Upload
letuyen
View
254
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
KAJIAN KOHESI, KOHERENSI, KONTEKS, DAN INFERENSI DALAM NOVEL
“ASMARA TANPA WEWEKA” KARYA WIDI WIDAJAT
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan Guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra
Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret
Disusun Oleh :
Khoirul Umam C. 0101033
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2009
KAJIAN KOHESI, KOHERENSI, KONTEKS, DAN INFERENSI DALAM NOVEL “ASMARA TANPA WEWEKA”
KARYA WIDI WIDAJAT
Disusun oleh : Khoirul Umam
C0101033
Telah disetujui oleh pembimbing
Pembimbing I
Dr. Sumarlam, M. S. NIP. 131695221
Pembimbing II
Drs. Yohanes Suwanto, M. Hum. NIP. 131695207
Mengetahui Ketua Jurusan Sastra Daerah
Drs. Imam Sutarjo, M. Hum. NIP. 131695222
KAJIAN KOHESI, KOHERENSI, KONTEKS, DAN INFERENSI DALAM NOVEL “ASMARA TANPA WEWEKA”
KARYA WIDI WIDAJAT
Disusun oleh Khoirul Umam
C0101033
Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Pada Tanggal 30 April 2009
Jabatan Nama Tanda Tangan Ketua …………..
Sekretaris ………......
Penguji I Dr. Sumarlam, M. S. .……….... NIP. 131695221 Penguji II Drs. Yohanes Suwanto, M. Hum. ………....... NIP. 131695207
Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret
Drs. Sudarno, M. A. NIP. 131472202
PERNYATAAN
Nama : Khoirul Umam NIM : C0101033
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa, skripsi berjudul Kajian Kohesi, Koherensi, Konteks, dan Inferensi dalam Novel Asmara Tanpa Weweka Karya Widi Widayat adalah betul-betul karya sendiri, dan bukan plagiat, dan tidak dibuatkan orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda/ kutipan dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.
Surakarta, 30 April 2009
Yang membuat pernyataan,
Khoirul Umam
MOTTO
Menyelesaikan satu masalah berarti telah mencegah seratus kesulitan yang mungkin terjadi
(Confusius)
Kebutuhan tertinggi manusia adalah eksistensi diri, kebutuhan untuk diakui (Abraham Maslow)
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan sebagai tanda terima kasih kepada :
1. Kedua orang tuaku atas segala kasih sayang, perhatian dan
pengorbanannya.
2. Kakak-kakakku yang tercinta.
3. Rekan-rekan Sastra Daerah Angkatan 2001
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena kasih sayang-Nya yang
besar, sehingga pada saat ini dengan kehendak-Nya menganugerahkan sebuah
kenikmatan dengan selesainya penyusunan skripsi ini sebagai salah satu syarat
untuk mencapai gelar sarjana Sastra Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan
Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Begitu banyak hambatan dan rintangan yang penulis hadapi dalam
menyusun skripsi ini, namun berkat arahan, bimbingan, serta bantuan dari semua
pihak, maka hambatan itu dapat teratasi. Oleh karena itu pada kesempatan ini
penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada yang terhormat :
1. Drs. Sudarno, MA., selaku dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang telah
mengijinkan dalam penyusunan skripsi ini.
2. Drs. Imam Sutarjo, M. Hum., selaku Ketua Jurusan Fakultas Sastra dan Seni
Rupa Universitas Sebelas Maret, yang telah memberikan ijin untuk
menyelesaikan skripsi ini.
3. Dra. Dyah Padmaningsih, M. Hum., selaku Sekretaris Jurusan Sastra
Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret yang telah
membantu kelancaran penulisan skripsi ini.
4. Dra. Sri Mulyati, M. Hum., selaku Pembimbing Akademis yang telah
memberi bimbingan selama menempuh studi.
5. Dr. Sumarlam, M. S., selaku Pembimbing Pertama yang dengan penuh
kesabaran serta ketelitian mengarahkan dan mendorong semangat untuk
segera menyelesaikan penulisan skripsi ini.
6. Drs. Y. Suwanto, M. Hum., selaku Pembimbing kedua, yang dengan penuh
kesabaran serta perhatian dan ketelitiannya telah memberikan arahan,
bimbingan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
7. Bapak dan Ibu dosen Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan ilmunya sebagai bekal
yang bermanfaat.
8. Staf perpustakaan pusat dan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas
Sebelas Maret atas pelayanannya dalam menyediakan buku-buku referensi
yang diperlukan dalam menyusun skripsi ini.
9. Rekan-rekan mahasiswa Sastra Daerah angkatan 2001. Terima kasih atas
kebersamaan, kebahagian dan kasih sayang yang terjalin.
10. Semua pihak yang telah memberikan dorongan dan bantuan dalam bentuk
apapun semoga Tuhan selalu memberikan berkah dan karunia-Nya atas
segala amal kebaikan dari semua pihak yang telah diberikan.
Penulis dengan segala kerendahan hati menyadari bahwa karya ini masih
jauh dari sempurna, oleh karena itu sangat diharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.
Surakarta, 30 April 2009
Penulis
DAFTAR SINGKATAN DAN TANDA
A. Daftar Singkatan
ATW : Asmara Tanpa Weweka
BUL : Bagi Unsur Langsung
h : halaman
B. Daftar Tanda
‘…’ : Menyatakan terjemahan dari satuan lingual yang disebutkan
sebelumnya.
…. : Tanda titik-titik maksudnya ada kalimat yang dihilangkan.
/ : Garis miring adalah menyatakan atau.
* : Menyatakan satuan lingual yang tidak gramatikal.
Ø : Menyatakan satuan lingual yang dilesapkan
{ } : Satuan lingual dalam kurung kurawal bisa saling menggantikan
DAFTAR LAMPIRAN
A. Riwayat Hidup Widi Widayat .................................................... 114
B. Karya – karya Widi Widayat ..................................................... 116
DAFTAR ISI
JUDUL ...................................................................................................... i
PERSETUJUAN ....................................................................................... ii
PENGESAHAN ........................................................................................ iii
PERNYATAAN ........................................................................................ iv
MOTTO ..................................................................................................... v
PERSEMBAHAN ...................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ............................................................................... vii
DAFTAR SINGKATAN ........................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. x
DAFTAR ISI ............................................................................................. xi
ABSTRAK ................................................................................................ xv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................................ 1
B. Pembatasan Masalah ...................................................... 5
C. Rumusan Masalah ........................................................... 5
D. Tujuan Penelitian ............................................................ 6
E. Manfaat Penelitian .......................................................... 6
BAB II LANDASAN TEORI ........................................................... 8
A. Pengertian Wacana ............................................................ 8
B. Jenis Wacana Bahasa Jawa ............................................... 11
C. Sarana Keutuhan Wacana ................................................. 13
1. Kohesi ............................................................................ 14
a. Kohesi Gramatikal .................................................... 15
1). Referensi ............................................................. 15
2). Penyulihan .......................................................... 17
3). Pelesapan ............................................................ 17
4). Perangkaian ........................................................ 18
b. Kohesi Leksikal.......... .............................................. 20
1). Repetisi ............................................................... 20
2). Sinonimi .............................................................. 21
3). Antonimi ............................................................. 22
4). Kolokasi .............................................................. 23
5). Hiponimi ………………………………………. 23
6). Ekuivalensi …………………………………….. 24
2. Koherensi ...................................................................... 24
D. Konteks dan Inferensi ........................................................ 26
E. Pengertian Novel ............................................................... 28
BAB III METODE PENELITIAN .................................................... 31
A. Sifat Penelitian ................................................................. 31
B. Sumber Data dan Data ...................................................... 31
C. Metode Pengumpulan Data .............................................. 32
D. Metode Analisis Data........................................................ 32
1. Metode Distribusional ............................................... 33
2. Metode Padan ........................................................... 35
3. Metode Penyajian Hasil Analisis Data........................ 36
BAB IV ANALISIS........................................................................... 37
A. Kohesi............................................................................... 37
1. Penanda Kohesi Gramatikal ........................................ 37
a. Pengacuan ................................................................ 37
1) Pronomina persona ............................................... 38
2) Pronomina demonstratif ....................................... 49
3) Pengacuan komparatif .......................................... 68
b. Penyulihan ................................................................ 71
c. Pelesapan .................................................................. 75
d. Perangkaian .............................................................. 75
2. Penanda Kohesi Leksikal............................................... 84
a. Pengulangan .............................................................. 85
b. Padan kata ................................................................. 86
c. Sanding kata .............................................................. 85
d. Hubungan atas-bawah ............................................... 88
e. Lawan kata ................................................................ 89
f. Kesepadanan atau paradigma .................................... 90
B. Koherensi.......................................................................... 92
1. Koherensi yang bermakna sebab-akibat ...................... 92
2. Koherensi yang bermakna penekanan ......................... 93
3. Koherensi yang bermakna lokasi/kala ......................... 94
4. Koherensi yang bermakna penambahan ...................... 95
5. Koherensi yang bermakna penyimpulan ...................... 96
6. Koherensi yang bermakna pertentangan ...................... 97
C. Konteks dan Inferensi ....................................................... 98
1. Analisis Konteks Situasi .............................................. 98
a. Prinsip Penafsiran Personal ..................................... 98
b. Prinsip Penafsiran Lokasional ................................. 99
c. Prinsip Penafsiran Temporal ................................... 100
d. Prinsip Penafsiran Analogi ...................................... 101
2. Analisis Konteks Budaya ............................................ 101
3. Inferensi ...................................................................... 105
D. Kekhasan Wacana Novel ATW Karya Widi Widayat....... 107
BAB V PENUTUP ........................................................................... 110
A. Simpulan ......................................................................... 110
B. Saran................................................................................ 111
DAFTAR PUSTAKA....................................................................... 112
LAMPIRAN
ABSTRAK
Khoirul Umam. C 0101033. Kajian Kohesi, Koherensi, Konteks, dan Inferensi dalam Novel Asmara Tanpa Weweka Karya Widi Widayat. Skripsi: Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimanakah kohesi dalam wacana novel berbahasa Jawa ATW karya Widi Widayat? (2) Bagaimanakah koherensi dalam wacana novel ATW karya Widi Widayat? (3) Bagaimanakah konteks dan inferensi dalam novel berbahasa Jawa ATW karya Widi Widayat? (4) Bagaimanakah kekhasan wacana novel berbahasa Jawa ATW karya Widi Widayat? Penelitian ini bertujuan (1) Mendeskripsikan kohesi dalam wacana novel berbahasa ATW karya Widi Widayat (2) Mendeskripsikan koherensi dalam wacana novel berbahasa Jawa ATW karya Widi Widayat. (3) Menjelaskan konteks dan inferensi dalam novel berbahasa Jawa ATW karya Widi Widayat. (4) Mendeskripsikan kekhasan dari wacana novel berbahasa Jawa ATW karya Widi Widayat. Kajian wacana diambil untuk mengungkapkan kohesi dan koherensi yang terdapat dalam novel berbahasa Jawa ATW karya Widi Widayat, serta mengungkapkan konteks dan inferensi dalam novel berbahasa Jawa ATW karya Widi Widayat. Teori struktural diambil untuk mengungkapkan mengenai analisis praktik wacana seperti yang terdapat dalam novel berbahasa Jawa ATW karya Widi Widayat.
Metode penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, yaitu metode penelitian yang sifatnya alamiah dan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata yang tertulis atau lisan dari orang-orang, perilaku, atau data-data lainnya yang diamati oleh peneliti. Sumber datanya berupa naskah atau teks novel ATW karya Widi Widayat yang terbit tahun 1964 oleh Fa. Nasional Sala, sedang yang menjadi data dalam penelitian ini adalah data tulis yang berbentuk kalimat-kalimat atau paragraf berbahasa Jawa yang mengandung kohesi dan koherensi dalam wacana novel berbahasa Jawa ATW karya Widi Widayat. Metode pengumpulan data yang dipakai adalah metode simak dengan teknik dasar sadap dan teknik lanjutannya teknik catat. Setelah data terkumpul data dianalisis dengan menggunakan metode distribusional dan metode padan.
Simpulan hasil penelitian ini yaitu, (1) Penanda kohesi wacana novel berbahasa Jawa ATW karya Widi Widayat ada dua, yaitu kohesi gramatikal dan leksikal. Penanda kohesi gramatikal meliputi pengacuan, penyulihan, pelesapan, perangkaian. Sedangkan penanda kohesi leksikal meliputi pengulangan, padan kata, sanding kata, hubungan atas-bawah, lawan kata, kesepadanan atau paradigma. (2) Koherensi yang ditemukan dalam wacana novel ATW karya Widi Widayat yaitu koherensi yang bermakna sebab-akibat, bermakna penekanan, bermakna lokasi/kala, penambahan, penyimpulan, dan pertentangan. (3)Konteks dan inferensi yang ditemukan dalam wacana novel ATW karya Widi Widayat yaitu analisis konteks situasi, budaya, dan inferensi. (4) Adanya kekhasan wacana novel berbahasa Jawa ATW karya Widi Widayat.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa hidup di dalam masyarakat dan dipakai oleh penuturnya untuk
berkomunikasi. Kelangsungan hidup sebuah bahasa sangat dipengaruhi oleh
dinamika yang terjadi dalam dan dialami penuturnya. Sebagai makluk sosial,
dalam hidup bermasyarakat, manusia tidak akan terlepas dari peristiwa
komunikasi. Alat komunikasi yang paling utama adalah bahasa, karena bahasa
digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari. Bagi masyarakat tutur Jawa,
bahasa Jawa merupakan sarana komunikasi yang digunakan untuk
mengungkapkan dan mengemukakan segala sesuatu yang menjadi buah pikiran
dan perasaannya.
Bahasa Jawa mempunyai kaidah pemakaian yang bersifat sistemis. Kaidah
atau aturan itu merupakan suatu himpunan patokan yang berdasarkan struktur
bahasa yang lebih dikenal dengan istilah tata bahasa. Tata bahasa terbagi dalam
lima bagian, yaitu tata bunyi (fonologi), tata kalimat (sintaksis), tata bentuk
(morfologi) dan semantik serta wacana. Sama halnya dengan alat komunikasi,
wacana juga dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu wacana tulis dan wacana
lisan. Yang termasuk wacana lisan bisa berupa ceramah, pidato, khotbah, siaran
berita berbahasa Jawa, tembang bahasa Jawa seperti macapat, geguritan, dan
karawitan. Wacana tulis dapat berupa surat kabar, majalah, buku-buku teks,
koran, naskah kuno dan sebagainya.
Penelitian ini berupaya mengupas isi keseluruhan novel sebagai suatu
wacana yang padu. Novel Asmara Tanpa Weweka karya Widi Widayat dapat
dikategorikan sebagai wacana. Berdasarkan isi dan sifatnya, wacana dapat
diklasifikasikan sebagai jenis naratif, prosedural, hartatorik, ekspositorik, dan
deskriptif. Dari kelima jenis klasifikasi wacana tersebut, novel Asmara Tanpa
Weweka ini cenderung termasuk wacana jenis naratif dan deskriptif.
Wacana naratif adalah rangkaian tuturan yang menceritakan atau
menyajikan suatu kejadian melalui penonjolan tokoh atau pelaku (orang pertama
atau ketiga) dengan maksud memperluas pengetahuan pendengar atau pembaca,
sementara wacana deskriptif pada dasarnya berupa rangkaian tuturan yang
memaparkan atau melukiskan sesuatu, baik berdasarkan pengalaman maupun
pengetahuan penuturnya.
Novel yang menjadi kajian dalam penelitian ini terdiri dari 52 halaman,
belum termasuk pengantar dan halaman pertama yang digunakan untuk penulisan
label Asmara Tanpa Weweka. Novel ini terdiri dari empat bab, yaitu bab pertama
Tentreming Swasana, bab kedua Kesandhung Godha, bab ketiga Ati Kang Rusak,
dan bab keempat Tuwa Musibat.
Penelitian mengenai wacana novel berbahasa Jawa cukup banyak
dilakukan. Berikut penelitian yang berhubungan dengan penelitian wacana
berbahasa Jawa :
Penelitian dengan judul Aspek Keterpaduan Wacana Bahasa Jawa dalam
Tiga Buah Cerkak (Sebuah Analisis Wacana dari Segi Kohesi dan Konstektual)
oleh Suranto (1994), membahas bentuk, fungsi, dan makna aspek keterpaduan
wacana yang terdapat dalam tiga buah cerkak dengan judul Bedhug, Klanthung
Sastrasintring, dan Si Wuragil. Bentuk aspek keterpaduan wacana yang terdapat
di dalamnya diwujudkan dengan alat kohesi yang berupa morfem, kata, frasa, atau
kalimat. Makna kalimat dalam cerkak tersebut diketahui secara lengkap dengan
analisis fungsional.
Analisis Wacana Cerpen (Suatu Pendekatan Mikro dan Makrostruktural)
oleh Y. Suwanto 1995, mendeskripsikan wacana cerpen yang berjudul Dia
Bernama Paijo karya Martua Radja Pane. Pendekatan makrostruktural berkaitan
dengan analisis wacana membahas mengenai pengacuan (referensi), penyulihan
(substitusi), pelesapan (elipsis), konjungsi (perangkaian) dan leksikon. Pendekatan
makrostruktural melibatkan situasi, kondisi, kepekaan terhadap konteks yang
melatarbelakanginya. Juga diungkap mengenai repetisi (pengulangan), kolokasi
(sanding kata), dan inferensi.
Analisis Wacana Naskah Drama Radio oleh Nunik Murni Rahayu (1998),
membahas mengenai kohesi dan koherensi, mendiskripsikan bentuk dan substitusi
penanda kohesi dan koherensi wacana drama radio dalam bahasa Jawa dengan
judul Jinising Janji karya Siti Aminah Subanto. Penelitian ini berupa skripsi
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Berikutnya adalah Analisis Wacana Puisi “Jaka Ijo lan Tresnawulan”
Karya N. Sakdani Tinjauan dari segi Konteks Kultural dan Situasi serta Aspek
Gramatikal dan Leksikal oleh Sumarlam. Analisis ini membahas konteks kultural
dan situasi dari puisi ini, dan juga aspek gramatikal dan leksikal yang terdapat
dalam puisi tersebut.
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka penelitian ini akan
membahas mengenai penanda kohesi dan makna koherensi dalam wacana novel
berbahasa Jawa berjudul Asmara Tanpa Weweka dengan alasan yang pertama
karena novel Asmara Tanpa Weweka merupakan novel yang mempunyai
karakteristik pada bahasa penulisannya yaitu pemakaian ejaan bahasa Jawa lama
tanpa adanya perbedaan aksara. Sehingga untuk dapat memahaminya, terlebih
dahulu harus mengetahui isi cerita dari novel tersebut. Yang kedua, dari aspek
kohesi dan koherensi novel Asmara Tanpa Weweka memiliki semua penanda
kohesi dan makna koherensi yang lengkap serta analogi prinsip penafsirannya
mempertimbangkan beberapa faktor yang erat hubungannya dengan konteks dan
inferensi. Selain itu peneliti juga ingin memahami kohesi dan koherensi dari
wacana tersebut.
Widi Widajat termasuk penulis dan pengarang cerita penghibur hati. Widi
Widajat dilahirkan di Imogiri pada 10 Mei 1928, telah banyak hasil dari karangan
ceritanya yang beredar. Adapun karya-karya novel dari Widi Widajat di antaranya
Prawan Semarang terbit tahun 1964 diterbitkan oleh Fa. Penerbit keluarga
Soebarno Solo, Prawan Kaosan terbit tahun 1973 diterbitkan oleh TB. K. S. Solo,
Dhawet Aju terbit tahun 1964 diterbitkan oleh Fa. Penerbit keluarga Soebarno, Sri
Detektif Penganten Wurung terbit tahun 1966 diterbitkan oleh CV. Keng
Semarang, Mursal terbit tahun 1966 diterbitkan oleh CV. Keng Semarang,
Paukumaning Pangeran terbit tahun 1966 diterbitkan CV. Dawud, Semarang,
Asmara Tanpa Weweka terbit tahun 1964 diterbitkan oleh Fa. Nasional Solo.
B. Pembatasan Masalah
Penelitian ini membahas mengenai wacana dalam novel berbahasa Jawa,
Asmara Tanpa Weweka karya Widi Widajat pada aspek kohesi dan koherensi
sebagai unsur pembentuk keutuhan wacana serta konteks dan inferensi dalam
novel Asmara Tanpa Weweka karya Widi Widayat yang merupakan aspek internal
wacana dan aspek eksternal yang melingkupi sebuah wacana serta inferensi
sebagai proses yang harus dilakukan oleh komunikan untuk memahami makna
yang secara harfiah tidak terdapat dalam wacana yang diungkapkan oleh
komunikator.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah, maka masalah dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Bagaimanakah kohesi dalam wacana novel berbahasa Jawa, Asmara tanpa
Weweka karya Widi Widajat?
2. Bagaimanakah koherensi dalam wacana novel berbahasa Jawa, Asmara
tanpa Weweka karya Widi Widajat?
3. Bagaimanakah konteks dan inferensi dalam novel berbahasa Jawa, Asmara
tanpa Weweka karya Widi Widayat?
4. Bagaimanakah kekhasan wacana dalam novel berbahasa Jawa, Asmara
tanpa Weweka karya Widi Widayat?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang diajukan, maka tujuan penelitian ini
sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan kohesi dalam wacana novel berbahasa Jawa, Asmara
Tanpa Weweka karya Widi Widajat.
2. Mendeskripsikan koherensi dalam wacana novel berbahasa Jawa, Asmara
Tanpa Weweka karya Widi Widajat.
3. Menjelaskan konteks dan inferensi dalam novel berbahasa Jawa, Asmara
Tanpa Weweka karya Widi Widayat.
4. Mendeskripsikan kekhasan dari wacana dalam novel berbahasa Jawa,
Asmara Tanpa Weweka karya Widi Widayat.
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, baik secara teoretis
maupun praktis.
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah teori linguistik, khususnya
teori wacana bahasa Jawa dan juga diharapkan dapat memberi masukan
bagi perkembangan teori lingusitik khususnya mengenai wacana bahasa
Jawa
2. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini bermanfaat sebagai acuan dan menambah
sarana teori psikolinguistik, kajian pragmatis, serta teori sosiolinguistik
sebagai jembatan untuk meneliti penelitian yang lain dan juga hasil
penelitian ini akan membantu memperkaya dalam penggunaan aplikasi
linguistik, khususnya mengenai analisis wacana bahasa Jawa dalam
menganalisis sebuah karya sastra.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Wacana
Sarana yang paling utama untuk memenuhi kebutuhan komunikasi adalah
bahasa. Secara garis besar sarana komunikasi verbal dibedakan menjadi dua
macam, yaitu sarana komunikasi yang berupa bahasa lisan dan sarana komunikasi
yang berupa bahasa tulis. Dengan begitu wacana atau tuturan pun dibagi menjadi
dua macam, yaitu wacana tulis dan wacana lisan (Sumarlam, 2003: 1).
Banyak pengertian yang merangkai kata wacana ini. Dalam lapangan
sosiologi, wacana menunjuk terutama dalam hubungan konteks sosial dari
pemakaian bahasa. Dalam pengertian linguistik, wacana adalah unit bahasa yang
lebih besar daripada kalimat.
Wacana adalah satuan bahasa terlengkap, dalam hirarki gramatikal
merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan
dalam bentuk karangan yang utuh, seperti novel, buku, seri ensiklopedia, dan lain-
lain, paragraf, kalimat atau kata yang membawa amanat yang lengkap (Harimurti
Kridalaksana 2001:179).
Wacana merupakan kelas kata benda (nomina) yang mempunyai arti
sebagai berikut.
a. ucapan; perkataan; tuturan;
b. keseluruhan tutur yang merupakan suatu kesatuan;
c. satuan bahasa terlengkap, realisasinya tampak pada bentuk karangan
yang utuh, seperti novel, buku atau artikel (KBBI, 1988: 1005).
Kamus bahasa Inggris Webster’s New Twentieth Century Dictionary
(dalam Sumarlam, 2003: 5-6) menjelaskan bahwa kata discourse berasal dari
bahasa Latin discursus ’lari kian kemari’ (yang diturunkan dari dis ‘dari’ atau
‘dalam arah yang berbeda’, dan currere ‘lari’). Lebih lanjut dikatakan bahwa
wacana (discourse) dapat berarti:
a. Komunikasi pikiran dengan kata-kata; ungkapan ide-ide atau gagasan-
gagasan; konvensi atau percakapan.
b. Komunikasi secara umum, terutama sebagai suatu subjek studi atau
pokok telaah.
c. Risalah tulis; disertasi formal; kuliah; ceramah; khotbah.
Penjelasan di atas dapat diketahui bahwa wacana adalah pemakaian bahasa
dalam komunikasi, baik disampaikan secara lisan (berupa percakapan, ceramah,
kuliah, khotbah) maupun secara tertulis (seperti bahasa yang dipakai dalam tulisan
ilmiah, desertasi, dan surat).
Wacana adalah kesatuan bahasa terlengkap dan tertinggi di atas kalilmat
atau klausa yang mempunyai awal dan akhir yang nyata, berkesinambungan,
mempunyai kohesi dan koherensi yang disampaikan secara lisan dan tertulis
(Henry Guntur Tarigan, 1987: 27). Secara teknis wacana ini dapat berupa pidato,
ceramah, novel, majalah, buku, paragraf alenia dan sebagainya. Oleh karena itu,
wacana merupakan rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi
(Samsuri, 1987: 1).
James Deese dalam karyanya Thouhgt into Speech: the Psychology of a
Language (dalam Henry Guntur Tarigan, 1987: 25) menyatakan bahwa wacana
adalah seperangkat proposisi yang saling berhubungan untuk menghasilkan suatu
rasa kepaduan atau rasa kohesi bagi penyimak atau pembaca.
Berdasarkan batasan di atas dapat diketahui bahwa sebuah wacana
menurut Deese harus memenuhi syarat sebagai berikut.
a. Merupakan seperangkat proposisi, yaitu konfigurasi makna yang menjelaskan isi komunikasi dari pembicara.
b. Isi komunikasi itu harus saling berhubungan, arinya antara proposisi yang satu dengan proposisi yang lain saling berkaitan.
c. Keterkaitan antarproposisi itu menghasilkan rasa kepaduan, baik kepaduan bentuk maupun kepaduan makna.
Harimurti Kridalaksana (1993: 231), menjelaskan bahwa wacana
merupakan bagian dari tataran kebahasaan yang lebih luas dan lebih tinggi dari
kalimat. Beberapa ahli bahasa mengemukakan pendapat yang berbeda-beda
mengenai pengertian wacana, walaupun sebenarnya mengarah pada hal yang
sama.
Wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki
gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar (Abdul Chaer,
1994 : 267). Wacana dikatakan lengkap karena di dalamnya terdapat konsep,
gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam
wacana tulis) atau oleh pendengar (dalam wacana lisan) tanpa keraguan apapun.
Kelebihannya dari yang lain adalah Abdul Chaer memberikan argumentasi
atau alasan mengapa wacana merupakan satuan bahasa yang lengkap dan satuan
gramatikal tertinggi atau terbesar seperti tampak pada penjelasan di atas.
B. Jenis Wacana Bahasa Jawa
Wacana dapat diklasifikasikan menjadi berbagai jenis menurut dasar
pengklasifikasiannya. Misalnya berdasarkan bahasanya, media yang dipakai untuk
mengungkapkan, jenis pemakaian, bentuk, serta cara dan tujuan pemaparannya.
Jenis-jenis wacana tersebut adalah sebagai berikut.
1. Berdasarkan bahasa yang dipakai untuk mengungkapkan, wacana diklasifikasikan menjadi : a. Wacana bahasa Jawa, yaitu wacana yang diungkapkan dengan bahasa
Jawa, yaitu wacana yang diungkapkan dengan menggunakan sarana bahasa Jawa. Apabila dilihat dari ragamnya, wacana bahasa Jawa terdiri atas ragam ngoko (ragam bahasa Jawa yang kurang halus, ragam rendah), krama (ragam bahasa Jawa halus, ragam tinggi), dan campuran dari kedua ragam itu.
b. Wacana bahasa Indonesia, yaitu wacana yang diungkapkan dengan bahasa Indonesia. Apabila dilihat dari ragamnya, wacana bahasa Indonesia terdiri dari ragam baku dan ragam takbaku.
c. Wacana bahasa Inggris, yaitu wacana yang diungkapkan dengan bahasa Inggris
d. Wacana yang diungkapkan dengan bahasa lainya 2. Berdasarkan media yang diungkapkan maka wacana dapat dibedakan
menjadi : a. Wacana tulis, yaitu wacana yang disampaikan dengan bahasa tulis
atau media tulis. Wacana tulis ini dalam referensi bahasa Inggris disebut oleh sebagian ahli dengan written discourse dan sebagiannya lagi dengan istilah written text.
b. Wacana lisan, yaitu wacana yang disampaikan dengan bahasa lisan atau media lisan.
3. Berdasarkan jenis pemakaiannya dapat dibedakan atas : a. Wacana monolog (monologue discourse) yaitu wacana yang
disampaikan seorang diri tanpa melibatkan secara langsung kepada orang lain untuk ikut berbicara dan pembicaraannya dilakukan dengan sendiri. Wacana monolog sifatnya tidak interaktif (non-interactive comunnication).
b. Wacana dialog (dialogue discourse) yaitu wacana atau percakapan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara langsung. Wacana dialog sifatnya dua arah dan masing-masing perilaku secara aktif ikut berperan di dalam komunikasi tersebut sehingga disebut komunikasi interaktif (interactive communication).
4. Berdasarkan cara dan tujuan pemaparannya pada umumnya wacana diklasifikasikan menjadi lima macam, yaitu : a. Wacana narasi, yaitu wacana yang mementingkan urutan waktu, dituturkan oleh persona pertama atau
ketiga dalam waktu tertentu. Wacana narasi ini berorientasi pada pelaku dan seluruh bagiannya diikat secara kronologis.
b. Wacana deskripsi yaitu wacana yang bertujuan melukiskan menggambar-kan atau memberikan sesuatu menurut apa adanya.
c. Wacana eksposisi, yaitu wacana yang tidak mementingkan waktu dan pelaku, berorientasi pada pokok pembicaraan dan bagian-bagiannya diikat secara logis.
d. Wacana argumentasi, yaitu wacana yang berisi ide atau gagasan yang dilengkapi dengan data-data sebagai bukti, bertujuan meyakinkan pembaca akan kebenaran ide dan gagasannya.
e. Wacana persuasi, yaitu wacana yang isinya bersifat ajakan atau nasehat, ringkas dan menarik bertujuan untuk mempengaruhi secara kuat pada pembaca atau pendengar agar melakukan nasihat atau ajakan tersebut (Sumarlam, 2003: 15-25).
