54
Makalah Seminar Hasil Penelitian T.A. 2006 ANALISIS KELEMBAGAAN KEMITRAAN RANTAI PASOK KOMODITAS HORTIKULTURA Oleh: Saptana Henny Mayrowani Adang Agustian Sunarsih

Rantai Pasok Hortikultura (SPN)

  • Upload
    riciso

  • View
    83

  • Download
    8

Embed Size (px)

DESCRIPTION

rantai pasok manajemen

Citation preview

Page 1: Rantai Pasok Hortikultura (SPN)

Makalah Seminar Hasil Penelitian T.A. 2006

ANALISIS KELEMBAGAAN KEMITRAAN RANTAI PASOK KOMODITAS HORTIKULTURA

Oleh:

SaptanaHenny MayrowaniAdang Agustian

Sunarsih

PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIANBADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

DEPARTEMEN PERTANIAN2006

Page 2: Rantai Pasok Hortikultura (SPN)

ANALISIS KELEMBAGAAN KEMITRAAN RANTAI PASOK KOMODITAS HORTIKULTURA

Oleh : Saptana, Adang Agustian, Sunarsih dan Henny Mayrowani

Abstrak

Pesatnya perkembangan pasar modern, disamping pasar tradisional yang sudah ada menciptakan peluang dan sekaligus tantangan bagi para pelaku agribisnis hortikultura, sehingga perlu dilakukan pendekatan baru untuk meresponnya. Permasalahan pokok pada aspek pemasaran adalah panjangnya rantai pemasaran, margin tataniaga yang tidak terdistribusi secara adil, munculnya margin ganda, struktur pasar timpang, serta lemahnya koordinasi antar pelaku tataniaga. Kondisi tersebut menyebabkan keterkaitan supply chain management (SCM) antar pelaku dalam rantai pasok produk hortikultura rapuh. Penelitian ini mencakup dua kegiatan, yaitu (1) Analisis Kinerja Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok Komoditas Hortikultura; dan (2) Merumuskan Alternatif Kebijakan Pengembangan Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok Komoditas Hortikultura. Penelitian dilakukan di tiga provinsi, yaitu Bali, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Komoditas yang akan dikaji mencakup komoditas melon, semangka, serta kentang. Dari hasil kajian didapatkan bahwa kebijakan pengembangan hortikultura cukup mendukung pengembangan rantai pasok, namun belum cukup terfokus. Pola-pola kelembagaan rantai pasok yang dominan adalah pola dagang umum, contract farming dan STA. Dari pola-pola yang ada masih terdapat beberapa kendala sehingga pada kebanyakan kasus kemitraan ini tidak berkelanjutan. Bebeberapa syarat membangun kelembagaan kemitraan rantai pasok komoditas hortikultura secara terpadu dan berkelanjutan, adalah: (1) Membangun serta memperkuat kemitraan rantai pasok komoditas hortikultura melalui proses sosial yang matang; (2) Pemahaman Terhadap Jaringan Agribisnis Hortikultura; (3) Pentingnya perencanaan dan pengaturan produksi di tingkat kelompok tani; (4) Pentingnya program pengembangan irigasi spesifik komoditas hortikultura; (5) Pentingnya manajemen yang bersifat transparan; (6) Adanya komitmen yang tinggi antara pihak yang bermitra, sehingga terbangun saling percaya-mempercayai; (7) Pentingnya penyediaan infrastruktur penanganan pascapanen dan pemasaran hasil yang memadai terutama di sentra produksi; (8) Adanya pendampingan dan pembinaan oleh PPL Ahli di bidang komoditas hortikultura (kentang, melon dan semangka); (9) Konsolidasi kelembagaan kelompok tani; (10) Membangun jiwa dan semangat kewirausahaan; (11) Usaha-usaha stabilisasi harga; (12) Pengembangan sistem informasi yang handal; (13) Meletakkan integrasi-koordinasi vertikal secara tepat; serta (14) Membangun Kelembagaan Kemitraan Usaha Terpadu. Implementasi Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok Komoditas Hortikultura Terpadu, sebagai model alternatif, adalah sebagai berikut : (1) petani melakukan konsolidasi dalam wadah kelompok tani; (2) kelompok tani-kelompok tani mandiri dapat ditransformasikan dalam kelembagaan formal berbadan hukum; (3) kelompok tani mandiri; (4) kelembagaan-kelembagaan yang telah tergabung tersebut melakukan konsolidasi manajemen usaha pada hamparan lahan yang memenuhi skala usaha, tergantung jenis komoditas (10-25 hektar); (5) pilihan komoditas di sesuaikan dengan potensi wilayah dan permintaan pasarnya; (6) penerapan manajemen korporasi dalam menjalankan sistem usaha agribisnis; (7) pemilihan perusahaan mitra yang memiliki komitmen tinggi; dan (8) Adanya kelembagaan Pusat Pelayanan dan Konsultasi Agribisnis (PPA) sebagai mediator dan fasilitator. Kata kunci : kelembagaan kemitraan, rantai pasok, hortikultura, kebijakan.

I. PENDAHULUAN

Globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan yang ditandai dengan diberlakukannya

perdagangan bebas di tingkat ASEAN Free Trade Area (AFTA) sejak Januari 2003, serta

implementasi komitmen di World Trade Organization (WTO), dan Asia Pasific Economic Cooperation

(APEC) menyebabkan terjadinya peningkatan perdagangan produk pertanian (hortikultura),

penetrasi pasar hingga pelosok pedesaan, adanya kecenderungan penurunan harga komoditas

pertanian secara bertahap karena persaingan yang makin kompetitif serta semakin terintegrasinya

pasar komoditas.

Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

2

Page 3: Rantai Pasok Hortikultura (SPN)

Pesatnya pertumbuhan pasar modern di samping pasar-pasar tradisional yang sudah ada

menyebabkan Produk hortikultura yang dihasilkan petani menghadapi masalah persaingan yang

makin kompetitif dengan makin luasnya jaringan rantai pasok, baik pasar domestik maupun ekspor.

Fenomena membanjirnya produk hortikultura impor, baik di pasar modern maupun di pasar-pasar

tradisional, sampai di pelosok, perlu mendapat perhatian serius.

Saat ini kebijakan pengembangan komoditas hortikultura di Indonesia telah berhasil

mendorong terjadinya peningkatan produksi, namun demikian peningkatan itu ternyata belum searah

dengan dinamika permintaan pasar dan perubahan preferensi konsumen. Petani sebagai produsen

harus memikirkan hal menyangkut kualitas, ukuran, tampilan, dan sebagainya sesuai dengan

tuntutan konsumen. Hal ini menunjukkan bahwa sudah selayaknya dilakukan rerorientasi kebijakan

dari pendekatan pengembangan komoditas ke arah pengembangan produk hortikultura.

Dari sisi pasar, secara empiris diperoleh kenyataan bahwa struktur pasar hasil pertanian

terutama komoditas hortikultura cenderung oligopsonistik, sehingga petani selaku produsen selalu

memiliki posisi tawar yang relatif lebih lemah. Lahirnya konsep kerjasama atau kemitraan antara

perusahaan pertanian dengan pertanian rakyat didasarkan atas dua argumen (Sinaga, 1987), yaitu :

(1) adanya perbedaan dalam penguasaan sumberdaya (lahan dan kapital) antara masyarakat

industrial di perkotaan (pengusaha) dengan masyarakat pertanian di pedesaan (petani), dan (2)

adanya perbedaan sifat hubungan biaya per satuan output dengan skala usaha pada masing-masing

subsistem agribisnis, di mana dalam subsistem usahatani bersifat tetap (constant cost to scale),

sementara itu dalam subsistem pemasaran, pengolahan dan pengadaan saprodi bersifat menurun

(decreasing cost to scale). Menurut Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 (Deptan, 1995), kemitraan

adalah kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau besar dengan memperhatikan

prinsip saling membutuhkan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Perubahan

lingkungan strategis seperti liberalisasi perdagangan, pesatnya pertumbuhan pasar modern di

samping pasar tradisional, serta dinamika permintaan pasar dan perubahan preferensi konsumen,

serta fenomena segmentasi pasar menuntut adanya perubahan serta penyesuaian beroperasinya

kelembagaan kemitraan rantai pasok (supply chain management) komoditas hortikultura.

Kebijakan yang terkait dengan kelembagaan kemitraan usaha sebenarnya juga sudah ada,

namun kenyataan menunjukkan bahwa kelembagaan kemitraan yang terbangun belum sinergi,

bahkan terjadinya hubungan asimetris antar pelaku, dan menempatkan petani pada sisi terlemah

diantara berbagai pelaku lain. Peluang yang terbuka dengan tumbuhnya pasar modern maupun

tradisional, belum mampu dimanfaatkan oleh para pelaku agribisnis, khususnya petani yang memiliki

skala usaha kecil dan menengah. Selain karena keterbatasan yang ada ditingkat petani maupun

kendala struktural yang ada, hal itu terutama disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang

karakteristik pasar modern dan tradisional.

Secara empiris prinsip-prinsip SCM belum diterapkan dengan baik oleh pelaku usaha, yang

antara lain direfleksikan oleh : (1) Belum sepenuhnya berorientasi pada pemenuhan preferensi

Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

3

Page 4: Rantai Pasok Hortikultura (SPN)

konsumen atau kepuasan pelanggan; (2) Sistem pemasaran belum efektif dan efisien; (3)

Terbatasnya dukungan sarana dan prasarana produksi dan distribusi produk hortikultura; (4)

Lemahnya sistem informasi managemen dan tidak transparan.

Melalui penelitian ini diharapkan memberikan manfaat dan dampak positip terhadap kinerja

pengembangan agribisnis komoditas hortikultura, baik secara teknis maupun ekonomis terhadap

pelaku agribisnis, produk hortikultura yang dihasilkan, serta terhadap kinerja kelembagaan kemitraan

rantai pasok. Di samping itu, penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan dalam pemecahan

permasalahan yang dihadapi petani dan pelaku agribisnis lain baik dari aspek teknis, ekonomi,

maupun sosial-kelembagaan.

1.4. Tujuan dan Keluaran

Berdasarkan uraian tersebut, maka kajian yang berjudul ”Kajian Kelembagaan Kemitraan

Rantai Pasok Komoditas Hortikultura’’, sangat relevan untuk dilakukan dengan rincian kegiatan : (1)

Analisis Kinerja Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok Komoditas Hortikultura ; dan (2) Alternatif

Kebijakan Pengembangan Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok Hortikultura.

Tujuan untuk Kegiatan Analisis Kinerja Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasokan

Komoditas Hortikultura :

1. Evaluasi kinerja kebijakan pengembangan agribisnis hortikultura terkait dengan kelembagaan

kemitraan rantai pasok;

2. Melakukan identifikasi pola-pola kelembagaan kemitraan rantai pasok komoditas hortikultura

pada pasar modern dan tradisional;

3. Melakukan identifikasi tentang karakteristik dan managemen rantai pasok produk hortikultura

pada pasar modern dan tradisional;

4. Melakukan analisis struktur dan dinamika pembentukan harga kelembagaan rantai pasok pada

pasar modern dan tradisional.

