24
I. PENDAHULUAN Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra akibat adanya jaringan parut dan kontraksi. Striktur uretra kemungkinan kongenital dan didapat. Striktur uretra yang didapat dapat disebabkan trauma (kecelakaan, instrumentasi), infeksi (terutama gonore), dan tekanan tumor. Striktur uretra lebih banyak terjadi pada pria dari pada wanita. Hal ini disebabkan perbedaan anatomis, uretra pria lebih panjang dibandingkan dengan uretra wanita (Purnomo, 2011). Kejadian striktur uretra telah didokumentasikan sejak 600 tahun sebelum masehi. Menurut pendapat para ahli, pada abad ke-19 sekitar 15-20% pria dewasa pernah mengalami striktur. Pada abad ke-21 ini diperkirakan di Inggris 16.000 pria dirawat di rumah sakit karena striktur uretra dan lebih dari 12.000 memerlukan operasi. Estimasi prevalensi di inggris sendiri adalah 10/100.000 pada masa dewasa awal dan meningkat 20/100.000 pada umur 55 sedangkan pada umur 65 tahun menjadi 40/100.000. Angka ini meningkat terus untuk pasien tua sampai 100/100.000. Hal yang sama juga dilaporkan di Amerika Serikat (Mundy et al., 2010). Striktur uretra memiliki komplikasi berupa trabekulasi, sakulasi dan divertikel, residu urin, refluks vesiko ureteral, infeksi saluran kemih dan gagal ginjal, infiltrat urin, abses dan fistulasi. 1

Referat Uro

  • Upload
    ridda

  • View
    243

  • Download
    1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Urologi

Citation preview

Page 1: Referat Uro

I. PENDAHULUAN

Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra akibat adanya jaringan

parut dan kontraksi. Striktur uretra kemungkinan kongenital dan didapat. Striktur

uretra yang didapat dapat disebabkan trauma (kecelakaan, instrumentasi), infeksi

(terutama gonore), dan tekanan tumor. Striktur uretra lebih banyak terjadi pada

pria dari pada wanita. Hal ini disebabkan perbedaan anatomis, uretra pria lebih

panjang dibandingkan dengan uretra wanita (Purnomo, 2011).

Kejadian striktur uretra telah didokumentasikan sejak 600 tahun sebelum

masehi. Menurut pendapat para ahli, pada abad ke-19 sekitar 15-20% pria dewasa

pernah mengalami striktur. Pada abad ke-21 ini diperkirakan di Inggris 16.000

pria dirawat di rumah sakit karena striktur uretra dan lebih dari 12.000

memerlukan operasi. Estimasi prevalensi di inggris sendiri adalah 10/100.000

pada masa dewasa awal dan meningkat 20/100.000 pada umur 55 sedangkan pada

umur 65 tahun menjadi 40/100.000. Angka ini meningkat terus untuk pasien tua

sampai 100/100.000. Hal yang sama juga dilaporkan di Amerika Serikat (Mundy

et al., 2010).

Striktur uretra memiliki komplikasi berupa trabekulasi, sakulasi dan

divertikel, residu urin, refluks vesiko ureteral, infeksi saluran kemih dan gagal

ginjal, infiltrat urin, abses dan fistulasi. Tingkat kekambuhan striktur uretra

meningkat sebanding dengan panjang striktur. Tingkat kekambuhan pada 12 bulan

adalah 40%, 50%, dan 80%, untuk masing-masing panjang striktur < 2 cm, 2-4

cm dan > 4 cm. Tingkat kekambuhan striktur dengan panjang 2-4 cm meningkat

menjadi 75% pada 48 bulan masa tindak lanjut (Broghammer, 2013; Dogra et al.,

2011).

