1
Sapi Cepogo Dilanda Rawan Pakan Letusan gunung yang susul-menyusul menjadi bencana serius untuk seluruh warga lereng Merapi. Khususnya petani sapi perah. Widjajadi EVAKUSI HEWAN TERNAK: Warga menaikkan sapi ke truk setelah dua hari ditinggal mengungsi pemiliknya di Desa Kinarejo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta, Kamis (28/10). Puluhan ternak milik warga lereng merapi mati akibat erupsi gunung merapi dan beberapa ternak lainnya menderita kelaparan akibat tidak adanya pakan ternak yang tersisa. MI/USMAN ISKANDAR Nusantara | 7 SELASA, 2 NOVEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA S UNARTO sedang berharap hujan lekas turun. Petani sapi perah di Desa Gubug, Kecamatan Cepogo, Boyo- lali, Jawa Tengah, ini tertegun dalam pengungsian. Yang dipikirkannya, abu tebal di hamparan rumput gajah harus sece- patnya diguyur hujan deras. “Kalau tidak, kami rugi besar,” ujarnya. Ia satu dari ribuan petani sapi pe- rah di lereng timur Merapi--gunung yang terus meletus sejak pengujung Oktober sampai kemarin pagi. Selama ini, menurut lelaki 51 tahun itu, rumput gajah menjadi makanan utama ternaknya. Sebelum disem- purnakan dengan makanan lain yang disebut konsentrat. Agar bisa menghasilkan susu mak- simal 10-12 liter, seekor sapi mem- butuhkan paling tidak 30 kilogram rumput gajah. Petani pun mengeluar- kan biaya Rp20 ribu-Rp25 ribu untuk pakan sempurna tersebut. Celakanya, sejak Merapi memun- tahkan hujan abu di lingkaran lereng, kini rumput unggulan yang digemari ternak berkaki empat itu menjadi ba- rang langka dan mahal harganya. Petani lereng atas yang rumput- nya hancur oleh kontaminasi debu vulkanik telah turun dan berburu ke lereng bawah. Mereka berharap rumput hijau di sana masih segar dan belum dicemari debu Merapi yang mengandung silikon. Namun, apa lacur. Dua hari ter- akhir, kawasan lereng bawah bagian timur, yang termasuk wilayah Cepogo sama-sama digelayuti abu muntahan erupsi yang tebal. “Kalau situasi normal, kami bisa berbagi. Namun, dengan kondisi ini sulit. Sebab petani sentra per- susuan Cepogo juga harus bertahan dan tidak ingin bangkrut,” ujar Sarino, petani Desa Candi, Kecama- tan Cepogo, yang mengungsi. Setoran susut Ketua Koperasi Persusuan Ce- pogo Gito Triyono sepikiran de- ngan Sunarto. Ia berharap hujan deras segera turun untuk membersihkan rum- put dari abu tebal. Tanpa itu, dalam waktu dekat produksi dipastikan anjlok hingga 20%. “Bahkan bisa lebih parah lagi.” Sekitar 5.000 petani sentra per- susuan Cepogo yang meliputi delapan desa dari 14 desa yang ada, setiap hari mampu memproduksi 11.500 liter atau 11,5 ton susu. Susu sebanyak itu dihasilkan dari 11.000 sapi perah, dalam pengertian bahwa tidak semua sapi memproduksi secara kon- stan. Hasil produksi selanjutnya disetorkan ke induk pengolahan susu di Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI). Kepada Media Indonesia, Ketua GKSI Jawa Tengah dan DI Yogya- karta Sri Kuncoro menyatakan bah- wa bencana Merapi menurunkan setoran susu sampai 10%. “Kalau Cepogo dan Musuk terus diguyur hujan abu seperti sekarang, mungkin setoran semakin turun lagi,” tandas dia. Dalam kondisi normal, sehari GKSI Jateng dan DIY mampu men- dapatkan setoran susu dari petani sapi perah mencapai 230 ribu hingga 250 ribu liter. Beberapa hari terakhir, setoran susut 10 ribu liter. Terutama setoran dari Koperasi Persusuan Kali Urang yang baru saja kehilangan ketua koperasinya karena jadi korban wedus gembel Merapi. Sri mengatakan pihaknya sedang memikirkan aliran bantuan subsidi konsentrat agar beban petani yang sedang terlilit bencana bisa lebih ri- ngan. Serta aliran susu dari sentra di Kabupaten Boyolali tidak terganggu. “Besarnya subsidi berapa, saat ini masih kami hitung.” Sementara itu, lebih