1
itu menyayangkan pelajaran wayang belum menjadi mata pelajaran utama. Pelajaran wayang baru sekadar masuk ke pelajaran muatan lokal. “Ini yang membuat saya membawa berbagai jenis wayang ke sekolah. Awalnya, anak-anak bingung. Namun, saya coba untuk menjelaskan secara sederhana dan mereka senang. Intinya, menanamkan rasa kecintaan dulu,” jalas Donny. Wayang merupakan seni pertunjukan asli Indonesia. Awalnya, kesenian ini berkem- bang pesat di Pulau Jawa dan Bali. Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) memasukkan wayang sebagai Daftar Waris- an Dunia pada 2003. Melalui pengakuan itu, wayang terus dipromosikan sebagai cagar budaya. “Kami ikut membawa wayang ke luar negeri. Salah satunya mempromosikan wayang ke Jepang. Tahun de- pan, kami akan mempromosi- kan wayang Nusantara ke Af- rika. Ini yang menjadi agenda program kami,” tukasnya. Pengalihan bahasa Dalam tradisi pewayangan, bahasa yang digunakan ialah bahasa Jawa kuno. Nilai lo- sofi yang ada begitu kental. Apalagi, bahasa wayang ialah bahasa sakral. Namun, dengan perubahan zaman, segelintir dalang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa uta- ma dalam pementasan. Peng- gunaan bahasa Indonesia da- lam wayang, kata Donny, me- mang baik. Namun, lanjutnya, akan terjadi sebuah perubahan penafsiran. Bahasa Indonesia sangat universal. Bila seorang abdi berbicara dengan raja, akan sulit. “Jadi, roh dan spirit losobisa ilang. Inti lososendiri kan ada dalam bahasa itu. Saya IWAN KURNIAWAN S EBAGAI bagian dari kecintaan untuk meles- tarikan budaya Indone- sia, Museum Wayang Kekayon, Yogyakarta, ikut mendirikan sebuah stan pa- meran pada ajang World and Culture Heritage (WNCH) di Bali International Convention Center, Nusa Dua, Bali, dua pekan lalu. Bermacam-macam wayang dipamerkan. Mulai dari wayang kontemporer hingga wayang kulit. Wayang yang di- pamerkan bukanlah sembarang wayang. Ada unsur filosofis yang ada dalam setiap jenis wayang itu. Beberapa pengunjung asing yang hadir di stan tersebut terkadang bingung. Di saat itu- lah, Direktur Museum Wayang Kekayon RM Donny S Mega- nanda sesekali memberikan penjelasan. Maklum, wayang- wayang yang dipamerkan memang jarang diketahui kha- layak umum. “Ini belum semua yang saya bawakan dari Yogyakarta. Masih ada ratusan lainnya. Saya menjaga wayang-wayang ini karena merasa terpanggil,” ujar Donny, sambil melayani pertanyaan-pertanyaan dari para pengunjung. Museum Wayang Kekayon Yogyakarta menghadirkan berbagai jenis wayang kulit, yang meliputi wayang purwa, wayang madya, wayang gedog, wayang dupara, wayang wahyu, wayang suluh, wayang kancil, dan wayang calonarang. Lalu, ada wayang krucil, wayang ajen, wayang sasak, wayang sadat, serta wayang parwa. Koleksi yang ditampilkan dibuat sejak abad ke-6 sampai abad ke-20. Museum ini didi- rikan pada 23 Juli 1990 oleh seorang dokter spesialis kese- hatan jiwa Soedjono Prawiro- hadikusumo, ayah Donny. “Saat ayah meninggal, sau- dara-saudara saya mulai sibuk dengan profesi mereka ma- sing-masing. Ya, saya