28
Seminar Nasional Biodiversitas Abs Masy Biodiv Indon vol. 6 | no. 1 |pp. 1-22 | Agustus 2019 ISSN: 2407-8069 Punthuk Setumbu, Magelang, Jawa Tengah; foto oleh Lina Pramudita Penyelenggara & Pendukung Manuskrip terseleksi dipublikasikan pada: diterbitkan pada

Seminar - Sebelas Maret Universitybiodiversitas.mipa.uns.ac.id/S/gen/pdf/A0601aaALL.pdfsampai 3,53cm dengan rata-rata 1,93cm. Persentase hidup tanaman dari 44,4-94,4% dengan rata-rata

  • Upload
    others

  • View
    24

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Seminar - Sebelas Maret Universitybiodiversitas.mipa.uns.ac.id/S/gen/pdf/A0601aaALL.pdfsampai 3,53cm dengan rata-rata 1,93cm. Persentase hidup tanaman dari 44,4-94,4% dengan rata-rata

Seminar Nasional

Biodiversitas

Abs Masy Biodiv Indon vol. 6 | no. 1 |pp. 1-22 | Agustus 2019

ISSN: 2407-8069

Pu

nth

uk

Setu

mb

u, M

ag

ela

ng

, Ja

wa

Ten

ga

h;

foto

ole

h L

ina

Pra

mu

dit

a

Penyelenggara & Pendukung

Manuskrip terseleksi dipublikasikan pada:

diterbitkan pada

Page 2: Seminar - Sebelas Maret Universitybiodiversitas.mipa.uns.ac.id/S/gen/pdf/A0601aaALL.pdfsampai 3,53cm dengan rata-rata 1,93cm. Persentase hidup tanaman dari 44,4-94,4% dengan rata-rata

ALAMAT SEKRETARIAT

Sekretariat Masyarakat Biodiversitas Indonesia, Kantor Jurnal Biodiversitas, Jurusan Biologi, FMIPA UNS, Jl. Ir. Sutami 36A

Surakarta 57126, Jawa Tengah, Indonesia. Tel. +62-897-6655-281. Email: [email protected]. Website:

biodiversitas.mipa.uns.ac.id/snmbi.html

Penyelenggara & pendukung

Manuskrip terseleksi dipublikasikan pada:

Page 3: Seminar - Sebelas Maret Universitybiodiversitas.mipa.uns.ac.id/S/gen/pdf/A0601aaALL.pdfsampai 3,53cm dengan rata-rata 1,93cm. Persentase hidup tanaman dari 44,4-94,4% dengan rata-rata

JADWAL

Seminar Nasional

Masyarakat Biodiversitas Indonesia (MBI)

Magelang, 31 Agustus 2019

PUKUL KEGIATAN PENANGGUNGJAWAB RUANG

31 Agustus 2019

07.30-08.00 Registrasi Panitia Selasar

08.00-08.40 Upacara pembukaan Rektorat Untidar R1

08.40-09.00 Foto Bersama dan Kudapan Pagi Panitia R1, Selasar

09.00-10.30 Panel I Moderator R1

Prof. Sugiyarto

Prof. Erri Noviar Megantara

10.30-12.00 Panel II Moderator R1

Prof. Erny Poedjirahajoe

Prof. Trizelia

12.00-13.00 Shalat, Makan dan Presentasi Poster Panitia Selasar

13.00-14.00 Presentasi paralel I Panitia Selasar

Kelompok 1: AO-01 s.d. AO-06 Moderator R1

Kelompok 2: BO-01 s.d. BO-06 Moderator R2

Kelompok 3: BO-07 s.d. BO-12 Moderator R3

Kelompok 4: BO-13 s.d. CO-01 Moderator R4

14.00-15.00 Presentasi paralel II

Kelompok 5: CO-02 s.d. CO-07 Moderator R1

Kelompok 6: CO-08 s.d. DO-01 Moderator R2

Kelompok 7: DO-02 s.d. EO-05 Moderator R3

Kelompok 8: EO-06 s.d. EO-12 Moderator R4

15.00-15.15 Istirahat, Sholat dan Kudapan Sore Panitia Selasar

15.15-15.30 Pengumuman presenter terbaik

Upacara penutupan & penjelasan lain

Ketua Dewan Penilai

Ketua Panitia

R1

1 September 2019

07.30- ... City tour [opsional] Panitia Selasar

Page 4: Seminar - Sebelas Maret Universitybiodiversitas.mipa.uns.ac.id/S/gen/pdf/A0601aaALL.pdfsampai 3,53cm dengan rata-rata 1,93cm. Persentase hidup tanaman dari 44,4-94,4% dengan rata-rata

DAFTAR ISI

Seminar Nasional

Masyarakat Biodiversitas Indonesia (MBI)

Magelang, 31 Agustus 2019

KODE JUDUL PENULIS HAL.

Keanekaragaman Genetik

AO-01 Keragaman pertumbuhan manglid (Manglietia glauca)

pada umur 18 bulan di Trenggalek, Jawa Timur

Sugeng Pudjiono, Mashudi,

Mudji Susanto, Dedi Setiadi

1

AO-02 Keragaman pertumbuhan beberapa provenan jati pada plot uji keturunan umur 10 tahun di Gunungkidul,

Yogyakarta

Hamdan Adma Adinugraha, Sugeng Pudjiono, Jayusman,

Mahfudz

1

AO-03 Keragaman, heritabilitas dan korelasi genetik tanaman

uji keturunan pulai darat (Alstonia angustiloba) umur

empat tahun di Wonogiri, Jawa Tengah

Mashudi, Mudji Susanto, Liliana

Baskorowati, Sugeng Pudjiono,

Dedi Setiadi, Maman Sulaeman

2

AO-04 Estimasi ukuran populasi efektif pada kebun benih klon kayu putih di Gunungkidul dan Sleman,

Yogyakarta

Noor Khomsah Kartikawati 2

AO-05 Teknik isolasi dna tanaman kepel (Stelechocarpus

burahol) dengan metode kit nucleon phytopure

Tri Suwarni Wahyudiningsih,

Erry Purnomo, Esna Dilli

Novianto, Dian Sartika

2

AO-06 Clonality and gene dynamics of sandalwood in Bejiharjo, the most disturbed landrace in Gunung

Sewu (Indonesia), during on-going fragmentation in

2012 to 2019

Aditya Kurniawan, Sapto Indrioko, Yeni WN

Ratnaningrum,

3

AP-01 Breeding strategy of Dyera lowii to improve

the productivity of jelutong gum in Central

Kalimantan

Tri Suwarni Wahyudiningsih,

Mohammad Na’iem, Sapto

Indrioko, Issirep Sumardi

3

Keanekaragaman Spesies

BO-01 Jenis dan populasi nematoda parasit pada rizosfer

tanaman tebu (Saccharum officinarum) di sentra

produksi tebu Sumatera Barat

Winarto, Novri Nelly, Della

Andini

4

BO-02 Ketahanan beberapa varietas padi lokal Sumatera

Barat terhadap virus penyebab penyakit tungro

Yenny Liswarni, Martinius,

Nurbailis

4

BO-03 Evaluasi plot konservasi ex-situ jenis-jenis tanaman

hutan umur 6 bulan di Tahura Bunder, Gunungkidil,

Yogyakarta

Lukman Hakim, Ari Fiani 4

Page 5: Seminar - Sebelas Maret Universitybiodiversitas.mipa.uns.ac.id/S/gen/pdf/A0601aaALL.pdfsampai 3,53cm dengan rata-rata 1,93cm. Persentase hidup tanaman dari 44,4-94,4% dengan rata-rata

iv

BO-04 Karakter agronomis dua varietas cabai pada pemberian

berbagai konsentrasi biopestisida minyak serai wangi

Puji Harsono, Dwiwiyati Nurul

Septariani, Widyatmani Sih

Dewi

5

BO-05 Pendugaan kepadatan dan kelimpahan Owa Jawa

(Hylobates moloch, Audebert 1798) di Cagar Alam

Gunung Simpang dan Gunung Tilu, Jawa Barat

Hafi Auliya Nurhayati, Rina

Ratnasih Purnamahati, Nurudin

5

BO-06 Keanekaragaman burung diurnal di Taman Hutan

Raya KGPAA Mangkunagoro I, Jawa Tengah

Kevin Winanda Eka Putra , Aji

Sukma Iqbal Najibulloh , Fahmi

Moch. Ansori , Agung

Sepwantoro , Agung Budiharjo,

5

BO-07 Pola persebaran Verbena brasiliensis di jalur

pendakian Ranu Pani, Gunung Semeru, Jawa Timur

Fahira Miako, Rian Setiawan,

Kirana Raditya, Christoforus Edwin Perdana Gaso,

Pristyakusuma Dwi Fajriani,

Nadya Damayanti, Jatmiko Bayu

Aji Perdana, Yusta Elvasonia

Duan, Rizka Aulia, Atus

Syahbudin

6

BO-08 Ex situ conservation of Myristicaceae in Indonesian

Botanic Gardens

Rosniati Apriani Risna 6

BO-09 Konservasi biji beberapa jenis tumbuhan berbuah di

kawasan Hutan Adat Baringin, Enrekang-Sulawesi

Selatan

Dian Latifah, Mahat Magandhi,

Aulia Hasan Widjaya

6

BO-10 Penelitian cendana (Santalum album) di Indonesia Yuliah, Liliek Haryjanto, Dwiko

Budi Permadi

7

BO-11 Karakteristik Tinospora glabra (Menispermaceae) dari

Gunung Nglanggeran, Gunungkidul, Yogyakarta

Widodo 7

BO-12 Potensi distribusi Agathis borneensis menggunakan

model Maxent

Didi Usmadi 7

BO-13 The composition of undergrowth vegetation in the

Gendol riverbank, Cangkringan Subdistrict, Sleman

District, Yogyakarta

Atus Syahbudin, Alnus Meinata,

Ridla Arifriana

8

BO-14 Distribusi capung (Odonata) di Kawasan Hutan

Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Gunung Bromo,

Karanganyar, Jawa Tengah

Sugiyarto, Ike Nurjuita

Nayasilana, Ayu Astuti

8

BO-15 Karakterisasi morfologi surian (Toona sinensis Roem)

dari populasi Jawa di plot konservasi ex-situ umur 12

tahun

Jayusman, Ari Fiani 8

BO-16 Structure and composition of vegetation and canopy

density for Javan Slow Loris (Nycticebus javanicus)

living space in forest Kemuning, Bejen Subdistrict,

Temanggung District, Central Java

Yanieta Arbiastutie, Farah Diba,

Rendy Enggar Suwandi

9

BO-17 Keanekaragaman Amfibi di Kawasan Hutan dengan

Tujuan Khusus (KHDTK) Gunung Bromo,

Karanganyar, Jawa Tengah

Nur Choiriyah Merdekawati,

Sugiyarto , Ike Nurjuita

Nayasilana

9

BP-01 Inventarisasi tumbuhan paku (Pteridophyta) di

Kawasan Pegunungan Lawu Bagian Selatan, Jawa

Tengah

Ana Sholekah Asza, Aji Sukma

Iqbal Najibulloh, Sugiyarto

9

Page 6: Seminar - Sebelas Maret Universitybiodiversitas.mipa.uns.ac.id/S/gen/pdf/A0601aaALL.pdfsampai 3,53cm dengan rata-rata 1,93cm. Persentase hidup tanaman dari 44,4-94,4% dengan rata-rata

v

Keanekaragaman Ekosistem

CO-01 Preferensi Lokasi bersarang penyu hijau berdasarkan

karaktersitik vegetasi di Taman Pesisir Pantai Penyu

Pangumbahan, Jawa Barat

Alvianto Roeseno, Ichsan

Suwandhi, Devi Nandita

Choesin

10

CO-02 Orchid and Hoya host tree preferences: new evidence

of plant diversity on the success of Wanagama

Educational Forest Rehabilitation, Yogyakarta

Atus Syahbudin, Abdul Rahman

Sidiq

10

CO-03 Effect of wildfires on vegetation in tropical peatlands Sinta Haryati Silviana, Bambang

Hero Saharjo, Sigit Sutikno

11

CO-04 Evaluasi kesesuaian habitat penyu hijau (Chelonia

mydas) di Pantai Sindangkerta, Tasikmalaya, Jawa

Barat

Agustina Kristin Handayani,

Ichsan Suwandhi, Devi Nandhita

Choesin

11

CO-05 Karakteristik Iluminasi Cahaya dan kebisingan

antropogenik di habitat peneluran penyu hijau

(Chelonia mydas) Suaka Margasatwa Sindangkerta,

Tasikmalaya, Jawa Barat

Susi Handayani, Ichsan

Suwandhi, Devi Nandita

Choesin

11

CO-06 Analisis fragmentasi hutan berdasarkan klasifikasi

tutupan lahan menggunakan Object Based Image

Analysis (OBIA) di Kawasan Koridor Gunung

Simpang, Jawa Barat

Sony Saefulloh, Rina Ratnasih

Irwanto, Nuruddin Nurudin

12

CO-07 Pemetaan kesesuaian habitat Owa Jawa (Hylobates

moloch Audebert, 1798) di Cagar Alam Gunung

Simpang dan Gunung Tilu, Jawa Barat

Selly Surya, Rina Ratnasih

Irwanto, Nuruddin Nurudin

12

CO-08 Karakteristik morfologi jamur Ceratocystis fimbriata

dan uji virulensinya pada daun Acacia mangium dan

A. auriculiformis

Nur Hidayati, Desy Puspitasari 13

CO-09 Pertumbuhan semai Acacia auriculiformis dengan

aplikasi Rhizobium dan media tanah dari bawah

tegakan A. auriculiformis

Siti Husna Nurrohmah 13

CO-10 Identifikasi kualitas air Sungai Progo Magelang

dengan indikator makrozoobentos

Ericka Darmawan, Ika

Sukmawati, Mu'asaroh, Septi

Rahmawati

13

CO-11 Makrozoobentos sebagai indikator kualitas air Sungai

Progo, Bandongan, Magelang, Jawa Tengah

Anis Magfiroh, Kurnia Hanik

Mufidah, Sari Dewi Susanti,

Rivi Nuryani, Ericka Darmawan, Ika Sukmawati

14

CO-12 Uji kualitas air berdasarkan parameter bioindikator

makrozoobentos di Sungai Bolong, Magelang, Jawa

Tengah

Setiyo Prajoko, Karunia Galih

Permadani, Faiqoh, Ivana Riqoh

14

CP-01 Komunitas burung pada beberapa tipe vegetasi di

kawasan Taman Buru Gunung Masigit-Kareumbi, Jawa Barat, Indonesia

Ruhyat Partasasmita, Reski

Akbar Mantsuur, Johan Iskandar

14

Etnobiologi dan Sosial Ekonomi

DO-01 Perubahan peraturan tentang jenis burung yang

dilindungi di Indonesia

Ign. Pramana Yuda, Yulius

Harjoseputro

15

DO-02 Ragam tumbuhan obat untuk mengatasi tumor dan

kanker dari beberapa etnis di Propinsi Bengkulu

Yuli Widiyastuti, R. Mujahid,

Usman Siswanto

15

Page 7: Seminar - Sebelas Maret Universitybiodiversitas.mipa.uns.ac.id/S/gen/pdf/A0601aaALL.pdfsampai 3,53cm dengan rata-rata 1,93cm. Persentase hidup tanaman dari 44,4-94,4% dengan rata-rata

vi

DO-03 Potensi padi lokal sumber pangan fungsional di

Kalimantan Timur

Sumarmiyati, Fitri Handayani 16

DP-01 Etnozoologi mengenai hama tanaman padi sawah dan

pengelolaannya di Desa Karangwangi, Kecamatan

Cianjur, Jawa Barat

Ruhyat Partasasmita, Budiawati

Supangkat Iskandar, Putri

Nabilatuzzahroh, Johan Iskandar

16

Biosains

EO-01 Volume of gutation and transpiration’s liquid of

Sandalwood based on different slope and crown

position in Pitu’s Village, Nglanggeran Gunung Sewu,

Indonesia

Winastuti Dwi Atamanto,

Pradana Dwi Setyawan

16

EO-02 Screening of indigenous rhizobacteria from West

Sumatra for biological control of Fusarium wilt and

promote growth rate on tomato

Yulmira Yanti, Warnita, Reflin,

Hasmiandy Hamid

17

EO-03 Antifungal activity of potential biocontrol agents of

Bacillus spp. strains for biocontrol activity against

Sclerotium rolfsii

Yulmira Yanti, Warnita, Reflin,

Hasmiandy Hamid

17

EO-04 Efektivitas media tanam dan naungan pada

perkecambahan biji dan pertumbuhan semai kempas

(Koompassia excelsa)

Winda Utami Putri, Inggit Puji

Astuti, Izu Andry Fijridiyanto

17

EO-05 Isolasi dan seleksi rizobakteri tanaman jagung yang

berpotensi sebagai entomopatogen terhadap

Spodoptera litura (Lepidoptera: Pyralidae)

Novri Nelly, U. Khairul, A.Y

Putri

18

EO-06 Effects of BA, NAA, and TDZ on in vitro

micropropagation of Musa acuminata cv. Mas Kirana

Rr Rifka Annisa, Arkan Setiaji,

Aries Bagus Sasongko

18

EO-07 Kemampuan kolonisasi cendawan Beauveria bassiana

pada tanaman cabai (Capsicum annum) dan

pengaruhnya terhadap perkembangan populasi Myzus

persicae

Trizelia, Martinius, Reflinaldon,

Yenny Liswarni, Fadly

Syahirwan Putra

18

EO-08 Sister's mountain forests: upaya pelestarian

keanekaragaman flora, fauna, etnobotani, sumber air,

budaya, dan kearifan lokal demi kesejahteraan

masyarakat pegunungan

Atus Syahbudin 19

EO-09 Pengomposan kotoran sapi dengan dekomposer

Trichoderma viride dan potensinya untuk

pengendalian penyakit layu Fusarium (Fusarium

oxysporum f.sp cubense) dan peningkatan pertumbuhan bibit pisang

Nurbailis, Reflinaldon, Nori

Rahayu

19

EO-10 Viabilitas benih campolay (Pouteria campechiana)

pada berbagai bobot dan lama penyimpanan benih

Aulia Hasan Widjaya, A.

