43
BAB I PENDAHULUAN Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologi tertua, ditemukan pada semua umur dan dapat menyebabkan hendaya serta mortalitas. Diduga terdapat sekitar 50 juta orang dengan epilepsi di dunia (WHO 2012). Populasi epilepsi aktif (penderita dengan bangkitan tidak terkontrol atau yang memerlukan pengobatan) diperkirakan antara 4 hingga 10 per 1000 penduduk per tahun, di negara berkembang diperkirakan 6 hingga 10 per 1000 penduduk. 1 Epilepsi adalah suatu kondisi medis yang menghasilkan kejang yang mempengaruhi berbagai fungsi mental dan fisik. Hal ini juga disebut gangguan kejang. Ketika seseorang memiliki dua atau lebih kejang tak beralasan, mereka dianggap memiliki epilepsi. Kejang terjadi ketika kelompok sel saraf di otak mensinyal abnormal, yang mungkin dalam waktu singkat mengubah kesadaran seseorang, gerakan atau tindakan. 2 Manifestasi klinisnya dapat berupa gangguan kesadaran, perilaku, emosi, fungsi motorik, persepsi, dan sensasi, yang dapat terjadi tersendiri ataupun dalam kombinasi. 3 Prevalensi di negara sedang berkembang ditemukan lebih tinggi daripada negara maju. Dilaporkan prevalensi di negara maju berkisar antara 4-7 per 1000 orang, dan 5-74 per 1000 di negara sedang berkembang. Daerah pedalaman memiliki angka prevalensi lebih tinggi dibandingkan perkotaan. Prevalensi epilepsi pada usia lanjut (>65tahun) di negara maju diperkirakan sekitar > 0,9% lebih tinggi dari dekade 1 dan 2 1

REFERAT SARAF- EPILEPSI

Embed Size (px)

DESCRIPTION

enjoy it

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN

Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologi tertua, ditemukan pada semua umur dan dapat menyebabkan hendaya serta mortalitas. Diduga terdapat sekitar 50 juta orang dengan epilepsi di dunia (WHO 2012). Populasi epilepsi aktif (penderita dengan bangkitan tidak terkontrol atau yang memerlukan pengobatan) diperkirakan antara 4 hingga 10 per 1000 penduduk per tahun, di negara berkembang diperkirakan 6 hingga 10 per 1000 penduduk.1Epilepsi adalah suatu kondisi medis yang menghasilkan kejang yang mempengaruhi berbagai fungsi mental dan fisik. Hal ini juga disebut gangguan kejang. Ketika seseorang memiliki dua atau lebih kejang tak beralasan, mereka dianggap memiliki epilepsi. Kejang terjadi ketika kelompok sel saraf di otak mensinyal abnormal, yang mungkin dalam waktu singkat mengubah kesadaran seseorang, gerakan atau tindakan.2Manifestasi klinisnya dapat berupa gangguan kesadaran, perilaku, emosi, fungsi motorik, persepsi, dan sensasi, yang dapat terjadi tersendiri ataupun dalam kombinasi.3Prevalensi di negara sedang berkembang ditemukan lebih tinggi daripada negara maju. Dilaporkan prevalensi di negara maju berkisar antara 4-7 per 1000 orang, dan 5-74 per 1000 di negara sedang berkembang. Daerah pedalaman memiliki angka prevalensi lebih tinggi dibandingkan perkotaan. Prevalensi epilepsi pada usia lanjut (>65tahun) di negara maju diperkirakan sekitar > 0,9% lebih tinggi dari dekade 1 dan 2 kehidupan. Pada usia >75 tahun prevalensi meningkat 1,5%. Sebaliknya prevalensi epilepsi di negara berkembang lebih tinggi pada usia dekade 1-2 dibandingkan pada usia lanjut. Terapi dari epilepsi sendiri yang paling utama diberikan adalah anti-konvulsan (kejang) dan beberapa obat lainnya sesuai dengan kondisi pasien. Epilepsi sendiri tidak menular, hal ini perlu diedukasikan lagi kepada masyarakat, mengingat epilepsi merupakan suatu penyakit yang muncul dikarenakan oleh adanya faktor-faktor pemicunya.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Epilepsi Secara konseptual, epilepsi diartikan sebagai:Kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk menimbulkan bangkitan epileptik yang terus menerus, dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial. Definisi ini mensyaratkan terjadinya minimal 1 kali bangkitan epileptik.

- Bangkitan epileptik:Terjadinya tanda atau gejala yang bersifat sesaat akibat aktivitas neuronal yang abnormal dan berlebihan di otak. Secara operasional atau definisi praktis, epilepsi diartikan sebagai:Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan kondisi/gejala berikut:1. Minimal terdapat dua bangkitan tanpa provokasi atau dua bangkitan refleks dengan jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam.2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau bangkitan refleks dengan kemungkinan terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan sama dengan (minimal 60%) bila teradapat dua bangkitan tanpa provokasi/bangkitan refleks (misalkan bangkitan pertama yang terjadi satu bulan setelah kejadian stroke, bangkitan pertama pada anak yang disertai lesi struktural dan epileltiform discharges).3. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi.=O Bangkitan refleks adalah bangkitan yang muncul akibat induksi oleh faktor pencetus sepsifik, seperti stimulasi visual, auditorik, somatosensitif, dan somatomotor.

