Upload
others
View
13
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TEORI DASAR
2.1 Sistem Tektonik Lempeng
Teori tektonik lempeng menyatakan bahwa struktur daratan dan lautan bersifat
dinamis. Konsep bumi yang bersifat dinamis pada awalnya dipelopori oleh teori
Continental Drift (pergeseran benua) oleh Lothar Waneger pada tahun 1915.
Teori ini menyatakan sekitar 200-an juta tahun lalu pada Zaman Kapur, semua
benua dahulunya menyatu yang disebut dengan Benua Pangea (Gambar 2.1. B).
Adanya arus konveksi yang terjadi pada lapisan mantel menyebabkan benua ini
terpecah menjadi lempeng-lempeng yang lebih kecil, berpindah menempati
posisinya seperti sekarang ini.
Gambar 2.1 (A) Ilustrasi struktur bumi dan (B) Pergerakan benua selama kurun
waktu 250 juta tahun terakhir [32].
Bumi tersusun atas beberapa lapisan, yaitu inti bumi bagian dalam, inti bumi
bagian luar, mantel, dan kerak dapat dilihat pada Gambar 2.1 (A). Inti bumi
bagian dalam bersifat padat, suhunya sangat tinggi, hal ini disebabkan tekanan di
lapisan tersebut sangat besar. Kemudian, Inti luar bersifat cair. Selanjutnya,
lapisan mantel umumnya lebih padat dari lapisan inti luar namun pada bagian
yang bersentuhan dengan kerak bumi yaitu asthenosphere memiliki sifat plastis
mengarah ke cair. Selanjutnya, kerak bumi/lempeng yang disebut juga lithosphere
6
A B
merupakan lapisan terluar bumi, memiliki sifat kaku (rigid) terdiri dari kerak
benua dan kerak samudra.
Menurut konsep tektonik lempeng, kerak bumi terdiri atas beberapa lempeng
besar yang berada diatas astenosfer. Lempeng tektonik yang menyusun kerak
bumi dapat bergerak relatif satu dengan yang lainnya karena adanya pengaruh
arus konveksi yang terjadi pada lapisan astenosfer dengan posisi berada di bawah
lempeng tektonik kulit bumi (Gambar 2.1). Akibat arus konveksi terjadi
mekanisme pergerakan yang membentuk kerak baru di bagian permukaan bumi,
yang dikenal dengan pematang tengah samudera (mid ocean ridge) atau dalam
istilah tektonik disebut “Sea floor spreading”. Mekanisme ini mengutamakan
gerak mendatar pada kerak bumi (litosfer), adapun gerak secara vertikal
disebabkan mekanisme sekunder dari gerak mendatar. Litosfer yang keras dan
kaku (rigid) bergerak di atas mantel sehingga lempeng dapat bergerak relatif satu
dengan yang lainnya. Biasanya pergerakan lempeng terjadi akibat interaksi di
batas lempeng yaitu saling menjauhi (divergen), saling mendekati (konvergen),
dan saling bergeser (transform) (Gambar 2.2). Daerah batas lempeng memiliki
kondisi tektonik yang aktif, dapat menyebabkan gempa bumi, aktivitas vulkanik,
pembentukan gunung, pembentukan palung samudera, sesar, rekahan, dan
pembentukan dataran tinggi.
Gambar 2.2 Jenis-jenis interaksi antar lempeng A) Konvergen (gerak lempeng
saling mendekat) B) Divergen (Gerak lempeng saling menjauh), dan
C) Transform (Gerak lempeng bergerak secara horizontal) [21].
7
A
B
C
Jika dua lempeng bertemu, dapat mengalami interaksi seperti bergerak saling
menjauh, saling mendekati, dan saling bergeser antar lempeng (Gambar 2.2).
Pergerakan antar lempeng umumnya berlangsung lambat, bergerak perlahan dan
tidak dapat dirasakan oleh manusia namun terukur sebesar 1-15 cm per tahun.
Kadang-kadang pergerakan lempeng ini macet dan saling mengunci sehingga
terjadi pengumpulan tekanan yang berlangsung terus-menerus, ketika kuat
tekanan (stress) tidak dapat terkendali atau dengan kata lain melewati batas
elastisnya maka akan terjadi pelepasan stress berupa patahan bidang secara
mendadak. Energi yang terlepaskan dalam bentuk getaran gelombang seismik
yang biasa dikenal sebagai gempa bumi. Batuan akan kembali stabil, namun sudah
mengalami deformasi atau perubahan bentuk dan posisi, teori ini dikenal dengan
teori elastic rebound [28].
2.2 Gempa Bumi
Gempa bumi adalah peristiwa guncangan atau bergetarnya bumi akibat adanya
pergerakan lapisan batuan pada kerak bumi sehingga menimbulkan pelepasan
energi secara tiba-tiba yang dapat merambat ke segala arah berupa gelombang
seismik, efeknya dapat dirasakan sampai ke permukaan bumi. Gempa bumi dapat
diakibatkan oleh aktivitas pergerakan lempeng tektonik (gempa tektonik) dan
aktivitas gunung berapi (gempa vulkanik). Gempa bumi dapat terjadi dimana saja
dan kapan saja. Walapun demikian, gempa bumi cenderung terkonsentrasi pada
tempat-tempat tertentu di lapisan kulit bumi. Umumnya, gempa bumi terjadi di
sekitar batas lempeng, daerah pertemuan dua lempeng dapat berupa zona
pemekaran dasar samudera, zona subduksi, sesar, pengangkatan maupun daerah
perlipatan.
Gempa bumi tektonik dapat disebabkan pergerakan lempeng, berupa tumbukan,
perlipatan, pergeseran, penyusupan yang berpengaruh terhadap media yang
dilewati proses tersebut. Pada daerah perbatasan lempeng, akan timbul tegangan
(stress) dan regangan (strain), disebabkan oleh mekanisme antar lempeng serta
sifat-sifat elastisitas batuannya. Teori yang menjelaskan proses terjadinya gempa
bumi adalah Teori Elastisitas (Elastic Rebound Theory). Teori ini dikemukakan
8
oleh seismologist Amerika bernama Reid. Teori Elastisitas menyatakan bahwa
gempa bumi merupakan gejala alam yang disebabkan oleh pelepasan energi
regangan elastik batuan akibat deformasi batuan pada lapisan litosfer. Deformasi
batuan dapat disebabkan tegangan (stress) dan regangan (strain) pada lapisan
bumi. Tegangan dan regangan yang terus menerus bertambah dapat menyebabkan
daya dukung pada batuan mencapai batas maksimum dan mulai terjadi deformasi
berupa patahan secara tiba-tiba, pada waktu itulah gempa bumi terjadi.
Gambar 2.3 Mekanisme gempa bumi “Elastic Rebound Theory” [16].
Pada gambar 2.3 menunjukkan mekanisme gempa bumi berdasarkan Teori
Elastisitas. Keadaan I menunjukkan daerah yang belum mengalami perubahan
bentuk geologi. Akibat bumi yang bergerak dinamis, lama-kelamaan terjadi
penumpukan stress yang dapat merubah bentuk geologi dari lapisan batuan.
Keadaan II menunjukkan penumpukan stress telah bekerja pada lapisan batuan
sehingga terjadi perubahan bentuk geologi. Pada daerah A, stress bekerja dari
bawah ke atas sedangkan daerah B stress bekerja dari atas permukaan ke bawah.
Proses penumpukan stress ini berlangsung terus-menerus sehingga
mengakibatkan gesekan antara daerah A dan B. Ketika lapisan batuan sudah tidak
mampu lagi untuk menahan stress, maka terjadi pergerakan atau perpindahan
secara tiba-tiba sehingga terjadi patahan. Peristiwa pergerakan secara tiba-tiba ini
disebut gempa bumi. Keadaan III menunjukkan lapisan batuan yang sudah
mengalami patahan atau terjadi deformasi lapisan batuan karena adanya
pergerakan tiba dari lapisan batuan tersebut. Proses ini akan terjadi secara
berulang-ulang sampai terjadi gempa bumi lagi.
9
Klasifikasi kedalaman hiposenter gempa bumi dibedakan menjadi tiga jenis [28],
yaitu:
1. Gempa bumi dangkal (shallow) memiliki kedalaman hiposenter kurang dari
70 km.
2. Gempa bumi menengah (intermediate) memiliki kedalaman hiposenter antara
70 hingga kurang dari 300 km.
3. Gempa bumi dalam (deep) memiliki kedalaman lebih besar dari 300 km.
Gempa bumi dangkal dapat menimbulkan efek goncangan dan kehancuran yang
lebih besar dibandingkan klasifikasi gempa bumi lainnya. Hal ini disebabkan
sumber gempa bumi berada dekat dengan permukaan sehingga energi
gelombangnya lebih besar.
