19
SEMANTIK DAN LEKSIKOGRAFI DALAM PERKAMUSAN Eddy Setia Universitas Sumatera Utara Abstract This paper deals with the study of semantics and lexicography in dictionary making, especially monolingual English language dictionary. Semantics is major branch of linguistics devoted to the study of meaning in language, whilst lexicography is the art and science of dictionary making. Dictionaries are reputedly occupied with explaining the meanings of words, and the work is neither mythbound nor capricious. Sometimes the dictionary explains a word by supplying another expression that can replace it at least in positions uncontaminated by quotation or idioms of propositional attitude. Sometimes, instead, a selection of information is set down regarding the object or objects to which the word refers. This paper also shows the importance of studying semantics and lexicography in relation with dictionary making. 1. PENGANTAR Semantik sebagai disiplin ilmu harus membuktikan dirinya dalam leksikografi. “Leksikografi memerlukan linguistik, dan linguistik memerlukan leksikografi. Seperti yang dinyatakan Zgusta (1971: 111), untuk perbaikan perlakuan makna dalam kamus, persiapan kerjanya harus dikerjakan oleh linguis” (Wierzbicka 1987a: 12). Saya percaya bahwa dalam kurun waktu dua dekade setelah Zgusta membuat pernyataan tersebut, persiapan kerja telah benarbenar dilakukan. Pada makalah ini, akan ditunjukkan, perlakuan makna dalam kamus dan peran leksikografer dalam menentukan makna kata dalam kamus. 2. BATASAN LAWAN KECUKUPAN DAN KEBENARAN Kamus adalah buku tentang katakata. Bisa saja didefinisikan seperti itu. Tidak sama tentunya, dengan apa yang dinyatakan oleh Lewis (1960) yaitu berbagai kajian tentang katakata terpilih. Kamus dimaksudkan menjadi lebih lengkap paling tidak mengenai satu ranah tema atau satu aspek bahasa. Kamus dimaksudkan menjadi berguna secara praktis dan secara komersial terus dapat berlangsung, salah satu dilema utama bagi seorang pembuat kamus adalah bagaimana mengkombinasikan kesempurnaan dengan ukuran kamus yang tepat. Dari sudut pandang ini, diyakini bahwa seorang leksikografer praktis akan menjadi tidak sabar dengan leksikografi teoretis. Leksikografer teoretis cenderung mempertahankan bahwa untuk menguraikan satu kata yang memadai seseorang memerlukan banyak tempat (banyak halaman, mungkin beratusratus halaman). Seorang ahli semantik dan leksikografer, Igor Mel’čuk (1981: 57) mengatakan: “ Tidak hanya setiap bahasa, tetapi setiap leksem dari suatu bahasa, adalah keseluruhan dunia di dalamnya.” Rasanya ini benar adanya—tetapi jika demikian, tentu seorang leksikografer praktis tidak mempunyai tempat yang pantas untuk satu kata sekalipun. Semantik dan Leksikografi Dalam Perkamusan (Eddy Setia) 19

SEMANTIK DAN LEKSIKOGRAFI DALAM PERKAMUSAN

  • Upload
    others

  • View
    22

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: SEMANTIK DAN LEKSIKOGRAFI DALAM PERKAMUSAN

SEMANTIK DAN LEKSIKOGRAFI   DALAM PERKAMUSAN  

  

Eddy Setia Universitas Sumatera Utara 

   

Abstract  

This  paper  deals  with  the  study  of  semantics  and  lexicography  in  dictionary making,  especially monolingual English  language  dictionary.  Semantics  is major branch  of  linguistics  devoted  to  the  study  of  meaning  in  language,  whilst lexicography is the art and science of dictionary making. Dictionaries are reputedly occupied with  explaining  the meanings  of words,  and  the work  is  neither myth‐bound  nor  capricious.  Sometimes  the  dictionary  explains  a  word  by  supplying another  expression  that  can  replace  it  at  least  in  positions  uncontaminated  by quotation  or  idioms  of  propositional  attitude.  Sometimes,  instead,  a  selection  of information  is  set down  regarding  the  object  or  objects  to which  the word  refers. This paper  also  shows  the  importance  of  studying  semantics  and  lexicography  in relation with dictionary making.  

  1. PENGANTAR   Semantik  sebagai  disiplin  ilmu  harus membuktikan  dirinya  dalam  leksikografi. “Leksikografi  memerlukan  linguistik,  dan linguistik  memerlukan  leksikografi.  Seperti yang  dinyatakan  Zgusta  (1971:  111),  untuk perbaikan  perlakuan  makna  dalam  kamus, persiapan  kerjanya  harus  dikerjakan  oleh linguis”  (Wierzbicka  1987a:  1‐2).  Saya  percaya bahwa dalam kurun waktu dua dekade setelah Zgusta membuat pernyataan tersebut, persiapan kerja  telah  benar‐benar  dilakukan.  Pada makalah  ini,  akan  ditunjukkan,  perlakuan makna  dalam  kamus  dan  peran  leksikografer dalam menentukan makna kata dalam kamus.  

 2. BATASAN  LAWAN  KECUKUPAN  DAN 

KEBENARAN    Kamus  adalah  buku  tentang  kata‐kata. Bisa  saja  didefinisikan  seperti  itu.  Tidak  sama tentunya,  dengan  apa  yang  dinyatakan  oleh Lewis (1960) yaitu berbagai kajian tentang kata‐kata  terpilih.  Kamus  dimaksudkan  menjadi 

lebih  lengkap  –  paling  tidak  mengenai  satu ranah  tema  atau  satu  aspek  bahasa.  Kamus dimaksudkan  menjadi  berguna  secara  praktis dan  secara  komersial  terus  dapat  berlangsung, salah satu dilema utama bagi seorang pembuat kamus  adalah  bagaimana  mengkombinasikan kesempurnaan  dengan  ukuran  kamus  yang tepat. 

Dari sudut pandang ini, diyakini bahwa seorang  leksikografer  praktis  akan  menjadi tidak  sabar  dengan  leksikografi  teoretis. Leksikografer  teoretis  cenderung mempertahankan  bahwa  untuk  menguraikan satu kata yang memadai seseorang memerlukan banyak  tempat  (banyak  halaman,  mungkin beratus‐ratus  halaman).  Seorang  ahli  semantik dan  leksikografer,  Igor  Mel’čuk  (1981:  57) mengatakan: “ Tidak hanya setiap bahasa, tetapi setiap  leksem  dari  suatu  bahasa,  adalah keseluruhan  dunia  di  dalamnya.”  Rasanya  ini benar  adanya—tetapi  jika  demikian,  tentu seorang  leksikografer praktis  tidak mempunyai tempat yang pantas untuk satu kata sekalipun.  

Semantik dan Leksikografi Dalam Perkamusan (Eddy Setia)                                                                                                      19 

Page 2: SEMANTIK DAN LEKSIKOGRAFI DALAM PERKAMUSAN

  Salah  satu  kemungkinan  respon  untuk situasi  ini  sebagai  bagian  dari  leksikografer teoretis  adalah  kembali  pada  leksikografi teoretis  dan melanjutkan  pekerjaan  yang  biasa mereka  lakukan:  bersandar  pada  pengalaman dan  pengertian  umum.  Dalam  pengerjaannya secara praktis sering dihasilkan pekerjaan yang berharga  dan  berguna,  dan masih  dapat  terus dikerjakannya.  Ada  suatu  keyakinan  bahwa apabila  mereka  mencoba  melihat  leksikografi teoretis dengan kacamatanya dan membawanya pada apa yang ditawarkan, mereka akan dapat bekerja  jauh  lebih  baik.  Artinya  leksikografer praktis  harus  bersandar  pada  leksikografi teoritis untuk menghasilkan karyanya. 

  Landau  (1984:  5)  menulis:  “Kamus adalah  buku yang memuat daftar  kata dengan susunan  menurut  alfabet  dan  menjelaskan maknanya.”  Kemudian  dia  menambahkan:  “ Kamus  moderen  sering  mencakup  informasi tentang  cara  mengeja,  pemisahan  suku  kata, pengucapan,  etimologi  (derivasi  kata), kegunaan, sinonim, dan gramatika, dan kadang‐kadang  disertai  dengan  ilustrasi‐ilustrasinya juga.” 

  Pernyataan  tersebut  di  atas  logis, walaupun  sebuah  kamus  yang  bagus  harus mencakup  informasi  morfologis,  sintaksis, prosodik,  pragmatik,  dan  fonologis  sekaligus informasi  tentang  makna  kata,  hanya  makna saja  yang  biasanya menjadi  inti  dalam  sebuah kamus.  Dalam  makalah  ini  tidak  akan dikomentari  segala  aspek  yang  menyangkut hubungan  antara  leksikografi  teoretis  dan praktis,  tetapi  akan  lebih  memfokuskan  pada satu  fitur  yang  esensial:  deskripsi  dari makna kata‐kata. 

  Pembahasan  yang  berkaitan  dengan masalah  utama  dalam  makalah  ini  adalah: deskripsi dari  satu makna  kata dapat  berbeda, secara sah, dalam makna yang lengkap dari satu pekerjaan  ke  pekerjaan  lainnya,  tetapi  tidak berbeda  dari  isi  dasar  kata  itu  sendiri.  Satu ‘definisi’  dimaksudkan  untuk  mewakili kebenaran dari satu makna kata, dan hanya ada satu  kebenaran,  apakah makna  yang  terwakili dalam  suatu  tulisan  penelitian  dimaksudkan untuk satu kata tertentu atau dalam satu kamus dimaksudkan  bagi  pembaca  secara  umum, 

termasuk  bermacam‐macam  kamus  yang ditujukan  khusus  untuk  anak‐anak,  pelajar, mahasiswa, dan sebagainya. 

  Merupakan  suatu  gambaran  umum bahwa dengan mengatakan  sesuatu yang  tidak benar,  tanpa  makna,  kabur,  atau  secara  teori tidak  dapat  dipertahankan,  pembuat  kamus dapat  memperoleh  makna  atau  ruang/kolom dalam  kamus  dan  pengguna  kamus mendapatkan  sesuatu  yang  lebih  baik.  Jika ruang  merupakan  pokok  yang  paling  penting dalam  “semangat  komersial”  kamus,  maka semua  ruang  yang  ada,  walaupun  terbatas, seharusnya  digunakan  untuk  mengatakan sesuatu  yang  belum  lengkap,  kurang  benar, kurang  bermakna,  kurang memberi  gambaran dan kurang jelas.  

  Mungkin  terasa  kasar  untuk mengatakan  bahwa  reputasi  komersial  kamus perlu  dipertanyakan, mengingat  dari  beberapa pengalaman makna yang terdapat dalam kamus kadang  tidak  sesuai  dengan  apa  yang diharapkan  oleh  pengguna  kamus  tersebut. Malahan  lebih  ekstrim  lagi  beberapa  pendapat menyebutkan  makna  yang  ditawarkan  dalam kamus tertentu makin membingungkan. 

 3. MENGATAKAN SESUATU YANG TIDAK BENAR 

     Kadang‐kadang  definisi  yang  terdapat dalam kamus menyebutkan sesuatu yang salah. Sebagai  contoh,  dalam Oxford Australian  Junior Dictionary  (OAJD  1980)  memberikan  definisi sure sebagai berikut:  Sure – knowing something is true or right.  Tetapi  tentu  saja  “mengetahui”  (know)  dan “yakin”  (sure)  adalah  dua  hal  yang  berbeda, dan  walaupun  dalam  sebuah  kamus  yang ditujukan  untuk  anak‐anak,  kata‐kata  tersebut merupakan  dua  hal  yang  tidak  seharusnya disamakan.  Sebuah  kamus  untuk  “orang dewasa”  Oxford  Paperback  Dictionary  (OPD 1979) menuliskan definisi yang  lebih kompleks dan  “rumit”,  tetapi  pada  kenyataanya  tetap salah:  

20                  ENGLONESIAN: Jurnal Ilmiah Linguistik dan Sastra, Vol. 1 No. 1, Mei  2005 19‐37 

Page 3: SEMANTIK DAN LEKSIKOGRAFI DALAM PERKAMUSAN

Sure – having or seeming to have sufficient reasons for one’s beliefs, free from doubts. 