daripada 20 sapi dalam sepekan terakhir dijual dengan harga sangat murah di Sle- man, DI Yogyakarta. Sebabnya, peter- nak kini hidup di pengungsian. Rata-rata peternak mengalami kesulitan mempertahankan ternak sapinya lantaran harus berada di pengungsian. Sementara itu, kan- dang komunal baru akan dibangun. (AU/N-4) [email protected] Kalau Cepogo dan Musuk terus diguyur hujan abu seperti sekarang, setoran semakin turun lagi.” Sri Kuncoro Ketua GKSI Jawa Tengah dan DIY Adu Kondang di Pengungsian KLAKSON berbunyi keras. Sebuah sepeda motor tampak menyelinap di antara rombongan mobil mewah yang menunggu lampu merah men- jadi hijau. Iring-iringan kemudian berhenti tepat di Posko Utama Gunung Me- rapi, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta. Mereka ialah penyumbang yang ingin menyalurkan bantuan kepada korban dan pengungsi letusan Gu- nung Merapi. Entah sedikit atau banyak, ban- tuan yang datang kebanyakan diantarkan secara berombongan. Tidak sedikit yang membawa span- duk bertuliskan merek produk atau bendera-bendera ormas dan partai politik. Selanjutnya, mereka masuk ke lokasi tempat pendaftaran bantuan. Tak lama, mereka bergaya untuk PERANG SPANDUK: Berbagai spanduk milik perusahaan baik swasta dan BUMN, partai politik, dan organisasi massa bertebaran di posko pengungsian Hargobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta, kemarin. MI/ LILIEK DHARMAWAN SUSU SAPI: Peternak menuangkan susu sapi perah di Desa Gubug, Kecamatan Cepogo, Boyolali, kemarin. MI/ WIDJAJADI berfoto. Entah untuk apa tujuannya. Pemandangan semacam itu menjadi kebiasaan yang terjadi saban hari di posko utama Gunung Merapi. Tidak hanya di tempat tersebut, di Posko Wukirsari, Kecamatan Cangkringan, juga dipenuhi mobil rombongan pe- jabat. “Saya heran, kenapa kalau ada pe- jabat ke sini selalu membuat repot. Kalau memberikan bantuan, mbok ya tidak usaha membawa rombongan,” keluh seorang relawan, Farid, di lokasi pengungsian Wukirsari. Menancapkan atribut Yang lebih mengherankan lagi ada- lah banyak atribut dan spanduk dari berbagai macam perusahaan, organisasi massa, partai politik, dan lainnya, me- nancap di sekitar pengungsian. Susanto, 43, seorang mahasiswa yang menjadi relawan, menggambar- kan hiruk-pikuk spanduk bak sedang digelar pameran besar. “Sangat banyak umbul-umbul. Lha, ini posko pengung- sian atau bukan? Kayak di Jogja Expo Center ketika ada ajang pameran saja,” celetuknya. Spanduk sebagai pencitraan kalau pihak-pihak ini hadir di pengungsian terlihat jelas saat melintas di depan Posko Pengungsi Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Sleman, Jalan Ka- liurang. Dari kejauhan pertama kali terlihat spanduk berwarna-warni. Ada partai politik, ada organisasi massa, perusahaan, dan sebagainya. Di pertigaan Posko Utama Gunung Merapi di Kecamatan Pakem, juga ma- sih terlihat jelas spanduk kuning milik salah satu parpol. Spanduk tersebut bertuliskan selamat datang kepada ke- tua umum parpol tersebut. Inilah yang terjadi. Partai politik, pe- rusahaan baik swasta maupun BUMN, organisasi massa saling berlomba memasang spanduk. Lokasi kor- ban mengungsi dianggap sebagai sebuah ajang pencarian simpati. Untuk menghindarkan kesan tersebut, akhirnya Gubernur DIY Hamengku Buwono X memerin- tahkan agar hanya bendera Merah Putih yang berkibar di kawasan Barak Pengungsian. “Kalau bukan Merah Putih, le- bih baik bendera-bendera itu di- turunkan dan jangan dipasang lagi,” kata Sri Sultan Hamengku Buwono X di DI Yogyakarta, kemarin. Menurut dia, jika kalangan ma- syarakat akan memberikan bantu- an kepada para korban sebagai bentuk kepedulian, sebaiknya ja- ngan ada pamrih. “Membantu dan kemudian minta difoto, itu sudah kuno,” kritik Sultan. (Liliek Dhar- mawan/Agus Utantoro/N-4)

