang perlu diperhatikan dalam berlatih olah suara adalah tenaga suara dari perut yang didorong ke atas melalui ruang resonansi diimbangi dengan pengaturan nafas yang tepat. Adapun bentuk olah suara dapat dilakukan dengan latihan dasar menyanyi dan deklamasi.

Page 7: TEATER TEORI

PENTINGNYA TEKNIK BERMAIN BAGI ACTOR

TEKNIK BERMAIN (Acting) merupakan unsur penting bagi pemain (Actor). Actor dibedakan menjadi dua yaitu: pemain alam dan pemain bukan alam (buatan). Pemain alam mengetahui itu tanpa ada yang mengajarinya secara teratur dan juga barangkali tanpa membaca buku penuntun. Sedangkan pemain bukan alam mengetahui acting lewat pengajaran oleh seorang guru, atau dengan jalan berguru pada buku penuntun. Kedua jenis pemain ini berbeda, tetapi mereka disarankan untuk mengetahui seluk-beluk teknik bermain (Acting).

Cara mencapai hasil dalam menyampaikan sang seni dan sang ilham kepada orang lain, inilah yang disebut teknik dalam kesenian. Teknik ini ada yang unik dan ada yang umum. Teknik yang unik timbul dari pribadi seorang seniman yang memang unik. Orang lain bisa mempelajari karena mengaguminya, tetapi apabila ia lalu menggunakannya, maka itu berarti ia meniru atau terpengaruh, dan apa yang semula unik, lalu menjadi tidak unik lagi. Teknik yang umum yang sifatnya dasar, bisa dipakai, maka akan memberikan hasil yang umum dan tidak bisa dipakai secara umum. Bila dipakai, maka akan memberikan hasil yang umum dan tidak unik. Namum demikian teknik yang umum ini selalu penting dalam hidup setiap seniman, karena, meskipun sederhana, sangat dasar sifatnya. Teknik yang umum menyebabkan seniman merasa yakin dalam membawakan dirinya dalam keseniannya, selalu dapat menguasai yang ia ajak berkomunikasi, karena ia menguasai alat komunikasinya, atau dengan kata lain membuat ia menjadi fasih. Tapi perlu dicatat, hanyalah dengan teknik yang unik ia bisa memancarkan pribadinya.Demikian kedudukan teknik dalam kesenian, dan demikian pula kedudukan teknik bermain dalam seni seorang pemain. Dalam kritik-kritik seni sering menempatkan teknik bermain (acting) secara berlebih-lebihan. Penulis hanya menyarankan untuk meletakkan dalam kedudukan yang wajar saja.Sang seni dan sangilham, tanpa teknik, hanya akan menjadi gairah yang asik tapi tidak komunikatif. Barangkali ia akan sampai sebgai sesuatu yang kacau, atau bertele-tele, atau sama sekali tidak punya daya tarik. Sebaliknya, hampir setiap orang bisa mempelajari dan menghafalkan teknik seni bermain yang sudah disusun dan diajarkan, namun tanpa sang seni dan sang ilham ia tak akan mampu menyajikan seni bermain yang baik, karena ia hanya akan sampai pada efek-efek tanpa keindahan dan gubahan yang unik. Hanya dalam hasil kesenian yang buruk teknik itu nampak berlebihan atau kurang. Dlam hasil kesenian yang baik teknik sudah menyatu di dalam intuisi sang seniman, sehingga, dalam hal ini, teknik ini menjadi sepontanitas yang secara otomatis teratur dan sadar bentuk. Dengan kata lain ia tidak lagi merupakan bagian terperinci, melainkan sudah menjadi unsur yang padu.Demikianlah kalau ada pemeo yang mengatakan, bahwa teknik itu dipelajari untuk dilupakan, maka pada hakikatnya itu berarti bahwa teknik itu dipelajari dengan penghayatan sehingga akhirnya bisa menjadi semacam naluri. Dalam hal ini, hanyalah orang yang berbakat kesenian saja yang bisa melakukannya. Atau dengan kata lain, hanyalah orang yang mempunyai rohani seniman saja yang bisa melakukannya. Sedangkan yang lain, bisa saja mempelajari teknik itu dan punya banyak pengetahuan tentang itu tapi tak dapat ia kuasai, tak bisa ia endapkan menjadi pengalaman, karena tak

Page 8: TEATER TEORI

bisa ia sangkutkan dengan kebutuhan rohani.Ada pula pemain yang berbakat dan cukup paham akan teknik bermain yang umum, namun, pada satu tingkat perkembangan tertentu, pemain menjadi kering, karena hanya sarat dengan permainan teknik melulu.Ternyata jika kita telusuri persoalannya adalah masalah rohani seniman yang tidak berkembang. Tidak ada buku yang bisa mengajarkan perkembangan rohani. Dokter jiwa, agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan tidak bisa memberi resep yang menyembuhkan. Ini hanya masalah pribadi yang hanya dapat diatasi oleh senimannya sendiri. Cara yang biasa dilakukan dalam menambah atau mencari pengalaman rohani / batin agar lebih kaya dalam mendapatkan sang seni dan sang ilham.Manfaat gai pemain berbakat dalam mempelajari teknik bermain yang umum adlaah untuk menambah kemampuannya dalam membuat keragaman gaya. Dan bagi seorang yang memang berbakat besar, satu pasal teknik bermain yang paling sederhana pun bisa membukakan pintu ke arah perbendaharaan ilham artistiknya yang kaya itu.

Page 9: TEATER TEORI

Indonesia kaya akan seni.[1] Seni merupakan unsur kebudayaan yang tumbuh dan berkembang sejajar perkembangan manusia sebagai pencipta dan penikmat karya seni.[2] Karya seni dapat dilihat dari bentuk pakaian dan rias, jenis makanan dan hidangan, jenis-jenis pertunjukan, berbagai upacara adat dan prosesinya, dan lain-lain, Salah satunya adalah sebi pertunjukan yaitu bentuk teater.[3] Seni Teater adalah seni yang kompleks, artinya dapat bekerjasama dengan cabang seni lainnya.[4]Di Indonesia mempunyai dua teater, diataranya adalah :[5]

1. Teater Tradisional

2. Teater Modern

Daftar isi[sembunyikan]

1 Teater Tradisional o 1.1 Ciri-ciri Teater Tradisional

2 Teater Modern o 2.1 Ciri-ciri Teater Modern o 2.2 Kelompok dan sutradara

3 Unsur-unsur Teater o 3.1 1. Naskah/Skenenario o 3.2 2. Skenario o 3.3 3. Pemain/Pemeran/Tokoh o 3.4 4. sutradara o 3.5 5. Properti o 3.6 6. Penataan

4 7. Penonton

5 Referensi

[sunting] Teater Tradisional

Teater Tradisional adalah bentuk pertunjukan yang pesertanya dari daerah setempat karena terkondisi dengan adat istiadat, sosial masyarakat dan struktur geografis masing-masing daerah.[6]

Page 10: TEATER TEORI

Gambar ini merupakan Museum Wayang

- Ketoprak dari Yogyakarta

- Ludruk dari Surabaya

- Wayang Orang dari Jawa Tengah/Yogyakarta

- Lenong dan Topeng Blantik dari Betawi

- Mamanda dan Wayang Gong dari Kalimantan Selatan

- Mak Yong dan Mendu dari Riau

- Masres dari Indramayu

- Randai dari Sumatera Barat

- Dulmulk dari Sumatera Selatan

- Bangsawan dari Sumatera Utara

- Anak Ari dari Nusa Tenggara

- Arya Barong Kecak dari Bali

[sunting] Ciri-ciri Teater Tradisional

Teater Tradisional mempunyai ciri-ciri sebagai berikut [7]:

1. Pementasan panggung terbuka (lapangan, halaman rumah),

Page 11: TEATER TEORI

2. Pementasan sederhana,

3. Ceritanya turun temurun.[8]

[sunting] Teater Modern

Teater Modern adalah cerita yang bahannya dari kejadian-kejadian sehari-hari, atau karya sastra.[9]

contoh Teater Modern :

a. drama

b. teater

c. sinetron

d. film

[sunting] Ciri-ciri Teater Modern

- Panggunga tertata

- Ada pengaturan jalan cerita

- tempat panggung tertutup

[sunting] Kelompok dan sutradara

Kelompok teater modern dan sutradara [10]:

1. Teater Gandrik : Jujuk Prabowo

2. Teater Garasi : Yudi Ahmad Tajudin

3. Teater Koma : N. Riantiarno

4. Bengkel Teater : WS Rendra

5. Teater Kecil : Arifin C. Noor dan lain-lain

Page 12: TEATER TEORI

[sunting] Unsur-unsur Teater

Unsur-unsur dalam teater antara lain [11]}:

[sunting] 1. Naskah/Skenenario

Naskah/Skenario berisi kisah dengan nama tokoh dan diaolog yang duicapkan.

[sunting] 2. Skenario

Skenario merupakan nsakah drama (besar) atau film, yang isinya lengkap, seperti : keadaan, properti, nama tokoh, karakter, petunjuk akting dan sebagainya.[12] Tujuan dari naskah/skenario untuk sutradara agar penyajiannya lebih realistis.[rujukan?]

[sunting] 3. Pemain/Pemeran/Tokoh

Pemain merupakan orang yang memeragakan tokoh tertentu pada film/sinetron biasa disebut aktris/aktor.[13]

Macam-macam peran [14]:

a. Peran Utama

Peran Utama Yaitu peran yang menjadi pusat perhatian penonton dalam suatu kisah

b. Peran Pembantu

Peran Pembantu Yaitu peran yang tidak menjadi pusat perhatian

c. Peran Tambahan/Figuran

Figuran Yaitu peran yang diciptakan untuk memperkuat gambar suasana

[sunting] 4. sutradara

Sutradara merupakan orang yang memimpin dan mengatur sebuah teknik pembuatan atau pementasan teater/drama/film/sinetron.[15]

[sunting] 5. Properti

Properti merupakan sebuah perlengkapan yang diperlukan dalam pementasan drama atau film.[16] Contohnya : kursi, meja, robot, hiasan ruang, dekorasi, dan lain-lain

Page 13: TEATER TEORI

[sunting] 6. Penataan

Seluruh pekerja yang terkait dengan pendukung pementasan teater, antara lain[17]: a. Tata Rias

Tata Rias adalah cara mendadndani pemain dalam memerankan tokoh teater agar lebih meyakinkan

b. Tata Busana

Tata Busana adalah pengaturan pakaina pemain agar mendukung keadaan yang menghendaki. Contohnya : pakaian sekolah lain dengan pakaian harian

c. Tata Lampu

Tata Lampu adalah pencahayaan dipanggung

d. Tata Suara

Tata Suara adalah pengaturan pengeras suara

e. Tata Pentas

Tata Pentas adalah seting, komposisi properti agar efektif mendukung pentas

f. Pentas/Panggung

[sunting] 7. Penonton

Penonton adalah undur dalam pementasan drama/teater/sandiwara atau film karena sebagai saksi dari hasil akhir kerabat kerja.[18] Penonton sebagai evaluator yang mengapresiasi dan menilai hasil karya seni yang dipentaskan.[19] Bentuk karya seni akan sia-sia jika tidak memiliki penikmat karya.[rujukan?] Pada setiap pementasan seni pasti ada penonton.[rujukan?] Penonton menonton untuk menghibur hatinya dan bagi senimannya bisa sebagaievaluator dari karyanya.[20]

Page 14: TEATER TEORI
Page 15: TEATER TEORI

Sanggar Teater Populer, atau juga disebut Yayasan Teater Populer, merupakan suatu tempat berkumpulnya para pekerja kreatif di bidang seni, drama dan film. Berazaskan ilmu dramaturgi dan sinematografi, Kelompok Kerja Kreatif Teater Populer selalu aktif dalam pementasan teater maupun pembuatan film layar lebar.

