Upload
dotruc
View
234
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
PERAN TEATER LENONG BETAWI DALAM PEMBENTUKAN
IDENTITAS BUDAYA MASYARAKAT BETAWI (STUDI KULTURAL
HISTORIS: TEATER LENONG MARONG GROUP DI CIATER,
TANGERANG SELATAN)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh:
Putri Cellia
NIM: 1110015000099
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
i
ABSTRAK
Putri Cellia (1110015000099). Peran Teater Lenong Marong dalam
Pembentukan Identitas Betawi (Studi Analisis: Perkumpulan Teater Lenong
Marong Group di Ciater). Skripsi, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan
Sosial, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peran teater lenong Marong
dalam pembentukan identitas Betawi di Kelurahan Ciater. Penelitian ini
dilaksanakan di perkumpulan teater lenong Marong yang berlokasi di kelurahan
Ciater. Penelitian ini merupakan suatu studi yang menggunakan pendekatan
kualitatif. Metode yang digunakan meliputi observasi, wawancara, dan studi
pustaka terhadap masyarakat Betawi pada umumnya dan perkumpulan teater
lenong Marong pada khususnya untuk mengungkapkan aspek historis dan
fungsional teater lenong. Hasil analisis atas temuan di lapangan menunjukan
bahwa perkumpulan teater lenong Marong berperan dalam pembentukan identitas
Betawi dengan cara menunjukan bahwa masyarakat Betawi sangat mencintai
Islam dan sangat memegang teguh pedoman hidup tersebut, penggunaan dialek
Betawi dalam pementasan, menampilkan karakter-karakter masyarakat Betawi,
pakaian khas Betawi, alat tradisional Betawi yaitu golok, dan kesenian Betawi
lainnya seperti silat, gambang kromong, tarian Betawi dan lagu-lagu Betawi.
Kata kunci : Teater Lenong, Identitas Budaya, Masyarakat Betawi
ii
ABSTRACT
Putri Cellia (1110015000099). The Role of Marong Lenong Theater in Identity
Formation Of Betawinesse (Study Analsis: Bevy Marong Lenong Theater
Group in Ciater, South Tanggerang). Essay. Jakarta : Department of
Education Social Science The Faculty of Tarbiyah and Teaching Science The
State Islamic of Syarifhidayatullah University.
This study aims to determine how the role of theater lenong Marong in identity
formation in the village of Btawinesse in Ciater, South Tangerang. The research
was conducted in association Marong lenong theater located in Ciater, South
Tangerang. This research is a study using a qualitative approach. The methods
used include observation, interviews, and literature on society in general and
associations Betawi, lenong Marong theater in particular. The result of analysis
of the findings in the field showed that the association of theater lenong Marong
role in the formation of identity in a way shows that Betawi communities loves
Islam and so uphold the rule of life, Betawi dialec use in staging, typical clothing,
Betawi traditional tools are machetes, and other Betawi arts such a martial arts,
xylophone kromong, Betawi dance and songs of Betawi.
Keywords : Lenong Theater, Cultural Identity, Betawi Communities
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah
memberikan nikmat Iman, Islam, serta nikmat sehat wal’afiat sehingga peneliti
dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Peran Teater Lenong Marong
dalam Pembentukan Identitas Betawi (Studi Analisis: Perkumpulan Teater
Lenong Marong Group di Ciater, Tangerang Selatan)”. Shalawat serta salam
tercurahkan kepada Rasullah SAW, keluarga dan sahabatnya.
Skripsi ini tidak mungkin selesai sebagaimana mestinya tanpa ada bantuan
dari semua pihak baik secara moril maupun materil. Oleh karena itu peneliti
menghaturkan ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Ibu Nurlena Rifa’I,
MA, Ph.D serta para pembantu dekan.
2. Ketua jurusan Pendidikan IPS, Bapak Dr. Iwan Purwanto, M.Pd beserta
seluruh staf.
3. Dosen pebimbing, Ibu Dr. Ulfah Fajarini, M.Si dan Ibu Cut Dhien
Nourwahida, MA yang telah sabar mebimbing dan memberikan ilmu
dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah
memberikan ilmunya kepada peneliti, semoga Bapak dan Ibu dosen selalu
dalam rahmat dan lindungan Allah SWT. Sehingga ilmu yang telah
diajarkan dapat bermanfaat di kemudian hari.
5. Bapak Marong dan para pemain lenong Marong Group yang telah
memberikan izin dan membantu peneliti dalam proses penelitian skripsi
ini. Semoga sukses selalu untuk Bapak Marong da para pemain Marong
Group.
6. Staf kelurahan Ciater yang telah memberikan bantuan pada peneliti
7. Kedua Orangtua Ayah dan Mamah ( Maman Permana dan Almh. Atikah
Abdulah, Spd) yang selalu ada disaat peneliti membutuhkan dukungan
baik moril, materil maupun spiritual. Semoga Mamah bisa tersenyum
iv
bangga melihat Ananda dapat menyelesaikan kuliah keguruan sesuai
harapan Mamah.
8. Keluarga tercinta Kakak dan Adik ( Kak Resa dan Ian), Nenek tersayang,
embah, om, tante, sepupu dan seluruh anggota yang selalu mendoakan dan
memberikan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Keluarga besar SosioAntro 2010 terimakasih untuk semua pengalaman
yang tak terlupakan semoga kita selalu dilindungi oleh Allah SWT
10. Sahabat-sahabat di kampus (Ines, Rya, Cabi, Ninna, Tuti, Nesa, Dara,
Deli, Epi, Nadia, Embong, Putri)
11. Terimakasih untuk sahabat sosialita (Ewin, Lita, Ajeng, Anggi, Dicha dan
Gabo) yang telah memberikan peneliti semangat untuk menyelesaikan
skripsi ini
Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang
memerlukan bahan referensi khususnya dibidang pendidikan sosiologi-
antropologi. Namun, pada akhirnya peneliti ingin mengingatkan bahwa
penelitian yang tersaji ini tidak terlepas dari berbagai kekurangan. Oleh karena
itu, saran dan kritik yang membangun peneliti butuhkan dan akan
ditindaklanjuti demi kesempurnaan penelitian di masa yang akan datang.
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat berguna bagi semua yang telah
membacanya.
Jakarta, Desember 2014
Putri Cellia
v
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK ..................................................................................................... i
ABSTRACT ABSTRAK ............................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................. v
DAFTAR TABEL ......................................................................................... vii
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................ 8
C. Pembatasan Masalah ............................................................... 8
D. Perumusan Masalah ................................................................ 9
E. Tujuan Penelitian .................................................................... 9
F. Manfaat Penelitian .................................................................. 9
BAB II: KAJIAN TEORI
A. Deskripsi Teoritik .................................................................... 12
1. Teater Rakyat Lenong Betawi ........................................... 12
a. Teater ........................................................................... 13
b. Lenong Betawi ............................................................ 15
2. Identitas Budaya Masyarakat Betawi ................................ 21
a. Identitas ....................................................................... 21
b. Budaya ......................................................................... 25
vi
c. Masyarakat Betawi ...................................................... 27
B. Hasil Penelitian yang Relevan ................................................ 30
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................. 35
B. Metode Penelitian .................................................................... 35
C. Populasi dan Sampling ............................................................ 36
D. Teknik Sampling ..................................................................... 36
E. Teknik Pengumpulan Data ...................................................... 37
F. Instrumen Penelitian ................................................................ 39
G. Teknik Analisis Data ............................................................... 40
H. Pemeriksaan Keabsahan Data ................................................. 41
I. Refleksi Penelitian .................................................................. 43
BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data ............................................................................ 45
1. Struktur Sosial Kelurahan Ciater ............................................ 45
2. Konteks Sejarah Teater Lenong Betawi Marong Group ......... 49
B. Pembahasan Hasil Penelitian ..................................................... 70
1. Peran Teater Lenong Marong Sebagai Arena Pembentukan
Identitas Kultural Masyarakat Betawi .................................. 70
2. Teater Lenong dalam Semangat Kultural ............................ 87
3. Langkah Strategis Revitalisasi Budaya Betawi .................... 89
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ............................................................................. 91
B. Saran ....................................................................................... 93
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 95
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Penelitian Sejenis
Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Kelurahan Ciater berdasarkan jenis kelamin
Tabel 4.2 Komposisi Penduduk Ciater Menurut Tingkat Pendidikan
Tabel 4.3 Jenis Mata Pencaharian Masyarakat Ciater
Tabel 4.4 Daftar anggota perkumpulan teater lenong Marong Group
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lembar Uji Referensi
Lampiran 2 Pedoman Observasi
Lampiran 3 Pedoman Wawancara
Lampiran 4 Transkip Hasil Wawancara
Lampiran 5 Dokumentasi
Lampiran 6 Data Responden
Lampiran 7 Surat Bimbingan Skripsi
Lampiran 8 Surat Permohonan Izin Penelitian
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap kelompok masyarakat memiliki kebudayaan dan tradisi
tertentu sesuai dengan ciri khas masyarakat setempat, kebudayaan tersebut
merupakan hasil dari karya, karsa, dan rasa. Dari sinilah sebuah kaum
menghasilkan perangkat-perangkat kehidupan untuk memudahkan mereka
mengatasi dan menguasai alam semesta serta mengatur kehidupan dengan
menyusun norma, etika, dan hukum yang menjadi acuan ketertiban.
Beradab atau tidaknya sebuah bangsa bisa diukur dari sini, ketika kita
membicarakan budaya cakupannya sangat luas dimulai dari ilmu
pengetahuan sampai kesenian yang merupakan simbol dari bentuk
pengungkapan atau pesan.
Bila seseorang melihat kesenian ada yang menganggap sebagai
hiburan dan ada pula yang menjadikan sebagai instrumen untuk
melakukan pencerahan pada masyarakat seperti penggunaan wayang oleh
para wali untuk melakukan syi’ar. Pada konteks masyarakat Betawi
banyak lahir seni kerakyatan dan jika kita telusuri garis sejarah terciptanya
kesenian-kesenian tersebut tidak terlepas dari proses akulturasi. Menurut
Kusumohamidjojo, “akulturasi merupakan proses penerimaan dan
pengolahan unsur-unsur kebudayaan asing menjadi bagian dari
kebudayaan suatu kelompok, tanpa meninggalkan unsur kebudayaan
asli”.1
Sehingga realitas ini mempunyai peran untuk membentuk kesadaran
masyarakat yang lebih terbuka terhadap budaya yang datang dari luar,
sebab masyarakat yang berada pada jalur perdagangan lebih mudah tejadi
penyerapan budaya yang prosesnya nanti akan terjadi proses pembentukan
1 Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Kebudayaan Proses Realisasi Manusia, (Jakarta:
Jalasutra,2009), h. 188
2
kesenian, ini terjadi pada masyarakat Indonesia secara umum khususnya
Betawi.
Suku Betawi adalah salah satu etnis di Indonesia yag dikenal sebagai
penduduk asli kota Jakarta. Secara geografis suku Betawi tinggal di pulau
Jawa, namun secara sosiokultural, mereka kelihatannya lebih dekat dengan
budaya Melayu Islam.2 Dilihat dari segi kesukubangsaan, orang Betawi
yang berdiam di Jakarta memiliki latar belakang sejarah yang telah
melewati rentang waktu yang cukup panjang. Sejak lebih dari 400 tahun
yang lalu, masyarakat Betawi yang kemudian menjadi masyarakat seperti
yang dikenal sekarang merupakan hasil dari suatu proses asimilasi.
Masyarakat Betawi dengan budayanya merupakan hasil pembauran
berbagai bangsa dan suku-suku yang berasal dari berbagai daerah di
Indonesia.
Jakarta sebagai satu tempat yang terletak di pinggir pantai, dalam
proses perjalanan sejarahnya, menjadi kota pelabuhan dan kota dagang.
Kota ini kemudian menjadi pusat kota administrasi, politik, dan bahkan
menjadi salah satu pusat untuk memperoleh pendidikan di Indonesia. Sifat
dan ciri kota Jakarta yang demikian itu telah memungkinkan menjadi
arena pembauran berbagai etnik yang ada di Indonesia, dan bahkan
berbagai bangsa yang berasal dari berbagai penjuru dunia. Mereka datang
dengan beragam kepentingan dan dengan latar belakang kebudayaan yang
berbeda pula. Pembauran itu telah melahirkan suatu masyarakat dan
kebudayaan baru bagi penghuni kota Jakarta tadi, yang kemudian dikenal
sebagai Orang Betawi.
Faktor lain yang menyebabkan terbentuknya kelompok itu adalah
karena adanya perkawinan campuran antara anggota berbagai suku bangsa
tadi. Akhirnya kelompok ini memiliki suatu identitas sendiri. Identitas ini
diperkuat misalnya adanya kesatuan kesenian, yang bisa dinikmati oleh
2 Setiati dkk, Ensiklopedia Jakarta 6, ( Jakarta: PT. Lentera Abadi, 2009), h. 4.
3
keseluruhan anggota kelompok baru ini, seperti kesenian lenong,topeng,
gambang kromong, qasidah, rebana, dan lain-lain. Kesenian-kesenian itu
merupakan kesenian baru yang berkembang atau diramu dari kesenian
berbagai suku bangsa tadi.
Pembauran dengan kawin campur antar golongan atau suku bangsa
tadi diikat pula oleh adanya kesatuan agama. Orang Betawi dapat
dikatakan hampir semuanya memeluk agama Islam. mereka juga
umumnya merupakan pemeluk-pemeluk agama yang taat. Kehidupan
mereka banyak dipengaruhi oleh norma-norma agama Islam3.
Salah satu kesenian masyarakat Betawi adalah lenong. lenong
merupakan salah satu bentuk teater peran di Betawi, dan merupakan salah
satu kesenian rakyat yang mengalami akulturasi pada dasarnya dari sudut
pandang seni pertunjukan, lenong sangat mirip dengan wayang dermuluk,
wayang senggol, dan wayang sumedar. Perbedaan terbesar terlihat pada
tema yang diangkat dalam pertunjukan. Lenong bukan hanya bercerita
tentang bangsawan, namun juga bercerita tentang kisah-kisah rakyat jelata.
Lenong termasuk folklor karena ia bersifat tradisional dalam arti
keberadaanya beberapa turunan. Ciri lain yang juga penting dari folklor
yang dimiliki oleh seni lenong adalah sudah tidak diketahaui lagi siapa
penciptanya (anonim), karena ia sudah menjadi milik suatu kolektif, yakni
suku bangsa Betawi. Sehingga jika salah satu lakonnya mau dipertunjukan
tidak perlu membayar hak ciptanya.
Lenong sebagai hiburan orang Betawi, yang pada umumnya adalah
petani pedesaan atau perkampungan, sehingga bahasa pengantarnya adalah
bahasa Melayu Betawi, yang dipergunakan oleh orang dari kalangan
ekonomi menengah ke bawah. Sehubungan dengan itu maka kata-kata
yang dipergunakan pun bersifat blak-blakan jika tidak mau dikatakan
kasar. Sebagai salah satu pertunjukan rakyat, skenario pertunjukan lenong
3 Rosyadi, Profil Budaya Betawi,(Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional,
2006),h.212-216
4
juga bersifat garis besarnya saja. Detailnya diserahkan kepada para pemain
(panjak) untuk mengimprovisasikannya sendiri dengan seleranya masing-
masing serta kondisi yang dihadapi pada waktu pementasan.
Seperti yang telah diuraikan di awal kelompok masyarakat memiliki
kebudayaan dan tradisi tertentu sesuai dengan ciri khas masyarakat
setempat. Dan ini terjadi pada masyarakat Betawi di Ciater pada umumnya
dan komunitas teater lenong Betawi Marong pada khususnya yang
terkenal dengan kemampuan ngelenong. Lenong pernah merajai jagad
panggung hiburan pada tahun 1970-an sampai 1980-an akhir, meski
akhirnya harus rela tersingkir dengan berbagai alasan baik secara kultural
maupun ekonomi. Tetapi hal tersebut tidak menyurutkan masyarakat
Betawi Ciater untuk terus berusaha melestarikan warisan kesenian
leluhurnya dengan berbagai cara. Hal ini dilakukan untuk
mempertahankan identitas mereka. Lenong seperti halnya upacara adat
Betawi lainnya seperti ’nujuh bulanan’ tetap dijalankan. Ada nilai
tersendiri yang dilihat sebagai ukuran perwujudan kecintaan dan keaslian
orang Betawi terhadap teater lenong.
Teater lenong tidak hanya mengajarkan seseorang untuk belajar
bermain peran atau lakon (bersandiwara) didalamnya juga terdapat
berbagai macam instrumen musik yang mengiringi yang berasal dari
akulturasi budaya yang berbaur di Jakarta yakni gambang kromong. Dari
susunan alat musiknya terlihat, bahwa orkes gambang kromong
merupakan perpaduan antara unsur musik pribumi ditambah dengan unsur
Cina.
Unsur pribumi terdiri dari alat-alat perkusi: gambang, kromong,
gendang, kecrek, dan gong. Unsur Cinanya terdiri dari alat perkusi:
ningnong dan alat musik gesek berdawai dua. Alat musik gesek ini
berbeda-beda, yang kecil disebut kongahyan, yang pertengahan
disebut tehyan dan yang terbesar disebut sukong. Pada awal
5
perkembangannya lagu-lagu yang biasa dibawakan dengan iringan
gambang kromong adalah lagu-lagu Cina.4
Perkembangan masyarakat Jakarta yang semakin bergaya hidup
global secara langsung berdampak pada gaya hidup masyarakat Betawi
yang notabene berada di wilayah megapolitan Jakarta dan sekitarnya.
Banyak hal dari aspek kehidupan masyarakat Betawi tidak lagi dapat
ditemukan saat ini, terutama dalam hal kesenian salah satunya yaitu
lenong. Faktor utama hilangnya kesenian tradisional Betawi adalah
hadirnya kompetitor kesenian yang sesuai dengan kebutuhan dan gaya
hidup masyarakat modern.
Masyarakat Betawi pun mulai terkikis identitas Betawi mereka.
Sebenarnya pemodernan terhadap kesenian tradisioanal bukan suatu usaha
yang haram, justru dengan pemodernan itu terkandung suatu upaya
mengembangkan kesenian itu sejalan dengan pola pikir dan kebutuhan
masyarakat Betawi yang semakin modern.
Kompetensi kesenian tradisional dengan kesenian modern yang
datang kemudian sangat perlu karena salah satu ciri dari masyarakat
modern adalah bergerak dalam kompetisi menciptakan inovasi-inovasi
yang berorientasi pasar, tetapi ketika masyarakat dan lingkungan
perkotaan menuntut pasar, maka kreativitas seniman tradisional harus pula
mempertimbangkannya.
Produk-produk budaya modern (budaya popular) dikemas
sedemikian rupa sehingga masyarakat berada dalam situasi demam secara
terus-menerus. Pengemasan produk kesenian yang disesuaikan dengan
target pasar menjadi andalan, sehingga semua kelas masyarakat dapat
menikmati dan mengapresiasi produk-produk kesenian itu. Selera pasar
terbentuk sejalan dengan tawaran produk budaya popular yang dikemas,
tidak saja dengan teknologi tinggi tetapi juga dengan variasi yang tinggi.
4 Muhadjir, dkk, Peta Seni Budaya Betawi, (Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI Jakarta,
1986), hlm. 31-32
6
Kesenian yang berfungsi tidak saja sebagai hiburan tetapi didalamnya
terkandung berbagai kegunaan adalah representasi dan mendapat
salurannya melalui kesenian, artinya, kesenian akan hidup dan
berkembang manakala masyarakatnya memelihara, mengembangkan,
melakukan secara aktif, dan mengapresiasi.
Dalam konteks itulah, secara kritis perlu dilihat bagaimana kesenian
tradisional Betawi pada era globalisasi ini. Di sisi lain, kesenian tradisional
Betawi, seperti lenong sedikit demi sedikit terlupakan dan tidak dilihat lagi
sebagai media hiburan. Kesan bahwa kesenian tradisional semakin
ditinggalkan terlihat dari frekuensi kemunculannya jika ditinjau dari aspek
kuantitatif.
Dari aspek kualitas, kesenian-kesenian tersebut dapat dikatakan tidak
mengalami perubahan yang berarti. Hal itu, boleh jadi sebagai upaya
pemeliharaan terhadap kekayaan budaya tradisi dan menjaga identitas adat
istiadat Betawi. Persoalan identitas bagi Indonesia memang semakin perlu
untuk mendapat perhatian lebih di era reformasi sekarang ini.
Di era globalisasi sekarang ini tidak mungkin lagi bisa dibendung
masuknya berbagai produk budaya luar negeri ke Indonesia. Kiat-kiat
yang jitu seharusnya dilakukan pemerintah dan masyarakat untuk
mempertahankan berbagai budaya asli karya leluhur kita agar tetap lestari.
Pembelajaran terhadap situasi zaman oleh masyarakat Betawi perlu
dijadikan sebagai sebuah kesadaran untuk menguatkan identitas budaya
mereka di tengah-tengah budaya megapolitan. Pralokakarya pelestarian
kebudayaan Betawi yang diadakan pada tahun 1975 di Jakarta dapat
dikatakan merupakan titik baik kebetawian di Jakarta. Ada dua hal penting
yang menjadi pemicu kebetawian dalam peristiwa ini. Pertama, pernyataan
Gubernur DKI Jakarta pada waktu itu bahwa kebanggan bagi gubernur
untuk dapat menyebut dirinya Betawi. Kedua dibentuknya Lembaga
Kebudayaan Betawi yang merupakan saah satu butir hasil Pralokakarya,
7
yaitu dirasakan adanya kebutuhan akan adanya satu badan yang
menangani masalah keseniaan Betawi.5
Dengan adanya dua hal penting tersebut, kini orang-orang Betawi
telah kembali bangkit mengenai identitas budaya mereka dengan berusaha
menunjukkan kembali eksistensi dan identitas orang Betawi. Salah satunya
yaitu dapat dilihat dari peran para pemuda, dan organisasi yang kini
berlabel masyarakat Betawi dalam membangun ikatan eksistensinya agar
identitas yang sudah ada tidak pudar. Sebelumnya organisasi tersebut
menyandang kata Jakarta daripada kata Betawi. Bergantinya label Jakarta
dengan Betawi secara perlahan-lahan mengangkat Betawi kembali ke
permukaan.6
Dampak dari dibentuknya Lembaga Kebudayaan Betawi, yaitu
memiliki wadah komunikasi berupa macam-macam organisasi, adalah
terorganisirnya usaha-usaha dan perhatian yang diberikan kepada
kebudayaan Betawi, khususnya kesenian Betawi dalam arti penggalian,
pengembangan, dan pelestarian. Pada periode ini munculah banyak hasil
rekacipta tradisi Betawi, seperti busana, upacara, teater rakyat, musik, dan
seterusnya yang berhasil memuculkan Betawi dengan wajah baru, wajah
dengan tradisi asli dan tradisi rekacipta.7 Dengan teroganisirnya usaha-
usaha tersebut tak heran bila kini mulai bermunculan sanggar kesenian
Betawi. Salah satunya yaitu sanggar kesenian Marong Group yang
didirikan dan dipimpin oleh Bapak Mochtar atau yang lebih dikenal
masyarakat yaitu bang Marong.
Penonjolan kembali dengan bangkitnya identitas budaya Betawi
yaitu salah satunya dengan berusaha menunjukkan kembali eksistensi dan
5 Yasmine Zaki Shahab, Identitas dan Otoritas : Rekonstruksi Tradisi Betawi, (Depok:
Laboratorium Antropologi FISIP UI, 2004) h 22-23
6 Ibid,. h. 23
7 Ibid,. h 24
8
identitas orang Betawi di Jakarta dan sekitarnya. Sesuai dengan yang telah
dijelaskan oleh penulis sebelumnya mengenai seni pertunjukan teater
lenong dan masyarakat Betawi. Penjelasan bahwa teater lenong tidak
hanya sekedar perwujudan dari pelestarian budaya Betawi namun juga
pembentukan identitas etnis Betawi maka penulis mengambil judul
penelitian ini yaitu “Peran Teater Lenong Marong dalam
Pembentukan Identitas Betawi (Studi Analisis: Perkumpulan Teater
Lenong Marong Group di Ciater”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasi
permasalahan pada penelitian ini sebagai berikut:
1. Masyarakat Betawi krisis kesadaran untuk menguatkan identitas
budaya Betawi di tengah-tengah budaya megapolitan hal ini
berdasarkan dengan buku yang ditulis oleh Yasmine Zaki Shahab yang
berjudul Identitas dan otoritas (rekonstruksi Tradisi Betawi).
2. Tranformasi budaya asing mempunyai dampak yang luar biasa
sehingga mempengaruhi kecintaan pada kebudayaan daerah, sehingga
masyarakat enggan mempelajari budayanya sendiri hal ini berdasarkan
dengan buku yang ditulis oleh Yasmine Zaki Shahab yang berjudul
Identitas dan otoritas (rekonstruksi Tradisi Betawi).
3. Jumlah masyarakat yang menaruh perhatian dan memberikan
apresiasinya terhadap Lenong Betawi sangat sedikit hal ini merupakan
asumsi peneliti berdasarkan pengamatan yang peneliti lakukan.
4. Kerjasama yang kurang baik antara Pemerintah daerah, lembaga
Betawi, dan masyarakat Betawi terhadap pelestarian kebudayaannya
sendiri. Hal ini merupakan asumsi peneliti berdasarkan pengamatan
yang peneliti lakukan.
9
5. Intensitas pembinaan Pemerintah daerah terhadap sanggar-sanggar
kesenian Betawi masih sangat minim. Hal ini merupakan asumsi
peneliti berdasarkan pengamatan yang peneliti lakukan.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah di atas,
maka dalam penelitian ini perlu adanya pembatasan masalah agar
pengkajian masalah dalam penelitian ini dapat lebih terfokus dan terarah.
Karena keterbatasan yang dimiliki peneliti baik dalam hal kemampuan,
dana, waktu dan tenaga maka penelitian ini hanya membatasi masalah
pada upaya yang dilakukan lenong Betawi Marong Group dalam
pembentukan identitas budaya masyarakat Betawi.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah dan
pembatasan masalah di dalam penelitian ini, maka hal yang dapat
dijadikan permasalahan penelitian yang dituangkan ke dalam bentuk
pertanyaan penelitian adalah bagaimana peran teater lenong Betawi
Marong Group dalam pembentukan identitas budaya masyarakat Betawi?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan
masalah, dan rumusan masalah di dalam penelitian ini, maka penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui peran teater lenong Betawi Marong Group
dalam pembentukan identitas budaya masyarakat Betawi.
F. Manfaat Penelitian
1. Untuk Pendidikan atau Akademis
Penelitian ini memberikan kontribusi dalam bidang akademik yang
sekiranya dapat bermanfaat bagi para peneliti yang hendak melakukan
10
penelitian sejenis pada waktu dan lokasi yang berbeda. Penelitian ini
diharpakan bermanfaat untuk menjadi bahan bacaan atau sumber
referensi ilmiah khususnya mengenai lenong betawi dan identitas
budaya. Selain itu, penelitian ini bermanfaat untuk memperluas
pengetahuan masyarakat tentang lenong Betawi dan identias budaya
Betawi.
