Upload
tiara-anggianisa
View
207
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
REFERAT
SINDROM NEFROTIK
Pembimbing
Dr. Riza Mansyoer, Sp. A
Penyusun
Nurul Hidayah Binti Hamarudin
030.05.275
Kepaniteraan Klinik
Ilmu Kesehatan Anak RSUD Koja
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Periode 13 Juli – 19 September 2009
SINDROMA NEFROTIK
Definisi
Sindrom nefrotik, adalah penyakit atau sindrom yang mengenai gromerulus yang
ditandai proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema dengan atau tanpa disertai
hiperlipidemia dan hiperkolesterolemia.2,3,6 Yang dimaksud proteinuria masif adalah
apabila didapatkan protenuria sebesar ≥ + 2 pada uji DIPSTICK atau protein >
40mg/m2/jam atau > 2g/hr sedangkan yang dimaksudkan sebagai hipoalbumin adalah
apabila didapatkan albumin dalam darah < 2,5 g/dl.3 Pada sindrom nefrotik primer,
penyakit ini terbatas pada ginjal sedangkan sindrom nefrotik sekunder terjadi selama
perjalanan penyakit sistemik.
Epidemiologi
Kebanyakan (90%) anak yang menderita sindrom nefrotik, merupakan sindrom nefrotik
idiopatik yang terdiri dari tiga tipe secara histologis yaitu lesi minimal ditemukan pada
sekitar 85%, proliferasi mesangium (glomerulonephritis proliferatif) pada 5%, dan
sklerosis setempat (glomerulosklerosis fokal segmental) 10%. Pada 10% anak sindroma
nefrotik yang lain biasanya diperantai oleh glomerulonefritis, dan tersering adalah tipe
membranosa dan membranoproliferatif.1
Klasifikasi sindrom nefrotik
Berdasarkan etiologi
1. Sindrom Nefrotik Primer
i. Sindrom Nefrotik Bawaan
Sindrom nefrotik yang diturunkan sebagai resesif autosom atau karena
reaksi fetomaternal2
ii. Sindrom Nefrotik Idiopatik
Sindrom nefrotik yang tidak diketahui penyebab terjadinya gangguan
pada glomerulus sehingga menunjukkan manifestasi yang sama
dengan sindrom nefrotik.
2. Sindrom Nefrotik Sekunder6
1
Sindrom nefrotik bisa sekunder dari penyakit infeksi, keganasan, penyakit
sistemik, penyakit autoimun, penyakit metabolik, toksisitas dan alergi.
Berdasarkan histopatologi
Berdasarkan histopatologi, sindrom nefrotik terbagi atas perubahan minimal dan
perubahan non minimal.
Berdasarkan respons terhadap pengobatan steroid
Sindrom nefrotik bisa berespons terhadap pengobatan steroid dan bisa juga tidak.
Oleh yang demikian, sindroma nefrotik bisa dibagi menjadi sindrom nefrotik yang
berespons terhadap steroid dan sindrom nefrotik yang tidak berespons terhadap
steroid.
Etiologi sindrom nefrotik
Sindrom nefrotik primer pada anak umumnya idopatik dan diduga ada hubungan
dengan genetik, imunologi dan alergi.3 Sindroma nefrotik pada anak-anak juga diduga
adalah sindrom nefrotik dengan perubahan minimal, sindrom nefrotik kongenital,
sindrom nefrotik dengan proliferasi mesangial difus, glomerulosklerosis fokal dan
segmental, glomerulonefritis membranoproliferatif, dan glomerulonefritis kresentrik.4
Sindroma nefrotik sekunder dapat pula disebabkan oleh 2,3,6:
i. Penyakit infeksi: - HIV
- Hepatitis virus B dan C
- Sifilis
- Malaria
- Skistosoma
- Tuberkulosis
- Lepra
- Post Streptokok
ii. Penyakit keganasan: - Adenokarsinoma paru, payudara, kolon,
- Limfoma Hodgkin
2
- Mieloma multipel
- Karsinoma ginjal
iii. Penyakit sistemik dan penyakit immune mediated :
- Lupus Eritematosus Sistemik*
- Henoch Scholein Purpura*
- Sindrom Vaskulitis
- Trombosis vena renalis
- Artritis Reumatoid
- MCTD (mixed connective tissue disease)
- Poliartritis
- Sarcoid
- Dematitis Hepertiformis
iv. Penyakit keturunan dan metabolic
- Mellitus Diabetes
- Amilodoisis
- Sindrom Alport
- Myxedema
- Pre-eklamsia
v. Akibat toksin dan alergi
- Keracunan logam berat (Au, Hg)
- Keracuan probenicid, trimetadion, paradion atau
penisilamin
- Gigitan serangga dan bisa ular
* Sindrom nefrotik sekuder pada anak sering sekunder dari vaskulitis
seperti Lupus Eritematosus Sistemik, Henoch Scholein Purpura, Limfoma
Maligna seperti penyakit Hodgkin, malaria kuatarna, infeksi virus hepatitis
B atau infeksi HIV .3,4
Anatomi Dasar Saluran Kemih
Saluran kemih terdiri dari ginjal yang terus menerus menghasilkan urine, dan
berbagai saluran dan reservoir yang dibutuhkan untuk membawa urine ke luar tubuh.
3
Ginjal merupakan organ berbentuk seperti kacang yang terletak di kedua sisi kolumna
vetebralis. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dibandingkan ginjal kiri karena tekanan ke
bawah oleh hati. Kutub atasnya terletak setinggi iga kesebelas.
Kedua ureter merupakan saluran yang panjangnya sekitar 10 sampai 12 inci (25
hingga 30 cm), terbentang dari ginjal sampai sampai vesika urinaria. Fungsi satu-satunya
adalah menyalurkan urine ke vesika urinaria.
Vesika uinaria adalah suatu kantong berotot yang dapat mengempis, terletak di
belakang simfisis pubis. Vesika urinaria mempunyai tiga muara: dua dari ureter dan satu
menuju uretra. Dua fungsi vesika urinaria adalah: (1) sebagai tempat penyimpanan urin
sebalum meninggalkan tubuh dan (2) berfungsi mendorong urine keluar tubuh (dibantu
uretra).
Uretra adalah saluran kecil yang dapat mengembang, berjalan dari vesika urinaria
sampai keluar tubuh; panjang pada perempuan sekitar 1 ½ inchi (4 cm) dan pada laki-laki
sekitar 8 inchi (20 cm). Muara uretra keluar tubuh disebut meatus urinarius.
Hubungan Anatomis Ginjal
Ginjal terletak di belakang abdomen atas, di belakang peritoneum, dibelakang dua
iga terakhir , dan tiga otot besar (tranversus abdominis, kuadratus lumborum, dan psoas
mayor). Ginjal dipertahanankan dalam posisi tersebut oleh bantalan lemak yang tebal.
Kelenjar adrenal terletak di atas kutub masing-masing ginjal.
Ginjal terlindung dengan baik dari trauma lansung karena disebelah posterior
dilindungi oleh iga, sedangkan di anterior dilindungi oleh bantalan usus yang tebal. Bila
ginjal mengalami cedera, maka hampir selalu terjadi akibat kekuatan yang mengenai iga
kedua belas, yang berputar ke dalam dan menjepit ginjal di antara iga itu sendiri dengan
korpus vetebra lumbalis. Perlindungan yang sempurna terhadap cedera lansung ini
menyebabkan ginjal dengan sendirinya sukar untuk diraba dan sulit dicapai sewaktu
pembedahan. Ginjal kiri yang berukuran normal, biasanya tidak teraba pada pemeriksaan
fisik karena dua pertiga permukaan anterior ginjal tertutup oleh limpa. Namun, kutub
bawah ginjal kanan berukuran normal, dapat diraba secara bimanual. Kedua ginjal yang
membesar secara mencolok atau tergeser dari tempatnya dapat diketahui dengan palpasi,
walaupun hal ini lebih mudah dilakukan di sebelah kanan.
4
Struktur Makroskopik Ginjal
Pada orang dewasa, panjang ginjal adalah sekitar 12 sampai 13 cm (4,7 hingga 5,1
inci), lebarnya 6cm (2,4 inci), tebalnya 2,5 cm (1 inci), dan beratnya sekitar 150 gram.
Ukurannya tidak berbeda menurut bentuk dan ukuran tubuh. Perbedaan pajang dari kutub
ke kutub kedua ginjal (dibandingkan dengan pasangannya) yang lebih dari 1,5 cm (0,6
inci) atau perubahan bentuk merupakan tanda yang penting karena sebagaian besar
manifestasi penyakit ginjal adalah perubahan struktur.
Permukaan anterior dan posterior kutub atas dan bawah serta tepi lateral ginjal
bebentuk cekung karena adanya hilus. Beberapa strukur yang masuk atau keluar dari
ginjal melalui hilus adalah arteria dan vena renalis, saraf, pembuluh limfatik, dan ureter.
Ginjal diliputi oleh suatu kapsula fibrosa tipis mengkilat, yang berikatan longgar dengan
jaringan dibawahnya dan dapat dilepaskan dengan mudah dari permukaan ginjal.
