Upload
fadillovemama
View
213
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
REFERAT DERMATO - VENEREOLOGI
Penatalaksanaan Lupus Eritematous Diskoid
Enda Athiyah Cahyani H1A 007 017
Muhammad Fadillah H1A 007 041
PEMBIMBING :
dr. I Wayan Hendrawan,Sp. KK
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2014
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis Panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa, atas
segala limpahan berkah dan pertolongan-Nya, sehingga Penulis bisa
merampungkan referat ini tepat pada waktunya.
Referat Dermato – Venereologi yang berjudul “Pentalaksanaan Lupus
Eritematous Diskoid” ini Penulis susun dalam rangka mengikuti kepaniteraan
klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP NTB.
Penulis menyampaikan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh
pihak yang telah memberikan bantuan dan bimbingan kepada Penulis :
1. dr. Yunita Hapsari, M.Sc, Sp.KK, selaku coordinator pendidikan
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP NTB/Fakultas
Kedokteran Universitas Mataram.
2. dr.I Wayan Hendrawan, Sp.KK, selaku pembimbing penulisan referat
ini
3. dr. Tjokorda Made Sugatha, Sp.KK, selaku supervisor.
4. dr. Dedianto Hidajat, Sp.KK,selaku supervisor.
5. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
memberikan bantuan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih terdapat
banyak kekurangan, sehingga Penulis sangat mengharapkan kritik serta saran
untuk menyempurnakan tulisan ini.
Semoga referat ini dapat memberikan manfaat serta tambahan
pengetahuan mengenai tertalaksana lupus eritematous discoid untuk aplikasi klinis
sehari-hari bagi para pembaca, dan terutama sekali bagi Penulis sendiri. Terima
kasih.
Mataram, Februari 2014
Penulis
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ........................................................................................... i
Daftar Isi ................................................................................................. ii
Bab I Pendahuluan ..................................................................................... 1
Bab II Tinjauan Pustaka.............................................................................. 2
2.1 Epidemiologi .................................................................................. 2
2.2 Etiologi............................................................................................ 2
2.3 Patogenesis ..................................................................................... 2
2.4 Manifestasi Klinis .......................................................................... 5
2.5 pemeriksaan penunjang .................................................................. 6
2.6 diagnosis ........................................................................................ 6
2.7 komplikasi ...................................................................................... 6
2.8 prognosis ........................................................................................ 6
2.9 Tatalaksana..................................................................................... 7
2.9.1 penegahan.................................................................................... 7
2.9.2 pengobatan topikal....................................................................... 8
2.9.3 pengoatan sistemik....................................................................... 9
2.9.4 terapi bedah dan kosmetik........................................................... 13
Bab III Kesimpulan..................................................................................... 14
Daftar Pustaka............................................................................................. 15
ii
1
Penatalaksanaan Lupus Eritematous Diskoid
Referat Dermatologi - Venereologi
Enda Athiyah Cahyani/Muhammad Fadillah
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
RSUP NTB/Fakultas Kedokteran Universitas Mataram
BAB I
PENDAHULUAN
Lupus Eritematosus Diskoid (LED) adalah bentuk lupus eritematosus non-
sistemik yang paling sering ditemui. Lesi awal tampak sebagai makula atau papul
berukuran 1-2 cm dengan warna merah keunguan atau plakat kecil yang
permukaannya menjadi hiperkeratotik dalam waktu singkat. Lesi umumnya
berubah menjadi plakat eritem berbentuk koin (diskoid) berbatas tegas yang
ditutupi sisik yang meluas hingga ke bukaan dari folikel rambut yang telah
melebar. Jika sisik tersebut dikupas, lapisan bawah akan tampak seperti karpet
yang ditusuk dengan beberapa paku sehingga disebut sebagai penampakan paku
karpet.1,2
Lupus eritematous diskoid bersama-sama dengan varian Lupus
Eritematosus Kutaneus lainnya serta Lupus Eritematosus Sistemik (LES) yang
manifestasinya lebih berat hingga dapat mengancam jiwa adalah bagian dari lupus
eritematosus (LE) yang disatukan dan dihubungkan oleh temuan klinis dan pola
autoimunitas sel B poliklonal yang khas.1
Prognosis penderita LED umumnya baik. Hanya sekitar 1-5% saja kasus
LED yang akan berkembang menjadi LES. Kasus kambuh jarang, sekitar <10%.
