Upload
cherry
View
115
Download
17
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Sindroma nefrotik ( SN ) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang
paling sering ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di amerika
serikat dan inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun. 1 Dengan
prevalensi berkisar 12-16 kasus per 100.000 anak. Di negara berkembang
insidensnya lebih tinggi. Di indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada
anak berusia kurang dari 14 tahun. Perbandingan anak laki – laki dan perempuan
2 : 1.2 Faktor genetik berperan pada patogenesis terjadinya sindrom nefrotik.3
Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan
proteinuria masif (terutama albumin) (>40 mg/m2/jam); hipoproteinemia
(albumin serum <2,5 g/dL); hiperkolesterolemia ( >200 mg/dL); dan edema.2
Sindrom nefrotik dapat terjadi primer atau sekunder. Anak yang memperlihatkan
gambaran SN primer, sebelum dilakukan biopsi ginjal, dianggap menderita SN
idiopatik.3
Pasien sindroma nefrotik biasanya datang dengan edema palpebra atau
pretibia . Bila edema lebih berat akan disertai asites , efusi pleura , dan edema
genitalia. Kadang kadang disertai oliguria dan gejala infeksi , nafsu makan
berkurang dan diare. Bila disertai sakit perut , hati hati terhadap kemungkinan
terjadinya peritonitis atau hipovolemia. 1
Pada anak, kelainan patologi anatomi yang paling sering
ditemukan adalah sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM). Lebih dari 80%
penderita SN berusia kurang dari 7 tahun menunjukkan kelainan SNKM. Pada
Yoshi Hiro -Sindroma NefrotikKepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
1
anak berusia 7-16 tahun yang menderita SN, 50% diantaranya adalah SNKM, dan
anak lelaki terkena lebih sering daripada perempuan (2:1).1 Gambaran patologi
anatomi lainnya adalah glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) 7- 8% ,
Mesangial proliferatif difus ( MPD ) 2–5%,glomerulonefritis membranoproliferatif
(GNMP) 4 – 6% , dan nefropati membranosa (GNM) 1,5%.1 Pada pengobatan
kortikosteroid inisial sebagian besar SNKM (95%) mengalami remisi total
( responsif),pada MPD sebagian (50%) berespon terhadap kortikosteroid
sedangkan pada GSFS hanya sebagian kecil (20%) yang berespon terhadap
kortikosteroid inisial (resisten steroid). 2
Prognosis jangka panjang SNKM selama pengamatan 20 tahun
menunjukkan hanya 4-5% menjadi gagal ginjal terminal , sedangkan pada GSFS
25% menjadi gagal ginjal terminal dalam 5 tahun dan pada sebagian besar
lainnya disertai penurunan fungsi ginjal.1 Pada berbagai penilitian jangka panjang
ternyata respons terhadap pengobatan steroid lebih sering digunakan untuk
menentukan prognosis dibandingkan dengan gambaran patologi anatomi. Oleh
karena itu pada saat ini klasifikasi SN lebih didasarkan pada respons klinik yaitu
Sindroma nefrotik sensitif steroid (SNSS) , Sindroma nefrotik resisten steroid
(SNRS).1
Yoshi Hiro -Sindroma NefrotikKepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
2
BAB II
DEFINISI , EPIDEMIOLOGI , DAN ETIOLOGI
Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan
proteinuria masif (terutama albumin) (>40 mg/m2/jam); hipoproteinemia
(albumin serum <2,5 g/dL); hiperkolesterolemia ( >200 mg/dL); dan edema.
Kelainan mendasar pada SN adalah meningkatnya permeabilitas dinding kapiler
glomerulus yang mengakibatkan proteinuria masif dan hipoalbuminemia.2
Sindroma nefrotik ( SN ) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang
paling sering ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di amerika
serikat dan inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun (1). Dengan
prevalensi berkisar 12-16 kasus per 100.000 anak. Di negara berkembang
insidensnya lebih tinggi. Di indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada
anak berusia kurang dari 14 tahun.3
Sindrom nefrotik lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan
perempuan yaitu 2 : 1, kebanyakan terjadi antara umur 2 dan 6 tahun. Telah
dilaporkan terjadi pada usia paling muda yaitu usia 6 bulan dan paling tua pada
masa dewasa. SNKM mencakup 85 – 90% pasien dengan umur <6 tahun.2 Angka
kejadian sindrom nefrotik pada anak usia di bawah 18 tahun diperkirakan
berkisar 2-7 kasus per 100.000 anak per tahun, dengan onset tertinggi terjadi
pada usia 2-3 tahun. 2
Etiologi pasti SN belum diketahui; tetapi diduga sebagai suatu penyakit
autoimun dengan gangguan kompleks pada sistem imun.2 Umumnya para ahli
membagi etiologinya menjadi :
Yoshi Hiro -Sindroma NefrotikKepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
3
I. Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan secara resesif autosomal. SN bawaan adalah SN yang
bermanifestasi sewaktu lahir atau dalam 3 bulan pertama kehidupan. 2
Diagnosis prenatal dapat dibuat dengan adanya peningkatan dari α-
fetoprotein maternal dan amniotic α-fetoprotein. Prognosis buruk dan
biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupan.2
II. Sindrom nefrotik sekunder
SN dapat terjadi sekunder dari banyak penyakit glomerulus. Nefropati
membranous , membranoproliferatif glomerulonefritis , lupus nefritis , dan
henoch schonlein purpura nefritis menyebabkan manifestasi SN. SN sekunder
dicurigai pada pasien berumur > 8 tahun dan disertai dengan hipertensi ,
hematuria , disfungsi renal , turunnya kadar komplemen , dan gejala gejala
ekstrarenal ( rash , nyeri sendi , demam ).2
SN juga berhubungan dengan keganasan seperti karsinoma paru dan
karsinoma gastrointestinal , biasanya hasil patologi renal menunjukkan
gambaran glomerulopati membranosa. Diduga kompleks imun yang terdiri
dari antigen tumor dan antibodi spesifik memediasi kerusakan pada ginjal.2
SN juga dapat terjadi selama terapi dengan beberapa obat dan bahan
kimia. Penisilamin , captopril dan NSAID memberikan gambaran membranous
glomerulopati .Probenesid , ethosuximide , methimazole , litium memberikan
gambaran SNKM , dan procainamide , chlorpropamide , fenitoin , trimetadion
memberikan gambaran glomerulonefritis proliferatif.2
III. Sindrom nefrotik idiopatik
Berdasarkan histopatologi yang tampak pada bIopsi ginjal dengan
pemeriksaan mikroskop cahaya dan mikroskop elektron dan mikroskop
imunofluorosensi , SN dibagi dalam 4 golongan, yaitu :
1. Kelainan minimal
Yoshi Hiro -Sindroma NefrotikKepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
4
Dengan mikroskop cahaya glomerulus tampak normal, namun
dengan mikroskop elektron tampak foot processus sel epitel terpadu.
