45
Epilepsi Pendahuluan Epilepsi berasal dari perkataan Yunani yang berarti "serangan" atau penyakit yang timbul secara tiba-tiba. Epilepsi merupakan penyakit yang umum terjadi danpenting di masyarakat. Permasalahan epilepsi tidak hanya dari segi medik tetapi juga sosial dan ekonomi yang menimpa penderita maupun keluarganya. Dalam kehidupan sehari- hari, epilepsi merupakan stigma bagi masyarakat. Mereka cenderung untuk menjauhi penderita epilepsi. Akibatnya banyak yang menderita epilepsi yang tak terdiagnosis dan mendapat pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan

Virdo Referat Epilepsi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

saraf

Citation preview

Epilepsi

Pendahuluan Epilepsi berasal dari perkataan Yunani yang berarti "serangan" atau penyakit yang timbul secara tiba-tiba. Epilepsi merupakan penyakit yang umum terjadi danpenting di masyarakat. Permasalahan epilepsi tidak hanya dari segi medik tetapi juga sosial dan ekonomi yang menimpa penderita maupun keluarganya. Dalam kehidupan sehari-hari, epilepsi merupakan stigma bagi masyarakat. Mereka cenderung untuk menjauhi penderita epilepsi. Akibatnya banyak yang menderita epilepsi yang tak terdiagnosis dan mendapat pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan dampak klinik dan psikososial yang merugikan baik bagi penderita maupun keluarganya.

Definisi EpilepsiEpilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang (lebih dari satu episode). International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epilepstik sebelumnya. Status epileptikus merupakan kejang yang terjadi > 30 menit atau kejang berulang tanpa disertai pemulihan kesadaran kesadaran diantara dua serangan kejang. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan/atau gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi,sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka epilepsi lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsi di negara maju ditemukan sekitar 50/100,000 sementara di negara berkembang mencapai 100/100,000. Di negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan pengobatan apapun. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun (262/100.000 kasus) dan uisa lanjut di atas 65 tahun (81/100.000 kasus).EpidemiologiInsiden epilepsi di negara maju ditemukan sekitar 50/100.000 sementara di negara berkembang mencapai 100/100.000. Pendataan secara global ditemukan 3.5 juta kasus baru per tahun diantaranya 40% adalah anak-anak dan dewasa sekitar 40% serta 20% lainnya ditemukan pada usia lanjut.Di Amerika Serikat, risiko terkena epilepsi mioklonik juvenile pada populasi umum yakni 1 kasus per 1.000-2.000 orang. Dari keseluruhan epilepsi, 5-10% orang menderita epilepsi ini. Epilepsi ini lebih sering ditemukan pada wanita dibandingkan pria. Alasannya tidak diketahui. Tetapi, data dari penelitian lain menyebutkan prevalensi terkena penyakit ini sama antara wanita dan pria. Epilepsi ini dimulai pada saat remaja. Meskipun onset umurnya dari 6-36 tahun, gejala kejang biasanya timbul pada saat remaja umur 12-18 tahun. Mengapa epilepsi mioklonik juvenile ini dimulai pada saat remaja belum jelas, namun beberapa berpendapat bahwa yang mempengaruhi tercetusnya epilepsi ini yaitu hormon.Alasannya yakni onset kejangnya terjadi (untuk sebagian besar orang) seiring dengan perubahan fisik yang terjadi saat pubertas yakni pertumbuhan rambut, perubahan suara pada wanita dan payudara yang membesar pada wanita.Etiologi Penyakit EpilepsiSeperti halnya insidensi, angka prevalensi epilepsi dari berbagai penelitian berkisar 1,531/1000 penduduk. Estimasi prevalensi seumur hidup dari epilepsi (pasien yang pernah mengalami epilepsi dalam suatu saat sepanjang hidupnya) berbeda di berbagai negara. Adapun rata-rata prevalensi epilepsi aktif (serangan dalam 2 tahun sebelumnya) yang dilaporkan oleh banyak studi di seluruh dunia berkisar 4-6/1000. Berapa banyak pasien epilepsi di Indonesia, sampai sekarang belum tersedia data hasil studi berbasis populasi. Bila dibandingkan dengan negara berkembang lain dengan tingkat ekonomi sejajar, probabilitas penyandang epilepsi di Indonesia sekitar 0,7-1,0%, yang berarti berjumlah 1,5-2 juta orang.Etiologi EpilepsiKejang disebabkan oleh banyak faktor, faktor tersebut meliputi penyakit serebro vaskuler (stroke iskemik atau stroke hemoragi), gangguan neuro degeneratif, tumor, trauma kepala, gangguan metabolik, dan infeksi SSP (sistem saraf pusat). Beberapa faktor lainnya adalah gangguan tidur, stimulasi sensori atau emosi (stres) akan memicu terjadinya kejang. Perubahan hormon, sepeti menstruasi, puberitas, atau kehamilan dapat meningkatkan frekuensi terjadinya kejang. Penggunaan obat-obat yang menginduksi terjadinya kejang seperti teofilin, fenotiazin dosis tinggi, antidepresan (terutama maprotilin atau bupropion), dan kebiasaan minum alkohol dapat meningkatkan resiko kejang.

Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu : Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi 50% dari penderita epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetik, awitan biasanya pada usia > 3 tahun. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan ditemukannya alat alat diagnostik yang canggih kelompok ini makin kecil. Epilepsi simptomatik: disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat.Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan metabolik,malformasi otak kongenital, asphyxia neonatorum, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol,obat), kelainan neuro degeneratif. Epilepsi kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindron Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonikKlasifikasi Epilepsi

Klasifikasi internasional kejang epilepsi. Kejang diklasifikasikan menjadi dua kategori umum yaitu : (a) kejang parsial (kejang parsial dapat disebabkan oleh suatu lesi pada beberapa bagian korteks, seperti tumor, malformasi perkembangan atau stroke) dan (b) kejang umum (kejang umum sering disebabkan oleh genetik) Klasifikasi internasional kejang epilepsi :Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 1981, epilepsi diklasifikasikan menjadi 2 yakni berdasarkan bangkitan epilepsi dan berdasarkan sindroma epilepsiKlasifikasi berdasarkan tipe bangkitan epilepsi :1. Bangkitan ParsialBangkitan parsial diklasifikasikan menjadi 3 yakni:A. Parsial Sederhana (kesadaran tetap baik)a) Dengan gejala motorik b) Dengan gejala somatosensorik atau sensorik khususc) Dengan gejala autonomd) Dengan gejala psikisB. Parsial Kompleks (kesadaran menurun)a) Berasal sebagai parsial sederhana dan berekambang menjadi penurunan kesadaranb) Dengan penurunan kesadaran sejak awaitanc) Parsial yang menjadi umum sekunderd) Parsial sederhana yang menajdi umum tonik-konike) Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonikf) Parsial sederhana menjadi parsial kompleks dan menjadi umum tonik-konikC. Parsial yang menjadi umum sekundera) Parsial sederhana yang menajdi umum tonik-konikb) Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonikc) Parsial sederhana menjadi parsial kompleks dan menjadi umum tonik-konik

2. Bangkitan Umum A. Absence / lena / petit malBangkitan ini ditandai dengan gangguan kesadaran mendadak (absence) dalam beberapa detik (sekitar 5-10 detik) dimana motorik terhenti dan penderita diam tanpa reaksi. Seragan ini biasanya timbul pada anak-anak yang berusia antara 4 sampai 8 tahun. Pada waktu kesadaran hilang, tonus otot skeletal tidak hilang sehingga penderita tidak jatuh. Saat serangan mata penderita akan memandang jauh ke depan atau mata berputar ke atas dan tangan melepaskan benda yang sedang dipegangnya. Pasca serangan, penderita akan sadar kembali dan biasanya lupa akan peristiwa yang baru dialaminya. Pada pemeriksaan EEG akan menunjukan gambaran yang khas yakni spike wave yang berfrekuensi 3 siklus per detik yang bangkit secara menyeluruh.B. KlonikKejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan fokal dan multifokal yang berpindah-pindah. Kejang klonik fokal berlangsung 1 3 detik, terlokalisasi , tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat trauma fokal pada bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati metabolik.C. TonikBerupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi.D. Tonik-klonik /Grand malSecara tiba-tiba penderita akan jatuh disertai dengan teriakan, pernafasan terhenti sejenak kemudian diiukti oleh kekauan tubuh. Setelah itu muncul gerakan kejang tonik-klonik (gerakan tonik yag disertai dengan relaksaki). Pada saat serangan, penderita tidak sadar, bisa menggigit lidah atau bibirnya sendiri, dan bisa sampai mengompol. Pasca serangan, penderita akan sadar secara perlahan dan merasakan tubuhnya terasa lemas dan biasanya akan tertidur setelahnya.E. MioklonikBangkitan mioklonik muncul akibat adanya gerakan involuntar sekelompok otot skelet yang muncul secara tiba-tiba dan biasanya hanya berlangsung sejenak. Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat.F. AtonikBangkitan ini jarang terjadi. Biasanya penderita akan kehilangan kekuatan otot dan terjatuh secara tiba-tiba.3. Tak TergolongkanKlasifikasi untuk epilepsi dan sindrom epilepsi yakni,1. Berkaitan dengan lokasi kelainannya (localized related)a) Idiopatik (primer)b) Simtomatik (sekunder)c) Kriptogenik2. Epilepsi umum dan berbagai sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan peningkatan usia.a. Idiopatik (primer)b. Kriptogenik atau simtomatik sesuai dengan peningkatan usia (sindrom west, syndrome lennox-gasraut, epilepsi lena mioklonik dan epilepsi mioklonik-astatik)3. Simtomatik Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal dan umum.1. Bangkitan umum dan fokal.2. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum.3. Sindrom khusus : bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu. kejang demam. status epileptikus yang hanya timbul sekali (isolated). bangkitan yang hanya terjadi karena alkohaol, obat-obatan, eklamsi atau hiperglikemik non ketotik.4. Epilepsi refrektorik.Patofisiologi