Potongan longitudinal ginjal memperlihatkan dua daerah yang berbeda – korteks
di bagian luar dan medulla di bagian dalam. Medulla terbagi-bagi menjadi baji segitiga
yang disebut pyramid. Pyramid-piramid tersebut diselingi oleh bagian korteks yang
disebut kolumna Bertini. Pyramid-piramid tersebut tampak bercorak karena tersususn
dari segmen-segmen tubulus dan duktus pengumpul nefron. Papilla (apeks) dari tiap
pyramid membentuk duktus papilaris Bellini yang terbentuk dari persatuan bagian
terminal dari banyak duktus pengumpul. Setiap duktus papilaris masuk ke dalam suatu
perluasan ujung pelvis ginjal berbentuk seperti cawan yang disebut kaliks minor.
Beberapa kaliks minor bersatu berbentuk kaliks mayor, yang selanjutnya bersatu
sehingga membentuk pelvis ginjal. Pelvis ginjal merupakan reservoir utama system
pengumpulan ginjal. Ureter menghubungkan pelvis ginjal dengan vesika urinaria.
Pengetahuan mengenai anatomi ginjal merupakan dasar untuk memahami
pembentukan urine. Pembentukan urine dimulai dalam korteks dan berlanjut selama
bahan pembentukan urine tersebut mengalir melalui tubulus dan duktus pengumpul.
Urine yang terbentuk kemudian mengalir ke dalam duktus Belini, masuk kaliks minor,
kaliks mayor, pelvis ginjal, dan akhirnya meninggalkan ginjal melalui ureter menuju
vesika urinaria. Dinding kaliks, pelvis dan ureter mengandung otot polos yang dapat
5
berkonsentrasi secara berirama dan membantu mendorong urine melalui saluran kemih
dengan gerakan peristaltik.
Suplai Pembuluh Darah Makroskopik Ginjal
Arteria renalis berasal dari aorta abdominalis kira-kira setinggi vetebra lumbalis
II. Aorta terletak di sebelah kiri garis tengah sehingga arteria renalis kanan lebih panjang
dari renalis kiri. Setiap arteria renalis bercabang sewaktu masuk ke dalam hilus ginjal.
Vena renalis menyalurkan darah dari masing-masing ginjal ke dalam vena kava
inferior yang terletak disebelah kanan dari garis tengah. Akibatnya vena renalis kiri kira-
kira dua kali lebih panjang dari vena renalis kanan. Gambaran anatomis ini menyebabkan
ahli bedah transplantasi biasanya lebih suka memilih ginjal kiri donor yang kemudian
diputar dan ditempatkan pada pelvis kanan resipien. Ada sedikit kesulitan bila arteria
renalis pendek dan beranastomosis dengan arteria iliaka interna (hipogastrika). Namun,
vena renalis harus lebih panjang, karena ditanamkan lansung ke dalam vena iliaka
eksterna.
Saat arteria renalis masuk ke dalam hilus, arteria tersebut bercabang menjadi
arteria interlobaris yang berjalan di antara piramid, selanjutnya membentuk percabangan
arkuata yang melengkung melintasi basis piramid-piramid tersebut.
Arteria arkuata kemudian membentuk arteriol-arteriol interloburalis yang tersusun
paralel dalam korteks. Arteriola interlobularis ini selanjutnya membentuk arteriola aferen.
Masing-masing arteriol aferen akan menyuplai darah ke rumbai-rumbai kapiler yang
disebut glomerulus ( = gromeruli ). Kapiler glomeruli bersatu membentuk arteriol aferen
yang kemudian bercabang-bercabang membentuk sistem jaringan portal yang
mengelilingi tubulus dan kadang-kadang disebut kapiler peritubular. Sirkulasi ginjal
tidak seperti biasa yang terbagi menjadi dua bantalan kapiler yang terpisah tapi bantalan
glomerulus dan bantalan kapiler peritubular terbentuk menjadi rangkaian sehingga semua
darah ginjal melewati keduanya. Tekanan dalam bantalan kapiler yang pertama (tempat
terjadi filtrasi) adalah lebih tinggi (40 hingga 50 mmHg), sedangkan tekanan dalam
kapiler peritubular (tempat reabsorbsi tubular kembali ke sirkulasi) adalah rendah (5
hingga 10 mmHg) dan menyerupai kapiler di tempat lain dalam tubuh. Darah yang
6
melewati jaringan portal ini mengalir ke jaringan vena interlobular, arkuata, interlobar
dan vena ginjal untuk mencapai vena kava inferior.
Gambaran Khusus Aliran Darah Ginjal
Ginjal diperfusi oleh sekitar 1.200 ml darah permenit – suatu volume yang sama
dengan 20% sampai 25% curah jantung (5.000 ml per menit). Kenyataan ini memang
sangat menakjubkan, kalau kita pertimbangkan bahwa berat kedua ginjal kurang dari 1%
dari berat seluruh tubuh.
Lebih 90% darah yang masuk ke ginjal didistribusikan ke korteks, sedangkan
sisanya didistribusikan ke medulla. Sifat khusus aliran ginjal yang lain adalah
autoregulasi aliran darah melalui ginjal. Arteriol aferen mempunyai kapasitas intrinsik
yang dapat mengubah resistensinya sebagai respons terhadap perubahan tekanan darah
arteria, dengan demikian mempertahankan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus
tetap konstan. Fungsi ini efektif pada tekanan arteria antara 80 sampai 180 mmHg.
Hasilnya adalah pencegahan terjadinya perubahan besar dalam ekskresi zat terlarut dan
air. Tetapi dalam kondisi-kondisi tertentu autoregulasi ini dapat ditaklukkan, meskipun
tekanan arteria masih dalam batas autoregulasi. Saraf-saraf renal dapat menyebabkan
vasokonstriksi pada keadaan darurat dan mengalihkan darah dari ginjal ke jantung otak,
atau otot rangka dengan mengorbankan ginjal. Gangguan autoregulasi dan distribusi
aliran darah intrarenal mungkin penting dalam patogenesis gagal ginjal oliguria akut.
Variasi Suplai Vaskular Ginjal
Ginjal mendapatkan darah dari banyak arteria atau vena. Anomali arteria renalis
jauh lebih sering ditemukan daripada kelainan vena. Kenyataannya, sekitar 25% dari
populasi atau lebih memiliki lebih dari satu arteria renalis yang menyuplai ginjal. Arteria-
arteria tambahan ini biasanya berasal dari percabangan kecil-kecil dari aorta dan
menyuplai kutub-kutub ginjal. Arteriogram suplai darah ginjal penting dilakukan pada
donor sebelum perlaksanaan transplantasi ginjal, karena variasi seperti ini secara teknis
dapat menyulitkan ahli bedah.
Struktur Mikrokospik Ginjal
7
Nefron
Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Dalam setiap ginjal terdapat
sekitar 1 juta nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur dan fungsi sama. Dengan
demikian, kerja ginjal dapat dianggap sebagai total dari fungsi semua nefron yang
mengitari rumbai kapiler glomerulus, tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle, dan
tubulus kontortus distal, yang mengosongkan diri ke duktus pengumpul. Orang yang
normal masih dapat bertahan (walaupuun dengan susah payah) dengan jumlah nefron
kurang dari 20.000 atau 1 % dari massa nefron total. Dengan demikian, masih mungkin
untuk menyumbangkan satu ginjal untuk transplantasi tanpa membahyakan kehidupan.
Korpuskulus Ginjal
Korpuskulus ginjal terdiri dari kapsula Bowman dan rumbai kapiler glomerulus.
Istilah glomerulus seringkali digunakan juga untuk menyatakan korperkulus ginjal,
walaupun glomerulus lebih sesuai untuk menyatakan rumbai kapiler.
Kapsula Bowman merupakan suatu investigasi dari tubulus proksimal. Terdapat
ruang yang mengandung urine antara rumbai kapiler dan kapsula Bowman, dan ruang
yang mengandung urine ini dikenal dengan nama ruang Bowman atau ruang kapsular.
Kapsula Bowman dilapisi oleh sel-sel epitel. Sel epitel parietalis berbentuk
gepeng dan membentuk bagian terluar dari kapsula; sel epitel viseralis jauh lebih besar
dan membentuk bagian dalam kapsula dan juga melapisi bagian luar dari rumbai kapiler.
Sel viseralis membentuk tonjolan-tonjolan atau kaki-kaki yang dikenal sebagai podosit,
yang bersinggungan dengan membran basalis pada jarak-jarak tertentu sehingga terdapat
daerah-daerah yang bebas dari kontak sel antara sel epitel. Daerah-daerah yang terdapat
di antara podosit biasanya disebut celah pori-pori, lebarnya sekitar 400 Angstrom.
Membran basalis membentuk lapisan tengah dinding kapiler, terjepit di antara sel-
sel epitel pada satu sisi dan sel-sel endotel pada sisi yang lain. Membran basalis kapiler
menjadi membran basalis tubulus dan terdiri dari gel hidrasi yang menjalin serat kolagen.
