20
1 SAROTAMA (Film Dokumenter tentang Upaya Mudjiono dalam Mendidik Calon Dalang yang Berbudi Pekerti, Studi Deskriptif tentang Proses Pendidikan Dalang untuk Anak-Anak di Padepokan Seni Sarotama di Desa Ngringo, Kecamatan Jaten, Kabupaten Karanganyar) Yestha Fajar Pahlevi Chatarina Heny Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract In the past, shadow puppet or Wayang known as an effective medium in both transmitting a message and teaching the values of noble character to the audiences especially in Indonesia. However, today's condition forces Dalang, the puppet master to take advantage of the Wayang performances becomes more tend as a entertaining shows rather than a guide of life. Based on this terms, Mudjiono, one of the Wayang activists in Solo try to maintain the character building aspects of the Wayang performances by creating Padepokan Sarotama, an informal Dalang school that educate the early age to become the next generations Dalang. Padepokan Sarotama now lies in Ngringo villages, Njaten, Karanganyar, Central Java. Mudjiono hopes that his efforts would answer the needs of Wayang performances according to the today's society without eliminate the elements of character buildings. This documentary movie consists of 3 sections separated in 5 sequences. The first section is the Opening section that consist of sequence 1 and 2, then the Content sections is in sequence 3, and Concluding sections that consist of sequence 4 and 5. The Opening section describes the history and development of the Wayang in general, and the purpose of Padepokan Sarotama's establishment. Content section contains opinions and views on the system and methods of teaching in the Padepokan Sarotama in 3 viewpoints, the founder, the participant, and the experts. The concluding section describe the expectations, hope, and the means of the Sarotama's name. Padepokan Sarotama expected to be an alternative solutions in developing the Wayang performance of the new approach by conducting the Dalang from the educational aspect. Since the introduction of traditional arts like Wayang from the early ages are not only effective in improving the culture and traditional cognition, but also in building a moral character for its participants. Keywords: Wayang Performances, Dalang school, Sarotama, Character building

SAROTAMA (Film Dokumenter tentang Upaya Mudjiono dalam … Yestha Fajar... · 2016. 2. 27. · 2 Pendahuluan Kehidupan masyarakat Indonesia seakan tidak pernah lepas dari wayang

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 1

    SAROTAMA

    (Film Dokumenter tentang Upaya Mudjiono dalam Mendidik Calon Dalang

    yang Berbudi Pekerti, Studi Deskriptif tentang Proses Pendidikan Dalang

    untuk Anak-Anak di Padepokan Seni Sarotama di Desa Ngringo, Kecamatan

    Jaten, Kabupaten Karanganyar)

    Yestha Fajar Pahlevi

    Chatarina Heny

    Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

    Universitas Sebelas Maret Surakarta

    Abstract

    In the past, shadow puppet or Wayang known as an effective medium in

    both transmitting a message and teaching the values of noble character to the

    audiences especially in Indonesia. However, today's condition forces Dalang, the

    puppet master to take advantage of the Wayang performances becomes more tend

    as a entertaining shows rather than a guide of life. Based on this terms, Mudjiono,

    one of the Wayang activists in Solo try to maintain the character building aspects

    of the Wayang performances by creating Padepokan Sarotama, an informal

    Dalang school that educate the early age to become the next generations Dalang.

    Padepokan Sarotama now lies in Ngringo villages, Njaten, Karanganyar, Central

    Java. Mudjiono hopes that his efforts would answer the needs of Wayang

    performances according to the today's society without eliminate the elements of

    character buildings.

    This documentary movie consists of 3 sections separated in 5 sequences.

    The first section is the Opening section that consist of sequence 1 and 2, then the

    Content sections is in sequence 3, and Concluding sections that consist of

    sequence 4 and 5. The Opening section describes the history and development of

    the Wayang in general, and the purpose of Padepokan Sarotama's establishment.

    Content section contains opinions and views on the system and methods of

    teaching in the Padepokan Sarotama in 3 viewpoints, the founder, the participant,

    and the experts. The concluding section describe the expectations, hope, and the

    means of the Sarotama's name.

    Padepokan Sarotama expected to be an alternative solutions in developing

    the Wayang performance of the new approach by conducting the Dalang from the

    educational aspect. Since the introduction of traditional arts like Wayang from the

    early ages are not only effective in improving the culture and traditional

    cognition, but also in building a moral character for its participants.

    Keywords: Wayang Performances, Dalang school, Sarotama, Character building

  • 2

    Pendahuluan

    Kehidupan masyarakat Indonesia seakan tidak pernah lepas dari wayang.

    Disebutkan dalam penggalan buku seri Indonesian Heritage dalam bab tentang

    Performing Arts bahwa begitu banyak jenis wayang yang pernah hidup atau

    masih bertahan hidup di Indonesia. Semenjak awal diciptakan, pertunjukan

    wayang kulit merupakan sebuah bentuk komunikasi yang artinya proses

    menyampaikan pesan dari komunikator yang dalam hal ini disebut sebagai dalang

    kepada audiens yang merupakan para penonton dari pertunjukan wayang. Melalui

    serangkaian pemaknaan audiens akan simbol-simbol tertentu, pesan-pesan dalam

    pertunjukan wayang tersebut diselipkan melalui plot-plot cerita, dialog-dialog

    antar tokoh pewayangan dalam suatu peristiwa dan dalam tembang-tembang yang

    diiringi oleh gamelan sebagai musik latarnya. (Hastjarjo, 2012)

    Pertunjukan wayang dianggap berhasil bila fungsinya sebagai tuntunan

    dan tontonan dapat tersajikan secara seimbang. Artinya, tidak ada yang menonjol

    salah satu. Tuntunan, mengarah pada fungsi paedagogis (pendidikan), sedangkan

    tontonan, menunjuk pada arah sebagai sosok karya seni yang mengandung nilai

    estetis. Pengamat pedalangan STSI Surakarta, Bambang Murtijasa mengatakan

    bahwa seluruh cerita wayang itu sendiri merupakan tuntunan budi pekerti. Dengan

    kata lain, ruh wayang adalah budi pekerti. Tuntunan budi pekerti terdapat dalam

    keseluruhan misi pakem wayang sehingga eksistensi wayang sekarang dan

    mendatang sangat tergantung dari kelangsungan muatan nilai budi pekerti yang

    diejawantahkan dalam lakon yang dibawakan dan dipagelarkan oleh sang dalang.