Skema bab 2.1 patofisiologiMenurut para peneliti bahwa sebagian besar kejang epilepsi berasal dari sekumpulan sel neuron yang abnormal di otak, yang melepas muatan secara berlebihan dan hypersinkron. Kelompok sel neuron yang abnormal ini, yang disebut juga sebagai fokus epileptik mendasari semua jenis epilepsi, baik yang umum maupun yang fokal (parsial). Lepas muatan listrik ini kemudian dapat menyebar melalui jalur-jalur fisiologis-anatomis dan melibatkan daerah disekitarnya atau daerah yang lebih jauh adalah yang terdapar di bagian otak. Tidak semua sel neuron di susunan saraf pusat dapat mengakibatkan kejang epilepsi klinik, walaupun ia melepas muatan listrik berlebihan. Sel neuron diserebellum di bagian bawah batang otak dan di medulla spinalis, walaupun mereka dapat melepaskan muatan listrik berlebihan, namun posisi mereka menyebabkan tidak mampu mengakibatkan kejang epilepsi. Sampai saat ini belum terungkap dengan pasti mekanisme apa yang mencetuskan sel-sel neuron untuk melepas muatan secara sinkron dan berlebihan. Mekanisme terjadinya epilepsi ditandai dengan gangguan paroksimal akibat penghambatan neuron yang tidak normal atau ketidakseimbangan antara neurotransmiter eksitatori dan inhibitori. Defisiensi neurotransmiter inhibitori seperti Gamma Amino Butyric Acid (GABA) atau peningkatan neurotransmiter eksitatori seperti glutamat menyebabkan aktivitas neuron tidak normal. Neurotransmiter eksitatori (aktivitas pemicu kejang) yaitu, glutamat, aspartat, asetil kolin, norepinefrin, histamin, faktor pelepas kortikotripin, purin, peptida, sitokin dan hormon steroid. Neurotransmiter inhibitori (aktivitas menghambat neuron) yaitu, dopamin dan Gamma Amino Butyric Acid (GABA). Serangan kejang juga diakibatkan oleh abnormalitas konduksi kalium, kerusakan kanal ion, dan defisiensi ATP ase yang berkaitan dengan transport ion, dapat menyebabkan ketidak stabilan membran neuron. Aktivitas glutamat pada reseptornya (AMPA) dan (NMDA) dapat memicu pembukaan kanal Na+. Pembukaan kanal Na ini diikuti oleh pembukaan kanal Ca2+, sehingga ion-ion Na+ dan Ca2+ banyak masuk ke intrasel. Akibatnya, terjadi pengurangan perbedaan polaritas pada membran sel atau yang disebut juga dengan depolarisasi. Depolarisasi ini penting dalam penerusan potensial aksi sepanjang sel syaraf. Depolarisasi berkepanjangan akibat peningkatan glutamat pada pasien epilepsi menyebabkan terjadinya potensial aksi yang terus menerus dan memicu aktivitas sel-sel syaraf. Beberapa obat-obat antiepilepsi bekerja dengan cara memblokade atau menghambat reseptor AMPA (alpha amino 3 Hidroksi 5 Methylosoxazole- 4-propionic acid) dan menghambat reseptor NMDA (N-methil D-aspartat). Interaksi antara glutamat dan reseptornya dapat memicu masuknya ion-ion Na+ dan Ca2+ yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya potensial aksi. Namun felbamat (antagonis NMDA) dan topiramat (antagonis AMPA) bekerja dengan berikatan dengan reseptor glutamat, sehingga glutamat tidak bisa berikatan dengan reseptornya. Efek dari kerja kedua obat ini adalah menghambat penerusan potensial aksi dan menghambat aktivitas sel-sel syaraf yang teraktivasi. Patofisiologi epilepsi meliputi ketidakseimbangan kedua faktor ini yang menyebabkan instabilitas pada sel-sel syaraf tersebut. Gajala Klinis

1. Gajala kejang yang spesifik, tergantung pada jenis kejang. Jenis kejang pada setiap pasien dapat bervariasi, namun cenderung sama.2. Somato sensori atau motor fokal terjadi pada kejang kompleks parsial.3. Kejang kompleks parsial terjadi gangguan kesadaran.4. Kejang absens mempunyai efek yang ringan dengan gangguan kesadaran yang singkat.5. Kejang tonik-klonik umum mempunyai episode kejang yang lama dan terjadi kehilangan kesadaran. Kejang parsial simplek seranagan di mana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala berupa: deja vu: perasaan di mana pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya. Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat dijelaskan Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian tubih tertentu. Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu Halusinasi Kejang parsial (psikomotor). kompleks Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan lebih lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan mengingat waktu serangan. Gejalanya meliputi: Gerakan seperti mencucur atau mengunyah Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang atau memainkan pakaiannya Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling dalam keadaan seperti sedang bingung Gerakan menendang atau meninju yang berulang-ulang Berbicara tidak jelas seperti menggumam.

Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal)Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap: tahap tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis ini pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini biasa didahului serangan berupa: merasa sakit perut, kunang-kunang, telinga berdengung. Pada tahap tonik pasien dapat: kehilangan kesadaran, kehilangan keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan yang jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik: terjaadi kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau buang air besar yang tidak dapat dikontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin tidur setelah serangan semacam ini.Penegakan Diagnosisada 3 langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu:1. Memastikan apakah kejadian yang bersifat paroksismal menuju bangkitan epilepsi atau bukan epilepsi.2. Apabila benar bangkitan epilepsi, tentukan jenis bangkitan3. Pastikan epilepsi apa yang diderita oleh pasien dan tentukan etiologinya. Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis. Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh. Anamnesis menanyakan tentang riwayat trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan penggunaan obat-obatan tertentu. Anamnesis (auto dan heteroanamnesis), meliputi: Pola / bentuk serangan Lama serangan- Gejala sebelum, selama dan paska serangan Frekuensi serangan- Faktor pencetus- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang Usia saat serangan terjadinya pertama Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak-anak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral. Pemeriksaan penunjang a. Elektro ensefalografi (EEG) Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi. Akan tetapi epilepsi bukanlah gold standard untuk diagnosis. Hasil EEG dikatakan bermakna jika didukung oleh klinis. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal.b. Hiponatremia, hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan hepatic encefalopati dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit bersama dengan glukosa, kalsium dan magnesium. Blood urea nitrogen kreatinin dan test fungsi hepar mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna. Pemeriksaan toksikologi serum dan urin juga sebaiknya dilakukan bila dicurigai adanya drug abuse.c. Rekaman video EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi.2) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak.3) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya misal gelombang delta.4) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike), dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.

c. Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuro imaging bertujuan untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRl lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri serta untuk membantu terapi pembedahan. EEG (electroencephalogram) sangat berguna dalam diagnosis berbagai macam jenis epilepsi.