Tingkat mortalitas pada penyakit ini rendah, tetapi nyeri pada lesi dapat
berkelanjutan. Jaringan parut dan atrofi kulit yang terbentuk biasanya permanen.2
i
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi
Kasus LED adalah 50-85% dari keseluruhan kasus lupus eritematosus
kutaneus. LED dapat timbul di berbagai umur tetapi terutama pada umur 20-45
tahun, dengan rata-rata umur 38 tahun. LED tidak biasa ditemukan pada anak,
sehingga tidak ada data khusus mengenai prevalensi kejadian LED. Namun, jika
dianamnesis dengan baik, LED pada anak merupakan manifestasi klinis dari
penyakit sistemik. Perbandingan LE kutaneus pada anak perempuan dan laki-laki
adalah 3:1. Pada masa pra-pubertas, dilaporkan bahwa perbandingan penderita LE
kutaneus adalah antara 1:1 dan 3:1, sedangkan rasio untuk setelah pubertas
(dewasa) adalah sekitar 8:1 dan 10:1. LED juga berkisar antara 15-30% dari
populasi kasus LES. 5 % dari kasus LED dapat mengarah ke LES. 1,3
2.2 Etiologi
Penyebab pasti dari LED tidak diketahui secara pasti. Adapun faktor
resiko dari kejadian LED adalah faktor genetik dan faktor lingkungan (paparan
sinar matahari dan obat-obatan) yang memicu suatu respon autoimunitas. Lupus
mengakibatkan perubahan pada regulasi sistem kekebalan sehingga tubuh menjadi
sensitif terhadap jaringan selnya sendiri.4
2.3 Patogenesis
Penyebab dan mekanisme patogenesis yang mengakibatkan LE masih
belum diketahui sepenuhnya. Patogenesis LED tidak dapat dipisahkan dari
patogenesis LES. Patogenesis tersebut dapat dijelaskan dengan sebuah bagan yang
menjelaskan empat tahapan teoritis yang berurutan yang terjadi sebelum adanya
penampakan klinis dari penyakit ini. Tahapan-tahapan tersebut adalah pewarisan
gen yang menyebabkan penderita lebih mudah terkena penyakit, induksi
autoimunitas, perluasan proses autoimun dan jejas imunologis:1
Pewarisan Gen/ Mutasi SomatikHLA dan Lainnya
2
Gambar 1: Patomekanisme Lupus Eritematosus1
Tahap pertama adalah pewarisan gen yang dianggap sebagai predisposisi
LE. Setidaknya ada empat gen dalam hal ini. Hubungan penyakit kulit spesifik LE
dengan MHC kelas II DR sudah banyak diketahui. Selain itu, gen lain juga
dianggap berperan dalam patogenesis LES, seperti gen yang mengkodekan
komplemen dan tumor necroting factor (TNF), gen yang memediasi apoptosis
serta gen yang melibatkan proses komunikasi antar-sel serta gen yang berperan
dalam pembersihan kompleks imun. 1
Tahap kedua dari patogenesis LES adalah fase induksi yaitu permulaan
proses autoimunitas yang ditandai dengan kemunculan sel T autoreaktif yang
telah kehilangan toleransi terhadap komponen tubuh. Mekanisme yang melandasi
autoreaktifitas tersebut antatara lain: 1,3
1. Regenerasi klonal. karena sel limfosit terus menerus diproduksi dari
sel stem, jika dosis tolerogenik antigen tidak dipertahankan, sistem
imun akan menggantikan sel-sel tua yang toleran tetapi mulai menua
dengan sel-sel muda yang tidak toleran
2. Imunisasi-silang. Pajanan antigen yang bereaksi silang dengan
tolerogen dapat memicu aktivasi sel limfosit T helper (Th) spesifik
untuk antigen yang bereaki silang dan juga menyediakan sinyal yang
dibutuhkan limfosit autoreaktif untuk menimbulkan efek pada
tolerogen.