Tujuan untuk Kegiatan Alternatif Kebijakan Pengembangan Kelembagaan Kemitraan

Rantai Pasok Hortikultura :

1. Melakukan analisis peran dan pola interaksi antar pelaku dalam kelembagaan kemitraan rantai

pasok produk hortikultura.

2. Merumuskan syarat-syarat keberhasilan dalam mengembangkan kelembagaan kemitraan rantai

pasok produk hortikultura;

3. Alternatif kebijakan kelembagaan kemitraan rantai pasok produk hortikultura yang efektif dan

efisien secara partisipatif.

Keluaran Untuk Kegiatan Analisis Kinerja Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok

Komoditas Hortikultura :

1. Kinerja dan prospek kebijakan pengembangan agribisnis produk hortikultura;

2. Teridentifikasinya pola-pola kelembagaan kemitraan rantai pasok produk hortikultura;Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

4

Page 5: Rantai Pasok Hortikultura (SPN)

3. Kinerja sistem managemen kelembagaan kemitraan rantai pasok produk hortikultura;

4. Kinerja sistem pemasaran pada berbagai kelembagaan kemitraan pasok produk hortikultura.

Keluaran Pengembangan Alternatif Kebijakan Pengembangan Kelembagaan Kemitraan

Rantai Pasok Hortikultura :

1. Mekanisme sistem koordinasi dan pola interaksi antar kelembagaan dalam kelembagaan

kemitraan rantai pasok produk hortikultura;

2. Rumusan syarat-syarat mengembangkan kelembagaan kemitraan rantai pasok yang efektif dan

efisien;

3. Alternatif strategi kebijakan pengembangan kelembagaan kemitraan rantai pasok yang bersifat

spesifik wilayah dan komoditas.

II. METODE PENELITIAN

2.1. Metode Pengumpulan Data dan Perencanaan Sampling

Sesuai dengan substansi dan tujuan yang ingin dicapai, maka penelitian ini akan dilakukan

menurut rancangan penelitian kuantitatif dan kualitatif, dengan penekanan pada aspek kualitatif.

Data yang dibutuhkan mencakup data kuantitatif dan kualitatif. Pengumpulan data kuantatif

dilakukan melalui wawancara terstruktur, sedangkan data kualitatif dikumpulkan melalui strategi studi

kasus dengan multimetode : wawancara mendalam, pengamatan langsung, dan dilengkapi dengan

informasi dari dokumen tertulis yang relevan dengan tujuan penelitian ini.

Penelitian akan dilakukan di tiga provinsi yaitu Bali, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.

Sedangkan komoditas yang dipilih adalah : kentang (Jawa Barat)., Melon dan Semangka (Jawa

'I'engah dan Bali). Pemilihan lokasi dan komoditas mempertimbangkan adanya bentuk-bentuk

kelcmbagaan rantai pasok yang beragam pasar tradisional, pasar modern dan konsumen institusi.

Komoditas hortikultura terpilih di dasarkan beberapa pentimbangan sebagai berikut : (1) Komoditas

komersial bernilai ekonomi tinggi (high value commodity); (2) merupakan komoditas hortikultura

semusim yang telah berkembang dan atau prospektif; serta (3 ) memiliki tujuan atau segmen pasar

yang bersifat spesifik.

Subyek penelitian/responden mencakup pelaku pada (1) susbsistem agribisnis hulu

(pemasok/pengusaha benih); (2) subsistem budidaya (petani/kelompok tani); (3) subsistem

agribisnis hilir yakni industri pengolahan baik menghasilkan produk antara maupun produk akhir

(perusahaan mitra); (4) subsistem pemasaran (pedagang output berbagai tingkatan, pelaku di pasar

tradisional maupun modern) ; dan (5) subsistem penunjang (instansi terkait, lembaga

penelitian/perguruan tinggi, informan kunci lainnya).

2.2. Jenis dan Analisis Data

Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

5

Page 6: Rantai Pasok Hortikultura (SPN)

2.2.1. Jenis dan Sumber Data

Sumber data dapat dikelompokkan menjadi sumber data primer dan sumber data

sekunder. Data primer dikumpulkan dengan menggunakan prosedur pengambilan contoh (sampling)

dalam suatu survey penelitian. Dalam penelitian ini selain dikumpulkan dengan metode survey, juga

dengan metode semi partisipatif untuk menangkap informasi kualitatif secara lebih mendalam

terutama yang berkaitan dengan kelembagaan kemitraan rantai pasok komoditas hortikultura.

Sumber data sekunder adalah data yang sudah dipublikasikan dan dikumpulkan untuk “tujuan yang

lain” daripada tujuan penelitian yang sedang dilakukan.

2.2.2. Analisis Data

Data kuantitattif terkait dengan aspek supply chain management (SCM) akan dianalisis

dengan menggunakan alat analisis statistik dan ekonometrik, sedangkan data kualitatif menyangkut

aspek kebijakan dan kelembagaan akan dianalisis secara deskriptif. Alur kelembagaan rantai pasok,

ditelusuri pada seluruh pelaku rantai pasok mulai dari petani produsen hingga berbagai tujuan pasar.

Penelitian ini merupakan kajian terhadap kelembagaan kemitraan rantai pasok sehingga

analisis yang digunakan adalah analisis kelembagaan dan analisis pemasaran pada setiap mata

rantai pasok komoditas hortikultura yang diteliti dilakukan dengan studi kasus pada berbagai

kelembagaan kemitraan rantai pasok komoditas hortikultura terpilih dengan fokus kajian untuk tujuan

pasar modern dan tradisional. Untuk menjawab beberapa tujuan pada kegiatan pertama akan

digunakan analisis kebijakan, kelembagaan dan managemen, serta analisis pemasaran. Sementara

itu, untuk mejawab tujuan kedua akan digunakan analisis kelembagaan serta hasil sintesa dari

keseluruhan penelitian.

III. HASIL PENELITIAN

3.1. Kinerja Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasokan Komoditas Hortikultura

III.1.1. Kinerja kebijakan pengembangan agribisnis hortikultura terkait dengan kelembagaan kemitraan rantai pasok.

Kebijakan secara spesifik dan langsung pada komoditas hortikultura dalam pemacuan

produksi mulai mendapat porsi perhatian yang terfokus mulai tahun 2001. Kebijakan pengembangan

produksi hortikultura diarahkan pada peningkatan produksi, produktifitas dan mutu yang diperoleh

melalui pengelolaan usahatani yang efisien untuk menghasilkan komoditas hortikultura yang berdaya

saing sesuai dengan permintaan pasar. Strategi yang ditempuh dalam pengembangan hortikultura

adalah: (1) Menetapkan komoditas unggulan; (2) Membuat pewilayahan komoditas yang mengacu

pada rencana rara ruang masing-masing daerah; (3) Mengembangkan kemitraan antara petani dan

pengusaha; (4) Memberdayakan kelompok tani; (5) Meningkatkan penerapan teknologi rekomendasi Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

6

Page 7: Rantai Pasok Hortikultura (SPN)

dan manajemen usahatani efisien; dan (6) Memberdayakan sumberdaya manusia di bidang teknis

dan manajemen usahatani.

Atas dasar acuan dari strategi tersebut, maka terdapat tiga pola pengembangan yang

ditempuh, yaitu: (1) Meningkatkan mutu intensifikasi di daerah-daerah sentra produksi hortikutura;

(2) Memperluas areal tanam melalui penumbuhan daerah pengembangan produksi baru; dan (3)

Meningkatkan indeks pertanaman dari 200 persen menjadi 300 persen setahun dengan jenis

tanaman yang berbeda, khususnya sayuran dan buah semusim.

Terdapat tiga program pengembangan yang ditempuh, yaitu: (1) Program Ketahanan

Pangan yang bertujuan agar masyarakat mampu memperoleh dan mengkonsumsi berbagai produk

pangan termasuk hortikultura sepanjang tahun dengan harga terjangkau melalui peningkatan

produksi, produktivitas, dan pendapatan; (2) Program Pengembangan Agribisnis yang bertujuan

meningkatkan pendapatan petani melalui peningkatan daya saing baik di pasar domestik maupun

ekspor; dan (3) Program Rintisan Korporasi melalui pembinaan kerjasama ekonomi dalam kelompok

tani melalui konsolidasi manajemen usahatani dalam skala efisien dan manajemen profesional.

Disisi lain, bahwa dalam pengembangan agribisnis khususnya yang menyangkut

pemasaran produk hortikultura diperlukan strategi dan upaya-upaya peningkatan pemasaran.

Keberhasilan pemasaran komoditas hortikultura tergantung dari aspek produk, harga, distribusi dan

promosi (Ditjen BP2HP, 2004).

Aspek produk antara lain dipengaruhi oleh volume, kualitas, kontinuitas pasokan, serta

keamanan produk. Aspek harga antara lain dipengaruhi oleh perbandingan antara permintaan dan

persediaan, efisiensi proses produksi dan struktur pasar. Aspek distribusi dan promosi, dimana

aspek distribusi akan berpengaruh terhadap ketepatan pengiriman, mutu produk, serta memperluas

pangsa pasarnya, sedangkan promosi dimaksudkan untuk memperkanalkan produk kepada

masyarakat secara luas serta menciptakan image.

Terkait dengan kebijakan pemasaran yang telah dilakukan Departemen Pertanian yang

terealisasikan dalam bentuk program dan kegiatan, antara lain: (1) Pengembangan dan Penguatan

Pasar Dalam Negeri; (2) Pengembangan Pasar Internasional; (3) Pengembangan Manajemen

Informasi dan Jaringan Pasar; (4) Pengembangan Sistem Distribusi Hasil Hortikultura; dan (5)

Pengembangan Jaminan Mutu.

