26
1 BAB 1 PENDAHULUAN Di negara berkembang, morbiditas dan mortalitas pasien dengan end stage renal disease (ESRD) masih tinggi, dengan angka mortalitas sekitar 22%. Jumlah pasien gagal ginjal yang diterapi dengan dialisis dan transplantasi diprediksi terus meningkat dari 340.000 pada tahun 1999 dan mencapai 651.000 pada 2010. Tingginya morbiditas dan mortalitas ini dapat diturunkan secara signifikan jika pasien secara dini mendapat renal replacement therapy (RRT). Selain itu, dengan meningkatnya pengetahuan tentang proses penyakit ini, pandangan baru tentang patogenesis, dan pilihan terapeutik yang baru dapat meningkatkan angka ketahanan hidup dan kualitas hidup pada pasien dengan ESRD (Wibisono dkk, 2007). Pilihan terapi yang tersedia untuk pasien gagal tergantung pada onsetnya, akut atau kronik. Pada gagal ginjal kronik atau ESRD pilihan terapi meliputi hemodialisa; dialisa peritoneal seperti continous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD), intermitten peritoneal dialysis (IPD), dan continous cyclic peritoneal dialysis (CCPD); atau transplantasi ginjal (Wibisono dkk, 2007). Jumlah pasien yang tetap hidup dengan terapi dialisis di Amerika Serikat terus meningkat dari tahun ke tahun. Di negara ini mortalitas pasien dengan dialisis mendekati 18% per tahun. Kematian ini disebabkan oleh masalah kardiovaskular dan infeksi. Lima belas persen populasi

Referat CAPD Shanty

Embed Size (px)

DESCRIPTION

refrat

Citation preview

1

BAB 1

PENDAHULUAN

Di negara berkembang, morbiditas dan mortalitas pasien dengan end stage renal

disease (ESRD) masih tinggi, dengan angka mortalitas sekitar 22%. Jumlah pasien gagal

ginjal yang diterapi dengan dialisis dan transplantasi diprediksi terus meningkat dari

340.000 pada tahun 1999 dan mencapai 651.000 pada 2010. Tingginya morbiditas dan

mortalitas ini dapat diturunkan secara signifikan jika pasien secara dini mendapat renal

replacement therapy (RRT). Selain itu, dengan meningkatnya pengetahuan tentang

proses penyakit ini, pandangan baru tentang patogenesis, dan pilihan terapeutik yang

baru dapat meningkatkan angka ketahanan hidup dan kualitas hidup pada pasien dengan

ESRD (Wibisono dkk, 2007).

Pilihan terapi yang tersedia untuk pasien gagal tergantung pada onsetnya, akut

atau kronik. Pada gagal ginjal kronik atau ESRD pilihan terapi meliputi hemodialisa;

dialisa peritoneal seperti continous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD), intermitten

peritoneal dialysis (IPD), dan continous cyclic peritoneal dialysis (CCPD); atau

transplantasi ginjal (Wibisono dkk, 2007).

Jumlah pasien yang tetap hidup dengan terapi dialisis di Amerika Serikat terus

meningkat dari tahun ke tahun. Di negara ini mortalitas pasien dengan dialisis mendekati

18% per tahun. Kematian ini disebabkan oleh masalah kardiovaskular dan infeksi. Lima

belas persen populasi dialisis di dunia menggunakan cara dialisis peritoneal. Dialisis

peritoneal merupakan suatu proses dialisis di dalam rongga perut yang bekerja sebagai

penampung cairan dialisis dan peritoneum sebagai membran semipermeabel yang

berfungsi sebagai tempat yang dilewati cairan tubuh yang berlebihan dan solut yang

berisi ureum yang akan dibuang. Dialisis peritoneal digunakan hampir 12% pada

populasi dialisis di Amerika Serikat. Di negara berkembang, populasi pasien dengan

dialisis peritoneal ini cenderung naik (Wibisono dkk, 2007).