Diagnosis Banding1. Pada neonatus Jittering Apneic spell2. Pada anak Breath holding spells Sinkope Migren Bangkitan psikogenik/ konversi Prolonged QT syndrome Night tremor Tics Hypercianotic attack (pada tetralogi of fallot)3. Pada dewasa Sinkope TIA Vertigo Transient global amnesia Narkolepsi Bangkitan panic Syndrome meniere ticsTerapiJenis bangkitanOAE lini pertamaOAE lini keduaOAE yang dipertimbangkanOAE yang dihindari

Bangkitan klonikSodium, valproate, lamotrigineClobazam, levetiracetam, topiramatePhenobarbital, phenytoinCarbamazepine, oxcarbazepine

Bangkitan atonikSodium valproate, lamotrigineClobazam, levetiracetam, topiramatePhenobarbital, acetazolamideCarbamazepin, oxcarbazepine, phenytoin

Bangkitan fokal dengan/ tanpa umum sekunderCarbamazepine, oxcarbazepine, sodium valproat, topiramate, lamotrigine Clobazam, gabapentin, levetiracetam, phenytoin, tiagabineClonazepam, Phenobarbital, acetazolamide

Bangkitan umum tonik klonikSodium valproat, lamotrigine, topiramate, carbamazepineClobazam, levetiracetam, oxcarbazepine Clonazepam, phenobarbital, phenitoin, acetazolamide

Bangkitan lenaSodium valproat, lamotrigineClobazam, topiramate,Carbamazepine, gabapentin, oxcarbazepine

Bangkitan mioklonikSodium valproat, lamotrigineClobazam, topiramate, levetiracetam, lamotrigine, piracetamCarbamazepine, gabapentin, oxcarbazepine

Terapi Status epileptikus merupakan kondisi kegawat daruratan yang memerlukan pengobatan yang tepat untuk meminimalkan kerusakan neurologik permanen maupun kematian . Definisi dari status epileptikus yaitu serangan lebih dari 30 menit, akan tetapi untuk penanganannya dilakukan bila sudah lebih dari 5-10 menit. Algoritme manajemen status epileptikus Tujuan terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien.Prinsip terapi farmakologi epilepsi yakni: OAE mulai diberikan bila diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat minimal dua kali bangkitan dalam setahun, pasien dan keluarga telah mengetahui tujuan pengobatan dan kemungkinan efek sampingnya. Terapi dimulai dengan monoterapi. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping; kadar obat dalam plasma ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif. Bila dengan penggunaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol bangkitan, ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat diatasi dengan pengguanaan dosis maksimal kedua OAE pertama. Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi bila kemungkinan kekambuhan tinggi , yaitu bila: dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG, terdapat riwayat epilepsi saudara sekandung, riwayat trauma kepala disertai penurunan kesadaran, bangkitan pertama merupakan status epileptikus. Prinsip mekanisme kerja obat anti epilepsi : Meningkatkan neurotransmiter inhibisi (GABA) Menurunkan eksitasi: melalui modifikasi konduksi ion: Na+, Ca2+, K+, dan Cl- atau aktivitas neurotransmiter. Penghentian pemberian OAE Pada anak-anak penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah 2 tahun bebas serangan . Syarat umum menghentikan OAE adalah sebagai berikut: Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan. Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan. Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai dari satu OAE yang bukan utama Obat ezogabine merupakan obat baru dan memiliki mekanisme kerja sebagai pembuka saluran kalium, mengaktivasi gerbang saluran kalium di otak. Akan tetapi mekanisme unik ini memiliki beberapa efek toksik yang biasanya tidak terdapat pada obat kejang lainnya seperti retensi urin. Hal inilah yang menyebabkan US Food and Drug Administrations (FDAs) masih mempertimbangkan obat ini. Pemilihan OAE pada pasien anak berdasarkan bentuk bangkitan dan sindrom Mekanisme kerja OAE.