2.2 Epidemiologi1Prevalensi di negara sedang berkembang ditemukan lebih tinggi daripada negara maju. Dilaporkan prevalensi di negara maju berkisar antara 4-7 per 1000 orang, dan 5-74 per 1000 di negara sedang berkembang. Daerah pedalaman memiliki angka prevalensi lebih tinggi dibandingkan perkotaan yaitu 15,4 per 1000 (4,8-49,6) di pedalaman dan 10,3 (2,8-37,7) di perkotaan. Pada negara maju, prevalensi median epilepsi yang aktif (bangkitan dalam 5 tahun terakhir) adalah 4,9 per 1000 (2,3-10,3), sedangkan pada negara brekembang di pedalaman 12,7 per 1000 (3,5-45,5) dan di perkotaan 5,9 (3,4 - 10,2). Di negara Asia, prevalensi epilepsi aktif tertinggi dilaporkan di Vietnam 10,7 per 1000 orang, dan terendah di Taiwan 2,8 per 1000 orang. Prevalensi epilepsi pada usia lanjut (>65tahun) di negara maju diperkirakan sekitar > 0,9% lebih tinggi dari dekade 1 dan 2 kehidupan. Pada usia >75 tahun prevalensi meningkat 1,5%. Sebaliknya prevalensi epilepsi di negara berkembang lebih tinggi pada usia dekade 1-2 dibandingkan pada usia lanjut. Kemungkinan penyebabnya adalah insiden yang rendah dan angka harapan hidup rata-rata di negara maju lebih tinggi. Prevalensi epilepsi berdasarkan jenis kelamin di negara-negara Asia, dilaporkan laki-laki sedikit lebih tinggi daripada wanita.

Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Sarah Indonesia (PERDOSSI) mengadakan penelitian pada 18 rumah sakit di 15 kota pada tahun 2013 selama 6 bulan. Didapatkan 2288 pasien terdiri atas 487 kasus baru dan 1801 kasus lama. Rerata usia kasus baru adalah 25,06 16,9 tahun. Sedangkan rerata usia pada kasus lama adalah 29,2 16,5 tahun. Sebanyak 77,9% pasien berobat pertama kali ke dokter spesialis saraf, 6,8% berobat ke dokter umum, sedangkan sisanya berobat ke dukun dan tidak berobat.

MortalitasAngka mortalitas akibat epilepsi di negara berkembang dilaporkan lebih tinggi dibandingkan negara maju. Di Laos dilaporkan case fatality rate mencapai 90,9 per 1000 orang per tahun. Angka mortalitas epilepsi pada anak di Jepang dilaporkan 45 per 1000 orang per tahun. Di Taiwan 9 per 1000 orang pertahun, dimana orang dengan epilepsi memiliki resiko kematian 3 kali lebih tinggi dibanding populasi normal. Insiden SUDEP (Sudden Unexpected Death) mencapai 1,21/1000 pasien, wanita lebih tinggi dari laki-laki. Jenis bangkitan dengan resiko SUDEP tertinggi adalah tonik klonik.

2. 3 AnamnesisMerupakan wawancara antara dokter dan penderita (pasien) atau orang yang mempunyai hubungan dekat dengan pasien (keluarganya), mengenai semua data/info yang berhubungan dengan penyakitnya.4 Dalam memeriksa penyakit saraf, data riwayat merupakan hal yang penting. Seorang dokter tidak mungkin berkesempatan mengikuti penyakit sejak dari mulanya. Biasanya penderita datang ke dokter pada saat penyakit sedang berlangsung, bahkan terkadang saat penyakitnya sudah sembuh dan keluhan yang dideritanya merupakan gejala sisa. Selain itu, ada juga penyakit yang gejalanya timbul pada waktu-waktu tertentu; jadi dalam bentuk serangan. Diluar serangan, penderitanya berada dalam keadaan sehat. Jika penderita datang ke dokter di luar serangan, sulit bagi dokter untuk menegakan diagnosis penyakitnya, kecuali dengan bantuan laporan yang dikemukakan oleh penderita (anamnesis) dan orang yang menyaksikannya (allo-anamnesis). Hal ini dijumpai pada epilepsi.5

Hal-hal yang perlu ditanyakan:6- Pola / bentuk serangan? Sekujur tubuh / sebagian / kaku saja? - Jangka waktu serangan?- Gejala sebelum, selama dan setelah serangan? Gejala apakah yang muncul?- Frekuensi serangan?- Apa yang dilakukan oleh penderita selama serangan?- Apakah pasien dapat ikut merasakan disaat sedang berlangsungnya serangan? Dan / ataukah pasien dapat mengingat hal yang terjadi selama serangan?- Apa yang dirasakan pasien setelah serangan terjadi? Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk pasien dapat mencapai kondisi awal normal (tenang, seperti biasa)?- Faktor Pemicu?- Ada atau tidaknya, penyakit lain yang mempengaruhi sekarang?- Usia pasien pada serangan pertama?- Riwayat kehamilan, persalinan dan pengembangan?- Riwayat Penyakit, penyebabnya, dan terapi sebelumnya?- Riwayat epilepsi dalam keluarga ?- Apakah pasien sudah menunjukan adanya respon terapi terhadap serangan?