Selain jenis wacana di atas, ada pula ahli yang mengklasifikasikan wacana
menurut cara penyusunan, isi dan sifatnya. Misalnya Llamzon dalam bukunya
Discourse Analysis (dalam Sumarlam, 2003: 20-21) menyebutkan wacana ada
yang bersifat naratif, prosedural, hortatorik, ekspositorik, dan deskriptif. Adapun
penjelasannya adalah sebagai berikut.
1. Wacana naratif adalah rangkaian tuturan yang menceritakan atau menyajikan suatu hal atau kejadian melalui penonjolan tokoh atau pelaku (orang pertama atau ketiga) dengan maksud memperluas pengetahuan pendengar atau pembaca. Kekuatan wacana ini terletak pada urutan cerita berdasarkan waktu dan cara-cara bercerita yang diatur melalu plot (alur).
2. Wacana prosedural merupakan rangkaian tuturan yang melukiskan sesuatu secara berurutan yang tidak bolh dibolak-balik unsur-unsurnya karena urgency unsur terdahulu menjadi landasan unsur yang berikutnya. Wacana ini biasanya disusun untuk menjawab pertanyaan bagaimana sesuatu bekerja atau terjadi, atau bagaimana cara engerjakan sesuatu, misalnya bagaimana membongkar dan memasang mesin mobil atau bagian-bagian tertentu yang memerlukan prosedur seperti itu.
3. Wacana hortatorik adalah tuturan yang isinya bersifat ajakan atau nasihat, kadang-kadang tuturan itu bersifat memperkuat keputusan agar lebih meyakinkan. Tokoh penting di dalamnya adalah orang. Wacana itu tidak disusun berdasarkan waktu, tetapi merupakan hasil atau produksi suatu waktu.
4. Wacana ekspositorik ialah rangkaian tuturan yang bersifat memaparkan suatu pokok pikiran. Pokok pikiran itu lebih dijelaskan lagi dengan cara menyampaikan uraian bagian-bagian atau detilnya.
5. Wacana deskriptif pada dasarnya berupa rangkaian tuturan yag memaparkan atau melukiskan, baik berdasarkan pengalaman maupun pengetahuan penuturnya. Tujuan yang ingin dicapai oleh wacana ini adalah tercapainyapengamatan yang agak imajinatif terhadap sesuatu, sehingga pendengar atau pembaca merasakan seolah-olah ia sendiri mengalami atau mengetahuinya secara langsung.
Melihat jenis-jenis wacana yang telah diuraikan di atas, maka novel
Asmara Tanpa Weweka termasuk jenis wacana naratif dan deskriptif yang pada
hakikatnya wacana dalam novel berbahasa Jawa merupakan satuan bahasa
terlengkap dan tertinggi, dan mempunyai daya ikat kohesi dan koherensi yang
tinggi yang berkesinambungan, diungkapkan dengan bahasa Jawa, berbentuk
wacana tulis, merupakan wacana campuran dan bersifat naratif dan deskriptif serta
mempunyai awal dan akhir yang nyata.
C. Sarana Keutuhan Wacana
Wacana bukan merupakan kumpulan kalimat yang masing-masing berdiri sendiri atau terlepas. Kalimat-kalimat
dalam wacana merupakan gabungan antara pertautan bentuk (kohesi) dan perpaduan makna (koherensi), sehingga kalimat
satu dengan lainnya dalam wacana saling berhubungan membentuk kepaduan informasi atau gagasan. Dengan demikian
pembaca atau pendengar mudah mengetahui atau mengikuti jalan pikiran penulis tanpa merasa bahwa ada semacam jarak
yang memisahkan antara kalimat yang satu dengan kalimat yang lain.
Wacana yang baik dan utuh adalah wacana yang memiliki kohesi dan
koherensi tinggi. Kepaduan bentuk (kohesi) dan kepaduan makna (koherensi)
merupakan unsur hakikat wacana. Kohesi mengacu pada aspek bentuk dan
koherensi pada aspek makna (Henry Guntur Tarigan, 1987: 96).
1. Kohesi
Kohesi mengacu pada perpaduan bentuk. Kohesi menjadi aspek penting dan menjadi titik berat dalam suatu
wacana. Kohesi merupakan hubungan yang logis antara kalimat-kalimat dalam suatu teks atau wacana yang dinyatakan
secara struktur atau leksikal (Jos Daniel Parera, 1993:78). Pendapat ini menjelaskan bahwa kohesi merupakan hubungan
antara kalimat satu dan kalimat yang lain dan saling berkaitan. Dapat dikatakan bahwa kohesi merujuk pada pertautan
bentuk wacana.
Menurut Anton M. Moeliono (1988:343) yang dimaksud dengan kohesi adalah keserasian hubungan antara
unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana sehingga terciptalah pengertian yang apik dan koheren.
Henry Guntur Tarigan menyatakan bahwa suatu teks atau wacana benar-benar bersifat kohesif bila terdapat
kesesuaian secara bentuk bahasa terdapat konteks (situasi dalam bahasa) (1993:97). Dalam pembentukan suatu wacana
yang kohesif dibutuhkan sarana dan alat-alat untuk membentuknya. Menurut Henry Guntur Tarigan ada dua tipe kohesi
yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Kohesi gramatikal berupa referensi, substitusi, elipsis dan konjungsi.
Sedangkan kohesi leksikal berupa repetisi, sinonim, antonim, kolokasi, hiponim, serta ekuivalensi.
a. Kohesi Gramatikal
1). Referensi
Referensi (pengacuan) adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang
mengacu pada satuan lingual lain (suatu acuan) yang mendahului atau mengikutinya (Sumarlam, 2003:23).
Referensi merupakan ungkapan kebahasaan yang digunakan oleh seorang pembicara atau penulis untuk
mengacu kepada hal-hal yang dibicarakan atau ditulis. Referensi dibedakan menjadi dua yaitu referensi endofora dan
referensi eksofora. Referensi endofora adalah pengacuan pada kalimat atau bagian-bagian dalam konteksnya, sedangkan
referensi eksofora adalah pengacuan yang dilakukan dengan merujuk pada hal-hal di luar konteksnya. Pengacuan secara
endofora bersifat anaforis dan kataforis. Pengacuan endofora yang anaforis adalah pengacuan terhadap hal-hal yang telah
disebut di depannya. Pengacuan endofora yang kataforis adalah pengacuan terhadap hal-hal yang akan disebutkan
kemudian (Sumarlam 1996:53).
Bentuk-bentuk referensi tersebut berupa pronomina atau kata ganti. Adapun bentuk pronomina tersebut adalah
sebagai berikut.
1. Pronomina Personal, yaitu kata ganti orang pertama, kedua, ketiga baik tunggal maupun jamak. Pronomina persona dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: a. kata ganti orang pertama, yaitu aku ‘saya’, kula ‘saya’, kawula ‘saya’ dalem ‘saya’. b. Kata ganti orang kedua, yaitu kowe ‘kamu’, panjenengan ‘anda’, sampeyan ‘engkau’. c. Kata ganti orang ketiga, yaitu dheweke ‘dia’, penjenenganipun ’beliau’, piyambakipun ‘beliau’.
2. Pronomina Demonstratif dibagi menjadi lima, yaitu : a. pronomina demonstratif substantif diantaranya, iki ‘ini’, iku ‘iku’, ika ‘itu’, niki ‘ini’, nika ‘itu’, punika
‘itu’, puniku ‘itu’ b. pronomina demonstratif lokatif diantaranya, kene ‘di sini’, kono ‘di sana’, mriki ‘di sini’, mrika ‘di
sana’ c. pronomina demonstratif deskriptif diantaranya, mangkene ‘demikian’, ngene ‘begini’, mangkono
‘demikianlah’, ngono ‘begitu’, makaten ‘demikian’ d. pronomina demonstratif temporal diantaranya, saiki ‘sekarang’, sapunika ‘sekarang’, mengko ‘nanti’,
mangke ‘nanti’ e. pronomina demonstratif dimensional diantaranya, semene ‘sekian’, semono ‘sekian’, semanten
‘sekian’. 3. Pronomina Perbandingan, di antaranya lir ‘seperti’, kaya ‘seperti’, kadi ‘seperti’, kadi dene ‘seperti halnya’,
prasasat ‘hampir’ dan lain sebagainya.
Contoh yang menunjukkan referensi yang berupa pronomina persona adalah:
(1) Mas iba rusaking atiku jen sliramu ora netepi djandji (ATW, h. 5) ‘Mas iba hancurnya hatiku jika dirimu tidak menepati janji’
(2) Mangkono uga djeng, tumrape aku ora beda (ATW, h. 6) ‘Begitu pula dengan saya jeng’.
Data (1) terdapat pengacuan pronomina persona orang pertama tunggal
lekat kanan yang mengacu pada Sukati, sedangkan aku pada data yang ke (2)
merupakan pronomina persona orang pertama tunggal bentuk bebas yang
mengacu pada Karmanto.
Contoh yang menunjukkan referensi yang berupa pronomina persona
adalah :
(3) Djalaran lungane ing esuk iki butuh menjang Tawangmangu. (h.4) ‘Sebab perginya pada pagi ini ingin ke Tawangmangu’.
Data (3) merupakan referensi yang berupa pronomina demonstratif lokatif
yang menunjuk secara eksplisit yaitu Tawangmangu.
(4) ing dadane si djaka iki bandjur kebak rasa mongkog lan mulja. (h. 8) ‘pada dadanya si bujang ini kemudian sangat senang dan gembira’.
Data (4) di atas merupakan referensi yang berupa pronomina demonstratif
lokatif yang mengacu dekat dengan penuturnya (Karmanto).
2). Penyulihan (Substitusi)
Substitusi adalah proses atau hasil penggantian unsur bahasa oleh unsur
untuk memperoleh unsur pembeda atau untuk menjelaskan suatu struktur tertentu
(Harimurti Kridalaksana, 2001:204). Subtistusi terletak pada gramatikalnya.
Subtitusi terbagi menjadi tiga bagian, yaitu.
1. subtitusi nominal, unsur yang diganti dan yang menggantikan berupa nominal (kata benda)
2. subtitusi verbal, unsur yang diganti dan yang menggantikan berupa verbal(kata kerja)
3. subtitusi klausal, unsur yang diganti dan yang menggantikan berupa klausa (Sumarlam, 2003: 27-28).
Contoh yang menunjukkan penyulihan (subtitusi) yaitu :
(5) Sukati nampani, banjur dibukak, Sukati rada kaget, djalaran ngerti yen buku kwitansi mau buku tjek saka sawidjining Bank. (h. 41) ‘Sukati menerima, kemudian dibuka, Sukati agak terkejut, sebab tahu kalau buku kwitansi tadi buku cek dari salah satu bank’.
Data (5) merupakan penggantian satuan lingual yang berkategori nomina
(kata benda) dengan satuan lingual lain yang juga berkategori nomina, yaitu buku
kwitansi dan buku cek.
3). Pelesapan (Elipsis)
Elipsis merupakan peniadaan kata atau satuan lainyang wujud asalnya
dapat diramalkan dari konteks bahasa atau konteks luar bahasa (Harimurti
Kridalaksana, 1993: 101).
Elipsis atau pelesapan adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang
berupa penghilangan atau pelesapan satuan lingual tertentu yang telah disebutkan
sebelumnya. Unsur yang dilesapkan itu berupa kata, frasa, kausa, atau kalimat
(Sumarlam, 2003:30). Elipsis juga disebut sebagai pelesapan, yang terbagi
menjadi tiga di antaranya.
1. elipsis norminal, unsur yang dilesapkan berupa nominal (kata benda)
2. elipsis verbal, unsur yang dilesapkan berupa verba (kata kerja)
3. elipsis klausal, unsur yang dilesapkan berupa klausa (Harimurti
Kridalaksana, 1993: 101).
Contoh yang menunjukkan pelesapan (elipsis) adalah :
(6) Prihati ora wangsulan ketungkul olehe nangis. Ø nangisi marang kahanane. Ø nangis bareng kelingan jen betjak, sarta prija kang disanding iku dudu apa-apane, Ø atine bandjur krasa rikuh. (h. 15) ‘Prihati tidak menjawab karena tertutup oleh rasa tangis. Dia menangisi keadaannya yang sekarang. Prihati menangis setelah ingat kalau becak serta pria yang ada didekatnya itu bukan paa-apanya, Prihati hatinya kemudian merasa bingung’.
Data (6) terjadi pelesapan satuan lingual yang berupa pelesapan nominal
(atine ‘hatinya) dan pelesapan verbal (nangisi ‘meratapi’), sehingga tuturan itu
menjadi lebih efektif, efisien, wacananya menjadi padu (kohesif).
4). Perangkaian (Konjungsi)
Konjungsi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang dilakukan
dengan cara menggabungkan unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam
wacana. Unsur yang dirangkaikan dapat berupa satuan lingual kata, frasa, klausa,
kalimat, dan dapat juga berupa unsur yang lebih besar dari itu.
Konjungsi juga merupakan partikel yang dipergunakan untuk
menggabungkan kata dengan kata, frase dengan frase, klausa dengan klausa,
kalimat dengan kalimat, atau paragraf dengan paragraf (Harimurti Kridalaksana,
1993: 117). Konjungsi terbagi menjadi enam bagian, yaitu:
1. konjungsi adversatif, di antaranya nanging ‘tetapi’ 2. konjungsi kausatif, di antaranya amarga ‘karena’, amargi ‘karena’ 3. konjungsi koordinatif, di antaranya lan ‘dan’, sarta ‘dan/ dengan’,
kaliyan ‘dengan’, utawa ‘atau’, utawi ‘atau’ 4. konjungsi korelatif, di antaranya embuh ‘tidak tahu’ 5. konjungsi subordinatif, di antaranya bilih ‘bila’, menawa ‘jika’,
menawi ‘jika’ 6. konjungsi temporal, di antaranya sadurunge ‘sebelumnya’,
saderengipun ‘sebeumnya’, sawise ‘sesudahnya’(Harimurti Kridalaksana, 1993: 117).
Contoh yang menunjukkan perangkaian (Konjungsi), adalah sebagai berikut
(7) Djalaran kakehan wong kang nunggang, sadela maneh bis wiwit mlaku. (h.4) ‘Karena banyaknya orang yang naik, sebentar lagi bis segera berjalan’.
(8) Bareng wis tekan ing alas pinus Karmanto lan Sukati bandjur lungguh djedjer ing watu gede. (h. 6) ‘Setelah sampai di Hutan pinus Karmanto dan Sukati kemudian duduk berdampingan di batu besar’.
Data (7), konjungsi djalaran ‘karena’ sekalipun berada pada awal kalimat
tetap berfungsi untuk menyatakan hubungan sebab-akibat. Selanjutnya pada data
(8), konjungsi lan ‘dan’ berfungsi menghubungkan secara koordinatif antara
klausa yang berada di sebelah kirinya dengan klausa yang mengandung kata lan
‘dan’ itu sendiri.
b. Kohesi Leksikal
Kohesi leksikal repetisi (pengulangan), sinonim (persamaan kata), antonim
(lawan kata), hiponim, kolokasi, dan ekuivalensi. Adapu pengertiannya adalah
sebagai berikut.
1). Repetisi (Pengulangan)
Repetisi adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata, atau
bagian kalimat) yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah
konteks yang sesuai. Berdasarkan tempat satuan lingual yang diulang dalam baris,
klausa atau kalimat, repetisi dapat dibedakan menjadi delapan macam, yaitu :
1. repetisi epizeuksis, ialah pengulangan satuan lingual (kata) yang dipentingkan beberapa kali secara berturut-turut.
2. repetisi tautotes pengulangan satuan lingual (kata) beberapa kali dalam sebuah konstruksi.
3. repetisi anaphora pengulangan satuan lingual (kata) yang berupa kata atau fraa pertama pada tiap baris atau kaliat berikutnya. Pengulangan pada tiap baris biasanya terjadi dalam puisi, sedangkan pengulangan pada tiap kalimat terdapat dalam prosa.
4. repetisi epistrofa pengulangan satuan lingual (kata)/ frasa pada akhir baris (dalam puisi) atau akhir kalimat (dalam prosa) secara berturut-turut..
5. repetisi simploke pengulangan satuan lingual (kata) pada awal dan akhir beberapa baris/ kalimat berturut-turut.
6. repetisi mesodiplosis pengulangan satuan lingual (kata) di tengah-tengah baris atau kalimat secara berturut-turut.
7. repetisi epanalepsis pengulangan satuan lingual (kata) yang kata/ frasa terakhir dari baris/ kalimat itu merupakan pengulangan kata/ frasa yang pertama.
8. repetisi anadiplosis pengulangan satuan lingual (kata)/ frasa terakhir dan baris/ kalimat itu menjadi kata/ frasa pertama pada baris/ kalimat berikutnya (Sumarlam, 2003; 37-38).
Contoh yang menunjukkan repetisi (pengulangan) adalah sebagai berikut .
(9) Pemuda mau bandjur ngadeg, lan Sukati bandjur lungguh ing palungguhane pemuda mau karo ngutjapake panuwune, pemuda mau sawise menehake lungguhe marang Sukati bandjur ngadeg ing sandinge (h. 34) ‘Pemuda tadi lalu berdiri dan Sukati kemudian duduk di tempat duduknya pemuda tadi sambil mengucapkan terimakasih, pemuda tadi setelah memberikan tempat duduknya kepada Sukati kemudian berdiri di dekatnya’.
Data (9) terdapat pengulangan kata secara berturut-turut untuk
menekankan pentingnya kata tersebut di dalam konteks tuturan itu. Repetisi
seperti yang telah dicontohkan di atas dapat disebut sebagai repetisi epizeuksis.
2). Sinonimi (Padan Kata)
Sinonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang
sama atau ungkapan yang maknanya kurang lebih sama dengan ungkapan lain
(Abdul Chaer, 1990:85). Atau sinonimi dapat juga berarti bentuk bahasa yang
maknanya mirip atau sama dengan bentuk lain, kesamaan itu berlaku bagi kata,
kelompok kata atau kalimat, walaupun umumnya yang dianggap sinonim
hanyalah kata-kata saja (Harimurti Kridalaksana, 1993:198).
Sinonimi merupakan salah satu aspek leksikal untuk mendukung kepaduan
wacana. Sinonimi berfungsi menjalin hubungan makna yang sepadan antara
satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lain dalam wacana. Berdasarkan
wujud satuan lingualnya, sinonimi dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu
(1) sinonimi antara morfem (bebas) dengan morfem (terikat), (2) kata dengan
kata, (3) kata dengan frasa atau sebaliklnya, (4) frasa dengan frasa, (5) klausa/
kalimat dengan klausa/ kalimat.
Contoh yang menunjukkan sinonimi (Padan Kata) adalah sebagai berikut.
(10) Aku saguh ndandani marang kaluputanku (h. 30) ‘Aku siap memperbaiki atas semua kesalahanku’
(11) Hawa Tawangmangu kang kepenak iku mrabawani marang rasane sakloron, ajem, tentrem lan mulja. (h. 7) ‘Udara Tawangmangu yang sejuk itu menyelimuti perasaan mereka berdua, tenang, tentram dan aman’.
Data (10), morfem (bebas) aku, bersinonim dengan morfem (terikat) ku.
Sedangkan pada data (11) kepaduan wacana tesebut antara lain didukung oleh
aspek leksikal yang berupa sinonimi antara kata ayem, tentrem dan mulya
sehingga maknanya menjadi sepadan.
3). Antonimi (Lawan Kata)
Antonimi secara harafiah dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda
yang lain. Secara semantik antonym yaitu ungkapan yang maknanya dianggap
kebalikan dari ungkapan yang lain (Abdul Chaer, 1990 : 91). Atau antonimi dapat
disebut sebagai leksem yang berpasangan secara antonimi yaitu oposisi makna
dalam pasangan leksikal yang dapat dijenjangkan. Contoh yang menunjukkan
antonimi adalah sebagai berikut.
(12) adja kadohan olehmu menggalih, duren – duren, krai ja krai. Bijen iku beda karo saiki (h. 7) ‘jangan terlalu jauh kamu berpikir, duren–duren, krai ya krai. Dulu berbeda dengan sekarang’
Data (12) di atas, terdapat antonimi yang berupa oposisi mutlak yaitu
pertentangan makna secara mutlak misalnya oposisi antara kata bijen ‘dulu’ dan
saiki ‘sekarang’. Kedua kata tersebut dikatakan beroposisi karena terdapat gradasi
di antara keduanya yaitu adanya realitas yang saling bertentangan. Kemudian
dapat dilihat pada contoh di bawah ini.
(13) lan tumrape kang wis pada dadi tuwa, kang wis tau ngalami dadi enom (h. 8) ‘dan yang sudah menjadi tua, yang dulu pernah mengalami muda’
Tuturan (13), terdapat oposisi kutub antara “tua” dengan “muda”. “Tua”
dimungkinkan sebagai realitas karena dilengkapi kehadiran dari yang “muda”.
4). Kolokasi (Kata Sanding)
Kolokasi merupakan asosiasi yang tetap antara kata dengan kata lain yang
berdampingan dalam kalimat (Harimurti Kridalaksana, 2001: 113). Contoh yang
menunjukkan kolokasi (kata sanding) adalah sebagai berikut.
(14) Ora antara suwe deweke sakloron wis ngliwati kreteg, wong dodol sate lan limun ngetutake karo nawakake daganganne. Nanging Karmanto ora keguh, djalaran rumangsa eman. Djadjanan ing kono wis larang regane tur ora enak. (h. 6) ‘Tidak lama kemudian mereka berdua sudah melewati jembatan, orang jualan sate dan minuman mengikuti sambil menawarkan barang dagangannya. Namun Karmanto tidak menanggapi, karena merasa sayang. Dagangan yang ada di sana harganya mahal dan rasanya tidak enak’.
Data (14) di atas tampak pemakaian kata-kata jualan sate dan minuman,
menawarkan barang dagangannya, dagangan, harganya mahal yang saling
berkolokasi dan mendukung kepaduan wacana.
5). Hiponimi (Hubungan atas Bawah)
Hiponimi adalah sama dengan sinonimi, hanya dalam hiponimi unsur
pengulangannya mempunyai makna yang mencakupi makna unsur pengulangan.
Pendapat lain mengatakan bahwa hiponimi merupakan hubungan dalam semantik
antara makna spesifiks dan makna genetik (Harimurti Kridalaksana, 2001:74).
Contoh yang menunjukkan hiponimi (hubungan atas bawah) adalah sebagai
berikut.
(15) Karmanto bandjur age-age mbajar betjak, gawane ditjandak tjeg-
tjeg terus djumangkah mlebu pekarangan. Nanging, bareng
lakune wis tekan ngarep lawang omah, karmanto meksa ora
weruh kumlebeting bodjone. ‘Karmanto segera membayar ongkos
becak, barang bawaannya dikeluarkan dengan cekatan kemudian
melangkah masuk halaman rumah’.
Data (15) diatas hiponiminya tercermin pada kata pekarangan (kebun) dan
omah (rumah) yang keduanya merupakan bagian dari bangunan tempat tinggal.
6). Ekuivalensi (Kesepadanan)
Ekuivalensi dalam wacana dapat berupa kata-kata yang maknanya
berdekatan dan merupakan lawan kata dari kesamaan bentuk hasil proses afiksasi.
Contoh yang menunjukkan ekuivalensi (kesepadanan) adalah sebagai berikut.
(16) Prija kang padatane tansah njanding bodjo lan diladeni dening
bodjo kanti asih lan tresna iku. ‘Pria yang biasanya selalu bersama
istri dan dilayani oleh istrinya dengan penuh kasih saying itu’.
Data (16) diatas ekuivalensinya terletak pada kata asih (kasih) dan tresna
(sayang) yang mempunyai kesepadanan dari satu bentuk kata yang sama, yaitu
cinta. Sehingga dapat mendukung kepaduan makna wacana.
2. Koherensi
Pengertian koherensi tidak terlepas pada bahasa, keutuhan wacana lebih
banyak ditentukan oleh kesatuan maknanya, sedangkan kesatuan makna hanya
terjadi bila dalam wacana tersebut terdapat sarana-sarana koherensi yang mampu
mempertalikan kalimat-kalimat dalam wacana. Pentingnya isi suatu wacana
merupakan sarana yang ampuh dalam pencapaian koherensi di dalam wacana
berarti pertalian pengertian yang lain (Henry Guntur Tarigan, 1993: 32).
Sarana koherensi wacana dapat berupa referensi dan inferensi yang
berfungsi memperjelaskan dan mempertalikan makna kalimat dalam wacana.
Referensi merupakan ungkapan kebahasaan yang dipakai seorang pembicara
untuk mengacu kalimat-kalimat yang dibicarakan itu. Inferensi merupakan proses
yang dilakukan oleh pembicara atau pendengar untuk memahami makna yang
secara harafiah tidak terdapat dalam wacana yang diungkapkan (Moeliono, 1988:
358).
Penanda koherensi diwujudkan dalam bentuk kata yang muncul dalam
sebuah wacana. Penanda tersebut menggabungkan antara dua klausa atau lebih
unsur bahasa dalam sebuah wacana yang menimbulkan makna sebab akibat.
Penanda-penanda koherensi itu antara lain :
a. Penanda koherensi yang bermakna sebab-akibat b. Penanda koherensi yang bersifat penekanan c. Penanda koherensi yang bermakna lokasi/ kala d. Penanda koherensi yang bermakna penambahan e. Penanda koherensi yang bermakna penyimpulan f. Penanda koherensi yang bermakna contoh atau misal g. Penanda koherensi yang bermakna pertentangan
Contoh yang menunjukkan penanda koherensi adalah sebagai berikut :
(17) Kang mangka njatane Karmanto mbage kawegatene marang Sukati lan Prihati. Deweke tansah mbudidaya murih bisa gawe senenge Prihati lan uga Sukati mulane uga bandjur dadi tjewet. (h. 20) ‘Yang pada kenyataannya Karmanto membagi segala perhatiannyanya kepada Sukati dan Prihati. dia ingin membinanya supaya bisa membuat senang Prihati dan juga Sukati yang kemudian menjadi benci’
Contoh di atas terdapat kekoherensifan yaitu adanya hubungan
penambahan lan, ‘dan’ uga ‘juga’ adanya penghubung kata ganti dheweke ‘dia’,
dan adanya penghubung koherensi yang bersifat seri/ rentetan yakni uga bandjur
‘juga kemudian’.
D. Konteks dan Inferensi
Konteks adalah aspek-aspek internal teks dan segala sesuatu yang secara
eksternal melingkupi sebuah teks. Berdasarkan pengertian di atas konteks secara
garis besar dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu konteks bahasa dan
konteks luar bahasa. Konteks bahasa disebut koteks, sedangkan konteks luar
bahasa (extra linguistic context) disebut “konteks situasi” dan “konteks budaya”,
atau “konteks” saja (Malinowski dalam Sumarlam, 2006 : 14).
Pemahaman konteks situasi dan budaya dalam wacana dapat dilakukan
degan berbagai prinsip penafsiran dan penafsiran prinsip analogi. Prinsip-prinsip
yang dimaksud adalah.
1. Prinsip penafsiran personal Berkaitan dengan siapa sesungguhnya yang menjadi partisipan di dalam suatu wacana. Dalam hal ini, siapa penutur dan siapa mitra tutur sangat menentukan makna sebuah tuturan.
2. Prinsip penafsiran lokasional Prinsip ini berkenaan dengan penafsiran tempat atau lokasi terjadinya situasi (keadaan, peristiwa dan proses) dalam rangka memahami wacana.
3. Prinsip penfsiran temporal Berkaitan dengan pemahaman mengenai waktu. Berdasarkan konteksnya, dapat ditafsirkan kapan atau berapa lama waktu terjadinya suatu situasi.
4. Prinsip analogi Prinsip ini digunakan sebagai dasar, baik oleh penutur maupun mitra tutur, untuk memahami makna dan mengidentifikasi maksud dari sebuah wacana.
Pemahaman wacana melalui berbagai prinsip penafsiran dan analogi itu
tentu saja akan mempertimbangkan faktor-faktor penting sebagai berikut.
1. faktor sosial
2. situasional
3. kulural
4. pengetahuan tentang dunia (knowledge or world) (Sumarlam,
2003: 48-51).
Konteks merupakan dasar bagi inferensi. Yang dimaksud dengan inferensi
adalah proses yang harus dilakukan oleh komunikan (pendengar/ pembaca/ mitra
tutur) untuk memahami makna yang secara harfiah tidak terdapat di dalam teks
yang diungkapkan oleh komunikator (pembicara/ penulis/ penutur). Atau dengan
kata lain, inferensi adalah proses memahami makna tuturan sedemikian rupa
sehingga sampai pada penyimpulan maksud dari tuturan. Untuk dapat mengambil
inferensi dengan baik dan tepat, harus dipahami tentang konteks dengan baik pula
karena pemahaman konteks diperlukan sebagai dasar pengambilan inferensi.
Bermacam-macam inferensi dapat diambil dari sebuah tuturan bergantung
pada konteks yang menyertainya. Imam Syafi’i (dalam Hamid Hasan Lubis, 1993:
58) membedakan empat macam konteks pemakaian bahasa, yaitu konteks fisik,
konteks epistemis, konteks linguistik, dan konteks sosial.
Konteks fisik (physival context) meliputi tempat terjadinya pemakaian
bahasa, objek yang disajikan dalam peristiwa komunikasi, dan tindakan para
partisipan dalam peristiwa komunikasi itu. Konteks epistemis (ephistemic context)
yaitu latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh penutur dan
mitra tutur. Konteks linguistik (linguistic context) terdiri atas tuturan-tuturan yang
mendahului atau yangmengikuti sebuah tuturan tertentu dalam peristiwa
komunikasi. Konteks sosial (social context) yaitu relasi sosial yang melengkapi
hubungan antara penutur dengan mitra tutur (Sumarlam, 2003: 51-52).