1

Page 2: Referat Uro

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra akibat adanya jaringan parut

dan kontraksi. Striktur urethra merupakan berkurangnya diameter dan atau

elastisitas uretra yang disebabkan oleh jaringan uretra diganti jaringan ikat

yang kemudian mengkerut menyebabkan lumen uretra mengecil. Penyempitan

lumen uretra disebabkan oleh dinding urethra mengalami fibrosis dan pada

tingkat yang parah terjadi fibrosis korpus spongiosium (Purnomo, 2011).

B. Epidemiologi

Kejadian striktur uretra telah didokumentasikan sejak 600 tahun sebelum

masehi. Menurut pendapat para ahli, pada abad ke-19 sekitar 15-20% pria

dewasa pernah mengalami striktur. Pada abad ke-21 ini diperkirakan di Inggris

16.000 pria dirawat di rumah sakit karena striktur uretra dan lebih dari 12.000

memerlukan operasi. Estimasi prevalensi di inggris sendiri adalah 10/100.000

pada masa dewasa awal dan meningkat 20/100.000 pada umur 55 sedangkan

pada umur 65 tahun menjadi 40/100.000. Angka ini meningkat terus untuk

pasien tua sampai 100/100.000. Hal yang sama juga dilaporkan di Amerika

Serikat (Mundy et al., 2010).

Sebuah studi di Nigeria melaporkan pola striktur uretra. Dalam studi ini

menyebutkan delapan puluh empat pasien (83 laki-laki dan 1 perempuan)

dengan striktur uretra dilihat dalam sebuah periode dengan usia rata-rata 43,1

tahun. Trauma bertanggung jawab untuk 60 (72,3%) kasus, dengan kecelakaan

lalu lintas sebanyak 29 orang (34,9%), dengan trauma iatrogenik sebesar 17

(20,5%) dari semua kasus striktur uretra. Pemasangan kateter uretra

bertanggung jawab pada 13 pasien (76,5%) dari kasus iatrogenik. Uretritis

purulen bertanggung jawab untuk 22 (26,5%) kasus. Lima puluh (60,2%) kasus

terletak di uretra anterior sedangkan dua puluh tiga (39,8%) berada di

posterior. Lima puluh tujuh pasien dilakukan urethroplasty dengan

kekambuhan 14% dan 8 pasien mengalami dilatasi uretra dengan kekambuhan

50% pada 1 tahun (Tijani et al., 2009).

2

Page 3: Referat Uro

C. Klasifikasi

Striktur dapat terjadi pada semua bagian uretra, namun kejadian yang

paling sering pada orang dewasa adalah di bagian pars bulbosa-membranasea,

sementara pada pars prostatika lebih sering mengenai anak-anak (Kotb, 2010).

Sesuai dengan derajat penyempitan lumennya, striktur uretra dibagi menjadi 3

tingkatan, yaitu (Purnomo, 2011):

1. Ringan, jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen uretra.

2. Sedang, jika terdapat oklusi 1/3 sampai dengan ½ diameter lumen uretra.

3. Berat, jika terdapat oklusi lebih besar dari ½ diameter lumen uretra. Pada

penyempitan derajat berat, kadang kala teraba jaringan keras di korpus

spongiosum yang dikenal dengan spongiofibrosis.

Gambar 2.1. Derajat penyempitan lumen (Purnomo, 2011)

3

Page 4: Referat Uro

Gambar 2.2. Anatomi striktur uretra anterior meliputi, A. Sebuah lipat mukosa.

B. Penyempitan iris C. Ketebalan penuh, keterlibatan dengan

fibrosis minimal dalam jaringan spons. D. Ketebalan penuh

spongiofibrosis. E. Peradangan dan fibrosis yang melibatkan

jaringan luar korpus spongiosum. F. Striktur kompleks rumit

dengan fistula (Wein, 2007).