Dengan cara imunofluoresensi ternyata tidak terdapat Ig G atau
imunoglobulin beta-1C pada dinding kapiler glomerulus. Golongan ini
lebih banyak terdapat pada anak daripada orang dewasa.
2. Glomerulosklerosis Fokal Segmental ( GSFS )
Terdapat sklerosis glomerulus mencolon namun hanya mengenai
beberapa glomerulus , sedang yang lainnya tampak normal. Dengan
mikroskop cahaya didapatkan di perpadatan di dalam glomerulus. Kapiler
kolaps dan matriks mesangial bertambah . Dengan mikroskop elektron
terdapat perpaduan podosit dan kelainan mesangial. Tubulus
menunjukkan kelainan proteinuria berat pada umumnya termasuk butir
butir lipid hialin dan silinder. Kadang kadang sel busa interstisial dapat
ditemukan pada pasien stadium lanjut. Progesivitas sklerosis fokal
ditandai dengan terkenanya lebih banyak glomerulus dan segmen
glomerulus yang lebih besar (sampai menjadi difus). Dengan mikroskop
imunofluoresensi terdapat endapan imunoglobulin terutama IgM, dan C3
kadang juga IgG, C1q dan fibrin
3. Glomerulonefritis proliferatif mesangial (GNPM)
Dengan mikroskop cahaya terdapat peningkatan matriks
mesangial , lumen kapiler tetap utuh sedangkan dinding kapiler tipis dan
halus. Pada tingkat lanjut mungkin terdapat sklerosis mesangial. Dengan
mikroskop elektron umumnya ditemukan pertambahan sel mesangial dan
matriks. Dengan mikroskop imunofluoresensi ditemukan endapan IgM
Yoshi Hiro -Sindroma NefrotikKepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
5
difus di dalam mesangium. Imunoglobulin lain dan komplemen dapat juga
ditemukan.
4. Glomerulonefritis membranoproliferatif ( GNMP )
Terdapat 3 subtipe pada kelainan ini , tipe I merupakan tipe klasik
yang erat hubungannya dengan tipe III ,hanya berbeda pada letak deposit
imunnya .Sedangkan tipe II atau penyakit deposit padat walaupun klinis
hampir serupa namun menunjukkan kelainan morfologis dan imunologis
yang sangat berbeda.
Dengan mikroskop cahaya menunjukkan kelainan pada
mesangium dan kapiler. Glomerulus tampak besar karena proliferasi sel
mesangium dan pertambahan matriks mesangial , sehingga
menyebabkan meluasnya daerah mesangial dan terbentuk gambaran
lobulasi glomerulus ( lobular pattern ). Dengan mikroskop elektron ,
struktur halus dinding kapiler tampak jelas. Sel mesangial dikelilingi oleh
matriks mesangial ada di antara membran basal dan sel endotel.
Gambaran double track tampak karena pemutaran bersamaan antara
matriks mesangial dan membran basal kapiler. Dengan mikroskop
imunofluoresensi menunjukkan deposit C3 di pinggir lobulus dan di dalam
mesangium.
5. Glomerulopati Membranosa (GM)
Penyakit ini ditandai dengan kelainan dinding kapiler glomerulus
yang progresif dan kompleks. Berdasarkan mikroskop elektron kelainan
ini terdiri atas deposit padat elektron dan spikes yang tampak menonjol
dari membran basal. Dengan mikroskop imunofluoresensi ditemukan
Yoshi Hiro -Sindroma NefrotikKepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
6
deposit granular IgG dan C3 dan kadang kadang IgA, IgM atau komponen
awal komplemen (Clq,C4)
BAB III
PATOFISIOLOGI
Kelainan mendasar pada sindroma nefrotik adalah peningkatan
permeabilitas dinding kapiler glomerulus yang mengakibatkan proteinuria masif
dan hipoalbuminemia. SN idiopatik berhubungan dengan gangguan kompleks
pada sistem imun sehingga menyebabkan gangguan pada glomerulus
Proteinuria3
Proteinuria sebagian berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuria
glomerular) dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuria
tubular. Pada keadaan normal membran basalis dan sel epitel bermuatan negatif
maka dari itu dapat menghambat perjalanan molekul yang bermuatan positif.