SELASA, 2 NOVEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA Sapi Cepogo ... · 02/11/2010 · Susanto, 43, seorang mahasiswa yang menjadi relawan, menggambar-kan hiruk-pikuk spanduk bak sedang digelar

  • Upload
    dokien

  • View
    215

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Sapi Cepogo Dilanda Rawan PakanLetusan gunung yang susul-menyusul menjadi bencana serius untuk seluruh warga lereng Merapi. Khususnya petani sapi perah.

Widjajadi

EVAKUSI HEWAN TERNAK:

Warga menaikkan sapi ke truk setelah

dua hari ditinggal mengungsi pemiliknya

di Desa Kinarejo, Cangkringan, Sleman,

Yogyakarta, Kamis (28/10). Puluhan

ternak milik warga lereng merapi mati

akibat erupsi gunung merapi dan beberapa

ternak lainnya menderita kelaparan akibat tidak adanya pakan ternak yang

tersisa.MI/USMAN ISKANDAR

Nusantara | 7SELASA, 2 NOVEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA

SUNARTO sedang berharap hujan lekas turun. Petani sapi perah di Desa Gubug, Kecamatan Cepogo, Boyo-

lali, Jawa Tengah, ini tertegun dalam pengungsian.

Yang dipikirkannya, abu tebal di hamparan rumput gajah harus sece-patnya diguyur hujan deras. “Kalau tidak, kami rugi besar,” ujarnya.

Ia satu dari ribuan petani sapi pe-rah di lereng timur Merapi--gunung yang terus meletus sejak pengujung Oktober sampai kemarin pagi.

Selama ini, menurut lelaki 51 tahun itu, rumput gajah menjadi makanan utama ternaknya. Sebelum disem-purnakan dengan makanan lain yang disebut konsentrat.

Agar bisa menghasilkan susu mak-simal 10-12 liter, seekor sapi mem-butuhkan paling tidak 30 kilogram rumput gajah. Petani pun mengeluar-kan biaya Rp20 ribu-Rp25 ribu untuk pakan sempurna tersebut.

Celakanya, sejak Merapi memun-tahkan hujan abu di lingkaran lereng, kini rumput unggulan yang digemari ternak berkaki empat itu menjadi ba-rang langka dan mahal harganya.

Petani lereng atas yang rumput-nya hancur oleh kontaminasi debu vulkanik telah turun dan berburu ke lereng bawah. Mereka berharap rumput hijau di sana masih segar dan belum dicemari debu Merapi yang mengandung silikon.

Namun, apa lacur. Dua hari ter-akhir, kawasan lereng bawah bagian

timur, yang termasuk wilayah Cepogo sama-sama digelayuti abu muntahan erupsi yang tebal.

“Kalau situasi normal, kami bisa berbagi. Namun, dengan kondisi ini sulit. Sebab petani sentra per-susuan Cepogo juga harus bertahan dan tidak ingin bangkrut,” ujar Sarino, petani Desa Candi, Kecama-tan Cepogo, yang mengungsi.

Setoran susutKetua Koperasi Persusuan Ce-

pogo Gito Triyono sepikiran de-ngan Sunarto.

Ia berharap hujan deras segera turun untuk membersihkan rum-put dari abu tebal. Tanpa itu, dalam waktu dekat produksi dipastikan

anjlok hingga 20%. “Bahkan bisa lebih parah lagi.”

Sekitar 5.000 petani sentra per-susuan Cepogo yang meliputi delapan desa dari 14 desa yang ada, setiap hari mampu memproduksi 11.500 liter atau 11,5 ton susu.

Susu sebanyak itu dihasilkan dari 11.000 sapi perah, dalam pengertian bahwa tidak semua sapi memproduksi secara kon-stan. Hasil produksi selanjutnya disetorkan ke induk pengolahan susu di Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI).

Kepada Media Indonesia, Ketua GKSI Jawa Tengah dan DI Yogya-karta Sri Kuncoro menyatakan bah-wa bencana Merapi menurunkan

setoran susu sampai 10%.“Kalau Cepogo dan Musuk terus

diguyur hujan abu seperti sekarang, mungkin setoran semakin turun lagi,” tandas dia.

Dalam kondisi normal, sehari GKSI Jateng dan DIY mampu men-dapatkan setoran susu dari petani sapi perah mencapai 230 ribu hingga 250 ribu liter. Beberapa hari terakhir, setoran susut 10 ribu liter. Terutama setoran dari Koperasi Persusuan Kali Urang yang baru saja kehilangan ketua koperasinya karena jadi korban wedus gembel Merapi.

Sri mengatakan pihaknya sedang memikirkan aliran bantuan subsidi

konsentrat agar beban petani yang sedang terlilit bencana bisa lebih ri-ngan. Serta aliran susu dari sentra di Kabupaten Boyolali tidak terganggu. “Besarnya subsidi berapa, saat ini masih kami hitung.”