Penggolongan obat antiepilepsi(1) HidantoinFenitoinFenitoin merupakan obat pilihan pertama untuk kejang umum, kejang tonik-klonik, dan pencegahan kejang pada pasien trauma kepala/bedah saraf. Fenitoin memiliki range terapetik sempit sehingga pada beberapa pasien dibutuhkan pengukuran kadar obat dalam darah. Mekanisme aksi fenitoin adalah dengan menghambat kanal sodium (Na+) yang mengakibatkan influk (pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang. dan menghambat terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron. Dosis awal penggunaan fenitoin 5 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 20 mg/kg/hari tiap 6 jam. Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan fenitoin adalah depresi pada SSP, sehingga mengakibatkan lemah, kelelahan, gangguan penglihatan (penglihatan berganda), disfungsi korteks dan mengantuk. Pemberian fenitoin dosis tinggi dapat menyebabkan gangguan keseimbangan tubuh dan nystagmus. Salah satu efek samping kronis yang mungkin terjadi adalah gingival hyperplasia (pembesaran pada gusi). Menjaga kebersihan rongga mulut dapat mengurangi resiko gingival hyperplasia.(2) BarbituratFenobarbitalFenobarbital merupakan obat yang efektif untuk kejang parsial dan kejang tonik-klonik. Efikasi, toksisitas yang rendah, serta harga yang murah menjadikan fenobarbital obat yang penting utnuk tipe-tipe epilepsi ini. Namun, efek sedasinya serta kecenderungannya menimbulkan gangguan perilaku pada anak-anak telah mengurangi penggunaannya sebagai obat utama. Aksi utama fenobarbital terletak pada kemampuannya untuk menurunkan konduktan Na dan K. Fenobarbital menurunkan influks kalsium dan mempunyai efek langsung terhadap reseptor GABA (aktivasi reseptor barbiturat akan meningkatkan durasi pembukaan reseptor GABAA dan meningkatkan konduktan post-sinap klorida). Selain itu, fenobarbital juga menekan glutamate excitability dan meningkatkan postsynaptic GABA ergic inhibition. Dosis awal penggunaan fenobarbital 1-3 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 10-20 mg/kg 1kali sehari. Efek samping SSP merupakan hal yang umum terjadi pada penggunaan fenobarbital. Efek samping lain yang mungkin terjadi adalah kelelahan, mengantuk, sedasi, dan depresi. Penggunaan fenobarbital pada anak-anak dapat menyebabkan hiperaktivitas. Fenobarbital juga dapat menyebabkan kemerahan kulit, dan Stevens-Johnson syndrome.(3) DeoksibarbituratPrimidonPrimidon digunakan untuk terapi kejang parsial dan kejang tonik-klonik. Primidon mempunyai efek penurunan pada neuron eksitatori. Efek anti kejang primidon hampir sama dengan fenobarbital, namun kurang poten. Didalam tubuh primidon dirubah menjadi metabolit aktif yaitu fenobarbital dan feniletilmalonamid (PEMA). PEMA dapat meningkatkan aktifitas fenobarbital. Dosis primidon 100-125 mg 3 kali sehari. Efek samping yang sering terjadi antara lain adalah pusing, mengantuk, kehilangan keseimbangan, perubahan perilaku, kemerahan dikulit, dan impotensi.(4) Iminostilben(a) KarbamazepinKarbamazepin secara kimia merupakan golongan antidepresan trisiklik. Karbamazepin digunakan sebagai pilihan pertama pada terapi kejang parsial dan tonik-klonik. Karbamazepin menghambat kanal Na+, yang mengakibatkan influk (pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang dan menghambat terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron. Dosis pada anak dengan usia kurang dari 6 tahun 10-20 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 6-12 tahun dosis awal 200 mg 2 kali sehari dan dosis pemeliharaan 400-800 mg. Sedangkan pada anak usia lebih dari 12 tahun dan dewasa 400 mg 2 kali sehari. Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan karbamazepin adalah gangguan penglihatan (penglihatan berganda), pusing, lemah, mengantuk, mual, goyah (tidak dapat berdiri tegak) dan Hyponatremia. Resiko terjadinya efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan usia.(b) OkskarbazepinOkskarbazepin merupakan analog keto karbamazepin. Okskarbazepin merupakan prodrug yang didalam tubuh akan segera dirubah menjadi bentuk aktifnya, yaitu suatu turunan 10-monohidroksi dan dieliminasi melalui ekskresi ginjal. Okskarbazepin digunakan untuk pengobatan kejang parsial. Mekanisme aksi okskarbazepin mirip dengan mekanisme kerja karbamazepin. Dosis penggunaan okskarbazepin pada anak usia 4-16 tahun 8-10mg/kg 2 kali sehari sedangkan pada dewasa, 300 mg 2 kali sehari. Efek samping penggunaan okskarbazepin adalah pusing, mual, muntah, sakit kepala, diare, konstipasi, dispepsia, ketidak seimbangan tubuh, dan kecemasan. Okskarbazepin memiliki efek samping lebih ringan dibanding dengan fenitoin, asam valproat, dan karbamazepin. Okskarbazepin dapat menginduksi enzim CYP450.(5) SuksimidEtosuksimidEtosuksimid digunakan pada terapi kejang absens. Kanal kalsium merupakan target dari beberapa obat antiepilepsi. Etosuksimid menghambat pada kanal Ca2+ tipe T. Talamus berperan dalam pembentukan ritme sentakan yang diperantarai oleh ion Ca2+ tipe T pada kejang absens, sehingga penghambatan pada kanal tersebut akan mengurangi sentakan pada kejang absens. Dosis etosuksimid pada anak usia 3-6 tahun 250 mg/hari untuk dosis awal dan 20 mg/kg/hari untuk dosis pemeliharaan. Sedangkan dosis pada anak dengan usia lebih dari 6 tahun dan dewasa 500 mg/hari. Efek samping penggunaan etosuksimid adalah mual dan muntah, efek samping penggunaan etosuksimid yang lain adalah ketidakseimbangan tubuh, mengantuk, gangguan pencernaan, goyah (tidak dapat berdiri tegak), pusing dan cegukan.(6) Asam valproatAsam valproat merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang parsial, kejang absens, kejang mioklonik, dan kejang tonik-klonik. Asam valproat dapat meningkatkan GABA dengan menghambat degradasi nya atau mengaktivasi sintesis GABA. Asam valproat juga berpotensi terhadap respon GABA post sinaptik yang langsung menstabilkan membran serta mempengaruhi kanal kalium. Dosis penggunaan asam valproat 10-15 mg/kg/hari (11). Efek samping yang sering terjadi adalah gangguan pencernaan (>20%), termasuk mual, muntah, anorexia, dan peningkatan berat badan. Efek samping lain yang mungkin ditimbulkan adalah pusing, gangguan keseimbangan tubuh, tremor, dan kebotakan. Asam valproat mempunyai efek gangguan kognitif yang ringan. Efek samping yang berat dari penggunaan asam valproat adalah hepatotoksik. Hyperammonemia (gangguan metabolisme yang ditandai dengan peningkatan kadar amonia dalam darah) umumnya terjadi 50%, tetapi tidak sampai menyebabkan kerusakan hati.Interaksi valproat dengan obat antiepilepsi lain merupakan salah satu masalah terkait penggunaannya pada pasien epilepsi. Penggunaan fenitoin dan valproat secara bersamaan dapat meningkatkan kadar fenobarbital dan dapat memperparah efek sedasi yang dihasilkan. Valproat sendiri juga dapat menghambat metabolisme lamotrigin, fenitoin, dan karbamazepin. Obat yang dapat menginduksi enzim dapat meningkatkan metabolisme valproat. Hampir 1/3 pasien mengalami efek samping obat walaupun hanya kurang dari 5% saja yang menghentikan penggunaan obat terkait efek samping tersebut.(7) BenzodiazepinBenzodiazepin digunakan dalam terapi kejang. Benzodiazepin merupakan agonis GABAA, sehingga aktivasi reseptor benzodiazepin akan meningkatkan frekuensi pembukaan reseptor GABAA. Dosis benzodiazepin untuk anak usia 2-5 tahun 0,5 mg/kg, anak usia 6-11 tahun 0,3 mg/kg, anak usia 12 tahun atau lebih 0,2 mg/kg, dan dewasa 4-40 mg/hari. Efek samping yang mungkin terjadi pada penggunaan benzodiazepin adalah cemas, kehilangan kesadaran, pusing, depresi, mengantuk, kemerahan dikulit, konstipasi, dan mual.(8) Obat antiepilepsi lain(a) GabapentinGabapentin merupakan obat pilihan kedua untuk penanganan parsial epilepsi walaupun kegunaan utamanya adalah untuk pengobatan nyeri neuropati Uji double-blind dengan kontrol plasebo pada penderita seizure parsial yang sulit diobati menunjukkan bahwa penambahan gabapentin pada obat antiseizure lain leibh unggul dari pada plasebo. Penurunan nilai median seizure yang diinduksi oleh gabapentin sekitar 27% dibandingkan dengan 12% pada plasebo. Penelitian double-blind monoterapi gabapentin (900 atau 1800 mg/hari) mengungkapkan bahwa efikasi gabapentin mirip dengan efikasi karbamazepin (600 mg/hari). Gabapentin dapat meningkatkan pelepasan GABA nonvesikel melalui mekanisme yang belum diketahui. Gabapentin mengikat protein pada membran korteks saluran Ca2+ tipe L. Namun gabapentin tidak mempengaruhi arus Ca2+ pada saluran Ca2+ tipe T, N, atau L. Gabapentin tidak selalu mengurangi perangsangan potensial aksi berulang terus-menerus. Dosis gabapentin untuk anak usia 3-4 tahun 40 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 5-12 tahun 25-35 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 12 tahun atau lebih dan dewasa 300 mg 3 kali sehari. Efek samping yang sering dilaporkan adalah pusing, kelelahan, mengantuk, dan ketidakseimbangan tubuh. Perilaku yang agresif umumnya terjadi pada anak-anak. Beberapa pasien yang menggunakan gabapentin mengalami peningkatan berat badan.(b) LamotriginLamotrigin merupakan obat antiepilepsi generasi baru dengan spektrum luas yang memiliki efikasi pada parsial dan epilepsi umum. Lamotrigin tidak menginduksi atau menghambat metabolisme obat anti epilepsi lain. Mekanisme aksi utama lamotrigin adalah blokade kanal Na, menghambat aktivasi arus Ca2+ serta memblok pelepasan eksitasi neurotransmiter asam amino seperti glutamat dan aspartat. Dosis lamotrigin 25-50 mg/hari. Penggunaan lamotrigin umumnya dapat ditoleransi pada pasien anak, dewasa, maupun pada pasien geriatri. Efek samping yang sering dilaporkan adalah gangguan penglihatan (penglihatan berganda), sakit kepala, pusing, dan goyah (tidak dapat berdiri tegak). Lamotrigin dapat menyebabkan kemerahan kulit terutama pada penggunaan awal terapi 3-4 minggu. Stevens-Johnson syndrome juga dilaporkan setelah menggunakan lamotrigin.(c) LevetirasetamLevetiracetam mudah larut dalam air dan merupakan derifat pyrrolidone ((S)-ethyl-2-oxo-pyrrolidine acetamide). Levetirasetam digunakan dalam terapi kejang parsial, kejang absens, kejang mioklonik, kejang tonik-klonik. Mekanisme levetirasetam dalam mengobati epilepsi belum diketahui. Namun pada suatu studi penelitian disimpulkan levetirasetam dapat menghambat kanal Ca2+ tipe N dan mengikat protein sinaptik yang menyebabkan penurunan eksitatori (atau meningkatkan inhibitori). Proses pengikatan levetiracetam dengan protein sinaptik belum diketahui. Dosis levetirasetam 500-1000 mg 2 kali sehari. Efek samping yang umum terjadi adalah sedasi, gangguan perilaku, dan efek pada SSP. Gangguan perilaku seperti agitasi, dan depresi juga dilaporkan akibat penggunaan levetirasetam.