Rahayu, Dian Latifah

19

EO-11 Pengamatan perubahan kualitas air berdasarkan faktor

abiotik di Sungai Plalar, Magelang, Jawa Tengah

Siti Nurjanah, Ani Safira, Alissa

Qotrunnada, Setiyo Prajoko,

Karunia Galih Permadani

20

EO-12 Germination of Victoria amazonica seeds in the red

and far red light

Mahat Magandhi, Dian Latifah 20

EP-01 Distribusi geografis dan potensi dampak perubahan

iklim pada Selaginella pegunungan di Jawa, Indonesia

Ahmad Dwi Setyawan, Jatna

Supriatna, Nisyawati, Ilyas

Nursamsi, Sutarno, Sugiyarto,

Prakash Pradan

20

Keterangan: A. Keanakeragaman Genetik, B. Keanekaragaman Spesies, C. Keanekaragaman Ekosistem, D. Etnobiologi

Dan Sosial Ekonomi, E. Biosains (Ilmu dan Teknologi Hayati); O. Oral, P. Poster

Page 8: Seminar - Sebelas Maret Universitybiodiversitas.mipa.uns.ac.id/S/gen/pdf/A0601aaALL.pdfsampai 3,53cm dengan rata-rata 1,93cm. Persentase hidup tanaman dari 44,4-94,4% dengan rata-rata

ABS SOC INDON BIODIV

Vol. 6, No. 1, Agustus 2019 ISSN: 2407-8069

Pages: 1-22 DOI: 10.13057/asnmbi/m060101

ABSTRAK

Seminar Nasional

Masyarakat Biodiversitas Indonesia (MBI)

Magelang, 31 Agustus 2019

Keanekaragaman Genetik

AO-01

Keragaman pertumbuhan manglid (Manglietia

glauca) pada umur 18 bulan di Trenggalek, Jawa

Timur

Sugeng Pudjiono♥, Mashudi, Mudji Susanto, Dedi

Setiadi

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta. Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15,

Purwobinangun, Pakem, Sleman 55582, Yogyakarta

Manglid (Manglietia glauca Bl) merupakan salah satu

tanaman hutan asli Indonesia yang keberadaannya mulai

sulit ditemukan. Bagian utama tanaman manglid yang

diambil adalah kayunya. Kayu manglid mengkilat,

strukturnya padat, halus, ringan dan mudah dikerjakan.

Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu untuk

mengetahui pertumbuhan tanaman sebagai suatu informasi

kemampuan manglid menghasilkan kayu melalui

pertumbuhannya. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui

keragaman pertumbuhan tanaman manglid yang ditanam di

Kaki Gunung Wilis, ketinggian 700-800m dpl, Desa

Dompyong, Kecamatan Bendungan, Kabupaten

Trenggalek, Jawa Timur pada umur 18 bulan. Metode

penelitian menggunakan rancangan Incomplete Block

Design, bibit yang ditanam berasal dari 50 pohon induk

terdiri dari 6 blok dengan masing-masing 3 treeplot, jarak

tanam 4m x 2m. Sifat yang diukur tinggi total tanaman,

diameter batang tanaman dan persentase hidup manglid.

Hasil pengukuran kemudian dianalisis keragaman dan diuji

Duncan Multiple Range Test. Hasil penelitian

menunjukkan tinggi tanaman antara 103-195cm dengan

rata-rata 155cm. Diameter batang tanaman dari 0,90cm

sampai 3,53cm dengan rata-rata 1,93cm. Persentase hidup

tanaman dari 44,4-94,4% dengan rata-rata 76,4%. Hasil

analisis menunjukkan bahwa pohon induk berpengaruh

nyata terhadap tinggi total tanaman dan diameter batang

tanaman. Terdapat variasi keragaman pada sifat tinggi dari

50 pohon induk terdapat 9 kelompok perbedaan sedangkan

pada sifat diameter terdapat 7 kelompok perbedaan.

Keragaman, manglid, pertumbuhan, pohon induk, umur.

AO-02

Keragaman pertumbuhan beberapa provenan jati

pada plot uji keturunan umur 10 tahun di

Gunungkidul, Yogyakarta

Hamdan Adma Adinugraha1,♥, Sugeng Pudjiono1,

Jayusman1, Mahfudz2 1Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan

Tanaman Hutan Yogyakarta. Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman 55582, Yogyakarta 2 Pusat Data dan Informasi Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan

Untuk melihat kinerja pertumbuhan tanaman jati (Tectona

grandis L.f) dari beberapa provenan sebaran jati dilakukan

pemapanan uji keturunan di Gunungkidul, Yogyakarta. Plot

uji keturunan jati dibangun dengan menggunakan

rancangan acak kelompok yang menguji sebanyak 120

famili yang berasal dari 8 provenan sebaran jati di

Indonesia yaitu Wakuru, Buton, Warangga, Matakidi,

Mboto, Senori, Kateri dan Tasifeto. Setiap perlakuan

menggunakan 3 treeplot yang diulang dalam 6 blok dengan

jarak tanam 2 x 6 m,. Hasil evaluasi pertumbuhan tanaman

sampai umur 10 tahun diperoleh persentase hidup sebesar

80,32%. Rata-rata tinggi pohon 9,91 m, dbh 10,33 cm,

tinggi bebas cabang 2,78 m dan taksiran volum pohon

sebesar 0,07 m3/pohon. Pertumbuhan tanaman bervariasi

secara signifikan antar provenan dengan hasil terbaik

ditunjukkan oleh 2 provenan dari Pulau Jawa yaitu Mboto

dan Senori

Jati, pertumbuhan tanaman, provenan, uji keturunan

.

♥ Penulis untuk korespondensi

Page 9: Seminar - Sebelas Maret Universitybiodiversitas.mipa.uns.ac.id/S/gen/pdf/A0601aaALL.pdfsampai 3,53cm dengan rata-rata 1,93cm. Persentase hidup tanaman dari 44,4-94,4% dengan rata-rata

ABS MASY BIODIV INDON, Magelang, 31 Agustus 2019, hal. 1-22 2

AO-03

Keragaman, heritabilitas dan korelasi genetik

tanaman uji keturunan pulai darat (Alstonia

angustiloba) umur empat tahun di Wonogiri, Jawa

Tengah

Mashudi♥, Mudji Susanto, Liliana Baskorowati, Sugeng

Pudjiono, Dedi Setiadi, Maman Sulaeman

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta. Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15,

Purwobinangun, Pakem, Sleman 55582, Yogyakarta

Pulai darat (Alstonia angustiloba Miq.) merupakan jenis

lokal (local species) yang potensial untuk pengembangan

hutan rakyat. Untuk mendukung pengembangan hutan

rakyat, penyediaan benih unggul cukup penting

keberadaannya. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui

keragaman pertumbuhan, taksiran nilai heritabilitas

individu dan famili serta korelasi genetik tanaman uji

keturunan pulai darat umur 4 tahun. Rancangan Acak

Lengkap Berblok (RALB) dengan dua faktor (asal populasi

dan famili) digunakan dalam penelitian ini. Dalam

penelitian ini famili bersarang (nested) dalam asal populasi.

Faktor asal populasi terdiri dari 4 taraf, yaitu populasi

Carita-Banten, populasi Pendopo-Muara Enim, populasi

Lubuk Linggau-Musi Rawas dan populasi Solok-Sumatera

Barat. Faktor famili terdiri dari 43 famili, yaitu 15 famili

dari populasi Carita-Banten, 9 famili dari populasi

Pendopo-Muara Enim, 15 famili dari populasi Lubuk

Linggau-Musi Rawas dan 4 famili dari populasi Solok-

Sumatera Barat. Hasil analisis varians menunjukkan bahwa

pertumbuhan tinggi dan diameter batang berbeda nyata

antar populasi dan antar famili. Pertumbuhan tinggi dan

diameter batang terbaik pada tingkat famili ditempati oleh

populasi Pendopo, masing-masing sebesar 4,45 m dan 7,71

cm. Pada tingkat famili pertumbuhan tinggi terbaik

ditempati oleh 9 famili dengan kisaran sebesar 4,46-5,06 m

dan pertumbuhan diameter batang terbaik ditempati oleh 11

famili dengan kisaran sebesar 7,48-8,72 cm. Taksiran nilai

heritabilitas individu sifat tinggi sebesar 0,41 dan sifat

diameter batang sebesar 0,23. Taksiran nilai heritabilitas

famili sebesar 0,66 untuk sifat tinggi dan 0,50 untuk sifat

diameter batang. Korelasi genetik antara tinggi dengan

diameter batang sebesar 0,97.

Heritabilitas, keragaman, korelasi genetik, pulai darat

AO-04

Estimasi ukuran populasi efektif pada kebun

benih klon kayu putih di Gunungkidul dan

Sleman, Yogyakarta

Noor Khomsah Kartikawati

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan

Tanaman Hutan Yogyakarta. Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15,

Purwobinangun, Pakem, Sleman 55582, Yogyakarta

Kebun benih klon merupakan kebun benih yang dibangun

dengan materi vegetatif pohon-pohon superior. Jumlah

klon yang digunakan dalam membangun kebun benih klon

sangat penting untuk memastikan besarnya keragaman

genetik dan meminimalisir kemungkinan inbreeding.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya ukuran

populasi efektif dan ukuran klon efektif di kebun benih

klon kayu putih (Melaleuca leucadendron Linn.) di

Gunungkidul dan Sleman. Penelitian dilakukan di kebun

benih klon kayu putih di Gunungkidul dan Sleman pada

saat sedang pembungaan puncak. Terdapat 30 klon pada

masing-masing kebun benih klon dengan jumlah ramet

yang bervariasi. Pengamatan dilakukan pada jumlah ramet

masing-masing klon yang berbunga, jumlah klon yang

berbunga dan jumlah bunga pada setiap ramet maupun

klon. Jumlah kapsul yang terbentuk sampai akhir

pengamatan juga dihitung. Hasil pengamatan menunjukkan

bahwa kinerja klon pada 2 lokasi yang berbeda tidak stabil.

Di KBK Playen Gunungkidul terdapat 2 klon yang sama

sekali tidak memproduksi bunga dan kapsul yaitu klon 14

yang berasal dari provenan Suli, Ambon dan klon no 30

yang berasal dari provenan Masarete, Buru. Sementara di

KBK Kayuputih di Sleman, kedua klon tersebut dapat

memproduksi bunga dan kapsul. Besarnya Ukuran populasi

efektif (Ne) di KBK Playen adalah Ne = 26,20, sedangkan

Nc = 20,77. Sedangkan di KBK Sleman Nc = 25,89, Ne =

24,57. Sebagai implikasi dari hasil penelitian ini adalah

benih dari KBK di Playen dapat dicampur dengan benih

dari KBK di Sleman untuk keperluan penyebaran benih

untuk penanaman skala luas. Upaya ini dapat

meningkatkan keragaman genetik dan perolehan genetik

benih dari klon-klon di KBK.

Kayu putih, kebun benih klon, keragaman genetik, ukuran

populasi efektif.

AO-05

Teknik isolasi dna tanaman kepel (Stelechocarpus

burahol) dengan metode kit nucleon phytopure

Tri Suwarni Wahyudiningsih1,♥, Erry Purnomo2, Esna

Dilli Novianto2, Dian Sartika2

1Fakultas Pertanian, Universitas Tidar. Jl. Kapten Suparman 39, Magelang

56116, Jawa Tengah 2Laboratorium Genetika dan Pemuliaan, Fakultas Biologi, Universitas

Gadjah Mada. Jl. Teknika Selatan, Sekip Utara, Sleman 55281,

Yogyakarta

Pemanfaatan tanaman Stelechocarpus burahol (Bl.) Hook.f

& Th, aspek-aspek hortikultura, dan pemuliaan masih

belum banyak dilakukan. Berdasar status kelangkaan,

keberadaan tanaman S. burahol termasuk dalam kategori

CD (Conservation Dependent) atau tergantung aksi

konservasi. Pemanfaatan buah dan daun secara terus

menerus serta kelangkaan S. burahol menyebabkan

keragaman genetik menurun, sehingga perlu dilakukan

isolasi DNA sebagai langkah awal database diversitas

genetik. Teknik isolasi DNA tanaman dilakukan dengan

menggunakan Kit Nucleon Phytopure dan mengikuti

Page 10: Seminar - Sebelas Maret Universitybiodiversitas.mipa.uns.ac.id/S/gen/pdf/A0601aaALL.pdfsampai 3,53cm dengan rata-rata 1,93cm. Persentase hidup tanaman dari 44,4-94,4% dengan rata-rata

ABS SOC INDON BIODIV, Magelang, 31 Agustus 2019, pp. 1-22 3

protokol yang tertera pada label dengan sedikit modifikasi.

Perbandingan 2 protokol isolasi DNA genom S. burahol

dengan Kit Nucleon Phytopure standard dan Kit Nucleon

Phytopure modifikasi menunjukkan bahwa metode Kit

Nucleon Phytopure modifikasi menghasilkan whole genom

S. burahol cukup murni rerata 1,729 dan berhasil

diamplifikasi dengan PCR-ISSR dengan protokol kit PCR

My Taq Redmix (Bioline).

Conservation dependent, diversitas genetik, kit nucleon

phytopure, kit PCR My Taq Redmix, Stelechocarpus burahol

AO-06

Clonality and gene dynamics of sandalwood in

Bejiharjo, the most disturbed landrace in Gunung

Sewu (Indonesia), during on-going fragmentation

in 2012 to 2019

Aditya Kurniawan1, Sapto Indrioko2, Yeni WN

Ratnaningrum3,♥

1Department of Silviculture, Faculty of Forestry, Universitas Gadjah

Mada. Jl. Agro No.1, Bulaksumur, Sleman 55281, Yogyakarta 2Forest Tree Improvement Laboratory, Faculty of Forestry, Universitas

Gadjah Mada. Jl. Agro No.1, Bulaksumur, Sleman 55281, Yogyakarta 3 Forest Seed Science and Technology Laboratory, Faculty of Forestry, Universitas Gadjah Mada. Jl. Agro No.1, Bulaksumur, Sleman 55281,

Yogyakarta

Among landraces of sandalwood (Santalum album L) in

Gunung Sewu, Bejiharjo needs more attention due to

several reasons. Up to 1990’s, it undergoes on-going

fragmentation due to heavy exploitation, urban and cave-

tourism activities. Beside, Karangmojo sandals were

reported among those having high santalol. Series of study

in Bejiharjo, which was started in 2012 up to 2017,

reported extreme reduction on heterozygosity, particularly

at the seedling level, along with the increase of inbreeding.

This event might occur due to the habitat isolation and

increase of clonality level as a result of fragmentation. This

study aimed to determine the effects of on-going

fragmentation to the dynamics of clonality, effective

population size, and genetic diversity, in Bejiharjo which is

considered the most disturbing habitat in Gunung Sewu.

Result showed that both mature and flowering individuals

were reduced from 2012 to 2019, along with the reduction

of effective population size, particularly in 2019 when

there was extreme individual reduction. The more recent

year consisted of more clonalized stands, which was

indicated by the fewer distinct genotypes. The increase of

clonality by time consequently reduced the heterozygosity,

increased the selfing rate, and extremely reduce the number

of seedling recruitments. Very poor seedling recruitment

which was observed following mass flowering was

considered as a result of inbreeding depression. Six loci

(Est-1, Est-2, Est-3, Dia-1, Dia-2, and Skd-1) are

polymorphic for both parent and seedling levels at all of

observation year. Rare and missing alleles are more

apparent in the seedling level. Allele “a” in Dia-2 loci and

allele “b” in Skd-1 loci, which were considered rare in the

previous years, was missing at the seedling level in 2019.

Recent years lose more alleles. However, some gene flow

was also detected since the allele “a” in Dia-1 loci, which

was missing in previous years, is existed in 2019.

Clonality, Bejiharjo Gunung Sewu, gene dynamics, on-going

fragmentation, sandalwood

AP-01

Breeding strategy of Dyera lowii to improve

the productivity of jelutong gum in Central

Kalimantan

Tri Suwarni Wahyudiningsih1,♥, Mohammad Na’iem2,

Sapto Indrioko2, Issirep Sumardi2

1 Faculty of Agriculture, Universitas Tidar, Jl. Kapten Suparman 39,

Magelang 56116, Jawa Tengah 2 Faculty of Forestry, Universitas Gadjah Mada. Jl. Agro No.1, Bulaksumur, Sleman 55281, Yogyakarta 3Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada. Jl. Teknika Selatan, Sekip

Utara, Sleman 55281, Yogyakarta

Dyera lowii Hook.f is an indigenous and vulnerable species

found in peat swamp forests. This study is aimed to study

the breeding strategy of D. lowii to increase the

productivity of gum in Central Kalimantan. Samples were

taken at four peat swamp forests (Hampangen, Parahangan,

Sebangau, Selat Nusa) and plantations for genetic diversity.

Electrophoresis procedures were conducted with an

isoelectric focusing polyacrylamide slab gel system.

Analysis of the first research data used POPGENE 1.3.1

programme for genetic diversity and MLTR software for

mating system. The result showed high genetic diversity

(HE=0.52). A total of 14 alleles were found among all the

analyzed population. Most allozyme variation was found

within population (93.2%). Selat Nusa population is

expected to enhance the effective management for genetic

resources conservation of this species in the future. Mating

system of D. lowii to be predominantly out-crossing

(80.1%) and the value (tm-ts=0.129) was less biparental

inbreeding, so that its supported the high genetic variation

in natural population and plantation. The component in

gum varied from any different sample location. Exploration

of plus trees D. lowii (criteria: tree age, stem diameter, gum

volume: characters bark, the physiology of the cell sap,

methods and environmental conditions tapping latex,

quality of gum) will be applied to improve the productivity

of jelutong gum through breeding programs.