    Setelah direnungkan “free from doubts” 

(bebas  dari  keragu‐raguan)  pada  dasarnya benar,  tetapi  doubt  ‘ragu‐ragu’  itu  sendiri didefinisikan  dalam  OPD  dengan  certainty (‘kepastian’), dan  certainty dengan doubts  (doubts – “feeling of uncertainty about something”; certain – “having no doubts”). Dengan mengesampingkan definisi  yang  berputar‐putar  ini,  dapat diperhatikan  bahwa  untuk  kepastian  subjektif (yakin  terhadap  sesuatu),  ada  cukup  alasan untuk  kepercayaan  seseorang  bukan merupakan kebutuhan atau kecukupan.  

  Sama  halnya  dengan,  announce  yang didefinisikan  oleh  OAJD  sebagai  “to  say something  in  front  a  lot  of  people”.  Tetapi  pada kenyataannya,  seseorang  dapat  pula mengumumkan  sesuatu  (sebagai  contoh, keputusan  penting)  kepada  orang  tua seseorang, dan kehadiran banyak orang ( a lot of people) tidak diperlukan sama sekali. 

  Bold  didefinisikan  oleh  OAJD  sebagai “brave  and  not  afraid”  tetapi  ini  juga  salah: seseorang  dapat  menjadi  bold  (‘hebat’)  tanpa harus menjadi brave(‘berani’) dan menjadi berani tanpa harus menjadi hebat. Dalam hal  tertentu, kehebatan  ditunjukkan  dalam  hubungannya dengan manusia  lain,  namun  seseorang  dapat dikatakan berani walaupun dikurung sendirian (lihat Wierzbicka 1992a: 208‐9). 

  Standard didefinisikan oleh kamus yang sama  sebagai  “how  good  something  is”. Kenyataannya,  definisi  ini  akan  lebih  tepat menjadi “ how good you think something has to be.” 

  Threat  ‘ancaman’ didefinisikan sebagai “ a promise that you will do something bad if what you want does not happen”. Namun, ancaman (threat) bukanlah suatu  jenis  janji (a promise), walaupun hal seperti ini dapat dikatakan secara ironi; dan seseorang  dapat  mengatakan,  sebagai  contoh, threats and promises (‘ ancaman dan janji’), namun orang  tidak  dapat  mengatakan  *spaniels  and dogs (karena seekor spaniel jelas sejenis anjing). 

  Ability didefinisikan oleh OAJD sebagai “the  power  to  do  something”.  Tetapi  walaupun nosi dari ability ‘kemampuan’ dan power ‘tenaga’ saling  berhubungan,  kata  pertama  tidak  dapat 

direduksi  pada  kata  yang  kedua:  “tenaga” berimplikasi  bahwa  seseorang  dapat mengerjakan sesuatu yang orang lain tidak mau mengerjakannya,  sehingga  hal  ini  berimplikasi pada  konflik  kemauan  aktual  atau  potensial; namun, “kemampuan”  tidak berimplikasi pada hal tersebut. 

  Untuk  menunjukkan  jenis  kesalahan tersebut  yang  terjadi  pada  kamus‐kamus modern yang inovatif, ambisius, dan bergengsi, akan  kita  lihat  kesimpulannya pada  bagian  ini dengan dua  contoh dari Collins Cobuild English Language Dictionary (Cobuild 1987). 

  Cobuild  mendefinisikan  empathy sebagai  “the  ability  to  share  another  person’s feelings  and  emotions  as  if  they  were  one’s  own”. Kenyataannya,  seperti  ditunjukkan  oleh  Travis (1992),  empathy  tidak  berimplikasi  bahwa seseorang share  ‘berbagi’ dengan perasaan orang lain  (tetapi,  bahwa  seseorang  memahaminya, seolah‐olah perasaan dan emosi tersebut adalah kepunyaan  sendiri);  dan,  sebagai  contoh, seorang  konselor  bidang  empatik  tidak  dapat diharapkan untuk  berbagi perasaan pasiennya. Hanya seolah‐olah ikut merasakan. 

  Hampir  sama  dengan  itu,  definisi Cobuild mengenai  forgive  (‘memaafkan’)  sebagai forgive  a  bad deed  that  someone has done, you  stop being angry with them and no longer want to punish them.  Definisi  ini  mempunyai  implikasi  yang tidak benar, bahwa untuk memaafkan seseorang orang  harus  marah  terlebih  dahulu  dengan mereka dan  ingin menghukum mereka; “Kalau anda  memaafkan  seseorang  yang  telah melakukan sesuatu yang salah atau memaafkan suatu  perbuatan  salah  yang  dilakukan seseorang, anda berhenti memarahi mereka dan tidak ingin lagi menghukumnya”.  

  4. MENGATAKAN  SESUATU  YANG 

BERLEBIHAN      Memberikan  batasan‐batasan  ruang pada  kamus‐kamus  praktis  biasanya  berakibat pada  kenyataan  bagaimana  seringnya  mereka menyia‐nyiakan  ruang  yang  berharga  dengan menuliskan  sesuatu  yang  berlebihan.  Sebagai contoh,  Longman  Dictionary  of  Contemporary 

Semantik dan Leksikografi Dalam Perkamusan (Eddy Setia)                             21 

Page 4: SEMANTIK DAN LEKSIKOGRAFI DALAM PERKAMUSAN

English  (LDOTEL  1984)  mendefinisikan  kata weapon sebagai berikut:  Weapon  –  an  instrument  of  offensive  or devensive combat; something to fight with. 

    Frasa sederhana “something to fight with” 

mungkin bukanlah definisi yang sempurna dari kata  weapon  tetapi merupakan  perkiraan  yang agak  bagus;  definisi  ini  kurang  bermakna, dengan  penambahan  yang  tidak  begitu  perlu “an  instrument  of  offensive  or  devensive  combat”. Seseorang dapat merasa ketakutan dari seorang leksikografer  yang,  sedang  merumuskan definisi pendek yang bagus, menyadari bahwa dia  tidak  mempunyai  sesuatu  untuk ditambahkan  pada  definisi  tersebut—dan merasa  panik  terhadap  yang  muncul  menjadi kurang  familiar,  tingkat  kesederhanaan  yang tidak  konvensional,  dan mencoba  terus  untuk menambahkan  sesuatu  sehingga  definisi menjadi  lebih  panjang,  lebih  kompleks,  lebih bisa  dihargai.  Leksikografi  teoretis  dapat berguna  dalam  hal  ini  kalau  teori  ini  dapat meyakinkan  para  leksikografer:  “Tidak  perlu penambahan  sesuatu;  definisi  yang  sederhana dan  singkat dapat diterima;  sebaliknya definisi yang  lebih  panjang  biasanya  salah,  sebab, sebagaimana yang dinyatakan oleh Aristotle 25 abad  yang  lalu,  dalam  sebuah  definisi  setiap kata  yang  berlebihan  merupakan  suatu pelanggaran yang serius.”  5. MAKNA  YANG  MEMBINGUNGKAN 

DENGAN PENGETAHUAN    Cara lain untuk menghabiskan ruang dalam 

kamus ialah dengan memasukkan pengetahuan teknis  atau  ilmiah  di  dalamnya.  Contohnya LDOTEL  mendefinisikan  kata  dentist  ‘dokter gigi’ sebagai berikut: dentist  –  a  person  who  is  skilled  in  and 

licensed to practice the prevention, diagnosis,  and  treatment  of diseases, injures, and malformation of  the  teeth,  jaws, and mouth and who makes and inserts false teeth. 

 

  Definisi  ini  bisa  menjelaskan  kepada pembaca  untuk  mempelajari  bahwa  seorang dokter  gigi  melakukan  semua  hal  yang tercantum dalam definisi ini, tetapi informasi di sini sangat berguna, dan memakan ruang dalam sebuah  kamus.  Definisi  pendek  yang ditawarkan oleh OAJD  (meski  tidak sempurna) lebih memuaskan: 

 Dentist  –  someone  whose  job  is  to  look after teeth.  Hubungan  antara pengetahuan dan makna 

tidak  selalu mudah  digambarkan,  tetapi  pada prinsipnya  definisi  tersebut  bisa  digambarkan (lihat Wierzbicka  1985)  dan  dalam  banyak  hal kamus biasanya penuh dengan  informasi yang sangat  jelas  yang  dimiliki  dalam  ensiklopedia, bukan  dalam  sebuah  kamus.  Sebagai pertimbangan, perhatikan  contoh definisi  sugar ‘gula’ dalam LDOTEL: 

 Sugar  –  a  sweet  substance  that  consists 

wholly of  sucrose,  is  colourless or white when pure, tending to brown when  less  refined,  is  usually obtained  commercially  from sugarcane  or  sugar  beet,  and  is nutritionally important as a source or carbohydrate as a sweetener and preservative of other foods. 

   Dengan  jelas  hampir  semua  definisi 

yang  ditawarkan  oleh  LDOTEL  bukan  sama sekali  merupakan  konsep  sehari‐hari  (tidak menyebutkan  kenyataan  bahwa  sugar didefinisikan di sini yang berhubungan dengan sugar‐cane  dan  sugar‐beet.  Seperti  biasa  definisi yang  terdapat  pada  OAJD  ,  meskipun  tidak sempurna,  namun  lebih masuk  akal:  “makanan yang manis yang dimasukkan dalam minuman dan makanan  lainnya membuat makanan dan minuman tersebut  terasa  manis”.  (Barangkali  akan  lebih baik  untuk  mengatakann  sesuatu  seperti  ini: “Sesuatu  yang  orang  tambahkan  ke  dalam  sesuatu yang  mereka  minum  atau  makan  ketika  mereka menginginkan  makanan  dan  minuman  tersebut terasa manis;  ini  berasal dari  sesuatu yang muncul 

22                  ENGLONESIAN: Jurnal Ilmiah Linguistik dan Sastra, Vol. 1 No. 1, Mei  2005 19‐37 

Page 5: SEMANTIK DAN LEKSIKOGRAFI DALAM PERKAMUSAN

ke  permukaan  (misalnya  tanaman);  dan  biasanya berwarna putih.”) 

  Mc Cawley (1992 – 3: 123) menyarankan bahwa dalam  satu  sisi, definisi yang diberikan oleh  OAJD  tentang  sugar  lebih  akurat dibandingkan  dengan  definisi  yang  diberikan oleh Wierzbicka selama awal mula penggunaan OAJD yang membingungkan  tentang makanan dalam  definisi  tersebut  membedakan  gula ‘sugar’  dari  pengganti  gula  seperti  saccharine dan nutrasweet”.  

  Akan  tetapi  sugar  tentu  saja  harus dibedakan  dari  saccharine,  apakah  kita  harus menyebut  sugar  itu  makanan  (sesuatu  yang ditemukan oleh Mc Cawley berupa intuisi yang berlawanan)  untuk  memperoleh  tujuan  ini? Apabila  food  ‘makanan’  secara  kasar  bermakna sesuatu yang dimakan orang, dan kata tersebut dipahami mengapa  orang  secara  normal  tidak menyebut “sugar” adalah “food”: secara normal orang tidak memakan gula (gula itu sendiri).   Untuk  membedakan  antara  sugar  dan saccharine  kita  dapat mengatakan  bahwa  sugar dan  saccharine  merupakan  sesuatu  yang ditambahkan  kepada  sesuatu  yang  dimakan dan  diminum  orang,  hanya  sugar  yang  dapat dikatakan  bahwa  orang  dapat  memakannya sebagai  bagian  dari  sesuatu  yang  mereka makan.  

