Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Ragam Bio Linguistik terhadap Pergeseran Bahasa Bali di Denpasar
Ringkasan
Tujuan jangka panjang penelitian ini adalah untuk menemukan pola pergeseran
bahasa Bali pada wilayah pakai bahasa. Tujuan khususnya meliputi 1) pemetaan
keanekaragaman bahasa di Denpasar dan 2) aspek-aspek sosial dan budaya yang
mempengaruhi pergeseran bahasa Bali di Denpasar. Lokasi penelitian ini adalah di
Denpasar dan dapat dibedakan menjadi empat titik berbeda, yaitu dari wilayah
Denpasar Barat, Timur, Utara, dan Selatan. Data dijaring menggunakan metode
observasi dan survey dengan penyebaran kuesioner, dibantu dengan wawancara, dan
teknik catat. Sample penelitian ini adalah penduduk etnis bali dan etnis lainnya yang
tinggal di denpasar untuk memetakan keanaekaragaman bahasa. Penutur bahasa Bali
kalangan remaja dan dewasa dipilih dengan menggunakan teknik quota untuk
menetapkan jumlah anggota sampel tiap golongan yaitu masing-masing sebanyak 20
orang untuk setiap wilayah. Data dianalisis menggunakan metode kualitatif dan
kuantatif, kemudian disajikan dengan metode formal dan informal. Dengan
menggunakan teori pilihan bahasa, teori Analisis ranah dan teori ragam bio linguistik
diharapkan dapat ditarik generalisasi pola pemetaan keanakaragaman bahasa dan
model pergeseran bahasa Bali. Model pergeseran ini sangat signifikan untuk diketahui
agar sistem dan mekanisme kebertahanan, pemertanan dan pewarisan bahasa Bali baik
yang dilakukan pada ranah formal maupun informal dapat dilakukan dengan maksimal
dan dalam upaya juga mempertahankan diversitas kultural dengan tetap menjaga
identitas etnis masyarakat multibahasa.
Kata kunci: pemetaan keananekaragaman bahasa, pergeseran bahasa, analisis ranah,
ragam bio linguistik, pilihan bahasa
2
BAB I. PENDAHULUAN
Dalam konsep sosiolinguistik, perubahan bahasa, pergeseran bahasa, dan
pemertahanan bahasa adalah tiga hal sangat bersinggungan dan tidak dapat
dipisahkan. Perlu diketahui bahwa pergeseran bahasa ini merujuk pada pemilihan
bahasa yang pada akhirnya merujuk pada perubahan acuan bahasa secara perlahan;
berbeda dengan perubahan bahasa yang memerlukan proses yang cukup lama untuk
dapat digolongkan sebagai sebuah perubahan, seperti contoh bahasa Inggris yang
ratusan tahun lalu pada karya sastra Shakespeare lebih dikenal dengan Old English
saat ini.
Dalam tahapan pergeseran bahasa yang terjadi pada komunitas yang
bermigrasi, penuturnya akan mengalami tahapan bilingual bawahan dahulu, dimana
kemampuan bahasa ibunya masih lebih tinggi dari bahasa lain, sebelum nantinya
menuju pada tahap bilingual setara, dan akhirnya menuju pada bilingual bawahan
kembali, tapi dengan posisi kemampuan bahasa ibu lebih rendah dari bahasa lain
(Chaer, 2004: 144). Melihat fenomena masyarakat penutur bahasa Bali saat ini,
mayoritasnya (kalangan remaja dan anak) dapat digolongkan sebagai bilingual bawah
yang kemampuan bahasa Balinya tergolong lebih rendah dari bahasa Indonesia,
seiring dengan besarnya pengaruh bahasa Indonesia pada tingkat pendidikan dan
komunikasi antar etnis, serta semakin menurunnya kemampuan penutur bahasa Bali
membedakan dan menggunakan tingkat tutur dalam bahasa Bali, yang saat ini
umumnya dipahami dalam dua tingkatan (halus dan kasar) dari awalnya empat tingkat
tutur yang berbeda.
Saat pergeseran bahasa terjadi, pergeseran tersebut selalu condong ke bahasa
yang lebih dominan dalam sebuah kelompok penutur, karena kelompok dominan
tersebut tidak perlu mempertimbangkan penggunaan bahasa minoritas. Maka dari itu,
bahasa yang dominan ini dapat diasosiasikan dengan pemerolehan status dan tingkat
sosial yang lebih tinggi (Holmes, 1992: 61). Pada pergeseran bahasa, terdapat dua hal
yang membatasi pergeseran tersebut, antara lain adalah pembentukan bentuk
3
pergeseran yang didasari atas kemampuan bahasa penutur itu sendiri, dan bentuk-
bentuk yang timbul akibat pengaruh dari kebijakan sosial komunitas penutur tersebut
(Winford, 2003: 247). Pada bahasa Bali, salah satu faktor yang dapat diamati dengan
jelas adalah kentalnya pengaruh fonologis bahasa Bali yang mengakibatkan
pergeseran bahasa awalnya akan tetap menggunakan dialek bahasa Bali.
BAB II. STUDI PUSTAKA
Pada hasil studinya, Bramono (2012) menyimpulkan bahwa pergeseran bahasa
adalah sebuah fenomena yang timbul dalam upaya pemertahanan bahasa, dimana
loyalitas bahasa dari penutur memiliki peran yang sangat penting. Faktor
industrialisasi dan migrasi (urbanisasi atau transmigrasi) merupakan faktor penting
dalam pergeseran bahasa. Penelitian Mueller (2009) pada pergeseran bahasa di Jawa
ke bahasa Indonesia mengemukakan hasil bahwa secara konkrit, pergeseran bahasa ini
terjadi karena status bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang mewakilkan
aspirasi segenap warga negara, meningkatnya pergerakan sosial dari lapisan
masyarakat yang berusaha meraih status sosial yang lebih tinggi, dan berkembangnya
kondisi bahasa komunitas-komunitas menjadi dwibahasa. Cohn (2014) juga
menegaskan bahwa persoalan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional telah
berkembang seiring dengan menurunnya pemertahanan bahasa-bahasa daerah.
Dampak pergerakan ini akan semakin mengarahkan Indonesia ke masyarakat
monolingual. Hal ini semakin mendorong pergeseran bahasa-bahasa daerah kearah
bahasa Indonesia, dimana pergeseran bahasa ini terjadi oleh masing-masing penutur;
mengingat berubahnya pilihan bahasa penutur tersebut bergantung dari komunitasnya
masing-masing.