(d) TopiramatTopiramat digunakan tunggal atau tambahan pada terapi kejang parsial, kejang mioklonik, dan kejang tonik-klonik. Topiramat mengobati kejang dengan menghambat kanal sodium (Na+), meningkatkan aktivitas GABAA, antagonis reseptor glutamat AMPA/kainate, dan menghambat karbonat anhidrase yang lemah. Dosis topiramat 25-50 mg 2 kali sehari. Efek samping utama yang mungkin terjadi adalah gangguan keseimbangan tubuh, sulit berkonsentrasi, sulit mengingat, pusing, kelelahan, paresthesias (rasa tidak enak atau abnormal). Topiramat dapat menyebabkan asidosis metabolik sehingga terjadi anorexia dan penurunan berat badan.(e) TiagabinTiagabin digunakan untuk terapi kejang parsial pada dewasa dan anak 16 tahun. Tiagabin meningkatkan aktivitas GABA, antagonis neuron atau menghambat reuptake GABA. Dosis tiagabin 4 mg 1-2 kali sehari. Efek samping yang sering terjadi adalah pusing, asthenia (kekurangan atau kehilangan energi), kecemasan, tremor, diare dan depresi. Penggunaan tiagabin bersamaan dengan makanan dapat mengurangi efek samping SSP.(f) FelbamatFelbamat bukan merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang, felbamat hanya digunakan bila terapi sebelumnya tidak efektif dan pasien epilepsi berat yang mempunyai resiko anemia aplastik. Mekanisme aksi felbamat menghambat kerja NMDA dan meningkatkan respon GABA. Dosis felbamat untuk anak usia lebih dari 14 tahun dan dewasa 1200 mg 3-4 kali sehari . Efek samping yang sering dilaporkan terkait dengan penggunaan felbamat adalah anorexia, mual, muntah, gangguan tidur, sakit kepala dan penurunan berat badan. Anorexia dan penurunan berat badan umumnya terjadi pada anak-anak dan pasien dengan konsumsi kalori yang rendah. Resiko terjadinya anemia aplastik akan meningkat pada wanita yang mempunyai riwayat penyakit cytopenia.(g) ZonisamidZonisamid merupakan suatu turunan sulfonamid yang digunakan sebagai terapi tambahan kejang parsial pada anak lebih dari 16 tahun dan dewasa. Mekanisme aksi zonisamid adalah dengan menghambat kanal kalsium (Ca2+) tipe T. Dosis zonisamid 100 mg 2 kali sehari. Efek samping yang umum terjadi adalah mengantuk, pusing, anorexia, sakit kepala, mual, dan agitasi. Di United Stated 26% pasien mengalami gejala batu ginjal.Kemungkinkan kekambuhan setelah penghentian OAE- Usia semakin tua, semakin tinggi kemungkinan kekambuhannya.- Epilepsi simtomatik- Gambaran EEG abnormal- Semakin lamanya bangkitan belum dapat dikendalikan.- Penggunaan OAE lebih dari 1- Masih mendaptkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi- Mendapat terapi 10 tahun atau lebih.- Kekambuhan akan semakin kecil kemungkinanya bila penderita telah bebas bangkitan selama 3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali maka pengobatan menggunakan dosis efektif terakhir, kemudian evaluasi.