D. Etiologi dan Faktor Risiko

Penyakit ini lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita karena

adanya perbedaan panjang uretra. Uretra pria dewasa berkisar antara 23-25 cm,

sedangkan uretra wanita sekitar 3-5 cm. Karena itulah uretra pria lebih rentan

terserang infeksi atau terkena trauma dibanding wanita. Beberapa faktor resiko

lain yang diketahui berperan dalam insiden penyakit ini, diantaranya (Selius,

2008):

1. Pernah terpapar penyakit menular seksual

2. Ras orang Afrika

3. Berusia diatas 55 tahun

4. Tinggal di daerah perkotaan.

Infeksi yang paling sering menimbulkan striktur uretra adalah infeksi

oleh kuman gonokokus, yang sempat menginfeksi uretra sebelumnya. Trauma

yang dapat menyebabkan striktur uretra adalah trauma tumpul pada

4

Page 5: Referat Uro

selangkangannya (straddle injury), fraktur tulang pelvis, atau cedera pasca

bedah akibat insersi peralatan bedah selama operasi transurethral, pemasangan

kateter, dan prosedur sitoskopi. Striktur kongenital sangat jarang terjadi.

Striktur ini disebabkan karena penyambungan yang tidak adekuat antara ureta

anterior dan posterior, tanpa adanya faktor trauma maupun peradangan

(Purnomo, 2011).

E. Patofisiologi

Karakteristik dari striktur adalah perubahan epitel uretra oleh jaringan

fibrosa padat karena tromboflebitis lokal di korpus spongiosum dalam. Epitel

itu sendiri biasanya utuh, meskipun yang abnormal. Patogenesis striktur belum

dipelajari secara luas dan studi yang ada menyebutkan infeksi sebagai

penyebab, meskipun telah ada studi pada model binatang yang mempelajari

trauma elektro-koagulasi pada uretra kelinci sebagai model cedera iatrogenik.

Lokasi dari kelenjar uretra berhubungan dengan tempat kejadian infeksi yang

berhubungan dengan striktur yang mengimplikasikannya sebagai penyebab.

Namun, satu-satunya studi tentang patogenesis penyakit striktur menunjukkan

bahwa perubahan yang utama adalah metaplasia epitel uretra dari normal

jenisnya pseudo-kolumnar bertingkat pada epitel skuamosa berlapis. Epitel ini

adalah epitel yang rapuh dan cenderung untuk robek saat terjadi distensi

selama berkemih. Robekan tersebut akan membuat lubang di epitel

menyebabkan ekstravasasi urine saat berkemih yang memicu untuk

terbentuknya fibrosis subepitel (Mundy et al., 2010).

Pada penampakan mikroskopis, tempat terjadinya robekan terbentuk

fibrosis dan menyatu selama periode tahun untuk membentuk plak

makroskopik, yang kemudian dapat menyempitkan uretra jika mereka menyatu

di sekitar lingkar uretra untuk membentuk sebuah cincin yang lengkap. Dalam

model pembentukan striktur, infeksi bakteri dapat menginduksi metaplasia

skuamosa, dan faktor lainnya dapat berupa bahan kimia, fisik atau biologis.

Plak makroskopik atau jaringan parut ini berisi kolagen dan fibroblast, dan

ketika mulai menyembuh jaringan ini akan berkontraksi ke seluruh ruang pada

lumen dan menyebabkan pengecilan diameter uretra, sehingga menimbulkan

hambatan aliran urin (Mundy et al., 2010; Purnomo, 2011).

5

Page 6: Referat Uro

Hambatan aliran urin menyebabkan aliran urin mencari jalan keluar di

tempat lain dan akhirnya mengumpul di rongga periuretra. Karena ekstravasasi

urine, daerah tersebut akan rentan terjadi infeksi akan menimbulkan abses

periuretra yang kemudian bisa membentuk fistula uretrokutan (timbul

hubungan uretra dan kulit). Selain itu resiko terbentuknya batu buli-buli juga

meningkat, timbul gejala sulit ejakulasi dan gagal ginjal (Purnomo, 2011).