    (Yuliantoro, 2012)

    Namun pada masa kini, unsur tontonan cenderung semakin mendominasi

    pertunjukan wayang. Tuntutan kebutuhan masyarakat di era modern mendorong

    terjadinya pergeseran makna dan tujuan dari pagelaran wayang dari ketika awal

    mula diciptakan. Jika dahulu wayang digunakan untuk sebagai media pemujaan,

    ekspresi sastra, dan dakwah, kini wayang cenderung beralih pada konteks hiburan

    dan media pengangkat status sosial. Salah satu bentuk hiburan yang populer

    disisipkan dalam rangkaian pagelaran wayang adalah adanya bagian limbukan.

    Dimana dalam sesi tersebut dilakukan atraksi-atraksi hiburan, humor dan dagelan

  • 3

    yang seringkali tanpa sedikitpun membahas mengenai konten lakon yang sedang

    dipagelarkan sebelumnya. Hal tersebut juga terlihat ketika pagelaran wayang

    mempertontonkan interaksi antara sinden dan dalang yang terjadi seolah-olah

    tanpa batasan. Bahkan, seringkali sang dalang dengan para sinden menggunakan

    guyonan yang sifatnya porno, jorok, dan terkadang melintasi batas-batas

    kesopanan dalam norma masyarakat. Nilai-nilai budi pekerti seolah menjadi

    diabaikan dan hanya menjadi tempelan-tempelan demi mengejar formalitas.

    Perkembangan ini tentunya tak terlepas dari peranan dalang sebagai sentral

    dalam pagelaran wayang. Oleh karena itu peran dalang menjadi sentral dalam

    pagelaran wayang. Tak hanya sebagai sumber penyampai pesan, dalang juga

    memiliki andil besar dalam proses penyusunan pesan. Proses pemikiran sang

    dalang akan nampak dari performa dalang dalam mementaskan pagelaran wayang,

    dan pada akhirnya menjadi salah satu indikator utama apakah pesan dalam cerita

    atau lakon yang dibawakan dapat tersampaikan atau tidak kepada para audiens.

    Disini, peran dalang menjadi lebih daripada seorang seniman atau penyampai

    cerita saja, namun lebih pada seorang pemikir dan figur publik yang menjadi

    sumber rujukan mengenai nilai-nilai yang terkandung dan dilanggengkan dalam

    kehidupan sosial.

    Perkembangan pagelaran dalang pada masa kemudian sangat bergantung

    pada proses kelahiran para dalang. Disinilah proses pendidikan mengambil peran

    yang sangat penting. Pendidikan dalam arti luas bukanlah sebuah proses tunggal

    atau kegiatan rutin yang dilakukan di kelas-kelas, melainkan proses panjang yang

    berkesinambungan melalui interaksi dengan lingkungan yang berujung pada

    proses pembentukan identitas diri seorang manusia.

    Kondisi tersebut membuat Mudjiono meluangkan waktunya mendirikan

    Padepokan Seni Sarotama sebagai wadah untuk berkreasi dan menjadi ajang

    belajar bagi anak-anak yang berminat dan ingin mempelajari seni pedalangan.

    Masa kanak-kanak selain merupakan masa yang efektif untuk memulai

    memberikan penanaman pendidikan budi pekerti, juga dianggap masa yang paling

    baik untuk memulai pengenalan dan pembinaan tentang kesenian. Karena pada

    usia 12-14 tahun, anak sudah mulai memiliki kesadaran yang mendalam mengenai

  • 4

    dirinya sendiri. Di usia ini anak mulai meyakini kemauan, potensi, dan cita-cita.

    Mengidera dan mencerna segala realitas yang ada di sekitarnya dan mengkajinya

    secara sederhana berdasarkan nilai-nilai yang dipelajari baik di sekolah maupun

    masyarakat. Dengan kesadaran tersebut sang anak berusaha menemukan jalan

    hidupnya dan mencari nilai tertentu, seperti kebaikan, keluhuran, kebijaksanaan,

    dan sebagainya. (Kartono, 1990: 139-148)

    Sejalan dengan proses pembangunan karakter anak, kegiatan berkesenian

    tersebut selain dapat menjadi alternatif untuk melestarikan budaya dengan tujuan

    melakukan kaderisasi dalang, mempelajari kesenian merupakan salah satu

    aktivitas yang baik bagi proses pengembangan kepribadian manusia khususnya

    anak-anak. Karena dalam kesenian tradisional banyak terkandung nila-nilai luhur,

    seperti budi pekerti, sopan santun, kebijaksanaan, dan sebagainya yang dapat

    menjadi sumber pembelajaran. Melalui kesenian, anak selalu didorong untuk

    berimajinasi dan mengenal nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dengan cara

    yang menyenangkan.

    Perumusan Masalah

    Perumusan masalah dalam tugas akhir ini adalah : “Bagaimana gambaran

    tentang upaya yang dilakukan Mudjiono dalam mencetak calon dalang muda yang

    berbudi pekerti melalui Padepokan Seni Sarotama di Desa Ngringo, Kecamatan

    Jaten, Kabupaten Karanganyar dalam format film dokumenter?”

    Tujuan

    Menunjukkan pentingnya pendidikan kesenian dalang yang dilakukan

    sejak dini dengan tujuan untuk mencetak calon-calon dalang yang mengerti akan

    nilai-nilai budi pekerti seperti yang dilakukan Mudjiono melalui padepokan Seni

    Sarotama. Sehingga diharapkan mereka mampu menjadi jawaban atas akibat

    perubahan zaman dalam pagelaran wayang di masa mendatang.