2. Untuk Masyarakat
Memberikan informasi tentang berbagai potensi yang dimiliki generasi
muda terlatih dan kemungkinan besar dapat meningkatkan kemampuan
mereka bersaing dan mempertinggi posisi teater lenong di tengah-
tengah budaya popular di Tangerang. Dapat pula dijumpai informasi
tentang pelaku kesenian lenong yang dapat menyumbang revitalisasi
budaya Betawi.
3. Untuk Peneliti
Untuk mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh selama menempuh
pendidikan di UIN Syarifhidayatullah dengan membuat skripsi ini
secara ilmiah dan sistematis. Selain itu penelitian ini juga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan peneliti mengenai kesenian
Betawi yaitu teater lenong
4. Untuk pembangunan
Penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi kepentingan
pembangunan dalam bidang sosial budaya, penelitian ini bermanfaat
untuk memperkuat kepribadian bangsa, karena melalui penataan seni
pertunjukan teater lenong sebagai identitas budaya dapat dimunculkan
nilai-nilai yang apresiatif dan positif untuk meningkatkan kualitas
hidup. Selain itu, sebagai suatu bentuk kesenian yang bersifat
multikultural, teater lenong dapat bermanfaat sebagai media
komunikasi dan integrasi sosial, sehingga dapat menunjang rasa
kebersamaan, persatuan, dan kesatuan bangsa.
11
Dalam bidang sosial ekonomi, penelitian ini dapat memberikan
sumbangan bagi peningkatan ekonomi masyarakat. Teater lenong
dapat membuka lapangan pekerjaan bagi seniman dan seluruh pihak
terkait. Kekhasan teater lenong memiliki potensi ekonomi dalam
bidang pariwisata, karena dapat menjadi salah satu suguhan wisata
budaya daerah yang menarik. Untuk mewujudkan hal ini perlu adanya
kerja sama antara berbagai pihak yang berkompeten, yaitu Dinas
Pariwisata Kota (pemerintah), pelaku bisnis pariwisata (swasta),
seniman, budayawan, dan masyarakat pemerhati kesenian teater
lenong Betawi.
12
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Deskripsi Teoritik
1. Teater Rakyat Lenong Betawi
Kebudayaan Betawi dapat dikatakan sebagai potret miniatur
kebudayaan Indonesia. Percampuran antar suku, proses akulturasi
kebudayaan, penduduk asli Batavia dan daerah-daerah sekitarnya
merupakan prototipe bangsa Indonesia dewasa ini. Percampuran antar
suku tersebut, terbentuklah suatu tipe masyrakat baru yang kemudian
dikenal sebagai kaum Betawi. Kesenian dari masa ke masa masyarakat
Betawi terus berkembang dengan ciri-ciri budayanya yang makin lama
semakin mantap sehingga mudah dibedakan dengan kelompok etnis lain.
Meskipun bila dikaji pada permukaan wajahnya sering tampak unsur-
unsur kebudayaan yang menjadi sumber asalnya. Jadi tidaklah mustahil
jika kesenian Betawi itu sering menunjukan persamaan dengan kesenian
daerah atau kesenian bangsa lain. Bagi masyarakat Betawi sendiri segala
yang tumbuh dan berkembang di tengah kehidupan seni budayanya
dirasakan sebagai miliknya sendiri seutuhnya, tanpa mempermasalahkan
dari mana asal unsur-unsur yang telah membentuk kebudayaannya itu.
Demikian pulalah sikap terhadap keseniannya sebagai salah satu
unsur kebudayaan yang paling kuat mengungkapkan ciri-ciri adat istiadat
Betawi, terutama pada seni pertunjukannya. Berbeda dengan kesenian
kraton yang merupakan hasil karya para seniman di lingkungan istana
dengan penuh pengabdian terhadap seni, kesenian Betawi justru tumbuh
dan berkembang di kalangan rakyat secara spontan dengan segala
kesederhanaannya. Oleh karena itu kesenian Betawi dapat digolongkan
sebagai kesenian rakyat. Sebelum mengenal terlalu jauh mengenai teater
lenong, penulis akan membahas apa yang dimaksud dengan kesenian
teater.
13
a. Teater
Teater berasal dari kata Yunani, theatron, yang artinya
tempat atau gedung pertunjukan. Dalam perkembangannya, kata
teater memiliki arti yang lebih luas dan diartikan sebagai segala hal
yang dipertunjukan di depan orang banyak. Karena luasnya cakupan
arti teater, orang ingin kembali memberi batasan. Dalam batasan
yang lebih sempit, teater diartikan sebagai drama, yaitu lakon atau
kisah hidup manusia yang dipertunjukan di atas pentas dan
disaksikan orang banyak. Kata drama sendiri sesungguhnya berasal
dari kata Yunanai, dran, yang artinya berbuat, berlaku, atau beraksi.
Karena itulah, tindak-tanduk para pemain drama di atas pentas
biasanya disebut akting. Adapun para pemainnya disebut aktor dan
khusus pemain wanita dikenal sebagai aktris. Media ungkap yang
utama dalam seni teater memang gerak laku para pemain yang
disebut akting. Di samping itu, didukung oleh unsur percakapan
atau dialog. Unsur pendukung lainnya yang bisa ada bisa pula tidak
ada adalah dekor, kostum, rias, musik pengiring, nyanyian, dan
tarian.1
Dengan mempelajari teater, kita bisa bereksplorasi dengan
ruang gerak kita secara bebas dan bisa memahami karakter orang
lain dengan cara memerankan karakter yang berbeda dengan diri
kita sendiri. Teater merupakan bagian kehidupan masyarakat
Indonesia, dan hampir seluruh kegiatan masyarakat diikuti dengan
pertunjukan teater. Teater memiliki banyak fungsi, seperti
pengungkapan sejarah, keindahan, kesenangan, pendidikan, dan
hiburan. Untungnya, sampai sekarang masih bisa dijumpai contoh
dari teater daerah di Indonesia yang berkembang dari zaman yang
berbeda-beda. Ada kemungkinan bentuk asli teater Indonsia berasal
1 I Made Banden & Sal Murgiyanto, Teater Daerah Indonesia, (Denpasar, Bali:
Kanisius, 1996), h 9
14
dari zaman pra-Hindu, ketika kebudayaan bangsa Indonesia masih
dipelihara dari mulut ke mulut dan disebarkan secara lisan.
Mangidung atau menyanyi adalah salah satu cara untuk
menyebarluaskan kebudayaan Indonesia saat itu. 2
Teater rakyat bukan semata-mata merupakan hiburan
masyarakat. Dengan mudah masih bisa ditemukan bagaimana teater
memiliki fungsi yang amat penting dalam upacara, seperti Topeng
Pajegan di Bali misalnya, dipentaskan siang maupun malam hari,
dikaitkan dengan upacara keagamaan, dan berlangsung antara satu
sampai dua jam. Selama itu, penonton tidak menyaksikan
pertunjukan secara menyeluruh dan terkonsentrasi, tetapi
melihatnya sepotong-sepotong, serta hanya memusatkan perhatian
pada bagian-bagian yang disukai saja. Mereka menonton sambil
mengobrol ataupun menikmati kue. Masyarakat memandang
Indonesia (Bali dalam contoh ini) sudah menyadari bahwa Topeng
Pajegan adalah persembahan ritual. Teater ini dipersembahkan
untuk leluhur, dan sepanjang ada minat, orang diperbolehkan
menontonnya.
Media peraga seni teater pada umumnya manusia namun
dapat juga benda-benda yang dibentuk dalam wujud tertentu
sehingga dapat diragakan dengan cara tertentu. Unsur utama seni
teater adalah manusia itu sendiri, manusia mempunyai kesanggupan
untuk berekspresi. Dalam kegiatan berperan di samping harus cakap
di dalam perannya, pemeran juga harus mampu menguasai medan
ruang panggung sebagai permainan dan tidak boleh canggung
memanfaatkan setiap pelososk ruang dalam membentuk
karakteristik.
2 Ibid., h. 19
15
Dalam masyarakat Betawi ditemukan tiga golongan teater.
Pertama, teater tanpa tutur, seperti pertunjukan ondel-ondel
dan gemblokan. Kedua, teater tutur yang ceritanya dibawakan
dengan tutur kata sebagai media utamanya, seperti
sahibulhikayat, buleng, dan rancak. Sedang yang ketiga,
teater peran yang ceritanya dilakonkan oleh para pemegang
peran. Dan pemeran yang menggambarkan tokoh-tokoh
cerita, bisa manusia, seperti teater topeng atau lenong.3
Teater lenong sendiri dalam berbagai segi tata pentasnya
mengikuti pola opera Barat, dilengkapi dekor dan properti lainnya,
sebagai pengaruh komedi stambul. Lenong adalah teater tradisional
rakyat Betawi. Kesenian tradisional ini diiringi musik gambang
kromong. Lakon dan skenario lenong umumnya mengandung pesan
moral.
b. Lenong Betawi
Teater lenong merupakan salah satu bentuk teater peran di
Betawi yang mulai berkembang di akhir abad ke-19. Sebelumnya
masyarakat Betawi mengenal komedi stambul dan tetaer
bangsawan. Komedi stambul dan teater bangsawan dimainkan oleh
bermacam suku bangsa dengan menggunakan bahasa melayu.
Orang Betawi meniru perunjukan itu dan hasil pertunjukan mereka
kemudian disebut lenong.4 Lenong lahir dan berkembang di Betawi
Tengah. Menurut Shahab dalam Ragam Seni Budaya Betawi :
Lenong baru muncul sekitar tahun 1930-an. Pada dasarnya dari
sudut pandang seni pertunjukan, lenong sangat mirip dengan
wayang dermuluk, wayang senggol, dan wayang sumedar.
Perbedaan terbesar terlihat pada tema yang diangkat dalam
3 Muhadjir, dkk., Peta Seni Budaya Betawi, (Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI Jakarta)
h.161 4 Yahya Andi Saputra,Profil Seni Budaya Betawi,(Jakarta: Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta,),hlm.71
16
pertunjukan. Lenong bukan hanya bercerita tentang bangsawan,
namun juga bercerita tentang kisah-kisah rakyat jelata.5
Lenong merupakan teater rakyat yang mencampurkan
berbagai cabang seni lain, yakni musik dan lawakan. “Pertunjukan
biasanya dimulai dengan permainan musik gambang kromong yang
membawakan lagu-lagu khas gambang kromong. Setelah itu,
dilanjutkan dengan semacam upacara pembukaan yang disebut spik.
Spik adalah penjelasan lakon yang akan dimainkan dalam
pertunjukan”.6
Asal mula kehadiran lenong memiliki dua versi. Pertama,
Soemantri yang menyebutkan bahwa lenong berasal dari
teater rakyat yang lebih tua, yakni wayang dermuluk, wayang
senggol, dan wayang sumedar. Pendapat ini didasarkan pada
sejumlah argument bahwa pementasan lenong sama dan
sebangun dengan pementasan ketiga teater tersebut, baik
dalam hal kostum, cerita, dekorasi, maupun musik. Kedua,
Halim Nasir dalam seminar penggalian kesenian dan
kebudayaan Betawi menyebutkan bahwa asal-mula teater
lenong hanyalah kebetulan dan tidak ada persiapan khusus.
Lenong berasal dari kumpulan para pedagang yang
melewatkan malam yang sepi dan membosankan dengan
saling bercerita mengenai pengalaman sehari-hari ataupun
kejadian yang sedang booming saat itu. Pesertanya terdiri atas
orang-orang multietnis. Lama-kelamaan cerita tersebut
dibawa ke atas pentas agar para pedagang tersebut terhibur7.
Pada awal tahun 1960-an, keberadaan lenong sebagai sebuah
seni pertunjukan tradisional Betawi nyaris punah. Akan tetapi, tahun
1968 Soemantri menghadirkan modifikasi lenong. Pada tahun 1970-
an. Lenong dibangkitkan kembali oleh tokoh-tokoh lenong, antara
lain Djaduk Djajakusuma, Sumantri Sostrosuwondo, dan SM.
Ardan. Grup-grup lenong mulai bangkit kembali dengan binaan
5 Dina Nawangningrum (ed.), Ragam Seni Budaya Betawi, (Jakarta: Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya,2012), hlm. 91 6 Muhadjir, dkk., Peta Seni Budaya Betawi, (Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI Jakarta)
h.168 7 Ibid., h.90
17
tokoh-tokoh lenong tersebut. Selain itu, ada pula dukungan dari
pemerintah melalui kesempatan yang diberikan Taman Ismail
Marzuki (TIM) seluas-luasnya untuk mengadakan pementasan
lenong. Cerita yang dipilih adalah cerita Nyai Dasima. Hal itu
dimaksudkan agar lenong dapat diterima di ranah Nasional. Di luar
TIM sendiri, lenong pada tahun 1960-an dan 1970-an itu
berkembang semakin baik. Selain di TIM, lenong ditanggap juga di
TVRI dan radio siaran swasta. Setelah itu banyak pemain atau
seniman lenong menjadi terkenal. Ada yang menjadi bintang film,
misalnya, Bu Siti, H. Tile, H. Nasir T, H. Bokir, Nirin, Naserin,
Markum, Anen, dan M. Toha.8
Pada akhir 1973, hasil evaluasi menunjukan bahwa banyak
unsur lenong seperti tari, nyanyian, dan pantun hampir hilang dari
pementasan lenong, terutama di TIM. Hal ini sangat disayangkan
mengingat unsur tersebut justru pengikat yang kuat dan merupakan
satu kesatuan. Akhirnya, pada 3-4 Mei 1974 dipersiapkan sebuah
pementasan yang berpijak pada bentuk dan cara pementasan lenong
pada periode transisi (dari wayang sumedar ke lenong denes). Pada
27 April 1975 dipentaskan modifikasi baru lagi sebagai hasil
evaluasi tersebut. Pementasan yang mengangkat kisah Mat Pelor
mendapat sambutan yang luar biasa dari publik. Untuk melengkapi
tuntutan evaluasi tahun 1973, kendala tari, nyanyi, dan pantun
disiasati dengan menggandeng kelompok dari Radio Republik
Indonesia Jakarta dan kelompok tari Institut Kesenian Jakarta untuk
pementasan lenong. Yulianti Parani yang masuk dalam kelompok
tari bahkan melakukan riset mengenai tari Betawi untuk pementasan
lenong. Pakar lain yang dilibatkan adalah Azhar, penyusun lagu.
Hasilnya, pementasan ulang lakon Mat Pelor pada 26 juni 1975
8 Ibid., h. 91
18
tidak hanya sukses besar, tetapi juga memanggil kembali penonton
kalangan menengah ke atas untuk menonton lenong.9
Jenis lenong terdapat dua jenis yaitu lenong denes dan lenong
preman. Untuk lebih jelasnya penulis menunjukan lewat bagan di
bawah ini.
Bagan 2.1
Jenis Lenong Betawi
Sumber: penelusuran penulis berdasarkan hasil penelitian di lapangan
dan kajian pustaka
1) Lenong Denes
Lenong denes merupakan kesenian yang berkembang dari
kalangan bangsawan. Oleh karena itu, pesebarannya terpusat di
tengah kota. Jenis lenong ini dapat ditemukan di wilayah Cakung,
Pekayon, Ceger, dan Babelan. Namun lenong denes kini dianggap
sebagai perkembangan dari beberapa bentuk teater rakyat Betawi
yang dewasa ini sudah punah, seperti Wayang Sumedar, Wayang
9 Ibid,. h.92
Teater Lenong
Lenong Denes
Berkembang
di Ciater
Lenong Preman
19
Senggol, Wayang Dermuluk. Lenong denes mementaskan cerita-
cerita kerajaan seperti Indra Bangsawan, Danur Wulan, dan
sebagainya, yang diambil dari khazanah cerita klasik Seribu Satu
Malam. Karena memainkan cerita kerajaan, maka busana yang
dipakai oleh tokoh-tokohnya sangat gemerlapan, seperti halnya raja,
bangsawan, pangeran, dan putrid. Maka kata denes (dinas) melekat
pada cerita dan busana yang dipakai. Maksudnya untuk menyebut
orang-orang yang berkedudukan tinggi, orang berpangkat-pangkat
atau orang yang dinas.
Bahasa yang digunakan dalam pementasan lenong denes
adalah bahasa melayu tinggi. Contohnya kata-kata yang sering
digunakan antara lain: tuanku, baginda, kakanda, adinda, beliau,
daulat tuanku,hamba. Dialog dalam lenong denes sebagian
dinyanyikan. Dengan cerita kerajaan dan berbahasa melayu tinggi,
para pemain lenong denes tidak leluasa melakukan humor. Agar
pertunjukan bisa lucu, maka ditampilkan tokoh dayang atau khadam
(pembantu) yang menggunakan bahasa Betawi. Adegan-adegan
perkelahian dalam lenong denes tidak menampilkan silat, tetapi
tinju, gulat, dan main anggar (pedang).
Lenong denes biasa bermain di atas panggung berukuran 5 X
7 meter. Tempat itu dibagi dua: di belakang untuk pemain berhias,
ganti pakaian, atau menunggu giliran main. Bagian depan untuk
pentas. Alat musik diletakan di kanan dan kiri pentas, sebagaimana
dalam lenong preman. Dekor digunakan untuk menyatakan susunan
adegan, meski kadang-kadang tidak pas sama sekali alias
bertabrakan dengan jalan cerita yang sedang berlangsung.
Perkelahian dalam pentas diusahakan dengan gerak yang sungguh-
sungguh, ditambah dengan pedang, dan gerakan akrobatik yang
mengesankan. Sebelum pertunjukan berlangsung diadakan acara
20
ngungkup dengan menyediakan sesajen lengkap dan membakar
kemenyan.10
Tokoh utama yang dikenal mengembangkan lenong adalah
Jali Jalut alias Rojali. Di samping itu tokoh yang pernah
mengembangkan lenong denes adalah Rais pimpinan lenong denes
di Cakung, Samad Modo di Pekayon, Tohir di Ceger, dan Mis Bulet
di Babelan. Adapun LKB (2012) mendata bahwa yang masih
mengembangkan lenong denes adalah Minin (pimpinan Grup Baru
di Jakarta Utara), Agus Aseni (pimpinan Grup Bang Pitung di
Jakarta Barat), Abd. Rachman (pimpinan Grup Jayakarta di Jakarta
Barat), Jamaludin ( pimpinan Grup Naga Putih di Jakarta Selatan),
Mamit (pimpinan Harapan Jaya di Jakarta Timur), Hj. Tonah
(pimpinan Sinar Jaya), Yamin (pimpinan Theater Pangkeng), Hj.
Norry (pimpinan Sinar Norray), dan Burhanudin (pimpinan Grup
Jali Putra).11
2) Lenong Preman
Berbeda dari lenong denes, lenong preman berkembang di
kalangan rakyat miskin. Pesebarannya terpusat di pinggiran kota
Jakarta, Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten
Tangerang. Cerita yang dibawakan oleh lenong preman yaitu cerita-
cerita dari kehidupan sehari-hari, yaitu dunia jagoan, tuan tanah,
drama rumah tangga, dan sebagainya. lenong preman biasa juga
disebut sebagai lenong jago. Disebut demikian karena cerita yang
dibawakan umumnya kisah para jagoan, seperti Si Pitung, Jampang
Jago Betawi, Mirah Dari Marunda, Si Gobang, Pendekar Sambuk
Wasiat, dan Sabeni Jago Tenabang. Karena cerita yang dibawakan
10
Yahya Andi Saputra,Profil Seni Budaya Betawi,(Jakarta: Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta,2009), hlm.73-74 11
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Ragam Seni Budaya Betawi,(Jakarta:2012),hlm.
92-93
21
adalah cerita sehari-hari maka kostum atau pakaian yang digunakan
adalah pakaian sehari-hari.
Lenong preman menggunakan bahasa Betawi dalam
pementasannya. Dengan menggunankan bahasa Betawi, terjadi
keakraban antara pemain dan penonton. Banyak penonton yang
member respon spontan dan pemain menanggapi. Terjadilah
komuniksi yang akrab antara pemain dan penonton. Dialog dalam
lakon lenong umumnya bersifat polos dan spontan. Sehingga
menimbulkan kesan kasar, terlalu spontan dan bahkan porno.
Beberapa rombongan lenong yang pernah ada dan masih ada
sekarang ini adalah rombongan Gaya Baru yang dipimpn
oleh Liem Kim Song alias Bapak Sarkim dari Gunung
Sindur, Bogor, Setia Kawan dipimpin oleh Nio Hok San dari
Teluk Gong,Tiga Saudara dipimpin oleh Pak Ayon dari
Mauk, Tangerang, dan Sinar Subur yang dipimpin oleh
Bapak Asmin dari Bojongsari. Sanggar-sanggar lenong yang
didata oleh LKB (2012) antara lain adalah Grup Baru Jaya
pimpinan Minin di Jakarta Pusat, Grup Bang Pitung pimpinan
Agus Aseni di Jakarta Barat, Grup Jayakarta pimpinan Abd.
Rachman di Jakarta Barta, Grup Naga Putih pimpinan
Jamaludin di Jakarta Selatan, di Jakarta Timur ada Harapan
Jaya pimpinan Mamit.12
2. Identitas Budaya Masyarakat Betawi
a. Identitas Budaya
Konsepsi lenong mencerminkan bahwa lenong menjadi
sebuah kesenian teater yang berasal dari rakyat dan dekat dengan
kehidupan rakyat pada umumnya. Sebuah kesenian teater yang
bukan hanya sekedar tradisi, melainkan untuk mempersentasikan
identitas budaya Betawi. Dalam praktik komunikasi, identitas
acapkali tidak hanya memberikan makna tentang pribadi seseorang,
12
Ibid. ,h.75
22
tetapi lebih jauh dari itu, menjadi ciri khas sebuah kebudayaan yang
melatarbelakanginya.13
Mengacu kepada pengertian identitas sendiri yang
mengandung pengertian sebagai kondisi yang subjektif dan objektif.
Menurut Liliweri “konsep identitas terbagi kedalam tiga bentuk,
yakni: identitas sosial, identitas kultural dan identitas personal”.14
Identitas sosial terbentuk sebagai akibat dari keanggotaan kita dalam
suatu kelompok kebudayaan (umur, gender, kerja, agama, kelas
sosial, tempat, dan sebagainya) maupun berbentuk pengakuan yang
berasal dari ego (misalnya saya seorang muslim, saya orang Betawi).
Dalam konteks ini proses identifikasi dibentuk melalui konsepsi
mengenai diri yang berhubungan dengan keanggotaan individu
terhadap kelompok atau kategori sosialnya tersebut. Di dalam skripsi
ini akan dilihat bagaimana identitas budaya direpresentasikan di
dalam konteks seni pertunjukan kesenian, sekaligus keanggotaan
individu ke dalam sebuah kelompok etnis tertentu yang meliputi
tradisi, bahasa, dan sifat bawaan dari suatu kebudayaan.
Identitas pribadi atau personal seperti yang dikatakan Ritzer
didasarkan pada keunikan karakteristik pribadi seorang individu. Hal
ini disebabkan oleh faktor biografi dan pengalaman hidup masing-
masing orang yang berbeda-beda. Individu dapat menolak identitas
sosialnya, ketika ia merasa bahwa peran atau kategori sosial yang
diberikan kepadanya tidak sesuai dengan konsepsi diri individu.15
Komitmen tertinggi individu terhadap suatu identitas
menggambarkan bahwa identitas itulah yang menempati posisi
paling penting bagi dirinya.
13
Alo Liliweri M.S, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta: Lkis,
2007), h. 68 14
Ibid., h.96 15
George Ritzer (Ed), Encyclopedia Of Sosial Theory, Vol 1 (London: SAGE Publication,
2002), h. 385-387
23
Menurut Ensiklopedia Sosiologi yang ditulis oleh Ritzer:
Identitas terpenting selain identitas personal dan identitas sosial,
adalah identitas kolektif. Identitas kolektif disini dimaksudkan
adalah identitas kultural. Identitas kultural ini timbul dari
perasaan ke-kami-an ataupun menjadi satu kelompok, yang
berasal dari hubungan sosial, kepemilikan status dan atribut
yang sama. Misalnya kesamaan menjadi etnis minoritas,
memiliki kelompok tandingan, atau terdapat keadaan yang
mengancam, sehingga timbul solidaritas kolektif pada akhirnya
membentuk identitas kultural.16
Dalam hal ini faktor kebudayaan megambil peran penting
karena kebudayaan dipandang sebagai suatu faktor yang paling
penting untuk menujukan identitas masyarakat. Sehingga suatu
masyarakat agar dapat mempertahankan identitasnya harus dapat
pula mempertahankan kebudayaannya, yaitu dengan cara
mewariskan dari generasi ke generasi berikutnya melalui suatu
proses yang disebut dengan proses sosialisasi. Tanpa melalui proses
sosialisasi maka kebudayaan suatu masyarakat akan hilang sehingga
identitasnya sebagai masyarakat yang memiliki kebudayaan tertentu
akan hilang pula. Kenneth Burke menjelaskan bahwa untuk
menentukan identitas budaya itu sangat tergantung pada bahasa
(bahasa sebagai unsur kebudayaan nonmaterial), bagaimana
representasi bahasa menjelaskan sebuah kenyataan atas semua
identitas yang dirinci kemudian dibandingkan.17
Identitas dapat diperoleh melalui proses sosialisasi primer
dan sosialisasi sekunder. Identitas yang diperoleh dari sosialisasi
primer disebut identitas primer, sedangkan identitas yang diperoleh
dari sosialisasi sekunder disebut identitas sekunder.18 Identitas primer
bersifat sejak lahir, misalnya gender, etnisitas, nama keluarga.
16
Ibid,. hlm. 390 17
Alo Liliwei M.S, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta: Lkis,
2007), h. 72 18
George Ritzer (Ed), Encyclopedia Of Sosial Theory, Vol 1 (London: SAGE Publication,
2002), hlm. 392
24
Identitas keluarga diperoleh seorang anak sejak kecil ketika
dibesarkan oleh keluarga dan lingkungan tempat tinggalnya.
Identitas etnis dibentuk melalui proses pembelajaran seorang anak
terhadap kebiasaan, sistem kepercayaan dan nilai-nilai kelompok
sosialnya.
Identitas sekunder diperoleh ketika individu mengalami
proses sosialisasi sekunder. Misalnya, status pekerjaan, kelompok
penggemar dan lain sebagainya. Identitas primer dan sekunder
individu selalu mengalami proses perubahan sepanjang hayat guna
menghasilkan keseimbangan berdasarkan hidup yang dimilikinya.
Dari konsep-konsep yang telah diuraikan mengenai arti
identitas penulis dapat mengatakan bahwa identitas sebagai suatu
fenomena sosial dapat diartikan sebagai sesuatu yang mengarah pada
realitas subyektif yang mempunyai hubungan yang bersifat dialektik
antara individu dengan masyarakat. Hubungan yang dialektik antara
individu dan masyarakat dapat merupakan hubungan yang tidak ada
ujung pangkalnya, suatu hubungan yang terus berlanjut dan tidak ada
habisnya selama masyarakat itu tetap ada. Artinya identitas dibentuk
oleh suatu proses sosial yang dipertahankan dan identitas juga
merupakan sesuatu yang dihasilkan oleh kesadaran individu yang
merupakan reaksi terhadap struktur sosial yang ada.