F. Diagnosa Klinis

Diagnosis striktur uretra dapat kita tegakkan dengan cara anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Gejala penyakit ini mirip

seperti gejala penyebab retensi urin tipe obstruktif lainnya. Diawali dengan

sulit kencing atau pasien harus mengejan untuk memulai kencing namun urin

hanya keluar sedikit-sedikit. Gejala tersebut harus dibedakan dengan

inkontinensia overflow, yaitu keluarnya urin secara menetes, tanpa disadari,

atau tidak mampu ditahan pasien (Purnomo, 2011).

Gejala-gejala lain yang harus ditanyakan ke pasien adalah adanya disuria,

frekuensi kencing meningkat, hematuria, dan perasaan sangat ingin kencing

yang terasa sakit. Jika curiga penyebabnya adalah infeksi, perlu ditanyakan

adanya tanda-tanda radang seperti demam atau keluar nanah (Purnomo, 2011;

Kotb, 2010).

Pemeriksaan fisik dilakukan lewat inspeksi dan palpasi. Pada inspeksi

kita perhatikan meatus uretra eksterna, adanya pembengkakan atau fistel di

sekitar penis, skrotum, perineum, dan suprapubik. Kemudian kita palpasi

apakah teraba jaringan parut sepanjang uretra anterior pada ventral penis, jika

ada fistel dipijat muaranya untuk mengeluarkan nanah di dalamnya.

Pemeriksaan colok dubur berguna untuk menyingkir diagnosis lain seperti

pembesaran prostat (Purnomo, 2011).

G. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang berguna untuk konfirmasi diagnosis dan

menyingkirkan diagnosis banding. Uroflowmetri adalah alat untuk mengetahui

pancaran urin secara obyektif. Derasnya pancaran diukur dengan membagi

volume urin saat kencing dibagi dengan lama proses kencing. Kecepatan

6

Page 7: Referat Uro

pancaran normal adalah 20 ml/detik. Jika kecepatan pancaran kurang dari 10

ml/detik menandakan adanya obstruksi (Purnomo, 2011).

Pemeriksaan foto Retrograde Uretrogram dikombinasikan dengan

Voiding Cystouretrogram tetap dijadikan standar pemeriksaan untuk

menegakan diagnosis. Radiografi ini dapat menentukan panjang dan lokasi dari

striktur. Penggunaan ultrasonografi (USG) cukup berguna dalam mengevaluasi

striktur pada pars bulbosa. Dengan alat ini kita juga bisa mengevaluasi panjang

striktur dan derajat luas jaringan parut, contohnya spongiofibrosis. Hal ini

membantu kita memilih jenis tindakan operasi yang akan dilakukan kepada

pasien. Kita dapat mengetahui jumlah residual urine dan panjang striktur secara

nyata, sehingga meningkatkan keakuratan saat operasi (Purnomo, 2011).

Pemeriksaan yang lebih maju adalah dengan memakai uretroskopi dan

sistoskopi, yaitu penggunaan kamera fiberoptik masuk ke dalam uretra sampai

ke buli-buli. Dengan alat ini kita dapat melihat penyebab, letak, dan karakter

striktur secara langsung. Pencitraan menggunakan magneting resonance

imaging bagus dilakukan sebelum operasi karena dapat mengukur secara pasti

panjang striktur, derajat fibrosis, dan pembesaran prostat. Namun alat ini

belum tersedia secara luas dan biayanya sangat mahal sehingga jarang

digunakan. Pemeriksaan laboratorium seperti urinalisis atau cek darah lengkap

rutin dikerjakan untuk melihat perkembangan pasien dan menyingkirkan

diagnosis lain anak (Purnomo, 2011; Kotb, 2010).

Gambar 2.3. Retrograde urethrogram menunjukkan striktur uretra bulbar (Song

et al., 2013).

7

Page 8: Referat Uro

Gambar 2.4. Retrograde urethrogram menunjukkan obliterasi komplit bulbus

uretra bulbar (Song et al., 2013).