Pada semua bentuk sindrom nefrotik selalu ditemukan obliteransi atau fusi foot
processes (pedikel) sehingga terjadi kerusakan polianion yang bermuatan negatif
yang dalam keadaan normal merupakan filter atau barier terhadap serum
albumin yang bermuatan negatif, dan perubahan ini menyebabkan peningkatan
permeabilitas dinding kapiler glumerulus terhadap serum protein.
Perubahan integritas membran basalis glomerulus menyebabkan
peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma dan protein
utama yang dieksresikan dalam urin adalah albumin. Dalam keadaan normal
membran basal glomerulus mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah
kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran
Yoshi Hiro -Sindroma NefrotikKepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
7
molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (change
barrier). Pada sindrom nefrotik kedua mekanisme penghalang tersebut
terganggu. Selain itu, konfigursi molekul protein juga menentukan lolos tidaknya
protein melalui membran basal glomerulus.
Hipoalbuminemia2
Jumlah albumin di dalam badan ditentukan oleh masukan dari sintesis
hepar dan pengeluaran akibat degradasi metabolik , ekskresi renal dan
gastrointestinal. Pada anak dengan SN terdapat hubungan terbalik antara laju
ekskresi protein urin dan derajat hipoalbuminemia. Albumin plasma yang rendah
tampaknya disebabkan oleh meningkatnya eksresi albumin dalam urin dan
meningkatnya katabolisme fraksi pool albumin (terutama disebabkan karena
meningkatnya degradasi di dalam tubulus renal) yang melampaui daya sintesis
hati.
Hiperlipidemia2
Pada sindroma nefrotik kadar lemak darah ( kolesterol dan trigliserida )
meningkat dengan 2 alasan . Hipoalbuminemia menstimulasi secara generalisata
sitesis protein hepatik termasuk lipoprotein. Katabolisme lemak menurun karena
menurunnya kadar lipoprotein lipase yang banyak diekskresikan melalui urin
Edema 2,3
Mekanisme edema belum sepenuhnya dimengerti tetapi terdapat 2 teori
yang dapat menjelaskan terbentuknya edema pada SN.
Teori underfilled , teori ini mengungkapkan bahwa edema berawal dari
hilangnya protein urin dalam jumlah banyak mengakibatkan hipoalbuminemia
sehingga menurunkan tekanan onkotik plasma. Terjadi transudasi cairan dari
kompartmen intravaskular ke jaringan intertisial. Transudasi cairan
Yoshi Hiro -Sindroma NefrotikKepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
8
mengakibatkan penurunan volume intravaskular sehingga terjadi penurunan
perfusi renal dan terjadi aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron yang
menstimulasi absorbsi natrium pada tubulus. Penurunan volume intravaskular
juga menstimulasi pelepasan hormon antidiuretik yang meningkatkan reabsorbsi
cairan pada tubulus ginjal.
Kelainan glomerulus
Albuminuria
Hipoalbuminemia
Tekanan onkotik koloid plasma ↓
Volume plasma ↓
Retensi Na renal sekunder ↑
Edema
Gambar1. Terbentuknya edema menurut teori underfilled3
Tetapi teori ini tidak bisa diimplikasikan pada semua pasien SN karena
beberapa pasien mempunyai volume plasma yang tinggi dengan kadar renin
plasma dan aldosteron menurun sekunder terhadap hipervolemia ( teori
overfilled). Pada teori ini terdapat kelainan pada glomerulus sehingga terjadi
retensi natrium yang mengakibatkan volume plasma meningkat sehingga
terbentuk edema . Kelainan glomerulus juga menimbulkan albuminuria yang
Yoshi Hiro -Sindroma NefrotikKepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
9
secara langsung menyebabkan hipoalbuminemia yang juga berperan dalam
pembentukan edema.
Kelainan glomerulus
Retensi Na renal primer Albuminuria
Hipoalbuminuria
Volume plasma ↑
Edema
Gambar 2. Terjadinya edema menurut teori overfilled3
BAB IV
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis paling sering pada anak adalah edema pitting atau
asites. Anoreksia, malaise, dan nyeri perut seringkali ditemukan, terutama pada
anak dengan asites. Tekanan darah meningkat pada 25% anak sedangkan tubular
nekrosis akut dan hipotensi dapat terjadi pada keadaan hpoalbuminemia dan
hipovolemia yang bermakna. Diare (akibat edema intestinal) dan distres
pernapasan (akibat edema pulmonal atau efusi pleura) dapat ditemukan.
Karakteristik SNKM adalah tidak disertai hematuria, insufisiensi ginjal, hipertensi,
atau hipokomplemenemia.3
Yoshi Hiro -Sindroma NefrotikKepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
10
Di masa lalu, orangtua menganggap penyakit SN ini adalah edema. Nafsu
makan yang kurang. Mudah terangsang adanya gangguan gastrointestinal dan
sering terkena infeksi berat merupakan keadaan yang sangat erat hubungannya
dengan beratnya edema, sehingga dianggap gejala-gejala ini sebagai akibat
edema.3
Walaupun proteinuria kambuh pada hampir 2/3 kasus, kambuhnya
edema dapat dicegah pada umumnya dengan pengobatan segera. Namun
edema persisten dengan komplikasi yang mengganggu merupakan masalah klinik
utama bagi mereka yang menjadi non responden dan pada mereka yang
edemanya tidak dapat segera diatasi. Edema umumnya terlihat pada kedua
kelopak mata. Edema minimal terlihat oleh orangtua atau anak yang besar
sebelum ke dokter melihat pasien untuk pertama kali dan memastikan kelainan
ini. Edema dapat menetap atau bertambah, baik lambat atau cepat atau dapat
menghilang dan timbul kembali. Selama periode ini edema periorbital sering
disebabkan oleh cuaca dingin atau alergi. Lambat laun edema menjadi
menyeluruh, yaitu ke pinggang, perut dan tungkai bawah sehingga penyakit yang
sebenarnya menjadi tambah nyata. Sebelum mencapai keadaan ini orangtua
pasien sering mengeluh berat badan anak tidak mau naik, namun kemudian
mendadak berat badan bertambah dan terjadinya pertambahan ini tidak diikuti
oleh nafsu makan yang meningat. Timbulnya edema pada anak dengan SN
bersifat perlahan-lahan, tanpa menyebut jenis kelainan glomerulusnya. Edema
berpindah dengan perubahan posisi dan akan lebih jelas dalam posisi berdiri.