Breeding strategy, genetic diversity, jelutong gum, mating

system, plus trees

Page 11: Seminar - Sebelas Maret Universitybiodiversitas.mipa.uns.ac.id/S/gen/pdf/A0601aaALL.pdfsampai 3,53cm dengan rata-rata 1,93cm. Persentase hidup tanaman dari 44,4-94,4% dengan rata-rata

ABS MASY BIODIV INDON, Magelang, 31 Agustus 2019, hal. 1-22 4

Keanekaragaman Spesies

BO-01

Jenis dan populasi nematoda parasit pada rizosfer

tanaman tebu (Saccharum officinarum) di sentra

produksi tebu Sumatera Barat

Winarto,♥, Novri Nelly, Della Andini

Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas

Andalas. Kampus Unand Limau Manih, Padang 25163, Sumatera Barat

Nematoda parasit merupakan salah satu kendala dalam

peningkatan produksi tanaman tebu (Saccharum

officinarum L.). Informasi mengenai jenis dan kepadatan

populasi nematoda parasit pada tanaman tebu belum

banyak dilaporkan khususnya di Sumatera Barat. Informasi

tersebut sangat penting diketahui untuk menentukan

langkah awal pencegahan serangan nematoda parasit,

mengurangi resiko kerusakan dan kehilangan hasil akibat

nematoda pada tebu. Tujuan penelitian adalah untuk

mengetahui jenis-jenis nematoda parasit dan populasinya

pada rizosfer tanaman tebu. Sampel tanah diambil dari

rizosfer tanaman tebu di sentra produksi Sumatera Barat

yaitu Nagari Tigo Balai, Kecamatan Matur, Kabupaten

Agam, dan Nagari Batu Bulek, Kecamatan Lintau Buo

Utara, Kabupaten Tanah Datar. Penelitian meliputi

ekstraksi tanah dan pengamatan nematoda dilakukan di

laboratorium nematologi Jurusan Hama dan Penyakit

Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas,

Padang. Metode ekstraksi menggunakan gabungan Corong

Baermann yang dimodifikasi dan saringan tanah bertingkat.

Identifikasi didasarkan pada bentuk spesifik, anterior dan

posterior. Hasil penelitian mendapatkan 6 genus nematoda

parasit yaitu Trichodorus, Hemicycliophora, Xiphinema,

Meilodogyne, Aphelenchoides, dan Helycotylenchus.

Populasi nematoda parasit rata-rata 2.005 individu/cm3.

Jenis, populasi, nematoda parasit, tebu

BO-02

Ketahanan beberapa varietas padi lokal Sumatera

Barat terhadap virus penyebab penyakit tungro

Yenny Liswarni,♥, Martinius, Nurbailis

Jurusan Hama dan penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas

Andalas. Kampus Unand Limau Manih, Padang 25163, Sumatera Barat

Penyakit tungro merupakan salah satu kendala dalam

peningkatan produksi padi nasional dan ancaman bagi

ketahanan pangan yang berkelanjutan. Penggunaan varietas

tahan merupakan komponen pengendalian penyakit tungro

yang ramah lingkungan serta diterima oleh petani karena

tidak memerlukan biaya tambahan. Varietas padi lokal

Sumatera Barat belum diketahui ketahanannya terhadap

virus penyebab penyaki tungro. Tujuan penelitian adalah

untuk mengetahui ketahanan varietas padi lokal Sumetera

Barat terhadap virus penyebab penyakit tungro. Penelitian

menggunakan wereng hijau sebagai vektor virus diambil

dari daerah endemik padi terserang virus tungro yaitu dari

daerah Lintau, Tanah Datar, Sumatera Barat dan

perbanyakan dilakukan pada padi varietas Batang Sungkai.

Varietas padi yang diuji yaitu Cisokan, Anak Daro,

Junjuang, Cantik Manis, Batang Sungkai, PB 42,

Saganggam Panuah, Caredek Merah dan Kuruak Kusuik

ditanam dalam ember plastik di rumah kaca. Penularan

virus dengan menggunakan wereng sebanyak 4 ekor per

tanaman dan disungkup dengan kain kasa. Hasil penelitian

menunjukklan bahwa varietas Batang Sungkai rentan

terhadap virus tungro sedangkan varietas Anak Daro,

Cisokan, Cantik Manis, Seganggam panuah, Jumjuang,

Kuruak Kusuik, Caredek Merah dan PB 42 agak tahan

terhadap virus tungro.

Ketahanan, padi, varietas lokal, penyakit tungro

BO-03

Evaluasi plot konservasi ex-situ jenis-jenis

tanaman hutan umur 6 bulan di Tahura Bunder,

Gunungkidil, Yogyakarta

Lukman Hakim♥, Ari Fiani

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta. Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15,

Purwobinangun, Pakem, Sleman 55582, Yogyakarta

Pembangunan plot konservasi ex-situ jenis-jenis tanaman

hutan di Tahura Bunder, Gunung Kidul, Daerah Istimewa

Yogyakarta (DIY) dilakukan pada bulan Januari 2019.

Salah satu tujuan dari pembangunan plot konservasi ini

adalah untuk melestarian jenis-jenis tanaman hutan yang

terancam punah dan sekaligus sebagai sumber benih yang

dapat digunakan masyarakat di masa yang akan datang.

Pada plot konservasi ex-situ ditanam 18 jenis tanaman

dengan desain masing-masing jenis sebanyak 36 individu

yang ditanam dalam dua jalur. Masing-masing jalur bemuat

18 tanaman, dengan jarak tanam 5x5 m2. Kegiatan

pengukuran/evaluasi pada tahun 2019 dilakukan dua kali

yaitu pada umur enam bulan setelah penanaman pada bulan

Juni dan umur 12 bulan pad bulan Desember 2019.

Parameter pengukuran hanya survival rate dari masing-

masing jenis untuk mengetahui daya hidup sebagai indikasi

kemampuan jenis untuk beradaptasi pada kondisi

lingkungan diluar habitat aslinya apabila jenis tersebut

akan dikembangkan. Hasil pengukuran menunjukan angka

rata-rata 18 jenis tanaman sebesar 70,22%. Daya hidup

tertinggi adalah jenis segawe (Adenanthera pavonina)

sebesar 97% dan paling rendah jenis kluwak (Pangium

edule) sebesar 19%. Berdasarkan pengamatan di lapangan

serta data pengukuran, kematian tanaman pada umur enam

bulan dikarenakan beberapa hal seperti ketidakcocokan

jenis di lingkungan yang extrim (solum tanah yang tipis

dan berbatu serta curah hujan per tahun yang sedikit). Oleh

karena itu, beberapa kegiatan pemeliharaan tanaman yang

perlu dilakukan adalah penyiangan, pendangiran,

Page 12: Seminar - Sebelas Maret Universitybiodiversitas.mipa.uns.ac.id/S/gen/pdf/A0601aaALL.pdfsampai 3,53cm dengan rata-rata 1,93cm. Persentase hidup tanaman dari 44,4-94,4% dengan rata-rata

ABS SOC INDON BIODIV, Magelang, 31 Agustus 2019, pp. 1-22 5

pemupukan tanaman dan penyiraman di waktu musim

kemarau.

Plot konservasi ex-situ, tanaman hutan, survival rate

BO-04

Karakter agronomis dua varietas cabai pada

pemberian berbagai konsentrasi biopestisida

minyak serai wangi

Puji Harsono♥, Dwiwiyati Nurul Septariani,

Widyatmani Sih Dewi

Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret. Jl. Ir. Sutami 36A

Surakarta 57 126, Central Java, Indonesia

Serai wangi (Cymbogon nardus L.) mengandung minyak

atsiri dengan salah satu bahan aktifnya berupa sitronela

(36%), aromanya tidak disukai beberapa jenis serangga

sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan hama

tanaman. Kelebihan biopestisida berbasis minyak atsiri

adalah aktivitas biologinya berspektrum luas, tidak toksik

untuk manusia, bekerja secara sistemik, mudah

terdegradasi sehingga lebih aman bagi kesehatan

dibandingkan pestisida kimiawi. Aphid menyerang daun

cabai terutama pada daun muda dan pucuk, selain itu juga

menyerang batang yang lunak mengambil nutrisi yang ada

didalam batang. Selain itu, cairan daun yang hilang karena

dihisap aphid mengakibatkan daun melengkung ke atas,

keriting keriput, atau memelintir, daun berbintik-bintik,

daun menguning, layu, dan rontok, pertumbuhan

terhambat, tanaman menjadi kerdil, tunas dan percabangan

tidak berkembang, tanaman gagal berbunga, sehingga

produktivitas/hasil panen sangat rendah. Cabai varietas

Pilar dan Hot Beauty mempunyai daun lebih lebar

dibandingkan dengan varietas lain, dua varietas tersebut

rentan terhadap serangan aphid terutama pada musim

kemarau. Percobaan menggunakan rancangan acak terpisah

ulangan tiga kali, petak utama varietas cavai dan anak

petak konsentrasi biopestisida serai wangi. Tujuan

percobaan untuk menentukan konsentrasi optimum

biopestisida serai wangi terhadap karakter agronomis

pendukung produksi dua varietas cabai. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa konsentrasi biopestisida serai wangi 4

mL per liter mempercepat saat berbunga, menghasil-kan

jumlah cabang dikotom dan bobot buah tertinggi. Varietas

Hot beauty menunjukkan karakter agronomis lebih baik

daripada varietas Pilar.

Biopestisida, cabai, serai wangi

BO-05

Pendugaan kepadatan dan kelimpahan Owa Jawa

(Hylobates moloch, Audebert 1798) di Cagar Alam

Gunung Simpang dan Gunung Tilu, Jawa Barat

Hafi Auliya Nurhayati♥, Rina Ratnasih Purnamahati,

Nurudin

Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung. Jl.

Ganesha No. 10, Bandung 40132, Jawa Barat

Owa Jawa (Hylobates moloch, Audebert 1798) merupakan

primata endemik Jawa Barat dan Jawa Tengah yang

keberadaannya semakin terancam punah akibat penurunan

luas habitat dan perburuan liar. Cagar Alam Gunung

Simpang (CAG Simpang) dan Cagar Alam Gunung Tilu

(CAG Tilu) merupakan kawasan prioritas konservasi Owa

Jawa di Indonesia. Data populasi Owa Jawa di kedua lokasi

penting untuk diketahui sebagai dasar penentuan upaya

konservasi Owa Jawa. Namun, data terkini yang tersedia

untuk CAG Simpang dan CAG Tilu merupakan hasil survei

yang telah lama dilakukan, yaitu pada tahun 2008, sehingga

dalam upaya konservasi Owa Jawa, data terbaru sangat

diperlukan. Penelitian ini bertujuan untuk menduga

kepadatan dan kelimpahan populasi Owa Jawa di CAG

Simpang dan CAG Tilu, sehingga didapatkan data terbaru

yang diperlukan untuk mendukung konservasi habitat Owa

Jawa. Wawancara pendahuluan dan pengolahan data

sekunder digunakan untuk penentuan lokasi jalur survei.

Data primer dikumpulkan dengan menggunakan metode

line transect sepanjang ±2 kilometer yang ditentukan

berdasarkan Purposive Random Sampling dengan jumlah

jalur di CAG Simpang dan CAG Tilu masing-masing

sembilan. Kepadatan diperoleh melalui analisis perangkat

lunak Distance 7.2, kemudian diekstrapolasi berdasarkan

luas representatif habitat sehingga menghasilkan

kelimpahan. Berdasarkan lima kali perjumpaan, dapat

diduga bahwa CAG Simpang memiliki kepadatan Owa

Jawa sebesar 0,555 kelompok/km2 dan kelimpahan sebesar

49 kelompok, sementara CAG Tilu memiliki kepadatan

Owa Jawa sebesar 3,268 kelompok/km2 dan kelimpahan 93

kelompok.

Endemik, konservasi, Owa Jawa, populasi

BO-06

Keanekaragaman burung diurnal di Taman

Hutan Raya KGPAA Mangkunagoro I, Jawa

Tengah

Kevin Winanda Eka Putra 1,♥, Aji Sukma Iqbal

Najibulloh 2, Fahmi Moch. Ansori 3, Agung Sepwantoro 4, Agung Budiharjo5,♥♥ 1 Kelompok Studi Kepak Sayap, Program Studi Biologi, Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret. Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57 126, Jawa Tengah 2 Kelompok Studi Biodiversitas, Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret. Jl.

Ir. Sutami 36A Surakarta 57126, Jawa Tengah, Indonesia. 3 Kelompok Studi Enviro, Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret. Jl. Ir. Sutami

36A Surakarta 57126, Jawa Tengah, Indonesia. 4 Taman Hutan Raya (Tahura) KGPAA Mangkunagoro I. Dusun Sukuh, Berjo, Ngargoyoso, Karanganyar 57793, Jawa Tengah, Indonesia. 5 Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Alam, Universitas Sebelas Maret. Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126,

Jawa Tengah, Indonesia

Page 13: Seminar - Sebelas Maret Universitybiodiversitas.mipa.uns.ac.id/S/gen/pdf/A0601aaALL.pdfsampai 3,53cm dengan rata-rata 1,93cm. Persentase hidup tanaman dari 44,4-94,4% dengan rata-rata

ABS MASY BIODIV INDON, Magelang, 31 Agustus 2019, hal. 1-22 6

Taman Hutan Raya (Tahura) KGPAA Mangkunagoro I

merupakan Tahura yang terletak di lereng barat Gunung

Lawu, tepatnya di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso,

Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Kawasan ini

memiliki potensi keanekaragaman hayati salah satunya

burung. Burung adalah kelompok hewan tingkat tinggi

yang memiliki jumlah spesies yang tinggi dibandingkan

kelompok hewan yang lain dan tersebar hampir di semua

kondisi lingkungan bumi. Tujuan dari penelitian ini adalah

mengetahui keanekaragaman spesies burung diurnal yang

ada di kawasan Tahura KGPAA Mangkunagoro I yang

dilakukan pada bulan Januari-Februari 2019. Metode yang

digunakan pada adalah metode jelajah (line transect)

dengan mendata spesies burung dan menghitung jumlah

individu dalam jalur yang telah ditentukan. Analisis data

yang digunakan adalah deskriptif dengan menggunakan

indeks keanekaragaman, indeks kemerataan, dan indeks

dominansi. Hasil pengambilan data tiap jalur kemudian

diuji dengan PAST untuk membandingkan

keanekaragaman tiap jalur. Hasil yang didapat adalah 51

spesies burung dalam 25 famili dengan indeks

keanekaragaman seluruh kawasan 3,533; indeks

kemerataan 0,898; indeks dominansi 0,060; dan indeks

kekayaan jenis 8,902 yang berarti termasuk dalam tingkat

keanekaragaman spesies yang tinggi. Spesies burung yang

ditemukan ada lima yang dilindungi berdasarkan Peraturan

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 106 Tahun

2018 antara lain Elang Jawa (Nisaetus bartelsi), Elang-ular

Bido (Spilornis cheela), Alap-alap Kawah (Falco

peregrinus), Takur Tohtor (Psilopogon armillaris) dan

Betet Biasa (Psittacula alexandri).

Burung diurnal, keanekaragaman, Tahura KGPAA

Mangkunagoro I

BO-07

Pola persebaran Verbena brasiliensis di jalur

pendakian Ranu Pani, Gunung Semeru, Jawa

Timur

Fahira Miako♥, Rian Setiawan, Kirana Raditya,

Christoforus Edwin Perdana Gaso, Pristyakusuma Dwi

Fajriani, Nadya Damayanti, Jatmiko Bayu Aji Perdana,

Yusta Elvasonia Duan, Rizka Aulia, Atus Syahbudin♥♥

Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Jl. Agro No.1,

Bulaksumur, Sleman 55281, Yogyakarta

Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS)

memiliki keunikan ekosistem dan keanekaragaman hayati

yang tinggi. Salah satunya terletak pada Kawasan Oro-Oro

Ombo yaitu dengan adanya spesies Verbena brasiliensis.

Keunikan spesies tersebut menjadi salah satu daya tarik

bagi pengunjung, khususnya pada morfologinya berupa

mahkota bunga berwarna ungu. V. brasiliensis merupakan

tumbuhan asing yang bersifat invasif. Tumbuhan invasif

memiliki sifat penyebaran yang cepat, sehingga berpotensi

dalam mengancam keanekaragaman hayati dalam

mengurangi sumberdaya genetik di Gunung Semeru. Hal

inilah yang menjadi perhatian khusus agar keberadaannya

tidak merugikan ekosistem dan komponen lainnya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis pola

persebaran V. brasiliensis di Jalur Pendakian Ranu Pani,

Gunung Semeru, Jawa Timur. Data penelitian diperoleh

dengan metode systematic sampling. Pengambilan data

dilakukan pada setiap kenaikan 100 m.dpl dengan membuat

garis transek sepanjang 100 m. Pada setiap garis transek

tersebut dibagi menjadi 4 bagian, dan dibuat Petak Ukur

(PU) berukuran 2x2 m2. Informasi yang diambil berupa

kelerengan, sketsa tutupan lahan, persenan tutupan lahan,

dan keterangan kondisi lingkungan sebagai data

pendukung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa V.

brasiliensis yang ditemukan di Jalur Pendakian Ranu Pani,

Gunung Semeru memiliki pola persebaran mengelompok.

Adapun pola persebaran tumbuhan tersebut dipengaruhi

oleh beberapa faktor, yaitu faktor lingkungan, faktor

kelerengan, dan faktor ketinggian berdasarkan hasil

pengamatan di lapangan.

Gunung Semeru, pola persebaran, tumbuhan invasif,

Verbena brasiliensis

BO-08

Ex situ conservation of Myristicaceae in

Indonesian Botanic Gardens

Rosniati Apriani Risna

Research Center for Plant Conservation and Botanic Gardens, Indonesian Institute of Sciences (Bogor Botanic Gardens). Jl. Ir. H. Juanda 13 Bogor,

West Java 16122, Indonesia

There are 521 Indonesian plant species categorized as

threatened under IUCN Red List. Nutmeg family or

Myristicaeae contributes 13.7% on the list, the highest

percentage after Dipterocarps (36.8%). Regarding this

family’s importance, numbers of threatened species, as

well as implementing the Global Strategy for Plant

Conservation in conserving threatened plants,

Myristicaceae has to be prioritized to conserve in ex situ

collection such botanic gardens. Two species out of 52

threatened Myristicaeae species have been conserved in

Indonesian Botanic Gardens (Knema hookeriana and

Myristica teysmannii). Population studies, collection and

inventory from its natural habitat, propagation for

population reinforcement, and legal protection are some

conservation effort to be done for this tropical family.