bernazar untuk menjaga museum ini. Ini sangat menyenangkan,” ujar ayah tiga anak itu. Dalam mengemban tugas sebagai ‘penjaga museum’, Donny mengaku masih me- nemukan kendala, terutama menumbuhkan niat anak-anak muda untuk mengunjungi mu- seum. Namun, setahun silam ia berhasil membuat sebuah pro- gram, yaitu membawa wayang ke sekolah-sekolah di Kota Gudeg tersebut. Sebagai upaya untuk me- lestarikan wayang kulit, adik pakar telematika Roy Suryo RM DONNY S MEGANANDA MENJAGA KEKAYON Mengabadikan seluruh hidup untuk menjaga wayang kulit menjadi amanah yang diambil Donny sebagai sebuah nazar. MI/RAMDANI MEDIA INDONESIA | SENIN, 5 DESEMBER 2011 | HALAMAN 32 S O SOK BIODATA Nama: RM Donny S Megananda Istri: Andriani Kusuma Dewi, 31 Anak: 3 orang (Ajeng, 5, Adinda, 4, dan Aisha, 3) Tempat dan Tanggal Lahir : Yogyakarta, 19 Juli 1974 Pekerjaan: Budayawan, Direktur Museum Wayang Kekayon Pendidikan: Program Studi Geografi, Universitas Gadjah Mada (1992-2000), Magister Manajemen Univer- sitas Gadjah Mada (2001-2004) Organisasi: Ketua Panitia Festival Museum DI Yogyakarta (2007) Ketua II Asosiasi Museum, Badan Musyawarah Musea (2005- 2010) dan (2010-2015) Prestasi : Pemuda pelopor kebudayaan dari Pemprov DI Yogyakarta (2005) Museum Kekayon telah ia pe- gang teguh sejak awal museum berdiri. Bagi Donny, melalui wayang ia dapat berkelana ke berbagai pelosok daerah. Ia bisa bebas memperkenalkan wayang kepada anak-anak hing- ga orang asing. Baginya, wayang dapat menjadi awal untuk men- jaga kebudayaan leluhur. Sebuah warisan adiluhung yang patut dijaga hingga generasi-generasi berikutnya. (M-6) [email protected] kira, seyogianya menggunakan bahasa Jawa,” paparnya. Sebagai sosok yang menge- tahui dunia pewayangan, ia mengaku sempat belajar men- jadi dalang. “Terkadang seniman me- ngira saya alumnus sekolah seni rupa. Padahal, alumnus geografi,” cetusnya seraya memainkan sebuah wayang gedhok. Melihat perkembangan wayang kontemporer, menu- rutnya, tak berpatok pada kisah Ramayana dan Mahabarata. Untuk itu, setiap dalang berhak membawakan lakonnya secara bebas. “Kesenian jathilan (kuda kepang), jaranan, reog pono- rogo, ketheg ogleng (tarian kera) aslinya adalah cerita Panji. Ini yang membedakan wayang kontemporer dengan wayang kulit,” jelasnya. Menurutnya, wayang kon- temporer selalu mengikuti zaman. Pakem yang ada sa- ngat berbeda dengan wayang purwa. Ia mencontohkan Yog- yakarta, akhir-akhir ini, ada masalah keistimewaan. Nah, wayang suluh (bergambar Soekarno) telah bermetamor- fosis menjadi wayang repub- lik. “Wayang republik itu timbul karena kegelisahan masyarakat sehingga mengalami perubah- an. Yang mengubahnya adalah kegalauan dalam masyarakat sendiri,” ujarnya. Kenapa Anda tidak menjadi dalang? Ia hanya tersenyum seraya menancapkan sebuah wayang ke batang pisang. “Saya tak mau salah. Supaya tak salah, saya tak pernah men- jadi dalang. Saya hanya mau menjadi penjaga,” ucapnya, dengan nada serius. Tak dimungkiri, niat untuk menjadi penjaga wayang di