Kadang-kadang pada edema yang masif terjadi robekan pada kulit secara
spontan diikuti dengan keluarnya cairan. Pada keadaan ini, edema telah
mengenai semua jaringan dan menimbulkan asites, pembengkakan skrotum atau
labia, bahkan efusi pleura. Muka dan tungkai pada pasien ini mungkin bebas dari
Yoshi Hiro -Sindroma NefrotikKepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
11
edema dan memperlihatkan jaringan seperti malnustrisi sebagai tanda adanya
edema menyeluruh sebelumnya.3
Gangguan gastrointestinal sering ditemukan dalam perjalanan penyakit
SN. Diare sering dialami pasien dalam keadaan edema yang masif dan keadaan
ini rupanya tidak berkaitan dengan infeksi namun diduga penyebabnya adalah
edema submukosa di mukosa usus. Hepatomegali dapat ditemukan pada
pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau
edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri di perut yang kadang-kadang
berat, dapat terjadi pada keadaan SN yang kambuh. Kemungkinan adanya
abdomen akut atau peritonitis harus disingkirkan dengan pemeriksaan fisik dan
pemeriksan lainnya. Bila komplikasi ini tidak ada, kemungkinan penyebab nyeri
tidak diketahui namun dapat disebabkan karena edema dinding perut atau
pembengkakan hati. Kadang nyeri dirasakan terbatas pada daerah kuadran atas
kanan abdomen. Nafsu makan kurang berhubungan erat dengan beratnya
edema yang diduga sebagai akibatnya. Anoreksia dan hilangnya protein di dalam
urin mengakibatkan malnutrisi berat yang kadang ditemukan pada pasien SN
non-responsif steroid dan persisten. Pada keadaan asites terjadi hernia
umbilikalis dan prolaps ani.3
Oleh karena adanya distensi abdomen dengan atau tanpa efusi pelura
maka pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat.
Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan obat furosemid.3
Gangguan fungsi psikososial sering ditemukan pada pasien SN, seperti
halnya pada penyakit berat umumnya yang merupakan stres nonspesifik
terhadap anak yang sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan
merasa bersalah merupakan respons emosional , tidak saja pada orang tua
pasieN namun juga dialami oleh anak sendiri.
Yoshi Hiro -Sindroma NefrotikKepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
12
BAB V
PEMERIKSAAN FISIK DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di
kedua kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia.
Kadang-kadang ditemukan hipertensi.4
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan, antara lain:1
1. Urinalisis : Biakan urin hanya dilakukan bila didapatkan gejala klinis
yang mengarah kepada infeksi saluran kemih.
2. Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari
3. Pemeriksaan darah
Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit,
trombosit, hematokrit, LED)
Albumin dan kolesterol serum
Ureum, kreatinin serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau dengan
rumus Schwartz
Kadar komplemen C3 (Kadar komplemen C3 yang rendah
merupakan petunjuk lesi selain SNKM sehingga terindikasi untuk
pemeriksaan biopsi ginjal sebelum pemberian terapi steroid); bila
dicurigai lupus eritematosus sistemik pemeriksaan ditambah dengan
komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-DNA
Hematuria mikroskopik dapat ditemukan pada 25% SNKM namun tidak
dapat memprediksi respons terhadap steroid. Pemeriksaan USG ginjal seringkali
berguna dan biopsi ginjal dilakukan sesuai indikasi.
Yoshi Hiro -Sindroma NefrotikKepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
13
BAB VI
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.3
Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di kedua kelopak
mata, perut, tungkai, atau seluruh tubuh, dan dapat disertai jumlah urin
yang berkurang. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna
kemerahan.3
Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema
di kedua kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema
skrotum/labia. Kadang-kadang ditemukan hipertensi3
Pemeriksaan penunjang
Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (3+ sampai 4+) (> 40 mg/m2
LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu >
2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+), dapat disertai hematuria. Pada pemeriksaan
darah didapatkan hipoalbuminemia (< 2,5 g/dl), hiperkolesterolemia(> 200
mg/dL), dan laju endap darah yang meningkat, rasio albumin/globulin
terbalik. Kadar ureum dan kreatinin umumnya normal kecuali ada
penurunan fungsi ginjal. Bila terjadi hematuria mikroskopik (>20
eritrosit/LPB) dicurigai adanya lesi glomerular (mis. Sclerosis glomerulus
fokal). 3
Yoshi Hiro -Sindroma NefrotikKepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
14
Batasan :1
1. Remisi : Proteinuria (-) (proteinuria < 4mg / m2LPB / jam)
.............................3 hari berturut turut dalam 1 minggu
2. Relaps : Proteinuria >/ 2+ ( proteinuria > 40 mg / m2 LPB /
.............................jam) 3 hari.berturut turut dalam 1 minggu.
3. Relaps jarang : Relaps kurang dari 2x dalam 6 bulan pertama
.............................setelah respons awal atau kurang dari 4x per tahun
.............................pengamatan.