  Pertimbangkan juga definisi horse ’kuda’ di  bawah  ini  yang diambil dari  3  kamus  yang berbeda: 

 a  solid‐hoofed  perissodactyl  quadruped (Equus caballus) (SOED 1964) a  large  solid‐hoofed  herbivorous mammal (Equus  caballus)  domesticated  by  man since a prehistoric period (Webster’s 1988)  a  large  solid‐hoofed  plant‐eating  4‐legged mammal  (Equus  caballus,  family Equidae, the horse  family), domesticated by human since prehistoric times and used as beast of burden,  a   draught  animal,  or  for  riding;  esp.  one over 14.2 hands in height (LDOTEL 1984):    Sangat sulit untuk menentukan definisi 

seperti  ini tanpa memunculkan apa yang selalu dimiliki  oleh  penutur  Inggris  dalam  pikiran 

mereka  ketika mereka membicarakan masalah horse  ‘kuda)  ini.  Informasi  yang  terkandung dalam  definisi  ini  merupakan  bagian  yang utama dari keseluruhan kamus bahasa  Inggris. Akan  lebih  baik  untuk  mengatakan  secara sederhana bahwa a horse is a kind of animal called horse.  Akan  lebih  baik  lagi  untuk  mencoba menjelaskan dalam bentuk yang singkat, konsep masyarakat yang dikodekan dalam kata bahasa Inggris horse; akan tetapi apabila sebuah kamus tidak  dapat  menyediakan  ruang  untuk melakukan  ini,  mengapa  harus  membuang ruang pada  informasi yang diberikan di semua ensiklopedia  dan  tidak  ada  kaitannya  sama sekali  dengan  pengetahuan  bahasa  penutur biasa?  

 6. DEFINISI YANG TERLALU LUAS      Definisi  yang  terlalu  luas  tidak  berisi kebohongan  apapun  (karena  apa  yang mereka masukkan  benar),  tetapi  aplikasinya  salah (karena mereka mengabaikan  komponen  yang penting).   Misalnya,  talent  didefinisikan  oleh OAJD sebagai the ability to do something very well. Tetapi  ini  berimplikasi  bahwa  suatu kemampuan yang diperoleh dapat disebut talent adalah  tidak  benar.  Difinisi  ini  kehilangan komponen yang paling penting yakni “bawaan lahir”  (kalau  seseorang  dapat  melakukan  hal‐hal yang berkaitan dengan  suatu  jenis  tertentu dengan  sangat  baik  bukan  karena  dia  sudah melakukan  sesuatu  mampu  melakukannya dengan  baik).  Ada  suatu  kemampuan  yang dimiliki  seseorang  tetapi  tidak  dimiliki  orang lain.   To succeed didefinisikan sebagai  to do or get what you wanted to do or get. Dengan definisi ini  kalau  seseorang mendapatkan  hadiah  yang ia  ingin  dapatkan,  ini  bisa  jadi  dijelaskan sebagai keberhasilan; sekali lagi ini tidak benar. (Untuk  berhasil  seseorang  harus  melakukan sesuatu; disjungsi “do or get” salah adanya).   To  defy  didefinisikan  sebagai  to  say  or show that you will not obey. Tetapi kalau seorang anak mengatakan kepada saudara laki‐laki atau perempuannya,  “Kamu  bukan  ibu  atau  ayah, saya  tidak  akan mematuhimu,”  ini  tidak  akan 

Semantik dan Leksikografi Dalam Perkamusan (Eddy Setia)                             23 

Page 6: SEMANTIK DAN LEKSIKOGRAFI DALAM PERKAMUSAN

menjelaskan  makna  kata  tersebut  (Seseorang hanya  akan  menentang  ‘defy’  perintah  yang diberikan  seseorang  yang  sebenarnya mempunyai  kekuasaan  atas  seseorang  lainnya dan diharapkan dapat dipatuhi.)   Definisi  kata  steal  ‘mencuri’ menyebutkan  “to  take  something  that  does  not belong  to  you  and  keep  it”.  Tetapi  definisi  ini dapat merujuk pada perampokan  (robbery) dari pada  pencurian  (stealing).  Untuk  pencurian, perlu  dipahami  bahwa  aktor  yang melakukan pekerjaan  tersebut  tidak  menginginkan  orang mengetahui  apa  yang  ia  lakukan,  dan mengharapkan  bahwa  mereka  tidak  akan mengetahuinya.   Kata  secret  didefinisikan  sebagai “something  that  must  be  kept  hidden  from  other people”;  akan  tetapi  definisi  ini  juga  merujuk pada objek fisik, di mana secara nyata kata secret bermakna  hanya  untuk  sesuatu  yang  orang ketahui  (dan  harus  tidak  mengatakannya kepada orang lain perihal itu).   Kata  thirst  ‘haus’  dimaknakan  sebagai “the  need  to  drink”;  akan  tetapi  kenyataannya kata  ini merujuk  pada  suatu  sensasi,  terhadap apa  yang  orang  tersebut  rasakan  (ketika  anda merasa harus minum).   Kata  ribbon  (‘pita’), menurut  OAJD,  “a strip of nylon, silk, or some other material”. Tetapi kalau  ini  benar,  semua  strip  ‘pita’  dari materi apapun  dapat  disebut  ribbon,  yang  sudah barang  tentu  tidaklah  benar.  Kenyataannya, kata  ribbon  (dalam  pengertian  yang  relevan) merujuk hanya pada sejenis benda dibuat (oleh manusia)  untuk  membuat  sesuatu  kelihatan bagus.    “To  shed”  didefinisikan  sebagai  “to  let something  fall”  (dan  kata  ini  diilustrasikan dengan kalimat “trees shed  leaves, people shed tears, and caterpillars shed  their skins”). Tetapi ini berimplikasi bahwa kalau dibiarkan  sebuah buku  jatuh  artinya  saya  menjatuhkannya. Konsep  yang  paling  penting  yang  dihilangkan oleh  definisi  ini  begitu  menentukan.  A  hanya dapat menjatuhkan  B  jika  sebelum  kejadian  B dapat  dipikirkan  sebagai  bagian  dari  A  (dan setelah kejadian itu, tidak bisa).   Berikut  ini  akan  mendiskusikan mengenai  konteks  kesalahan  lainnya  yang 

sangat  sering  dikombinasikan.  Di  sini,  hanya satu contoh sudah bisa mencukupi:   OAJD mendefinisikan  kata  appointment sebagai “a time when you have arranged  to go and see someone”. Definisi ini terlalu terbatas, karena pengacara  yang menerima  klien  atau  profesor yang ketemu mahasiswa juga dapat mempunyai sebuah  janji  (appointment),  tanpa  harus memiliki “to go” (pergi) kemanapun keluar dari kantor.  7. MENANGKAP KETAKBERVARIANAN    Meskipun  ini  kedengarannya  sangat hebat  untuk  tugas  sederhana  seorang leksikografer,  proses  mengkonstruksi  suatu definisi  leksikografi  yakni  sebuah  penelitian untuk  menemukan  kebenaran.  Untuk menemukan  kebenaran  mengenai  makna sebuah  kata,  yaitu  menemukan  konsep ketakbervarianan  yang merupakan  bagian dari pengetahuan penutur asli yang sama‐sama telah diketahui  tentang  bahasa  dan  yang mengarahkan mereka  dalam  penggunaan  kata tersebut.   Para  leksikografer  sering  kurang percaya  diri  dan  tidak  mempunyai  cukup keberanian  untuk  menangkap ketakbervarianan.  Oleh  sebab  itu  mereka menjadi  tidak  patuh  terhadap  tugas  mereka dalam meneliti kebenaran leksikografi.   Pertimbangkan, misalnya,  definisi  kata complain  di  bawah  ini,  yang  ditawarkan  oleh OPD:  complain – 1. to say that one is dissastified, to protest that something is wrong.  (mengatakan  bahwa  seseorang  tidak  puas, memprotes bahwa sesuatu itu       salah.               2.  to state  that one  is suffering  from a pain, etc….    (‘menyatakan  bahwa  seseorang menderita karena sakit, dll.)    Dua makna didalilkan di sini, tetapi tak satu  pun  dari  keduanya  merupakan  suatu upaya  yang  dibuat  untuk  menangkap ketakbervarianan:  makna  kedua  yang 

24                  ENGLONESIAN: Jurnal Ilmiah Linguistik dan Sastra, Vol. 1 No. 1, Mei  2005 19‐37 

Page 7: SEMANTIK DAN LEKSIKOGRAFI DALAM PERKAMUSAN

dinyatakan berakhir dengan suatu ………, yang sepanjang pembaca ketahui, bisa bermakna apa saja,  sementara  makna  pertama  dinyatakan dalam  dua  cara  yang  berbeda  dan  tidak ekuivalen/padan.  Agak  sulit  menentukan bahwa  seseorang  dapat  tidak  merasa  puas ‘complain’  tanpa  merasakan  (atau  bahkan menganggap  bahwa  seseorang  merasakan) sakit;  bahwa  seseorang  dapat  memprotes sesuatu  itu  salah  dalam  suatu  situasi  yang kemungkinan  tidak  dapat  diuraikan  sebagai ketidakpuasan  (misalnya  amnesti  internasional memprotes  tetapi  tidak  mengeluh  mengenai pelanggaran  hak  asasi  manusia  di  negara‐negara  berbeda);  atau  bahwa  seseorang  akan mengatakan  seseorang  tidak  puas  dengan dirinya  sendiri  tanpa  mengeluhkan  seseorang atau sesuatu.   Tetapi sebagai tambahan untuk menjadi salah di hampir  semua yang dikatakan,  semua entri  memancarkan  keputusasaan  dan  apati leksikografi. Tidak mungkin untuk menangkap ketakbervarianan,  atau  bahkan  untuk memutuskan  seberapa  banyak  makna  yang berbeda  yang  dibutuhkan,  kalau  memang demikian,  akan  sulit  untuk  mengetahui bagaimana mengusahakannya.   Kalau  para  leksikografer  yang bertanggung  jawab  untuk  entri  ini  memiliki teori  tentang  leksikografi  dalam penyelesaiannya,  mereka  memerlukan tanggung  jawab dalam menempatkan polisemi (yang tidak tepat) ini.   Kenyataan  ketakbervarianan  kata complain  ini  secara  khusus  tidak  sulit  untuk ditangkap.  Secara  garis  besar  (untuk  sebuah diskusi  yang  rinci  dan  tepat  lihat Wierzbicka 1987a),  orang  yang  mengeluh  (complain)  harus menyampaikan pesan  berikut  ini:  “Sesuatu hal yang buruk terjadi pada Saya—Saya merasakan sesuatu yang buruk karena hal  ini—Saya  ingin seseorang melakukan  sesuatu  karena  hal  ini.” (Melakukan  sesuatu  tidak  perlu merujuk  pada perubahan  situasi  dan  memindahkan  dasar keluhan  itu;  ini  juga  berhubungan  dengan ungkapan  simpati,  perasaan  menyesal,  dan sebagainya).   Bisa  dijelaskan,  bahwa  definisi  kata complain  yang  disebutkan  di  atas 

mengilustrasikan  hubungan  antara mengusulkan  definisi  yang  terlalu  sempit  dan kegagalan dalam menangkap ketakbervarianan semantik. Leksikografer menyadari bahwa frasa “to  state  that  one  is  suffering  from  a  pain” (menyatakan  bahwa  seseorang  itu  menderita suatu  penyakit)  terlalu  sempit  sebagai  definisi dari  kata  complain  tersebut,  tetapi  daripada mencari suatu formula yang sedikit terbatas dia dengan  mudah  menambahkan  keterangan  etc. ‘dan sebagainya’.   Hubungan antara penempatan polisemi yang  salah  dan  kegagalan  untuk  mencari ketakbervarianan  semantik  juga  dinyatakan dalam  definisi  berikut  ini  (dari  OPD):  untuk kata bold: (1). percaya diri dan berani; (2). tanpa merasa  malu,  lancang”.  Ada  konsep  yang mempunyai  sifat  positif  (yakni,  yang menggambarkan  evaluasi  positif),  misalnya ‘brave’  atau  ‘courageous’  ‘berani’;  dan  ada  yang lainnya  yang  mempunyai  sifat  negatif  (yakni, yang  menggambarkan  evaluasi  yang  negatif), misalnya  ‘reckless’,  ‘foolhardy’  atau  ‘impudent’ (nekat/ugal‐ugalan). Kata bold bisa berhubungan dengan  kedua  kategori  ini,  menjadi  cocok dengan  evaluasi  yang  positif maupun  negatif. Dengan memisahkannya  ke  dalam  dua makna yang  diharapkan  berbeda,  negatif  dan  positif, kamus  tersebut  salah  menyajikan  kebenaran mengenai  konsep  ini  dan  mengaburkan perbedaan  antara  konsep  netral  kata  “bold”, konsep positif dari pengertian “courageous”, dan konsep  negatif  dari  kata  “impudent”.  (Tidak guna  mengatakan,  ‘bold’,  ‘courageous’,  dan ‘impudent’ berbeda dalam beberapa hal  lainnya, untuk  diskusi  secara  rinci  lihat  Wierzbicka 1992a:203‐11.)   Contoh  lainnya definisi dari OPD  ialah kata  boast:  “to  speak  with  great  pride  and  try  to impress  people,  esp.  about  oneself”  (berbicara dengan  suatu kebanggaan dan mencoba untuk membuat orang  terkesan, khususnya mengenai dirinya sendiri). Pada saat ini tidak ada polisemi didalilkan,  tetapi  keterangan  “esp.”  (especially) yang  sedikit  ini  tidak  lebih dari  suatu keluhan pasrah  (atau  suatu  keluhan  keputusasaan?) dibanding  dengan  penggunaan  etc.  yang terdapat  pada  definisi‐definisi  sebelumnya. Jelaslah,  penulis  entri  ini  tidak  mampu 