RM DONNY S MEGANANDA MENJAGA KEKAYON · dipamerkan. Mulai dari wayang kontemporer hingga wayang kulit. Wayang yang di-pamerkan bukanlah sembarang wayang. Ada unsur filosofis yang

  • Upload
    volien

  • View
    238

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: RM DONNY S MEGANANDA MENJAGA KEKAYON · dipamerkan. Mulai dari wayang kontemporer hingga wayang kulit. Wayang yang di-pamerkan bukanlah sembarang wayang. Ada unsur filosofis yang

itu menyayangkan pelajaran wayang belum menjadi mata pelajaran utama. Pelajaran wayang baru sekadar masuk ke pelajaran muatan lokal.

“Ini yang membuat saya membawa berbagai jenis wayang ke sekolah. Awalnya, anak-anak bingung. Namun, saya coba untuk menjelaskan secara sederhana dan mereka senang. Intinya, menanamkan rasa kecintaan dulu,” jalas Donny.

Wayang merupakan seni pertunjukan asli Indonesia. Awalnya, kesenian ini berkem-bang pesat di Pulau Jawa dan Bali. Organisasi Pendidikan,

Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) memasukkan wayang sebagai Daftar Waris-an Dunia pada 2003. Melalui pengakuan itu, wayang terus dipromosikan sebagai cagar budaya.

“ K a m i i k u t m e m b a w a wayang ke luar negeri. Salah satunya mempromosikan wayang ke Jepang. Tahun de-pan, kami akan mempromosi-kan wayang Nusantara ke Af-rika. Ini yang menjadi agenda program kami,” tukasnya.

Pengalihan bahasaDalam tradisi pewayangan,

bahasa yang digunakan ialah

bahasa Jawa kuno. Nilai fi lo-sofi yang ada begitu kental. Apalagi, bahasa wayang ialah bahasa sakral. Namun, dengan perubahan zaman, segelintir dalang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa uta-ma dalam pementasan. Peng-gunaan bahasa Indonesia da-lam wayang, kata Donny, me-mang baik. Namun, lanjutnya, akan terjadi sebuah perubahan penafsiran. Bahasa Indonesia sangat universal. Bila seorang abdi berbicara dengan raja, akan sulit.

“Jadi, roh dan spirit fi losofi bisa ilang. Inti fi losofi sendiri kan ada dalam bahasa itu. Saya

IWAN KURNIAWAN

SEBAGAI bagian dari kecintaan untuk meles-tarikan budaya Indone-sia, Museum Wayang

Kekayon, Yogyakarta, ikut mendirikan sebuah stan pa-meran pada ajang World and Culture Heritage (WNCH) di Bali International Convention Center, Nusa Dua, Bali, dua pekan lalu.

Bermacam-macam wayang dipamerkan. Mula i dar i wayang kontemporer hingga wayang kulit. Wayang yang di-pamerkan bukanlah sembarang wayang. Ada unsur filosofis yang ada dalam setiap jenis wayang itu.

Beberapa pengunjung asing yang hadir di stan tersebut terkadang bingung. Di saat itu-lah, Direktur Museum Wayang Kekayon RM Donny S Mega-nanda sesekali memberikan penjelasan. Maklum, wayang-wayang yang dipamerkan memang jarang diketahui kha-layak umum.

“Ini belum semua yang saya bawakan dari Yogyakarta. Masih ada ratusan lainnya. Saya menjaga wayang-wayang ini karena merasa terpanggil,” ujar Donny, sambil melayani pertanyaan-pertanyaan dari para pengunjung.

Museum Wayang Kekayon Yogyakarta menghadirkan berbagai jenis wayang kulit, yang meliputi wayang purwa, wayang madya, wayang gedog, wayang dupara, wayang wahyu, wayang suluh, wayang kancil, dan wayang calonarang. Lalu, ada wayang krucil, wayang ajen, wayang sasak, wayang sadat, serta wayang parwa.

Koleksi yang ditampilkan dibuat sejak abad ke-6 sampai abad ke-20. Museum ini didi-rikan pada 23 Juli 1990 oleh seorang dokter spesialis kese-hatan jiwa Soedjono Prawiro-hadikusumo, ayah Donny.

“Saat ayah meninggal, sau-dara-saudara saya mulai sibuk dengan profesi mereka ma-sing-masing. Ya, saya bernazar untuk menjaga museum ini. Ini sangat menyenangkan,” ujar ayah tiga anak itu.