Teater Populer adalah sebuah cita-cita, yang berarti segala kegiatannya tidak ada yang absurd. Teater Populer menganut aliran realis sehingga dalam bidang seni peran, dapat langsung diaplikasikan di luar panggung seperti misalnya di media layar lebar.

Berbagai kegiatan kesenian yang mendasari ilmu panggung di sanggar Teater Populer meliputi banyak bidang, seperti:

Seni Peran Seni Rupa Seni Tari, Musik, dan Suara Seni Sastra Penguasaan Kamera, Tata Cahaya, dan Editting Penyutradaraan dan Penulisan Naskah

Page 16: TEATER TEORI

Tentang Kami Indeks Artikel

Tentang Kami hal 1 Tentang Kami hal 2 Tentang Kami hal 3 Tentang Kami hal 4 Tentang Kami hal 5 Tentang Kami hal 6 Tentang Kami hal 7 Kode Etik Semua Halaman Halaman 1 dari 8

Jakarta, 1980.

    Sebelum pementasan ke-empat Teater Koma yang berjudul Kontes 1980, Dewan Kesenian Jakarta menggelar Temu Teater Nasional. Beberapa kelompok teater dari Jakarta dan dari luar Jakarta mengirim kontingen, dan sebagian mementaskan karya teater mereka. Dalam kesempatan itu, digelar pula panel diskusi yang diikuti oleh sutradara-sutradara teater nasional. Para sutradara diminta mengungkapkan konsep berteaternya. Lalu konsep itu didiskusikan.

    Saya menuliskan konsep kesenian Teater Koma.

    Judulnya; Teater Tanpa Selesai. Isinya demikian;

    Dalam suratnya kepada Dewan Kesenian Jakarta sehubungan dengan pementasan pertama Teater Koma, saya menulis; ‘Melihat sekarang ini kegiatan teater kita sangat didominasi oleh teater-teater senior yang nampak tenang dan bahagia  dengan warna teaternya yang semakin khas itu, maka ..’ dan seterusnya.

    Pada tanggal 1 Maret 1977, Selasa Pahing, duabelas seniman yang punya iktikad sama, mendirikan kelompok Teater Koma. Tekad mendirikan kelompok teater, antara lain didorong oleh keinginan menghadirkan tontonan teater yang diharapkan memiliki warna berbeda dengan kelompok teater yang sudah ada.

    Teater Koma belajar dari kelompok-kelompok teater terdahulu. Mungkin bentuk pementasannya merupakan gabungan dari bentuk teater yang sudah ada. Tapi bisa juga bentuknya malah ‘berbeda sama sekali’. Titik tolak pembentukan kelompok, terutama didorong oleh kegelisahan pencarian berbagai kemungkinan lain dan upaya mewujudkannya di atas pentas. Teater Koma menganggap, karya pentas teater yang ada selama ini, belum seluruhnya selesai.

    Teater Koma bisa juga disebut sebagai teater tanpa selesai. Pencarian wujud dan isi teater yang lebih kaya warna, akan menjadi prioritas utama.

    Ada dua tujuan pokok yang menjadi landasan dalam bekerja;

Page 17: TEATER TEORI

1. Membentuk kelompok menjadi wadah, semacam workshop, yang berupaya mencari berbagai kemungkinan pengucapan lain. Naskah-naskah drama yang digali kandungan idenya, lebih diutamakan karya para penulis Indonesia. Kemudian, workshop akan diarahkan menuju perencanaan pementasan.

2. Menyiapkan calon seniman dan pekerja teater yang tangguh. Pembinaan terhadap calon seniman dilakukan secara tak resmi. Intim dan spontan, tapi intensif. Lewat omong-omong dan diskusi. Akan diundang seniman-budayawan di luar kelompok untuk memandu pembahasan sebuah topik yang punya keterkaitan dengan seni-budaya. Akan diselenggarakan pula latihan dasar; olah tubuh, nafas, vokal, dan berbagai pengetahuan teater.    

    Pegangan yang mencipta kegembiraan bekerja adalah kerjasama yang saling menghargai. Tak perlu berikrar terlalu muluk, misal, ‘hidup dan matiku hanya untuk teater’ atau omong kosong lain yang sloganistis. Para anggota diminta untuk tidak berharap banyak dari teater, terutama dari segi pemenuhan materi.

    Dengan kesungguhan hati, meski dalam keterbatasan, karya teater yang baik juga bisa dilahirkan. Anggota kelompok yang terlanjur memiliki pekerjaan di luar teater, kerjanya tak boleh terganggu. Tapi begitu ikrar terlibat dalam kegiatan, dia harus menyediakan (mengelola) waktunya dengan sepenuh hati. Artinya, dia harus mencari akal agar semua jadwal tak terganggu.

    Untuk membuktikan hal itu, Teater Koma menggelar produksinya yang pertama berjudul Rumah Kertas, awal Agustus 1977, di Teater Tertutup TIM. Dalam buklet pementasan, Teguh Karya, pemimpin-guru-sutradara teater dan film yang sangat saya hormati, menulis kata pengantar berjudul Prospek. Salah satu anjurannya, yang kemudian menjadi pegangan adalah; ‘bikin dan lahirkan pembaruan-pembaruan!’.

    Pasti banyak kekurangan dalam pentas Rumah Kertas. Saya tak berani menyatakan,  apa yang disajikan Teater Koma adalah sesuatu yang baru. Barangkali lebih tepat disebut, ‘upaya penggalian berbagai kemungkinan’. Dan apa pun hasilnya, sudah tentu bukan sesuatu yang baru. Bisa jadi, yang dianggap ‘baru’ adalah sesuatu yang pada suatu masa pernah akrab dengan kita. Tapi dilupakan hingga memfosil. Sebab, kata orang, ‘di bawah matahari, tidak ada sesuatu yang baru’.-

    Pernah terjadi, pada suatu masa, kondisi teater kita sungguh tidak masuk akal. Teater ada di awang-awang. Hanya seniman saja yang memahami apa yang dilakukan orang teater. Celakanya, bahkan orang teater pun banyak yang tak paham. Lalu penonton memandang teater sebagai alien yang sukar dipahami dan ‘berbahaya’. Setiap kali menonton kegiatan teater semacam itu, rasanya seperti menyaksikan, maaf, tindakan ‘masturbasi’. Pujian datang dari sesama teman, saudara dan tetangga dekat. Hanya pujian. Tak ada kritik tajam yang bisa dipelajari atau dipakai untuk bercermin.

    Ketika hal itu terus terjadi, teater menjadi ‘benda yang aneh’. Seakan ada di dalam lemari besi terkunci, sulit dijamah dan dijauhi. Di lain sisi, para pekerja teater yang menggelar teater macam itu, merasa yakin karyanya sebagai hasil

Page 18: TEATER TEORI

semedi, lewat dupa, darah dan keringat, seluruh jiwaraga. Tapi mengapa kerja seolah sia-sia? Mengapa seakan-akan hanya sedikit orang saja yang ‘memilikinya’?

    Teater tak boleh terpencil apalagi dipencilkan. Teater bukan alien. Juga bukan pahlawan sakti dan bersayap yang dengan pongah menatap dari langit. Lalu hanya dengan mengangkat jari sebelah tangan, hasil perenungan bagai emas berjatuhan, jadi rebutan khalayak. Tidak. Itu dongeng. Mitos.

   Teater adalah pemaparan pemikiran, kritik dan otokritik. Salah satu upaya pencarian jalan menuju kebahagiaan. Teater bisa mengandung berbagai pertanyaan yang seringkali tak terjawab. Tapi teater harus akrab dengan masyarakatnya. Menjadi magnit, dibutuhkan. Sebab, sumber teater adalah kehidupan dan alam semesta. Kisah manusia menjadi titik pusatnya.

    Teater bukan obat batuk ‘ampuh’ yang langsung menyembuhkan. Teater juga bukan kamus yang serba tahu. Bisajadi, teater cuma kumpulan pertanyaan yang jawabannya harus dicari bersama. Teater adalah investasi kultural jangka panjang. Jika apa yang disajikan teater tidak dimengerti oleh masyarakat, jangan masyarakat yang disalahkan. Sebaiknya ditilik lagi, berulang kali, mengapa sampai tidak dipahami. Mungkin ada bagian yang magol dan tak komunikatif. Atau mungkin, hasil keseniannya buruk. Bahkan Teater pun harus senantiasa bercermin, selalu berupaya meneliti kembali semua kekurangan dan kelebihan. Dan masyarakat adalah ‘cermin yang bening’ bagi teater. Jangan sampai melupakan hal yang sangat penting itu.

    Saya kurang setuju jika seniman teater hanya berkubang di dalam lingkar-teaternya saja. Seperti katak dalam tempurung. Seniman teater sebaiknya seperti para seniman Bali, yang ketika tidak berkesenian adalah petani-petani tekun yang mencintai tanah dan bumi. Atau seperti para pemain lenong, yang sehari-hari bekerja sebagai tukang becak atau kuli pelabuhan.

    Bekerja. Itu kata kunci yang utama. Keakraban dengan kehidupan nyata adalah sumber daya kreatif para seniman teater. Bukan sebuah ‘istana asap’ yang harus diciptakan. Karena pada suatu ketika, akan diketahui bahwa yang dibangun hanyalah ‘istana asap’ belaka. Lalu akan datang kekecewaan dan teater pun ‘dibenci’. 

Dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada mereka yang merelakan diri hidup hanya untuk teater, saya menganjurkan anggota Teater Koma agar tidak memasuki teater dengan modal kosong. Mereka harus rela mensubsidi kegiatan sendiri, yang  dikerjakan tidak tergesa-gesa. Rileks tapi tetap waspada. Dengan cara itu, sebuah pertunjukan yang baik dan bernas pun bisa disajikan. Persoalannya adalah, apakah rileks dilakoni dengan penuh kewaspadaan dan rasa tanggungjawab atau hanya rileks tak waspada saja?

    Cara sederhana seperti itu, berdasarkan kenyataan lapangan, malah justru mampu mencipta kegembiraan kerja. Dalam sebuah paguyuban, yang masing-masing anggotanya saling mengisi kekurangan, suasana akrab kemudian dibangun. Saya tidak pernah marah jika ada pemain datang terlambat latihan.

Page 19: TEATER TEORI

Saya hanya berusaha mengetahui mengapa dia terlambat dan membahasnya dengan simpatik. Saya menyodorkan pemahaman mengenai disiplin dan tanggungjawab seorang seniman.

    Saya beritahu, bahwa kelompok sangat membutuhkan kehadirannya. Jika dia tidak hadir atau datang terlambat, bisa jadi kegiatan kelompok akan tersendat atau bahkan macet. Biasanya, pada hari latihan berikutnya, dia tidak terlambat lagi.