Pada membran basalis tidak tampak adanya pori-pori, kendatipun bersifat seakan-akan
memiliki poli berdiameter sekitar 70 sampai 100 Angstrom.
Sel-sel endotel membentuk bagian terdalam dari rumbai kapiler. Tidak seperti sel-
sel epitel, sel endotel lansung berkontak dengan membran basalis. Namun terdapat
beberapa pelebaran seperti jendela (dikenal dengan nama fenestrasi) yang berdiameter
8
sekitar 600 Angstrom. Sel-sel endotel berlanjut dengan endotel yang membatasi arteriola
aferen dan eferen.
Sel-sel endotel, membrane basalis dan sel-sel epitel viseralis merupakan tiga
lapisan yang membentuk membrane filtrasi glomerulus. Membrane filtrasi glomerulus
memungkinkan ultrfiltrasi darah melalui pemisahan unsur-unsur darah dan molekul-
molekul protein besar dari bagian plasma lainnya, dan mengalirkan bagian plasma
tersebut sebagai urine primer ke dalam ruang dari kapsula Bowman. Sifat diskriminatif
ultrafiltrasi glomerulus timbul dari susunan struktur yang unik dan komposisi kimia dari
sawar ultrafiltrasi. Membrane filtrasi glomerulus tampaknya merupakan struktur yang
membatasi lewatnya zat terlarut ke dalam ruang urine berdasarkan seleksi ukuran
molekul. Di samping itu sawar filtrasi memiliki muatan negatif yang ditimbulkan oleh
kumpulan makromolekul kaya anion pada membrane basalis dan melapisi batas sel epitel
dan endotel. Muatan negative inilah yang menjadi alasan mengapa secara normal albumin
anionic (yang berdiameter sedikit lebih kecil daripada ukuran pori yang terkecil) tidak
mampu masuk ke ruang urine. Molekul-molekul protein yang besar serta sel-sel darah
dalam keadaan normal tidak ditemukan dalam filtrate maupun urine.
Komponen penting lainnya dari glomerulus adalah mesangium, yang terdiri dari
sel mesangial dan matriks mesangial. Sel mesangial membentuk jaringan yang berlanjut
antara lengkung kapiler dari glomerulus dan diduga berfungsi sebagai kerangka jaringan
penyokong. Sel mesangial bukan merupakan bagian dan membrane filtrasi namun
mensekresi matriks mesangial. Sel mesangial memiliki aktivitas fagositik dan mensekresi
prostaglandin. Sel mesangial mungkin berperan dalam mempengaruhi kecepatan filtrasi
glomerulus dengan mengatur aliran melalui kapiler karena sel mesangial memiliki
kemampuan untuk berkontraksi dan terletak bersebelahan dengan kapiler glomerulus. Sel
mesangial yang terletak di luar rumbai glomerular dekat dengan kutub vascular
glomerulus (antara arteriola aferen dan eferen) disebut sel lacis.
Aparatus Jukstaglomerulus
Apparatus jukstaglomerulus (JGA) terdiri dari sekelompok sel khusus yang
letaknya dengan letak kutub vascular masing-masing glomeruus yang berperan penting
dalam mengatur pelepasan rennin dan mengontrol volume cairan ekstraseluler (ECF) dan
tekanan darah. JGA terdiri dari tiga macam sel : (1) sel jukstaglomerulus (JG) atau sel
9
granular (yang memproduksi dan menyimpan rennin) pada dinding arteriol aferen, (2)
makula densa tubulus distal, dan (3) mesangial ekstraglomerular atau sel lacis. Makula
densa adalah sekelompok sel epitel tubulus distal yang diwarnai dengan pewarnaan
khusus. Sel ini bersebelahan dengan ruangan yang berisi sel lacis dan sel JG yang
mensekresi rennin.
Secara umum sekresi rennin dikontrol oleh faktor ekstrarenal. Dua mekanisme
penting untuk mengontrol seleksi rennin adalah sel JG dan makula densa. Setiap
penurunan tegangan dinding arteriol aferen atau penurunan pengiriman Na ke makula
densa dan tubulus distal akan meransang sel JG untuk melepaskan rennin dari granula
tempat rennin tersebut disimpan di dalam sel. Sel JG, yang sel mioepitelnya secara
khusus mengikat arteriol aferen, juga bertindak sebagai tranduser tekanan miniatur, yaitu
merasakan tekanan perfusi ginjal. Volume ECF atau volume sirkulasi efektif (ECV) yang
sangat menurun menyebabkan menurunnya tekanan perfusi ginjal, yang dirasakan
sebagai penurunan regangan oleh sel JG. Sel JG kemudian melepaskan rennin ke dalam
sirkulasi, yang sebaliknya mengaktifkan mekanisme rennin-angiotensin-aldosteron. ECV
bukan suatu kompartmen cairan tubuh tersendiri dan tidak dapat diukur; namun berkaitan
erat dengan perfusi jaringan yang adekuat, yaitu, terhadap isi dan tekanan komponen:
volume intravascular absolute, curah jantung, dan resistensi pembuluh darah sistemik.
Perubahan pada salah satu dari ketiga parameter ini tanpa perubahan kompensasi
ditempat lain akan berakibat pada isi sirkulasi dan kemudian ECV. Secara normal, ECF
dan ECV sebenarnya adalah sama, tetapi dalam beberapa keadaan patologis (misalnya,
gagal jantung kongestif) ECV dapat menurun sebelum volume ECF dapat meningkat di
atas normal.
Mekanisme kontrol kedua untuk perlepasan berpusat di dalam sel makula densa
yang dapat berfungsi sebagai kemoreseptor, mengawasi beban klorida yang terdapat pada
tubulus distal. Dalam keadaan kontraksi volume, sedikit natrium klorida (NaCl) dialirkan
ke tubulus distal (karena banyak yang diabsorbsi dalam tubulus proksimal); kemudian
timbal balik dari sel makula densa ke sel JG menyebabkan peningkatan perlepasan
rennin. Mekanisme sinyal klorida yang diartikan menjadi perubahan sekresi rennin ini
belum diketahui secara pasti. Suatu peningkatan volume ECF yang menyebabkan
peningkatan tekanan perfusi ginjal dan meningkatkan pengiriman NaCl ke tubulus distal
10
memiliki efek yang berlawanan dari contoh yang diberikan oleh penurunan volume ECF
– yaitu menekan sekresi rennin.
Faktor lain yang mempengaruhi sekresi renin adalah saraf simpatis ginjal, yang
meransang pelepasan rennin melalui reseptor beta-adrenergik dalam JGA, dan
angiotensin II yang menghambat pelepasan rennin. Banyak faktor sirkulasi lain yang juga
mengubah sekresi rennin, termasuk elektrolit plasma (kalsium dan natrium) dan berbagai
hormon, yaitu hormon natriuretik atrial, dopamine, hormone antidiuretik (ADH),
hormone adrenokortikotropik (ACTH), dan nitrit oksida (dahulu dikenal sebagai faktor
relaksasi yang berasal dari endothelium [EDRF]), dan prostaglandin. Hal ini terjadi
mungkin karena JGA adalah tempat integrasi berbagai input dan sekresi renin itu
mencerminkan interaksi dari semua faktor.
Fisiologi Dasar Ginjal
Fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volume dan komposisi ECF dalam
batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan ekstrasel ini dikontrol oleh filtrasi
glomerulus, reabsorpsi, dan sekresi tubulus seperti yang akan dibahas dalam bagian
selanjutnya. Secara ringkasnya fungsi ginjal dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Fungsi ekskresi
Mempertahankan osmolaritas plasma sekitar 285 mOsmol dengan
mengubah-ubah ekskresi air.
Mempertahankan volume ECF dan tekanan darah dengan mengubah-ubah
ekskresi Na+
Mempertahankan konsentrasi plasma masing-masing elektrolit individu
dalam rentang normal
Mempertahankan pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan
H+ dan membentuk kembali HCO3-
Mensekresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein (terutama
urea, asam urat dan kreatinin)
11
Bekerja sebagai jalur ekskretori untuk sebagian besar obat.