Klasifikasi gempa bumi berdasarkan kekuatan gempa bumi atau magnitudo (M)
dengan Skala Richter (SR) [28], dibedakan menjadi:
1. Gempa bumi ultra mikro M < 1 SR
2. Gempa bumi mikro M 1 - 3 SR.
3. Gempa bumi kecil M 3 – 4 SR.
4. Gempa bumi sedang M 4 – 5 SR.
5. Gempa bumi merusak M 5 – 6 SR.
6. Gempa bumi besar M 7 – 8 SR.
7. Gempa bumi sangat besar M > 8 SR.
Tipe gempa bumi berdasarkan urutan kejadiannya, dibedakan menjadi:
I. Gempa bumi utama (mainshock) yang diikuti gempa bumi susulan
(aftershock), tanpa gempa bumi pendahuluan (foreshock). Biasanya gempa ini
terjadi dengan magnitudo yang besar kemudian diikuti dengan gempa bumi
yang magnitudonya lebih kecil. Gempa bumi ini terjadi pada daerah dengan
medium homogen dengan distribusi kuat tekan (stress) bekerja hampir merata.
Contoh gempa bumi tipe ini ialah gempa bumi tektonik.
10
II. Gempa bumi yang dimulai dengan gempa bumi pendahuluan (foreshock),
kemudian diikuti gempa bumi utama (mainshock), dan diikuti gempa bumi
susulan (aftershock) yang cukup banyak. Gempa bumi tipe ini terjadi pada
daerah dengan struktur medium yang tidak seragam dengan sebaran stress
tidak seragam.
III. Gempa bumi swarm merupakan tipe gempa bumi yang terjadi terus-menerus
tanpa ada gempa bumi utama. Biasanya gempa bumi tipe ini terjadi pada
daerah terbatas, seperti gunung api dan daerah yang memiliki struktur medium
yang tidak merata, dengan stress bekerja pada daerah terbatas.
2.2.1 Parameter Gempa bumi
Berikut merupakan parameter-parameter pada gempa bumi:
a. Waktu Kejadian (origin time)
Waktu kejadian gempa bumi atau origin time adalah waktu pelepasan energi
pertama kali suatu gempa bumi di sumbernya pada kedalaman tertentu di lapisan
bumi. Pada saat waktu kejadian gempa bumi akumulasi stress terlepas dalam
bentuk penjalaran gelombang gempa bumi. Waktu kejadian dinyatakan dalam
hari, tanggal, bulan, tahun, jam, menit, detik dalam UTC (Universal Time
Coorcinated). Untuk menentukan origin time dapat menggunakan diagram
Wadati.
Gambar 2.4 Diagram Wadati.
Diagram wadati dapat menentukan waktu kejadian gempa bumi (to/origin time)
dengan menggunakan data waktu tiba gelombang P (tp) dan selisih waktu tiba
gelombang (ts) dan (tp), yang terus bertambah sebanding dengan bertambahnya
11
jarak tempuh gelombang tersebut (Gambar 2.4). Jarak stasiun ke hiposenter (D)
pada medium homogen ditunjukkan sebagai berikut:
D = V p x (tp-to) (2.1)
D = V s x (ts-to) (2.2)
D = k x (tp-ts)
D = V p x V s
V p−V s
(tp-ts) (2.3)
Untuk mendapatkan hubungan nilai waktu tiba gelombang P (tp) dan origin time
ditunjukkan pada persamaan (2.4) dan selisih waktu tiba gelombang (ts) dan (tp)
ditunjukkan pada persamaan (2.5), didapatkan dari persamaan (2.1), (2.2), dan
persamaan (2.3)
t p−t o=V p
V s
(t s−t 0) (2.4)
t s−t p=V s( ts−t 0)V p X V s
V p−V s
(2.5)
Sehingga dapat di peroleh besar sudut (∝ ) merupakan sudut kedatangan atau
sudut yang terbentuk ketika gelombang seismik di hiposenter merambat sampai ke
stasiun seismometer dari persamaan (2.4) dan (2.5), sehingga dari persamaan
tere=sebut diperoleh persamaan (2.6).
tan α=t s−t p
t p−t o=
V s (V p−V s )∗(ts−¿)
V p x V s
V s∗(ts−¿)V p
=V p
2−V p. V s
V p∗V s
=V p
V s
−1 (2.6)
Data dari stasiun akan menghasilkan satu garis linear optimal dengan gradien 0,5
hingga 0,9, karena waktu tiba t p dan selisih antara t s−t p akan selalu bertambah
sebanding dengan jarak tempuh gelombang seismik yang terekam di setiap
stasiun. Bentuk persamaan umum gradiennya ialah y = Ax + B, dimana absis x
merupakan nilai tp, sedangkan ordinat y adalah nilai ts-tp, A=V p
V s
−1 dari
persamaan (2.6), serta B merupakan variabel pelengkap. Origin time (to) adalah
titik potong garis regresi terhadap sumbu koordinatnya, yang merupakan waktu
12
terjadinya gempa pada titik hiposenter, sehingga dari diagram wadati (Gambar
2.4), nilai origin time (to) dapat dihasilkan dari persamaan (2.6) sebagai berikut :
V p
V s
−1=t s−t p
t p−t o (2.7)
Sehingga untuk persamaan Origin time (to) ditunjukkan dengan persamaan (2.8):
t o=t p−(t s−t p)
( V p
V s
−1) (2.8)
Dimana, V p merupakan kecepatan gelombang P, V s merupakan kecepatan
gelombang S, serta to merupakan origin time.
b. Lokasi Hiposenter
Hiposenter adalah titik di dalam bumi mengalami pelepasan energi secara tiba-
tiba sehingga menghasilkan guncangan gempa bumi atau disebut juga sumber
gempa. Posisi hiposenter direpresentasikan dalam tiga koordinat ruang (x0, y0, z0)
dan waktu terjadinya gempa (t 0) (Gambar 2.5). Dalam penentuan titik hiposenter
gempa bumi membutuhkan hasil perekaman seismometer gempa dalam bentuk
seismogram yaitu data waktu tiba gelombang P (tp) dan/atau data waktu tiba
gelombang S (ts) [7]. Jarak hiposenter gempa bumi dapat di peroleh dari
persamaan (2.1) hingga persamaan (2.3), sehingga di dapatkan jarak hiposenter
(D), ditunjukkan pada persamaan (2.11) sebagai berikut:
D = V s * (t s−to) (2.9)
D = (t s−t p) +(t p−t o) * V s (2.10
D = V s* ( Tsp + Tpo) (2.11)
Dimana Tsp merupakant s−t p, Tpo merupakan t p−t o, serta Tso merupakan t s−t o.
Pada Gambar 2.5, S merupakan titik hiposenter gempa (x0, y0, z0) dengan origin
time (to), stasiun seismometer (R), dengan jarak hiposenter ke stasiun (D), ∆
merupakan jarak antara episenter dan stasiun seismometer, dan E adalah titik
episenter.
13
Gambar 2.5 Penjalaran gelombang seismik dari hiposenter gempa ke stasiun
seismometer pengamat.
c. Episenter
Episenter adalah sebuah titik di permukaan bumi yang diproyeksikan/tegak lurus
terhadap hiposenter. Dapat dilihat pada Gambar 2.5, dimana E merupakan titik
episenter. Lokasi episenter dibuat dalam koordinat kartesian dinyatakan dalam
derajat lintang dan bujur.
d. Magnitudo atau Kekuatan Gempa
Magnitudo adalah ukuran kekuatan gempa bumi, yang menggambarkan besar
energi yang terlepas pada saat gempa bumi terjadi di sumbernya. Konsep
magnitudo (kekuatan gempa bumi pada sumber) diperkenalkan oleh Richter
dengan satuan Skala Richter. Umumnya, magnitudo gempa bumi dapat dihitung
dapat dihitung menggunakan persamaan (2.12):
M = log a / T + f ( ∆, h) Cs + Cg (2.12)
dengan M merupakan magnitudo, a merupakan amplitudo gerakan tanah
(mikrometer), T merupakan periode gelombang (detik), f merupakan koreksi
terhadap (∆ merupakan jarak pusat gempa atau episentrum dan h merupakan
kedalaman gempa), Cs merupakan koreksi terhadap stasiun, dan Cg merupakan
faktor koreksi terhadap sumbernya. Magnitudo gempa dibagi menjadi beberapa
jenis, yaitu:
Magnitudo Lokal (Ml)
Magnitudo Body Wave (Mb)
Magnitudo Surface Wave (Ms)
Magnitudo Moment (Mw)
e. Intensitas gempa bumi
14
Intensitas merupakan ukuran kekuatan gempa bumi berdasarkan kerusakan yang
diakibatkan. Skala intensitas lebih bersifat subjektif karena nilainya bergantung
pada orang yang mengamati. Skala yang secara umum digunakan adalah Modified
Mercalli System (MMI).