    Sekian lama bekerja dalam teater, saya telah mencatat berbagai hal. Lalu saya coba menuangkannya dalam tulisan. Catatan ini lebih merupakan kumpulan pengalaman lapangan, bukan kesimpulan baku yang didata dari survei ilmiah lalu menjadi pegangan yang kaku. Catatan-catatan saya hanya kumpulan berbagai informasi, catatan pinggir atau percik-percik pemikiran. Meskipun dalam arti yang lebih luwes,  catatan ini bisa juga disebut sebagai sikap dan pegangan kerja kelompok Teater Koma. Pegangan, yang sewaktu-waktu bisa berubah, seiring dengan gerak zaman.

    Di sekeliling kita, berbagai sumber kreatif mampu mencipta ‘peristiwa teater’. Dengan kepekaan seorang seniman, berbagai sumber kreatif itu bisa diserap untuk kemudian diproyeksikan kembali secara tajam. Saya sering merangkumnya sehingga menjadi naskah drama. Bagaimanapun, saya masih meyakini konsep teater teks sebagai dasar dan titik tolak menuju perwujudan peristiwa teater.

    Tapi naskah drama tulisan saya, juga bukan patokan kaku. Di dalam perjalanan, naskah punya kemungkinan berubah atau berkembang. Saya menganjurkan pemain-pemain saya untuk menggali jawaban tidak hanya dari teks. Peluang penggalian narasumber kreatif yang lebih luas justru lebih banyak terdapat di luar teks. Mereka bisa mencarinya di dalam kehidupan nyata, kemudian bersama-sama membahasnya di dalam forum latihan. Lalu memilih yang paling tepat sebagai bahan utama.

    Begitu keinginan berkelompok diikrarkan, saya harus siap berbuka hati dan sabar. Ada beberapa anggota yang sebelumnya tak tahu apa itu teater. Bahkan menonton pertunjukan teater pun tak pernah. Tapi karena dorongan teman, mendadak ingin masuk kegiatan teater. Apa harus ditolak? Tentu tidak. Pada kenyataannya, sikap ikut-ikutan semacam itu justru sering terjadi dalam dunia teater kita. Modalnya hanya semangat atau harapan tertentu. Jika teater dibayangkan sebagai sosok yang mengerikan, biasanya mereka akan segera lari. Tapi jika hanya dijanjikan tepuk tangan dan popularitas saja, kenyataannya sering tidak seperti itu. Lalu kita dianggap pembohong. Jadi, kenyataan mana yang harus diungkapkan?

    Saya akan bertindak untuk tidak menggambarkan berbagai kesulitan dalam berteater, sekaligus juga tidak menjanjikan apa-apa. Biarlah waktu yang akan membeberkan kenyataan. Latihan-latihan dasar yang diwajibkan, juga menjadi semacam alat seleksi. Memperkokoh dasar, nyatanya lebih berat dibanding latihan untuk pementasan. Tapi jika niat lahir dari keinginan yang kuat, biasanya daya tahan pun akan kuat. Jika tidak, mereka langsung hengkang. Sebab, teater ternyata tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya. Pengalaman lapangan, usia, kematangan dan waktu, mengajarkan banyak hal yang berharga.

Page 20: TEATER TEORI

    Disiplin teater bukan disiplin mati, tapi disiplin hidup. Tanggungjawab yang diminta bukan karena paksaan tapi karena kebutuhan. Dan kerja bukan sebuah beban melainkan menjadi kumpulan kegembiraan. Teater, ibarat sebuah kegiatan yang dijalankan dengan dada lapang dan keikhlasan. Kejujuran. Sangat sederhana tapi bukan berarti mudah dilakukan.

    Catatan ini ditulis tidak dengan kehendak memaksa orang lain untuk mengikuti. Kenyataan lapangan yang saya alami, bukan satu-satunya jalan dalam berteater. Saya hanya ingin ‘mengajak untuk memahami’ apa yang sudah dan hendak dilakoni kelompok Teater Koma, yang usianya masih sangat muda. Di luar cara saya, tentu banyak cara lain, yang berbeda. Dan masing-masing cara, mungkin sama baiknya jika ditilik dari sisi peyakinan dan kebutuhannya.

    Semoga pembeberan ini tidak malah mengaburkan. Saya sadar, setiap cara pasti memiliki kekurangan dan kelebihannya. Tapi dari kekurangan, biasanya, lahir ketidakpuasan. Dan dari ketidakpuasan, seyogyanya, lahir upaya perbaikan. Dunia bergulir dan ‘marak’ karena upaya-upaya agar menjadi lebih baik. Itulah hidup. Itulah teater. Dan di titik itulah letak kekuatan seni pertunjukan; upaya memperbaiki diri. 

    Saya mulai mengenal teater pada 1965, saat masih SMA di Kota Cirebon. Saya bermain sebagai Scipion dalam Caligula karya Albert Camus. Saya yakin bermain buruk. Tapi saya merasa seakan menemukan dunia yang diimpikan selama ini.

    Saat itu, banyak anak muda yang suka berpuisi. Saya juga. Usia 16 tahun, semangat menggebu-gebu dan dengan pongah ingin menyaingi Shakespeare. Kegiatan saya berkisar antara ‘diskusi tentang puisi’ dan menerbitkan majalah dinding di sekolah. Kadang saya mengikuti lomba deklamasi (dan tidak pernah menang). Sekali seminggu membaca puisi di radio. Sejak itu, secara tak langsung, saya sedang mempersiapkan diri untuk menjalani semacam ‘upacara ritual’ memasuki dunia dambaan, teater. Memang belum terlalu pasti. Dan ayun langkah saya, diiringi dengan banyak pertanyaan.

    Saya samasekali tak menyangka, perjalanan kreatif mendorong saya jadi seperti sekarang ini. Nasib? Atau cuma kebetulan saja? Entahlah. Sering saya berkaca, bertanya mengapa. Tapi tak pernah ada jawaban pasti. Yang mengherankan, saya tak pernah menyesalinya. Paling tidak, hingga saat ini.

    Meski sering dijerat situasi buruk, saya tetap bahagia. Mungkin ini dunia saya, bagian dari nasib saya. Saya bersyukur karena diberi peluang untuk meraih banyak hal. Diberi kesempatan untuk menghargai. Salah satunya; menghargai segala hal. Biarlah orang berpendapat, ada sesuatu yang sangat buruk dan sama sekali tak ada harga. Saya tetap berusaha untuk menghargai. Pada tempatnya masing-masing, adakah ‘sesuatu’ yang samasekali tidak berharga? Saya meragukannya. Bahkan sebutir pasir, sampah ataupun kotoran hewan, pastilah punya harga. Pasti berguna bagi hal-hal tertentu. Nilai ‘yang sangat buruk’ itu, pastilah spesifik, khusus.

    Kesenian adalah ‘kehidupan’, sebuah inti-kehidupan. Dan kesenian telah menjalankan tugasnya dengan baik. Dia menaruh bagian-bagian yang dimilikinya, pada tempatnya. Dan punya harga. Saya mempercayai kesenian.

Page 21: TEATER TEORI

Teater adalah kesenian. Segala unsur kesenian bermuara kepada teater. Teater memiliki peluang dan kemungkinan yang sangat luas, tergantung bagaimana si seniman memanfaatkannya.

    Begitu lulus SMA, 1967, saya langsung merantau ke Jakarta. Saya belajar dalam sebuah ‘akademi kehidupan’ di bawah bimbingan guru tunggal, Teguh Karya. Saya mendalami pengetahuan artistik, penyutradaraan dan penulisan.

   Jakarta memiliki wajah yang belang-bonteng. Kaya dan miskin, suram dan gemerlapan, gaduh dan sunyi, merah dan hitam, biru dan kelabu, membaur jadi satu dalam masyarakat yang mendambakan masa depan lebih baik, masa depan lebih berbahagia. Jakarta adalah pintu berbagai kemungkinan. Harapan dan putus-asa. Gedung-gedung tinggi mencakar langit dengan pongah. Tapi di dekatnya, berhimpitan gubuk-gubuk reot di kawasan yang kumuh. Gang-gang becek dan got-got mampet berbau busuk.

    Pada suatu hari, saya lewat sebuah pasar yang becek. Di sudut yang luput dari perhatian, nampak seorang lelaki tua. Tubuhnya renta, pakaiannya lusuh. Tapi dia bukan pengemis. Mungkin hanya urban yang gagal mengadu nasib di Jakarta. Di dekatnya membusuk gunungan sampah yang menghitam. Bau bacin. Tapi apa yang tengah dikerjakan lelaki tua itu? Dia bersembahyang di atas kertas karton yang dijadikannya sebagai sajadah. Dia bersembahyang dengan sangat khusuk, tak perduli sekeliling. Segenap isi pikirannya hanya tertuju kepada Tuhan Yang Maha Esa.

    Sekuat daya saya menahan perasaan. Saya tak ingin dijebak keharuan, meski saya sangat terharu. Ketika lelaki tua itu menyelesaikan sembahyang dan mengucap salam, saya membalas salam. Saya segera berlalu dengan mata berkaca-kaca. Adakah yang sudah saya perbuat untuk dia? Sosok yang seakan tengah membusuk tapi tetap ingat Tuhan? Sosok yang bukan satu-satunya, sebab kita dikepung berjuta orang papa seperti dia. Terpinggirkan. Apa arti kesenian dan teater, bagi mereka? Adakah mereka memahami? Pernahkah mereka mendengar tentang Konstantin Stanislavsky, Bertolt Brecht, August Strindberg, Eugene O’Neill, Arthur Miller atau Meyerhold?     

    Teater modern disahkan kehadirannya lewat pengetahuan dan teori-teori. Mungkin itu yang jadi salah satu sebab, mengapa teater modern seakan barang mewah yang sulit terjangkau oleh orang kebanyakan. Hanya mereka yang berpendidikan saja yang mampu menikmati. Tapi haruskah seperti itu? Bukankah semua orang berhak menikmati kesenian? Tidak bisakah agak lebih disederhanakan? Bukankah teater rakyat memiliki kemungkinan menuju bentuk ‘penyederhanaan’ itu? Sederhana, bukan simplisitas.

    Lalu timbul kesimpulan; Teater Indonesia harus dilahirkan kembali tapi tidak selalu berpatokan kepada teori dari Barat. Sejak itu saya merasa, apa yang sudah saya serap, apa yang sudah saya lakukan, samasekali belum memadai.

    Lalu, saya mulai mengarahkan perhatian kepada teater rakyat kita yang sifatnya intim, tak resmi, spontan, bebas, jujur dan apa adanya. Saya tidak menyesal memiliki pengetahuan Teater Barat. Tapi saya tak ingin menelan

Page 22: TEATER TEORI

mentah-mentah. Saya hanya ingin menjadikannya sebagai bahan studi banding. Hanya ingin mempelajari teknik pemanggungannya dan ‘memanfaatkannya’.