Abtahian (2016) mengemukakan bahwa selama penelitiannya di Indonesia,
metode pendekatan pada tingkatan komunitas akan lebih bermanfaat dalam upaya
mengetahui pergeseran bahasa, karena analisa pergeseran bahasa memerlukan studi
lebih mendalam pada komunitas bahasa dan faktor sosial dari setiap penutur bahasa
tersebut. Faktor sosial yang berlaku di Indonesia ini dibagi menjadi enam, yaitu umur,
urbanisasi, indeks perkembangan, pendidikan, agama, dan gender. Faktor-faktor sosial
4
ini tidak dapat digabungkan dalam melakukan analisa, namun dapat diurutkan
berdasarkan besarnya pengaruh terhadap pergeseran bahasa, mulai dari umur, gender,
faktor demografi sosial (seperti desa dan kota), grup etnis, dan agama. Penelitian
Masruddin (2013) pada masyarakat Wotu (Sulawesi Selatan) juga menyebutkan
bahwa umur dan mobilisasi merupakan faktor utama yang mempengaruhi pergeseran
bahasa. Secara sosiolinguistik, faktor kedwibahasaan dan sikap bahasa juga memiliki
dampak yang besar terhadap pergeseran bahasa. Salah satu temuannya
mengemukakan bahwa kasus kedwibahasaan dapat hilang begitu saja apabila orang
tua salah satu penutur memutuskan untuk tidak mengajarkan dua (atau lebih) bahasa
pada keturunannya atas pertimbangan kepentingan seperti ekonomi, pendidikan,
mayoritas sosial, dll.
Lebih rincinya, Suzanne (2003) dan Khadidja (2013) menyebutkan bentuk
pendekatan analisa text (discourse analysis) dari pergeseran bahasa adalah
ditemukannya bentuk alih kode dan pinjaman (borrowing) dalam tindak tutur.
Perbedaan antara alih kode dan pinjaman dalam pilihan bahasa dapat dijelaskan
melalui tindak tutur, dimana alih kode mengacu pada pergeseran penuh bahasa diikuti
dengan kembalinya pilihan tersebut ke bahasa semula, sedangkan pinjaman adalah
proses dimana suatu unit bahasa telah terintegrasi penuh ke dalam bahasa lain
(Grosjean, 2013: 18). Melihat dari penjelasan tersebut, pendekatan ragam bio
linguistik yang bersifat domestikalisasi (menambahkan unit bahasa) dapat dikatakan
sebagai sebuah bentuk dari pinjaman yang telah berterima; jauh setelah berterimanya
sebagai bentuk serapan.
Dalam konteks ini, salah satu contoh bahasa Bali yang dapat diteliti melalui
pendekatan ragam bio linguistik adalah kata onda, seperti dalam kalimat ibi kija tepuk
melali negakin onda? (kemana jalan-jalan kemarin saya lihat mengendarai sepeda
motor?) Kata onda yang secara sekilas merupakan serapan dari Honda (sebuah merek
sepeda motor yang cukup terkenal karena tingginya penjualan sekitar tahun 1980-
1990), dapat diteliti lebih lanjut dengan mempertimbangkan bergantinya pemahaman
penutur akan konsep sepeda motor, yang mengacu pula pada jarangnya penggunaan
sepeda motor dan sebagai bentuk yang membedakan antara sepeda motor secara
umum dengan bentuk motor lainnya. Contoh ini juga dapat mengacu pada tingginya
5
pergeseran bahasa pada tingkat tutur umum; tingkat kepara dalam bahasa Bali.
Tingkat tutur pada bahasa Bali tidak dapat dipisahkan dari perannya dalam
menegaskan tingkat sosial masyarakat Bali itu sendiri. Suarjana dalam Tika dkk
(2015) menegaskan bahwa stratifikasi sosial masyarakat Bali pada umumnya
dibedakan menjadi dua yaitu secara tradisional dan modern. Secara tradisional, yang
dimasukkan sebagai golongan atas adalah orang-orang yang berstatus tri wangsa
(Brahmana, Wesia, dan Sudra). Sementara itu, yang dimasukkan dalam golongan
bawah adalah wangsa jaba. Apabila ditinjau secara modern, pembagian stratifikasi
masyarakat Bali dapat digolongkan kembali dalam golongan atas berupa tri wangsa
dan jaba; sedangkan golongan bawah juga terdiri atas tri wangsa dan jaba. Hal ini
mengacu pada fenomena bahwa secara modern kedua golongan masyarakat baik tri
wangsa maupun jaba memiliki peluang yang sama untuk menempati golongan atas
maupun golongan bawah. Dengan demikian, status sosial seseorang diklasifikasikan
secara prgamatis; tidak semata-mata karena kelahiran atau keturunan, tetapi juga
karena jabatan atau kedudukan, finansial dan yang lainnya. Persoalan pergeseran
bahasa antara pemilihan bahasa Bali dengan bahasa Indonesia atau bahasa lainnya
yang terjadi di Bali harus dapat dibedakan dengan pemilihan register (tingkat
kesopanan), yang telah dijelaskan Suastra dkk (2016) dengan menyebutkan bahwa
tingkat tutur Bahasa Bali dapat menyiratkan tingkatan sosial dari masyarakatnya.
Diantara empat tingkat tuturnya; seperti basa Alus Singgih, Alus Madya, Alus Sor, dan
Kepara, penggunaan basa Alus untuk tingkat sosial masyarakat atas, kerap kali
diketahui dengan langsung bertanya informasi terkait penutur tersebut (nama, tempat
tinggal, atau keluarga).
Dalam kesopanan penutur, beberapa hal yang pada umumnya dapat
mempengaruhi kesopanan tersebut adalah perbedaan kekuatan (tingkat sosial), jarak,
dan tingkat kepentingannya (Scollon, 2001: 52). Maka dari itu, dalam penelitian
terhadap bahasa Bali yang sangat erat kaitannya dengan tingkatan bahasa, berbagai
kondisi dan tingkat sosial dari penutur akan sangat mempengaruhi hasil penelitian.