Gambar 2.5. Urethrogram retrograde menunjukkan penyakit pan-striktur uretra

bulbar (Song et al., 2013)

H. Penatalaksanaan

Tujuan dari pengobatan striktur uretra adalah kesembuhan permanen,

tidak hanya sembuh sementara. Pengobatan terhadap striktur uretra tergantung

pada lokasi striktur, panjang atau pendek striktur, dan kedaruratannya.

Contohnya, jika pasien datang dengan retensi urine akut, secepatnya lakukan

sistostomi suprapubik untuk mengeluarkan urine dari buli-buli. Sistostomi

adalah tindakan operasi dengan membuat jalan antara buli-buli dan dinding

perut anterior (Purnomo, 2011).

Jika dijumpai abses periuretra, kita lakukan insisi untuk mengeluarkan

nanah dan berikan antibiotika. Jika lokasi striktur di uretra pars bulbosa dimana

terdapat korpus spongiosum yang lebih tebal daripada di uretra pars pedularis,

maka angka kesuksesan prosedur uretrotomi akan lebih baik jika dikerjakan di

8

Page 9: Referat Uro

daerah tersebut. Penanganan konvensional seperti uretrotomi atau dilatasi

masih tetap dilakukan, walaupun pengobatan ini rentan menimbulkan

kekambuhan. Hasil sebuah studi mengindikasikan 80% striktur yang ditangani

dengan internal uretrostomi mengalami kekambuhan dalam 5 tahun berikutnya

(Purnomo, 2011).

Pemasangan stent adalah alternatif bagi pasien yang sering mengalami

rekurensi striktur. Namun tidak menutup kemungkinan untuk terjadi

komplikasi seperti hiperplasia jaringan uretra sehingga menimbulkan obstruksi

sekunder. Beberapa pilihan terapi untuk striktur uretra adalah sebagai berikut:

1. Dilatasi uretra

Ini merupakan cara yang paling lama dan paling sederhana dalam

penanganan striktur uretra. Direkomendasikan pada pasien yang tingkat

keparahan striktur masih rendah atau pasien yang kontra indikasi dengan

pembedahan. Dilatasi dilakukan dengan menggunakan balon kateter atau

busi logam dimasukan hati-hati ke dalam uretra untuk membuka daerah

yang menyempit. Pendarahan selama proses dilatasi harus dihindari karena

itu mengindikasikan terjadinya luka pada striktur yang akhirnya

menimbulkan striktur baru yang lebih berat. Hal inilah yang membuat angka

kesuksesan terapi menjadi rendah dan sering terjadi kekambuhan (Purnomo,

2011; Shet, 2011).

2. Uretrotomi interna

Teknik bedah dengan derajat invasive minim, dimana dilakukan

tindakan insisi pada jaringan radang untuk membuka striktur. Insisi

menggunakan pisau otis atau sasche. Otis dikerjakan jika belum terjadi

striktur total, sedangkan pada striktur lebih berat pemotongan dikerjakan

secara visual menggunakan kamera fiberoptik dengan pisau sasche

(Purnomo, 2011).

Tujuan uretrotomi interna adalah membuat jaringan epitel uretra yang

tumbuh kembali di tempat yang sbelumnya terdapat jaringan parut. Jika

tejadi proses epitelisasi sebelum kontraksi luka menyempitkan lumen,

uretrotomi interna dikatakan berhasil. Namun jika kontraksi luka lebih dulu

terjadi dari epitelisasi jaringan, maka striktur akan muncul kembali. Angka

9

Page 10: Referat Uro

kesuksesan jangka pendek terapi ini cukup tinggi, namun dalam 5 tahun

angka kekambuhannya mencapai 80%. Selain timbulnya striktur baru,

komplikasi uretrotomi interna adalah pendarahan yang berkaitan dengan

ereksi, sesaat setelah prosedur dikerjakan, sepsis, inkontinensia urine, dan

disfungsi ereksi (Shet, 2011; Santucci, 2011).