Pengembangan pemasaran dalam negeri (domestik) diarahkan bagi terciptanya

mekanisme pasar yang transparan dan berkeadilan, sistem pemasaran yang efisien, serta

meningkatnya pangsa produk lokal di pasar domestik yang terefleksi dari peningkatan konsumsi

terhadap produk hortikultura pertanian Indonesia. Ruang lingkup kebijakan operasional

pengembangan pasar domestik hasil pertanian, meliputi (http://agribisnis.deptan.go.id, 2005): (1)

Menciptakan harga yang wajar; (2) Diversifikasi produk atau pengembangan produk baru dan

pengembangan hasil-hasil olahan; (3) Penciptaan peraturan atau iklim usaha yang kondusif; (4))

Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

7

Page 8: Rantai Pasok Hortikultura (SPN)

Pengembangan asosiasi dan koperasi pemasaran serta kelembagaan pemasaran lainnya; dan (5)

Peningkatan efisiensi dan efektifitas pemasaran

Adapun program atau faktor yang menunjang pemasaran meliputi kegiatan: (1) Promosi; (2)

Pembangunan infrastruktur pemasaran, termasuk dalam kegiatan ini adalah pembangunan Terminal

Agribisnis (TA) dan Sub-Terminal Agribisnis (STA), pengembangan jaringan informasi pasar dan

inteligensi pemasaran; (3) Pengembangan produk khas dengan market nice tertentu (produk

pertanian organik dan khas daerah tertentu); (4) Pengembangan perdagangan antar pulau; dan (5)

Pengembangan sistem penyidikan dan informasi pasar (market intelligent and market information)

Sementara itu, terkait dengan perdagangan internasional komoditas hortikultura maka sejak

Januari 1995, Indonesia sebagai salah satu negara berkembang dan sebagai anggota WTO telah

menjalankan reformasi kebijakan pertanian dan perdagangan dengan mengacu kepada Perjanjian

Pertanian (Agreement on Agricultural) WTO. Semua bentuk NTB (Non Tariff Barrier) diubah ke

dalam TB (Tariff Barrier). Semua subsidi yang mendistorsi pasar dikurangi secara bertahap sesuai

dengan komitmen. (Ditjen BP2HP, 2003). Maka paling tidak terdapat 6 tantangan utama, yaitu : (1)

Dalam memenuhi persyaratan mutu yang diberlakukan oleh negara-negara maju seperti Jepang,

USA, Uni Eropa, persyaratan itu dikemas dalam suatu Sanitary and Phytosanitary (SPS) Measure,

ketentuan SPS di negara maju seringkali lebih ketat dari peraturan internasional yang menyangkut

standar produk; (2) Antisipasi perubahan pasar, baik domestik maupun ekspor, pentingnya market

intelegence; (3) Lemahnya pengetahuan tentang sistem distribusi di pasar tujuan ekspor dan

kurangnya network pemasaran di luar negeri; (4) Lemahnya pengembangan produk (product

development); (5) Lemahnya promosi produk hortikultura di negara-negara tujuan; (6) Suplai produk

yang tidak kontinu.

Sebelum tahun 1996, pelaksanaan ekspor komoditas hortikultura harus seijin Kantor

Wilayah Departemen Perindustrian dan Perdagangan dengan persyaratan harus mengisi dokumen

(PEB atau Pemberitahuan Ekspor Barang dan SPM atau Surat Pernyataan Mutu) di Kanwil

Perindustrian dan Perdagangan setempat. Mata rantai perdagangan pertanian di Indonesia sangat

rumit, sehingga untuk membawa produk hortikultura dari satu tempat (pedagang grosir) ke tempat

lain (retailer) mempunyai dampak biaya yang cukup tinggi, yang pada gilirannya konsumen akan

memperoleh harga yang tinggi. Selain itu, adanya UU ”otonomi daerah” memicu Pemda setempat

untuk mengeluarkan Perda yang memberatkan para pedagang dengan adanya retribusi yang

dikeluarkan setiap Propinsi. Upaya yang menanamkan kecintaan terhadap produk hortikultura

domestik perlu dilakukan secara konsekuen dan berkelanjutan, sehingga dapat mendukung

peningkatan produksi.

3.1.2. Pola, Peran, dan Pola Interaksi Dalam Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok Komoditas Hortikultura Pada Pasar Modern dan Tradisional

Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

8

Page 9: Rantai Pasok Hortikultura (SPN)

Kelembagaan kemitraan rantai pasok komoditas hortikultura merupakan kerjasama antara

usaha kecil (termasuk petani) dengan usaha menengah atau besar dalam jaringan rantai pasok yang

diserta pembinaan dan pengembangan dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling

memperkuat, dan saling menguntungkan. Beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam kelembagaan

kemitraan rantai pasok komoditas hortikultura adalah untuk meningkatkan pendapatan,

kesinambungan usaha, meningkatkan kualitas sumberdaya kelompok atau petani mitra, peningkatan

skala usaha, menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kelompok mitra.

Kemitraan merupakan interdependensi antara dua belah pihak, di mana masing-masing

mengharapkan akan memperoleh keuntungan dengan dilakukannya hubungan kemitraan tersebut.

Beberapa pola kemitraan usaha (partnership) pada komoditas sayuran :(1) Pola Kemitraan Dadang

Umum yang dijumpai pada seluruh komoditas hortikultura, pada pola ini terjadinya kontrak

kerjasama biasanya terjadi pada tingkat supplier (midle man) dengan super market, restauran dan

hotel, juga dengan pedagang besar di tujuan-tujuan pasar; (2) Pola kemitraan Contrak Farming

Pembinaan dan Kredit Bibit antara Perusahaan Indofood Fritolay Makmur dengan Petani atau

Kelompok Tani untuk komoditas kentang jenis atlantik kerjasama ini melibatkan sekitar 250 orang

petani; dan (3) Pola kemitraan rantai pasok dalam kerangka pengembangan STA dan Pasar lelang;

(4) Pola Kemitraan Kelompok Penangkar Bibit Kentang dengan Petani; (5) Pola Kemitraan

Petani/Kelompok Tani dengan Pedagang Mitra; serta (6) Pola Kemitraan Kelompok Tani dengan

Perusahaan Pengolahan.

3.1.2.1. Pola, Peran dan Pola Interaksi Kemitraan Rantai Pasok Petani dengan , Pedagang dan Kelompok Tani.

Pola kemitraan rantai pasok Petani dengan pedagang , baik pedagang mitra maupun

pedagang lainnya yang memberikan bantuan modal serta kelompok tani yang melakukan

pemasaran bersama diilustrasikan pada Gambar 1.

Petani menjalin kemitraan dengan pedagang output dengan mekanisme dimana petani

memperoleh bantuan modal usahatani dari pedagang output di awal kegiatan usahataninya, dan

selanjutnya akan dibayar saat panen dan menjual produk ke pedagang output tersebut dengan

tingkat harga jual yang berlaku saat transaksi tersebut.

Managemen rantai pasok (supply chain management) pada umumnya mengikuti pola :

Petani – pedagang pengepul – Bandar – Pasar Induk. Bentuk kemitraan usaha ini ditemui pada

komoditas kentang.

Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

9

Kelompok, Petani

Bebas dan

Petani Mitra

Pedagang Pengepul/Pdg Besar/Kel-tan

Sentra Produksi

Armada Ekspedisi

Milik Pdg/UD/S

ewa

Pasar Induk

Pasar Lokal

Page 10: Rantai Pasok Hortikultura (SPN)

Gambar 1. Pola Kemitraan Rantai Pasok Petani dengan Pola Dagang Umum, Pedagang Mitra, PedagangPengepul/Besar dan Kelompok tani, Tahun 2006

Contoh kasus kemitraan petani melon dan semangka dengan UD Mekar Buah sebagai

pedagang mitra, yang juga merupakan Ketua Kelompok tani, ditemui di Kebumen, Jawa Tengah,

yang sudah berlangsung sejak 1985 hingga kini. Dimana Pedagang Mitra mempunyai kewajiban

antara lain: (1) menyediakan bibit berkualitas sesuai permintaan; (2) menyediakan input lainnya

sesuai kebutuhan petani mitra; (3) menyediakan modal kerja; (4) menampung dan memasarkan

hasil. Sementara itu, petani yang berjumlah kurang lebih 400 orang berkewajiban : (1) melakukan

budidaya secara baik sesuai dengan varietas yang diminta pasar; (2) melaporkan jadwal kegiatan

terutama waktu tanam dan waktu panen; dan (3) menjual seluruh hasil produksinya ke Pedagang

Mitra. Dalam kerjasama ini tidak dilakukan kontrak harga, namun harga mengikuti harga pasar,

Pedagang Mitra memberikan bukti nota hasil penjualannya dengan mengambil keuntungan antara

Rp. 100-200/kg.

Kasus pola kemitraan rantai pasok antara petani secara individu dengan pedagang

pengepul sebagai mitra di temui di Bali untuk komoditas melon dan semangka yang berlangsung

sejak 1990 hingga kini dengan keanggotaannya yang berkembang hingga antar wilayah kabupaten.

Kewajiban Pedagang Mitra antara lain adalah : (1) menyediakan bibit berkualitas sesuai permintaan

komoditas melon dan semangka; (2) menyediakan input lainnya sesuai kebutuhan petani mitra; (3)

menyediakan modal kerja; (4) menampung dan memasarkan hasil melon dan semangka dari petani.

Sementara itu, petani yang berjumlah kurang lebih 40 orang berkewajiban : (1) melakukan budidaya

secara baik sesuai dengan varietas yang diminta pasar; (2) melaporkan jadwal kegiatan terutama

jadwal tanam dan panen; dan (3) menjual seluruh hasil produksinya ke pedagang mitra. Dalam

kerjasama ini tidak dilakukan kontrak harga, namun harga mengikuti harga pasar, di mana

Pedagang Mitra memberikan bukti nota hasil penjualannya dengan mengambil keuntungan antara

Rp. 100-200/kg tergantung permintaan pasar dan harga. Rata-rata tingkat pendapatan petani melalui

kerjasama ini kurang lebih Rp. 1.200-1.800,-/kg.

Pola kemitraan rantai pasok lainnya yang dijumpai di Bali adalah melalui Pola Kelompok

Tani/STA yang digambarkan sebagai berikut : (1) Terdapat kesepakatan dalam penentuan luas

tanam melon/semangka pada masing-masing petani anggota; (2) Terdapat kesepakatan tentang

jenis atau varietas melon yang akan ditanam sesuai dengan permintaan pasar; (3) Terdapat pola

Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

10

Penyedia saprotan : Kel-tan/TP

K; Kios; LPD/KSU

Bank

Industri Kripik (kentang); Pasar Kota (melon dan semangka

Page 11: Rantai Pasok Hortikultura (SPN)

pengaturan tentang jadwal tanam dan jadwal panen antar petani dan antar wilayah sehingga

managemen pemasaran dapat dilakukan secara terencana; (4) Terdapat kesepakatan dalam

pengadaan saprodi secara bersama atau dapat secara sendiri-sendiri; dan (5) Adanya mekanisme

pemasaran bersama oleh kelompok tani/asosiasi/STA di mana harga mengikuti harga pasar; serta

(6) Adanya fee atau keuntungan untuk kelompok tani/assosiasi/STA.