Pada dasarnya identitas dapat dipahami suatu pemahaman
yang keluar dari dalam diri individu tentang dirinya yang berkaitan
dengan penempatan dirinya dalam suatu lingkungan sebagai suatu
hasil dari interaksi dengan lingkungan diluar kelompoknya. Identitas
merupakan bagaimana individu melihat dirinya sendiri sebagai
konteks relasi sosial ataupun interaksi sosial, peran-peran yang kita
jalankan merupakan representasi identitas sosial.
25
b. Budaya
“Budaya adalah bentuk jamak dari kata budi dan daya yang
berarti cinta, karsa, dan rasa. Kata budaya sebenarnya berasal dari
bahasa Sanskerta budhayah yaitu bentuk jamak kata buddhi yang
berarti budi atau akal.”19
Kebudayaan merupakan posisi penting
dalam kehidupan manusia. Dengan begitu, tidak ada masyarakat
yang tidak memiliki kebudayaan dan begitupun sebaliknya, tidak ada
kebudayaan tanpa masyarakat, dimana masyarakat sebagai wadah
dan pendukungnya, sehingga fungsi kebudayaan itu sendiri dapat
dijadikan sebagai faktor pendorong dalam perubahan sosial yang
terjadi di masyarakat atau masyarakat dapat menentukan sikapnya
sendiri terhadap dunia berdasarkan pada pengetahuan yang ada pada
kebudayaan.
Budaya atau kebudayaan menurut para tokoh antara lain:
1) E. B. Tylor, budaya adalah suatu keseluruhan kompleks
yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan,
hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang
didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
2) Koentjaraningrat, mengartikan bahwa kebudayaan adalah
keseluruhan sistem gagasan, milik diri manusia dengan belajar.
3) Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, mengatakan
bahwa kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa, dan cipta
masyarakat20
Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan dibagi atau digolongkan
dalam tiga wujud, yaitu:
1) Wujud sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-
nilai, norma-norma, dan peraturan.
19
Elly M. Setiadi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar,(Jakarta: Kencana, 2008) h. 27 20
Ibid,. h. 27
26
Wujud tersebut menunjukan wujud ide dari kebudayaan, sifatnya
abstrak, tak dapat diraba, dipegang, ataupun difoto, dan tempatnya
ada di alam pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan yang
bersangkutan itu hidup.
2) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta
tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.
Wujud tersebut dinamakan sistem sosial, karena menyangkut
tindakan dan kelakuan berpola dari manusia itu sendiri.
3) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya
manusia.
Wujud ini disebut wujud fisik. Di mana wujud budaya ini hampir
seluruhnya merupakan hasil fisik (aktivitas perbuatan, dan karya
semua manusia dalam masyarakat)21
Koentjaraningrat berpendapat bahwa ada tujuh unsur
kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia.
Ketujuh unsur yang dapat kita sebut sebagai isi pokok dari tiap
kebudayaan di dunia itu adalah:
1) Bahasa
2) Sistem pengetahuan
3) Organisasi sosial
4) Sistem peralatan hidup dan teknologi
5) Sistem mata pencaharian hidup
6) Sistem religi
7) Kesenian22
Masing-masing unsur kebudayaan sudah tentu juga menjelma
dalam ketiga wujud kebudayan terurai di atas, yaitu wujudnya yang
berupa sistem budaya, yang berupa sistem sosial, dan yang berupa
21
Elly M. Setiadi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar,(Jakarta: Kencana, 2008), H. 28-30 22
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta : Fa. Aksara baru, 1983) cet .
4, h. 206
27
unsur-unsur kebudayaan fisik. Dalam penelitian ini penulis akan
mencoba meneliti salah satu unsur kebudayaan Betawi yaitu
kesenian lenong Betawi yang merupakan teater peran yang cukup
menjadi primadona masyarakat Betawi.
c. Masyarakat Betawi
“Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang
berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat
kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama.”23
Definisi itu menyerupai suatu definisi yang diajukan oleh J.L. Gillin
dan J.P. Gillin dalam buku mereka Cultural Sociology yang
merumuskan bahwa masyarakat atau society adalah the largest
grouping in which common customs, traditions, attitudes and
feelings of unity are operative.24
Ketika kota Jakarta secara resmi dinyatakan sebagai ibukota
negara, konon mulai muncul dan mengemukakan berbagai
komunitas yang menamakan diri sebagai komunitas yang
menamakan diri sebagai masyarakat Betawi. Diduga masyarakat
Betawi sudah cukup lama bermukim di Jakarta, dan mereka
diperkirakan sudah tinggal di Jakarta semenjak zaman prasejarah,
yaitu zaman batu bara atau neolitikum. Diperkirakan mereka mulai
tinggal di Jakarta tahun 2500 SM.25
“Suku Betawi adalah salah satu etnis di Indonesia yag dikenal
sebagai penduduk asli kota Jakarta. Secara geografis suku Betawi
tinggal di pulau Jawa, namun secara sosiokultural, mereka
kelihatannya lebih dekat dengan budaya Melayu Islam”.26
Terdapat
beberapa pendapat seputar suku Betawi ini. Pertama yaitu Dr.
23
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta : Fa. Aksara baru, 1983) cet .
4, h. 149 24
Ibid,. h. 150 25
Eni Setiati dkk, Ensiklopedia Jakarta 6, ( Jakarta: PT. Lentera Abadi, 2009), h. 4. 26
Ibid., h. 7
28
Yasmine Zaki Shahab, M.A., seorang antropolog Universitas
Indonesia, beliau memperkirakan bahwa etnis Betawi baru terbentuk
sekitar tahun 1815-1893.
Kedua yaitu Prof. Dr. Parsudi Suparlan mengemukakan
bahwa kesadaran mereka itu sebagai orang Betawi pada awal
pembentukan etnis ini tampaknya belum mengakar. Ketiga yaitu
Ridwan Saidi seorang sejarawan, budayawan, dan sekaligus seorang
politikus asal Betawi beliau membantah pendapat kedua antropolog
tersebut. Ia mengatakan bahwa orang-orang Betawi sudah ada jauh
sebelum J.P Coen membakar Jayakarta tahun 1619 dan menjadikan
Jayakarta menjadi Batavia. Pernyataan tersebut dibuktikan dengan
menunjukan keberadaan orang-orang Betawi secara geografis,
arkeologis serta sejarah perkembangan bahasa dan budayanya.
Ada berbagai anggapan mengenai seseorang layak disebut
orang Betawi atau masyarakat Betawi. Pertama seseorang layak
disebut orang Betawi atau masyarakat Betawi kalau orang tersebut
merupakan keturunan generasi ke-3, yang semuanya hidup di
Jakarta. Kedua, yang dapat disebut sebaga orang Betawi atau
masyarakat Betawi adalah orang yang lahir di Jakarta dan hidup
persis seperti orang Betawi asli, entah bahasa maupun budayanya.
Ada juga yang mengatakan bahwa seseorang itu lahir di Jakarta,
tinggal di Jakarta, makan dan minum di bumi Jakarta.
Bagi orang Betawi, polemik semacam itu tidak penting. Yang
penting bagi mereka ialah memikirkan bagaimana mengisi
kehidupan sebelum mereka meninggal. Ini dapat terjadi karena
mereka memiliki keyakinan yang kuat terhadap agama Islam sebagai
nafas hidup dan budaya mereka. Itulah sebabnya mengapa mereka
toleran terhadap para imigran dari etniss lain yang masuk ke Jakarta.
29
Bagi mereka, kualitas manusia tidak ditentukan oleh
keturunan siapa, tetapi oleh isi hati, da perilakunya. Itulah sebabnya
walaupun secara geografis mayoritas wilayahnya telah diambil orang
lain sehingga mereka semakin tergsur, namun orang Betawi masih
tetap eksis. Mereka tidak pernah merasa diri tergusur dari Jakarta
sebagai kampong halaman mereka. Mereka beranggapan bahwa
selama Jakarta masih ada, maka selama itu pula akan muncul orang-
orang Betawi.27
Masyarakat Betawi dapat dikelompokan menjadi tiga
kelompok besar, yaitu: Betawi Tengah, Betawi Pinggir, dan Betawi
Udik. Kelompok Betawi Tengah adalah penduduk Betawi yang
bermukim daerah kota. Kebanyakan dari mereka tinggal secara
berkelompok berdasarkan keturunan. Ada dua kelompok besar orang
yang tinggal di kota, yaitu Betawi gedong dan Betawi Kampung.
Betawi gedong adalah mereka yang secara ekonomi tergolong
mampu atau orang kaya dan tinggal di rumah-rumah mewah yang
disebut gedong. Sedangkan Betawi kampung adalah mereka yang
hidup sederhana dan tidak memiliki kekayaan yang dapat
dibanggkan.
Betawi Pinggir memiliki nilai Islami yang sangat tinggi
dibandingkan dengan kedua kelompok Betawi lainnya, cara pandang
mereka adalah cara pandang Islam. Orang Betawi Pinggir menolak
bila mereka dianggap tertinggal dalam bidang pendidikan, sebab
mereka mempunyai prioritas pendidikan tersendiri, yaitu pesantren.
Terakhir yaitu Betawi Udik, kelompok Betawi Udik terbagi
dalam dua kelompok, yaitu orang Betawi yang tinggal di Jakarta
bagian utara, bagian barat Jakarta, dan Tangerang. Budaya mereka
sangat dipengaruhi oleh budaya tionghoa. Kelompok kedua yaitu
27
Ibid,. h. 8
30
mereka yang tinggal di sebelah timur dan selatan Jakarta yang
terpengaruhi oleh budaya Jawa Barat.
B. Hasil Penelitian yang Relevan
Peneliti melakukan penelitian pada suatu kajian ilmiah yang
memiliki fokus pembahasan penelitian serupa atau juga memiliki sebuah
kesamaan dalam konsep penelitiannya. Studi lain sejenis telah banyak
dilakukan di Indonesia, salah satunya adalah penelitian skripsi dari
Purwosanti yang berjudul Eksistensi Lenong Betawi di Era Globalisasi.
Skripsi ini menjelaskan mengenai keberadaan lenong Betawi di era
globalisasi saat ini masih sangat diperlukan oleh sebagian masyarakat
Betawi di pinggir kota Jakarta seperti Condet, Jagakarsa, Bekasi dan Setu
Babakan, namun keberadaanya tidak lagi sebagai bagian integral dari
kehidupan masyrakat Betawi seperti tahun 1980-an. Latar belakang
penelitian ini karena adanya fakta bahwa lenong Betawi saat ini kurang
diminati oleh masyarakat dan hanya dimanfaatkan sebagai sarana hiburan
dalam acara perkawinan dan sunatan oleh sebagian kecil kelompok.
Keberadaan lenong Betawi bagi masyarakat Betawi adalah untuk
memeriahkan acara hajatan. Sedangkan bagi sebagian seniman, lenong
Betawi sebagai mata pencaharian walaupun hanya mata pencaharian
sampingan. 28
Menurut Purwosanti, dari 2 jenis lenong Betawi, masyarakat
cenderung memilih lenong preman sebagai hiburan karena dari
segi kostum lenong ini lebih sederhana, bahasa yang digunakan
adalah bahasa Betawi sehari-hari dan ceritanya pun tentang
kehidupan masyrakat sehari-hari. Sedangkan untuk lenong dines
diperlukan biaya yang cukup mahal hanya untuk memenuhi
kostum pemainnya karena pemainnya harus seragam sesuai dengan
tuntutan cerita.29
Selanjutnya yaitu penelitian dari Ninuk Klenden yang berjudul
Teater Lenong Betawi Studi Perbandingan Diakronik. Skripsi yang
28
Purwosanti, “Eksistensi Lenong Betawi di era globalisasi”, skripsi pada Universitas
Negeri Jakarta,Jakarta 2010, tidak dipublikasikan 29
Ibid,.
31
dibukukan ini membandingkan 5 perkumpulan tetaer lenong dalam hal
hubungan antara lenong dengan komunitasnya dalam hal ini adalah orang
Betawi. Penelitian ini menunjukan adanya perbedaan di 5 perkumpulan
teater lenong (perkumpulan tater lenong Setia Kawan, Sinar Subur, Subur
Jaya, Bolot, dan perkumpulan teater lenong Bintang Berlian dalam hal
hubungan antara seniman teater lenong dengan orang Betawi pada
umumnya. Selain itu penelitian ini juga menghasilkan suatu bentuk
deskripsi utuh dari teater lenong yang memperhatikan baik teater lenong
itu sendiri, organisasi dalam teater lenong, dan komunitas teater lenong
termasuk seniman, penonton, dan penanggapnya.30
Yudho Winiarto yang berjudul Tambeng : Proses Penafsiran
Kembali Tanda budaya Betawi. Skiripsi ini mendeskripsikan penafsiran
terhadap tari kreasi yaitu tari tambeng sebagai sebuah identitas budaya,
yang dalam proses pembentukannya tidak dapat dilepaskan dari konteks
pertunjukannya. Tari tambeng muncul sebagai hasil kreasi tari Betawi
dengan wajah dan fungsi yang baru, melalui penafsiran terhadap tanda
budaya Betawi yang melekat dan membentuk tari tersebut. Tari tambeng
pada konteks perlombaan diterima sebagai suatu identitas Betawi. Namun,
penafsiran terhadap tanda budaya Betawi dalam tari Tambeng akan
berbeda pada konteks yang lainnya. Setiap konteks pertunjukan terdapat
sistem tandanya sendiri yang digunakan sebagai acuan menandai sebuah
identitas. Oleh karena itu, hal ini yang kemudian melatarbelakangi tari
tambeng untuk dikembalikan pada konteks masyarakat pendukungnya.
Penelitian ini mendeskripsikan pemahaman kreator (koreografer) terhadap
sistem tanda budaya Betawi yang diwujudkan dalam karya tarinya dan
pemahaman ini terlihat melalui proses dan bentuk karya tari tersebut
(tambeng). Selain itu, pada skripsi ini juga mendeskripsikan mengenai
30
Ninuk Klenden, Teater Lenong Betawi Studi Perbandingan Diakronik, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1996)
32
apresiasi dan pandangan orang Betawi terhadap tari tambeng sebagai hasil
kreasi tari Betawi.31
Penelitian lainnya yang menjadi bahan bagi peneliti yaitu
penelitian dari Nina Farlina yang berjudul Representasi Identitas Betawi
dalam Forum Betawi Rempug (FBR). Konteks penelitiannya berupa
organisasi FBR sebagai pergerakan masyarakat Betawi. Alasan utama
ketertarikan anggotanya adalah ingin mempertahankan wilayahnya yang
selama ini mereka tinggal agar tidak tergusur oleh para pendatang.
Identitas Betawi yang dipersentasikan dalam organisasi ini merupakan
identitas Betawi yang shaleh atau beragama Islam. Di dalam penelitian ini
ditemukan mengenani identitas Betawi yang shaleh yang terpengruh oleh
ideologi Islam yang mengedepankan ketaatan. Representasi identitas
jawara dan jagoan yang pernah dipopulerkan oleh si pitung, juga
ditemukan dalam penelitian ini. Representasi jawara adalah ketika mereka
mnegenakan pakaian khas Betawi untuk mengungkapkan identitas
Betawi.32
Dari rujukan penelitian sejenis di atas tentang identitas budaya
yang telah dipaparkan maka dapat ditarik benang merah yang dapat
mengikat kesemuanya sebagai pendukung dari penelitian peneliti
mengenai Teater Lenong Sebagai Penanda Identitas Kebetawian. Di mana
rujukan skripsi di atas merujuk pada eksistensi seni Betawi yang masing-
masing mereka teliti mengacu terhadap tema yang peneliti angkat. Adapun
tulisan mereka mengenai seni budaya Betawi menjadi bahan acuan dan
pembelajaran dalam penelitian ini.
Selain itu terdapat poin-poin penting dari temuan mereka menjadi
bahan perbandingan dengan skripsi yang peneliti kerjakan. Sedangkan
untuk rujukan dari beberapa buku untuk mendukung tulisan ini sebagai
wawasan tambahan untuk menunjang dan memperkaya penelitian sebagai
31
Yudho Winiarto, Tambeng : Proses Penafsiran Kembali Tanda budaya Betawi, Skripsi
pada Universitas Indonesia, Depok, 2008. tidak dipublikasikan 32
Nina Farlina, “Representasi Identitas Betawi dalam Forum Betawi Rempug (FBR)”,
tesis pada Universitas Indonesia, Depok, tidak dipublikasikan
33
bahan tambahan penelitian. Adapun buku tersebut erat kaitanya dengan
penelitian ini. Oleh karena itu, kesemuanya terkait satu sama lain untuk
menjadi bahan pendukung dalam penelitian ini. Di bawah ini adalah tabel
penelitian sejenis yang sesuai dengan peneliti.
Tabel 2.1
Penelitian Sejenis
No. Penelitian Sejenis
Tinjauan
Pustaka Jenis
persamaan perbedaan
1. Eksistensi Lenong Betawi di
Era Globalisasi
Oleh : Purwosanti,
Universitas Negeri Jakarta,
2010.
Skripsi Penelitian ini
mengkaji adanya
fakta bahwa lenong
Betawi saat ini
kurang diminati oleh
masyarakat dan
hanya dimanfaatkan
sebagai sarana
hiburan dalam acara
perkawinan dan
Sunatan.
Penelitian ini lebih
mengarah kepada
keuntungan
komersil dalam
setiap
pertunjukkannya
2. Teater Lenong Betawi Studi
Perbandingan Diakronik
Oleh : Ninuk Klenden,
Yayasan Obor Indonesia,
1996.
Skripsi Penelitian ini
mengkaji deskripsi
utuh dari teater
lenong yang
memperhatikan baik
teater lenong itu
sendiri, organisasi
dalam teater lenong,
dan komunitas teater
lenong termasuk
Penelitian ini lebih
mengarah kepada
membandingkan
beberapa
perkumpulan
teater lenong
34
seniman, dan
penonton.
3. Tambeng: Proses Penafsiran
Kembali Tanda budaya
Betawi
Oleh : Yudho Winiarto,
Universitas Indonesia,
Jakarta, 2008.
skripsi Penelitian ini
mendeskripsikan
penafsiran terhadap
tari kreasi yaitu tari
tambeng sebagai
sebuah identitas
budaya.
Penelitian ini lebih
mengarah kepada
pemahaman
kreator
(koreografer)
terhadap sistem
tanda budaya
Betawi
4. Representasi Identitas
Betawi dalam Forum Betawi
Rempug (FBR)
Oleh : Nina Farlina,
Universitas Indonesia, 2012
Tesis Penelitian ini
mengkaji adanya
usaha suatu
organisasi untuk
mempertahankan
kebudayaan Betawi
dan
mempersentasikan
identitas Betawi
Dalam penelitian
ini yang menjadi
objek penelitian
adalah sebuah
organisasi
Sumber: Hasil olah data peneliti, 2014
35
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Subjek dan Waktu Penlitian
1. Subjek Penelitian : Perkumpulan teater lenong pimpinan
Bapak Marong di Kelurahan Ciater RT
06/10 Kecamatan Serpong
2. Waktu Penelitian : 30 Desember 2013 – 28 November 2014
Agar penelitian ini sesuai dengan target yang telah ditetapkan, maka
peneliti membuat jadwal sebagai berikut:
No. Kegiatan BULAN
DES
2013
MEI
2014
JUNI
2014
JULI
2014
SEPT
2014
OKT
2014
NOV
2014
1. Penyusunan
proposal
√
2. Observasi √ √
3. Menentukan
dan menyusun
instrument
penelitian
√
4. Pengumpulan
data
√ √
5. Analisis data
dan pengolahan
data
√ √
6. Penyusunan
laporan
√
36
7. Bimbingan
akhir skripsi
√
B. Metode Penelitian
Pada penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif. Metode
penelitian deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif. Pendekatan kualitatif yang dimaksud mengacu kepada prosedur
penelitian yang menghasilkan data-data deksriptif.
Menurut Suparlan “pendekatan kualitatif yaitu pendekatan yang
digunakan untuk memahami prinsip-prinsip umum yang mendasari suatu
gejala yang menjadi pusat perhatian penulis dan hubungan antara gejala-gejala
yang terlibat di dalamnya”.1 Menurut Natzir “metode penelitian deskriptif
yang dipergunakan adalah metode studi kasus yang berarti penelitian tentang
subjek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari
keseluruhan personalitas, subjek penelitian dapat saja individu, kelompok,
lembaga maupun masyarakat”.2
Penelitian deskriptif dilakukan peneliti dengan mempelajari masalah-
masalah dalam masyarakat, tata cara yang berlaku dalam masyarakat, tata cara
yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu termasuk
hubungan, kegiatan-kegiatan, pandangan, proses-proses yang sedang
berlangsung beserta pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena.
C. Populasi
“Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyek atau
subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan
1 Parsudi Suparlan, Pengantar Metode Penulisan: Pendekatan Kualitatif, (Jakarta:
Rajawali Press, 1996),hlm.41 2 Mohammad Natzir, metode penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), hlm. 66
37
oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya”.3
Sedangkan “Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki
oleh populasi tersebut”.4 Yang menjadi populasi dalam penelitan ini yaitu
perkumpulan teater lenong Betawi Marong Group di Ciater, Tangerang
Selatan.
D. Sampel
“Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi”. Telah dijelaskan bahwa yang menjadi populasi dalam penelitian ini
adalah perkumpulan teater lenong Betawi Marong Group di Ciater, Tangerang
Selatan. Oleh karena itu, yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah
ketua pimpinan dan 9 anggota lenong Betawi Marong Group.
E. Teknik Sampling
“Teknik sampling adalah merupakan teknik pengambilan sampel”.5
Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik purposive
sampling. Purposive sampling adalah “teknik pengambilan sampel sumber
data dngan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini, misalnya orang
tersebut yang dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan”.6 Karena
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran teater lenong Betawi Marong
Group dalam pembentukan identitas Budaya Betawi maka yang menjadi
sampel adalah Bapak Marong selaku pimpinan teater lenong Betawi Marong
Group dan 9 pemain teater lenong Betawi Marong Group.
Pertimbangan peneliti memilih Bapak Marong sebagai sampel adalah
karna beliau merupakan pimpinan perkumpulan tersebut sehingga penulis
meyakini bahwa beliau dapat memberikan jawaban yang dapat dipercaya.
3 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung : Alfabeta,
2008) cet, 4 h. 80 4 Ibid,. h.80
5 Ibid,.h. 81
6 Ibid,. h.219
38
Responden kedua yaitu Bapak Ita, pertimbangan peneliti memilih Bapak Ita
sebagai responden adalah karena beliau merupakan penasehat perkumpulan
tersebut, responden ketiga dan keempat adalah Bapak Katong dan Bapak
Maceng. Pertimbangan peneliti memilih mereka sebagai sampel adalah yaitu
karena mereka adalah pemain atau bodor utama dalam perkumpulan lenong
Betawi Marong Group.
Responden kelima yaitu bapak Agus. Pertimbangan peneliti memilih
Bapak Agus sebagai sampel adalah karna beliau merupakan pemain gambang
kromong yang paling lama ikut dalam perkumpulan lenong Betawi Marong
Group. Responden selanjutnya adalah Bapak Rudi, Ibu Ati, Dini. Ongkih, dan
Maceng. Pertimbangan peneliti memilih mereka sebagai sampel adalah saran
dari beberapa responden lainnya.
F. Teknik Pengumpulan Data
Keingintahuan peneliti terhadap teater lenong mengantarkan penulis
melakukan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif memusatkan perhatiannya
pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala
yang ada dalam kehidupan sosial manusia. Dalam pendekatan kualitatif
pengukuran makna dari gejala tidak hanya dilihat dalam satu konteks saja,
tetapi juga dapat dilihat dari banyak konteks yang tidak terkontrol. Pendekatan
kualitatif yang menjadi sasaran penelitan, adalah kehidupan sosial atau
masyarakat sebagai sebuah sistem, atau sebuah kesatuan yang menyeluruh.7
Prosedur pengumpulan data yang digunakan dalam pendekatan kualitatif
adalah dengan metode observasi, wawancara, dan studi pustaka.
1. Observasi
Observasi dilakukan untuk melihat gambaran perilaku dan kejadian
dengan cara peneliti mengamati langsung ke lapangan. Ini dilakukan agar
peneliti mengerti perilaku orang-orang setempat, dan peneliti bisa mengukur
7 Parsudi Suparlan, Pengantar Metode Penulisan: Pendekatan Kualitatif, (Jakarta:
Rajawali Press, 1996),h.17
39
aspek tertentu sebagai acuan dari apa yang ingin diteliti. Dengan melakukan
observasi peneliti akan lebih mudah dalam mendapatkan data dari informan,
karena dengan melakukan observasi peneliti akan mudah mengenal karakter
dan perilaku informan. Obeservasi yang dilakukan peneliti yaitu obeservasi
partisipasi pasif. Dalam hal ini peneliti datang di tempat kegiatan orang yang
diamati, tetapi tidak ikut terlibat dalam kegiatan tersebut.8
Observasi pertama dilakukan peneliti pada bulan Januari 2014 di
Perkampungan Budaya Betawi, Setu Babakan. Setelah sampai di objek
lokasi penelitian dan bertanya kepada pengelola, peneliti mendapat
informasi ternyata di Setu Babakan sanggar teater lenong sudah tidak ada.
Kemudian peneliti akhirnya mencoba observasi di teater lenong yang
berlokasi di Kelurahan Ciater, observasi dilakukan pada bulan Mei 2014,
ketika sampai di objek lokasi penelitian, peneliti mulai mengamati hal-hal
dan seluk beluk yang terkait dengan kebutuhan penelitian.
2. Wawancara
“Wawancara adalah cara memperoleh informasi atau keterangan dengan
menanyakan masalah yang diteliti kepada narasumber atau informan”.9
Teknik wawancara yang digunakan pada penelitian kualitatif ini adalah
wawancara secara mendalam. Proses dalam wawancara mendalam ini
dilakukan secara tatap muka, antara pewawancara dengan informan. Dalam
wawancara mendalam ini digunakan pula pedoman wawancara, recorder,
alat tulis, dan kamera. Dalam melakukan wawancara peneliti harus
mengetahui etika dalam penelitian kualitatif.
3. Studi pustaka
Studi kepustakaan dengan teknik ini segala usaha yang dilakukan oleh
penulis bertujuan untuk mengumpulkan informasi-informasi yang lebih
khusus tentang masalah yang sedang diteliti. Memanfaatkan informasi yang
8 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung : Alfabeta,
2008) cet, 4 h. 227 9 Ibid,. h. 233
40
ada kaitannya dengan teori-teori yang relevan dengan penelitian yang
sedang dilakukan. Mengumpulkan dan memanfaatkan informasi-informasi
yang berkaitan dengan materi dan metodologi penelitian tersebut serta
menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang
berkaitan dengan teater lenong. Informasi tersebut diperoleh dari buku-buku
ilmiah, jurnal, skripsi, tesis dan buku-buku Dinas Kebudyaan DKI Jakarta,
dan sumber-sumber tertulis baik tercetak maupun elektronik lain.
4. Dokumentasi
“Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen
bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya”.10
Hasil penelitian dari
observasi, wawancara akan lebih kredibel atau dapat dipercaya kalau
didukung oleh dokumentasi. Dokumentasi dalam penelitian yaitu data-data
pemain lenong Betawi Marong Group, video ketika lenong Betawi
mengadakan pementasan dan juga foto-foto yang berhubungan dengan
penelitian.
G. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian kualitatif yang menjadi instrument penelitian utamanya
adalah peneliti. Alasannya ialah bahwa segala sesuatu belum mempunyai
bentuk yang pasti. Masalah, fokus penelitian, prosedur penelitian, data yang
akan dikumpulkan, dan hasil yang diharapkan. Itu semuanya tidak dapat
ditentukan secara pasti dan jelas sebelumnya. Segala sesuatu masih perlu
dikembangkan sepanjang penelitian itu. Dalam keadaan yang serba tak pasti
dan jelas itu tidak ada pilihan lain dan hanya peneliti itu sendiri satu-satunya
alat yang dapat menghadapinya.11
Oleh karena itu instrument penelitian ini yaitu peneliti sendiri. Peneliti
bertugas untuk menetapkan fokus penelitian, peneliti juga akan memilih
10
Ibid,. h. 240 11
S. Nasution, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, (Bandung: PT. Tarsito, 2003),
cet. III,h.55
41
informan untuk mendapatkan sumber data, melakukan pengumpulan data,
menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan data dan membuat
kesimpulan atas temuannya.
Yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah peran lenong
Betawi Marong Group dalam pembentukan identitas budaya Betawi.
Untuk mendapatkan data peran lenong Betawi Marong Group dalam
pembentukan identitas budaya Betawi yaitu dengan melihat upaya-upaya
apa saja yang dilakukan oleh lenong Betawi Marong Group. Setelah
mengetahui upaya apa saja yang telah dilakukan maka peneliti dapat
menilai apakah lenong Betawi Marong Group berperan dalam
pembentukan identitas budaya Betawi.
Untuk mendapat sumber data yang diperlukan peneliti memilih
beberapa informan yaitu Bapak Marong selaku pimpinan Marong
Group, para pemain lenong Betawi Marong Group, serta petugas
kelurahan Ciater untuk mendapatkan struktur sosial kelurahan Ciater.
Setelah menentukan informan untuk mendapat sumber data yang
diperlukan maka selanjutnya hal yang dilakukan adalah mengumpulkan
data. Setelah data sudah terkumpul peneliti melakukan analisis data dan
terakhir adalah penarikan kesimpulan dari penelitian.
H. Teknik Analisis Data
Untuk menjawab permasalahan penelitian, maka penulis akan
mengumpulkan data yang terdiri dari data primer dan data sekunder. Data
primer atau data utama didapatkan dengan melakukan wawancara dan
observasi/pengamatan. Sedangkan data sekunder, yaitu data-data dari sumber
tertulis yang sudah ada, diperoleh dari studi kepustakaan. Data ini meliputi
laporan-laporan budaya Betawi, kesenian Betawi, identitas budaya dan buku-
buku yang relevan dengan pokok bahasan.
Sedangkan analisis data dilakukan sejak sebelum, sedang dan setelah
selesai di lapangan. Seperti pernyataan Nasution dalam buku Sugiyono yaitu:
“Analisis telah mulai sejak merumuskan dan menjelaskan masalah, sebelum
terjun ke lapangan, dan berlangsung terus sampai penulisan hasil penelitian.
42
Dalam penelitian kualitatif, analisis data lebih difokuskan selama proses di
lapangan bersamaan dengan pengumpulan data”12
Analasis dalam penelitian ini dilakukan pada saat pengumpulan data
berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data. Pada saat wawancara,
peneliti sudah melakukan analisis terhadap jawaban yang diwawancarai. Bila
jawaban yang diwawancarai belum memuaskan, maka peneliti akan
melanjutkan pertanyaan lagi, sampai diperoleh data yang kredibel. Pada
penelitian ini peneliti menganalisis data menggunakan model Miles and
Huberman, yaitu:
1. Data reduction (Reduksi Data)
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang
pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan
polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan
memberikan gambara yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti
untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya
bila diperlukan.
2. Data Display (penyajian data)
Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah
mendisplaykan data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa
dilakukan dalam bentuk teks yang bersifat naratif. Dengan
mendisplaykan data, maka akan memudahkan untuk memahami apa
yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang
telah dipahami tersebut.
12
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta,
2007),h. 245
43
3. Conclusion Drawing/verification
Langkah ketiga yaitu penarikan kesimpulan. Setelah data yang
diperoleh peneliti direduksi dan sudah data sudah didisplay dengan
bentuk teks naratif, maka langkah selanjutnya adalah penarikan
kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan
masih bersifat sementara, jika kesimpulan tersebut didukung oleh
bukti-bukti yang valid dan konsisten maka kesimpulan yang
dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.13
I. Pemerikasaan Keabsahan Data
Dalam penelitian kualitatif, temuan atau data dapat dinyatakan valid
apabila tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dengan apa yang
sesungghnya terjadi pada obyek yang diteliti. Dalam pengujian keabsahan
data, metode penelitian kualitatif meliputi uji credibility (validitas internal),
transferability (validitas eksternal), dependability (reliabilitas), dan
confirmability (obyektivitas).14
Uji kredibilitas data antara lain dapat dilakukan dengan perpanjangan
pengamatan, peningkatan ketekunan, tringulasi, diskusi dengan teman sejawat,
analisis kasus negative, membercheck.15
Dalam penelitian ini peneliti
melakukan uji kredibilitas data dengan cara tringulasi. Tringulasi dalam
pengujian kredibilitas diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber
dengan berbagai cara, dan berbagai waktu.
Tringaluasi data yaitu bertujuan untuk keperluan pengecekan atau
sebagai pembanding terhadap data itu. Data-data dalam penelitian ini
diperoleh oleh peneliti melalui berbagai prosedur, mengingat data-data
tersebut sangat dibutuhkan sebagai rangkaian penopang hasil penelitian. Data-
13
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta,
2007),h. 247 14
Ibid,. h. 270 15
Ibid., h.272
44
data terkait dengan monografi kependudukan diperoleh melalui badan-badan
kemasyarakatn yang resmi seperti kantor kelurahan. Kemudian peneliti
meminta data administrasi kependudukan yang terdapat di wilayah RT 06/10,
yang selanjutnya data-data tersebut diolah oleh peneliti. Sedangkan data-data
yang lebih mendalam terkait kegiatan teater lenong didapatkan dari teater
lenong milik Bapak. Marong. Selain itu, peneliti mengunjungi para tokoh
Betawi dalam rangka kejelasan tentang seni pertunjukan teater yang ada di
wilayah penelitian. Berdasarkan data tersebut selanjutnya peneliti
mengkroscek informasi tersebut dengan mengunjungi para panjak.
Peneliti melakukan triangulasi dengan membandingkan dan mengecek
balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan
alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Pada metode triangulasi dapat
diperoleh dengan cara:
a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil
wawancara
b. Membandingkan apa yang dikatakan narasumber yang satu dan
yang lainnya
45
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data
1. Struktur Sosial Kelurahan Ciater
Kelurahan Ciater merupakan bagian wilayah Kecamatan Serpong
Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten, terletak dibagian timur wilayah
Kecamatan Serpong dan memiliki luas wilayah 426,00 Ha atau 16,64%
dari wilayah kecamatan Serpong lainnya. Batas wilayah kelurahan Ciater
yaitu : Utara : berbatasan dengan kelurahan Rawa Mekar Jaya, Timur :
berbatasan dengan keamatan Ciputat, Barat : berbatasan dengan kelurahan
Rawa Buntu, dan Selatan : berbatasan dengan kelurahan Buaran.
Kelurahan Ciater merupakan wilayah daratan yang memiliki
ketinggian 48 meter di atas permukaan laut (dpl), karena letak geografis
kelurahan Ciater cukup strategis maka sebagian besar wilayahnya
merupakan wilayah permukiman. Ciater secara administrasi terdiri dari 13
RW dan 70 RT dengan jumlah penduduk sebanyak 19.200 Jiwa terhitung
sejak akhir 2012.1
a. Struktur Sosial Penduduk
Dalam melihat struktur sosial kelurahan Ciater penulis melihatnya
dengan memahami kondisi fisik daerah kelurahan Ciater dengan
karakteristik di daerah tersebut. Penjelasan akan struktur sosial kelurahan
Ciater diawali dengan struktur sosial penduduk berdasarkan jenis kelamin,
komposisi menurut tingkat pendidikan, dan jenis pekerjaan.
1 Data kependudukan kelurahan Ciater tahun 2013
46
1) Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan data kantor Kelurahan Ciater, jumlah penduduk
adalah 19.200 jiwa dan jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak 5.492
jiwa dengan jumlah rata-rata kepadatan penduduk 45 jiwa per Km².
Terdiri dari 9.758 orang berjenis kelamin laki-laki dan 9.442 orang
berjenis perempuan.2 Untuk memperoleh gambaran yang lebih
terperinci dan jelas di bawah ini terdapat table yang menggambarkan
kependudukan penduduk Ciater.
Tabel 4.1
Jumlah Penduduk Kelurahan Ciater berdasarkan jenis
kelamin
N
No
Jenis Kelamin Jumlah Satuan
1
1
Laki-laki 9.758 Jiwa
2
2
Perempuan 9.442 Jiwa
TOTAL 19.200 Jiwa
Sumber: Profil kelurahan Ciater
2) Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
Penduduk Ciater saat ini di dominasi oleh para pendatang baik
dari daerah pulau Jawa maupun di luar pulau Jawa, mereka umumnya
datang ke Tangerang karena tertarik dengan harapan hidup yang lebih
baik daripada tempat asalnya. Kawasan yang mereka tuju memang
banyak memberikan banyak kesempatan kerja dan tak jarang mereka
membawa sanak keluarga lainnya dari kampung halaman untuk ikut
tinggal bersama dan bekerja di Ciater. Para buruh pabrik dan calon
2 Data kependudukan kelurahan Ciater tahun 2013
47
buruh pabrik ini sebagian besar tamatan SMP dan SMA. Hal ini yang
menyebabkan penduduk di tempat ini mayoritas berpendidikan
menengah.
Tabel 4.2
Komposisi Penduduk Ciater Menurut Tingkat Pendidikan
N
No
Tingkat Pendidikan
Jumlah
satuan
1
1
Tidak atau belum 1.639 Jiwa
2
2
Belum tamat SD 1.938 Jiwa
3
3
Tamat SD 3.680 Jiwa
4
4
SMP 4. 165 Jiwa
5
5
SMA 5.743 Jiwa
6
6
D III 1080 Jiwa
7
7
D IV / S1 730 Jiwa
8
8
S2 168 Jiwa
9
9
S3 57 Jiwa
Sumber: Profil kelurahan Ciater
Berdasarkan tabel di atas terihat bahwa penduduk Ciater tingkat
pendidikan menengah pertama dan menengah atas sangat mendominasi.
48
3) Jenis Mata Pencaharian Penduduk
Setiap orang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Tingkat pendidikan seseorang seringkali memiliki keterkaitan yang sangat
erat dengan mata pencaharian orang tersebut. Masyarakat Ciater yang
berpendidikan rendah seperti tamatan SD mereka bekerja sebagai kuli
bangunan, tukang sayur, tukang ojek. Sementara lulusan SMP dan SMA
umumnya bekerja di sektor informal sebagai buruh pabrik, makelar tanah
sebagian juga ada yang bekerja seperti berwiraswata dan berdagang.
Spesialisasi pekerjaan sepertinya terjadi karena mereka tidak
mampu bersaing dengan penduduk lain yang memiliki tingkat pendidikan
yang lebih tinggi di bidang akademik dan keterampilan. Untuk
mendapatkan pekerjaan yang layak di sektor forml dengan gaji dan
tunjangan yang mencukupi mereka diwajibkan mampu bersaing dengan
perkembangan zaman dan kebtuhan masyarakat yang semakin kompleks.
Guna memasuki persaingan memperoleh lapangan pekerjaan
mreka dituntut membekali diri dengan tingkat pendidikan dan tentunya
memiliki ijazah pendidikan jenjang perguruan tinggi serta kemampuan dan
keterampilan yang apik di dunia kerja. Karena beberapa pekerjaan mereka
yang bergerak di sektor informal seperti kuli bangunan, tukang sayur dan
tukang ojek tidak memiliki penghasilan yang tetap dan tergolong
berpenghasilan rendah. Penghasilan ini berdampak pada kehidupan
keluarga mereka sehari-hari. Penghasilan mereka yang terbilang rendah
dan tergolong pas-pasan mengakibatkan mereka seringkali mangalami
kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup primer sehari-hari hingga
memenuhi kebutuhan guna pendidikan ataupun urusan sekolah anak-anak
mereka.
Buruh pabrik sendiri masih tergolong beruntung karena memiliki
penghasilan tetap meskipun penghasilan mereka tidak banyak dan hanya
cukup untuk makan dan biaya sekolah. Penduduk lain yang bekerja di
49
sektor formal seperti guru, dokter, karyawan BUMN/BUMD/Swasta, TNI-
POLRI, PNS dapat hidup layak dan memenuhi segala kebutuhan hidupnya
baik primer, sekunder maupun tersier. Untuk memperoleh gambaran yang
lebih jelas, penulis menggambarkan jenis mata pencaharian masyarakat
Ciater dalam tabel berikut ini.
Tabel 4.3
Jenis Mata Pencaharian Masyarakat Ciater
No Jenis Mata Pencaharian Jumlah Satuan
1 Pensiunan 74 Jiwa
2 Pegawai Negeri Sipil (PNS) 112 Jiwa
3 Tentara Nasional Indonesia (TNI) 44 Jiwa
4 Polisi Republik Indonesia (POLRI) 43 Jiwa
5 Pedagang 1.879 Jiwa
6 Petani 17 Jiwa
7 Peternak 9 Jiwa
8 karyawan BUMN/BUMD/Swasta 4.164 Jiwa
9 Buruh 1.499 Jiwa
10 Guru 199 Jiwa
11 Dosen 2 Jiwa
12 Dokter 24 Jiwa
13 Perawat 23 Jiwa
14 Bidan 25 Jiwa
Sumber: Profil kelurahan Ciater
2. Konteks Sejarah Teater Lenong Betawi Marong Group
Pada bab ini penulis akan memaparkan gambaran dan karakteristik
masyarakat dan kondisi fisik lokasi penelitian, yaitu teater lenong Marong
yang berdomisili Kelurahan Ciater Kecamatan Serpong, Tangerang
Selatan. Sebagai gambaran awal penulis menjelaskan sejarah
50
perkembangan teater lenong Marong Group serta posisi teater lenong
dalam masyarakat Betawi di Ciater tersebut. Penulis mengkaji
keistemewaan teater lenong yang memiliki ketertarikan khusus dibanding
kesenian Betawi lainnya di Ciater.
a. Sejarah Perkembangan Teater Lenong Betawi
Sebagai suatu bentuk teater, tentunya teater lenong mempunyai
sejarah perkembangan sendiri hingga pada akhirnya terwujud apa yang
dinamakan teater lenong. Uraian tentang sejarah perkembangan teater
lenong ini lebih ditunjukan untuk mengetahui proses perkembangan teater
tersebut, sampai dikenal bentuk teater lenong seperti yang sekarang ini.
“Lenong merupakan salah satu bentuk teater peran di Betawi yang mulai
berkembang di akhir abad ke- 19”.3
Teater ini merupakan pengaruh dari kebudayaan Cina. Hal ini jelas
terlihat pada musik pengiringnya yaitu gambang kromong. Gambang
kromong merupakan alat musik yang dibawa ke Indonesia dibawa oleh
orang-orang Tiong Hoa yang merantau sampai ke Indonesia secara khusus
menetap di Betawi.
Gambang kromong sendiri sebuah orkes tradisional Betawi yang
merupakan orkes perpaduan antara gamelan, dengan nada
pentatonis bercorak Cina. Orkes ini memang erat hubungannya
dengan masyarakat Cina Betawi. Pada awal perkembangannya
lagu-lagu yang biasa dibawakan dengan iring-iringan gambang
kromong adalah lagu-lagu Cina. Menurut istilah setempat lagu
semacam itu biasa disebut gambang Cina. Gambang Cina itu
berupa lagu-lagu instrumentalia dan lagu-lagu bersyair.4
Di samping untuk mengiri lagu, Gambang kromong biasa
dipergunakan untuk pengiring tarian yakni tari Cokek, tari pertunjukan
kreasi baru dan teater Lenong. Biasanya musik gambang kromong
3 Eni Setiati, Pofil Kota Jakarta Doeloe, Kini, Dan Esok, (Jakarta: PT Lentera Abadi,
2009) h.63 4 Muhadjir,dkk, Peta Seni Budaya Betawi,(Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI Jakarta,
1986), hlm 31
51
digunakan untuk menyambut tamu, demikian juga halnya dengan teater
lenong, dipertunjukan untuk menghibur tamu suatu pesta hajat. Dalam
perkembangannya gambang kromong memperlihatkan berbagai
variasinya. Misalnya ada yang disebut gambang cokek yang dikenal juga
dengan gambang plesir. Jenis musik ini digunakan untuk mengiringi
cokek, yaitu penari wanita yang menari dengan pasangannya yang
merupakan tamu-tamu yang diundang dalam suatu pesta hajat orang Tiong
Hoa.
Bapak Marong sendiri mulai belajar menabuh dari rombongan
gambang plesir ini. Baru kemudian setelah mulai bisa, ia pindah ke
rombongan musik gambang kromong, yang pada gilirannya digunakan
untuk mengiringi pertunjukan teater lenong. Dengan demikian uraian di
atas memperlihatkan bahwa teater lenong memang mempunyai hubungan
erat dengan orang Tiong Hoa.
Gambar 4.1
Alat musik gambang kromong milik Marong group
Menurut cerita Bapak Marong pada masa kecilnya pertunjukan
teater lenong tidak mempunyai batas waktu. Kalau dikehendaki penonton,
52
pertunjukan yang diadakan setelah sembahyang Isya dapat berlangsung
sampai pukul enam pagi atau bahkan lebih siang lagi. Pertunjukan
semacam ini biasanya menggunakan dua macam cerita. Sampai pukul dua
pagi pertunjukan mengemukakan cerita bangsawan, dan kemudian
dilanjutkan dengan cerita preman yang menceritakan kehidupan pada masa
tuan tanah masih bercokol di daerah Betawi.
Tema cerita lenong preman mengenai kesengsaraan rakyat miskin
di pinggiran kota Jakarta, di bawah kekuasaan para tuan tanah yang
ceritanya didasarkan atas kisah nyata kehidupan sehari-hari atau
karangan.5 Kisah nyata didasarkan pada cerita dari para penjahat yang
masih diingat penduduk setempat sedangkan cerita karangan diciptakan
sendiri oleh pemain lenong khususnya, yang ceritanya diperoleh dari buku,
film, atau menonton pertunjukan lenong dari kelompok lain. Terkadang
tema cerita juga di adopsi dari kehidupan sehari-hari dengan
menggambarkan keadaan ekonomi rumah tangga yang semerawut, cinta
segitiga para pemuda-pemudi desa yang bergenre drama. Busana lenong
preman adalah pakaian sehari-hari orang Betawi.
Bahasa yang digunakan adalah bahasa sehari-hari penduduk lokal
di pinggiran kota Jakarta yang dinilai kasar oleh golongan kelas menengah
atas di Jakarta. Teater jenis inilah yang justru digemari oleh banyak
penonton karena di nilai lebih ekspresif dan jalan ceritanya yang terkadang
sulit ditebak dibandingkan dengan cerita-cerita kebangsawanan yang
mengawang di atas jangkauan.
5 Yasmine Zaki Shahab, Identitas dan Otoritas: Rekonstruksi Tradisi Betawi, (Depok:
Laboratorium Anropologi, FISIP UI, 2004), h.28
53
Gambar 4.2
Bang Marong ketika main lenong preman dengan Mak Nori6
Menurut Bapak Marong pada masa kecilnya ia mengenal adanya
dua macam pertunjukan teater lenong yang dibawakan suatu perkumpulan,
Bapak Marong juga bercerita bahwa pada tahun 1950-an teater lenong
dapat dipertunjukan dengan hanya menggunakan enam atau tujuh orang
seniman saja (pertunjukan sekarang dilakukan 25 sampai 30 orang
seniman). Keenam atau ketujuh orang seniman itu bukan anggota tetap
suatu perkumpulan teater lenong. Jika pemilik (yaitu orang yang
mempunyai peralatan teater lenong) ingin mengadakan pertunjukan teater
lenong maka ia mengumpulkan teman-temannya untuk diajak main
bersama. Mereka melakukan tugas serabutan. Selain berperan sebagai
tokoh-tokoh yang digambarkan dalam cerita, mereka juga harus berperan
sebagai tukang angkut, yaitu orang yang mengangkat peralatan ke tempat
pertunjukan, mereka juga harus dapat mengatur pentas dan mereka juga
berperan sebagai tukang tabuh atau pemain musik.
Dalam hal ini seorang seniman teater lenong harus dapat
membawakan peran sebagai dua atau tiga tokoh sekaligus, namun seiring
6 Rajakamar Admin, Lenong, Seni Peran Penerus Gambang Kromong, 2014
(http://content.rajakamar.com/lenong-seni-peran-penerus-gambang-kromong/) Diakses tamuJ, 17
Oktober 2014
54
dengan perkembangan peran-peran ini juga terspesialisasi sesuai dengan
kemampuan para pemain. Pertunjukan teater lenong pada saat itu boleh
dikatakan mempunyai sifat opera, sebab dialog dan monolog yang
digunakan banyak dilakukan dengan bernyanyi. Nyanyian itu juga
digunakan untuk mengungkapakan perasaan sedih, gembira, dan
menyatakan suatu maksud. Misalnya maksud untuk melakukan perjalanan
atau maksud untuk melamar seorang wanita. Pementasan teater lenong
juga dapat digunakan sebagai tempat pertemuan para pendekar silat,
karena pendekar silat juga banyak yang merangkap sebagai seniman teater
lenong.
Seniman teater lenong memperoleh uang dari hasil pertunjukan
yang dilakukannya, baik itu merupakan pertunjukan yang diselenggarakan
karena suatu pesta hajat maupun pertunjukan yang dilakukan dengan cara
ngamen. Pada tahun 1960-an pementasan lenong yang diselenggrakan
pada suatu hajat seharga Rp. 500,00. Dan pemain mendapat bagian sebesar
Rp.75,00. Sekarang lenong setiap pementasan di suatu pesta hajat paling
kecil yaitu Rp. 30.000.000,00 dan pemain mendapat Rp. 200.000, - Rp.
300.000,00.
Jenis pertunjukan yang dilakukan dengan cara ngamne tidak
berhubungan dengan suatu hajat apapun, tetapi semata-mata dilakukan
untuk memperoleh uang. Dengan ngamen, biasanya terisi dengan sawer,
yaitu hadiah-hadiah yang diberikan penonton kepada seniman karena ia
puas dengan pertunjukan yang dapat mengunggah perasaannya atau karena
penonton secara pribadi menyenangi seniman yang dipujanya.
Dalam pertunjukan lenong tidak ada batas yang jelas antara
pemain dan penonton. Para penonton dapat duduk di pinggir tempat
pertunjukan, sedangkan para pemain dapat berlari dan saling mengejar di
antara para penonton. Sering ada pertunjukan dengan adegan seorang
dikejar dan berlari di antara para penonton. Keakraban dengan penonton
55
sangat menonjol. Penonton dapat turut ambil bagian dalam dialog.
Kadang-kadang penonton ikut terlibat secara emosi dan ikut memukul
pemain yang membawa peran orang jahat. Untuk itu pimpinan lenong
sering harus merubah jalan cerita ketika pemain peran jahat harus kalah,
padahal tidak terdapat dalam rencana cerita. Hal ini terpaksa dilakukan
untuk menghindari keributan dengan para penonton.
Menurut tradisi, ada upacara sebelum permainan teater lenong
dimulai, yaitu upacara yang dinamakan ungkup yang ditunjukan untuk roh
halus penjaga alat musik supaya pertunjukan berjalan lancar.
Sebelum mulai main, saya melakukan tradisi yang selalu dilakuin
kalau ngelenong yaitu ngungkup atau ungkup. Kita percaya kalau
alat-alat ngelenong kita ada roh yang nempatin tuh alat. Saya
nyajiin sesajen yang terdiri dari tujuh makanan dan minuman,
rokok, telur serta nyalahin kemenyan, baca doa, nyiprat bunga dan
air pada alat-alat permainan tujuannya agar pertunjukan berjalan
dengan selamat.7
Teater tradisional ini berjalan sampai tahun 1960-an8 yang cukup
subur di daerah perbatasan kota Jakarta seperti Tangerang. Sesudah
beberapa waktu teater lenong mulai menghilang di perbatasan kota
Jakarta. Teater lenong nyaris punah dari Tangerang perkumpulan demi
perkumpulan lenong yang pernah ada gulung tikar. Semakin
meningkatnya urbanisasi di Tangerang menyebabkan semakin
berkurangnya area terbuka di Tangerang sehingga seiring dengan ini teater
lenong secara perlahan-lahan juga mulai menghilang.
Panggilan untuk mentas di pesta-pesta semakin jarang. Si Pitung
yang perkasa, Nyai Dasima yang malang, untuk sementara istirahat dalam
ruangan lain dari imaji para aktor dan aktris lenong yang pernah
memainkannya. Cerita Si Pitung dan para jagoan Betawi lainnya juga
tragedi Nyai Dasima, adalah kisah-kisah Betawi yang cukup lama
7 Wawancara dengan Bapak Marong tanggal 19 September 2014
8 Dina Nawangningrum (ed.), Ragam Seni Budaya Betawi, (Jakarta: Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya,2012), h. 91
56
mengoperasikan narasi Betawi sebagai kebudayaan. Hingga, membiarkan
kisah-kisah itu raib boleh jadi sama dengan menutup mata atas
memudarnya nilai-nilai Betawi. Di samping itu, masuknya hiburan
modern, seperti film dan radio yang biaya pertunjukannya lebih murah
daripada lenong, menyebabkan orang cenderung meninggalkan teater
lenong sebagai kesenian hiburan.
Umumnya orang di daerah ini lebih memilih menyewa video untuk
menghibur tamu-tamunya dalam pesta keluarga seperti khitanan dan
perkawinan. Latar belakang dimunculkannya kembali lenong adalah ide
Gubernur DKI Jakarta pada waktu itu untuk menggalakkan Betawi di
Jakarta. Akhirnya pada tahun 1970 para pembesar Taman Ismail Marzuki
(TIM) seperti Sumantri Sastrosuwondi, Daduk Jayakusumah, Ardan dan
Ali Shahab, mengangkat lenong ke tempat terhormat.9 Hal ini berpengaruh
juga pada kota Tangerang, teater lenong Betawi di Ciater sangat
merasakan pengaruh tersebut, mereka mulai kebanjiran order untuk tampil
di acara-acara penting seperti khitanan, pernikahan, dan dalam pertunjukan
seni-seni lainnya.
b. Sejarah Terbentuknya Lenong Marong Group
Kecintaan terhadap kesenian Betawi telah mengiringi Bapak
Marong untuk menjadi seoarang pemain lenong. Di awal karirnya dia
menjadi salah satu pemain lenong di perkumpulan teater lenong Gaya
Baru pimpinan Almarhum Bapak Sarkim. Perkumpulan teater lenong
Gaya Baru merupakan salah satu perkumpulan yang memiliki banyak
penggemar. Banyak para pelawak yang memulai karirnya di Gaya Baru
ini, contohnya yaitu Almarhum Bokir, H. Mandra, H. Bolot dan tentunya
Marong.