  • 5

    Tinjauan Pustaka

    1. Komunikasi dan Kebudayaan

    “Tanpa komunikasi, kebudayaan apapun akan mati…”. Cuplikan

    pendapat John Fiske dalam bagian pengantar bukunya berjudul ”Cultural And

    Communication Studies, Sebuah Pengantar Paling Komperehensif” di atas

    dengan jelas menggambarkan betapa penting peran komunikasi dalam

    kehidupan manusia (Fiske, 2004). Terlebih dalam dunia modern, komunikasi

    tidak hanya sekedar mendasari segala macam interaksi sosial yang dilakukan

    manusia di seluruh di seluruh dunia, teknologi komunikasi yang kini

    berkembang begitu pesat membuat tidak ada satu masyarakat di era modern

    yang mampu bertahan tanpa komunikasi (Rakhmad, 1991: 7).

    Terdapat keterkaitan yang erat antara unsur-unsur budaya dan

    komunikasi dalam membangun relasi dan kehidupan bersama pada sebuah

    struktur sosial. Hal ini membuat studi komunikasi kemudian selalu melibatkan

    studi tentang kebudayaan dan berintegrasi sebagai suatu kesatuan yang tidak

    dapat dipisahkan. Sebagaimana dikemukakan C. Kluchkohn kebudayaan

    diwariskan melalui suatu proses belajar dan bukan secara biologis. Oleh

    karenanya, kebudayaan merupakan pola tingkah laku yang dipelajari dan

    disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Proses pelanggengan

    budaya tersebut jelas tidak akan bisa dilakukan tanpa adanya proses

    komunikasi. Ia menyebutkan, seara umum terdapat tiga proses dalam

    mempelajari kebudayaan, antara lain;

    1. Proses belajar kebudayaan yang berlangsung sejak lahir hingga mati, yaitu

    dalam kaitanya dengan pengembangan perasaaan, hasrat, emosi dalam

    rangka pembentukan kepribadian; sekarang dikenal sebagai proses

    internalisasi.

    2. Karena makhluk manusia dalah bagian dari suatu sistem sosial, maka

    setiap individu harus selalu belajar mengenai pola-pola tindakan, agar

    dapat mengembangkan hubunganya dengan individu-individu lain di

    sekelilingnya. Proses itu kini lebih dikenal sebagai sosialisasi.

  • 6

    3. Proses enkulturasi atau pembudayaan yaitu seseorang harus mempelajari

    dan menyesuaikan sikap dan alam berpikirnya dengan sistem norma yang

    hidup dalam kebudayaan (Poerwanto, 2005: 88).

    Sedangkan menurut Panuju (1997: 59) kebudayaan merupakan output

    dari proses sosial, sekaligus sebagai cara, acuan nilai dan memberi bentuk,

    “cara” dan “proses”. Bentuk-bentuk kebudayaan ini selalu berubah seiring

    dengan proses sosial. Proses ini bersifat dinamikal, sistematik, adaptatif,

    berkesinambungan, transaksional, dan tidak mudah berganti. Peranan

    komunikasi dalam proses tersebut adalah;

    1. Bahwa komunikasi adalah saluran sosialisasi kebudayaan. Komunikasi

    tidak sekedar hanya fenomena pertukaran informasi, pengiriman dan

    penerimaan pesan. Lebih dari itu, komunikasi merupakan upaya mencapai

    saling pengertian. Melalui proses sosialisasi inilah suatu kebudayaan

    diturunkan dan kemudian disebarluaskan (diffussion)

    2. Komunikasi menyebarluaskan ide-ide baru, (inovation) sehingga manjadi

    nilai-nilai baru. Nilai-nilai ini bisa muncul dari kreativitas individu atau

    konsensus kelompok dalam suatu masyarakat.

    3. Komunikasi menyediakan kesempatan dan rentang waktu bagi anggota

    masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai baru tersebut

    (conditioning)

    4. Komunikasi dengan sifat pengkondisian persepsi interpretasi, dan

    preferensi, cenderung memperkuat kebudayaan yang telah ada

    (reinforcement)

    5. Komunikasi menyebabkan terjadinya transformasi kebudayaan (cultural

    change). Menurut Bakelson dan Steiner, transformasi kebudayaan itu

    terjadi secara perlahan-lahan dan gradual (Panuju, 1997: 59).

    2. Pagelaran Wayang

    Kesenian wayang dalam bentuk asli timbul sebelum kebudayaan Hindu

    masuk Indonesia. Pertunjukan wayang adalah sisa-sisa upacara keagamaan

    orang Jawa yaitu merupakan sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme.

  • 7

    Terdapat beberapa sumber antara lain adalah Serat Centhini dan Serat

    Sastramiruda. Menurut kedua serat tersebut, Wayang (yang berasal dari frasa

    wewayangan, yang berarti “bayangan”) kali pertama diciptakan oleh Raja

    Jayabhaya pendiri Kerajaan Kediri yang berpusat di Jawa Timur. Pada tahun

    947 Masehi, Raja Jayabhaya memerintahkan para seniman kerajaan untuk

    menggambar para leluhur Raja di atas daun lontar dan mengembangkan

    menyadur cerita dari serat Mahabarata dan Ramayana. Kumpulan berbagai

    gambar dan cerita tersebut lantas yang sekarang disebut Wayang Purwa (

    Purwa yang berarti “permulaan”).

    Perkembangan selanjutnya terjadi pada tahun 1223, di bawah

    pemerintahan Raden Pandji Rawisrengga yang juga bergelar Raja Suryamisesa

    dari kerajaan Jenggala, wayang purwa kali pertama dipertunjukkan dengan

    iringan gamelan berikut pakem-pakem tertentu dalam ceritanya. Setiap kali ada

    acara penting di istana, diselenggarakan pertunjukkan wayang purwa dengan

    Raja Suryamisesa sendiri sebagai dalangnya. Hingga pada jaman Majapahit,

    bentuk wayang purwa kemudian digubah menjadi sebentuk gulungan.

    Sehingga ketika pertunjukkan berlangsung, wayang gulungan tersebut harus di

    beber. Istilah pertunjukan wayang jenis ini disebut dengan wayang beber.