Conservation, Global Strategy for Plant Conservation, IUCN

Red List, Myristicaeae

BO-09

Konservasi biji beberapa jenis tumbuhan berbuah

di kawasan Hutan Adat Baringin, Enrekang-

Sulawesi Selatan

Dian Latifah♥, Mahat Magandhi, Aulia Hasan Widjaya

Page 14: Seminar - Sebelas Maret Universitybiodiversitas.mipa.uns.ac.id/S/gen/pdf/A0601aaALL.pdfsampai 3,53cm dengan rata-rata 1,93cm. Persentase hidup tanaman dari 44,4-94,4% dengan rata-rata

ABS SOC INDON BIODIV, Magelang, 31 Agustus 2019, pp. 1-22 7

Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya (Kebun Raya Bogor), Lembaga

Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jl. Ir. H. Juanda No. 13 Bogor 16122, Jawa

Barat

Keanekaragaman tumbuhan di Indonesia terutama di

Sulawesi Selatan menurun signifikan saat ini. Beberapa

faktor penyebabnya adalah berbagai tekanan perubahan

pada populasi tumbuhan di hutan untuk memenuhi

kebutuhan manusia serta populasi manusia yang terus

meningkat, konversi lahan yang dapat mengarah kepada

kerusakan habitat, perubahan iklim, invasi tanaman eksotis

dan pemanfaatan keanekaragaman tumbuhan secara tidak

berkesinambungan. Salah satu upaya mengurangi

penurunan sumber daya hayati yaitu dengan melakukan

konservasi secara ex situ berupa eksplorasi biji untuk

memperoleh sebanyak-banyaknya keragaman genetik.

Penelitian ini dilaksanakan di Hutan Adat Baringin,

Kabupaten Enrenkang, Sulawesi Selatan pada bulan

Agustus 2017. Penelitian ini bertujuan untuk

mengkonservasi spesies berupa spesimen biji, serta untuk

memperoleh data mikroklimat habitat jenis target untuk

diaplikasikan dalam pengembangan metode

perkecambahannya sebagai upaya peningkatan kualitas

koleksi biji yang disimpan. Pada penelitian ini diperoleh

koleksi biji sebanyak 22 nomor koleksi yang berasal dari

15 famili dan 20 marga. Beberapa diantaranya Arcangelisia

flava, Mucuna sloanei, Mussaenda frondosa, Dioscorea

hispida, Begonia comestabilis, Canthium monstrosum, dan

Psychotria viridis. Biji-biji tersebut berkarakter sifat

simpan ortodok.

Bank biji, konservasi biji, kebun raya

BO-10

Penelitian cendana (Santalum album) di Indonesia

Yuliah♥, Liliek Haryjanto, Dwiko Budi Permadi

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan

Tanaman Hutan Yogyakarta. Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15,

Purwobinangun, Pakem, Sleman 55582, Yogyakarta

Cendana (Santalum album Linn.) merupakan tumbuhan asli

Indonesia yang tumbuh alami terutama di Nusa Tenggara

Timur dan memiliki nilai ekonomi tinggi karena

menghasilkan santalol yang berkualitas. Maraknya

ekploitasi dan kegagalan penanaman menyebabkan

semakin sulitnya cendana dijumpai. Untuk menjawab

permasalahan penyelamatan dan pengelolaan hutan

cendana di Indonesia harus didukung data dan informasi

menyeluruh dari seluruh aspek yang terkait. Tujuan

penelitian ini adalah untuk mengetahui status terkini dari

penelitian cendana yang telah dilakukan di Indonesia.

Metode yang digunakan melalui studi literature dari dari

berbagai artikel terpilih. Aspek penelitian yang diamati

dibedakan menjadi (i) silvikultur, (ii) hama dan penyakit,

(iii) kandungan minyak, (iv) genetika, dan (v) sosial,

ekonomi dan kebijakan. Hasil penelitian menunjukkan

penelitian cendana telah banyak dilakukan di Indonesia,

tetapi aplikasi hasil-hasil penelitian oleh para pihak masih

menghadapi banyak tantangan. Beberapa aspek penelitian

yang masih harus dilakukan adalah perbanyakan vegetatif,

persilangan, permudaan alam maupun aspek ekonomi.

Tanaman cendana di Yogyakarta dapat menjadi alternatif

sumber benih untuk pengembangan cendana di Indonesia

karena keragamannya relatif lebih tinggi daripada cendana

di Nusa Tenggara Timur. Dibutuhkan master plan restorasi

dan konservasi tanaman cendana dengan mengadopsi

penelitian terkait dan melibatkan para pihak, yaitu:

pemerintah pusat, daerah, akademisi, peneliti dan pelaku

pasar (swasta).

Cendana, literature, pelestarian, pengelolaan, Santalum

album

BO-11

Karakteristik Tinospora glabra (Menispermaceae)

dari Gunung Nglanggeran, Gunungkidul,

Yogyakarta

Widodo

Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

Yogyakarta, Jl. Marsda Adisucipto No 1 Yogyakarta 55281, Indonesia

Tinospora glabra terdapat hampir merata di kawasan

Gunung Nglanggeran, Gunungkidul, Yogyakarta. Penulis

mengidentifikasi tumbuhan ini berdasarkan pada literatur

dan spesimen herbarium. Penelitian dilakukan

menggunakan metode eksplorasi dan kunjungan periodik,

pengamatan morfologi disertai koleksi herbarium kering.

Informasi mengenai T. glabra di internet dan literatur

sangat sedikit. Nama species ini telah mengalami beberapa

perubahan dan terdapat sinonim dan basionim yang

menimbulkan ketidakjelasan. Melalui pencocokan

herbarium MNHN (Muséum National d'Histoire Naturelle,

Paris) diperoleh bahwa specimen T. glabra dari Gunung

Nglanggeran sesuai dengan herbarium tersebut. Tulisan ini

memaparkan ciri-ciri T. glabra dari Gunung Nglanggeran,

terutama morfologi daun, batang, bunga dan buah.

Gunung Nglanggeran, Menispermaceae, Tinospora glabra

BO-12

Potensi distribusi Agathis borneensis

menggunakan model Maxent

Didi Usmadi

Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya (Kebun Raya Bogor), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jl. Ir. H. Juanda No. 13 Bogor 16122, Jawa

Barat

Status konservasi Agathis borneensis Warb. tergolong

terancam (endangered) dalam daftar merah IUCN. Prediksi

distribusi A. borneensis sangat penting dilakukan dalam

rangka konservasi dan monitoring spesies tersebut di

habitat alaminya. Penelitian ini bertujuan untuk

memprediksi distribusi dan identifikasi faktor lingkungan

yang membatasi kehadiran A. borneensis. Data kehadiran

Page 15: Seminar - Sebelas Maret Universitybiodiversitas.mipa.uns.ac.id/S/gen/pdf/A0601aaALL.pdfsampai 3,53cm dengan rata-rata 1,93cm. Persentase hidup tanaman dari 44,4-94,4% dengan rata-rata

ABS MASY BIODIV INDON, Magelang, 31 Agustus 2019, hal. 1-22 8

A. borneensis diambil di lokasi ditemukannya jenis

tersebut. Variabel lingkungan yang dianalisis yaitu faktor

geofisik (elevasi, kelerengan dan arah lereng), faktor iklim

(curah hujan, suhu udara dan intensitas penyinaran), faktor

vegetasi (tutupan lahan), dan faktor edafis (jenis tanah).

Analisis kesesuaian habitat menggunakan model distribusi

spesies Maxent versi 3.4.1. Model Maxent dapat

memprediksi distribusi A. borneensis dengan baik dan

dapat digunakan untuk menentukan area prioritas untuk

konservasi jenis tersebut. Faktor lingkungan yang paling

berpengaruh terhadap kehadiran A. borneensis adalah

kelerengan lahan.

Konservasi, spesies langka, pemodelan ekologi

BO-13

The composition of undergrowth vegetation in the

Gendol riverbank, Cangkringan Subdistrict,

Sleman District, Yogyakarta

Atus Syahbudin1,♥, Alnus Meinata1, Ridla Arifriana2 1Forestry Study Program, Faculty of Forestry, Universitas Gadjah Mada.

Jl. Agro No.1, Bulaksumur, Sleman 55281, Yogyakarta 2Forest Management Study Pogram, Veterinary and Biotechnology Department,, Vocational School, Universitas Gadjah Mada. Jl. Yacaranda

Sekip II, Sleman 55281, Yogyakarta.

Gendol river is one of the rivers affected by pyroclastic

blast from Mount Merapi eruption in 2010. This river flows

through several villages, such as Glagaharjo, Kepuharjo,

Wukirsari, and Argomulyo in Sleman District, Yogyakarta.

On this river bank, vegetation has grown naturally post

eruption of Mount Merapi and is continues to change.

Some vegetation was also planted by the community. This

study aims to find out the composition of the undergrowth

vegetation on the Gendol river bank in Cangkringan

Subdistrict. The data was obtained systematically by

making 10 sample plots of 5 m x 5 m and 2 m x 2 m size,

on each side of the bank. A total of 68 species were

recorded in this study which consisted of 29 trees species in

seedlings and saplings stage, 34 species of herbs and

shrubs, and 6 species of grasses. The dominant among the

non-tree species are Chromolaena odorata (L.) R.M.King

& H.Rob. with an IVI of 43.78%, Alternanthera brasiliana

(L.) Kuntze with IVI of 16.6% and Asystasia gangetica (L.)

T. Anderson with IVI of 15.78%. Saplings are dominated

by Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & J.W. Grimes

with IVI of 32.81%, followed by Leucaena leucocephala

(Lam.) De Wit (IVI-24.41%) and Melia azedarach (IVI-

14.28%).

Merapi species, seedlings, Gendol River Banks, understorey

BO-14

Distribusi capung (Odonata) di Kawasan Hutan

Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Gunung

Bromo, Karanganyar, Jawa Tengah

Sugiyarto♥, Ike Nurjuita Nayasilana, Ayu Astuti

Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,

Universitas Sebelas Maret. Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126, Jawa

Tengah

Capung merupakan salah satu komponen keanekaragaman

hayati yang dapat dijadikan sebagai indikator dalam

penilaian kualitas perairan. Beberapa jenis capung

menempati habitat yang spesifik, namun adapula yang

hidup di hampir keselurahan tipe habitat. KHDTK Gunung

Bromo, Karanganyar, Jawa Tengah merupakan salah satu

potret habitat ditemukannya capung. Sejak April 2018,

kawasan tersebut ditetapkan sebagai kawasan pendidikan,

penelitian dan pelatihan bagi Universitas Sebelas Maret.

Namun, informasi terbaru terkait potensi kawasan tersebut

masih sangat terbatas. Oleh karena itu, penelitian ini

bertujuan untuk mendapatkan informasi terkini mengenai

distribusi capung di KHDTK Gunung Bromo. Penelitian ini

dilakukan selama 2 minggu pada rentang bulan Juli-

Agustus 2019. Pengambilan data dilakukan di sepanjang

sungai Bamban dan dibagi menjadi dua stasiun

pengamatan. Stasiun pertama berupa sungai yang di

sekelilingnya merupakan hutan campuran, sedangkan

stasiun kedua berupa sungai yang di sekelilingnya

merupakan hutan pinus. Pada masing-masing stasiun

pengamatan dibuat transek sepanjang 600 meter. Data yang

diambil berupa jenis dan jumlah capung yang dijumpai

selama pengamatan. Hasil pengamatan menunjukkan

terdapat 23 jenis capung. Sebanyak 20 jenis capung

dijumpai di stasiun pertama, dan 13 jenis dijumpai di

stasiun kedua. Pada penelitian ini, ditemukan pula capung

endemik jawa yaitu Rhinocypha fenestrata dan capung

endemik Jawa-Bali yaitu Paragomphus reinwardtii yang

hanya dapat dijumpai di stasiun kedua.

Capung, hutan pinus, hutan campuran, KHDTK Gunung

Bromo

BO-15

Karakterisasi morfologi surian (Toona sinensis

Roem) dari populasi Jawa di plot konservasi ex-

situ umur 12 tahun

Jayusman♥, Ari Fiani

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan

Tanaman Hutan Yogyakarta. Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15,

Purwobinangun, Pakem, Sleman 55582, Yogyakarta

Penelitian bertujuan untuk mempelajari dan

mengkarakterisasi sifat morfologi tanaman surian (Toona

sinensis Roem) di Plot Konservasi ex-situ serta

mempelajari keragaman antar populasi berdasarkan sifat-

sifat morfologi. Sebanyak 15 populasi surian yang berasal

dari Jawa Barat (5 populasi), Jawa Tengah (8 populasi) dan

Jawa Timur (2 populasi) ditanam pada plot konservasi ex-

situ dengan umur 12 tahun. Karakterisasi menggunakan

acuan IPGRI dan variabel pengamatan meliputi sifat

morfologi tinggi total dan tinggi bebas cabang, kanopi

tanaman, bentuk percabangan, bentuk daun, kelurusan

Page 16: Seminar - Sebelas Maret Universitybiodiversitas.mipa.uns.ac.id/S/gen/pdf/A0601aaALL.pdfsampai 3,53cm dengan rata-rata 1,93cm. Persentase hidup tanaman dari 44,4-94,4% dengan rata-rata

ABS SOC INDON BIODIV, Magelang, 31 Agustus 2019, pp. 1-22 9

batang dan kulit batang. Data yang diperoleh disajikan

secara deskriptif. Pengelompokkan antar populasi

dilakukan dengan analisis cluster yang hasilnya

ditampilkan dalam bentuk dendrogram. Keragaman

morfologi pertumbuhan dari 15 populasi surian

menunjukkan tinggi total tanaman antara 9,5-16,2 m, tinggi

bebas cabang 4,5-11,2 m, diameter kanopi antara 1,5-2,8

cm, diameter batang antara 24,1-35,3 cm, bentuk

percabangan cenderung kurang horizontal, kelurusan

batang cenderung memiliki skor 1-2, bentuk daun bergerigi

dan bentuk permukaan kulit cenderung batang beralur.

Berdasarkan kemiripan sifat-sifat morfologi pada berbagai

tingkat kemiripan mulai dari 70%, 80% dan 90%, terdapat

pengelompokan yang cenderung diisi oleh lintas populasi

yang berasal dari tiga asal provinsi sumber materi genetik.

Upaya mencari karakter morfologi yang mampu menjadi

penciri utama populasi perlu dikembangkan pada penilitian

berikutnya untuk memudahkan upaya karakterisai populasi

dan pemanfaatanya untuk mendukung kegiatan seleksi

pada program pemuliaan tanaman surian.

Cluster, karakterisasi, konservasi ex-situ, populasi, Toona

sinensis

BO-16

Structure and composition of vegetation and

canopy density for Javan Slow Loris (Nycticebus

javanicus) living space in forest Kemuning, Bejen

Subdistrict, Temanggung District, Central Java

Yanieta Arbiastutie1,♥, Farah Diba1, Rendy Enggar

Suwandi2

1 Fakultas Kehutanan, Universitas Tanjungpura Jl.Prof.Hadari

Nawawi,Bansir Laut, Pontianak78121, Kalimantan Barat 2 Cikalan RT 02, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul 55184, Yogyakarta

Massive land exploitation in the forest area on the island of

Java has resulted in forest areas with good canopy structure

variations that remain only in the form of small

unconnected patches. One of the wildlife affected by the

fragmentation and loss of the forests of Java is the Javan

Slow Loris (Nycticebus javanicus). Further impacts on

habitat fragmentation cause Javan Slow Loris to adapt to

the surrounding environment. The main step in the

conservation of Javan Slow Loris is the thirst for the known

structure and composition of the composing canopy layer

vegetation in the kemuning forest, so that the management

of the area can support the conservation of Javan Slow

Loris species. The method used is vegetation analysis with

nested sampling and SAVI analysis through SPOT-6 type

satellite images to determine the structure and composition

of the vegetation and canopy density. The composition of

the Kemuning Forest as a Javan Slow Loris growth space is

dominated by species that can provide food for Javan Slow

Loris, such as the kemuning (Murraya paniculata), antap

(Sterculia subpeltata), fig (Ficus fistulosa), beringin (Ficus

benjamina), petai (Parkia speciosa), ara (Ficus fistulosa),

bayan tree (Ficus benjamina), jackfruit (Artocarpus

heterophyllus) and matoa (Pometia pinnata), these plants

not only provide space but also provide food options for

Javan Slow Loris.

Canopy density, Javan Slow Loris, Kemuning Forest,

vegetation structure and composition

BO-17

Keanekaragaman Amfibi di Kawasan Hutan

dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Gunung

Bromo, Karanganyar, Jawa Tengah

Nur Choiriyah Merdekawati♥, Sugiyarto♥ ♥, Ike

Nurjuita Nayasilana

Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret. Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126, Jawa

Tengah

Amfibi merupakan hewan yang membutuhkan air dalam

melangsungkan hidupnya. Kawasan Hutan dengan Tujuan

Khusus (KHDTK) Gunung Bromo, Karanganyar, Jawa

Tengah merupakan salah satu habitat yang mendukung

keberadaan amfibi dengan adanya Sungai Bamban yang

membentang di sepanjang kawasan. Penelitian dilakukan

untuk mengetahui jenis Amfibi yang ada di KHDTK

Gunung Bromo. Pengambilan data dilakukan pada tahun

2015, 2017, dan 2019 menggunakan metode VES. Secara

keseluruhan dijumpai 8 jenis anura yaitu, Duttaphrynus

melanostictus, Ingerophrynus biporcatus, Phrynoidis

aspera, Fejervarya limnocharis, Fejervarya cancrivora,

Occidozyga sumatrana, Chalcorana chalconota, dan

Polypedates leucomystax. Nilai indeks keanekaragaman

Shannon-Wiener adalah 1,53 yang menunjukkan bahwa

keanekaragaman di kawasan tersebut sedang, sedangkan

nilai indeks kemerataannya adalah 0,75 yang menunjukkan

bahwa populasi tidak merata.