2.3 Gelombang Seismik
Gelombang seismik adalah gelombang elastik dari gempa bumi yang menjalar ke
seluruh bagian dalam bumi dan permukaan bumi akibat adanya lapisan batuan
yang break/patah secara tiba-tiba atau adanya suatu ledakan. Gelombang elastik
termasuk gelombang seismik karena medium yang dilewati ialah bumi yang
bersifat elastik. Maka dari itu sifat penjalaran gelombang seismik bergantung pada
keelastisan batuan yang dilewatinya. Teori elastisitas adalah teori yang
menjelaskan kemampuan suatu benda untuk kembali ke bentuk semula. Batuan
yang bersifat elastis dapat berfungsi menyimpan energi stress dan juga media
transmisi gelombang seismik. Tingkat elastisitas suatu medium bumi ditentukan
cara medium tersebut melewatkan gelombang. Begitu juga dengan gelombang
gempa bumi dapat mengambarkan informasi tentang sumber seismik dan medium
yang dilewatinya.
Keelastisan suatu medium tergantung pada besarnya kuat tekan (stress) dan kuat
regang (strain) terhadap suatu medium (Gambar 2.6). Tegangan (stress)
didefinisikan sebagai gaya per satuan luas, persamaan matematis dari tekanan (σ ¿
. Benda elastis yang mengalami stress maka akan mengalami perubahan bentuk
maupun dimensi. Perubahan tersebut disebut dengan regangan (strain). Regangan
merupakan jumlah deformasi per satuan luas. Berdasarkan Hukum Hooke,
besaran stress berbanding lurus dengan besaran strain. Jika stress sudah melewati
batas elastisitasnya maka medium akan pecah (brittle). Apabila stress belum
mencapai batas maksimumnya, maka medium dapat kembali ke bentuk semula
sebagaimana sifat elastisitas. Apabila stress diberikan pada suatu medium,
kemudian stress tersebut dilepaskan maka terjadi deformasi pada medium
tersebut, bentuk medium tidak dapat kembali kebentuk semula maka medium
bersifat plastis (lentur).
15
Gambar 2.6 Skema proporsi stress dan strain.
Gelombang seismik menyebabkan vibrasi (getaran) pada medium karena sifat
gelombang seismik termasuk gelombang mekanik. Getaran menyebabkan efek
deformasi pada medium batuan seperti pada teori elastisitas. Selanjutnya
parameter elastisitas batuan berpengaruh terhadap kecepatan gelombang seismik
pada suatu medium. Elastisitas suatu material berbeda-beda tergantung bentuk-
bentuk deformasinya, secara kuantitas ditentukan oleh variasi modulus elastisitas,
sebagai berikut:
1. Modulus Young (E)
Modulus Young atau modulus elastis adalah ukuran perubahan suatu material
berubah bentuk ketika dikenai stress. Modulus Young di defenisikan sebagai
rasio dari ekstensi stress (σ ) terhadap ekstensi strain (ε).
E= stressstrain
= σε=
FAo∆ LLo
= F LoAo ∆ L
(2.13)
Jika suatu medium elastik ditarik oleh sebuah gaya ( F), medium tersebut
akan bertambah panjang (∆ L¿ sebanding dengan gaya yang bekerja dengan
benda tersebut, berarti ada sejumlah gaya yang bekerja pada setiap satuan
panjang medium (L), gaya yang bekerja sebanding dengan panjang benda dan
berbanding terbalik dengan luas penampangnya (Ao). Satuan SI untuk
Modulus Young ialah N/m2.
2. Modulus Bulk (K)
16
Modulus Bulk didefenisikan ukuran perubahan tekanan (P) yang bekerja pada
suatu volume. Modulus ini menunjukkan besarnya hambatan untuk
mengubah volume suatu benda.
K=−P∆ vv
(2.14)
Tanda negatif berarti bahwa ketika tekanan (P) meningkat, maka volume (v)
berkurang. Satuan modulus bulk ialah N/m2 atau Pa.
3. Modulus Shear (μ¿
Modulus Shear atau modulus geser adalah perbandingan antara tegangan
terhadap regangan shear. Modulus Shear merupakan ketahanan material
menolak pergeseran dengan cara mengubah ukuran tanpa merubah volume.
Tekanan bekerja sejajar pada medium sehingga mengakibatkan deformasi
geser miring secara horizontal. Satuan Modulus Shear ialah N/m2 atau Pa.
μ= τ xy2∗exy
=
FA
∆ LL
= F LA ∆ L
(2.15)
Dimana τ merupakan tegangan geser, e merupakan regangan geser, F
merupakan gaya, A merupakan luasan medium, ∆ L merupakan perubahan
panjang pada medium, dan L merupakan panjang medium.
4. Poisson’s Ratio
Poisson’s Ratio adalah ukuran kompresibilitas yang bekerja tegak lurus
terhadap sebuah benda atau perbandingan strain latitudinal dengan strain
longitudinal. Jika memiliki sampel berbentuk silinder kemudian ditekan oleh
suatu gaya, maka sampel tersebut akan memendek dan membuat jari-jari
bertambah. Perbandingan perubahan panjang (∆ L) dan perubahan jari-jari (
∆ w) itulah yang disebut poisson’s ratio.
Poisson’s rasio (σ ) = transverse strain
longitudinal strain=
− ∆ ww
∆ II
(2.16)
17
2.3.1 Penurunan Rumus Gelombang Seismik
Persamaan umum gelombang seismik, pada keadaan tidak teredam dinyatakan
dalam persamaan berikut:
∇2 ѱ= 1v2
∂2 ѱ∂t 2 ;∇=i ∂
∂ x+ j ∂
∂ y+ k ∂
∂ z (2.17)
Keterangan:
ѱ = fungsi gelombang yang direalisasikan sebagai usikan yang menjalar.
v = kecepatan gelombang (m/s)
t = waktu (s)
Jika ditinjau sebuah elemen kecil volume dengan tegangan bekerja pada dua
permukaan yang tegak lurus terhadap sumbu x, maka komponen-komponen
tegangannya ditunjukkan pada Gambar 2.7.
Gambar 2.7 Komponen tegangan dan analisis tekanan dua dimensi [34].
Dalam bentuk tiga dimensi komponen perpindahan titik P (x, y, dan z) ditulis
dalam (u, v, dan w) sehingga regangan normal dapat dituliskan persamaan (2.18)
sebagai berikut:
ε xx=∂u∂ x
; ε yy=∂ v∂ y
; ε zz=∂ w∂ z (2.18)
regangan geser persamaan (2.19),
ε xy=∂ v∂ x
+ ∂ u∂ y
; ε yz=∂ w∂ y
+ ∂ v∂ z
; ε zx=∂ u∂ z
+ ∂ w∂ x (2.19)
komponen regangan pada benda yang mengalami perpindahan rotasional
ditunjukkan pada persamaan (2.20) sebagai berikut:
18
θx=12 ( ∂ w
∂ y−∂ v
∂ z ); θ y=12 ( ∂ u
∂ z−∂ w
∂ x ); θz=12 ( ∂ v
∂ x− ∂ u
∂ y ) (2.20)
Perubahan dimensi akibat strain normal menyebabkan terjadinya perubahan
volume. Perubahan volume per satuan waktu disebut dilatasi ∆ = θ ditunjukkan
pada persamaan (2.21).
θ=ε xx+ε yy+ ε zz=¿ ∂ u∂ x
+ ∂ v∂ y
+ ∂w∂ z (2.21)
Hubungan antara tegangan dan regangan dapat menyebabkan pergeseran disebut
dengan Modulus Rigiditas ditunjukkan dalam persamaan (2.22).
μ=Tegangan geserregangan
=σ xx
ε xx(2.22)
Hubungan konstanta elastik pada medium homogen isotropik, dinyatakan dalam
persamaan (2.23). Variabel λ merupakan konstanta Lame dan μmenyatakan
hambatan regangan geser.
σ= λ2(λ+ μ)
(2.23)
Persamaan rambat gelombang P dan S dapat diturunkan dari Hukum Hooke yang
menyatakan hubungan tegangan dan regangan sebagai berikut:
σ ii= λ θ+2 μ εii ; i=x , y , z (2.24)
σ ij=μ εij ; j=x , y , z dan i≠ j (2.25)
Pada hukum II Newton menyatakan gaya (F) merupakan perkalian antara massa
(m) dan percepatan (a). Massa merupakan hubungan antara ρ (massa jenis bahan)
dengan ukuran volume (v) dari bahan. Sehingga hubungan antara tekanan dan
perpindahan dinyatakan dalam persamaan (2.26).
F=m . a=ρv a= ρ. dxdydz . ∂2 u∂t 2 (2.26)
Persamaan umum tekanan terhadap pergeseran dinyatakan dalam persamaan
(2.27).
σ (i , j , k ) (x , t )=ρ∂2 ui (x , t )
∂ t2 (2.27)
Pergeseran (u) akibat tekanan pada sumbu X dinyatakan pada persamaan (2.28),
sumbu Y pada persamaan (2.29), dan sumbu Z pada persamaan (2.30).
