Upload
riciso
View
83
Download
8
Embed Size (px)
DESCRIPTION
rantai pasok manajemen
Citation preview
Makalah Seminar Hasil Penelitian T.A. 2006
ANALISIS KELEMBAGAAN KEMITRAAN RANTAI PASOK KOMODITAS HORTIKULTURA
Oleh:
SaptanaHenny MayrowaniAdang Agustian
Sunarsih
PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIANBADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
DEPARTEMEN PERTANIAN2006
ANALISIS KELEMBAGAAN KEMITRAAN RANTAI PASOK KOMODITAS HORTIKULTURA
Oleh : Saptana, Adang Agustian, Sunarsih dan Henny Mayrowani
Abstrak
Pesatnya perkembangan pasar modern, disamping pasar tradisional yang sudah ada menciptakan peluang dan sekaligus tantangan bagi para pelaku agribisnis hortikultura, sehingga perlu dilakukan pendekatan baru untuk meresponnya. Permasalahan pokok pada aspek pemasaran adalah panjangnya rantai pemasaran, margin tataniaga yang tidak terdistribusi secara adil, munculnya margin ganda, struktur pasar timpang, serta lemahnya koordinasi antar pelaku tataniaga. Kondisi tersebut menyebabkan keterkaitan supply chain management (SCM) antar pelaku dalam rantai pasok produk hortikultura rapuh. Penelitian ini mencakup dua kegiatan, yaitu (1) Analisis Kinerja Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok Komoditas Hortikultura; dan (2) Merumuskan Alternatif Kebijakan Pengembangan Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok Komoditas Hortikultura. Penelitian dilakukan di tiga provinsi, yaitu Bali, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Komoditas yang akan dikaji mencakup komoditas melon, semangka, serta kentang. Dari hasil kajian didapatkan bahwa kebijakan pengembangan hortikultura cukup mendukung pengembangan rantai pasok, namun belum cukup terfokus. Pola-pola kelembagaan rantai pasok yang dominan adalah pola dagang umum, contract farming dan STA. Dari pola-pola yang ada masih terdapat beberapa kendala sehingga pada kebanyakan kasus kemitraan ini tidak berkelanjutan. Bebeberapa syarat membangun kelembagaan kemitraan rantai pasok komoditas hortikultura secara terpadu dan berkelanjutan, adalah: (1) Membangun serta memperkuat kemitraan rantai pasok komoditas hortikultura melalui proses sosial yang matang; (2) Pemahaman Terhadap Jaringan Agribisnis Hortikultura; (3) Pentingnya perencanaan dan pengaturan produksi di tingkat kelompok tani; (4) Pentingnya program pengembangan irigasi spesifik komoditas hortikultura; (5) Pentingnya manajemen yang bersifat transparan; (6) Adanya komitmen yang tinggi antara pihak yang bermitra, sehingga terbangun saling percaya-mempercayai; (7) Pentingnya penyediaan infrastruktur penanganan pascapanen dan pemasaran hasil yang memadai terutama di sentra produksi; (8) Adanya pendampingan dan pembinaan oleh PPL Ahli di bidang komoditas hortikultura (kentang, melon dan semangka); (9) Konsolidasi kelembagaan kelompok tani; (10) Membangun jiwa dan semangat kewirausahaan; (11) Usaha-usaha stabilisasi harga; (12) Pengembangan sistem informasi yang handal; (13) Meletakkan integrasi-koordinasi vertikal secara tepat; serta (14) Membangun Kelembagaan Kemitraan Usaha Terpadu. Implementasi Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok Komoditas Hortikultura Terpadu, sebagai model alternatif, adalah sebagai berikut : (1) petani melakukan konsolidasi dalam wadah kelompok tani; (2) kelompok tani-kelompok tani mandiri dapat ditransformasikan dalam kelembagaan formal berbadan hukum; (3) kelompok tani mandiri; (4) kelembagaan-kelembagaan yang telah tergabung tersebut melakukan konsolidasi manajemen usaha pada hamparan lahan yang memenuhi skala usaha, tergantung jenis komoditas (10-25 hektar); (5) pilihan komoditas di sesuaikan dengan potensi wilayah dan permintaan pasarnya; (6) penerapan manajemen korporasi dalam menjalankan sistem usaha agribisnis; (7) pemilihan perusahaan mitra yang memiliki komitmen tinggi; dan (8) Adanya kelembagaan Pusat Pelayanan dan Konsultasi Agribisnis (PPA) sebagai mediator dan fasilitator. Kata kunci : kelembagaan kemitraan, rantai pasok, hortikultura, kebijakan.
I. PENDAHULUAN
Globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan yang ditandai dengan diberlakukannya
perdagangan bebas di tingkat ASEAN Free Trade Area (AFTA) sejak Januari 2003, serta
implementasi komitmen di World Trade Organization (WTO), dan Asia Pasific Economic Cooperation
(APEC) menyebabkan terjadinya peningkatan perdagangan produk pertanian (hortikultura),
penetrasi pasar hingga pelosok pedesaan, adanya kecenderungan penurunan harga komoditas
pertanian secara bertahap karena persaingan yang makin kompetitif serta semakin terintegrasinya
pasar komoditas.
Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
2
Pesatnya pertumbuhan pasar modern di samping pasar-pasar tradisional yang sudah ada
menyebabkan Produk hortikultura yang dihasilkan petani menghadapi masalah persaingan yang
makin kompetitif dengan makin luasnya jaringan rantai pasok, baik pasar domestik maupun ekspor.
Fenomena membanjirnya produk hortikultura impor, baik di pasar modern maupun di pasar-pasar
tradisional, sampai di pelosok, perlu mendapat perhatian serius.
Saat ini kebijakan pengembangan komoditas hortikultura di Indonesia telah berhasil
mendorong terjadinya peningkatan produksi, namun demikian peningkatan itu ternyata belum searah
dengan dinamika permintaan pasar dan perubahan preferensi konsumen. Petani sebagai produsen
harus memikirkan hal menyangkut kualitas, ukuran, tampilan, dan sebagainya sesuai dengan
tuntutan konsumen. Hal ini menunjukkan bahwa sudah selayaknya dilakukan rerorientasi kebijakan
dari pendekatan pengembangan komoditas ke arah pengembangan produk hortikultura.
Dari sisi pasar, secara empiris diperoleh kenyataan bahwa struktur pasar hasil pertanian
terutama komoditas hortikultura cenderung oligopsonistik, sehingga petani selaku produsen selalu
memiliki posisi tawar yang relatif lebih lemah. Lahirnya konsep kerjasama atau kemitraan antara
perusahaan pertanian dengan pertanian rakyat didasarkan atas dua argumen (Sinaga, 1987), yaitu :
(1) adanya perbedaan dalam penguasaan sumberdaya (lahan dan kapital) antara masyarakat
industrial di perkotaan (pengusaha) dengan masyarakat pertanian di pedesaan (petani), dan (2)
adanya perbedaan sifat hubungan biaya per satuan output dengan skala usaha pada masing-masing
subsistem agribisnis, di mana dalam subsistem usahatani bersifat tetap (constant cost to scale),
sementara itu dalam subsistem pemasaran, pengolahan dan pengadaan saprodi bersifat menurun
(decreasing cost to scale). Menurut Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 (Deptan, 1995), kemitraan
adalah kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau besar dengan memperhatikan
prinsip saling membutuhkan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Perubahan
lingkungan strategis seperti liberalisasi perdagangan, pesatnya pertumbuhan pasar modern di
samping pasar tradisional, serta dinamika permintaan pasar dan perubahan preferensi konsumen,
serta fenomena segmentasi pasar menuntut adanya perubahan serta penyesuaian beroperasinya
kelembagaan kemitraan rantai pasok (supply chain management) komoditas hortikultura.
Kebijakan yang terkait dengan kelembagaan kemitraan usaha sebenarnya juga sudah ada,
namun kenyataan menunjukkan bahwa kelembagaan kemitraan yang terbangun belum sinergi,
bahkan terjadinya hubungan asimetris antar pelaku, dan menempatkan petani pada sisi terlemah
diantara berbagai pelaku lain. Peluang yang terbuka dengan tumbuhnya pasar modern maupun
tradisional, belum mampu dimanfaatkan oleh para pelaku agribisnis, khususnya petani yang memiliki
skala usaha kecil dan menengah. Selain karena keterbatasan yang ada ditingkat petani maupun
kendala struktural yang ada, hal itu terutama disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang
karakteristik pasar modern dan tradisional.
Secara empiris prinsip-prinsip SCM belum diterapkan dengan baik oleh pelaku usaha, yang
antara lain direfleksikan oleh : (1) Belum sepenuhnya berorientasi pada pemenuhan preferensi
Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
3
konsumen atau kepuasan pelanggan; (2) Sistem pemasaran belum efektif dan efisien; (3)
Terbatasnya dukungan sarana dan prasarana produksi dan distribusi produk hortikultura; (4)
Lemahnya sistem informasi managemen dan tidak transparan.
Melalui penelitian ini diharapkan memberikan manfaat dan dampak positip terhadap kinerja
pengembangan agribisnis komoditas hortikultura, baik secara teknis maupun ekonomis terhadap
pelaku agribisnis, produk hortikultura yang dihasilkan, serta terhadap kinerja kelembagaan kemitraan
rantai pasok. Di samping itu, penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan dalam pemecahan
permasalahan yang dihadapi petani dan pelaku agribisnis lain baik dari aspek teknis, ekonomi,
maupun sosial-kelembagaan.
1.4. Tujuan dan Keluaran
Berdasarkan uraian tersebut, maka kajian yang berjudul ”Kajian Kelembagaan Kemitraan
Rantai Pasok Komoditas Hortikultura’’, sangat relevan untuk dilakukan dengan rincian kegiatan : (1)
Analisis Kinerja Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok Komoditas Hortikultura ; dan (2) Alternatif
Kebijakan Pengembangan Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok Hortikultura.
Tujuan untuk Kegiatan Analisis Kinerja Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasokan
Komoditas Hortikultura :
1. Evaluasi kinerja kebijakan pengembangan agribisnis hortikultura terkait dengan kelembagaan
kemitraan rantai pasok;
2. Melakukan identifikasi pola-pola kelembagaan kemitraan rantai pasok komoditas hortikultura
pada pasar modern dan tradisional;
3. Melakukan identifikasi tentang karakteristik dan managemen rantai pasok produk hortikultura
pada pasar modern dan tradisional;
4. Melakukan analisis struktur dan dinamika pembentukan harga kelembagaan rantai pasok pada
pasar modern dan tradisional.