E. Pengertian Novel
Sebutan novel yang masuk ke Indonesia berasal dari bahasa Itali novella
(dalam bahasa Jerman novelle). Secara harafiah novella berarti sebuah barang
baru yang kecil, dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk
prosa. Dewasa ini istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang sama
dengan istilah Indonesia “novelet”, yang berarti karya prosa fiksi yang panjangnya
cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek. Bahkan dalam
perkembangannya yang kemudian, novel dianggap bersinonim dengan fiksi
(Burhan Nurgiantoro, 1995: 9).
Istilah fiksi dalam pengertian ini adalah cerita rekaan atau cerita khayalan.
Hal itu disebabkan fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak menyaran pada
kebenaran sejarah. Karya fiksi, dengan demikian, menyaran pada suatu karya
yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada
dan terjadi sungguh-sungguh sehingga ia tak perlu dicari kebenarannya pada
dunia nyata (Burhan Nurgiantoro, 1995: 9).
Novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang
berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajiner, yang dibangun melalui
berbagai unsur instrinsik seperti peristiwa plot, tokoh (dan penokohan), latar,
sudut pandang, dan lain-lain yang kesemuanya tentu saja juga bersifat imajiner
(Burhan Nurgiantoro).
Penelitian ini mengambil novel berbahasa Jawa yang berjudul “Asmara
Tanpa Weweka” karya Widi Widayat sebagai objek kajian. Adapun cerita novel
Asmara Tanpa Weweka secara garis besar menceritakan mengenai problem
kehidupan rumah tangga antara tokoh yang bernama Karmanto dengan Sukati.
Sebelumnya Karmanto menjalin hubungan dengan Prihati, namun orang tua
Prihati tidak setuju jika putrinya menjalin hubungan dengan Karmanto, karena
Karmanto hanyalah laki-laki miskin yang tidak memiliki apa-apa. Hingga
akhirnya Karmanto menikah dengan Sukati. Pernikahannya dengan Sukati sangat
bahagia, hingga pada akhirnya Karmanto harus berpisah dengan Sukati karena dia
dipindah tugas dari Solo ke Surabaya. Di Surabaya, Karmanto tinggal di rumah
kost. Suatu hari tanpa diduga, Karmanto bertemu dengan mantan kekasihnya,
Sukati. Dalam pertemuannya, Sukati menceritakan perihal kehidupannya.
Ternyata Sukati dengan suaminya telah bercerai. Akhirnya hubungan Karmanto
dengan Sukati kembali dekat, hingga pada akhirnya mereka menikah tanpa
sepengetahuan Sukati. Sukati yang sedang hamil tua, gelisah karena Karmanto
yang jarang pulang.
Sukati bertekad menyusul ke Surabaya. Di Surabaya, Sukati harus
menerima kenyataan pahit bahwa suaminya telah menikah kembali. Karena sakit
hatinya, Sukati kemudian memutuskan untuk pulang kembali ke Solo. Pada
akhirnya Karmanto dengan Sukati bercerai. Sukati berdagang batik untuk
menyambung hidup setelah dia bercerai dengan suaminya. Suatu ketika, Sukati
bertemu dengan seorang laki-laki tua di sebuah bus. Laki-laki itu mengatakan
kalau dirinya adalah orang kaya raya, dan sekarang sedang mencari seorang
wanita untuk dinikahinya. Mendengar perkataan laki-laki tua itu, Sukati tergiur
untuk menjadi istrinya, karena Sukati gelap harta. Sukati pun bersedia dinikahi
oleh laki-laki tua itu. Kemudian, laki-laki itu mengajaknya ke sebuah losmen di
Semarang. Di losmen itu, Pak Budjo nama laki-laki yang mengajak Sukati
memberikan cek senilai 5 juta kepada Sukati. Ketika akan makan di sebuah
restoran, Pak Budjo berdalih bahwa dompetnya tertinggal, dan meminta ijin untuk
mengambil dompetnya di kamar. Sukati yang tidak menaruh curiga sedikit pun
mempersilahkan Pak Budjo untuk mengambil dompetnya. Seketika itu pula, Pak
Budjo pergi meninggalkan Sukati sendiri di restoran dengan membawa tas Sukati
yang di dalamnya berisi uang 400 ribu. Melihat ulasan cerita yang telah
disampaikan di atas, dapat diambil sebuah pelajaran bahwa sebagai manusia
hendaknya juga harus waspada terhadap orang yang baru dikenal, jangan terlalu
mudah percaya dengan mulut manis orang yang tidak dikenal, agar kejadian
seperti yang dialami Sukati terulang.
BAB III
METODE PENELITIAN
Beberapa hal yang akan dijelaskan dalam metode penelitian, diantaranya
sifat penelitian, sumber data, metode analisis data, dan metode penyajian hasil
analisis data.
A. Sifat Penelitian
Sifat penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, yaitu penyajian data
berdasarkan keadaan objek penelitian pada saat sekarang, berdasarkan pada fakta-
fakta yang ada (Hadari Nawawi dan Mimi Martini, 1996: 4). Dalam penelitian
kualitatif ini data yang terkumpul berbentuk kata-kata. Penelitian ini berusaha
untuk mendeskripsikan data-data kebahasaan terutama mengenai tuturan-tuturan
sebagaimana adanya. Data yang diperoleh dalam penelitian ini, selanjutnya diolah
dengan cermat sehingga menghasilkan penafsiran yang kuat dan objektif.
B. Sumber Data dan Data
Suatu penelitian tentu diawali dengan pengumpulan data yang sesuai
dengan tujuan. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan adanya data yang memadai.
Adapun sumber data dalam penelitian ini berupa naskah atau teks novel Asmara
Tanpa Weweka karya Widi Widajat, yang diterbitkan oleh Fa. Nasional-Sala
tahun 1964.
Data penelitian ini berupa data tulis yang berbentuk kalimat berbahasa
Jawa yang mengandung kohesi dan koherensi dalam wacana novel berbahasa
Jawa Asmara Tanpa Weweka karya Widi Widajat.
C. Metode Pengumpulan Data
Tahap pengumpulan data menggunakan metode simak atau penyimakan.
Metode simak adalah metode pengumpulan data dengan menyimak data
(Sudaryanto, 1998: 2). Tekniknya yang digunakan yaitu metode pustaka dengan
membagi wacana menjadi beberapa kalimat untuk dikelompokkan dan dianalisis
berdasarkan unsur pembentuknya kemudian diteruskan menggunakan teknik dasar
sadap dan teknik lanjutannya teknik catat. Teknik sadap yaitu untuk mendapatkan
data pertama-tama dengan segenap kecerdikan dan kemauan menyadap dari
sumber data tertulis berupa novel berbahasa Jawa dan teknik lanjutannya adalah
teknik catat yaitu pencatatan dari berbagai buku/ referensi yang berkaitan dengan
wacana novel.
D. Metode Analisis Data
Metode adalah cara mendekati, mengamati, menganalisis dan menjelaskan
fenomena (Fatimah Djajasudarma, 1993: 2). Penelitian ini akan mengkaji satuan
bahasa yaitu wacana. Kalimat-kalimat pembentuk wacana tidak dianalisis secara
sendiri-sendiri, tetapi dalam satu kesatuan wacana yang padu antara bentuk dan
maknanya. Metode yang digunakan dalam analisis data ini menggunakan metode
distribusional dan metode padan.
1. Metode Distribusional
Metode distribusional adalah metode analisis data dengan alat
penentunya selalu berupa bagian atau unsur dari bahasa objek sasaran
penelitian itu sendiri (Sudaryanto, 1993: 16). Teknik dasar yang digunakan
dalam penelitian ini adalah teknik bagi unsur langsung (BUL). Teknik ini
berfungsi untuk membagi satuan lingual menjadi beberapa unsur, dan unsur-
unsur yang bersangkutan dipandang sebagai bagian yang langsung
membentuk satuan lingual yang dimaksud (Sudaryanto, 1993: 31). Teknik
BUL adalah awal kerja analisis data untuk membagi satuan lingual data-data
yang telah berhasil dikumpulkan menjadi beberapa unsur.
Adapun penerapan teknik BUL sebagai berikut.
(18) Pak Budjo mesem karo mantuk ngijani. Nuli tjlatune, kula boten bade
umuk nak, temenipun kemawon arta ingkang kula simpen ing Bank
punika langkung saking seket juta. Hara tjobi nak kula aturi
manggalih. Pun painggih kula boten rumaos owel manawi sadaja
banda kula wau bade dawah tijang sanes.
‘Pak Budjo tertawa sambil mengangguk membicarakan ceritanya, saya
tidak akan sombong nak, sebenarnya saja uang yang saya simpan di
bank itu lebih dari limapuluh juta. Coba nak saya persilakan berpikir.
Dah saya tidak merasa keberatan jika semua harta benda saya jatuh
kepada orang lain’
Pada data (18) terdapat penanda kohesi gramatikal pronominal
persona I tunggal kula ‘saya’ yang mengacu pada Pak Budjo. Merupakan
referensi endofora kataforis.
Kemudian data (18) dapat dibagi unsur langsungnya sebagai berikut.
(18a) Pak Budjo mesem karo mantuk ngijani. Nuli tjlatune, kula boten bade
umuk nak, temenipun kemawon arta ingkang kula simpen ing Bank
punika langkung saking seket juta.
‘‘Pak Budjo tertawa sambil mengangguk membicarakan ceritanya,
saya tidak akan sombong nak, sebenarnya saja uang yang saya simpan
di bank itu lebih dari limapuluh juta’
(18b) Hara tjobi nak kula aturi manggalih. Pun painggih kula boten rumaos
owel manawi sadaja banda kula wau bade dawah tijang sanes.
‘Coba nak saya persilakan berpikir. Dah saya tidak merasa keberatan
jika semua harta benda saya jatuh kepada orang lain’
Teknik lesap yaitu suatu unsur atau satuan lingual yang menjadi unsur
dari sebuah konstruksi yang dilesapkan atau dihilangkan serta akibat-akibat
struktur apa saja yang terjadi dari pelesapan, atau untuk mengetahui kadar
keintian unsur yang dilesapkan. Selanjutnya dianalisis dengan teknik lesap
sebagai berikut.
(18c) Pak Budjo mesem karo mantuk ngijani. Nuli tjlatune, Ø boten bade
umuk nak, temenipun kemawon arta ingkang Ø simpen ing Bank
punika langkung saking seket juta. Hara tjobi nak Ø aturi manggalih.
Pun painggih Ø boten rumaos owel manawi sadaja banda kula wau
bade dawah tijang sanes.
Kata aku ‘saya’ dalam data (18c) termasuk pronomina persona I, kata
aku ‘saya’ bila dilesapkan kalimat tersebut tidak gramatikal.
Kemudian data (18c) diuji dengan teknik ganti.
(18c) kula kawula boten bade umuk nak * aku * dalem
temenipun kemawon arta ingkang simpen ing Bank punika
langkung saking seket juta.
Dari analisis data (18c) kata kula ‘saya’ sebagai penanda pronomina
persona tunggal I diganti dengan aku ‘aku’ hasilnya tidak gramatikal karena
tingkat tuturnya berbeda yaitu aku ‘saya’ termasuk tingkat tutur karma.
2. Metode Padan
Metode padan ialah metode analisis data yang alat penentunya di luar,
terlepas dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan
(Sumarlam, 2006:71). Metode padan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode padan referensial dengan alat referen untuk mengetahui isi
cerita novel berbahasa Jawa Asmara Tanpa Weweka karya Widi Widayat.
Analisis data pada penelitian ini bersifat kontekstual yaitu analisis data
dengan mempertimbangkan konteks sosial yang melatarbelakangi penggunaan
bahasa pada wacana novel berbahasa Jawa ATW karya Widi Widayat,
sehingga pertautan wacana akan mudah dipahami dengan jelas.
Berikut contoh penerapan metode padan dalam wacana novel berbahasa
Jawa Asmara Tanpa Weweka karya Widi Widayat.
kula kawula *aku *dalem
(19) Lumrahe wong jen ngadepi marang goda iku pantjen sok ora
rumangsa.Malah kadangkala dianggep nemu sawidjining
kanugrahan kang tanpa timbang.
‘Sudah sewajarnya orang yang sedang menghadapi cobaan itu tidak
merasakannya. Namun sering juga dianggap mendapatkan salah satu
keuntungan yang tanpa butuh pertimbangan’
Data (19) merupakan penanda koherensi dalam bentuk klausa yang
dapat dengan mudah dipahami maknanya ‘nemu sawidjining kanugrahan
kang tanpa timbang’ yang mempunyai maksud keberuntungan.
3. Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Metode penyajian hasil analisis data menggunakan metode deskriptif
dan metode informal. Metode deskriptif merupakan metode semata-mata
berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena-fenomena yang secara
empiris hidup pada penutur-penuturnya, sehingga yang dihasilkan adalah
paparan apa adanya, (Sudaryanto, 1993 : 62).
Metode penyajian informal yaitu penyajian hasil analisis data
menggunakan kata-kata biasa atau sederhana agar mudah dipahami
(Sudaryanto, 1993 : 9).
BAB IV
ANALISIS
Bab ini meliputi pembahasan mengenai penanda kohesi yang berupa
kohesi gramatikal dan penanda kohesi leksikal, serta koherensi bahasa Jawa dalam
wacana novel Asmara Tanpa Weweka karya Widi Widayat.
A. Kohesi
Analisis pendekatan mikrotekstual terdiri dari aspek gramatikal dalam
sebuah wacana yang berkaitan dengan aspek bentuk sebagai struktur lahir bahasa.
Ada empat macam aspek gramatikal, yaitu pengacuan (referensi), penyulihan
(substitusi), pelesapan (elipsis), dan perangkaian (konjungsi). Selain aspek
gramatikal, ada aspek lain yaitu aspek leksikal, yakni hubungan antarunsur dalam
wacana semantis. Kohesi leksikal meliputi pengulangan (repetisi), padan kata
(sinonimi), sanding kata (kolokasi), hubungan atas-bawah (hiponimi), lawan kata
(antonimi), dan kesepadanan atau paradigma (ekuivalensi). Berikut dalam
penelitian yang mengambil sebuah novel karya Widi Widayat, akan diuraikan satu
persatu mengenai aspek gramatikal serta aspek leksikal yang terdapat di dalam
novel Asmara Tanpa Weweka.
1. Penanda Kohesi Gramatikal
a. Pengacuan (Referensi)
Pengacuan atau referensi merupakan salah satu jenis kohesi gramatikal
yang berupa satuan lingual tertentu dan mengacu pada satuan lingual lain (atau
suatu acuan) yang mendahului atau mengikutinya. Ada tiga jenis kohesi
gramatikal pengacuan di antaranya; pengacuan persona, pengacuan demontratif,
pengacuan komparatif. Berikut akan dibahas satu persatu mengenai ketiga jenis
pengacuan, yang terdapat pada novel berbahasa Jawa berjudul Asmara Tanpa
Weweka karya Widi Widayat.
1) Pronomina persona
Pengacuan atau referensi yang berupa persona yang ditemukan dalam
novel berbahasa Jawa “Asmara Tanpa Weweka” mencakup persona pertama,
kedua, dan ketiga dalam bentuk bebas maupun terikat, baik tunggal maupun
jamak. Adapun bentuk pronomina tersebut adalah sebagai berikut.
(a) Kata ganti orang pertama, yaitu aku ‘saya’, kula ‘saya’, kawula
‘saya’ dalem ‘saya’.
(b) Kata ganti orang kedua, yaitu kowe ‘kamu’, panjenengan ‘anda’,
sampeyan ‘engkau’.
(c) Kata ganti orang ketiga, yaitu dheweke ‘dia’, penjenenganipun
’beliau’, piyambakipun ‘beliau’.
1.1. Pronomina persona pertama.
Pronomina personal orang pertama yaitu pronomina kata ganti orang
pertama bisa berbentuk terikat maupun bebas. Adapun bentuk tersebut dapat
diamati pada kutipan dalam novel ini.
(1) Karmanto kang rumangsa ora dipretjaja rada anjel atine, wusana panantange : Djeng Ti kurang pretjaja? Aku wani sumpah. Lho tho! Kok bandjur arep sumpah. Lha djeneh sliramu kok maido. Ora kok maido ngono. Mung kuwatir jen lija dina sliramu bandjur lali. Karmanto mesem, muli tjlatune: Sliramu ki katik tjilikan aten temen.
Dakkira ora mung aku mas, nanging saben kenja lan wanita tansah sumelang. Djalaran lumrahe, kang gampang kena ing goda iku prijaji kakung (ATW/5/1964). ‘Karmanto yang merasa tidak dipercaya jengkel hatinya, lalu katanya : Dik Ti tidak percaya? Aku berani bersumpah. Tuh kan! Malah sumpah-sumpah segala. Karena kamu selalu menyangkal. Bukannya tidak percaya begitu. Hanya saja khawatir jika lain hari kamu kemudian lupa. Karmanto tersenyum, lalu dia berkata: Kamu itu kok selalu merajuk. Saya kira bukan hanya aku saja mas, tetapi setiap gadis atau wanita pasti akan khawatir. Karena biasanya, yang mudah tergoda itu laki-laki’
Pronomina yang terdapat pada data di atas adalah kata aku ‘saya’ yang
merupakan pronomina persona I tunggal bentuk bebas, selain itu juga terdapat
enklitik –mu ‘kamu’ yang merupakan pronomina persona I terikat lekat
kanan. Bentuk aku ‘saya’, mengacu pada tokoh Karmanto sedang enklitik-mu
‘kamu’ mengacu pada tokoh Sukati. Dengan ciri-ciri tersebut maka aku ‘
saya’, -mu ‘kamu’ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora
yang anaforis.
Kemudian data di atas diuji dengan teknik BUL yakni wacana di atas
dibagi unsur langsungnya menjadi tiga bagian:
(a). Karmanto kang rumangsa ora dipretjaja rada anjel atine, wusana panantange : Djeng Ti kurang pretjaja? Aku wani sumpah. ‘Karmanto yang merasa tidak dipercaya jengkel hatinya, lalu katanya : Dik Ti tidak percaya? Aku berani bersumpah’.
(b). Lho tho! Kok bandjur arep sumpah. : ’Tuh kan! Malah sumpah-sumpah segala.’
(c). Lha djeneh sliramu kok maido. (d).Ora kok maido ngono. ‘Bukannya tidak percaya’. (e). Mung kuwatir jen lija dina sliramu bandjur lali. ‘Hanya khawatir
saja kalau di lain hari kamu akan lupa’. ‘Karena kamu selalu menyangkal.’
(f). Dak kira ora mung aku mas, nanging saben kenja lan wanita bakal sumelang. ‘Aku kira bukan hanya aku saja, namun setiap wanita pasti akan khawatir’.
(g). Karmanto mesem, muli tjlatune: Sliramu ki katik tjilikan aten temen. ‘Karmanto tersenyum, lalu dia berkata: Kamu itu kok selalu merajuk.’
(h). Dakkira ora mung aku mas, nanging saben kenja lan wanita tansah sumelang ‘Aku kira bukan hanya aku saja mas, tetapi setiap gadis atau wanita pasti akan khawatir.’
(i). Djalaran lumrahe, kang gampang kena ing goda iku prijaji kakung ‘Karena biasanya, yang mudah tergoda itu laki-laki’
Kemudian data-data di atas diuji dengan teknik lesap dan teknik ganti
menjadi sebagai berikut.
(e). Karmanto kang rumangsa ora dipretjaja rada anjel atine, wusana panantange : Djeng Ti kurang pretjaja? Aku wani sumpah. Lho tho! Kok bandjur arep sumpah. Lha djeneh sliramu kok maido. Mung kuwatir jen lija dina Ǿ bandjur lali. ‘Hanya khawatir jika lain hari Ǿ akan lupa
(f) Karmanto mesem, muli tjlatune: Sliramu ki katik tjilikan aten temen. Ǿ kira ora mung Ǿ mas, nanging saben kenja lan wanita bakal sumelang. ‘Karmanto tersenyum, lalu dia berkata: Kamu itu kok selalu merajuk Ǿ kira tidak hanya Ǿ mas, namun setiap wanita pasti akan khawatir’.
Hasil analisis data di atas dengan teknik lesap ternyata pronomina
persona pertama aku ‘ saya’, enklitik –mu ‘kamu’ wajib hadir. Jika
pronomina tersebut dilesapkan maka wacana menjadi tidak gramatikal dan
tidak berterima.
Data selanjutnya diuji dengan teknik ganti pada pronomina persona
pertama aku ‘ saya’, enklitik –mu ‘kamu’ menjadi sebagai berikut.
(e). Karmanto kang rumangsa ora dipretjaja rada anjel atine, wusana panantange : Djeng Ti kurang pretjaja? Aku wani sumpah.
Lho tho! Kok bandjur arep sumpah. Lha djeneh sliramu kok maido. Mung kuwatir jen lija dina {sliramu,*kowe, *sampeyan} bandjur lali. ’Karmanto yang merasa tidak dipercaya jengkel hatinya, lalu katanya : Dik Ti tidak percaya? Aku berani bersumpah. Tuh kan! Malah sumpah-sumpah segala.
Karena kamu selalu menyangkal. Hanya khawatir kalau di lain hari {kamu, *kamu, *kamu}akan lupa’.
(f) Karmanto mesem, muli tjlatune: Sliramu ki katik tjilikan aten temen.
Dak kira ora mung {aku, *kula, *dalem} mas, nanging saben kenja lan wanita bakal sumelang. ‘Karmanto tersenyum, lalu dia berkata: Kamu itu kok selalu merajuk. Aku kira bukan hanya {saya, *saya, *saya} saja, namun setiap wanita pasti akan khawatir’.
Analisis di atas dapat diganti dengan teknik ganti ternyata pronomina
persona aku ‘saya’ diganti dengan kula, dalem ‘saya’ tetap gramatikal,
namun tidak berterima, karena bahasa yang dipakai penutur adalah ragam
ngoko sedangkan bentuk kula ‘saya’ , dalem ‘saya’ merupakan ragam bahasa
krama, jadi tidak berterima bila digunakan dalam percakapan yang
menggunakan ragam bahasa ngoko. Selanjutnya penggunaan enklitik –mu
‘kamu’ diganti dengan kowe, sampeyan ‘kamu/ anda’ tetap gramatikal,
namun juga tetap tidak berterima, sebab penggantinya berupa ragam bahasa
krama dan ngoko kasar, sedangkan tuturan di atas menggunakan ragam
bahasa ngoko alus.
Pronomina persona tunggal, selain dalam bentuk terikat, juga dapat
ditemukan dalam bentuk bebas. Berikut pronominal persona tunggal yang
juga nampak pada novel berbahasa Jawa Asmara Tanpa Weweka karya Widi
Widayat.
(2) Sukati bandjur meneng bae, djalaran rumangsa kalah mapan rembuge. Lan nuli nggered Karmanto, ngadjak menjang alas pinus. Ing sadjro mlaku lon-lonan iku tjlatune Sukati : Mas iba rusaking atiku jen sliramu ora netepi djandji. Mangkono uga djeng, tumrape aku ora beda. Mulane iku antarane aku lan sliramu wadjib ngati-ati, murih ora djugar gegajuhan kita. Aku dak matur dja, adja dadi penggalih. Jen sliramu gelem pretjaja, sing ndjalari dudu aku (ATW/6/1964) ‘Sukati kemudian diam saja, karena merasa dia tidak dapat lagi berdebat. Dan
kemudian mengajak Karmanto ke hutan pinus. Sambil berjalan menuju hutan pinus Sukati berkata : Mas, sungguh sakit hatiku bila kamu tidak menepati janji. Begitu pula dengan aku tidak berbeda, jeng. Maka dari itu antara aku dengan kamu harus hati-hati, selalu menjaga cita-cita kita. Saya mau bilang, tapi jangan marah ya. jika kamu percaya bukan aku penyebabnya’
Unsur aku ‘saya’ pada tuturan di atas mengacu pada tokoh Karmanto
dan Sukati. Pada tuturan tersebut pronomina persona tunggal bentuk bebas
aku ‘saya’ mengacu pada unsur lain yang berada dalam tuturan (teks) yang
disebutkan kemudian yaitu Karmanto (orang yang menuturkan tuturan itu).
Dengan ciri-ciri yang telah disebutkan, maka aku ‘saya’ merupakan jenis
kohesi gramatikal pengacuan katafora (karena acuannya disebutkan kemudian
atau antesedennya berada di sebelah kanan) melalui satuan lingual berupa
pronomina persona tunggal bentuk bebas.
Data di atas, kemudian diuji dengan teknik BUL, yaitu wacana di atas
dibagi unsur langsungnya menjadi berikut.
(a) Sukati bandjur meneng bae, djalaran rumangsa kalah mapan rembuge. ‘Sukati kemudian diam saja, karena merasa dia tidak dapat lagi berdebat. Lan nuli nggered Karmanto, ngadjak menjang alas pinus. Dan kemudian mengajak Karmanto ke hutan pinus.’
(b) Ing sadjro mlaku lon-lonan iku tjlatune Sukati : Mas iba rusaking atiku jen sliramu ora netepi djandji. Sambil berjalan menuju hutan pinus Sukati berkata : Mas, sungguh sakit hatiku bila kamu tidak menepati janji. Begitu pula dengan aku tidak berbeda, jeng.’
(c) Mangkono uga djeng, tumrape aku ora beda. ‘Begitu pula dengan saya tidak berbeda, jeng’.
(d) Mulane iku antarane aku lan sliramu wadjib ngati-ati, murih ora djugar gegajuhan kita. ‘Maka dari itu antara aku dengan kamu harus hati-hati, selalu menjaga cita-cita kita’.
(e) Aku dak matur dja, adja dadi penggalih. ‘Saya mau bilang, tapi jangan marah ya’.
(f) Jen sliramu gele pretjaja, sing ndjalari dudu aku. ‘Jika kamu percaya bukan aku penyebabnya’.
Selanjutnya data tersebut diuji dengan teknik lesap dan teknik ganti
menjadi sebagai berikut.
(c) Mangkono uga djeng, tumrape Ǿ ora beda. ‘Begitu pula dengan Ǿ tidak berbeda, jeng’.
(d) Mulane iku antarane Ǿ lan Ǿ wadjib ngati-ati, murih ora djugar gegajuhan kita. ‘Maka dari itu antara Ǿ dengan Ǿ harus hati-hati, selalu menjaga cita-cita kita’.
(e) Ǿ dak matur dja, adja dadi penggalih. ‘Ǿ mau bilang, tapi jangan marah ya’.
(f) Jen Ǿ gelem pretjaja, sing ndjalari dudu Ǿ. ‘Jika Ǿ percaya bukan Ǿ penyebabnya’.
Hasil analisis di atas dengan teknik lesap ternyata pronomina persona
pertama aku ‘saya’ wajib hadir. Jika pronomina tersebut dilesapkan maka
wacana menjadi tidak gramatikal dan tidak berterima.
Data yang disampaikan di atas kemudian kembali diuji dengan teknik
ganti pada pronomina persona orang pertama aku ‘saya’ menjadi sebagai
berikut.
(c) Mangkono uga djeng, tumrape {aku, *kula, *dalem} ora beda. ‘Begitu pula dengan saya tidak berbeda, jeng’.
(d) Mulane iku antarane {aku, *kula, *dalem} lan sliramu {sliramu, *kowe, *panjenengan} wadjib ngati-ati, murih ora djugar gegajuhan kita. ‘Maka dari itu antara aku dengan kamu harus hati-hati, selalu menjaga cita-cita kita’.
(e) {Aku, *kula, *dalem} dak matur dja, adja dadi penggalih. ‘Saya mau bilang, tapi jangan marah ya’.
(f) Jen {sliramu, *kowe, *panjenengan} gelem pretjaja, sing ndjalari dudu {aku, *kula, *dalem}. ‘Jika kamu percaya bukan aku penyebabnya’.
Setelah diuji dengan teknik ganti ternyata bentuk aku ‘saya’, sliramu
‘kamu’ tidak dapat digantikan dengan kata kula ‘saya’, dalem ‘saya’, kowe
‘kamu’, panjenengan ‘anda’. Hal ini disebabkan karena tidak berterima dan
tidak saling menggantikan walaupun dalam satu kelas kata, karena ragam
bahasanya. Penggunaan kata kula ‘saya’, dalem ‘saya’ termasuk ke dalam
ragam bahasa Jawa krama.
1.2. Pronomina persona kedua
Di samping pronomina persona tunggal (bebas dan terikat) juga
ditemukan pengacuan persona kedua seperti yang nampak pada tuturan
berikut dalam novel Asmara Tanpa Weweka karya Widi Widayat.
Mangkono uga djeng, tumrape aku ora beda. Mulane iku antarane aku lan sliramu wadjib ngati-ati, murih ora djugar gegajuhan kita. Aku dak matur dja, adja dadi penggalih. Jen sliramu gelem pretjaja, sing ndjalari dudu aku (ATW/6/1964) ‘Begitu pula dengan aku tidak berbeda, jeng. Maka dari itu antara aku dengan kamu harus hati-hati, selalu menjaga cita-cita kita. Saya mau bilang, tapi jangan marah ya. jika kamu percaya bukan aku penyebabnya’
Terlihat pada tuturan di atas menunjukkan pemakaian pronomina
persona kedua tunggal bentuk bebas sliramu ‘kamu’ yang mengacu pada
tokoh Sukati. Pada tuturan tersebut pronomina persona kedua bebas sliramu
‘kamu’ mengacu pada unsur lain yang berada dalam tuturan (teks) yang
disebutkan kemudian yaitu Karmanto (orang yang menuturkan tuturan itu).
Dengan ciri-ciri yang telah disebutkan, maka sliramu ‘kamu’ merupakan
jenis kohesi gramatikal pengacuan katafora (karena acuannya disebutkan
kemudian atau antesedennya berada di sebelah kanan) melalui satuan lingual
berupa pronomina persona kedua bentuk bebas.
Pada data di atas kemudian diuji dengan menggunakan teknik BUL
menjadi sebagai berikut.
(a) Mangkono uga djeng, tumrape aku ora beda. ‘Begitu pula dengan saya tidak berbeda, jeng’.
(b) Mulane iku antarane aku lan sliramu wadjib ngati-ati, murih ora djugar gegajuhan kita. ‘Maka dari itu antara aku dengan kamu harus hati-hati, selalu menjaga cita-cita kita’.