Gambar 1. Ekspresi muka penderita saat sedang serangan4

2.4 Pemeriksaana. Pemeriksaan FisikDiagnosis klinis kejang didasarkan pada riwayat yang diperoleh dari pasien dan, yang paling penting, para pengamat (di sekitarnya, yang dekat). Pemeriksaan fisik membantu dalam diagnosis sindrom epilepsi spesifik yang menyebabkan temuan abnormal, seperti kelainan dermatologi. Sebagai contoh, pasien dengan tonik-klonik umum selama bertahun-tahun cenderung memiliki luka yang membutuhkan jahitan.6 Pemeriksaan fisik pada epilepsi dilakukan pemeriksaan fisik umum dan juga pemeriksaan fisik neruologi. Pada pemeriksaan fisik umum, untuk mencari tanda-tanda gangguan yang berkaitan dengan epilepsi, misalnya:1 Trauma kepala Tanda-tanda epilepsi Kelainan kongenital Kecanduan alkohol atau napza Kelainan pada kulit (neurofakomatosis) Tanda-tanda keganasan

Pemeriksaan fisik neurologisPemeriksaan fisik ini dilakukan untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang dapat berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit setelah bangkitan, maka akan tampak tanda pascabangkitan terutama tanda fokal yang tidak jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi, seperti: Paresis Todd Gangguan kesadaran pascaiktal Afasia pascaiktal

b. Pemeriksaan penunjang1Pemeriksaan darah untuk melihat apakah terdapat tanda-tanda infeksi, gangguan elektrolit, anemia, atau diabetes, yang dapat berhubungan dengan terjadinya kejang. Pemeriksaan Elektro-enselografi (EEG)Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada dugaan suatu bangkitan untuk: Membantu menunjang diagnosis Membantu penentuan jenis bangkitan maupun sindrom epilepsi Membantu menentukan prognosis Membantu pennetuan perlu/tidaknya pemberian OAE

Pemeriksaan pencitraan otakBerguna untuk mendeteksi lesi epileptogenik di otak. MRI beresolusi tinggi (minimal 1,5 Tesla) dapat mendiagnosis secara non-invasif berbagai macam lesi patologik misalnya mesial temporal sclerosis, glioma, ganglioma, malformasi kavernosus, DNET (dysembryoplastic neuroepithelial tumor), dan tuberous sclerosis. Functional brain imaging seperti Positron Emission Tomography (PET), Single Photon Emission Computes Tomography (SPECT) dan Magnetic Resonane Spectroscopy (MRS) bermanfaat dalam memberikan informasi tambahan mengenai dampak perubahan metabolik dan perubahan aliran darah regional di otak berkaitan dengan bangkitan. Indikasi pemeriksaan neuroimaging (CT scan kepala atau MRI kepala) pada k kejang adalah bila muncul kejang unprovoked pertama kali pada usia dewasa. Tujuan pemeriksaan neuroimaging pada kondisi ini adalah untuk mencari adanya lesi struktural penyebab kejang. CT scan kepala lebih ditujukan untuk kasus kegawatdaruratan, karena teknik pemeriksaannya lebih cepat. Di lain Pihak MRI kepala diutamakan untuk kasus elektif. Bila ditinjau dari segi sensitivitas dalam menentukan lesi struktural, maka MRI lebih sensitif dibandingkan CT scan kepala.

Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan HematologisPemeriksaan ini mencakup hemoglobin, leukosit dan hitung jenis, hematokrit, trombosit, apusan darah tepi, elektrolit (natrium, kalium, kalsium, magnesium), kadar gula darah sewaktu, fungsi hati (SGOT/SGPT), ureum, kreatinin, dan albumin. Pemeriksaan ini dilakukan pada: Awal pengobatan sebagai salah satu acuan dalam menyingkirkan diganosis banding dan pemilihan OAE. Dua bulan setelah pemberian OAE untuk mendeteksi efek samping OAE Rutin diulang setiap tahun sekali untuk memonitor efek samping OAE, atau bila timbul gejala klinis akibat efek samping OAE

Pemeriksaan kadar OAEPemeriksaan ini idealnya dilakukan untuk melihat kadar OAE dalam plasma saat bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah mencapai dosis terapi maksimal atau untuk memonitor kepatuhan pasien. Pemeriksaan penunjang lainnyaDilakukan sesuan dengan indikasinya, misalnya : Punksi lumbal EKG

2.5 DiagnosisDiagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis,yang didukung dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.Ada tida langkah dalam menegakkan diagnosis epilepsi, yaitu sebagai berikut:1. Langkah pertama: pastikan adanya bangkitan epileptik2. Langkah kedua: tentukan tipe bangkitan berdasarkan klasifikasi ILAE 19813. Langkah ketiga: tentukan sindrom epilepsi berdasarkan klasifikasi ILAE 1989

Klasifikasi yang ditetapkan oleh International Lague Against Epilepsy (ILAE) terdiri datas dua jenis klasifikasi, yaitu klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsi dan klasifikasi untuk sindrom epilepsi.

Menentukan tipe bangkitan berdasarkan klasifikasi ILAE 19811. Bangkitan parsial atau fokal1.1 Bangkitan parsial sederhana1.1.1 dengan gejala motorik1.1.2 dengan gejala somatosensorik1.1.3 dengan gejala otonom dengan gejala psikis1.2 Bangkitan parsial kompleks1.2.1 Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan kesadaran1.2.2 Bangkitan parsial yang disertai gangguan kesadaran sejak awal bangkitan1.3 Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder1.3.1 Parsial sederhana yang menjadi umum1.3.2 Parsial kompleks menjadi umum1.3.3 Parsial sederhana menjadi parsial kompleks, lalu menjadi umum

2. Bangkitan umum2.1 Lena (absence)2.1.1 Tipikal Lena2.1.2 Atipikal Lena2.2 Mioklonik2.3 Klonik2.4 Tonik2.5 Tonik-klonik2.6 Atonik/astatik

3. Bangkitan tidak tergolongkan

Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindrom epilepsi1. Fokal atau partial (localized related)1.1 Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)1.1.1 Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah sentrotemporal (childhood epilepsy with centrotemporal spikes)1.1.2 Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah oksipital 1.1.3 Epilepsi primer saat membaca (primary reading epilepsy) 1.2 Simtomatis1.2.1 Epilepsi parsial kontinua yang kronis progresif pada anak-anak (Kojenikows Syndrome)1.2.2 Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan (kurang tidur, alkohol, obat-obatan, hiperventilasi, refleks epilepsi, stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca)1.2.3 Epilepsi lobus temporal1.2.4 Epilepsi lobus frontal1.2.5 Epilepsi lobus parietal1.2.6 Epilepsi lobus oksipital1.3 Kriptogenik