Tujuan untuk Kegiatan Alternatif Kebijakan Pengembangan Kelembagaan Kemitraan
Rantai Pasok Hortikultura :
1. Melakukan analisis peran dan pola interaksi antar pelaku dalam kelembagaan kemitraan rantai
pasok produk hortikultura.
2. Merumuskan syarat-syarat keberhasilan dalam mengembangkan kelembagaan kemitraan rantai
pasok produk hortikultura;
3. Alternatif kebijakan kelembagaan kemitraan rantai pasok produk hortikultura yang efektif dan
efisien secara partisipatif.
Keluaran Untuk Kegiatan Analisis Kinerja Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok
Komoditas Hortikultura :
1. Kinerja dan prospek kebijakan pengembangan agribisnis produk hortikultura;
2. Teridentifikasinya pola-pola kelembagaan kemitraan rantai pasok produk hortikultura;Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
4
3. Kinerja sistem managemen kelembagaan kemitraan rantai pasok produk hortikultura;
4. Kinerja sistem pemasaran pada berbagai kelembagaan kemitraan pasok produk hortikultura.
Keluaran Pengembangan Alternatif Kebijakan Pengembangan Kelembagaan Kemitraan
Rantai Pasok Hortikultura :
1. Mekanisme sistem koordinasi dan pola interaksi antar kelembagaan dalam kelembagaan
kemitraan rantai pasok produk hortikultura;
2. Rumusan syarat-syarat mengembangkan kelembagaan kemitraan rantai pasok yang efektif dan
efisien;
3. Alternatif strategi kebijakan pengembangan kelembagaan kemitraan rantai pasok yang bersifat
spesifik wilayah dan komoditas.
II. METODE PENELITIAN
2.1. Metode Pengumpulan Data dan Perencanaan Sampling
Sesuai dengan substansi dan tujuan yang ingin dicapai, maka penelitian ini akan dilakukan
menurut rancangan penelitian kuantitatif dan kualitatif, dengan penekanan pada aspek kualitatif.
Data yang dibutuhkan mencakup data kuantitatif dan kualitatif. Pengumpulan data kuantatif
dilakukan melalui wawancara terstruktur, sedangkan data kualitatif dikumpulkan melalui strategi studi
kasus dengan multimetode : wawancara mendalam, pengamatan langsung, dan dilengkapi dengan
informasi dari dokumen tertulis yang relevan dengan tujuan penelitian ini.
Penelitian akan dilakukan di tiga provinsi yaitu Bali, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.
Sedangkan komoditas yang dipilih adalah : kentang (Jawa Barat)., Melon dan Semangka (Jawa
'I'engah dan Bali). Pemilihan lokasi dan komoditas mempertimbangkan adanya bentuk-bentuk
kelcmbagaan rantai pasok yang beragam pasar tradisional, pasar modern dan konsumen institusi.
Komoditas hortikultura terpilih di dasarkan beberapa pentimbangan sebagai berikut : (1) Komoditas
komersial bernilai ekonomi tinggi (high value commodity); (2) merupakan komoditas hortikultura
semusim yang telah berkembang dan atau prospektif; serta (3 ) memiliki tujuan atau segmen pasar
yang bersifat spesifik.
Subyek penelitian/responden mencakup pelaku pada (1) susbsistem agribisnis hulu
(pemasok/pengusaha benih); (2) subsistem budidaya (petani/kelompok tani); (3) subsistem
agribisnis hilir yakni industri pengolahan baik menghasilkan produk antara maupun produk akhir
(perusahaan mitra); (4) subsistem pemasaran (pedagang output berbagai tingkatan, pelaku di pasar
tradisional maupun modern) ; dan (5) subsistem penunjang (instansi terkait, lembaga
penelitian/perguruan tinggi, informan kunci lainnya).
2.2. Jenis dan Analisis Data
Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
5
2.2.1. Jenis dan Sumber Data
Sumber data dapat dikelompokkan menjadi sumber data primer dan sumber data
sekunder. Data primer dikumpulkan dengan menggunakan prosedur pengambilan contoh (sampling)
dalam suatu survey penelitian. Dalam penelitian ini selain dikumpulkan dengan metode survey, juga
dengan metode semi partisipatif untuk menangkap informasi kualitatif secara lebih mendalam
terutama yang berkaitan dengan kelembagaan kemitraan rantai pasok komoditas hortikultura.
Sumber data sekunder adalah data yang sudah dipublikasikan dan dikumpulkan untuk “tujuan yang
lain” daripada tujuan penelitian yang sedang dilakukan.
2.2.2. Analisis Data
Data kuantitattif terkait dengan aspek supply chain management (SCM) akan dianalisis
dengan menggunakan alat analisis statistik dan ekonometrik, sedangkan data kualitatif menyangkut
aspek kebijakan dan kelembagaan akan dianalisis secara deskriptif. Alur kelembagaan rantai pasok,
ditelusuri pada seluruh pelaku rantai pasok mulai dari petani produsen hingga berbagai tujuan pasar.
Penelitian ini merupakan kajian terhadap kelembagaan kemitraan rantai pasok sehingga
analisis yang digunakan adalah analisis kelembagaan dan analisis pemasaran pada setiap mata
rantai pasok komoditas hortikultura yang diteliti dilakukan dengan studi kasus pada berbagai
kelembagaan kemitraan rantai pasok komoditas hortikultura terpilih dengan fokus kajian untuk tujuan
pasar modern dan tradisional. Untuk menjawab beberapa tujuan pada kegiatan pertama akan
digunakan analisis kebijakan, kelembagaan dan managemen, serta analisis pemasaran. Sementara
itu, untuk mejawab tujuan kedua akan digunakan analisis kelembagaan serta hasil sintesa dari
keseluruhan penelitian.
III. HASIL PENELITIAN
3.1. Kinerja Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasokan Komoditas Hortikultura
III.1.1. Kinerja kebijakan pengembangan agribisnis hortikultura terkait dengan kelembagaan kemitraan rantai pasok.
Kebijakan secara spesifik dan langsung pada komoditas hortikultura dalam pemacuan
produksi mulai mendapat porsi perhatian yang terfokus mulai tahun 2001. Kebijakan pengembangan
produksi hortikultura diarahkan pada peningkatan produksi, produktifitas dan mutu yang diperoleh
melalui pengelolaan usahatani yang efisien untuk menghasilkan komoditas hortikultura yang berdaya
saing sesuai dengan permintaan pasar. Strategi yang ditempuh dalam pengembangan hortikultura
adalah: (1) Menetapkan komoditas unggulan; (2) Membuat pewilayahan komoditas yang mengacu
pada rencana rara ruang masing-masing daerah; (3) Mengembangkan kemitraan antara petani dan
pengusaha; (4) Memberdayakan kelompok tani; (5) Meningkatkan penerapan teknologi rekomendasi Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
6
dan manajemen usahatani efisien; dan (6) Memberdayakan sumberdaya manusia di bidang teknis
dan manajemen usahatani.
Atas dasar acuan dari strategi tersebut, maka terdapat tiga pola pengembangan yang
ditempuh, yaitu: (1) Meningkatkan mutu intensifikasi di daerah-daerah sentra produksi hortikutura;
(2) Memperluas areal tanam melalui penumbuhan daerah pengembangan produksi baru; dan (3)
Meningkatkan indeks pertanaman dari 200 persen menjadi 300 persen setahun dengan jenis
tanaman yang berbeda, khususnya sayuran dan buah semusim.
Terdapat tiga program pengembangan yang ditempuh, yaitu: (1) Program Ketahanan
Pangan yang bertujuan agar masyarakat mampu memperoleh dan mengkonsumsi berbagai produk
pangan termasuk hortikultura sepanjang tahun dengan harga terjangkau melalui peningkatan
produksi, produktivitas, dan pendapatan; (2) Program Pengembangan Agribisnis yang bertujuan
meningkatkan pendapatan petani melalui peningkatan daya saing baik di pasar domestik maupun
ekspor; dan (3) Program Rintisan Korporasi melalui pembinaan kerjasama ekonomi dalam kelompok
tani melalui konsolidasi manajemen usahatani dalam skala efisien dan manajemen profesional.
Disisi lain, bahwa dalam pengembangan agribisnis khususnya yang menyangkut
pemasaran produk hortikultura diperlukan strategi dan upaya-upaya peningkatan pemasaran.
Keberhasilan pemasaran komoditas hortikultura tergantung dari aspek produk, harga, distribusi dan
promosi (Ditjen BP2HP, 2004).
Aspek produk antara lain dipengaruhi oleh volume, kualitas, kontinuitas pasokan, serta
keamanan produk. Aspek harga antara lain dipengaruhi oleh perbandingan antara permintaan dan
persediaan, efisiensi proses produksi dan struktur pasar. Aspek distribusi dan promosi, dimana
aspek distribusi akan berpengaruh terhadap ketepatan pengiriman, mutu produk, serta memperluas
pangsa pasarnya, sedangkan promosi dimaksudkan untuk memperkanalkan produk kepada
masyarakat secara luas serta menciptakan image.
Terkait dengan kebijakan pemasaran yang telah dilakukan Departemen Pertanian yang
terealisasikan dalam bentuk program dan kegiatan, antara lain: (1) Pengembangan dan Penguatan
Pasar Dalam Negeri; (2) Pengembangan Pasar Internasional; (3) Pengembangan Manajemen
Informasi dan Jaringan Pasar; (4) Pengembangan Sistem Distribusi Hasil Hortikultura; dan (5)
Pengembangan Jaminan Mutu.