Sejumlah mesin otomatis telah dikembangkan untuk membantu agar proses

dialisis menjadi lebih sederhana dan lebih mudah. Kemudian pada tahun 1976

diperkenalkan salah satu teknik peritoneal dialisis yaitu continous ambulatory peritoneal

dialysis (CAPD), dan langsung dapat diterima sebagai terapi alternatif untuk pasien

dengan gagal ginjal. Continuous ambulatory peritoneal dyalisis (CAPD) adalah suatu

proses dialisis dimana jantung bertindak sebagai pompa darah dan peritoneum sebagai

2

tempat dialisis yang digunakan secara terus-menerus 4-6 kali sehari selama 30 menit

(Wibisono dkk, 2007).

Angka ketahanan hidup pada pasien yang menggunakan hemodialisa

dibandingkan dengan dialisis peritoneal hampir sama. Kelebihan dialisis peritoneal

antara lain lebih fleksibel, lebih murah dan teknik yang lebih sederhana, sehingga

cenderung lebih disukai (Wibisono dkk, 2007).

Dalam pemilihan dialisis dengan cara hemodialisis ataupun peritoneum diálisis,

haruslah sesuai dengan kondisi pasien. Penting dipertimbangkan keuntungan dan

kerugian akibat tindakan yang diambil (Wibisono dkk, 2007).

3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Peritoneum

Membran peritoneum adalah membran semi-permeabel yang melapisi dinding

abdomen (peritoneum parietal) dan organ-organ abdomen (peritoneum viseral). Di dalam

rongga perut terdapat banyak prmbuluh-pembuluh darah kecil (kapiler) yang berada pada

satu sisi dari membran peritoneum dan cairan dialisis pada sisi yang lain. Rongga

peritoneum berisi + 100 ml cairan yang berfungsi untuk lubrikasi / pelicin dari membran

peritoneum. Pada orang dewasa normal, rongga peritoneum dapan mentoleransi cairan >

2 liter tanpa menimbulkan gangguan (Fresenius Medical Care, 2006).

Membran peritoneum merupakan lapisan tipis bersifat semi permeable. Luas

permukaan + 1,55m2 yang terdiri dari 2 bagian, yaitu:

Bagian yang menutupi / melapisi dinding rongga perut (parietal peritoneum), + 20%

dari total luas membran peritoneum.

Bagian yang menutup organ di dalam perut (vasceral peritoneum), + 80% dari luas

total membran peritoneum.

A. Pasokan Darah

Suplai darah peritoneum parietal berasal dari arteri di dinding abdomen. Darah ini

mengalir ke sirkulasi sistemik. Peritoneum visceral disuplai oleh darah dari arteri

mesenterika dan celiac yang mengalir ke vena porta (Fresenius Medical Care, 2006).

B. Limfatik

Limfatik subdiafragmatika bertanggung jawab atas 80% dari drainase rongga

peritoneal. Drainase tersebut kemudian diserap ke dalam sirkulasi vena melalui duktus

limfa thorak kanan dan kiri. Keseimbangan zat terlarut dan cairan dalam jaringan

interstisial diatur oleh penyerapan cairan dari rongga peritoneal. Penyerapan limfatik

pada pasien peritoneal dialisis sekitar 0,5-1,0 ml/menit. Faktor-faktor yang

mempengaruhi tingkat penyerapan adalah laju napas, postur, dan tekanan intra-

abdomen (Fresenius Medical Care, 2006).

4

Gambar 1. Peritoneum

Sumber: http://www.your-mesothelioma-resource.com/

Gambar 2. Dialisis Peritoneal

Sumber: http://www.advancedrenaleducation.com/

5

2.2 Dialisis

Dialisis adalah tindakan medis yang tugasnya dalam beberapa hal sama dengan

yang dilakukan oleh ginjal yang sehat. Dialisis diperlukan apabila ginjal tidak dapat lagi

bekerja sesuai dengan yang dibutuhkan oleh tubuh. Dialisis diperlukan apabila sudah

sampai pada tahap akhir kerusakan ginjal atau gagal ginjal terminal (End Stage Renal

Disease) dimana fungsi ginjal anda tidak lagi dapat kembali berfungsi seperti sedia kala.

Biasanya terjadi apabila kerusakan ginjal sudah mencapai 85 – 90 % (Mayo Clinic Staff,

2008).