4. Relaps sering : Relaps >/ 2x dalam 6 bulan pertama setelah
..............................responsawal atau >/4x dalam periode 1 tahun
5. Dependen steroid : Relaps 2x berurutan pada saat dosis steroid
................................ diturunkan (alternating) atau dalam 14 hari
setelah ..............................pengobatan dihentikan.
6. Resisten steroid : Tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison
.................................dosis penuh ( full dose ) 2mg/ kgbb/ hari selama
4 ..............................minggu.
7. Sensitif steroid : Remisi terjadi pada pemberian prednison dosis
.............................penuh selama 4 minggu.
Yoshi Hiro -Sindroma NefrotikKepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
15
BAB VII
PENATALAKSANAAN
Tatalaksana Umum1
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di
rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi
pengaturan diit, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan
edukasi orangtua. Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-
pemeriksaan berikut:
1. Pengukuran berat badan dan tinggi badan
2. Pengukuran tekanan darah
3. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti lupus
eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein.
4. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap infeksi
perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.
5. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH selama 6
bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat
antituberkulosis (OAT).
Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat
edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal
ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik
disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh
sekolah.
Yoshi Hiro -Sindroma NefrotikKepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
16
Diitetik
Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena
akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme
protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit
rendah protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan
hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai
dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit
rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema. 1
Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan
loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan
dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4
mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan
hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan
pemantauan elektrolit Kalium dan Natrium darah.
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi
karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus
albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari
jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2
mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20
ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya
komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat
diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan
mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu
pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang. 1
Yoshi Hiro -Sindroma NefrotikKepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
17
Skema pemberian diuretik untuk mengatasi edema
Furosemid 1 – 3 mg/kgbb/hari + spironolakton 2-4 mg/kgbb/hari
Berat badan tidak menurun atau tidak ada diuresis dalam 48 jam
Dosis furosemid dinaikkan 2 kali lipat (maksimum 4-6 mg/kgbb/hari)
Tambahkan hidroklorothiazid 1-2 mg/kgbb/hari
Bolus furosemid IV 1-3 mg/kgbb/dosis atau per infus dengan kecepatan 0,1-1
mg/kgbb/jam
Albumin 20% 1g/kgbb intravena diikuti dengan furosemid intravena
Gambar 3. Alogaritma pemberian diuretik 1
Imunisasi
Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid
>/2mg/kgbb/hari atau total >/ 20 mg/ hari , selama lebih dari 14 hari merupakan
pasien imunokompromais. Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu
setelah obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus mati , seperti IPV
(inactivated polio vaccine). Setelah penghentian prednison selama 6 minggu
dapat diberikan vaksin virus hidup , seperti polio oral , campak , MMR , varisela.
Yoshi Hiro -Sindroma NefrotikKepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
18
Respon -
Respon -
Respon -
Respon -
Semua anak dengan SN sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap
infeksi pneumokokus dan varisela.1,5
PENGOBATAN DENGAN KORTIKOSTEROID
Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali
bila ada kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau
prednisolon.
A. TERAPI INSIAL
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa
kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan prednison
60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis
terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat
badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full
dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu
pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3
dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari
setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak
terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.1
4 minggu 4 minggu
........................................
Remisi (+) Dosis alternating (AD) / Selang sehriProteinuria (-) Edema (-)
Remisi (-) : resisten steroid Prednison FD : 60mg/m2 LPB/hari
Imunosupresan lain Prednison AD : : 40mg/m2 LPB/hari
Gambar 4. Pengobatan inisial dengan kortikosteroid 1
Yoshi Hiro -Sindroma NefrotikKepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
19
B. PENGOBATAN SN RELAPS
Pengobatan relaps, yaitu diberikan prednison dosis penuh sampai remisi
(maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada
pasien SN remisi yang mengalami proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema,
sebelum pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi
saluran nafas atas. Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila
kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila
sejak awal ditemukan proteinuria ≥ ++ disertai edema, maka diagnosis relaps
dapat ditegakkan, dan prednison mulai diberikan. 1
SN relaps Remisi AD
Prednison FD : 60mg/m2 LPB/hari
Prednison AD : : 40mg/m2 LPB/hari
Gambar 5. Pengobatan sindrom nefrotik relaps 1
C. PENGOBATAN SN RELAPS SERING ATAU DEPENDEN STEROID
Dahulu pada SN relaps sering dan dependen steroid segera diberikan
pengobatan steroid alternating bersamaan dengan pemberian siklofosfamid
(CPA), tetapi sekarang dalam litelatur ada 4 opsi pengobatan SN relaps sering
atau dependen steroid :
1. Pemberian steroid jangka panjang
2. Pemberian levamisol
Yoshi Hiro -Sindroma NefrotikKepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
20
FD
3. Pengobatan dengan sitostatik
4. Pengobatan dengan siklosporin atau mikrofenolat mofetil (opsi terakhir)
Selain itu, perlu dicari fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi, radang
telinga tengah, atau kecacingan. 1
1. Steroid jangka panjang
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian steroid jangka
panjang dapat dicoba lebih dahulu sebelum pemberian CPA, mengingat efek
samping steroid yang lebih kecil. Jadi bila telah dinyatakan sebagai SN relaps
sering/dependen steroid, setelah mencapai remisi dengan prednison dosis
penuh, diteruskan dengan steroid selang sehari dengan dosis yang diturunkan
bertahap 0,2 mg/kgBB sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu
antara 0,1 – 0,5 mg/kgBB selang sehari. Dosis ini disebut dosis threshold dan
dapat diteruskan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan. Umumnya
anak usia sekolah dapat mentolerir prednison 0,5mg/kgBB dan anak usia pra
sekolah sampai 1 mg/kgBB secara selang sehari. Bila terjadi relaps pada dosis
prednison rumat > 0,5 mg/kgBB selang sehari, tetapi < 1,0 mg/kgBB selang sehari
tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba dikombinasikan dengan levamisol
dosis 2,5 mg/kgBB, selang sehari, selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan
CPA. 1
Bila ditemukan keadaan di bawah ini:
1. terjadi relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgBB dosis selang sehari atau
2. dosis rumat < 1 mg tetapi disertai
a. efek samping steroid yang berat
Yoshi Hiro -Sindroma NefrotikKepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
21
b. pernah relaps dengan gejala berat, seperti hipovolemia, trombosis,
sepsis diberikan CPA dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari, dosis tunggal, selama 8-12
minggu. 1
2. Levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent.13 Levamisol
diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12
bulan. Efek samping levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic
rash, dan neutropenia yang reversibel. 1
3. Sitostatika
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak
adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil.
Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari
dalam dosis tunggal , maupun secara intravena atau puls. CPA intravena
diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml
larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA diberikan sebanyak 7 dosis/IV,
dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA intravena adalah 6 bulan).
Efek samping CPA adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis
hemoragik, azoospermia, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan
keganasan. Oleh karena itu, perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu
kadar hemoglobin, leukosit, trombosit, setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah
leukosit <3000/uL, hemoglobin <8 g/dL, hitung trombosit <100.000/uL, obat
dihentikan sementara dan diteruskan kembali setelah leukosit >5.000/uL,
hemoglobin >8 g/dL, trombosit >100.000/uL.
Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total
kumulatif mencapai ≥200-300 mg/kgBB. Pemberian CPA oral selama 3 bulan
mempunyai dosis total 180 mg/kgBB, dan dosis ini aman bagi anak.
Yoshi Hiro -Sindroma NefrotikKepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
22
Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 – 0,3 mg/kgBB/hari selama 8
minggu. Pengobatan klorambusil pada SN sensitif steroid sangat terbatas karena
efek toksik berupa kejang dan infeksi. 1
4. Siklosporin (CyA)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau
sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari
(100-150 mg/m2 LPB). Dosis tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin
darah berkisar antara 150-250 ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen
steroid, CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga
pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan,
biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek samping dan
pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada bagian penjelasan SN resisten
steroid. 1
5. Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil = MMF)
Pada SN sensitif steroid yang tidak memberikan respons dengan levamisol
atau sitostatik dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 – 1200
mg/m2 LPB atau 25-30 mg/kgBB bersamaan dengan penurunan dosis steroid
selama 12 - 24 bulan. Efek samping MMF adalah nyeri abdomen, diare,
leukopenia. 1
D. PENGOBATAN SN DENGAN KONTRAINDIKASI STEROID
Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi steroid,
seperti tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin, infeksi
berat, maka dapat diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA intravena.
Siklofosfamid dapat diberikan per oral dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari dosis
tunggal, maupun secara intravena (CPA puls). CPA oral diberikan selama 8
minggu. CPA intravena diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB, yang
Yoshi Hiro -Sindroma NefrotikKepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
23
dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls
diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA
puls adalah 6 bulan).
E. PENGOBATAN SN RESISTEN STEROID
Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum
memuaskan. Pada pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya
dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi, karena
gambaran patologi anatomi mempengaruhi prognosis.
1. Siklofosfamid (CPA)
Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat
menimbulkan remisi. Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi dengan
pemberian CPA, bila terjadi relaps dapat dicoba pemberian prednison lagi karena
SN yang resisten steroid dapat menjadi sensitif kembali. Namun bila pada
pemberian steroid dosis penuh tidak terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau
menjadi dependen steroid kembali, dapat diberikan siklosporin. 1
2. Siklosporin (CyA)
Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total
sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%.
Efek samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi
gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial.
Oleh karena itu pada pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap :
Kadar CyA dalam darah : dipertahankan antara 150-250
nanogram/mL
Kadar kreatinin darah berkala
Biopsi ginjal setiap 2 tahun
Yoshi Hiro -Sindroma NefrotikKepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
24
Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam
literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang atau
sangat selektif. 1
3. Metilprednisolon puls
Mendoza dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil
prednisolon puls selama 82 minggu + prednison oral dan siklofosfamid atau
klorambusil 8-12 minggu. Metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb (maksimum 1000
mg) dilarutkan dalam 50-100 mL glukosa 5%, diberikan dalam 2-4 jam.
Minggu ke- Metilprednisolon Jumlah Prednison oral
1 – 2 30 mg/ kgbb, 3 x seminggu 6 Tidak diberikan
3 – 10 30 mg/ kgbb, 1 x seminggu 8 2 mg/ kgbb, dosis tunggal
11 – 18 30 mg/ kgbb, 2 minggu sekali 4 Dengan atau tanpa tapper off
19 - 50 30 mg/ kgbb, 4 minggu sekali 8 Taper off pelan - pelan
51 - 82 30 mg/ kgbb, 8 minggu sekali 4 Taper off pelan - pelan
Tabel 1. Protokol metilprednisolon dosis tinggi 1
Yoshi Hiro -Sindroma NefrotikKepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
25
Gambar 6. Tatalaksana sindrom nefrotik 1
PEMBERIAN OBAT NON-IMUNOSUPRESIF UNTUK MENGURANGI PROTEINURIA
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin receptor
blocker (ARB) telah banyak digunakan untuk mengurangi proteinuria. Cara kerja
kedua obat ini dalam menurunkan ekskresi protein di urin melalui penurunan
tekanan hidrostatik dan mengubah permeabilitas glomerulus. ACEI juga
mempunyai efek renoprotektor melalui penurunan sintesis transforming growth
factor (TGF)-β1 dan plasminogen activator inhibitor (PAI)-1, keduanya
merupakan sitokin penting yang berperan pada terjadinya glomerulosklerosis.