Pengembangan pemasaran dalam negeri (domestik) diarahkan bagi terciptanya
mekanisme pasar yang transparan dan berkeadilan, sistem pemasaran yang efisien, serta
meningkatnya pangsa produk lokal di pasar domestik yang terefleksi dari peningkatan konsumsi
terhadap produk hortikultura pertanian Indonesia. Ruang lingkup kebijakan operasional
pengembangan pasar domestik hasil pertanian, meliputi (http://agribisnis.deptan.go.id, 2005): (1)
Menciptakan harga yang wajar; (2) Diversifikasi produk atau pengembangan produk baru dan
pengembangan hasil-hasil olahan; (3) Penciptaan peraturan atau iklim usaha yang kondusif; (4))
Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
7
Pengembangan asosiasi dan koperasi pemasaran serta kelembagaan pemasaran lainnya; dan (5)
Peningkatan efisiensi dan efektifitas pemasaran
Adapun program atau faktor yang menunjang pemasaran meliputi kegiatan: (1) Promosi; (2)
Pembangunan infrastruktur pemasaran, termasuk dalam kegiatan ini adalah pembangunan Terminal
Agribisnis (TA) dan Sub-Terminal Agribisnis (STA), pengembangan jaringan informasi pasar dan
inteligensi pemasaran; (3) Pengembangan produk khas dengan market nice tertentu (produk
pertanian organik dan khas daerah tertentu); (4) Pengembangan perdagangan antar pulau; dan (5)
Pengembangan sistem penyidikan dan informasi pasar (market intelligent and market information)
Sementara itu, terkait dengan perdagangan internasional komoditas hortikultura maka sejak
Januari 1995, Indonesia sebagai salah satu negara berkembang dan sebagai anggota WTO telah
menjalankan reformasi kebijakan pertanian dan perdagangan dengan mengacu kepada Perjanjian
Pertanian (Agreement on Agricultural) WTO. Semua bentuk NTB (Non Tariff Barrier) diubah ke
dalam TB (Tariff Barrier). Semua subsidi yang mendistorsi pasar dikurangi secara bertahap sesuai
dengan komitmen. (Ditjen BP2HP, 2003). Maka paling tidak terdapat 6 tantangan utama, yaitu : (1)
Dalam memenuhi persyaratan mutu yang diberlakukan oleh negara-negara maju seperti Jepang,
USA, Uni Eropa, persyaratan itu dikemas dalam suatu Sanitary and Phytosanitary (SPS) Measure,
ketentuan SPS di negara maju seringkali lebih ketat dari peraturan internasional yang menyangkut
standar produk; (2) Antisipasi perubahan pasar, baik domestik maupun ekspor, pentingnya market
intelegence; (3) Lemahnya pengetahuan tentang sistem distribusi di pasar tujuan ekspor dan
kurangnya network pemasaran di luar negeri; (4) Lemahnya pengembangan produk (product
development); (5) Lemahnya promosi produk hortikultura di negara-negara tujuan; (6) Suplai produk
yang tidak kontinu.
Sebelum tahun 1996, pelaksanaan ekspor komoditas hortikultura harus seijin Kantor
Wilayah Departemen Perindustrian dan Perdagangan dengan persyaratan harus mengisi dokumen
(PEB atau Pemberitahuan Ekspor Barang dan SPM atau Surat Pernyataan Mutu) di Kanwil
Perindustrian dan Perdagangan setempat. Mata rantai perdagangan pertanian di Indonesia sangat
rumit, sehingga untuk membawa produk hortikultura dari satu tempat (pedagang grosir) ke tempat
lain (retailer) mempunyai dampak biaya yang cukup tinggi, yang pada gilirannya konsumen akan
memperoleh harga yang tinggi. Selain itu, adanya UU ”otonomi daerah” memicu Pemda setempat
untuk mengeluarkan Perda yang memberatkan para pedagang dengan adanya retribusi yang
dikeluarkan setiap Propinsi. Upaya yang menanamkan kecintaan terhadap produk hortikultura
domestik perlu dilakukan secara konsekuen dan berkelanjutan, sehingga dapat mendukung
peningkatan produksi.
3.1.2. Pola, Peran, dan Pola Interaksi Dalam Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok Komoditas Hortikultura Pada Pasar Modern dan Tradisional
Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
8
Kelembagaan kemitraan rantai pasok komoditas hortikultura merupakan kerjasama antara
usaha kecil (termasuk petani) dengan usaha menengah atau besar dalam jaringan rantai pasok yang
diserta pembinaan dan pengembangan dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling
memperkuat, dan saling menguntungkan. Beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam kelembagaan
kemitraan rantai pasok komoditas hortikultura adalah untuk meningkatkan pendapatan,
kesinambungan usaha, meningkatkan kualitas sumberdaya kelompok atau petani mitra, peningkatan
skala usaha, menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kelompok mitra.
Kemitraan merupakan interdependensi antara dua belah pihak, di mana masing-masing
mengharapkan akan memperoleh keuntungan dengan dilakukannya hubungan kemitraan tersebut.
Beberapa pola kemitraan usaha (partnership) pada komoditas sayuran :(1) Pola Kemitraan Dadang
Umum yang dijumpai pada seluruh komoditas hortikultura, pada pola ini terjadinya kontrak
kerjasama biasanya terjadi pada tingkat supplier (midle man) dengan super market, restauran dan
hotel, juga dengan pedagang besar di tujuan-tujuan pasar; (2) Pola kemitraan Contrak Farming
Pembinaan dan Kredit Bibit antara Perusahaan Indofood Fritolay Makmur dengan Petani atau
Kelompok Tani untuk komoditas kentang jenis atlantik kerjasama ini melibatkan sekitar 250 orang
petani; dan (3) Pola kemitraan rantai pasok dalam kerangka pengembangan STA dan Pasar lelang;
(4) Pola Kemitraan Kelompok Penangkar Bibit Kentang dengan Petani; (5) Pola Kemitraan
Petani/Kelompok Tani dengan Pedagang Mitra; serta (6) Pola Kemitraan Kelompok Tani dengan
Perusahaan Pengolahan.
3.1.2.1. Pola, Peran dan Pola Interaksi Kemitraan Rantai Pasok Petani dengan , Pedagang dan Kelompok Tani.
Pola kemitraan rantai pasok Petani dengan pedagang , baik pedagang mitra maupun
pedagang lainnya yang memberikan bantuan modal serta kelompok tani yang melakukan
pemasaran bersama diilustrasikan pada Gambar 1.
Petani menjalin kemitraan dengan pedagang output dengan mekanisme dimana petani
memperoleh bantuan modal usahatani dari pedagang output di awal kegiatan usahataninya, dan
selanjutnya akan dibayar saat panen dan menjual produk ke pedagang output tersebut dengan
tingkat harga jual yang berlaku saat transaksi tersebut.
Managemen rantai pasok (supply chain management) pada umumnya mengikuti pola :
Petani – pedagang pengepul – Bandar – Pasar Induk. Bentuk kemitraan usaha ini ditemui pada
komoditas kentang.
Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
9
Kelompok, Petani
Bebas dan
Petani Mitra
Pedagang Pengepul/Pdg Besar/Kel-tan
Sentra Produksi
Armada Ekspedisi
Milik Pdg/UD/S
ewa
Pasar Induk
Pasar Lokal
Gambar 1. Pola Kemitraan Rantai Pasok Petani dengan Pola Dagang Umum, Pedagang Mitra, PedagangPengepul/Besar dan Kelompok tani, Tahun 2006
Contoh kasus kemitraan petani melon dan semangka dengan UD Mekar Buah sebagai
pedagang mitra, yang juga merupakan Ketua Kelompok tani, ditemui di Kebumen, Jawa Tengah,
yang sudah berlangsung sejak 1985 hingga kini. Dimana Pedagang Mitra mempunyai kewajiban
antara lain: (1) menyediakan bibit berkualitas sesuai permintaan; (2) menyediakan input lainnya
sesuai kebutuhan petani mitra; (3) menyediakan modal kerja; (4) menampung dan memasarkan
hasil. Sementara itu, petani yang berjumlah kurang lebih 400 orang berkewajiban : (1) melakukan
budidaya secara baik sesuai dengan varietas yang diminta pasar; (2) melaporkan jadwal kegiatan
terutama waktu tanam dan waktu panen; dan (3) menjual seluruh hasil produksinya ke Pedagang
Mitra. Dalam kerjasama ini tidak dilakukan kontrak harga, namun harga mengikuti harga pasar,
Pedagang Mitra memberikan bukti nota hasil penjualannya dengan mengambil keuntungan antara
Rp. 100-200/kg.
Kasus pola kemitraan rantai pasok antara petani secara individu dengan pedagang
pengepul sebagai mitra di temui di Bali untuk komoditas melon dan semangka yang berlangsung
sejak 1990 hingga kini dengan keanggotaannya yang berkembang hingga antar wilayah kabupaten.
Kewajiban Pedagang Mitra antara lain adalah : (1) menyediakan bibit berkualitas sesuai permintaan
komoditas melon dan semangka; (2) menyediakan input lainnya sesuai kebutuhan petani mitra; (3)
menyediakan modal kerja; (4) menampung dan memasarkan hasil melon dan semangka dari petani.
Sementara itu, petani yang berjumlah kurang lebih 40 orang berkewajiban : (1) melakukan budidaya
secara baik sesuai dengan varietas yang diminta pasar; (2) melaporkan jadwal kegiatan terutama
jadwal tanam dan panen; dan (3) menjual seluruh hasil produksinya ke pedagang mitra. Dalam
kerjasama ini tidak dilakukan kontrak harga, namun harga mengikuti harga pasar, di mana
Pedagang Mitra memberikan bukti nota hasil penjualannya dengan mengambil keuntungan antara
Rp. 100-200/kg tergantung permintaan pasar dan harga. Rata-rata tingkat pendapatan petani melalui
kerjasama ini kurang lebih Rp. 1.200-1.800,-/kg.
Pola kemitraan rantai pasok lainnya yang dijumpai di Bali adalah melalui Pola Kelompok
Tani/STA yang digambarkan sebagai berikut : (1) Terdapat kesepakatan dalam penentuan luas
tanam melon/semangka pada masing-masing petani anggota; (2) Terdapat kesepakatan tentang
jenis atau varietas melon yang akan ditanam sesuai dengan permintaan pasar; (3) Terdapat pola
Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
10
Penyedia saprotan : Kel-tan/TP
K; Kios; LPD/KSU
Bank
Industri Kripik (kentang); Pasar Kota (melon dan semangka
pengaturan tentang jadwal tanam dan jadwal panen antar petani dan antar wilayah sehingga
managemen pemasaran dapat dilakukan secara terencana; (4) Terdapat kesepakatan dalam
pengadaan saprodi secara bersama atau dapat secara sendiri-sendiri; dan (5) Adanya mekanisme
pemasaran bersama oleh kelompok tani/asosiasi/STA di mana harga mengikuti harga pasar; serta
(6) Adanya fee atau keuntungan untuk kelompok tani/assosiasi/STA.
3.1.2.2. Pola, Peran, dan Pola Interaksi Kemitraan Rantai Pasok antara Petani (Kelompok Tani) dengan Perusahaan Mitra
Pola kemitraan ini terdapat pada pengusahaan komoditas kentang. Dalam mekanisme
kemitraan tersebut, pengikat kemitraan antara PT. IFM dengan kelompok tani adalah berupa
kesepakatan/komitmen yang terbangun antara kedua belah pihak. Kesepakatan tersebut tidak dalam
bentuk MoU tertulis, namun lebih bersifat verbal dan harus saling mentaati. Pihak PT. IFM
mengharapkan agar para petani yang terwadahi dalam kelompok tani melakukan budidaya kentang
Atlantik secara baik dengan sumber benih dari PT. IFM (melalui PT. MAL) dan selanjutnya PT. IFM
akan menampung seluruh hasilnya dari para petani dengan harga kontrak yang disepakati kedua
belah pihak.