    Saya menyesal karena sudah melupakan milik sendiri. Pada 1968, saya merasa  teater tradisional dan teater rakyat kita bak baju wangi kamper yang tergantung dalam lemari terkunci. Jarang dipakai. Hanya disimpan dan dianggap pusaka. Riwayat mistiknya dikisahkan, aturannya disakralkan dan ditabukan. Teater tradisional kita bertahan dalam posisinya, hanya sebagai warisan tradisi belaka. Kekuatannya jarang ditimbang, apalagi dieksplorasi. Hanya sedikit yang kenal. Itu pun sering cuma sebatas kulit saja.

    Teater tradisi dan teater rakyat kita, banyak yang kemudian mati merana, tanpa diketahui di mana letak kuburannya. Musnah sejarahnya. Hanya sedikit yang coba memikirkan kemungkinan hadirnya teater rakyat dan teater tradisional ke dalam bentuk dan warna teater kita masa kini. Itu pun sering menuai berbagai penolakan karena dianggap berniat merusak warisan tradisi budaya bangsa.

    Ide-ide, pemikiran, cara penyajian, struktur penulisan cerita dan simbolisasinya, roh dan semangatnya, jarang sekali digali untuk dipahami atau dijadikan sumber ilham. Saya ingin menjadikannya sebagai bahan utama teater saya kelak. Itulah ikrar yang membuat saya kemudian berkeliling Nusantara, 1975, selama enam bulan.

    Teater dan kehidupan sehari-hari adalah dua hal yang saling berkaitan. Sebagai ilmu pengetahuan, mungkin bisa nampak terasing, kering dan sunyi. Hanya sedikit peminatnya. Tapi sebagai tontonan, teater harus membaur dengan kehidupan sehari-hari. Mimpi-mimpinya akrab, dan pemikirannya memiliki akar. Dia tak boleh mengajari tapi mengajak bersama-sama memecahkan berbagai masalah kehidupan. Dia hidup, dinamis dan bergerak tanpa sungkan, tanpa ragu. Dia tidak jauh dari masyarakatnya, menjadi media-kretif yang menjembatani dan menciptakan ‘komunikasi estetik’.

    Teater Indonesia harus mampu menembus berbagai batasan; bentuk, ruang, waktu, aturan, dan emosi. Dia harus mampu menyodorkan pemikiran-ulang berbagai konvensi serta memfasilitasi pikiran-pikiran baru yang bertujuan mulia; membuat kehidupan manusia jadi lebih baik. Bentuknya, mungkin merupakan campuran dari berbagai hal, seperti wajah Jakarta yang belang-bonteng. Dia harus bisa dinikmati oleh kaum terpelajar dan urban-gagal yang sebelumnya tidak pernah mengenal teater. Mengapa begitu? Karena teater lebih memihak kepada hati nurani dan kemanusiaan. Dia harus  hadir untuk semua pihak yang membutuhkannya.

    Teater harus bicara, tidak dengan sentimen yang memihak dan mengandung prasangka. Teater sebaiknya memotret peristiwa, menyerap nilai-nilai estetik, lalu membeberkannya secara adil dan jitu, tanpa menyakiti.

    Teater harus membuka diri terhadap pengaruh-pengaruh yang berguna bagi pengembangannya, tanpa terpengaruh dari mana pengaruh itu berasal. Teater harus menutup kemungkinan masuknya pengaruh buruk, meski pengaruh itu terbit dari dalam negeri sendiri. Realisme, surealisme, simbolisme,

Page 23: TEATER TEORI

ekspresionisme, bukanlah jawaban. Yang utama, apa manfaatnya bagi kemanusiaan. Apa manfaatnya bagi kebahagiaan.

    ‘Apa yang akan kita sampaikan?’

    Rencana itu, sebagai titik tolak yang sangat penting.

    Pada dasarnya manusia cenderung tidak puas. Selalu tidak puas. Keinginan disusul oleh keinginan lain. Setiap saat, ada seorang murid yang menyalami gurunya dan sambil berlinang air mata mengucap, “Selamat tinggal guru, saya tidak akan melupakan guru”. Lalu sang murid pergi dan melakukan sesuatu yang berbeda dengan apa yang sudah dilakukan oleh gurunya.

    Detik berdirinya Teater Koma adalah awal dari sebuah babakan baru bagi saya. Baik dalam gaya penulisan, penyutradaraan, dan gaya berteater. Dalam penulisan,  saya mulai meninggalkan gaya ‘realisme romantik’ dan melangkahkan kaki ke babakan ‘pemotretan masalah dan membeberkannya tanpa menyakiti’. Pentas-pentas Teater Koma juga berusaha lebih masuk ke dalam lingkaran masyarakatnya. Luwes, intim, bebas, tidak resmi, spontan dan berseloroh. Gaya penyajian berseloroh, sumbernya dari sifat babakan ‘goro-goro’ dalam wayang, dan biasa disebut guyon parikeno.

    Jika ada yang menyatakan, merawat kelompok teater semudah membalikkan telapak tangan, maka saya berani bilang; yang berkata seperti itu adalah pembohong besar. Memimpin para seniman, bukan hal mudah.

Setiap hari, bisa lahir berpuluh kelompok teater plus AD/ART-nya. Memang semudah itu. Hanya perlu sedikit keberanian (atau kenekatan), beberapa pendukung dan rencana pementasan. Mungkin pementasan bisa dilaksanakan. Lalu, sesudah itu? Bagaimana kelanjutannya? Mampukah kelompok berdiri ajeg di bawah hempasan badai waktu? Mampukah terus melahirkan seni pentas yang semakin berkualitas seiring pengalaman-batin dan usia? AD/ART bukan jawaban dari masalah. AD/ART hanya benda mati berupa sekumpulan aturan. Sedang kegiatan kreatif selalu bergantung kepada manusianya, senimannya.

    Teater lahir karena kebutuhan mewujudkan rasa estetik. Keindahan. Itu salah satunya. Kebutuhan yang lain adalah, ‘ingin menyampaikan sesuatu’. Pementasan, sebagai jawaban dari ‘keinginan menyampaikan sesuatu’ itu, sebaiknya lahir karena kebutuhan yang sifatnya lebih kultural. Jika kebutuhan ‘menyampaikan sesuatu’ itu hanya terdorong oleh sesuatu yang di luar kesenian, materi misalnya, maka boleh dibilang kegiatan itu tengah menggali lubang kuburnya sendiri. Lalu bagaimana caranya agar kelompok teater tidak mati muda? Padahal, kebutuhan artistik (juga pembiayaan) dari waktu ke waktu bergerak terus? Luwes, itu jawabannya.

    Saya punya pengalaman unik saat melakoni masa persiapan produksi Rumah Kertas, pentas perdana Teater Koma itu. Ajakan-ajakan saya kepada beberapa seniman tak dipercaya begitu saja. Niat mendirikan kelompok teater baru, nyaris  dicurigai. Seakan-akan saya hendak mendirikan partai baru. Ketika beberapa seniman kemudian ikrar bergabung, masalah yang timbul berbeda pula. Setiap saat, kemampuan saya menyutradarai selalu diuji. Naskah yang sudah ada,

Page 24: TEATER TEORI

seringkali drama karya saya sendiri, juga seringkali tidak begitu memuaskan dan harus selalu dikoreksi.

    Di lapangan, banyak benturan saya temui. Sebagai penulis, pendekatan saya lebih condong kepada imajinasi. Padahal, kenyataan panggung dan kemampuan para aktor juga harus dipertimbangkan. Belum lagi kemampuan pembiayaan yang harus diperhitungkan pula. Sebagai sutradara, saya harus menimbang banyak hal dari berbagai sudut. Dan tanpa ragu saya bisa merombak naskah, disesuaikan kembali berdasar kenyataan lapangan. Untunglah, untuk itu saya tak perlu meminta izin. Tapi segala peristiwa di dalam perjalanan proses kreatif itu, saya anggap sebagai sekolah. Saya menyerap semua masalah dan menjadikannya sebagai pembelajaran. 

    Teater Koma tidak lahir di sebuah panggung yang sudah tersedia. Pada masa awal, tempat latihan berpindah-pindah. Mulanya seorang simpatisan menyediakan beranda rumahnya. Jika tamu datang, terpaksa kami menyingkir ke area parkir atau halaman depan. Sering kami berlatih di garasi mobil yang sempit milik seorang anggota. Akhirnya kami berlatih di halaman depan sebuah restoran. Selama masa empat bulan latihan, pada bulan pertama kami harus berganti-ganti pemain. Mereka mengundurkan diri karena tidak tahan berlatih dengan cara nomaden seperti itu.

    Di benak saya, timbul lagi satu kesimpulan. Tempat latihan ternyata bukan hal yang  utama. Yang paling penting, justru, konsentrasi. Dan komitmen. Di dalam latihan, konsentrasi harus tajam dan terarah. Setiap kali latihan, pasti ada penonton tidak resmi yang kemudian berkomentar. Saya mengambil sisi baiknya. Paling tidak, komentar mereka bisa dianggap sebagai uji coba awal sebelum kami menggelar pentas di hadapan masyarakat yang lebih luas.

    Secara sadar saya melatih pemain untuk menghadapi penonton, di sebelah mana pun mereka menonton. Itu prinsip bermain dalam ‘teater arena’. Soal kondisi tempat latihan, kami menerima dengan iklas. Saya selalu mengandaikan penonton ada di sekeliling area permainan. Lalu mencari cara paling efektif agar semua dialog ‘sampai’ ke hati para penonton. Dengan demikian, komunikasi menjadi sangat penting. Itu cara bermain para aktor teater rakyat dalam menghadapi audiens-nya.

    Jika perkembangan Teater Koma disimak, maka nampak jelas kesulitan saya dalam mempersiapkan sebuah pentas. Pemain-pemain saya berasal dari kelompok teater yang berbeda-beda disiplin dan keyakinannya. Cara mereka meyakini dan melatih pendekatan terhadap karakter berbeda pula. Warna dialog mereka, jelas masih milik grup di mana mereka berasal. Tapi saya yakin, bakat mereka besar.

    Saya tidak mengubah cara mereka mengucap dialog, tapi memberikan pemahaman. Manfaat yang bisa saya petik adalah, semua berlomba menyajikan yang terbaik. Suatu persaingan sehat sengaja saya provokasi. Hasilnya optimal. Dalam hampir semua naskah yang saya tulis, selalu ada peluang untuk bermain bagus, sekecil apa pun peran di dalam naskah itu. Peluang itu kemudian digarap dalam penyutradaraan.

Page 25: TEATER TEORI

    Seringkali, seorang pemain, baru menyadari bahwa perannya sangat bagus, tepat pada malam pertama pementasan. Soal sesudahnya dia bermain bagus atau tidak, itu masalah lain. Yang penting dia sudah menyadari dan selanjutnya tidak akan lagi menganggap remeh peran apa pun. Jika dia mau berlatih dengan keras, apa pun peran yang dimainkan, pasti akan dirasakan juga ‘kehadiran’-nya.  Akan dikenang oleh diri sendiri dan penontonnya.

    Teater Koma memang tidak memulai dari nol samasekali. Aktor-aktrisnya, sebagian besar memiliki pengalaman bermain. Entah di panggung atau di dunia film. Tantangan saya yang terberat adalah menciptakan sebuah kesatuan bahasa pentas, dengan kekayaan yang sumbernya berasal dari berbagai perbedaan. Tujuannya adalah memunculkan daya tarik yang unik dan menggoda. Semangat kerjasama kekeluargaan dan kekompakan, juga harus senantiasa saya kondisikan.  