(c) Aku dak matur dja, adja dadi penggalih. ‘Saya mau bilang ya, tapi jangan marah’.
(d) Jen sliramu gelem pretjaja, sing ndjalari dudu aku. ‘Jika kamu mau percaya, yang memulai bukan aku’.
Data di atas yang telah diuji dengan menggunakan teknik BUL,
kemudian diuji dengan menggunakan teknik lesap dan teknik ganti yang
hasilnya sebagai berikut.
(a) Mangkono uga Ǿ, tumrape aku ora beda. ‘Begitu pula dengan aku, tidak berbeda, Ǿ’.
(b) Mulane iku antarane aku lan Ǿ wadjib ngati-ati, murih ora djugar gegajuhan kita. ‘Maka dari itu antara aku dengan Ǿ harus hati-hati, selalu menjaga cita-cita kita’.
(d) Jen Ǿ gelem pretjaja, sing ndjalari dudu aku. ‘Jika Ǿ percaya, yang memulai bukan aku’.
Hasil analisis dari pengujian di atas dapat disimpulkan bahwa setelah
dilesapkan ternyata tetap gramatikal dan berterima, namun kurang
memberikan informasi yang lengkap. Kemudian data di atas diuji dengan
teknik ganti menjadi sebagai berikut.
Data yang disampaikan di atas kemudian kembali diuji dengan teknik
ganti pada pronomina persona orang pertama sliramu ‘kamu’ menjadi sebagai
berikut.
(a) Mangkono uga djeng {djeng, *kowe, *sliramu}, tumrape aku ora beda. ‘Begitu pula dengan saya tidak berbeda, jeng’.
(b) Mulane iku antarane aku lan sliramu {sliramu, *kowe, *panjenengan} wadjib ngati-ati, murih ora djugar gegajuhan kita. ‘Maka dari itu antara aku dengan kamu harus hati-hati, selalu menjaga cita-cita kita’.
(d) Jen {sliramu, *kowe, *panjenengan} gelem pretjaja, sing ndjalari dudu aku. ‘Jika kamu percaya bukan aku penyebabnya’.
Setelah diuji dengan teknik ganti ternyata bentuk djeng ‘kamu’,
sliramu ‘kamu’ tidak dapat digantikan dengan kata kowe ‘saya’,
panjenengan ‘anda’. Hal ini disebabkan karena tidak berterima dan tidak
saling menggantikan walaupun dalam satu kelas kata, karena ragam
bahasanya. Penggunaan kata djeng ‘kamu’, sliramu ‘kamu’ termasuk ke
dalam ragam bahasa Jawa krama.
1.3. Pronomina persona ketiga
Di samping pronomina persona tunggal (bebas dan terikat) juga
ditemukan pengacuan persona kedua dan ketiga tunggal seperti yang nampak
pada tuturan berikut dalam novel Asmara Tanpa Weweka karya Widi
Widayat.
(3) Ora antara suwe, deweke sakloron wis ngliwati kreteg. Kebak ing rasa kang ndjalari ora sajah lan suwe, lan anane mung tansah seneng. Lakune Karmanto lan Sukati terus reruntungan. Sarehne wong tuwane Karmanto lan Sukati sakloron wis pada sarudjuk ing rembug, mula wekasane kanti tanpa didisiki pesta pepantjangan, Sukati lan Karmanto sida didaupake kanti diestreni dening kadang karuh pawong mitrane. (ATW/6/1964) ‘Tidak berapa lama, mereka berdua sudah melewati jembatan. Penuh rasa yang membuatnya tidak terlalu lama, dan yang ada hanyalah rasa senang dan bahagia. Hubungan Karmanto dengan Sukati terus terjalin. Kedua orang tua Karmanto dengan Sukati sama-sama telah setuju, maka untuk meresmikannya diadakan pesta pertunangan, Sukati dengan Karanto akhirnya dinikahkan dengan disaksikan para sanak saudaranya dan beberapa temannya.’
Terlihat pada tuturan di atas menunjukkan pemakaian pronomina
persona ketiga tunggal bentuk bebas deweke ‘dia’ yang mengacu pada tokoh
Karmanto dan Sukati, yang memiliki arti memberitakan bahwa Karmanto dan
Sukati telah melewati jembatan. Kemudian pronomina tersebut dalam bentuk
terikat lekat kanan menjadi bentuk –e/ -ne ‘nya’ seperti pada kata wong
tuwane ‘orang tuanya’. Unsur tersebut mengacu pada realitas nama yang
sudah disebitkan sebelumnya, atau mengacu pada anteseden di sebelah
kirinya, yaitu Sukati. Pengacuan yang demikian dapat disebut dengan
pengacuan endofora yang anaforis.
Pada data di atas kemudian diuji dengan menggunakan tekik BUL
menjadi sebagai berikut.
(a) Ora antara suwe, deweke sakloron wis ngliwati kreteg. ‘Tidak berapa lama, mereka berdua sudah melewati jembatan’.
(b) Kebak ing rasa kang ndjalari ora sajah lan suwe, lan anane mung tansah seneng. ‘Penuh rasa yang membuatnya tidak terlalu lama, dan yang ada hanyalah rasa senang dan bahagia’.
(c) Lakune Karmanto lan Sukati terus reruntungan. ‘Hubungan Karmanto dengan Sukati terus terjalin’.
(d) Sarehne wong tuwane Karmanto lan Sukati sakloron wis pada sarudjuk ing rembug, mula wekasane kanti tanpa didisiki pesta pepantjangan, Sukati lan Karmanto sida didaupake kanti diestreni dening kadang karuh pawong mitrane. ‘Kedua orang tua Karmanto dengan Sukati sama-sama telah setuju, maka untuk meresmikannya diadakan pesta pertunangan, Sukati dengan Karanto akhirnya dinikahkan dengan disaksikan para sanak saudaranya dan beberapa temannya’.
Data di atas yang telah diuji dengan menggunakan teknik BUL,
kemudian diuji dengan menggunakan teknik lesap dan teknik ganti yang
hasilnya sebagai berikut.
(a) Ora antara suwe, Ø sakloron wis ngliwati kreteg. ‘Tidak berapa lama, Ø berdua sudah melewati jembatan’.
(b) Kebak ing rasa kang ndjalari ora sajah lan suwe, lan Ø mung tansah seneng. ‘Penuh rasa yang membuatnya tidak terlalu lama, dan Ø hanyalah rasa senang dan bahagia’.
(c) Ø Karmanto lan Sukati terus reruntungan. ‘Ø Karmanto dengan Sukati terus terjalin’.
(d) Sarehne wong tuwa Ø Karmanto lan Sukati sakloron wis pada sarudjuk ing rembug, mula wekasa Ø kanti tanpa didisiki pesta pepantjangan, Sukati lan Karmanto sida didaupa Ø kanti diestreni dening kadang karuh pawong mitrane. ‘Kedua orang tua Karmanto
dengan Sukati sama-sama telah setuju, maka untuk meresmikannya diadakan pesta pertunangan, Sukati dengan Karmanto akhirnya dinikahkan dengan disaksikan para sanak saudaranya dan beberapa temannya’.
Hasil analisis dari pengujian di atas dapat disimpulkan bahwa setelah
dilesapkan ternyata tetap gramatikal dan berterima, namun kurang
memberikan informasi yang lengkap. Kemudian data di atas diuji dengan
teknik ganti menjadi sebagai berikut.
(a) Ora antara suwe, {dheweke, *piyambake, *panjengengan} sakloron wis ngliwati kreteg. ‘Tidak berapa lama, {mereka, mereka, mereka} berdua sudah melewati jembatan’.
(b) Kebak ing rasa kang ndjalari ora sajah lan suwe, lan ana{-ne, *piyambake} mung tansah seneng. ‘Penuh rasa yang membuatnya tidak terlalu lama, dan yang ada hanyalah rasa senang dan bahagia’.
(c) Laku {-ne, dheweke, *piyambake} Karmanto lan Sukati terus reruntungan. ‘Hubungan Karmanto dengan Sukati terus terjalin’.
(d) Sarehne wong tuwa{-ne, dheweke, *piyambake} Karmanto lan Sukati sakloron wis pada sarudjuk ing rembug, mula wekasa{-ne, *piyambake } kanti tanpa didisiki pesta pepantjangan, Sukati lan Karmanto sida didaupake kanti diestreni dening kadang karuh pawong mitra{-ne, *dheweke, piyambake}. ‘Kedua orang tua Karmanto dengan Sukati sama-sama telah setuju, maka untuk meresmikannya diadakan pesta pertunangan, Sukati dengan Karanto akhirnya dinikahkan dengan disaksikan para sanak saudaranya dan beberapa temannya’.
Hasil di atas, penggunaan kata –ne ‘nya’ diganti dengan dheweke
‘dia’ tidak gramatikal dan tidak berterima, sebab bentuk pengganti berupa
ragam bahasa krama, sedangkan pada data di atas ragam yang digunakan
adalah ragam bahasa ngoko.
2) Pronomina demonstratif
Pronomina demonstratif atau kata ganti penunjuk dibedakan menjadi
pronomina demonstratif substantif, lokatif, dimensional, deskriptif, dan temporal.
Adapun penanda kohesi pronominal demonstratif tersebut dapat dilihat pada
wacana berikut.
a. Pronominal demonstratif substatif
Pronominal demonstrative substatif yang ditemukan yaitu, iki ‘ini’, iku
‘itu’. Dapat dilihat pada wacama dalam novel Asmara Tanpa Weweka
berikut.
(4) Malah tumrape Karmanto, ana ing sadjroning bis iki atine rumangsa marem lan mulja. Djalaran Sukati tansah tjekelan lengene. Lan saben bise mengok malah bandjur ngrangkul. Kahanan ing sadjroning bis iki malah aweh kalonggaran kang nikmat. Jen ora kepepet butuh tjekelan,mestine Sukati ora bakal gelem tjekelan kaja mangkono ing tengahe wong akeh (ATW/4/1964) ‘Dalam batin Karmanto, di dalam bis yang sedang melaju hatinya merasa bahagia. Karena Sukati selalu menggenggam tangannya. Dan setiap bisnya belok malah terus memeluk. Keadaan di dalam bis ini semakin memberikan keleluasaan yang menyenangkan. Jika tidak terdesak untuk pegangan, semestinya Sukati tidak akan mau memegang seperti itu di tengah-tengah orang banyak.’
Pada data di atas ditemukan penanda kohesi berupa pronominal
demonstratif substatif, yaitu iki ’ini’. Pronominal tersebut mengacu secara
endofora anaforis yang menunjuk pada kahanan ing sadjroning bis ‘keadaan
di dalam bis’. Data tersebut kemudian dibagi atas unsur langsungnya menjadi
berikut.
a. Malah tumrape Karmanto, ana ing sadjroning bis iki atine rumangsa marem lan mulja. ‘Dalam batin Karmanto, di dalam bis yang sedang melaju hatinya merasa bahagia.’
b. Djalaran Sukati tansah tjekelan lengene. ‘Karena Sukati selalu menggenggam tangannya.’
c. Lan saben bise menggok malah bandjur ngrangkul ‘dan setiap bisnya belok malah semakin memeluk’.
d. Kahanan ing sadjroning bis iki malah aweh kalonggaran kang nikmat. Jen ora kepepet butuh tjekelan,mestine Sukati ora bakal gelem tjekelan kaja mangkono ing tengahe wong akeh ‘Keadaan di dalam bis ini semakin memberikan keleluasaan yang menyenangkan. Jika tidak terdesak untuk pegangan, semestinya Sukati tidak akan mau memegang seperti itu di tengah-tengah orang banyak.’
Data b dianalisis dengan teknik lanjutan yaitu teknik lesap untuk
mengetahui kadar keintian unsur yang dilesapkan
e. Malah tumrape Karmanto, ana ing sadjroning bis iki atine rumangsa marem lan mulja. Djalaran Sukati tansah tjekelan lengene. Lan saben bise mengok malah bandjur ngrangkul.* kahanan ing sadjroning bis θ malah aweh kalonggaran kang nikmat. Jen ora kepepet butuh tjekelan,mestine Sukati ora bakal gelem tjekelan kaja mangkono ing tengahe wong akeh ‘Keadaan di dalam bis θ semakin memberikan keleluasaan yang menyenangkan. Jika tidak terdesak untuk pegangan, semestinya Sukati tidak akan mau memegang seperti itu di tengah-tengah orang banyak.’
Hasil analisis pada data c tidak gramatikal dan tidak berterima.
Pronominal demonstratif substatif iki ‘ini’ wajib hadir, karena merupakan
bagian dari kalimat. Selanjutnya data c dianalisis dengan teknik ganti menjadi
berikut.
f. Malah tumrape Karmanto, ana ing sadjroning bis iki atine rumangsa marem lan mulja. Djalaran Sukati tansah tjekelan lengene. Lan saben bise mengok malah bandjur ngrangkul. Kahanan ing sadjroning bis {punika, niki} malah aweh kalonggaran kang nikmat. Jen ora kepepet butuh tjekelan,mestine Sukati ora bakal gelem tjekelan kaja mangkono ing tengahe wong akeh ‘Keadaan di dalam bis {ini, ini} semakin memberikan keleluasaan yang menyenangkan. Jika tidak terdesak untuk pegangan, semestinya Sukati tidak akan mau memegang seperti itu di tengah-tengah orang banyak.’
Referensi demonstratif substantif berbentuk iki ‘ini’ tidak dapat
diganti dengan punika ‘ini’. Artinya bahwa kedua kata tersebut tidak bisa
saling menggantikan dan tidak menujukkan bahwa unsure pengganti dan
unsur yang diganti tidak mempunyai kesamaan kelas kata. Dengan kata lain,
tuturan di atas menggunakan ragam ngoko, sedangkan unsure penggantinya
menggunakan ragam krama.
(5) Prija kang padatane tansah njanding bodjo lan diladeni dening bodjo kanti asih lan tresna iku, manawa bandjur urip idjen ing paran, kaupamakna murid kang isih sinau mangkono, ngedepi udjian kang pungkasan. Jen kaja mau bisa nguwasani ati lan pikirane, ana ing paran ora bakal bandjur malik tingal, ora bandjur ketjantol ing wanita lijane. Kang mangkono iku ateges prija mau bisa lulus saka udjian kang lerege bisa njiptakake bebrajan mulja. (ATW/11/1964) ‘Lelaki yang biasanya selalu berdampingan dengan istri dan dilayani oleh istri dengan penuh kasih sayang itu, misalnya kemudian hidup sendiri di suatu daerah, umpamanya saja seorang siswa yang sedang belajar, sedang menghadapi ujian akhir. Jika mampu menguasai hati dan pikirannya, tinggal jauh tidaklah akan kesulitan, kemudian tidak tertarik dengan wanita lain. Yang demikian itu artinya lelaki tersebut tidak lulus dari ujiannya yang seharusnya dapat menciptakan kehidupan rumah tangga yang bahagia.’
Data (5) ditemukan pronominal demonstratif substanstif yaitu iku
‘itu’. Kata iku ’itu’ mengacu pada kalimat manawa bandjur urip idjen ing
paran ‘kalau saja lalu hidup sendirian di tempat yang jauh’. Pada data
tersebut selanjutnya dibagi atas unsur langsungnya, menjadi sebagai berikut.
a. Prija kang padatane tansah njanding bodjo lan diladeni dening bodjo kanti asih lan tresna iku, manawa bandjur urip idjen ing paran, kaupamakna murid kang isih sinau mangkono, ngedepi udjian kang pungkasan. ‘Lelaki yang biasanya selalu berdampingan dengan istri dan dilayani oleh istri dengan penuh kasih sayang itu, misalnya kemudian hidup sendiri di suatu daerah, umpamanya saja seorang siswa yang sedang belajar, sedang menghadapi ujian akhir’.
b. Jen kaja mau bisa nguwasani ati lan pikirane, ana ing paran ora bakal bandjur malik tingal, ora bandjur ketjantol ing wanita lijane. kang lerege bisa njiptakake bebrajan mulja. Kang mangkono iku ateges prija mau bisa lulus saka udjian ‘Jika mampu menguasai hati dan pikirannya, tinggal jauh tidaklah akan kesulitan, kemudian tidak tertarik dengan wanita lain. Yang demikian itu artinya lelaki tersebut tidak lulus dari ujiannya yang seharusnya dapat menciptakan kehidupan rumah tangga yang bahagia.’
Data a dianalisis dengan teknik lanjutan yaitu teknik lesap untuk
mengetahui kadar keintian unsure yang dilesapkan.
c. * Prija kang padatane tansah njanding bodjo lan diladeni dening bodjo kanti asih lan tresna θ manawa bandjur urip idjen ing paran, kaupamakna murid kang isih sinau mangkono, ngedepi udjian kang pungkasan. ‘Lelaki yang biasanya selalu berdampingan dengan istri dan dilayani oleh istri dengan penuh kasih sayang θ, misalnya kemudian hidup sendiri di suatu daerah, umpamanya saja seorang siswa yang sedang belajar, sedang menghadapi ujian akhir’.
Hasil analisis pada data c gramatikal dan berterima. Pronominal
demonstratif substanstif iku ‘itu’ wajib hadir, hanya memperjelas kalimat.
Selanjutnya dari data c dianalisis dengan teknik menjadi berikut.
d. Prija kang padatane tansah njanding bodjo lan diladeni dening bodjo kanti asih lan tresna {punika, nika} manawa bandjur urip idjen ing paran, kaupamakna murid kang isih sinau mangkono, ngedepi udjian kang pungkasan. ‘Lelaki yang biasanya selalu berdampingan dengan istri dan dilayani oleh istri dengan penuh kasih sayang {itu, itu}, misalnya kemudian hidup sendiri di suatu daerah, umpamanya saja seorang siswa yang sedang belajar, sedang menghadapi ujian akhir’.
Referensi demonstratif substantif berbentuk iku ‘itu’ tidak dapat
diganti dengan punika ‘ini’. Artinya bahwa kedua kata tersebut tidak bisa
saling menggantikan dan tidak menujukkan bahwa unsur pengganti dan
unsure yang diganti tidak mempunyai kesamaan kelas kata. Dengan kata lain,
tuturan di atas menggunakan ragam ngoko, sedangkan unsure penggantinya
menggunakan ragam krama.
b. Pronominal demonstratif lokatif
Pronominal demonstratif lokatif yang ditemukan, yaitu menyang
Tawangmangu ‘ke Tawangmangu’, ing ‘di’, ing Surabaja ‘di Surabaya’,
kene ‘sini’, neng ‘di’, kono ‘situ’. Dapat dilihat pada wacana dalam novel
Asmara Tanpa Weweka karya Widi Widayat berikut.
(6). Djalaran lungane esuk iki butuh menjang Tawangmangu. Butuh seneng-seneng ing hawa adem. Apa maneh tumrape Karmanto lan Sukati kang nedenge adon asmara, lungane menjang Tawangmangu iki sangu ati kang seneng lan rasa mongkog, dene sakloron bisa sarimbit ing papan kang njata bisa njenengke ati (ATW/4/1954) ‘Karena memang perginya di pagi ini memang ke Tawangmangu. Untuk bersenang-senang di hawa yang dingin. Apalagi antara Karmanto dan Sukati yang sedang dilanda asmara, kepergiannya ke Tawangmangu diliputi rasa senang dan bahagia, karena mereka berdua dapat berduaan di tempat yang dapat menyenangkan hatinya’
Wacana di atas ditemukan penanda kohesi berupa pronomina
demonstratif lokatif menyang Tawangmangu ‘ke Tawangmangu’ dan ing
‘di’. Selanjutnya data di atas diuji dengan teknik BUL, menjadi berikut.
a. Djalaran lungane esuk iki butuh menjang Tawangmangu. ‘Karena memang perginya di pagi ini memang ke ‘Tawangmangu.
b. Butuh seneng-seneng ing hawa adem. ‘Untuk bersenang-senang di hawa yang dingin.’
c. Apa maneh tumrape Karmanto lan Sukati kang nedenge adon asmara, lungane menjang Tawangmangu iki sangu ati kang seneng lan rasa mongkog, dene sakloron bisa sarimbit ing papan kang njata bisa njenengke ati. ‘Apalagi antara Karmanto dan Sukati yang sedang dilanda asmara, kepergiannya ke Tawangmangu diliputi rasa senang dan bahagia, karena mereka berdua dapat berduaan di tempat yang dapat menyenangkan hatinya’
Kemudian data a diuji dengan teknik lesap pada kata menyang ‘ke’,
dan ing ‘di’, menjadi sebagai berikut.
Djalaran lungane esuk iki butuh θ Tawangmangu. ‘Karena memang perginya di pagi ini memang θ Tawangmangu. Butuh seneng-seneng θ hawa adem. ‘Untuk bersenang-senang θ hawa yang dingin.’ Apa maneh tumrape Karmanto lan Sukati kang nedenge adon asmara, lungane menjang Tawangmangu iki sangu ati kang seneng lan rasa mongkog, dene sakloron bisa sarimbit ing papan kang njata bisa njenengke ati. ‘Karena memang perginya di pagi ini θ tawangmangu. Untuk bersenang-senang θ hawa dingin. Apalagi antara Karmanto dan Sukati yang sedang dilanda asmara, kepergiannya ke Tawangmangu diliputi rasa senang dan bahagia, karena mereka berdua dapat berduaan di tempat yang dapat menyenangkan hatinya’
Hasil analisis di atas setelah mengalami lesapan pada pronomina
demonstratif lokatif menyang ‘ke’ dan ing ‘di’, wacana di atas tidak
gramatikal dan tidak berterima, sehingga maknanya pun menjadi berbeda.
Data c tidak menjelaskan posisinya seperti pada data a yang posisinya dekat
dengan penutur. Selanjutnya data c dianalisis dengan teknik ganti menjadi
berikut.
Djalaran lungane esuk iki butuh {neng} Tawangmangu. Butuh seneng-seneng {ana} hawa adem. Apa maneh tumrape Karmanto lan Sukati kang nedenge adon asmara, lungane menjang Tawangmangu iki sangu ati kang seneng lan rasa mongkog, dene sakloron bisa sarimbit ing papan kang njata bisa njenengke ati ‘Karena memang perginya di pagi ini {ke} Tawangmangu. Untuk bersenang-senang {di} hawa dingin. Apalagi antara Karmanto dan Sukati yang sedang dilanda asmara, kepergiannya ke Tawangmangu diliputi rasa senang dan bahagia, karena mereka berdua dapat berduaan di tempat yang dapat menyenangkan hatinya’
Data di atas setelah dianalisis dengan teknik ganti, nampak bahwa
bentuk menyang ‘ke’ dapat digantikan dengan neng ‘ke’, artinya kata
tersebut bisa saling mengagantikan dan ini menunjukkan bahwa unsur
pengganti dan unsur yang diganti mempunyai kadar kesamaan kelas kata
yang sama.
(7). Bareng wis tekan ing Alas Pinus, Karmanto lan Sukati bandjur lungguh djedjer ing watu gedhe. Saka ing papan iki sakloron isih bisa njawanggrodjogan sewu sarta wong sapirang-pirang kang lagi ngematake kumepjuring banju saka grodjogan. (ATW/6/1964). ‘Setelah sampai di hutan pinus, Karmanto dan sukati kemudian duduk bersebelahan di batu besar. Dari tempat inilah keduanya masih bisa memandang air terjun dan beberapa orang yang sedang menikmati jatuhnya air dari air terjun.’
Wacana tersebut ditemukan penanda kohesi berupa pronomina
demonstratif lokatif ing ‘di’ menunjukkan bahwa Karmanto dan Sukati telah
sampai di Tawangmangu yakni di hutan pinus, selain itu juga terdapat kata
lain saka ‘dari’ yang mengacu pada hutan pinus.
Data 7 diuji dengan teknik lesap pada kata ing Alas Pinus ‘di hutan
pinus’, saka ing papan iki ‘dari tempat ini’ menjadi berikut.
a. Bareng wis tekan θ, Karmanto lan Sukati bandjur lungguh θ watu gedhe. Θ papan iki sakloron isih bisa njawang grodjogan sewu sarta wong sapirang-pirang kang lagi ngematake kumepjuring banju saka grodjogan ‘Setelah sampai Θ, Karmanto dan Sukati kemudian duduk bersebelahan Θ. Θ tempat inilah keduanya masih bisa memandang air terjun dan beberapa orang yang sedang menikmati jatuhnya air dari air terjun.’
Hasil analisis di atas pada pronomina demonstratif lokatif ing ‘ di’ dan
saka ‘dari’ setelah dilesapkan wacana di atas masih tetap gramatikal dan
berterima tetapi maknanya berubah. Pronomina tersebut tidak wajib hadir
dalam wacana di atas. Selanjutnya dari hasil analisis di atas dianalisis kembali
dengan teknik ganti menjadi berikut.
b. Bareng wis tekan {kana, ing alas pinus}Karmanto lanSukati bandjur lungguh {kono, ing watu gedhe}. {ing, saka} papan iki
sakloron isih bisa njawang grodjogan sewu sarta wong sapirang-pirang kang lagi ngematake kumepjuring banju saka grodjogan. ‘Setelah sampai {sana, si hutan pinus} Karmanto dan Sukati kemudian duduk bersebelahan {di sana, di batu besar}. {di, dari} tempat inilah keduanya masih bisa memandang air terjun dan beberapa orang yang sedang menikmati jatuhnya air dari air terjun.’
Data b setelah dianalisis dengan teknik ganti, nampak bahwa bentuk
ing Alas Pinus ‘di hutan pinus’ dapat digantikan dengan kata kana ‘sana’,
sebaliknya kata kana ‘sana’ dapat diganti dengan kata ing Alas Pinus ‘di
hutan pinus’. Artinya kedua kata tersebut bisa saling menggantikan dan ini
menunjukkan bahwa unsur pengganti dan unsur yang diganti mempunyai
kadar kesamaan kelas kata yang sama.
(8). Ing sawidjining sore nalikane karmanto butuh tuku buku ing Peneleh, ing toko buku “Pembina”, djebul ora kanjana kepepag karo Prihati, wanita kang tau ditresnani. Karmanto kaget, dene Prihati uga kaget. Kagete Karmanto dene saiki Prihati kuru lan semu rusak, dene kagete Prihati, dene karmanto kok ana ing kuta Surabaja. Nganti sawatara suwe wong loro mau pada ora bisa kumetjap. “Djeng Prih, sliramu kok ana kene? Pitakone Karmanto mbukani rembug. Lha sampejan teka ja ana kene? Wangsulane Prihati kang uga ngemu pitakonan.” (ATW/13/1964). ‘Di suatu sore ketika Karmanto akan membeli buku di Peneleh, di toko buku “Pembina”, ternyata tidak disangka-sangka bertemu dengan Prihati, wanita yang pernah dicintainya. Karmanto terkejut, begitu pula dengan Prihati yang juga terkejut. Keterkejutan Karmanto mengapa sekarang Prihati terlihat kurus dan memprihatinkan, begitu pula dengan Prihati keterkejutannya, heran mengapa Karmanto berada di Surabaya. Sampai beberapa lama mereka tidak mengucapkan apa-apa. Mbak Prih, kamu kok ada di sini? tanya Karmanto membuka pembicaraan. Lha anda juga ada di sini? jawab Prihati yang juga mengandung pertanyaan’.
Wacana 8 ditemukan pronomina penanda kohesi berupa demonstratif
lokatif kene ‘sini’ yang menunjukkan tokoh Prihati pada novel Asmara Tanpa
Weweka karya Widi Widayat, dan juga penanda kohesi berupa pronomina
demonstratif lokatif kene ‘sini’ yang mengacu pada tokoh Karmanto yang
dekat dengan penutur.
Data di atas, kemudian diuji dengan teknik lesap pada kata kene ‘sini’
menjadi berikut.
a. Ing sawidjining sore nalikane karmanto butuh tuku buku ing Peneleh, ing toko buku “Pembina”, djebul ora kanjana kepepag karo Prihati, wanita kang tau ditresnani. ‘Di suatu sore ketika Karmanto akan membeli buku di Peneleh, di toko buku “Pembina”, ternyata tidak disangka-sangka bertemu dengan Prihati, wanita yang pernah dicintainya.’
b. Karmanto kaget, dene Prihati uga kaget. ‘Karmanto terkejut, begitu pula dengan Prihati yang juga terkejut.’
c. Kagete Karmanto dene saiki Prihati kuru lan semu rusak, dene kagete Prihati, dene karmanto kok ana ing kuta Surabaja. ‘Keterkejutan Karmanto mengapa sekarang Prihati terlihat kurus dan memprihatinkan, begitu pula dengan Prihati keterkejutannya, heran mengapa Karmanto berada di Surabaya.’
d. Nganti sawatara suwe wong loro mau pada ora bisa kumetjap ‘Sampai beberapa lama mereka tidak mengucapkan apa-apa.’
e. Djeng Prih, sliramu kok ana θ? Pitakone Karmanto mbukani rembug. ‘Mbak Prih, kamu kok ada di θ? tanya Karmanto membuka pembicaraan.’
f. Lha sampejan teka ja ana θ? Wangsulane Prihati kang uga ngemu pitakonan.‘Lha kamu juga ada di θ? jawab Prihati yang juga mengandung pertanyaan’.
Hasil analisis data di atas pada pronomina demonstratif lokatif kene
‘sini’ setelah dilesapkan, wacana di atas menjadi tidak gramatikal dan tidak
berterima, bahkan tidak dapat menyampaikan makna yang pas. Dapat
dikatakan selanjutnya, bahwa pronomina tersebut wajib hadir pada wacana di
atas. Selanjutnya dari data yang telah dianalisis, dicoba untuk kembali diuji
dengan teknik ganti. Berikut hasil uji data di atas.
Ing sawidjining sore nalikane karmanto butuh tuku buku ing Peneleh, ing toko buku “Pembina”, djebul ora kanjana kepepag karo Prihati, wanita kang tau ditresnani. Karmanto kaget, dene Prihati uga kaget. Kagete Karmanto dene saiki Prihati kuru lan semu rusak, dene kagete Prihati, dene karmanto kok ana ing kuta Surabaja. Nganti sawatara
suwe wong loro mau pada ora bisa kumetjap. Djeng Prih, sliramu kok ana {kene, kana}? Pitakone Karmanto mbukani rembug. Lha sampejan teka ja ana {kene, kana}? Wangsulane Prihati kang uga ngemu pitakonan. ‘Di suatu sore ketika Karmanto akan membeli buku di Peneleh, di toko buku “Pembina”, ternyata tidak disangka-sangka bertemu dengan Prihati, wanita yang pernah dicintainya. Karmanto terkejut, begitu pula dengan Prihati yang juga terkejut. Keterkejutan Karmanto mengapa sekarang Prihati terlihat kurus dan memprihatinkan, begitu pula dengan Prihati keterkejutannya, heran mengapa Karmanto berada di Surabaya. Sampai beberapa lama mereka tidak mengucapkan apa-apa.Mbak Prih, kamu kok ada di {sini, sana}? tanya Karmanto membuka pembicaraan. Lha anda juga ada di {sini, sana}? jawab Prihati yang juga mengandung pertanyaan’.