2. Epilepsi umum2.1 Idiopatik (sindfrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan)2.1.1 Kejang neonatus familial benigna2.1.2 Kejang neonatus benigna2.1.3 Kejang epilepsi mioklonik pada bayi2.1.4 Epilepsi lena pada anak2.1.5 Epilepsi lena pada remaja2.1.6 Epilepsi mioklonik pada remaja2.1.7 Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik pada saat terjaga2.1.8 Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di atas2.1.9 Epilepsi tonik-klonik yang dipresipitasi dengan aktivitas yang spesifik2.2 Kriptogenik atau simtomatis (berurutan sesuai dengan peningkatan usia)2.2.1 Sindrom West (spasme infantil dan spasme salam)2.2.2 Sindrom Lennox-Gastaut2.2.3 Epilepsi mioklonik astatik2.2.4 Epilepsi mioklonik lena2.3 Simtomatis2.3.1 Etiologi Non-spesifik=o= Enselopati mioklonik dini=o= Enselopati pada infantil dini dengan burst supression=o= Epilepsi simtomatis umum lainnya yang tidak termasuk di atas2.3.2 Sindrom spesifik2.3.3 Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain

3. Epilepsi dan sindrom yang tidak dapat ditentukan fokal atau umum3.1 Bangkitan umum dan fokal3.1.1 Bangkitan neonatal3.1.2 Epilepsi mioklonik berat pada bayi3.1.3 Epilepsi dengan gelombang paku kontinu selama tidur dalam3.1.4 Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau-Kleffner)3.1.5 Epilepsi yang tidak termasuk dalam klasifikasi di atas3.2 Tanpa gambaran jelas fokal atau umum

4. Sindrom khusus4.1 Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu4.1.1 Kejang demam4.1.2 Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya sekali (isolated)4.1.3 Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolik akut, atau toksis, alkohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi non-ketotik4.1.4 Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi reflektorik)

Dalam praktik klinis, langkah-langkah dalam penegakan diagnosis adalah sebagai berikut;1. Anamnesis Auto dan allo-anamnesis dari orang tua atau saksi mata mengenai hal-hal terkait di bawah ini.a. Gejala dan tanda sebelum, selama, dan pasca bangkitan:=8= Sebelum bangkitan atau gejala prodormal Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadinya bangkitan, misalnya perubahan perilaku, perasaan lapar, berkeringat, hipotermi, mengantuk, menjadi sensitif, dan lain-lain. =8= Selama bangkitan/iktal: Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada awal bangkitan? Bagaimana pola/bentuk bangkitan, mulai dari deviasi mata, gerakan kepala, gerakan tubuh, vokalisasi, automatisasi, gerakan pada salah satu atau kedua lengan dan tungkai, bangkitan tonik/klonik, inkontinensia, lidah tergigit, pucat, berkeringat, dan lain-lain (akan lebih baik bila keluarga dapat menirukan gerakan bangkitan atau merekam video saat bangkitan). Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan? Apakah terdapat perubahan pola dari bangkitan sebelumnya? Aktivitas penyandang saat terjadi bangkitan, misalnya saat tidur, saat terjaga, bermain video game, berkemih, dan lain-lain.=8= Pasca bangkitan/post-iktal=8= Bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur, gaduh-gelisa, Todds paresisb. Faktor pencetus : kelelahan, kurang tidur, hormonal, stres psikologis, alkoholc. Usia awitan, durasi bangkitan, frekeuensi bangkitan, interval terpanjang antar bangkitan, kesadaran antar bangkitand. Terapi epilepsi sebelumnya dan respons terhadap OAE sebelumnya:i. Jenis obat ani-epilepsi (OAE)ii. Dosis OAEiii. Jadwal minum OAEiv. Kepatuhan minum OAEv. Kadar OAE dalam plasmavi. Kombinasi terapi OAEe. Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis, psikiatrik maupun sistemik yang mungkin menjadi penyebab maupun komordibitas.f. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluargag. Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh kembangh. Riwayat bangkitan neonatal/kejang demami. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi susunan saraf pusat (SSP), dan lain-lain

=O= Status Epileptikus (SE)DefinisiSE adalah bangkitan yang berlangsung lebih dari 30 menit, atau adanya dua bangkitan atau lebih dan diantara bangkitan-bangkitan tadi tidak terdapat pemulihan kesadaran. Namun demikian penanganan bangkitan konvulsif harus dimulai bila bangkitan konvulsif sudah berlangsung lebih dari 5-10 menit. SE merupakan kegawat-daruratan yang memerlukan penanganan dan terapi segera guna menghentikan bangkitan (dalam waktu 30 menit). Dikenal 2 tipe SE; SE konvulsif (terdapat bangkitan motorik) dan SE non-konvulsif (tidak terdapat bangkitan motorik).

Definisi SE KonvulsifAdalah bngkitan dengan durasi 5 menit, atau bangkitan berulang 2 kali atau lebih tanpa pulihnya kesadaran diantara bengkitan. Definisi SE Non-KonvulsifAdalah sejumlah kondisi saat aktivitas bangkitan elektrografik memanjang (EEG status) dan memberikan gejala klinis non-motorik termasuk perubahan perilaku dan atau awarness. SE dibedakan dari bangkitan serial (frequent seizures), yaitu bangkitan tonik-klonik yang berulang tiga kali atau lebih dalam satu jam.