Sementara itu, lebih daripada 20 sapi dalam sepekan terakhir dijual dengan harga sangat murah di Sle-man, DI Yogyakarta. Sebabnya, peter-nak kini hidup di pengungsian.

Rata-rata peternak mengalami kesulitan mempertahankan ternak sapinya lantaran harus berada di pengungsian. Sementara itu, kan-dang komunal baru akan dibangun. (AU/N-4)

[email protected]

Kalau Cepogo dan Musuk terus diguyur hujan abu seperti sekarang, setoran semakin turun lagi.”

Sri KuncoroKetua GKSI Jawa Tengah dan DIY

Adu Kondang di PengungsianKLAKSON berbunyi keras. Sebuah sepeda motor tampak menyelinap di antara rombongan mobil mewah yang menunggu lampu merah men-jadi hijau.

Iring-iringan kemudian berhenti tepat di Posko Utama Gunung Me-rapi, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta.

Mereka ialah penyumbang yang ingin menyalurkan bantuan kepada korban dan pengungsi letus an Gu-nung Merapi.

Entah sedikit atau banyak, ban-tuan yang datang kebanyakan diantarkan secara be rombongan. Tidak sedikit yang mem bawa span-duk bertuliskan me rek produk atau bendera-bendera ormas dan partai politik.

Selanjutnya, mereka masuk ke lo kasi tempat pendaftaran bantuan. Tak lama, mereka bergaya untuk

PERANG SPANDUK: Berbagai spanduk milik perusahaan baik swasta dan BUMN, partai politik, dan organisasi massa bertebaran di posko pengungsian Hargobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta, kemarin.

MI/ LILIEK DHARMAWAN

SUSU SAPI: Peternak menuangkan susu sapi perah di Desa Gubug, Kecamatan Cepogo, Boyolali, kemarin.

MI/ WIDJAJADI

berfoto. Entah untuk apa tujuannya. Pemandangan semacam itu menjadi

kebiasaan yang terjadi saban hari di posko utama Gunung Merapi. Tidak hanya di tempat tersebut, di Posko Wukirsari, Kecamatan Cangkringan, juga dipenuhi mobil rombongan pe-jabat.

“Saya heran, kenapa kalau ada pe-jabat ke sini selalu membuat repot. Kalau memberikan bantuan, mbok ya tidak usaha membawa rombongan,” keluh seorang relawan, Farid, di lokasi pengungsian Wukirsari.

Menancapkan atributYang lebih mengherankan lagi ada-

lah banyak atribut dan spanduk dari berbagai macam perusahaan, organisasi massa, partai politik, dan lainnya, me-nancap di sekitar pengungsian.

Susanto, 43, seorang mahasiswa yang menjadi relawan, menggambar-

kan hiruk-pikuk spanduk bak sedang digelar pameran besar. “Sangat banyak umbul-umbul. Lha, ini posko pengung-sian atau bukan? Kayak di Jogja Expo Center ketika ada ajang pameran saja,” celetuknya.

Spanduk sebagai pencitraan kalau pihak-pihak ini hadir di pengungsian terlihat jelas saat melintas di depan Posko Pengungsi Hargobinangun, Ke camatan Pakem, Sleman, Jalan Ka-liurang. Dari kejauhan pertama kali ter lihat spanduk berwarna-warni. Ada partai politik, ada organisasi massa, perusahaan, dan sebagainya.

Di pertigaan Posko Utama Gunung Merapi di Kecamatan Pakem, juga ma-sih terlihat jelas spanduk kuning milik sa lah satu parpol. Spanduk tersebut ber tuliskan selamat datang kepada ke-tua umum parpol tersebut.

Inilah yang terjadi. Partai politik, pe-rusahaan baik swasta maupun BUMN,

organisasi massa saling berlomba memasang spanduk. Lo kasi kor-ban mengungsi dianggap sebagai sebuah ajang pencarian simpati.

Untuk menghindarkan kesan tersebut, akhirnya Gubernur DIY Hamengku Buwono X memerin-tahkan agar hanya bendera Merah Putih yang berkibar di kawasan Ba rak Pengungsian.

“Kalau bukan Merah Putih, le-bih baik bendera-bendera itu di-turunkan dan jangan dipasang lagi,” kata Sri Sultan Hamengku Bu wono X di DI Yogyakarta, kemarin.

Menurut dia, jika kalangan ma-syarakat akan memberikan bantu-an kepada para korban sebagai ben tuk kepedulian, sebaiknya ja-ngan ada pamrih. “Membantu dan kemudian minta difoto, itu sudah kuno,” kritik Sultan. (Liliek Dhar-mawan/Agus Utantoro/N-4)