Semantik dan Leksikografi Dalam Perkamusan (Eddy Setia)                             25 

Page 8: SEMANTIK DAN LEKSIKOGRAFI DALAM PERKAMUSAN

memutuskan  kumpulan  ide  mereka mengenai ciri  penting  dari  kata  boast  itu.  Kalau  saja mereka memiliki  suatu  teori  leksikografi  yang bisa diandalkan, mereka pasti  tahu  bahwa  esp. merupakan  suatu  tanda kekalahan dan mereka membantu untuk memikirkan yang sedikit lebih panjang.  Kalau  mereka  lakukan  ini,  pasti mereka menyadari  bahwa  konsep  kata  “boast” selalu  melibatkan  diri  sendiri  (baik  langsung maupun  tidak), dan  tidak ada bedanya dengan ‘pride’. Untuk diskusi mendalam mengenai  ini, disarankan  untuk  merujuk  pada  Wierzbicka 1987a.   Kegagalan  dalam  menangkap ketakbervarianan dimanifestasikan dalam suatu cara  yang  benar‐benar  khusus  di  dalam penggunaan  kata  sambung  or,  yang  selalu disediakan dalam definisi‐definisi di kamus.   Misalnya,  OPD  mendefinisikan  kata tempt  sebagai  berikut:  “to  persuade  or  try  to persuade  (especially  into doing  something wrong or unwise) by  the prospect of pleasure or advantadge”. Or  yang  pertama  dapat  diuraikan  dengan segera:  tentu  saja  ada  kecenderungan  untuk berhasil,  tetapi  bisa  juga dicoba;  sudah  cukup, oleh  karenanya,  untuk  mengatakan  “try  to persuade”,  tidak  perlu  “to  persuade  or  to  try  to persuade”. Ketidaksesuaian  “something wrong  or unwise”  dapat  direduksi  menjadi  “something bad” (tidak perlu tambahan “evil” atau “morally very bad”, tetapi sesuatu yang dipikirkan selalu hal yang buruk yang dilakukan), dan  “prospect of  pleasure  or  advantadge”  dapat  direduksi menjadi  “  something  good  ”.  Penanda  especially dapat diuraikan menjadi: one simply cannot temp somedody  to  do  something  good;  it  has  to  be something that is seen as “something bad”   Kesimpulannya adalah kata‐kata seperti or,  especially,  usually,  dan  penggunaan  daftar kata pilihan (apakah kata‐kata atau frasa) untuk menggambarkan  makna  yang  sama,  atau dengan menempatkan  beberapa  polisemi  yang tidak  beraturan  merupakan  manifestasi  yang berbeda  dari  kegagalan  yang  utama penggunaan  leksikografi.  Kegagalan  ini mengakibatkan  hampir  semua  entri  di  kamus yang ada, dan membuat kamus‐kamus tersebut sedikit  berguna  bagi  pembaca  jika  dibanding yang  semestinya  (di  bawah  batasan‐batasan 

ruang  yang  sama  dan  pemaksaan  lainnya). Teori  leksikografi  yang  konsisten  dengan prinsip‐prinsip  yang  jelas  dapat  menentukan makna  dan  dapat  pula  dengan  mudah mengatasi kelemahan ini.   Khususnya  teori  leksikografi  bunyi dapat mencegah  fenomena  yang  umum  dapat merubah pengembangan makna kata yang tidak ditemukan,  sama  halnya  dengan  (kata‐kata yang  tidak  biasa)  makna‐makna  yang berhubungan  tetapi  tidak  sama.  Teori  ini  juga dapat  mencegah  kebingungan  tentang penggunaan  metafora,  ironi,  dan  lain‐lain dengan  makna  kata  yang  sebenarnya  (sama seperti  dalam  kasus  thread,  yang  dibahas terdahulu).  Teori  ini  juga  dapat  menawarkan kriteria  leksikografi  yang  berdasarkan  makna juga dapat dipisahkan secara nyata antara yang satu dengan lainnya dengan  jelas teridentifikasi dan nyata.   8.   KETETAPAN PENDIRIAN PADA DASAR YANG BERAGAM 

     Salah  satu  alasan  yang  utama  bahwa hampir  semua  definisi  yang  ada  di  kamus kurang  berguna  dibanding  dengan  yang semestinya,  yaitu  penyebaran  keragaman makna.  Seperti  yang  direalisasikan  Aristotle lebih  baik  jika  dibanding  dengan  yang dilakukan  para  linguis  kontemporer,  banyak hal‐hal yang lebih sulit dibanding pembentukan definisi  yang  baik.  Bagaimana  bisa  seorang leksikografer  diharapkan  untuk  mengatasi upaya  yang  penting  ini  kalau  dia  tidak  yakin bahwa  tugasnya  dapat  dikerjakan?  Para  ahli teori yang merusak kebaikan para leksikografer dalam  menyatakan  makna  kata  secara gamblang  dan  akurat.  Kenyataannya  masalah yang  paling  pelik  yang  dihadapi  leksikografi secara praktis adalah dikaitkan dengan masalah keragu‐raguan.   Misalnya  bagaimana  bisa  para leksikografer meneliti  dengan  kemampuannya, dan  sungguh‐sungguh  untuk  sebuah ketakbervarianan  apabila  mereka  tidak mengetahui  apakah  mereka  dapat mengharapkan  menemukan  sejumlah  makna yang pasti? Untuk melihat kembali definisi OPD 

26                  ENGLONESIAN: Jurnal Ilmiah Linguistik dan Sastra, Vol. 1 No. 1, Mei  2005 19‐37 

Page 9: SEMANTIK DAN LEKSIKOGRAFI DALAM PERKAMUSAN

tentang  kata  complain,  yang  disebutkan terdahulu:  “(1).  to  say  that  one  is  dissatisfied,  to protest that something is wrong, (2). to state that one is suffering  from a pain, etc.”. Untuk menghadapi hal semacam ini, dua makna disebutkan di sini, tetapi  kenyataannya  makna  yang  pertama memunculkan makna yang dinyatakan dua kali, dengan dua  cara yang berbeda, dan hubungan antara  kedua  makna  ini  pada  satu  definisi meninggalkan  ketidakjelasan.  Penggunaan nomor  1  dan  2  mengimplikasikan  bahwa leksikografer  ini  tidak  yakin mengenai makna yang  meragukan,  akan  tetapi  melemparkan formulasi  yang  berbeda  bersama‐sama mengenai  hal  yang  memiliki  satu  makna.  Ini mengindikasikan  ketidakpercayaan.  Apabila leksikografer merasa  yakin  untuk menyatakan hanya  satu  definisi  untuk  makna  (secara hipotetis),  hal  ini  akan  mendorongnya  untuk mencari  ketakbervarianan  yang  sebenarnya; hasilnya,  makna  pilihan  dipostulasikan  pada kamus‐kamus yang muncul  sekarang  ini  selalu dikurangi  menjadi  jumlah  yang  lebih  kecil, ketakbervarianan  akan  ditangkap,  frasa‐frasa yang  berlebihan  akan dihilangkan,  ruang  akan diperoleh,  hubungan  semantik  antara  makna‐makna yang berbeda  (dan satuan  leksikal yang berbeda akan dibuat jauh lebih jelas dan, di atas semua  ini bahasa digunakan  jauh  lebih mudah dan  lebih  jelas,  dan  bahkan  lebih  ekonomis. Misalnya, sebagaimana disebutkan di atas, kata complain  dapat  memberikan  hanya  satu rumusan, tidak perlu ada penempatan polisemi, tidak  perlu  ada  etc,  tidak  perlu  memaparkan frasa‐frasa  yang  tidak  sama  “to  say  that  one  is dissatisfied”  dan  “to  protest  that  something  is wrong”  (tidak  menjelaskan  hubungan  lebih lanjut  lainnya dengan penggunaan metabahasa yang standar dan yang dikurangi).    Pertimbangkan  cara  LDOTEL mendefinisikan verba bahasa  Inggris  to  pray di bawah ini:  1.a.  to  entreat  earnestly;  esp.  to  call  devoutly   on (God or a god) b. to wish or hope fervently 2. archaic or  formal to request courtesy – often use to introduce a question,    request or plea  

3. archaic to get or bring by praying: to address God or a god with adoration,  confession, 

supplication, or thankgiving; engage in prayer 

   Meskipun  tiga gambaran digunakan  (1, 2,  dan  3)  sejumlah  makna  yang  sebenarnya dinyatakan  jauh  dari  kejelasan:  apakah  (a) makna  yang  terpisah?  Atau  (b)?  dan  apa maksud pemunculan especially, or, titik koma itu? Hubungan  antara  makna  yang  berbeda  jauh lebih  tidak  jelas  dibanding  dengan  sejumlah makna  yang  disebutkan.  Misalnya,  mengapa harus makna “to address God or a god” diberikan di bawah topik 3, dan “to call devoutly on (God or a god)” di bawah poin 1? Apakah kedua makna dugaan yang dinyatakan  itu berbeda  jauh dari makna  yang  lainnya  dibandingkan  dengan semua  yang  dinyatakan  dalam  1(a)  dan  1  (b) (hanya  satu  yang menyatakan God)’ di  bawah definisi 1? Mengapa makna dugaan “to engage in prayer” yang diberikan pada poin 3 dan “to call devoutly on (God or a god)” di bawah definisi 1?   Diyakini bahwa kalau pesan  seperti  ini disampaikan, dan kalau pedoman tersedia, entri kata  pray  akan  diakhiri  dengan  hanya  dua makna,  satu  tak  dapat  dipakai  dan  satu  lagi yang  baru  (tanpa  ada  submakna)  dan  tanpa kungkungan seperti bentuk‐bentuk or, etc., atau tanda‐tanda  yang  tampak  lainnya  yang meragukan  dan  kegagalan  analitis.  (Lihat Wierzbicka, 1993d).   Akhirnya,  pertimbangkan  daftar  yang ditawarkan  dalam  definisi  yang  diberikan  di bawah ini dari Webster’s (1959):  reply  (nomina)  ‐ an answer;  response;  counter‐attack resign  (verba)  ‐  to  yield  to  another;  surrender formally; withdraw from; submit calmly report  (verba)    ‐    to give an account of;  relate; tell from one to another; circulate publicly; take down (spoken words) request  (nomina)  ‐  desire  expressed;  petition; prayer; demand; entreaty order (nomina) ‐ method of regular arrangement; settled mode of procedure;  rule;  regulation; command;  class;  rank;  degree;  a  religious fraternity; an association of persons processing a common honorary distinction . . .  