19
ρ ∂2u∂ t2 =( λ+ μ ) ∂θ
∂ x+ μ∇2u (2.28)
ρ ∂2 v∂ t2 =( λ+ μ ) ∂θ
∂ y+ μ∇2 v (2.29)
ρ ∂2 w∂t 2 =( λ+ μ ) ∂ θ
∂ z+ μ∇2 w (2.30)
Gelombang merambat dari sumber ke segala arah, secara 3-D arah perambatan
dinyatakan dalam sumbu x, y, dan z. persamaan (2.28), (2.29), dan (2.30)
dideferensialkan terhadap x, y, dan z, sehingga dapat diperoleh persamaan (2.31),
(2.32), dan (2.33).
ρ ∂2
∂t 2 ( ∂u∂ x )= ( λ+ μ ) ∂
∂ x ( ∂θ∂ x )+ μ∇2( ∂ u
∂ x ) (2.31)
ρ ∂2
∂t 2 ( ∂ v∂ y )=( λ+ μ ) ∂
∂ y ( ∂ θ∂ y )+ μ∇2( ∂ v
∂ y ) (2.32)
ρ ∂2
∂t 2 ( ∂ w∂ z )= ( λ+ μ ) ∂
∂ z ( ∂θ∂ z )+ μ∇2( ∂ w
∂ z ) (2.33)
Dengan menjumlahkan persamaan (2.31), (2.32), dan (2.33), maka;
ρ ∂2
∂t 2 ( ∂u∂ x
+ ∂ v∂ y
+ ∂ w∂ z )= ( λ+ μ )( ∂2 θ
∂ x2 +∂2 θ∂ y2 + ∂2 θ
∂ z2 )+ μ∇2( ∂ u∂ x
+ ∂ v∂ y
+ ∂ w∂ z ) (2.34)
∂2θ∂ t 2 =
(λ+2 μ)ρ
∇2 θ (2.35)
Persamaan (2.35) merupakan persamaan kecepatan gelombang P, kecepatan
gelombang P ditunjukkan dengan V p pada persamaan (2.36):
V p=√ (λ+2 μ)ρ
(2.36)
Untuk mendapatkan kecepatan gelombang S, persamaan (2.29) diturunkan
terhadap z, sehingga menghasilkan persamaan (2.37), kemudian persamaan (2.30)
diturunkan terhadap y sehingga menghasilkan persamaan (2.38)
ρ ∂2
∂t 2 ( ∂ v∂ z )=( λ+ μ ) ∂2 θ
∂ y ∂ z+ μ∇2( ∂ v
∂z ) (2.37)
ρ ∂2
∂t 2 ( ∂ w∂ y )= ( λ+ μ ) ∂2 θ
∂ z ∂ y+ μ∇2( ∂ w
∂ y ) (2.38)
20
Persamaan (2.37) dan (2.38) dikurangkan, sehingga:
2∂2( ∂ v∂ z
−∂ w∂ y )
∂ t 2 =2 μρ∇2( ∂ v
∂ z−∂ w
∂ y ) (2.39)
∂2 θx
∂ x2 = μρ∇2θx (2.40)
Persamaan (2.40) merupakan persamaan gelombang seismik S dengan kecepatan
rambat V S ditunjukkan pada persamaan (2.41):
V s=√ μρ
(2.41)
2.3.2 Penjalaran Gelombang Seismik
Gelombang seismik terdiri atas dua jenis, yaitu gelombang dalam (body waves)
dan gelombang permukaan (surface waves) seperti pada gambar 2.8.
Gambar 2.8 Jenis pergerakan gelombang seismik di permukaan dan di dalam
bumi [22].
1. Gelombang Dalam (Body Waves)
Gelombang dalam atau sering disebut body waves adalah gelombang seismik yang
merambat hingga ke dalam bumi dan dapat menjalar ke segala arah di dalam
bumi. Gelombang dalam terdiri dari gelombang primer dan gelombang sekunder.
a. Gelombang Primer (P)
Gelombang Primer atau disebut juga gelombang P merupakan gelombang
longitudinal atau gelombang kompresional, gerakan partikelnya sejajar dengan
arah perambatannya (Gambar 2.9). Gelombang ini pertama kali tercatat oleh
21
seismometer, hal ini karena gelombang P memiliki kecepatan paling besar
dibandingkan dengan gelombang seismik lainnya. Persamaan dari kecepatan
gelombang P adalah sebagai berikut:
V p=√ λ+2 μρ
=√ K+ 43
μ
ρ(2.42)
Dimana V P merupakan kecepatan gelombang P, λ merupakan parameter Lame,
μ merupakan modulus geser, K merupakan modulus Bulk, dan ρ merupakan
densitas/kerapatan batuan. Gelombang ini dapat merambat pada medium padat,
cair, dan gas. Semakin padat medium yang di lewatinya nilai kecepatannya
semakin besar.
Gambar 2.9 Ilustrasi gerak gelombang primer [24].
b. Gelombang Sekunder (Shear Wave)
Gelombang S atau yang disebut juga gelombang sekunder merupakan gelombang
transversal atau shear, gerakan partikelnya tegak lurus terhadap arah penjalaran
gelombangnya. Gelombang S terdiri dari dua komponen, yaitu gelombang SH
dengan arah gerak partikel horizontal dan gelombang SV dengan gerak partikel
vertikal. Gelombang S tiba setelah gelombang P karena waktu penjalaran
gelombang S lebih lama daripada gelombang P sehingga akan tercatat setelah
gelombang P terekam pada alat seismometer, tetapi gelombang ini memiliki
amplitudo lebih tinggi. Gelombang ini tidak dapat merambat pada fluida, sehingga
pada inti bumi bagian luar tidak dapat dideteksi sedangkan inti bumi bagian dalam
mampu dilewati. Berikut ini adalah persamaan kecepatan gelombang S:
V s=√ μρ
(2.43)
22
Dimana V s merupakan kecepatan gelombang S, μ merupakan gelombang geser,
dan ρ merupakan densitas batuan.
Gambar 2.10 Ilustrasi gerak gelombang sekunder [24].
2. Gelombang Permukaan (surface waves)
Gelombang permukaan adalah gelombang seismik yang hanya menjalar di
permukaan bumi. Amplitudo gelombang permukaan akan semakin melemah jika
semakin masuk ke dalam bumi. Gelombang ini di bagi menjadi dua yaitu
Gelombang Rayleigh dan Gelombang Love.
a. Gelombang Rayleigh
Gelombang Rayleigh adalah gelombang yang merambat pada batas permukaan,
arah getarnya berlawanan dengan arah perambatannya. Pada gelombang Rayleigh
getaran partikel batuan yang bergerak melingkar (ground roll) berbentuk elips
terhadap arah perambatan gelombang (Gambar 2.11). Gelombang ini hanya dapat
merambat pada medium padat.
Gambar 2.11 Ilustrasi gerak gelombang Rayleight [24].
23
b. Gelombang Love
Gelombang Love adalah gelombang yang merambat pada batas lapisan dan arah
rambat partikelnya bergetar melintang terhadap arah penjalarannya. Gelombang
ini merupakan gelombang transversal (Gambar 2.12).
Gambar 2.12 Ilustrasi gerak gelombang love [24].
2.3.3 Mekanisme Penjalaran Gelombang Seismik
Mekanisme penjalaran gelombang seismik dibagi menjadi tiga, yaitu:
a. Hukum Snellius
Hukum Snellius menyatakan bahwa bila suatu gelombang jatuh pada bidang batas
dua medium yang memiliki densitas yang berbeda, maka gelombang tersebut
dapat dibiaskan, dipantulkan, dan diteruskan.
Gambar 2.13 Pemantulan dan pembiasan gelombang.
Persamaan Hukum Snellius dinyatakan sebagai berikut:
vsin θi
=v p1
sin θ1 '=
v p 2
sinθ2=
vs 1
sin∅ 1=
v s 2
sin∅ 2(2.44)
24
Keterangan:
v merupakan kecepatan gelombang, vP1 merupakan kecepatan gelombang P pada
medium 1, vP2 merupakan kecepatan gelombang P pada medium 2, vS1 merupakan
kecepatan gelombang S pada medium 1, vS2 merupakan kecepatan gelombang S
pada medium 2, θ1merupakan sudut gelombang datang, θ2 merupakan sudut
gelombang bias P, θ1 ' merupakan sudut gelombang bias P, ϕ1 merupakan sudut
gelombang pantul S, dan ϕ2 merupakan sudut gelombang pantul S.
b. Prinsip Huygens
Prinsip Huygens menyatakan bahwa setiap titik pada muka gelombang merupakan
sumber gelombang baru. Menurut [1], titik sumber gelombang menyebar ke
segala arah dan setiap titik-titik penganggu didepan muka gelombang menjadi
sumber untuk terbentuknya gelombang baru. Jumlah energi total deretan
gelombang baru tersebut sama dengan energi utama.
Gambar 2.14 Prinsip Huygens [1].
Gambar 2.15 Prinsip Fermat [1].
25
c. Prinsip Fermat
Gelombang menjalar dari satu titik ke titik lainnya melalui jalur dengan waktu
penjalaran tercepat. Jika gelombang melewati medium yang memiliki variasi
kecepatan gelombang seismik, maka gelombang tersebut akan cenderung melalui
daerah dengan kecepatan tinggi dan menghindari daerah dengan kecepatan rendah
(Gambar 2.15).