Klasifikasi Status Epileptikus Berdasarkan klinis:a. SE Fokalb. SE General Berdasarkan Durasi:a. SE Dini (5-30 menit)b. SE menetap/Estabilished (>30 menit)c. SE Refrakter (bangkitan tetap ada setelah mendapat 2 atau 3 jenis antikonvulsan awal dengan dosis adekuat Status epileptikus non-konvulsif (SE-NK) dibagi menjadi 2 kelompok;a. SE-NK Umumb. SE-NK Fokal

=8O8= Diagnosis Banding EpilepsiAda beberapa gerakan atau kondisi yang menyerupai kejang epileptik, seperti pingsan (syncope), reaksi konversi, panik, dan gerakan movement disorder. Hal ini seringkali membingungkan klinisi dalam menentukan diagnosis dan pengobatannya.

Tabel 1. Diagnosis banding kejang epileptik12.6 Etiologi Etiologi epilepsi dapat dibagi dalam 3 kategori sebagai berikut:11. IdiopatikTidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologis. Diperkirakan mempunyai predisposisi genetik dan umumnya berhubungan dengan usia.2. KriptogenikDianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum diketahui. Termasuk disini adalah Sindrom West, Sindrom Lennox Gastaut, dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan enselopati difus.3. SimtomatisBangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan atau lesi struktural pada otak, misalnya; cedera kepala, infeksi SSP, kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksis (alkohol, obat), metabolik, dan kelainan neurodegeneratif.

2.7 PatofisiologiSerangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasiaferen, disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion menerobos membran neuron (Prasad et al, 1999).

Lima buah elemen fisiologi sel dari neuronneuron tertentu pada korteks serebri penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam merespon depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan inaktivasi konduksi Ca2+ secara perlahan.

2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang memungkinkan adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan menyebarkan aktivitas kejang.

3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus, yang bisa dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal ini menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang kemudian memicu aktifitas penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik.

4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut responNMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.

5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi. Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi secara tepat dan berulang-ulang.

Cetusan listrik abnormal ini kemudian membawa neuron-neuron yang terkait di dalam proses. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara bersamasama, membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam otak (Selzer &Dichter, 1992). Badai listrik tadi menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang berbeda (lebih dari 20 macam), bergantung pada daerah dan fungsi otak yang terkena dan terlibat. Dengan demikian dapat dimengerti apabila epilepsi tampil dengan manifestasi yang sangat bervariasi (Prasad et al, 1999).

Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 katagori yaitu (Meliala,1999) :1. Non Spesifik Predispossing Factor (NPF) yang membedakan seseorang peka tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang sebetulnya dapat dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan dosis rangsangan berbedabeda.2. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini dapat diwariskan/ didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas timbulnya mepileptiform activity di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan kerja sama SED dan NPF.3. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan epilepsi pada penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF dapat membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada.

Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang adalah : Membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium dan ion klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan demikian konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel (intraseluler), dan konsentrasi ion natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori dari Dean (Sodium pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki sel, keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium. Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.

Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi (Widiastuti, 2001)1. Fungsi jaringan neuron penghambat (neurotransmitter GABA dan Glisin) kurang optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan Aspartat) berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebiha juga. Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi GABA (gamma aminobutyric acid) tidak normal.

Pada otak manusia yang menderita epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi potensial postsinaptik (IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat reseptor GABA. Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktifitas epileptik disebabkan oleh hilang atau kurangnya inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan neurotransmitter inhibitorik utama pada otak. Ternyata pada GABA ini sama sekali tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset membuktikan bahwa perubahan pada salah satu komponennya bisa menghasilkan inhibisi tak lengkap yang akan menambah rangsangan (Budiarto, 1999). Berbagai macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer, kongenital, hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuroneksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai. Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena itu tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di lobus temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi dapatan (Joesoef, 1997).

2.8 Manifestassi KlinisKarena epilepsi disebabkan oleh aktivitas abnormal pada sel-sel otak, kejang dapat mempengaruhi proses koordinat otak, seperti:-Kejang kaku / seluruh tubuh berguncang-guncang (termasuk kaki dan tangan)-Kehilangan kesadaran-Mencium sesuatu sebelum kejang mulai (yang dengan aura)-Mata mendelik

Gambar 2. Postur penderita epilepsi ketika serangan terjadi7

2.9 Faktor Resiko dan Komplikasi8a. Faktor ResikoFaktor-faktor tertentu dapat meningkatkan risiko epilepsi:- UmurTerjadinya epilepsi yang paling umum pada anak usia dini dan setelah usia 60, namun kondisi ini dapat terjadi pada setiap sejarah age.- Riwayat keluarga Jika seseorang memiliki riwayat keluarga epilepsi, ia mungkin berada pada peningkatan risiko mengembangkan kelainan kejang cedera .- Trauma kepalaCedera kepala bertanggung jawab untuk beberapa kasus epilepsi. Hal ini dapat dikurangi risiko dengan mengenakan sabuk pengaman saat naik mobil dan dengan memakai helm saat bersepeda, ski, mengendarai sepeda motor atau terlibat dalam kegiatan lain dengan risiko tinggi kepala injury.- Stroke dan penyakit pembuluh darah lainnyaStroke dan penyakit pembulkuh darah lainnya dapat menyebabkan kerusakan otak yang dapat memicu epilepsi. Dapat diambil sejumlah langkah untuk mengurangi risiko penyakit ini, termasuk membatasi asupan alkohol dan menghindari rokok, makan makanan yang sehat, dan berolahraga regularly.- DementiaDemensia dapat meningkatkan risiko epilepsi pada geriatri. - Infeksi otakInfeksi seperti meningitis, yang menyebabkan peradangan pada saraf otak atau tulang belakang, dapat meningkatkan resiko. - Kejang masa kecilDemam tinggi di masa kecil kadang-kadang dapat dikaitkan dengan kejang. Anak-anak yang mengalami kejang karena demam tinggi umumnya tidak akan mengembangkan epilepsi, meskipun risikonya lebih tinggi jika mereka memiliki kejang panjang, kondisi sistem saraf lainnya atau riwayat keluarga epilepsi.