2. Fungsi nonekskresi
Mensintesis dan mengaktifkan hormone
- Renin : penting dalam pengaturan tekanan darah
- Eritropoetin : meransang produksi sel darah merah oleh sumsum
tulang
- 1,25-dihidroksivitamin D3 : hidroksilasi akhir vitamin D3 menjadi
batuk yang paling kuat
- Prostaglandin : sebagian besar adalah vasodilatator, bekerja
secara lokal, dan melindugi dari kerusakan iskemik ginjal
- Degradasi hormon peptide
- Insulin, glukagon, parathormon, prolaktin, hormon pertumbuhan,
ADH, dan hormon gastrointestinal (gastrin, polipeptida intestinal
vasoaktif [VIP])
Ultrafiltrasi Glomerulus
Pembentukan urin dimulai dengan proses filtrasi glomerulus plasma. Aliran darah
ginjal (RBF) setara dengan sekitar 25% curah jantung atau 1.200 ml/menit. Bila
hematokrit normal dianggap 45%, maka aliran plasma ginjal (RPF) sama dengan 660
ml/menit (0,55x1.200 + 600). Sekitar seperlima dari plasma atau 125 ml/menit dialirkan
melalui glomerulus ke kapsula Bowman. Ini dikenal dengan isilah laju filtrasi glomerulus
(GFR). Proses filtrasi pada glomerulus dinamakan ultrafiltrasi glomerulus, karena filtrat
primer mempunyai komposisi sama seperti plasma kecuali protein. Sel-sel darah dan
molekul-molekul protein yang besar atau protein bermuatan negatif (seperti albumin)
secara efektif tertahan oleh seleksi ukuran dan seleksi muatan yang merupakan ciri khas
dari sawar membran filtrasi glomerular, sedangkan molekul yang berukuran lebih kecl
atau dengan beban yang netral atau positif (seperti air dan kristaloid) sudah lansung
tersaring. Perhitungan menunjukan bahwa 173 L cairan berhasil disaring melalui
12
glomerulus dalam waktu sehari – suatu jumlah yang menakjubkan untuk organ yang berat
totalnya hanya sekitar 10 ons. Saat filtrat mengalir melalui tubulus, ditambahkan atau
diambil berbagai zat dari filtrat, sehingga akhirnya hanya sekitar 1,5 L/hari yang
diekskresi sebagai urine.
Tekanan-tekanan yang berperan dalam proses laju filtrasi glomerulus yang cepat
ini seluruhnya bersifat pasif, dan tidak dibutuhkan energi metabolik untuk filtrasi
tersebut. Tekanan filtasi berasal dari perbedaan tekanan yang terdapat antara kapiler
glomerulus dan kapsula Bowman. Tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus
mempermudah filtrasi dan kekuatan ini dilawan oleh tekanan hidrostatik filtrat dalam
kapsula Bowman serta tekanan onkotik darah. Tekanan onkotik dalam kapsula Bowman
pada hakekatnya adalah nol, karena filtrasi secara normal sama sekali tidak ada protein.
Walaupun pada manusia tidak pernah diukur, tekanan kapiler glomerulus seperti yang
diperkirakan oleh Pitts (1974) adalah sekitar 50 mmHg, dan tekanan intrakapsular sekitar
10 mmHg. Perkiraan ini didasarkan pada pengukuran yang dilakukan pada tikus.
Tekanan onkotik darah besarnya 30 mmHg. Dengan demikian, tekanan filtrasi bersih dari
glomerulus besarnya sekitar 10mmHg. Filtrasi glomerulus tidak hanya dipengaruhi oleh
tekanan-tekanan fisik di atas, namun juga oleh permeabilitas membrane filtrasi (K f). Kf
adalah hasil dari permeabilitas instrinsik kapiler glomerular dan daerah permukaan
glomerulus untuk filtrasi. Laju filtrasi lebih tinggi dalam kapiler glomerulus daripada
kapiler tubuh lainnya, karena Kf kira-kira 100 kali lebih tinggi (173 L/hari melawan kira-
kira 2 L/hari). Keseimbangan dari tekanan-tekanan yang berperan dalam proses
ultrafiltrasi glomerulus dapat diringkas sebagai berikut :
GFR = Kf x (Tekanan hidrostatik intrakapiler – [tekanan hidrostatik intrakapsular +
tekanan onkotik ] )
Tekanan filtrasi bersih = 50 – (10 + 30)
= 10 mm
Cara yang paling akurat untuk mengukur GFR ialah dengan menggunakan suatu
zat seperti inulin, yang difiltrasi secara bebas pada glomerulus dan tidak disekresi
maupun direabsorbsi oleh tubulus. Bersihan suatu zat adalah besarnya volume plasma
dari zat yang dibersihkan secara total oleh ginjal persatuan waktu. Laju bersihan inulin
sama dengan GFR, yang diukur dengan pemberian inulin dengan kecepatan tetesan
13(Uin ) 600 mg/dl x (V) 4,2 ml/menit
(Pin )25 mg/dl
intravena (i.v) yang konstan untuk menjamin tingkat konsentrasi plasma yang konstan.
Hasil pengukuran konsentrasi inulin dalam plasma (Pin) dalam mg/dl, dalam urine (Uin)
dalam mg/dl, serta volume urin (V) dalam ml/menit, memungkinkan perhitungan
bersihan inulin (Cin) dalam ml/menit. Hasilnya harus dikoreksi terhadap luas permukaan
tubuh – diperkirakan dengan menggunakan nomogram yang menghubungkan tinggi dan
berat badan terhadap luas permukaan tubuh. Misalnya, bila seseorang mengeluarkan
urine dengan kecepatan 4,2 ml/menit, specimen Uin sebesar 600 mg/dl, dan Pin sebesar 25
mg/100ml, maka
GFR = Cin =
= 100 ml/menit
GFR yang diperoleh dalam 100 ml/menit kemudian dinormalkan dengan
mengoreksinya terhadap standar luas permukaan tubuh normal sebesar 1,73 m2. Koreksi
ini memungkinkan kita membandingkan fungsi pada orang-orang yang berbeda keadaan
fisiknya. GFR laki-laki normal muda berkisar 125 ± 15 ml/ menit/1,73 m2, sedangkam
GFR perempuan muda normal adalah 110 ± 15 ml / menit / 1,73 m2.
Autoregulasi Aliran Plasma Ginjal dan Laju Filtrasi Glomerulus
GFR tidak sepenuhnya bergantung kepada kekuatan fisik yang bekerja di
membrane glomerulus. Ginjal memiliki kemampuan untuk mempertahankan RPF dan
GFR pada tingkat relatif konstan walaupun terdapat fluktuasi harian normal dalam
tekanan darah sistemik dan tekanan perfusi ginjal. Fenomena ini (bersifat intrinsik dalam
ginjal) dinamakan autoregulasi. Tujuan mempertahankan GFR dalam kisaran yang sempit
adalah untuk mencegah fluktuasi yang tidak sesuai bagi natrium dan ekskresi air.
Autoregulasi lebih efektif bila kisaran tekanan darah arteri sekitar 80 hingga 180 mmHg
namun dapat pula tidak efektif walaupun pada kisaran tersebut berada dalam keadaan
patologis tertentu.
Dua mekanisme yang sangat berperan dalam autoregulasi RPF dan GFR: (1)
reseptor regangan miogenik dan otot polos vascular arteriol aferen dan (2) timbal balik
14
(Uin) 600mg/dl x (V) 4,2 ml/menit
(Pin) 25 mg/dl
tubuloglomerular (TGF). Selain itu noerepinefrin, angiotensin II dan hormon lain juga
dapat mempengaruhi autoregulasi. Kapiler glomerular berbeda dari bantalan kapiler lain
dalam menempatkan diri di antara dua arteriol (aferen dan eferen). Sebagai akibatnya,
tekanan hidrostatik intrakapiler (Pgc) ditentukan oleh tiga faktor: (1) tekanan darah
sistemik dan (2) resistensi pada arteriol aferen dan eferen. Pengaturan ini mengikuti
regulasi cepat GFR dengan mengubah resistensi dalam arteriol aferen dan eferen. Sebagai
contoh, kenaikan tekanan darah sistemik dan tekanan perfusi ginjal data diharapkan untuk
meningkatkan Pgc. Dan kemudian meningkatkan laju RPF dan GFR. Namun, peningkatan
tekanan perfusi ginjal dapat dirasakan oleh reseptor regang miotonik dalam arteriol
aferen. Tapi, arteriol aferen tidak merespons secara lansung perubahan dalam regangan
sehingga tidak memperbesar respons miotonik. Akibat dari vasokonstriksi arteriol aferen
tersebut adalah reduksi RPF, Pgc, dan GFR, sehingga mengimbangi peningkatan yang
besar dalam GFR yang dapat diharapkan dengan menigkatkan tekanan perfusi ginjal.
Di lain pihak, jika terdapat hipotensi sistemik, sistem rennin-angiotensin
diaktifkan dengan pembentukan angiotensin II. Angiotensin II menyebabkan
vasokonstriksi arteriol aferen dan vasokonstriksi areteriol aferen dan vasokonstriksi
arteriol eferen namun pada derajat yang lebih rendah. Akibatnya adalah reduksi tekanan
pefusi ginjal serta RPF (karena peningkatan resistensi arteriol aferen) dan peningkatan Pgc
(karena peningkatan resistensi arteriol eferen). Akibat yang menguntungkan adalah
bahwa angiotensin II meniadakan efek regulasi GFR: penurunan RPF cenderung akan
meningatkan GFR. Norepinefrin (dilepaskan dari saraf simpatik ginjal atau dari korteks
adrenal) menigkatkan efek vasokonstriksi dari angiotensin II. Angiotensin II juga
meransang pelepasan prostaglandin vasodilatator (misalnya PGI, PGE) dari glomerulus
yang meminimalkan kemungkinan terjadinya iskemi ginjal dalam keadaan hipotensi
sistemik.