Seperti halnya ginjal sehat, tindakan dialisis juga menjaga agar tubuh berada

dalam keseimbangan. Tindakan dialisis dilakukan untuk membuang sisa – sisa

metabolisme, dan kelebihan cairan agar tidak menumpuk di dalam tubuh, menjaga level

yang aman dari unsur – unsur kimiawi dalam tubuh seperti potasium dan sodium. Selain

itu tindakan dialisis juga untuk membantu mengkontrol tekanan darah (Mayo Clinic

Staff, 2008).

Terdapat 2 tipe tindakan dialisis yaitu:

- Hemodialisis

- Peritoneal dialisis.

2.2.1 Hemodialisis

Pada hemodialisis, sebuah ginjal buatan (dialyzer) digunakan untuk menyaring

dan membuang sisa metabolisme dan kelebihan cairan maupun unsur kimiawi lainnya

dari dalam darah. Untuk mengalirkan darah penderita ke dialyzer, diperlukan semacam

akses ke pembuluh darah yang dapat dilakukan dengan cara bedah minor di tangan

maupun paha. Biasanya hemodialisis dilakukan 2 -3 kali seminggu selama masing –

masing 4 -5 jam per tindakan. Namun beberapa petimbangan turut berkontribusi terhadap

waktu yang dibutuhkan untuk tindakan hemodialisa yaitu (Parsudi dkk, 2007):

- Berapa baik ginjal penderita bekerja

- Berapa berat kenaikan tubuh penderita diantara

dua tindakan hemodialisa

- Berapa banyak racun yang ada dalam tubuh

pasien

- Berapa besar tubuh penderita

- Tipe dialyzer yang digunakan

6

Tabel dibawah ini kelemahan dan kerugian dalam menggunakan hemodialisa:

2.2.2 Peritoneal Dialisis

Peritoneal dialisis adalah suatu proses dialisis di dalam rongga perut yang bekerja

sebagai penampung cairan dialisis, dan peritoneum sebagai membran semi permeabel

yang berfungsi sebagai tempat yang dilewati cairan tubuh yang berlebihan & solute yang

berisi racun yang akan dibuang. Dokter akan melakukan pembedahan untuk memasang

akses berupa kateter di dalam abdomen penderita. Pada saat tindakan, area abdominal

pasien akan secara perlahan diisi oleh cairan dialisat melalui kateter. Peritoneal dialisis

merupakan dialisis yang dilakukan intra-corporeal dialysis di mana jantung bertindak

sebagai pompa darah dan peritoneum sebagai dialyzer yang biasanya berlangsung 4 kali

7

sehari masing – masing selama 30 menit. Total luas permukaan peritoneum kira-kira luas

permukaan kulit dewasa dan suplai darah 60-70 mlmin (Parsudi dkk, 2007).

Dialisis peritoneal dapat berupa (Parsudi dkk, 2007):

1. Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)Metode ini umum digunakan sebanyak 4-6 pertukaran per hari. Prinsip kerjanya

dengan menghubungkan tabung dan kantong yang berisi cairan solution dengan

menggunakan prinsip gravitasi untuk mengisi dan mengeringkan rongga peritoneum.

2. Continuous Cycling Peritoneal Dialysis (CCPD)

Dalam teknik ini sebuah cylcer yang diisi kantong cairan solution yang digunakan

terhubung dengan kateter dialisis peritoneal sebelum tidur. Selama malam hari, cycler

ini melakukan 4-6 pertukaran secara otomatis. Pada siang hari tersisa 2 L larutan di

rongga peritoneal tanpa pertukaran di siang hari.

3. Automated Peritoneal Dialysis (APD).

Terdapat beberapa mesin cycler yang berbeda yang secara otomatis melakukan

pertukaran dengan volume yang dikehendaki dan juga mengukur volume ultra-filtrasi.

Mesin ini juga menghangatkan cairan solution dan dapat mengulangi arus keluar jika

volume yang dikehendaki belum pulih. Jika tidak mampu, alarm akan berbunyi dan

mesin mati.

4. Nocturnal Intermittent Peritoneal Dialysis (NIPD)

Cara ini dilakukan pada malam hari dengan sebuah cycler dengan rongga

peritoneum kosong pada siang hari.