Semantik dan Leksikografi Dalam Perkamusan (Eddy Setia)                             27 

Page 10: SEMANTIK DAN LEKSIKOGRAFI DALAM PERKAMUSAN

  Apa  yang  paling  mencolok  mengenai daftar  seperti  di  atas  ialah  kenyataan  bahwa leksikografer mencoba untuk tidak menentukan berapa  banyak  makna  yang  terlibat  dalam setiap kasus  ini. Entri pertama dari empat entri yang  ada  di  atas  membingungkan  siapa  saja. Pilihan  makna  yang  banyak  cenderung menyesatkan.  Ada  semacam  keputusasaan leksikografer  dalam  memutuskan  antara kelengkapan  kamus  dan  pemanfaatan  ruang. Keputusasaan  ini  bisa  dimengerti,  tetapi  tidak dibenarkan.  Seperti  yang  telah  ditunjukkan dalam  kamus  Dictionary  of  English  Speech  Act Verbs (yang memasukkan, khususnya kata kerja reply,  resign,  report,  dan  request),  makna‐maknanya  dapat  dipisahkan  satu  dengan lainnya,  dan  batasan‐batasan  antara  makna dapat  digambarkan.  Doktrin  kesamaan hubungan tidak harus digunakan sebagai suatu alasan  bagi  kemalasan  leksikografis  atau pembenaran bagi keputusasaan leksikografis.   Sebagai  titik  akhir  berkaitan  dengan pertanyaan  tentang  keraguan,  pertimbangkan klaim  yang  diberikan  Hank  (1982:102)  bahwa tidak ada alasan mengapa definisi kamus dibaca seperti  tidak  ada  sangkut  pautnya,  dan  dalam praktiknya,  definisi  poin  1  yang  berlebihan biasanya  mewarnai  interpretasi  definisi  2. Definisi  yang  berlebihan  bisa  mewarnai interpretasi  definisi  sebuah  kata  yang berpolisemi  lainnya. Masalah  utamanya,  yaitu apakah  kata  dalam  pertanyaan  benar‐benar berpolisemi,  dan  untuk  meyakinkan  bahwa makna  atau  makna‐maknanya  diidentifikasi dengan  benar.  Kalau  masalah  ini  tercapai, sebuah  definisi  yang  bersifat  fertilisasi  silang tidak diperlukan.   Misalnya,  Hanks  mengutip  sebuah kalimat yang mendeskripsikan dua orang gadis sebagai  “secara  serempak  berani  ‘bold’ dan  tak berdosa  ‘innocent’”,  menanyakan:  “Apakah ‘bold’ di  sini maksudnya  lancang  ‘forward’  atau kurang  ajar  ‘impudent’  atau  nekat;  dan  dia menjawab:  “Kurang  lebih  sama,  sungguh!” Tetapi  mengapa  kita  harus  mengasumsikan bahwa  kata  bold  benar‐benar  memiliki  dua makna sebagaimana dinyatakan pada (1) forwad or  impudent dan  (2)  daring? Kalau  tak  satu pun dari definisi yang diharapkan  ini cocok dengan 

kalimat tersebut dengan baik, bukan karena ada dua  makna  yang  mewarnai  satu  dengan lainnya, tetapi dikarenakan tak satu pun definisi kata  bold  yang  ditawarkan  tersebut  benar. (Untuk  definisi  alternatif  dan  justifikasi,  lihat Wierzbicka 1992a: 208‐9).   Sebuah  definisi  harus  selalu  mampu berdiri  sendiri. Kalau  sebuah  kata  benar‐benar berpolisemi,  kemudian  tiap‐tiap  maknanya harus  dinyatakan  terpisah,  dan  tiap  definisi harus  mampu  mempertahankan  maknanya sendiri.  Ini  yang  bertentangan  dengan pernyataan  Hanks  bahwa  makna  kedua mempunyai  suatu  kecenderungan  berisikan sedikit  makna  pertama.  Makna  yang  berbeda dari  sebuah  kata  biasanya  tak  berhubungan, dan  definisi  yang  cukup  memadai  itu seharusnya  menyatakan  hubungan‐hubungan tersebut.  (Untuk  ilustrasi  yang  banyak,  lihat Wierzbicka 1987; juga konsep Mel’čuk mengenai jembatan  semantik  (semantic  bridges),  Mel’čuk dkk. 1984) Tetapi ini tidak merubah persyaratan dasar  bahwa  setiap  definisi  harus  mampu berdiri sendiri.  9.  MEMBEDAKAN POLISEMI DARI KETIDAKJELASAN 

   Salah  satu  alasan  mengapa  para leksikografer  selalu  menemui  kesulitan,  tentu saja  tidak  mungkin  untuk  menangkap ketakbervarianan semantik bahwa mereka tidak mengetahui  bagaimana  membedakan  polisemi dengan  ketidakjelasan.  Bukan  karena  para leksikografer  tersebut  tidak  yakin  dengan polisemi:  sering  polisemi  ditempatkan  dalam kamus  pada  skala  yang  benar‐benar  secara besar‐besaran;  tetapi  polisemi  ini  ditempatkan pada  dasar  yang  khusus,  tanpa  ada  garis pedoman dan aturan yang jelas.   Pertimbangkan  contoh  definisi  kata ribbon ‘pita’ yang dijelaskan terdahulu; “a strip of nylon,  silk,  or  some  other  materials”  (OAJD). Seperti  yang  telah  dijelaskan,  definisi  ini berimplikasi  bahwa  setiap  potong/carik  materi apa  saja  dapat  disebut  ribbon  ‘pita’,  sementara kenyataannya “potongan/carik materi (misalnya pita‐jahitan)”  tidak  disebut  demikian  (karena fungsinya  jelas‐jelas berbeda dari “ribbon” yang 

28                  ENGLONESIAN: Jurnal Ilmiah Linguistik dan Sastra, Vol. 1 No. 1, Mei  2005 19‐37 

Page 11: SEMANTIK DAN LEKSIKOGRAFI DALAM PERKAMUSAN

dimaksudkan dari definisi yang diberikan: pita jahitan  (sewing‐tape)  jelas‐jelas  tidak  dibuat untuk mengikat sesuatu, sama  jelasnya, pita  ini tidak dibuat untuk tujuan dekorasi).   Tetapi  tujuan  secara  umum  di  sini kelihatannya  untuk  aplikasi  terhadap  banyak hal. Misalnya, bagaimana dengan pita mesin tik (typewriter ribbon)? Apakah dimaksudkan untuk mengikat  sesuatu?  Atau  untuk  dekorasi?  Dan benda ini masih disebut ribbon, juga, kan?   Dihadapkan dengan suatu pengecualian nyata  mengenai  jenis  ini,  para  leksikografer sering  cenderung  kehilangan  kepercayaan dalam  keberadaan  suatu  ketakbervarianan semantik,  mengambil  jalan  pintas  untuk pembatas,  penanda,  dan  berbagai  penanda khusus  lainnya,  dan  menghilangkan generalisasi.   Keyakinan yang biasa bahwa konstruksi dengan  induk  pewatas  (modifier‐head)  harus menunjukkan  sebuah  hubungan  taksonomi ‘kind  of’  (semacam)  yang  berdasar  pada pendapat yang keliru, yang menjadi kenyataan bahwa bentuk majemuk dengan struktur seperti itu  selalu  disingkat,  dalam  suatu  hubungan yang tepat, untuk induknya sendiri.   Misalnya,  sering  diasumsikan  bahwa kaki  palsu  adalah  sejenis  kaki,  bunga  plastik adalah sejenis bunga, kursi listrik adalah sejenis kursi, atau rumah kardus adalah sejenis rumah. Selama  orang  tidak  dapat  tinggal  di  rumah kardus,  dan  selama  “rumah  kardus  adalah sejenis  rumah”,  generalisasi  bahwa  rumah dibuat  untuk  orang  bertempat  tinggal muncul menjadi dengan mudah untuk disangkal. Sama halnya, selama bunga plastik tidak bisa tumbuh di  tanah,  dan  selama  bunga  plastik  adalah sejenis  bunga”,  generalisasinya  adalah  bahwa bunga  tumbuh  berkembang  di  tanah kelihatannya  juga  dengan  mudah  untuk disangkal.   Beralasan  seperti  ini  keliru  karena masalahnya  membingungkan  hubungan semantik  yang  berdasarkan  pada  nosi  “like” (seperti)  dengan  hubungan  yang  berdasarkan nosi “kind” (sejenis) (hubungan antara misalnya, horizontal  dan  vertical,  lihat  Bright  dan  Bright 1969;  Berlin  1992).  Misalnya  bunga  mawar adalah sejenis bunga, tetapi bunga plastik seperti 

bunga,  bukan  sejenis  bunga.  Hal  yang  sama, deck‐chair  (kursi  geladak)  adalah  sejenis  kursi, tetapi  electric  chair  (kursi  listrik)  bukan  sejenis kursi  (“sesuatu  tempat  orang  duduk  …”); cukup,  sesuatu  yang  menyerupai  kursi,  yang fungsinya  jauh  berbeda.  Akhirnya,  typewriter ribbon (pita mesin tik) bukan sejenis ribbon ‘pita’, cukup,  sesuatu  yang menyerupai  ribbon  ‘pita’, tetapi  fungsinya  jauh  berbeda  dari  ribbon  itu sendiri.   Tentu  saja  ada  perbedaan  penting antara  permasalahan  yang  menyangkut typewriter  ribbon  dan  plastic  flower:  kenyataan bahwa  sesuatu dapat disebut bunga palsu dari plastic  flower  merupakan  bahasa  yang  bebas, sementara  kenyataan  bahwa  “typewriter  strip” disebut  ribbon  (typewriter  ribbon)  dalam  bahasa Inggris sebagai bahasa khusus (misalnya dalam bahasa Polandia kata majemuk yang sama yaitu taśma  do maszyny, makna  harfiahnya  typewriter tape).  Maka  dari  itu,  typewriter  ribbon  harus didaftarkan  secara  terpisah  dalam  sebuah kamus  sebagai  bagian  yang  terpisah,  dengan definisinya  sendiri,  sementara  plastic  flower tidak.   Untuk  membuktikan  bahwa  typewriter ribbon bukan ‘sejenis ribbon’ dan bahwa definisi ribbon  tidak  harus  meliputi  typewriter  ribbon, prosesnya  sebagai  berikut:  asumsi  pertama, untuk  kepentingan  argumentasi,  bahwa typewriter  ribbon  tidak  mesti  dimasukkan  di dalam  definisi  ribbon  dan  dipertanyakan apakah  kedua  kategori mempunyai  kesamaan; ketika  diterapkan  denominator  (sebutan bilangan)  biasa  (kira‐kira,  “a  strip  of material”), benda  apa  sajakah  yang  sesuai  dengan denominator  biasa  ini  dapat  disebut  dengan kata  dalam  pertanyaan  (ribbon);  jawaban  yang diperoleh  menjadi  negatif;  dari  sini  dapat disimpulkan  bahwa  denominator  biasa  yang disangka benar tidak dapat menerangkan ruang lingkup  penggunaan  kata  tersebut;  dan kesimpulannya  bahwa  di  sini  didapat  adanya polisemi.   Kalau  diproses  dengan  cara  ini,  dapat diperoleh  definisi  dengan  penuh  kekuatan prediktif,  bukan  dalam  suatu  pengertian  yang diakronis, menjelaskan mengapa objek  tertentu muncul  untuk  disebut  dengan  nama‐nama 

Semantik dan Leksikografi Dalam Perkamusan (Eddy Setia)                             29 

