Upload
rizka-amelia
View
209
Download
18
Embed Size (px)
DESCRIPTION
nnnn
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Pemeriksaan radiologis berkembang dengan pesatnya sejalan dengan kemajuan ilmu
kedokteran dan ilmu-ilmu lain pada umumnya. Kemajuan ini dipengaruhi oleh perkembangan
teknologi fisika, kimia, biologi, elektronik, komputer dan sebagainya. Cara-cara pemeriksaan yang
menghasilkan gambar tubuh manusia untuk tujuan diagnostik dinamakan pencitraan
diagnostik.Sebuah hasil pencitraan diagnostik merupakan sebuah referensi yang paling berharga
bagi ahli bedah kepala dan leher atau otolaryngologist, yang sangat dibutuhkan dari pasien. Karena
banyaknya bagian pendukung dan struktur dalam dari sebuah kepala dan leher yang
pemeriksaannya bukan hanya sekedar pemeriksaan yang bersifat topografi (anatomi atau penentuan
letak struktur) saja, tetapi juga memerlukan pemeriksaan yang bersifat fisiologi. Hal ini bukan
berarti bahwa setiap pasien membutuhkan pencitraan diagnostik. Beberapa pasien mungkin hanya
memerlukan pencitraan dignostik konvensional seperti film tipis sinar-X, atau beberapa justru
membutuhkan pencitraan dengan teknologi tinggi untuk memperoleh hasil terbaik demi rencana
terapi yang akan dia jalani nantinya.1
Pengaruh lingkungan pekerjaan dan tim yang terlibat juga terus akan berkembang.
Radiologis telah memiliki sangkut paut yang sangat erat dengan dunia radiologi kepala dan leher.
Pemeriksaan radiologi merupakan sebuah referensi untuk menentukan proses pencitraan mana yang
lebih bagus. Hal ini sangat penting dalam sebuah pencitraan diagnostik, karena hal tersebut dicapai
secara efektif melalui komunikasi yang baik antara otolaryngologist dan radiologis. Selanjutnya,
tim konsulting yang akan menentukan pencitraan mana yang akan digunakan. Peralatan yang biasa
digunakan dalam pencitraan konvensional diberikan oleh table 1.1. Hingga saat ini, peralatan
pencitraan konvensional yang masih bertahan dan paling banyak digunakan adalah sinar-X atau
rontgen.1
BAB II1
ISI
1. Sinus Paranasal
Pada pasien-pasien dengan keluhan klinis yang mengarah kepada dugaan adanya sinusitis
antara lain pilek-pilek kronik, nyeri kepala kronik, nyeri kepala satu sisi (kanan atau kiri), nafas
berbau atau kelainan- kelainan lain pada sinus paranasal antara lain, misalnya mukokel,
pembentukan cairan dalam sinus, atau tumor, trauma sekitar sinus paranasalis, diperlukan informasi
mengenai keadaan sinus tersebut. 2
Pemeriksaan radiologis untuk mendapatkan informasi dan untuk mengevaluasi sinus
paranasal adalah:
- pemeriksaan foto kepala dengan berbagai posisi yang khas
- pemeriksaan tomogram dan
- pemeriksaan CT-scan2
Adapun pemeriksaan foto kepala untuk mengevaluasi sinus paranasal terdiri atas berbagai
macam posisi antara lain:
a. Foto kepala posisi anterior-posterior (AP atau posisi Caldwell)
Foto ini diambil pada posisi kepala menghadap kaset, bidang midsagital kepala tegak lurus
pada film. Idealnya pada film tampak piramid tulang petrosum diproyeksi pada 1/3 bawah orbita
atau pada dasar orbita. Hal ini dapat tercapai apabila orbito-meatal line tegak lurus pada film dan
sentrasi membentuk sudut 150 kaudal.2
2
b. Foto kepala lateral
Dilakukan dengan kaset terletak sebelah lateral dengan sentrasi diluar kantus mata, sehingga
dinding poterior dan dasar sinus maksilaris berhimpit satu sama lain.2
Gambar 2: Posisi Lateral Kepala
4
c. Foto kepala posisi waters
Dilakukan dengan posisi dimana kepala menghadap kaset, garis orbito meatus membentuk
sudut 37° dengan kaset. Sentrasi sinar kira-kira di bawah garis interorbital. Pada foto waters, secara
ideal piramid tulang petrosum diproyeksikan pada dasar sinus maksilaris sehingga kedua sinus
maksilaris dapat dievaluasi seluruhnya. Fata Waters umumnya dilakukan pada keadaan mulut
tertutup. Pada posisi mulut terbuka akan dapat menilai daerah dinding posterior sinus sfenoid
dengan baik.2
5
Gambar 3: Posisi Waters
Gambar 4: posisi waters dengan mulut terbuka
d. Foto kepala posisi submentoverteks
Diambil dengan meletakkan film pada verteks, kepala pasien menengadah sehingga garis
infraorbito meatal sejajar dengan film. Sentrasi tegak lurus kaset dalam bidang midsagital melalui
sella tursika kearah verteks. Banyak variasi-variasi sudut sentrasi pada posisi submentoverteks, agar
supaya mendapatkan gambaran yang baik pada beberapa bagian basis kranii, khususnya sinus
frontalis dan dinding posterior sinus maksilaris.2
6
Gambar 5: Posisi Submentoverteks
e. foto posisi Rhese (oblique)
Dapat mengevaluasi bagian posterior sinus etmoid, kanalis optikus dan lantai dasar orbita
sisi lain.2
Gambar 6: Posisi Rhese
f. Foto posisi Towne
Diambil dengan berbagai variasi sudut angulasi antara 30º-60º kearah garis orbito meatal.