5. Tidal Peritoneal Dialysis (TPD)

Rongga peritoneal diisi dengan cairan solution dan dalam waktu yang singkat

(misalnya 20 menit) setengah dari cairan akan dibuang dan diganti. Hal ini dilakukan

8

terus menerus sehingga rongga tidak pernah kosong. Namun metode ini sangat mahal,

dan jarang dilakukan.

2.2.2.3 Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)

CAPD adalah salah satu bentuk dialisis peritoneal kronik untuk pasien dengan

end stage renal disease (ESRD). ESRD merupakan stadium akhir dari gagal ginjal

kronik dimana pasien sudah tidak dapat lagi dipertahankan secara konservatif dan

memerlukan terapi pengganti (renal replacement therapy). Terapi pengganti dapat

berupa dialisis kronik atau transplantasi ginjal. Dialisis kronik dapat berupa hemodialisis

dan dialisis peritoneal (Parsudi dkk, 2007).

CAPD dapat dilakukan di rumah dengan

bantuan kateter tetap yang dipasang menembus

dinding abdomen. Kateter dialisis ini dipasang

melalui laparatomi terbuka atau secara operasi

endoskopik. Biasanya dipakai kateter Tenckhoff

yang merupakan kateter silikon yang lurus atau

bengkok dengan dua manses untuk fiksasi di

dinding abdomen dan melingkar pada ujungnya

(Sjamsuhidajat dkk, 2004).

Elemen penting untuk dialisis peritoneal adalah rongga peritoneal yang sehat

dengan fungsi membran peritoneal yang baik, adanya kateter pada rongga peritoneal dan

cairan dialisat beserta sistem transfernya (Munib, 2006).

2.2.2.4 Prinsip Dialisis

Cairan dialysis 2 L dimasukkan dalam rongga peritoneum melalui kateter tenchoff

dengan teknik operasi yaitu dengan cara teknik seldinger percutaneous, peritoneoscopy

dan laparotomi dibawah anestesi umum atau lokal. Cairan tersebut didiamkan untuk

waktu tertentu (6 – 8 jam) dan peritoneum bekerja sebagai membrane semi permeable

untuk mengambil sisa-sisa metabolisme dan kelebihan air dari darah. Kemudian akan

terjadi proses osmosis, difusi dan konveksi di dalam rongga peritoneum. Setelah dwell

time selesai cairan akan dikeluarkan dari rongga peritoneum melalui catheter yang sama,

9

proses ini berlangsung 3–4 kali dalam sehari selama 7 hari dalam seminggu (Munib,

2006).

Dialisis melalui proses sebagai berikut (Munib, 2006):

a. Difusi dan Osmosis

Perpindahan molekul terlarut dari larutan konsentrasi tinggi ke konsentrasi yang

lebih rendah disebut difusi. Jadi molekul seperti urea, kreatinin, vitamin B12 dan

fosfat berdifusi dari darah ke dialisat, dimana konsentrasi awal adalah nol. Faktor-

faktor yang mempengaruhi difusi adalah gradien konsentrasi antara darah dan

cairan dialisat (semakin besar gradien, semakin cepat difusi), dan luas permukaan

serta permeabilitas membran peritoneum (semakin luas dan permeabel, semakin

cepat difusi).

10

b. Ultra-filtrasi

Perpindahan molekul pelarut (air) melewati membran peritoneal yang dikendalikan

oleh gradien tekanan disebut ultra-filtrasi (UF). Tingginya konsentrasi dekstrosa

dalam cairan dialisat menyebabkan tekanan osmotik untuk ultra-filtrasi.

c. Konveksi

Molekul-molekul terlarut bergerak dalam jumlah besar dengan pelarut (air). Proses

ini disebut konveksi.

d. Net ultra-filtrasi

Perbedaan volume cairan yang dimasukkan ke dalam rongga peritoneum dengan

cairan yang dikeluarkan.

e. Penyerapan limfatik

Air (dengan zat terlarut) dalam jumlah yang signifikan juga diserap ke dalam

limfatik.