    Usai keruntuhan kerajaan Majapahit, bersamaan dengan ekspansi

    kerajaan Muslim di Indonesia, Sultan Syah Alam Akbar yang berasal dari

    kerajaan Demak (1475—1518M) memberikan instruksi untuk menggubah

    tokoh-tokoh dalam wayang purwa menggunakan kulit kerbau. wayang purwa

    kemudian dapat pula disebut sebagai wayang kulit. Pada masa ini pertunjukan

    wayang purwa/kulit disempurnakan bentuk dan pagelarannya. Muncul teknik

    pakeliran (dari kata kelir yang berarti "layar") pohon pisang untuk

    menancapkan wayang, blencong sebagai penerangan, kotak alat penyimpanan

    wayang dan cempala guna memukul kotak. Bentuk pagelaran ini semakin

    disempurnakan pada masa Kerajaan Mataram pada abad ke-16 dan bertahan

    hingga sekarang (Sukirno, 2009).

    Pada masa sekarang, perubahan-perubahan bentuk wayang tejadi

    namun secara umum tidak mematikan bentuk wayang yang lama.

  • 8

    kecenderungan yang ada justru semakin memperkaya bentuk dan jenis wayang

    di Indonesia. Perubahan fungsi pagelaran wayang juga nampak semakin

    menonjol. Jika pada masa tradisional, wayang dianggap sebagai intisari

    kebudayaan masyarakat Jawa yang diwarisi secara turun temurun, tidak

    sekedar sebagai tontonan, melainkan juga tuntunan bagaimana manusia harus

    bertingkah laku dalam kehidupannya. Sebagai perwujudan ibadah dan

    ungkapan religius masyarakatnya atau juga sebuah hukum alam yang Maha

    teratur yang harus diketahui dan disikapi secara bijaksana dalam rangka

    mencapai kehidupan yang sejati.

    3. Film Dokumenter

    Salah satu genre film yang memiliki daya argumentasi tentang

    fenomena sosial yang terjadi di masyarakat adalah film dokumenter. Karena

    film dokumenter menggunakan realitas sosial sebagai bahan mentah dalam

    menyampaikan pesan-pesannya. Kemudian, perspektif peneliti yang sekaligus

    menjadi sutradara atas fenomena yang dipilih memberikan nilai penting atas

    tujuan yang ingin dicapai. Sebagaimana disampaikan Citra Dewi Utami, bahwa

    film dokumenter merupakan narasi pembuat atas sebuah fenomena yang

    sifatnya tidak mutlak dan terbuka untuk dinegosiasikan. Pemilihan sudut

    pandang membutuhkan referensi untuk mengawali dan menguatkan

    argumentasi secara visualnya (Utami, 2010).

    John Grierson, seorang jurnalis sekaligus kritikus film adalah orang

    yang kali pertama menyematkan istilah “documentary” melalui tulisanya di

    harian New York Sun ketika membahas film berjudul Moana karya Flaherty,

    seorang penambang asal utara Kanada yang juga kreator ”Nanook of The

    North”. Pemrakarsa British Documentary Movement ini kemudian memberikan

    definisi yang hingga kini masih relevan dipakai para pengamat dokumenter

    generasi selanjutnya secara sederhana sebagai “the creative treatment of

    actualities”. Dalam kondisi ini, film dokumenter merupakan realitas baru yang

    disusun berdasarkan realitas-realitas rekaman yang didasari pemikiran-

    pemikiran tertentu. Membatasi aktualitas dan realitas dalam lingkup perlakuan

  • 9

    kreatifitas ini sejalan dengan Aufderheide, yang menjelaskan bahwa

    dokumenter merupakan potret kehidupan nyata, menggunakan kehidupan nyata

    sebagai bahan bakunya, dibangun oleh seniman dan teknisi yang membuat

    serangkaian keputusan-keputusan tentang kisah apa yang akan diceritakan

    kepada audiensnya, dan untuk tujuan apa (Aufderhide, 2007: 2).

    Metodologi

    Dalam proses pengumpulan data, pembuatan film dokumenter ini

    menggunakan metode studi pustaka, observasi dan wawancara. Studi pustaka

    digunakan untuk mendapatkan data awal mengenai teori dan konsep dasar.

    Metode observasi (observation research) dilakukan untuk melacak secara

    sistematis dan langsung gejala-gejala komunikasi terkait dengan persoalan-

    persoalan sosial, politis, dan kultural masyarakat. Metode wawancara merupakan

    alat pengumpulan data yang sangat penting yang melibatkan manusia sebagai

    subjek (pelaku, aktor) sehubungan dengan realitas atau gejala yang dipilih untuk

    diteliti. Kedua metode tersebut bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi

    yang dibutuhkan dalam penyusunan tugas akhir (Pawito, 2007: 132).

    Observasi dilakukan oleh peneliti selama satu bulan yakni pada bulan

    Januari 2012 di Padepokan Seni Sarotama dan melakukan wawancara kepada

    Mudjiono, pendiri sekaligus pengelola padepokan, Satriya dan Woro, siswa di

    Padepokan Sarotama, berikut orang tua mereka, dan Arif Hartata, dosen, dalang,

    sekaligus seorang pengamat pedalangan asal Klaten.

    Deskripsi Lokasi: Padepokan Seni Sarotama

    Padepokan Seni Sarotama merupakan sanggar seni yang didirikan oleh

    Mudjiono, S. Kar. pada tahun 1993. Kemudian seiring bertambahnya anak didik,

    Padepokan Seni Sarotama kemudian memperluas bidang latihannya seperti seni

    tari, dan karawitan. Padepokan yang bertempat di Desa Ngringo, Kecamatan

    Jaten, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah ini kemudian menjadi ajang

    pendidikan untuk anak-anak yang ingin mengenal kesenian tradisional.

  • 10

    Tujuan pendidirian sanggar ini sejalan dengan nama Sarotama sendiri yang

    diambil dari nama busur panah yang biasa dibawa oleh tokoh wayang Janoko,

    "Ibaratnya, jika kita salah mengarahkan busurnya, maka anak ini akan meleset

    dari tujuan, begitupun sebaliknya", jelas Mudjiono ketika diwawancarai pada 15

    Maret 2013 lalu.