3. Stimulasi klon anergi Anergi adalah suatu proses yang menghilangkan
kemampuan imunologis klon autoreaktif yang berhasil lolos dari delesi
klonal sehingga klon-klon tersebut tidak dapat merespon rangsangan
Sinar UV dan Lainnya Pembentukan AutoantibodiHilangnya toleransi terhadap komponen tubuh
Perluasan Proses AutoimunEkspansi Sel T
Pembentukan kompleks imunJejas immunologis
3
oleh antigen. Diperkirakan bahwa suatu stimulasi sel limfosit T
tertentu dapat menghilangkan anergi dan mengawali proses
autoreaktifas
Selain pembentukan klon autoimun, pada tahap kedua dari patomekanisme
LE juga dijelaskan antigen yang berperan dalam autoimunitas. Seperti dibahas
sebelumnya, antigen LE kebanyakan adalah antigen yang terdapat di dalam inti
dan sitoplasma dari sel keratinosit yang terbebaskan ke membran sel akibat
mekanisme tertentu.Uji laboratorium telah membuktikan bahwa antigen tersebut
dapat keluar akibat pajanan sinar ultraviolet. Selain itu, faktor lain yang dapat
memicu lesi LED dan kemungkinan berhubungan dengan pembebasan antigen
dari inti dan sitoplasma keratinosit adalah trauma, infeksi, pajanan dingin, sinar-X
hingga bahan kimia.5
Tahap ketiga atau tahap ekspansi nampaknya melibatkan peningkatan
respon autoimun yang dipicu antigen secara progresif.Pada tahap ini,
autoantibody dihasilkan oleh sel-sel B yang berlipat ganda.Walaupun sangat
banyak, autoantibody LE hanya ditujukan pada beberapa antigen inti dan
sitoplasma. Ada tiga target utama: nukleosom (anti-DNA dan antibodi antihiston),
spliceosome (anti-Sm dan anti-RNP) molekul Ro dan La (anti-Ro dan anti-La).1
Tahapan terakhir yang adalah tahapan yang mungkin paling penting secara
klinis dan menandai awal dari penyakit klinis adalah jejas imunologis.tahapan ini
sebagian besar diakibatkan oleh kerja dari autoantibodi dan kompleks imun yang
terbentuk yang menyebabkan jejas jaringan baik itu dengan kematian sel secara
langsung, aktivasi seluler, opsonisasi maupun karena terhambatnya fungsi
molekul target. 1
2.4 Manifestasi Klinis
Kelainan biasanya berlokalisasi simetrik di muka (terutama hidung, pipi),
telinga atau leher.Lesi terdiri atas bercak-bercak (makula merah atau bercak
meninggi), berbatas jelas dengan sumbatan keratin pada folikel-folikel rambut
4
(follicular plug). Bila lesi-lesi di atas hidung dan pipi berkonfluensi, dapat
berbentuk seperti kupu-kupu (butterfly erythema).2
Penyakit ini dapat meninggalkan sikastrik atrofik, kadang-kadang
hipertrofik, bahkan distorsi telinga dan hidung. Hidung dapat berbentuk seperti
paru kakatua. Bagian badan yang tidak tertutup pakaian, yang terkena sinar
matahari lebih cepat beresidif daripada bagian-bagian yang lain. Lesi-lesi dapat
terjadi di mukosa yaitu mukosa oral dan vulva atau di konjungtiva. Klinis nampak
deskuamasi, kadang-kadang ulserasi dan sikatrisasi.2
Varian klinis Lupus EritematosusDiskoidadalah :2
1. Lupus Eritematosus Tumidus
Bercak eritematosa coklat yang meninggi terlihat di muka, lutut, dan
tumit. Gambaran klinis dapat menyerupai erisipelas atau selulitis.
2. Lupus Eritematosus Profunda
Nodus-nodus terletak dalam, tampak pada dahi, leher, bokong, dan lengan
atas. Kulit di atas nodus eritematosus, atrofik atau berulserasi.
3. Lupus Hipotrofikus
Penyakit ini sering tampak pada bagian bibir bawah dari mulut, terdiri atas
plak yang berindurasi dengan sentrum yang atrofik.