9 Yasmine Zaki Shahab, Identitas dan Otoritas: Rekonstruksi Tradisi Betawi, (Depok:
Laboratorium Anropologi, FISIP UI, 2004), h. 40
57
Ketika Bapak Sarkim meninggal akhirnya perkumpulan teater
lenong Gaya Baru dipimpin oleh anaknya dan itu membuat perkumpulan
lenong Gaya Baru ini menjadi hilang pamor. Panggilan untuk manggung
mengurang sehingga membuat beberapa pemain membuat perkumpulan
lenong sendiri. Salah satunya yaitu Bapak Marong.
Kecintaan terhadap kesenian Betawi memang tak cukup baginya
jika hanya menjadi pemain lenong di perkumpulan milik orang. Beliaupun
akhirnya memutuskan untuk membentuk perkumpulan lenong pada tahun
2004 yang ia namakan Marong group. Berdirinya perkumpulan lenong
tesebut didasari oleh pemikiran untuk melestarikan budaya Betawi. “Kalau
bukan kita, siapa lagi?” itulah jawaban dari Bapak Marong ketika penulis
bertanya apa alasan beliau mendirikan perkumpulan lenong tersebut.
Marong sudah cukup mempunyai nama di masyarakat Betawi
khususnya di Tangerang Selatan. Banyak penggemar yang menunggu
kehadirannya di setiap kali ada lenong tampil. Lelaki yang memiliki
jargon “Marong namanya, baru keluar dari sarangnya” ini tentu tidak
kesulitan baginya untuk membuat perkumpulan lenongnya menjadi
terkenal.
Marong yang berawal hanya menjadi bintang tamu di perkumpulan
lenong milik orang kini mampu memberikan sumber rezeki untuk para
anggotanya. Marong group kurang lebih memiliki 30 anggota yang terdiri
dari panjak dan pemain musik.
Selain membentuk perkumpulan lenong, Marong mendirikan
sanggar kesenian yang baru terbentuk tahun 2014. Sanggar ini dibentuk
oleh Bapak Marong dengan tujuan untuk mencari penerus kesenian
Betawi. Berikut adalah jawaban dari Bapak Marong ketika penulis
menanyakan tujuan mendirikan sanggar kesenian Betawi:
“Tujuan saya ya buat nyari penerus Neng, Kesenian Betawi gak
akan punah kalau ada penerusnya, lenong sampai sekarang masih
58
ada ya itu karna ada penerusnya. Cukuplah ubrug, jinong, jipeng
dan yang lainnya punah karna tidak ada penerusnya. Jangan
sampai ada lagi kesenian Betawi yang punah. Kasian cucu
Eneng, nanti tau kesenian Betawi cuma dari cerita aja”.10
c. Posisi Teater Lenong Betawi dalam Masyarakat Betawi
Setempat
“Keberadaan kesenian Betawi yang merupakan kesenian tuan
rumah di DKI Jakarta, mempunyai berbagai keanekaragaman, karena
paling tidak terdapat 72 jenis, kesenian Betawi dari seluruh disiplin seni
termasuk ragam hias yang pernah dan masih berkembang di DKI
Jakarta”.11
Keanekaragaman kesenian Betawi yang sering tampil di
masyarakat wilayah Ciater Tangerang Selatan adalah lenong, tanjidor,
samrah, ubrug, jipeng, jinong, wayang (Sumedar, Senggol dan Si
Ronda).12
Seni pertunjukan inilah yang sering dinikmati masyarakat
Ciater, Tangerang Selatan Keempat kesenian terakhir yang disebutkan di
atas telah dinyatakan hilang oleh Dinas Kebudayaan DKI Jakarta (2002).13
Penulis akan menjelaskan keempat kesenian-kesenian yang hilang guna
memberikan gambaran dan mengingatkan kembali bentuk dari kesenian-
kesenian yang pernah menjadi tontonan masyarakat Ciater khususnya.
Pertama, kesenian ubrug kesenian ini sudah dikenal rakyat Betawi
pada awal abad ke-20 dengan masa keemasan tahun 1930-an. Ubrug
berasal dari daerah Banten Selatan. Untuk membedakan dengan ubrug
lain, di Betawi menjadi ubrug Betawi. Ubrug adalah teater rakyat yang
melakukan pentas di tanah lapang. Ubrug berpentas ngamen keliling
kampung. Dahulu ubrug menjadi suguhan tontonan yang popular. Jika
masyarakat mendengar tabuhan musik ubrug, mereka segera keluar rumah
10
Hasil Wawancara dengan Bapak Marong, Jumat, 19 September 20 14 11
Budiaman, Folklore Betawi, (Jakarta: Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, 2000),
hlm. 18 12
Hasil Wawancara dengan Bapak Marong, Jumat, 19 September 20 14 13
Ridwan Saidi, Maman S. Mahayana, Yahya Andi Saputra, Rizal SS, Ragam Budaya
Betawi Pendidikan Mulok Untuk Kelas 6 SD, (Jakarta: Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta,
2002), Hlm. 26
59
memastikan di tanah lapang mana ubrug akan melakukan pertunjukan.
Ubrug mengumpulkan penonton dengan cara berkeliling kampung
mencari tempat pentas.
Sepanjang perjalanan keliling, musik ubrug (terompet, rebana
biang, gendang dan lanter) tidak henti dimainkan. Suara musik pengiring
ubrug itu akan menarik perhatian masyarakat untuk datang menonton.
Pementasan ubrug tidak lain dari menunjukan sulap yang dilengkapi peran
pendek penuh banyolan (lawakan). Gerak sulap didasarkan pada keahlian
tangan dan ilmu gaib. Sulap yang didasarkan ilmu gaib di sebut sulap
gedebus. ubrug tidak mementingkan alur cerita yang terpenting banyolan-
banyolannya yang tetap menghibur. Walaupun begitu kritik sosial dan
sindiran tetap diselipkan di antara banyolan itu. ubrug kini sudah punah,
tidak ada tokoh yang mencoba menghidupkan kembali.
Kedua jipeng, ada seniman kreatif yang mencoba menggabungkan
dua jenis kesenian menjadi satu. Sebagai contoh kesenian yang disebut
Jipeng. Jipeng adalah singkatan dari kata tanji dan topeng. Sebagai
kesenian perpaduan, tata cara pertunjukan Jipeng tidak berbeda dengan
tata cara pertunjukan topeng. Perbedaanya terletak pada awal pertunjukan
dan kostum.
Kostum yang digunakan pemain Jipeng lebih sederhana. Untuk
penarinya, Jipeng cukup memakai kebaya, kain panjang dan selendang
panjang yang diikatkan ke pinggang. Topeng diawali dengan lagu arang-
arangan atau enjot-enjotan. Jipeng diawali dengan lagu-lagu khas tanjidor.
Lagu-lagu Jipeng antara lain Kramton, Bataliyon, dan Was Katak. Tema
dan cerita yang dibawakan Jipeng tidak banyak berbeda dengan topeng.
Cerita berkisar pada kebaikan dan kebenaran pasti mengalahkan kejahatan,
dalam pertunjukan Jipeng sering ditampilkan tokoh-tokoh ksatria, yang
melawan kewenang-wenangan penjajah atau tuan tanah, cerita-cerita
legenda seperti Raja Majapahit, Prabu Siliwangi.
60
Ketiga, jinong proses terbentuknya kesenian jinong sama dengan
jipeng. Jinong singkatan dari kata tanji dan lenong. Pertunjukan lenong
preman dengan iringan musik tanjidor disebut jinong. Jinong, pada
masanya berdiri sendiri sebagai teater rakyat. Sama seperti lenong, jinong
sering digunakakn untuk memeriahkan hajatan, peran yang ditampilkan
dalam pertunjukan seperti Si Jampang, Si Pitung, Si Angkri Jago Pasar
Ikan. Biasanya jinong sudah mulai memainkan musiknya pada jam 9 pagi
sampai menjelang magrib. Musik ini berfungsi sebagai pemberitahuan aka
nada pertunjukan jinong. Pertunjukan jinong dibagi menjadi tiga tahap.
Tahap pertama penyajian musik dan nyanyian, tahap kedua penyajian
musik dan tarian, tahap ketiga penyajian peran.
Keempat, wayang (sumedar, senggol, si ronda) penggunaan kata
wayang dalam wayang sumedar, wayang senggol dan wayang si ronda,
tidak mengacu pada arti yang sebenarnya. Wayang disini berarti sama
dengan teater rakyat. Ketiga wayang yang disebutkan terdahulu
sebenarnya bentuk lain dari lenong, hanya saja wayang sumedar dan
wayang senggol ini cenderung seperti lenong denes sedangkan si ronda
menyerupai lenong preman.
Wayang sumedar pernah popular sebelum perang dunia ke-2.
Wayang sumedar biasanya membawakan peran komedi bangsawan. Peran
yang sering dibawakan antara lain: Jula Juli Bintang Tujuh, Saiful Muluk
dan Indra Bangsawan. Wayang senggol pada tahun 1930-an pernah
menjadi tontonan yang sangat dinanti-nantikan. Wayang senggol mirip
dengan lenong denes terlihat dari cerita dan teknik perkelahian.
Wayang senggol membawakan cerita-cerita panji, seperti:
Candakirana dan Jaka Sembung. Gerak dan perkelahian dalam wayang
senggol lebih memperlihatkan gerak tari, tentu kontak badan terjadi
dengan senggol-senggolan. Adegan action dilakukan dengan senggol-
enggolan maka orang lebih mengenal dengan wayang senggol. Wayang
61
ronda lebih menyerupai lenong preman. Perbedaan paling menonjol
terletak pada tempat pertunjukan.
Wayang si ronda melakukan pertunjukan di atas tanah. Sedangkan
lenong mengadakan pertunjukan di atas panggung. Dalam pertunjukan
wayang si ronda menampilakn peran sehari-hari seperti peran jagoan, yang
dilengkapi dengan humor dan nyanyian. Keempat kesenian yang telah
disebutkan di atas kini sudah tiada hanya sejarah yang mampu
mengenangnya karena tidak ada generasi yang mengembangkan. Teater
rakyat betawi mempunyai kegunaan sebagai alat hiburan dan pendidikan.
Teater itu dapat hilang jika masyarakatnya sudah tidak membutuhkannya
lagi. Berbeda dengan teater lenong meskipun sulit upaya untuk
menggiatkannya kembali, namun para pecinta lenong di Ciater masih
memiliki semangat untuk membangkitkan kembali teater lenong yang
dahulunya sempat merajai panggung hiburan rakyat di wilayah Tangerang.
Lenong yang sebagai teater rakyat Betawi bagi pendukungnya
berfungsi antara lain sebagai media kritik sosial atau alat untuk
menyampaikan protes terhadap ketidakadilan yang terjadi di masyarakat.
Sebagai alat untuk memberi teguran kepada anggota masyarakat yang
menyeleweng dari norma-norma yang berlaku di masyarakat, di samping
sebagai sarana hiburan. Teater lenong juga sebagai sarana untuk
melepaskan diri sementara dari kenyataan hidup yang penuh ketegangan
dan membosankan, ke dunia khayalan yang menyenangkan.
Lenong juga hampir mengalami masa kepunahan tetapi kemudian
dimuncukan kembali. Latar belakang di munculkannya lenong kembali
setelah mengalami masa-masa sulit pada tahun 1960-an adalah ide
Gubernur DKI Jakarta pada waktu itu (Ali Sadikin) untuk menggalakan
Betawi di Jakarta. Sekurang-kurangnya ada tiga alasan yang
menyebabakan diberikan prioritas pada lenong dalam rangka menggalakan
Betawi dalam proyek yang dinamakan: Penggalian dan Pelestarian
62
Kesenian Betawi. Pertama, lenong adalah salah satu kesenian Betawi yang
tersebar luas di seluruh wilayah Jabotabek. Kedua, Lenong cukup popular
di antara orang Betawi dibandingkan dengan kesenian Betawi lainnya di
Jakarta. Ketiga, Soemantri, salah seorang promotor dalam menghidupkan
kembali lenong di Jakarta telah memberikan perhatian yang amat besar
pada lenong sejak tahun 1960-an.14
Ia adalah salah satu seorang bukan Betawi yang amat prihatin akan
kematian lenong dibawah pengaruh kebudayaan yang melanda negeri ini.
Oleh karena itu, ia memulai usaha kerjanya dalam rangka menyelamatkan
lenong dengan menggunakan dana dari uangnya sendiri, dengan
melakukan penelitian dari satu kampong ke kampong lainnya di seluruh
Jabotabek. Dengan empat bulan ia berhasil mengumpulkan sejumlah besar
data mengenai teater lenong. Dari data yang diperoleh menunjukan bahwa
lenong mempunyai kompetensi komunikasi yang sangat besar bukan
hanya dengan orang Betawi tetapi juga dengan non Betawi. Sayangnya,
ambisinya terhalang oleh masalah keuangan. Tetapi, akhirnya keinginan
bertemu dengan kebijaksanaan pemerintah pada akhir tahun 1967,
bersama Dinas Kebudayaan, Soemantri memulai proyeknya dalam
menangani penyelamatan teater rakyat Betawi ini.
Soemantri menuangkan ide-idenya ini ke dalam proposal dan tim
penelitian lenong segera dibentuk dengan tenaga intinya adalah Soemantri
dan Djajakususma, dan dua orang Betawi S.M. Ardan dan Ali Shahan.
Keduanya berasal dari Kwitang, salah satu daerah Betawi Tengah (Jakarta
Kota). S.M Ardan adalah seorang penulis yang tinggal di daerah
Rawabelong, daerah Betawi udik. Tim inilah yang kemudian berhasil
mengangkat lenong ke tempat terhormat dan dipentaskan di Taman Ismail
Marzuki (TIM) dan berimplikasi terhadap komunitas-komunitas Betawi di
daerah pinggiran Jakarta dan juga daerah perbatasan Jakarta.
14
H. Widjaya (Peny) Seni Budaya Betawi, Pralokakarya, Penggalian, Dan
Pengembangan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1976), Hlm. 41
63
d. Organisasi Teater Lenong Marong Group
1) Pimpinan
Dalam struktur organisasi perkumpulan teater lenong dikenal
adanya pimpinan tertinggi yang bertindak pula sebagai ketua umum, di
samping pemimpin-pemimpin lainnya seperti pimpinan panggung atau
sutradara. Pimpinan perkumpulan teater lenong bertanggung jawab
terhadap perkumpulan dan anggota-anggotanya, baik pada waktu sedang
diadakan pertunjukan maupun bila sedang tidak ada pertunjukan.
Sedapat mungkin pimpinan juga diharapkan untuk membantu
kesejahteraan anggota keluarganya, misalnya memberikan hadiah-hadiah
pada hari raya Idul Fitri yang biasa disebut Tunjangan Hari Raya atau
menolong dalam hal meringankan biaya anggota keluarganya yang sakit
atau terkena musibah. Sebenarnya ada beberapa syarat yang tidak tertulis
agar seseorang dapat menjadi pimpinan pada perkumpulan teater lenong.
Pertama, sebaiknya seorang pemimpin teater lenong mempunyai
warisan memimpin, yaitu bakat memimpin yang biasanya diperoleh
karena ia adalah keturunan pemimpin suatu kesenian tradisional (Betawi),
khususnya perkumpulan teater lenong. Kedua, seorang peimimpin juga
harus jujur terhadap para anggota perkumpulan yang dipimpinnya,
terutama dalam hal keuangan. Hal ini disebabkan keuangan perkumpulan
dipegang oleh pimpinan perkumpulan. Meskipun demikian, seorang
pemimpin tidak boleh mengambil bagian terlalu besar bagi dirinya, tetapi
juga jangan mengambil terlalu kecil.
Bagian yang terlalu besar akan menurunkan wibawa karena
menimbulkan kesan serakah dan jatah kecil juga akan menurunkan
wibawa karena jatah kecil menunjukan bahwa pimpinan lebih kecil
daripada anggota yang dipimpinnya. Tidak adanya rumus yang
menetapkan berapa persen jatah yang sebaiknya diambil oleh seorang
pimpinan teater lenong, justru memperlihatkan sifat kepemimpinannya.
64
Ketiga, seorang pemimpin perkumpulan teater lenong juga harus
mempunyai tanggung jawab terhadap seni. Misalnya, seorang pemimpin
perkumpulan yang baik tidak akan menolak permintaan kalau diminta
untuk mengadakan pertunjukan di sebuah panti asuhan yang ingin
menghibur anak-anak asuhannya. Mengadakan pertunjukan di panti
asuhan memang tidak membawa keuntungan, tetapi pemimpin yang
bertanggung jawab tidak akan menolaknya.
Syarat-syarat tersebut di atas apabila dipenuhi dapat membuat
seseorang menjadi pemimpin perkumpulan teater lenong yang baik.
Setelah diteliti, ternyata Bapak Marong dapat dikatakan pemimpin
perkumpulan lenong yang baik. Pernyataan ini diperkuat oleh para anggota
yang diwawancarai oleh penulis yang menanyakan bagaimana sosok
Bapak Marong yang mereka biasa panggil Ayah Marong.
“Ayah Marong merupakan sosok pemimpin yang bisa kita pegang,
bisa di teladani lah istilahnya. Kalo ada anggotanya yang salah
pasti dinasehatinnya gak di depan orang banyak. Masalah
keuangan dia mah terbuka, gak ada yang ditutup-tutupin. Ayah
marong juga sosok yang tegas nah makanya anggotanya pada
disiplin”.15
2) Keanggotaan
Semua seniman yang aktif dalam pertunjukan teater lenong adalah
anggota dari suatu perkumpulan teater lenong. Pada masa lalu pemain
lenong biasa disebut dengan panjak. Panjak adalah istilah yang digunakan
untuk menyebut orang-orang yang aktif dalam kegiatan seni. Dengan
demikian, orang mengenal misalnya panjak topeng, panjak tanji, dan
panjak teater lenong.
Ada dua bentuk panjak dalam perkumpulan teater lenong, yaitu
seniman yang menjadi anggota tetap perkumpulan dan seniman yang
menjadi anggota tidak tetap. Baik panjak yang menjadi anggota tetap
15
Hasil wawancara dengan salah satu aggota pemain lenong Marong yaitu Bapak
Ongkih. Kamis, 13 November 2014
65
maupun yang tidak menjadi anggota tetap, keduanya dapat bekerja sama
untuk menyelenggarakan suatu pertunujukan. Suatu perkumpulan teater
lenong mempunyai anggota tetap yang tidak dapat ditentukan tetapi
biasanya 25 sampai 40 orang. Perkumpulan teater lenong Marong
mempunyai anggota tetap sebanyak 35 orang.
Anggota tetap perkumpulan teater lenong adalah mereka yang
mengutamakan kegiatan dimana ia menjadi anggota tetapnya. Seorang
anggota tetap dilarang turut aktif untuk mengadakan pertunjukan pada
perkumpulan lain apabila perkumpulan di mana ia menjadi anggota
tetapnya sedang mengadakan pertunjukan. Anggota tidak tetap biasanya
disebut sebagai panjak bonan, karena mereka akan mengadakan
pertunjukan setelah di-bon yaitu ikut main dalam suatu perkumpulan
karena pesanan atau diajak teman-teman.
Panjak teater lenong yang sudah memiliki nama sering di-bon oleh
perkumpulan lenong, baik itu atas permintaan pemilik hajat yang ingin
pesta hajatnya kelihatan lebih semarak dengan tampilan tokoh-tokoh teater
lenong itu, maupun atas permintaan ketua perkumpulan yang ingin
perkumpulannya mendapat nama tampilnya tokoh-tokoh tersebut. Panjak
bonan, biasanya menerima upah yang lebih banyak dari pada panjak tetap.
Hak yang diperoleh kedua jenis panjak tersebut di atas, berbeda-
beda. Seorang panjak anggota tetap akan mendapat bantuan moril dan
materil dari ketua atau teman-teman sekumpulannya. Kemudahan seperti
itu tidak akan diterima oleh panjak yang aktif sewaktu-waktu saja.
Anggota tetap juga wajib menjaga kelangsungan hidup perkumpulannya
antara lain dengan mengikutsertakan suara mereka di dalam rapat anggota
yang diadakan sekali waktu, dan ketentuan ini tidak berlaku bagi mereka
yang tidak menjadi anggota tetap.
Ada dua alasan pokok yang menyebabkan seseorang terikat untuk
menjadi anggota tetap suatu perkumpulan teater lenong, yaitu kebutuhan
66
ekonomi dan kekerabatan. Dengan menjadi anggota tetap, seorang panjak
teater akan lebih mudah memperoleh pinjaman uang yang sewaktu-waktu
diperlukannya, karena hutang dapat dibayar dengan memotong upah yang
diterima karena ia aktif mengadakan pertunjukan.
Selain itu, menjadi anggota tetap suatu perkumpulan tetaer lenong
sering juga disebabkan pimpinan perkumpulan masih kerabatnya; orang
tua, suami, istri, paman, keponakan, dan sebagainya. Seperti halnya Rudi
salah satu anggota tetap perkumpulan Teater lenong Marong yang
merupakan keponakan dari Bapak Marong.
Walau menjadi anggota tetap, Bapak Marong membebaskan
anggotanya untuk mengikuti perkumpulan lenong lain namun harus
mengutamakan perkumpulan lenong Marong. Oleh karena itu, Beberapa
dari mereka ada yang menjadi pemain di perkumpulan lenong lain dan ada
juga yang bekerja di luar lingkup kesenian Betawi. Berikut daftar anggota
perkumpulan lenong Marong dan mata pencarian para anggota selain main
lenong di Marong Group.
Tabel 4.4
Daftar anggota perkumpulan teater lenong Marong Group
No. Nama Umur Jabatan
dalam
Perkumpulan
Jabatan
dalam
kesenian
Mata pencarian
diluar main lenong
1. Marong 56 th Pimpinan Pemain/ bodor
utama
Siaran di radio
pribumi
2. Ustadz Ita 60 th Penasehat Pemain/sutradara Ceramah
3. Ishak 60 th Pelindung Pemain -
67
4. Diki 42 th Penanggung
Jawab
Pemain Polisi
5. Madi 52 th Anggota Pemain/bodor
utama
Main lenong di
perkumpulan lain
6. Robert 58 th Anggota Pemain/bodor -
7. Katong 53 th Anggota Pemain/bodor Main lenong di
perkumpulan lain
8. Adnani 53 th Anggota Juru Gambang Tukang service
9. Agus 42 th Anggota Juru Gendang Main musik di
dangdut
10. Dono 49 th Anggota Juru Kecrek Kuli bangunan
11. Mursan 39 th Anggota Juru kemong -
12. Aca 48 th Anggota Juru tehyan Petani
14. Marup 43 th Anggota Juru gong Petani
15. Tata 40 th Anggota Pemain Pelatih silat
16. Ongkih 37 th Anggota MC/Pemain MC dangdut/main
lenong di
perkumpulan lain/
Siaran di radio
pribumi
17. Pingku 49 th Anggota Pemain Calo
18. Bule 36 th Anggota Pemain Tukang ojek
19. RT Ateng 53 th Anggota Pemain -
20. Ihak 44 th Anggota Pemain main lenong di
perkumpulan lain
21. Rudi 37 th Anggota Pemain Satpam, main
lenong di
perkumpulan lain
22. Maceng 49 th Anggota Pemain Palang pintu/ main
lenong di
68
3) Keuangan
Seperti telah disebutkan sebelumnya, ketua perkumpulan teater
lenong adalah juga pemilik perabot teater lenong. Perabot teater lenong
yang merupakan modal suatu perkumpulan teater lenong, dapat diperoleh
dengan berbagai cara. Perabotan dapat diperoleh baik dengan cara dibeli
maupun dengan cara diwariskan dari generasi terdahulu, perabotan yang
dimiliki oleh Marong Group diperoleh dengan cara dibeli. Pembelian
perabot teater lenong diharapkan oleh Marong dapat mendatangkan
penghasilan bagi perkumpulan yang didirikan, dan dalam kenyataannya
memang keuangan perkumpulan teater lenong diperoleh dari hasil
pertunjukan.
Perkumpulan teater lenong Marong tidak memiliki harga pasti
untuk suatu pertunjukan yang diselenggarakan. Karena harga yang
ditetapkan juga dipengaruhi oleh hubungan antara pihak penyelenggara
hajat dengan pimpinan perkumpulan dan tempat pertunjukan itu
dilakukan. Misalnya, jika pihak penyelenggara hajat masih kerabat atau
kenalan pemilik perabot teater lenong Marong, maka harga akan lebih
perkumpulan lain
23. Ade 24 th Anggota Pemain/Penyanyi Wiraswasta
24. Yani 35 th Anggota Pemain/Penyanyi Wiraswasta
25. Heni 28 th Anggota Penyanyi Penyanyi dangdut
26. Anday 27 th Anggota Penyanyi Penyanyi dangdut
27. Dini 18 th Anggota Penyanyi Sekolah
28. Ayu 22 th Anggota Pemain/Penyanyi Karyawan
29. Tania 17 th Anggota Penyanyi Sekolah
31. Een 40 th Anggota Penyanyi Wiraswasta
32. Wanda 42 th Anggota Pemain Tukang service
33. Ati 40 th Anggota Pemain Wiraswasta
69
murah dibandingkan bila si pihak penyelenggara hajat tidak mempunyai
hubungan sosial dengan pemimpin teater lenong Marong.
Pertimbangan harga yang telah disebutkan itu masih dipengaruhi
oleh tempat pertunjukan. Jika pertunjukan diadakan di wilayah Ciater dan
sekitarnya, harga pertunjukan menjadi lebih murah bila dibandingkan
dengan petunjukan yang diselenggarkan di luar daereah Ciater dan
sekitarnya. Untuk penyelenggara hajat yang tidak mempunyai hubungan
sosial dengan pimpinan teater lenong dan tempat pertunjukan bukan di
wilayah Ciater maka dikenakan tarif Rp. 30.000.000,00.
Dari tarif pertunjukan yang telah disepakati, biasanya perkumpulan
teater lenong Marong tidak menerima seluruh jumlah uang yang telah
disepakati itu, karena uang yang diterima masih harus diberikan pada
perantara yang menghubungkan perkumpulan teater lenong dengan orang
yang mempunyai hajat. Para perantara disebut calo biasanya paling sedikit
mendapat dua setengah persen dari harga jadi. Hal tersebut merupakan
salah satu faktor suatu perkumpulan lenong dapat mengalami kerugian
kerugian.
Selain itu, kerugian dapat dialami karena pertunjukan dilakukan di
wilayah sendiri, atau karena penyelenggara hajat adalah kenalan atau
kerabat. Perkumpulan teater lenong Marong ini pun tidak mempunyai
organisasi yang baik, tidak ada administrasi pembukuan sama sekali,
panjak yang mengadakan pertunjukan kebanyakan bukan anggota tetap,
sehingga tidak dapat diperhitungkan lebih dahulu berapa kira-kira biaya
yang akan dikeluarkan untuk memberi upah panjak. Selain itu, cara
membayar pajak yang diterapkan oleh perkumpulan ini, juga memegang
andil yang cukup besar bagi kerugian yang dialami perkumpulan.
70
B. Pembahasan Hasil Penelitian
1. Peran Teater Lenong Marong Sebagai Arena
Pembentukan Identitas Kultural Masyarakat Betawi
a. Pembentukan Identitas Kultural Betawi
Hal yang ingin ditegaskan di dalam penelitian ini adalah
selama ini masyarakat Betawi pada umumnya mengalami krisis
identitas Betawi sehingga memerlukan penegasan kembali tentang
identitasnya. Termasuk masyarakat Betawi yang ada di lingkungan
masyarakat Tangerang, khususnya Ciater.