    Teater yang baik lahir dari ide yang baik, terkonsep, kerjasama, disiplin dan tanggungjawab. Disiplin? Ya, tapi bukan kediplinan yang kaku atau semu. Kegembiraan dalam kebersamaan bekerja, bisa dicipta oleh suasana saling menghargai dan saling mengisi. Kepentingan pertunjukan bukan melulu kepentingan satu individu, melainkan kepentingan kelompok. Jika hal semacam itu berhasil ditumbuhkan, rasanya tak perlu lagi ragu-ragu merencanakan sebuah pementasan.

    Bagi orang teater, kesimpulan di atas juga bukan hal yang baru. Sudah sejak lama  itu diketahui. Tapi makin menekuni kerja teater, semakin saya yakin bahwa hal itulah yang justru berperan sangat penting dalam meraih keberhasilan.

    Ambillah sebagai contoh, sebuah orkes simfoni. Ketika musik dimainkan, apa yang terjadi jika salah satu instrumen (misal, marakas atau triangle) tidak dibunyikan? Dan itu terjadi karena pemegang instrumennya mengantuk atau tertidur?  Akibatnya, seluruh orkestra akan rusak atau cacat. Penonton yang jeli akan pulang dengan membawa kesan buruk. Marakas atau triangle hanya sebuah instrumen yang kecil bentuknya dan nampak seakan tak berarti. Tapi, begitu komposer menetapkan bunyi itu dalam komposisi musiknya, dia memiliki nilai. Dia adalah bagian dari orkes. Dan penting.

Tak beda dengan kerja penyutradaraan dalam perencanaan pentas. Jika sudah direncanakan sejak awal, semua materi memiliki nilai artistik yang sama besar. Apa pun yang ada di atas panggung, pasti berguna karena memang digunakan. Baik untuk kepentingan permainan atau untuk kebutuhan tata-rupa (visual).  Jika dianggap tidak penting, tentu tak akan dihadirkan di atas panggung.

    Lenong, ketoprak, masres (sejenis ketoprak di Cirebon), wayang orang, wayang golek, wayang kulit, tarling (gitar dan suling) dan cemeng (semacam ubrug), mempengaruhi bentuk teater saya. Malah, hampir semua jenis teater rakyat yang pernah saya tonton, punya andil dalam membentuk penyajian teater yang saya yakini. Jejer wayangkulit dan wayanggolek, sering saya gunakan untuk memecahkan bloking permainan. Jejer, adalah komposisi yang diam dan sunyi tapi indah dan mengandung dinamik yang unik. Berbicara tanpa banyak gerak, rasanya lebih menyiratkan dinamik laten masyarakat kita. Salah satu kekuatan

Page 26: TEATER TEORI

dari ‘gerak’ kehidupan. Bukankah pernah kita dengar ungkapan ‘marah dalam diam’? Dalam hal ini, memang, apa boleh buat, dibutuhkan seorang aktor.

    Tarling, suatu bentuk seni musik di pesisir Cirebon, juga mewarnai musik teater saya. Gaya pengadeganan masres, ketoprak, lenong, opera bangsawan dan komedie stamboel, saya coba kembangkan sehingga akhirnya menjadi ‘gaya Teater Koma’.

    Teater rakyat memang banyak ragamnya. Baru beberapa saja yang bisa saya pahami. Sampai saat ini, saya masih berburu berbagai kemungkinan. Kelak saya berniat membaurkan semua kemungkinan teatral itu menjadi sebuah bentuk dan gaya yang mudah-mudahan akan menjadi ciri dari teater saya. Ciri yang tidak mandek pada sebuah titik, tapi berkembang dan menciptakan kemungkinan yang berbagai-bagai. Saya ingin membaurkan apa yang pernah saya serap. Saya ingin melahirkan semacam ‘adonan teatral’ yang bukan saja ‘sedap dipandang’, ‘enak dinikmati’ dan ‘menyatu’, tapi juga intim dengan masyarakatnya. Dekat. Akrab. Dan bermakna.

    Dengan jujur, tanpa kehendak merusak apa yang sudah kita miliki, barangkali teater saya (dengan ciri itu) kelak akan berdiri sejajar dengan sumber-sumber yang sudah mengilhami saya. Wujud dan isinya, secara keseluruhan, akan tetap memiliki perbedaan. Juga isi pikiran dan tujuannya. Tapi roh dan semangatnya tetap berakar kepada semangat rakyat dan tradisi. Kesederhanaan akan muncul sebagai sifatnya yang utama. Tapi kemiskinan dan keterbatasan tak akan menghambat kehadirannya.

    Hal itu hanya dimungkinkan oleh hadirnya sebuah grup teater yang kompak. Yang kian lama semakin dewasa dan matang, terus belajar dan mencari.

    Tapi melihat kenyataan yang ada, hal itu rasanya mustahil. Bukankah Teater Koma hanya sebuah grup teater amatir? Anggotanya sebagian besar tidak bekerja hanya untuk teater. Mereka berkumpul pada sore hari. Dan selama 4 jam sehari, 5 hari seminggu, berlatih menyiapkan sebuah pentas teater. Bisakah harapan saya terwujud? Memang, belum bisa saya jawab sekarang.

    Dalam setiap naskah saya, selalu ada lirik. Bisa diucapkan begitu saja, seperti sebuah dialog yang dipuisikan secara ritmis, tetapi bisa juga dinyanyikan, dirangkum menjadi lagu dan dimusiki. Saya cenderung menulis naskah-naskah yang punya kemungkinan dinyanyikan. Nyanyian, bisa sebuah rangkaian melodi yang sendu atau manis. Meski bisa juga merupakan kumpulan nada-nada yang sumbang, atau menggebrak dengan garang.

    Saya merasa, ‘pesan’ tertentu bisa lebih merasuk ke hati lewat nyanyian. Mungkin gaya ‘bernyanyi’ ini, kelak akan menjadi salah satu warna teater saya. Saya tengah mengembangkannya. Bukankah kita memiliki jenis teater tradisional yang bentuknya seperti itu? Langendriya atau Langendriyan, misalnya, dikenal sebagai bentuk ‘opera Jawa’ yang khas. Sebagian adegan dalam wayang orang, juga dinyanyikan. Opera Bangsawan dan makyong, meyakini bentuk ekspresi yang serupa pula.

Page 27: TEATER TEORI

    Benturan yang saya hadapi adalah, terutama, saat ini saya tak memiliki aktor-aktris yang bisa bermain sekaligus juga bisa bernyanyi. Saya juga tidak memiliki kelompok musik dan pencipta lagu handal yang memahami konsep teater saya.

    Dalam salah satu naskah saya, ada sebuah adegan kematian. Pacar seorang gembel yang wadam, mati tergencet bus di terminal. Musibah terjadi ketika sang pacar sedang mencari puntung rokok. Adegan itu adalah adegan untuk si wadam. Dia harus menumpahkan segenap kesedihan lewat nyanyian. Lagu dan musik untuk adegan itu sudah disiapkan. Mau tak mau, si pemeran wadam harus menyanyi.

    Bakat menyanyi si pemeran wadam, biasa-biasa saja. Suaranya sumbang. Tubuhnya kurang lentur dan gaya permainannya tidak istimewa. Dan yang paling celaka, dia memang tidak bisa bernyanyi. Lalu, apa yang harus saya lakukan? Setiap kali latihan, adegan itu bagai duri dalam daging. Dan mungkin permainannya akan buruk jika saya terus bersikeras. Sudah jelas, si pemeran wadam tak akan mampu memenuhi apa yang saya ingin. Modalnya sebagai pemain sangat kurang. Dia tidak bisa menyanyi, tidak bisa menari, juga tidak bisa bermain sambil menyanyi.

    Selama satu bulan, latihan berjalan sendat dan selalu mandek pada adegan itu. Adegan sering dia wujudkan dengan air mata yang berderai-derai. Saya bilang, bukan air mata yang diinginkan adegan, tapi keharuan. Sebuah permainan dalam, yang getir. Dan dari kegetiran, penonton bisa tertawa sambil menangis. Itulah kehidupan kita. Konyol dan getir. Mungkin permintaan saya keterlaluan. Karena dia tetap tidak mampu melakukan apa yang saya minta.

    Akhirnya saya mengambil sebuah ‘alternatif’ yang agak riskan. Saya bebaskan dia dari semua ikatan; musik, not, ritme, ketukan, nada dan nyanyian. Dia boleh mengucapkan dialognya dengan bunyi yang dia rasa benar. Saya berharap, melodi atau ‘nyanyian’ akan tercipta dengan sendirinya.

    Ternyata, hasilnya di luar dugaan. Langkah ‘alternatif’ itu menemukan jalannya. Dia mampu bergerak dengan lebih bebas. Tak ada lagi ikatan. Tubuhnya meliuk-liuk lentur dan sumbangnya ‘nyanyian’ tak terasa lagi. Kesedihan, yang ‘dinyanyikan’, sangat meyakinkan. Adegan kematian itu sudah menjadi miliknya, bukan lagi milik naskah dan sutradara. 

    Dalam pementasan, dia sangat menguasai panggung. Permainannya total dan tuntas. Dia mampu mewujudkan apa yang saya ingin; kekonyolan yang getir. Geraknya yang kadang karikatural, sanggup mencipta lubang-lubang respons bagi penonton. Keharuan malah lebih muncul. Penonton tertawa sambil menangis. Dia jadi idola. Ternyata, kelemahannya adalah juga kekuatannya. Dan kekuatan itu berhasil dimunculkan saat berbagai aturan yang dirasakan sebagai ikatan, telah dilonggarkan dan diganti dengan pegangan bermain yang lebih dekat dengan kemampuannya. Dia adalah aktor Salim Bungsu, pemeran wadam dalam J.J (1979) dan Kontes 1980.

Dengan kata lain, pengalaman mengajarkan kepada saya bahwa seorang pemain yang paling lemah pun, jika kelemahannya dimanfaatkan secara tepat maka kelemahannya justru akan menjadi kekuatannya. Sutradara, di dalam hal ini,

Page 28: TEATER TEORI

harus berlaku sebagai pemandu dan bukan sebagai instruktur yang mendikte. Sutradara harus mengarahkan secara luwes apa yang pemain mampu lakukan, yang nampak dari luar seakan sebagai kompromi, padahal itu jalan keluar yang simpatik dan memiliki daya kekuatan untuk mencipta kekayaan permainan.

    Itu, juga salah satu cara saya dalam membina pemain. Memberikan pemahaman. Menyadarkan kekuatan yang sesungguhnya sudah dimilikinya. Cara itu bisa lebih mengenai sasaran dibanding kukuh menggariskan ketentuan baku. Bukankah saya bekerja dengan pemain-pemain amatir? Dan adakah pemain yang profesional di Indonesia? Dengan pengertian, sanggup memerankan apa saja, dan karenanya dia memperoleh honorarium yang besar dari pekerjaannya? Bisa hidup dari pekerjaannya? Di negara kita, setahu saya, saat ini, belum ada profesionalisme semacam itu untuk teater.