Pada SNSS relaps, kadar TGF-β1 urin sama tinggi dengan kadarnya pada SNRS,
berarti anak dengan SNSS relaps sering maupun dependen steroid mempunyai
risiko untuk terjadi glomerulosklerosis yang sama dengan SNRS. Dalam
kepustakaan dilaporkan bahwa pemberian kombinasi ACEI dan ARB memberikan
hasil penurunan proteinuria lebih banyak. 1
Yoshi Hiro -Sindroma NefrotikKepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
26
Pada anak dengan SNRS relaps sering, dependen steroid dan SNRS
dianjurkan untuk diberikan ACEI saja atau dikombinasikan dengan ARB,
bersamaan dengan steroid atau imunosupresan lain. Jenis obat ini yang bisa
digunakan adalah:
Golongan ACEI: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x sehari, enalapril
0.5 mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis,26 lisinopril 0,1 mg/kgbb dosis
tunggal
Golongan ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal
TATA LAKSANA KOMPLIKASI SINDROM NEFROTIK
1. INFEKSI
Pasien sindrom nefrotik sangat rentan terhadap infeksi, bila terdapat
infeksi perlu segera diobati dengan pemberian antibiotik. Infeksi yang terutama
adalah selulitis dan peritonitis primer. Bila terjadi peritonitis primer (biasanya
disebabkan oleh kuman Gram negatif dan Streptococcus pneumoniae) perlu
diberikan pengobatan penisilin parenteral dikombinasi dengan sefalosporin
generasi ketiga yaitu sefotaksim atau seftriakson selama 10-14 hari. Infeksi lain
yang sering ditemukan pada anak dengan SN adalah pnemonia dan infeksi
saluran napas atas karena virus. 1
Pada orangtua dipesankan untuk menghindari kontak dengan pasien
varisela. Bila terjadi kontak diberikan profilaksis dengan imunoglobulin varicella-
zoster, dalam waktu kurang dari 96 jam. Bila tidak memungkinkan dapat
diberikan suntikan dosis tunggal imunoglobulin intravena (400mg/kgbb). Bila
sudah terjadi infeksi perlu diberi obat asiklovir intravena (1500 mg/m2/hari
dibagi 3 dosis) atau asiklovir oral dengan dosis 80 mg/kgbb/hari dibagi 4 dosis
selama 7 – 10 hari, dan pengobatan steroid sebaiknya dihentikan sementara. 1
Yoshi Hiro -Sindroma NefrotikKepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
27
2. TROMBOSIS
Suatu studi prospektif mendapatkan 15% pasien SN relaps menunjukkan
bukti defek ventilasi-perfusi pada pemeriksaan skintigrafi yang berarti terdapat
trombosis pembuluh vaskular paru yang asimtomatik. Bila diagnosis trombosis
telah ditegakkan dengan pemeriksaan fisis dan radiologis, diberikan heparin
secara subkutan, dilanjutkan dengan warfarin selama 6 bulan atau lebih. 1
3. HIPERLIPIDEMIA
Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar LDL dan
VLDL kolesterol, trigliserida dan lipoprotein (a) (Lpa) sedangkan kolesterol HDL
menurun atau normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik,
sehingga meningkatkan morbiditas kardiovaskular dan progresivitas
glomerulosklerosis.
Pada SN sensitif steroid, karena peningkatan zat-zat tersebut bersifat sementara
dan tidak memberikan implikasi jangka panjang, maka cukup dengan
pengurangan diit lemak. Pada SN resisten steroid, dianjurkan untuk
mempertahankan berat badan normal untuk tinggi badannya, dan diit rendah
lemak jenuh. Dapat dipertimbangan pemberian obat penurun lipid seperti
inhibitor HMgCoA reduktase (statin). 1
4. HIPOKALSEMIA
Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena:
Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis
dan osteopenia
Kebocoran metabolit vitamin D2.
Oleh karena itu pada pasien SN yang mendapat terapi steroid jangka lama (lebih
dari 3 bulan) dianjurkan pemberian suplementasi kalsium 250-500 mg/hari dan
Yoshi Hiro -Sindroma NefrotikKepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
28
vitamin D (125-250 IU). Bila telah terjadi tetani, diobati dengan kalsium glukonas
10% sebanyak 0,5 mL/kgbb intravena. 1
5. HIPOVOLEMIA
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps dapat
terjadi hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin, dan
sering disertai sakit perut. Pasien harus segera diberi infus NaCl fisiologis dengan
cepat sebanyak 15-20 mL/kgbb dalam 20-30 menit, dan disusul dengan albumin
1 g/kgbb atau plasma 20 mL/kgbb (tetesan lambat 10 tetes per menit). Bila
hipovolemia telah teratasi dan pasien tetap oliguria, diberikan furosemid 1-2
mg/kgbb intravena. 1
6. HIPERTENSI
Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam perjalanan
penyakit SN akibat toksisitas steroid. Pengobatan hipertensi diawali dengan
inhibitor ACE (angiotensin converting enzyme), ARB (angiotensin receptor
blocker) calcium channel blockers, atau antagonis β adrenergik, sampai tekanan
darah di bawah persentil 90. 1
INDIKASI BIOPSI GINJAL
Biopsi ginjal terindikasi pada keadaan-keadaan di bawah ini:
1. Pada presentasi awal
Awitan sindrom nefrotik pada usia <1 tahun atau lebih dari 16 tahun
Terdapat hematuria nyata, hematuria mikroskopik persisten atau
kadar komplemen C3 serum yang rendah
Hipertensi menetap
Penurunan fungsi ginjal yang tidak disebabkan oleh hipovolemia
Tersangka sindrom nefrotik sekunder
Yoshi Hiro -Sindroma NefrotikKepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
29
2. Setelah pengobatan inisial
a. SN resisten steroid
b. Sebelum memulai terapi siklosporin.