Seorang penutur akan lebih mudah memahami bahasa atau dialek seseorang yang
mereka suka atau hormati; umumnya terjadi pada kelompok orang-orang yang
berhubungan dekat (Holmes, 1992: 345). Lebih jauhnya, analisa dan pendekatan
6
melalui ragam bio linguistik terhadap pergeseran bahasa akan dapat mengungkap
aspek-aspek sosial yang mempengaruhi kemampuan bahasa penutur tersebut dan
selanjutnya melatar belakangi perubahan bahasa yang terjadi. Secara umum,
pendekatan melalui ragam bio linguistik akan terbagi menjadi dua seiring dengan
berkembangnya lingkungan komunitas penutur tersebut, yaitu penambahan unit
bahasa tertentu dan bergesernya; atau bahkan menghilangnya unit bahasa tertentu
secara perlahan.
Penelitian ini merupakan bagian dari kegiatan terdahulu berkaitan dengan
fenomena kontak bahasa dan perkembangan bahasa pada daerah daerah yang
heterogen.
Peta jalan penelitian (roadmap penelitian) adalah sebagaimana bagan berikut.
BAB III. METODE PENELITIAN
Kajian
Sekarang
Suastra, dkk (2016) Sikap Bahasa Penutur Sasak dan Sumbawa di Bali
Tika, dkk (2015) Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak, dan
Sumbawa
Malini (2011)- Pemertahanan Bahasa Ibu pada Generasi Muda di Bali
PEN
ELIT
IAN
SEB
ELU
MN
YA
Untuk mengetahui dan menganalisis 1) tingkatan
pergeseran bahasa Bali dari ragam bio linguistik dan 2)
aspek sosial dan budaya terhadap pergeseran bahasa
Bali.
1.
T
U
J
U
A
N
L
U
A
R
A
N
N
Dihasilkannya publikasi dalam artikel
nasional terakreditasi
7
Penelitian ini menggunakan metode gabungan dari penelitian kualitatif dan
kuantitatif. Data utama diperoleh melalui proses wawancara dan mencatat. Metode
penelitian ini meliputi proses pengumpulan data (beserta transkripsi data apabila
diperlukan) dan analisa data.
Penelitian ini berdasarkan filosofi fenomenologis. Paradigma ini
mengarahkan alur penelitian pada sebuah pendekatan yang kualitatif. Perolehan data
penggunaan bahasa setiap penduduk tidak dapat diperoleh secara langsung, karena
kegunaan data yang tidak cukup signifikan bagi pusat data di daerah. Maka dari itu,
penelitian akan merujuk pada daerah-daerah asal penutur, dengan mempertimbangkan
bahasa ibu di daerah asal tersebut. Hal-hal yang berkaitan dengan metode penelitian
ini adalah sebagai berikut.
3.1 Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Denpasar yang terbagi atas empat wilayah, yaitu
Denpasar Timur, Barat, Utara, dan Selatan. Tempat-tempat yang disasar akan lebih
didasarkan pada intensitas interaksi multibahasa, utamanya pemukiman penduduk-
penduduk pendatang. Pemilihan ini didasarkan pada adanya kemungkinan penggunaan
bahasa Bali antar penutur pendatang untuk memungkinkan diperolehnya data yang
heterogen, namun secara karakteristik tergolong homogen.
3.2 Jenis dan Sumber Data Penelitian
Jenis data dalam penelitian ini adalah data lisan dan tulisan. Data primer
penelitian ini yaitu kemampuan, pemilihan, dan pemertahanan bahasa yang digunakan
oleh penutur bahasa etnis pendatang di Denpasar. Data ini akan diklasifikasikan
berdasarkan tiga ruang lingkup tersebut dan berdasarkan lokasi pemerolehan data.
Jumlah responden adalah sebanyak 50 orang untuk setiap wilayah, dengan total 200
responden. Data yang diambil dari responden adalah data lisan mengenai sikap
penggunaan bahasa Bali dan data tulisan terhadap kemampuan bahasanya untuk
memperoleh contoh langsung pergeseran bahasa dari sudut pandang ragam bio
linguistik. Data sekunder penelitian ini adalah a) hasil survei sosiolinguistik dan b)
8
informasi mengenai situasi kebahasaan, kebudayaan dan tradisi masyarakat Bali saat
ini.
3.3 Instrumen Penelitian
Untuk mengumpulkan data dalam suatu penelitian diperlukan beberapa
instrumen, yang terdiri dari instrumen utama dan instrumen tambahan. Instrumen
utama dari penelitian ini adalah peneliti, dimana hal ini akan memungkinkan metode
partisipasi dalam observasi. Untuk menjaga validitas dan relibilitas data dan agar
penelitian berjalan pada jalur yang sesuai dengan tujuan, sebagai bahan triangulasi
digunakan beberapa alat pengumpul data dan sebagai instrumen tambahan digunakan
kuesioner survei linguistik. Daftar pertanyaan disusun dengan membuat pertanyaan yang
khusus, kongkret, dan sesuai dengan konteks. Sumber-sumber pertanyaan tersebut
dimodifikasi dan disesuaikan dengan kepentingan penelitian ini.
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1. Keragaman Etnis (Bio-Cultural Diversity) di Denpasar
Berdasarkan data yang didapatkan dari Badan Pusat Statistik (BPS) Denpasar
(https://denpasarkota.bps.go.id/), data diklasifikasikan dalam jumlah populitas, agama,
dan desa/banjar di Denpasar. Berdasarkan jumlah populasi, angka tertinggi
ditunjukkan oleh Sesetan pada Denpasar Selatan, Sumerta Klod pada Denpasar Timur,
Pemecutan Klod pada Denpasar Barat, dan Ubung Kaja pada Denpasar Utara. Lebih
lanjut, data berdasarkan agama menunjukkan diversitas pemeluk agama tertinggi pada
Denpasar Selatan dan Denpasar Barat. Menurut jumlah desa/banjar, jumlah desa adat
paling rendah terdapat pada Padangsambian, sedangkan jumlah banjar adat paling
rendah terdapat pada Dauh Puri Kaja. Tabel-tabel berikut adalah rangkuman data dari
BPS Denpasar:
9
Tabel 1. Data BPS Populasi Denpasar
Tabel 2. Data BPS Pemeluk Agama di Denpasar
10
Tabel 3. Data BPS Jumlah Banjar di Denpasar
Secara umum, jumlah penduduk dapat dikaitkan dengan jumlah pemeluk
agama untuk memperoleh gambaran awal mengenai persebaran etnis. Lebih lanjutnya,
jumlah Banjar dan Desa adat maupun dinas di suatu kecamatan dapat mempengaruhi
perkembangan etnis tersebut. Dengan mengaitkan ketiga tabel tersebut, gambaran
awal mengenai tingginya keragaman etnis di setiap kecamatan mengarah pada tiga
fokus penelitian yaitu: (1) tingginya jumlah penduduk pada Sesetan, Sumerta Klod,
Pemecutan Klod, dan Ubung Kaja; (2) Tingginya kemungkinan keragaman etnis di
Denpasar Barat dan Selatan; dan (3) Tingginya kemungkinan perkembangan etnis di
daerah Dauh Puri Kaja.