    Memang, seorang aktor seharusnya sanggup mengontrol badan dan jiwa-nya, raga dan sukma-nya. Dia harus sanggup menggerakkan anggota tubuh bahkan yang paling halus sekalipun. Alat seorang aktor adalah raga dan sukma-nya. Alat itu harus bisa dimainkan dengan menarik, bebas, rileks, indah, dalam, bermakna. Dan di atas panggung, aktor harus bermain bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan juga untuk penonton.

    Di masa lalu, seorang pemikir teater pernah menulis; “Pemain harus mereflektir bukan hanya refleksi dari imitasi kehidupan, tapi juga harus mempersembahkan idealnya dimana persembahannya itu harus menyatu sebagai suatu kebenaran, ditambah dengan keindahan”.

    Tapi seorang aktor Komedie Stamboel juga pernah menyatakan pendapatnya dengan contoh sangat sederhana; “Jangan biarkan penonton mengalihkan perhatiannya dari permainanmu. Jika penonton sempat makan kacang pada saat kau bermain, kau boleh menangis, sebab permainanmu sudah gagal”.

    Intinya, permainan harus mencipta daya pikat dan daya magnit. Padahal di setiap pentas teater rakyat, penonton bisa juga menikmati pertunjukan sambil minum wedang jahe dan makan kacang. Sementara di sebuah sudut gelap orang-orang asyik bermain dadu koprok, pentas masres tetap berjalan hingga subuh tanpa merasa terganggu.

    Ada sutradara teater yang berpendapat bahwa, pertunjukan bisa jelek dan membosankan jika kurang latihan. Sementara itu, lenong, ketoprak, masres dan Srimulat mampu menampilkan tontonan menarik hanya dengan latihan sesekali bahkan tanpa latihan. Jadi, mana yang harus dipilih? Mana yang benar? Teater masa kini, memiliki naskah yang harus dihafal dan dilatih.

    Saya memilih gabungan cara dari keduanya. Latihan naskah (atau tidak dengan naskah) mutlak perlu. Tapi saya menghindarkan diri bekerja secara mekanis dan dengan cara yang rutin. Latihan-latihan harus ada dalam suasana segar dan gembira. Jika tidak, perasaan bisa tertekan dan hasilnya akan berbalik menjadi buruk, kosong. Malah bisa sia-sia.

    Latihan harus didorong oleh niat ‘ingin berlatih’. Jika tidak, maka latihan hanya merupakan pengulangan tanpa pengembangan. Pernah terjadi, latihan naskah

Page 29: TEATER TEORI

tidak saya lakukan karena beberapa aktor nampak lesu. Kemudian, waktu saya manfaatkan untuk membicarakan apa saja. Yang ringan dan yang lucu. Semua boleh saling memaki asal tidak membikin sakit hati. Hari itu, ruang latihan penuh ger. Kami tidak berlatih tapi berkeringat. Esok harinya, kesegaran nampak kembali. Daya berlatih malah tambah besar berkali lipat.

    Sejak pentas perdana, saya menulis naskah drama untuk kebutuhan grup. Setiap kali menulis naskah, saya tahu siapa akan bermain sebagai apa. Biasanya, sebelum saya menulis, saya ajak para calon pemeran membahas lakon. Lalu saya mengkaji-kaji kemampuan mereka. Bahkan bisa terjadi saya mengganti pemeran di tengah perjalanan latihan. Mungkin karena saya anggap kurang cocok. Dan hal itu sering terjadi.

    Untuk itu, saya selalu meminta supaya mereka sudi berbuka hati dan menerima kenyataan. Rasa tersinggung adalah salah satu segi yang bisa membahayakan emosi dan kekompakan sebuah kelompok. Apalagi pada dasarnya manusia selalu ingin diakui sebagai yang serba bisa. Padahal tentu saja, tidak selalu seperti itu.

    Itu sebabnya, setiap produksi selalu melewati proses latihan yang panjang. Keuntungan memiliki kelompok adalah, saya mengenal kekuatan dan kelemahan setiap anggota. Semua segi tak luput dari pengamatan. Cara yang saya pakai adalah membuka pintu peluang lebar-lebar, agar pemain berkembang mandiri. Tapi tentu ada koridornya; ukuran estetik dan artistik.

    Dan, ini yang paling penting, saya memupuk keberanian agar mereka memiliki rasa percaya pada kemampuan sendiri. Yang saya butuhkan, inisiatif. Sehingga tanpa instruksi pun, pekerjaan teater bisa dilakukan. Kalau hal itu sudah dimiliki, maka tanggungjawab dan disiplin akan lahir dengan sendirinya. Lalu teater akan menggelinding tanpa harus dikomandoi. Bergerak tanpa bisa dicegah lagi. Hidup. Indah. Bermakna.

    Sebuah ide adalah biaya. Sebuah biaya adalah kumpulan jerih payah. Jerih payah bisa mencipta sebuah hasil. Dan sebuah hasil adalah kemenangan atau kekalahan. Hal itu, nyaris merupakan sebuah aksioma.

    Pementasan yang lengkap, biasanya adalah pementasan yang mahal. Tapi pementasan yang mahal belum tentu pementasan yang berhasil. Pementasan teater tidak hanya ditunjang oleh sutradara dan pemain saja. Ada tata cahaya, set-dekor, property, koreografi, olah-suara, musik, efek spesial, busana dan rias wajah, juga manajemen produksi (termasuk publikasi dan penjualan karcis). Dan jangan lupa, penonton. Semua unsur ikut menunjang keberhasilan pementasan.

    Teater tidak digarap hanya untuk disimpan di dalam kamar. Teater harus dinikmati bersama audiens. Dengan begitu kehadirannya menjadi lengkap. Untuk bisa ditonton, teater membutuhkan tempat di mana seluruh penonton bisa berkumpul dan bersama-sama melakoni sebuah peristiwa teater. Tapi untuk melaksanakan semua itu, memang dibutuhkan biaya. Lalu dari mana biaya bisa didapat?

Page 30: TEATER TEORI

    Jika biaya tak memungkinkan untuk mewujudkan pementasan yang lengkap, tak perlu cemas dan putus-asa. Kalau niat kuat untuk ‘menyampaikan sesuatu’ lewat teater, segala kemungkinan bisa ditempuh. Tak perlu bingung jika fasilitas tata cahaya tidak memadai, gedung berakustik buruk, kostum mahal biayanya. Manusia memiliki akal. Demikian pula para seniman. Selalu ada alternatif. Justru di sini letak keseniannya. Kemiskinan sebaiknya jangan jadi penyebab kegiatan berteater stop. Grotowski sudah membuktikannya. Dia melahirkan konsep ‘teater miskin’. Lagipula, bukankah sejak dulu, teater kita miskin? Jadi, mengapa harus dipersoalkan lagi?

    Uniknya pementasan teater, juga berarti keunikan pencarian jalan keluar dari berbagai hambatan. Segalanya dikembalikan kepada diri sendiri. Kuatkah dorongan berteater? Atau lemah? Bukan melulu dari keserbaadaan muncul karya-karya besar, tapi biasanya, justru dari yang mulanya tak ada. Berawal dari kosong. Teater adalah karyacipta dari yang tiada menjadi ada.

    Tapi, sesungguhnya, orang teater kita tak memulainya samasekali dari nol. Jakarta punya Pusat Kesenian Jakarta-TIM dan 5 gelanggang remaja. Daerah membentuk dewan-dewan kesenian dan pusat kesenian. Pemda membangun gedung teater dan berbagai venue. Meski sering dipakai untuk acara pernikahan, sedikitnya gedung sudah ada. Puluhan tahun yang silam, saat belum banyak gedung teater, teater tetap bisa bergerak dan hidup. Berbagai pertunjukan yang bagus dan baik, lahir pula.

Jika ada orang teater mengeluhkan tempat latihan, gedung pertunjukan, subsidi pemda yang terlalu kecil dan apresiasi penonton yang buruk, maka dia adalah orang teater yang malas. Mungkin lebih baik dia bekerja di bidang lain. Dunia teater tak cocok baginya. Selalu mengharapkan bantuan hanya sifat manja. Dengan adanya subsidi, memang kondisi teater menjadi agak lebih baik. Tapi itu bukan satu-satunya penyebab lahirnya teater yang baik.

    Teater tidak harus lahir di pusat-pusat kesenian. Dia bisa lahir di pojok-pojok tempat pelacuran, di gudang sumpek, di tanah lapang yang becek, di hall penjara, atau di jalanan. Segalanya mungkin. Dan hanya orang teaterlah yang bisa melahirkan kegiatan berteater.

    Jadi, persoalannya memang hanya; mau atau tidak? Mampu atau tidak? Sesudah mau dan mampu, pertanyaan berikut adalah; punya daya tahan atau tidak? Jika tidak punya stamina, tanpa disuruh berhenti pun akan segera minggir dan menghentikan semua kegiatan berteater. Dan teater tak pernah kuatir karenanya. Hilang satu, yang lain akan segera menggantikan.

    Kelompok teater yang kompak bisa menjawab tantangan semacam itu. Orang teater yang teguh hati akan terus bekerja dan tidak mudah putus-asa.

    Dengan sigap dia akan menggantikan sesuatu yang sukar diperoleh dengan alternatif yang punya nilai estetik dan artistik serupa. Dia akan tahan menghadapi hantaman badai waktu dan dengan gembira tetap bekerja. Dia akan tampil dengan tegar dan jiwa besar, meski pakaian dan kehidupannya compang-camping. Keseniannya bagai rangkaian upacara ritual yang memang sulit dilaksanakan tapi bukan berarti kemandekan. Dia bekerja. Kesimpulan-

Page 31: TEATER TEORI

kesimpulannya adalah hasil kerjanya dan bukan hanya keinginan di dalam hati atau di atas kertas saja. Kenikmatan-kenikmatan artistik yang diperoleh adalah kenikmatan yang tuntas. Kenikmatan ketika sambil tersenyum dia berkata, ‘Dan kesulitan mana lagi yang harus saya hadapi?’

    Baginya, teater merupakan kawasan tanpa istirahat. Teater bak peperangan tanpa selesai, yang akan dilewati tanpa keluh kesah, tanpa kerut dahi.

    Di dunia teater, mungkin dia seniman. Tapi di luar dunia teater, dalam kehidupan sehari-hari, dia juga manusia, anggota dari masyarakat yang lebih besar. Manusia yang lebur dalam persoalan yang juga dialami oleh mereka yang tidak bekerja di dunia teater. Dia tak akan mengeluh jika diberi tugas oleh ketua RT/RW untuk ikut siskamling atau kerja bakti, misalnya. Sebagai anggota kelompok masyarakat, semua orang memiliki tugas dan kewajiban sosial yang harus dikerjakan. Tak ada prioritas. Orang teater sejati, tidak akan mengasingkan diri. Dia ada dan hadir di tengah masyarakatnya. Sebab, justru di situlah letak inti sumber dari daya kreatifnya. 

    Teater Koma sedang menyiapkan diri ke arah maksud-maksud seperti itu. Teater Koma, berniat mewujudkan ide-ide yang nampak sepele, tapi dasar pijakannya kuat dan punya akar. Berniat menjadi daya semangat. Dan ibarat sumber air, senantiasa memancarkan kejernihan, kemudian menggenang jadi telaga. Jadi wadah kehidupan bagi ikan-ikan serta mahluk air lainnya. Keseniannya ibarat remah-remah nasi bagi seorang gembel, dan rempah-rempah dalam masakan. Posisinya bagai sebatang rumput dari kumpulan rumput di padang rumput. Hadir, akrab dan intim dengan masyarakatnya.