b. KomplikasiMengalami kejang pada waktu tertentu dapat menyebabkan keadaan yang sangat berbahaya bagi diri sendiri atau orang lain.- JatuhJika jatuh selama kejang, hal tersebut dapat melukai kepala atau menghancurkan tulang. - DrowningJika seseorang memiliki epilepsi, 15 sampai 19 kali lebih mungkin untuk tenggelam saat berenang atau mandi (dibandingkan orang non-epilepsi) karena kemungkinan mengalami kejang sementara di air.- Kecelakaan mobil. Sebuah kejang yang menyebabkan salah hilangnya kesadaran atau kontrol dapat menjadi berbahaya jika penderita mengendarai mobil atau mengoperasikan peralatan lainnya.Banyak negara memiliki batasan pengemudi perizinan yang berkaitan dengan kemampuan penderita untuk mengontrol kejang dan mengusahakan adanya waktu yang dimana sudah bebas kejang, mulai dari bulan ke tahun, sebelum orang tersebut diperbolehkan untuk mengemudi.- Komplikasi kehamilanKejang selama kehamilan menimbulkan bahaya bagi ibu dan bayi, dan obat anti-epilepsi tertentu meningkatkan risiko cacat lahir. Jika seorang wanita memiliki epilepsi dan sedang mempertimbangkan untuk hamil, perlu dikonsultasikan dulu ke dokter untuk rencana kedepannya. Kebanyakan wanita dengan epilepsi bisa hamil dan memiliki bayi yang sehat. Para ibu hamil harus hati-hati dipantau selama kehamilan, dan obat-obatan mungkin perlu disesuaikan. Ini sangat penting bahwa mereka bekerja sama dengan dokter untuk merencanakan kehamilan.

- Masalah kesehatan emosionalOrang dengan epilepsi lebih cenderung memiliki masalah psikologis, khususnya depresi, kecemasan dan, dalam kasus yang ekstrim, bunuh diri. Masalah mungkin akibat kesulitan dari berurusan dengan kondisi itu sendiri serta samping pengobatan effects.

Komplikasi lain yang mengancam jiwa dari epilepsi yang jarang terjadi:- Status epileptikusKondisi ini terjadi jika penderita berada dalam keadaan aktivitas kejang terus menerus berlangsung lebih dari lima menit, atau jika ia memiliki kejang berulang sering tanpa sadar kembali penuh dalam antara mereka. Orang dengan status epileptikus memiliki peningkatan risiko kerusakan otak permanen dan kematian.

- Kematian mendadak yang tidak dapat dijelaskan pada epilepsi (SUDEP). Orang dengan epilepsi juga memiliki risiko kecil kematian mendadak yang tidak dapat dijelaskan. Penyebabnya tidak diketahui, tetapi beberapa penelitian menunjukkan hal itu mungkin terjadi karena kondisi jantung atau pernapasan.

Orang dengan tonik-klonik sering umum atau orang-orang yang kejang tidak dikendalikan oleh obat mungkin berada pada risiko yang lebih tinggi SUDEP (Sudden Unexplained Death in Epilepsy). Secara keseluruhan, sekitar 2 sampai 18 persen orang dengan epilepsi meninggal SUDEP.

2.10 PenatalaksanaanTujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan penyandang epilepsi dapat hidup normal dan tercapainya kualitas hidup optimal untuk penyandang epilepsi sesuai dengan perjalanan penyakit dan disabilitas fisik maupun mental yang dimilikinya. Harapannya adalah bebas bangkitan, tanpa efek samping. Untuk tercapainya tujuan tersebut diperlukan beberapa upaya, antara lain menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek samping/dengan efek samping yang minimal, menurunkan angka kesakitan dan kematian. Terapi pada epilepsi dapat berupa terapi farmakologi dan non-farmakologi.1

A. Medika Mentosa91) Asam ValproatValproat (dipropilasetat, atau 2 propUpanta-noat) terutama untuk terapi epilepsi tonik klonik umum, terutama yang primer dan kurang efektif terhadap apilopsi fokal, Korelasi antara efektivitas dengan kadar di darah dan di Jaringan obat asal buruk. Hal ini menimbulkan pemikiran apakah metaboliknya yang aktif. Valproat menyebabkan hiperpolarisasi potensial istirahat membran neuron, akibat peningkatan daya konduksi membran untuk kalium. Efek antikonvulsi valproat bersifat rumit antara lain didasarkan meningkatnya kadar asam gama aminobutirat (GABA) di dalam otak.