Namun setelah meneliti lebih lanjut, data di lapangan menunjukkan hasil yang
lebih terperinci menurut jumlah pendatang. Berdasarkan data yang didapatkan dari
kantor Camat seluruh Denpasar, Desa yang memiliki jumlah pendatang tertinggi
adalah Kesiman Kertalangu untuk wilayah Denpasar Timur, Padangsambian Kaja
untuk Denpasar Barat, Sesetan untuk Denpasar Selatan, dan Ubung Kaja untuk
wilayah Denpasar Utara. Melalui proses analisa data di masing-masing kantor camat
tersebut, perbandingan jumlah penduduk dan pendatang dapat dilihat pada tabel
berikut:
11
IV.1.1. Denpasar Timur
Secara geografis, Denpasar Timur berbatasan dengan desa Batubulan,
kecamatan Sukawati, kabupaten Gianyar. Kondisi ini menunjukkan adanya penduduk
pendatang dan pengaruh dari budaya dan bahasa penutur daerah lain ataupun bahasa
Bali dari wilayah Gianyar. Menurut keragaman etnis dan bahasanya, jumlah
pendatang menandakan tingginya frekwensi interaksi antar etnis. Dampak yang dapat
terlihat adalah tingginya jumlah pendatang pada desa yang berbatasan dengan
kabupaten Gianyar; yaitu desa Kesiman Kertalangu, seperti yang terlihat pada tabel
dibawah ini.
TOTAL
L P L+P L P L+P
1 Dangin Puri Kelod 9306 8854 18160 2 3 5 18165
2 Sumerta Kauh 3482 2954 6436 1 1 2 6438
3 Kel. Kesiman 5078 4823 9901 9 7 16 9917
4 Kesiman Petilan 4374 3734 8108 0 0 0 8108
5 Kesiman Kertlangu 7576 6557 14133 32 28 60 14193
6 Kel. Sumerta 3880 3558 7438 0 0 0 7438
7 Sumerta Kaja 3712 3637 7349 0 0 0 7349
8 Sumerta Kelod 6737 5775 12512 0 0 0 12512
9 Kel. Dangin Puri 3412 3366 6778 3 7 10 6788
10 Kel. Penatih 4895 4794 9689 3 0 3 9692
11 Penatih Dangin Puri 2988 2873 5861 9 9 18 5879
Jumlah 55440 50925 106365 59 55 114 106479
No. Desa/KelurahanPenduduk Awal Penduduk Pendatang
Tabel 4. Jumlah Penduduk Denpasar Timur
Sesuai dengan data yang telah diperoleh di lapangan, diketahui bahwa titik
pertemuan etnis yang terlihat dari banyaknya jumlah pendatang di desa Kesiman
Kertalangu, terdapat pada dusun Tohpati. Dari 50 responden yang digunakan, jumlah
etnis yang tersebar menunjukkan bahwa lebih dari 50% mayoritas etnis pendatang
adalah dari etnis Jawa. Pemetaan lebih lanjut di lapangan mengungkapkan bahwa
sebanyak 3% dari total responden dilibatkan kedalam keragaman bahasa karena
responden yang bersangkutan tidak lahir di Bali, dan telah lama bermukim di luar
Bali, sehingga menemui kesulitan dalam penggunaan Bahasa Bali.
12
Beberapa pemetaan lebih lanjut yang dapat mempengaruhi keragaman bahasa
pada lingkungan ini adalah keragaman pekerjaan yang digeluti, dimana jumlah setara
berkisar 30% digeluti pada lapangan pekerjaan swasta, wiraswasta, dan pekerjaan
lainnya. Seiring dengan meratanya lapangan pekerjaan ini, kisaran usia responden
adalah dominan diatas 31 tahun. Hasil ini berdampak pada keberadaan bahasa Bali
sebagai bahasa mayoritas di Denpasar, yaitu banyaknya angka dari responden yang
memilih tidak mempelajari bahasa Bali. Sebanyak 74% dari responden yang memilih
untuk tidak mempelajari bahasa Bali ini merupakan hubungan yang menunjukkan
rendahnya kemungkinan tingkat perubahan bahasa pada rentang umur tertentu.
IV.1.2. Denpasar Barat
Denpasar Barat berbatasan dengan kecamatan Kuta Utara, kabupaten Badung.
Kondisi ini menunjukkan adanya penduduk pendatang dan pengaruh dari budaya dan
bahasa penutur daerah lain ataupun bahasa Bali dari wilayah Kuta. Melalui data serupa
yang didapatkan pada Denpasar Barat, dimana desa Padangsambian Kaja yang
berbatasan dengan Kuta memiliki jumlah pendatang yang tinggi, dapat merujuk pada
asumsi dimana pendatang tetap memilih daerah perbatasan untuk mempermudah akses
dari pusat kota dan daerah-daerah yang berpotensi memiliki lapangan pekerjaan yang
terjamin. Pengaruh ini menandakan adanya hubungan antara daerah pemukiman yang
luas dan potensi lapangan pekerjaan bagi persebaran etnis dan bahasanya. Secara
lengkap, data penduduk pendatang pada Denpasar Barat tercatat sebagai berikut.