Selama ini masyarakat Betawi yang ada di lingkungan Ciater
hampir melupakan identitas sebagai masyarakat Betawi yang
berbudaya. Tingginya tingkat migrasi dari berbagai latar belakang
etnis menyebabkan munculnya krisis identitas etnis. Disaat proses
migrasi inilah turut menyurutkan tradisi dan kesenian tradisional
masyarakat Betawi. Dengan adanya fenomena tersebut pemuda Betawi
tidak tinggal diam, mereka berusaha untuk mempertegas identitas
Betawi agar budaya Betawi terus terjaga. Perkumpulan teater lenong
Marong Group salah satu perkumpulan yang berupaya untuk
pembentukan identitas Betawi.
Menurut Bapak Marong selaku pimpinan teater lenong Marong
Group, peran teater lenongnya dalam membentuk identitas Betawi
yaitu dengan cara menampilkan bahwa orang Betawi adalah orang
yang cinta Islam. Tujuan bapak Marong menampilkan unsur Islam di
pementasannya yaitu untuk anak-anak yang tidak diajarkan oleh
orangtuanya tentang Islam. Kedua yaitu dengan menggunakan bahasa
Betawi. Para pemain lenong Marong Group diwajibkan menggunakan
bahasa Betawi saat berbicara di panggung. Selain dengan menjunjung
tinggi agama Islam dan bahasa Betawi, lenong Marong juga
71
menampilkan beberapa gerakan silat. Bahkan hampir seluruh pemain
teater lenong Marong Group menguasai jurus-jurus silat Betawi.
“Paling utama ya nunjukin kalo Betawi itu orang Islam, di dalam
cerita dimasukin unsur-unsur Islam. Tujuannya sih ya buat
bocah-bocah yang dirumahnya orangtuanya kaga peduli,
banyak bener sekarang yang kaya begitu. Orangtuanya sibuk
nyari duit anak kaga diperhatiin. Makanya sekarang jarang
bener bocah kalo abis magrib pada ngaji di mushola. Nah
selain buat bocah juga ya buat pemuda Betawi yang sekarang
mulai pada demen minum-minum yang kaga bener, dicerita
kita nampilin kalo Islam itu kaga ngebolehin minum begituan
terus dampaknya gimana juga ada di cerita. Selaen dengan
nunjukin kalo Betawi itu cinta Islam, lenong Marong juga
nunjukinnya dengan bahasa, kita nunjukin bahasa Betawi itu
kaya gimana. Nah lenong saya ini juga mamerin ke penonton
yang bukan orang Betawi kalo orang Betawi ntuh pade jago
silat. Sambil silat sambil nunjukin golok dah”.16
Menurut Bapak Ita atau yang biasa dipanggil Ustadz Ita peran
teater lenong Marong Group dalam pembentukan identitas Betawi ini
dengan cara para pemain menggunakan pakaian khas Betawi. Selain
itu, menurutnya di dalam teater lenong Marong sangat menjunjung
agama Islam. Beliau juga menjelaskan bahwa selain menampilkan
lawakan, lenong Marong Group juga menampilkan tarian Betawi dan
lagu-lagu Betawi. Semua upaya tersebut dirasa cukup mampu untuk
pembentukan identitas Betawi.
Banyak ya sebenernya, misalnya kaya pemaen make baju khas
Betawi. Selain itu, di dalem teater lenong Marong juga sangat
menjunjung agama Islam. kalo giliran yang cerita-cerita Islam,
saya dah yang keluar. Bisa dikata mah ceramah sambil
ngelawak gitu. Disini tuh selaen nampilin lawakan, lenong
Marong Group juga nampilin tarian Betawi dan lagu-lagu
Betawi. 17
Menurut Bapak Agus yang mulai ikut perkumpulan teater
lenong Marong Group sekitar 2 tahun lalu upaya yang dilakukan
lenong Marong Group dalam pembentukan identitas Betawi adalah
16
Wawancara dengan Bapak Marong pada tanggal 19 September 20 14 17
Wawancara dengan Bapak Ita pada tanggal 23 November 2014
72
dengan cara menampilkan alat musik gambang kromong. Menurutnya
masih banyak orang Betawi asli yang tidak tahu nama-nama alat musik
gambang kromong. Beliau menjelaskan macam-macam alat musik
yang biasa digunakan dalam teater lenong Marong, yaitu: Tehyan,
gamelan, kongahyan, kecrek, gong, gambang, kromong, dan gendang.
Menurutnya lenong dan gambang kromong adalah dua kesenian yang
tidak dapat dipisahkan.
Yaa dengan cara nampilin alat musik gambang kromong secara
lengkap. Gambang kromong kan alat musik Betawi. Kan
banyak yang kaga tau kalo gambang kromong punya Betawi.
Banyak juga yang kaga tau gambang kromong itu alat
musiknya macem-macem, ada tehyan, gamelan, kongahyan,
kecrek, gong, gambang, kromong, dan gendang. Lenong itu
sama gambang kromong dua kesenian yang gak bisa
dipisahin.18
Menurut bu Ati, upaya yang dilakukan lenong Marong Group
dalam pembentukan identitas Betawi yang beliau sangat setuju yaitu
memasukan unsur-unsur Islam didalam cerita yang dibawakan. Beliau
menambahkan didalam lenong Marong Group mencoba menampilkan
orang Betawi memiliki sifat yang terbuka dan jujur. Selain itu juga
didalam cerita selalu diselipkan beberapa pantun Betawi.
Yang paling saya setuju sih cara marong nyelipin unsur-unsur
Islam. Supaya bocah-bocah yang masih muda yang
orangtuanya ga ngajarin jadi tau ajaran Islam kaya gimana.
Marong juga disini kaya semacem ngasih tau kalo orang
Betawi tuh orangnya jujur, gak ada yang ditutupin. Kalo ga
demen ama sifat orang yaa langsung bilang gitu.19
Menurut bapak Katong, upaya yang dilakukan lenong Marong
Group dalam pembentukan identitas Betawi yaitu dengan cara
menampilkan identitas Betawi itu dengan karakter yang diperankan
oleh para panjak. Karakter-karakter yang ditampilkan mewakili orang
Betawi seperti apa. Misalnya orang Betawi yang berani atau jujur.
18
Wawancara dengan Bapak Agus pada tanggal 23 November 2014 19
Wawancara dengan Ibu Ati pada tanggal 23 November 2014
73
Beliau menambahkan bahwa silat juga ditampilkan di setiap para
panjak memperkenalkan diri ke penonton.
Lenong Marong nunjukin ke orang-orang identitas kebudayaan
Betawi itu dengan karakter yang dimaenin sama panjak.
Karakter itu ngewakilin orang Betawi tuh kaya gimana.
Misalnya orang Betawi yang berani atau jujur. Silat juga
ditampilin mulu tiap para jago keluar. Selaen ntuh ya nunjukin
juga baju khas punye Betawi kaya gimane.20
Menurut panjak termuda yaitu Dini upaya yang dilakukan
lenong Marong Group dalam pembentukan identitas Betawi yaitu
dengan mengalunkan gambang kromong di setiap pementasan. Selain
itu juga menurutnya penggunaan bahasa , pantun, dan pakaian khas
Betawi merupakan upaya yang dilakukan teater lenong Marong Group
dalam pembentukan identitas budaya Betawi. “Banyak. nih ya
misalnya sebelum lenong main itu musik gambang ngalun terus, terus
bahasa sama baju”.21
Menurut bapak ongkih, upaya teater lenong Marong Group
dalam pembentukan identitas Betawi yaitu dengan menampilkan
gambang kromong yang merupakan alat musik Betawi. Serta dengan
busana khas yang dipakai oleh para pemain. Selain itu ceritayang
dimainkan kental dengan agama dirasa beliau sangat menunjukan
identitas Betawi.
Wah banyak, misalnya dengan nampilin gambang kromong
yang merupakan alat musik Betawi, dibarengin ame lagu-lagu
khas Betawi. Misalnya tuh kaya jali-jali, ondel-ondel, sang
bango, kicir-kicir ama yang laennya dah. Terus dengan baju
yang dipake pemain, pemaen kan kalo nampil pada pake baju
khas Betawi nah terakhir tuh maenin cerita-cerita yang kentel
agama.22
Bapak Maceng rupanya sependapat dengan Bapak Ongkih,
“Setuju sama ongkih, tapi saya tambahin yaa dikit. Group Marong
20
Wawancara dengan Bapak Katong pada tanggal 23 November 2014 21
Wawancara dengan Dini pada tanggal 23 November 2014 22
Wawancara dengan Bapak Ongkih pada tanggal 13 November 20 14
74
nunjukin identitas Betawi itu kalo lagi manggung wajib buat pemaen
ngomong pake bahasa Betawi. Yaa itu mah ga susah dah, emang udah
kebiasaan kita”.23
Menurut bapak Robert, upaya teater lenong Marong Group
dalam pembentukan identitas Betawi yaitu dengan cara mewajibkan
pemain berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Betawi. Para
pemain memakai busana khas Betawi lengkap dengan golok di
pinggang. Selain itu, dalam pementasan selalu menampilkan keahlian
silat para pemain. Menurutnya main lenong kalau tidak bisa silat
bahaya, karena golok yang dipakai adalah golok asli.
Caranya itu kalo lagi manggung pemaen wajib ngomong pake
bahasa Betawi, terus pemaen pake baju khas Betawi lengkap
dengan golok di pinggang. Selain itu juga nampilin keahlian
silat jadinya orang pada tau kalo orang Betawi itu jago silat.
Maen lenong kalo gak bisa silat bahaya, golok yang dipake kan
golok beneran kalo gak bisa silat bisa pala kebelah.24
Terakhir menurut bapak Rudi atau biasa dipanggil Jambrong. Menurutnya
upaya teater lenong Marong Group dalam pembentukan identitas Betawi
yaitu dengan cara menampilkan busana-busana khas Betawi yang dipakai
oleh pemain serta senjata-senjata khas milik masyarakat Betawi. “Kalo
lenong Marong sih nunjukin identitas betawinya dengan nampilin busana-
busana khas Betawi sama senjata-senjata khasnya”.25
Dari hasil wawancara tersebut dapat dikatakan peran teater
lenong Marong Group dalam pembentukan Identitas Betawi yaitu
pertama, dengan menunjukan kalau orang Betawi adalah orang Islam,
orang Betawi adalah orang yang cinta islam. Hal ini sejalan dengan
pengamatan yang peneliti lakukan, peneliti melihat Islam dijadikan
sebagai simbol pemersatu untuk merekat elemen masyarakat Betawi,
selain itu, tradisi dan kebudayaan yang dikembangkan komunitas etnis
23
Wawancara dengan Bapak Maceng pada tanggal 13 November 20 14 24
Wawancara dengan Bapak Robert pada tanggal 23 November 2014 25
Wawancara dengan Bapak Rudi pada tanggal 26 Oktober 20 14
75
Betawi selalu didasari atas nilai-nilai keislaman. Sehingga banyak
orang menilai, masyarakat Betawi adalah masyarakat yang religius.
Kedua, lenong Marong Group menggunakan bahasa Betawi
di setiap pementasannya. Hal ini dirasa sangat perlu dalam
pembentukan identitas suatu budaya. Seperti yang dikatakan oleh
Burke, menurutnya “untuk menentukan identitas budaya itu sangat
tergantung pada bahasa”.26
Krisis identitas seharusnya tidak perlu
terjadi jika masyarakat Betawi merasa bangga dengan identitas bahasa
dan budaya yang dimiliki, Karena bahasa Betawi yang sederhana,
akrab,dan egaliter berpengaruh di seluruh antero Indonesia. Bahasa
Betawi yang sering dipergunakan dalam sinetron, dan tayangan
lainnya di media elektronik, dijadikan sebagai bahasa gaul sehari-hari
masyarakat Indonesia, khususnya anak-anak muda. Mereka sangat
terbiasa dengan gaya bahasa dan logat Betawi.
Ketiga, para pemain memakai pakaian khas Betawi. Para
pemain laki-laki yang sudah tua memakai ujung serong. Pakaian ini
berupa setelan jas tutup warna gelap, celana pantolan, dan dilengkapi
kain batik yang dikenakan di sekitar pinggang dan ujungnya serong di
atas lutut. Untuk laki-laki yang masih muda menggenakan baju koko
atau disebut juga sadariah dengan celana batik, peci, dan kain pelekat.
Kain pelekat ini bentuknya seperti selendang yang ditempatkan
sebelah pundak atau diselempengkan pada leher. Untuk wanita yang
berusia lanjut menggenakan kebaya panjang Nyak berwarna gelap.
Sedangkan untuk yang masih muda menggenakan warna terang.
Sebagaimana ditegaskan John Berger dalam karyanya Signs in
Contemporary Culture, “Pakaian kita, model rambut, dan seterusnya
26
Alo Liliwei M.S, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta: Lkis,
2007), h. 72
76
adalah sama tingkatannya dan digunakan untuk menyatakan identitas
kita”27
Keempat, perkumpulan teater lenong Marong Group dalam
pementasannya menampilkan senjata tradisional Betawi. Senjata
tradisional Betawi yang digunakan dalam pementasan teater lenong
Marong Group adalah golok. Ada banyak macam-macam golok yang
digunakan dalam pementasan, diantaranya adalah: Golok si Betok,
golok cangkringan, dan golok sorean.
Kelima dan keenam yaitu memasukan kesenian-kesenian
Betawi lainnya seperti silat, gambang kromong, lagu-lagu Betawi, dan
tarian Betawi. Silat yang sering ditampilkan dalam pementasan yaitu
silat beksi dan dapat dipastikan bahwa seluruh pemain teater lenong
Marong laki-laki menguasai jurus silat beksi. Peralatan gambang
kromong yang dimiliki oleh perkumpulan inipun lengkap, yaitu:
Tehyan, gamelan, kongahyan, kecrek, gong, gambang, kromong, dan
gendang.
Jika kita melihat tujuh unsur kebudayan menurut
Koentjaraningrat, upaya-upaya yang dilakukan oleh perkumpulan
teater lenong Marong dapat dikatakan cukup mewakili kebudayaan
Betawi. Menurut Koentjaraningrat unsur kebudayaan yaitu: bahasa,
sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup, sistem
mata pencaharian, sistem religi, dan kesenian.28
Dalam setiap
pementasan, teater lenong Marong selalu menggunakan bahasa Betawi
dalam berkomunikasi, sistem pengetahuan tidak terlalu ditampilkan
dalam pementasan, organisasi sosial ditampilkan dengan cara
menunjukan kekerabatan diantara para pemain, menampilkan sistem
peralatan hidup masyarakat Betawi yaitu golok, sistem mata
27
Idi Subandi, Budaya Populer sebagai Komunikasi, (Yogyakarta: Jalasutra, 2007) h. 135 28
Koentjaraningrat, pengantar ilmu antropologi, (Jakarta: Fa. Aksara baru, 1983) cet. 4,
h. 206
77
pencaharian ditampilkan dengan para pemain yang bekerja di bidang
perdagangan dan ada juga yang bertani, sistem religi dalam
pementasan yaitu menunjukan bahwa masyarakat Betawi sangat
menjunjung tinggi agama Islam, dan terakhir yaitu kesenian, teater
lenong sendiri merupakan salah satu kesenian masyarakat Betawi. Di
dalam lenong, kesenian-kesenian Betawi lainnya juga ditampilkan
seperti silat, gambang kromong, lagu-lagu Betawi, dan tarian Betawi.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa teater lenong bisa
dijadikan wujud identitas Betawi dan dapat juga disimpulkan bahwa
perkumpulan teater lenong Marong Group di Ciater berperan dalam
pembentukan Identitas Betawi. Budaya masyarakat Betawi akan terus
ada terjaga manakala semua masyarakat Betawi mau memelihara,
menjaga, dan mengembangkan terus budaya tersebut. Proses
pembelajaran, penjagaan, dan pengembangan budaya Betawi akan
sangat tepat apabila dilaksanakan melalui proses pendidikan sejak dini,
yaitu saat anak mulai menduduki dunia pendidikan usia dini, taman
kanak-kanak, pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Melalui
pendidikanlah citra Betawi yang negatif akan terkikis. Anak-anak akan
semakin menghargai kebudayaan Betawi yang mereka serap melalui
sekolah dan lingkungan mereka.
b. Teater Lenong Marong: Pembentukan Nilai Betawi sebagai
Identitas Kultural Masyarakat Betawi
Nilai Betawi ini merupakan gagasan ideal masyarakat Betawi
terhadap kehidupan mereka sehari-hari. Oleh karena itu, nilai Betawi
ini dapat pula dimanfaatkan masyarakat Betawi untuk menghadapi
derasnya arus budaya global yang membanjiri masyarakat kota
Tangerang melalui berbagai macam media. Sehingga hanya unsur-
unsur budaya global yang berguna dan bermanfaat saja yang dapat kita
kembangkan dalam kebudayaan.
78
Keterbukaan masyarakat Betawi menghadirkan rasa toleransi
yang tinggi terhadap kaum pendatang. Keterbukaan ini membuat
masyarakat Betawi tidak menutup diri terhadap kemajuan dan
perkembangan kebudayaan dunia. Islam tidak hanya dijadikan sebagai
sebuah simbol ritual keagamaan, juga telah menjadi identitas diri dan
budaya masyarakat Betawi hingga kini. Islam memainkan peranan
yang cukup penting di dalam proses pembentukan identitas dan
kebudayaan komunitas etnis Betawi.
Dalam usahanya teater lenong Marong berupaya dapat
mengangkat citra masyarakat Betawi dengan nilai-nilai Betawi. Seperti
yang telah penulis jelaskan sebelumnya bahwa teater lenong adalah
seni pertunjukan yang menggambarkan keseharian masyarakat Betawi
yang diangkat menjadi tontonan publik. Dengan menepis stereotip
etnis Betawi yang cenderung negative dalam pandangan masyarakat di
luar etnis Betawi.
Dalam sketsa-sketsa teater lenong, gambaran karakter terlihat
pada watak tokoh-tokoh dalam sketsa-sketsa yang tegas pendiriannya
terhadap perbuatan curang dan merugikan masyarakat, seperti korupsi.
Sementara itu kesabaran tampil dalam ketabahan tokoh-tokoh yang
ditampilkan dalam pertunjukan teater lenong dalam menghadapi
cobaan hidup, seperti kemiskinan dan kesusahan. Walaupun hidup
dalam kesusahan, orang Betawi tidak akan menjual keyakinan mereka.
Sesuatu yang telah mereka anut sejak kecil tidak akan pudar begitu
saja hanya karena kesusahan atau iming-iming harta-benda.
Karakter-karekater yang dimainkan oleh para panjak
menonjolkan nilai-nilai Betawi yang ideal bagi masyarakat Betawi.
Selain itu penggambaran watak seorang manusia yang menghargai
kejujuran dan keterbukaan juga ditampilkan dalam teater lenong
Marong. Kejujuran dan keterbukaan dalam masyarakat Betawi
79
merupakan hal yang sangat esensial dan tampak dalam keseharian
mereka, seperti terlihat dalam komunikasi mereka sehari-hari.
Kejujuran masyarakat Betawi ini terlihat menonjol pada pola
komunikasi mereka yang apa adanya, hampir jarang ditemui kata-kata
untuk memperhalus maksud pembicaran. Hitam dikatakan hitam, putih
dikatakan putih, tidak dilebih-lebihkan atau dikurang-kurangi.
Keterbukaan dan kejujuran masyarakat Betawi dalam keseharian ini
pun melahirkan sikap orang Betawi humoris. Hal ini mungkin terjadi
untuk menghindri pertengkaran karena sikap terbuka dan jujur mereka
yang mungkin akan melukai hati orang lain. Dengan humor setidaknya
sikap jujur mereka terhadap perbuatan seseorang yang buruk hanya
akan ditanggapi main-main atau hanya bercanda oleh orang itu,
walaupun maksudnya menyindir perbuatan orang itu. Kelucuan
masyarakat Betawi umumnya juga terjadi karena keluguan dan
kepolosan sikap mereka terhadap situasi yang mereka hadapi.
Sketsa-sketsa seperti inilah yang kemudian diadopsi dalam
pertunjukan lenong Marong yang dilandasi dengan kearifan
masyarakat Betawi. Walaupun masyarakat Betawi bersikap terbuka
dan bisa dikatakan jika bahasa Betawi itu bersifat egaliter dan tidak
memiliki tingkatan bahasa, seperti bahasa Jawa, orang Betawi tetap
menghargai orang yang lebih tua. Dalam keseharian, penghormatan
terhadap orang yang lebih tua ini dihadirkan dalam sikap untuk
memberikan kesempatan terlebih dahulu kepada orang tua, sebelum
yang muda-muda. Dalam bahasa hal ini hadir dalam penyebutan diri
mereka dengan tidak memakai kata ganti diri gue, tetapi kata ganti diri
saye, aye atau menggunakan nama mereka sendiri.
Terakhir, dalam setiap pertunjukan lenong Betawi,
penggambaran orang Betawi digambarkan sebagai orang yang
menghormati adat istiadat mereka dan sangat religius. Dalam
80
masyarakat Betawi, adat istiadat mereka jalani secara konsekuen.
Hampir seluruh adat istiadat masyarakat Betawi diwarnai oleh agama
Islam. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat Betawi sangat taat
terhadap ajaran yang mereka anut.
Kereligiusan masyarakat Betawi ini tampak dalam adat istiadat
mereka yang tidak pernah melepaskan unsur-unsur agama Islam.
Bahkan kereligiusan ini pun melahirkan sikap hidup masyarakat
Betawi yang jujur dan sangat toleran. Ketoleran inilah yang membuat
mereka terbuka terhadap para pendatang. Hal inilah yang membuat
para pendatang betah hidup di Tangerang karena keramahan penduduk
aslinya.
Teater lenong dijadikan salah satu ajang penanaman nilai-nilai
Betawi yang dalam prosesnya nilai tersebut dapat diaktualisasikan
melalui pertunjukan teater. Selain itu, teater lenong juga dijadikan
sebagai sarana internalisasi nilai-nilai BetawI yang mengarah kepada
pembentukan identitas kultural secara utuh.
Para calon peserta didik secara langsung mendapat kesempatan
untuk merevitalisasi budaya melalui pertunjukan teater lenong Betawi
yang diaktualisasikan melalui karakter-karakter panjak dalam setiap
pertunjukannya. Karakter-karaker yang ditampilkan diharapkan
mampu menjadi model atau contoh karakter yang sesungguhnya
mayarakat Betawi baik dari sisi positif maupun negatifnya. Tidak
hanya dalam pementasan di kehidupan sehari-hari perilaku yang
mencerminkan nilai-nilai Betawi juga diterapkan dengan terbuka,
lugas dengan ciri khasnya Betawinya.
Berdasarkan penjelasan di atas terlihat bahwa nilai-nilai Betawi
merupakan inti yang diaktualisasikan dalam peran-peran atau karakter
para panjak teater yang dipentaskan dan dipertunjukan dalam setiap
lakon dalam wadah kesenian teater lenong.
81
Jadi, berdasarkan nilai-nilai Betawi yang terlihat pada
pertunjukan teater lenong, karakter-karakter yang dimainkan oleh para
panjak digambarkan bahwa orang Betawi adalah sosok masyarakat
Indonesia yang sangat mencintai negaranya, menghormati orang yang
lebih tua, menghargai adat-istiadat, jujur, sabar, berani, humoris, dan
religius.
Bisa disimpulkan bahwa orang Betawi adalah orang yang teguh
dan taat pada keyakinan, adat istiadat dan agama mereka, bersikap
jujur dan menghormati orangtua, sabar dan berani dalam menghadapi
tantangan hidup, berwatak humoris dan terbuka terhadap kemajuan,
dan sangat teguh menjalankan agama Islam.
1) Nilai Betawi dan Identitas Kultural Betawi
Dalam sejarahnya, budaya Betawi telah mengalami berbagai
dan berulang kali proses asimilasi dan adaptasi. Proses yang terjadi
pada masa lampau tersebut membuktikan bahwa masyarakat
Betawi mampu menyaring dan menyesuaikan unsur-unsur budaya
lain itu ke dalam kehidupan mereka dengan cara sedemikian rupa,
sehingga terasa layak dan cocok, serta tidak terlihat dipaksakan. Itu
semua bisa dilakukan karena masyarakat Betawi memiliki identitas
budaya yang kuat, yang mampu beradaptasi dengan budaya baru
tanpa meninggalkan akar tradisi mereka. Akan tetapi, jika melihat
situasi Tangerang saat ini, kita akan melihat sebuah fenomena dari
budaya baru, yaitu budaya kota atau metropoloitan.
Budaya kota sebagai hasil industrialisme ini biasanya
disebut budaya popular. Budaya popular yang terlihat dalam segi
kehidupan masyarakat Tangerang, tidak hanya terlihat dalam
musik, lagu, film, novel, tetapi bisa juga dalam wujud penampilan,
dan gaya hidup. Kebudayaan jenis ini sering kali dipersepsikan
sebagai atribut modernitas oleh sekelompok masyarakat tertentu.
82
Musik barat dianggap modern sedangkan gambang kromong atau
keroncong dianggap tradisional.
Di sinilah diperlukan pemantapan identitas atau jati diri
masyarakat Betawi dengan kembali menengok nilai-nilai tradisi
yang bahkan mungkin lebih baik daripada nilai-nilai yang dibawa
oleh arus budaya baru tersebut. Hal ini perlu dilakukan agar tidak
terjadi krisis identitas kultural pada masyarakat Tangerang di masa
yang akan datang. Oleh karena itu, pemupukan nilai-nilai Betawi
yang merupakan penggambaran yang khas terhadap identitas
budaya masyarakat Betawi perlu diingatkan, agar masyarakat
Betawi bisa tetap memiliki dan mengenal identitas budaya mereka
sendiri.
Ada beberapa hal yang menyebabkan nilai-nilai Betawi
dapat dikembangkan untuk memperkuat identitas kultural
masyarakat Betawi. Pertama, karena budaya Betawi dengan nilai-
nilainya ini merupakan budaya yang lahir karena proses asimilasi
yang cukup lama dan beberapa kali terjadi dengan berbagai macam
budaya masyarakat pendatang, tetapi tetap bisa ditampilkan dalam
keseharian masyarakat pendukungnya. Kedua, karena fakta yang
menunjukan bahwa budaya Betawi dapat diterima banyak kalangan
dan lapisan apapun di masyarakat kita, hal ini bisa dilihat dengan
banyakanya stasiun televisi yang menayangkan sinetron-sinetron
yang berlatar budaya Betawi.
Dalam hal ini, seperti yang telah dilakukan oleh Marong
dalam perkumpulan teater lenong pimpinannya, nilai-nilai Betawi
ini merupakan sebuah identitas masyarakat Betawi yang hingga
kini masih kukuh dipertahankan para pendukung budaya tersebut.
Akan tetapi, masih ada satu hal lagi yang diperlukan agar nilai-
83
nilai Betawi ini tidak pudar dan tetap dipegang masyarakat Betawi
sebagai identitas mereka, yaitu sebuah dukungan pemerintah.