Pembarian valproat per oral cepat diabsorbsi dan kadar maksimal serum tercapai setelah 1-3jam. Makanan menghambat absorpsinya dengan masa paruh 8-10 jam, kadar darah stabil setelah 48 jam terapi. Jika diberikan dalam bentuk amida, depamida, kadar valproat dalam serum sepadan dengan pemberian dalam bentuk asam valproat, tetapi masa paruhnya lebih panjang yaitu 15 jam. Biotransformasl depamida menjadl valproat berlangsung in vivo, tetapi jika dicampur dengan plasma in vitro perubahan tldak terjadi. Kira-kira 70% dari dosis valproat diekskresi di urin dalam 24 jam. Toksisitas valproat berupa gangguan saluran cerna, sistem saraf, hati, ruam kulit, dan alopesia. Gangguan cerna berupa anoreksia, mual, dan muntah terjadi pada 16% kasus. Efek terhadap SSP berupa kantuk, ataksia dan tremor, meng-hilang dengan penurunan dosis. Gangguan pada hati berupa peniggian aktivitas enztm-enzim hati, dan sesekaii terjadi nekrosis hati yang sering berakibat fatal. Kira-kira 60 kasus kematian telah dilaporkan akibat penggunaan obat irt Dan suatu uji klinik terkendali, dosis valproat 1200 mg sehan. hanya menyebabkan kantuk, ataksia, dan mual selintas. Terlalu dini untuk mengatakan bahwa ini aman dipakai karena penggunaan masih terbatas.

Valproat efektif terhadap epilepsi umum yakni bangkitan lena yang disertai oleh bangkitan tonik-klonik. Sedangkan terhadap epilepsi fokal lain, efektivitasnya kurang memuaskan. Terapi dimulai dengan dosis 3 x 200 mg/hari, jika perlu setelah 3 hari dosi dinaikan menjadi 3 x 400 mg/hari. Dosis harian lazim, berkisar 0,8-,1,4 gr. Dosis anak yang disarankan berkisar: 20-30mg/kgBB/hari. Asam valproat akan meningkatkan kadar fenobarbital sebanyak 40% karena terjadi penghambatan hidroksilasi fenobarbital, dapat menyebabkan stupor sampai koma. Sedangkan interaksinya dengan fenitoin terjadi melalui mekanisme yang lebih kompoeks. Fenitoin total dalam plasma akan turun, tetapi biotransformasi yang akan meningkat dan pergeseran fenitoin dari ikatan protein plasma, sedangkan fenitoin bebas dalam darah mungkin tidak dipengaruhi. Kombinasi asam valproat dengan klonazepam dihubungkan dengan timbulnnya status epilepsi bangkitan lena.

2) LamotriginPertama kali dikembangkan karena adanya efek anti folat dari obat anti kejang ter-tentu. Merupakan golongan feniltriazin dan inhibitor dihidrofoiat reduktase. Mekanisme kerjanya adalah melaiui inaktivasi kanal Na+, Ca+, dan mencegah pelepasan neurotransmiter glutamat dan aspartat. Lamotrigin diabsorpsi sempurna 2,5 jam setelah pemberian oral. Volume distribusinya 1-1,4 L/kg. Hanya 55% yang terikat pada protein plasma.Lamotrigin dimetabolisme dengan glukoronidase menjadi 2-N-glukoronida dan dieksresikan melaiui urin. Waktu paruhnya 24 jam.

Pada pemberian monoterapi, digunakan untuk terapi bangkitan parsial dan dipakai sebagai terapi tambahan untukpengobatan bangkitan lena dan bangkitan mioklonik. Efek samping lamotrigin antara lain berupa kulit kemerahan (terutama bila dikombinasikan dengan asam valproat), pusing, sakit kepala, diplopia, dan somnolen. Penggunaan lamotrigin pada anak-anak harus diwaspadai karena dapat terjadi dermatitis yang mengancam jiwa, sehingga pemberian lamo trigin untuk anak-anak yang berusia kurang dari 12 tahun tidak dianjurkan. Lamotrigin mempunyai efek teratogenik, yakni akibat efek anti folat yang di milikinya. Asam valproat dapat meningkatkan waktu paruh lamotrigin, sehingga pada pasien yang menggunakan asam valproat, dosis lamotrigin harus diturunkan 25 mg/hari. Lamotrigin juga meningkatkan dosis karbamazepin.

3) TopiramatMerupakan turunan monosakarida yang sangat bebeda dengan struktur anti-konvulsan lainnya. Mekanisme kerjanya adalah melalui blok kanal Na+, inhibisi efek GABA. Absorpsinya cukup cepat (kurang lebih 2 jam), waktu paruhnya 20-30jam. Digunakan untuk terapi bangkitan parsial, dan bangkitan umum tonik-klonik. Juga digunakan untuk sindroma Lennox-Gestaut, sindroma Wes, dan bangkitan lena. Dosis : 200-600mg/hari yang dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan perlahan-lahan. Topiramat seringkali diberikan bersamaan dengan obat anti-konvulsan lainnya.

=O= Tatalaksana pada Status Epileptikus

Gambar 3. Tatalaksana saat terjadi Status Epileptikus1B. Non Medika Mentosa5 Pembedahan dapat dilakukan jika pemberian obat tidak berhasil mengatasi epilepsi atau efek sampingnya tidak dapat ditoleransi. Pembedahan terutama dapat dilakukan jika lokasi gangguan yang terjadi pada otak terletak pada suatu area yang tidak mempengaruhi fungsi vital tubuh, seperti bicara, fungsi berbahasa, dan mendengar.

Edukasi Keluarga PenderitaKeluarga penderita hendaknya dilatih untuk membantu penderita jika terjadi serangan epilepsi. Langkah yang penting adalah menjaga agar penderita tidak terjatuh, melonggarkan pakaian (terutama di daerah leher) dan memasang bantal di bawah kepala penderita. Jika penderita tidak sadarkan diri, sebaiknya posisinya dimiringkan agar lebih mudah bernafas dan tidak boleh ditinggalkan sendirian sampai benar-benar sadar dan bisa bergerak secara normal.