Dalam mengemban tugas sebagai ‘penjaga museum’, Donny mengaku masih me-nemukan kendala, terutama menumbuhkan niat anak-anak muda untuk mengunjungi mu-seum. Namun, setahun silam ia berhasil membuat sebuah pro-gram, yaitu membawa wayang ke sekolah-sekolah di Kota Gudeg tersebut.

Sebagai upaya untuk me-lestarikan wayang kulit, adik pakar telematika Roy Suryo

R M D O N N Y S M E G A N A N D A

MENJAGA KEKAYON Mengabadikan seluruh hidup untuk menjaga wayang kulit menjadi amanah yang diambil Donny sebagai sebuah nazar.

MI/RAMDANI

MEDIA INDONESIA | SENIN, 5 DESEMBER 2011 | HALAMAN 32

SOSOK

BIODATANama:RM Donny S MeganandaIstri: Andriani Kusuma Dewi, 31Anak:3 orang (Ajeng, 5, Adinda, 4, dan Aisha, 3)Tempat dan Tanggal Lahir :Yogyakarta, 19 Juli 1974

Pekerjaan:Budayawan, Direktur Museum Wayang Kekayon

Pendidikan:Program Studi Geografi, Universitas Gadjah Mada (1992-2000),Magister Manajemen Univer-sitas Gadjah Mada (2001-2004)

Organisasi:Ketua Panitia Festival Museum DI Yogyakarta (2007)Ketua II Asosiasi Museum, Badan Musyawarah Musea (2005- 2010) dan(2010-2015)

Prestasi :Pemuda pelopor kebudayaan dari Pemprov DI Yogyakarta (2005)

Museum Kekayon telah ia pe-gang teguh sejak awal museum berdiri. Bagi Donny, melalui wayang ia dapat berkelana ke berbagai pelosok daerah.

Ia bisa bebas memperkenalkan wayang kepada anak-anak hing-ga orang asing. Baginya, wayang dapat menjadi awal untuk men-jaga kebudayaan leluhur. Sebuah warisan adiluhung yang patut dijaga hingga generasi-generasi berikutnya. (M-6)

[email protected]

kira, seyogianya menggunakan bahasa Jawa,” paparnya.

Sebagai sosok yang menge-tahui dunia pewayangan, ia mengaku sempat belajar men-jadi dalang.

“Terkadang seniman me-ngira saya alumnus sekolah seni rupa. Padahal, alumnus geografi,” cetusnya seraya memainkan sebuah wayang gedhok.

Melihat perkembangan wayang kontemporer, menu-rutnya, tak berpatok pada kisah Ramayana dan Mahabarata. Untuk itu, setiap dalang berhak membawakan lakonnya secara bebas.

“Kesenian jathilan (kuda kepang), jaranan, reog pono-rogo, ketheg ogleng (tarian kera) aslinya adalah cerita Panji. Ini yang membedakan wayang kontemporer dengan wayang kulit,” jelasnya.

Menurutnya, wayang kon-temporer selalu mengikuti zaman. Pakem yang ada sa-ngat berbeda dengan wayang purwa. Ia mencontohkan Yog-yakarta, akhir-akhir ini, ada masalah keistimewaan. Nah, wayang suluh (bergambar Soekarno) telah bermetamor-fosis menjadi wayang repub-lik.

“Wayang republik itu timbul karena kegelisahan masyarakat sehingga mengalami perubah-an. Yang mengubahnya adalah kegalauan dalam masyarakat sendiri,” ujarnya.

Kenapa Anda tidak menjadi dalang? Ia hanya tersenyum seraya menancapkan sebuah wayang ke batang pisang. “Saya tak mau salah. Supaya tak salah, saya tak pernah men-jadi dalang. Saya hanya mau menjadi penjaga,” ucapnya, dengan nada serius.

Tak dimungkiri, niat untuk menjadi penjaga wayang di