Mekanise kedua yang bertanggungjawab terhadap autoregulasi GFR (yaitu TGF)
mengacu kepada perubahan yang dapat ditimbulkan oleh perubahan kecepatan aliran di
tubulus distal. TGF diperantai oleh sel macula densa dalam tubulus distal (bersebelahan
dengan kutub glomerulus), yang sensitif terhadap komposisi klorida cairan tubulus.
Angka NaCl yang tinggi dalam tubulus distal menyebabkan konstriksi arteriol aferen
15
sehingga mengurangi GFR dalam nefron tersebut. Berdasarkan mekanisme ini, nefron itu
sendiri benar-benar suatu lengkung timbal balik. Peningkatan GFR menyebabkan
peningkatan hantaran NaCl ke nefron distal dan oleh sebab itu akan meningkatkan
pemindahan natrium melewati sel makula densa. Kemudian akan diikuti oleh reduksi
GFR. Sebaliknya bila GFR rendah, hanya sedikit natrium yang tersedia untuk berpindah
melewati sel makula densa. Arteriol aferen berdilatasi, dan GFR akan meningkat.
Reabsorbsi dan Sekresi Tubulus
Tiga kelas zat yang difltrasi dalam glomerulus: elektrolit, nonelektrolit, dan air.
Beberapa elektrolit yang paling penting adalah matrium (Na+), kalium (K+), kalsium (Ca+
+), magnesium (Mg++), birkabonat (HCO3-), klorida (Cl-), dan fosfat (HPO4
+). Nonelektrlit
yang penting adalah glukosa, asam amino, dan metabolit yang merupakan produk akhir
dari proses metabolisme protein: urea, asam uran, dan kreatinin.
Langkah kedua dalam proses pembentukan urine setelah filtrasi adalah reabsobsi
selektif zat-zat yang sudah difiltrasi. Sebagian besar zat yang difiltrasi direabsorbsi
melalui “pori-pori” kecil yang terdapat dalam tubulus sehingga akhirnya zat-zat tersebut
kembali lagi ke dalam kapiler peritubulus yang mengelilingi tubulus. Disamping itu
beberapa zat disekresi pula dari pembuluh darah peritubulus sekitar ke dalam tubulus.
Proses reabsorpsi dan sekresi ini berlansung melalui mekanisme transport aktif
dan pasif. Suatu mekanisme tersebut aktif bila zat berpindah melawan perbedaan
elektrokimia (yaitu, melawan perbedaan potensial listrik, potensi kimia atau keduanya).
Kerja lansung ditujukan pada zat direabsorbsi atau disekresi oleh selsel tubulus tersebut,
dan energi ini dikeluarkan dalam bentuk adenosine trifosfat (ATP) (misalnya,
3Na+/2K+ATPase). Mekanisme transport tersebut pasif bila zat yang direabsorbsi atau
disekresi bergerak mengikuti perbedaan elektrokimia yang ada. Selama proses
perpindahan zat tersebut tidak dibutuhkan energi.
Glukosa dan asam amino direabsorbsi seluruhnya disepanjang tubulus proksimal
melalui transport aktif. Kalium dan asam urat hampir seluruhnya direabsorbsi secara aktif
dan keduanya disekresi ke dalam tubulus distal. Sedikitnya dua pertiga dari jumlah
natrium yang difiltrasi akan direabsorbsi secara aktif dalam tubulus proksimal. Proses
reabsorbsi natrium berlanjut dalam lengkung Henle, tubulus distal dan pengumpul,
16
sehingga kurang dari 1% beban yang difiltrasi diekskresikan dalam urine sebagian besar
Ca2+ dan HPO4+ direabsorbsi dalam tubulus proksimal dengan cara transport aktif. Air,
klorida, dan urea direabsorsi dalam tubulus proksimal melalui transport pasif. Dengan
berpindahnya sejumlah besar ion natrium yang bermuatan positif keluar lumen, maka ion
klorida yang bermuatan negatif harus menyertai untuk mencapai kondisi listrik yang
netral. Keluarnya sejumlah besar ion dan nonelektrolit dari cairan tubulus proksimal
menyebabkan cairan mengalami pengenceran osmotik dan akibatnya air berdifusi ke luar
tubulus dan masuk ke darah peritubular. Urea kemudian berdifusi secara pasif mengikuti
perbedaan konsentrasi yang terbentuk oleh reabsorbsi air. Ion hidrogen (H+), asam
organik seperti para-amino-hipurat (PAH) dan penisilin, juga kreatinin (suatu basa
organic) semuanya secara aktif disekresi ke dalam tubulus proksimal.sekitar 90% dari
birkabonat direabsorbsi secara tak lansung dari tubulus proksimal melalui pertukaran Na+
- H+. H+ yang disekresi ke dalam lumen tubulus (sebagai penukar Na+) akan berikatan
dengan HCO3- yang terdapat dalam filtrat glomerulus sehingga terbentuk asam karbonat
(H2CO3). H2CO3 akan berdisiosalisasi menjadi air dan karbondioksida (CO2). CO2
maupun H2O akan berdifusi keluar lumen tubulus, masuk ke sel tubulus. Dalam sel
tubulus tersebut sekali lagi, karbonik anhidrase mengatalisis reaksi CO2 dengan H2O
untuk membentuk H2CO3 sekali lagi. Disosialisasi H2CO3 menghasilkan HCO3 dan H+.
H+ disekresi kembali dan HCO3- akan masuk ke dalam darah peritubular bersama dengan
Na+.
Dalam lengkung Henle, Cl- ditranspor keluar secara aktif dari bagian asenden dan
diikuti secara pasif oleh Na+. NaCL selanjutnya akan berdifusi secara pasif masuk bagian
lengkung desenden. Proses ini penting dalam pemekatan urine.
Proses sekresi dan reabsorbsi selektif diselesaikan dalam tubulus distal dan duktus
pengumpul. Dua fungsi penting tubulus distal adalah pengaturan tahap akhir dari
keseimbangan air dan asam-basa. Pada fungsi sel normal, pH ECF harus dapat
dipertahankan dalam batas sempit antara 7,35 sampai 7,45. Sejumlah mekanisme biologis
bersama-sama membantu mempertahankan pH dalam batas normal. Dapar darah yang
paling utama adalah sistem asam birkabonat-karbonat yang dinyatakan dalam persamaan
sebagai berikut:
CO2 + H2O H2CO3 H+ + HCO3-
17
Karbonik anhidrase
pH darah dinyatakan dalam persamaan Hendersn – Hasselbalch :
pH = pK + log
pK adalah konstanta disoisasi H2CO3. Paru membuang CO2 yang terbentuk bila
H+ didapar oleh HCO3- (reaksi di atas bergeser ke kiri), dan dengan demikian berperan
penting dalam proses menstabilkan pH. Peran ginjal dalam mempertahankan
keseimbangan asam basa adalah reabsorbsi sebagian besar HCO3- yang difiltrasi. Dalam
mempertimbangkan gangguan keseimbangan asam basa, seringkali perlu diingat bahwa
pH serum sesungguhnya banyak bergantung pada rasio HCO3-/H2CO3, dan faktor
pembilang terutama diatur oleh mekanisme ginjal, sedangkan mekanisme paru mengatur
penyebut (melalui pengaturan pembuangan CO2). Perubahan faktor pembilang atau
penyebut akan diikuti oleh perubahan faktor lainnya kearah yang sama. Perubahan ini
dikenal sebagai kompensasi dan berfungsi untuk mempertahankan pH.
Selain reabsorbsi dan penyelamatan sebagian besar HCO3-, ginjal juga membuang
H+ yang berlebihan. Setiap harinya tubuh membentuk sekitar 80 mEq asam yang bukan
H2CO3. Asam-asam ini tidak dapat dibuang melalui paru sehingga disebut asam tetap.
Asam-asam ini dibuang melalui cairan tubulus, sehingga urine dapat mencapai pH
sampai serendah 4,5 (perbedaan ion hydrogen 800 kali lebih besar daripada perbedaan
ion hydrogen dalam plasma). Di sepanjang tubulus, H+ akan disekresi ke dalam cairan
tubulus. H+ dieksresikan dalam bentuk kombinasi dengan HPO4+ berbasa dua yang
terfiltrasi atau dengan ammonia (NH3). Dengan demikian H+ diekskresi sebagai garam
asam berbasa satu yang dapat ditiltrasi (NaH2PO4+) atau sebagai ion amnium (NH4
+). NH3
berdifusi dengan mudah ke dalam lumen tubulus, tetapi bila telah berikatan dengan H+
membentuk partikel NH4 bermuatan; tidak lagi dapat berdifusi kembali ke dalam sel
tubulus. Karena pH urine minimal yang dapat dicapai adalah 4,5, maka jumlah H+ bebas
yang dapat diekskresi terbatas jumlahnya. Oleh karena itu, mekanisme ammonium (dan
mekanisme fosfat) berperan penting dalam pembuangan beban asam, karena NH4+ tak
mempengaruhi pH urine. Pendapatan H+ oleh NH3 atau HPO4+ juga berefek pada
penambahan HCO3- baru ke dalam plasma untuk setiap ion H+ yang diekskresi ke dalam
urine. H+yang diekskresi berasal dalam H2CO3 yang terdapat dalam sel tubulus, sehingga
18
[HCO3-] (ginjal)
[H2CO3] (paru)
meninggalkan HCO3- dalam sel tubulus tersebut dalam jumlah ekuimolar. Sebaliknya,
bilamana HCO3- direabsorbsi dari cairan tubulus melalui mekanisme yang telah
dijelaskan sebelumnya, maka HCO3- sesungguhnya hanya diselamatkan, karena satu H+
akan dikembalikan ke dalam plasma untuk setiap H+ yang diekskresi ke dalam cairan
tubulus. Oleh karena itu, regenerasi HCO3- (yaitu sintesis dedenovo) melalui mekanisme
dapat sangat penting dalam mencegah asidosis.