Page 12: SEMANTIK DAN LEKSIKOGRAFI DALAM PERKAMUSAN

tertentu  (misalnya  mengapa  “typewriter  strip” muncul  untuk  disebut  dalam  bahasa  Inggris dengan  sebuah  kata  majemuk  dengan memasukkan  kata  ribbon,  sementara, misalnya, dalam bahasa Polandia kata seperti  itu muncul dan  disebut  sebagai  sebuah  kata  majemuk dengan memasukkan  sebuah  kata  benda  yang mempunyai  pengertian  sendiri  yakni  “tape”), tetapi  dalam  pengertian  sinkronis,  yang bermakna  bahwa  definisi  tersebut menyesuaikan  jarak  penggunaan  kata  yang sebenarnya.  Prosedur  ini  akan memungkinkan kita  bisa  tepat  dan  membuang  pembatas  dan merubah  ungkapan‐ungkapan  seperti  usually, often,  typically,  atau  etc.,  yang  dimaksudkan untuk  mengejar  ketidakakuratan  definisi  itu sendiri.   Oleh  karena  itu,  berkenaan  dengan polisemi  nomina  sering  diharuskan  muncul pada dasar semantik secara murni, hal ini tidak bermakna  bahwa  tidak  ada  pedoman  untuk menentukan  apakah  sebuah  kata  mempunyai satu makna atau dua (atau lebih).   Berkenaan  dengan  verba,  tugas  untuk menentukan  sejumlah makna  sering difasilitasi oleh  perbedaan  kerangka  sintaksis. Permasalahan  ini  dapat  diilustrasikan  dengan verba bahasa Inggris to order.   Kamus  The Concise Oxford Dictionary (COD  1964)  menawarkan  bentuk  verba  ini dengan  glos  berikut  ini:  “put  in  order,  array, regulate  …;  …ordain…;command,  bid, prescribe…;command  or  direct…;direct  tradesman, sevant, etc.,  to supply (~ dinner, settle what  it shall consist of)”.   Glos‐glos  yang  ditawarkan  tidak membuat  makna  kata  tersebut  jelas  berapa makna  yang  diposisikan  (dan  barang  kali asumsi  dasarnya  adalah  bahwa  makna  verba yang  berbeda  tidak  dapat  dipisahkan  satu dengan  lainnya).  Tetapi  kenyataannya,  kalau kerangka sintaksis dipisahkan dalam cara yang rapi,  pembedaan  semantik  yang  jelas  juga muncul.   Dengan  mengesampingkan  (untuk alasan  ruang)  makna  diilustrasikan  dengan kalimat  “He  ordered  his  affairs”  atau  “He ordered  his  troops”,  di  sini  akan dikonsentrasikan  pada  perbedaan  antara  apa 

yang  disebut  order1(‘memerintah’)  dan order2(‘memesan’)  yang  dapat  diilustrasikan dengan  kalimat‐kalimat  “She  ordered  him  to leave” dan “She ordered a steak”.    Seseorang  yang  memesan  (order2) makanan  di  restoran  atau  di  toko  buku menginginkan  orang  yang  dituju mempengaruhinya  untuk  memiliki  benda tersebut dan mengharapkan dia melakukannya; untuk  tahap  ini  order2  sama  dengan  order1. tetapi ada banyak asumsi yang muncul di order2 tetapi  tidak  ada  di  order1.  Orang  yang  order2 (memesan)  sesuatu  menginginkan  memiliki sesuatu; sebuah kegiatan oleh orang yang dituju perlu  untuk  keadaan  yang  diinginkan  untuk dilaksanakan, tetapi ini hanya cara untuk tujuan yang diinginkan, bukan tujuan itu sendiri; tidak jadi  masalah  siapa  yang  melaksanakan  order2 tersebut  (pelayan  yang mana,  dsb.),  sepanjang hal  yang  diinginkannya  dilaksanakan. Perbedaan  semantik  direfleksikan  dalam  suatu perbedaan  sintaksis:  seseorang  order1 (memerintah)  seseorang  (untuk  melaksanakan sesuatu),  tetapi  seseorang  yang  order2 (memesan)  sesuatu  benda  (dari  seseorang). Seseorang  tidak bisa  order2  (memesan)  seorang pelayan, dia hanya bisa order2 (memesan) steak, dan  seseorang  tidak  bisa  order1  (memerintah) steak  (sebagaimana  seseorang  tidak  bisa memberi  perintah  (give  order)  kepada  steak, meskipun nomina konkritnya dapat dinyatakan seperti order1.  (“’The door’, he odered;”)  (Pintu itu, perintahnya).   Objek  langsung  menyajikan  fokus keinginan  pembicara.  Untuk  order1,  objek langsungnya  kepada  orang  yang  dituju  atau kepada  kegiatan  (“He  ordered1  her  to leave”)(‘Dia memerintahnya untuk pergi’), “He ordered1  an  inquiry  ”  (‘Dia  memesan permintaan’). Order2 harus merujuk pada suatu objek  (“He  ordered2  a  steak’),  dengan  yang diajak  bicara  secara  konseptual  dan  secara sintaksis  diturunkan  pada  sebuah  frasa preposisi  (‘X  ordered2  Y  from  Z’).  Pembicara yang  order2  sesuatu  berasumsi  bahwa  yang diajak  bicara  mempunyai  sesuatu  sehingga banyak  orang  ingin  memilikinya,  dan  dia berkeinginan  untuk  membagikan  yang  ia punyai  kepada  orang,  pada  kondisi  tertentu. 

30                  ENGLONESIAN: Jurnal Ilmiah Linguistik dan Sastra, Vol. 1 No. 1, Mei  2005 19‐37 

Page 13: SEMANTIK DAN LEKSIKOGRAFI DALAM PERKAMUSAN

Tugas  yang  diajak  bicara  berhubungan  tidak hanya pada produk yang diinginkan pembicara untuk  memilikinya,  tetapi  juga  pelayanan: orang  yang  diajak  bicara  tersebut  harus melakukan  sesuatu  terhadap  objek  yang diinginkan (misalnya, mengambil, menyiapkan, membungkus, menyajikan, dan lain sebagainya. Untuk  bagian  ini  si  pembicara  berusaha melakukan  sesuatu  juga, misalnya  membayar. Dia juga harus menunggu, karena keinginannya tidak  dapat  dipenuhi  dengan  segera  (seperti dalam  kasus  membeli),  tetapi  hanya  setelah beberapa  saat,  mempersilahkan  orang  yang diajak  bicara  melaksanakan  tindakan  yang perlu.   Akhirnya,  orang  yang  order2  sesuatu tidak  menganggap  bahwa  orang  yang  diajak bicara  harus  melakukan  apa  yang  dia  ingin lakukan,  dia  tentusaja  berasumsi  bahwa  orang yang diajak bicara berkeinginan melakukannya. Orang  yang  order1  seseorang  melakukan sesuatu  sangat  yakin  tentang  hasilnya  (“Saya pikir  bahwa  saudara  harus  melakukannya”). Seseorang  yang  order2  sedikit  kurang  percaya diri, karena orang yang diajak bicara barang kali tidak mampu  untuk melakukan  order2.  Tetapi, dalam  hal  ini  juga,  pembicara  benar‐benar percaya  diri  (‘Saya  pikir  kalau  saudara  dapat melakukannya, saudara akan melakukannya”).   Seseorang  dapat menghipotesis  bahwa order2 berkembang di  luar  order1 dengan  suatu pergeseran  penekanan  dari  orang  yang  diajak bicara  pada  benda  atau  objek  yang disediakan olehnya,  dan  dengan  hilangnya  suatu kebersamaan  mengenai  asumsi  tertentu  yang berkaitan  dengan  hubungan  antara  pembicara dan  yang  diajak  bicara:  order1  secara  tidak langsung menyatakan bahwa yang diajak bicara merupakan  bawahan  pembicara  dan  harus melakukan  apa  yang  diinginkan  pembicara. Dalam  order2,  asumsi  ini  tidak  ada: meskipun ada asumsi baru yang menekankan pada objek (‘sesuatu harus dilakukan untuk benda itu’) dan yang mengindividualkan yang diajak bicara: dia kelihatannya  tidak  sebagai  seorang  individu bawahan si pembicara tetapi sebagai orang atau kelompok  orang  yang  berkenan  menyediakan jenis  objek  tertentu  bagi  konsumen  yang  tidak ditentukan. 

  Oleh  sebab  itu  glos  terakhir  yang  ada pada  entri  COD  untuk  kata  order  (“pedagang langsung, pembantu, dan lain sebagainya untuk menyediakan”)  membingungkan  dua  makna yang berbeda, berkaitan dengan perbedaan tipe hubungan  sosial  dan  dengan  seperangkat asumsi  yang  berbeda;  sesuatu  untuk  order (menyuruh)  seseorang  (misalnya  pembantu) untuk melakukan sesuatu; dan order (memesan) sesuatu yang lain dari seseorang (misalnya dari pedagang). Dalam sebuah deskripsi leksikografi yang  memadai,  perbedaan  dua  pengertian  ini mestinya  dapat  dibedakan  secara  jelas,  dan pembaca  harus  diberi  informasi  mengenai perbedaan kerangka gramatikal yang berkaitan dengan makna yang berbeda tersebut.  10.  MENGATASI SIRKULARITAS 

(KEBERPUTARAN)      Kamus‐kamus  konvensional, sebenarnya  dirusak  oleh  semua  sirkularitas (keberputaran)  yang  menembus  definisi‐definisinya.  Beberapa  kamus  lebih  baik  dalam satu  hal  dibanding  kamus  yang  lainnya (misalnya,  kamus  OAJD  jauh  lebih  baik dibanding  semua  kamus  Oxford  yang diperuntukkan orang dewasa), tetapi meskipun ada  perbedaan  tingkatan,  ada  juga pengecualian‐pengecualiannya—keberputaran (sirkularitas)  merupakan  penyakit  (lebih‐lebih dalam  bentuk  tingkat  lanjutan)  di  mana sebenarnya tidak ada kamus konvensional yang bebas dari permasalahan ini.   Para  leksikografer praktis  selalu peduli mengenai  keberputaran  definisi mereka,  tetapi mereka  tidak  mengetahui  bagaimana mengatasinya. Mereka mencoba membuat suatu pembenaran  “keperluan”,  dan  berusaha  untuk membenarkan keberputaran ini sebagai sesuatu yang mengganggu  para  ahli  semantik  teoretis. Tetapi  ini  sedikit  bisa  diterima  dalam  kamus praktis  dan  yang  tidak  akan  mengganggu pengguna  kamus  biasa.  Kenyataannya  bahwa mereka  mencurangi  diri  sendiri  (dan  tanpa disadari  mempengaruhi  kemampuan  berpikir calon pembaca mereka).   Contoh: 

Semantik dan Leksikografi Dalam Perkamusan (Eddy Setia)                             31 

Page 14: SEMANTIK DAN LEKSIKOGRAFI DALAM PERKAMUSAN

  Kata  kerja  jump  (‘melompat’) didefinisikan oleh OPD  sebagai “to move  off  the ground  etc. by bending and  then  extenxing  the  legs or  (of  fish)  by  a  movement  of  the  tail”  (makna pertama)  dan  “to move  suddenly with  a  jump  or bound,  to  raise  suddenly  from a  seat,  etc.”  (makna kedua).  Sebagaimana  definisi  pertama, seseorang bisa ragu dengan sesuatu yang  tidak diharapkan  (seperti  penggunaan  etc.)  Untuk pertanyaan  apa  itu  “a  jump?”  Kamus  OPD menawarkan beberapa definisi,  tetapi yang ada relevansinya muncul menjadi yang pertama: “a jumping  movement”  (‘suatu  gerakan  melompat’). Oleh karenanya, to  jump didefinisikan dengan a jump, a jump dengan jumping, dan jumping tidak didefinisikan  sama  sekali,  diperlakukan  cukup alami,  sebagai  suatu  bentuk  verba  to  jump. Menggantikan definisi di atas, barangkali perlu dipertimbangkan  definisi:  to  jump  –  “to  move suddenly with a  jumping movement”; menjadi: “to move  suddenly  with  a  movement  characteristic  of moving  suddenly  with  a  movement”.  Dan  begitu seterusnya—seperti  catatan  yang  tertangkap dalam suatu alur.    Ambil  contoh  lainnya,  kamus  OPD mendefinisikan  kata  fate  sebagai  “a  person’s destiny”, dan destiny sebagai “that which happens to  a  person  or  thing  thought  of  as  determined  by fate”.  Mengganti  kata  fate  dengan  definisinya didapatkan seperti berikut: destiny is “that which happens  to  a  person  or  thing  thought  of  as determined  by  that  which  happens  to  a  person  or thing thought of as that which happens to a person or thing”.  Terlepas  dari  kenyataan  bahwa  jenis definisi  seperti  ini merupakan  suatu  kerugian bagi  kemampuan  berpikir  pembaca, penggunaan  yang  mana  yang  memungkinkan bagi mereka? Kalau  seseorang mengetahui  apa yang dimaksud dengan fate, apa yang dimaksud dengan  destiny,  dan  bagaimana  mereka membedakan  yang  satu  dengan  lainnya,  dan kemudian mereka  tidak membutuhkan definisi sama  sekali;  tetapi  kalau  mereka  tidak mengetahui,  atau  tidak  begitu  yakin,  maka kamus  tidak  akan  mengajarkan  apa‐apa  bagi mereka.  Baik  produsen  maupun  konsumen hanya  akan menghamburkan uang untuk  jenis definisi yang tak berguna ini. 