Beberapa kewajiban PT. Indofood Fritolay makmur adalah : (1) menyediakan bibit dengan
varietas atlantik dengan kualitas terjamin (berasal dari Scotlandia, Western Australia), dengan harga
Rp. 9000,-/kg; (2) menyediakan sarana produksi lain bagi yang memerlukan yang bersifat tidak
mengikat; (3) melakukan pembinaan teknis budidaya dengan pendampingan seorang Agro-
Supervisor; dan (4) Menampung hasil dari petani dengan harga dan spesifikasi produk yang telah
disepakati. Sementara itu, petani atau kelompok tani berkewajiban : (1) membeli bibit varietas
atlantik yang disediakan oleh Perusahaan Mitra; (2) melakukan budidaya kentang atlantik sesuai
anjuran; dan (3) menjual hasil kepada Perusahaan Mitra, serta (4) membayar kredit bibit dengan
sistem bayar setelah panen dengan cara dipotong pada saat penyerahan barang.
Hak Perusahaan Mitra adalah mendapatkan jaminan produksi atau bahan baku baik dari
segi jumlah, kualitas, dan kontinuitas berdasarkan kesepakatan, di mana harga ditetapkan sebelum
menanam yaitu sebesar Rp. 3.800,-/kg franko pabrik atau Rp. 3.450-3.500 di tingkat vendor.
Sementara itu, Petani Mitra memiliki hak atas jaminan harga dan pasar sesuai kesepakatan kedua
belah pihak. Pola interaksi dilakukan secara tatap muka terutama pada saat sosialisasi dan
melakukan kesepakatan-kesepakatan. Melalui mediasi agrosupervisor yang ada disetiap lokasi.
Serta melalui media telepon atau hand pond. Sedangkan transaksi dapat dilakukan melalui transfer
bank maupun melalui mediasi agro-supervisor. Pola yang dikembangkan oleh PT. Indofoof Fritoley
Makmur adalah dapat diilustrasikan pada Gambar 2. berikut :
Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
11
SupplierBibit
Indofood Fritolay Makmur-Pabrik Tangerang
-Pabrik Semarang
KegiatanBudidaya
Penerima Bibit 250 petani:-Petani-Kel. Tani
Kegiatan Panen &
PascapanenTransportasi dari
Petani-Pabrik
Angsuran Bibit
Pembayaran ke Petani
Gambar 2. Pola Kemitraan Rantai Pasok Komoditas Kentang Atlantik Antara Kelompok Tani-Petani dengan PT. IFM
Beberapa permasalahan yang saat ini dihadapi petani : (1) Adanya pembatasan produksi
oleh perusahaan; (2) Ketergantungan yang tinggi terhadap kondisi iklim atau cuaca, terutama
tingginya curah hujan; (3) Tingginya harga kontral bibit Atlantik yang dibayar petani, (4) Sering
terjadinya keterlambatan bibit sehingga menimbulkan ketidak pastian waktu tanam; (5)
Meningkatnya harga sarana produksi lain, seperti pupuk, pestisida, fungisida, dan herbisida; (6)
Buruknya infrastruktur sehingga menimbulkan kerusakan fisik dalam biaya pengangkutan tinggi. (6)
Terjadinya over produksi dengan biaya ditanggung petani; dan (7) Belum optimalnya
pengoperasionalan STA.
3.1.2.3. Pola, Peran, dan Pola Interaksi Kemitraan Rantai Pasok dalam Kerangka Pengembangan STA
Sub Terminal Agribisnis (STA) adalah institusi pelayanan pemasaran di pasar produsen
pada daerah sentra produksi yang berfungsi sebagai tempat transaksi produk pertanian berkualitas,
tempat distribusi, sumber informasi dan promosi, tempat perolehan sarana produksi, wadah
pembinaan peningkatan kualitas (grading, sotasi, pengemasan, dan lain-lain). Mekanisme
penanganan produk hortikultura yang disalurkan melalui Sub Terminal agribisnis dapat diilustrasikan
pada Gambar 3.
Berdasarkan hasil wawancara dan klarifikasi di tingkat kabupaten diperoleh informasi
bahwa STA di Jawa Barat belum dapat berjalan sebagaimana mestinya, karena banyak STA swasta
lokal yang lebih efisien menyalurkan produk hortikultura dalam berbagai kemasan dan
mendistribusikan langsung ke Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi.
Beberapa permasalahan pokok yang dihadapi bagi beroperasinya STA antara lain adalah :
(1) Kurang siapnya kelembagaan atau organisasi pengelolanya; (2) Proses pembentukan
kelembagaan pengelola tidak melalui proses sosial yang matang; (3) Tugas dan fungsi, serta hak
dan kewajiban masing-masing tidak terumuskan secara terinci; (4) masalah manajemen, belum ada
sistem pengelolaan yang dipandang tepat, manajer yang profesional, belum transparan, belum jelas
pembagian tugas dan keuntungannya; (5) Manager umumnya telah memiliki usaha pribadi yang
telah berjalan dengan baik, sehingga timbul permasalahan dalam memilah kepentingan pribadi
sebagai pedagang dan sebagai pengelola STA.
Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
12
Gambar 3. Mekanisme Penanganan Produk Hortikultura di STA
3.1.2.4. Pola, Peran, dan Pola Interaksi Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok dalam Kerangka Pengembangan Pasar Lelang
Pasar lelang dimulai pada bulan Juli tahun 2002. Pendiriannya didasari upaya untuk
membangun suatu sistem pemasaran komoditas pertanian yang bertujuan mengatasi ketidakstabilan
harga. Rencana operasionalnya diawali pertemuan petani-pedagang/suplier dan pemerintah daerah
(Idag-Agro). Secara umum, komoditas yang diperdagangkan masih bersifat primer.
Ada beberapa alasan pentingnya terbentuknya pasar lelang, yaitu : (1) perusahaan industri
membutuhkan bahan baku secara kontinu dalam jumlah tertentu; (2) kualitas barang memenuhi
standar mutu tertentu sehingga membutuhkan perlakuan tertentu; (3) sistem pembayaran barang
Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
Produk Hortikultura
Pemeriksaan/Check-In
Pembersihan/Pencucian
Sortasi dan Grading
Sortasi dan Grading
Kemasan/Packing
Produk Tidak Terjual Produk Terjual
Penyimpanan Sementara(Cool Room)
Pemeriksaan(Check-Out)
13
yang dibeli tidak tunai sehingga menjadi masalah bagi petani yang membutuhkan uang segera
sebagai modal usahatani selanjutnya.
Beberapa komoditas hortikultura yang pernah ditransaksikan melalui pasar lelang antara
lain adalah : cabai, paprika, tomat, bawang merah, bawang daun, wortel, jamur kentang, kol, pisang,
mangga, sawo, jeruk, alpokat, dan jambu biji. Permasalahan yang muncul di pasar lelang
hortikultura adalah sifat komoditas yang mudah busuk, serta harga yang fluktuatif.
Pasar lelang diadakan setiap 2 minggu sekali, yaitu pada minggu I dan IV setiap bulan.
Hingga saat ini peserta pasar lelang masih terbatas pada 3-4 pengusaha. Transaksi di Pasar lelang
dalam skala yang cukup besar dengan kualitas barang yang relatif lebih baik dan harga yang lebih
tinggi.
Kendala dalam pelaksanaan pasar lelang antara lain adalah : (1) masyarakat belum siap
dengan sistem lelang ; (2) Belum ada komitmen yang tinggi di antara pelaku usaha dalam pasar
lelang; (3) Petani produsen belum terlibat, sehingga belum memberikan manfaat langsung kepada
petani; dan (4) Perangkat pendukung diperlukan, seperti sistem penjaminan, sistem dan lembaga
pembiayaan, sistem lelang jarak jauh, komitmen pelaku usaha dalam pasar lelang.Mekanisme alur
dan transaksi komoditas melalui pasar lelang Agro di Jawa Barat disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Alur dan Transaksi Komoditas pada Pasar Lelang Agro di Provinsi Jawa Barat, 2006
Keterangan: Alur komoditas yang ditransaksikan;
Alur fasilitasi informasi dan koordinasi lelang Agro pasar
3.1.2.5. Pola, Peran, dan Pola Interaksi Kelembagaan Kemitraan Petani atau Kelompok Tani dengan CV. MGA Solo serta dengan PT. Indofresh
Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
14
Petani
atau Produsen
PedagangPengumpul
Pedagang Besar/ Bandar
Pasar LelangAgro
Pembeli/Buyer:- Pedagang besar- Supplier- Eksportir- Perusaha- an- Industri- dsb.
Pola kemitraan rantai pasok melalui Pola Kelompok Tani/Assosiasi dengan beberapa
Perusahaan Mitra (PT. CV. MGA Solo; dan PT. Indofresh) seperti kasus di Kabupaten Pekalongan
dapat digambarkan sebagai berikut : (1) Kesepakatan dalam penentuan luas pengusahaan
komoditas melon/semangka seluas 0,167 ha/petani (2) Kesepakatan jenis atau varietas melon yang
akan ditanam sesuai dengan permintaan pasar; (3) Pola pengaturan jadwal tanam dan jadwal panen
antar petani dan antar wilayah; (4) Pengadaaan saprodi dilakukan secara bersama kelompok atau
sendiri-sendiri; dan (5) Pemasaran dilakukan bersama oleh kelompok tani/asosiasi di mana harga
mengikuti harga pasar; serta (6) Ada iuran kelompok/assosiasi Rp. 100.000/bulan atau Rp.
200.000/musim/anggota sebagai modal kelompok.
Beberapa keuntungan yang diperoleh antara lain adalah : (1) Harga melon stabil; (2)
Adanya jaminan pemasaran; (3) Mendapatkan informasi teknologi budidaya; (4) Tidak akan terjadi
kelebihan produksi akibat pengaturan luas, waktu tanam dan varietas yang diminta pasar; dan (5)
Adanya apresiasi terhadap komoditas melon tidak hanya sebagai buah segar tetapi juga sebagai
perasa dan aroma berbagai produk. Secara ilustratif kelembagaan rantai pasok antara kelompok tani
dengan CV. MGA Solo serta dengan PT. Indofresh dapat dilihat pada Gambar 5. berikut.