2.4 Metode Penentuan Hiposenter
2.4.1 Metode Inversi Linier
Pemodelan inversi menggunakan data untuk menghasilkan model. Penentuan
hiposenter dengan pendekatan inversi linier menggunakan metode Least Square
dengan mencari nilai minimum dari hasil kuadratik antara data pengamatan dan
data perhitungan. Metode inversi linier mengasumsikan model bumi tersusun dari
komponen homogen isotropik. Metode ini mencari model terbaik (fit) dengan
kuadrat nilai error yang minimum. Model dengan nilai error minimum
merupakan model terbaik yang cocok dengan data yang digunakaan. Fungsi
obyektif (E) dinyatakan dalam persamaan (2.45). Dimana r i merupakan hasil
selisih data pengamatan dan data perhitungan (residual) ke-i, pada bentuk matriks
ditunjukkan dalam persamaan (2.46) dengan ri ( x ) merupakan fungsi residual
waktu tiba.
E=∑i=1
N
(T iobs−¿T i
cal)2=∑i=1
N
(r i¿)2 ¿¿ (2.45)
r i(x )=[r1 ( x ) , r2 ( x ) , r3 ( x ) ,…. ]T (2.46)
Sehingga persamaan (2.45) dan (2.46) disederhanakan menjadi:
E = rT r (2.47)
Maka fungsi yang menghubungkan data dengan parameter model merupakan
fungsi linier yang disederhanakan pada persamaan (2.48). Dimana d merupakan
elemen data, G merupakan matriks Kernel (N x M) yang merupakan fungsi
pemodelan kedepan (forward modeling), dan m merupakan parameter model yang
ingin dicari, terdiri dari sejumlah parameter model (x0, y0, z0, to).
d = Gm (2.48)
E = rT r=(d−Gm )T (d−Gm) (2.49)
26
E=dT d−dT Gm−[ Gm ]T d+ [ Gm ]T Gm (2.50)
∂ E∂ m
=−dT G−[G ]T d+ [G ]T Gm+ [Gm ]T G (2.51)
0=−GT d+GT Gm (2.52)
m=[GT G ]−1GT d (2.53)
Jika suatu fungsi mencapai nilai minimum maka turunannya terhadap variabel
yang tidak diketahui di titik minimum tersebut adalah nol, sehingga fungsi
tersebut dapat digunakan untuk mencari parameter model. Turunan fungsi objektif
E terhadap parameter model m ditunjukkan pada persamaan (2.51). Sehingga
diperoleh solusi inversi linier dengan optimasi least square pada persamaan (2.53)
[19].
2.4.2 Metode Inversi Nonlinier dengan Pendekatan Linier
Metode inversi nonlinier dengan pendekatan linier disebut juga sebagai
pendekatan lokal (local search approach) atau linearisasi. Persamaan (2.48) dapat
digunakan pada pendekatan nonlinier, dengan cara melinearkan persamaan
tersebut dengan menggunakan ekspansi Taylor orde pertama. Pendekatan ini
memerlukan model awal (a priori) m0 yang cukup dekat dengan solusi. Dilakukan
iterasi dari model awal sampai mendekati model yang cukup dekat dengan solusi.
m ji =m j
0+δm j0 (2.54)
Dimana δm j0 merupakan variasi iterasi dari parameter model ke-j yang akan
bergerak sampai ke solusi terbaik. Maka persamaan (2.48) dapat dituliskan dalam
persamaan (2.54) hingga menghasilkan persamaan (2.55).
d = G (m j0+δm j
0) (2.55)
Ekspansi Taylor orde pertama dari fungsi G(m) menghasilkan persamaan (2.56):
Gi (m j0+δm j
0 )≈ Gi (m j0 )+
∂Gi
∂ m j|mo
δm j0+O(δm j
0) (2.56)
Dimana O(δm j0) merupakan suku sisa yang melibatkan orde ke-dua dan orde-orde
yang lebih tinggi, orde diatas dua akan diabaikan. Komponen turunan partial G(m)
terhadap elemen parameter model m membentuk maktriks Jakobi (J), ditunjukkan
pada persamaan (2.57)
27
J ii=∂Gi
∂ m j(2.57)
Sehingga dapat disederhanakan menjadi:
∆ d=J ∆ m (2.58)
Dimana J merupakan matriks Jakobi yang dievaluasi pada parameter model
tertentu. Persamaan (2.58) hampir sama dengan persamaan yang berlaku pada
hubungan linier antara data dan parameter model, yaitu d = Gm. Dapat dikatakan
data d diganti oleh pertubasi data δ d i, model m digantikan dengan pertubasi
model ke mi, dan matriks Kernel (G) digantikan dengan Matriks Jakobi (J). Solusi
inversi dengan pendekatan linierisasi dituliskan dalam persamaan (2.59):
∆ m=[J T J ]−1JT ∆ d (2.59)
Pada dasarnya pendekatan fungsi nonlinier tidak dapat langsung menghasilkan
model optimum sehingga proses pertubasi model terhadap model awal dilakukan
secara iteratif pada iterasi ke (n+1) menggunakan persamaan berikut ini:
mn+1=mn+ [J nT J n ]−1
J nT ∆ dn (2.60)
Dalam metode inversi nonlinier dengan pendekatan linier ini, hanya melibatkan
turunan orde pertama dengan mengabaikan suku-suku orde yang lebih tinggi. Hal
tersebut dapat mengakibatkan masalah konvergensi. Solusi inversi dapat
konvergen menuju ke minimum lokal yang bukan merupakan solusi optimum.
Sehingga solusi inversi nonlinier dengan pendekatan linier dalam suatu
permasalahan inversi nonlinier kurang efektif digunakan [19].
2.4.3 Penentuan Hiposenter dengan Inversi Nonlinier
Persamaan nonlinier merupakan tidak persamaan garis, dimana antara data dan
parameter model tidak dapat dipresentasikan dalam persamaan garis. Secara
umum sebagian besar permasalahan inversi dalam geofisika ialah inversi nonlinier
karena memerlukan representasi model dengan jumlah parameter model yang
cukup besar. Metode nonlinier disebut juga pencarian menyeluruh atau global.
Semakin tidak linier suatu fungsi dan semakin banyak jumlah parameter model
(underdetermine), maka semakin kompleks fungsi obyeksitasnya. Dalam
menyelesaikan permasalahan nonlinier diperlukan pengetahuan secara
28
menyeluruh atau global mengenai bentuk permukaan fungsi obyektif [19]. Berikut
beberapa sistem pencarian hiposenter dengan nonlinier, sebagai berikut:
A. Grid Search
Grid search merupakan salah satu metode yang digunakan dalam nonlinier.
Metode ini melakukan pencarian lokasi hiposenter dengan menghitung grid satu
per satu secara sistematik. Metode grid search menentukan diskritisasi dengan
interval tertentu pada ruang model (x, y, dan z). Metode ini memiliki tingat
akurasi yang cukup tinggi apabila jarak antar grid diperkecil, sehingga mampu
mendapatkan hasil yang presisi. Namun, memakan waktu yang relatif lebih lama
dibandingkan dengan Metropolis karena jumlah model yang di uji lebih besar.
Metode ini juga kurang efisien untuk masalah dengan banyak parameter yang
tidak diketahui dan ruang parameter besar [3].
Untuk mendapatkan solusi inversi nonlinier, evaluasi secara sistematik fungsi
objektif pada setiap sampel model pada ruang model merupakan cara yang paling
mudah. Fungsi objektif yang digunakan merupakan perhitungan pemodelan
kedepan (forward modelling). Metode ini tidak memerlukan perhitungan gradien
atau turunan fungsi objektif, sehingga inversi diselesaikan dengan nonlinier tanpa
pendekatan linier atau linearisasi [19].
B. Metropolis
Metropolis merupakan metode penentuan lokasi hiposenter gempa bumi dengan
inversi nonlinier, yang menggunakan pencarian acak dalam ruang model pada
volume (x, y, dan z), untuk mendapatkan himpunan dari sampel. Seperti Grid
search, metode Metropolis tidak membutuhkan turunan parsial sehingga dapat
digunakan untuk menghitung struktur kecepatan 3-D yang kompleks. Pencarian
secara acak pada ruang solusi (x, y, dan z) dengan uji coba terdekat, yang mana
dapat diterima atau ditolak setelah dievaluasi dengan forward modeling.
Metropolis-Gibbs ini bekerja lebih lambat 10 kali lipat dibandingkan metode
linier, dan lebih cepat 100 kali lipat dibandingkan dengan metode grid search
karena sampel Metropolis melakukan pencarian secara stokastik dengan seluruh
data 3-D waktu tempuh pada ruang penyimpanan. Apabila ruang penyimpanan
29
terbatas dari jumlah data waktu observasi, maka grid waktu tempuh akan
berlangsung sangat lama [3].