Amfibi, keanekaragaman, KHDTK Gunung Bromo

BP-01

Inventarisasi tumbuhan paku (Pteridophyta) di

Kawasan Pegunungan Lawu Bagian Selatan, Jawa

Tengah

Ana Sholekah Asza1♥, Aji Sukma Iqbal Najibulloh1,

Sugiyarto2♥♥ 1Kelompok Studi Biodiversitas, Program Studi Biologi, Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret. Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126, Jawa Tengah, Indonesia 2Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Alam, Universitas Sebelas Maret. Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126,

Jawa Tengah, Indonesia

Keanekaragaman jenis hayati di Indonesia sangat tinggi,

salah satunya adalah tumbuhan paku yang tersebar di

seluruh hutan Indonesia terutama pada wilayah

pegunungan. Gunung Lawu, Jawa berada pada wilayah

peralihan yang membentuk karakteristik lingkungan khas

dan sesuai sebagai habitat tumbuhan paku. Tumbuhan paku

Page 17: Seminar - Sebelas Maret Universitybiodiversitas.mipa.uns.ac.id/S/gen/pdf/A0601aaALL.pdfsampai 3,53cm dengan rata-rata 1,93cm. Persentase hidup tanaman dari 44,4-94,4% dengan rata-rata

ABS MASY BIODIV INDON, Magelang, 31 Agustus 2019, hal. 1-22 10

memegang peranan dan fungsi yang sangat penting baik

dalam fungsi ekologis maupun kebutuhan manusia.

Keberadaan tumbuhan paku masih kurang mendapat

perhatian sehingga perlu dilakukan pendataan untuk

mengetahui jenis-jenis yang ada. Tujuan penelitian ini

adalah melakukan inventarisasi tumbuhan paku pada

Kawasan Pegunungan Lawu bagian Selatan, KPH

Surakarta, BKPH Lawu Selatan. Pendataan dilakukan

dengan menjelajahi kawasan berdasarkan jalur untuk

memperoleh jenis sebanyak-banyaknya. Data yang

diperoleh dianalisis secara deskriptif kualitatif.

Pengambilan data dilakukan dari empat tempat, yaitu

Jogolarangan, Ndas Londo, Muncar, dan Girimanik. Dari

penelitian diperoleh 38 spesies yang berasal dari 16 famili

berbeda dengan jumlah tiga spesies paku epifit dan 35 paku

terestrial. Jenis terbanyak diperoleh lima spesies yang

berasal dari famili Pteridaceae yaitu Pteris biaurita L.,

Pteris longipinnula Wall. Ex J. Agardh, Coniogramme

intermedia Hieron, Pteris ensifomis Burm. F., dan

Selliguea enervis Ching. Terdapat satu spesies yang

memiliki status vulnerable berdasarkan IUCN yaitu

Asplenium contiguum Kaulf. Genus yang banyak

ditemukan yaitu genus Selaginella dan Nephrolepis dari

famili Selaginellaceae dan Nephrolepidaceae.

Gunung Lawu, inventarisasi, keanekaragaman, Pteridophyta

Keanekaragaman Ekosistem

CO-01

Preferensi Lokasi bersarang penyu hijau

berdasarkan karaktersitik vegetasi di Taman

Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan, Jawa Barat

Alvianto Roeseno1,♥, Ichsan Suwandhi1, Devi Nandita

Choesin2 1 Program Srudi Rekayasa Kehutanan, Sekolah Ilmu dan Teknologi

Hayati, Institut Teknologi Bandung, Jl. Let. Jend. Purn. Dr. (HC) Mashudi

No.1, Jatinangor, Sumedang 45363, Jawa Barat 2Program Studi Biologi, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut

Teknologi Bandung. Jl. Ganesha No. 10, Bandung 40132, Jawa Barat

Penyu hijau (Chelonia mydas) merupakan reptil dengan

status konservasi terancam punah (IUCN, 2004). Pantai

Sindangkerta, Tasikmalaya dan Pantai Pangumbahan,

Sukabumi merupakan pantai peneluran penyu hijau yang

berada di pesisir selatan Jawa Barat. Dibandingkan Pantai

Pangumbahan, Pantai Sindangkerta menghadapai tekanan

cukup tinggi ditandai semakin terdesaknya pantai

mendekati jalan raya, berkurangnya vegetasi yang

berakibat pada kecenderungan penurunan jumlah penyu

hijau yang bertelur. Hal ini diduga kuat berhubungan

dengan preferensi penyu terhadap karakteristik vegetasi.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan komposisi dan

struktur vegetasi, serta preferensi penyu memilih lokasi

bertelur berdasarkan karakteristik vegetasi. Komposisi

vegetasi ditentukan melalui analisis vegetasi dengan

metode plot kuadrat, penentuan struktur hutan ditentukan

dengan diagram profil berdasarkan plot contoh 10x60m2

dan menggunakan software SeXI-FS. Preferensi peneluran

penyu ditentukan menggunakan uji ANOVA, uji Kruskal

Wallis,dan analisis regresi linier berganda menggunakan

delapan parameter vegetasi. Terdapat tiga zona vegetasi di

pantai peneluran ini yang didominasi Spinifex littoreus

pada zona gumuk pasir; Pandanus tectorius pada zona

punggung bukit; Calophyllum inophyllum pada zona

transisi hutan. Selama Januari 2018 hingga April 2019

tercatat 430 sarang di enam stasiun, dan menunjukkan

adanya perbedaan yang siginifikan (F=30,851; p-

value<0,001). Preferensi lokasi bersarang penyu hijau yaitu

kerapatan pandan (F= 3,098; p-value<0,05) dengan kisaran

6000-10000 batang/ha, lebar vegetasi (F= 4,128; p-

value<0,05) dengan kisaran 48,4-112 meter, dan dominansi

herba rambat (H= 11,636; p-value<0,05) dengan kisaran

1,38-11,49%. Karakteristik vegetasi yang memengaruhi

perilaku preferensi adalah kerapatan pohon (R=-0,733; p

value<0.05), kerapatan tajuk (R= 0,718; p value<0.05),dan

kerapatan pandan (R= 0,709; p-value<0.05).

Chelonia mydas, ekosistem pantai, kerapatan pohon,

kerapatan pandan, habitat penyu

CO-02

Orchid and Hoya host tree preferences: new

evidence of plant diversity on the success of

Wanagama Educational Forest Rehabilitation,

Yogyakarta

Atus Syahbudin1,♥, Abdul Rahman Sidiq2 1Forestry Study Program, Faculty of Forestry, Universitas Gadjah Mada.

Jl. Agro No.1, Bulaksumur, Sleman 55281, Yogyakarta 2 Forest Management Study Program, Department of Biological and

Veterinary Technology, Vocational School, Universitas Gadjah Mada.

Sekip Unit 1, Sleman 55281, Yogyakarta

Wanagama Educational Forest (WEF), Gunungkidul,

Yogyakarta was a rehabilitated bare land since 1964. The

current WEF’s biodiversity is increasing. However, the

presence of orchids and hoya has never been reported.

Whereas its existence is an indicator of improvement in

microclimate over the past 50 years. This study aims to

determine the host tree preferences of orchids and hoya.

Data were collected from compartment 5 WEF as an early

rehabilitation compartment covering an area of 10 hectares.

All areas were explored during February-May 2018 to

conduct tree census and identification. The study

documented 28 host trees preferences of orchid and hoya.

The most host tree species is teak (Tectona grandis).

Orchid and hoya attached to the main stem (28.3%) and the

rest are in branches. Stem diameter of 20-30 cm has the

most orchid and hoya (27.5%), followed by 30-40 cm

(24.4%) and 10-20 cm (13.9%). Their existence is closely

related to stem diameter and the bark of the host tree

(estimated due to substrate conditions and microclimate).

Its presence can be a new proof that the WEF has

succeeded in leading to a successful ecosystem. The

Page 18: Seminar - Sebelas Maret Universitybiodiversitas.mipa.uns.ac.id/S/gen/pdf/A0601aaALL.pdfsampai 3,53cm dengan rata-rata 1,93cm. Persentase hidup tanaman dari 44,4-94,4% dengan rata-rata

ABS SOC INDON BIODIV, Magelang, 31 Agustus 2019, pp. 1-22 11

diversity of orchid and hoya presented in this paper will

greatly support environmental education at WEF.

Bare land, critical land, diversity, hoya, dry land orchids,

Wanagama

CO-03

Effect of wildfires on vegetation in tropical

peatlands

Sinta Haryati Silviana1,♥, Bambang Hero Saharjo2,♥♥,

Sigit Sutikno3

1 Tropical Silviculture Study Program, Graduate School, Institut Pertanian

Bogor. Jl. Lingkar Akademik, Bogor 16680, West Java, Indonesia. 2 Department of Silviculture, Faculty of Forestry, Institut Pertanian Bogor. Jl. Ulin, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680, West Java, Indonesia. 3 Department of Civil Engineering, Faculty of Engineering, Universitas

Riau, Pekanbaru 28293, Riau Indonesia

Wildfires are one of the main causes of forest destruction,

disturbing forest sustainability. Wildfires are mainly caused

by human activities, such as land clearing, wood

harvesting, draining, etc. Wildfires could induce the loss of

vegetation. This study aimed to evaluate the effect of

wildfires on both vegetation biomass and necromass on

coastal peatland ecosystems in Sungai Tohor Village,

Tebing Tinggi Timur Subdistrict, Meranti Islands District,

Riau Province, Indonesia. The analysis of vegetation and

biomass composition both above and below the ground

were performed. The approach used a paired sample with 4

replications (n = 4 burnt, n=4 unburnt). The variables

observed in every research sites was analyzed using

Student-T test. Models were generated and then validated

to understand the effect of fires on vegetation biomass loss.

The results showed that there was a significant difference

between the unburned area and burned area (P <0.01).

Wildfires affected the quantity of living plants (biomass)

by comparison 2.36: 1. The quantity of dead plants

(necromass) was greater than biomass. These suggest that a

high intensity of forest fires had occurred in this sites.

Biomass, burned peatlands, fire, necromass, unburned

peatlands.

CO-04

Evaluasi kesesuaian habitat penyu hijau (Chelonia

mydas) di Pantai Sindangkerta, Tasikmalaya,

Jawa Barat

Agustina Kristin Handayani1,♥, Ichsan Suwandhi1, Devi

Nandhita Choesin2

1 Program Srudi Rekayasa Kehutanan, Sekolah Ilmu dan Teknologi

Hayati, Institut Teknologi Bandung, Jl. Let. Jend. Purn. Dr. (HC) Mashudi No.1, Jatinangor, Sumedang 45363, Jawa Barat 2Program Studi Biologi, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut

Teknologi Bandung. Jl. Ganesha No. 10, Bandung 40132, Jawa Barat

Penurunan populasi penyu hijau (Chelonia mydas) di

Suaka Margasatwa (SM) Sindangkerta, Jawa Barat,

merupakan masalah kompleks yang disebabkan oleh faktor

alami dan aktivitas manusia. Penelitian ini bertujuan untuk

mengevaluasi kesesuaian habitat peneluran penyu hijau

pada enam blok di SM Sindangkerta berdasarkan kondisi

biofisik dan aktivitas manusia. Terdapat tujuh parameter

biofisik dan aktivitas manusia di SM Sindangkerta yang

diukur, yaitu (i) kemiringan pantai, (ii) lebar pantai, (iii)

suhu pasir, (iv) komposisi pasir, (v) ukuran butir pasir, (vi)

tutupan vegetasi pantai, dan (vii) tutupan struktur buatan

manusia. Analisis kesesuaian habitat dilakukan

menggunakan aplikasi ArcMap dengan metode tumpang

susun (overlay). Hasil pengukuran parameter di setiap blok

diklasifikasikan ke dalam tiga kelas kesesuaian. Setiap

parameter diberi bobot nilai berdasarkan metode regresi

linier berganda. Indeks Kesesuaian Habitat (IKH) diperoleh

dengan mengalikan bobot parameter dengan nilai

pengukuran parameter. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa dari enam blok lokasi peneluran penyu, hanya satu

blok yang termasuk ke dalam kelas sesuai dengan IKH

272%, yaitu Blok Tegal Sereh. Hal ini didukung oleh

faktor tutupan struktur buatan manusia yang cenderung

rendah (hanya 1% dari 30% batas toleransi maksimum).

Enam blok termasuk kedalam kelas tidak sesuai dengan

IKH 132%-141%. Secara umum, kondisi ini terkait dengan

faktor tidak sesuainya kondisi lebar pantai dan rendahnya

tutupan vegetasi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberikan pertimbangan untuk pengelolaan kawasan

pantai, khususnya sebagai habitat peneluran penyu hijau.

Chelonia mydas, kesesuaian habitat, peneluran penyu hijau,

struktur buatan manusia, tutupan vegetasi pantai, komposisi

pasir

CO-05

Karakteristik Iluminasi Cahaya dan kebisingan

antropogenik di habitat peneluran penyu hijau

(Chelonia mydas) Suaka Margasatwa

Sindangkerta, Tasikmalaya, Jawa Barat

Susi Handayani1,♥, Ichsan Suwandhi1, Devi Nandita

Choesin2

1 Program Srudi Rekayasa Kehutanan, Sekolah Ilmu dan Teknologi

Hayati, Institut Teknologi Bandung, Jl. Let. Jend. Purn. Dr. (HC) Mashudi No.1, Jatinangor, Sumedang 45363, Jawa Barat 2Program Studi Biologi, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut

Teknologi Bandung. Jl. Ganesha No. 10, Bandung 40132, Jawa Barat

Penyu hijau (Chelonia mydas) merupakan hewan dari kelas

reptilia laut yang melakukan peneluran di daratan pantai.

Penyu hijau mendarat di pantai tertentu sesuai

preferensinya. Preferensi penyu hijau untuk faktor suasana

terdiri dari iluminasi cahaya 0-3 lux dan tekanan suara

maksimum sebesar 39 dB. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui kondisi iluminasi cahaya dan tingkat

kebisingan antropogenik pada enam blok peneluran penyu

hijau di Suaka Margasatwa Sindangkerta, Jawa Barat.

Penentuan iluminasi cahaya dilakukan dengan mengukur

Page 19: Seminar - Sebelas Maret Universitybiodiversitas.mipa.uns.ac.id/S/gen/pdf/A0601aaALL.pdfsampai 3,53cm dengan rata-rata 1,93cm. Persentase hidup tanaman dari 44,4-94,4% dengan rata-rata

ABS MASY BIODIV INDON, Magelang, 31 Agustus 2019, hal. 1-22 12

intensitas pada sumber cahaya yang menghadap ke area

peneluran kemudian dihitung dengan rumus hukum cosinus

Lambert. Tingkat kebisingan diukur pada tujuh selang

waktu pengukuran mengacu pada KEP-

48/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan.

Nilai kebisingan diperoleh dalam satuan dB tanpa

pembobotan. Hasil penelitian menunjukkan nilai iluminasi

cahaya tertinggi yang sampai ke area peneluran adalah 1,58

lux dengan sumber cahaya berupa lampu penyinaran jalan

dengan sinar berwarna putih. Tekanan suara tertinggi dari

jalan raya yang sampai ke area peneluran adalah 65,35 dB

dengan peredaman sebesar-5,56 dB. Berdasarkan nilai

iluminasi cahaya, seluruh blok peneluran termasuk kategori

layak dalam rentang iluminasi 0,002-1,58 lux. Berdasarkan

tingkat kebisingan, hanya blok Panarikan yang termasuk

kategori layak dengan tingkat kebisingan 36,86 dB dan

peredaman sebesar 9,78 dB oleh vegetasi di sempadan

pantai setebal 121 m.

Antropogenik, Chelonia mydas, preferensi, sempadan pantai

CO-06

Analisis fragmentasi hutan berdasarkan

klasifikasi tutupan lahan menggunakan Object

Based Image Analysis (OBIA) di Kawasan

Koridor Gunung Simpang, Jawa Barat

Sony Saefulloh♥, Rina Ratnasih Irwanto, Nuruddin

Nurudin

Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung. Jl.

Ganesha No. 10, Bandung 40132, Jawa Barat

Konektivitas tinggi beserta area hutan yang kompak dan

tidak terfragmentasi merupakan kondisi koridor satwa yang

ideal. Jika terfragmentasi, konektivitas hutan akan

berkurang dan menyebabkan mobilitas satwa terganggu.

Salah satu area yang berpotensi sebagai penghubung

habitat satwa yaitu area koridor Gunung Simpang yang

menghubungkan antara Gunung Simpang dan Gunung

Tilu. Saat ini informasi tentang kondisi hutan koridor

sebagai penghubung kedua cagar alam tersebut belum

diketahui secara pasti. Penelitian ini bertujuan untuk

menentukan tingkat fragmentasi hutan dan kondisi

konektivitas hutan berdasarkan kondisi tutupan lahan di

area koridor. Tutupan lahan hasil pemetaan ditentukan

melalui klasifikasi berbasis objek (OBIA) menggunakan

aplikasi eCognition Developer. Ketepatan klasifikasi

tutupan lahan ditentukan melalui uji akurasi overall dan uji

akurasi kappa. Penentuan fragmentasi hutan dan kondisi

konektivitas hutan dianalisis menggunakan aplikasi

Fragstat 4.2. Parameter Correlation Length Index (CLI) dan

Interspersion Juxtaposition Index (IJI) digunakan untuk

menganalisis kondisi konektivitas hutan. Fragmentasi hutan

dianalisis dengan menggunakan enam parameter meliputi

jumlah fragmen (NP), kerapatan fragmen (PD), total tepi

(TE), kerapatan tepi (ED), luas fragmen rata-rata

(Area_MN) dan indeks bentuk fragmen rata-rata

(Shape_Index). Setelah itu, dilakukan pembobotan untuk

menentukan tingkat fragmentasi hutan. Hasil klasifikasi

menunjukkan terdapat tujuh tutupan lahan, yaitu hutan

(245,15 ha), area terbangun (0,56 ha), sungai (1,02 ha),

semak belukar (121,62 ha), lahan pertanian (18,15 ha),

kebun teh (2,17 ha), dan lahan terbuka (2,03 ha) dengan

tingkat akurasi overall 90,52% dan akurasi kappa 87,98%.

Konektivitas hutan memiliki kondisi fragmen yang

cenderung berkelompok (IJI=20,64%) dan memiliki jarak

keterhubungan (CLI) sebesar 503,73 m. Fragmentasi di

hutan koridor memiliki nilai NP=1293, PD=330,9

fragmen/100 ha, TE=397,44 km, ED=1017,14 m/ha,

Area_MN=0,18 ha, dan Shape_Index=1,51 yang

menujukan bahwa tingkat fragmentasi hutan tergolong

sangat tinggi.