3.1.2.2. Pola, Peran, dan Pola Interaksi Kemitraan Rantai Pasok antara Petani (Kelompok Tani) dengan Perusahaan Mitra

Pola kemitraan ini terdapat pada pengusahaan komoditas kentang. Dalam mekanisme

kemitraan tersebut, pengikat kemitraan antara PT. IFM dengan kelompok tani adalah berupa

kesepakatan/komitmen yang terbangun antara kedua belah pihak. Kesepakatan tersebut tidak dalam

bentuk MoU tertulis, namun lebih bersifat verbal dan harus saling mentaati. Pihak PT. IFM

mengharapkan agar para petani yang terwadahi dalam kelompok tani melakukan budidaya kentang

Atlantik secara baik dengan sumber benih dari PT. IFM (melalui PT. MAL) dan selanjutnya PT. IFM

akan menampung seluruh hasilnya dari para petani dengan harga kontrak yang disepakati kedua

belah pihak.

Beberapa kewajiban PT. Indofood Fritolay makmur adalah : (1) menyediakan bibit dengan

varietas atlantik dengan kualitas terjamin (berasal dari Scotlandia, Western Australia), dengan harga

Rp. 9000,-/kg; (2) menyediakan sarana produksi lain bagi yang memerlukan yang bersifat tidak

mengikat; (3) melakukan pembinaan teknis budidaya dengan pendampingan seorang Agro-

Supervisor; dan (4) Menampung hasil dari petani dengan harga dan spesifikasi produk yang telah

disepakati. Sementara itu, petani atau kelompok tani berkewajiban : (1) membeli bibit varietas

atlantik yang disediakan oleh Perusahaan Mitra; (2) melakukan budidaya kentang atlantik sesuai

anjuran; dan (3) menjual hasil kepada Perusahaan Mitra, serta (4) membayar kredit bibit dengan

sistem bayar setelah panen dengan cara dipotong pada saat penyerahan barang.

Hak Perusahaan Mitra adalah mendapatkan jaminan produksi atau bahan baku baik dari

segi jumlah, kualitas, dan kontinuitas berdasarkan kesepakatan, di mana harga ditetapkan sebelum

menanam yaitu sebesar Rp. 3.800,-/kg franko pabrik atau Rp. 3.450-3.500 di tingkat vendor.

Sementara itu, Petani Mitra memiliki hak atas jaminan harga dan pasar sesuai kesepakatan kedua

belah pihak. Pola interaksi dilakukan secara tatap muka terutama pada saat sosialisasi dan

melakukan kesepakatan-kesepakatan. Melalui mediasi agrosupervisor yang ada disetiap lokasi.

Serta melalui media telepon atau hand pond. Sedangkan transaksi dapat dilakukan melalui transfer

bank maupun melalui mediasi agro-supervisor. Pola yang dikembangkan oleh PT. Indofoof Fritoley

Makmur adalah dapat diilustrasikan pada Gambar 2. berikut :

Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

11

SupplierBibit

Indofood Fritolay Makmur-Pabrik Tangerang

-Pabrik Semarang

KegiatanBudidaya

Penerima Bibit 250 petani:-Petani-Kel. Tani

Kegiatan Panen &

PascapanenTransportasi dari

Petani-Pabrik

Angsuran Bibit

Pembayaran ke Petani

Page 12: Rantai Pasok Hortikultura (SPN)

Gambar 2. Pola Kemitraan Rantai Pasok Komoditas Kentang Atlantik Antara Kelompok Tani-Petani dengan PT. IFM

Beberapa permasalahan yang saat ini dihadapi petani : (1) Adanya pembatasan produksi

oleh perusahaan; (2) Ketergantungan yang tinggi terhadap kondisi iklim atau cuaca, terutama

tingginya curah hujan; (3) Tingginya harga kontral bibit Atlantik yang dibayar petani, (4) Sering

terjadinya keterlambatan bibit sehingga menimbulkan ketidak pastian waktu tanam; (5)

Meningkatnya harga sarana produksi lain, seperti pupuk, pestisida, fungisida, dan herbisida; (6)

Buruknya infrastruktur sehingga menimbulkan kerusakan fisik dalam biaya pengangkutan tinggi. (6)

Terjadinya over produksi dengan biaya ditanggung petani; dan (7) Belum optimalnya

pengoperasionalan STA.

3.1.2.3. Pola, Peran, dan Pola Interaksi Kemitraan Rantai Pasok dalam Kerangka Pengembangan STA

Sub Terminal Agribisnis (STA) adalah institusi pelayanan pemasaran di pasar produsen

pada daerah sentra produksi yang berfungsi sebagai tempat transaksi produk pertanian berkualitas,

tempat distribusi, sumber informasi dan promosi, tempat perolehan sarana produksi, wadah

pembinaan peningkatan kualitas (grading, sotasi, pengemasan, dan lain-lain). Mekanisme

penanganan produk hortikultura yang disalurkan melalui Sub Terminal agribisnis dapat diilustrasikan

pada Gambar 3.

Berdasarkan hasil wawancara dan klarifikasi di tingkat kabupaten diperoleh informasi

bahwa STA di Jawa Barat belum dapat berjalan sebagaimana mestinya, karena banyak STA swasta

lokal yang lebih efisien menyalurkan produk hortikultura dalam berbagai kemasan dan

mendistribusikan langsung ke Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi.

Beberapa permasalahan pokok yang dihadapi bagi beroperasinya STA antara lain adalah :

(1) Kurang siapnya kelembagaan atau organisasi pengelolanya; (2) Proses pembentukan

kelembagaan pengelola tidak melalui proses sosial yang matang; (3) Tugas dan fungsi, serta hak

dan kewajiban masing-masing tidak terumuskan secara terinci; (4) masalah manajemen, belum ada

sistem pengelolaan yang dipandang tepat, manajer yang profesional, belum transparan, belum jelas

pembagian tugas dan keuntungannya; (5) Manager umumnya telah memiliki usaha pribadi yang

telah berjalan dengan baik, sehingga timbul permasalahan dalam memilah kepentingan pribadi

sebagai pedagang dan sebagai pengelola STA.

Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

12

Page 13: Rantai Pasok Hortikultura (SPN)

Gambar 3. Mekanisme Penanganan Produk Hortikultura di STA

3.1.2.4. Pola, Peran, dan Pola Interaksi Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok dalam Kerangka Pengembangan Pasar Lelang

Pasar lelang dimulai pada bulan Juli tahun 2002. Pendiriannya didasari upaya untuk

membangun suatu sistem pemasaran komoditas pertanian yang bertujuan mengatasi ketidakstabilan

harga. Rencana operasionalnya diawali pertemuan petani-pedagang/suplier dan pemerintah daerah

(Idag-Agro). Secara umum, komoditas yang diperdagangkan masih bersifat primer.

Ada beberapa alasan pentingnya terbentuknya pasar lelang, yaitu : (1) perusahaan industri

membutuhkan bahan baku secara kontinu dalam jumlah tertentu; (2) kualitas barang memenuhi

standar mutu tertentu sehingga membutuhkan perlakuan tertentu; (3) sistem pembayaran barang

Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

Produk Hortikultura

Pemeriksaan/Check-In

Pembersihan/Pencucian

Sortasi dan Grading

Sortasi dan Grading

Kemasan/Packing

Produk Tidak Terjual Produk Terjual

Penyimpanan Sementara(Cool Room)

Pemeriksaan(Check-Out)

13

Page 14: Rantai Pasok Hortikultura (SPN)

yang dibeli tidak tunai sehingga menjadi masalah bagi petani yang membutuhkan uang segera

sebagai modal usahatani selanjutnya.

Beberapa komoditas hortikultura yang pernah ditransaksikan melalui pasar lelang antara

lain adalah : cabai, paprika, tomat, bawang merah, bawang daun, wortel, jamur kentang, kol, pisang,

mangga, sawo, jeruk, alpokat, dan jambu biji. Permasalahan yang muncul di pasar lelang

hortikultura adalah sifat komoditas yang mudah busuk, serta harga yang fluktuatif.

Pasar lelang diadakan setiap 2 minggu sekali, yaitu pada minggu I dan IV setiap bulan.

Hingga saat ini peserta pasar lelang masih terbatas pada 3-4 pengusaha. Transaksi di Pasar lelang

dalam skala yang cukup besar dengan kualitas barang yang relatif lebih baik dan harga yang lebih

tinggi.

Kendala dalam pelaksanaan pasar lelang antara lain adalah : (1) masyarakat belum siap

dengan sistem lelang ; (2) Belum ada komitmen yang tinggi di antara pelaku usaha dalam pasar

lelang; (3) Petani produsen belum terlibat, sehingga belum memberikan manfaat langsung kepada

petani; dan (4) Perangkat pendukung diperlukan, seperti sistem penjaminan, sistem dan lembaga

pembiayaan, sistem lelang jarak jauh, komitmen pelaku usaha dalam pasar lelang.Mekanisme alur

dan transaksi komoditas melalui pasar lelang Agro di Jawa Barat disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Alur dan Transaksi Komoditas pada Pasar Lelang Agro di Provinsi Jawa Barat, 2006

Keterangan: Alur komoditas yang ditransaksikan;

Alur fasilitasi informasi dan koordinasi lelang Agro pasar

3.1.2.5. Pola, Peran, dan Pola Interaksi Kelembagaan Kemitraan Petani atau Kelompok Tani dengan CV. MGA Solo serta dengan PT. Indofresh

Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

14

Petani

atau Produsen

PedagangPengumpul

Pedagang Besar/ Bandar

Pasar LelangAgro

Pembeli/Buyer:- Pedagang besar- Supplier- Eksportir- Perusaha- an- Industri- dsb.

Page 15: Rantai Pasok Hortikultura (SPN)

Pola kemitraan rantai pasok melalui Pola Kelompok Tani/Assosiasi dengan beberapa

Perusahaan Mitra (PT. CV. MGA Solo; dan PT. Indofresh) seperti kasus di Kabupaten Pekalongan

dapat digambarkan sebagai berikut : (1) Kesepakatan dalam penentuan luas pengusahaan

komoditas melon/semangka seluas 0,167 ha/petani (2) Kesepakatan jenis atau varietas melon yang

akan ditanam sesuai dengan permintaan pasar; (3) Pola pengaturan jadwal tanam dan jadwal panen

antar petani dan antar wilayah; (4) Pengadaaan saprodi dilakukan secara bersama kelompok atau

sendiri-sendiri; dan (5) Pemasaran dilakukan bersama oleh kelompok tani/asosiasi di mana harga

mengikuti harga pasar; serta (6) Ada iuran kelompok/assosiasi Rp. 100.000/bulan atau Rp.

200.000/musim/anggota sebagai modal kelompok.

Beberapa keuntungan yang diperoleh antara lain adalah : (1) Harga melon stabil; (2)

Adanya jaminan pemasaran; (3) Mendapatkan informasi teknologi budidaya; (4) Tidak akan terjadi

kelebihan produksi akibat pengaturan luas, waktu tanam dan varietas yang diminta pasar; dan (5)

Adanya apresiasi terhadap komoditas melon tidak hanya sebagai buah segar tetapi juga sebagai

perasa dan aroma berbagai produk. Secara ilustratif kelembagaan rantai pasok antara kelompok tani

dengan CV. MGA Solo serta dengan PT. Indofresh dapat dilihat pada Gambar 5. berikut.