    Teaternya adalah gabungan dari teater masa lalu dan berbagai pemikiran masa kini. Meski begitu, ada kesadaran, bahwa, untuk mewujudkan hasil seni pertunjukan yang baik, jelas dibutuhkan proses serta perjalanan yang panjang. Tapi, tidak perlu tegang dan tergesa-gesa.

    Jika tetap bekerja keras, waktu jua yang akan menjawab, apakah hal itu mungkin atau tidak mungkin. Saya merasa yakin, mungkin terwujud. Rahasianya: selalu bekerja keras. Disiplin. Bertanggungjawab. Gigih. Jujur. Tulus. Luwes. Dan semua persyaratan itu baru ada jika ada komitmen.

    Catatan ini saya tulis pada 10 Januari 1980. Dan kelak, semoga tetap dipakai oleh kelompok sebagai dasar dalam menyikapi kesenian dan kebudayaan. Ada Kode Etik yang merupakan pegangan hati jika secara tulus berikrar menjadi anggota Teater Koma.

Page 32: TEATER TEORI

KODE ETIK TEATER KOMA

 

ETIKA

1. Tulus Menghargai dan Berterimakasih kepada Alam dan Kehidupan.2. Tahudiri, Memahami, Tidak Membenci.

3. Jujur, Tenggangrasa, Mencintai Sesama.4. Yang Tua menghargai Yang Muda, Yang Muda menghargai Yang Tua.

5. Bersikap dan Bertindak Tepat, Pada Waktu, Tempat dan Suasana yang Tepat.

6. Percaya TEATER adalah Jalan Menuju Kebahagiaan.7. Berwatak Bagai Air: “Senantiasa berupaya berada di tempat rendah, jika

terhambat berhenti sejenak, lalu bergerak ke kiri atau ke kanan atau merembes dan muncul di sebalik hambatan, kemudian BERJALAN menuju

TUJUAN; memaknai Lautan”.

 

SETIA

1. Setia kepada Hati Nurani.2. Setia kepada Tugas dan Pekerjaan.

3. Setia kepada Tanggungjawab, Kerjasama dan Kedisiplinan.4. Setia kepada Kelompok dan Rumah Kelompok.

5. Setia kepada Tujuan; KEBAHAGIAAN.

 

GUYUB

Anggota adalah Matarantai Enerji Kreatif Dalam Ikatan Persaudaraan Berdasar KASIH.

Page 33: TEATER TEORI

TEATER KOMA

Didirikan di Jakarta, 1 Maret 1977.

 

    Hingga 2008, sudah menggelar 115 pementasan, baik di televisi maupun di panggung. Sering melakukan kiprah kreatifitasnya di Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki, TVRI dan Gedung Kesenian Jakarta.

    Perkumpulan Kesenian yang bersifat non-profit ini, mengawali kegiatan dengan 12 seniman (kemudian disebut sebagai Angkatan Pendiri). Kini, kelompok didukung oleh sekitar 30 anggota aktif dan 50 anggota yang langsung bergabung jika waktu dan kesempatannya memungkinkan.

    TEATER KOMA banyak mementaskan karya N. Riantiarno. Antara lain;

    Rumah Kertas, Maaf.Maaf.Maaf., J.J, Kontes 1980, Trilogi OPERA KECOA (Bom Waktu, Opera Kecoa, Opera Julini), Opera Primadona, Sampek Engtay, Banci Gugat, Konglomerat Burisrawa, Pialang Segi Tiga Emas, Suksesi, RSJ atau Rumah

Page 34: TEATER TEORI

Sakit Jiwa, Semar Gugat, Opera Ular Putih, Opera Sembelit, Samson Delila, Presiden Burung-Burung, Republik Bagong, Republik Togog, Tanda Cinta.

    Juga menggelar karya para dramawan kelas dunia; The Comedy of Error dan Romeo Juliet karya William Shakespeare, Woyzeck/Georg Buchner, The Three Penny Opera dan The Good Person of Shechzwan/Bertolt Brecht, Orang Kaya Baru-Kena Tipu-Doea Dara-Si Bakil-Tartuffe/Moliere, Women in Parliament/Aristophanes, The Crucible/Arthur Miller, The Marriage of Figaro/ Beaumarchaise, Animal Farm/George Orwell, Ubu Roi/Alfred Jarre, The Robber/Freidrich Schiller, The Visit/Der Besuch der Alten Damme/Kunjungan Cinta/Friedrich Durrenmatt, What About Leonardo?/Kenapa Leonardo?/Evald Flisar.    

    TEATER KOMA, kelompok teater yang independen dan bekerja lewat berbagai pentas yang mengkritisi situasi-kondisi sosial-politik di tanah air. Dan sebagai akibat, harus menghadapi pelarangan pentas serta pencekalan dari pihak yang berwewenang. Berbagai upaya juga dilakukan lewat ‘program apresiasi’ (PASTOJAK, Pasar Tontonan Jakarta, yang digelar selama sebulan penuh di PKJ-TIM, Agustus 1997, diikuti oleh 24 kelompok kesenian dari dalam dan luar negeri). Kelompok senantiasa berupaya bersikap optimistis. Berharap teater berkembang dengan sehat, bebas dari interes-politik praktis dan menjadi tontonan yang dibutuhkan berbagai kalangan masyarakat.

    TEATER KOMA yakin, teater bisa menjadi salah satu jembatan menuju suatu keseimbangan batin dan jalan bagi terciptanya kebahagiaan yang manusiawi. Jujur, bercermin lewat teater, diyakini pula sebagai salah satu cara untuk mengasah daya akal sehat, daya budi, dan hati nurani.

    TEATER KOMA adalah kelompok kesenian yang konsisten dan produktif. Juga tercatat memiliki banyak penonton yang setia. Pentas-pentasnya sering digelar lebih dari 2 minggu.

Page 35: TEATER TEORI

Regenerasi Teater Koma

Kegiatan TEATER KOMA diawali dengan dukungan Angkatan Pendiri/1977, yang terdiri dari 12 seniman. Sesudah itu, angkatan demi angkatan lahir. Yang paling bungsu, Angkatan X/2005. 

Tanpa gembar-gembor, tanpa publisitas yang provokatif, pada kenyataannya, TEATER KOMA telah banyak melahirkan aktor-aktris, sutradara, penulis drama, pemusik teater, desainer artistik, desainer pencahayaan, penata grafis, penata busana, penata rias dan rambut, penata teknik pentas, pimpinan panggung, dan pimpinan produksi. Keahlian mereka, kini dimanfaatkan secara optimal oleh para penggiat seni pertunjukan. Inilah anugerah yang patut disyukuri. Sumbangan berharga bagi perkembangan seni pertunjukan di Indonesia. 

Angkatan Pendiri/1977, sebagian besar memiliki pengalaman pentas sebelum bergabung dan mendirikan TEATER KOMA. Sandiwara pertama yang digelar, Rumah Kertas karya N. Riantiarno, jadi ajang yang mempersatukan visi dan impian bentuk yang kelak menjadi bentuk-biang (meski tetap ‘terbuka’ terhadap kemungkinan pengembangan). Yakni, bentuk yang coba mengadaptasi warna-lokal lalu mengawinkannya dengan teknik pentas teater-Barat. Drama musikal, menjadi bentuk yang

Page 36: TEATER TEORI

diyakini bisa mewadahi keinginan itu. Kita tahu, seni pentas di berbagai daerah di Indonesia, memiliki tradisi gerak dan musik.

Pengetahuan seni pentas (juga sejarah teater dan sastra drama), mulai diajarkan kepada Angkatan II/1978, dan angkatan seterusnya. Berbagai tokoh, pakar di bidangnya, diundang datang untuk berbagi pengalaman dengan para calon seniman yang ikrar menjadi anggota TEATER KOMA. Selain pengetahuan teater, diprioritaskan bahan-bahan lain yang melengkapi. Antaranya; apresiasi psikologi, pengantar antropologi, sosiologi, senirupa, bahasa-sastra dan filsafat. Apresiasi Musik dan Tari, dipandu pakar, saat kelompok menggelar produksi.

Patut diakui, TEATER KOMA, bukan akademi atau lembaga pendidikan seni yang formal. Kelompok, hanya paguyuban atau semacam perkumpulan kesenian yang bahkan belum memiliki sistem penerimaan anggota baru. Maka tidak heran, jika semua pengetahuan seni teater, diserap secara acak dan tidak tersistem. Kurikulum dan silabus pun disusun hanya berdasar kebutuhan pementasan.

Sistem penerimaan calon anggota dan pembelajaran seni-teater, baru agak terkoordinasi pada Angkatan VIII/1994. Sejak 1994, tidak semua orang bisa menjadi calon anggota TEATER KOMA. Mulai ada seleksi, dipilih dari formulir pendaftaran/lamaran yang masuk. Tapi, yang terseleksi pun, masih harus menghadapi lagi beberapa wawancara khusus dan psikotes. Biasanya, dari sekitar 30 pelamar yang dipanggil, paling banyak hanya 17 calon yang diterima. 

Calon anggota wajib mengikuti pelatihan dasar teater selama satu semester, enam bulan. Tidak dipungut biaya sepeser pun. Meski sering kesulitan dalam pembiayaan pembelajaran, kelompok menyadari hal itu sebagai resiko tak terelakkan dari sebuah upaya ‘regenerasi’ yang swadaya. Meski begitu, ada biaya yang ditagih dari para calon anggota. Yakni; kedisiplinan, ketekunan dan tahan banting. Ikrar menjadi anggota TEATER KOMA, bukan tindakan main-main. Ikrar ibarat janji. Dan janji harus ditepati, apa pun resikonya.

Sesuai tradisi, calon anggota tidak dilibatkan dalam produksi yang tengah digelar kelompok. Tugas mereka hanya belajar. Jika dilibatkan pun, paling bekerja di belakang panggung. Setelah satu atau dua tahun, ‘angkatan baru’ diuji dalam sebuah pementasan. Inilah yang kemudian dianggap sebagai jembatan menuju jenjang ‘kelulusan’ mereka sebagai anggota TEATER KOMA. 

Angkatan IV/1980, diuji dalam Opera Ikan Asin, 1983. Angkatan V/1984, diuji dalam pagelaran Opera Kecoa, 1985. Angkatan VI/1989 dan VII/1990, diuji dalam Suksesi, 1990. Angkatan VIII/1994, diuji dalam Semar Gugat, 1995. Dan Angkatan IX/2000, diuji dalam Republik Togog, 2004. Mereka dianggap ‘lulus’ secara memuaskan. Sesudah ‘lulus’, mereka tidak lagi hanya bertanggungjawab kepada kelompok, tapi sekaligus juga bertanggungjawab kepada masyarakat.