Metropolis menggunakan solusi persamaan Simulated Annaeling. Simulated
Annealing merupakan bagian salah satu metode Guided Random Search.
Pencarian solusi atau probabilitas secara acak kurang efisien karena jumlah model
yang dievaluasi masih cukup besar dan setiap model dalam ruang model memiliki
probabilitas yang sama untuk dipilih sebagai lokasi optimum. Pertubasi model
dalam mekanisme simulated annealing adalah untuk mengeksplorasi ruang model
secara acak namun lebih terarah. Algoritma Metropolis terdiri dari dua langkah,
yaitu pertubasi model dan penentuan diterima atau tidaknya pertubasi model
tersebut.
Pada proses pencarian secara acak, ruang model harus didefinisikan terlebih
dahulu dengan menentukan “a priori” interval harga maksimum dan minimum
parameter model, parameter model pada penelitian ini ialah posisi gempa.
Parameter model ditentukan dengan mengambil bilangan acak dengan
probabilitas seragam antara 0 dan 1 yang dipetakan menjadi harga parameter
model [19].
C. Oct-tree
Oct-tree adalah struktur data pohon, dimana setiap pusat sel induk (ruang volume
x, y, dan z) menggunakan pembagian rekursif (proses pembagian berulang dimana
sel akan terus di partisi ke dalam sel yang lebih kecil) dengan pembagian sel
berdasarkan nilai probabilitas pada Posterior Density Function [6]. Nilai error
dan probabilitas akan dihitung di setiap sel, nilai probabilitas yang paling besar
pada sel akan dipilih menjadi sebuah luasan sel baru, kemudian luasan sel yang
dipilih kembali di partisi dengan ukurannya akan semakin kecil (Gambar 2.16).
Hal ini dilakukan berulang hingga mendapatkan hiposenter dengan nilai
Probabilitas Prosterior Density Function yang maksimum.
Oct-tree merupakan salah satu metode yang disediakan oleh program NonLinLoc
7.00. Metode ini merupakan solusi probabilitas dengan pendekatan secara global.
30
Sistem pencarian dalam metode ini memiliki waktu komputasi yang lebih cepat
1000 kali dari Grid Search, serta pencarian lebih kompleks dan menyeluruh
dibandingkan Metropolis [2].
Pada penelitian ini metode Oct-tree digunakan untuk mendapatkan solusi
pencarian hiposenter berdasarkan parameter waktu tiba gelombang. Semakin kecil
nilai misfit-nya maka nilai probabilitasnya semakin besar. Oct-tree didasari oleh
inversi probabilitas dengan analisis statistik untuk penentuan lokasi gempa bumi.
Oct-tree akan mencari nilai peluang terbesar dari model grid dengan
menggunakan data waktu tiba gelombang gempa. Metode ini akan membagi grid
yang telah ditentukan menjadi grid yang kecil, semakin kecil, dan lebih kecil lagi
sehingga nilai peluang akan semakin besar dan titik lokasi dapat ditentukan.
Apabila misfit yang didapat semakin kecil maka nilai peluang mendapatkan lokasi
sumber gempa di lokasi tersebut semakin besar.
Gambar 2.16 Ilustrasi grid model dalam metode Oct-Tree [6].
Solusi Probabilitas Prosterior Density Function (ϑ )dalam sistem pencarian inversi
nonlinier Oct-Tree ditunjukkan pada persamaan (2.61), sebagai berikut:
ϑ ( x )=ƙ e−1 /2 (misfit ( x )) (2.61)
31
ƙ=∑ij
(C t+CT )−1ij (2.62)
Misfit = ∑i=1
N
(T iobs−T i
cal )2 (2.63)
Sehingga solusi probabilitas dalam sebuah sel grid pada suatu volume ke-i yaitu:
Pi=V i ϑ (x ) (2.64)
Dimana ϑ ( x ) merupakan nilai probabilitas Posterior Density Function, ƙ
merupakan faktor normalisasi, C tmerupakan matriks kovariansi a priori, CT
merupakan matriks kovariansi teoritis, misfit merupakan nilai error, Pi
merupakan solusi probabilitas pada suatu volume sel, V i merupakan volume sel.
2.5 Metode Posterior Density Function (PDF)
Metode PDF (Posterior Density Function) merupakan metode penentuan
parameter model berdasarkan kepadatan probabilitas inversi (peluang terbesar)
dan analisis statistik. Metode dapat diaplikasikan pada penentuan lokasi
hiposenter (Xo, Yo, Zo) dan origin time (to) berdasarkan kepadatan probabilistik
inversi (peluang terbesar) dengan analisis stastistik yang dinormalisasikan (data
yang diurutkan) maupun tidak dinormalisasikan. Metode PDF menggunakan
algoritma nonlinier untuk mengeksplorasi ruang model secara lebih terarah
dengan memberi peluang lebih besar pada model yang memiliki kontribusi
signifikan pada perhitungan kuantitas posterior, mengikuti formulasi inversi
probabilitas yang dijelaskan pada [4] dan [5]. Fungsi kepadatan yang
dinormalisasikan f(x) untuk nilai parameter x, memiliki nilai probabilitas
hiposenter (x) antara X dan X + ∆X ditunjukkan pada persamaan (2.65).
P( X ≤ x≤ X+∆ X) = ∫X
X+∆ X
f ( x ) dx (2.65)
Probabilitas hiposenter antara X hingga X + ∆X ditentukan dengan nilai misfit
yang sangat kecil. Fungsi PDF memiliki nilai antara 0 dan 1 mengikuti prinsip
peluang dan statistik.
Jika fungsi kepadatan a priori memiliki nilai variansi lebih kecil dari data dan
memiliki variansi yang besar pada parameter pada kasus underdetermined (D <
32
P), maka penyelesaian masalah mengunakan inversi nonlinier, begitu juga
sebaliknya jika jumlah data lebih besar daripada parameter model (D > P) maka
menggunakan penyelesaian kedepan (forward). Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya dengan menggunakan penyelesaian dengan formulasi inversi maka
harus membatasi nilai-nilai dari parameter (P) yang tidak diketahui. Sehingga
solusi Posterior Density Function (PDF) untuk parameter (ϑ p(p)) dinyatakan
dalam persamaan (2.66) [4], sebagai berikut:
ϑ p (p) = α p(p) ∫ αd (d )∅ (d∨p)φd(d)
dd (2.66)
Dimana ϑ p(p) merupakan solusi Posterior Density Function (PDF) untuk
parameter model yang dicari, d merupakan data observasi, ∅ (d , p) merupakan
hubungan teoritis antara p dan d, α p(p) merupakan informasi a priori parameter, α
d(d) merupakan informasi a priori dari data observasi yang bersifat bebas, sertaφ p
(p) dan φd(d) merupakan fungsi kepadatan null information pada parameter dan
data bersifat konstan.
Semua sampel grid pada model akan dihitung menggunakan PDF, sehingga solusi
umum lokasi koordinat hiposenter spasial sementara pada kasus data Gaussian
(distribusi normal) ditunjukkan pada persamaan (2.67).
ϑ ( X , Y , Z , to )=α ( X ,Y , Z , t o ) .exp {−12 [T i
obs−T ical ]T . (CT+C t )
−1 .
[T iobs−T i
cal] } (2.67)
Dimana ϑ ( X ,Y , Z , to ) merupakan lokasi PDF dari hiposenter dalam koordinat
spasial sementara.α ( X ,Y , Z , t o ) merupakan fungsi kepadatan dari parameter
model. T icalmerupakan waktu tiba teoritis, T i
obswaktu tiba observasi, CT merupakan
matriks kovarian teoritis, dan C t merupakan matriks kovarian “a priori”.
Pada kasus penentuan lokasi gempa bumi, parameter yang ingin diketahui adalah
koordinat hiposenter (x, y, dan z) dan origin time t o, dan data waktu tiba secara
teoritis. Jika hubungan error waktu tiba teoritis dan observasi memiliki asumsi
33
ketidakpastian Gaussian dengan kovariansi matriks CT dan Ct, dilakukan
peminimuman residu antara waktu tiba observasi dan waktu tiba teoritis sehingga
dapat menghasilkan model yang dekat dengan data pengamatan.
Karena origin time pada data informasi a priori belum diketahui, maka t o
diasumsikan seragam ditunjukkan pada persamaan (2.68).
α ( X ,Y , Z , t o )=α (t o ) . α ( X ,Y , Z )=α (X , Y , Z) (2.68)
Perhitungan waktu tiba di stasiun ke-i, gi(X,Y,Z,T) dapat dituliskan menjadi:
T ical ( X ,Y , Z , T )=T i
cal(x , y , z )+t o (2.69)
Sehingga solusi Posterior Density Function (PDF) pada penentuan lokasi
hiposenter spasial pada kasus Gaussian, ditunjukkan pada persamaan (2.70):
ϑ ( X , Y , Z )=ƙ α ( X , Y ,Z ) . exp{−12 [T i
obs−T ical ]T P [T i
obs−T ical]} (2.70)
Dimana P = (C t+CT )−1 merupakan bobot matriks kovariansi, Pi¿∑j
pij merupakan
bobot, dengan Pimerupakan bobot matriks ke-i, pij merupakan bobot kovariansi
matriks pada stasiun ke-i hingga stasiun ke-j. Sehingga faktor normalisasi (ƙ ¿
ditunjukkan pada persamaan (2.71) dan kovarian matriks teoritis CT dapat
dihitung menggunakan persamaan (2.72).