Pada dialisis peritoneal biasa dipakai kateter peritoneum untuk dipasang pada

abdomen masuk dalam kavum peritoneum, sehingga ujung kateter terletak dalam kavum

Douglasi. Setiap kali 2 liter cairan dialisat dimasukkan dalam kavum peritoneum melalui

kateter tersebut. Membran peritoneum bertindak sebagai membran dialisis yang

memisahkan antara cairan dialisat dalam kavum peritoneum dan plasma darah dalam

pembuluh darah di peritoneum. Sisa-sisa metabolisme seperti ureum, kreatinin, kalium

dan toksin lain yang dalam keadaan normal dikeluarkan melalui ginjal, pada gangguan

faal ginjal akan tertimbun dalam plasma darah. Karena kadarnya yang tinggi akan

mengalami difusi melalui membran peritoneum dan akan masuk dalam cairan dialisat

dan dari sana akan dikeluarkan dari tubuh. Sementara itu setiap waktu cairan dialisat

yang sudah dikeluarkan diganti dengan cairan dialisat baru (Parsudi dkk, 2007).

Gambar 4. Tahap Dialisis

Sumber: http://kidney.niddk.nih.gov/

11

Perpindahan cairan pada CAPD dipengaruhi :

• Kualitas membrane

• Ukuran & karakteristik larutan

• Volume dialisat.

Beberapa agen osmotik selain glukosa juga dapat digunakan, seperti; agar agar,

xylitol, sorbitol, manitol, fruktosa, dextrane, polyanion, asam

amino, gliserol dan glukosa polimer. Proses dialysis pada CAPD terjadi karena adanya

perbedaan antara tekanan osmotik dan konsentrasi zat terlarut antara cairan CAPD

dengan plasma darah dalam pembuluh kapiler. Dibawah ini komposisi cairan dialisat

(Munib, 2006).

2.2.2.5 Kateter Dialisis Peritoneal

Kateter yang digunakan untuk dialisis peritoneal terdiri dari beberapa bentuk dan

merk. Pada umumnya terdiri dari 3 bentuk yaitu :

1. Kateter yang keras dengan mandren yang ujungnya tajam dan tebal disebut

stiloenth.

2. Kateter lunak dengan ujung tumpul tanpa mandren sehingga memerlukan

trokar untuk memasukkannya ke dalam rongga peritoneum.

3. Kateter Tenckhoft.

Dengan perkembangan kateter Tenckhoff, dialisis peritoneal jangka panjang

menjadi mungkin. Kateter dialisis peritoneal terdiri dari tiga bagian, yaitu: segmen

12

eksternal, segmen subkutan (memiliki dua bagian, yang luar ditempatkan tepat di bawah

kulit bagian keluar dan yang dalam di fasia eksternal peritoneum) dan segmen intra-

abdomen dengan beberapa lubang kecil dan terbuka di ujung ke arah rongga peritoneum

(Munib, 2006).

Kateter dialisis peritoneal dapat disisipkan dengan tiga teknik, yaitu: teknik

perkutaneous Seldinger, peritoneoskopi dan laparotomi (Munib, 2006).

Gambar 5. Kateter Tenckhoff

Sumber: http://kidney.niddk.nih.gov/

Gambar 6. Perlengkapan Dialisis Peritoneal

Sumber: http://kidney.niddk.nih.gov/

2.2.2.6 Cairan Dialisis Peritoneal

Susunan cairan dialisat mengandung elektrolit dengan kadar seperti pada plasma

darah normal. Komposisi elektrolit cairan dialisat bervariasi, namun prinsipnya kurang

lebih seperti terlihat pada tabel 1. Pada umumnya cairan dialisat tidak mengandung

kalium, karena tujuannya untuk mengeluarkan kalium yang tertimbun karena

13

terganggunya fungsi ginjal. Bila dialisis peritoneal dilakukan pada pasien dengan kadar

kalium dalam batas normal, untuk mencegah terjadinya hipokalemia, dalam cairan

dialisat dapat ditambahkan kalium 3,5-4,5 mEq/L (Parsudi dkk, 2007).