13
TOTAL
L P L+P L P L+P
1 Kelurahan Dauh Puri 5239 5013 10252 9 6 15 10267
2 Desa Dauh Puri Kangin 1918 1907 3825 4 3 7 3832
3 Desa Dauh Puri Klod 7590 6881 14471 5 2 7 14478
4 Desa Dauh Puri Kauh 8896 8214 17110 5 7 12 17122
5 Kelurahan Pemecutan 9593 9395 18988 5 8 13 19001
6 Desa Pemecutan Klod 18143 17044 35187 5 12 17 35204
7 Kelurahan Padangsambian 11191 10999 22190 0 0 0 22190
8 Desa Padangsambian Kaja 6367 6377 12744 5 15 20 12764
9 Desa Padangsambian Klod 10621 10538 21159 3 9 12 21171
10 Desa Tegal Kerta 7821 7594 15415 2 1 3 15418
11 Desa Tegal Harum 5374 5054 10428 2 3 5 10433
Jumlah 92753 89016 181769 45 66 111 181880
No. Desa/KelurahanPenduduk Awal Penduduk Pendatang
Tabel 5. Jumlah Penduduk Denpasar Barat
Merujuk pada perolehan data di desa Padangsambian Kaja, tingkat pertemuan
etnis tertinggi terdapat pada wilayah kompleks Swamandala dan lingkungan seputaran
jalan Kebo Iwa. Pada lingkungan tersebut, walaupun mayoritas etnis terbesar sebesar
76% tetap etnis Jawa, namun terdapat pemerataan 5% masing-masing etnis Sunda dan
Sasak, serta 10% etnis lainnya. Pemerataan ini menunjukkan tingginya keberterimaan
etnis pendatang di masyarakat lingkungan ini.
Berdasarkan kondisi lingkungan dan potensi lapangan pekerjaan pada
lingkungan Padangsambian Kaja, terdapat 22% tingkat usia responden antara 19-20
tahun dan antara 25-26 tahun. Angka ini mendukung tingginya angka lapangan
pekerjaan swasta, yang bertumpu pada pariwisata. Sebanyak 68% pekerjaan swasta
yang digeluti oleh responden juga menjelaskan tingginya mayoritas pemilihan bahasa;
60% lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari
mereka. Hasil ini menjelaskan tingginya pemertahanan bahasa Indonesia, dimana 84%
memilih tidak mempelajari bahasa Bali walaupun bahasa ini adalah bahasa mayoritas.
Selain itu, hasil ini juga merupakan angka tertinggi dari rendahnya pengaruh terhadap
bahasa mayoritas apabila dibandingkan dengan kecamatan lain. Maka dari itu,
lapangan pekerjaan dapat berdampak besar pada pergeseran bahasa, dimana bahasa
14
mayoritas daerah tertentu pun dapat dikesampingkan selama bahasa lain dapat
membantu komunikasi pada situasi kerja.
IV.1.3. Denpasar Selatan
Menurut lokasi, Denpasar Selatan juga berbatasan dengan kecamatan Kuta
Utara, kabupaten Badung. Namun wilayah Denpasar Selatan merupakan kecamatan
terluas di Denpasar yang mencakup pulau Serangan dan beberapa lokasi-lokasi
penting yang mencakup wilayah perkantoran pemerintahan kota, wilayah pemukiman
yang berperan besar terhadap penduduk pendatang, dan besarnya potensi lapangan
pekerjaan pada desa-desa seperti Renon, Sanur, atau Panjer. Berdasarkan pengamatan
awal mengenai hubungan daerah pemukiman dengan potensi lapangan pekerjaan,
tingginya penduduk pendatang ditunjukkan pada desa Sesetan yang memiliki akses
termudah sebagai jalan utama yang menghubungkan semua desa-desa lainnya. Asumsi
ini mengacu pada data penduduk pendatang Denpasar Selatan dibawah ini.
TOTAL
L P L+P L P L+P
1 Kelurahan Sanur 4774 4347 9121 2 5 8 9129
2 Kelurahan Renon 5389 5595 10984 9 9 18 11002
3 Kelurahan Panjer 10163 9701 19864 12 10 22 19886
4 Kelurahan Sesetan 14397 14060 28457 21 25 46 28503
5 Kelurahan Pedungan 11300 11388 22688 8 11 19 22707
6 Kelurahan Serangan 1937 1886 3823 0 1 1 3824
7 Desa Sanur Kaja 4120 3773 7893 0 0 0 7893
8 Desa Sanur Kauh 3969 3487 7456 0 0 0 7456
9 Desa Sidakarya 3467 7350 7112 14 16 30 7142
10 Desa Pemogan 11057 10952 22009 25 19 44 22053
Jumlah 70573 72539 139407 91 96 188 139595
Penduduk Awal Penduduk PendatangNo. Desa/Kelurahan
Tabel 6. Jumlah Penduduk Denpasar Selatan
Data tingginya pendatang pada desa Sesetan yang semakin diperuncing untuk
pemerolehan keragaman etnis terdapat pada tiga titik, yaitu lingkungan Pegok,
perumahan jalan raya Sesetan, Gumuk Sari. Berbeda dengan kecamatan lain di
Denpasar, etnis yang tersebar disini adalah 50% etnis Jawa dan sejumlah 47% etnis-
15
etnis lain selain daripada etnis Sunda atau Sasak. Jumlah ini menunjukkan tingginya
keragaman, dimana dampak langsung terhadap bahasa Bali tidak langsung
dimunculkan oleh mayoritas penutur pendatang, yang dalam hal ini adalah etnis Jawa.
Pemetaan etnis yang cukup seimbang tersebut berdampak pada toleransi
bahasa yang tinggi di lokasi tersebut. Walaupun 40% responden berumur 31 tahun
keatas dan 64% bekerja pada lapangan pekerjaan swasta, hanya 20% dari total
responden yang memilih tidak mempelajari bahasa Bali. Proses pemerolehan bahasa
yang sebanyak 87% dilalui pada percakapan sehari-hari tidak akan langsung
menandakan pilihan bahasa mereka, karena pada kenyataannya 80% responden masih
menggunakan bahasa Indonesia untuk percakapan sehari-hari. Maka dari itu, toleransi
bahasa dalam ruang lingkup konteks ini mengacu pada pengetahuan pasif terhadap
bahasa tersebut.