Asam urat dan kalium diekskresi ke dalam tubulus distal seperti yang telah
disebutkan sebelumnya. Dalam keadaan normal sekitar 5% dari kalium yang terfiltrasi
diekskresikan dalam urine. Reabsorbsi air juga diselesaikan dalam tubulus distal dan
duktus pengumpul.
Beberapa hormone mengatur proses reabsorbsi tubulus san sekresi zat terlarut dan
air.reabsorbsi bergantung pada adnya hormone antidiuretik (ADH). Aldosteron
memengaruhi reabsorbsi Na+ dan sekresi K+. Peningkatan aldosteron menyebabkan
peningkatan reabsorbsi Na+ dan peningkatan sekresi K+. Penurunan aldosteron
mempunyai pengaruh sebaliknya. Peptide natiuretik atrium (ANP), yaitu satu hormon
yang dihasilkan dan disimpan dalam miosit atrium jantung, memiliki efek yang
berlawanan dengan reabsorbsi Na+ terhadap aldosteron, ANP dilepaskan jika atrium
teregang (yaitu, ekspansi darivolume sirkulasi efektif [ECV]) dan meningkatkan ekskresi
Na+ dan air dalam duktus pengumpul. Hormon paratiroid (PTH) mengatur reabsorbsi Ca+
+ dan HPO4+ disepanjang tubulus. Peningkatan PTH menyebabkan peningkatan reabsorpsi
Ca++ dan ekskresi HPO4+. Penurunan PTH mempunyai pengaruh sebaliknya.
19
Patofisiologi Sindroma Nefrotik
Kelainan patogenetik yang mendasari sindroma nefrotik adalah proteinuria yang
berakibat daripada kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus akibat dari
kerusakan glomerulus.1,6 Dalam keadaan normal membran basal glomerulus (MBG)
mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme
penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua
berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada sindroma nefrotik, kedua mekanisme
penghalang tersebut ikut terganggu. Selain itu, konfigurasi molekul protein juga
menentukan lolos tidaknya protein melalui MBG. 6
Secara ringkasnya tiga macam mekanisme yang mendasari proteinuria adalah ; (1)
hilangnya muatan polianion pada dinding kapiler glomerulus ; (2) perubahan pori-pori
dinding kapiler glomerulus ; dan (3) perubahan hemodinamik yang mengatur aliran
kapiler.3
Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non selektif berdasarkan ukuran
molekul protein yang keluar terdiri dari molekul protein yang keluar melalui urin.
Proteinuria selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya
albumin sedangkan non-selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul besar
seperti immunoglobulin.6
Selektivitas proteinuria ditemukan oleh keutuhan struktur MBG. Pada sindroma
nefrotik yang disebabkan oleh glomerulonefritis lesi minimal ditemukan proteinuria
selektif. Pemeriksaan mikroskop electron dari glomerulonefritis lesi minimal
memperlihatkan fusi dari foot pocessus sel epitel visceral glomerulus dan terlepasnya sel
dari struktur MBG. Berkurangnya kandungan heparin sulfat proteoglikan pada
glomerulonefritis lesi minimal menyababkan muatan negative MBG menurun dan
albumin dapat lolos ke dalam urin.6
Pada sindroma nefrotik yang disebabkan oleh glomerulosklerosis fokal segmental,
peningkatan permeabilitas MBG disebabkan oleh suatu faktor yang ikut dalam sirkulasi.
Faktor tersebut menyebabkan sel epitel visceral glomerulus terlepas dari MBG sehingga
permeabilitasnya meningkat. 6
Dan pada sindroma nefrotik yang disebabkan oleh glomerulonefritis membranosa,
kerusakan struktur MBG terjadi akibat endapan komplek imun di sub-epitel. Komplek
20
C5b-9 yang terbentuk pada glomerulonefritis membranosa akan meningkatkan
permeabilitas MBG, walaupun mekanisme yang pasti belum diketahui.6
Umumnya edema muncul bila kadar albumin serum turun di bawah 2,5 g/dl (25
g/L). Mekanisme pembentukan edema pada sindroma nefrotik tidak dimengerti
sepenuhnya.1 Edema pada sindroma nefrotik dapat diterangkan dengan teori underfill dan
overfill.6 Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci
terjadinya edema pada sindroma nefrotik.6 Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan
tekanan onkotik plasma, yang memungkinkan transudasi cairan dari ruang intravaskuler
ke ruang intertisial. Penurunan volume intravaskuler menurunkan tekanan perfusi ginjal
sehingga mengaktifkan sistem renin-angiotensin-aldosteron, yang meransang reabsorbsi
natrium di tubulus distal. Akibat dari penurunan volume intravaskuler (hipovolemia),
ginjal melakukan kompensasi yaitu meningkatkan retensi natrium dan air dengan
meransang pelepasan hormon antidiuretik yang mempertinggi reabsorbsi air dalam
duktus kolektivus. Karena tekanan onkotik plasma berkurang, natrium dan air yang telah
direabsorbsi masuk ke ruang interstisial sehingga edema dapat memperberat edema yang
muncul.1
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium sebagai defek renal utama.
Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler meningkat sehingga terjadi
edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah
terjadinya retensi natrium dan edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan secara
bersamaan pada pasien sindroma nefrotik. Faktor seperti asupan natrium, efek diuretik
atau terapi steroid, derajat gangguan fungsi ginjal, jenis lesi glomerulus, dan keterkaitan
dengan penyakit jantung atau hati akan menentukan mekanisme mana yang lebih
berperan.6 Adanya factor-faktor lain yang juga memainkan peran pada pembentukan
edema dapat ditunjukan melalui observasi bahwa beberapa penderita sindroma nefrotik
mempunyai volume intravaskuler yang normal atau menurun.
Pada status sindroma nefrotik, hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid)
dan lipoprotein serum meningkat. Kadar kolesterol umumnya meningkat sedangkan
trigliserid bervariasi dari normal hingga sedikit meninggi. Sekurang-kurangnya ada dua
faktor yang memberikan sebagian penjelasan; (1) hipoproteinemia meransang sintesis
protein menyeluruh dalam hati, termasuk lipoprotein; dan (2) katabolisme lemak
21
menurun, karena penurunan kadar lipoprotein lipase plasma, yaitu sistem enzim utama
yang mengambil lemak dari plasma.1
Peningkatan kadar kolesterol secara umumnya disebabkan oleh meningkatnya
LDL karena LDL adalah lipoprotein utama yang mengangkut kolesterol. Kadar trigliserid
yang tinggi pula dikaitkan dengan peningkatan IDL dan lipoprotein (Lp)a, sedangkan
HDL (high density lipoprotein) pada sindroma nefrotik cenderung normal atau rendah.
Mekanisme hiperlipidemia pada sindroma nefrotik dihubungkan dengan peningkatan
sintesis lipid dan lipoprotein hati dan menurunnya katabolisme. Semula diduga
hiperlipidmia merupakan hasil stimulasi non-spesifik terhadap sintesis protein oleh hati.
Oleh karena sintesis protein tidak berkolerasi dengan hiperlipidemia disimpulkan bahwa
hiperlipidemia tidaklansung diakibatkan oleh hipoalbuminemia. Hiperlipidemia dapat
ditemukan pada sindroma nefrotik dengan kadar albumin mendekati normal dan
sebaliknya pada pasien dengan hipoalbuminemia kadar kolesterol dapat normal.
Tingginya kadar VLDL pada sindroma nefrotik disebabkan peningkatan sintesis
hati tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis hati dan gangguan konversi VLDL
dan IDL menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pasa sindroma nefrotik.
Menurunnya aktivitas enzim LPL (lipoprotein lipase) diduga merupakan penyebab
berkurangnya katabolisme VLDL pada sindroma nefrotik. Peningkatan sintesis
lipoprotein hati terjadi akibat tekanan onkotik plasma atau viskositas yang
menurun.penurunan kadar HDL pada sindroma nefrotik diduga akibat berkurangnya
aktivitas enzim LCAT (lechitin cholesterol acyltransferase) yang berfungsi katalisasi
pembentukan HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju
hati untuk katabolisme. Penurunan aktivitas enzim tesebut diduga terkait dengan
hipoalbuminemia yang terjadi pada sindroma nefrotik. Lipiduria sering ditemukan pada
sindroma nefrotik dan ditandai dengan akumulasi lipid pada debris sel dan cast seperti
badan lemak berbentuk oval (oval fat bodies) dan fatty cast. Lipiduria lebih dikaitkan
dengan proteinuria daripada dengan hiperlipidemia.