Sentrasi dari depan kira-kira 8cm di atas glabela dari foto polos kepala dalam bidang midsagital.
Proyeksi ini adalah proyeksi yang paling baik untuk menganalisis dinding posterior sinus
maksilaris, fisura orbitalis inferior, kondilus mandibularis dan arkus zygomatikus posterior.2
7
Gambar 7: Posisi Towne
Penyakit yang sering dijumpai pada pemeriksaan radiologik sinus antara lain:
A. Sinusitis
Pada foto polos, sinus yang normal adalah transradian karena berisi udara. Foto polos
berperan dalam menunjukkan penebalan mukosa, fluid level, destruksi tulang dan fraktur. Tetapi
pada pemeriksaan penyakit sinus, CT-scan merupakan pilihan karena memberikan gambaran sinus
yang lebih baik, MRI juga menggambar sinus yang baik, tetapi jarang digunakan sebagai investigasi
primer.3
Adanya cairan di sinus pada pasien dengan foto posisi berdiri terlihat sebagai garis
horizontal yang terbentang pada sinus dan tetap horizontal meskipun pasien dalam posisi Head-
tilted (gambar 8 kanan). Fluid level terlihat pada infeksi sinus dan juga dengan trauma bila fraktur
yang terjadi menyebabkan darah atau cairan sebrospinal terkumpul didalam sinus. Penebalan
mukosa dapat terlihat dengan adanya udara yang sedikit didalam sinus (gambar 8). Permukaan
mukosa yang menebal bisa terlihat licin atau polipoid. Polip ini bisa membesar dan menyebar ke
nasofaring.3
8
Gambar 8 : Sinusitis, kanan (a) dan kiri (b)
Pada gambar 8 kanan (a) terlihat adanya penebalan mukosa dan level cairan. Pada antrum
kanan, terdapat penebalan mukosa (tanda panah dua) yang menyebabkan semakin kecilnya tempat
keluar dari sinus. Adanya garis horizontal pada antrum kiri pada foto berdiri ini (tanda panah)
mengindikasikan fluid level yang tetap horizontal meskipun kepala pasien ditekuk kebelakang
(head-tilted). Sedangkan pada gambar 8 kiri (b) erlihat antrum yang opak dan penebalan mukosa.
Antrum kanan terlihat opak dan densitasnya lebih tinggi daripada orbita. Adanya penebalan mukosa
pada antrum kiri (tanda panah) dengan sedikit udara pada antrum kiri. 3
Gambar 9. CT-scan koronal. (a) Sinus normal. A, antrum maksila; E, Sinus Etmoid; I, Inferior
turbinate; M, midlde Turbinate. (b) Sinusitis. Adanya penebalan mukosa yang mencegah drainase
sinus. Kedua antrum terlihat opak. Tanda panah menunjukkan adanya penebalan mukosa pada
antrum.
9
B. Keganasan
Gambar 10: (a) Karsinoma pada antrum. Antrum kiri terlihat opak dan ada destruksi yang ekstensif
(tanda panah). Bandingkan dengan antrum kanan yang normal. (b) CT-scan pada pasien yang
menunjukkan adanya massa besar yang memenuhi antrum kiri dan merusak dinding tulangnya dan
menyebar ke jaringan lunak disekitarnya (tanda panah). Antrum kiri dalam keadaan normal.