Tiap 1 liter cairan dialisat mengandung: 5.650 gram NaCl, 0,294 gram CaCl2,

0,153 gram MgCl2, 4.880 gram Nalaktat dan 15.000 gram glukosa. Bila cairan dialisat

mengandung kadar glukosa >1,5%, maka disebut cairan dialisat hipertonik (2,5; 3,5;

4,25%). Berdasarkan prinsip perbedaan tekanan osmotik, maka cairan dialisat hipertonik

ini digunakan untuk mengeluarkan cairan tubuh yang berlebihan. Heparin ditambahkan

dalam cairan dialisat dengan tujuan untuk mencegah pembentukan fibrin yang

mengganggu aliran cairan, biasanya diberikan pada permulaan dialisat dengan dosis 500-

1000 U tiap 2 liter cairan (Parsudi dkk, 2007).

Berikut ini komposisi cairan dialisis (Munib, 2006):

Tabel 1. Komposisi Cairan Dialisis

Elektrolit Larutan Standar(mmol/L)

SodiumPotassiumCalcium

MagnesiumKloridaLaktat

Glukosa (g/dl)pH

1320

2.5-3.50.5-1.596-10235-40

1.5, 2.5, 3.5, 4.255.2-5.5

2.2.2.7 Tatacara Dialisis Peritoneal

Tatacara dialisis peritoneal adalah sebagai berikut (Rani, 2008):

Penjelasan kepada pasien mengenai penyakit pasien dan tindakan yang akan

dilakukan serta komplikasinya.

Pasien dibaringkan dalam posisi telentang, tangan dan kaki difiksasi. Kandung kemih

dikosongkan dengan kateterisasi urin.

Bila perlu dapat diberikan premedikasi dengan diazepam.

Giving set dipersiapkan sedemikian rupa dengan menghubungkan ujung giving set

dengan kolf cairan dialisat, dan ujung yang lain bebas karena akan dihubungkan

dengan kateter dialisis peritoneal untuk memasukkan cairan dialisat ke dalam rongga

peritoneum dan mengeluarkan cairan dan rongga peritoneum.

14

Dilakukan tindakan a dan antiseptik. Dinding abdomen antara umbilikus dan simfisis

pubis disterilkan. Pada daerah garis tengah 1/3 proksimal antara umbilikus dan

simfisis pubis dilakukan anestesi lokal.

Dengan jarum suntik yang agak besar dan panjang, dinding abdomen yang sudah

dianestesi ditusuk sampai menembus peritoneum. Lalu dimasukkan cairan dialisat

atau NaCl fisiologis 20 ml/kgBB, untuk membuat asites buatan, agar terhindar bahaya

perforasi sewaktu memasukkan trokar atau stilokateter. Pada pasien dengan asites

yang banyak tidak diperlukan asites buatan.

Kulit dinding abdomen di tempat yang sudah ditentukan diinsisi selebar ½ cm.

Melalui lubang insisi, trokar beserta mandrinnya ditusukkan ke dalam rongga

peritoneum sampai menembus peritoneum yang dapat dirasakan dengan berkurangnya

tegangan dinding abdomen secara tiba-tiba disertai keluarnya cairan asites melalui

pinggir trokar. Mandrin trokar dicabut dan kateter dialisis peritoneal dimasukkan

melalui lubang trokar, kemudian didorong sampai mencapai daerah rongga pelvis atau

kavum Douglas. Kemudian trokar dicabut.

Ujung kateter dialisis peritoneal yang berada di luar rongga abdomen dihubungkan

dengan giving set yang sudah dipersiapkan sebelumnya dan dialisis siap dilakukan.

Dialisis dilakukan dengan memasukkan cairan dialisat 40 mI/kgBB, membiarkannya

di dalam rongga peritoneum, kemudian mengeluarkannya. Cairan dialisat sebaiknya

dihangatkan untuk mengurangi rasa sakit dan meningkatkan efektivitas dialisis.

Untuk menghindari rembesan cairan keluar melalui pinggir lubang tempat kateter,

dilakukan penjahitan kulit pada luka insisi dengan mengelilingi kateter.

Kemudian kateter difiksasi dengan kasa steril dan diplester ke dinding abdomen.