    Gambar 1 Mudjiono

    Sumber: Dokumen Pribadi

    Padepokan ini menganut sistem kekeluargaan dalam melaksanakan proses

    pendidikannya. Tidak adanya kurikulum tetap dikarenakan Mudjiono

    berkeyakinan bahwa setiap anak memiliki pola perkembangannya masing-masing.

    Konsep tersebut semata-mata didasari pengalamannya mengajari kesenian pada

    anak selama bertahun-tahun. Itulah kenapa sistem kekeluargaan menjadi sistem

    yang paling baik di sini". Pembiayaan untuk pengelolaan didapatkan melalui

    sumbangan secara sukarela dari orang tua anak-anak didik tanpa dibatasi

    nominalnya.

    Selain itu, Mudjiono memiliki pandangan bahwa garapan wayang baru

    yang kini sedang populer dianggap semakin menjauh dari etika dan tuntunan

    pakem pedalangan. Model pagelaran yang terlalu vulgar dan mengutamakan

    komedi dianggapnya tidak sesuai dengan etika budaya orang Jawa yang

    menjunjung tinggi norma kesopanan. Kekhawatirannya atas semakin

    terdistorsinya citra dalang di mata masyarakat ini juga yang mendorongnya

    semakin getol merekrut para calon dalang untuk dididik menjadi bibit-bibit

    dalang yang tidak hanya mampu melestarikan budaya tradisional, tapi juga

    membangun budi pekerti dan mental bangsa Indonesia.

  • 11

    Sajian dan Analisa Data

    1. Judul

    SAROTAMA

    2. Durasi

    24 menit 16 detik

    3. Audiens

    Masyarakat umum

    4. Lokasi

    Padepokan Seni Sarotama, Laweyan, Klaten, dan beberapa lokasi di

    sekitaran Kota Solo.

    5. Film Statement

    Kesenian tradisional wayang dikenal merupakan media yang efektif

    dalam menyampaikan pesan juga nilai-nilai budi pekerti luhur kepada

    masyarakat. Namun, kondisi masyarakat sekarang memaksa para dalang untuk

    memanfaatkan pagelaran wayang menjadi lebih condong sebagai tontonan

    daripada tuntunan sekalipun seringkali meninggalkan pakem-pakem berikut

    ajaran mengenai budi pekerti yang tersimpan di dalamnya. Mudjiono, seorang

    pegiat wayang berusaha mempertahankan nilai-nilai luhur dalam ajaran

    wayang dengan mendirikan padepokan Sarotama, sebuah sanggar pendidikan

    untuk dalang sejak usia dini. Diharapkan, upayanya tersebut akan mampu

    menjawab kebutuhan masyarakatt masa kini tanpa perlu menghilangkan unsur-

    unsur budi pekerti dalam pagelaran wayang.

    Ringkasan Film

    Film dokumenter ini terdiri dari 3 bagian yang terdiri dari 5 sekuen.

    Bagian pertama adalah bagian Pembuka yaitu pada sekuen 1 dan 2, kemudian

    bagian Isi/Konten yakni pada sekuen 3, kemudian bagian penutup pada sekuen

    4 dan 5. Bagian pembuka menjelaskan mengenai perkembangan wayang

    secara umum, dan alasan pendirian padepokan. Bagian isi/konten berisi

    pendapat dan pandangan mengenai sistem dan metode pengajaran pada

  • 12

    padepokan sarotama. Bagian penutup berisi harapan dan penjelasan mengenai

    nama Sarotama pada padepokan Sarotama. Adapun penjelasan isi tiap sekuen

    adalah sebagai berikut:

    Sekuen 1

    Film dibuka dengan video teaser dan kolase potongan-potongan video

    pagelaran wayang kemudian diakhiri dengan animasi judul film. Dalam film

    dokumenter ini selain untuk menunjukkan judul film, video teaser digunakan

    juga sebagai penarik perhatian, menciptakan rasa penasaran, dan memberi

    waktu audiens untuk mempersiapkan diri sebelum menyimak konten yang

    akan disampaikan film secara lebih dalam.

    Sekuen 2

    Pada sekuen 2, berisi penjelasan mengenai perkembangan pagelaran

    wayang dalam lingkup sejarah dan fungsinya dari masa ke masa sekaligus

    menjelaskan aspek kritis mengenai kondisi dunia pedalangan pada masa

    sekarang serta alasan utama mengapa Mudjiono mendirikan sanggar

    SAROTAMA. Pada sekuen ini, wawancara dilakukan pada Arif Hartata

    sebagai pengamat wayang di wilayah Solo dan sekitarnya dan Mudjiono

    sebagai pengelola sekaligus pendiri Padepokan Sarotama.

    Sekuen 2 diawali oleh penjelasan Arif Hartata mengenai

    perkembangan wayang dalam lingkup sejarah dan fungsinya;

    "Teks wayang atau cerita wayang itu namannya itihasa, jadi

    babon induknya bernama itihasa, itihasa itu ada adalah ramayana dan

    mahabarata dari india. Itihasa ini yang salah satunya adalah

    mahabarata itu digubah pada masa darmawangsa teguh kita bias lihat di

    adi parwa jawa kuna itu sudah lain ceritanya sudah lain, disesuaikan

    dengan kondisi alam indonesia. Begitu juga kita lihat kakawin arjuna

    wiwaha sudah jawa sekali jadi bukan india. Nah mulai sejak itu mulai

    ada pertunjukan-pertunjukkan wayang yang ceritanya itihasa tadi.

    Kemudian wayang itu kemudian digunakan sebagai sarana ritual,

    pemujaan pada nenek moyang lewat bayang-bayang. Karena dipercaya

    ada roh leluhur para pitare yang hadir dalam bayang-bayang tadi.