Gambar 5 Pola Kemitraan Rantai Pasok dengan beberapa perusahaan mitra, Jawa Tengah,

2006

3.1.2.7. Pola, Peran, dan Pola Interaksi Kelembagaan Kemitraan Petani atau Kelompok Tani melalui UD. Mekar Buah dengan Super Market

Peluang pasar untuk komoditas melon dan semangka sangat luas baik untuk pasar

lokal, antar provinsi, ekspor, maupun supermarket. Secara ilustratif kelembagaan kemitraan

Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

15

CV. MGA Solo :

Pemasok Bibit Melon

MAI

Pengecer Pupuk Resmi

dan Kios Saprotan Kab. Pekalongan

Modal Iuaran Kelompok

Tani (30 juta)

Kelompok Tani Ibu Nining,

Desa Kajongan, Kec.

Kajen (20 anggota)

Pedagang Pengepul/PB

Sentra Produksi

Pasar Lokal Semarang,

Jogja, Tegal, Pekalongan:

Grade B dan C

Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta : Grade A B

PT. Indofresh-Perusahaan Ekspor Impor Hortikultura (Tanjung Priok) : Super

Page 16: Rantai Pasok Hortikultura (SPN)

usaha antara kelompok tani/petani dengan UD Mekar Buah dengan Super Market Carefour

dapat dilihat pada Gambar 6. berikut.

Gambar 6. Bentuk Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok Tujuan Super Market Carefor Komoditas Semangka Black Beauty dari Daerah Sentra Produksi Kebumen, Jawa Tengah, Tahun 2006

Harga melon dan semangka di pasaran secara umum sangat dipengaruhi oleh

penawaran (suppy), sedangkan permintaan (demand) relatif stabil dan bahkan cenderung

meningkat setiap tahun. Harga jual melon di tingkat produsen berkisar antara Rp. Rp. 800-

2.300,-/kg, sedangkan harga semangka non biji bervariasi antara Rp. 500,00, - Rp 1.300,00

per kg. Harga tergantung dari jenis melon/semangka, grade atau kualitas, musim buah-

buah lain (rambutan, mangga, dan durian) dan jumlah semangka yang dipasarkan, serta

persaingan dengan daerah lain terutama Jawa Timur dan Pantura Jawa (Indramayu).

3.1.3. Managemen rantai pasok produk hortikultura pada pasar modern dan tradisional

Analisis managemen akan difokuskan pada lima komponen managemen pada masing-

masing pelaku rantai pasok komoditas hortikultura, yaitu perencanaan (planning), sumber barang

(sourching), pengolahan (manufacturing), pengiriman (delivery), dan penerimaan barang (receiving)

pada masing-masing rantai pasok.

3.1.3.1. Managemen Rantai Pasok Pola Perdagangan Umum

Pada kelembagaan kemitraan Pola Dagang Umum managemen perolehan komoditas

hortikultura (kentang, melon, dan semangka) terutama digerakkan oleh pedagang pengepul atau

pedagang besar daerah sentra produksi. Biasanya pedagang pengepul ini menjalin kerjasama

dengan petani baik secara kelompok maupun secara individu yang dipercaya dapat memasok

komoditas hortikultura sesuai dengan volume dan standar mutu yang dibutuhkan. Managemen Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

16

Kelompok dan

PetaniMitra (20 petani)

Kios Saprotan Milik UD Mekar Buah

BankBRI

Perusahaan Dagang UD Mekar Buah

Manager Lapangan

Super Market Carefor

Super Market Carefor :

Spesial untuk semangka

Black Beuaty

Page 17: Rantai Pasok Hortikultura (SPN)

perolehan barang mencakup masalah penentuan harga, pengiriman dan proses pembayaran

kepada supplier (kelompok tani atau petani) dan cara menjaga hubungan baik secara berkelanjutan.

Pada pola ini, harga ditentukan melalui mekanisme pasar yang berpatokan pada beberapa tujuan

pasar utama (Pasar Induk, Pasar Kota Kabupaten, serta Perusahaan Pengolahan).

Pengiriman, sering kali disebut juga logistik merupakan sebuah proses bisnis yang

melibatkan pergerakan fisik yang berada dalam satu jalur rantai pasok. Managemen pengiriman

barang didahului komunikasi pendahuluan terutama informasi tentang harga, jumlah, kualitas, dan

kontinuitas atau frekuensi yang harus dikirimkan. Tidak jarang proses tawar menawar dan negosiasi

dilakukan melalui telepon. Dalam menjalankan usaha bisnisnya pedagang pengepul dilengkapi

dengan armada angkutan baik milik sendiri maupun kerjasama dengan perusahaan ekspedisi.

Mekanisme pembayaran sangat tergantung pada kondisi pasar terutama pasokan (supply)

dan permintaan (demand). Pembayaran dapat dilakukan secara tunai, dibayar kemudian dengan

tenggang waktu (3-7 hari), serta kombinasi tunai dan bayar kemudian. Pada saat kekurangan

penawaran umumnya pembayaran dilakukan dengan sistem panjar atau sistem bayar tunai, dan

bahkan sering terjadi pedagang luar daerah masuk ke sentra produksi.

Dalam pola dagang umum dikenal komoditas menurut kualitas. Kualitas kentang di pasar

Induk Caringin dan Pasar Pangalengan Bandung adalah AB, ABC, BC, dan DN. Managemen

manufacturing mencakup kegiatan produksi, tes produk, pengemasan dan persiapan untuk

pengiriman. Tes produk untuk kentang biasanya dilihat dari kadar gulanya. Tolok ukur terpenting

yang menjadi bagian insentif rantai pasok adalah tingkat kualitas dan hasil produksi.

3.1.3.2. Managemen Rantai Pasok untuk Tujuan Industri Pengolahan atau Perusahaan Eksportir

a. Managemen Rantai Pasok untuk Tujuan Industri Pengolahan PT. Indofood Fretolay Makmur (PT. IFM)

Managemen perolehan komoditas kentang jenis Atlantik yang ditujukan untuk bahan baku keripik

kentang melibatkan kelompok tani dan sekitar 250 petani mitra di beberapa daerah sentra produksi

di Jawa dan luar Jawa. Seleksi kelompok tani dan petani mitra dilakukan oleh manager lapang,

koordinator kelompok tani (vendor), serta rekomendasi dari petani mitra yang terseleksi dan teruji

lebih dulu. Managemen perolehan merupakan proses memilih supplier (vendor) yang akan mengirim

komoditas kentang Atlantik sesuai dengan standar mutu yang dibutuhkan oleh pabrik.

Managemen pengiriman barang dilakukan oleh vendor yang berfungsi sebagai supplier baik

dengan armada angkutan sendiri maupun dengan sistem menyewa armada angkutan perusahaan

ekspedisi. Besarnya ongkos transportasi ke Pabrik Pengolahan Tangerang sebesar Rp. 300/kg,

sedangkan untuk tujuan Pabrik Pengolahan Semarang Rp. 350,-/kg. Sementara itu, fee managemen

yang diterima vendor yang menjalankan fungsi supplier sebesar Rp. 50/kg. Beberapa penyedia jasa

logistik dalam hal ini vendor mendapat fasilitas gudang sebagai tempat menampung hasil kentang

Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

17

Page 18: Rantai Pasok Hortikultura (SPN)

dari petani dan pengepakan kembali. Managemen perencanaan kebutuhan dan pasokan bahan

baku kentang atlantik Perusahaan PT. IFM dapat dilihat pada Gambar 7 berikut :

Gambar 7. Perencanaan Tanam dan Pasokan Bahan Baku Ke PT. Indofood Fritolay Makmur

Managemen penanganan rantai pasok setelah hasil petani masuk dan diterima oleh Pabrik

PT. IFM adalah sebagai berikut :

Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

18

Grading

Pengupasan

Pengirisan

Kentang yang kecil tersisihkan

Sortasi kentang busuk hijau, terlalu besar dibelah

Kebutuhan bahan baku kentang industriPT. Indofood Sukses Makmur

Per hari 50 tonPer bulan 1500 ton

Per tahun 18.000 ton

Pasokan bahan baku berasal dari dalam negeri :

Garut, Pangalengan, Lembang, Purwokerto, Wonosobo, Malang (Pulau Jawa), Kerinci (Pulau

Sumatera), Sulut, Sulsel (Pulau Sulawesi)

Pasokan bahan baku berasal dari impor: Australia, China, dan Scotland

Pasokan dari Garut : Per bulan 375 ton

Per tahun 4.500 ton (25%)

Luas areal penanaman dalam satu bulan 25 haLuas areal yang tersedia di petani binaan 300 ha

Ketersediaan bibit rata-rata hanya 60 tonJumlah petani binaan 250 orang

Luas areal pengembangan kentang industri 900 haKeperluan bibit untuk satu bulan 150 ton

Luas areal tanam per bulan 75 haJumlah produksi harapan per bulan 1125 ton

Jumlah produksi harapan per tahun 13.500 ton (75%)

Page 19: Rantai Pasok Hortikultura (SPN)

Gambar 8. Managemen penanganan rantai pasok setelah hasil petani masuk dan diterima oleh Pabrik PT. IFM

b. Managemen Rantai Pasok Komoditas Melon untuk Tujuan Ekspor PT. Indofresh

Kerjasama antara kelompok tani atau petani melon di Desa Kajongan, Kecamatan Kajen, Kabupaten Pekalongan dengan PT Indofresh terutama dalam hal pemasaran melon. Pembelian melon dari petani anggota kelompok yang bermitra dengan PT Indofresh dilakukan melalui perangkat organisasi yang dibentuk di wilayah sentra, yang didalamnya terdapat seorang manajer, asisten manajer, petugas bagian finansial, koordinator kuli, koordinator grader, dan kasir. Kegiatan tersebut ditunjang pula dengan sarana perlengkapan seperti Tempat Penampungan Buah (TPB) dan peralatan lainnya baik yang ada di sentra produksi maupun disentra konsumsi.

Managemen perolehan komoditas melon merupakan proses memilih supplier yang akan mengirim komoditas melon yang dibutuhkan sesuai dengan standar mutu yang dibutuhkan untuk tujuan pasar ekspor, yang mencakup juga penentuan harga, pengiriman dan proses pembayaran dengan supplier dan cara menjaga dan meningkatkan hubungan baik.