IV.1.4. Denpasar Utara
Secara geografis, Denpasar Utara berbatasan dengan kecamatan Abiansemal,
kabupaten Badung. Dalam hal ini, pengamatan terhadap data di lapangan kembali
diperjelas dengan tingginya jumlah pendatang pada desa Ubung Kaja. Ubung Kaja
yang dalam hal ini adalah perbatasan antara Denpasar dengan daerah-daerah Bali
Barat seperti Tabanan dan Buleleng. Lebih lanjutnya desa Ubung memiliki terminal
yang secara langsung dapat menghubungkan perjalanan antar daerah ini. Didukung
dengan luasnya desa yang masih memungkinkan daerah pemukiman, desa ini
merupakan contoh lain dimana tingginya penduduk pendatang dari berbagai etnis di
daerah perbatasan dapat dijelaskan dengan hubungan antara kemungkinan pemukiman
dengan potensi lapangan pekerjaan. Secara detail, jumlah penduduk di Denpasar Utara
ditunjukkan pada tabel di bawah ini.
16
TOTAL
L P L+P L P L+P
1 Desa Pemecutan Kaja 11129 11270 22399 3 6 9 22408
2 Desa Dauh Puri Kaja 9956 9421 19377 4 5 9 19386
3 Desa Ubung Kaja 7391 7162 14553 10 12 22 14575
4 Kelurahan Ubung 4928 2898 7826 3 6 9 7835
5 Kelurahan Peguyangan 6280 5881 12161 6 9 15 12176
6 Desa Peguyangan Kaja 2867 2786 5653 6 2 8 5661
7 Desa Peguyangan Kangin 7961 7860 15821 0 0 0 15821
8 Kelurahan Tonja 7751 7401 15152 4 12 16 15168
9 Desa Dangin Puri Kauh 3612 3479 7091 3 4 7 7098
10 Desa Dangin Puri Kaja 5757 4816 10573 0 0 0 10573
11 Desa Dangin Puri Kangin 3960 3818 7778 10 1 11 7789
Jumlah 71592 66792 138384 49 57 106 138490
Penduduk Awal Penduduk PendatangNo. Desa/Kelurahan
Tabel 7. Jumlah Penduduk Denpasar Utara
Pada desa Ubung Kaja, tingkat pertemuan etnis tertinggi merujuk pada daerah
sekitar jalan Kelapa Muda, dusun Pemangkalan. Pada lingkungan ini, data yang
didapatkan adalah tingginya mayoritas etnis Jawa sebagai pendatang, yang mana
menyiratkan pengaruh yang bertolak belakang dengan pemetaan pada desa Sesetan.
Sebanyak 90% etnis Jawa sebagai pendatang pada Ubung Kaja ini tentunya akan
membawa dampak langsung terhadap pergeseran bahasa Bali kedepannya.
Tingginya mayoritas etnis Jawa sebagai pendatang ini membawa dampak
langsung terhadap bahasa yang digunakan dalam tuturan sehari-hari, dimana 42%
responden; yang merupakan jumlah tertinggi dibandingkan kecamatan lainnya;
menggunakan bahasa daerah asalnya masing-masing. Pada konteks ini pula, tidak
ditemukan penggunaan bahasa Bali sama sekali; dimana pada kecamatan lain,
sedikitnya 4% akan sesekali menggunakan bahasa Bali sebagai pengaruh dari interaksi
terhadap mayoritas penutur bahasa Bali. Jumlah pelajar SMP/SMA dan mahasiswa
sebanyak 22% dan 6% dari keseluruhan responden; yang juga merupakan angka
tertinggi dibandingkan kecamatan lain; berdampak pada keharusan pembelajaran
bahasa Bali, dimana 55% melalui proses pembelajaran bahasa Bali ini di bangku
sekolah.
17
IV. 2. Faktor – faktor yang mempengaruhi Pergeseran Bahasa Bali
Pemetaan data yang dilakukan dapat digunakan sebagai tolak ukur pergeseran
bahasa Bali menurut kondisi keragaman bahasa yang dimiliki pendatang, dengan
menggunakan hasil analisa dari sikap, pemilihan, pemertahanan, dan penggunaan
bahasa. Menurut data yang didapatkan pada setiap kecamatan tersebut, setelah
digabungkan, jumlah penduduk pendatang tertinggi adalah pada desa Kesiman
Kertalangu, Padangsambian Kaja, Sesetan, dan Ubung Kaja. Jumlah pendatang
masing-masing desa terlihat sebagai berikut.
KesimanKertalangu
PadangsambianKaja
Sesetan
Ubung Kaja
Bagan 1. Jumlah Pendatang di tiap Camat di Denpasar dan Peta Wilayah
Hubungan yang dapat dilihat dari peta wilayah dan angka tersebut, adalah
selain dipengaruhi oleh luasnya wilayah, tingginya keragaman etnis ditentukan oleh
posisi wilayah tersebut, yang dalam hal ini Denpasar Timur dan Selatan terletak di
wilayah pinggiran Bali. Data yang ditemukan pada respon dari setiap desa
menunjukkan bahwa walaupun data etnis pendatang mayoritas adalah etnis Jawa,
namun lebih dari 80% responden dapat mengatakan langsung bahwa bahasa Indonesia
adalah bahasa yang mereka kuasai; tidak serta merta mengatakan menguasai bahasa
Jawa sebagai identitas etnisnya. Dalam pengaruh terhadap pemertahanan dan
pergeseran bahasa, sekitar 22%-51% menyebutkan berniat menguasai bahasa Bali.
Hubungan yang dapat dilihat dari hasil tersebut adalah besarnya pengaruh etnis
mayoritas global terhadap sikap bahasa yang lebih berdampak walaupun dalam ruang
lingkup kelompok-kelompok masyarakat yang didominasi oleh etnis lain. Di lain hal,
18
pergeseran bahasa terjadi pada hasil yang sama, dimana potensi lapangan kerja dapat
lebih berdampak pada pemilihan bahasa; sebagai contoh, pada Padangsambian Kaja,
48% dari responden mengatakan ingin menguasai bahasa asing (bahasa Inggris) yang
akan membantu dalam perolehan lapangan kerja di bidang pariwisata.
Seiring dengan sikap bahasa yang menunjukkan besarnya pengaruh bahasa
Bali sebagai bahasa mayoritas, hasil dari responden menunjukkan bahwa posisi bahasa
Indonesia tetap dipandang sebagai bahasa yang paling bermanfaat untuk digunakan.