Pada permulaan sebaiknya cairan dialisat segera dikeluarkan setelah masuk ke dalam

rongga peritoreum untuk menguji kelancaran keluar masuknya cairan dialisat.

Setiap siklus memerlukan waktu kira-kira I jam, terdiri dari waktu memasukkan

cairan dialisat kira-kira 15 menit, cairan dialisat dibiarkan di dalam rongga

peritoneum selama 30 menit, dan kemudian dikeluarkan selama kira-kira 15 menit.

Pada beberapa siklus pertama sebaiknya dimasukkan heparin ke dalam kolf cairan

dialisat dengan dosis 1.000 unit per liter untuk mencegah pembentukan fibrin yang

dapat menyumbat kateter.

Bila sejak semula kadar kalium darah normal, harus ditambahkan kalium ke dalam

cairan dialisat sejak siklus pertama dengan dosis 4 mEq per liter. Bila terdapat

15

hiperkalemia, maka pada beberapa siklus pertama tidak ditambahkan kalium ke dalam

cairan dialisat sampai kalium darah normal.

Untuk mencegah peritonitis, dapat diberikan antibiotik ampisilin 230 mg atau

gentamisin 5 mg per liter ke dalam cairan dialisat setiap 6 jam.

Perawatan tempat lubang keluarnya kateter Tenckhoff dilakukan setiap hari untuk

mencegah infeksi (Rani, 2008).

2.2.2.8 Indikasi Dialisis Peritoneal

Dialisis peritoneal dapat digunakan pada pasien (Parsudi dkk, 2007):

1. Gagal ginjal akut (dialisis peritoneal akut): sebagai pencegahan maupun atas indikasi

klinis (keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata) atau indikasi biokomiawi

(ureum darah >200 mg%, kalium <6 mEq/L, HCO3 <10-15 mEq/L, pH <7,1).

2. Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit atau asam basa.

3. Intoksikasi obat atau bahan lain.

4. Gagal ginjal kronik (dialisis peritoneal kronik).

5. Keadaan klinis lain dimana dialisis peritoneal telah terbukti manfaatnya.

2.2.2.9 Kontraindikasi Dialisis Peritoneal

Kontraindikasi dialisis peritoneal sebagai berikut (Parsudi dkk, 2007):

1. Kontraindikasi absolut: tidak ada.

2. Kontraindikasi relatif: keadaan-keadaan yang kemungkinan secara teknis akan

mengalami kesulitan atau memudahkan terjadinya komplikasi, seperti obesitas,

perlengketan peritoneum, peritonitis lokal, operasi atau trauma abdomen yang baru

terjadi, kelainan intraabdomen yang belum diketahui penyebabnya, luka bakar

dinding abdomen yang cukup luas terutama bila disertai infeksi atau perawatan yang

tidak adekuat.

2.2.2.10 Keuntungan Dialisis Peritoneal

Keuntungan dialisis peritoneal antara lain (Munib, 2006):

Dilaksanakan oleh pasien di rumah sendiri.

Transportasi ke rumah sakit hanya dibutuhkan untuk kunjungan darurat.

Akses mudah untuk dilakukan, tidak membutuhkan mesin, teknik sederhana.

Pembatasan makanan dan cairan sedikit, penurunan insiden anemia dan kontrol yang

lebih baik untuk hipertensi.

16

Menghindari tusukan jarum dan heparinisasi sistemik. Kemungkinan terkena hepatitis

B dan C lebih kecil.

Infeksi pada tempat keluar kateter jarang menjadi serius. Peritonitis biasanya sembuh

setelah kateter dilepas dan jarang fatal.

Lebih aman untuk pasien dengan gangguan fungsi jantung dan iskemik jantung berat.

2.2.2.11 Komplikasi Dialisis Peritoneal

Komplikasi dialisis peritoneal dapat berupa komplikasi mekanis, metabolik dan

radang (Parsudi dkk, 2007).

a. Komplikasi mekanis

Perforasi organ abdomen (usus, aorta, kandung kemih atau hati).

Perdarahan yang terkadang dapat menyumbat kateter.

Gangguan drainase (aliran cairan dialisat).

Bocornya cairan dialisat.