2. Mastoid
Pemeriksaan radiologik konvensional pada tulang temporal memiliki nilai penyaring serta
dapat menentukan status pneumatisasi mastoid dan piramid tulang petrosus. Dengan pemeriksaan
radiologik konvensional ini dapat dinilai besar dan perluasan suatu lesi besar yang berasal dari
tulang temporal atau yang merupakan perluas dan dari lesi-lesi struktur sekitar tulang temporal ke
arah tulang temporal.2
Ada delapan jenis proyeksi radiologik konvensional yang dapat dibuat untuk menilai tulang
temporal, tetapi dalam tulisan ini hanya dibahas tiga proyeksi yang paling lazim dan cukup
bermanfaat serta dapat mudah dibuat dengan memakai alat Roentgen yang tidak terlalu besar.2
A. Posisi Schuller
Posisi ini menggambarkan penampakan lateral dari mastoid. Proyeksi foto dibuat dengan
bidang sagital kepala terletak sejajar meja pemeriksaan dan berkas sinar X ditujukan dengan sudut
30º cephalo-caudal. Pada posisi ini perluasan pneumatisasi mastoid serta struktur trabekulasi dapat
tampak dengan lebih jelas. Posisi ini juga memberikan informasi dasar tentang besarnya kanalis
auditorius eksterna dan hubungannya dengan sinus lateralis.2
10
Gambar 11: Posisi Schuller
B. Posisi Owen
Posisi ini juga menggambarkan penampakan lateral mastoid dan proyeksi dibuat dengan
kepala terletak sejajar meja pemeriksaan atau film lalu wajah putar 30º menjauhi film dan berkas
sinar X ditujukan dengan sudut 30º- 40º chepalo- caudad. Umumnya posisi Owen dibuat untuk
memperlihatkan kanalis auditoris eksternus, epitimpanikum, bagian-bagian tulang pendengaran dan
sel udara mastoid.2
11
Gambar 12: Posisi Owen
C. Posisi Chausse III
Posisi ini merupakan penampakan frontal mastoid dan ruang telinga tengah. Proyeksi dibuat
dengan oksiput terletak di atas meja pemeriksaan, dagu ditekuk kearah dada lalu kepala diputar 10º-
15º kearah sisi berlawanan dari telinga yang akan diperiksa. Posisi ini merupakan posisi tambahan
setelah pemeriksaan posisi lateral mastoid. Posisi Chausse III ini merupakan posisi radiologik
konvensional yang paling baik untuk pemeriksaan telinga tengah terutama untuk pemeriksaan otitis
kronik dan kolesteatoma.2
Gambar 13: Posisi Chausse III
12
Gambar 14: mastoiditis akut
Gambar 15: mastoiditis kronis
3. Laring
Peralatan pencitraan radiologi penting untuk mengamati dan menentukan ukuran atau
dimensi dari sebuah kelainan pada laring. Meskipun laring dapat terlihat dengan mudah
menggunakan mata telanjang atau biopsi, akan tetapi, perluasan daerah dibawah kelenjar tidak akan
terlihat oleh mata telanjang. Bila memungkinkan, studi pencitraan harus segera dilakukan sebelum
pemeriksaan biopsi apapun dilakukan terhadap laring. Hal ini untuk mencegah terjadinya kesalah
pahaman penafsiran antara tumor dan trauma lokal akibat tumor.1
Pencitraan konvensional menggunakan beberapa kV tegangan dapat digunakan sebagai
13
informasi awal. Xeroradiography, meskipun kapasitasnya adalah sebagai pelengkap, akan tetapi
peralatan ini dapat membedakan dengan jelas mana yang jaringan lunak, stenosa, dan terkadang
dapat mengenali adanya keganjilan pada tulang lunak. Sementara itu, ultrasonografi mempunyai
keterbatasan karena tulang lunak memantulkan lebih banyak suara, yang akhirnya akan merusak
kualitas pencitraan yang dihasilkan. MRI dan CT keduanya dapat memberikan informasi akurat
mengenai tingkat/level dari tumor laring ini, terutama ukuran tumor atau kanker. Untuk proses
pencitraannya sendiri, CT dapat dengan mudah memperoleh data hanya dengan waktu kurang dari
10 detik, sehingga menghindari kesalahan yang diakibatkan oleh gerak pasien. Sedangkan laring
sangat sulit untuk dicitra dengan MRI karena adanya motion artifac akibat denyut nadi pasien. 1,5
Gambar 16. Beberapa struktur dari bagian leher yang dapat terlihat pada pandangan lateral secara
polos dari leher
14
Gambar 17: Kv tegangan tinggi dari lateral leher dapat memberikan gambaran yang cukup untuk
memperlihatkan anatomi dari jaringan lunak.