4. Lupus Pemio (chilblain lupus, Hutchinson)
Penyakit yang terdiri atas bercak-bercak eritematosa yang berinfiltrasi di
daerah-daerah yang tidak tertutup pakaian, memburuk pada hawa dingin.2
2.5 Pemeriksaaan Penunjang
Kelainan laboratorik dan imunologik jarang terdapat, misalnya leucopenia, laju
endap darah meninggi, serum globulin naik, reaksi Wassermann positif, atau
percobaan coombs positif. Pada kurang lebih sepertiga penderita terdapat ANA
5
(antibody antinuclear), yakni yang mempunyai pola homogeny dan berbintik-
bintik.2
2.6 Diagnosis
Diagnosisnya harus dibedakan dengan dermatitis seboroik, psoriasis dan tinea
fasialis. Lesi dikepala yang berbentuk alopesia sikatrisial harus dibedakan dengan
liken planopilaris, dan tinea kapitis.2
2.7 Komplikasi
Resiko perkembangan penyakit menjadi LES meningkat jika lesi
menyebar dan terdapat abnormalitas hasil pemeriksaan darah dan parameter
serologis.Pengobatan dini dapat mencegah terjadinya jaringan parut atau
atrofi.Degenerasi malignan jarang terjadi. Pencegahan tumbuhnya lesi baru
dianjurkan pada daerah yang sering terekspos.1
2.8 Prognosis
Prognosis LED umumnya baik.Hanya sekitar 1-5% saja kasus LED yang
akan berkembang menjadi LES. Kemungkinan eksaserbasi dapat muncul terutama
pada musim semi dan musim panas. Kasus kambuh jarang, sekitar <10%.Tingkat
mortalitas pada penyakit ini rendah, tetapi nyeri pada lesi dapat berkelanjutan.
Jaringan parut dan atrofi kulit yang terbentuk biasanya permanen.1
2.9 Penatalaksanaan
6
Bagan 1. Alur tatalaksana lupus eritematous diskoid6
2.9.1 Pencegahan
Adapun tujuan dari terapi LED adalah untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien, mengontrol lesi yang telah ada, mengurangi bekas lesi, dan untuk
mencegah perkembangan lesi lebih lanjut.1
Karena lesi kulit lupus diketahui disebabkan atau diperburuk oleh
paparan sinar ultraviolet cahaya, pendekatan logis dalam pengelolaan diskoid
lupus harus mencakup menghindari matahari dan liberal aplikasi tabir
surya.Pengobatan dimulai dengan menghindari faktor pencetus misalnya panas,
obat-obatan dan tentunya sinar matahari dan semua sumber yang menyebabkan
paparan radiasi sinar UV. Adapun cara yang digunakan untuk melindungi kulit
7
adalah memakai pakaian yang tertutup, topi yang lebar. Selain itu pasien
disarankan untuk menghindari penggunaan obat obatan fotosensitif seperti
hiroklorotiazid, tetrasiklin, griseofulvin, dan piroksikam. Pasien juga disarankan
untuk melakukan follow-up setelah perawatan untuk memastikan ada atau tidak
komplikasi.1
2.9.2 Pengobatan Topikal
1. Proteksi sinar matahari dengan menggunakan tabir surya spektrum luas-
kedap air [SPF ≥ 15 dengan agen penghambat UVA seperti parasol dan
mikronized titanium dioxyda.1
2. Glukokortikoid lokal. Walaupun penggunaan potensi medium dari
preparat ini seperti triamsinolon asetonid 0,1% pada area sensitif wajah,
obat topikal superpoten kelas satu seperti klobetasol propinoat atau
betametason diproprionat memberikan hasil yang memuaskan pada kulit.
Penggunan 2 kali sehari selama 2 minggu diikuti dengan 2 minggu
periode istirahat dapat meminimalkan komplikasi seperti atropi dan
telengiektasis. Salep lebih efektif daripada krim pada lesi hiperkeratosis.1
3. Glukokortikoid intralesi. Penggunaan glukokortikoid intralesi seperti
suspensi triamsinolon asetonid 2,5 sampai 5 mg/ml pada wajah dengan
konsentrasi tinggi dibolehkan pada kulit yang kurang sensitif. Hal ini
diindikasikan pada lesi hiperkeratosis atau pada lesi yang tidak merespon
pada penggunaan kortikosteroid lokal, namun perlu berhati-hati
menggunakan pengobatan ini pada pasien dengan jumlah lesi cukup
banyak.1
2.9.3 Pengobatan Sistemik