Perasaan tidak enak dan sakit dalam abdomen.

b. Komplikasi metabolik

Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa.

Gangguan metabolisme karbohidrat terutama pada diabetes mellitus berupa

hiperglikemi tak terkendali maupun hipoglikemi post dialisis.

Kehilangn protein yang tebuang melalui cairan dialisat.

Sindrom disequilibrium. Sindrom ini terdiri atas kumpulan gejala berupa sakit

kepala, muntah, kejang, disorientasi, hipertensi, kenaikan tekanan cairan

serebrospinal, koma dan dapat menyebabkan kematian. Komplikasi ini terjadi

pada pasien dengan kadar ureum tinggi. Patogenesisnya belum diketahui

secara pasti. Salah satu teori yang banyak dianut adalah karena lambatnya

koreksi/penurunan ureum dalam otak dan cairan sererospinal bila

dibandingkan dengan darah. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya perbedaan

tekanan osmotik dengan akibat edema otak.

c. Komplikasi radang

Infeksi saluran pernapasan (pneumonia, bronkitis purulenta)

Sepsis

Peritonitis

Saat ini tingkat infeksi telah menurun seiring dengan perbaikan teknik,

pendidikan pasien dan pemberian antibiotik. Peritonitis yang dapat terjadi

17

dalam 12-24 bulan. Tanda penting untuk diagnosis klinis peritonitis (Munib,

2006):

1. Adanya tanda dan gejala klinis inflamasi peritoneal, seperti nyeri, rasa

tidak nyaman, demam, mual/muntah dan diare atau sembelit.

2. Cairan keruh (WBC >100 sel/mm3), tidak terdapat ultra-filtrasi, atau cairan

berdarah.

3. Kultur atau pewarnaan gram positif

Berikut organisme patogen penyebab peritonitis pada pasien dialisis

peritoneal dan frekuensinya (Munib, 2006).

Tabel 2. Organisme Patogen Penyebab Peritonitis pada Pasien Dialisis Peritoneal dan

Frekuensinya

Organisme Frekuensi (%)

Bakteri Gram Positif

Staphylococcus epidermis

Staphylococcus aureus

Streptococcus viridians

Streptococcus fecalis

80-90

30-40

5-10

5-10

Bakteri Gram Negatif

Escherichia coli

Klebsiella/Enterobacter spp.

Pseudomonas spp.

Acinetobacter spp

Mycobacterium spp.

Lain-lain

5-10

5

<10

<5

<5

<5

Fungi

Candida spp. dan fungi lain 1-10

Kultur Negatif 5-20

Antibiotik tetap menjadi terapi utama, yang ditambahkan ke dalam larutan dialisis

(Munib, 2006).

18

BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dialisis peritoneal merupakan tindakan dialisis yang mengambil alih sebagian

fungsi ginjal dengan memasukkan cairan dialisat ke dalam rongga peritoneum, sehingga

terjadi pertukaran cairan dan zat terlarut antara cairan dialisat di dalam rongga

peritoneum dengan sirkulasi darah melalui membran peritoneum. Di dalam rongga perut

cairan tersebut akan mengalami proses difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi. Setelah beberapa

6-9 jam disimpan, cairan bersama dengan sisa hasil metabolisme tubuh akan dibuang

melalui kateter tersebut ke dalam kantong pembuangan (Mayo Clinic Staff, 2008).

Continuos Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) adalah salah satu bentuk

dialisis peritoneal kronik untuk pasien dengan end stage renal disease (Parsudi dkk,

2007). CAPD dapat dilakukan di rumah dengan bantuan kateter tetap yang dipasang

menembus dinding abdomen (Sjamsuhidajat dkk, 2004).

Kelebihan dialisis peritoneal antara lain lebih fleksibel, lebih murah dan teknik

yang lebih sederhana (Wibisono dkk, 2007). Namun, dialisis peritoneum juga memiliki

kelemahan yang dapat merepotkan penderita. Komplikasi yang dapat timbul yaitu berupa

peritonitis yang sering terjadi pada pengguna dialisis peritoneum, serta komplikasi-

komplikasi lainnya (Parsudi dkk, 2007).