Managemen manufacturing mencakup kegiatan produksi, tes produk, pengemasan dan persiapan untuk pengiriman. Tolok ukur terpenting yang menjadi bagian insentif supply chain adalah tingkat kualitas dan hasil produksi, terutama untuk tujuan ekspor. Kriteria mutu komoditas melon mencakup : (1) Mutu visual atau penampakan, yang meliputi ukuran (dimensi, keseragaman, berat dan volume), bentuk (rasio antar dimensi, keseragaman, intensitas, gloss), warna dan kondisi umum (a.l. kemulusan, cacat dan kerusakan); (2) Tekstur dan mouthfeel meliputi kekerasan, keempukan, kesegaran, kekentalan sari buah; (3) Rasa/ flavor (kandungan gula tinggi atau rendah), citarasa ini berbeda-beda berdasarkan tujuan pasar dan segmen pasar; (4) Nilai gizi, komposisi gizi dan zat berkhasiat yang terkandung; (5) Keamanan pangan (food safety), yang meliputi bebas kontaminasi baik oleh mikroba pathogen, toksin, bahan kimia, dan pestisida; (6) Kemudahan dalam penanganan (pengangkutan, konsumsi, penyajian).

Pengiriman komoditas melon dapat dilakukan dengan pengiriman oleh kelompok tani, perusahaan ekspedisi atau diambil oleh PT. Indofresh. Proses penampungan dan pengiriman ditangani oleh manager lapangan PT. Indofresh untuk menjamin keamanan dalam pengangkutan.

3.1.3.3. Managemen Rantai Pasok Komoditas Semangka Black Beauty Untuk Super Market (Kasus Carefour)

Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

19

Penggorengan

Pengemasan

Pembumbuan

Sortasi hasil goreng yang terlalu coklat/jelek

Page 20: Rantai Pasok Hortikultura (SPN)

Kerjasama antara kelompok tani atau petani semangka dan melon di Desa Lembu Purwo,

Kecamatan Mirid, Kabupaten Kebumen melalui mediasi UD. Mekar Buah dengan Super Market

Carefour adalah kerjasama kontrak pemasaran spesifik untuk komoditas semangka Black Beauty.

Pembelian semangka Black Beauty dari petani anggota kelompok yang bermitra dengan Carefour

dilakukan melalui perangkat organisasi yang dibentuk di wilayah sentra, yang didalamnya terdapat

seorang manajer lapang dan asisten manajer, petugas bagian finansial, koordinator kuli, koordinator

grader, dan kasir. Kegiatan tersebut ditunjang pula dengan sarana perlengkapan seperti Tempat

Penampungan Buah (TPB) dan peralatan lainnya baik yang ada di sentra produksi maupun sentra

konsumsi. Managemen perolehan komoditas melon atau sourcing merupakan proses memilih

supplier berpengalaman (UD. Mekar Buah) yang dapat memasok komoditas semangka Black

Beuaty yang dibutuhkan sesuai jumlah, standar mutu, dan kontinuitas pasokan untuk tujuan pasar

konsumen menengah atas. Harga pembelian ditentukan dengan sistem kontrak yang dicapai

kesepakatan sebesar Rp. 2000/kg.

Tolok ukur terpenting yang menjadi bagian insentif supply chain adalah tingkat kualitas dan

hasil produksi. Produk yang diterima adalah sebagai berikut : (1) Bentuk simetris; (2) ukuran 2-3

kg/biji; (3) tingkat kematangan atau umur panen harus tepat; dan (4) mulus dan tidak cacat; serta (5)

Rasa manis dengan kandungan gula tertentu.

Proses penampungan dan pengiriman komoditas semangka Black Beauty dilakukan oleh

kelompok tani, yang juga pemilik UD. Mekar, di bawah pengawasan manager lapangan Super

Market Carefour.

3.1.4. Struktur dan dinamika pembentukan harga kelembagaan rantai pasok pada pasar

modern dan tradisional.

3.1.4.1. Struktur Pasar

Struktur pasar yang dihadapi petani hortikultura baik untuk komoditas kentang di Jawa

Barat, melon maupun semangka di Jawa Tengah dan Bali sangat ditentukan oleh penawaran dan

permintaan pasar serta jumlah pelaku usaha yang bermain di dalam pasar atau industri. Untuk

komoditas kentang Atlantik karena hanya ada satu pembeli yaitu PT IFM yang merupakan industri

pengolah keripik kentang dalam berbagai jenis produk, struktur pasar mendekati monopopsoni.

Namun untuk komoditas kentang varietas Granola, struktur pasarnya yang relatif kompetitif. Untuk

komoditas melon dan semangka struktur pasar adalah oligopsoni yaitu petani dalam jumlah yang

banyak berhadapan dengan beberapa pedagang pengepul.

3.1.4.2. Pembentukan Harga Pada Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok

Mekanisme pembentukan harga ditentukan oleh struktur pasar yang terbentuk. Pada

struktur pasar monopoli atau monopsoni perusahaan akan memaksimumkan keuntungan pada

kondisi penerimaan marginal (marginal revenue/MR) = biaya marginal (marginal cost/MC).

Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

20

Page 21: Rantai Pasok Hortikultura (SPN)

Sementara itu pada pasar persaingan sempurna perusahaan akan memaksimumkan keuntungan

pada : (1) mencapai efisiensi produksi yang dicapai pada biaya rata-rata terendah; dan (2) mencapai

efisiensi alokasi sumberdaya, yang akan dicapai pada kondisi harga (price/P)=biaya marginal

(marginal cost/MC), (Lipsey et. al, 1986; dan Samuelson & Nordhaus, 1993).

Terdapat beberapa mekanisme dalam pembentukan harga. Pada kelembagaan kemitraan

usaha secara tertutup antara petani dan PT IFM ditentukan secara kontrak melalui proses negosiasi

sebelum tanam. Petani menentukan harga didasarkan pada biaya pokok usahatani dan ekpektasi

keuntungan komoditas alternatif yang paling menguntungkan (misalnya : kentang granola) sehingga

harga beli harus lebih tinggi dari harga pasar. Sementara itu, perusahaan mendasarkan

perhitungannya pada biaya pokok produk hasil olahan dan harga beli komoditas kentang atlantik

impor. Karena petani mendapatkan harga yang lebih tinggi dibandingkan menanam kentang granola

dan perusahaan mendapatkan harga beli yang lebih rendah jika dibandingkan impor maka terjadilah

kesepakatan harga melalui system kontrak sebelum tanam.

Pembentukan harga pada kelembagaan kemitraan rantai pasok lainnya pada prinsipnya

berbasis harga pasar di tujuan pasar utama. Mekanisme harga yang terjadi sangat ditentukan oleh

kondisi penawaran dan permintaan di tujuan pasar utama (Pasar Induk atau Pasar Propinsi).

Biasanya pedagang mitra mengambil keuntungan tertentu setelah dikurangi seluruh biaya

pemasaran dengan atau tanpa menunjukkan kuitansi kepada petani mitra. Khusus untuk

perusahaan mitra yang memasok konsumen institusi hotel, restaurant, dan super market

mendapatkan harga yang lebih tinggi dari harga pasaran tetapi dengan jaminan jenis, volume,

kualitas dan kontinuitas pasokan terjamin. Kontrak yang terjadi untuk tujuan pasar konsumen

institusi ini adalah antara pedagang mitra dengan konsumen institusi.

3.2. Alternatif Kebijakan Pengembangan Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok Hortikultura

3.2.1. Rumusan syarat-syarat pengembangan kelembagaan kemitraan rantai pasok yang efektif dan efisien

Beberapa hal pokok yang perlu mendapatkan perhatian dalam kelembagaan kemitraan

rantai pasok komoditas hortikultura di Indonesia (kentang, melon, dan semangka) antara lain adalah

(1) Membangun serta memperkuat kemitraan rantai pasok komoditas hortikultura melalui proses

sosial yang matang, dengan pemahaman terhadap skala jaringan agribisnis hortikultura.

(2) Pentingnya perencanaan dan pengaturan produksi di tingkat kelompok tani, serta konsolidasi

kelembagaan kelompok tani ke arah terbangunnya kelembagaan kelompok tani yang handal.

(3) Pentingnya pengembangan irigasi spesifik lokasi untuk komoditas hortikultura, infrastruktur

penanganan pascapanen dan sarana transportasi yang memadai.

Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

21

Page 22: Rantai Pasok Hortikultura (SPN)

(4) Pentingnya manajemen yang bersifat transparan, terutama menyangkut pembagian hak dan

kewajiban, harga dan pembagian keuntungan, serta komitmen yang tinggi antara pihak yang

bermitra dan saling percaya-mempercayai.

(5) Pentingnya Sikap Profesional Petani serta pendampingan Peneliti, PPL Ahli, serta tenaga

teknisi dan supervisi dan pengembangan jiwa dan semangat kewirausahaan petani.

(6) Usaha-usaha stabilisasi harga komoditas hortikultura serta pengembangan sistem informasi

yang handal baik dari aspek manajemen produksi maupun pemasaran.

(7) Meletakkan integrasi-koordinasi vertikal secara tepat dan usaha terpadu dalam kelembagan

kemitraan rantai pasok.

3.2.3. Model Penyempurnaan Pengembangan Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok Komoditas Hortikultura

3.2.3.1. Model Penyempurnaan Kelembagaan Rantai Pasok Pola Dagang Umum

Model penyempurnaan kelembagaan rantai pasok pada pola dagang umum mencakup : (1)

Konsolidasi kelembagaan kelompok tani baik keanggotaan, managemen, maupun permodalan

dalam kerangka dapat melakukan perencanaan produksi sesuai permintaan pasar; (2) Peningkatan

kemampuan dalam penyediaan fasilitas gudang dan armada angkutan oleh kelompok tani maupun

oleh pelaku tataniaga yang akan memperlancar proses pengumpulan dan distribusi barang; (3)

Adanya kesepakatan harga yang di dasarkan pada dinamika harga pasar dan kepastian pasar

melalui dukungan sistem informasi pasar yang akurat dan up to date baik di sentra produksi maupun

di daerah tujuan-tujuan pasar; (4) Transparansi sistem transaksi dan sistem pembayaran pada

setiap level pelaku tata niaga sehingga setiap pelaku tataniaga mendapatkan kepastian dalam

berbisnis; (5) Pengembangan infrasruktur pasca panen di sentra produksi dan infrastruktur pasar di

pusat-pusat tujuan pasar, khusus untuk komoditas kentang pengembangan industri pengolahan

skala kecil dan rumah tangga di daerah sentra produksi akan meningkatkan nilai tambah dan

dayasaing komoditas kentang; dan (6) Pelayanan kredit lunak pada sektor agribisnis untuk

mengurangi ketergantungan petani terhadap modal pedagang dan guna meningkatkan posisi tawar

petani.

Secara ilustratif penyempurnaan kelembagaan kemitraan rantai pasok melalui Pola Dagang

Umum dapat disimak pada Gambar 9.

Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

22

Konsoli-dasi

Kelomok Tani

Pedagang Pengepul/Peda

gang Besar Daerah Sentra

Produksi

Armada Ekspedisi

Milik Pedagang/

Keltan

Pasar Induk Kramat Jati, Caringin dan

Cibitung

Pasar Lokal Kota-Kota Jawa Tengah

Page 23: Rantai Pasok Hortikultura (SPN)

Gambar 9 Model Kemitraan Rantai Pasok Pola Dagang Umum Komoditas Melon dan Semangka di Daerah Sentra Produksi, Jawa Tengah, Tahun 2006.

3.2.3.2. Model Penyempurnaan Kelembagaan Rantai Pasok Industri Pengolahan

Secara umum persepsi masyarakat petani terhadap Contract Farming dengan PT. IFM

membantu petani dan meningkatkan pendapatan petani. Namun demikian masih terdapat beberapa

peluang penyempurnaan kelembagaan kemitraan rantai pasok yang dapat dilakukan antara lain : (1)

Penyediaan sumber bibit varietas atlantik oleh pengusaha pembibitan domestik, sehingga

mengurangi ketergantungan terhadap impor dan dapat menekan harga kontrak bibit; (2) Dorongan

pada pengusaha mitra untuk melakukan ekspansi produksi yang dibarengi dengan perluasan pasar

dan pendalaman industri untuk meningkatkan permintaan bahan baku; (3) Ketepatan penyediaan

bibit dan intensifikasi usahatani melalui penggunaan pupuk berimbang diharapkan dapat

meningkatkan produktivitas; (4) Meningkatkan efisiensi sistem panen oleh petani dan penanganan

pasca panen oleh pabrik terutama melalui penyediaan gudang-gudang penampungan di sentra

produksi; (5) Peningkatan efisiensi dalam transportasi dengan peningkatan infrstruktur jalan dan

armada angkutan; dan (7) Pengembangan industri pengolahan oleh mitra usaha di sentra produksi

sebagai konsekuensi dari tingginya biaya transportasi.

Model penyempurnaan Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok; dalam kasus ini untuk

Komoditas Kentang Atlantik antara Petani/Kelompok Tani dengan PT. Indofoof Fritoley Makmur;

diilustrasikan pada Gambar 10 berikut :

Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

23

SupplierBibit Impor ke Produksi Domestik

PT Indofood Fritolay Makmur

Melakukan Ekspansi

Kapasitas Pabrik (Tangerang, Semarang)

Teknik budidaya memacu produktivi

-tas

Penerima Bibit dengan harga yang lebih murah :-Petani-Kel. Tani

Kegiatan Panen &

Pascapanen secara

lebih efisen

Transportasi dari Petani-Pabrik secara lebih

efisien

Angsuran Bibit

Konsolidasi Kelompok

Tani

BankBRI-Kredit

lunak

Pasar Kota-Kota Jawa Timur

Page 24: Rantai Pasok Hortikultura (SPN)

Gambar 10. Model Kemitraan Rantai Pasok Komoditas Kentang Atlantik Antara Kelompok Tani Petani dengan PT. IFM

3.2.3.4. Model Kelembagaan Rantai Pasok Super Market dan Konsumen Institusi

Secara umum penyempurnaan kelembagaan kemitraan rantai pasok komoditas

hortikultura untuk tujuan super market atau hiper market dan konsumen institusi di sentra

produksi adalah sebagai berikut (Gambar 11.) : (1) Konsolidasi kelembagaan kelompok tani baik

keanggotaan, managemen, maupun permodalan agar dapat melakukan perencanaan produksi

sesuai permintaan pasar modern melalui vendor atau supplier; (2) Peningkatan kemampuan vendor

atau supplier dalam penyediaan berbagai produk hortikultura yang diminta, meliputi keragaman

jenis, jumlah, kualitas, serta kontinuitas produk; (3) Kemampuan vendor atau supplier dalam

penyediaan fasilitas gudang dan armada angkutan sehingga pengumpulan cepat, penanganan

pasca panen prima, dan pendistribusian berjalan secara efisien; (4) Adanya kesepakatan secara

tertulis antara pihak vendor atau supplier dengan managemen perusahaan mitra terutama : volume,

harga, dan sistem pembayaran sehingga dapat ditransmisikan secara sempurna kepada kelompok

tani mitra atau petani terseleksi; (5) Transparansi sistem transaksi dan sistem pembayaran pada

setiap level pelaku tata niaga; (6) Pengembangan managemen rantai pasok (managemen

pengadaan, managemen stock, dan managemen pendistribusian) untuk memperlancar pasokan

dari petani produsen-supplier-supermarker/hipermarket-konsumen; (7) Perbaikan sistem

managemen hotel yang dapat memperlancar sistem pembayaran untuk memperlancar pasokan dari

petani; serta (8) Penyediaan kredit lunak untuk pengembangan agribinis komoditas hortikultura untuk

meningkatkan posisi tawar petani terhadap supplier.

Gambar 11. Penyempurnaan Model Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok Komoditas Hortikultura Untuk Tujuan Super Market/Hiper Market.

Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

24

Pembayaran ke Petani

berjalan lancar

Kelompok dan Petani

Mitra

Kios/Toko

Saprotan Bank

Vendor/suplier

terpercaya (sistem

langganan, permodalan)

Manager Lapangan

perusahaan mitra

Super Market/hiperma

rket dan konsumen institusi :

Spesial untuk produk

hortikultura berkualitas

Page 25: Rantai Pasok Hortikultura (SPN)

3.2.3.5. Model Kelembagaan Rantai Pasok Terintegratif

Hasil tinjauan pustaka maupun kajian empiris di lapang menunjukkan bahwa

pengembangan kelembagaan kemitraan rantai pasok melalui integrasi atau koordinasi vertikal

dengan komitmen yang tinggi dan keterbukaan antara pihak yang bermitra akan mampu

meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, akses terhadap pasar dan dayasaing produk

hortikultura, namun perlu

Beberapa alasan pokok yang mendasari pentingnya pengembangan kelembagaan

kemitraan rantai pasok komoditas hortikultura secara terintegratif antara lain sebagai berikut.

Pertama, adanya integrasi antara sub sistem agribisnis hulu (pengadaan saprodi serta alsintan), sub

sistem budidaya, serta sub sistem agribisnis hilir (penanganan pasca panen, pemasaran dan

distribusi) dapat menghapus pasar produk antara sehingga dapat menghilangkan margin ganda

mulai dari sub sistem hulu hingga sub sistem hilir, sehingga harga pokok produk mampu bersaing

di pasar. Kedua, dengan membangun kelembagaan kemitraan rantai pasok komoditas hortikultura

secara terintegratif akan dapat menghilangkan atau mengurangi masalah transmisi harga yang

bersifat asimetris.

Alternatif model kelembagaan kemitraan rantai pasok korporasi terpadu harus

mempertimbangkan berbagai bentuk kelembagaan yang dianggap sebagai penopang kehidupan

masyarakat, yaitu kelembagaan yang hidup dan telah diterima oleh komunitas lokal atau tradisional

(voluntary sector), kelembagaan pasar atau ekonomi (private sector) sejalan dengan keterbukaan

ekonomi, dan kelembagaan politik/pemerintah atau sistem pengambilan keputusan di tingkat publik

(public sector) (Etzioni, 1961). Secara ilustratif pengembangan model kelembagaan kemitraan rantai

pasok komoditas hortikultura terpadu di sentra produksi dengan melakukan revitalisasi berbagai

kelembagaan seperti kelompok tani dan kelembagaan penyuluhan pertanian disajikan pada Gambar

12.

Pemberdayaan kelompok tani atau petani ke arah kelompok tani atau petani mandiri dan

profesional harus dilakukan. Jumlah anggota kelompok dibatasi 20-25 orang anggota supaya

penyatuan pendapat dan penggalangan kerjasama jauh lebih mudah. Kelompok tani yang sudah

mandiri didorong untuk mengkonsolidasikan diri dalam kelembagaan formal berbadan hukum,

sehingga memudahkan melakukan transaksi dan kemitraan usaha agribisnis. Kelompok-kelompok

tani disatukan dapat berupa gabungan kelompok tani (gapoktan), assosiasi petani, assosiasi

agribisnis, koperasi tani, koperasi agribisnis, yang anggotanya adalah pengurus-pengurus kelompok

tani.

Perencanaan pengembangan agribisnis komoditas hortikultura merupakan kunci dari

keberhasilan pembangunan pertanian, yang difokuskan pada: (1) perencanaan pola tata tanam

dalam kerangka pengaturan produksi; (2) desiminasi teknologi tepat guna; (3) pengelolaan usaha

simpan-pinjam; (4) pengelolaan pengadaan sarana produksi melalui pembuatan kios saprodi

kelompok; (5) pemasaran hasil bersama melalui jalinan kelembagaan kemitraan rantai pasok. Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

25

Page 26: Rantai Pasok Hortikultura (SPN)

Penyuluh pertanian yang bertugas di tingkat desa, berkantor di Pusat Pelayanan dan

Konsultasi Agribisnis di Kecamatan. Untuk memperlancar tugasnya adanya sekretariat serta fasilitas

pendukung di desa-desa yang menjadi wilayah kerjanya akan sangat meningkatkan efisiensi dan

efektivitas kerja. Semua bantuan teknis harus disediakan dan dianggarkan baik melalui Pusat

Pelayanan dan Konsultasi Agribisnis (PPA) di kecamatan. Segala permasalahan yang muncul

dimusyawarahkan di PPA untuk ditindaklanjuti. Bila diperoleh masalah yang tidak terpecahkan

penyuluh bisa menghubungi dan atau memanggil peneliti/penyuluh BPTP, Lembaga Penelitian

Pusat dan Lembaga Penelitian Perguruan Tinggi. Dengan sistem ini, diharapkan masyarakat petani

hortikultura akan secara aktif mendatangi PPA untuk mengakses informasi teknologi, pasar, atau

konsultatif tentang masalah-masalah yang dihadapinya baik teknis, ekonomi maupun kelembagaan.

Peran PPA harus juga mencakup pemberdayaan, peningkatan kualitas sumberdaya

petani/kelompok tani dan mediasi bagi terbangunnya kelembagaan kemitraan rantai pasok

komoditas hortikultura antar pelaku. Kelembagaan kemitraan rantai pasok terpadu juga dapat

dilakukan melalui kelembagaan koperasi agribisnis. Bila sistem ini yang digunakan maka pengadaan

sarana produksi dan penjualan hasil bisa dilakukan melalui koperasi. Untuk itu pemerintah harus

menyediakan dana bantuan (kredit) melalui koperasi pertanian.

Perusahaan Mitra dapat berupa Perusahaan Industri Pengolahan, Pedagang

Besar/Supplier/Vendor, Perusahaan Ekspor-Impor atau perusahaan lainnya berperan menyediakan

kebutuhan sarana produksi petani berupa bibit berkualitas, pupuk, dan sarana produksi lainnya

sesuai kesepakatan secara enam tepat, yaitu tepat jumlah, tepat kualitas, tepat tempat, tepat waktu,

tepat dosis, dan tepat harga yang ditetapkan dengan kesepakatan.