1. Anti Malaria
8
Terapi dengan anti malaria adalah terapi yang baik digunakan secara
tunggal atau dalam kombinasi. Tiga preparat umum Yang biasa digunakan
termasuk klorokuin, hidroklorokuin, dan kuinikrin. Sebaiknya hidroklorokuin
dimulai dengan dosis 200 mg per hari untuk dewasa dan, jika tidak ada efek
samping gastrointestinal atau lainnya, dosis ditingkatkan dua kali sehari
tetapi tidak diberikan lebih dari 6,5mg/kg/hari. Penting ditekankan kepada
pasien bahwa dibutuhkan waktu 4-8 minggu untuk memperoleh perbaikan
klinis.Pada beberapa pasien yang tidak mempan dengan hidroklorokuin,
klorokuin mungkin lebih efektif. Beberapa pasien tidak merespon baik
monoterapi hidroksiklorokuin atau klorokuin sehingga dianjurkan
penampahan kuinikrin ke dalam regimen pengobatan.1
Penggunaan tunggal atau kombinasi dari antimalaria sangat efektif
pada 75% pasien dengan lupus eritematous diskoid yang tidak memberikan
respon yang baik dengan terapi topikal. Resiko toksisitas retina, harus
diberitahukan kepada pasien dan pemeriksaan oftalmologi sebelum
dimulainya terapi harus dilakukan. Namun, kejadian retinopati akibat
antimalaria sangatlah jarang jika penggunaan dosis sesuai dengan
rekomendasi yaitu tidak lebih dari (untuk hidrokloroquin 6.5 mg/kgbb dan
kloroquin 4 mg/kgbb). Pasien harus dievaluasi oleh dokter ahli mata setiap 6-
12 bulan selama pengobatan.1
Antimalaria memiliki beberapa mekanisme aksi dalam kaitannya
dengan pengobatan lupus eritematous. Pertama, menaikkan pH intraseluler
vacuolar. PH asam diperlukan untuk pengolahan antigen dan presentasi oleh
sel dendritik .Oleh karena itu dengan perubahan pH, penghambatan
pengolahan antigen dan presentasi menyebabkan penurunan potensi respon
imun terhadap autoantigens. Selain itu, antimalaria menghambat pelepasan
oleh monosit sitokin pro-inflamasi seperti IL - 1 , IL - 6 dan TNF – alpha
serta Mengurangi formasi dari peptida – Major Histocompatibility Complex
(MHC) kompleks protein sehingga menurunkan stimulasi dari autoreaktif
CD4+ sel T dan menurunkan pelepasan sitokin. Penghambatan granulasi
9
granulosit dan aktivitas Phospholipase A2 juga telah dilaporkan.Oleh karena
itu, antimalaria dapat bertindak dalam berbagai mekanisme dan namun belum
jelas yang mana mekanisme yang paling penting. Efek yang diinginkan
lainnya dari hydroxychloroquine mencakup kemampuan untuk menghambat
agregasi platelet dan adhesi, yang akan mengurangi ukuran trombus tanpa
memperpanjang waktu perdarahan . Michelle Petrie telah menemukan bahwa
hydroxychloroquine menurunkan kadar kolesterol, dimana hal ini berguna
pada pasien SLE yang mengkonsumsi steroid, dimana steroid dapat
meningkatkan level kolesterol serum. Di Inggris, hydroxychloroquine
digunakan dari profilaksis trombosis. Efek antitrombotik ini mungkin sangat
bermanfaat pada pasien LE dengan antibodi antifosfolipid dan masalah
trombosis.7
Hidroklorokuin sulfat 400 mg/hari, harus diberikan pada 6-8 minggu
awal pengobatan untuk mencapai target kadar obat dalam serum. Jika respon
klinis adekuat telah tercapai, dosis harian diturunkan menjadi 200mg/hari
untuk sekurang-kurangnya 1 tahun untuk meminimalisasi rekurensi.Jika tidak
ada respon dakam 8-12 minggu, kuinakrin hidroklorida, 100 mg/hari, dapat
ditambahkan tanpa meningkatkan resiko retinopati.Jika dalam waktu 4-6
minggu, respon klinis adekuat belum tercapai, harus dipertimbangkan
mengganti hidroklorokuin dengan klorokuin difosfat (aralen), 250mg/hari. Di
Eropa, klorokuin secara umum di anggap memiliki efikasi yang lebih
dibanding hidroklorokuin dalam pengobatan lupus, namun hidroklorokuin
dilaporkan memiliki respon perbaikan klinis yang lebih cepat.