Hal ini terbukti dari menguatnya angka hasil responden, bergantung dari ruang
lingkup masyarakatnya; seperti dalam konteks daerah asal, hasil yang didapatkan
adalah berkisar 50% pada setiap desa, lalu meningkat menjadi 65% di Denpasar, 80%
di Bali, dan akhirnya diatas 90% pada daerah manapun di Indonesia. Hasil ini
didukung oleh tingginya penggunaan bahasa Indonesia yang didapatkan pada ranah
tertentu; seperti ranah komunikasi keluarga (40%-50%) dan saat berdoa (64%-68%),
dimana kedua ranah tersebut memiliki pengaruh kuat yang seharusnya dapat
mencerminkan pemilihan bahasa sebagai karakter etnis dari penutur tersebut.
Tanggapan lebih lanjut terhadap penggunaan bahasa yang dilihat dari sikap
bahasa penutur pendatang adalah hasil responden dimana terdapat 18%-34% bahasa
Indonesia yang masih terlihat digunakan oleh orang Bali, dan meningkat menjadi
50%-76% pemakaian bahasa Indonesia apabila dilihat dari bahasa yang digunakan di
Denpasar. Besarnya tingkat kegunaan bahasa Indonesia di Denpasar; dimana lebih dari
80% sangat menyetujui hal tersebut, memiliki dampak terhadap pergeseran bahasa
Bali sebagai bahasa mayoritas di Denpasar, yang terlihat dari kisaran 50% yang
beranggapan bahasa Bali cukup berguna untuk digunakan.
Melalui hasil yang didapatkan terhadap sikap dan pemilihan bahasa secara
lebih spesifik, bahasa yang digunakan saat terjadi komunikasi antar etnis antara
masyarakat pendatang dan masyarakat Bali secara mayoritas adalah bahasa Bali (8%-
36%) atau bahasa Indonesia (54%-94%). Terlepas dari pengaruh konteks penggunaan;
dimana Denpasar Selatan (Padangsambian Kaja) selalu memiliki angka yang tinggi
untuk penggunaan bahasa Indonesia, sebagai dampak dari kondisi dan potensi
pariwisata; perbandingan hasil ini kembali meningkat seiring luasnya ruang lingkup
19
interaksi bahasa tersebut, yaitu angka terbesar pemilihan penggunaan bahasa Bali
terjadi di Denpasar. Dalam konteks yang berbeda, angka yang didapatkan dari
pemilihan bahasa oleh etnis pendatang ini adalah 22%-56% untuk bahasa Jawa
(karena dalam hal ini, etnis Jawa adalah mayoritas pendatang) dan 10%-74% untuk
bahasa Indonesia. Perbedaan hasil dari pemilihan bahasa ini dapat mencerminkan
potenis besar kearah pergeseran bahasa, dimana bahasa Jawa terlihat lebih dapat
berimbang dengan bahasa Indonesia apabila dibandingkan dengan keadaan bahasa
Bali terhadap bahasa Indonesia.
Pemertahanan bahasa Bali dapat tercermin dari beberapa konteks, salah
satunya seperti pada lapangan pekerjaan yang tidak sampai setengah (hanya 32%-
44%) mengatakan perlu fasih dalam berbahasa Bali. Walaupun jumlah ini meningkat
sampai 56% apabila dilihat dari perlunya kemampuan berbahasa Bali secara umum,
namun hanya berkisar 20% yang beranggapan benar-benar perlu. Sudut pandang lain
yang mendukung faktor pemertahanan bahasa Bali terlihat dari pengetahuan
masyarakat pendatang terhadap bahasa ini. Hasil yang bervariasi ditemukan dari
pengetahuan terhadap intonasi dan logat dalam bahasa Bali, yang mana hanya 12%
benar-benar mengetahui perbedaannya. Respon ini juga sejalan dengan pengetahuan
mereka terhadap tingkat kesopanan dan kemampuan mempertahankan alur
percakapan, dimana sampai 60% mengatakan tidak mengetahui perbedaan kesopanan
tersebut dan tidak tahu cara menjaga alur percakapan (flow of communication) dalam
bahasa Bali. Seiring dengan hasil ini, sikap terhadap bahasa Bali masih tergolong baik
karena sampai dengan 64% setuju bahwa mereka ingin mempelajari ketiga hal
tersebut. Selain itu, sampai dengan 76% mengupayakan akan menjadikan bahasa Bali
sebagai bahasa kedua untuk digunakan di Denpasar.
Beberapa hal mendasar lainnya mengenai pengetahuan terhadap bahasa Bali,
meliputi istilah, kosa kata, tata bahasa, pelafalan, dan tingkat tutur dapat dilihat secara
lebih rinci, dimana pengetahuan terhadap istilah masih cenderung tinggi sampai
dengan 60% dari responden, dan hasil yang cukup tinggi pada pengetahuan tingkat
tutur sampai dengan 52%. Di lain sisi, hasil yang didapatkan saat menanyakan contoh
yang lebih nyata pada kosa kata, tata bahasa, dan pelafalan, sampai dengan 82%
20
responden mengatakan tidak mengetahui perbedaan dalam penggunaannya. Maka dari
itu, pengetahuan terhadap bahasa Bali dapat digambarkan sebagai konsep yang masih
umum dan abstrak dalam benak penutur bahasa lainnya di ruang lingkup masyarakat
multibahasa.
Dalam segi keragaman bahasa, lebih dari 50% mengetahui bahwa bahasa Bali
memang memiliki keragaman dalam bentuk. Namun apabila dilihat lebih mendalam
dalam perbandingannya terhadap bahasa Bali secara umum, perbandingan terhadap
bahasa Bali yang sekiranya dapat mereka gunakan, serta perbandingan bahasa Bali
yang digunakan di Denpasar dengan bahasa Bali pada umumnya, sampai dengan 68%
mengatakan tidak tahu apakah terdapat kesamaan atau tidak. Sebanyak 50%
mengatakan bahwa bahasa Bali yang digunakan di Denpasar adalah sama baiknya
dengan bahasa Bali yang digunakan oleh penutur dari daerah lain di Bali. Hasil ini
juga didukung dengan minimnya kesadaran mengenai bahasa Bali sebagai bahasa
mayoritas di Denpasar, dimana sampai 76% tidak mengetahui posisi mayoritas
tersebut apabila dibandingkan dengan bahasa daerah lain di Denpasar maupun apabila
dibandingkan dengan bahasa Bali yang digunakan di daerah lain.