NOTE KHUSUSPenatalaksanaan untuk status epileptikus1. Stadium I (0-10 menit)- memperbaiki fungsi kardio dan respirasi- memperbaiki jalan nafas, oksigenasi dan resusitasi bila diperlukan.2. Stadium II (1-60 menit)- pemeriksaan status neurologik- pengukuran tekanan darah, nadi dan suhu- pemeriksaan EEG- pasang infus- ambil 50-100cc darah untuk pemeriksaan laborat- pemberian OAE cito : diazepam 0.2mg/kg dengan kecepatan pemberian 5 mg/ menit IV dapat diulang lagi bila kejang masih berlangsung setelah 5 menit pemberian.- Beri 50cc glukosa- Pemberian tiamin 250mg intravena pada pasien alkoholisme- Menangani asidosis dengan bikarbonat.3. Stadium III 90-60/90 menit- menentukan etiologi- bila kejang terus berkangsung setekah pemberian lorazepam/diazepam, beri phenitoin IV 15-20mg/kg dengan kecepatan kuranglebih 50mg/menit sambil monitoring tekanan darah.- Atau dapat pula diberikan Phenobarbital 10mg/kg dengan kecepatan kurang lebih 10mg/menit (monitoring pernafasan saat pemberian)- Terapi vasopresor (dopamin) bila diperlukan.- Mongoreksi komplikasi4. Stadium IV (30-90 menit)- Bila tetap kejang, pindah ke ICU- Beri propofol (2mg/kgBB bolus iv, diulang bila perlu)Tabel II. Pilihan obat untuk gangguan kejang spesifikTipe seizure Terapi pilihan pertamaObat alternatif