ƙ=∑i
Pi=¿∑ij
pij ¿ (2.71)
[C¿¿T ( X ,Y ,Z )]ij=ϑ T2 . exp{−1
2Dij
2
∆2 }¿ (2.72)
dengan ϑT2 merupakan error teoritis, ∆ merupakan korelasi panjang error, dan Dij
2
adalah jarak antara stasiun ke-i dan stasiun ke-j. (Catatan: CT tergantung pada
(X,Y,Z) begitu juga dengan Pi, pij, k).
Selanjutnya, perhitungan kemungkinan origin time maksimum (Tml) sesuai dengan
posisi hiposenter (X, Y, dan Z), dihitung berdasarkan perbedaan antara bobot rata-
34
rata dari waktu tiba observasi dan waktu tiba teoritis ditunjukkan pada persamaan
(2.73).
Tml(x) = ∑
i∑
jPij [ T i
obs−T ical ]
∑i∑
jPij
(2.73)
Dengan T iobs merupakan waktu tiba gempa bumi pada stasiun ke-i secara
pengamatan dan T ical merupakan waktu tiba teoritis. Waktu tiba teoritis dihitung
berdasarkan persamaan eikonal dengan pendekatan finite difference ditunjukkan
pada persamaan (2.74). Dengan hi(x , y , z ) merupakan waktu tempuh dari titik
hiposenter ke koordinat (X,Y,Z), dan S merupakan slowness pada model 3-D.
( ∂ hi∂ x )
2
+( ∂ hi∂ y )
2
+( ∂ hi∂ z )
2
= s2( x , y , z ) (2.74)
Gambar 2.17 Ilustrasi Posterior Density Function gempa bumi [2].
2.6 Metode Coupled Hypocenter Velocity
Metode Coupled Hypocenter Velocity merupakan salah satu metode dalam
penentuan model kecepatan gelombang seismik 1-D dengan menggunakan
program VELEST. Metode ini dapat menyelesaikan permasalahan penentuan
hiposenter dan juga penentuan model kecepatan lokal dengan penyelesaian
35
menggunakan inversi nonlinier dengan pendekatan linier kecuali [14]. Dalam
penelitian Tugas Akhir ini, metode Coupled Hypocenter Velocity digunakan untuk
menghitung model kecepatan 1-D lokal dan juga dapat menghasilkan relokasi
hiposenter gempa bumi pada daerah penelitian. Data yang diperlukan yaitu,
informasi a priori lokasi gempa bumi (latitude, longitude, depth, magnitude,
origin time), travel time, referensi awal model kecepatan daerah penelitian, serta
koordinat dari stasiun seismometer gempa, yang akan diolah menggunakan model
kuantitatif dengan menghasilkan relokasi hiposenter, model kecepatan baru, dan
koreksi stasiun [15]. Model kecepatan gelombang seismik yang dihasilkan
merupakan model 1-D, hal ini dilakukan untuk penyederhanakan model bawah
permukaan sebenarnya dalam 1-D. Model kecepatan 1-D biasanya digunakan
sebagai parameter penting penentuan lokasi gempa, model awal dalam penentuan
model kecepatan 3-D seismik tomografi, dan dapat memberikan informasi model
perlapisan bumi berdasarkan parameter kecepatan.
Metode Coupled Hypocenter Velocity merupakan metode penentuan relokasi
gempa bumi, model kecepatan, dan koreksi stasiun. Secara inversi simultan
menggunakan ekspansi Taylor orde pertama dalam inversi nonlinier dengan
pendekatan linier, untuk memperoleh hubungan linier antara waktu tiba residual
dan pencocokan parameter hiposenter (∆ hk) dan kecepatan (∆ mi) ditunjukkan
dalam persamaan (2.75) [14].
r=tobs−t cal=∑k=1
4 ∂ f∂hk
∆ hk+∑i=1
n ∂ f∂ mi
∆ mi+e (2.75)
Dimana
r = waktu residual (s)
t obs = waktu tiba observasi (s)
t cal = waktu tiba perhitungan (s)
f = fungsi dari waktu observasi (s)
e = error dari waktu tiba perngamatan maupun perhitungan (s)
hk = lokasi hiposenter latitude, longitude, kedalaman (km) dan origin time (s)
m = model kecepatan (km/s)
n = banyak data
36
Untuk menghitung waktu residual (r) yang merupakan selisih waktu pengamatan
(t ¿¿obs)¿ dan waktu perhitungan (t ¿¿cal)¿ secara matematis dirumuskan dalam
persamaan (2.76) sebagai berikut:
r=tobs−t cal (2.76)
Nilai error (e) dari proses pengamatan dan perhitungan dapat dihitung dengan
menggunakan least squares ditunjukkan pada persamaan (2.77) dan untuk
menentukan jumlah residual kuadrat (RMS) dengan mengakarkan nilai error (e)
dari waktu tiba terhadap banyaknya data (n), dinyatakan dalam persamaan (2.78).
e=∑i=1
n
(ri )2 (2.77)
RMS =√ en
(2.78)
Tahapan berikutnya, nilai-nilai tersebut digunakan dalam forward modeling untuk
menghasilkan t cal baru yang akan di bandingkan misfit-nya dengan t cal
sebelumnya. Tahapan tersebut adalah tahapan dalam program VELEST untuk satu
iterasi. Di setiap iterasinya, terdapat nilai RMS (root mean square) antara waktu
tiba observasi dan waktu tiba perhitungan, sehingga jumlah iterasinya dapat diatur
hingga memenuhi kriteria RMS yang diharapkan.
Penyelesaian permasalahan dengan Metode Coupled Hypocenter Velocity
menggunakan forward modeling dari ray tracing (penjejakan sinar) dari sumber
ke penerima yaitu, perhitungan penjalaran gelombang langsung (direct wave),
gelombang dibiaskan (refracted wave), dan gelombang dipantulkan (reflected
wave) melewati model 1-D [15]. Program VELEST melakukan perhitungan secara
iteratif yaitu inversi nonlinier dengan pendekatan linear, maka digunakan
pemodelan inversi dengan matriks damped least squares (L) digunakan sebagai
faktor pembobotan, ditunjukkan pada persamaan (2.83), yaitu:
d = Jm (2.80)
∆ d=J ∆ m (2.81)
∆ m=¿JTJ]-1 JT∆ d (2.82)
∆ m=¿JTJ + IL]-1 JT∆ d (2.83)
37
dimana, J merupakan matrik Jakobian, JT adalah transpose matriks Jakobian, L
adalah damping matriks, I merupakan matriks identitas, d adalah data observasi¿¿
), ∆ d merupakan data observasi dikurangi data kalkulasi, m adalah parameter
model, dan ∆ m adalah selisih parameter model observasi kalkulasi. Penggunaan
nilai damping akan mempengaruhi nilai pertubasi parameter model (∆m), dengan
hubungan antara besarnya damping dan nilai ∆m merupakan kebalikannya.
Kemudian hasil dari inverse modelling merupakan vektor kebalikan dari ∆m,
yang selanjutnya dapat diperoleh nilai parameter hiposenter, model kecepatan
gelombang seismik lokal 1-D, dan koreksi stasiun.
BAB III
TINJAUAN GEOLOGI DAN TEKTONIK
Daerah Yogyakarta merupakan suatu daerah cekungan, di bagian utara di batasi
oleh Gunung Merapi yang berumur Kuarter, bagian barat dibatasi oleh
Pengunungan Kulon Progo dengan batuan berumur Tersier, bagian timur dibatasi
oleh Pengunungan Selatan dengan batuan berumur Tersier, dan di sebelah selatan
dibatasi oleh Samudra Hindia. Batuan berumur Tersier dengan kisaran umur 57-
18 juta tahun lalu berada pada Pegunungan Selatan dan Pegunungan Kulon Progo,
terdiri dari serial batuan klastik produk gunung api purba (Formasi Ngalanggrang,
Nanggulan, Kebobutak, Semilir, Wuni, dan Sambipitu). Kemudian ditumpangi
oleh serial batuan karbonatan dari pengendapan laut dangkal, dengan kisaran
umur 20-1,6 juta tahun lalu (Formasi Wonosari, Jonggarang, Kepek, dan Sentolo).
Pengangkatan Pegunungan Selatan dan Pegunungan Kulon Progo terjadi sekitar
1,6 juta tahun lalu yang membentuk cekungan Yogyakarta. Kemudian Gunung
Merapi muncul di sebelah Utara pada umur Kuarter yang mengisi cekungan
Yogyakarta dengan endapan vulkanik Gunung Merapi hingga saat ini.