Data tersebut, setelah dianalisis dengan teknik ganti, nampak bahwa
bentuk kene ‘sini’ dapat pula diganti dengan bentuk kana ‘sana’, sebaliknya
kata kana ‘sana’ juga dapat diganti dengan kata kene ‘sini’. Artinya kedua
kata tersebut bisa saling menggantikan dan ini menunjukkan bahwa unsur
penganti dan unsur yang diganti mempunyai kadar kesamaan kelas kata yang
sama.
(9). Kanti andap asor, Sukati bandjur pitakon: “Nuwun dik, keparenga kula njuwun priksa, punapa ngriki pondokanipun Karmanto? Prija mau pada pating plinguk. Wusana ana prija kang nganggo katjamata putih, wangsulane ngemu pitakonan uga : “Anu mbak, ingkang pun kersakaken punapa Karmanto pengawai Bank negara, pindahan saking Sala? Inggih,” wangsulane Sukati. “Punapa leres ngriki?”O anu mbak, mas Karmanto sampun dangu pindah saking ngriki, sasampunipun mas Karmanto krama. Pijambakipun sapunika manggen wonten gang I kalijan garwanipun. Katrijos ugi putri saking Sala (ATW/22/1964). ‘Dengan sopan, Sukati kemudian bertanya: “Maaf dik, kalau boleh saya bertanya, apa benar di sini tempat kost Karmanto?” Lelaki tadi terlihat kebingungan. Kemudian ada seorang laki-laki berkacamata putih, jawabannya mengandung sebuah pertanyaan pula: “Anu mbak, apa yang adan maksud apa Karmanto pegawai Bank negara, pindahan dari Solo? “Benar,” jawab Sukati. “Apa benar di sini?” O, begini mbak, mas Karmanto sudah lama pindah dari sini, setelah mas Karmantto menikah. Dia sekarang tinggal di gang I bersama istrinya. Katanya juga berasal dari Solo.’
Wacana 9 ditemukan pronomina penanda kohesi berupa demonstratif
lokatif saking ngriki ‘dari sini’ yang menunjukkan pada kalimat
sasampunipun mas Karmanto krama ‘setelah mas Karmanto menikah’, dan
juga penanda kohesi berupa pronomina demonstratif lokatif manggen wonten
‘tinggal di’ yang mengacu pada kalimat pijambakipun sapunika manggen ‘dia
sekarang tinggal’.
Data di atas, kemudian diuji dengan teknik lesap pada kata saking
ngriki ‘dari sini’, dan manggen wonten ‘tinggal di’ menjadi berikut.
a. Kanti andap asor, Sukati bandjur pitakon: “Nuwun dik, keparenga kula njuwun priksa, punapa θ pondokanipun Karmanto? ‘Dengan sopan, Sukati kemudian bertanya: “Maaf dik, kalau boleh saya bertanya, apa benar θ tempat kost Karmanto?”
b. Prija mau pada pating plinguk.’ Lelaki tadi terlihat kebingungan.’ c. Wusana ana prija kang nganggo katjamata putih, wangsulane
ngemu pitakonan uga : “Anu mbak, ingkang pun kersakaken punapa Karmanto pengawai Bank negara, pindahan saking Sala? . ‘Kemudian ada seorang laki-laki berkacamata putih, jawabannya mengandung sebuah pertanyaan pula: “Anu mbak, apa yang adan maksud apa Karmanto pegawai Bank negara, pindahan dari Solo?’
d. Inggih,” wangsulane Sukati. “Punapa leres θ? “Benar,” jawab Sukati. “Apa benar θ?”
e. O anu mbak, mas Karmanto sampun dangu pindah θ, sasampunipun mas Karmanto krama. ‘O, begini mbak, mas Karmanto sudah lama pindah θ, setelah mas Karmantto menikah.’
f. Pijambakipun sapunika manggen θ gang I kalijan garwanipun. Katrijos ugi putri saking Sala. ‘Dia sekarang θ gang I bersama istrinya. Katanya juga berasal dari Solo.’
Hasil analisis data di atas pada pronomina demonstratif lokatif saking
ngriki ‘dari sini’ dan manggen wonten ‘tinggal di’ setelah dilesapkan,
wacana di atas masih tetap gramatikal dan berterima, tetapi maknanya yang
berubah. Pronomina tersebut tidak wajib hadir pada wacana di atas.
Selanjutnya dari data yang telah dianalisis, dicoba untuk kembali diuji dengan
teknik ganti. Berikut hasil uji data di atas.
a. Kanti andap asor, Sukati bandjur pitakon: “Nuwun dik, keparenga kula njuwun priksa, punapa ngriki pondokanipun Karmanto? Prija mau pada pating plinguk. Wusana ana prija kang nganggo katjamata putih, wangsulane ngemu pitakonan uga : “Anu mbak, ingkang pun kersakaken punapa Karmanto pengawai Bank negara, pindahan saking Sala? Inggih,” wangsulane Sukati. “Punapa leres ngriki?”O anu mbak, mas Karmanto sampun dangu pindah {saking ngriki, manggen wonten}, sasampunipun mas Karmanto krama. Pijambakipun sapunika {manggen wonten, saking ngriki} gang I kalijan garwanipun. Katrijos ugi putri saking Sala
‘Dengan sopan, Sukati kemudian bertanya: “Maaf dik, kalau boleh saya bertanya, apa benar di sini tempat kost Karmanto?” Lelaki tadi terlihat kebingungan. Kemudian ada seorang laki-laki berkacamata putih, jawabannya mengandung sebuah pertanyaan pula: “Anu mbak, apa yang adan maksud apa Karmanto pegawai Bank negara, pindahan dari Solo? “Benar,” jawab Sukati. “Apa benar di sini?”O, begini mbak, mas Karmanto sudah lama pindah {tinggal dari,dari sini} setelah mas Karmantto menikah. Dia sekarang {tinggal di, menempati} gang I bersama istrinya. Katanya juga berasal dari Solo.’
Data tersebut di atas, setelah dianalisis dengan teknik ganti, nampak
bahwa bentuk saking ngriki ‘dari sini’ tidak dapat pula diganti dengan bentuk
manggen wonten ‘tinggal di’, sebaliknya kata manggen wonten ‘tinggal di’
juga tidak dapat diganti dengan kata saking ngriki ‘dari sini’. Artinya kedua
kata tersebut tidak bisa saling menggantikan dan ini menunjukkan bahwa
unsur penganti dan unsur yang diganti tidak mempunyai kadar kesamaan
kelas kata yang sama.
a. Pronominal demonstratif dimensional
(10). Nalikane Sukati nusul ing Surabaja, Karmanto pantjen ora ngerti. Mulane iku saka rumangsane karmanto, kabeh wadi-wadine durung dismurupi dening sukati. Ing sarehne wis rada kesuwen olehe ora mulih menjang Sala, mula bareng wektu, Karmanto bandjur blas mrelokake mulih menjang Sala. (ATW/23/1964). ‘Ketika Sukati menyusul ke Surabaya, Karmanto memang tidak mengetahuinya. Maka dari itu perkiraan Karmato, semua kelakuannya belum diketahui oleh Sukati. Karena memang sudah
terlalu lama tidak pulang ke Solo, maka tiba waktunya, Karmanti untuk pulang ke Solo.’
Pronomina demonstratif yang ditemukan yaitu nalikane ‘ketika’ yang
mengacu pada Sukati nusul ing Surabaja ‘Sukati menyusul ke Surabaya’.
Selanjutnya data di atas diuji dengan teknik lesap pada kata nalikane ‘ketika’,
menjadi berikut.
a. θ Sukati nusul ing Surabaja, Karmanto pantjen ora ngerti. Mulane iku saka rumangsane Karmanto, kabeh wadi-wadine durung dismurupi dening sukati. Ing sarehne wis rada kesuwen olehe ora mulih menjang Sala, mula bareng wektu, Karmanto bandjur blas mrelokake mulih menjang Sala (ATW/24/1964). ‘θ Sukati menyusul ke Surabaya, Karmanto memang tidak mengetahuinya. Maka dari itu perkiraan Karmato, semua kelakuannya belum diketahui oleh Sukati. Karena memang sudah terlalu lama tidak pulang ke Solo, maka tiba waktunya, Karmanti untuk pulang ke Solo.’
Hasil analisis data di atas pada pronomina demonstratif dimensional
nalikane ‘ketika’ setelah dilesapkan, wacana di atas masih tetap gramatikal
dan berterima, tetapi maknanya yang berubah. Pronomina tersebut tidak wajib
hadir pada wacana di atas. Selanjutnya dari data yang telah dianalisis, dicoba
untuk kembali diuji dengan teknik ganti. Berikut hasil uji data di atas.
b. {nalikane, nalikanipun} Sukati nusul ing Surabaja, Karmanto pantjen ora ngerti. Mulane iku saka rumangsane Karmanto, kabeh wadi-wadine durung dismurupi dening sukati. Ing sarehne wis rada kesuwen olehe ora mulih menjang Sala, mula bareng wektu, Karmanto bandjur blas mrelokake mulih menjang Sala (ATW/24/1964). ‘{ketika, saat itu} Sukati menyusul ke Surabaya, Karmanto memang tidak mengetahuinya. Maka dari itu perkiraan Karmato, semua kelakuannya belum diketahui oleh Sukati. Karena memang sudah terlalu lama tidak pulang ke Solo, maka tiba waktunya, Karmanti untuk pulang ke Solo.’
Data b, setelah dianalisis dengan teknik ganti, nampak bahwa bentuk
nalikane ‘ketika itu’ dapat pula diganti dengan bentuk nalikanipun ‘saat itu’.
Meskipun hasilnya masih tetap gramatikal namun tidak berterima karena
dalam tuturan di atas menggunakan ragam bahasa ngokko sedangkan
penggantinya menggunakan ragam bahasa krama.
b. Pronomina demonstratif deskriptif
Pronomina demonstratif deskriptif yang ditemukan, yaitu mangkono
‘begitu’, makaten ‘demikian’
(11). Hem, lelampahan punika manawi saweg tumanduk dateng manungsa, teka sok ngantos kados dongeng. Ah, nanging temtunipun bapak ingkang sampun juswa langsung saged njaring tuwin nintingi sadaja lelampahan. Saladjengipun boten sanget-sanget nandang. Kasinggihan nak, mila makaten. Namung kemawon tumrap badan kula, temenipun ladjeng damel nglokroning manah djalaran makaten nak, gesang kula punika kasinungan banda donja ingkang tirah-tirah. (ATW/35/1964) ‘Hem, langkah seperti itu jika sudah berkaitan dengan manusia, datang layaknya dalam sebuah dongeng. Ah, tetapi tentunya bapak yang sudah cukup usianya mampu menghadapi semua cobaan. Selanjutnya tidak begitu berat menghadapinya. Betul sekali nak, memang demikian. Tetapi menurut saya, sebaiknya langsung bekerja agar tidak menjadi patah semangat karena itulah nak, menurut saya agar berlimpah harta kekayaan yang berlimpah.’
Data di atas pronomina yang ditemukan yaitu makaten ‘demikian’
yang mengacu pada saladjengipun boten sanget-sanget nandang ‘selanjutnya
tidak begitu berat menghadapinya’. Dari data di atas, selanjutnya diuji dengan
teknik BUL, menjadi berikut.
a. Hem, lelampahan punika manawi saweg tumanduk dateng manungsa, sok ngantos kados dongeng. ‘Hem, langkah seperti itu jika sudah berkaitan dengan manusia, datang layaknya dalam sebuah dongeng.
b. Ah, nanging temtunipun bapak ingkang sampun juswa langkung saged njaring tuwin nintingi sadaja lelampahan. ‘Ah, tetapi tentunya bapak yang sudah cukup usianya mampu menghadapi semua cobaan.’
c. Saladjengipun boten sanget-sanget nandang. ‘Selanjutnya tidak begitu berat menghadapinya.’
d. Kasingihan nak, mila makaten. ‘Betul sekali nak, memang demikian.’
e. Namung kemawon tumrap badan kula, temenipun ladjeng damel nglokroning manah, djalaran makaten nak, gesang kula punika kasinungan banda donja kang tirah-tirah. ‘Tetapi menurut saya, sebaiknya langsung bekerja agar tidak menjadi patah semangat karena itulah nak, menurut saya agar berlimpah harta kekayaan yang berlimpah.’
Kemudian data di atas diuji dengan teknik lesap pada kata makaten
‘demikian’. Selain itu juga ditemukan pronomina demonstratif substantif
yakni punika ‘ini’, menjadi sebagai berikut.
f. Hem, lelampahan punika manawi saweg tumanduk dateng manungsa, teka sok ngantos kados dongeng. Ah, nanging temtunipun bapak ingkang sampun juswa langsung saged njaring tuwin nintingi sadaja lelampahan. Saladjengipun boten sanget-sanget nandang. Kasinggihan nak, mila θ Namung kemawon tumrap badan kula, temenipun ladjeng damel nglokroning manah djalaran θ nak, gesang kula punika kasinungan banda donja ingkang tirah-tirah. (ATW/35/1964). ‘Hem, langkah seperti itu jika sudah berkaitan dengan manusia, datang layaknya dalam sebuah dongeng. Ah, tetapi tentunya bapak yang sudah cukup usianya mampu menghadapi semua cobaan. Selanjutnya tidak begitu berat menghadapinya. Betul sekali nak, θ. Tetapi menurut saya, sebaiknya langsung bekerja agar tidak menjadi patah semangat karena itulah nak, menurut saya agar berlimpah harta kekayaan yang berlimpah.’
g. Hem, lelampahan θ manawi saweg tumanduk dateng manungsa, teka sok ngantos kados dongeng. Ah, nanging temtunipun bapak ingkang sampun juswa langsung saged njaring tuwin nintingi sadaja lelampahan. Saladjengipun boten sanget-sanget nandang. Kasinggihan nak, mila makaten Namung kemawon tumrap badan kula, temenipun ladjeng damel nglokroning manah djalaran makaten nak, gesang kula punika kasinungan banda donja ingkang tirah-tirah. (ATW/35/1964). ‘Hem, langkah θ jika sudah berkaitan dengan manusia, datang layaknya dalam sebuah dongeng. Ah, tetapi tentunya bapak yang sudah cukup usianya mampu menghadapi semua cobaan. Selanjutnya tidak begitu berat
menghadapinya. Betul sekali nak, memang demikian. Tetapi menurut saya, sebaiknya langsung bekerja agar tidak menjadi patah semangat karena itulah nak, menurut saya agar berlimpah harta kekayaan yang berlimpah.’
Hasil analisis pada data f setelah mengalami pelesapan pada
pronomina demonstratif deskriptif makaten ‘demikian’ tidak gramatikal dan
tidak berterima. Selain itu pada pronomina demonstratif substantif pada kata
punika ‘itu’, wacana di atas masih tiak gramatikal dan tidak berterima.
c. Pronomina demonstratif temporal
Pronominal demoinstratif temporal yang ditemukan pada novel karya
Widi Widayat yang berjudul Asmara Tanpa Weweka, yaitu djaman taun
1950-1951 ‘jaman tahun 1950-1951’, mundak dina ‘semakin hari ini’, esuk
‘pagi’. Dapat dilihat pada wacana berikut.
(12) Prija kang padatane tansah njanding bodjo lan diladeni dening bodjo kanti asih lan tresna iku. Manawa bandjur urip idjen ing paran, kaupamakna murid kang isih sinau mangkono, ngadepi udjian kang pungkasan. Jen kadja mau bisa nguwasani ati lan pikirane, ana ing paran ora bakal bandjur malik tingal, ora bandjur ketjantol ing wanita lijane. Kang mangkono iku ateges prija mau bisa lulus saka udjian kang lerege bisa njiptakake bebrajan mulya. Nanging miturut kanjatan, pantjen mula akeh prija kang ora bisa lulus ngadepi udjian abot mau. Nalikane djaman taun 1950-1951, akeh para punggawaning nagara kapindah ing Djakarta lan kuta2 gedhe lijane, sarehne omah angel mulane kepeksa pada pisah karo bodjone. (ATW/ 12/1964). ‘para pria yang biasanya selalu bersama istri dan dilayani oleh istrinya dengan penuh sayang dan cinta. Apabila kemudian harus berpisah dan hidup sendirian di tempat lain, diibaratkan sebagai seorang siswa yang sedang menghadapi ujian terakhir. Jika hal seperti itu mampu menguasai hati dan pikirannya, di tempat lain tidak akan pernah goyah akan kesetiaannya, tidak akan terus tergoda dengan wanita lain. Yang seperti itu berarti pria tadi telah lulus ujian yang dapat menciptakan kehidupan rumah tangga yang harmonis. Tetapi menurut kenyataannya, memang banyak para lelaki yang tidak mampu menghadapi ujian berat itu. Ketika di tahun 1950-1951,
banyak para pegawai pemerintahan dipindah ke Jakarta dan kota-kota besar lainnya, karena sulit mendapatkan rumah maka terpaksa berpisah dengan para istrinya.’
Pronomina demonstratif yang ditemukan yaitu djaman taun 1950-
1951‘jaman tahun 1950-1951’ yang mengacu pada nalika ‘ketika’.
Selanjutnya data di atas diuji dengan teknik lesap pada kata djaman taun
1950-1951‘jaman tahun 1950-1951’, menjadi berikut.
a. Prija kang padatane tansah njanding bodjo lan diladeni dening bodjo kanti asih lan tresna iku. Manawa bandjur urip idjen ing paran, kaupamakna murid kang isih sinau mangkono, ngadepi udjian kang pungkasan.Jen kadja mau bisa nguwasani ati lan pikirane, ana ing paran ora bakal bandjur malik tingal, ora bandjur ketjantol ing wanita lijane. Kang mangkono iku ateges prija mau bisa lulus saka udjian kang lerege bisa njiptakake bebrajan mulya. Nanging miturut kanjatan, pantjen mula akeh prija kang ora bisa lulus ngadepi udjian abot mau. Nalikane θ, akeh para punggawa nagara kapindah ing Djakarta lan kuta2 gedhe lijane, sarehne omah angel kapeksa pada pisah karo bodjone. ‘Para pria yang biasanya selalu bersama istri dan dilayani oleh istrinya dengan penuh sayang dan cinta. Apabila kemudian harus berpisah dan hidup sendirian di tempat lain, diibaratkan sebagai seorang siswa yang sedang menghadapi ujian terakhir. Jika hal seperti itu mampu menguasai hati dan pikirannya, di tempat lain tidak akan pernah goyah akan kesetiaannya, tidak akan terus tergoda dengan wanita lain. Yang seperti itu berarti pria tadi telah lulus ujian yang dapat menciptakan kehidupan rumah tangga yang harmonis. Tetapi menurut kenyataannya, memang banyak para lelaki yang tidak mampu menghadapi ujian berat itu. Ketika θ, banyak para pegawai pemerintahan dipindah ke Jakarta dan kota-kota besar lainnya, karena sulit mendapatkan rumah maka terpaksa berpisah dengan para istrinya.’
Hasil analisis data di atas pada pronomina demonstratif temporal
djaman taun 1950-1951 ‘jaman tahun 1950-1951’ setelah dilesapkan, wacana
di atas masih tetap gramatikal dan berterima, tetapi maknanya yang berubah.
Pronomina tersebut wajib hadir pada wacana di atas untuk memberikan
kejelasan makna. Selanjutnya dari data yang telah dianalisis, dicoba untuk
kembali diuji dengan teknik ganti. Berikut hasil uji data di atas.
b. Prija kang padatane tansah njanding bodjo lan diladeni dening bodjo kanti asih lan tresna iku. Manawa bandjur urip idjen ing paran, kaupamakna murid kang isih sinau mangkono, ngadepi udjian kang pungkasan.Jen kadja mau bisa nguwasani ati lan pikirane, ana ing paran ora bakal bandjur malik tingal, ora bandjur ketjantol ing wanita lijane. Kang mangkono iku ateges prija mau bisa lulus saka udjian kang lerege bisa njiptakake bebrajan mulya. Nanging miturut kanjatan, pantjen mula akeh prija kang ora bisa lulus ngadepi udjian abot mau.Nalikane {semana, djaman taun 1950-1951} akeh para punggawa kapinah ing Djakarta lan kuta2 gdhe lijane, sarehne omah angel kapeksa pada pisah karo bodjone. ‘Para pria yang biasanya selalu bersama istri dan dilayani oleh istrinya dengan penuh sayang dan cinta. Apabila kemudian harus berpisah dan hidup sendirian di tempat lain, diibaratkan sebagai seorang siswa yang sedang menghadapi ujian terakhir. Jika hal seperti itu mampu menguasai hati dan pikirannya, di tempat lain tidak akan pernah goyah akan kesetiaannya, tidak akan terus tergoda dengan wanita lain. Yang seperti itu berarti pria tadi telah lulus ujian yang dapat menciptakan kehidupan rumah tangga yang harmonis. Tetapi menurut kenyataannya, memang banyak para lelaki yang tidak mampu menghadapi ujian berat itu. Ketika {itu, jaman tahun 1950-1951}, banyak para pegawai pemerintahan dipindah ke Jakarta dan kota-kota besar lainnya, karena sulit mendapatkan rumah maka terpaksa berpisah dengan para istrinya.’
Data b, setelah dianalisis dengan teknik ganti, nampak bahwa bentuk
djaman taun 1950-1951 ‘jaman tahun 1950-1951’ dapat pula diganti dengan
bentuk semana ‘kala itu’, sebaliknya kata semana ‘kala itu’ juga dapat
diganti dengan kata djaman taun 1950-1951 ‘jaman tahun 1950-1951’.
Artinya kedua kata tersebut tidak bisa saling menggantikan dan ini
menunjukkan bahwa unsur penganti dan unsur yang diganti tidak mempunyai
kadar kesamaan kelas kata yang sama.
(13) Tumrape Prihati didajohi Karmanto iku seneng bae. Djalaran bandjur bisa rembugan apa-apa, lan bisa njuda marang panandanging batine ditinggal bodjo. Mundak dina srawunge
Karmanto lan Prihati saja raket. Malah bandjur kerep uga wong loro iku srimbitan mlaku-mlaku karo ngadjak anake loro pisan, lan utawa runtung2 wong loro menonton. (ATW/19/1964)’ ‘Perasaan Prihati didatangi Karmanto itu senang sekali. Karena selain bisa menceritakan apa saja, dan juga dapat mengurangi kesedihannya ditinggal suami. Semakin hari hubungan Karmanto dengan Prihati semakin akrab. Bahkan sering berdua mereka jalan-jalan bersama kedua anaknya, atau hanya berdua meonton.’
Pronomina demonstratif yang ditemukan yaitu mundak dina ‘semakin
hari’ yang mengacu pada srawunge Karmanto lan Prihati saja raket
‘hubungan Karmanto dan Prihati semakin akrab’. Selanjutnya data di atas
diuji dengan teknik BUL, menjadi berikut.
b. Tumrape Prihati didajohi Karmanto iku seneng bae. ‘Perasaan Prihati didatangi Karmanto itu senang sekali.’
c. Djalaran bandjur bisa rembugan apa-apa, lan bisa njuda marang panandanging batine ditinggal bodjo. ‘Karena selain bisa menceritakan apa saja, dan juga dapat mengurangi kesedihannya ditinggal suami.’
d. Mundak dina srawunge Karmanto lan Prihati saja raket. ‘Semakin hari hubungan Karmanto dengan Prihati semakin akrab.’
e. Malah bandjur kerep uga wong loro srimbitan mlaku-mlaku karo ngadjak anake loro pisan, lan uta runtung2 wong loro menonton. ‘Bahkan sering berdua mereka jalan-jalan bersama kedua anaknya, atau hanya berdua meonton.’
Kemudian data di atas diuji dengan teknik lesap pada kata mundak
dina ‘semakin hari’, menjadi sebagai berikut.
f. Tumrape Prihati didajohi Karmanto iku seneng bae. Djalaran bandjur bisa rembugan apa-apa, lan bisa njuda marang panandanging batine ditinggal bodjo. θ srawunge Karmanto lan Prihati saja raket. Malah bandjur kerep uga wong loro iku srimbitan mlaku-mlaku karo ngadjak anake loro pisan, lan utawa runtung2 wong loro menonton. ‘Perasaan Prihati didatangi Karmanto itu senang sekali. Karena selain bisa menceritakan apa saja, dan juga dapat mengurangi kesedihannya ditinggal suami. θ hubungan Karmanto dengan Prihati semakin dekat. Bahkan sering berdua mereka jalan-jalan bersama kedua anaknya, atau hanya berdua meonton.’
Hasil analisis data di atas pada pronomina demonstratif temporal
mundak dina ‘semakin hari’ setelah dilesapkan, wacana di atas masih tetap
gramatikal dan berterima, tetapi maknanya yang berubah. Pronomina tersebut
tidak wajib hadir pada wacana di atas. Selanjutnya dari data yang telah
dianalisis, dicoba untuk kembali diuji dengan teknik ganti. Berikut hasil uji
data di atas.
a. Tumrape Prihati didajohi Karmanto iku seneng bae. Djalaran bandjur bisa rembugan apa-apa, lan bisa njuda marang panandanging batine ditinggal bodjo {liya dina, mundak dina} srawunge Karmanto lan Prihati saja raket. Malah bandjur kerep uga wong loro iku srimbitan mlaku-mlaku karo ngadjak anake loro pisan, lan utawa runtung2 wong loro menonton. ‘Perasaan Prihati didatangi Karmanto itu senang sekali. Karena selain bisa menceritakan apa saja, dan juga dapat mengurangi kesedihannya ditinggal suami. {lain hari, semakin hari} hubungan Karmanto dan Prihati semakin dekat. Bahkan sering berdua mereka jalan-jalan bersama kedua anaknya, atau hanya berdua menonton.’
Data di atas, setelah dianalisis dengan teknik ganti, nampak bahwa
bentuk mundak dina ‘semakin hari’ dapat pula diganti dengan bentuk liya
dina ‘lain hari’, sebaliknya kata liya dina ‘lain hari’ juga dapat diganti
dengan kata mundak dina ‘semakin hari’. Artinya kedua kata tersebut tidak
bisa saling menggantikan dan ini menunjukkan bahwa unsur penganti dan
unsur yang diganti tidak mempunyai kadar kesamaan kelas kata yang sama.
3) Pengacuan komparatif
Pengacuan komparatif (perbandingan) ialah salah satu jenis kohesi
gramatikal yang bersifat membandingkan dua hal atau lebih yang mempunyai
kemiripan atau kesamaan dari segi bentuk/ wujud, sikap, watak, perilaku dan
sebagainya. Pronomina komparatif yang ditemukan yaitu diantaranya kaya
‘seperti’ nampak pada wacana berikut.
14. Karmanto tansah surak-surak gembira. Djalaran Sukati tansah nggondeli tangane, bisa uga sumelang jen nganti kepleset tiba.“Grodjogan Sewu ki abadi ja mas”, tjlatune Sukati karo njawang kumepjuring banju kang ambjar saka grodjogan. “Abadi! Kaja tresnaku marang sliramu”, wangsulane Karmanto karo njawang Sukatine, atine mongkog (ATW/ 4/1964) ‘Karmanto selalu bersorak gembira. Karena Sukati semakin kuat menggenggam tangannya, dapat juga takut jika nanti jatuh terpeleset. Grojogan Sewu ini abadi ya mas”, kata Sukati sambil memandang gemuruh air yang jatuh dari grojogan. “Abadi! Seperti kesetiaanku kepadamu”, jawab Karmanto sambil memandang Sukatinya, hatinya senang’.
Satuan lingual kaya ‘seperti’ pada data di atas adalah pengacuan
komparatif yang berfungsi membandingkan antara keabadian cinta Sukati dan
Karmanto dengan keabadian dari air terjun Grojogan Sewu yang berada di
Tawangmangu. Data di atas akan dibagi unsur langsungnya menjadi berikut.
a. Karmanto tansah surak-surak gembira. ‘Karmanto selalu bersorak gembira.’ b. Djalaran Sukati tansah nggondeli tangane, bisa uga sumelang jen
nganti kepleset tiba. ‘Karena Sukati semakin kuat menggenggam tangannya, dapat juga takut jika nanti jatuh terpeleset.’
c. Grodjogan Sewu ki abadi ja mas”, tjlatune Sukati karo njawang kumepjuring banju kang ambjar saka grodjogan. ‘Grojogan Sewu ini abadi ya mas”, kata Sukati sambil memandang gemuruh air yang jatuh dari grojogan.’
d. “Abadi! Kaja tresnaku marang sliramu”, wangsulane Karmanto karo njawang Sukatine, atine mongkog. ‘Abadi! Seperti kesetiaanku kepadamu”, jawab Karmanto sambil memandang Sukatinya, hatinya senang’.
Kemudian dari di atas diuji dengan teknik lesap pada pronomina
komparatif kaya ‘seperti’ menjadi sebagai berikut.
a. Karmanto tansah surak-surak gembira. ‘Karmanto selalu bersorak gembira.’
b. Djalaran Sukati tansah nggondeli tangane, bisa uga sumelang jen nganti kepleset tiba. ‘Karena Sukati semakin kuat menggenggam tangannya, dapat juga takut jika nanti jatuh terpeleset.’
c. “Grodjogan Sewu ki abadi ja mas”, tjlatune Sukati karo njawang kumepjuring banju kang ambjar saka grodjogan. ‘Grojogan Sewu ini abadi ya mas”, kata Sukati sambil memandang gemuruh air yang jatuh dari grojogan.’
d. “Abadi! Ө tresnaku marang sliramu”, wangsulane Karmanto karo njawang Sukatine, atine mongkog. ‘Abadi! Seperti kesetiaanku kepadamu”, jawab Karmanto sambil memandang Sukatinya, hatinya senang’.