Gambar 5 Pola Kemitraan Rantai Pasok dengan beberapa perusahaan mitra, Jawa Tengah,
2006
3.1.2.7. Pola, Peran, dan Pola Interaksi Kelembagaan Kemitraan Petani atau Kelompok Tani melalui UD. Mekar Buah dengan Super Market
Peluang pasar untuk komoditas melon dan semangka sangat luas baik untuk pasar
lokal, antar provinsi, ekspor, maupun supermarket. Secara ilustratif kelembagaan kemitraan
Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
15
CV. MGA Solo :
Pemasok Bibit Melon
MAI
Pengecer Pupuk Resmi
dan Kios Saprotan Kab. Pekalongan
Modal Iuaran Kelompok
Tani (30 juta)
Kelompok Tani Ibu Nining,
Desa Kajongan, Kec.
Kajen (20 anggota)
Pedagang Pengepul/PB
Sentra Produksi
Pasar Lokal Semarang,
Jogja, Tegal, Pekalongan:
Grade B dan C
Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta : Grade A B
PT. Indofresh-Perusahaan Ekspor Impor Hortikultura (Tanjung Priok) : Super
usaha antara kelompok tani/petani dengan UD Mekar Buah dengan Super Market Carefour
dapat dilihat pada Gambar 6. berikut.
Gambar 6. Bentuk Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok Tujuan Super Market Carefor Komoditas Semangka Black Beauty dari Daerah Sentra Produksi Kebumen, Jawa Tengah, Tahun 2006
Harga melon dan semangka di pasaran secara umum sangat dipengaruhi oleh
penawaran (suppy), sedangkan permintaan (demand) relatif stabil dan bahkan cenderung
meningkat setiap tahun. Harga jual melon di tingkat produsen berkisar antara Rp. Rp. 800-
2.300,-/kg, sedangkan harga semangka non biji bervariasi antara Rp. 500,00, - Rp 1.300,00
per kg. Harga tergantung dari jenis melon/semangka, grade atau kualitas, musim buah-
buah lain (rambutan, mangga, dan durian) dan jumlah semangka yang dipasarkan, serta
persaingan dengan daerah lain terutama Jawa Timur dan Pantura Jawa (Indramayu).
3.1.3. Managemen rantai pasok produk hortikultura pada pasar modern dan tradisional
Analisis managemen akan difokuskan pada lima komponen managemen pada masing-
masing pelaku rantai pasok komoditas hortikultura, yaitu perencanaan (planning), sumber barang
(sourching), pengolahan (manufacturing), pengiriman (delivery), dan penerimaan barang (receiving)
pada masing-masing rantai pasok.
3.1.3.1. Managemen Rantai Pasok Pola Perdagangan Umum
Pada kelembagaan kemitraan Pola Dagang Umum managemen perolehan komoditas
hortikultura (kentang, melon, dan semangka) terutama digerakkan oleh pedagang pengepul atau
pedagang besar daerah sentra produksi. Biasanya pedagang pengepul ini menjalin kerjasama
dengan petani baik secara kelompok maupun secara individu yang dipercaya dapat memasok
komoditas hortikultura sesuai dengan volume dan standar mutu yang dibutuhkan. Managemen Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
16
Kelompok dan
PetaniMitra (20 petani)
Kios Saprotan Milik UD Mekar Buah
BankBRI
Perusahaan Dagang UD Mekar Buah
Manager Lapangan
Super Market Carefor
Super Market Carefor :
Spesial untuk semangka
Black Beuaty
perolehan barang mencakup masalah penentuan harga, pengiriman dan proses pembayaran
kepada supplier (kelompok tani atau petani) dan cara menjaga hubungan baik secara berkelanjutan.
Pada pola ini, harga ditentukan melalui mekanisme pasar yang berpatokan pada beberapa tujuan
pasar utama (Pasar Induk, Pasar Kota Kabupaten, serta Perusahaan Pengolahan).
Pengiriman, sering kali disebut juga logistik merupakan sebuah proses bisnis yang
melibatkan pergerakan fisik yang berada dalam satu jalur rantai pasok. Managemen pengiriman
barang didahului komunikasi pendahuluan terutama informasi tentang harga, jumlah, kualitas, dan
kontinuitas atau frekuensi yang harus dikirimkan. Tidak jarang proses tawar menawar dan negosiasi
dilakukan melalui telepon. Dalam menjalankan usaha bisnisnya pedagang pengepul dilengkapi
dengan armada angkutan baik milik sendiri maupun kerjasama dengan perusahaan ekspedisi.
Mekanisme pembayaran sangat tergantung pada kondisi pasar terutama pasokan (supply)
dan permintaan (demand). Pembayaran dapat dilakukan secara tunai, dibayar kemudian dengan
tenggang waktu (3-7 hari), serta kombinasi tunai dan bayar kemudian. Pada saat kekurangan
penawaran umumnya pembayaran dilakukan dengan sistem panjar atau sistem bayar tunai, dan
bahkan sering terjadi pedagang luar daerah masuk ke sentra produksi.
Dalam pola dagang umum dikenal komoditas menurut kualitas. Kualitas kentang di pasar
Induk Caringin dan Pasar Pangalengan Bandung adalah AB, ABC, BC, dan DN. Managemen
manufacturing mencakup kegiatan produksi, tes produk, pengemasan dan persiapan untuk
pengiriman. Tes produk untuk kentang biasanya dilihat dari kadar gulanya. Tolok ukur terpenting
yang menjadi bagian insentif rantai pasok adalah tingkat kualitas dan hasil produksi.
3.1.3.2. Managemen Rantai Pasok untuk Tujuan Industri Pengolahan atau Perusahaan Eksportir
a. Managemen Rantai Pasok untuk Tujuan Industri Pengolahan PT. Indofood Fretolay Makmur (PT. IFM)
Managemen perolehan komoditas kentang jenis Atlantik yang ditujukan untuk bahan baku keripik
kentang melibatkan kelompok tani dan sekitar 250 petani mitra di beberapa daerah sentra produksi
di Jawa dan luar Jawa. Seleksi kelompok tani dan petani mitra dilakukan oleh manager lapang,
koordinator kelompok tani (vendor), serta rekomendasi dari petani mitra yang terseleksi dan teruji
lebih dulu. Managemen perolehan merupakan proses memilih supplier (vendor) yang akan mengirim
komoditas kentang Atlantik sesuai dengan standar mutu yang dibutuhkan oleh pabrik.
Managemen pengiriman barang dilakukan oleh vendor yang berfungsi sebagai supplier baik
dengan armada angkutan sendiri maupun dengan sistem menyewa armada angkutan perusahaan
ekspedisi. Besarnya ongkos transportasi ke Pabrik Pengolahan Tangerang sebesar Rp. 300/kg,
sedangkan untuk tujuan Pabrik Pengolahan Semarang Rp. 350,-/kg. Sementara itu, fee managemen
yang diterima vendor yang menjalankan fungsi supplier sebesar Rp. 50/kg. Beberapa penyedia jasa
logistik dalam hal ini vendor mendapat fasilitas gudang sebagai tempat menampung hasil kentang
Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
17
dari petani dan pengepakan kembali. Managemen perencanaan kebutuhan dan pasokan bahan
baku kentang atlantik Perusahaan PT. IFM dapat dilihat pada Gambar 7 berikut :
Gambar 7. Perencanaan Tanam dan Pasokan Bahan Baku Ke PT. Indofood Fritolay Makmur
Managemen penanganan rantai pasok setelah hasil petani masuk dan diterima oleh Pabrik
PT. IFM adalah sebagai berikut :
Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
18
Grading
Pengupasan
Pengirisan
Kentang yang kecil tersisihkan
Sortasi kentang busuk hijau, terlalu besar dibelah
Kebutuhan bahan baku kentang industriPT. Indofood Sukses Makmur
Per hari 50 tonPer bulan 1500 ton
Per tahun 18.000 ton
Pasokan bahan baku berasal dari dalam negeri :
Garut, Pangalengan, Lembang, Purwokerto, Wonosobo, Malang (Pulau Jawa), Kerinci (Pulau
Sumatera), Sulut, Sulsel (Pulau Sulawesi)
Pasokan bahan baku berasal dari impor: Australia, China, dan Scotland
Pasokan dari Garut : Per bulan 375 ton
Per tahun 4.500 ton (25%)
Luas areal penanaman dalam satu bulan 25 haLuas areal yang tersedia di petani binaan 300 ha
Ketersediaan bibit rata-rata hanya 60 tonJumlah petani binaan 250 orang
Luas areal pengembangan kentang industri 900 haKeperluan bibit untuk satu bulan 150 ton
Luas areal tanam per bulan 75 haJumlah produksi harapan per bulan 1125 ton
Jumlah produksi harapan per tahun 13.500 ton (75%)
Gambar 8. Managemen penanganan rantai pasok setelah hasil petani masuk dan diterima oleh Pabrik PT. IFM
b. Managemen Rantai Pasok Komoditas Melon untuk Tujuan Ekspor PT. Indofresh
Kerjasama antara kelompok tani atau petani melon di Desa Kajongan, Kecamatan Kajen, Kabupaten Pekalongan dengan PT Indofresh terutama dalam hal pemasaran melon. Pembelian melon dari petani anggota kelompok yang bermitra dengan PT Indofresh dilakukan melalui perangkat organisasi yang dibentuk di wilayah sentra, yang didalamnya terdapat seorang manajer, asisten manajer, petugas bagian finansial, koordinator kuli, koordinator grader, dan kasir. Kegiatan tersebut ditunjang pula dengan sarana perlengkapan seperti Tempat Penampungan Buah (TPB) dan peralatan lainnya baik yang ada di sentra produksi maupun disentra konsumsi.
Managemen perolehan komoditas melon merupakan proses memilih supplier yang akan mengirim komoditas melon yang dibutuhkan sesuai dengan standar mutu yang dibutuhkan untuk tujuan pasar ekspor, yang mencakup juga penentuan harga, pengiriman dan proses pembayaran dengan supplier dan cara menjaga dan meningkatkan hubungan baik.