Seizure parsialKarbamazepinFenitoinLamotriginAsam valproatokskarbanzepinGabapentinTopiramatLevetiracetamZonisamidTiagabinPrimidonFenobarbitalFelbamat

kejang umum AbsensAsam valproatEtosuksimidLamotriginLevetiracetam

MioklonikAsam valproatKlonazepamLamotrigin,topiramat,felbamat, zonisamid,levetiracetam

Tonik-klonikFenitoinKarbamazepinAsam valproatLamotrigin,topiramat, primidon,fenobarbital,okskarbanzepin,Levetiracetam

Komplikasi Kerusakan otak akibat hipoksia dan retardasi mental Timbul depresi dan keadaan cemas (Elizabeth, 2001 : 174)

1. Pada KehamilanWanita epilepsi lebih cenderung memperoleh komplikasi obstetrik dalam masa kehamilan dari pada wanita penduduk rata-rata. Pengaruh epilepsi terhadap kehamilan yaitu:- Melahirkan bayi prematur, didapat 4-11%- Berat badan lahir rendah, kurang dari 2500 gr, ditemukan pada 7 10%- Mikrosefal- Apgar skor yang rendahHiilesmaa mengikuti 138 kehamilan wanita epilepsi dibandingkan dengan 150 orang sebagai kontrol, yang sesuai adalah umur, paritas, sosial ekenomi dan jenis kelamin fetus. Beberapa peneliti tak dapat membuktikan bahwa komplikasi pada kehamilan tidak lebih besar pada wanita epilepsi.

2. Pada PersalinanNeonatus wanita epilepsi yang hamil mengalami lebih banyak resiko karena kesukaran yang akan dialami ketika partus berjalan. Partus prematur lebih sering terjadi pada wanita epilepsi. Penggunaan obat anti epilepsi mengakibatkan kontraksi uterus yang melemah, ruptur membran yang terlalu dini. Oleh karena itu maka partus wanita epilepsi hampir selalu harus dipimpin oleh pakar obstetrik. Penggunaan firsep atau vakum sering dilakukan dan juga seksio saesar.

Komplikasi persalinan baik untuk ibu dan bayi adalah:- Frekuensi bangkitan meningkat 33%Perdarahan post partum meningkat 10%- Bayi mempunyai risiko 3% berkembang menjadi epilepsi- Apabila tanpa profilaksis vitamin K yang diberikan pada ibu, terdapat risiko 1)% terjadi perdarahan perinatal pada bayi.

Daftar pustaka1. Browne TR., Holmes GL., 2000, Epilepsy: Definitions and Background. In: Handbook of Epilepsy, 2nd edition, Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, P., 1-18.2. Fisher RS., Boas WE., Blume W., Elger C., Genton P., Lee P., et al., 2005, Epileptic seizures and epilepsy: definition proposed by the International League Against Epilepsy (ILAE) and the International Bureau for Epilepsy (IBE), Epilepsia; 46 (4): 470-2.3. Annegers JF., 2001, The Epidemiology of Epilepsy. In: Wylie E, ed. The Treatment of Epilepsy, 3d ed, Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 131138.4. Goodman and Gilman, 2007, Dasar Farmakologi Terapi, vol. 1, EGC, Jakarta, 506-531.5. Commission on Classification and Terminology of the International League Against Epilepsy, 1981, Proposal for Revised Clinical and Electroencephalographic Classification of Epileptic Seizures, Epilepsia, 22: 489501.6. Commission on Classification and Terminology of the International League Against Epilepsy, 1982, Proposal for Revised Classification of Epilepsies and Epileptic Syndromes, Epilepsia, 30: 389399.7. Irani, Vidia, M., 2009, Gambaran Efektivitas Antiepilepsi Pada Pasien Epilepsi Yang Menjalani Rawat Inap Di Rsup Dr. Sardjito Yogyakarta, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 41-70.8. Nordli, D.R., Pedley, De Vivo, 2006, Buku Ajar Pediatri Rudolph volume 3, EGC, Jakarta, 1023, 1034, 2135-2138.9. Wibowo, S., dan Gofir, A., 2006, Obat Antiepilepsi, Pustaka Cendekia Press, Yogyakarta, 85.10. Gidal, B.E., and Garnett, W.R., 2005, Epilepsy, in Pharmacotherapy: A Phathophisiology Approach, Dipiro, J.T., et al (eds) McGraw Hill, New York, 1023-1048.11. Lacy, Charles F., 2009, Drug Information Handbook, American Pharmacists Association.12. Dillon and Sander, 2003, Clinical Pharmacy and Therapeutics, Third edition, Churchill livingstone, New York, 465-468, 472-477.13. Rainer Surges, Kirill E., Volynski and Matthew C., Walker, 2008, Is Levetiracetam Different from Other Antiepileptic Drugs? Levetiracetam and its Cellular Mechanism of Action in Epilepsy Revisited Rainer Surges, Therapeutic Advances in Neurological Disorders, 1(1) 13-24.14. Weiner WJ., 1999, The Intial Treatment of Parkinsons Disease Should Begin With Levodopa, Mov Disord, 14: 716724.15. McNemara, J.O., 2008, Dasar Farmakologi Terapi, Edisi 10, vol 1, diterjemahkan oleh alih bahasa sekolah farmasi ITB, EGC, Jakarta, 1517, 522, 524.16. Harsono, 2007, Epilepsi, edisi kedua, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 7-8, 65-66, 144.17. Mijasaki JM., Martin W., Suchowersky O., et al., 2002, Practice parameter: Initiation of treatment for Parkinsons disease: An evidence based review, Neurology, 58; 1117.