2) Nilai Betawi Dalam Realitas Global
Dalam konteks realitas globalisasi pada saat ini, ketika
batas-batas ruang dan waktu hampir tidak ada lagi dan arus
kebudayaan luar bisa masuk dengan mudah ke negara ini, tentu
diperlukan ketahanan budaya yang cukup kuat dari masyarakat
Indonesia. Hal ini diperlukan karena budaya yang masuk ke
Indonesia itu tidak selamanya baik dalam kehidupan budaya
masyarakat, tetapi ada juga beberapa yang tidak baik.
Penghargaan terhadap masyarakat budaya asing jangan
sampai membuat masyarakat lupa akan tradisi yang sudah
terbentuk sekian lama. Tradisi harus tetap menjadi idenitas lokal,
sedangkan nilai-nilai baru dari budaya-budaya asing harus kita
adaptasi lagi dan kita sesuaikan dengan nilai-nilai budaya lokal.
Oleh karena itu, diperlukan kontrol yang kuat terhadap serbuan
budaya yang mungkin akan merusak tatanan kebudayaan dan
identitas budaya bangsa. Fungsi kontrol ini tidak hanya dilakukan
oleh pemerintah saja, tetapi juga harus dijalani oleh individu-
individu yang merasa memiliki negeri ini.
Sementara itu, individu itu sendiri memiliki dua sisi sikap
terhadap budaya yang dianutnya. Disatu sisi, pemahaman budaya
cenderung bertahan dalam diri individu, di sisi lain, ia dapat
berubah-ubah melalui berbagai upaya mereka dalam menghadapi
kondisi lingkungan mereka yang juga selalu berubah. Setiap
individu memiliki identitas sendiri yang membedakannya dengan
individu lain. Akan tetapi, setiap individu juga memiliki identitas
sosial dan kultural yang membatasinya dan mengharuskannya
beradaptasi dengan lingkungan budaya yang didiaminya. Selama
84
ini pada masyarkat Betawi, nilai-nilai Betawian inilah yang
berperan sebagai kontrol terhadap serbuan budaya luar yang
cenderung mengabaikan persoalan moralitas.
Kebudayaan memang dinamis atau mengalami perubahan
terus-menerus dalam dimensi ruang dan waktu. Akan tetapi,
perubahan budaya yang amat cepat dan tanpa melalui proses
penyesuaian terhadap nilai-nilai budaya sebelumnya akan
menimbulkan masalah terhadap generasi muda bangsa, yaitu krisi
identitas budaya pada generasi muda. Karena itu perlu
dikembangkan identitas budaya yang timbul dari perasaan ke-
kami-an (we-ness) ataupun menjadi satu kelompok yang berskala
dari hubungan sosial masyarakat. Pada kota Tangerang yang dihuni
banyak etnis dan ragam budaya, kondisi ini pun akan menimbulkan
ketercabutan generasi muda dari akar budaya asal mereka.
Oleh karena itu, pada masyarakat yang majemuk seperti di
Tangerang ini, penanaman nilai-nilai budaya daerah perlu
dilakukan sejak dini, agar mereka bisa menjadi generasi yang
kukuh dalam mempertahankan tradisi menghadapi derasnya arus
budaya asing. Selain itu, penyesuaian dan revitalisasi nilai-nilai
budaya lokal juga perlu dilakukan, agar masyarakat Betawi bisa
tetap eksis di era global ini dan terhindar dari krisis identitas.
Di sinilah nilai-nilai Betawi mempunyai peran yang sangat
penting dalam pembentukan karakter masyarakat Betawi, terutama
generasi mudanya. Nilai-nilai Betawi yang ditanamkan Marong
dalam teater lenong ini sangat membantu masyarakat Ciater pada
umumnya dan masyarakat RT 06/10 Kelurahan Ciater pada
khususnya, dalam memupuk semangat untuk mengembangkan
budaya Betawi dan meningkatkan karakter etnis Betawi yang tahan
banting terhadap perubahan dan perkembangan pemikiran yang
85
amat cepat di era global saat ini. Dengan demikian, etnis Betawi
tidak mudah diombang-ambingkan arus budaya asing yang dapat
merusak nilai-nilai luhur yang telah lama mengakar pada budaya
lokal. Identitas memberikan kita gambaran mengenai tanah leluhur
dimana kita berada, sebuah sejarah yang dimiliki oleh masyarakat
Betawi, serta memiliki akses istimewa ke luas warisan budaya dan
kreativitas.
3) Penataan Kesenian Teater Lenong
Di era globaliasi sekarang ini tidak mungkin lagi bisa
dibendung masuknya berbagai produk budaya luar negeri ke
Indonesia. Perlu adanya kiat-kiat yang seharusnya dilakukan
untuk mempertahankan berbagai budaya asli karya leluhur lokal
agar tetap lestari. Salah satu karya yang dibanggakan masyarakat
Ciater hingga saat ini adalah seni pertunjukan teater lenong.
Berbagai usaha melestarikan seni budaya Betawi agar digemari
generasi muda di Tangerang khususnya Ciater terus diupayakan.
Caranya, dengan menggali kembali khasanah budaya lokal
tersebut, kemudian memodifikasinya hingga melahirkan kreasi
baru. Dan itu bisa dilakukan melalui eksperimentasi oleh para
ahlinya. Ini dimaksudkan agar kesenian tersebut mudah diterima
dan digemarin generasi muda sehingga di masa mendatang tetap
eksis.
Teater lenong merupakan kesenian tradisi milik masyarakat
Betawi yang kini sedang dipikirkan oleh berbagai pihak untuk
dikembangkan. kesenian ini terdiri atas unsur seni musik (gambang
kromong), seni peran atau acting, lawak dan tari silat. Beberapa
diskusi ilmiah pernah dilakukan untuk melestarikan dan
mengembangkan kesenian ini yang diharapkan dapat menjadi salah
satu identitas kultural masyarakat Betawi. Namun, hasil yang
86
dicapai dalam forum-forum itu belum memuaskan. Oleh karena itu,
sanggar kesenian pimpinan Marong sebagai tempat dimana teater
lenong yang komprehensif dilakukan, sehingga dapat dijadikan
sebagai landasan untuk pengembangannya.
Teater lenong sebagai kesenian yang memiliki akar historis
yang kuat, konsep estetis dan urutan penyajian tertentu perlu
dikembangkan. Untuk mewujudkanyya, tidak berlebihan apabila
seni pertunjukan teater lenong perlu mendapatkan penanganan
dengan membuat suatu model penataan kesenian teater lenong
sebagai identitas kultural masyarakat Betawi.
Penataan kesenian teater lenong sebagai identitas kultural
masyarakat Betawi meliputi penataan musik (gambang kromong),
seni peran atau acting, lawak dari tari silat. Dengan demikian,
adanya upaya untuk mereaktualisasi kesenian teater lenong tidak
terlepas dari peralatan gambang kromong, pelatih, dan membentuk
kelompok kesenian dilandasi oleh suatu pertimbangan historis.
Adanya akar historis itu diperkuat oleh fakta bahwa dalam
perjalanan sejarah, kesenian ini juga didukung oleh masyarakat
Betawi termasuk orang-orang Tangerang. Dari perjalanan sejarah
itu, tampak bahwa teater lenong dan gambang kromong merupakan
seni pertunjukan yang berfungsi sebagai hiburan dan tontonan.
Penataan musik gambang kromong dan lagu dilakukan dengan cara
membuat aransemen, menambahkan beberapa instrument modern,
mengembangkan teknik permainan instrument, serta menampilkan
lagu-lagu yang bertema dan bernuansa Betawi, yaitu: Kincir-kincir,
Jali-jali, Keroncong Kemayoran, Kawin Paksa, Ondel-ondel, Main
Panjat-panjatan, Asal Mogok Genjot, Kompor Mleduk, Cintaku
Berat di Ongkos.
87
Penataan seni peran atau acting dalam teater lenong
dilakukan dengan menampilkan tokoh-tokoh masyarakat Betawi
yang akrab, jujur tidak melebih-lebihkan baik dalam dialog
maupun tindakan. Tokoh-tokoh yang diperankan ditampilkan
secara natural dan lebih mengedepankan pesan moral yang ingin
disampaikan dalam setiap pertunjukan. Penataan peran ditujukan
agar dalam setiap pementasan para panjak dapat melakukannya
dengan memperhatikan teknik bermainan drama.
Penataan seni silat merupakan komponen yang tidak terlepas
dari setiap pertunjukan teater lenong. Tari silat adalah tarian yang
keseluruhan gerakannya diambil dari gerak pencak silat. Tari silat
cukup menarik gerakannya apalagi bila ditarikan dengan iringan
musik Betawi. Iringan pencak silat Betawi diikuti oleh samprah
dan kroncong yang memang lekat di teater lenong. Sementara gaya
dalam tari silat yang paling terkenal disebut gaya seray, gaya pecut,
gaya rompas serta gaya bandul. Tari silat Betawi sendiri
menunjukan aliran atau gaya yang diikuti oleh masing-masing
penari. Selain tari silat, Betawi juga memiliki banyak tari-tarian
lain. Tari-tari silat inilah yang kemudian salah satu model dalam
penataan seni pertunjukan teater lenong sebagai identitas budaya
Betawi.
Penataan lawak dilakukan dengan mengacu pada bentuk-
bentuk lawakan teater lenong, yaitu lawakan verbal, nonverbal, dan
musikal. Penggarapan lawak dilakukan dengan mengubah cerita
Betawi yang diadopsi dari film-film Benyamin Sueb seperti
Samson Betawi, Biang Kerok, Cukong Bloon, Abu Nawas. Seni
lawak disini mendapat penggarapan yang cukup penting dalam
rangka pengembangan teater lenong sebagai salah satu identitas
budaya Betawi. Salah satu unsur budaya Betawi yang dapat
diidentifikasi secara mudah adalah dialek. Oleh karena itu, dalam
88
bagian lawak dimasukan dialek Betawi dengan harapan bahwa hal
tersebut dapat menampilkan identitas etnis Betawi.
Media komunikasi yang digunakan dalam penataan lawak
ini adalah bahasa Betawi yang jenaka. Busana sebagai unsur
pendukung dalam pertunjukan musik, tari, dan lawak teater lenong
ditata dengan memanfaatkan khasanah busana tradisonal Betawi.
Untuk merealisasikan konsep-konsep penataan kesenian teater
lenong sebagai identitas budaya Betawi dilakukan pelatihan
terhadap kelompok teater lenong di perkumpulan teater Marong
RT 06/10 Ciater Tangerang Selatan.
2. Teater Lenong Dalam Semangat Kultral
Seni pertunjukan teater lenong sebagai wujud ekspresi eksistensi
dalam tantangan multikulturalisme di Tangerang khususnya di Ciater.
Pada perkembangannya seni pertunjukan ini mengalami dinamika. Seperti
yang kita ketahui bahwa penolakan satu kesenian oleh suatu kelompok
sosial karena kesenian tersebut dianggap tidak sesuai dengan status sosial
dari kelompok tersebut merupakan gejala yang umum di negeri ini.
Demikianlah mudahnya dapat dimengerti bila kesenian merupakan
indikator status sosial dari eksistensi suatu kelompok. Demikian pula
bertahannya satu kesenian atau punahnya kesenian merupakan cermin
eksistensi dari pendukungnya.
Penetrasi budaya global memberikan pengaruh yang berperan dalam
menyingkirkan budaya lokal. Masyarakat Betawi mengupayakan gaya
hidup yang sesuai dipertahankan dan dikembangkan, untuk menghadapi
tuntutan perkembangan baru di tengah globalisasi. Dan di antara bentuk-
bentuk kesenian yang dihadirkan dan ternyata diminati di tengah mereka,
lenong sempat menjadi primadona. Namun kesenian tersebut dalam
perkembangannya juga mengalami pasang surut. Sebagai kelanjutan dari
89
proses penetrasi tersebut masyarakat Betawi yang tidak mampu bertahan
dan bersaing di Tangerang akhirnya menempati wilayah sub-urban. Hasil
dari menempati wilayah sub-urban tersebut jelas secara tidak langsung
mereka tercabut dari akar budaya yang telah mereka tinggali bertahun-
tahun lamanya. Warga Betawi seperti inilah yang mengalami krisis
identitas kultural baik dalam segi ekonomi, sosial, dan budaya. Sedangkan
masyarakat yang mampu bertahan, secara bertahap mereka beradaptasi
dengan berbagai sarana perdagangan, industri, pemerintahan, komunikasi,
yang terus bertumbuh semakin canggih. Di tengah situasi ini, gaya hidup
urban menjadi fenomena kemasyarakatan baru. Nilai-nilai lama (daerah)
semakin diseleksi, nilai-nilai baru terus diadopsi.
Kembali kepersoalan mengenai dampak perubahan yang terjadi
dalam dunia seni, khususnya seni pertunjukan teater lenong Betawi. Baik
perubahan itu terjadi secara alamiah maupun terjadi karena direncanakan,
hanya terbatas kepada kehidupan seni. Banyaknya organisasi masa yang
mengatasnamakan Betawi, namun secara praktis ormas-ormas tersebut
tidak berpengaruh dalam perkembangan seni budaya Betawi itu sendiri.
Secara substansi ormas-ormas tersebut mempunyai visi dan misi yang
menguntungkan bagi mereka sendiri. Hilangnya semangat kebudayaan
menjadi sorotan beberapa pihak seperti Lembaga Kebudayaan Betawi
(LKB) dan Badan Musyawarah Betawi (BAMUS Betawi) sebagai
organisasi yang konsen terhadap seni kebudayaan dan tradisi Betawi.
Kedua organisasi tersebut tidak dapat berjalan sendiri jika tanpa
adanya dukungan dari masyarakat Betawi itu sendiri. Dilandasi dengan
semangat revitalisasi terhadap kesenian yang mengalami degradasi,
tanggung jawab sebagai generasi penerus keberlagsungan seni pertunjukan
serta motvasi yang timbul untuk mereposisi seni pertunjukan teater lenong,
yaitu penempatan kembali ke posisi semula, dengan penataan kembali.
Seni pertunjukan teater lenong diharapkan mampu menjadi ikon baru
90
masyarakat Betawi yang memiliki posisi tawar yang tinggi di antara seni-
seni lainnya yang ada di Tangerang dan sekitarnya.
Masyarakat Betawi seharusnya peka terhadap tantangan global yang
ada di sekitarnya. Dengan wadah swadaya di masyarakat yang berupaya
menghidupkan kembali budaya Betawi di tengah masyarakat dan
pendukungnya. Tentu peran serta pemerintah juga diharapkan seperti
dalam internalisasi budaya Betawi di sekolah-sekolah. Kegiatan
ekstrakulikuler di sekolah pun juga bisa dikemas secara khusus dalam
paket pengenalan budaya Betawi, seperti pencak silat, tarian Betawi,
kesenian rabana, gambang kromong, dan kesenian yang bersifat
kontemprorer.
3. Langkah Strategis Revitalisasi Budaya Betawi
Pelestarian nilai-nilai budaya Betawi melalui jalur pendidikan, dapat
dilaksanakan dengan beberapa strategi, seperti melalui mata pelajaran
muatan lokal. Melalui mata pelajaran ini bisa dimasukan materi tentang
kesenian, bahasa, dan adat istiadat Betawi. Dalam materi ini juga
seharusnya diberikan nilai-nilai tradisional masyarakat Betawi sebagai
bagaian dari unsur kebudayaan Betawi. Kegiatan ekstrakulikuler di
sekolah pun juga bisa dikemas secara khusus dalam paket pengenalan
budaya Betawi, seperti pencak silat, tarian Betawi, kesenian rabana,
gambang kromong, dan kesenian yang bersifat kontemprorer. Penciptaan
suasana Betawi di sekolah juga bisa dilakukan dengan penggunaan baju
Betawi oleh siswa setiap seminggu sekali, misalnya hari jum’at atau
peringatan hari besar keagamaan. Pada hari-hari tertentu juga perlu
dilaksanakan pemakaian bahasa Betawi. Bangunan sekolah yang berciri
khas arsitektur Betawi juga bisa dilakukan termasuk penerbitan buku-buku
tentang budaya Betawi. Buku-buku ini bisa ditempatkan di perpustakaan
sekolah. Penerbiatan kamus bahasa Betawi akan memperkaya khasanah
pengetahuan tentang Betawi.
91
Budaya masyarakat Betawi akan terus ada dan terjaga manakala
semua masyarakat Betawi mau memelihara, menjaga, dan
mengembangkan terus budaya tersebut. Proses pemeliharaan, penjagaan,
dan penembangan budaya Betawi akan sangat tepat apabila dilaksanakan
melalui proses pendidikan sejak dini, yaitu saat akan mulai menduduki
dunia pendidikan usia dini, taman kanak-kanak, pendidikan dasar,
menengah, dan tinggi. Melalui pendidikanlah citra Betawi yang negatif
akan terkikis. Anak-anak yang tinggal di tanah Betawi akan semkin
menghargai kebudayaan Betawi yang mereka serap melalui sekolah dan
lingkungan mereka. Bagi orang Betawi sendiri, terus tekun sekolah
mengejar jenjang pendidikan yang lebih tinggi, mendapatkan kehidupan
yang lebih baik, akan mengubah citra negatif. Perlahan jika hal tersebut
konsisten dilakukan, maka akan mengangkat citra masyarakat Betawi, dan
orang Betawi tak lagi dicap kampungan.
Sejumlah langkah strategis juga dapat dilakukan oleh komponen
masyarakat Betawi maupun para pemerhati budaya Betawi untuk
merevitalissi budaya Betawi, antara lain: menumbuhkan kesadaran
pentingnya memelihara kekayaan budaya Betawi, membentuk kerja sama
dengan berbagai pihak di luar masyarakat Betawi yang berbasi teknologi
informasi yang menghasilkan informasi tentang budaya Betawi (website,
televise, radio, festival kesenian tradisional, penelitian dan penulisan
buku), melakukan pemberdayaan masyarakat dengan mempertimbangkan
potensi-potensi yang dimiliki (SDM, kondisi geografis) untuk penigkatan
kualitas kehidupan melalui potensi kesenian, pariwisata, pemerintah dan
lembaga swadaya sebagai fasilitator dan rekan sekerja dalam revitalisasi
budaya Betawi. Melihat kesenjangan masyarakat terhadap kesenian
tradisional, berbagai pihak sekarang ini semakin tergerak hatinya untuk
melakukan revitalisasi terhadap kehidupan kesenian kesenian yang
dianggap kehidupannya dalam keadaan bahaya. Kesenian yang mulai
92
kehilangan masyarakatnya karena kesenian tersebut telah kehilangan
fungsinya di masyarakat.
93
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Di tengah situasi zaman yang enggan bertoleransi terhadap
budaya lokal berbagai upaya dilakukan oleh pihak-pihak
keberlangsungan seni pertunjukan ini. Krisis identitas yang mereka
alamai merupakan hasil dari ketidakmampuan bertahan di era
globalisasi dan modernisasi ini. Penataan kesenian yang berkaitan
dengan seni pertunjukan ini dilakukan sebagai cara pembentukan
identitas kultural masyarakat Betawi. Dengan menggali informasi dan
mengikuti perkembangan zaman yang dijadikan acuan dalam penataan
yang sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini. Teater lenong tidak
dapat berdiri sendiri tanpa masyarakat pendukung baik di dalam etnis
maupun di luar etnis. Penggemar kesenian ini ternyata cukup mumpuni
terlihat dari jumlah penonton yang cukup ramai di setiap
pertunjukannya.
Jika teater lenong tetap memiliki penggemar adalah suatu hal
yang dapat dipahami. Kesenian tersebut sangat berpotensi sebagai
entertainment, karena masing-masing unsur seninya yaitu musik
(gambang kromong), seni peran, lawak, silat mengandung unsur
artistic yang khas serta bersifat menghibur. Masyarakat Tangerang
Selatan tentu saja membutuhkan seni pertunjukan sebagai sarana relax
untuk melepas keegangan kesibukan sehari-hari. Suatu hal yang juga
perlu dicatat adalah bahwa seni pertunjukan teater lenong telah
menjadi arena pembentukan identitas kultural masyarakat Betawi.
Berdasarkan keseluruhan pemaparan dalam bab-bab
sebelumnya, peneliti membuat kesimpulan penelitian ini dalam garis
besar sebagai berikut: Peran teater lenong Marong Group dalam
94
pembentukan Identitas Betawi yaitu pertama, dengan menunjukan
kalau orang Betawi adalah orang Islam, orang Betawi adalah orang
yang cinta islam. Kedua, lenong Marong Group menggunakan bahasa
Betawi di setiap pementasannya. Hal ini dirasa sangat perlu dalam
pembentukan identitas suatu budaya. Seperti yang dikatakan oleh
Burke, menurutnya “untuk menentukan identitas budaya itu sangat
tergantung pada bahasa”.1 Ketiga, para pemain memakai pakaian khas
Betawi. Sebagaimana ditegaskan John Berger dalam karyanya Signs in
Contemporary Culture, “Pakaian kita, model rambut, dan seterusnya
adalah sama tingkatannya dan digunakan untuk menyatakan identitas
kita”.2 Keempat, perkumpulan teater lenong Marong Group dalam
pementasannya menampilkan senjata tradisional Betawi. Kelima yaitu
memasukan kesenian-kesenian Betawi lainnya seperti silat, gambang
kromong, lagu-lagu Betawi, dan tarian Betawi.
B. Saran
Setelah melakukan kajian mendalam mengenai peran teater
lenong Marong dalam mempertegas identitas kultural Betawi,
penelitian ini perlu memberikan saran yang dapat bermanfaat terkait
dengan teater lenong dan identitas kultural Betawi. Saran ini
diharapkan dapat memajukan lagi kesenian teater lenong Betawi.
Adapun saran yang dapat peneliti sampaikan, ialah:
1. Secara bersama-sama pemerintah dan masyarakat dapat
membentuk management untuk mengelola modal, sumber daya
manusia, ruang, waktu, promosi, dan pemasaran seni pertunjukan
teater lenong. Kualitas dan kuantitas pementasan kesenian ini dapat
digarap sedemekian rupa agar tetap mendapat apresiasi
masyarakat.
1 Alo Liliweri M.S, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta: Lkis,
2007), h. 72 2 Idi Subandi, Budaya Populer sebagai Komunikasi, (Yogyakarta: Jalasutra, 2007) h. 135
95
2. Masyarakat pendukung dalam hal ini etnis Betawi harus
ditimbulkan rasa kepedulian dan memiliki terhadap warisan
budaya yang mereka punya dan patut dibanggakan.
3. Pemerintah atau lembaga kebudayaan Betawi harus
memperhatikan potensi-potensi masyarakat Betawi di sekitar
Jabodetabek guna mempercepat langkah revitalisasi budaya
Betawi.
95
DAFTAR PUSTAKA
Banden, I Made dan Sal Murgiyanto. Teater Daerah Indonesia. Denpasar, Bali:
Kanisius, 1996.
Budiaman. Folklore Betawi. Jakarta: Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta,
2000.
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Ragam Seni Budaya Betawi. Jakarta: 2012.
Klenden, Ninuk. Teater Lenong Betawi Studi Perbandingan Diakronik, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1996
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Fa. Aksara baru, 1983.
Kusumohamidjojo, Budiono. Filsafat Kebudayaan Proses Realisasi Manusia.
Jakarta: Jalasutra, 2009 .
Liliweri, Alo M.S. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta:
Lkis, 2007.
Muhadjir, dkk. Peta Seni Budaya Betawi. Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI
Jakarta, 1986.
Natzir, Mohammad. metode penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.
Nawangningrum, Dina. Ragam Seni Budaya Betawi. Jakarta: Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya, 2012.
Nina Farlina, “Representasi Identitas Betawi dalam Forum Betawi Rempug
(FBR)”, tesis pada Universitas Indonesia, Depok, tidak dipublikasikan
Purwosanti, “Eksistensi Lenong Betawi di era globalisasi”, skripsi pada
Universitas Negeri Jakarta,Jakarta 2010, tidak dipublikasikan
96
Ritzer, George (Ed), Encyclopedia Of Sosial Theory, Vol 1. London: SAGE
Publication, 2002.
Rosyadi. Profil Budaya Betawi. Bandung : Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional, 2006.
Saidi, Ridwan, dkk. Ragam Budaya Betawi Pendidikan Mulok Untuk Kelas 6 SD.
Jakarta: Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, 2002.
Saputra, Yahya Andi. Profil Seni Budaya Betawi. Jakarta: Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan DKI Jakarta, 2009.
Setiadi, Elly M. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana, 2008a.
Setiati, Eni dkk,. Ensiklopedia Jakarta 6. Jakarta: PT. Lentera Abadi, 2009.
-------------------. Pofil Kota Jakarta Doeloe, Kini, Dan Esok. Jakarta: PT Lentera
Abadi, 2009b.
Shahab, Z Yasmine. Identitas dan Otoritas : Rekonstruksi Tradisi Betawi. Depok:
Laboratorium Antropologi FISIP UI, 2004.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung :
Alfabeta. Cet. 4, 2008.
Suparlan, Parsudi. Pengantar Metode Penulisan: Pendekatan Kualitatif. Jakarta:
Rajawali Press, 1996.
Widjaya. Seni Budaya Betawi, Pralokakarya, Penggalian, Dan Pengembangan.
(Jakarta: Pustaka Jaya, 1976
Yudho Winiarto, Tambeng : Proses Penafsiran Kembali Tanda budaya Betawi,
Skripsi pada Universitas Indonesia, Depok, 2008. tidak dipublikasikan
http: //content.rajakamar.com/lenong-seni-peran-peran-penerus-gambang-
kromong/
Pedoman Observasi
Identifikasi dan pahami variabel penelitian, adapun beberapa variabel penelitian yang
akan diteliti adalah : 1). Teater Lenong Marong Group, 2). Identitas Budaya, 3).
Masyarakat Betawi.
Dalam observasi, semua indera peneliti harus menjadi alat peneliti yang peka dan
terintegrasi secara massif. Rasakan, amati, dan dengarkan lah secara mendalam.
Beberapa variabel dan sub variabel yang akan diamati, yaitu :
1. Teater Lenong Marong Group
Amatilah secara mendalam teater lenong Marong Group!
a. Identifikasi teater lenong
b. Macam-macam teater lenong
c. Sejarah teater lenong Marong Group
d. Organisasi dalam teater lenong Marong Group
e. Sebutkan upaya yang dilakukan oleh Marong Group untuk pembentukan identitas
Betawi
2.
2. Identitas Budaya
Amatilah secara mendalam identitas Budaya!
a. Identifikasi Identitas Budaya
b. Sebutkan cara untuk menunjukan identitas suatu budaya
3. Masyarakat Betawi
Amatilah masyarakat Betawi!
a. Identifikasi bagaimana identitas budaya di masyarakat Betawi
PEDOMAN WAWANCARA
NO. Informan Komponen Data Pertanyaan
1.
RW, RT dan Petugas
Kelurahan Ciater
Struktur Sosial 1. Berapa luas wilayah kelurahan
Ciater?
2. Bagaimana komposisi jumlah
penduduk berdasarkan jenis
kelamin?
3. Bagaimana komposisi
penduduk berdasarkan tingkat
pendidikan?
4. Bagaimana jenis mata
pencaharian penduduk?
5. Bagaimana tingkat
perekonomian penduduk?
2. Pendiri Perkumpulan
Teater Lenong
1.Konteks Sejarah 1. Bagaimana sejarah
perkembangan teater lenong di
tempat ini?