    Awalnya sebagai sarana ritual. Kemudian berlanjut-berlanjut sampai

    pada masa islam, wayang digunakan sebagai media dakwah, kemudian

  • 13

    sampai pada masyarakat sekarang wayang itu digunakan sebagai sarana

    mengangkat darjah social. Contoh orang desa berani menanggap pak

    anom suroto wah kae wong sugeh hebat ya, begitu. Secara singkatnya

    begitu sejarah perkembangan wayang. Mulai itu buat kepentingan sastra,

    puja, dan kepentingan yang lain, dakwah dan yang lain." (Wawancara

    Arif Hartata, pengamat pewayangan, Trucuk, Klaten, 28 Februari 2013)

    Gambar 2 Arif Hartata

    Sumber: Dokumen Pribadi

    Proses perubahan fungsi pagelaran wayang dari waktu ke waktu

    dijelaskan secara singkat dan padat oleh Arif Hartata. Selanjutnya narasumber

    juga menyinggung aspek kritis melalui ungkapan tentang kehidupan para

    dalang pada masa kini tersebut, sebagai berikut;

    "Fenomena yang terjadi, ini dalang, saya bercerita apa adanya,

    kehidupan dalang itu agak gimana gitu, sedikit menyimpang dari etika-

    etika yang disepakati umum, misalkan hubungan mereka dengan para

    biduan-biduan artinya yang bukan muhrimnya, dan itu dicontoh anak-

    anak lho jangan salah, itu artinya ya, dalang itu ngudhal piwulang dalang

    kan guru masyarakat yang jadi dalang itu ya jadi dalang sing apik, yang

    bias member contoh lhawong dhalang yang diwulang ae ora iso ngewehi

    contoh sing apik ya ditiru karo sing cah cilik-cilik." (Wawancara Arif

    Hartata, pengamat pewayangan, Trucuk, Klaten, 28 Februari 2013)

    Pernyataan Arif Hartata jelas menunjukkan adanya perubahan fungsi

    pagelaran wayang yang merupakan implikasi dari perilaku dalang. Dalang

    yang semestinya menjadi panutan tidak seharusnya melakukan hal yang

    tercela dan melanggar norma kesopanan dan kesusilaan.

    Pernyataan ini kemudian disusul dengan ungkapan keprihatinan dari

    Mudjiono terhadap pola perkembangan pagelaran wayang dan hubungannya

    dengan dalang pada masa sekarang. Keprihatinan tersebut menjadi alasan

  • 14

    mengapa Mudjiono mendirikan padepokan Sarotama tersebut. Hal tersebut

    terungkap pada wawancara sebagai berikut:

    "Seni itu fungsinya untuk dihayati tidak digunakan sekedar hura-

    hura, kalau hura-hura nantinya menghalalkan dan membebaskan segala

    cara akhirnya jadi seperti ini, masak ya seniman itu, ada tamu aja dijak

    nyanyi, lha ini kan sudah, menurut saya ya, sopan santunnya sudah nggak

    ada, ini makanya anak2 nuwun sewu, banyak yang tidak punya sopan,

    unggah ungguh ya karena melihatnya ya sudah seperti itu. Memang

    penggemarnya sudah generasi muda muda ini kalau diberi menu

    pertunjukan yang ala dulu itu sudah ndak seneng,jadi sekarang itu

    garapannya sudah jauh dari apa yah, tuntunan ya, pakem. Misalnya gini,

    banyak dhalang yang keluar dari relnya itu karena apa, dhalang dengan

    sinden itu bisa seenaknya, sinden dengan dhalang sudah begitu bebas, ini

    padahal etika jawa ndak seperti itu, nah melihat dari kenyataan itu, saya

    terus getol sekali, terus saya mendirikan sanggar ini." (Wawancara

    Mudjiono, Pendiri Padepokan Sarotama, Njaten, Karanganyar, 16 Maret

    2013)

    Sekuen ditutup dengan cuplikan dokumentasi pagelaran wayang anak-

    anak dari Padepokan Sarotama pada tanggal 9 Maret 2013 di Ds. Nggulon,

    Kec. Kentingan, Surakarta.

    Sekuen 3

    Pada sekuen ini dijelaskan mengenai metode pengajaran dan konsep

    yang digunakan oleh Mudjiono dalam sanggar Sarotama dalam mendidik para

    calon dalang muda tersebut. Dijelaskan juga mengenai pengalaman dan

    pandangan orang tua siswa yang telah mengikuti pendidikan di sanggar

    Sarotama serta pandangan pengamat mengenai efektifitas metode tersebut

    dalam mencetak calon dalang. Wawancara dilakukan pada Ali Martopo, orang

    tua dari Satriya, dalang anak berusia 11 tahun salah satu murid di padepokan

    Sarotama, Arif Hartata sebagai pengamat wayang di wilayah Solo dan

    sekitarnya dan Mudjiono sebagai pengelola sekaligus pendiri Padepokan

    Sarotama.

    Pada sekuen 3 ini gambar diawali dengan suasana latihan di

    Padepokan Sarotama. Diselingi wawancara mengenai pandangan, alasan, dan

    metode yang digunakan Mudjiono dalam mendidik para dalang bocah dalam

  • 15

    padepokan Sariotama. Pandangan narasumber tergambar pada wawancara

    yang dilakukan sebagai berikut:

    "Saya melihat anak-anak itu sangat potensial, dan istilahya saya

    njegur karena banyak anak muda yang belum ada wadah untuk bergerak,

    kalau anaknya dhalang otomatis mengikuti jejak orang tuanya, pakdenya

    atau keluarganya, lha tapi kalau bukan? Siapa? Salah satu contoh di

    sanggar ini justru 80 persen bukan anak seniman, justru dari kalangan

    mereka ada yang dari perusahaan batik, mungkin ada yang jual sate

    ideran itu tho, dadi macem-macem. Ternyata mereka ada panggilan untuk

    mencintai seni."(Wawancara Mudjiono, Pendiri Padepokan Sarotama,

    Njaten, Karanganyar, 16 Maret 2013)

    Kemudian penjelasan Mudjiono berlanjut dengan sistem pengajaran

    dan metode yang digunakan untuk mendidik para calon dalang di padepokan

    Sarotama;