Hidroklorokuin dan klorokuin tidak boleh digunakan bersamaan sebagai
terapi kombinasi karena akan meningkatkan resiko toksis pada retina. Di
Indonesia, karena preparat hidroklorokuin hingga sekarang belum tersedia,
maka sebagai penggantinya diberikan klorokuin. Dosis inisialnya ialah 1-2
tablet (@100 mg) sehari selama 3-6 minggu, kemudian 0,5-1 tablet selama
waktu yang sama.obat hanya dapat diberi maksimal selama 3 bulan agar tidak
timbul kerusakan mata.1,7
10
Banyak efek samping selain retinotoksis yang dikaitkan dengan
penggunaan anti malaria. Kuinakrin dihubungkan dengan peningkatan
insidensi beberapa efek samping seperti sefalgia, intoleransi gastrointestinal,
toksisitas hematologik, pruritus, erupsi obat dan gangguan pigmentasi pada
kulit dan mukosa.Kuinakrin dapat mengakibatkan pigmentasi kekuningan
pada kulit dan sklera, dapat dapat pulih dengan spontan setelah pengobatan
dihentikan.Kuinakrin dapat mengakibatkan hemolisis yang signifikan pada
pasien dengan G6PD. Beberapa preparat antimalaria dapat mengakibatkan
supresi produksi sumsum tulang, termasuk anemia aplastik, walaupun hal ini
sangat jarang jika diberikan dengan dosis yang tepat.Sebelum memulai terapi
dengan hidroklorokuin dan klorokuin, harus dilakukan pemeriksaan darah
lengkap, pemeriksaan fungsi hari dan ginjal.Pemeriksaan ini harus diulan
dalam 4-6 minggu setelah terapi inisiasi, dan selanjutnya setiap 4-6
bulan.Jika tampakan toksisitas hematologik akibat kuinakrin muncul, maka
direkomendasikan untuk lebih sering dilakukan.1
2. Metotreksat
Pada 1995, bottomley dan goodfield menemukan bahwa metotreksat
dapat membantu pada pasien LED yang resisten terhadap pengobatan
konvensional. Metotreksat adalah antagonis asam folat, yang memiliki efek
anti inflamasi dengan penghambatan terhadap proliferasi limfosit,
menghambat sekresi monosit dan makrofag dan berbagai sitokin sperti
TNF-alfa, interferon gamma dan IL-6. Methotrexate diklasifikasikan
sebagai agen sitotoksik antimetabolit, tetapi memiliki banyak efek pada sel-
sel sistem kekebalan tubuh termasuk modulasi produksi sitokin. Digunakan
seminggu sekali dan jika diperlukan diberikan pula asam folat sekali
seminggu (tidak pada hari yang sama dengan methotrexate) secara
rutin untuk mengurangi risiko efek samping. Mual dan sariawan cukup
sering terjadi, leukopenia, trombositopenia dan tes fungsi hati yang
abnormal kadang-kadang dapat terjadi. Obat ini tidak boleh digunakan
selama kehamilan dan harus dihentikan penggunaannya tiga bulan
sebelum konsepsi. 8
11
3. Thalidomide
Thalomide [50 – 300mg/hari] sangat efektif pada LED yang refrakter
terhadap pengobatan lainnya. Beberapa studi melaporkan keberhasilan
antara 85-100%, dengan banyak laporan pasien yang dinyatakan sembuh
sempurna. Adapun efek sampingnya ialah efek teratogenik, sehingga
sebaiknya tidak digunakan pada wanita hamil. Selain itu neuropati sensorik
dapat terjadi pada sekitar 25% dari padien yang mengkonsumsi obat ini.8,9
4. MMF
Mycophenolate mofetil (MMF) berfungsi menghambat sintesis
purin proliferasi limfosit dan respon sel T antibodi. Dibandingkan
siklofosfamid, MMF tidak menyebabkan kegagalan fungsi ovarium
(indung telur) dan lebih sedikit menyebabkan infeksi serius, leukopenia
atau alopecia (kebotakan). Obat ini juga diduga lebih efektif dan lebih
baik ditoleransi daripada azathioprine namun kontra indikasi dalam
kehamilan, sehingga hanya boleh digunakan pada wanita usia subur
disertai penggunaan kontrasepsi yang dapat diandalkan. Karena panjangny
waktu paruh, pengobatan harus dihentikan sedikitnya enam minggu
sebelum konsepsi yang direncanakan. 10
Obat lain yang dapat digunakan yaitu preparat emas [auranofin,
mycochrysine] dan klofazimin (lampren) walaupun hasilnya bervariasi pada tiap
kasus. 7
Glukokortikoid sistemik sebaiknya tidak digunakan pada kasus dengan lesi
yang sedikit, namun pada beberapa kasus khususnya pada kasus berat dan
simtomatik metilprednisolon intravena dapat digunakan. Imunosupresif lain
seperti azatioprin [imuran] 1,5 -2 mg/kg/hari oral dapat bertindak sebagai
glukokortikoid-sparing pada kasus lupus eritematosus kutaneus berat. Mikofenolat
mofetil [25-45 mg/kg/hari oral] maerupakan analog purin yang serupa dengan
azatioprin. 11
2.9.4 TERAPI BEDAH DAN KOSMETIK
12
Lupus eritematous diskoid dapat menimbulkan alopesia permanen, atropi
kulit, dan perubahan pigmen. Intervensi bedah seperti transplantasi rambut dan
dermabrasi beresiko karena LED dapat dipicu oleh trauma. Pemulihan dari skar
atropi dengan Erbium : YAG atau laser karbon dioksida dilaporkan bermanfaat.