Patologi sindoma nefrotik idiopatik
22
Sindroma nefrotik idiopatik terjadi pada tiga pola morfologi.
1. Pada lesi minimal (85%)
Pada lesi minimal, glomerulus tanpak normal pada sel mesangium dan matriks.
Temuan-temuan mikroskopi imunofluoresens khas negatif. Mikroskopi electron
menampakka retraksi tonjolan kaki sel epitel. Lebih dari 90% anak dengan
penyakit lesi minimal berespons terhadap terapi kortikosteroid.
2. Pada proliferatif mesangium (5%)
Pada proliferatif mesangium ditandai dengan peningkatan difus sel mesangium
dan matiks. Dengan imunofloresensi, frekuensi endapan mesangium yang
mengandung IgM dan C3 tidak berbeda dengan frekuensi yang diamati pada
penyakit lesi minimal. Sekitar 50-60% penderita lesi histologis ini akan berespons
terhadap terapi kortikosteroid.
3. Pada lesi sclerosis setempat (10%)
Pada sebagian besar penderita dengan lesi sclerosis setempat tampak normal atau
menunjukan proliferasi mesangium. Yang lain, terutama glomerulus yang dekat
dengan medulla (jukstamedulare), menunjukan jaringan parut segmental pada satu
atau lebih lobulus. Penyakitnya seringkali progresif, akhirya melibatkan semua
glomerulus, dan menyebabkan gagal ginjal stadium akhir pada kebanyakan
penderita. Sekitar 20% penderita demikian berespons terhadap prednisone atau
terapi sitostatik ataupun keduanya.penyakit ini dapat berulang pada ginjal yang
ditransplantasikan.
Manifestasi Klinik Sindroma Nefrotik Idiopatik
23
Sindroma nefrotik idiopatik lebih sering dijumpai pada laki-laki daripada pada
wanita (2:1) dan paling lazim muncul antara usia 2 dan 6 tahun. Sindrom terdini telah
dilaporkan pada setengah tahun terakhir pada usia satu tahun terakhir dari usia satu tahun
dan lazim pada orang dewasa. Episode awal dan kekambuhan beikutnya dapat terjadi
pasca infeksi virus saluran pernapasan yang nyata seperti virus influenza. Juga kadang
dumulai dengan episode awal lain seperti bengkak periorbital dan oliguria.1,2 Penyakit ini
biasanya muncul sebagai edema, yang pada mulanya ditemukan disekitar mata dan pada
tungkai bawah, di mana edemanya bersifat “pitting”. Semakin lama, edema menjadi
menyeluruh dan mungkin disertai kenaikan berat badan, timbul asites dan/atau efusi
pleura, penurunan curah urin. Edemanya berkumpul pada tempat-tempat tergantung dan
dari hari ke hari dapat berpindah dari muka dan punggung ke perut, perineum dan kaki.
Anoreksia, nyeri perut dan diare lazim terjadi sedangkan hipertensi sebaliknya.1 dalam
beberapa hari,edema semakin jelas dan menjadi anasarka. Dengan perpindahan volume
plasma ke rongga ketiga dapat terjadi syok. Bila edema berat, dapat timbul dispnu akibat
efusi pleura.2
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah seperti pemeriksaan urin yang
meliputi pemeriksaan protein kualitatif/kuantitatif, kreatinin dan uji selektivitas protein
(PST) untuk menunjang bentuk lesi. Selain pemeriksaan urin diperlukan juga
pemeriksaan darah yang meliputi albumin darah, protein total dan kolesterol.3 Dari
pemeriksaan penunjang ini didapatkan proteinuria yang masif dan ditemukan pada
sediment urin nilai yang normal. Bila terjadi hematuria mikroskopik (>20 eritrosit/LPB)
dicurigai adanya lesi glomerular (misalnya sclerosis glomerulus fokal). Albumin plasma
rendah dan lipid meningkat. IgM dapat meningkat, sedangkan IgG turun. Komplemen
serum normal dan tidak ada krioglobulin.2
Kriteria diagnosis 1,2,3
1. Edema
24
2. Proteinuria massif
Urin : BANG atau DIPSTIX ≥ + 3 atau + 4 (kualitatif)
Protein > 40 mg/m3/jam, atau > 2 g/hr (kuantitatif)
Rasio protein : Kreatinin > 2,5 (Penilaian fungsi ginjal bisa normal atau
menurun. Keratin clearance ini bisa turun karenaterjadi penurunan perfusi
ginjal akibat penyusutan volume intravaskuler dan akan kembali ke
normal bila volume intravascular membaik)
Sediment urin biasanya normal
Bila terjadi hematuria mikroskopik (>20 eritrosit/LPB) dicurigai adanya
lesi glomerular (misalnya : sclerosis glomerulus fokal)
3. Hipoalbuminemia
Albumin darah < 2 g/dl (20 g/L)
4. Dengan atau tanpa hiperlipidemia/hiperkolesterolemia
5. IgM dapat meningkat sedangkan IgG turun
6. Komplimen serum normal dan tidak ada krioglobulin
7. Kadar kalsium serum total menurun (karena penurunan fraksi terikat albumin)
8. Kadar C3 normal
Penatalaksanaan 1
25
Pada episode pertama nefrosis, anak dapat dirawat-inap di rumah sakit untuk
tujuan diagnostic, pendidikan dan teraputik. Pengecualian ini bisa terjadi pada anak
dengan klinis yang baik, tidak hipovolemik dan tinggal tidak jauh dari rumah sakit.
Pasien anak ini bisa datur untuk pemeriksaan rutin ke rumah sakit, dengan syarat
orangtua pasien sudah dididik bagaimana untuk mengenal pasti gejala dari komplikasi
sindroma nefrotik seperti infeksi dan hipovolemi. Pasien tidak dipaksakan untuk tirah
baring dan dibebaskan untuk beraktivitas. Bila timbul edema, masukan natrium dikurangi
dengan memulai “diet tidak ditambah garam”. Batasan asupan natrium sampai ± 1
gram/hari, secara praktis dengan menggunakan garam secukupnya dalam makanan
sedangkan diet protein tidak perlu dirubah.7 Apabila dirawat jalan, ibunya dinasehati
unuk memasak tanpa garam, menyembunyikan garam meja, dan menghindari menyajikan
makanan yang jelas-jelas bergaram. Pembatasan garam dihentikan bila edemanya
membaik. Jika edemanya tidak berat, masukan cairan tidak dibatasi namun tidak perlu
didorong. Anaknya dapat masuk sekolah dan berpartisipasi dalam aktivitas sekolah
seperti yang dapat ditoleransi. Bila edema tidak berkurang dengan perbatasan garam,
dapat digunakan diuretik biasanya furosemid 1 mg/kgBB/kali, bergantung pada beratnya
edema dan respons pengobatan.2 Bila edema refrakter atau edema ringan sampai sedang
dapat dikelola di rumah dengan klorotiazid 10-40 mg/kg/24 jam dalam dua dosis terbagi.
Selama pengobatan diuretik perlu dipantau kemungkinan hipokalemia, alkolosis
metabolic, atau kehilangan cairan intravasklar berat.2 Bila terjadi hipokalemia, dapat
ditambahkan kalium klorida atau spironolakton (3-5 mg/kg/24 jam dibagi menjadi empat
dosis).
Jika edema menjadi berat, mengakibatkan kegawatan pernapasan yaitu sesak
akibat efusi pleura yang massif dan asites atau pada edema skrotum/labia yang berat, atau
dengan gejala hipotensi postural (sakit perut,mual dam muntah) anak harus dirawat inap
di rumah sakit. Perbatasan natrium harus diteruskan, tetapi pengurangan masukan yang
lebih lanjut jarang efektif dalam mengendalikan edema. Skrotum yang membengkak
dinaikan dengan bantal untuk meningkatkan pengeluaran cairan dengan gravitasi. Di
masa lampau, edema yang berat diobati dengan pemberian albumin intravena dan pada
beberapa penderita disertai dengan pemberian furosemid intravena. Albumin diberikan
adalah dengan dosis human albumin 25% : 0,5 -1 g/kgBB/i.v dalam 2-4 jam, diikuti
26
pemberian furosemid 1-2 mg/kgBB/i.v dapat diulang tiap 4-6 jam bila diperlukan. Tetapi
sekarang terapi tipe ini telah diganti dengan pemberian furosemid oral (1-2 mg/kg setiap
4 jam) bersama dengan metolazon (0,2 – 0,4 mg/kg/24 jam dalam dua dosis terbagi) ;
metolazon dapat bekerja pada tubulus proksimal dan distal. Bila menggunakan kombinasi
yang kuat ini, kadar elektrolit dan fungsi ginjal harus dimonitor secara ketat. Pada
beberapa keadaan edema berat, pemberian albumin manusia 25% (1 g/kg/ 24jam)
intravena mungkin diperlukan, tetapi efeknya biasanya sementara dan harus dihindari
terjadinya kelebihan beban volume dengan hipertensi dan gagal jantung.