    "Di sini ndak ada sistem tahun ajaran ya, jadi setiap saat bisa

    masuk, dan juga tidak ada sistem lulusan, jadi mungkin kelas 6 aja sudah

    bisa lulus. Saya anggap lulus karena apa, karena mereka sudah mampu,

    ndalang sudah, ee karena sudah kita tanamkan pakeliran itu kerangkanya

    ni ini ini, pakemnya ini ini sudah secara vocabulary, apa ini unsur-unsur

    pedhalangan sudah kita berikan jadi anak tinggal ceritanya ini tinggal

    ganti aja intinya ini, kerangkanya sudah. Maka kelas 5 kelas 6 apalagi

    smp sudah dengan sendirinya sudah memisah. Ya memang sistem kita,

    sistem keluarga maka sistem bulanan pun tudak ada, ada yang ngasih

    berapa terserah, tapi besar kecilnya ndak ada patokan itu, kita memang

    ndak mematok itu..." (Wawancara Mudjiono, Pendiri Padepokan

    Sarotama, Njaten, Karanganyar, 16 Maret 2013)

    Gambar beralih pada Ali Martopo, orang tua dari Satriya, salah

    seorang dalang anak yang belajar di Padepokan Sarotama. Ia menjelaskan

    tentang pengalaman selama mengawal anaknya mengikuti pelatihan di

    Padepokan Sarotama.

    "Dulu pertama dia (Satriya. pen) awalnya suka sama tari, terus

    setelah ikut sanggar tari, dia lihat wayang kulit di televisi itu. Di tv kan,

    itu kadang ada acara goro-goro itu, dia suka. Setelah dari televisi itu dia

    nyuwun belajar ndalang. Lha terus karena saya nggak tahu dimana

    tempatnya belajar ndalang ya saya cari-cari informasi ke temen-temen,

    akhirnya ketemu saya disarankan untuk sowan pak mudji di Sarotama."

    "Kalau harapan sih saya nggak pernah punya harapan anak jadi

    dhalang gitu nggih, jadi karena dia punya minat sama bakat di situ ya,

    saya mencoba memfasilitasi-lah, bagaimanapun kan itu kegiatan positif

  • 16

    nggih, dan itu juga sekarang kan anak-anak juga sudah, yang seneng

    dengan seni tradisional kan sudah langka, saya anggap itu sebagai suatu

    anugerah. Makanya ya sudah saya dorong aja masalah besok dia mau

    jadi apa ya terserah dia." (Wawancara Ali Martopo, orang tua Satriya,

    Laweyan, Solo, 02 April 2013)

    Ali Martopo menunjukkan dukungan yang besar terhadap minat dan

    bakat anaknya, Satriya tanpa harus memaksa. Sekuen 3 kemudian ditutup oleh

    pandangan Arif Hartata mengenai metode pendidikan yang digunakan dalam

    padepokan Sarotama sekaligus harapan Ali Martopo kepada Satriya dalam

    konteks pendidikan dalang yang tengah ditempuhnya di Padepokan Sarotama.

    Gambar 3 Satriya & Keluarga Ali Martopo

    Sumber: Dokumen Pribadi

    Arif Hartata mengungkapkan pandangan mengenai besarnya potensi

    yang dapat dikembangkan oleh anak-anak didik di padepokan Sarotama. Hal

    tersebut tergambar dalam wawancara sebagai berikut:

    "Awalnya sih saya sarankan ikuti saja alur yang sudah ditempuh,

    kedewasaan kan akan terpupuk. Saya yakin semakin dewasa semakin

    dewasa mereka akan semakin mencari untuk menjadi dalang yang hawi

    carito hawi sastro mardowo lagu, hangabehi-lah untuk semua yang

    berhubugan dengan pedhalangan. Selama ini kan yang digodog betul kan

    teknis di pakelaran, teknis-teknis, skill, coba sekarang tidak hanya itu, dia

    mulai belajar teknik sastra, dramatik, itu kan pasti akan lebih baik, ora

    mung perange lincah nganti ora ketok karena ada hal lain karena wayang

    yang diakui sebagai seni tradisi adiluhung itu ora mung sabete, ora mung

    dramane, tapi kan metafora-metafora sastranya yang unik, karena sastra

    jawa itu kan unik dan luar biasa kalau menurut saya, cuma itu perlu digali

    lagi dan diajarkan lagi kepada masyarakat". (Wawancara Arif Hartata,

    pengamat pewayangan, Trucuk, Klaten, 28 Februari 2013)

  • 17

    Sedangkan harapan Ali Martopo terhadap Satriya menggambarkan

    adanya dukungan yang positif terhadap proses pendidikan di padepokan

    Sarotama yang tengah dilakukan oleh Satriya. Hal tersebut dapat digambarkan

    melalui wawancara sebagai berikut;

    "Kita sebagai orang tua tut wuri handayani saja. Kalau untuk

    target sih saya nggak ada, yang penting anak ada kegiatan positif ya mau

    tekun dengan bakatnya itu ya sudah monggo yang penting sejauh yang

    kita bisa ya kita support. Tapi misalnya suatu saat dia bener-bener jadi

    dhalang ya biar jadi dalang yang bisa jadi panutan, gitu."(Wawancara Ali

    Martopo, orang tua Satriya, Laweyan, Solo, 02 April 2013)

    Sekuen 4

    Pada sekuen ini, dijelaskan mengenai harapan-harapan dari Mudjiono

    terhadap anak-anak didiknya di Padepokan Sarotama nanti di masa depan

    serta penjelasan mengenai makna nama "Sarotama" yang diangkatnya menjadi

    nama Padepokan.