  Dapat  ditambahkan  bahwa  kata  fate juga  diberi  definisi  lainnya  pada  kamus  yang sama:  “a  power  thought  to  control  all  events  and impossible  to  resist”,  dan  destiny  juga didefinisikan  sebagai  “fate  considered  as  power”. Di  sini menggantikan  kata  fate dengan definisi yang  ada  kita  dapatkan:  destiny  adalah  “a power….considered as power” ‐ sulit mendapatkan hasil definisi yang jelas.   Definisi  ini  bisa  ditolak  dengan  alasan contoh yang terakhir ini sebenarnya tidak wajar karena  konsep  kata  fate  dan  destiny  ini  sulit untuk  didefinisikan.  Tetapi  kenyataannya keberputaran  itu  begitu  meresap  di  mana konsep  yang  termudah  selalu  didefinisikan dengan cara yang sama.   Sebagai  contoh,  LDOTEL mendefinisikan  kata  best  sebagai  “excelling  all others”.  Excel  didefinisikan  sebagai,  sebaliknya dengan  superior  dan  surpass,  superior  dengan surpass, dan surpass dengan better, demikian juga dengan  exceed  yang  didefinisikan  dengan superior.  Apa  yang  paling  membingungkan pembaca ialah mengapa best tidak didefinisikan dengan  better  pada  tempat  yang  pertama daripada  memutari  lingkaran  dengan melibatkan superior, surpass, dan exceed.   Hal  yang  sama,  OPD  mendefinisikan kata  question  sebagai  “a  sentence  requesting information  or  answer”,  dan  kata  answer didefinisikan  sebagai  “something  said  or written or  needed  or  done  to  deal  with  a  question,  or problem”.  Dengan menghilangkan  sejumlah  or, mengirit  tempat,  kita  mendapatkan  sesuatu seperti  ini: answer adalah “something  said  to deal with  a  sentence  requesting  something  said  to  deal with  a  sentence  requesting …” —dan  seterusnya. Dan  esensi  kata  question  dan  answer,  tidaklah sulit  untuk  dinyatakan:  question  berhubungan dengan  situasi  ketika,  secara  gamblang, seseorang  mengatakan  “I  want  to  know something,  I want  someone  to  tell me” dan answer juga  secara  gamblang dapat dikatakan:  “telling someone  something  that  they  said  they  wanted  to know”  (untuk  definisi  yang  lebih  rinci,  lihat Wierzbicka 1987a).      11. MENGANDALKAN HAL‐HAL YANG 

TAK DAPAT DIDEFINISIKAN  

32                  ENGLONESIAN: Jurnal Ilmiah Linguistik dan Sastra, Vol. 1 No. 1, Mei  2005 19‐37 

Page 15: SEMANTIK DAN LEKSIKOGRAFI DALAM PERKAMUSAN

  Seseorang  tidak  dapat  menentukan segala  sesuatunya. Apapun yang dilaksanakan secara  leksikografis  sangat  penting  untuk menentukan  kata‐kata  yang  mana  yang  akan didefinisikan  dan  yang mana  pula  yang  tidak dapat  didefinisikan.  Permasalahannya  sudah dibuat  beberapa  kali,  begitu  hati‐hati  dan dengan kuat, sehingga seseorang dapat merasa malu untuk mengulanginya. Meskipun  begitu, orang  harus  mengulanginya,  hingga  masalah dasar  ini dipahami secara umum dan akhirnya diterima  secara  universal.  Tetapi  bagaimana seorang  leksikografer harus memutuskan pada sekumpulan  kata  yang  tidak  dapat didefinisikan  di  mana  kamus  sebagai landasannya?    Untuk  alasan  yang  jelas,  sekumpulan kata  yang  tidak  dapat  didefinisikan  secara rasional  semestinya  sedikit  jumlahnya. Misalnya,  kalau  separuh  kata‐kata  yang  ada dalam  kamus  didefinisikan  dan  separuh  lagi tidak,  pembaca  mempunyai  hak  untuk mengeluh,  dan  bahkan  barangkali  perlu pembayaran kembali 50 persen dari uang yang telah  dikeluarkannya  untuk  kamus  tersebut. Kemudian,  kata‐kata  yang  tidak  dapat didefinisikan  tersebut  harus  dipilih  dari  kata‐kata  yang  secara  intuitif  jelas;  kalau  tidak semuanya akan tidak berguna (atau lebih buruk dari  tak  berguna).  Misalnya,  kalau  kata  good dan bad didefinisikan, secara langsung maupun tidak  langsung,  dengan moral  dan  immoral  ini tidak  berguna  bagi  pembaca  karena  pasangan sebelumnya  jauh  lebih  jelas  dan  lebih mudah dimengerti  bagi  siapa  saja  (termasuk  anak‐anak).  Oleh  karenanya,  menjelaskan  good dengan  moral  atau  bad  dengan  immoral merupakan  suatu  parody  (peniruan  yang mengolok)  dari  suatu  penjelasan.  Untuk ilustrasi,  kamus  OPD  menawarkan  sebagai berikut:  bad    ‐  wicked, evil wicked    ‐  morally bad, offending against what is right evil    ‐   morally bad, wicked  

  Dari  tiga  kata  ini  kita  memperoleh definisi  yang mirip  dengan  jaringan  lingkaran yang tak berpangkal dan rumit:    to offend  ‐  to do wrong wrong    ‐  morally bad, contrary to justice or to what is right moral    ‐  of or concerned with goodness or badness of human   character with the principles of what is right and wrong in conductor              Ini berarti bad → wicked → bad; wicked → bad; wicked →  offend → wrong →  bad → wicked; bad  →  wicked  →  moral  →  bad;  dan  begitu seterusnya.   Kamus OAJD menunjukkan  lebih  arif, kamus ini tidak mencoba untuk mendefinisikan kata  bad  sama  sekali,  dan  tentu  saja  dengan leluasa  mendefinisikan  kedua  kata  evil  dan wicked  dengan  bad  dengan  tidak  sempurna, tanpa  ragu‐ragu,  tetapi  paling  tidak  tanpa keberputaran:    evil    ‐  very wicked   wicked    ‐  very bad    Sayangnya,  kearifan  yang  sama  tidak ditunjukkan  dalam  kasus  kata  good,  yang didefinisikan,  menyebabkan,  dugaan,  suatu lingkaran  yang  tak  berujung  pangkal  (dan sambil lalu, memperlakukan kamus pada suatu doktrin yang meragukan dan berbahaya bahwa ‘good’  sama  dengan  ‘socially  acceptable’ (‘berterima secara sosial’).  good    ‐  of the kind that people like and praise praise    ‐  to say that someone or something is very good  Solusi untuk semua ini sangatlah mudah: untuk menerima  kedua  kata  good  dan  bad  adalah  di antara konsep manusia yang paling dasar dan bahwa  kedua  kata  itu  dapat  atau  perlu didefinisikan—dan  kemudian  untuk mendefinisikannya harus jelas dan akurat.   Kritikan  selalu  skeptis  dalam menentukan  kekuatan  istilah  yang  sederhana 

Semantik dan Leksikografi Dalam Perkamusan (Eddy Setia)                             33 

Page 16: SEMANTIK DAN LEKSIKOGRAFI DALAM PERKAMUSAN

dan  umum  seperti  good  dan  bad.  Misalnya, Landau  (1992:115) menanyakan bagaimana  bad dapat  “membedakan  antara,  katakanlah  kata‐kata mistake, blunder,  lapse, wrong, dan sin”; tapi kata‐kata  yang  sederhana  seperti  bad  dapat mencapai  tujuan  ini  jauh  lebih  baik dibanding sekelompok  kata  yang  tertutup  digunakan dalam  definisi‐definisi  kamus  konvensional. Pertimbangkan  sekelompok  definisi  yang berputar‐putar  yang  ditawarkan  oleh AHDOTEL  (1973)  (penyingkatan di  sini hanya untuk alasan penghematan ruang):  mistake   ‐  an error or fault error    ‐  … 4. mistake fault    ‐  … 2. a mistake; error sin    ‐  1. a transgression of religious or moral law, especially  when deliberate; 2. any offense, violation, fault, or error  violation   ‐  1. the act of iolating … 2. an instance of violation;  transgression transgression  ‐  1. the violation of a law, command, or duty.    Kamus  Cobuild  melakukan  suatu pendekatan  yang  berbeda,  akan  tetapi,  kamus ini juga masih jauh dari kesuksesan. Misalnya:  Mistake    ‐  1.1  an  action  or opinion  that  is  incorrect  or  foolish,  or  that  is not    what you intend to do, or whose result is  undesirable;  1.2.  something  or  part  of something, which is  incorrect or not right  Komentar  pada margin menyebutkan,  sebagai tambahan,  bahwa  “mistake  =  error”.  Kalau definisi  yang  ditawarkan  oleh  AHDOTEL mencolok  pada  keberputaran  yang  jelas, sementara yang ditawarkan Cobuild mencolok pada  kegagalan  mereka  untuk  menangkap ketakbervarianan.  Kata  mistake  (nomina) mempunyai suatu kesatuan makna, yang dapat dinyatakan sebagai berikut:    Mistake (X made a mistake) Something bad happened Because X did something X didn’t want it to happen X wanted something else to happen 

X thought that something else would happen     Dengan  menganalisis  konsep  ‘mistake’ ini  ke  dalam  komponennya,  kita  tidak  hanya dapat  menghindari  keberputaran  dan menangkap  suatu kesatuan makna,  tetapi  juga menunjukkan  perbedaan  dan  sekaligus persamaan  antara  konsep  yang  berhubungan seperti ‘mistake’, ‘blunder’ dan ‘sin’.   Contoh,  Cobuild  mendefinisikan  kata blunder sebagai “a big mistake, especially one which seems  to  be  the  result  of  carelessness  or  stupidity”. Akan  tetapi  tidak  semua  yang  “big mistake”, atau  bahkan  “terrible  mistake”,  merupakan kesalahan  besar.  Sesuatu  seperti  “stupidity”, merupakan bagian yang penting dari konsep ini (seharusnya  tidak  diperkenalkan  pada  sebuah kerangka “especially”). Perhatikan konsep yang diberikan Landau (1992) di bawah ini:   blunder (X made a blunder) something bad happened  because X did something X didn’t want it to happen if  X  thought  about  it  for  a  short  time,  X wouldn’t have done it people  can  think  something  bad  about  X because of this      Landau tidak yakin bahwa sebuah kata yang  umum  dan  sederhana  seperti  bad  dapat digunakan baik dalam menentukan sebuah kata seperti  mistake  (tanpa  implikasi  moral  dan agama)  maupun  konsep  moral  dan  agama seperti  sin.  Berikut  ini  adalah  contoh  sin  yang diajukan oleh Landau (dalam penggunaan kata yang serius dan lucu):    sin (X commited a sin) X did something bad X knew that it was bad to do it X knew that God wants people not to do things like this X did it because X wanted to do it  this is bad    Kesederhanaan  semua  unsur  yang digunakan  dalam  definisi  ini  untuk 