Wacana di atas setelah mengalami pelesapan, diketahui bahwa pronomina
komparatif kaya ‘seperti’ wajib hadir. Bila pronomina tersebut dilesapan, wacana
menjadi tidak berterima, sehingga hubungan antarkalimat pertama dan kedua
menjadi tidak jelas.
Data (d) diuji dengan teknik lanjutan yang lain yaitu teknik ganti untuk
mengetahui bentuk lain yang dapat menggantikan bentuk kaya ‘seperti’ menjadi
berikut.
d. “Abadi! {kaja, kados} tresnaku marang sliramu”, wangsulane Karmanto karo njawang Sukatine, atine mongkog. ‘Abadi! Seperti kesetiaanku kepadamu”, jawab Karmanto sambil memandang Sukatinya, hatinya senang’.
Data d, setelah dianalisis dengan teknik ganti, nampak bahwa bentuk kaya
‘seperti’ dapat pula diganti dengan bentuk kados ‘seperti’, sebaliknya kata kados
‘seperti’ juga dapat diganti dengan kata kaya ‘seperti’. Artinya kedua kata
tersebut bisa saling menggantikan dan ini menunjukkan bahwa unsur penganti dan
unsur yang diganti tidak mempunyai kadar kesamaan kelas kata yang sama.
b. Penyulihan (substitusi)
Penyulihan (subsitusi) merupakan salah satu jenis kohesi gramatikal yang
berupa penggantian satuan lingual tertentu (yang telah disebutkan) dengan satuan
lingual lain dalam wacana untuk memperoleh unsur pembeda. Pada novel Asmara
Tanpa Weweka karya Widi Widayat terdapat penyulihan sebagai alat kohesi
gramatikal. Penyulihan tersebut terjadi beberapa kali dalam novel ini. Seperti pada
kutipan berikut.
1). Subtitusi Nominal
Substitusi nominal, satuan lingual yang mengalami penggantian berupa
nominal (kata benda) pada wacana berikut terdapat penanda kohesi subtitusi
nominal.
15. Apa maneh tumrape Karmanto lan Sukati ang nedenge adon asmara, lungane menjang Tawangmangu iki sangu ati kang seneng lan rasa mongkog, dene sakloron bisa sarimbit ing papan kang njata bias njenengake ati ‘Apalagi Karmano dan Sukati yang sedang terpana asmara, kepergiannya ke Tawangmangu ini diliputi oleh rasa bahagia dan senang, karena mereka berdua bisa berduaan di tempat yang dapat menyenangkan’
Data di atas menunjukkan adanya subtitusi nominal, yaitu
Tawangmangu ‘Tawangmangu’ yang merupakan unsur terganti, sedangkan
papan ‘tempat’ merupakan unsur penggantinya dalam subtitusi dari nominal
ke nominal. Selanjutnya data tersebut diuji dengan teknik lesap yang hasilnya
menjadi sebagai berikut.
a. Apa maneh tumrape Karmanto lan Sukati ang nedenge adon asmara, lungane menjang θ iki sangu ati kang seneng lan rasa mongkog, dene sakloron bisa sarimbit ing θ kang njata bias njenengake ati ‘Apalagi Karmano dan Sukati yang sedang terpana asmara, kepergiannya ke θ ini diliputi oleh rasa bahagia dan senang, karena mereka berdua bisa berduaan di θ yang dapat menyenangkan’
Wacana di atas setelah dianalisis dengan teknik lesap, bahwa subtitusi
nominal Tawangmangu ‘Tawangmangu’, papan ‘tempat’ wajib hair. Bila
substitusi tersebut dilesapkan, wacana menjadi tidak bberterima. Hubungan
antarkalimat pertama dn kalimat kedua menjadi tidak jelas. Dari data a diuji
dengan teknik ganti yang menjadi sebagai berikut.
b. Apa maneh tumrape karmanto lan Sukati kang nedenge adon asmara, lungane menjang {Tawangmangu, papan}iki sangu seneng lan rasa mongkog, ‘Apalagi Karmanto dan Sukati yang sedang dmabuk asmara, kepergiannya ke {Tawangmangu, tempat} diliputi rasa bahagia dan senang,’
c. dene sakloron bisa sarimbiit ing {papan, Tawangmangu} kang njata bisa njenengake ati. ‘karena mereka berdua bisa berduaan di {tempat, Tawangmangu} yang dapat menyenang hatu.’
Hasil analisis data di atas bahwa kata Tawangmangu ‘Tawangmangu’
dapat digantikan dengan kata papan ‘tempat’ tetap gramatikal dan berterima.
2) Substitusi Verbal
Subtitusi verbal merupakan substitusi yang unsur tergantinya dan
unsur penggantinya berupa verbal. Nampak pada wacana berikut.
16. Hawa Tawangmangu kang kepenak iku mrabawani marang rasane sakloron, ajem, tentrem lan mulja. Grodjogan Sewu, alas pinus lan papan-papan sakiwa tengene, saupama bisa ngutjap mesti njritakake pengalaman-pengalaman kang wis tau dingerteni, mujudake seksi-seksi kang ora bakal mukir, jen njatane papan2 ing sakiwa tengene iki mudjudake papan kang nikmat tumraping para muda kang nedeng among tresna. Tentreming swasana mangaribawani marang rasa kang nglangut marang gegajuhan. (ATW/7-8/1964). ‘Cuaca Tawangmangu yang nyaman itu membuat perasaan mereka berdua merasa, nyaman, tentram, dan bahagia. Grojogan Sewu, hutan pinus dan tempat-tempat di kanan kirinya, misalkan dapat berkata tentu saja akan menceritakan pengalaman-pengalamannya yang pernah dilihatnya, menjadikan saksi-saksi yang tidak akan bisa berbohong, jika kenyataannya tempat-tempat di sekitarnya ini menwujudkan tempat yang sangat menyenangkan bagi para muda-mudi untuk memadu kasih.
Tentramnya suasana membuat perasaan terbawa akan angan-angan’
Data di atas terdapat substitusi verbal yaitu ngutjap ‘mengucap/
berkata’ sebagai unsur terganti dan unsur penggantinya njritakake
‘menceritakan’. Kemudian akan dianalisis dengan menggunakan teknik lesap
menjadi sebagai berikut.
a. Hawa Tawangmangu kang kepenak iku mrabawani marang rasane sakloron, ajem, tentrem lan mulja. ‘Cuaca Tawangmangu yang nyaman itu membuat perasaan mereka berdua merasa, nyaman, tentram, dan bahagia.’
b. Grodjogan Sewu, alas pinus lan papan-papan sakiwa tengene, saupama bisa θ mesti θ pengalaman-pengalaman kang wis tau dingerteni, mujudake seksi-seksi kang ora bakal mukir, jen njatane papan2 ing sakiwa tengene iki mudjudake papan kang nikmat tumraping para muda kang nedeng among tresna. ‘Grojogan Sewu, hutan pinus dan tempat-tempat di kanan kirinya, misalkan dapat berkata tentu saja akan menceritakan pengalaman-pengalamannya yang pernah dilihatnya, menjadikan saksi-saksi yang tidak akan bisa berbohong, jika kenyataannya tempat-tempat di sekitarnya ini menwujudkan tempat yang sangat menyenangkan bagi para muda-mudi untuk memadu kasih.’
c. Tentreming swasana mangaribawani marang rasa kang nglangut marang gegajuhan. ‘Tentramnya suasana membuat perasaan terbawa akan angan-angan’(ATW/7-8/1964).
Wacana a, setelah dianalisis dengan teknik lesap menunjukkan bahwa
subtitusi verbal ngutjap ‘berkata’, dan njritakake ‘menceritakan’ wajib hadir.
Bila subtistusi tersebut dilesapkan, wacana di atas akan menjadi tidak
berterima. Hubungan antarkalimat pertama dan kedua menjadi tidak jelas.
Selanjutnya dari data a, akan dianalisis dengan menggunakan teknik ganti,
sebagai berikut.
d. Hawa Tawangmangu kang kepenak iku mrabawani marang rasane sakloron, ajem, tentrem lan mulja.Grodjogan Sewu, alas pinus lan papan-papan sakiwa tengene, saupama bisa {ngutjap, njritakake} mesti {njritakake, ngutjap} pengalaman-pengalaman kang wis tau
dingerteni, mujudake seksi-seksi kang ora bakal mukir, jen njatane papan2 ing sakiwa tengene iki mudjudake papan kang nikmat tumraping para muda kang nedeng among tresna. Tentreming swasana mangaribawani marang rasa kang nglangut marang gegajuhan. (ATW/8/1964). ‘Cuaca Tawangmangu yang nyaman itu membuat perasaan mereka berdua merasa, nyaman, tentram, dan bahagia Grojogan Sewu, hutan pinus dan tempat-tempat di kanan kirinya, misalkan dapat {berkata, menceritakan} tentu saja akan {menceritakan, berkata}pengalaman-pengalamannya yang pernah dilihatnya, menjadikan saksi-saksi yang tidak akan bisa berbohong, jika kenyataannya tempat-tempat di sekitarnya ini menwujudkan tempat yang sangat menyenangkan bagi para muda-mudi untuk memadu kasih. Tentramnya suasana membuat perasaan terbawa akan angan-angan’
Hasil analisis data b dengan teknik ganti yaitu kata kerja (verba)
ngutjap ‘berkata’, dan njritakake ‘menceritakan’ merupakan satu kelas kata.
Hal tersebut ditunjukkan bahwa verba ngutjap ‘berkata’ dapat diganti dengan
njritakake ‘menceritakan’ sehingga tetap gramatikal dan berterima.
3) Substitusi Klausal
Subtitusi klausal merupakan penggantin suatu unsur berupa klausa
diganti dengan kata, frasa, dan kalimat. Adapun penanda kohesi berupa
subtitusi klausal terdapat pada wacana berikut.
17. O, anu mbak, mas Karmanto sampun dangu pindah saking ngriki, sasampunipun mas Karmanto karma. Pijambakipun manggen wonten gang I kalijan garwanipun (ATW/22/1964). ‘O begini mbak, mas Karmanto sudah lama pindah dari sini, setelah mas Karmanto menikah. Beliau sekarang tinggal di gang I bersama istrinya.’
Data di atas ditemukan kata pindah ‘pindah’ dibagi atas unsur
langsungnya dari klausa manggen wonten gang I ‘sekarang tinggal di gang I’.
selanjutnya data di atas diuji dengan menggunakan teknik lesap, menjadi
sebagai berikut.
1). O, anu mbak, mas Karmanto sampun dangu θ saking ngriki, sasampunipun mas Karmanto karma. Pijambakipun θ kalijan garwanipun (ATW/22/1964). ‘O begini mbak, mas Karmanto sudah lama θ dari sini, setelah mas Karmanto menikah. Beliau θ bersama istrinya.’
Wacana di atas setelah dianalisis dengan teknik lesap, menunjukkan
bahwa subtitusi klausal adalah pindah ‘pindah’ wajb hadir. Bila subtitusi
tersebut dilesapkan, wacana di atas menjadi tidak berterima dan tidak
gramatikal. Hubungan antarkalimat pertama dan kedua menjadi tidak jelas.
Selanjutnya dari data a, dianalisis dengan menggunakan teknik ganti, menjadi
sebagai berikut.
2). O, anu mbak, mas Karmanto sampun dangu {pindah, manggen wonten gang I} saking ngriki, sasampunipun mas Karmanto karma. Pijambakipun {manggen wonten gang I, pinah} kalijan garwanipun (ATW/22/1964). ‘O begini mbak, mas Karmanto sudah lama θ dari sini, setelah mas Karmanto menikah. Beliau θ bersama istrinya.’
Setelah diuji dengan teknik ganti data b di atas hasilnya Nampak
bahwa kata pindah ’pindah’ menggantikan Klausa manggen wonten gang I
‘tinggal di gang I’
c. Pelesapan (elipsis)
Elipsis atau pelesapan adalah penghilangan satuan lingual tertentu. Unsur
yang atau satuan lingual yang dilesapkan itu dapat berupa kata, frasa, klausa atau
kalimat. Adapun fungsi pelesapan dalam wacana antara lain untuk:
a. menghasilkan kalimat yang efektif (untuk efektivitas kalimat),
b. efisiensi, yaitu untuk mencapai nilai ekonomis dalam pemakaian bahasa,
c. mencapai aspek kepaduan wacana, d. bagi pembaca/ pendengar berfungsi untuk mengaktifkan pikirannya
terhadap hal-hal yang tidak diungkapkan dalam satuan bahasa, dan e. untuk kepraktisan bahasa terutama dalam berkomunikasi secara lisan
(Sumarlam, 2006: 30).
Pelesapan yang terdapat pada novel karya Widi Widayat dengan judul
Asmara Tanpa Weweka dapat ditemukan pada data-data berikut.
18. Dene Karmanto kang urip indekos ing Surabaya iku, karepe uga tansah ngati-ati. Tansah nggatekake marang pepelinge Sukati, murih bebrajane adja nganti bubrah. Mulane saben wis mulih saka njambutgawe, Karmanto mung tansah nduwel ing kamare, matja-matja utawa sinau dewe ngenani bab kang during dingerteni. (ATW/12/1964) ‘Karmanto yang saat ini hidup ngekos di Surabaya, ingin selalu berhati-hati. Selalu memperhatikan apa yang selalu diingatkan Sukati, supaya ruah tangganya jangan sampai hancur. Maka dari itu setiap pulang bekerja, Karmanto hanya di dalam kamarnya, membaca atau belajar yang belum dipahaminya’
Tuturan di atas terdapat pelesapan satuan lingual yang berupa kata, yaitu
kata Karmanto yang berfungsi sebagai subjek atau pelaku tindakan pada tuturan di
atas. Subjek yang sama itu dilesapkan sekali, yaitu sebelum kata tansah ‘selalu’.
Dalam analisis wacana unsur (konstituen) yang dilesapkan tersebut biasa ditandai
dengan konstituen nol atau zero (atau dengan lambang θ) pada tempat terjadinya
pelesapan unsur tersebut. Dengan cara seperti itu maka peristiwa pelesapan pada
tuturan di atas dapat direpresentasikan menjadi (19), dan apabila tuturan itu
kembali dituliskan dalam bentuknya yang lengkap tanpa adanya pelesapan maka
akan tampak seperti sebagai berikut.
a. Dene Karmanto kang urip urip indekos ing Surabaya iku, θ karepe uga
tansah ngati-ati. θ tansah nggatekake marang pepelinge Sukati, murih bebrajane adja nganti bubrah. Mulane saben wis mulih saka njambutgawe, Karmanto mung tansah nduwel ing kamare, matja-matja
utawa sinau dewe ngenani bab kang during dingerteni. ‘Karmanto yang saat ini hidup ngekos di Surabaya, ingin selalu berhati-hati. Selalu memperhatikan apa yang selalu diingatkan Sukati, supaya ruah tangganya jangan sampai hancur. Maka dari itu setiap pulang bekerja, Karmanto hanya di dalam kamarnya, membaca atau belajar yang belum dipahaminya’
b. Dene Karmanto kang urip indekos ing Surabaya iku, Karmanto karepe uga tansah ngati-ati. Karmanto tansah nggatekake marang pepelinge Sukati, murih bebrajane adja nganti bubrah. Mulane saben wis mulih saka njambutgawe, Karmanto mung tansah nduwel ing kamare, matja-matja utawa sinau dewe ngenani bab kang during dingerteni. ‘Karmanto yang saat ini hidup ngekos di Surabaya, ingin selalu berhati-hati. Selalu memperhatikan apa yang selalu diingatkan Sukati, supaya ruah tangganya jangan sampai hancur. Maka dari itu setiap pulang bekerja, Karmanto hanya di dalam kamarnya, membaca atau belajar yang belum dipahaminya’
Analisis di atas menunjukkan bahwa dengan terjadinya peristiwa
pelesapan, seperti pada 12 atau 12a, maka tuturan itu menjadi efektif, efisien
wacananya menjadi padu (kohesif), dan memotivasi pembaca untuk lebih kreatif
menemukan unsur-unsur yang dilesapkan, serta praktis dalam berkomunikasi.
Fungsi-fungsi semacam ini tentu tidak ditemukan pada tuturan 12b, sekalipun dari
segi informasi lebih jelas atau lengkap dari tuturan 12 dan 12a.
d. Perangkaian (konjungsi)
Konjungsi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang dilakukan
dengan cara menghubungkan unsur yang satu dengan yang lain dalam wacana.
Unsur yang dirangkaikan dapat berupa satuan lingual kata, frasa, klaua, kalimat,
dan dapat juga berupa unsur yang lebih besar dari itu, misalnya alinea dengan
pemarkah lanjutan, dan topik pembicaraan dengan pemarkah alih topik atau
pemarkah disjungtif.
Contoh-contoh penggunaan perangkaian atau konjungsi beserta makna
yang ditimbulkan dapat ditemukan pada tuturan yang ada dalam novel Asmara
tanpa Wewka karya Widi Widayat, diantaranya.
1) Konjungsi adversatif
Konjungsi adversatif yaitu konjungsi yang bersifat mempertentangkan atau
saling berlawanan antarunsur yang dihubungkan. Adapun penanda kohesi
konjungsi adversatif nampak pada wacana berikut.
19. Karmanto bandjur age-age mbajar betjak, gawane ditjandak tjeg-tjeg terus djumangkah mlebu pekarangan. Nanging, bareng lakune wis tekan ngarep lawang omah, Karmanto meksa ora weruh kumlebeting bodjone. (ATW/30/1964). ‘Karmanto segera membayar ongkos becak, barang bawaannya dikeluarkan dengan cekatan kemudian melangkah masuk halaman rumah. Tetapi, ketika langkahnya sudah sampai depan pintu rumahnya, Karmanto tidak melihat istrinya.
Data yang telah disajikan di atas terdapat penanda kohesi berupa konjungsi
adversatif, yaitu nanging ‘tetapi’ menghubungkan dua klausa yang saling
bertentangan antara niat Karmanto untuk melepaskan rindu kepada istrinya, yang
terdapat pada kalimat … gawane ditjandak tjeg-tjeg terus djumangkah mlebu
pekarangan ‘…’ barang bawaannya dikeluarkan dengan cekatan kemudian
melangkah masuk halaman rumah’ (klausa pertama) dan …. Karmanto meksa ora
weruh kumlebeting bodjone ‘….’ Karmanto tidak melihat istrinya’ (klausa kedua).
Konjungsi adversatif nanging ‘tetapi’ bertugas menghubungkan dua klausa yang
saling berlawanan. Dari data di atas apabila dibagi atas unsur langsungnya
menjadi berikut.
a. Karmanto bandjur age-age mbajar betjak, gawane ditjandak tjeg-tjeg terus djumangkah mlebu pekarangan. ‘‘Karmanto segera membayar ongkos becak, barang bawaannya dikeluarkan dengan cekatan kemudian melangkah masuk halaman rumah.’
b. Nanging, bareng lakune wis tekan ngarep lawang omah, Karmanto meksa ora weruh kumlebeting bodjone. ‘Tetapi, ketika langkahnya sudah sampai depan pintu rumah, Karmanto tidak melihat istrinya.’
Data yang telah dibagi atas unsur langsungnya, kemudian diuji dengan
menggunakan teknik lesap yang menjadi sebagai berikut.
c. Karmanto bandjur age-age mbajar betjak, gawane ditjandak tjeg-tjeg terus djumangkah mlebu pekarangan. θ, bareng lakune wis tekan ngarep lawang ngomah, Karmanto meksa ora weruh kumlebeting bodjone. ‘Tetapi, ketika langkahnya sudah sampai depan pintu rumah. θ, ketika langkahnya sudah sampai depan pintu rumah, Karmanto tidak melihat istrinya.’
Hasil analisis dari data di atas, ternyata data tersebut menjadi tidak
gramatikal dan tidak berterima. Hal ini ditunjukkan karena tidak adanya hubungan
antara kedua klausa yang berlawanan, jadi konjungsi nanging ‘tetapi’ pada
wacana di atas harus hadir. Selanjutnya dari data yang telah dianalisis dengan
teknik lesap kembali diuji dengan menggunakan teknik ganti.
d. Karmanto bandjur age-age mbajar betjak, gawane ditjandak tjeg-tjeg terus djumangkah mlebu pekarangan. {nanging, suwalike, ewasemono}, bareng wis tekan ngarep lawang omah, Karmanto meksa ora weruh kumlebeting bodjone. ‘Tetapi, ketika langkahnya sudah sampai depan pintu rumah. {tetapi, sebaliknya, meski demikian}, ketika sampai depan pintu rumahnya, Karmanato tidak melihat istrinya.’
Konjungsi adversatif nanging ‘tetapi’ apabila diganti dengan konjungsi
yang lain yaitu suwalike ‘sebaliknya’, ewasemono ‘meski demikian’, wacana itu
menjadi tidak gramatikal dan tidak berterima. Jadi, dalam hal ini konungsi
nanging ‘tetapi’ tidak dapat diganti dengan konjungsi adversatif yang lain.
2) Konjungsi kausal
Konjungsi kausal adalah konjungsi yang menyatakan hubungan sebab-
akibat (kausal) antara dua preposisi yang dihubungkan tersebut. Adapun wacana
di dalamnya terdapat penanda kohesi berupa konjungsi kausal adalah sebagai
berikut.
20. Ing sadjroning atine pantjen rada muring dene disongoli bodjone, djalaran ngira manawabodjone ngutjapake tetembungan mau mung butuh golek dadakaning prekara, lan bandjur tuwuh panjakrabawane kang ora betjik marang Sukati, genah jen saplok ora mulih, Sukati wis sambung katresnan marang prija lija. (ATW/27/1964). ‘Di dalam hatinya memang kesal karena kecurigaan istrinya, karena mengira kalau istrinya telah mengucapkan kata-kata yang tidak baik kepada Sukati, benar jika semenjak tidak pulang, Sukati sedang dekat dengan laki-laki lain.’
Konjungsi kausal pada data yang disajikan di atas ditunjukkan dengan kata
jalaran ‘karena’. Konjungsi ini menunjukkan sebab-akibat antara Ing sadjroning
atine pantjen rada muring dene disongoli bodjone ‘di dalam hatinya memang
sedikit kesal karena istrinya,’ dan ngira manawa bodjone ngutjapake tetembungan
mau mung butuh golek dadakaning prekara ‘mengira kalau istrinya telah
mengucapkan kata-kata yang tidak baik.’ Selanjutnya data tersebut diuji dengan
teknik lesap yang menjadi berikut.
a. Ing sadjroning atine pantjen rada muring dene disongoli bodjone, θ ngira manawabodjone ngutjapake tetembungan mau mung butuh golek dadakaning prekara, lan bandjur tuwuh panjakrabawane kang ora betjik marang Sukati, genah jen saplok ora mulih, Sukati wis sambung katresnan marang prija lija. (ATW/27/1964). ‘Di dalam hatinya memang kesal karena kecurigaan istrinya, θ mengira kalau istrinya telah mengucapkan kata-kata yang tidak baik kepada Sukati, benar jika semenjak tidak pulang, Sukati sedang dekat dengan laki-laki lain.’
Hasil analisis dari data di atas, ternyata data tersebut menjadi tidak
gramatikal dan tidak berterima. Hubungan sebab akibat antarklausa menjadi tidak
jelas,sehingga maknanya tidak dapat diterima dengan baik. Selanjutnya dari data
yang telah dianalisis dengan teknik lesap kembali diuji dengan menggunakan
teknik ganti.
b. Ing sadjroning atine pantjen rada muring dene disongoli bodjone, {djalaran, amargi, sabab} ngira manawabodjone ngutjapake tetembungan mau mung butuh golek dadakaning prekara, lan bandjur tuwuh panjakrabawane kang ora betjik marang Sukati, genah jen saplok ora mulih, Sukati wis sambung katresnan marang prija lija. (ATW/27/1964). ‘Di dalam hatinya memang kesal karena kecurigaan istrinya, {karena, karena, sebab} mengira kalau istrinya telah mengucapkan kata-kata yang tidak baik kepada Sukati, benar jika semenjak tidak pulang, Sukati sedang dekat dengan laki-laki lain.’
Konjungsi kausal jalaran ‘karena’ apabila diganti dengan konjungsi yang
lain yaitu amargi ‘karena’, sabab ‘sebab’, wacana itu tetap gramatikal dan
berterima, sehingga kedudukan konjungsi kausal tersebut aalah satu kelas karena
apat saling menggantikan, artinya apabila penanda itu dipakai, tidak mengurangi
informasi yang disampaikan.
3) Konjugsi koordinatif
Konjungsi koordinatif merupakan konjungsu yang digunakan untuk
menyatakan kesetaraan atau kesejajaran antara dua proposisi, dalam hal ini di
dalam wacana. Beberapa kata yang menyatakan di antaranya lan ‘dan’, uga
‘juga’. Adapun wacana yang mengandung konjungsi koordinatif adalah sebagai
berikut.
21. Bareng Sukati dadi randa lan ngrumangsani jen ing saikine wis ora ana wong kang bisa didjagakake maneh, mulane Sukati bandjur melu-melu sadulure, adjar bebakulan barang sembet. (ATW/32/1964). ‘Setelah Sukati sudah menjadi janda dan merasa kalau sekarang sudah tidak ada orang lagi yang dapat diharapkan, maka Sukati bersama saudara-saudaranya, belajar berdagang pakaian.’
Data yang disajikan di atas penanda kohesi konjungsi koordinatif berupa
lan ‘dan’ yang menghubungkan dua kata yang setara. Kemudian data yang telah
tersaji diuji dengan teknik lesap, menjadi berikut.
a. Bareng Sukati dadi randa θ ngrumangsani jen ing saikine wis ora ana wong kang bisa didjagakake maneh, mulane Sukati bandjur melu-melu sadulure, adjar bebakulan barang sembet. (ATW/32/1964). ‘Setelah Sukati sudah menjadi janda θ merasa kalau sekarang sudah tidak ada orang lagi yang dapat diharapkan, maka Sukati bersama saudara-saudaranya, belajar berdagang pakaian.’
Data yang tersaji setelah diuji dengan teknik lesap menunjukkan bahwa
wacana tersebut menjadi tidak gramatikal dan tidak berterima, sehingga penanda
kohesi konjungsi koordinatif lan ‘dan’ wajib hadir pada wacana tersebut.
4) Konjungsi korelatif
Konjungsi korelatif adalah konjungsi yang menghubungkan kata atau
klausa yang berstatus sama. Wacana berikut mengungkapkan adanya konjungsi
korelatif.
22. Prihati anake wong sugih, jen wong tuwane milih mantu wong sugih iku djenenge wis tjotjog. Wis timbang pada batine. Djalaran jen wong sugih besanan karo wong mlarat kaja wong tuwaku, mestine rak rugi tjarane wong dagag. Mula sanadjan keprijea bae ja dak trima. (ATW/7/1964). ‘Prihati itu anak orang kaya, jadi kalau orang tuanya memilih menantu orang kaya sudah pantas. Daripada saling kecewa. Karena kalau orang kaya mempunyai besan orang miskin seperti orang tuaku ibarat orang berdagang pasti merugi. Maka dari itu aku terima saja.’
Konjungsi korelatif pada data di atas ditunjukkan pada kata senajan
‘meskipun’, konjungsi tersebut menyatakan hubungan perlawanan. Data
tersebutnya selanjutnya dibagi atas unsur langsungnya menjadi berikut.
a. Prihati anake wong sugih, jen wong tuwane milih mantu wong sugih iku djenenge wis tjotjog. ‘Prihati itu anak orang kaya, jika orang tuanya memilih menantu kaya itu sudah pantas.’
b. Wis timbang pada batine. ‘Daripada saling keewa.’ c. Djalaran jen wong sugih besanan karo wong mlarat kaja wong
tuwaku, mestine rak rugi tjarane wong dagang. ‘Karena kalau orang kaya mempunyai besan orang miskin seperti orang tuaku, ibarat orang dagang pasti akan merugi.’
d. Mula sanadjan keprijea bae, ja dak trima. ‘Meskipun begitu tetap aku terima’
Data di atas yang telah dibagi atas unsur langsungnya, untuk mengetahui
kadar keintian unsure wacana diuji dengan menggunakan teknik lesap. Adapun
hasilnya adalah sebagai berikut.
e. Mula θ keprijea bae ja dak trima. ‘θ begitu tetap aku terima.’
Hasil analisis dari data di atas dengan menggunakan teknik lesap
ditunjukkan bahwa wacana menjadi tidak gramatikal dan tidak berterima karena
unsur yang menghubungkan kedua klausa tersebut dihilangkan. Konjungsi
korelatif senajan ’meskipun’ wajib hadir sebagai salah satu unsur kohesi wacana.
5) Konjungsi temporal
Konjungsi temporal adalah konjungsi yang mengacu pada waktu.
Menghubungkan kata, frase dengan frase, klausa dengan klausa, kalimat dengan
kalimat, yaitu dengan menggunakan keterangan waktu. Adapunwacana berikutdi
dalamnya yang terdapat konjungsi temporal.
23. Kabeh iku butuh meruhi sangkaning grodjogan ewu kang tansah dadi punjering kawigaten kang butuh nglipur ati ing Tawangmangu. Bareng wis rumangsa tutug olehe lungguhan ing alas pinus, Karmanto lan Sukati bandjurngunggahi pereng. (ATW/8/1964). ‘Semuanya memang ingin melihat keberadaan air terjun grojogan sewu yang selalu menjadi pusat perhatian untuk menghibur hati di tawangmangu.
Setelah merasa puas duduk-duduk di hutan pinus, Karmanto dan Sukati kemudian mendaki bukit.’
Data di atas telah ditemukan konjungsi temporal bareng ‘setelah’ pada
kalimat kedua. Konjungsi tersebut menunjukkan bahwa sebelum konjungsi
merupakan kalimat yang terjadi sebelumnya dan setelah itu kalimat kedua yang
mengandung konjungsi. Kemudian data tersebut dibagi atas unsur langsungnya.
a. Kabeh iku butuh meruhi sangkaning grodjogan ewu kang tansah dadi punjering kawigaten kang butuh nglipur ati ing Tawangmangu. ‘Semuanya memang ingin melihat keberadaan air terjun grojogan sewu yang selalu menjadi pusat perhatian untuk menghibur hati di tawangmangu.
b. Bareng wis rumangsa tutug olehe lungguhan ing alas pinus, Karmanto lan Sukati bandjurngunggahi pereng. ‘Setelah merasa puas duduk-duduk di hutan pinus, Karmanto dan Sukati kemudian mendaki bukit.’