    "Saya punya cita-cita atau harapan ke depan, andaikata mereka

    jadi seniman dhalang, ya jadilah seniman dhalang yang mengutamakan

    ini akhlak. Jangan sampai larut kepada masyarakat pada umumnya,

    seniman pada umumnya, karena apa, karena saya melihat, dhalang-

    dhalang itu hampir semua hanya materi. Jarang sekali dhalang itu yang

    ikut berpartisipasi, disamping nguri-uri, tapi bagaiman untuk

    mengangkat apa, moral bangsa ini. Terutama benerasi penerus. Jadi

    tidak semacam dicekoki elek-elek kono, ini kan sudah nggak pas, dhalang

    yang menceritakan di pakeliran itu sudah sangat-sangat luar biasa kok,

    cerita wayang itu saja mengandung filsuf yang luar biasa, pendidikan

    yang luar biasa, itu saja dijalankan udah bagus, mengapa harus dengan

    ini, maaf ini, ceritanya itu hilang, arah pedhalangan itu hilang, ya itu

    tadi, sudah. Pelawak sudah ini, maka anak saya harapkan. Harapan ke

    depan anak di sanggar ini menjadi satu generasi dalang yang

    mengutamakan ini budaya bangsa yang adiluhung itu ya betul-betul

    adiluhung itu ya dijunjung. Jangan adiluhung pas diucapkan

    saja."(Wawancara Mudjiono, Pendiri Padepokan Sarotama, Njaten,

    Karanganyar, 16 Maret 2013)

    Harapan Mudjiono ini bisa jadi merupakan konklusi semua pesan film

    yang hendak disampaikan, yakni tujuan dari upaya yang dilakukan oleh

    Mudjiono selama ini. Karena film dokumenter ini bukan hendak

    menggambarkan sebuah keberhasilan atau kegagalan suatu usaha, melainkan

  • 18

    menggambarkan sebuah proses dari upaya seseorang yang disertai harapan

    untuk mencapai keberhasilan. Argumen-argumen dari narasumber lainnya

    diambil dengan maksud memperkuat harapan dari Mudjiono tersebut.

    Pada sekuen ini, gambar ditutup dengan rangkaian animasi teks yang

    berisi makna nama Sarotama pada padepokan Sarotama yang pernah

    diungkapkan Mudjiono pada salah satu surat kabar nasional.

    "Sarotama diambil dari nama senjata panah yang dibawa oleh

    tokoh wayang Janoko Ibaratnya siswa di sanggar ini adalah anak panah

    yang apabila kita salah mengarahkan busurnya,maka anak juga akan

    melesat ke arah yang salah..." (Mudjiono, KOMPAS 14 Maret 2013)

    Sekuen 5

    Pada sekuen 5 dimunculkan animasi crawling text atau teks yang

    bergerak perlahan-lahan keatas yang berisi seluruh nama dan jabatan kerabat

    kerja yang terlibat dalam produksi film dokumenter atau biasa disebut dengan

    istilah Credit title

    Kesimpulan & Saran

    a. Kesimpulan

    1. Perkembangan pagelaran wayang di Indonesia dari waktu ke waktu telah

    mengalami perubahan baik segi bentuk, ragam, isi maupun fungsinya.

    Perubahan zaman membuat kebutuhan manusia semakin berubah, dan hal

    tersebut berpengaruh pada perkembangan pementasan wayang pada masa

    kini cenderung ke arah tontonan atau hiburan daripada tuntunan.

    2. Dalang sebagai penampil pagelaran wayang memiliki andil yang besar

    dalam proses perkembangan pagelaran wayang yang terjadi pada masa

    sekarang.

    3. Upaya melakukan pendidikan dalang sejak dini seperti pada padepokan

    Sarotama dapat menjadi alternatif masyarakat dalam melakukan upaya

    melestarikan budaya tradisional khususnya Wayang, selain sebagai upaya

    pendidikan moral dan budi pekerti

  • 19

    b. Saran

    1. Karena perubahan zaman tidak mungkin dibendung, Masyarakat harus

    sadar dan ikut berperan serta mengawal perubahan-perubahan sosial yang

    terjadi di masyarakat agar tidak menyimpang dari norma dan etika yang

    sudah disepakati.

    2. Masyarakat maupun pegiat seni tradisional harus mulai menganggap

    pendidikan dalang sebagai penting dalam proses regenerasi dalang yang

    pada akhirnya berpengaruh pada proses perkembangan pagelaran wayang

    3. Masyarakat harus mulai mendorong dan mendukung kegiatan-kegiatan

    sosial yang bertujuan menyelenggarakan upaya pendidikan kebudayaan

    seperti yang dilakukan padepokan Sarotama agar proses regenerasi dalang

    dan perkembangan wayang dapat berjalan tanpa menyimpang dari nilai

    dan norma dalam masyarakat.

    Daftar Pustaka

    Aufderheide. (2007). Documentary Film, A very Short Introduction. Oxford

    Univerity Press, New York

    Citra Dewi Utami. 2010. Film Dokumenter Sebagai Media Pelestari Tradisi

    Fiske, John. (2004). Cultural And Communication Studies, Sebuah Pengantar

    Paling Komperehensif. Yogyakarta: Jalasutra

    Hastjarjo, Sri. (2012). Serat Sastra Miruda: a Javanese Perspective on the

    Communicator Competency

    Hofstede, Greets & McCrae, Robert R. 2004. Personality and Culture Revisited,

    Linking Traits and Dimensions of Cultures

    Kartono, K. (1990). Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan Anak). Bandung:

    Mandar Maju.

    Koentjoroningrat. (1989). Budaya Mentalitas dan Pembangunan. PT Gramedia:

    Jakarta

    Mulyana, Deddy. (2001). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja

    Rosdakarya.

    Panuju, Redi. (1997). Sistem Komunikasi Indonesia. Pustaka Pelajar; Jogjakarta.

    Pawito, (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. LkiS: Yogyakarta

    Purwanto, Ngalim. (2004). Psikologi Pendidikan, Bandung: PT Remaja

    Rosdakarya.

    Rakhmat, Jalaluddin. (1991). Psikologi Komunikasi Edisi Revisi. Remaja

    Rosdakarya: Bandung.

    Septian Eko Yuliantoro. (2012). Penanaman Nilai-Nilai Budi Pekerti Pada Anak

    Melalui Kesenian Tradisional

  • 20

    Sukirno. (2009). Hubungan Wayang Kulit dan Kehidupan Sosial Masyarakat

    Jawa. Jurnal Brikolase Vol. 1