Managemen manufacturing mencakup kegiatan produksi, tes produk, pengemasan dan persiapan untuk pengiriman. Tolok ukur terpenting yang menjadi bagian insentif supply chain adalah tingkat kualitas dan hasil produksi, terutama untuk tujuan ekspor. Kriteria mutu komoditas melon mencakup : (1) Mutu visual atau penampakan, yang meliputi ukuran (dimensi, keseragaman, berat dan volume), bentuk (rasio antar dimensi, keseragaman, intensitas, gloss), warna dan kondisi umum (a.l. kemulusan, cacat dan kerusakan); (2) Tekstur dan mouthfeel meliputi kekerasan, keempukan, kesegaran, kekentalan sari buah; (3) Rasa/ flavor (kandungan gula tinggi atau rendah), citarasa ini berbeda-beda berdasarkan tujuan pasar dan segmen pasar; (4) Nilai gizi, komposisi gizi dan zat berkhasiat yang terkandung; (5) Keamanan pangan (food safety), yang meliputi bebas kontaminasi baik oleh mikroba pathogen, toksin, bahan kimia, dan pestisida; (6) Kemudahan dalam penanganan (pengangkutan, konsumsi, penyajian).
Pengiriman komoditas melon dapat dilakukan dengan pengiriman oleh kelompok tani, perusahaan ekspedisi atau diambil oleh PT. Indofresh. Proses penampungan dan pengiriman ditangani oleh manager lapangan PT. Indofresh untuk menjamin keamanan dalam pengangkutan.
3.1.3.3. Managemen Rantai Pasok Komoditas Semangka Black Beauty Untuk Super Market (Kasus Carefour)
Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
19
Penggorengan
Pengemasan
Pembumbuan
Sortasi hasil goreng yang terlalu coklat/jelek
Kerjasama antara kelompok tani atau petani semangka dan melon di Desa Lembu Purwo,
Kecamatan Mirid, Kabupaten Kebumen melalui mediasi UD. Mekar Buah dengan Super Market
Carefour adalah kerjasama kontrak pemasaran spesifik untuk komoditas semangka Black Beauty.
Pembelian semangka Black Beauty dari petani anggota kelompok yang bermitra dengan Carefour
dilakukan melalui perangkat organisasi yang dibentuk di wilayah sentra, yang didalamnya terdapat
seorang manajer lapang dan asisten manajer, petugas bagian finansial, koordinator kuli, koordinator
grader, dan kasir. Kegiatan tersebut ditunjang pula dengan sarana perlengkapan seperti Tempat
Penampungan Buah (TPB) dan peralatan lainnya baik yang ada di sentra produksi maupun sentra
konsumsi. Managemen perolehan komoditas melon atau sourcing merupakan proses memilih
supplier berpengalaman (UD. Mekar Buah) yang dapat memasok komoditas semangka Black
Beuaty yang dibutuhkan sesuai jumlah, standar mutu, dan kontinuitas pasokan untuk tujuan pasar
konsumen menengah atas. Harga pembelian ditentukan dengan sistem kontrak yang dicapai
kesepakatan sebesar Rp. 2000/kg.
Tolok ukur terpenting yang menjadi bagian insentif supply chain adalah tingkat kualitas dan
hasil produksi. Produk yang diterima adalah sebagai berikut : (1) Bentuk simetris; (2) ukuran 2-3
kg/biji; (3) tingkat kematangan atau umur panen harus tepat; dan (4) mulus dan tidak cacat; serta (5)
Rasa manis dengan kandungan gula tertentu.
Proses penampungan dan pengiriman komoditas semangka Black Beauty dilakukan oleh
kelompok tani, yang juga pemilik UD. Mekar, di bawah pengawasan manager lapangan Super
Market Carefour.
3.1.4. Struktur dan dinamika pembentukan harga kelembagaan rantai pasok pada pasar
modern dan tradisional.
3.1.4.1. Struktur Pasar
Struktur pasar yang dihadapi petani hortikultura baik untuk komoditas kentang di Jawa
Barat, melon maupun semangka di Jawa Tengah dan Bali sangat ditentukan oleh penawaran dan
permintaan pasar serta jumlah pelaku usaha yang bermain di dalam pasar atau industri. Untuk
komoditas kentang Atlantik karena hanya ada satu pembeli yaitu PT IFM yang merupakan industri
pengolah keripik kentang dalam berbagai jenis produk, struktur pasar mendekati monopopsoni.
Namun untuk komoditas kentang varietas Granola, struktur pasarnya yang relatif kompetitif. Untuk
komoditas melon dan semangka struktur pasar adalah oligopsoni yaitu petani dalam jumlah yang
banyak berhadapan dengan beberapa pedagang pengepul.
3.1.4.2. Pembentukan Harga Pada Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok
Mekanisme pembentukan harga ditentukan oleh struktur pasar yang terbentuk. Pada
struktur pasar monopoli atau monopsoni perusahaan akan memaksimumkan keuntungan pada
kondisi penerimaan marginal (marginal revenue/MR) = biaya marginal (marginal cost/MC).
Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
20
Sementara itu pada pasar persaingan sempurna perusahaan akan memaksimumkan keuntungan
pada : (1) mencapai efisiensi produksi yang dicapai pada biaya rata-rata terendah; dan (2) mencapai
efisiensi alokasi sumberdaya, yang akan dicapai pada kondisi harga (price/P)=biaya marginal
(marginal cost/MC), (Lipsey et. al, 1986; dan Samuelson & Nordhaus, 1993).
Terdapat beberapa mekanisme dalam pembentukan harga. Pada kelembagaan kemitraan
usaha secara tertutup antara petani dan PT IFM ditentukan secara kontrak melalui proses negosiasi
sebelum tanam. Petani menentukan harga didasarkan pada biaya pokok usahatani dan ekpektasi
keuntungan komoditas alternatif yang paling menguntungkan (misalnya : kentang granola) sehingga
harga beli harus lebih tinggi dari harga pasar. Sementara itu, perusahaan mendasarkan
perhitungannya pada biaya pokok produk hasil olahan dan harga beli komoditas kentang atlantik
impor. Karena petani mendapatkan harga yang lebih tinggi dibandingkan menanam kentang granola
dan perusahaan mendapatkan harga beli yang lebih rendah jika dibandingkan impor maka terjadilah
kesepakatan harga melalui system kontrak sebelum tanam.
Pembentukan harga pada kelembagaan kemitraan rantai pasok lainnya pada prinsipnya
berbasis harga pasar di tujuan pasar utama. Mekanisme harga yang terjadi sangat ditentukan oleh
kondisi penawaran dan permintaan di tujuan pasar utama (Pasar Induk atau Pasar Propinsi).
Biasanya pedagang mitra mengambil keuntungan tertentu setelah dikurangi seluruh biaya
pemasaran dengan atau tanpa menunjukkan kuitansi kepada petani mitra. Khusus untuk
perusahaan mitra yang memasok konsumen institusi hotel, restaurant, dan super market
mendapatkan harga yang lebih tinggi dari harga pasaran tetapi dengan jaminan jenis, volume,
kualitas dan kontinuitas pasokan terjamin. Kontrak yang terjadi untuk tujuan pasar konsumen
institusi ini adalah antara pedagang mitra dengan konsumen institusi.
3.2. Alternatif Kebijakan Pengembangan Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok Hortikultura
3.2.1. Rumusan syarat-syarat pengembangan kelembagaan kemitraan rantai pasok yang efektif dan efisien
Beberapa hal pokok yang perlu mendapatkan perhatian dalam kelembagaan kemitraan
rantai pasok komoditas hortikultura di Indonesia (kentang, melon, dan semangka) antara lain adalah
(1) Membangun serta memperkuat kemitraan rantai pasok komoditas hortikultura melalui proses
sosial yang matang, dengan pemahaman terhadap skala jaringan agribisnis hortikultura.
(2) Pentingnya perencanaan dan pengaturan produksi di tingkat kelompok tani, serta konsolidasi
kelembagaan kelompok tani ke arah terbangunnya kelembagaan kelompok tani yang handal.
(3) Pentingnya pengembangan irigasi spesifik lokasi untuk komoditas hortikultura, infrastruktur
penanganan pascapanen dan sarana transportasi yang memadai.
Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
21
(4) Pentingnya manajemen yang bersifat transparan, terutama menyangkut pembagian hak dan
kewajiban, harga dan pembagian keuntungan, serta komitmen yang tinggi antara pihak yang
bermitra dan saling percaya-mempercayai.
(5) Pentingnya Sikap Profesional Petani serta pendampingan Peneliti, PPL Ahli, serta tenaga
teknisi dan supervisi dan pengembangan jiwa dan semangat kewirausahaan petani.
(6) Usaha-usaha stabilisasi harga komoditas hortikultura serta pengembangan sistem informasi
yang handal baik dari aspek manajemen produksi maupun pemasaran.
(7) Meletakkan integrasi-koordinasi vertikal secara tepat dan usaha terpadu dalam kelembagan
kemitraan rantai pasok.
3.2.3. Model Penyempurnaan Pengembangan Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok Komoditas Hortikultura
3.2.3.1. Model Penyempurnaan Kelembagaan Rantai Pasok Pola Dagang Umum
Model penyempurnaan kelembagaan rantai pasok pada pola dagang umum mencakup : (1)
Konsolidasi kelembagaan kelompok tani baik keanggotaan, managemen, maupun permodalan
dalam kerangka dapat melakukan perencanaan produksi sesuai permintaan pasar; (2) Peningkatan
kemampuan dalam penyediaan fasilitas gudang dan armada angkutan oleh kelompok tani maupun
oleh pelaku tataniaga yang akan memperlancar proses pengumpulan dan distribusi barang; (3)
Adanya kesepakatan harga yang di dasarkan pada dinamika harga pasar dan kepastian pasar
melalui dukungan sistem informasi pasar yang akurat dan up to date baik di sentra produksi maupun
di daerah tujuan-tujuan pasar; (4) Transparansi sistem transaksi dan sistem pembayaran pada
setiap level pelaku tata niaga sehingga setiap pelaku tataniaga mendapatkan kepastian dalam
berbisnis; (5) Pengembangan infrasruktur pasca panen di sentra produksi dan infrastruktur pasar di
pusat-pusat tujuan pasar, khusus untuk komoditas kentang pengembangan industri pengolahan
skala kecil dan rumah tangga di daerah sentra produksi akan meningkatkan nilai tambah dan
dayasaing komoditas kentang; dan (6) Pelayanan kredit lunak pada sektor agribisnis untuk
mengurangi ketergantungan petani terhadap modal pedagang dan guna meningkatkan posisi tawar
petani.
Secara ilustratif penyempurnaan kelembagaan kemitraan rantai pasok melalui Pola Dagang
Umum dapat disimak pada Gambar 9.
Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
22
Konsoli-dasi
Kelomok Tani
Pedagang Pengepul/Peda
gang Besar Daerah Sentra
Produksi
Armada Ekspedisi
Milik Pedagang/
Keltan
Pasar Induk Kramat Jati, Caringin dan
Cibitung
Pasar Lokal Kota-Kota Jawa Tengah
Gambar 9 Model Kemitraan Rantai Pasok Pola Dagang Umum Komoditas Melon dan Semangka di Daerah Sentra Produksi, Jawa Tengah, Tahun 2006.