Data yang telah dibagi unsur langsungnya tersebut kemudian diuji dengan
teknik lesap yang hasilnya sebagai berikut.
c. Ø wis rumangsa tutug olehe lungguhan ing alas pinus, Karmanto lan Sukati bandjurngunggahi pereng. ‘Ø merasa puas duduk-duduk di hutan pinus, Karmanto dan Sukati kemudian mendaki bukit.’
Ternyata dengan teknik lesap, data di atas menjadi tidak gramatikal dan
tidak berterima, karena konjungsi bareng ‘setelah’ sebagai unsure penghubung
yang menyatakan waktu (temporal) antara kalimat pertama dengan kalimat kedua.
2. Penanda Kohesi Leksikal
Kepaduan wacana selain didukung oleh aspek gramatikal atau kohesi
gramatikal juga didukung oleh aspek leksikal atau kohesi leksikal, yaitu hubungan
antarunsur dalam wacana secara sistematis. Dalam hal ini menghasilkan wacana
yang padu pembicara atau penulis dapat menempuhnya dengan cara memilih kata-
kata yang sesuai dengan isi kewacanaan yang dimaksud. Kohesi leksikal dalam
wacana dapat dibedakan menjadi enam macam, yaitu (a) repetisi (pengulangan),
(b) sinonimi (padan kata), (c) kolokasi (sanding kata), (d) hiponimi (hubungan
atas-bawah), (e) antonimi (lawan kata), (f) ekuivalensi (kesepadanan). Keenam
cara untuk mencapai kepaduan wacana melalui aspek leksikal itu akan diuraikan
pada analisis berikut.
a. Pengulangan (repetisi)
Repetisi adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata, atau
bagian kalimat) yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah
konteks yang sesuai. Dalam novel Asmara tanpa Weweka ada beberapa repetisi
yakni.
24. Prija kang padatane tansah njanding bodjo lan diladeni dening bodjo kanti asih lan tresna iku, manawa bandjur urip idjen ing paran, kaupamakna murid kang iasih sinau mangkono, ngadepi udjian kang pungkasan. (ATW/ 11/1964) ‘Lelaki yang seperti biasanya selalu didampingi istri dan dilayani oleh istri dengan penuh kasih dan cinta itu, apabila kemudian berpisah hidup sendiri, diibaratkan sebagai seorang siswa yang sedang belajar menghadapi ujian akhir.
Contoh repetisi di atas merupakan contoh repetisi epizeukis, yaitu
pengulangan satuan lingual yang dipentingkan beberapa kali secara berturut-turut.
Adapun fungsi pengulangan ini dimaksudkan untuk menekankan pentingnya kata
tersebut dalam konteks tuturan itu.
b. Padan kata (sinonimi)
Sinonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang
sama; atau ungkapan yang maknanya kurang lebih sama dengan ungkapan lain
(Abdul Chaer dalam Sumarlam, 2006: 39). Sinonimi merupakan salah satu aspek
leksikal untuk mendukung kepaduan wacana. Sinonimi berfungsi untuk menjalin
hubungan makna yang sepadan antara satuan lingual tertentu dengan satuan
lingual yang lain dalam wacana.
Novel Asmara tanpa Weweka terdapat beberapa sinonimi untuk menjalin
hubungan yang sepadan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual yang
lain yakni terdapat pada kutipan berikut.
25. Atine Karmanto trenjuh. Undjal ambegan, nuli pitakone: -Geneja sliramu kok ora bali ing Sala bae? Aku isin jen bali neng Sala. Mula trima urip ing Surabaja. Lan pinangka uripku, aku bali njambutgawe maneh, mulang ing Sekolah Dasar. (ATW/16/1964) ‘Hati Karmanto tersentuh. Menghela napasnya, kemudian bertanya: - Mengapa kamu tidak kembali saja ke Solo? Saya malu jika harus kembali ke Solo. Lebih baik tinggal di Surabaya. Dan kehidupan yang harus saya jalani, saya bekerja lagi, mengajar di SD.
Berdasarkan kutipan yang ditampilkan di atas terlihat bahwa morfem
(bebas) aku ‘saya’ bersinonim dengan morfem (terikat) –ku ‘saya’. Dapat ditarik
suatu kesimpulan bahwa sinonimi di atas merupakan sinonimi morfem (bebas)
dengan morfem (terikat). Selanjutnya di bawah ini merupakan contoh dari
sinonimi kata dengan frasa.
26. Prihati ora nutugake tjlatune, apa kang arep dilahirake diulu maneh. Rumangsa riku arep ngutjapake tembung mau. (ATW/16/1964) ‘Prihati tidak melanjutkan ucapannya, apa yang akan dikeluarkannya dipendam kembali. Merasa segan akan mengucapkan kalimat tadi.
Tuturan di atas, kepaduan wacana tersebut antara lain didukung oleh aspek
leksikal yang berupa sinonimi antara kata tjlatu ‘ucapan’ dengan kata tembung
‘kalimat’. Kedua kata di atas bermakna sama.
c. Sanding kata (kolokasi)
Kolokasi atau sanding kata adalah asosiasi tertentu dalam menggunakan
pilihan kata yang cenderung digunakan secara berdampingan. Kata-kata yang
berkolokasi adalah kata-kata yang cenderung dipakai dalam suatu domain atau
jaringan tertentu, misalnya dalam jaringan kemiliteran akan digunakan kata-kata
yang berkaitan dengan masalah kemiliteran dan orang-orang yang terlibat di
dalamnya. Kata-kata seperti peleton, batalyon, kompi, misalnya merupakan cntoh
kata-kata yang cenderung dipakai secara berdampingan dalam domain militer atau
jaringan kemiliteran. Dalam novel ini terdapat pemakaian kolokasi yaitu
diantaranya.
27. Ing sawise Sukati ngonangi jen bodjone ing Surabaya rabi meneh, anane mung bandjur tansah susah. Lan bandjur tuwuh tekade, tinimbang dimaru luwih betjik pisahan bae. Sanadjan satemene tekade iku uga kudu ditebus dening remuking ati, djer temene mono katresnane marang bodjo wis kebatjut mbalung sungsum lanangel dilalekake. (ATW/ 23/1964) ‘Setelah Sukati mengetahui suaminya yang tinggal di Surabaya menikah lagi, yang ada hanyalah penderitaan. Lalu timbul tekadnya, daripada dimadu lebih baik cerai saja. Meskipun demikian tekadnya itu harus ditebus dengan kehancuran hatinya, sesungguhnya cintanya dengan suami sudah terlanjur merasuk di dalam hatinya dan sulit untuk dilupakan.
Contoh di atas tampak pemakaian kata-kata bodjo ‘suami/ istri’, dimaru
‘dimadu’ , pisahan ‘cerai’, rabi ‘menikah’ , katresnan ‘kesetiaan’, yang saling
berkolokasi dan mendukung kepaduan wacana tersebut.
d. Hubungan atas-bawah (hiponimi)
Hiponimi dapat diartikan sebagai satuan bahasa (kata, frasa, kalimat) yang
maknanya dianggap merupakan bagian dari makna satuan lingual yang lain. Unsur
atau satuan lingual yang mencakupi beberapa unsur atau satuan lingual yang
berhiponim itu disebut “hipernim” atau subordinat. Dalam novel ini terdapat
kohesi leksikal yang berupa hiponimi. Adapun data yang terdapat hiponimi dapat
disimak pada kutipan berikut.
28. Djalaran kakehan wong kang nunggang. Sadela maneh, bis wis wiwit mlaku. Bareng mlaku ana angin kang mlebu ing bis, rada kepenak setitik. Nanging, rehne ngadeg sikile uga krasa kesel, kedju lan ngetok, meksa isih seneng ing atine. (ATW/ 4/1964) ‘Karena banyaknya penumpang. Sebentar lagi, bis mulai berjalan. Ketika berjalan ada angin semilir masuk ke dalam bis, membuat hawa sejuk walau hanya sedikit. Tetapi, karena berdiri kakinya juga terasa capek, pegal dan linu, tidak dirasakannya dan semakin senang hatinya.
Data di atas yang menjadi hipernim atau subordinatnya yaitu akibat dari
aktvitas yang melelahkan yang mencakupi kata kesel ‘lelah’, kedju ‘pegal’,
ngetok ‘linu’. Berikut juga ditampilkan hiponimi dengan hipernim atau
subordinat asmara yang mencakup kata-kata rabi ‘menikah’, tresna ‘cinta/ setia’,
bebrajan ‘rumah tangga’. Berikut dapat disimak pada data di bawah.
29. Apa djeng Ti wis bisa mbuktekake pandakwamu jen aku rabi maneh ing Surabaya? O. Djeng, ngertija, Karmanto iku rak dudu prija sak sen loro. Prija kang gampang kapilut dening esem manis lan rupa aju. Djalaran djeng, satemene lair batinku ora ana lija maneh wanita ing donja iki kang dak tresnani kadjabane mung djeng Ti. Aku wis marem bebrajan karo sliramu, wis rumangsa mulja, geneja ndadak arep nundjang palang golek wanita lija. (ATW/ 28/1964) ‘Apa dik Ti dapat membuktikan tuduhan jika saya telah menikah lagi di Surabaya? O, dik Ti, ketahuilah, Karmanto bukan laki-laki satu sen dua. Lelaki yang mudah tergoda dengan senyum manis dan wajah cantik. Karena dik, sesungguhnya dalam hatiku yang terdalam tidak ada wanita lain di dunia ini selain kam, dik Ti. Saya sudah menerima berumah tangga denganmu, saya sudah merasa bahagia, untuk apa harus mencari wanita lain.
e. Lawan kata (antonimi)
Antonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk nama benda atau hal
lain; atau satuan lingual yang maknanya berlawanan atau beroposisi dengan
satuan lingual yang lain. Antonimi disebut juga oposisi makna. Pengertian oposisi
makna mencakup konsep yang betul-betul berlawanan samai kepada yang hanya
kontras makna saja. Adapun oposisi makna yang ditemukan dalam novel Asmara
Tanpa Weweka karya Widi Widayat terlihat pada tuturan berikut.
30. Mulane iku Karmanto bandjur kumetjaptjlatu rada kasar: Hem, djeng ora ngira babarpisan manawa mulihku ing dina iki kok papagke sarana tembung2 kang njerike atiku. Hem, samono pamelasmu marang wong lanang, kang kapeksa direwangi nglembara ing paran beteke butuh njukupi kabutuhane wong wadon. Sliramu ngarani aku tumindak ora samestine. (ATW/ 27/1964) ‘Maka dari itu Karmanto kemudian mengeluarkan kata-katanya yang rada kasar: Hem, aku tidak mengira sama sekali denganmu jika kepulanganku di hari ini dsambut dengan kata-kata yang telah menyinggung hatiku. Hem, begitu balasanmu terhadap laki-laki yang terpaksa mengembara ke luar kota hanya untuk mencukupi kebutuhan wanita. Kamu sudah menuduhku berbuat yang tidak sepantasnya.
Contoh di atas terdapat oposisi mutlak, yaitu pertentangan makna secara
mutlak antara kata lanang ‘laki-laki’ dan wadon ‘wanita’. Selanjutnya pada
tuturan berikut ditemukan oposisi makna yang berupa oposisi kutub, yakni oposisi
makna yang tidak bersifat mutlak, tetapi bersifat gradasi. Artinya terdapat
tingkatan-tingkatan makna pada kata-kata tersebut. Berikut kutipannya.
31. Jen sliramu gelem pertjaja, sing ndjalari dudu aku. Nanging wong tuwane Prihati, kang nganggep sepele marang aku. Aku dewe uga ora serik djer ngrumangsani kemlaratanku, Prihati anake wong sugih, jen wong tuwane milih mantu wong sugih iku djenenge wis tjotjog. Wis timbang, padha batine. Djalaran jen wong sugih besanan karo wong mlarat kaja wong tuwaku, mestine rak rugi tjarane wong dagang. (ATW/7/1964) ‘Jika kamu mau memercayainya, yang menyebabkan bukan aku. Tetapi orang tuanya Prihati, yang menganggap rendah terhadap aku. Aku sendiri tidak tersinggung karena memang aku menyadari kemiskinanku, Prihati anak orang kaya, jadi orang tuanya
memilihkan menantu yang kaya itu namanya pas. Sudah sepantutnya, sama-sama derajatnya. Karena jika orang kaya berbesan dengan orang miskin seperti orang tuaku, pastinya akan rugi ibarat orang berdagang.
Tuturan di atas terdapat oposisi kutub antara wong sugih ‘orang kaya’ dan
wong mlarat ‘orang miskin’. Kedua kata tersebut dikatakan beroposisi kutub
sebab terdapat gradasi antara keduanya, yaitu adanya realitas rada sugih ‘agak
kaya’, sugih ‘kaya’, sugih banget ‘sangat kaya’, rada mlarat ‘agak miskin’,
mlarat ‘miskin’, mlarat banget ‘sangat miskin’.
f. Kesepadanan atau paradigma (ekuivalensi)
Ekuivalensi adalah hubungan kesepadanan antara satuan lingual tertentu
dengan satuan lingual lain dalam sebuah paradigma. Dalam hal ini, sejumlah kata
hasil proses afiksasi dari morfem asal yang sama menunjukkan adanya hubungan
kesepadanan, misalnya hubungan makna antara kata ditresnani ‘dicintai’,
katresnan ‘kesetiaan’, katresnane ‘kecintaannya’ semuanya dibentuk dari bentuk
asal yang sama yaitu tresna ‘cinta/ setia’. Berikut akan ditunjukkan pemakaian
ekuivalensi dalam novel Asmara Tanpa Weweka karya Widi Widayat.
32. Kebak ing rasa kang ndjalari ora sajah lan luwe, lan anane mung tansah seneng. Lan tumrape kang wis pada dadi tuwa, kang wis tau ngalami dadi enom, jen njumurpi kahanan kang kaja mangkono bandjur sok ndjalari kelingan nalikane isih enom. Wekasane bandjur saja mbalung sungsum katresnane marang kelawarga. (ATW/10/1964) ‘Perasaan di dalam hatinya tidak pernah merasakan lelah dan lapar, yang ada hanya rasa senang. Dan nanti setelah menjadi orang tua, yang telah banyak pengalaman menjadi anak muda, jika mengetahui keadaan yang seperti itu membuat menjadi teringat kembali ketika masih muda. Semakin dalam cintanya terhadap keluarga.’
33. Mundak dina srawunge Karmanto lan Prihati saja raket. Malah bandjur kerep uga wong loro iku srimbitan mlaku-mlaku karo ngadjak anake loro pisan. Kang mangka deweke sakloron wis tau liru katresnan. (ATW/19/1964) ‘Semakin hari hubungan Karmanto
dengan Prihati menjadi semakin akrab. Dan keduanya sering berduaan berjalan-jalan dengan kedua anak Prihati sekalian. Memang mereka berdua pernah terjalin hubungan percintaan.’
34. Nangisi marang kebegdjane, dene prija kang ditresnani iku wis mentala ngrusak ati lan bebrajane. (ATW/ 25/1964) ‘Menangisi akan penderitaannya, lelaki yang dicintainya telah tega merusak hati dan rumah tangganya.’
Ekuivalensi juga merupakan salah satu peranti untuk mendukung
kepaduan wacana, seperti yang terlihat pada kutipan di atas. Kata katresnane
‘cintanya’(data 32), katresnan ‘percintaan’ (data 33), dan ditresnani ‘dicintai’
(data 34) masing-masing berekuivalensi dengan kata tresna ‘cinta’ sebagai bentuk
asalnya. Kata-kata bentukan yang mempunyai kesepadanan bentuk asal seperti
disebutkan di atas memiliki hubungan ekuivalensi dan secara leksikal dapat
mendukung kepaduan makna wacana.
1. Koherensi
Koherensi dianalisis untuk mengetahui sebuah wacana tersebut koheren
atau tidak. Kekoherenan wacana dapat dicapai dengan memanfaatkan penanda
hubungan yang ada. Dalam wacana ini akan digunakan istilah sebab-akibat,
penekanan, lokasi/ kala, penambahan, penyimpulan dan pertentangan. Uraiannya
sebagai berikut.
a. Koherensi yang bermakna sebab-akibat
Penanda koherensi yang bermakna sebab akibat diwujudkan dalam bentuk
kata yang muncul dalam sebuah wacana. Kata tersebut menggabungkan antara
dua klausa atau lebih dalam sebuah wacana. Penanda koherensi yang bermakna
sebab-akibat ditemukan dalam penelitian ini di antaranya.
35. “Djeng, sliramu nesoni aku? O, mestine saka djalaran kesuwen aku ora mulih. Hem, djeng, rak ja adja bandjur kesusu nesu. Anane aku ora bisa mulih kuwi rak saka ana alangan, ana prelu. ( ATW,/26/1964). ‘Jeng, kamu marah sama aku ya? O, pasti karena aku terlalu lama tidak pulang. Hm, jeng, jangan kamu terburu marah. Aku tidak pulang karena ada halangan, ada keperluan’.
Berdasarkan unsur langsungnya wacana di atas dapat dibagi menjadi
empat yaitu.
(a) “Djeng sliramu nesoni aku? ‘Dik mengapa kamu marah denganku?’
(b) O, mestine saka djalaran kesuwen aku ora mulih. ‘O, pasti karena terlalu lama saya tidak pulang.’
(c) Hem djeng, rak ja adja bandjur kesusu nesu. ‘Hem, dik, jangan terburu marah dulu.’
(d) Anane aku ora bisa mulih kuwi rak saka ana alangan, ana prelu. ‘Saya tidak bisa pulang itu karena ada halangan, ada keperluan.’
Koherensi yang muncul pada wacana di atas menunjukkan hubungan
sebab-akibat yaitu djalaran ‘karena’. Kata tersebut menghubungkan klausa
kesuwen aku ora mulih ‘terlalu lama saya tidak pulang’ sebagai sebab dan klausa
hem djeng, rak ja adja bandjur kesusu nesu ‘Hem, dik jangan terburu marah dulu’
sebagai akibat.
36. Djroning atine rumangsa isin banget dene wadi-wadine kewijak, wadi-wadine kang tansah ditutupi saprana seprene bisa disumurupi dening bodjone (ATW/29/1964). ‘Di dalam hatinya merasa malu karena semua keburukannya terbongkar, keburukan-keburukan yang selalu disimpan rapat selama ini dapat diketahui istrinya.’
Koherensi yang bermakna sebab-akibat adalah dene ‘karena’. Kata
tersebut menghubungkan dua klausa, wadi-wadine kewijak ‘semua keburukannya
terbongkar’ sebagai sebab dan wadi-wadine kang tansah ditutupi saprana-seprene
bisa disumurupi dening bodjone ‘semua keburukan yang telah disimpan rapat
selama telah diketahui istrinya’ sebagai akibat.
b. Koherensi yang bermakna penekanan
Koherensi yang bermakna penekanan dalam sebuah wacana berfungsi
untuk menyatakan penekanan terhadap suatu maksud yang telah dinyatakan dalam
kalimat sebelumnya. Bentuk koherensi yang bermakna penekanan diwujudkan
dalam pancen ‘memang’. Seperti pada contoh wacana berikut.
37. Tuwuh rasa kuwatire jen bodjone lara utawa nemu alangan. Karepe Sukati, atine pantjen disabar-sabarake lan dilipur dewe (ATW/21/1964). ‘Tumbuh rasa khawatir dalam dirinya kalau saja suaminya menemui halangan. Keinginan Sukati, hatinya memang berusaha untuk sabar dan menghibur hatinya sendiri’
Wacana (28) di atas dapat diketahui koherensi yang bermakna penekanan
yakni pantjen (pancen) ‘memang’ yang merupakan kalimat penekanan terhadap
kalimat yang mendahului sebelumnya. Kata pancen ‘memang’ merupakan kata
yang digunakan untuk meyakinkan bahwa apa yang dikatakan benar.
c. Koherensi yang bermakna lokasi/ kala
Koherensi yang menyatakn makna lokasi/ kala digunakan untuk
menyatakan suatu tempat dan waktu tertentu sehingga dapat menambah
kekoherensian wacana. Koherensi yang menyatakan makna lokasi dan makna kala
dapat berupa kata atau frasa. Hal tersebut dapat dilihat pada wacana berikut.
38. Sawise ninggalake grodjogan sewu, bandjur nerusake laku ing papan-papan lija kang dianggep bisa gawe senenging atine sakloron. Mulihe wis sore, nunggang bis maneh, lan sanadjan kepeksa ngadeg djalaran ora komanan papan lungguh, atine meksa ora tjuwa, djalaran pantjen ngrumangsani jen kepept dening butuh (ATW/10/1964). ‘Setelah meninggalkan grojogan sewu, kemudian meneruskan perjalanannya ke tempat-tempat lainnya untuk membuat senang mereka berdua. Pulangnya setelah hari telah sore, menumpang bis lagi, walaupun terpaksa berdiri karena tidak mendapatkan tempat duduk, hatinya tetap tidak kecewa, karena memang merasa terdesak jika membutuhkan.’
Berdasarkan unsur langsungnya wacana (40) di atas dapat dibagi menjadi
sebagai berikut.
a. Sawise ninggalake grodjogan sewu, bandjur nerusake laku ing papan-papan lijane kang dianggep bisa gawe senenging atine sakloron. ‘Setelah meninggalkan grojogan sewu, kemudian meneruskan perjalanannya agar bisa membuat senang mereka berdua.’
b. Mulihe wis sore, nunggang bis maneh, lan sanadjan kepeksa ngadeg, djalaran ora komanan papan lungguh, atine meksa ora tjuwa, djalaran pantjen ngrumangsani jen kepepet dening butuh ‘Pulangnya setelah sore hari, menumpang bis lagi, walaupun terpaksa berdiri karena tidak mendapatkan tempat duduk, hatinya tetap tidak kecewa, karena memang merasa terdesak jika membutuhkan.’
Wacana yang disampaikan di atas koherensi yang menunjukkan waktu
atau kala tampak pada frasa mulihe wis sore ‘pulangnya setelah sore hari’,
sedangkan bentuk koherensi lokasi yakni frasa sawise ninggalake grodjogan sewu
‘setelah meninggalkan grojogan sewu’. Selain itu dapat dilihat pada wacana
berikut.
39. Bareng Karmanto mung idjen, bandjur bisa indekos. Mulihe menjang Sala, saben seminggu pisan utawa rong minggu pisan (ATW, h. 11). ‘Setelah Karmanto hanya sendirian, dia pun akhirnya mendapatkan kos-kosan. Pulang ke Solo setiap seminggu sekali atau dua minggu sekali.’
Koherensi yang menyatakan makna lokasi/ kala ditunjukkan pada frasa
mulihe menjang Sala ‘pulangnya ke Solo’ untuk menunjukkan makna lokasi dan
saben seminggu pisan atau rong minggu pisan ´setiap seminggu sekali atau dua
minggu sekali’ sebagai koherensi yang bermakna kala/ waktu.
d. Koherensi yang bermakna penambahan
Koherensi yang dapat menimbulkan makna penambahan dalam sebuah
wacana dapat berbentuk kata maupun frasa. Dalam bentuk kata disebutkan antara
laian bentuk lan ‘dan’, uga ‘juga’, saha ‘dan’, sarta ‘serta’. Dapat dilihat pada
contoh wacana di bawah ini.
40. Dene Karmanto kang urip indekos ing Surabaja iku, karepe uga tansah ngati-ati. ‘Dan Karmanto yang tinggal ngekos di Surabaya, keinginannya juga selalu berhati-hati.’
Bentuk koherensi penambahan yang muncul pada wacana (31) yaitu kata
uga ‘juga’. Secara semantis kata uga ‘juga’ muncul untuk membuat informasi
yang lebih jelas, yaitu menghubungkan kalimat karepe ‘keinginannya’ dengan
tansah ngati-ati ‘selalu berhati-hati’. Wacana lain yang menunjukkan koherensi
yang bermakna penambahan adalah sebagai berikut.
41. Bareng wis oleh losmen lan wis mlebu ing kamar, Sukati bandjur ambruk ing dipan, ungkeb-ungkeb karo nangis ngguguk (ATW, h. 23). ‘Setelah mendapatkan losmen dan langsung masuk ke kamar, Sukati lalu menjatuhkan badannya ke tempat tidur dan menutup kepalanya dengan bantal sambil menangis tersedu.’
Koherensi yang bermakna penambahan pada wacana di atas yakni kata lan
‘dan’. Kata lan ‘dan’ muncul pada wacana di atas untuk memberikan informasi
yang lebih jelas, yakni menghubungkan klausa bareng wis oleh losmen ‘setelah
mendapatkan losmen’ dengan klausa wis mlebu ing kamar ‘sudah masuk ke
kamar’.
e. Koherensi yang bermakna penyimpulan
Koherensi yang dapat menimbulkan makna penyimpulan dalam wacana
dapat diwujudkan dalam bentuk kata dadi ‘jadi’, mila ‘maka’, maupun bentuk
frasa pramila menika ‘maka dari itu’. Dapat dilihat pada wacana berikut.
42. [...], genah jen sakploke ora mulih, Sukati wis sambung katresnan marang prija lija. Mulane iku Karmanto bandjur kumetjap tjlatu rada kasar: “Hem djeng, ora ngira babarpisan manawa mulihku ing dina iki kok papagake sarana tembung2 kang njerikake atiku. [...] (ATW, h. 27). ‘[....], pasti jika semenjak tidak pulang, Sukati sudah menjalin hubungan asmara dengan laki-laki lain. Maka dari itu Karmanto kemudian kata-kata yang rada kasar: “Hem dik, saya tidak menyangka sama sekali jika kepulanganku ini kamu sambut dengan kata-kata yang membuat hatiku terluka. [...]’.
Wacana di atas terdapat kata mulane ‘maka dari itu’ yang merupakan salah
satu penyimpulan dari yang dilihat Karmanto terhadap istrinya, yakni Sukati
sehingga yang muncullah kata-kata kasar keluar dari mulut Karmanto sebagai
pembelaannya terhadap Sukai. Kata mulane ‘maka dari itu’ menghubungkan
kalimat di depannya kalimat di belakangnya.
f. Koherensi yang bermakna pertentangan
Koherensi yang bersifat pertentangan menyatakan makna suatu hal yang
bertentangan dengan makna sebelumnya. Bentuk-bentuk yang sering muncul
dalam wacana bahasa Jawa yakni nanging/ ananging ‘tetapi’, suwalike
‘sebaliknya’, dan bentuk frasa seperti ewa semono/ ewa mangkono ‘namun
demikian. Dalam wacana berikut akan ditunjukkan koherensi yang bersifat
pertentangan adalah sebagai berikut.
43. Ija mas, aku nganel jen sliramu iku prija pilih tanding! Prija kang ora gampang kagoda dening ajuning wanita lija, kadjaba bodjone, wangsulane Sukati karo mantjep ngetje. Nanging mas rembug iku sok beda kara kanjatane. Lair iku sok ora tulus tekan ing batin [...] (ATW, h. 28). ‘Iya mas, aku percaya kalau kamu laki-laki yang sempurna. Laki-laki yang tidak mudah tergoda oleh wanita cantik, kecuali istrinya sendiri, jawab Sukati sambil mencibir. Tetapi mas hal itu bisa saja berbeda dengan kenyataannya. Apa yang terlihat di luar terkadang berbeda dengan batinnya.
Bentuk koherensi yang muncul pada wacana di atas yakni kata nanging
‘tetapi’ yang mempertentangkan antara yang dipikirkan benar, akan tetapi karena
belum bukti yang kuat dan akan mencari kebenarannya. Kata nanging ‘tetapi’
mempertentangkan klausa di depannya dengan klausa di belakangnya.
C. Konteks dan Inferensi
1. Analisis Konteks Situasi
Konteks wacana adalah aspek-aspek internal wacana dan segala sesuatu
yang secara eksternal melingkupi sebuah wacana. Konteks bahasa atau ko-teks
itulah yang disebut dengan istilah konteks internal wacana atau disingkat konteks
internal, sedangkan segala sesuatu yang melingkupi wacana baik konteks situasi
maupun budaya disebut dengan konteks eksternal budaya.
Pemahaman konteks sitasuasi dan budaya dalam wacana dapat dilakukan
degan berbagai prinsip penafsiran dan prinsip analogi. Prinsip yang dimaksud
adalah.
a. prinsip penafsiran personal
b. prinsip penafiran lokasional
c. prinsip penafsiran temporal
d. prinsip analogi
Pemahaman wacana melalui berbagai prinsip penafsiran dan analogi itu
tentu akan mempertimbangkan faktor-faktor penting sebagai berikut.
a. faktor sosial
b. situasional
c. kultural
d. pengetahuan tentang dunia
a. Prinsip Penafsiran Personal
Prinsip penafsiran personal berkaitan dengan siapa sesungguhnya yang
menjadi partisipan dalam suatu wacana. Dalam hal ini, siapa penutur dan siapa
mitra tutur sangat menentukan makna sebuah tuturan. Pelibat wacana menunjuk
pada orang-orang yang mengambil bagian, sifat-sifat para pelibat, kedudukan dan
peranan mereka, misalnya jenis-jenis hubungan peran apa yang terdapat di antara
para pelibat. Berkaitan dengan itu kiranya perlu ditambahkan ke dalam diri pelibat
wacana itu siri-siri fisik dan non-fisiknya, termasuk di dalamnya umur dan kondisi
penutur dan mitra tutur. Dapat dilihat pada contoh tuturan berikut.
44. Jen miturut panemuku, prija lan wanita iku pada bae. Djalaran goda iku ora mung tumanduk marang prija, nanging uga marang wanita. (ATW/5/1964) ‘Kalau menurut pendapat saya, laki-laki dan perempuan itu sama saja. Karena godaan itu tidak hanya berasal dari laki-laki, tetapi juga dari perempuan.’
Siapa yang menuturkan tuturan di atas menjadi kunci pokok bagi pembaca
untuk dapat memahami makna dan dampak dari tuturan tersebut. Apabila
penuturnya adalah seorang anak di bawah umur, maka tentu saja makna tuturan
itu menjadi luar biasa bagi pembaca. Sangat mengejutkan sekali seorang anak di
bawah umur menuturkan perkataan yang semestinya pantas dikatakan oleh orang-
orang dewasa. Akan tetapi apabila tuturan itu dituturkan oleh penutur yang sudah
dewasa, maka makna dan dampak dari tuturan itu biasa saja, sama sekali tidak
mengejutkan bagi mitra tutur dan bukan sebuah prestasi yang luar biasa bagi
pelakunya.
b. Prinsip Penafsiran Lokasional
Prinsip ini berkenaan dgnpenafsiran tempat atau lokasi terjadinya suatu
situasi (keadaan, peristiwa, dan proses) dalam rangka memahami wacana.