Sejak 1977, setiap tahun TEATER KOMA menerima anggota baru. Angkatan II diterima pada 1978 dan Angkatan III, 1979. Idealnya, memang begitu. Tapi, sesudah 1979, penerimaan anggota baru tidak lagi dilakukan setahun sekali. Sejak Angkatan IV/1980, jarak waktu masing-masing angkatan, sekitar empat atau lima tahun. Meski begitu, penerimaan ‘angkatan baru’ tetap dilakukan pada awal bulan Maret, sesuai saat kelahiran TEATER KOMA, 1 Maret 1977.

Jarak waktu yang panjang, dikarenakan oleh berbagai hal. Upaya regenerasi yang swadaya, menyebabkan biaya pembelajaran menjadi salah satu kendala. Juga dibutuhkan konsentrasi pembelajaran dan pelatihan yang terpadu agar angkatan baru bisa hadir lebih matang, dengan dasar yang lebih kuat. Waktu setahun, terlalu pendek untuk mempersiapkan lahirnya seniman teater. 

Kini, Angkatan IX/2000 kembali diuji dalam Sampek Engtay 2005. Mereka bekerja bahu-membahu dengan adik-adiknya, Angkatan X/2005. Budi Sobar, Edi Sutarto dan Sari Madjid -- mentor angkatan paling bungsu -- menjamin ‘anak didiknya’ mampu menjalani ujian lewat pementasan ini dan akan

Page 37: TEATER TEORI

menyajikan tontonan yang sama menarik dengan Sampek Engtay sebelumnya.  

Regenerasi, hal yang niscaya. Mustahil dihindari. Para senior TEATER KOMA, kini telah melewati usia 40 bahkan 50 tahun. Mengingat hal tersebut, kini, TEATER KOMA juga menyelenggarakan kegiatan Workshop Teater Bagi Pelajar SMU, sebulan sekali, selama dua hari. SAMA SEKALI TAK DIPUNGUT BAYARAN alias GRATIS. Kegiatan Workshop Teater Bagi Pelajar SMU, dimulai November 2005. Para peserta setiap workshop, dibatasi hanya sekitar 30 siswa. Pelajar SMU, bisa mendaftar dan menjadi wakil dari sekolah masing-masing. Tentu atas seizin guru dan orangtua. Dari setiap sekolah, hanya akan dipilih paling banyak 3 peserta saja. Sehingga, diharapkan, setiap workshop akan diikuti oleh sekitar sepuluh atau duabelas sekolah. Yang tidak terpilih, jika masih berminat, boleh mendaftar ulang untuk workshop berikutnya. 

Rencana jangka panjang Workshop Teater Bagi Pelajar SMU, adalah; dalam setahun, akan digelar 10 kali workshop. Jadi, penyelenggaraannya hampir setiap bulan, kecuali Mei dan Desember. Workshop diselenggarakan pada hari Sabtu dan Minggu, sejak pukul 10.00 hingga 17.00, dengan jeda 60 menit untuk makan siang. Peserta workshop paling berbakat, sekitar 3 siswa, akan diberi peluang mengikuti ‘Pelatihan Lanjutan’ selama empat bulan. Ujung dari ‘Pelatihan Lanjutan’, insya Allah, adalah sebuah pementasan panggung. 

Tak ada niat samasekali untuk mencetak para peserta workshop agar menjadi seniman teater. Meski, di masa depan, hal itu bukan sesuatu yang tak mungkin. Niat utama hanyalah keinginan menyebarluaskan pengetahuan dasar teater yang benar, baik dan indah, sebagai upaya lahirnya sebuah apresiasi. Sehingga, diharapkan, mereka tidak lagi memandang teater sebagai dunia yang aneh, asing serta musykil. Jangan lupa, di masa depan, mereka adalah calon-calon pemimpin bangsa. Semangat workshop yang dipatok adalah ‘kegembiraan menyerap pengetahuan dasar teater’ dengan ‘toleransi dan saling menghargai’.  

Sesungguhnya, hasil dari kegiatan apa pun, hanya bukti yang sementara saja sifatnya. Tekad, ketekunan, kerjakeras dan upaya pewujudan impian anak-anak muda yang ingin mengungkap jatidiri lewat teater, adalah hal yang lebih patut dihargai. Kepada siapakah, perkembangan teater Indonesia di masa depan bergantung, jika bukan kepada anak-anak muda itu? 

Regenerasi teater sudah tentu harus menyentuh berbagai bidang. Bukan hanya wilayah keaktoran saja yang perlu digarap. Teater membutuhkan penonton, dramaturg, sutradara, kritikus, pemikir, penulis, pekerja panggung, manajemen pengelolaan, penyandang dana dan wadah pementasan. Semua unsur itu seharusnya merupakan kekuatan-kekuatan yang menyatu dan sinergis. Satu hal yang juga tak kurang pentingnya, adalah, teater membutuhkan ruang gerak yang sepadan tanpa kecurigaan. Hal itu penting bagi pengembangan imajinasi kreatif dan kemungkinan lahirnya berbagai inovasi. 

Waktu masih panjang. Perjalanan masih sangat jauh. Regenerasi hanya salah satu upaya. Dan, tentu, sulit berjalan baik tanpa didukung masyarakat. Ya, dari Andalah dukungan diharapkan.  

Page 38: TEATER TEORI

Detail Produksi

1 1983 - 08 - Opera Ikan Asin 2 1986 - 11 - Opera Julini 3 1987 - 10 - Sandiwara Para Binatang 4 1988 - 03 - Opera Primadona 5 1988 - 09 - Sampek Engtay (Jakarta) 6 1989 - 04 - Sampek Engtay (Surabaya) 7 1989 - 05 - Sampek Engtay (Medan) 8 1989 - 07 - Perkawinan FIGARO 9 1990 - 03 - Konglomerat Burisrawa

10 1990 - 09 - Suksesi 11 1993 - 04 - Raja Ubu 12 1997 - 06 - Sampek Engtay (Jakarta)

Page 39: TEATER TEORI

13 2001 - 04 - Republik Bagong 14 2004 - 07 - Republik Togog 15 2005 - 03 - Maaf. Maaf. Maaf 16 2005 - 07 - Tanda Cinta 17 2006 - 01 - Sampek Engtay 2005 18 2006 - 05 - Festival Topeng 19 2007 - 01 - Kunjungan Cinta 20 2008 - 01 - Kenapa Leonardo 21 2009 - 01 - Republik Petruk 22 2009 - 05 - Tanda Cinta 23 2009 - 08 - Penggali Intan 24 2010 - 01 - Sampek Engtay 2010 25 2010 - 02 - SieJinKwie

1.theater, adalah kejiwaan, dunia imajinasi,khayal.seseorang yang. jadi, theater itu sendiri adalah seni yang dipentaskan. dalam lakon cerita.2. jenis-jenis theater, yaitu ada theater kabaret,colosal.3. sejarah perkembangan theater diawali dari kegiatan romusha zaman belanda ,,nah sejak saat itulah ada kegiatan theater. karena rakyat dulunya yang dijajah. dan sampai saat ini kegiatan tersebut diisyaratkan dengan lakon drama yang realita..sejak saat itu disebut theater.4.unsur - unsur theater,,yaitu budaya dan sosial.5. tokoh saat ini cornelia agatha,happy salma, ria iarawan, sudjewo tejo,dan masih banyak lagi.

materi referensi:

pribadi...karena saya ketua theater di kampus.unit kegiatan mahasiswa. theater mahadaya..

Page 40: TEATER TEORI

Web nyari naskah

disini ::http://banknaskah-fs.blogspot.com/http://bandarnaskah.blogspot.com/2010/04…

Page 41: TEATER TEORI

Di mancanegara teater Jerman sering dicap sebagai ribut dan dilanda narsisme. Akan tetapi di belakangnya terdapat sistem yang dikagumi di seluruh dunia. Kota-kota yang tidak begitu besar pun memiliki gedung opera dan ansambel balet di samping teater sandiwara. Secara keseluruhan terbentuk semacam panorama teater, sebuah jaringan rapat yang terdiri dari teater milik negara bagian dan kota, teater keliling dan teater swasta. Dengan bersumber pada gerakan mahasiswa tahun 1968, telah berkembang paguyuban seni panggung yang besar, yaitu apa yang disebut Kelompok-Kelompok Bebas. Eksistensi kelompok tersebut membuktikan masih tetap adanya kecintaan akan teater yang yang ingin mengungkapkan dirinya di panggung. Sumbangan masyarakat Jerman bagi teater cukup besar: bentuknya gagasan, perhatian dan dana. Banyak orang menganggap panggung-panggung sebagai hal mewah, mengingat pendapatan teater dari karcis masuk pada umumnya hanya mencapai sepuluh atau lima belas persen dari pengeluarannya. Sistem subsidi berlaku juga untuk teater swasta – seperti Schaubühne di Berlin, yang didirikan oleh sutradara Peter Stein. Akan tetapi sistem itu telah mencapai titik kulminasi dalam perkembangannya dan sedang berada dalam tahap yang sulit,

Page 42: TEATER TEORI

karena seni suka diukur dengan prasyarat materinya.

Selama periode yang panjang Peter Stein dianggap sebagai tokoh unik dalam teater Jerman. Berbeda dengan sutradara lainnya ia menciptakan karya yang dapat dikenali melalui kontinuitas pengulangan motif, tema dan pengarang. Gaya penyutradaraannya mengutamakan teks. Antara angkatan seniman yang berteater sekarang dan tokoh seperti Peter Stein, Peter Zadek atau Claus Peymann, pemimpin Berliner Ensemble, terbentang jarak yang jauh. Mereka yang tergolong pemberontak tahun 1968 itu memakai perbendaharaan kata yang tidak cocok lagi untuk teater kontemporer. Pengertian seperti mencerahkan, mengajari, menelanjangi atau menindak berkesan usang. Teater angkatan muda tidak lagi mau menjadi avant-garde, melainkan mencari bentuk ekspresi tersendiri. Setelah era naik daunnya seniman muda seperti Leander Haußmann, Stefan Bachmann dan Thomas Ostermeier pada tahun 1990-an, para sutradara itu kini sudah menjadi kepala teater.

Frank Castorf yang namanya terkenal sebagai penghancur karya drama telah menjadi teladan bagi generasi seniman teater itu. Di teater Volksbühne yang dipimpinnya di Berlin, ia membiarkan teks sandiwara diutak-atik dan disusun kembali sesukanya. Nama Christoph Marthaler dan Christoph Schlingensief juga menandai pandangan baru mengenai seni panggung yang menanggapi pergeseran yang terjadi seusai Perang Dingin dan seiring dengan kedatangan kapitalisme global. Sutradara seperti Michael Thalheimer, Armin Petras, Martin Kusej, René Pollesch atau Christina Paulhofer telah menciptakan bentuk pementasan yang mengutamakan gaya daripada isi cerita: Cara bercerita tradisional dengan berpegang pada teks terasa agak asing bagi mereka. Ciri yang menandai teater Jerman selama kurang lebih 250 tahun, yaitu konfrontasi dengan masyarakat, telah memudar. Hal itu tampak juga dalam Pertemuan Teater Berlin setiap tahun. Yang ada sekarang keanekaragaman yang berwarna-warni. Namun tidak pernah ada teater yang berlangsung terlepas dari waktu pementasannya. Teater harus menciptakan gambaran mengenai kehidupan kita, sekaligus menghidupkan ingatan. Untuk itu teater disubsidi. Itulah fungsi kemasyarakatannya.