3.2.3.2. Model Penyempurnaan Kelembagaan Rantai Pasok Industri Pengolahan
Secara umum persepsi masyarakat petani terhadap Contract Farming dengan PT. IFM
membantu petani dan meningkatkan pendapatan petani. Namun demikian masih terdapat beberapa
peluang penyempurnaan kelembagaan kemitraan rantai pasok yang dapat dilakukan antara lain : (1)
Penyediaan sumber bibit varietas atlantik oleh pengusaha pembibitan domestik, sehingga
mengurangi ketergantungan terhadap impor dan dapat menekan harga kontrak bibit; (2) Dorongan
pada pengusaha mitra untuk melakukan ekspansi produksi yang dibarengi dengan perluasan pasar
dan pendalaman industri untuk meningkatkan permintaan bahan baku; (3) Ketepatan penyediaan
bibit dan intensifikasi usahatani melalui penggunaan pupuk berimbang diharapkan dapat
meningkatkan produktivitas; (4) Meningkatkan efisiensi sistem panen oleh petani dan penanganan
pasca panen oleh pabrik terutama melalui penyediaan gudang-gudang penampungan di sentra
produksi; (5) Peningkatan efisiensi dalam transportasi dengan peningkatan infrstruktur jalan dan
armada angkutan; dan (7) Pengembangan industri pengolahan oleh mitra usaha di sentra produksi
sebagai konsekuensi dari tingginya biaya transportasi.
Model penyempurnaan Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok; dalam kasus ini untuk
Komoditas Kentang Atlantik antara Petani/Kelompok Tani dengan PT. Indofoof Fritoley Makmur;
diilustrasikan pada Gambar 10 berikut :
Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
23
SupplierBibit Impor ke Produksi Domestik
PT Indofood Fritolay Makmur
Melakukan Ekspansi
Kapasitas Pabrik (Tangerang, Semarang)
Teknik budidaya memacu produktivi
-tas
Penerima Bibit dengan harga yang lebih murah :-Petani-Kel. Tani
Kegiatan Panen &
Pascapanen secara
lebih efisen
Transportasi dari Petani-Pabrik secara lebih
efisien
Angsuran Bibit
Konsolidasi Kelompok
Tani
BankBRI-Kredit
lunak
Pasar Kota-Kota Jawa Timur
Gambar 10. Model Kemitraan Rantai Pasok Komoditas Kentang Atlantik Antara Kelompok Tani Petani dengan PT. IFM
3.2.3.4. Model Kelembagaan Rantai Pasok Super Market dan Konsumen Institusi
Secara umum penyempurnaan kelembagaan kemitraan rantai pasok komoditas
hortikultura untuk tujuan super market atau hiper market dan konsumen institusi di sentra
produksi adalah sebagai berikut (Gambar 11.) : (1) Konsolidasi kelembagaan kelompok tani baik
keanggotaan, managemen, maupun permodalan agar dapat melakukan perencanaan produksi
sesuai permintaan pasar modern melalui vendor atau supplier; (2) Peningkatan kemampuan vendor
atau supplier dalam penyediaan berbagai produk hortikultura yang diminta, meliputi keragaman
jenis, jumlah, kualitas, serta kontinuitas produk; (3) Kemampuan vendor atau supplier dalam
penyediaan fasilitas gudang dan armada angkutan sehingga pengumpulan cepat, penanganan
pasca panen prima, dan pendistribusian berjalan secara efisien; (4) Adanya kesepakatan secara
tertulis antara pihak vendor atau supplier dengan managemen perusahaan mitra terutama : volume,
harga, dan sistem pembayaran sehingga dapat ditransmisikan secara sempurna kepada kelompok
tani mitra atau petani terseleksi; (5) Transparansi sistem transaksi dan sistem pembayaran pada
setiap level pelaku tata niaga; (6) Pengembangan managemen rantai pasok (managemen
pengadaan, managemen stock, dan managemen pendistribusian) untuk memperlancar pasokan
dari petani produsen-supplier-supermarker/hipermarket-konsumen; (7) Perbaikan sistem
managemen hotel yang dapat memperlancar sistem pembayaran untuk memperlancar pasokan dari
petani; serta (8) Penyediaan kredit lunak untuk pengembangan agribinis komoditas hortikultura untuk
meningkatkan posisi tawar petani terhadap supplier.
Gambar 11. Penyempurnaan Model Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok Komoditas Hortikultura Untuk Tujuan Super Market/Hiper Market.
Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
24
Pembayaran ke Petani
berjalan lancar
Kelompok dan Petani
Mitra
Kios/Toko
Saprotan Bank
Vendor/suplier
terpercaya (sistem
langganan, permodalan)
Manager Lapangan
perusahaan mitra
Super Market/hiperma
rket dan konsumen institusi :
Spesial untuk produk
hortikultura berkualitas
3.2.3.5. Model Kelembagaan Rantai Pasok Terintegratif
Hasil tinjauan pustaka maupun kajian empiris di lapang menunjukkan bahwa
pengembangan kelembagaan kemitraan rantai pasok melalui integrasi atau koordinasi vertikal
dengan komitmen yang tinggi dan keterbukaan antara pihak yang bermitra akan mampu
meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, akses terhadap pasar dan dayasaing produk
hortikultura, namun perlu
Beberapa alasan pokok yang mendasari pentingnya pengembangan kelembagaan
kemitraan rantai pasok komoditas hortikultura secara terintegratif antara lain sebagai berikut.
Pertama, adanya integrasi antara sub sistem agribisnis hulu (pengadaan saprodi serta alsintan), sub
sistem budidaya, serta sub sistem agribisnis hilir (penanganan pasca panen, pemasaran dan
distribusi) dapat menghapus pasar produk antara sehingga dapat menghilangkan margin ganda
mulai dari sub sistem hulu hingga sub sistem hilir, sehingga harga pokok produk mampu bersaing
di pasar. Kedua, dengan membangun kelembagaan kemitraan rantai pasok komoditas hortikultura
secara terintegratif akan dapat menghilangkan atau mengurangi masalah transmisi harga yang
bersifat asimetris.
Alternatif model kelembagaan kemitraan rantai pasok korporasi terpadu harus
mempertimbangkan berbagai bentuk kelembagaan yang dianggap sebagai penopang kehidupan
masyarakat, yaitu kelembagaan yang hidup dan telah diterima oleh komunitas lokal atau tradisional
(voluntary sector), kelembagaan pasar atau ekonomi (private sector) sejalan dengan keterbukaan
ekonomi, dan kelembagaan politik/pemerintah atau sistem pengambilan keputusan di tingkat publik
(public sector) (Etzioni, 1961). Secara ilustratif pengembangan model kelembagaan kemitraan rantai
pasok komoditas hortikultura terpadu di sentra produksi dengan melakukan revitalisasi berbagai
kelembagaan seperti kelompok tani dan kelembagaan penyuluhan pertanian disajikan pada Gambar
12.
Pemberdayaan kelompok tani atau petani ke arah kelompok tani atau petani mandiri dan
profesional harus dilakukan. Jumlah anggota kelompok dibatasi 20-25 orang anggota supaya
penyatuan pendapat dan penggalangan kerjasama jauh lebih mudah. Kelompok tani yang sudah
mandiri didorong untuk mengkonsolidasikan diri dalam kelembagaan formal berbadan hukum,
sehingga memudahkan melakukan transaksi dan kemitraan usaha agribisnis. Kelompok-kelompok
tani disatukan dapat berupa gabungan kelompok tani (gapoktan), assosiasi petani, assosiasi
agribisnis, koperasi tani, koperasi agribisnis, yang anggotanya adalah pengurus-pengurus kelompok
tani.
Perencanaan pengembangan agribisnis komoditas hortikultura merupakan kunci dari
keberhasilan pembangunan pertanian, yang difokuskan pada: (1) perencanaan pola tata tanam
dalam kerangka pengaturan produksi; (2) desiminasi teknologi tepat guna; (3) pengelolaan usaha
simpan-pinjam; (4) pengelolaan pengadaan sarana produksi melalui pembuatan kios saprodi
kelompok; (5) pemasaran hasil bersama melalui jalinan kelembagaan kemitraan rantai pasok. Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
25
Penyuluh pertanian yang bertugas di tingkat desa, berkantor di Pusat Pelayanan dan
Konsultasi Agribisnis di Kecamatan. Untuk memperlancar tugasnya adanya sekretariat serta fasilitas
pendukung di desa-desa yang menjadi wilayah kerjanya akan sangat meningkatkan efisiensi dan
efektivitas kerja. Semua bantuan teknis harus disediakan dan dianggarkan baik melalui Pusat
Pelayanan dan Konsultasi Agribisnis (PPA) di kecamatan. Segala permasalahan yang muncul
dimusyawarahkan di PPA untuk ditindaklanjuti. Bila diperoleh masalah yang tidak terpecahkan
penyuluh bisa menghubungi dan atau memanggil peneliti/penyuluh BPTP, Lembaga Penelitian
Pusat dan Lembaga Penelitian Perguruan Tinggi. Dengan sistem ini, diharapkan masyarakat petani
hortikultura akan secara aktif mendatangi PPA untuk mengakses informasi teknologi, pasar, atau
konsultatif tentang masalah-masalah yang dihadapinya baik teknis, ekonomi maupun kelembagaan.
Peran PPA harus juga mencakup pemberdayaan, peningkatan kualitas sumberdaya
petani/kelompok tani dan mediasi bagi terbangunnya kelembagaan kemitraan rantai pasok
komoditas hortikultura antar pelaku. Kelembagaan kemitraan rantai pasok terpadu juga dapat
dilakukan melalui kelembagaan koperasi agribisnis. Bila sistem ini yang digunakan maka pengadaan
sarana produksi dan penjualan hasil bisa dilakukan melalui koperasi. Untuk itu pemerintah harus
menyediakan dana bantuan (kredit) melalui koperasi pertanian.
Perusahaan Mitra dapat berupa Perusahaan Industri Pengolahan, Pedagang
Besar/Supplier/Vendor, Perusahaan Ekspor-Impor atau perusahaan lainnya berperan menyediakan
kebutuhan sarana produksi petani berupa bibit berkualitas, pupuk, dan sarana produksi lainnya
sesuai kesepakatan secara enam tepat, yaitu tepat jumlah, tepat kualitas, tepat tempat, tepat waktu,
tepat dosis, dan tepat harga yang ditetapkan dengan kesepakatan.