3. Pemasangan stent

Stent adalah benda kecil, elastis yang dimasukan pada daerah striktur. Stent

biasanya dipasang setelah dilatasi atau uretrotomi interna. Ada dua jenis

stent yang tersedia, stent sementara dan permanen. Stent permanen cocok

untuk striktur uretra pars bulbosa dengan minimal spongiofibrosis. Biasanya

digunakan oleh orang tua, yang tidak fit menjalani prosedur operasi. Namun

stent permanen juga memiliki kontra indikasi terhadap pasien yang

sebelumnya menjalani uretroplasti substitusi dan pasien straddle injury

dengan spongiosis yang dalam. Angka rekurensi striktur bervariasi dari

40%-80% dalam satu tahun. Komplikasi sering terjadi adalah rasa tidak

nyaman di daerah perineum, diikuti nyeri saat ereksi dan kekambuhan

striktur (Shet, 2011).

4. Uretroplasti

Uretroplasti merupakan standar dalam penanganan striktur uretra,

namun masih jarang dikerjakan karena tidak banyak ahli medis yang

menguasai teknik bedah ini. Sebuah studi memperlihatkan bahwa

uretroplasti dipertimbangkan sebagai teknik bedah dengan tingkat invasif

minimal dan lebih efisien daripada uretrotomi bertahan (Mundy et al.,

2010).

Uretroplasti adalah rekonstruksi uretra terbuka berupa pemotongan

jaringan fibrosis. Ada dua jenis uretroplasti yaitu uretroplasti anastomosis

dan substitusi. Uretroplasti anastomosis dilakukan dengan eksisi bagian

striktur kemudian uretra diperbaiki dengan mencangkok jaringan atau flap

dari jaringan sekitar. Teknik ini sangat tepat untuk striktur uretra pars

bulbosa dengan panjang striktur 1-2 cm. Uretroplasti substitusi adalah

mencangkok jaringan striktur yang dibedah dengan jaringan mukosa bibir,

mukosa kelamin, atau preputium. Ini dilakukan dengan graft, yaitu

10

Page 11: Referat Uro

pemindahan organ atau jaringan ke bagian tubuh lain, dimana sangat

bergantung dari suplai darah pasien untuk dapat bertahan (Mundy et al.,

2010).

Proses graft terdiri dari dua tahap, yaitu imbibisi dan inoskulasi.

Imbibisi adalah tahap absorsi nutrisi dari pembuluh darah paien dalam 48

jam pertama. Setelah itu diikuti tahap inoskulasi dimana terjadi

vaskularisasi graft oleh pembuluh darah dan limfe. Jenis jaringan yang bisa

digunakan adalah buccal mucosal graft, full thickness skin graft, bladder

epithelial graft, dan rectal mucosal graft. Dari semua graft diatas yang

paling disukai adalah buccal mucosal graft atau jaringan mukosa bibir,

karena jaringan tersebut memiliki epitel tebal elastis, resisten terhadp

infeksi, dan banyak terdapat pembuluh darah lamina propria. Tempat asal

dari graft ini juga cepat sembuh dan jarang mengalami komplikasi (Mundy

et al., 2010).

Angka kesuksesan sangat tinggi mencapai 87%. Namun infeksi

saluran kemih, fistula uretrokutan, dan chordee bisa terjadi sebagai

komplikasi pasca operasi. Prosedur rekonstruksi multiple Adalah suatu

tindakan bedah dengan membuat saluran uretra di perineum. Indikasi

prosedur ini adalah ketidakmampuan mencapai panjang uretra, bisa karena

fibrosis hasil operasi sebelumnya atau teknik substitusi tidak bisa

dikerjakan. Ketika terjadi infeksi dan proses radang aktif sehingga teknik

graft tidak bisa dikerjakan, prosedur ini bisa menjadi pilihan operasi (Shet,

2011; Kotb, 2010).