34                  ENGLONESIAN: Jurnal Ilmiah Linguistik dan Sastra, Vol. 1 No. 1, Mei  2005 19‐37 

Page 17: SEMANTIK DAN LEKSIKOGRAFI DALAM PERKAMUSAN

Semantik dan Leksikografi Dalam Perkamusan (Eddy Setia)                             35 

menghindari  keberputaran,  menggambarkan hubungan  struktural,  dan  menghindari kekakuan  dan  ketidakjelasan  makna  yang sebenarnya.    Akhirnya, sedikit mengenai kata wrong (ajektiva)  di  mana  AHDOTEC  menemukan caranya  sendiri  dengan  memaksakan memposisikan  tidak  kurang  dari  tujuh makna yang  berbeda,  dan  Cobuild  sebanyak  sebelas, tanpa  mampu  menunjukkan  apakah kesemuanya  ini  berupa  makna  yang diharapkan  untuk  dimiliki  bersamaan.  Secara mendasar makna dari dua ajektiva ini sangatlah sederhana.  Pada  pokoknya,  semua  itu  dapat dinyatakan seperti berikut ini:  It is wrong to do this (like this).= It is bad to do this (like this) If one thinks about it one can know it It is right to do this (like this).= It is good to do this (like this) If one thinks about it one can know it    Tidak  seperti  konsep  ‘good’  dan  ‘bad’, yang  universal,  konsep  ‘right’  dan  ‘wrong’ khusus  berkaitan  dengan  budaya,  dan  tentu saja  ini  sangat  membuka  pikiran  dalam hubungan  yang  mereka  postulasikan  antara nilai  (‘good’  dan  ‘bad’)  dalam  satu  sisi  dan ‘thinking’ dan  ‘knowing’ pada  sisi  lainnya  (lihat Wierzbicka 1989a; 1992a, Bab 1). 

12.  MENGGUNAKAN  BAHASA SEDERHANA    Hal‐hal  yang  tidak  dapat  didefinisikan dihubungkan  sedekat mungkin dengan  bahasa sederhana. Penggunaan bahasa kompleks yang berlebihan  dan  bahasa  yang  tidak  jelas merupakan  salah  satu  hambatan  untuk  suatu komunikasi  yang  efektif  dalam  segala  usaha manusia;  tetapi  dalam  sebuah  kamus,  yang mencari  penjelasan  makna  kata‐kata,  sering terjadi salah penempatan.   Pertimbangkan  juga, misalnya,  definisi dari kata obligatory dan optional, yang diberikan AHDOTEL:  Obligatory   –   1.  legally  or  morally constraining; binding;        2.  imposing  or recording an obligation. 

  3.  of  the  nature  of  an obligation; compulsory. Optional   –   left  to  choice;  not compulsory or automatic  Bukankah  akan  lebih  baik  untuk  menjelaskan makna  kata  dalam  kata‐kata  yang  sederhana, seperti pada uraian berikut:  

13. MENCARI DEFINISI MODEL BARU       Definisi  secara  leksikografis  dapat diperbaiki  saat mempertahankan  suatu  bentuk yang  sedikit  banyaknya masih  tradisional. Hal ini  dapat  dilakukan  dengan  penyederhanaan dan pengaturan definisi‐definisi bahasa, dengan menggunakan suatu model definisi lain, dengan mencoba  menangkap  ketakbervarianan  (dan membuang  semua  or  dan  etcetera),  dan menghindari  keberputaran.  Hal  ini  mungkin dapat  memperbaiki  definisi  lebih  jauh,  jika seseorang  dipersiapkan  untuk  membuang bentuk‐bentuk definisi  tradisional dan mencari format‐format  baru  dan  model‐model  baru (menggambarkan  penemuan–penemuan semantik kontemporer) 

  Pertimbangkan,  misalnya,  entri  dalam LDOTEL untuk verba to punish:  1a.  to impose a penalty on for a fault, offence or 

violation b.   to inflict a penalty for (an offence) 2.  to treat roughly, harshly, or damagingly    Beberapa kelemahan dari entri  tersebut cukup  jelas:  penempatan  polisemi  yang  sama sekali  tidak  dibenarkan  (1  berlawanan  dengan 2)  dan  semi‐polisemi  (1a  berlawanan  dengan 1b);  kegagalan  menangkap  ketakbervarianan (apa yang melakukan “fault, offense or violation” adalah  hal  yang  wajar?);  keberputaran  yang tersembunyi.   Untuk  memberikan  konsep “punishment”  dengan  akurat  kita  memerlukan 

Page 18: SEMANTIK DAN LEKSIKOGRAFI DALAM PERKAMUSAN

suatu  skenario,  bukan  suatu  definisi  jenis tradisional:  X punished Y [for Z] = (a)  [Y did X] (b)  X thought something like this: (c)  Y did something bad [Z] (d)  I want Y  to  feel something bad because of 

this (e)  it  will  be  good  Y  feels  something  bad 

because of this (f)  it  will  be  good  if  I  do  something  to  Y 

because of this (g)  X did something to Y because of this    Komponen  (a) mengacu pada  tindakan orang yang melakukan kejahatan, (b) sampai (f) menggambarkan  tindakan  dari  penghukum, dan  (g)  mengacu  pada  tindakan  penghukum. Tindakan penghukum meliputi, berbicara kasar, suatu  keinginan  untuk memberikan  rasa  sakit (d),  dan  tiga  asumsi:  bahwa  target  orang melakukan  sesuatu  yang  buruk  (c),  yang  akan menjadi  benar dan hanya  jika dia  “menderita” (merasakan  sesuatu  yang  tidak  enak)  sebagai akibatnya  (e),  dan  bahwa  penghukum  disebut sedang  memberikan  rasa  sakit  (diperkirakan, sebagai orang yang bertanggung jawab).   Penggambaran konsep dari “revenge” dengan tepat diperlukan suatu skenario:  Y took revenge on X [for Z] = (a)  someone  (X)  did  something  bad  [Z]  to someone (Y) 

(b) because of this, Y felt something bad (c) after this, Y thought something like this (d) this person (X) did something bad [Z] to me (e)  because  of  this,  I want  to  do  the  same  to this person (X) 

(f) Y thought about it for a long time (g) After this, Y did something bad to X because of this 

 Komponen  (a) mengacu pada  tindakan 

orang yang bersalah, dan (g) kepada yang akan membalas;  (b) menunjukkan  yang dirasakan  si pembalas,  dan  komponen  (d)  dan  (e) menunjukkan pemikiran‐pemikirannya (dengan 

fokus mereka pada “membalas dengan hal yang sama”).  14. SIMPULAN      Untuk  mendapatkan  makna‐makna yang benar merupakan hal yang sangat penting –  lebih  penting  daripada  yang  lainnya.  Jika leksikografi  teoretis  tidak  dapat  membantu dalam  hal  ini  –  dengan  menyediakan  ide, prinsip,  cerita,  model,  dan  petunjuk‐petunjuk yang  ada  –  seseorang  dapat  benar‐benar meragukan  raison  d’être.  Leksikografi  teoretis menawarkan  semua  hal  tersebut.  Yang  paling penting  hal  ini  menawarkan  suatu  alat  yang dapat melakukan perbaikan dengan  sendirinya penyakit‐penyakit  leksikografi  tradisional dalam  porsi  yang  besar:  metabahasa leksikografi  alamiah,  yang  diturunkan  dari Natural  Semantic  Metalanguage  (Metabahasa Semantik  Alamiah),  dan  berdasarkan  primitif semantik universal. 

 DAFTAR PUSTAKA  Chafe,  Wallace  L.  1970.  Meaning  and  The 

Structure  of  Language.  Chicago:  The University of Chicago Press. 

Commrie, Bernard. 1997. Language Universal and Typologi:  Syntax  and  Morpholoy.  Oxford: Basil Blackwell. 

Cruze, D. A. 1986. Lexical Semantics. Cambridge: Cambridge University Press. 

Dixon,  W.  1992.  Linguistic  Semantic.  USA: Lawrence Erlbaum Associates  

  Publisher. Frawley, William. 1992. Linguistic Semantic. New 

Jersey:  Lawrence  Erlbaum  Associates Publishers.  

Goddard,  Cliff.  1994.  Semantic  Theory  and Semantic Universal. Goddard  (Convenor). 1996. Cross Linguistic Syntax from Semantic Point  of  View  (NMM  Approach).  1‐5. Australia: Australian National University. 

Goddard,  Cliff.  1996a.  Building  a  Universal Semantic metalanguage: The Semantic Theory of  Anna Wierzbick.  Goddard  (Convenor). 1996. Cross Linguistic Syntax from Semantic 

36                  ENGLONESIAN: Jurnal Ilmiah Linguistik dan Sastra, Vol. 1 No. 1, Mei  2005 19‐37 

Page 19: SEMANTIK DAN LEKSIKOGRAFI DALAM PERKAMUSAN

Semantik dan Leksikografi Dalam Perkamusan (Eddy Setia)                             37 

Point  of  View  (NMM  approach).  24‐37. Australia: Australian National University. 

Goddard,  Cliff.  1996b.  Grammatical  Categories and Semantic Prime. Goddard  (Convenor). 1996. Cross Linguistic Syntax from Semantic Point  of  View  NMM  Approach.  38‐57. Australia: Australian National University. 

Goddard,  Cliff.  1996c.  “Culture  Value  and ‘Culture  Scripts’  of Malay”.  Cross  Cultural Communication.  Australia:  Australian National University. 

Leech,  Geoffey.  1981.  Semantics:  The  Study  of Meaning. London: Pinguisn Books. 

Leech,  Geoffrey.  1983.  Principles  of  Pragmatics. USA: Longman Inc.  

Lyon,  John.  1981.  Semantics.  Volume  I  /  II. London: Cambridge University Press. 

Ogden,  C.  K.  and  I.A.  Richards.  1936.  The Meaning of Meaning. New York: A Harvest Book.  

Ullmann,  Stephen.  1977.  Semantics:  An Introduction  to  The  Science  of  Meaning. Oxford: Basil Blackwell. 

Wierzbicka,  Anna.  1991.  Cross‐Cultural Pragmatics:  The  Semantics  of  Human Interaction. Berlin: Mouton de Gruyter. 

Wierzbicka, Anna.  1992. Semantics, Culture,  and Cognition:  Universal  Human  Concept  ini Culture  Spesific  Configurations.  Oxford: Oxford Universitas Press. 

Wierzbicka,  Anna.  1994.  Semantic  Primitive Across  Languages:  A  Critical  Review.  In Goddard and Wierzbicka. 

Wierzbicka,  Anna.  1996a.  “Different  Culture, Different  Language,  Different  Speech Act”. Wierzbicka (Convenor). 1996. Cross‐Cultural  Communication,  30  ‐  ‐  50. Canberra: Australia national University. 

Wierzbicka,  Anna.  1996b.  Cross‐Cultural Communication.  Canberra:  Australian National University. 

Wierzbicka,  Anna.  1996c.  “The  Syntax  of Universal  Semantic  Primitive”.  Goddard (Convenor).  1996.  Cross‐Linguistic  Syntax from  a  Semantic  Poin  of  View  (NSM Approach)  6  ‐  ‐23.  Canberra:  Australian National University. 

Wierzbicka, Anna. 1996d. Semantics: Primes  and Universal.  New  York:  Oxford  Univerity Press. 

Wierzbicka, Anna. 1999. Emotions Across language and Culture: Diversity and Universals. Cambridge: Cambridge University Press.