Indeks fragmentasi hutan, konektivitas hutan, koridor satwa

CO-07

Pemetaan kesesuaian habitat Owa Jawa

(Hylobates moloch Audebert, 1798) di Cagar Alam

Gunung Simpang dan Gunung Tilu, Jawa Barat

Selly Surya♥, Rina Ratnasih Irwanto, Nuruddin

Nurudin

Program Studi Rekayasa Kehutanan, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung. (Jalan Let. Jend. Purn. Dr. (HC) Mashudi 1,

Jatinangor, Sumedang 45363, Jawa Barat, Indonesia

Strategi Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Owa Jawa

Tahun 2016-2026 merupakan acuan dalam penyusunan

program konservasi Owa Jawa yang dikeluarkan oleh

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Salah satu

aksi konservasi yang direncanakan adalah perancangan

koridor habitat Owa Jawa, diantaranya adalah koridor

antara Cagar Alam Gunung Simpang (CAG Simpang) dan

Cagar Alam Gunung Tilu (CAG Tilu). Menurut SRAK,

informasi mengenai persebaran kesesuaian habitat secara

spasial diperlukan dalam perancangan koridor habitat Owa

Jawa. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan kesesuaian

habitat Owa Jawa (Hylobates moloch) beserta informasi

mengenai vegetasi di setiap kelas kesesuaian habitatnya di

CAG Simpang dan CAG Tilu. Indeks Kesesuaian Habitat

(IKH) diperoleh dengan menggunakan metode Principal

Component Analysis (PCA) yang kemudian diproyeksikan

menjadi peta kesesuaian habitat. Data yang digunakan

untuk pemodelan kesesuaian habitat adalah koordinat

perjumpaan Owa Jawa. Normalized Difference Vegetation

Index/NDVI (X1), ketinggian (X2), jarak dari sungai (X3),

jalan (X4) dan lahan budidaya (X5) dijadikan sebagai

variabel penentu kesesuaian habitat. Komposisi vegetasi

pada setiap kelas kesesuaian habitat diperoleh dari analisis

vegetasi dengan menggunakan metode kuadrat berukuran

20 x 20 m untuk pohon dan 10 x 10 m untuk tiang. Data

vegetasi digunakan untuk menghitung nilai

keanekaragaman (H’) dan nilai penting setiap jenis pohon

pada masing-masing kelas kesesuaian habitat. Hasil

pemodelan menunjukkan bahwa dengan formula IKH =

[(2,193 x X2)+(2,193 x X4)+(2,193 x X5)+(1,227 x

X1)+(1,227 x X3)], selang nilai IKH di CAGSimpang dan

Page 20: Seminar - Sebelas Maret Universitybiodiversitas.mipa.uns.ac.id/S/gen/pdf/A0601aaALL.pdfsampai 3,53cm dengan rata-rata 1,93cm. Persentase hidup tanaman dari 44,4-94,4% dengan rata-rata

ABS SOC INDON BIODIV, Magelang, 31 Agustus 2019, pp. 1-22 13

CAGTilu adalah 11,49-27,09 yang kemudian diklasifikasi

menjadi kelas kesesuaian rendah, sedang dan tinggi.

Habitat dengan kelas kesesuaian tinggi memiliki jenis

pohon yang lebih beragam (H’=2,63) dibandingkan dengan

kelas kesesuaian sedang (H’=2,53) dan rendah (H’=1,66).

Komunitas pohon yang mendominasi kelas kesesuaian

habitat rendah dan sedang sama, yaitu Schima-Castanopsis,

sedangkan pada kesesuaian habitat tinggi adalah Trema-

Castanopsis. CAGSimpang memiliki proporsi kelas

kesesuaian habitat tinggi yang lebih besar dibandingkan

dengan CAGTilu, yaitu 65,11% dari luas kawasan

CAGSimpang.

CAG Simpang, CAG Tilu, kesesuaian habitat, Owa Jawa,

PCA

CO-08

Karakteristik morfologi jamur Ceratocystis

fimbriata dan uji virulensinya pada daun Acacia

mangium dan A. auriculiformis

Nur Hidayati♥, Desy Puspitasari

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan

Tanaman Hutan Yogyakarta. Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15,

Purwobinangun, Pakem, Sleman 55582, Yogyakarta

Jamur Ceratocystis sp. saat ini telah menjadi ancaman yang

cukup serius untuk tanaman kehutanan terutama pada jenis-

jenis Acacia dan Eucalyptus. Di Indonesia, Ceratocystis

diketahui menyebabkan penyakit layu tajuk pada Acacia

crassicarpa dan A. mangium. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui karakteristik morfologi jamur Ceratocystis

fimbriata secara makroskopis dan mikroskopis serta uji

virulensinya pada daun Acacia mangium dan A.

auriculiformis. Uji karakteristik menggunakan isolat jamur

C. fimbriata yang ditumbuhkan pada media Malt Extract

Agar (MEA) dan Potato Dextrose Agar (PDA) isolat CTA

169 dan CTA 170 koleksi dari PT Riau Andalan Pulp and

Paper (RAPP), Riau sedangkan uji virulensinya

menggunakan daun A. Mangium dan A. Auriculiformis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jamur C. fimbriata

yang ditumbuhkan pada media PDA mempunyai

pertumbuhan miselium yang lebih luas dan cepat daripada

yang ditumbuhkan pada media MEA dari hari pertama

sampai hari ke-14. Hifa C. fimbriata berwarna putih tanpa

adanya sekat. Klamidiospor terletak pada bagian interkalar

sedangkan pada pengamatan hari ke-7 miselium mengalami

perubahan warna menjadi putih keabu-abuan sampai hari

berikutnya. Secara mikroskopis, isolat CTA-170 yang

diamati dibawah mikroskop stereo sudah terdapat

perithecium dengan hifa ostiolar yang cukup panjang,

namun belum terdapat askosopra. Uji virulensi

menunjukkan bahwa isolat C. fimbriata yang paling virulen

terhadap kedua spesies daun akasia adalah CTA-170, di

mana jamur ini yang memiliki jumlah

askospora/perithecium lebih banyak dibandingkan CTA-

169. Gejala serangan menunjukkan mula-mula pada kulit

pulihan dekat dengan irisan sadapan terdapat bercak-bercak

mengendap. Warna bercak cepat berubah menjadi hitam

dan meluas, sehingga terjadi jalur hitam yang sejajar

dengan irisan sadapan.

Ceratocystis fimbriata, karakteristik morfologi, uji virulensi

CO-09

Pertumbuhan semai Acacia auriculiformis dengan

aplikasi Rhizobium dan media tanah dari bawah

tegakan A. auriculiformis

Siti Husna Nurrohmah

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan

Tanaman Hutan Yogyakarta. Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15,

Purwobinangun, Pakem, Sleman 55582, Yogyakarta

Acacia auriculiformis merupakan salah satu tanaman cepat

tumbuh yang termasuk anggota leguminosae yang dapat

bersimbiosis dengan bakteri rhizobium. Inokulasi legin

(rhizobium) dan penggunaan tanah dari bawah tegakan

akor diharapkan dapat memenuhi ketersediaan rhizobium

bagi semai akor.. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui

pengaruh penambahan rhizobium dan penggunaan media

dari bawah tegakan akor pada pembentukan bintil akar

serta pertumbuhan semai. Hasil penelitian menunjukkan

inokulasi rhizobium dan penggunaan media dari bawah

tegakan akor maupun interaksi keduanya belum

menunjukkan pengaruh nyata pada parameter pertumbuhan

tinggi, jumlah daun dan panjang akar yang didukung tidak

ada beda nyata pula pada jumlah bintil dan diameter bintil

semai akor. Namun demikian nampak ada pengaruh nyata

pada diameter semai yang cenderung rendah dengan

peningkatan konsentrasi rhizobium bahkan perlakuan T2L5

(Kombinasi perlakuan tanah dari bawah tegakan akor dan

konsentrasi rhizobium 5 g) menunjukkan diameter

terendah. Berdasarkan hasil penelitian, perlakuan T2L5

tidak direkomendasikan digunakan karena diasumsikan

memiliki konsentrasi rhizobium terlalu tinggi sehingga

adanya kompetisi antar bakteri yang menyebabkan justru

menghambat pertumbuhan. Semai yang diberi perlakuan

T2L5 menunjukkkan kecenderungan pertumbuhan tinggi

dan panjang akar yang juga rendah.

Acacia auriculiformis, bintil akar, rhizobium, media,

pertumbuhan

CO-10

Identifikasi kualitas air Sungai Progo Magelang

dengan indikator makrozoobentos

Ericka Darmawan♥, Ika Sukmawati, Mu'asaroh, Septi

Rahmawati

Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Tidar. Jl. Kapten Suparman 39, Magelang 56116,

Jawa Tengah

Sungai merupakan salah satu bentuk ekosistem yang

berperan sebagai media kehidupan organisme makro

Page 21: Seminar - Sebelas Maret Universitybiodiversitas.mipa.uns.ac.id/S/gen/pdf/A0601aaALL.pdfsampai 3,53cm dengan rata-rata 1,93cm. Persentase hidup tanaman dari 44,4-94,4% dengan rata-rata

ABS MASY BIODIV INDON, Magelang, 31 Agustus 2019, hal. 1-22 14

ataupun mikro. Namun, kualitas air sungai dapat menurun

sebagai akibat dari pencemaran. Untuk mengetahui kualitas

air, ada sejumlah parameter yang dapat digunakan. Di

antara parameter-parameter tersebut, keanekaragaman

hewan makrozoobentos dapat digunakan sebagai indikator

kualitas air sungai. Penelitian ini bertujuan untuk

menganalisis kualitas air Sungai Progo, Magelang, Jawa

Tengah berdasarkan indikator makrozoobentos. Metode

penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif.

Penelitian ini dilakukan di sepajang hulu hingga hilir

Sungai Progo dengan lima titik stasiun, yang masing-

masingnya dilakukan pengamatan dengan lima kali

ulangan. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 25 kali

di semua stasiun pengamatan. Pengambilan sampel

makrozoobentos dilakukan menggunakan plot berukuran

30 x 40 cm2. Data yang dikumpulkan meliputi jumlah

organisme makrozoobentos di masing-masing stasiun,

hingga didapatkan Indeks kemerataan dan indeks

keanekaragaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

densitas hewan makrozoobentos yang tertinggi adalah

Tubificidae pada stasiun I. Indeks kemerataan

makrozoobentos tertinggi ada pada stasiun II sebesar

0.7558; demikian pula dengan indeks keanekaragaman

tertinggi berada pada stasiun II sebesar 1.8780. Keberadaan

Tubificidae yang melimpah dapat diinterpretasikan bahwa

Sungai Progo pada titik-titik pengamatan memiliki kualitas

air yang rendah/kotor karena Tubificidae merupakan salah

satu indikator organisme toleran. Dengan demikian,

berdasarkan hasil penelitian ini disarankan untuk menjaga

kebersihan Sungai Progo dengan mengurangi tingkat

pencemarannya.

Kualitas air, indikator pencemaran air, makrozoobentos,

indeks kemerataan, indeks keanekaragaman

CO-11

Makrozoobentos sebagai indikator kualitas air

Sungai Progo, Bandongan, Magelang, Jawa

Tengah

Anis Magfiroh♥, Kurnia Hanik Mufidah, Sari Dewi

Susanti, Rivi Nuryani, Ericka Darmawan, Ika

Sukmawati

Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan, Universitas Tidar. Jl. Kapten Suparman 39, Magelang 56116,

Jawa Tengah

Sungai Progo merupakan sungai terbesar di Magelang,

Jawa Tengah dan memiliki hulu di kawasan Gunung

Sindoro. Mengingat peran penting dan strategis Sungai

Progo untuk kawasan Magelang dan sekitarnya maka

pengamatan terhadap kualitas air sungainya menjadi

penting. Salah satu cara mengetahui kualitas air sungai

adalah dengan menggunakan makrozoobentos.

Makrozoobentos dapat digunakan sebagai parameter

kualitas sungai karena hewan tersebut hidupnya relatif

diam di dasar sungai dan terpapar oleh kualitas air sungai.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kualitas air

Sungai Progo, di Bandongan, Magelang. Penelitian ini

merupakan penelitian deskriptif eksploratif dengan

pendekatan kuantitatif yang menggunakan metode

sampling animals population (sampling populasi hewan).

Penelitian ini di lakukan di musim kemarau pada bulan

Juni 2019. Identifikasi makrozoobentos dilakukan di

Laboratorium Terpadu IPA, FKIP Untidar, Magelang

dengan mengacu pada tabel makrobentos Wardhana

(2006). Hasil penelitian menunjukkan makrozoobentos

dominan yang ditemukan adalah Eurydice pulchra,

Parathelphura convexa, Gerris remigis dan Mniovlia

khusceli. Kualitas air Sungai Progo ditentukan berdasarkan

indeks keanekaragaman makrozoobentos. Kesimpulan

dalam penelitian ini menunjukkan bahwa kualitas air

Sungai Progo termasuk dalam kategori tercemar sedang

berdasarkan indeks keanekaragaman makrobentos.

Sungai, Progo, makrozoobentos, indikator.

CO-12

Uji kualitas air berdasarkan parameter

bioindikator makrozoobentos di Sungai Bolong,

Magelang, Jawa Tengah

Setiyo Prajoko♥, Karunia Galih Permadani, Faiqoh,

Ivana Riqoh

Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Tidar. Jl. Kapten Suparman 39, Magelang 56116,

Jawa Tengah

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas air

Sungai Bolong berdasarkan parameter bioindikator

makrozoobentos. Kualitas air menggunakan indeks

keanekaragaman Shannon-Wienner. Metode purposive

sampling digunakan untuk menentukan 5 stasiun

pengumpulan sampel. Pengambilan makrozoobentos

dilakukan dengan menggunakan serok dan nampan di dasar

perairan sungai. Pengambilan sampel dilakukan dengan

dua kali pengulangan. Data dianalisis menggunakan Indeks

keanekaragaman dan indeks keseragaman untuk kemudian

ditentukan kualitas air berdasarkan parameter bioindikator

tersebut. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh indeks

keanekaragaman makrozoobentos sebesar 1,895.

Berdasarkan indeks tersebut, kualitas air di Sungai Bolong

termasuk termasuk kategori sedang sampai baik.

Bioindikator, kualitas air, makrozoobentos, Sungai Bolong

CP-01

Komunitas burung pada beberapa tipe vegetasi di

kawasan Taman Buru Gunung Masigit-Kareumbi,

Jawa Barat, Indonesia

Ruhyat Partasasmita♥, Reski Akbar Mantsuur, Johan

Iskandar

Departmen Biologi, Fakultas Matematika dan Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran. Jl. Raya Bandung Sumedang Km. 21, Jatinangor,

Sumedang 45363, Jawa Barat

Page 22: Seminar - Sebelas Maret Universitybiodiversitas.mipa.uns.ac.id/S/gen/pdf/A0601aaALL.pdfsampai 3,53cm dengan rata-rata 1,93cm. Persentase hidup tanaman dari 44,4-94,4% dengan rata-rata

ABS SOC INDON BIODIV, Magelang, 31 Agustus 2019, pp. 1-22 15

Taman Buru Gunung Masigit-Kareumbi (TBGMK)

merupakan kawasan konservasi yang terdekat dari Kota

Bandung. Kawasan tersebut memiliki banyak tipe vegetasi

sebagai penyusun habitat bagi berbagai jenis satwa liar,

termasuk komunitas burung. Tipe-tipe vegetasi penyusun

habitat satwa di antaranya tipe vegetasi hutan alam, hutan

sekunder, hutan produksi, perkebunan, dan semak.

Berbagai tipe vegetasi pada saat bersamaan berperan

sebagai habitat burung. Dengan demikian, diduga

keragaman burung sangat diperngaruhi oleh jenis-jenis

tumbuhan yang menyusun tipe vegetasi tersebut. Oleh

karena itu, tujuan penelitian untuk mengetahui struktur

komunitas dan peranannya berdasarkan pengelompokan

guild di beberapa tipe vegetasi. Penelitian menggunakan

titik hitung untuk mengetahui keanekaan jenis burung,

sedangkan pengelompokan berdasarkan guild dilakukan

dengan studi literatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

kekayaan spesies TBGMK sangat besar yaitu 92 spesies

dari 34 famili. Indeks keanekaan tertinggi di tipe vegetasi

hutan produksi (3,74), sedangkan tertendah di tipe vegetasi

perkebunan (2,97). Nilai indeks keanekaan di tipe hutan

alam (2,99) tampaknya tidak berbeda secara signifikan

dengan tipe vegetasi perkebunan, namun indeks kesamaan

jenis menunjukkan yang sangat tinggi (77,8), karena semua

jenis burung yang ada di hutan tidak ditemukan di tipe

vetegasi perkebunan. Burung Streptopelia chinensis sangat

umum ditemukan dengan nilai frekuensi relatif tertinggi

(56%), sedangkan kelimpahan relatif tertinggi adalah

Pycnonotus aurigaster (4,29%). Namun, jenis burung yang

ditemukan pada tipe vegetasi tertentu dengan kelimpahan

yang sangat kecil adalah jenis kadalan kembang, sikat

bubik, empuloh jangut, celepuk reban, cicakopi melayu,

dan gemak loreng, berturut turut Fr (4%) dan Kr (0,13).

Gunung Masigit-Kareumbi, keanekeaan jenis, komposisi

jenis, struktur komunitas, guild, taman buru

Etnobiologi & Sosial Ekonomi

DO-01

Perubahan peraturan tentang jenis burung yang

dilindungi di Indonesia

Ign. Pramana Yuda♥, Yulius Harjoseputro

Fakultas Teknobiologi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Jl. Babarsari

44, Sleman 55281, Yogyakarta

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.

P.106/2018 telah merubah daftar jenis tumbuhan dan satwa

liar, yang dilindungi di Indonesia. Menurut peraturan

terbaru ini 904 jenis tumbuhan dan satwa liar dilindungi,

diantaranya 557 jenis burung. Makalah ini menyampaikan

hasil 6 seri focus group discussion (FGD) dengan staf

BKSDA di Jawa (Yogyakarta, Semarang, Surabaya,

Jakarta dan Bandung) dan Bali (Denpasar) tentang

implikasi dan kesiapan staf dengan adanya perubahan

tersebut. Hasil FGD menunjukan bahwa strategi

komunikasi (sosialisasi) perubahan kurang baik, sehingga

menimbulkan ketidaksiapan BKSDA dalam

mengimplentasikannya. FGD in juga melakukan penilaian

singkat tentang kemampuan staf KSDA dalam identifikasi

15 jenis burung (paruh bengkok, elang dan berkicau) yang

dilindungi dan masih banyak diperdagangkan. Hasilnya

menunjukan bahwa rerata 41% (±27, n=59) staff mampu

mengidentifikasi seluruh jenis burung yang diuji.