Rekonstruksi multiple memang memerlukan anestesi yang lebih

banyak dan menambah lama rawat inap pasien, namun berguna bila pasien

kontra indikasi terhadap teknik lain. Karena rentannya kekambuhan dan

komplikasi pasca operasi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan para

ahli medis agar operasi berjalan baik (Shet, 2011).

Pertama saat pre-operasi kita perkirakan panjang striktur dan derajat

fibrosis yang terjadi. Gunakan pemeriksaan radiologi seperti yang

disebutkan di atas. Analisis urine dan kultur harus dikerjakan sebelum

operasi, karena urine harus steril saat kita melakukan intervensi, untuk

11

Page 12: Referat Uro

mencegah infeksi. Riwayat seksual pasien juga harus ditanyakan. Saat

operasi, menjaga sfingter dan inervasinya dengan cara memotong jaringan

konektif antara sfingter dan uretra berguna dalam mencegah kontinesia dan

gangguan ereksi pasca operasi. Eksisi seluruh jaringan parut, mencegah

mobilisasi uretra yang berlebih, dan drainase urine sebelum operasi adalah

hal-hal penting yang harus diperhatikan untuk meningkatkan angka

kesuksesan terapi (Kotb, 2010).

Antibiotik diberikan pada pasien yang dicurigai mengalami infeksi

saluran kemih dan jenisnya diberikan sesuai dengan hasil tes kepekaan. Jika

hasil kepekaan steril, maka dapat diberikan antibiotik profilaksis seperti

ampicillin atau cephalosporin. Algoritme penanganan pre-operatif dan intra-

operatif pasien striktur uretra dapat dilihat pada Gambar 2.6.

Tabel 1. Obat-obat yang Menyebabkan Retensi Urine (Selius et al., 2008).

12

Page 13: Referat Uro

Gambar 2.5. Algoritme penanganan pre-operatif dan intra-operatif (Kotb, 2010)

I. Komplikasi

Komplikasi yang terjadi pada striktur uretra antara lain (Broghammer, 2013):

1. Trabekulasi, sakulasi dan divertikel

Pada striktur uretra kandung kencing harus berkontraksi lebih kuat, maka

otot kalau diberi beban akan berkontraksi lebih kuat sampai pada suatu saat

kemudian akan melemah. Jadi pada striktur uretra otot buli-buli mula-mula

akan menebal terjadi trabekulasi pada fase kompensasi, setelah itu pada fase

dekompensasi timbul sakulasi dan divertikel. Perbedaan antara sakulasi dan

divertikel adalah penonjolan mukosa buli pada sakulasi masih di dalam otot

buli sedangkan divertikel menonjol di luar buli-buli, jadi divertikel buli-buli

adalah tonjolan mukosa keluar buli-buli tanpa dinding otot.

2. Residu urin

Pada fase kompensasi dimana otot buli-buli berkontraksi makin kuat tidak

timbul residu. Pada fase dekompensasi maka akan timbul residu. Residu

adalah keadaan dimana setelah kencing masih ada urin dalam kandung

kencing. Dalam keadaan normal residu ini tidak ada.

13

Page 14: Referat Uro

3. Refluks vesiko ureteral

Dalam keadaan normal pada waktu buang air kecil urin dikeluarkan buli-

buli melalui uretra. Pada striktur uretra dimana terdapat tekanan intravesika

yang meninggi maka akan terjadi refluks, yaitu keadaan dimana urin dari

buli-buli akan masuk kembali ke ureter bahkan sampai ginjal.

4. Infeksi saluran kemih dan gagal ginjal

Dalam keadaan normal, buli-buli dalam keadaan steril. Salah satu cara

tubuh mempertahankan buli-buli dalam keadaan steril adalah dengan jalan

setiap saat mengosongkan buli-buli waktu buang air kecil. Dalam keadaan

dekompensasi maka akan timbul residu, akibatnya maka buli-buli mudah

terkena infeksi. Adanya kuman yang berkembang biak di buli-buli dan

timbul refluks, maka akan timbul pyelonefritis akut maupun kronik yang

akhirnya timbul gagal ginjal dengan segala akibatnya.