38
Gambar 3.1 Peta Geologi Daerah Istimewa Yogyakarta [8].
3.1 Fisiografi Daerah Yogyakarta
Daerah Istimewa Yogyakarta berada di bagian tengah Pulau Jawa, secara
geografis berada pada 8o30’-7o20’ LS dan 109o40’-111o0’ BT. Berdasarkan
bentang alam, daerah ini dibagi menjadi empat satuan fisiografi, yaitu Satuan
Gunungapi Merapi, Satuan Pengunungan Selatan (Pengunungan Seribu), Satuan
Kulon progo, dan Satuan Dataran Rendah.
3.1.1 Satuan Gunung Merapi
Satuan Gunungapi Merapi meliputi kerucut gunung api hingga daratan fluvial
termasuk juga bentang alam vulkanik, meliputi Sleman, Kota Yogyakarta, dan
sebagian Daerah Bantul. Daerah kerucut dan lereng gunung api merupakan daerah
hutan lindung sebagai kawasan resapan air daerah bawahan.
3.1.2 Satuan Pegunungan Selatan
Satuan Gunung Selatan terletak di wilayah Gunung Kidul atau yang dikenal
dengan Pengunungan Seribu. Satuan Pegunungan Selatan di bagi menjadi tiga
zona, yaitu Batuagung, Wonosari, dan Gunung Sewu. Wilayah ini terdiri dari dua
kelompok besar batuan yaitu batuan vulkanik dan batu gamping (limestone)
39
dengan bentang alam yang tandus dan selalu kekurangan air. Dengan bagian
tengah merupakan cekungan Wonosari yang telah mengalami pengangkatan
secara tektonik sehingga membentuk dataran tinggi Wonosari. Satuan ini
terbentuk dari proses pelarutan dengan bahan dasar batu gamping, memiliki
karakteristik lapisan tanah dangkal, dan vegetasi penutup yang jarang.
3.1.3 Satuan Pengunungan Kulon Progo
Satuan pengunungan Kulon Progo terletak di Kulon Progo bagian utara,
merupakan bentang lahan struktural denudasional dengan topografi berbukit yang
memiliki lereng curam dan potensi air tanahnya kecil. Statigrafi yang paling tua di
daerah ini ialah formasi Nanggulan, kemudian secara tidak selaras diatasnya
diendapkan batuan-batuan dari formasi Jonggaran dan Formasi Sentolo.
3.1.4 Satuan Dataran Rendah
Satuan Dataran Rendah memiliki bentang lahan fluvial (hasil proses pengendapan
sungai) yang didominasi oleh dataran aluvial, membentang hingga ke bagian
selatan Daerah Istimewa Yogyakarta mulai dari Kabupaten Progo sampai dengan
Kabupaten Bantul yang berbatasan dengan Pengunungan Seribu. Bentang lahan
lainnya belum didayagunakan secara optimal yaitu bentang lahan marine dan
eolian yang merupakan satuan wilayah pantai, yang terbentang dari Kulon Progo
sampai ke Bantul.
III.2 Statigrafi Daerah Yogyakarta
Berikut merupakan formasi batuan di daerah penelitian secara berurut dari
berumur tua ke muda [35], yaitu:
a. Formasi Semilir (Tms)
Formasi Semilir tersusun atas perselingan tuf, breksi batuapung, tuf dasitan,
batu pasir tuf-an, serpih, breksi tuf, breksi batuapung, tufa andesit, serta batu
lempung tufaan. Formasi diendapkan pada akhir Miosen bawah dan merupakan
batuan tertua di daerah penelitian. Formasi ini berada di daerah sekitar
Wonosari, Imogiri, Sambeng, Ngawan, Karangmojo, dan Semin.
40
b. Formasi Nglanggran (Tmng)
Formasi Nglanggran batuan penyusunnya terdiri dari breksi gunung api dengan
fragmen andesitan, aglomerat, breksi aliran, dan lava. Dibeberapa tempat pada
formasi ini terdapat batuan beku andesit basalt yang berubah menjadi batuan
beku terkekarkan berstruktur bantal, breksi autoklastik, hialoklastik, dan
akhirnya menjadi breksi andesit. Formasi ini berumur Miosen tengah.
c. Formasi Sambipitu (Tmss)
Formasi Sambipitu tersusun atas perselingan batu pasir, serpih, batulanau, tuff,
dan konglomerat. Formasi ini berumur Miosen Tengah, dapat ditemukan di
Maladan dan Kedungwanglu.
d. Formasi Wonosari-Punung (Tmwl)
Formasi Wonosari-Punung berumur Miosen Tengah hingga Miosen Atas
penyebarannya sangat luas dari Wonosari sampai ke arah Selatan. Formasi ini
tersusun dari batu gamping terumbu, kalkarenit, dan kalkarenit tufan.
e. Kepek (Tmpk)
Formasi Kepek tersusun dari napal dan batu gamping berlapis. Formasi ini
berumur Miosen Atas, dapat dijumpai di sekitar cekungan Karangmojo dan
Sawahan.
f. Aluvium (Qa)
Endapan aluvium terdiri dari bahan endapan lempung, lumpur, lanau, pasir,
kerikil, kerakal, dan berakal. Endapan ini berumur Holosen, dapat dijumpai di
Ponjong, sebelah timur Wonosari, dan Nglabu sebelah barat laut Bantul.
41
Gambar 3.2 Urutan statigrafi penyusun daerah Yogyakarta dari tua ke muda
[27].
Gambar 3.3 Peta Geologi Yogyakarta yang telah dimodifikasi oleh Barianto dkk.
tahun 2009 dari peta Geologi 1:100000 Raharjo dkk. tahun 1995 [10].
42
III.3 Tektonik Daerah Yogyakarta
Secara tektonik Daerah Istimewa Yogyakarta terletak pada jalur subduksi
lempeng, yaitu Lempeng Indo-Australia di sebelah selatan menyusup terhadap
Lempeng Eurasia di sebelah utara [12]. Pergerakan lempeng ini menimbulkan
terbentuknya unsur-unsur tektonik, seperti Zona Benioff yang landai, palung laut
Jawa, Gunung Merapi, lipatan meliputi sinklin maupun antiklin, dan sesar aktif.
Beberapa sistem sesar yang berada di Yogyakarta di duga masih aktif yaitu, Sesar
Opak, Sesar Oya, Sesar Dengkeng, Sesar Progo, Sesar Siluk, dan sesar-sesar
mikro lainnya yang belum teridentifikasi. Aktifnya dinamika subduksi lempeng
mendukung aktivitas sesar didaratan. Kondisi tersebut menjadikan daerah
Yogyakarta menjadi salah satu kawasan dengan tingkat seismisitas tinggi di
Indonesia.
Sketsa sistem tektonik di daerah Yogyakarta ditunjukkan pada Gambar (3.4).
Lempeng samudera terdorong kearah utara dan menyusup ke bawah Jawa.
Pelelehan sebagian (partial melting) terjadi pada kedalaman sekitar 100 km.
Material lelehan naik ke permukaan keluar melalui gunung api sehingga terjadi
penumpukan stress di daerah busur depan (forearc), membentuk fracture maupun
sesar. Daerah lemah di forearc berkorelasi juga dengan lokasi gempa, simbol
bintang kuning menunjukkan hiposenter gempa yang terjadi di sekitar Sesar Opak
pada 26 Mei 2006. Distribusi seismisitas di zona Benioff menunjukkan sudut
kemiringan dari slab. Pada 150 km dari palung (trench) slab tampak hampir
horizontal dan kemudian sudut kemiringan meningkat agak tajam hingga 450.
Perubahan ini dapat menyebabkan penumpukan dorongan dan tegangan ke utara.
Setelah lelehan magma naik dan mencapai batas forearc di utara maka terbentuk
konsentrasi gas dan magma yang tinggi dan menyebabkan vulkanik aktif [13].
43
Gambar 3.4 Visualisasi penampang lintang setting tektonik zona subduksi jawa
[13].
Yogyakarta memiliki struktur geologi yang unik yaitu Sesar Opak yang berada
disekitar Sungai Opak. Sesar Opak merupakan sesar geser berarah timur laut -
barat daya ± 235° E /80 °, yang memisahkan dataran tinggi perbukitan Wonosari
dengan daratan rendah Yogyakarta, tersusun dari endapan letusan Gunung Merapi
yang masih muda. Sesar ini pernah diteliti pada tahun 1980-an dan disimpulkan
bahwa sesar ini tidak aktif lagi sehingga tidak pernah diperhitungkan sebagai
salah satu potensi bahaya bagi Yogyakarta dan sekitarnya [35]. Sesar Opak
nampaknya kembali aktif setelah terjadinya gempa bumi yang berpusat di sekitar
sesar tersebut, maka perlu dikaji dan dianalisa kembali. Sesar-sesar minor banyak
dijumpai di daerah penelitian penelitian dominan berarah barat laut-tenggara.
44