Kelompok elang paling mudah diidentifikasi (62% ±11);

dibandingkan burung paruh bengkok (17% ±2) dan burung

berkicau (35%±21). Hasil ini mengindikasikan perlunya

peningkatan kapasitas staf BKSDA dalam mengidentifikasi

jenis burung yang dilindungi di Indonesia

BKSDA, burung, dilindungi, identifikasi, P.106

DO-02

Ragam tumbuhan obat untuk mengatasi tumor

dan kanker dari beberapa etnis di Propinsi

Bengkulu

Yuli Widiyastuti1,♥, R. Mujahid1, Usman Siswanto2 1Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat

Tradisional Jl. Raya Lawu 11, Tawangmangu, Karanganyar 57792, Jawa Tengah 2Fakultas Pertanian Universitas Tidar, Jl. Kapten Suparman 39, Magelang

56116, Jawa Tengah

Kanker merupakan sekumpulan penyakit yang disebabkan

oleh perubahan sifat normal sel, yaitu sel menjadi lebih

agresif (tumbuh dan membelah tanpa terkendali). Kanker

menjadi salah penyakit penyebab kematian terbanyak di

dunia. Pengobatan kanker yang belum memberikan

kepuasan terhadap pasien mendorong masyarakat mencari

alternative pengobatan secara tradisional. Indonesia kaya

akan jenis-jenis tumbuhan obat yang dipercaya mampu

mengobati kanker dan tumor. Penelitian dilakukan untuk

mengetahui potensi tumbuhan obat yang digunakan dalam

pengobatan kanker dan tumor oleh pengobat tradisional

dari beberapa etnis di Propinsi Bengkulu. Penelitian

dilakukan pada pengobat tradisional di beberapa etnis di

Propinsi Bengkulu menggunakan metode survei dengan

pemilihan subyek (informan) secara purposive. Penggalian

informasi menggunakan kuesioner terbuka dan indepth

interview. Dari penelitian diperoleh sebanyak 70 jenis

tumbuhan obat dari 24 famili yang digunakan oleh

pengobat tradisional untuk pengobatan tumor dan kanker

dari 5 suku di Propinsi Bengkulu. Daun adalah bagian

tanaman yang paling banyak digunakan untuk pengobatan

kanker. Kayu singgah merupakan jenis tumbuhan obat

yang mempunyai nilai penggunaan paling tinggi di

Propinsi Bengkulu. Kanker dan tumor menjadi salah satu

dari 10 besar penyakit yang ditangani oleh pengobat

tradisional dengan menggunakan tanaman obat di Propinsi

Bengkulu. Beberapa jenis tumbuhan yang digunakan

merupakan tumbuhan jenis paku dan benalu yang tidak

memungkinkan untuk dibudidayakan, sehingga

memerlukan perhatian dalam pengelolaan panennya agar

dapat melindungi populasi tumbuhan ini di alam.

Page 23: Seminar - Sebelas Maret Universitybiodiversitas.mipa.uns.ac.id/S/gen/pdf/A0601aaALL.pdfsampai 3,53cm dengan rata-rata 1,93cm. Persentase hidup tanaman dari 44,4-94,4% dengan rata-rata

ABS MASY BIODIV INDON, Magelang, 31 Agustus 2019, hal. 1-22 16

Bengkulu, tumbuhan obat, tumor, kanker

DO-03

Potensi padi lokal sumber pangan fungsional di

Kalimantan Timur

Sumarmiyati♥, Fitri Handayani

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Timur. Jl. PM.

Noor, Sempaja, Samarinda 75119, Kalimantan Timur

Padi lokal merupakan salah satu sumber pangan yang

dibudidayakan secara turun-temurun oleh masyarakat

pedalaman di Kalimantan Timur. Keberadaan padi lokal

hampir tersebar diseluruh wilayah pedalaman di

Kalimantan Timur. Dalam proses penyebarannya selama

berpuluh-puluh tahun telah terjadi proses seleksi oleh

petani sehingga terbentuk keanekaragaman genetik yang

amat luas. Kultivar-kultivar padi lokal tersebut sebagian

besar merupakan kultivar padi beras dan kultivar padi

ketan, diantaranya berwarna putih, kekuningan, merah, dan

hitam. Padi lokal sebagai sumber utama penyediaan pangan

sebagian masyarakat di Kalimantan Timur dibudidayakan

secara existing oleh petani dengan cara sederhana

(subsisten) tanpa inovasi teknologi budidaya karena dinilai

mampu mempertahankan cita rasa keaslian padi lokal. Saat

ini padi-padi lokal tersebut banyak dimanfaatkan untuk

konsumsi, sumber benih dan bahkan dijual dalam bentuk

produk beras organik. Dalam bidang penelitian padi lokal

banyak dimanfaatkan sebagai tetua persilangan karena

memiliki keunggulan tertentu. Beberapa hasil penelitian

menunjukan bahwa padi-padi lokal mempunyai

keunggulan dalam nilai fungsionalnya yaitu fungsi

fisiologis yang bermanfaat bagi kesehatan. Upaya

pengembangan dan pelestarian dilakukan untuk menjaga

ketersediaan varietas padi lokal melalui konservasi

ditingkat petani (on farm) serta pengembangan pangsa

pasar.

Potensi, padi lokal, pangan fungsional

DP-01

Etnozoologi mengenai hama tanaman padi sawah

dan pengelolaannya di Desa Karangwangi,

Kecamatan Cianjur, Jawa Barat

Ruhyat Partasasmita1,♥, Budiawati Supangkat

Iskandar2, Putri Nabilatuzzahroh3, Johan Iskandar1 1Departmen Biologi, Fakultas Matematika dan Pengetahuan Alam,

Universitas Padjadjaran. Jl. Raya Bandung Sumedang Km. 21, Jatinangor,

Sumedang 45363, Jawa Barat 2Departmen Anthropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,

Universitas Padjadjaran. Jl. Raya Bandung-Sumedang Km. 21, Jatinangor,

Sumedang 45363, Jawa, Indonesia. 3 Program Studi Anthropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,

Universitas Padjadjaran. Jl. Raya Bandung-Sumedang Km. 21, Jatinangor,

Sumedang 45363, Jawa, Indonesia

Pemenuhan kebutuhan makanan pokok masyarakat

perdesaan di Desa Karangwangi, Kabupaten Cianjur, Jawa

Barat sangat mengandalkan hasil pertanian, terutama padi

sawah. Namun, pertumbuhan padi di sawah sering

mengalami gangguan hama, mulai padi ditanam sampai

dipanen, sehingga hasil panen tidak maksimal. Pada

umumnya, para petani sesuai tingkat pengetahuannya

sering melakukan usaha penanggulangan hama dengan

berbagai cara pada setiap tahap pertumbuhan padi. Oleh

karena itu, pengkajian pengetahuan petani mengenai hama

padi serta pengendaliannya pada lahan sawah perlu

dilakukan. Metode dalam penelitian ini ialah metode

kualitatif dengan pendekatan etnografi. Pengumpulan data

dilakukan dengan observasi, pengamatan terlibat, serta

wawancara dengan informan. Hasil penelitian,

menunjukkan bahwa hama yang menyerang tanaman padi

pada lahan sawah ialah gaang, keong mas, ku’uk, hama

bodas, butak, hama beureum, simeut, wereng coklat,

bebeluk, kungkang, bolokotono, lembing batu dan manuk

piit. Para petani mengetahui cara meracik pestisida nabati

dari tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitarnya untuk

menanggunangi hama yang menyerang padi. Pengetahuan

pengendalian hama diwariskan secara turun temurun dan

diperoleh juga dari kerabat-kerabatnya. Petani mempelajari

penanggulangan hama dan mengelola lahan sawahnya

dengan cara melihat, mengamati, ikut serta dari sejak anak

sehingga bisa mengelola lahan pertaniannya tersebut.

Namun, pengendalian hama dengan menggunakan pestisida

nabati, petani tidak dilakukan lagi seiring mudah untuk

mendapatkan pestisida kimia dan pupuk anorganik

Pengetahuan lokal, pengendalian hama, hama, sawah, huma

Biosains

EO-01

Volume of gutation and transpiration’s liquid of

Sandalwood based on different slope and crown

position in Pitu’s Village, Nglanggeran Gunung

Sewu, Indonesia

Winastuti Dwi Atamanto1,♥, Pradana Dwi Setyawan2

1Forest Tree Improvement Laboratory, Faculty of Forestry, Universitas

Gadjah Mada. Jl. Agro No.1, Bulaksumur, Sleman 55281, Yogyakarta 2Department of Silviculture Faculty of Forestry, Universitas Gadjah Mada.

Jl. Agro No.1, Bulaksumur, Sleman 55281, Yogyakarta

Santalum album Linn. is a plant that can live on degraded

land. In its physiological process, sandalwood carries out

transpiration and guttation which secretes fluid from the

leaf side or leaf edge and leaf tips. The purpose of this

study was to determine the effect of slope and crown

position on the amount of guttation and transpiration fluid

produced by sandalwood. This research was carried out in

Pitu Village, Nglanggeran, Gunungkidul, Yogyakarta.

Research analysis was carried out at the Faculty of Forestry

and the Faculty of Agriculture, Universitas Gadjah Mada,

Page 24: Seminar - Sebelas Maret Universitybiodiversitas.mipa.uns.ac.id/S/gen/pdf/A0601aaALL.pdfsampai 3,53cm dengan rata-rata 1,93cm. Persentase hidup tanaman dari 44,4-94,4% dengan rata-rata

ABS SOC INDON BIODIV, Magelang, 31 Agustus 2019, pp. 1-22 17

Yogyakarta. Quantitative and qualitative analysis of

environmental data, guttation, and transpiration data were

analyzed using SPSS program. The study was conducted in

the dry season of October 2018. The sample used was

sandalwood natural youth which was in 4 groups of tree in

4 slopes, namely 10%, 17%, 130%, and 140%. The

experiment was carried out with a split-plot, on 4 slopes of

each slope selected 5 individuals that representing the

sandalwood in that slope each individual is divided into 3

crown positions west, east and top with 5 replications.

Gutation and transpiration fluid volumes at each slope

show varying values. Sandalwood fluid volume and

transpiration are most common in slope 17% compared to 3

other slopes. fluid volume at slope 17% with a mean of

3,1684 ml in the east canopy position. While the lowest

liquid volume at slope D with an average of 0,2368 ml in

the eastern canopy position.

Gutation, sandalwood, transpiration

EO-02

Screening of indigenous rhizobacteria from West

Sumatra for biological control of Fusarium wilt

and promote growth rate on tomato

Yulmira Yanti1,♥, Warnita2, Reflin1, Hasmiandy Hamid1

1Department of Plant Protection, Faculty of Agriculture, Universitas

Andalas. Kampus Unand Limau Manih, Padang 25163, Sumatera Barat 2Department of Agronomy, Faculty of Agriculture, Universitas Andalas. Kampus Unand Limau Manih, Padang 25163, Sumatera Barat

Plant growth‐promoting rhizobacteria (PGPR) can be

potential agents for biological control of plant pathogens.

This study conducted to screen the best rhizobacteria

indigenous of West Sumatera to control Fusarium wilt

disease and promote growth rate and yields of tomato. All

the study conducted using completely randomized design

with triplications. In the present study, we screened 40

isolates of rhizobacteria indigenous from West Sumatera to

control Fusarium wilt disease and promote growth of

tomato. Soil samples of tomato collected from tomato

growing regions of West Sumatra Province, in Tanah Datar

and Agam District. Among the 40 isolates, 33 were found

to be non-pathogenic from Hypersensitive test and Used

further for assays on seeding. 12 isolates screened which

had best PGPR ability to promote growth to tomato in

seeding. The isolates then were analyzed for their ability to

colonize roots of tomato, control Fusarium oxysporum f.sp.

lycopersici and increase growth and yields in in planta

condition. On the basis of above criteria, 7 isolates were

selected for the best ability to both controls Fusarium wilt

disease and increased plant height, number of leaves,

flowering time, and yields to various extent with respect to

control under in planta conditions. Further in vitro assays

shown all strains also had ability to produce IAA with

various concentration, and all strains shown negative

activity of hemolysin which indicated that all the isolates

were not pathogenic to human. Identification of the isolates

using the 16S rRNA shown that the 7 isolates had

similarity to Bacillus thuringiensis (RY3.4.1WS), Bacillus

cereus strain HYM 88 (RY1.2.5WS), Bacillus cereus strain

APSB-03 (RY2.1.1WS), Bacterium JP60 (RY.2.12WS),

Bacillus sp. M6 RBI (RY3.1.4WS), Bacillus cereus strain

JN23 (RY4.1.1WS) and Bacillus subtilis BSn5

(RY.2.3.6WS). The properties of selected rhizobacteria

strains make them as potential agents to reduce deleterious

impact of Fusarium wilt disease and promote growth and

increase yields of tomato plants.

16S rRNA, hemolysis, IAA, rhizobacteria

EO-03

Antifungal activity of potential biocontrol agents

of Bacillus spp. strains for biocontrol activity

against Sclerotium rolfsii

Yulmira Yanti1,♥, Warnita2, Reflin1, Hasmiandy Hamid1

1Department of Plant Protection, Faculty of Agriculture, Universitas

Andalas. Kampus Unand Limau Manih, Padang 25163, Sumatera Barat 2Department of Agronomy, Faculty of Agriculture, Universitas Andalas.

Kampus Unand Limau Manih, Padang 25163, Sumatera Barat

Sclerotium rolfsii which widely distributed soil-borne plant

pathogen, causes many economically important crops

severely reduce their yield at worldwide extend, including

chili. Because the fungus survives in soil as sclerotia, it is

very difficult to control S. rolfsii using fungicides,

moreover it may also lead to environmental pollutions. Our

previous research had screened nine Bacillus spp. strains

which had ability to control R. syzigii subsp. indonesiensis

and promote growth and yield of chili. Those strains were

Bacillus cereus AGBE 1.2 TL, Bacillus toyonensis AGB E

2.1 TL, Bacillus cereus SLB E 1.1 SN, Bacillus cereus

SLB E 1.1 AP, Bacillus pseudomycoides SLB E 3.1 AP,

Bacillus cereus SLB E 1.1 BB, Bacillus cereus SLB E 2.1

BB, Bacillus thuringiensis SLB E 2.3 BB, and Bacillus

cereus SLB E 3.1 BB. Except strain Bacillus cereus SLB E

1.1 AP and Bacillus pseudomycoides SLB E 3.1 AP, the

rest of isolates could significantly inhibit mycelial growth

in dual culture on TSA medium. All seven selected isolates

showed significant inhibition in disease treatments in

glasshouse experiments.

Biocontrol, endophytic, Bacillus, Sclerotium rolfsii

EO-04

Efektivitas media tanam dan naungan pada

perkecambahan biji dan pertumbuhan semai

kempas (Koompassia excelsa)

Winda Utami Putri♥, Inggit Puji Astuti, Izu Andry

Fijridiyanto

Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya (Kebun Raya Bogor), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jl. Ir. H. Juanda No. 13 Bogor 16122, Jawa

Barat

Page 25: Seminar - Sebelas Maret Universitybiodiversitas.mipa.uns.ac.id/S/gen/pdf/A0601aaALL.pdfsampai 3,53cm dengan rata-rata 1,93cm. Persentase hidup tanaman dari 44,4-94,4% dengan rata-rata

ABS MASY BIODIV INDON, Magelang, 31 Agustus 2019, hal. 1-22 18

Kempas (Koompassia excelsa (Becc.) Taub.) merupakan

salah satu jenis tumbuhan dari Leguminosae yang masuk

dalam kelompok tumbuhan dengan status Lower

Risk/Conservation Dependent berdasarkan data IUCN.

Upaya konservasi diperlukan untuk mencegah terjadinya

kelangkaan dari jenis ini. Salah satu kegiatan yang dapat

dilakukan untuk mendukung upaya konservasi jenis ini

adalah perbanyakan bibit. Penelitian ini dilakukan untuk

menganalisis efektivitas penggunaan beberapa kombinasi

media tanam dengan naungan yang berbeda bagi

perkecambahan biji dan pertumbuhan semai kempas.

Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai

penggunaan komposisi media tanam dan naungan yang

tepat bagi perbanyakan tanaman kempas sehingga mampu

mendukung upaya konservasi jenis tanaman ini.

Penanaman biji dan pengamatan pertumbuhan semai

dilakukan di Laboratorium Treub, Kebun Raya Bogor,

Jawa Barat. Biji yang digunakan pada penelitian ini berasal

dari tanaman kempas koleksi Kebun Raya Bogor. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa daya kecambah biji

mencapai 93.33±5.77% pada media tanam yang terdiri atas

arang sekam, tanah, dan kompos dengan kondisi tanpa

naungan. Biji mulai berkecambah relatif lebih cepat (dua

hari) pada perlakukan kombinasi media arang sekam,

tanah, dan kompos dan tanpa naungan. Pertumbuhan semai

yang digambarkan oleh panjang dan diameter batang

menunjukkan nilai yang relatif lebih tinggi pada

perlakukan kombinasi media arang sekam, tanah, dan

kompos dengan naungan paranet 60% dan tanpa naungan.

Kempas, konservasi, perkecambahan, semai

EO-05

Isolasi dan seleksi rizobakteri tanaman jagung

yang berpotensi sebagai entomopatogen terhadap

Spodoptera litura (Lepidoptera: Pyralidae)

Novri Nelly♥, U. Khairul, A.Y Putri

Program Studi Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian, Universitas Andalas.

Kampus Unand Limau Manih, Padang 25163, Sumatera Barat

Terdapat mikroorganisme yang berpotensi sebagai

entomopatogen pada rizosfer tanaman. Telah dilakukan

penelitian dengan tujuan untuk mendapatkan bakteri yang

bersifat entomopatogen terhadap Spodoptera litura L.