Gambar 4. Pertolongan pertama pada Epilepsi10

2.11 PrognosisPrognosis epilepsi bergantung pada beberapa hal, diantaranya jenis epilepsi, faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan keteraturan minum obat. Pada umunya prognosis epilepsi cukup baik. Pada 50-70% penderita epilepsi, serangan dapat dicegah dengan obat- obat, sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu dapat berhenti minum obat. Serangan epilepsi primer, baik yang bersifat kejang umum maupun serangan lena atau melamun atau absence mempunyai prognosis baik. Sebaliknya epilepsi yang serangan pertamanya mulai pada usia 3 tahun atau yang disertai kelainan neurologik dan atau retardasi mental mempunyai prognosis relatif jelek. Pada epilepsi dengan tipe bangkitan mioklonik, prognosisnya sangat buruk jika ia disebabkan oleh anoksia.

BAB IIIPENUTUP

Kesimpulan

Epilepsi adalah suatu kondisi medis yang menghasilkan kejang yang mempengaruhi berbagai fungsi mental dan fisik. Hal ini juga disebut gangguan kejang. Ketika seseorang memiliki dua atau lebih kejang tak beralasan, mereka dianggap memiliki epilepsi. Kejang terjadi ketika kelompok sel saraf di otak mensinyal abnormal, yang mungkin dalam waktu singkat mengubah kesadaran seseorang, gerakan atau tindakan. Petolongan pertama pada epilepsi perlu dilakukan secara tepat dan benar. Selain itu obat farmakoterapi seperti anti-konvulsan juga perlu dan rutin diminum demi status kesehatan yang baik yang perlu dijaga terus-menerus. Hindari pemicu dan pertahankan status kesehatan. Prognosis daripada penyakit ini bergantung pada; jenis epilepsi, faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan keteraturan minum obat. Pada umunya prognosis epilepsi cukup baik.

Daftar Pustaka

1. Kusumastuti K, Gunadharma S, Kustiowati E. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Airlangga Univesity: Surabaya. 2014. h. 1.23. 2. About Epilepsy. Diunduh dari: http://www.epilepsyfoundation.org/aboutepilepsy/. 15Agustus 2014. 3. Dewanto G, Suwono W, Riyanto B, Turana Y. Diagnosis dan Tata Laksana penyakit saraf. EGC: Jakarta. h. 73.4. Santoso M. Panduan Anamnesis & Pemeriksaan Fisik Diagnosis. Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UKRIDA; 2013. h.2.5. Lumbantobing SM. Neurologi klinik pemeriksaan fisik dan mental. Balai Penerbit FKUI: 2008. h.2. 6. Epilepsy and Seizures. Cavazos JE. 13 Mei 2013. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/1184846-overview#showall. 15 Agustus 2014.7. Penyakit epilepsi. Diunduh dari: http://penyakitepilepsi.com/ . 15 Agustus 2014.8. Epilepsy. 15 Agustus 2014. Diunduh dari: http://www.mayoclinic.com/health/epilepsy/DS00342/DSECTION=tests-and-diagnosis. 16 Agustus 2014. 9. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. Farmakologi dan terapi. Edisi V. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2009. h. 188-90.10. Epilepsi. Diunduh dari: http://medicastore.com/penyakit/686/Epilepsi.html. 18 Agustus 2014.

REFERATEPILEPSI

Disusun Oleh:Prilly Pricilya Theodorus10.2013.058

Pembimbing:dr. Hexanto Muhartamo, Sp.S, M.Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDAKEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN NEUROLOGIRUMAH SAKIT PANTI WILASA DR. CIPTOSEMARANG2014

Kata Pengantar

Pertama tama saya ucapkan terima kasih sebesar besarnya kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat-Nya yang telah memberkati, menaungi, dan melancarkan saya dalam proses pengerjaan referat ini dari awal hingga akhir. Terima kasih sebanyak banyaknya juga saya tujukan kepada pembimbing saya; dr. Hexanto Muhartamo, Sp.S, M.Kes. yang telah membimbing saya dalam pembuatan referat ini. Adapula pembuatan referat bertema Epilepsi ini saya buat guna memenuhi serangkaian tugas saya selama menempuh program studi profesi kedokteran di Universitas Kristen Krida Wacana pada bagian Kepaniteraan Klinik Neurologi di Rumah Sakit Panti Wilasa Dr. Cipto. Dalam refrat ini, akan lebih dibahas mengenai Epilepsi Grand Mal dan juga status epileptikus. Pembuatan referat ini juga saya harapkan nantinya tidak hanya sebatas kewajiban saya melaksanakan tugas saya selama kepaniteraan klinik, tetapi juga menjadi bekal ilmu bagi saya dan pembaca yang membaca referat ini. Saya mohon maaf sebesar besarnya bila terdapat kesalahan penulisan dan juga kekurangan pada referat ini. Mohon saran dan kritik guna menjadi masukan yang membangun saya untuk bekal kedepan dalam penulisan referat referat berikutnya. Semoga tulisan saya dapat berguna bagi pembaca. Akhir kata, saya haturkan terima kasih sedalam dalamnya untuk para pembaca. Tuhan memberkati.

Semarang, 6 Agustus 2014

PenyusunPrilly Pricilya Theodorus

iDAFTAR ISI

Kata Pengantari

Daftar Isiii

Bab IPendahuluan1

Bab IITinjauan Pustaka22.1Definisi Epilepsi ...........................................................................22.2Epidemiologi22.3Anamnesis32.4Pemeriksaan52.5Diagnosis ..72.6Etiologi .......................................................................132.7Patofisiologi132.8Manifestasi Klinis ................................ 162.9Faktor Resiko dan Komplikasi ....................................................162.10Penatalaksanaan ............................................................................192.11Prognosis .......................................................................................22

Bab IIIKesimpulan24

Daftar Pustaka25

ii

26