Berdasarkan perangkat benda yang menjadi konteksnya dapat ditafsirkan tempat
terjadinya suatu situasi pada tuturan berikut.
45. Djeng Prih, sliramu kok ana kene? Pitakone Karmanto mbukani rembug. Lha sampejan teka ja ana kene? Wangsulane Prihati kang uga ngemu pitakonan. Mundut apa djeng? Tuku buku Sarinah. Lha sliramu? (ATW, h. 13) ‘Dik Prih, kamu kok ada di sini? Tanya Karmanto membuka pembicaraan. Anda sendiri juga ada di sini? Jawab Prihati yang juga memberikan pertanyaan kepada Karmanto. Beli apa dik? Beli buku Sarinah. Anda sendiri?’.
46. Sampejan pindah kene ta mas, wis suwe? Pitakone Prihati, karo mbenakake rimonge ing pundak (ATW, h. 14). ‘Anda pindah di sini, mas? Tanya Prihati, sambil membetulkan bandananya’.
Berdasarkan perangkat benda dan realitas yang menjadi konteksnya, maka
ungkapan kene ‘di sini’ pada tuturan (45) berarti di sebuah toko buku
sebagaimana disarankan dan didukung oleh kata tuku buku ‘beli buku’ dan realitas
yang diacunya. Tuturan (46) perangkat kata pindah ‘pindah’ menyarankan
pengertian perpindahan dari suatu tempat yang satu ke tempat tinggal yang lain
bagi ungkapan kene ‘di sini’ pada tuturan (46).
c. Prinsip Penafsiran Temporal
Prinsip penafsiran temporal berkaitan dengan pemahaman mengenai
waktu. Berdasarkan konteksnya dapat ditafsirkan kapan atau berapa lama waktu
terjadinya suatu situasi.
47. Saiki Karmanto genti kaget krungu wangsulane Prihati kang mangkono. Meh bae kawetu pitakone, apa djalarane nganti pisah [...] (ATW, h. 14). ‘Sekarang Karmanto yang terkejut mendengar jawaban Prihati yang seperti itu. Hampir saja keluar pertanyaan, apa yang membuatnya sampai berpisah [....]’
Pemahaman makna dan acuan waktu terhadap kata saiki ‘sekarang’ pada
tuturan (38) mengacu pada acuan atau rentangan waktu yang sangat singkat hanya
beberapa detik saja.
d. Prinsip Penafsiran Analogi
Prinsip analogi digunakan sebagai dasar, baik oleh penutur maupun mitra
tutur, untuk memahami makna dan mengidentifikasi maksud dari sebah wacana.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tuturan di bawah ini.
48. Ana udjar kuna, barang mambu iku sanadjan ditutupana rapet ora wurung bakal ngabar. Mangkono uga apa kang ditindakake dening Karmanto, njatane uga ora bakal bisa didelikake salawase [...] (ATW, h. 20). ‘Ada pepatah lama mengatakan, bau busuk walaupun sudah ditutupi hingga rapat pasti bakalan tercium. Begitu pula apa yang dilakukan Karmanto, yang kenyataannya juga tidak mampu menyembunyikan selamanya [....]’.
Berdasarkan prinsip analogi, dapat diinterpretasikan makna barang mambu
‘benda yang berbau’ pada tuturan di atas sebagai sesuatu yang berbau busuk dan
berhubungan dengan suatu perbuatan. Berdasarkan contoh analisis semacam itu
dapat diketahui bahwa dalam upaya mendapatkan tempat berpijak yang sama
(bagi penutur dan mitra tutur), maka pengalaman-pengalaman masa lalu yang
mirip dan pengetahuan tentang dunia merupakan dasar yang penting untuk
memahami makna dan maksud-maksud sebuah wacana (tuturan). Dengan
demikian, hal itu penting bagi keberhasilan komunikasi.
2. Analisis Konteks Budaya
Sebagai pelengkap, maka pada analisis sosial budaya akan dibahas
mengenai keterkaitan antara gambaran tokoh utama dan keselarasan dengan
faktor-faktor ekstrinsik, yaitu moralitas dari tokoh wanita yang terdapat dalam
novel ini. Dari analisis alur ditemukan adanya tokoh utama Krmanto dan juga
Sukati serta Prihati. Dari analisis tersebut juga ditemukan bahwa novel Asmara
Tanpa Weweka memiliki urutan yang kronologis dan susunan alur sederhana.
Novel ini memiliki satu alur pokok yang bertumpu pada tokoh utama, sehingga
susunan alur membentuk pola cerita yang berpusat pada tokoh utama.
Analisis penokohan ditemukan tokoh wanita yakni Sukati dan Prihati
memiliki status sosial sebagai istri dan janda. Latar belakang sosial mereka pada
umumnya menunjukkan mereka berasal dari keluarga yang cukup, khususnya
Prihati. Dilihat dari segi fisik, tidak ada sedikit pun kekurangan pada kedua tokoh
wanita tersebut. Sedang dari segi mental ditemukan beberapa kelebihan dan
kekurangan pada diri mereka. Pada umumnya mereka adalah wanita yang
menjunjung tinggi nilai cinta dan kesetiaan. Akan tetapi pada umumnya mereka
juga menunjukkan sifat-sifat mementingkan diri sendiri, khususnya Prihati.
Pertemuannya dengan Karmanto pacar lamanya, membuat dirinya tidak dapat
menahan hasratnya untuk melanjutkan kisah mereka yang terputus.
Terlepas dari kekurangan-kekurangan sifat dari tokoh-tokoh tersebut,
sebagian besar isi novel Asmara Tanpa Weweka lebih menonjolkan konflik-
konflik dalam berumah tangga. Adapun yang dimaksud dengan konflik rumah
tangga adalah perpecahan keluarga sebagai suatu unit, karena anggota-anggotanya
gagal memenuhi kewajiban-kewajibannya yang sesuai dengan peranan sosialnya
(Soerjono Soekanto, 2005 : 370). Keluarga mempunyai peran yang penting dalam
kehidupan bermasyarakat sebagai mahkluk sosial. Sekaligus menerapkan
masyarakat terkecil yang terdiri dari ayah, ibu dan anak, sehingga belum merasa
lengkap status sosialnya jika kehadiran seorang tidak ada dalam pelukan keluarga.
Dalam novel Asmara Tanpa Weweka konflik rumah tangga terjadi karena
suami mengambil istri lagi. Hal ini terjadi pada Karmanto yang telah memiliki
isteri yaitu Sukati. Karmanto yang tinggal di Surabaya karena pekerjaannya
membuat dirinya terpisah dengan suaminya, dan hanya satu bulan pulang
mengunjungi suaminya. Tanpa sengaja Karmanto bertemu dengan mantan
kekasihnya, yaitu Prihati. Pertemuan ini membuat Karmanto terlena dengan
romantika masa lalu saat dirinya masih menjadi kekasih Prihati. Akibatnya, bagi
Karmanto tidak dapat menahan godaan yang datangnya tanpa dia rasakan.
Karmanto menikahi Prihati, tanpa sadar bahwa dirinya telah memiliki seorang
istri.
Tokoh Sukati digambarkan sebagai sosok wanita yang rapuh. Setelah
mengetahui perselingkuhan suaminya, Sukati menuntut cerai oleh suaminya.
Permohonannya itu pun dikabulkan. Setelah menjanda, hidup Sukati menjadi
mandiri. Dia berdagang kain di Pasar Klewer. Kerapuhan Sukati ditunjukkan
pengarang ketika dia bertemu dengan lelaki paro baya di sebuah bis luar kota.
Lelaki itu memperkenalkan kepada Sukati bahwa dirinya adalah seorang saudagar
yang ingin menikah. Mendengar penuturan laki-laki paro baya itu, Sukati seperti
tergoda. Sukati yang merasa telah dikecewakan berusaha untuk mendapatkanlaki-
laki kaya dengan harapan semua harta warisannya akan jatuh padanya. Namun
sayang, ternyata semua yang didengarnya itu hanya tipuan mulut manis laki-laki.
Sukati yang diajak menginap di sebuah losmen tanpa sadar semua hartanya telah
ludes dibawa lari oleh laki-laki tersebut.
Widi Widayat dilahirkan di Imogiri, Bantul, Yogyakarta, tanggal 10 Mei
1928. Ayahnya bernama R. Setrodimejo, seorang wedana di daerah tempatnya
dilahirkan. Masa SD dihabiskan di Imogiri, kemudian meneruskan SMP dan SMA
bagian C (jurusan ekonomi) di Surakarta. Dalam diri Widi Widayat sebetulnya
tidak mengalir darah kepengarangan. Pendidikannya juga tidak mendukung sama
sekai karena ilmu yang dipelajarinya bagian ekonomi. Pada mulanya profesi ini
ditekuni karena iseng-iseng untuk mengisi waktu, ia menulis dan mengirimkannya
ke sebuah majalah. Tidak berapa lama karyanya itu dimuat. Widi Widayat merasa
senag sekali, hasil karyanya dihargai, sehingga Widi Widayat lebih bersemangat
untuk menulis.
Namanya mulai dikenal masyarakat luas ketika novelnya yang berjudul
Tresna Abeya Pati berhasil memenangkan juara pertama pada lomba penulisan
novel berbahasa Jawa yang diselenggarakan oleh majalah Panjebar Semangat
tahun 1963. Widi Widayat sudah tidak ingat berapa jumlah dan nama-nama
karyanya, baik yang berbahasa Jawa maupun berbahasa Indonesia. Hal tersebut
dikarenakan, ia tidak mendokumentasikan karyanya dengan baik. Hanya karya-
karya tertentu saja yang sampai sekarang ia dokumentasikan.
Satu hal yang menarik bagi Widi Widayat adalah prinsip hidupnya yang
tidak mau diperintah orang lain, apa yang dilakukannya merupakan kehendak
hatinya. Termasuk profesinya dalam mengarang, ia lebih menekuninya daripada
menjadi seorang pejabat pemerintah, yang seandainya ia mau sebenarnya dapat
menjadi seorang camat ataupun jabatan yang setingkat.
Sistem nilai, norma, dan stereotipe tentang wanita telah lama menjadi
faktor yang mempengaruhi posisi maupun hubungan perempuan dengan laki-laki
atau dengan lingkungannya dalam struktur yang ada. Teori fungsionalis
memandang pembagian kerja secara seksual mutlak dibutuhkan untuk menjaga
keseimbangan kseluruhan sistem kehidupan. Perempuan memiliki tugas di dalam
rumah tangga untuk mempertegas fungsi suami.
3. Inferensi
Inferensi adalah proses yang harus dilakukan oleh komunikan untuk
memahami makna yang secara harfiah tidak terdapat dalam wacana yang
diungkapkan oleh komunikator (Sumarlam, 2003: 51). Bermacam-macam
inferensi dapat diambil dari sebuah tuturan bergantung pada konteks yang
menyertainya. Imam Syafi’i (dalam Hamid Hasan Lubis, 1993: 58) membedakan
empat macam konteks pemakaian bahasa, yaitu konteks fisik, konteks epistemis,
konteks linguistik, dan konteks sosial.
Konteks fisik meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa, objek yang
disajikan dalam peristiwa komunikasi, dan tindakan para partisipan dalam
peristiwa komunikasi. Konteks epistemis yaitu latar belakang pengetahuan yang
sama-sama diketahui oleh penutur dan mitra tutur. Konteks linguitik terdiri atas
tuturan-tuturan yang mendahului atau yang mengikuti sebuah tuturan tertentu lm
peristiwa komunikasi. Konteks sosial yaitu relasi sosial yang melengkapi
hubungan antara penutur dengan mitra tutur. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada tuturan berikut.
49. O, anu mbak, mas Karmanto sampun dangu pindah saking ngriki, sasampunipun mas Karmanto krama (ATW/ 22/1964). ‘O, begini mbak, mas Karmanto sudah lama pindah dari sini, setelah mas Karmanto menikah’.
a. Tuturan (51) “O, anu mbak, mas Karmanto sampun dangu pindah
saking ngriki, sasampunipun mas Karmanto krama (ATW/22/1964)”. ‘O, begini mbak, mas Karmanto sudah lama pindah dari sini, setelah mas Karmanto menikah’ merupakan konteks linguistik.
b. Konteks fisiknya adalah tuturan itu disampaikan oleh penutur di
sebuah rumah, topik yang dibicarakan mengenai keberadaan
seseorang yakni Karmanto.
c. Konteks epistemisnya ialah mitra penutur sebelumnya belum
memahami bahwa orang yang dicarinya ternyata sudah pindah dan
telah menikah.
d. Hubungan sosial antara penutur dengan mitra tutur merupakan
konteks sosial dan diperkirakan status sosial penutur lebih rendah
daripada mitra tutur karena menggunakan ragam bahasa Jawa
krama.
Berdasarkan empat konteks yang menyertai tuturan (49) maka
dimungkinkan ada dua inferensi, yaitu penutur meminta kepada mitra tutur untuk
mencari di tempat lain mengenai keberadaan Karmanto, penutur ingin memberi
tahukan kepada mitra tutur tentang Karmanto yang telah menikah. Dengan
demikian berdasarkan inferensi-inferensi dan konteks yang mendasarinya maka
maksud tuturan (49) tersebut secara eksplisit dapat dinyatakan.
c. Cobi panjenengan padosi panggenan sanesipun, mbok menawi mas
Karmanto wonten! ‘Coba anda cari di tempat lain, mungkin saja mas
Karmanto ada?’
d. Mas Karmanto samenika sampun krama, lajeng pindah wonten pundi
mboten mangertos. ‘Mas Karmanto sekarang sudah menikah lalu
pindah ke mana tidak tahu.’
Apa yang telah diuraikan menyadarkan bahwa mengkaji sebuah wacana,
khususnya dengan dasar pendekatan makrostruktural, perlu dipertimbangkan
konteks kultural dan konteks situasi, baik berkenaan dengan konteks linguistik,
fisik, epistemis, maupu konteks sosial. Berbagai prinsip penafsiran dan prinsip
analogi perlu dilakukan, di samping itu juga pemahaman makna wacana melalui
inferensi. Dengan demikian analisis wacana harus diawali dengan pemahaman
terhadap konteks-konteks tersebut.
i. Kekhasan Wacana Novel ATW Karya Widi Widayat
Ada beberapa kekhasan wacana yang ditemukan dalam novel berbahasa
Jawa “Asmara Tanpa Weweka” karya Widi Widayat. Yaitu susunan kalimat
dalam wacana novel berbasaha Jawa Asmara Tanpa Weweka lebih terstruktur,
sehingga membentuk kohesi dan koherensi yang padu untuk menjadi sebuah
wacana. Kekhasan-kekhasan wacana novel berbahasa Jawa ATW karya Widi
Widayat adalah sebagai berikut.
1. Wacana novel berbahasa Jawa Asmara Tanpa Weweka juga
memberikan gambaran yang sesuai dengan kondisi sebenarnya kepada
pembaca.
Seperti pada contoh berikut ini.
(50) Grodjogan Sewu, alas pinus lan papan-papan sakiwa tengene,
saupama bisa ngutjap mesti njritakake pengalaman-pengalaman
kang wis tau dingerteni, mudjudake seksi-seksi kang ora bakal
mukir, jen njatane papan-papan ing sakiwa tengene iku mudjudake
papan kang nikmat tumraping para muda kang nedang among
tresna. Tentreming swasana mangribawani marang rasa kang
nglangut marang gegajuhan.
(50 Air terjun, hutan pinus dan tempat-tempat di kanan kirinya semisal
bisa berkata dan menceritakan pengalaman-pengalaman yang
sudah diketahui, mewujudkan saksi-saksi yang tidak akan bohong.
Jika kenyataan tempat-tempat di kanan kirinya itu mewujudkan
tempat yang nikmat kepada para pemuda yang sedang jatuh cinta.
Tentramnya suasana menjadikan malas untuk mengerjakan sesuatu.
Wacana di atas menggambarkan suatu tempat menurut keadaan yang
sebenarnya, yaitu Tawangmangu.
2. Wacana novel berbahasa Jawa ATW didalamnya terdapat suatu nasihat
yang ringkas dan menarik yang dapat mempengaruhi pembacanya.
Seperti yang terdapat pada kutipan berikut.
(51) Lumrahe wong jen ngadepi marang goda iku pantjen ora
rumangsa. Malah kadangkala dianggep nemu sawidjining
kanugrahan kang tanpa timbang.
(51) Sudah sepantasnya jika seseorang mendapatkan cobaan itu
memang tidak terasa. Kadang dianggap mendapatkakan suatu
keberuntungan tanpa pertimbangan.
Maksud yang terkandung dari tuturan diatas adalah dalam menghadapi
suatu cobaan memang seperti menemukan sesuatu yang tanpa butuh
pertimbangan. Kalimat diatas secara tidak langsung menyampaikan pesan kepada
setiap orang untuk selalu berhati-hati dalam mengambil suatu keputusan.
3. Karakteristik penulisan abjad pada novel ATW karya Widi Widayat
tidak sesuai dengan aksara penulisan yang diucapkan. Aksara
penulisan tersebut diantaranya.
a. Dheweke ditulis menjadi deweke
b. Didhisiki ditulis menjadi didisiki
c. Disandhing ditulis menjadi disanding
Penelitian wacana novel berbahasa Jawa ATW karya Widi Widayat dapat
dianalisis dari segi aspek wacana secara komplit dan menyeluruh. Hal tersebut
dapat dibuktikan dari setiap analisisnya.
1. Adanya penanda kohesi leksikal dan gramatikal, sehingga hubungan antar-
kalimatnya menjadi lebih kohesif dan efisien dan dapat dengan mudah
dipahami maknanya.
2. Semua penanda koherensi ada pada wacana novel ATW karya Widi
Widayat
3. Sering dipakainya pronomina persona aku ‘saya’ dan deweke ‘dia’ pada
setiap kalimat, sehingga terkesan sebagai wacana yang berjenis dialog.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Penelitian terhadap novel karya Widi Widayat dengan judul Asmara
Tanpa Weweka yang telah dilakukan ini dapat diambil suatu simpulan sebagai
berikut.
1. Hasil analisis kewacanaan menunjukkan bahwa novel Asmara Tanpa Weweka
memiliki semua kohesi gramatikal dan leksikal. Kohesi gramatikal terdiri atas
pengacuan, penyulihan, pelesapan, dan perangkai. Sedangkan kohesi leksikal
terdiri atas repetisi, sinonimi, antonimi, ekuivalensi, kolokasi, dan hiponimi.
Keberadaan kohesi gramatikal dan leksikal tersebut membangun sebuah
wacana menjadi kohesif dan koheren.
2. Koherensi yang ditemukan pada wacana Novel berbahasa Jawa Asmara Tanpa
Weweka karya Widi Widayat adalah koherensi yang bermakna sebab-akibat,
bermakna penekanan, bermakna lokasi/kala, bermakna penambahan,
bermakna penyimpulan, dan koherensi yang bermakna pertentangan.
3. Proses pemahaman wacana melalui berbagai aspek, baik konteks situasi
maupun budaya. Dengan berbagai prinsip penafsiran yang mempertimbangkan
beberapa faktor sosial, situasional, kultural, dan pengetahuan tentang dunia.
4. Kekhasan wacana yang ditemukan pada novel Asmara Tanpa Weweka adalah
berupa gambaran yang sesuai dengan kodisi sebenarnya, selain itu didapatinya
semua penanda kohesi dan koherensi yang mempermudah dalam analisisnya.
B. Saran
Berpijak dari kesimpulan yang telah diuraikan, selanjutnya akan
ditampilkan beberapa saran sebagai berikut:
1. Menyadari masih terbatasnya penelitian di bidang linguistik yang mengambil
karya sastra berbentuk novel sebagai bahan kajian untuk dikaji dengan
pendekatan analisis wacana, maka perlu kiranya penelitian ini lebih
diintensifkan.
2. Berhubung dengan terbatasnya waktu dan kemampuan dalam melakukan
penelitian ini, maka penelitian terhadap novel karya Widi Widayat dengan
judul Asmara Tanpa Weweka dapat dikatakan sangat kurang dan belum
sempurna. Oleh karena itu masih terbuka lebar bagi calon peneliti untuk
meneliti dengan pendekatan yang berbeda, agar memperoleh hasil penelitian
yang baik dan sempurna.
3. Penelitian terhadap karya sastra berbentuk novel mampu untuk menampilkan
eksistensi novel Jawa pada masyarakat modern pada saat ini.
DAFTAR PUSTAKA Abdul Chaer. 1990. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Rineka
Cipta. __________. 1994. Kamus Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta. Anton M. Moeliono. (ed). 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka. . dkk. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta :
Balai Pustaka. D. Edi Subroto. 1992. Pengantar Metode Penelitian Linguistik Struktural.
Surakarta: Sebelas Maret University Press. Djoko Kentjono. 1982. Dasar-dasar Linguistik Umum. Jakarta : FIPB UI. Dyah Padmaningsih. 1996. Kohesi Gramatikal dalam Wacana Dialog (Makalah).
Denpasar : University Udayana. Hadari Nawawi dan H. Mimi Martini. 1996. Penelitian Terapan. Yogyakarta :
Gajah Mada University Press. Harimurti Kridalaksana 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama. ___________________ . 2001. Kamus Linguistik, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Utama. Henry Guntur Tarigan. 1987. Analisis Wacana. Bandung: Angkasa. __________________. 1993. Pengajaran Wacana. Bandung : Penerbit Angkasa. Keraf, Gorys. 1984. Tata Bahasa Indonesia. Ende Flores : Nusa Indah. . 1990. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta : Gramedia. Lubis, Hamid Hasan.1993. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: Angkasa. Samsuri. 1987/1988. Analisis Wacana.Malang: Penyelenggaraan Pascasarjana
Proyek Peningkatan/Pengembangan Perguruan Tinggi, IKIP Malang.
Soenjono Dardjowidjojo. 1983. Beberapa Aspek Lingusitik Indonesia. Jakarta:
Penerbit Djambatan.
Sudaryanto. 1985. Metoda dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta : MLI. _________. 1993. Pemanfaatan Potensi Bahasa. Yogyakarta: Kanisius. Sumarlam. (ed). 2003. Teori dan Praktik Analisis Wacana. Surakarta : Pustaka
Cakra. _________. 2006. Analisis Wacana Tekstual dan Kontekstual. Surakarta: Jurusan
Sastra Daerah Universitas Sebelas Maret Surakarta. Wedhawati, dkk. 1993. Wacana Bahasa Jawa. Jakarta : Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
LAMPIRAN
A. Riwayat Hidup Widi Widayat
Widi Widayat dilahirkan di Imogiri, Bantul, Yogyakarta, tanggal 10 Mei
1928. Ayahnya bernama R. Setrodimejo, seorang wedana di daerah tempatnya
dilahirkan. Masa SD dihabiskan di Imogiri, kemudian meneruskan SMP dan SMA
bagian C (jurusan ekonomi) di Surakarta.
Dalam diri Widi Widayat sebetulnya tidak mengalir darah kepengarangan.
Pendidikannya juga tidak mendukung sama sekai karena ilmu yang dipelajarinya
bagian ekonomi. Pada mulanya profesi ini ditekuni karena iseng-iseng untuk
mengisi waktu, ia menulis dan mengirimkannya ke sebuah majalah. Tidak berapa
lama karyanya itu dimuat. Widi Widayat merasa senang sekali, hasil karyanya
dihargai, sehingga Widi Widayat lebih bersemangat untuk menulis.
Namanya mulai dikenal masyarakat luas ketika novelnya yang berjudul
Tresna Abeya Pati berhasil memenangkan juara pertama pada lomba penulisan
novel berbahasa Jawa yang diselenggarakan oleh majalah Panjebar Semangat
tahun 1963. Widi Widayat sudah tidak ingat berapa jumlah dan nama-nama
karyanya, baik yang berbahasa Jawa maupun berbahasa Indonesia. Hal tersebut
dikarenakan, ia tidak mendokumentasikan karyanya dengan baik. Hanya karya-
karya tertentu saja yang sampai sekarang ia dokumentasikan.
Widi Widayat di samping sebagai seorang pengarang, dia juga seorang
wartawan di berbagai surat kabardan majalah, antara lain Panjebar Semangat,
Suara Merdeka, Dharma Kandha, Suara Karya, Suara Bengawan , dll. Profesi
sebagai wartawan digeluti sejak tahun 1950 dan mengundurkan diri pada tahun
1987 setelah dirasakannya harus lebih banyak istirahat karena faktor usia. Sejak
tahun 1987 perhatiannya difokuskan pada dunia tulis menulis karya sastra. Akhir
tahun 60-an Widi Widayat lebih banyak menulis dalam media bahasa Indonesia
karena ia melihat peminat hasil karya dalam bahasa Jawa menurun. Melalui media
bahasa Indonesia ini, namanya semakin dikenal masyarakat, meskipun ia telah
beralih ke media bahasa Indonesia bukan berarti ia meninggalkan kebudayaan
Jawa. Ia mencintai kebudayaan Jawa yang adiluhung, terbukti semua karya yang
ditulis dalam bahasa Indonesia tetap berlatarkan kebudayaan Jawa. Ia mengakui
bahwa secara komersial melalui media bahasa Indonesia, karya-karyanya lebih
menguntungkan, karena peminatnya lebih banyak dan jangkauannya lebih luas
daripada karyanya yang memakai bahasa Jawa sebagai medianya.
Satu hal yang menarik dari sosok Widi Widayat adalah prinsip hidupnya
yang tidak mau diperintah orang lain, apa yang dilakukannya merupakan
kehendak hatinya. Termasuk profesinya dalam mengarang, ia lebih menekuninya
daripada menjadi seorang pejabat pemerintah, yang seandainya ia mau sebenarnya
dapat menjadi seorang camat ataupun jabatan yang setingkat. Pada waktu itu
jabatan camat, sifatnya turun-temurun, dan bila dilihat bahwa orang tua dan
sebagian saudaranya adalah menjabat pekerjaan semacam itu, dapat
dimungkinkan Widi Widayat dapat menjadi pejabat semacam itu pula. Namun,
baginya profesi pengarang lebih menguntungkan baik secara lahiriah dan batiniah.
Widi Widayat menikah dengan Sudjimah, seorang putri Solo pada tahun
1955, dari perkawinannya dikaruniai seorang anak bernama Widi Winarsi. Widi
Widayat adalah orang yang sabar dan menyayangi keluarga. Ia tidak pernah
memaksakan kehendak orang lain, terutama kepada putri tunggalnya. Kebebasan
untuk memilih kehidupan di masa depan seluruhnya diserahkan kepada putrinya.
Sebagai kepala keluarga ia merasa bertanggung jawab mendidik serta mengawasi
agar putrinya berjalan pada jalur yang benar. Widi Widayat tidak pernah
mengajarkan mengenai nikmatnya menjadi pengarang, karena ia mengetahui
bahwa putrinya tidak tertarik menjalani profesi seperti ayahnya, sehingga putrinya
dibiarkan berkembang dengan keinginan dan bakatnya sendiri.
Masa SD Widi Widayat dihabiskan di Imogiri. Setelah itu pindah ke Solo,
tepatnya di Kartopuran hingga akhir hayatnya. Di kampung tempatnya tinggal,
Widi Widayat cukup terkenal, bukan hanya sebagai pengarang, akan tetapi
sebagai tokoh masyarakat di sekelilingnya. Ia adalah salah satu pemuka dan
sesepuh masyarakat, yang hingga usianya menjelang senja, ia masih aktif
memberikan masukan dan gagasan bagi kemajuan kampungnya. Widi Widayat
dalam bermasyarakat tidak membedakan yang kaya atau yang miskin. Semua
dianggapnya sama sebagai saudara yang bahu membahu memajukan
kampungnya, sehingga ia dikenal dan disegani oleh seluruh lapisan masyarakat.
B. Karya-karya Widi Widayat
1. Karya yang Berupa Cerbung
1. Tresna Abeya Pati (1963).
2. Karya yang Berupa Cerkak
1. Umbul Pengging (1963).
3. Karya yang Berupa Gubahan
1. Sam Pek Eng Tay (1963)
2. Tarzan (1964).
3. Kuburan Kang Njaluk Digaringake (1965).
4. Gegere Bolong (1965).
4. Karya yang Berupa Novel
1. Kapilut Godaning Setan (1964).
2. Suduk Gunting Tatu Loro (1964).
3. Prawan Semarang (1964)
4. Dawet Ayu (1964).
5. Kenya katula-tula (1964).
6. Keduwung Ketemu Mburi (1965).
7. Asmara Tanpa Weweka (1965).
8. Rajapati Nyalawadi (1965).
9. Asmara Tanpa Wates (1965).
10. Asih Sejati (1965).
11. Dukun Sontoloyo (1965).
12. Ngrungkebi Tresna Suci (1965).
13. Ya Bungah Ya Susah (1965).
14. Godane Prawan Ayu (1965).
15. Nista Nggayuh Tresna(1965).
16. Kiprahe Putra Pertiwi (1965).
17. Lelana Ing Sakura (1965).
18. Ngrusak Pager Ayu (1965).
19. Sadulur Sinarawedi (1965).
20. Layang Saka Pakunjaran (1965).
21. Banjire Bengawan Sala (1965).
22. Bapak Molah Anak Kepradah (1965).
23. Mursal (1966).
24. Paukumaning Pangeran (1966)
25. Tumbaling Revolusi (1966).
26. Dukun Sawelas (1966).
27. Warung Ayu (1966).
28. Kenya saka Kuta Gudeg (1966).
29. Kena Ing Paeka (1966).
30. Godaning Kadiwasan (1966).
31. Kebak Sudukane (1966).
32. Penganten Wurung (1966).
33. Kebo Lali Kandange (1966).
34. Kurban Asmara (1966).
35. Prawan Keplayu (1966).
36. Retnowati (1967).
37. Ngunduh Wohing Tumindak (1967).
38. Prawan Kaosan (1967).
39. Kenya Brandalan (1967).
40. Warni Prawan Wonogiri (1995).