Pemerintah perlu mengalokasikan tenaga berdasarkan kebutuhan, meningkatkan kualitas
sumberdaya petani, memfasilitasi lembaga dan membantu kemudahan yang diperlukan (regulasi
dan administrasi), serta mengawasi jalannya kelembagaan kemitraan rantai pasok terpadu. Peran
lain pemerintah yang tidak kalah pentingnya adalah mengalokasikan dana pembinaan dan
peningkatan kualitas sumberdaya petani, serta untuk pengadaan sarana yang dibutuhkan sebagai
penunjang jalannya kelembagaan kemitraan rantai pasok terpadu yang dibangun; seperti Tempat
Penampungan Hasil, Sub Terminal Agribisnis, Pasar Petani, Pergudangan atau Cold Storage.
Prasarana lain seperti jalan dan pasar, pembangunannya harus diselaraskan dengan program
pengembangan pertanian, terutama untuk daerah-daerah sentra produksi hortikultura.
Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
26
Gambar 12. Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok Komoditas Hotikultura Terpadu (Di adaptasi dari Saptana, dkk., 2005 dengan melakukukan penyesuaian)
27
KelembagaanPemerintah/Dinas
Teknis Terkait
KelembagaanKomunitas-
Kelompok Tani
KelembagaanEkonomi-Pelaku
Agribisnis Swasta (Industri Pengolahan, Super Market, Vendor/
Supplier Hotel, Perusahaan Ekspor-
Impor)
Jaringan agribisnis di pedesaan :semi-tradisional, semi-subsisten, parsial, jangka pendek, tidak berkelanjutan
Revitalisasi kelembagaan: 1. Kelembagaan
Kelompok Tani 2. Kelembagaan
Penyuluhan Pertanian
3. Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok
Integrasi program Pembangunan Agribisnis Terpadu: 1. Pusat dan daerah2. Kelembagaan Petani,
Penyuluh, dan Peneliti dalam wadah PPA
3. Petani dengan Perusahaan Mitra (Industri Pengolahan, Super Market, Vendor/ Supplier Hotel, Perusahaan Ekspor-Impor)
Kelembagaan Pemerintah yang bersifat mediasi dan fasilitatif
Kelembagaan di Tingkat Petani
berbadan hukum
Pelaku Agribisnis Swasta yang ulet,
mandiri, dan dinamis
Jaringan agribisnis pertanian di pedesaan: sistem agribisnis maju, komersial, terintegrasi, jangka panjang, berkelanjutan
Produk hortikultura :
1. Produktif2. Efisien3. Berdayasai
ng
Pusat Pelayanan dan Konsultasi Agribisnis (PPA): informasi dan konsultasi
IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Pasar hasil pertanian di Indonesia mengalami perubahan secara dinamis dengan makin
pesatnya pertumbuhan pasar modern di samping pasar-pasar tradisional yang sudah ada. Ekspansi pasar
modern mendorong dilakukannya pendekatan baru dalam bisnis eceran bahan pangan termasuk produk
hortikultura sekaligus menciptakan sejumlah kendala di samping peluang bagi para pelaku agribisnis.
Kebijakan pengembangan komoditas hortikultura di Indonesia telah berhasil mendorong
terjadinya peningkatan produksi, namun demikian peningkatan itu ternyata belum searah dengan
dinamika permintaan pasar dan perubahan preferensi konsumen yang menyangkut kualitas produk.
Struktur pasar hasil hortikultura cenderung oligopsonistik, sehingga petani selaku produsen selalu
memiliki bargaining power yang relatif lebih lemah, sehingga aspek kemitraan menjadi penting.
Dari hasil kajian terdapat berbagai pola kelembagaan kemitrran yang berkembang di sentra-
sentra produksi hortikultura antara petani sebagai produsen dan mitranya baik sebagai pedagang,
perusahaan pengolahan, eksportir, pasar modern maupun konsumen institusi seperti hotell, rumah sakit
dsb. Dari pola-pola yang ada masih terdapat beberapa kendala sehingga pada kebanyakan kasus
kemitraan ini tidak berkelanjutan.
Berdasarkan simpul-simpul kritis yang diperoleh dilapangan dapat disintesakan syarat-syarat
membangun kelembagaan kemitraan rantai pasok komoditas hortikultura secara terpadu dan
berkelanjutan, adalah: (1) Membangun serta memperkuat kemitraan rantai pasok komoditas hortikultura
melalui proses sosial yang matang; (2) Pemahaman Terhadap Jaringan Agribisnis Hortikultura; (3)
Pentingnya perencanaan dan pengaturan produksi di tingkat kelompok tani; (4) Pentingnya program
pengembangan irigasi spesifik komoditas hortikultura; (5) Pentingnya manajemen yang bersifat
transparan, terutama menyangkut pembagian hak dan kewajiban, harga dan pembagian keuntungan; (6)
Adanya komitmen yang tinggi antara pihak yang bermitra, sehingga terbangun saling percaya-
mempercayai; (7) Pentingnya penyediaan infrastruktur penanganan pascapanen dan pemasaran hasil
yang memadai terutama di daerah-daerah sentra produksi; (8) Adanya pendampingan dan pembinaan
oleh PPL Ahli di bidang komoditas hortikultura (kentang, melon dan semangka); (9) Konsolidasi
kelembagaan kelompok tani baik dari aspek keanggotaan, managemen, permodalan, serta
pengembangan usaha dan jalinan kemitraan rantai pasok, sehingga terbangun kelembagaan kelompok
tani yang handal; (10) Membangun jiwa dan semangat kewirausahaan; (11) Usaha-usaha stabilisasi
harga melalui (perluasan tujuan pasar, efisiensi sistem pemasaran, pengembangan infrastruktur pasar)
baik di daerah sentra produksi maupun daerah tujuan pasar utama dan pengembangan industri
pengoalahan di daerah-daerah sentra produksi; (12) Pengembangan sistem informasi yang handal baik
dari aspek manajemen produksi maupun pemasaran; dan (13) Meletakkan integrasi-koordinasi vertikal
28
secara tepat dalam kelembagan kemitraan rantai pasok, serta (14) Membangun Kelembagaan Kemitraan
Usaha Terpadu.
Implementasi Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok Komoditas Hortikultura Terpadu, sebagai
model alternatif, adalah sebagai berikut : (1) petani melakukan konsolidasi dalam wadah kelompok tani;
(2) kelompok tani-kelompok tani mandiri dapat ditransformasikan dalam kelembagaan formal berbadan
hukum (koperasi pertanian, koperasi agribisnis, atau kelembagaan lainnya sesuai kebutuhan); (3)
kelompok tani mandiri atau yang sudah dalam kelembagaan berbadan hukum mengkonsolidasikan diri
dalam bentuk gaboktan atau assosiasi petani/assosiasi agribisnis; (4) kelembagaan-kelembagaan yang
telah tergabung tersebut melakukan konsolidasi manajemen usaha pada hamparan lahan yang
memenuhi skala usaha, tergantung jenis komoditas (10-25 hektar); (5) pilihan komoditas atau kelompok
komoditas di sesuaikan dengan potensi wilayah dan permintaan pasarnya; (6) penerapan manajemen
korporasi dalam menjalankan sistem usaha agribisnis; (7) pemilihan perusahaan mitra yang didasarkan
atas rekomendasi dari Dinas dan atau Direktorat Teknis yang di dasarkan atas komitmentnya
membangun masyarakat agribisnis; dan (8) Adanya kelembagaan Pusat Pelayanan dan Konsultasi
Agribisnis (PPA) sebagai mediator dan fasilitator terbangunnya kelembagaan kemitraan rantai pasok
komoditas hortikultura terpadu.
Daftar Pustaka
Dahl, D. and J.W. Hamound. 1977. Market and Price Analysis. The Agricultural Industries. Mc.Graw Hill. Book Company. USA.
Deptan. 1997. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 44 Tahun 1997, tentang Kemitraan Departemen Pertanian. Jakarta. Deptan. 1997. SK. Mentan No. 940/Kpts/OT.210/10/1997 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Deptan. 1997. SK. Mentan No. 944/Kpts/OT.210/10/1997 tentang Pedoman Penetapan Tingkat Hubungan Kemitraan Usaha Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Deptan. 2002. Pembangun Ketahanan Pangan Nasional Berkelanjutan. Suplemen Bahan Rapat Kerja Menteri Pertanian dengan Komisi III DPR-RI, 27 Februari 2002. Jakarta.
FAO. 2004. Changes in Food Retailing in Asia. FAO. Rome
Gillin, J.L. dan J.P. Gillin. 1954. General Featureof Social Institutions. Dalam Soemardjan, S. dan Soelaeman Soemardi. Setangkai Bunga Rampai Sosiologi. LP-FE UI. Jakarta.
Irawan, et. Al., 2001. Kebijaksanaan Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan Hortikultura. Pusat Peneltian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
29
Lipsey, Richard G., P. O. Steiner, and D. D Purvis. Pengantar Ilmu Ekonomi Mikro. Disadur Oleh urusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.
PSP-LP IPB dan Bapebti-Departemen Perdagangan RI. 1995. Studi Kelayakan Pembentukan Pasar Lelang Komoditi Sayur Mayur di Jawa Barat. Kerjasama PSP-LP IPB dan Bapebti-Departemen
Perdagangan RI. Bogor.
Ravallion, M. 1986. Market Integration. America Agricultural Economic Association.
Samuelson, Paul A., dan W. D. Nordhaus, 1993. Mikro Ekonomi (Edisi ke empat belas). Penerbit Erlangga. Jakarta.
Saptana, E.L. Hastuti, Ashari, K.S. Indraningsih, S. Friyatno, Sunarsih, dan V. Darwis. 2005. Analisis Kelembagaan Kemitraan pada Komoditas Hortikultura. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.. Bogor.
Simatupang, P. 1995. Industrialisasi Pertanian Sebagai Strategi Agribinis dan Pembangunan Pertanian Dalam Era Globalisasi. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor.
Sinaga, R.S. 1987. Pembangunan Pertanian Sistem Agribisnis dan Perusahaan Inti Rakyat. Ringkasan Kuliah. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Whethly, Ch. 2004. Theory, method and approach of Supply Chain Management. Workshop on supply chain management of Agricultural Product, IAARD, Jakarta, November 2004.
Zelditch, Morris. 1979. Some Methodological of Field Studies dalam John Bynner and Keith M. Stribley (Eds.). Social Research : principle and procedures. Longman in association with the Open University Press. New York.
.
30