Setelah diagnosisnya diperkuat dengan pemeriksaan laboratorium yang tepat,
patofisiologi dan pengobatan nefrosis ditinjau lagi bersama-sama dengan keluarganya
untuk meningkatkan pengertian mereka tentang penyakit anaknya. Rennin kemudian
diinduksi dengan pemberian prednisone, dengan dosis 60mg/m2/24 jam (maksimum dosis
60 mg setiap hari), dibagi menjadi tiga atau dapat dosis selama sehari. Berdasarkan
ISKDC (international Study of Kidney Disease in Children), terapi prednisone /
prednisolon diberikan pada dua tahap. Pada tahap pertama prednisone / prednisolon
diberikan dalam dosis 60mg/m2 permukaan tubuh/ 24 jam atau 2 mg/kgBB dalam 3-4
dosis, diteruskan selama 4 minggu (28 hari) dengan maksimal 80 mg/24 jam. Pada tahap
kedua, prednisone / prednisolon diberikan dengan dosis 40 mg/m2 permukaan tubuh / 24
jam atau 1,5 mg/kgBB/24 jam dengan cara alternate (selalang sehari) dosis tunggal
setelah makan pagi, diteruskan selama 4 minggu (28 hari). Waktu yang dibutuhkan untuk
berespons terhadap prednison rata-rata sekitar 2 minggu, responsnya ditetapkan pada saat
urin menjadi bebas protein. Bila relaps prednisone / prednisolo dapat diberikan dengan
dosis 60mg/m2/24 jam (2mg/kgBB/24 jam) dibagi dalam 3-4 dosis sampai 3 hari
berturut-turut dan selanjutnya menggunaka tahap kedua yang disebutkan sebelum ini.3
Jika anak berlanjut menderita proteinuria (2+ atau lebih) setelah satu bulan mendapatkan
prednisone dosis-terbagi yang terus menerus setiap hari, nefrosis demikian disebut
resisten steroid atau terjadinya relaps yang sering, maka biopsy ginjal terindikasi untuk
menetukan penyebab penyakitnya yang tepat.1,2
Bila ada kekambuhan berulang dan terutama jika anak menderita toksisitas
kortikosteroid berat (tampak cushingoid, hipertensi, gagal tumbuh dan perubahan sikap),
kemudian harus dipikirkan terapi siklofosfamid. Siklofosfamid terbukti memperpanjang
27
lagi remisi dan mencegah kekambuhan pada anak yang sindrom nefrotiknya sering
kambuh. Kemungkinan efek samping obat (leukopenia, infeksi varisela tersebar, sistitis
hemoragika, alopesia, sterilitas) harus dipantau pada keluarga. Dosis siklofosfamid
adalah 3 mg/kg/24 jam sebagai dosis tunggal selama total pemberian 12 minggu. Terapi
prednisone selang sehari sering diteruskan selama pemberian siklofosfamid.selama terapi
dengan siklofosfamid, leukosit harus dimonitor setiap minggu dan obatnya dihentikan
jika jumlah leukosit menurun di bawah 5.000/uL. Penderita yang resisten-steroid
berespons terhadap perpanjangan pemberian siklofosfamid (3-6 bulan), bolus metal
prednisolon, atau siklosporin.
Transplantasi ginjal terindikasi untuk gagal ginjal stadium akhir karena
glomerulosklerosis setempat dan segmental resisten-steroid. Sindroma nefrotik berulang
terjadi pada 15-55% penderita. Absorbsi proein plasma pada kolom protein basis-A dapat
menurunkan proteinuria pada penderita-penderita ini. Absorbsi protein memindahkan
suatu fraksi (BM <100.000), yang menaikan premeabilitas protein ginjal.
Komplikasi 1
28
Infeksi adalah komplikasi nefrosis utama, komplikasi ini akibat dari
meningkatnya kerentanan terhadap infeksi bakteri selama kambuh. Penjelasan yang
diusulkan meliputi penurunan kadar immunoglobulin, cairan edema yang berperan
sebagai media biakan, defisiensi protein, penurunan aktivitas bakterisid leukosit, terapi
imunosupresif, penurunan perfusi limpa karena hipovolemia, kehilangan faktor
komplemen (faktor properdin B) dalam urin yang mengopsonisasi bacteria tertentu.
Belum jelas mengapa peritonitis spontan merupakan tipe infeksi yang paling sering;
sepsis pneumonia, selulitis, dan infeksi saluran kencing juga dapat ditemukan. Organisme
penyebab peritonitis yang paling lazim adalah streptococcus pneumoniae; bakteri gram-
negatif juga ditemukan. Demam dan temuan-temuan fisik mungkin minimal bila ada
terapi kortikosteroid. Oleh karenanya yang tinggi, pemeriksaan segera (termasuk biakan
darah dan cairan peritonium), dan memulai terapi awal yang mencakuo organisme grm-
positif maupun gram-negatif adalah penting untuk mencegah terjadinya penyakit yang
mengancam jiwa. Bila dalam perbaikan, semua penderita yang sedang menderita nefrosis
harus mendapat vaksin pneumokokus polivalen.
Komplikasi lain dapat meliputi kenaikan kecenderungan terjadi trombosis arteri
dan vena (setidaknya-tidaknya sebagian karena kenaikan kadar faktor koagulasi tertentu
dan inhibitor fibrinolisis plasma, penurunan kadar anti-trombin III plasma, dan kenaikan
agregrasi trombosit); defisiensi faktor koagulasi IX, XI, dan XII; dan penurunan kadar
vitamin D serum. Hiperkoagulabilitas selanjutnya bisa menyebabkan thromboemboli,
syok, dan gagal ginjal akut.
Prognosis 2
29
Sebagian besar anak dengan nefrosis yang berespons terhadap steroid akan
mengalami kekambuhan berkali-kali sampai penyakitnya menyembuh sendiri secara
spontan menjelang usia akhir dekad kedua. Yang penting adalah, menunjukan pada
keluarganya bahwa anak tersebut tidak akan menderita sisa disfungsi ginjal, bahwa
penyakitnya biasanya tidak heriditer, dan bahwa anak akan tetap fertile (bila tidak ada
terapi siklosfosfamid atau klorambusil). Untuk memperkecil efek psikologis nefrosis,
ditekankan bahwa selama masa remisi anak tersebut normal serta tidak perlu perbatasan
diet dan aktivitas. Pada anak yang sedang berada dalam masa remisi, pemeriksaan protein
urin biasanya tidak diperlukan.
RUJUKAN
30
Bergstein JM. Sindrom nefrotik. Dalam : Behrman RE, Kliegma RM, Jenson HB,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke 17. Philadelphia : WB Saunders Co;
2004. h 1827-1832
Mansjoer A. dkk, Kapita selekta kedokteran. Edisi ke-3. Jilid ke-2. Jakarta : Media
Aesculapius 2005. H 488-490
Garna H, Nataprawira HMD, Rahayuningsih SE. Pedoman diagnosis dan terapi ilmu
kesehatan anak. Edisi ke-3. Bandung : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD, RS Dr.
Hassan Sadikin; 2005 h 538-541
Schwartz MW, dkk. Clinic handbook of pediatrics. USA : Williams & Wilkins; 2004 h
304-313
Wilson LM. Anatomi dan fisiologi ginjal dan saluran kemih. Dalam : Price AS, Wilson
LM. Patofisiologi konsep klinis proses-prpses penyakit. Edisi ke 6. Volume 1. Jakarta :
EGC; 2006 hal 867-891
Sudoyo AW, dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 4, Jilid I. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI ; 2006 h 507-560
Haycock G. The child with idiopathic nephritic syndrome. In : Webb N, Postlethwaite R.
Clinical pediatric nephrology. 3rd Edition. New York : Oxford University Press Inc; 2003
pg 341-365
Tryggvason K, Patrakka J, Wartiovaara J. Hereditary Proteinuria Syndromes and
Mechanisms of Proteinuria. N Engl J Med 2006 (cited August 24,2009). Available from:
http://content.nejm.org/cgi/content/full/354/13/1387
31
Leonard MB, Feldman HI, Shults J, Zemel BS, Foster BJ, Stallings VA. Long-term, high-
dose glucocorticoids and bone mineral content in childhood glucocorticoid-sensitive
nephrotic syndrome. N Engl J Med 2004 (cited August 24, 2009). Available from:
http://content.nejm.org/cgi/reprint/351/25/2655.pdf
Ishikura K, et al. Nephrotic state as a risk factor for developing posterior reversible
encephalopathy syndrome in paediatric patients with nephritic syndrome. N Engl J Med
2004 (cited August 24, 2009). Available from:
http://ndt.oxfordjournals.org/cgi/reprint/23/8/2531
32