INDKASI MELAKUKAN RUJUKAN KEPADA AHLI NEFROLOGI ANAK
Keadaan – keadaan ini merupakan indikasi untuk merujuk pasien kepada ahli
nefrologi anak :
1. Awitan sindrom nefrotik pada usia dibawah 1 tahun, riwayat penyakit
sindrom nefrotik di dalam keluarga.
2. Sindroma nefrotik dengan hipertensi , hematuria nyata persisten ,
penurunan fungsi ginjal, atau disertai gejala ekstrarenal , seperti artritis ,
serositis , atau lesi di kulit.
3. Sindrom nefrotik dengan komplikasi edema refrakter , trombosis , infeksi
berat , toksik steroid.
4. Sindroma nefrotik resisten steroid.
5. Sindroma nefrotik relaps sering atau dependen steroid
Yoshi Hiro -Sindroma NefrotikKepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
30
BAB VII
PROGNOSIS
Kebanyakan anak yang berespon dengan steroid akan relaps berulang ,
relaps yang didefinisikan sebagai proteinuria masif yang menetap selama 3 hari
berturut turut dalam 1 minggu. Tetapi umumnya frekuensi relaps menurun
sejalan dengan bertambahnya usia.2 Menurut kepustakaan barat , anak yang
berespon baik terhadap steroid dan tidak mengalami relaps dalam 6 bulan
pertama setelah terdiagnosa SN biasanya lebih jarang relaps.2
Penting untuk memberi edukasi kepada keluarga mengenai pasien SN
yang berespon baik terhadap pengobatan steroid sangat jarang berkembang
menjadi gaga ginjal terminal . Anak yang tidak diterapi dengan siklofosfamid
jangka panjang juga akan tetap subur. Untuk meminimalkan efek psikologis
terhadap kondisi dan terapi , anak tetap dibiarkan mengikuti seluruh aktifitas
sesuai usianya dan saat remisi diet makanan dapat dilonggarkan.2
Anak yang tidak berespon dengan steroid / resisten steroid , paling sering
disebabkan oleh GSFS , umumnya mempunyai prognosa lebih buruk . Anak
dengan GSFS mulanya memberikan respons terhadap terapi steroid, namun
kemudian menjadi resisten. Pada anak ini akan berkembang menjadi gagal ginjal
terminal yang membutuhkan dialisis dan transplantasi ginjal.2
Yoshi Hiro -Sindroma NefrotikKepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
31
BAB IX
PENUTUP
Telah dibicarakan penyakit sindroma nefrotik yang merupakan penyakit
ginjal glomerolus yang terbanyak, khususnya pada anak. Sindrom nefrotik (SN)
adalah keadaan klinis yang ditandai dengan proteinuria masif (terutama albumin)
(>40 mg/m2/jam); hipoproteinemia (albumin serum <3,0 g/dL);
hiperkolesterolemia ( >250 mg/dL); dan edema. Kelainan mendasar pada
sindroma nefrotik adalah peningkatan permeabilitas dinding kapiler glomerulus
yang mengakibatkan proteinuria masif dan hipoalbuminemia.
Karena lebih dari 80% anak berusia di bawah 13 tahun termasuk SN
sensitif steroid (terutama SNKM), maka terapi steroid dapat dimulai tanpa
didahului biopsi ginjal bila anak menunjukkan gambaran klinis yang sesuai
dengan SN. Lebih dari 90% memperlihtkan respons yang baik dalam 4 minggu.
Pasien SNKM yang resisten steroid atau mengalami relaps memerlukan
tambahan terapi imunosupresif lain. Terapi agresif untuk SN kongenital dengan
nefrektomi dini, dialisis, dan transplantasi adalah satu-satunya terapi yang
efektif.
Prognosa pada yang yang berespon baik terhadap pengobatan steroid
sangat jarang berkembang menjadi gagal ginjal terminal . Tetapi pada pasien
yang tidak berespon dengan steroid / resisten steroid dapat berkembang
menjadi gagal ginjal terminal yang membutuhkan dialisis dan transplantasi ginjal.
Yoshi Hiro -Sindroma NefrotikKepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Konsensus Ikatan Dokter Anak Indonesia. Tatalaksana sindrom nefrotik
idiopatik pada anak. Edisi ke-2 Cetakan kedua Jakarta : Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012.h.1-20.
2. Pais Priya, Avner ED. Nephrotic syndrome. Dalam: Kliegman RM, Behrman
RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics.
Edisi ke-19.Philadelphia: Saunders;2011.h.1801-7.
3. Husein A, dkk. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi kedua. Jakarta : Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2010. hal 381-421
4. Pudjiadi AH, dkk. Pedoman Pelayanan Medis . Jilid satu. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2010. Hal 274-6
5. Suyitno H,dkk. Pedoman Imunisasi Di Indonesia. Edisi empat. Jakarta:
Ikatan Dokter Anak Indonesia;2011. Hal 307-16
Yoshi Hiro -Sindroma NefrotikKepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota SemarangFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
33