Pemerintah perlu mengalokasikan tenaga berdasarkan kebutuhan, meningkatkan kualitas

sumberdaya petani, memfasilitasi lembaga dan membantu kemudahan yang diperlukan (regulasi

dan administrasi), serta mengawasi jalannya kelembagaan kemitraan rantai pasok terpadu. Peran

lain pemerintah yang tidak kalah pentingnya adalah mengalokasikan dana pembinaan dan

peningkatan kualitas sumberdaya petani, serta untuk pengadaan sarana yang dibutuhkan sebagai

penunjang jalannya kelembagaan kemitraan rantai pasok terpadu yang dibangun; seperti Tempat

Penampungan Hasil, Sub Terminal Agribisnis, Pasar Petani, Pergudangan atau Cold Storage.

Prasarana lain seperti jalan dan pasar, pembangunannya harus diselaraskan dengan program

pengembangan pertanian, terutama untuk daerah-daerah sentra produksi hortikultura.

Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian TA 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

26

Page 27: Rantai Pasok Hortikultura (SPN)

Gambar 12. Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok Komoditas Hotikultura Terpadu (Di adaptasi dari Saptana, dkk., 2005 dengan melakukukan penyesuaian)

27

KelembagaanPemerintah/Dinas

Teknis Terkait

KelembagaanKomunitas-

Kelompok Tani

KelembagaanEkonomi-Pelaku

Agribisnis Swasta (Industri Pengolahan, Super Market, Vendor/

Supplier Hotel, Perusahaan Ekspor-

Impor)

Jaringan agribisnis di pedesaan :semi-tradisional, semi-subsisten, parsial, jangka pendek, tidak berkelanjutan

Revitalisasi kelembagaan: 1. Kelembagaan

Kelompok Tani 2. Kelembagaan

Penyuluhan Pertanian

3. Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok

Integrasi program Pembangunan Agribisnis Terpadu: 1. Pusat dan daerah2. Kelembagaan Petani,

Penyuluh, dan Peneliti dalam wadah PPA

3. Petani dengan Perusahaan Mitra (Industri Pengolahan, Super Market, Vendor/ Supplier Hotel, Perusahaan Ekspor-Impor)

Kelembagaan Pemerintah yang bersifat mediasi dan fasilitatif

Kelembagaan di Tingkat Petani

berbadan hukum

Pelaku Agribisnis Swasta yang ulet,

mandiri, dan dinamis

Jaringan agribisnis pertanian di pedesaan: sistem agribisnis maju, komersial, terintegrasi, jangka panjang, berkelanjutan

Produk hortikultura :

1. Produktif2. Efisien3. Berdayasai

ng

Pusat Pelayanan dan Konsultasi Agribisnis (PPA): informasi dan konsultasi

Page 28: Rantai Pasok Hortikultura (SPN)

IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Pasar hasil pertanian di Indonesia mengalami perubahan secara dinamis dengan makin

pesatnya pertumbuhan pasar modern di samping pasar-pasar tradisional yang sudah ada. Ekspansi pasar

modern mendorong dilakukannya pendekatan baru dalam bisnis eceran bahan pangan termasuk produk

hortikultura sekaligus menciptakan sejumlah kendala di samping peluang bagi para pelaku agribisnis.

Kebijakan pengembangan komoditas hortikultura di Indonesia telah berhasil mendorong

terjadinya peningkatan produksi, namun demikian peningkatan itu ternyata belum searah dengan

dinamika permintaan pasar dan perubahan preferensi konsumen yang menyangkut kualitas produk.

Struktur pasar hasil hortikultura cenderung oligopsonistik, sehingga petani selaku produsen selalu

memiliki bargaining power yang relatif lebih lemah, sehingga aspek kemitraan menjadi penting.

Dari hasil kajian terdapat berbagai pola kelembagaan kemitrran yang berkembang di sentra-

sentra produksi hortikultura antara petani sebagai produsen dan mitranya baik sebagai pedagang,

perusahaan pengolahan, eksportir, pasar modern maupun konsumen institusi seperti hotell, rumah sakit

dsb. Dari pola-pola yang ada masih terdapat beberapa kendala sehingga pada kebanyakan kasus

kemitraan ini tidak berkelanjutan.

Berdasarkan simpul-simpul kritis yang diperoleh dilapangan dapat disintesakan syarat-syarat

membangun kelembagaan kemitraan rantai pasok komoditas hortikultura secara terpadu dan

berkelanjutan, adalah: (1) Membangun serta memperkuat kemitraan rantai pasok komoditas hortikultura

melalui proses sosial yang matang; (2) Pemahaman Terhadap Jaringan Agribisnis Hortikultura; (3)

Pentingnya perencanaan dan pengaturan produksi di tingkat kelompok tani; (4) Pentingnya program

pengembangan irigasi spesifik komoditas hortikultura; (5) Pentingnya manajemen yang bersifat

transparan, terutama menyangkut pembagian hak dan kewajiban, harga dan pembagian keuntungan; (6)

Adanya komitmen yang tinggi antara pihak yang bermitra, sehingga terbangun saling percaya-

mempercayai; (7) Pentingnya penyediaan infrastruktur penanganan pascapanen dan pemasaran hasil

yang memadai terutama di daerah-daerah sentra produksi; (8) Adanya pendampingan dan pembinaan

oleh PPL Ahli di bidang komoditas hortikultura (kentang, melon dan semangka); (9) Konsolidasi

kelembagaan kelompok tani baik dari aspek keanggotaan, managemen, permodalan, serta

pengembangan usaha dan jalinan kemitraan rantai pasok, sehingga terbangun kelembagaan kelompok

tani yang handal; (10) Membangun jiwa dan semangat kewirausahaan; (11) Usaha-usaha stabilisasi

harga melalui (perluasan tujuan pasar, efisiensi sistem pemasaran, pengembangan infrastruktur pasar)

baik di daerah sentra produksi maupun daerah tujuan pasar utama dan pengembangan industri

pengoalahan di daerah-daerah sentra produksi; (12) Pengembangan sistem informasi yang handal baik

dari aspek manajemen produksi maupun pemasaran; dan (13) Meletakkan integrasi-koordinasi vertikal

28

Page 29: Rantai Pasok Hortikultura (SPN)

secara tepat dalam kelembagan kemitraan rantai pasok, serta (14) Membangun Kelembagaan Kemitraan

Usaha Terpadu.

Implementasi Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok Komoditas Hortikultura Terpadu, sebagai

model alternatif, adalah sebagai berikut : (1) petani melakukan konsolidasi dalam wadah kelompok tani;

(2) kelompok tani-kelompok tani mandiri dapat ditransformasikan dalam kelembagaan formal berbadan

hukum (koperasi pertanian, koperasi agribisnis, atau kelembagaan lainnya sesuai kebutuhan); (3)

kelompok tani mandiri atau yang sudah dalam kelembagaan berbadan hukum mengkonsolidasikan diri

dalam bentuk gaboktan atau assosiasi petani/assosiasi agribisnis; (4) kelembagaan-kelembagaan yang

telah tergabung tersebut melakukan konsolidasi manajemen usaha pada hamparan lahan yang

memenuhi skala usaha, tergantung jenis komoditas (10-25 hektar); (5) pilihan komoditas atau kelompok

komoditas di sesuaikan dengan potensi wilayah dan permintaan pasarnya; (6) penerapan manajemen

korporasi dalam menjalankan sistem usaha agribisnis; (7) pemilihan perusahaan mitra yang didasarkan

atas rekomendasi dari Dinas dan atau Direktorat Teknis yang di dasarkan atas komitmentnya

membangun masyarakat agribisnis; dan (8) Adanya kelembagaan Pusat Pelayanan dan Konsultasi

Agribisnis (PPA) sebagai mediator dan fasilitator terbangunnya kelembagaan kemitraan rantai pasok

komoditas hortikultura terpadu.

Daftar Pustaka

Dahl, D. and J.W. Hamound. 1977. Market and Price Analysis. The Agricultural Industries. Mc.Graw Hill. Book Company. USA.

Deptan. 1997. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 44 Tahun 1997, tentang Kemitraan Departemen Pertanian. Jakarta. Deptan. 1997. SK. Mentan No. 940/Kpts/OT.210/10/1997 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.

Deptan. 1997. SK. Mentan No. 944/Kpts/OT.210/10/1997 tentang Pedoman Penetapan Tingkat Hubungan Kemitraan Usaha Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Deptan. 2002. Pembangun Ketahanan Pangan Nasional Berkelanjutan. Suplemen Bahan Rapat Kerja Menteri Pertanian dengan Komisi III DPR-RI, 27 Februari 2002. Jakarta.

FAO. 2004. Changes in Food Retailing in Asia. FAO. Rome

Gillin, J.L. dan J.P. Gillin. 1954. General Featureof Social Institutions. Dalam Soemardjan, S. dan Soelaeman Soemardi. Setangkai Bunga Rampai Sosiologi. LP-FE UI. Jakarta.

Irawan, et. Al., 2001. Kebijaksanaan Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan Hortikultura. Pusat Peneltian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

29

Page 30: Rantai Pasok Hortikultura (SPN)

Lipsey, Richard G., P. O. Steiner, and D. D Purvis. Pengantar Ilmu Ekonomi Mikro. Disadur Oleh urusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.

PSP-LP IPB dan Bapebti-Departemen Perdagangan RI. 1995. Studi Kelayakan Pembentukan Pasar Lelang Komoditi Sayur Mayur di Jawa Barat. Kerjasama PSP-LP IPB dan Bapebti-Departemen

Perdagangan RI. Bogor.

Ravallion, M. 1986. Market Integration. America Agricultural Economic Association.

Samuelson, Paul A., dan W. D. Nordhaus, 1993. Mikro Ekonomi (Edisi ke empat belas). Penerbit Erlangga. Jakarta.

Saptana, E.L. Hastuti, Ashari, K.S. Indraningsih, S. Friyatno, Sunarsih, dan V. Darwis. 2005. Analisis Kelembagaan Kemitraan pada Komoditas Hortikultura. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.. Bogor.

Simatupang, P. 1995. Industrialisasi Pertanian Sebagai Strategi Agribinis dan Pembangunan Pertanian Dalam Era Globalisasi. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor.

Sinaga, R.S. 1987. Pembangunan Pertanian Sistem Agribisnis dan Perusahaan Inti Rakyat. Ringkasan Kuliah. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Whethly, Ch. 2004. Theory, method and approach of Supply Chain Management. Workshop on supply chain management of Agricultural Product, IAARD, Jakarta, November 2004.

Zelditch, Morris. 1979. Some Methodological of Field Studies dalam John Bynner and Keith M. Stribley (Eds.). Social Research : principle and procedures. Longman in association with the Open University Press. New York.

.

30