Injeksi lesi atropi menggunakan kolagen atau sejenisnya sebaiknya dihindari.12
13
BAB III
KESIMPULAN
Lupus eritematosus merupakan penyakit yang menyerang sistem konektif
dan vaskular. Lupus eritematous diskoid bersifat kronik dan tidak
berbahaya.Penyebab pasti dari LED tidak diketahui secara pasti. Adapun faktor
resiko dari kejadian LED adalah faktor genetik dan faktor lingkungan (paparan
sinar matahari dan obat-obatan) yang memicu suatu respon autoimunitas.
Pengobatan pada LED terdiri dari pencegahan, terapi topikal, terapi
sistemik dan terapi bedah. terapi sistemik pilihan utama adalah obat-obatan anti
malaria. terdapat tiga preparat anti malaria yang dapat digunakan dalam
pengobatan LED, yaitu hidroklorokuin, klorokuin, dan kuinakrin, dimana preparat
yang sering digunakan di Indonesia adalah preparat klorokuin. Prognosis LED
umumnya baik.Hanya sekitar 1-5% saja kasus LED yang akan berkembang
menjadi LES.
Dengan ini menyatakan laporan kasus ulkus mole ini telah direvisi pada
tanggal Maret 2014.
Pembimbing
dr.I Wayan Hendrawan,SpKK
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Cotsner MI, Sontheimer RD. Lupus erythematosus. In: Freedberg IM,
Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, et al, editors.Fitzpatrick’s
dermatology in general medicine. 7th ed. New York: Mc Graw-Hill; 2008:
p.1515-1530
2. Djuanda S. Penyakit jaringan konektif. Dalam : Djuanda A, Hamzah M,
Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Ed. 5. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI; 2010 : hlm.264-272
3. Goodfield MJ ,Jones SK, Veale DJ. The connective tissue disease. In:
Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook’s textbook of
dermatology, 7th ed. Massachusetts: Blackwell Publishing Company; 2004:
p. 1646-793
4. Lee LA, Werth VP. Lupus erythematosus. In: Bolognia JL, Joseph LJ,
Rapini RP. Bolognia, editors. Dermatology, 2nded. New York: Mosby
Elsevier; 2008: p.105-113
5. Thomas B. Cutaneous lupus erythematosus. In: Wolff K, Johnson RA,
editors. Fitzpatrick’s Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology.6th
ed. New York: Mc Graw-Hill; 2007: p.376-387
6. Kuhn A, Ruland V, cutaneous lupus erythematous: Update of therapeutic
options. Germany. Department of dermatology, university of munster.
2010.
7. Werth V. Current treatment of cutaneous lupus erythematosus. Dermatol
online jour. 2001:7(1):2
8. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Diagnosis dan Penatalaksanaan
Lupus Eritematosus Sistemik. 2011 Jakarta.hlm 10-20
9. Panjwani S. Early diagnosis and treatment for discoid lupus erythematous.
J Am Board Fam Med 2009;22:206–213.
10. Jesop S, Whitlaw DA. Drugs for discoid lupus erythematous. Cape town.
John Wiley and sons ltd. 2011. p.2-16
15
11. Usmani N, Goodfield M. Efalizumab in The Treatment of Discoid Lupus
Erythematosus. Arch Dermatol.2007;143:873–7.
12. Koch M, Horwath-Winter J, Aberer E, Salmhofer W, Klein.A Cryotherapy
in discoid lupus erythematosus (DLE). Ophthalmologe 2008;105:381–3.
16