Secara umum, berdasarkan hasil-hasil diatas, sikap terhadap bahasa Bali di
Denpasar masih dapat digolongkan baik. Namun pergeseran bahasa Bali ini sendiri
sudah dapat terlihat melalui pemilihan bahasa yang cenderung mengarah ke bahasa
etnis Jawa atau bahasa Indonesia, pemertahanan bahasa Bali yang kurang baik dengan
adanya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, dan penggunaan bahasa Indonesia
yang dapat berterima dalam sebagian besar konteks interaksi bahasa. Ketiga hal ini
adalah faktor-faktor utama yang mampu mempengaruhi pergeseran bahasa Bali di
Denpasar secara perlahan dan menyeluruh.
V. Kesimpulan dan Saran
Pemetaan keragaman bahasa merupakan metode pendekatan yang sangat
berguna dalam perolehan data pergeseran bahasa, melihat dari kecenderungan hasil
yang subyektif apabila penelitian bahasa dilakukan terhadap penutur bahasa itu
21
sendiri. Selain dampak yang ditimbulkan dari hubungan keragaman dan kondisi
pemertahanan bahasa, aspek-aspek sosial budaya dapat membawa pengaruh yang kuat
terhadap sikap bahasa yang diawali dengan pemilihan bahasa, yang selanjutnya
mengarah pada proses pergeseran bahasa. Di Denpasar, hasil yang didapatkan dari
pemetaan ini adalah hubungan bahasa Bali, Jawa, dan Indonesia yang mendorong
pergeseran bahasa kearah bahasa mayoritas. Keberadaan bahasa mayoritas ini harus
dapat dilihat dari konteks tingginya penggunaan bahasa tersebut dan kecenderungan
sikap bahasa yang didasari dari kepentingan setiap individu penutur bahasa tersebut.
Penelitian lebih lanjut hendaknya dapat mengoptimalkan pemetaan keragaman
bahasa ini untuk menggunakan pergeseran bahasa sebagai tolak ukur untuk
mengungkap proses kehilangan bahasa (language loss) yang terjadi secara perlahan
pada penutur bahasa Bali.
Daftar Pustaka
Abtahian, Maya R, et al.2016. Methods for Modeling Social Factors in Language
Shift. University of Pennsylvania: Penn Libraries.
http://repository.upenn.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1922&context=pwpl
Bramono, Nurdin & Mifta Rahman. 2012. Pergeseran dan Pemertahanan Bahasa.
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=116515&val=5319
Chaer, Abdul. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: PT Rineka Cipta
Chon, Abigail C & Maya Ravindranath. 2014. Local Languages in Indonesia:
Language Maintenance or Language Shift? Masyarakat Linguistik Indonesia:
Volume 32, No.2. http://www.linguistik-indonesia.org/images/files/2.pdf
Cole, Michael and Sylvia Scribner. 1974. Culture and Thought. New York: John
Wiley and Sons, Inc
22
Croft, William. 2003. Social Evolution and Language Change. University of
Manchester. https://www.unm.edu/~wcroft/Papers/SocLing.pdf
Fasold, R. 1984. The Sociolinguistics of Society. Oxford: Basil Blackwell
Fishman, J. A. (ed). 1968. Readings in the Sociology of Language. The Hague;
Mouton
Givon, Talmy. 2002. Bio-Linguistics. Linguistics: an Interdisciplinary Journal of the
Language Sciences. docenti2.unior.it/doc_db/doc_obj_18094_01-02-
2011_4d47fd1057de9.doc
Grosjean, F. 1982. Life with Two Languages: An Introduction to Bilingualism. England:
Harvard University Press.
Grosjean, Francois & Ping Li. 2013. The Psycholinguistics of Bilingualism. Oxford: Willey-
Blackwell
Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. London: Longman
Jendra, I Wayan. 2007. Sosiolinguistik: Teori dan Penerapannya. Surabaya: Penerbit
Paramita
Kangas, Tove Skutnabb. 2004. On Biolinguistics Diversity - Linking Language,
Culture, and (Tradtional) Ecological Knowledge. Interdisciplinary seminar At
the Limits of Language. www.helsinki.fi/hyy/skv/v/Sk-
Kangas_Madrid_March_2004_paper.doc
Khadidja, Ait Habbouche. 2013. Language Maintenance and Language Shift among
Kabyle Speakers in Arabic Speaking Communities. Algeria: University of
Oran. theses.univ-oran1.dz/document/TH3963.pdf
Kovecses, Zoltan.2006. Language, Mind, and Culture. Oxford: Oxford University
Press
Malini, Ni Luh Nyoman Seri. 2011. Dinamika Bahasa Bali di Daerah Transmigran di
Provinsi Lampung. Disertasi. Universitas Udayana. Denpasar
23
Manzini, Rita and Leonardo Savoia. 2007. (Bio)linguistics Diversity. Biolinguistics:
Language Evolution and Variation. Università degli Studi di Firenze.
http://www.biolinguistics.uqam.ca/venice2007/Manzini_Savoia.pdf
Masruddin. 2013. Influenced Factors towards the Language Shift Phenomenon of
Wotunese. Kajian Linguistik dan Sastra: Vol 25, NO.2.
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/7438/5%20-
%20Masruddin.pdf?sequence=1
Mueller, Franz. 2009. Language Shift on Java. The Linguistic Association of Canada
and the United States: Lacus Forum 34.
www.lacus.org/volumes/34/215_mueller_f.pdf
Scollon, Ron and Suzanne Wong Scollon. 2001. Intercultural Communication.
Oxford: Blackwell Publisher
Suastra, I Made dkk. 2016. Sikap Bahasa Penutur Sasak dan Sumbawa di Bali.
Penelitian Grup Riset Hibah PNBP Universitas Udayana
Tika, I Ketut dkk. 2015. Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak,
dan Sumbawa: Sebuah Kajian Sosiolinguistik pada Rumpun Bahasa Bagian
Timur Melayu-Polinesia Barat. Penelitian Grup Riset Hibah PNBP Universitas
Udayana
Wardhaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Basil
Blackwell
Wertheim, Suzanne. 2003. Linguistic Purism, Language Shift, and Contact-induced
Change in Tatar. Berkeley: University of California.
http://escholarship.org/uc/item/3x61t12t#page-1
Winford, Donald. 2003. An Introduction to Contact Linguistics. Oxford: Blackwell
Publishing