(Lepidoptera: Pyralidae). Pengambilan sampel dilakukan

pada pertanaman jagung di Kabupaten Pasaman Barat,

Sumatera Barat. Isolasi dan seleksi rizobakteria dilakukan

dari tanah rizosfer tanaman jagung. Isolat rizobakteri hasil

isolasi dikarakterisasi berdasarkan bentuk morfologi dan

diuji kemampuannya dalam mematikan larva S. litura.

Pengujian virulensi dengan menggunakan Rancangan Acak

lengkap (RAL) dengan perlakuan isolat rizobakteria

terpilih sebagai perlakuan terhadap S. litura dan diulang 3

kali. Pengamatan tingkat virulensi dilakukan terhadap

mortalitas larva, pupa dan imago terbentuk. Isolat bakteri

dengan tingat virulensi tinggi kemudian dikarakterisasi

sifat fisiologis yang meliputi uji gram, uji reaksi

hipersensitif, dan pewarnaan endospora. Hasil pengamatan

dan isolasi dari 74 isolat rizobakteri yang diuji diperoleh 12

isolat dengan tingkat virulensi tinggi dengan nilai

mortalitas S. litura berkisar antara 51,11-91,11%, pupa

terbentuk yaitu 0,00-8,89% dan imago terbentuk yaitu

0,00-6,67%. Hasil uji gram didapatkan sebanyak 8 isolat

Gram positif (+) dan 4 isolat Gram negatif (-). Satu isolat

menunjukkan reaksi hipersensitif yang ditandai dengan

munculnya gejala nekrotik pada tanaman uji.

Entomopathogen, rizobakteri, rizosfer, Spodoptera litura

EO-06

Effects of BA, NAA, and TDZ on in vitro

micropropagation of Musa acuminata cv. Mas

Kirana

Rr Rifka Annisa♥, Arkan Setiaji, Aries Bagus Sasongko

Laboratorium Bioteknologi, Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada.

Jl. Teknika Selatan, Sekip Utara, Sleman 55281, Yogyakarta

Somatic embryogenesis induction used as the method for

Mas Kirana Banana’s (Musa acuminata cv. Mas Kirana)

micropropagation to fill the market’s demand and supplies

good and healthy seedling. The sucker was surface

sterilized with NaOCl 5,25% for 5 minutes, then washed in

sterile distilled water (STW) before soaked in 70% ethanol

for awhile. Suckers then double washed in STW and

inoculated in Murashige & Skoog medium supplemented

with by BAP+NAA (1 mg/L:0.5 mg/L, 2 mg/L:0.5 mg/L,

and 3 mg/L:0.5 mg/L) and TDZ (0.25 mg/L, 0.5 mg/L, and

0.75 mg/L). The highest shoot formation was found in TDZ

0.25 mg/L with the average shoots formed 13.67 and a

mean height of 20 cm. TDZ induction tends to form

somatic embryos, while induction of BAP and NAA lead to

organogenesis. In anatomical observation, TDZ, BAP and

NAA affect the development of new shoots seen in scalp

development.

Musa acuminata, organogenesis, somatic embryogenesis

EO-07

Kemampuan kolonisasi cendawan Beauveria

bassiana pada tanaman cabai (Capsicum annum)

dan pengaruhnya terhadap perkembangan

populasi Myzus persicae

Trizelia♥, Martinius, Reflinaldon, Yenny Liswarni,

Fadly Syahirwan Putra

Fakultas Pertanian, Universitas Andalas. Kampus Unand Limau Manih,

Padang 25163, Sumatera Barat

Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. (Deuteromycotina:

Hyphomycetes) merupakan salah satu spesies cendawan

entomopatogen yang dapat hidup secara endofit dan

mengkolonisasi berbagai jaringan tanaman. Kolonisasi

cendawan pada jaringan tanaman sangat berpengaruh

terhadap serangan hama. Penelitian ini bertujuan untuk

Page 26: Seminar - Sebelas Maret Universitybiodiversitas.mipa.uns.ac.id/S/gen/pdf/A0601aaALL.pdfsampai 3,53cm dengan rata-rata 1,93cm. Persentase hidup tanaman dari 44,4-94,4% dengan rata-rata

ABS SOC INDON BIODIV, Magelang, 31 Agustus 2019, pp. 1-22 19

mengetahui kemampuan tiga isolat cendawan B. bassiana

dalam mengkolonisasi jaringan tanaman cabai dan

menghambat perkembangan populasi Myzus persicae. Ada

tiga isolat cendawan B. bassiana (TD312, APKo dan P114)

yang digunakan. Cendawan B. bassiana diaplikasikan

melalui perendaman benih selama 6 jam dengan

konsentrasi 108 konidia/mL. Parameter yang diamati

adalah kemampuan kolonisasi cendawan pada akar, batang

dan daun tanaman cabai serta perkembangan populasi M.

persicae, Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua

isolat mampu mengkolonisasi semua bagian tanaman (akar,

batang dan daun). Tingkat kolonisasi cendawan tertinggi

yaitu di daun dibanding batang dan akar. Isolat B. bassiana

TD312 adalah isolat terbaik dalam menekan perkembangan

populasi M. persicae.

Cendawan, endofit, cabai, Beauveria bassiana, Myzus

persicae

EO-08

Sister's mountain forests: upaya pelestarian

keanekaragaman flora, fauna, etnobotani, sumber

air, budaya, dan kearifan lokal demi

kesejahteraan masyarakat pegunungan

Atus Syahbudin

Program Studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada.

Jl. Agro No.1, Bulaksumur, Sleman 55281, Yogyakarta

Hutan alam di pegunungan memiliki keanekaragaman flora

dan fauna yang khas. Sebagian masyarakat telah lama

memanfaatkannya sebagai sumber obat dan pemenuhan

kebutuhan rumah tangga lainnya sesuai dengan budaya dan

kearifan lokal setempat. Air yang melimpah juga berasal

dari hutan alam pegunungan. Namun seiring pembangunan

saat ini, beberapa hutan alam pegunungan mengalami

kerusakan akibat kebakaran hutan, pencurian kayu,

penggunaan lahan di bawah tegakan hutan, dan lain-lain.

Bencana alam pun terjadi. Untuk itu, pelestarian hutan

alam pegunungan diperlukan demi peningkatan

kesejahteraan masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui berbagai upaya pelestarian hutan alam di

beberapa pegunungan di Pulau Jawa antara 2014-2019 dan

pentingnya perwujudan Sister's Mountain Forests (SMF)

sebagai upaya benchmarking dan kerjasama pelestarian

lintas pegunungan. Berkat hutan alam yang masih lestari di

beberapa gunung terbukti telah mampu membantu

peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya

melalui (i) pembentukan desa wisata berbasis alam

pegunungan, (ii) inisiasi homestay pegunungan, (iii)

pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro,

(iv) penyelenggaraan festival, dan upaya lainnya yang

dijelaskan di dalam paper ini. Untuk itu, SMF perlu

diwujudkan agar pengalaman baik di suatu pegunungan

dapat direplikasi di pegungan lainnya.

Flora pegunungan, jejaring pegunungan, keanekaragaman,

hutan alam, PLTS

EO-09

Pengomposan kotoran sapi dengan dekomposer

Trichoderma viride dan potensinya untuk

pengendalian penyakit layu Fusarium (Fusarium

oxysporum f.sp cubense) dan peningkatan

pertumbuhan bibit pisang

Nurbailis♥, Reflinaldon, Nori Rahayu

Program Studi Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas

Andalas. Kampus Unand Limau Manih, Padang 25163, Sumatera Barat

Kotoran sapi merupakan salah satu bahan organik yang

dapat berperan sebagai pupuk organik (kompos). Salah satu

dekomposer yang mampu mempercepat dekomposisinya

adalah jamur saprofit Trichoderma viride. Tujuan

penelitian adalah untuk mengetahui lamanya waktu terbaik

pengomposan kotoran sapi menggunakan dekomposer T.

viride isolat T1sk (Tv-T1sk) dan potensi untuk

pengendalian Fusarium oxysporum f.sp cubense dan

peningkatan pertumbuhan bibit pisang. Rancangan yang

digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK)

dengan delapan perlakuan dan empat ulangan. Perlakuan

adalah lamanya waktu pengomposan kotoran sapi

menggunakan Tv-T1sk (0, 2, 3, 4, 5 dan 6 minggu) dan

kontrol (kotoran sapi tanpa Tv-T1sk). Parameter yang

diamati adalah kepadatan propagul Tv-T1sk pada rizosfir

pisang sebelum dan setelah tanam, tingkat serangan

penyakit layu Fusarium pada bibit pisang yang meliputi:

munculnya gejala pertama, persentase daun terserang,

intensitas kerusakan bonggol dan pertumbuhan bibit pisang

yang meliputi: tinggi dan jumlah daun . Hasil penelitian

menunjukkan bahwa kepadatan propagul Tv-T1sk pada

rizosfir pisang 2 minggu setelah aplikasi terdapat

pengomposan selama 4 minggu sedangkan kepadatan

propagul 8 minggu setelah tanam terdapat pada perlakuan

pengomposan selama 5 minggu. Aplikasi kompos kotoran

sapi yang terbaik untuk penekanan penyakit layu Fusarium

dan peningkatan pertumbuhan bibit adalah pada perlakuan

pengomposan selama 5 minggu dengan efektifitas masing-

masing 59,47% dan 10,45%.

Bibit pisang,

dekomposisi, Fusarium oxysporum f.sp cubense, Kotoran

sapi, Trichoderma viride

EO-10

Viabilitas benih campolay (Pouteria campechiana)

pada berbagai bobot dan lama penyimpanan

benih

Aulia Hasan Widjaya1,♥, A. Rahayu2, Dian Latifah1 1Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya (Kebun Raya Bogor), Lembaga

Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jl. Ir. H. Juanda No. 13 Bogor 16122, Jawa Barat 2Universitas Djuanda Bogor. Jl. Tol Ciawi 1, Kotak Pos 35, Bogor 16720,

Jawa Barat

Page 27: Seminar - Sebelas Maret Universitybiodiversitas.mipa.uns.ac.id/S/gen/pdf/A0601aaALL.pdfsampai 3,53cm dengan rata-rata 1,93cm. Persentase hidup tanaman dari 44,4-94,4% dengan rata-rata

ABS MASY BIODIV INDON, Magelang, 31 Agustus 2019, hal. 1-22 20

Campolay (Pouteria campechiana (Kunth) Baehni) adalah

buah lokal yang sudah dibudidayakan di Jawa Barat dan

ditanam di kebun atau halaman rumah. Buah ini belum

diperdagangkan secara luas. Benih campolay bersifat

rekalsitran, tetapi mempunyai kulit biji yang keras dan

impermeabel terhadap air. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui pengaruh bobot benih (B) dan lama

penyimpanan (P) terhadap viabilitas benih campolay.

Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap

Faktorial. Faktor pertama adalah lama penyimpanan (0, 2,

4, 6 MSP) dan faktor kedua adalah bobot benih (berat,

sedang, ringan). Bobot benih campolay tidak berpengaruh

terhadap semua peubah indikator viabilitas. Benih yang

disimpan lebih lama (sampai 6 MSP) menunjukkan KCP,

KSP lebih tinggi. Peubah P50, HPB dan HTB lebih cepat

pada periode simpan yang semakin lama, sedangkan daya

kecambah tidak dipengararuhi oleh periode simpan. Tidak

ada interaksi antara umur simpan benih campolay dan

bobot benih; dengan daya kecambah total 92-97%.

Campolay, daya kecambah, kecepatan, keserempakan,

Pouteria campechiana

EO-11

Pengamatan perubahan kualitas air berdasarkan

faktor abiotik di Sungai Plalar, Magelang, Jawa

Tengah

Siti Nurjanah♥, Ani Safira, Alissa Qotrunnada, Setiyo

Prajoko, Karunia Galih Permadani

Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Tidar. Jl. Kapten Suparman 39, Magelang 56116,

Jawa Tengah

Sungai Plalar memiliki peranan yang sangat penting bagi

masyarakat Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah. Sungai ini

dimanfaatkan masyarakat untuk kebutuhan rumah tangga,

irigasi, dan kegiatan budidaya. Melihat pentingnya peranan

sungai Plalar tersebut, perlu dilakukan penelitian untuk

mengetahui kualitas airnya. Tujuan penelitian ini adalah

menentukan tingkat kualitas air Sungai Plalar Tegalrejo,

Magelang berdasar parameter abiotik. Penelitian ini

menggunakan metode survai. Pengambilan sampel air di

perairan sungai dilakukan secara purposive. Sampel air

diambil pada tiga tempat masing-masing tempat diambil 3

sampel yaitu: lokasi yang arusnya deras (tempat I), sedang

(tempat II) dan tenang (tempat III). Analisis data faktor

abiotik diidentifikasi dan dihitung untuk penentuan nilai

rata-ratanya. Kualitas air di sungai Plalar ditentukan oleh:

(i) Faktor abiotik, yaitu lebar sungai, kedalaman sungai,

kecepatan arus, cuaca, suhu, pH, warna air, bau dan

kekeruhan; (ii) Dasar sungai antara lain meliputi batu,

pasir, lumpur; (iii) Faktor polusi air, adanya plastik yang

mengapung, banyaknya buih adanya minyak dan

pertumbuhan alga. Berdasarkan hasil penelitian, kualitas air

di sungai Plalar tergolong kualitas rendah. Dengan

demikian perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan

kualitas air sungai tersebut.

Kualitas air sungai, faktor abiotik, Sungai Plalar

EO-12

Germination of Victoria amazonica seeds in the red

and far red light

Mahat Magandhi♥, Dian Latifah

Research Center for Plant Conservation and Botanic Gardens, Indonesian

Institute of Sciences (Bogor Botanic Gardens). Jl. Ir. H. Juanda 13 Bogor,

West Java 16122, Indonesia

Victoria amazonica (Poepp.) J.C. Sowerby is one of the

most valuable collections of many Botanic Gardens

worldwide including Bogor Botanic Gardens. This species

belongs to Nymphaeaceae family and native to South

America; however, it has been adaptive to the climatic

condition of Bogor. Seed germination is one of the efforts

to continuously conserve this species in the Garden. The

aim of this study was to determine the effect of red and far-

red light on the V. amazonica seed germination. The

experimental design was completely randomized design.

The light treatments included red light, far red light and

dark. Each experimental unit was repeated 5 times with 10

seeds in each repetition. The results showed that the fastest

germination rate (coefficient: 0.45) was under darkness;

while the germination capacities were low between 36-

54.7% with no significant effects of the light treatments

after one year. The germination simultaneities were also

not different i.e. 0.03-0.27. The light may affect the

germination of V. amazonica seeds and the seed

characteristics of V. amazonica is low germinability with

one-year germination period. .

Germination, light, Victoria amazonica

EP-01

Distribusi geografis dan potensi dampak

perubahan iklim pada Selaginella pegunungan di

Jawa, Indonesia

Ahmad Dwi Setyawan1,2,3,♥, Jatna Supriatna3,

Nisyawati3, Ilyas Nursamsi4, Sutarno2, Sugiyarto2,

Prakash Pradan5

1Program Ilmu Lingkungan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret. Jl. Jend. Urip Sumoharjo No. 179,

Surakarta 57 128, Jawa Tengah, Indonesia. 2Program Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, -Universitas Sebelas Maret. Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126, Jawa

Tengah, Indonesia 3Program Biologi Konservasi, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia. Depok 16424, West

Java, Indonesia 4Bird Conservation Society (BICONS). Bandung 40184, West Java, Indonesia 3West Bengal Biodiversity Board, Department of Environment,

Government of West Bengal, Salt Lake, Sector-III, FD415A, Poura

Bhawan, 4th Floor, Kolkata, West Bengal, India

Page 28: Seminar - Sebelas Maret Universitybiodiversitas.mipa.uns.ac.id/S/gen/pdf/A0601aaALL.pdfsampai 3,53cm dengan rata-rata 1,93cm. Persentase hidup tanaman dari 44,4-94,4% dengan rata-rata

ABS SOC INDON BIODIV, Magelang, 31 Agustus 2019, pp. 1-22 21

Selaginella adalah tumbuhan tingkat rendah yang

membutuhkan air sebagai media fertilisasi. Pegunungan

yang lembab merupakan lingkungan yang sesuai untuk

pertumbuhan Selaginella. Di daerah tropis, pegunungan

merupakan ekosistem yang unik karena luasannya sangat

terbatas. Di Jawa hanya sekitar 7% dari luasnya (133.930

km2), terletak di pegunungan (> 1000 m dpl). Potensi

perubahan iklim di masa depan akibat pemanasan global,

dikhawatirkan dapat mempengaruhi kelestarian

Selaginella. Studi ini berupaya menggambarkan model

distribusi Selaginella pegunungan di bawah kondisi iklim

saat ini dan masa depan. Dua jenis Selaginella yang

pertumbuhannya terbatas di pegunungan, yakni S. ornata

dan S. remotifolia, dipilih untuk pemodelan. Data

keberadaan Selaginella diperoleh melalui survei lapangan

(2007-2014) di seluruh pulau Jawa, serta basis data dari

Global Biodiversity Information Facility (GBIF)

(http://www.gbif.org). Sebanyak 273 titik kehadiran spesies

diperoleh dari survei lapangan (terdiri dari 144 titik untuk

S. opaca dan 139 titik untuk S. remotifollia), serta 52 titik

kehadiran spesies diperoleh dari GBIF (terdiri dari 35 titik

untuk S. opaca dan 17 titik untuk S. remotifolia). Skenario

iklim masa depan dikumpulkan dari dataset WorldClim

(yaitu RCP 2.6, RCP 4.5, RCP 6.0, RCP 8.5; 2030, 2050,

2080; HadGEM2-CC); digunakan untuk membangun

model menggunakan perangkat lunak MaxEnt ver. 3.4.1.

Hasil pemodelan menunjukkan bahwa kesesuaian habitat

dan luas area distribusi Selaginella pegunungan mengalami

penurunan secara luas (1,8-11,4%) di masa depan, bahkan

pada area yang kesesuaian habitatnya paling tinggi, yaitu

kawasan di sekitar Gunung Sumbing, Gunung Sundoro,

dan Pegunungan Dieng, terjadi penurunan hingga 60%.

Java, pegunungan, perubahan iklim, Selaginella ornata, S.

remotifolia