Gambar 18: Laryngocele pada kedua komponen dari internal dan external dapat dilihat pada foto
15
polos lateral di A dan gambaran AP secara tomogram dapat dilihat (panah) di B
Laryngocele merupakan kantung yang berisi udara ari ventrikel laring dan saccule yang
terdapat laryngocele. Ia dapat bilateral dan mungkin dapat timbul secara kongenital, akan tetapi
ekspirasi menentang resistensi dinyatakan antara penyebab yang memicu pembentukannya. Seperti
yang dinyatakan sebelumnya, laryngocele dapat terjadi secara internal ataupun eksterna, ini karena
ia tergantung dari kedudukannya samada di dalam atu di luar dari lamina tiroid. Laryngocele
internal dapat menyebabkan timbulnya simptom obstruktif pernapasan manakala pada yang
eksterna dapat membentuk pembengkakan jaringan lunak di leher, Gambaran yang diambil secara
posisi AP adalah lebih bermanfaat jika dibandingkan gambaran secara lateral dalam menentukan
laryngocele.Laryngocele bersaiz kecil mungkin dapat terjadi superimposed di atas bayangan udara
laring yang normal dan mungkin dapat terabaikan tanpa disadari.5
BAB III
PENUTUP
Pada pemeriksaan radiologi THT, posisi foto yang sering dilakukan untuk pemeriksaan
sinus paranasal adalah posisi kepala PA, lateral, waters dan kelainan yang bisa dijumpai berupa
adanya ganbaran penebalan mukosa dan adanya air fluid level. Untuk pemeriksaan mastoid yang
sering dilakukan adalah foto posisi Schuller dan kelainan yang bisa dijumpai adalah perselubungan
yang tidak homogen pada daerah antrum mastoid dan sel udara mastoid.
16
Sebuah hasil pencitraan diagnostik merupakan sebuah referensi yang paling berharga bagi
ahli bedah kepala dan leher atau otolaryngologist, yang sangat dibutuhkan dari pasien. Karena
banyaknya bagian pendukung dan struktur dalam dari sebuah kepala dan leher yang
pemeriksaannya bukan hanya sekedar pemeriksaan yang bersifat topografi (anatomi atau penentuan
letak struktur) saja,tetapi juga memerlukan pemeriksaan yang bersifat fisiologi. Hal ini bukan
berarti bahwa setiap pasien membutuhkan pencitraan diagnostik. Beberapa pasien mungkin hanya
memerlukan pencitraan dignostik konvensional seperti film tipis sinar-X, atau beberapa justru
membutuhkan pencitraan dengan teknologi tinggi untuk memperoleh hasil terbaik demi rencana
terapi yang akan dia jalani nantinya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Moeller,T.B., and Reif, B., 2000. Skulls. In: Moeller,T.B., and Reif, B., Pockets Atlas of
Radiographic Anatomy. 2nd ed. USA: Georg Thieme Verlag, 12 – 41.
2. Armstrong, P., Wastie M.L., Rockall, A.G., 2003. Sinuses, Orbit and Neck. In: Armstrong,
P et all., Diagnostic Imaging. 16th ed. USA: Blackwell Publishing, 419 – 424.
17
3. Phelps, P.D., 1998. The Pharynx and Larynx: T he Neck. In: Sutton, D et all., Text book of
Radiology and Imaging. 6th ed. Volume 2. USA: Churchill Livingstone Inc, 1297 – 1305.
4. Loyd, G. L., 1998. The Sinuses. In: Sutton, D et all., Text book of Radiology and Imaging.
6th ed. Volume 2. USA: Churchill Livingstone Inc,.
5. Rachman, M.D., 2009. Sinus Paranasal & Mastoid. In: Sutarto, A.S et all., Radiologi
Diagnostik. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 431 – 446.
6. Makes, D., 2009. Pemeriksaan Radiologi Mastoid. In: Sutarto, A.S et all., Radiologi Diag-
nostik. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 447 – 452.
7. Faradilla, N, 2009. Diagnosis Radiologi di Bidang THT. FK UNRI
18