5. Infiltrat urine, abses dan fistulasi

Adanya sumbatan pada uretra, tekanan intravesika yang meninggi maka bisa

timbul inhibisi urin keluar buli-buli atau uretra proksimal dari striktur. Urin

yang terinfeksi keluar dari buli-buli atau uretra menyebabkan timbulnya

infiltrat urin, kalau tidak diobati infiltrat urin akan timbul abses, abses pecah

timbul fistula di supra pubis atau uretra proksimal dari striktur.

J. Prognosis

Tingkat kekambuhan striktur uretra meningkat sebanding dengan panjang

striktur. Tingkat kekambuhan pada 12 bulan adalah 40%, 50%, dan 80%, untuk

masing-masing panjang striktur < 2 cm, 2-4 cm dan > 4 cm. Tingkat

kekambuhan striktur dengan panjang 2-4 cm meningkat menjadi 75% pada 48

bulan masa tindak lanjut (Dogra et al., 2011).

Stent uretra permanen memberikan tingkat keberhasilan jangka panjang

84%. Data Study Group di Amerika Utara selama 11 tahun menunjukkan

tingkat keberhasilan < 30%. Pemasangan graft memiliki tingkat keberhasilan >

84,3% sedangkan Skin Flaps Pedicled memiliki tingkat keberhasilan > 85,5%.

Sebuah meta-analisis menunjukkan hasil yang sama antara graft dan Skin Flaps

Pedicled (Dogra et al., 2011).

14

Page 15: Referat Uro

III. KESIMPULAN

1. Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra akibat adanya jaringan parut

dan kontraksi.

2. Striktur uretra dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu ringan, sedang dan berat.

3. Penyebab striktur uretra antara lain infeksi, kongenital, trauma (straddle

injury), fraktur tulang pelvis, atau cedera pasca bedah akibat insersi peralatan

bedah selama operasi transurethral, pemasangan kateter, dan prosedur

sitoskopi.

4. Diagnosis striktur uretra dapat kita tegakkan dengan cara anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

5. Tujuan dari pengobatan striktur uretra adalah kesembuhan permanen, tidak

hanya sembuh sementara. Pengobatan terhadap striktur uretra tergantung pada

lokasi striktur, panjang atau pendek striktur, dan kedaruratannya.

6. Tingkat kekambuhan striktur uretra meningkat sebanding dengan panjang

striktur.

15

Page 16: Referat Uro

DAFTAR PUSTAKA

Broghammer, oshua A. 2013. Urethral Strictures in Males . Diunduh pada 9 Juli 2015 pukul 20.00 WIB tersedia di http://emedicine.medscape.com/article/450903-treatment#d16

Dogra PN, Saini AK, Seth A. 2011. Erectile Dysfunction After Anterior Urethroplasty: A Prospective Analysis of Incidence and Probability of Recovery-Single-center Experience. Urology. 78(1):78-81

Mundy, Anthony R., Andrich, Daniela E. 2010. Urethral strictures. BJU International, 107,6-26.

Purnomo, Basuki. 2011. Dasar – dasar urologi. Jakarta : Sagung Seto.

Song L., Xie M, Zhang Y., Xu Y. 2013. Imaging techniques for the diagnosis of male traumatic urethral strictures. J Xray Sci Technol, 21(1):111-23.

Tijani KH., Adesanya AA., Ogo CN. 2009. The new pattern of urethral stricture disease in Lagos, Nigeria. Niger Postgrad Med J, 16(2):162-5.

Wein. 2007. Urethral Stricture Disease. In. Campbell-Walsh Urology, 9th ed. Saunders Elsevier.

16