2. Bagaimana posisi teater lenong
dalam masyarakat betawi
setempat?
3. Bagaimana cara pembagian
honor waktu itu?
4. Hal apa saja yang membuat
terjadinya perbedaan honor
tersebut?
5. Berapa harga nanggap lenong
waktu itu?
6. Kapan perkumpulan ini
terbentuk?
7. Bagaimana awal terbentuknya
perkumpulan ini?
2. Revitalisasi
Budaya
1. Apa pandangan anda mengenai
revitalisasi seni pertunjukan
ini?
2. Menurut anda, apakah
revitalisasi budaya itu penting?
3. Seberapa penting seni
pertunjukan ini bagi kehidupan
anda?
4. Apa sja usaha yang anda
lakukan untuk revitalisasi
budaya?
5. Apa harapan yang hendak anda
capai dalam upaya revitalisasi
ini?
3. Pembentukan
Identitas
1. Apa pandangan anda terhadap
identitas kultural Betawi?
2. Bagaimana cara perkumpulan
anda untuk dapat mempertegas
identitas kultural?
3. Apakah mempertegas identitas
kultural melalui teater lenong
itu efektif?
4. Adakah nilai-nilai kebetawain
itu meresap dalam diri anda?
5. Bagaiaman implementasi nilai-
nilai kebetawian dalam
kehidupan sehari-hari anda?
6. Apa harapan yang hendak anda
capai dari proses pembentukan
identitas ini?
7. Apakah anda pernah
mendapatkan bantuan dari
pihak tetentu terkait dengan
pembiayaan perkumpulan teater
lenong ini?
4. Faktor penghambat
revitalisasi budaya
1. Adakah faktor penghambat
dalam upaya revitalisasi
budaya?
2. Faktor apa sajakah itu?
3. Faktor apa saja terkait dengan
masyarakat pendukung
kebudayaan ini?
4. Faktor apa saja terkait dengan
di luar masyarakat pendukung
kebudayaan ini?
5. Apa tindakan anda dalam
menghadapi dan menyiasati
faktor penghambat tersebut?
3. Panjak 1. Orientasi
pembelajaran
1. Apa motivasi anda dalam
keikutsertaan teater lenong?
2. Seberapa besar motivasi anda
dalam keikutsertaan teater
lenong?
3. Bagaimana sistem
pembelajaran teater di tempat
ini?
4. Menurut anda, apakah
melestarikan budaya itu
penting?
5. Seberapa pentingkah
pendidikan budaya ini?
6. Apa tujuan anda ikut serta
dalam teater ini?
7. Apa harapan yang hendak anda
capai dalam keikutsertaan
teater lenong?
2. Pembentukan
identitas
1. Apa pandangan anda terhadap
identitas kultural Betawi?
2. Bagaimana cara teater lenong
Marong dapat mempertegas
identitas kultural?
3. Apakah proses pembentukan
identitas kultural melalui teater
lenong itu efektif?
4. Adakah nilai-nilai kebetawain
itu meresap dalam diri anda?
5. Bagaiamana implementasi
nilai-nilai kebetawian dalam
kehidupan sehari-hari anda?
TRANSKIP WAWANCARA
Pendiri Teater lenong Marong Group
1. Bagaimana sejarah lenong di wilayah ini?
2. Bagaimana posisi lenong dalam masyarakat Betawi di Ciater?
3. Apa saja kesenian Betawi yang ada di Ciater?
4. Mengapa kesenian-kesenian tersebut sudah tidak ada?
5. Bagaimana awal terbentuknya perkumpulan teater lenong Marong?
6. Kapan perkumpulan teater lenong ini terbentuk?
7. Apa alasan anda membentuk perkumpulan teater lenong ini?
8. Apa teater lenong Marong terdaftar di Pemerintah?
9. Apa teater lenong Marong memiliki administrasi yang baik?
10. Berapa anggota pemain teater lenong Marong?
11. Apa pandangan anda terhadap budaya Betawi?
12. Apa pandangan anda terhadap perkembangan budaya Betawi saat ini?
13. Apa saja usaha yang anda lakukan untuk mempertahankan budaya Betawi?
14. Sanggarnya ada kesenian apa aja ?
15. Sudah ada berapa murid?
16. Hambatan apa saja yang anda alami dalam usaha untuk mempertahankan kebudayaan
Betawi?
17. Apa pandangan anda terhadap identitas kultural Betawi?
18. Bagaimana cara perkumpulan teater lenong anda dapat mempertegas identitas Betawi?
19. Apakah cara tersebut efektif?
20. Apa harapan yang hendak anda capai dari proses pertegasan identitas ini?
21. Apa pandangan anda mengenai revitalisasi seni?
22. Revitalisasi seni itu proses atau cara menghidupkan kembali kesenian yang perlahan
menghilang. Menurut anda apa itu penting?
23. adakah faktor penghambat dalam upaya revitalisasi seni?
24. Contoh faktor penghambat upaya revitalisasi seni?
25. Apa tindakan anda dalam menghadapi dan menyiasati faktor penghambat tersebut? .
26. Seberapa penting kesenian lenong bagi kehidupan anda?
27. Bagaimana implementasi nilai-nilai budaya Betawi dalam dalam kehidupan sehari-hari
anda?
28. bagaimana peranan nilai-nilai Betawi di masyarakat Ciater?
Pemain Teater lenong Marong Group
1. Apa alasan terkuat anda memutuskan untuk bergabung dengan perkumpulan teater
lenong Marong?
2. Apakah anda hanya bermain di lenong Marong?
3. Bagaimana fungsi lenong dalam hidup anda?
4. Bagaimana sistem pembelajaran teater lenong di lenong Marong?
5. Menurut anda apakah melestarikan budaya itu penting?
6. Apa tujuan anda ikut serta dalam perkumpulan teater lenong ini?
7. Apa harapan yang hendak anda capai dalam keikutsertaan teater lenong?
8. Bagaimana sosok Bapak Marong menurut anda?
9. Apa pandangan anda terhadap identitas kultural Betawi?
10. Bagaimana cara teater lenong Marong dapat mempertegas identitas kultural?
11. Apakah proses pembentukan identitas kultural melalui teater lenong itu efektif?
12. Adakah nilai-nilai Betawi itu meresap dalam diri anda?
13. Bagaiamana implementasi nilai-nilai betawi dalam kehidupan sehari-hari anda?
TRANSKIP WAWANCARA
(Pendiri Lenong Marong Group)
Nama : Mochtar Marong
Umur : 56 Tahun
Hari/Tanggal : Jum’at, 19 September 2014
Lokasi : Kp. Pondok Sentul, RT 06/ 10 Ciater
1. T : Bagaimana sejarah lenong di wilayah ini?
J : Lenong udah lama ya di Ciater, dari jaman kakek saya lenong tuh udah ada. Jaman
dulu lenong gak ada panggungnya kaya sekarang. Dulu lenong keliling
kampung nyari saweran nampilnya di lapangan.
2. T : Bagaimana posisi lenong dalam masyarakat Betawi di Ciater?
J : Kalau bagi penonton sih untuk hiburan dan kalau bagi pemain lenong untuk
menyampaikan hal-hal yang menyeleweng dari nilai-nilai yang ada di masyarakat
melalui cerita yang ditampilkan.
3. T : Apa saja kesenian Betawi yang ada di Ciater?
J : Yaa kalo sekarang mah tinggal lenong, silat, gambang kromong sama tari-tarian. Itu
juga udah jarang tari-tarian. Dulu mah ada ubrug,jipeng,jinong yaa banyak
pokonya.
4. T : Mengapa kesenian-kesenian tersebut sudah tidak ada?
J : Tidak ada penerusnya, makanya saya berusaha mempertahankan kesenian yang masih
ada.
5. T : Bagaimana awal terbentuknya perkumpulan teater lenong Marong?
J : Awal kan saya ikut di perkumpulan lenong orang, saya berfikir untuk mendirikan
perkumpulan sendiri. Akhirnya berkat dukungan temen, saya dapat mendirikan
perkumpulan ini yang bernama lenong Marong Group.
6. T : Kapan perkumpulan teater lenong ini terbentuk?
J : Tahun 2004
7. T : Apa alasan anda membentuk perkumpulan teater lenong ini?
J : Untuk ngelestariin budaya, Kalau bukan kita siapa lagi.
8. T : Apa teater lenong Marong terdaftar di Pemerintah?
J : Belom, lagi diurusin syarat-syaratnya.
9. T : Apa teater lenong Marong memiliki administrasi yang baik?
J : Catetan? Gak ada. Lenong selesai main dibayar sama yang punya hajat, para pemain
langsung dibayar. Gak ada catetan-catetan jadinya.
10. T : Berapa anggota pemain teater lenong Marong?
J : 30 lebih, tapi dicampur sama pemain musik
11. T : Apa pandangan anda terhadap budaya Betawi?
J : Budaya Betawi itu kaya nilai-nilai luhur, karena di dalamnya ada nilai kesopanan,
hormat-menghormati, dan yang paling penting kaya nilai-nilai agama. Contoh, setiap
lebaran, yang muda selalu datang ke yang lebih tua. Kalau dulu malah sambil bawa
makanan. Jadi, jangan ngaku Betawi kalau belum menerapkan budaya Betawi dalam
kehidupan sehari-hari.
12. T : Apa pandangan anda terhadap perkembangan budaya Betawi saat ini?
J : Kebudayaan Betawi mengalami pasang surut, apalagi jaman orde baru, kebudayaan
Betawi mengalami kemerosotan yang lumayan. Banyak seniman-seniman yang tidak
terekspos. Alhamduillah, setelah reformasi semuanya membaik. Sekarang mah gimana
masyarakat Betawinya bisa atau tidak pertahanin kebudayaan.
13. T : Apa saja usaha yang anda lakukan untuk mempertahankan budaya Betawi?
T : Ya salah satunya dengan mendirikan perkumpulan teater lenong dan sekarang saya
sedang mencoba membangun sanggar kesenian untuk mencari penerus agar tidak
punah kesenian-kesenian Betawi.
14. T : Sanggarnya ada kesenian apa aja ?
J : Lenong, Silat, musik gambang dan tari-tarian Betawi.
15. T : Sudah ada berapa murid?
J : Baru 8an, itu juga baru silat aja .
16. T : Hambatan apa saja yang anda alami dalam usaha untuk mempertahankan kebudayaan
Betawi?
J : Dukungan pemerintah dan dukungan masyarakat Betawi.
17. T : Apa pandangan anda terhadap identitas kultural Betawi?
J : Yaa identitas itu ciri khas kita yang bisa ngebedain diri kita dengan orang lain.
18. T : Bagaimana cara perkumpulan teater lenong anda dapat mempertegas identitas
Betawi?
J : Paling utama ya nunjukin kalo Betawi itu orang Islam, di dalam cerita dimasukin
unsur-unsur Islam. Tujuannya sih ya buat bocah-bocah yang dirumahnya orangtuanya
kaga peduli, banyak bener sekarang yang kaya begitu. Orangtuanya sibuk nyari duit
anak kaga diperhatiin. Makanya sekarang jarang bener bocah kalo abis magrib pada
ngaji di mushola. Nah selain buat bocah juga ya buat pemuda Betawi yang sekarang
mulai pada demen minum-minum yang kaga bener, dicerita kita nampilin kalo Islam
itu kaga ngebolehin minum begituan terus dampaknya gimana juga ada di cerita.
Selaen dengan nunjukin kalo Betawi itu cinta Islam, lenong Marong juga nunjukinnya
dengan bahasa, kita nunjukin bahasa Betawi itu kaya gimana. Nah lenong saya ini
juga mamerin ke penonton yang bukan orang Betawi kalo orang Betawi ntuh pade
jago silat. Sambil silat sambil nunjukin golok dah.
19. T : Apakah cara tersebut efektif?
J : Sejauh ini sih dengan cara itu efektif.
20. T : Apa harapan yang hendak anda capai dari proses pertegasan identitas ini?
J : Setidaknya masyarakat Betawi dapat percaya diri dan mampu bersaing dengan
pendatang baik dalam segi pendidikan atau keterampilan. Selain itu, masyarakat dari
kebudayaan lain tidak menganggap Betawi itu rendah
21. T : Apa pandangan anda mengenai revitalisasi seni?
J : Waduh saya gak ngerti bahasanya.
22. T : Revitalisasi seni itu proses atau cara menghidupkan kembali kesenian yang perlahan
menghilang. Menurut anda apa itu penting?
J : Sangat penting dong, tanpa revitalisasi budaya manapun akan punah dimakan waktu,
kesenian tidak akan bertahan tanpa adanya pemberdayaan masyarakat pendukungnya
sendiri.
23. T : adakah faktor penghambat dalam upaya revitalisasi seni?
J : Faktor penghambat mah ada pasti.
24. T : Contoh faktor penghambat upaya revitalisasi seni?
J : Yaa masyarakat pendukungnya, kita pihak orang seni mencoba untuk ngehidupin
kesenian dan pertahanin tapi kalo masyarakat pendukungnya gak ngedukung? Yaa
gak bisa kan. Nih misalnya saya ngehidupin lenong yang hampir punah tapi gak ada
yang nonton gimana? Atau gak ada yang mau jadi pemain lenong gimana.
Masyarakat harus mendukung segala upaya revitalisasi guna pertahanin kebudayaan
Betawi. Selain itu juga kesenian modern salah satu penghambat upaya revitalisasi.
25. T : Apa tindakan anda dalam menghadapi dan menyiasati faktor penghambat tersebut?
J : Membuat lenong lebih indah dan bermakna, mudah-mudahan lenong makin memiliki
fungsi memberi hiburan dan mampu memberi kebanggan masyarakat. Karna lenong
mampu nampilin sifat masyarakat tertentu dalam bentuk sebuah kemasan seni yang
bermutu.
26. T : Seberapa penting kesenian lenong bagi kehidupan anda?
J : Lenong ngajarin saya kalo memiliki warisan budaya lebih penting ketimbang warisan
kekayaan, warisan budaya bisa dinikmati beratus-ratus tahun soalnya.
27. T : Bagaimana implementasi nilai-nilai budaya Betawi dalam dalam kehidupan sehari-
hari anda?
J : Dari logat bicara, cara berpakaian dan nyajiin makanan khas Betawi pada momen-
momen tertentu.
28. T : bagaimana peranan nilai-nilai Betawi di masyarakat Ciater?
J : Disini kesetiakawanan tinggi, terlihat dalam sikap mental masyarakat Betawi yang
suka menolong terhadap sesama. Nilai ini terlihat kalau ada yang hajat nikahan,
sunatan, dan acara-acara keagamaan. Kalau ada sodara atau tetangga yang mau ada
hajatan, semua kumpul. Apalagi kalo mau bikin dodol, wah.. pokonya rame. Demikian
juga kalo ada kerabat yang meninggal, semuanya membantu yang kena musibah.
TRANSKIP WAWANCARA
(Pemain Gambang Kromong di Lenong Marong Group)
Nama : Agus
Umur : 42 Tahun
Hari/Tanggal : Minggu, 23 November 2014
Lokasi : Lapangan BSD
1. T : Apa alasan terkuat anda memutuskan untuk bergabung dengan perkumpulan teater
lenong Marong?
J : Namanya juga orang cari duit, selama halal mah hajar terus
2. T : Apakah anda hanya bermain di lenong Marong?
J : Engga, saya nabuh gendang di dangdut-dangdut
3. T : Bagaimana sistem pembelajaran teater lenong di lenong Marong?
J : Kalo gambang kromong mah sebulan paling dikit 2 kali latihan. Yaa belajar aja gitu
gimana nyatuin suara sama alat yang laen dan kadang juga cari instrument musik baru
4. T : Menurut anda apakah melestarikan budaya itu penting?
J : ya penting banget itu mah
5. T : Apa tujuan anda ikut serta dalam perkumpulan teater lenong ini?
J : Nambahin pemasukan kantong
6. T : Apa harapan yang hendak anda capai dalam keikutsertaan teater lenong?
J : Marong Group kan cukup punya nama yaa, saya sih berharap saya nabuh gendang di
Marong orang-orang jadi kenal gitu sama saya.
7. T : Bagaimana sosok Bapak Marong menurut anda?
J : Perduli banget sama pemaen-pemaennya.
8. T : Apa pandangan anda terhadap identitas kultural Betawi?
J : kebiasaan yang beda sama yang laen
9. T : Bagaimana cara teater lenong Marong dapat mempertegas identitas kultural?
J : Yaa dengan cara nampilin alat musik gambang kromong secara lengkap. Gambang
kromong kan alat musik Betawi. Kan banyak yang kaga tau kalo gambang kromong
punya Betawi. Banyak juga yang kaga tau gambang kromong itu alat musiknya
macem-macem, ada tehyan, gamelan, kongahyan, kecrek, gong, gambang, kromong,
dan gendang. Lenong itu sama gambang kromong dua kesenian yang gak bisa
dipisahin.
T : Apakah proses pembentukan identitas kultural melalui teater lenong itu efektif?
J : iya ko
10. T : Adakah nilai-nilai betawi itu meresap dalam diri anda?
J : Ada
11. T : Bagaiamana implementasi nilai-nilai betawi dalam kehidupan sehari-hari anda?
J : Yaa paling bahasa sama makanan saya mah
TRANSKIP WAWANCARA
(Penasehat di Lenong Marong Group)
Nama : Ita
Umur : 60 Tahun
Hari/Tanggal : Minggu, 23 November 2014
Lokasi : Lapangan BSD
1. T : Apa alasan terkuat anda memutuskan untuk bergabung dengan perkumpulan teater
lenong Marong?
J : Saya sama Marong itu udaha sahabatn lama, dulu kita emang punya kepengenan buat
bikin perkumpulan teater. Alhamdulillah salah satu dari kami ada yang kesampean
punya perkumpulan.
2. T : Apakah anda hanya bermain di lenong Marong?
J : Iya.
3. T : Bagaimana sistem pembelajaran teater lenong di lenong Marong?
J : sebenernya mah disini gak ada belajar, apalagi naskah. Gak ada itu mah.
4. T : Menurut anda apakah melestarikan budaya itu penting?
J : Penting banget itu mah pasti.
5. T : Apa tujuan anda ikut serta dalam perkumpulan teater lenong ini?
J : Tujuan mau bikin lenong Marong makin banyak yang kenal. Saya sebagai penasehat
selalu membantu segala usaha buat kemajuan nih lenong.
6. T : Apa harapan yang hendak anda capai dalam keikutsertaan teater lenong?
J : Kalau ditanya masalah harapan, saya berharap banget lenong nih gak punah. Saya
pengennya orang-orang Betawi tuh pada cinta sama keseniannya sendiri. jangan
kerjaannya pada nonton dangdut aja.
7. T : Bagaimana sosok Bapak Marong menurut anda?
J : Marong di mata saya mah baik ya. Dia cukup teges buat jadi pemimpin
8. T : Apa pandangan anda terhadap identitas kultural Betawi?
J : Identitas itu yang bisa ngebedain kita sama orang lain
9. T : Bagaimana cara teater lenong Marong dapat mempertegas identitas kultural?
J : Banyak ya sebenernya, misalnya kaya pemaen make baju khas Betawi. Selain itu, di
dalam teater lenong Marong juga sangat menjunjung agama Islam. kalo giliran yang
cerita-cerita Islam, saya dah yang keluar. Bisa dikata mah ceramah sambil ngelawak
gitu. Disini tuh selaen nampilin lawakan, lenong Marong Group juga nenampilin
tarian Betawi dan lagu-lagu Betawi.
10. T : Apakah proses pembentukan identitas kultural melalui teater lenong itu efektif?
J : Alhamdulillah kalo menurut saya sih Efektif.
11. T : Adakah nilai-nilai betawi itu meresap dalam diri anda?
J : Ada pasti mah, kita hidup di lingkungan Betawi kalo masalah nilai Betawi pasti udah
darah daging banget
12. T : Bagaiamana implementasi nilai-nilai betawi dalam kehidupan sehari-hari anda?
J : Yaa saya lahir di tanah Betawi, tinggal di tanah Betawi pasti saya juga ngejalanin
hidup dengan nilai-nilai Betawi.
TRANSKIP WAWANCARA
(Pemain Lenong Marong Group)
Nama : Ati
Umur : 40 Tahun
Hari/Tanggal : Minggu, 23 November 2014
Lokasi : Lapangan BSD
1. T : Apa alasan terkuat anda memutuskan untuk bergabung dengan perkumpulan teater
lenong Marong?
J : Saya emang seneng sama lenong sih
2. T : Apakah anda hanya bermain di lenong Marong?
J : Iya
3. T : Bagaimana sistem pembelajaran teater lenong di lenong Marong?
J : belajar resmi mah gak ada, paling saya sering nanya ke ayah ngelenong yang bener tuh
gimana, supaya lucu gimana. Pribadi aja sih belajarnya
4. T : Menurut anda apakah melestarikan budaya itu penting?
J : Jelas penting banget itu mah
5. T : Apa tujuan anda ikut serta dalam perkumpulan teater lenong ini?
J : Tujuan biar jadi panjak yang terkenal
6. T : Apa harapan yang hendak anda capai dalam keikutsertaan teater lenong?
J : Harapan semoga lenong umurnya panjang dah
7. T : Bagaimana sosok Bapak Marong menurut anda?
J : Ayah mah sabar banget. Tapi kalo lagi tegas yaa tegas banget dia mah
8. T : Apa pandangan anda terhadap identitas kultural Betawi?
J : Bedanya orang Betawi sama budaya laen gitu.
9. T : Bagaimana cara teater lenong Marong dapat mempertegas identitas kultural?
J : Yang paling saya setuju sih cara marong nyelipin unsur-unsur Islam. Supaya bocah-
bocah yang masih muda yang orangtuanya ga ngajarin jadi tau ajaran Islam kaya
gimana. Marong juga disini kaya semacem ngasih tau kalo orang Betawi tuh
orangnya jujur, gak ada yang ditutupin. Kalo ga demen ama sifat orang yaa langsung
bilang gitu.
10. T : Apakah proses pembentukan identitas kultural melalui teater lenong itu efektif?
J : InsyaAllah iya
11. T : Adakah nilai-nilai betawi itu meresap dalam diri anda?
J : Ada itu mah
12. T : Bagaiamana implementasi nilai-nilai betawi dalam kehidupan sehari-hari anda?
J : Saya kalo dirumah masak makanan Betawi jadi anak-anak saya jadi tau makanan
Betawi gimana. Saya juga ngajarin kalo magrib gak boleh diluar rumah, ngajarin anak
harus sopan sama orangtua.
TRANSKIP WAWANCARA
(Penyanyi di Lenong Marong Group)
Nama : Dini
Umur : 17 Tahun
Hari/Tanggal : Minggu, 23 November 2014
Lokasi : Lapangan BSD
1. T : Apa alasan terkuat anda memutuskan untuk bergabung dengan perkumpulan teater
lenong Marong?
J : Saya kan anaknya, masa gak ikutan
2. T : Apakah anda hanya bermain di lenong Marong?
J : Iya, soalnya saya masih sekolah
3. T : Bagaimana sistem pembelajaran teater lenong di lenong Marong?
J : Gak ada, tapi seminggu sekali suka ngumpul-ngumpul sih dirumah tapi gaktau
ngapain, ngobrolin lenong kayanya mah. Mungkin itu kali yaa belajarnya
4. T : Menurut anda apakah melestarikan budaya itu penting?
J : Penting banget, nanti pada punah kalo gak dilestariin. Saya cuma tau dari cerita aja
kalo zaman dulu ada jipeng sama jinong. Jangan sampe deh kesenian yang sekarang
masih ada punah juga.
5. T : Apa tujuan anda ikut serta dalam perkumpulan teater lenong ini?
J : Tujuannya saya mau semakin pinter ngelenong, mau nerusin ayah. Kalo ayah udah
gak ada siapa yang nerusin kalo saya gak bisa ngelenong
6. T : Apa harapan yang hendak anda capai dalam keikutsertaan teater lenong?
J : Sama sih kaya tadi, harapannya supaya makin pinter ngelenong.
7. T : Bagaimana sosok Bapak Marong menurut anda?
J : Ayah tuh sayang banget sama pemaennya, makanya banyak pemaen yang betah
gabung di group ayah
8. T : Apa pandangan anda terhadap identitas kultural Betawi?
J : Cirinya orang Betawi, yang punya Cuma orang Betawi gitu.
9. T : Bagaimana cara teater lenong Marong dapat mempertegas identitas kultural?
J : Banyak. nih ya misalnya sebelum lenong main itu musik gambang ngalun terus, terus
bahasa sama baju
10. T : Apakah proses pembentukan identitas kultural melalui teater lenong itu efektif?
J : Efektif kayanya mah
11. T : Adakah nilai-nilai betawi itu meresap dalam diri anda?
J : Adalah.
12. T : Bagaiamana implementasi nilai-nilai betawi dalam kehidupan sehari-hari anda?
J : kalo makanan sih jujur saya gak terlalu suka. Paling dari bahasa sama sholat yang
rajin. Kalo gak sholat pas doa atau mohon apa-apa sama Allah malu rasanya. Laah
orang gak pernah sholat mau minta. Allah juga gakmau ngasih kalo gitu mah. Ayah
ngajarinnya gitu soalnya
TRANSKIP WAWANCARA
(Pemain Lenong Marong Group)
Nama : Katong
Umur : 53 Tahun
Hari/Tanggal : Minggu, 23 November 2014
Lokasi : Lapangan BSD
1. T : Apa alasan terkuat anda memutuskan untuk bergabung dengan perkumpulan teater
lenong Marong?
J : Saya sama group yang sebelumnya kurang nyabung, eh Marong ngajakin maen di
groupnya yaudah jadinya gabung dah.
2. T : Apakah anda hanya bermain di lenong Marong?
J : Iya
3. T : Bagaimana sistem pembelajaran teater lenong di lenong Marong?
J : Gak ada pembelajaran
4. T : Menurut anda apakah melestarikan budaya itu penting?
J : Pentinglah, cucu saya nanti gaktau silat beksi kaya gimana kalo gak dilestariin
budayanya
5. T : Apa tujuan anda ikut serta dalam perkumpulan teater lenong ini?
J : Supaya lenong gak punah
6. T : Apa harapan yang hendak anda capai dalam keikutsertaan teater lenong?
J : Harapan semoga lenong tetep eksis walau sekarang udah jarang yang nanggep lenong
7. T : Bagaimana sosok Bapak Marong menurut anda?
J : Baik banget dia mah. Kalo maen di Marong Group jangan coba-coba bawa minuman
haram, bisa abis kena semprot sama dia.
8. T : Apa pandangan anda terhadap identitas kultural Betawi?
J : Identitas Betawi itu yang ngebedai Betawi sama yang laen
9. T : Bagaimana cara teater lenong Marong dapat mempertegas identitas kultural?
J : Lenong Marong nunjukin ke orang-orang identitas kebudayaan Betawi itu dengan
karakter yang dimaenin sama panjak. Karakter itu ngewakilin orang Betawi tuh kaya
gimana. Misalnya orang Betawi yang berani atau jujur. Silat juga ditampilin mulu tiap
para jago keluar. Selaen ntuh ya nunjukin juga baju khas punye Betawi kaya gimane.
10. T : Apakah proses pembentukan identitas kultural melalui teater lenong itu efektif?
J : Efektif kayanya mah
11. T : Adakah nilai-nilai betawi itu meresap dalam diri anda?
J : Pasti ada kalo itu mah
12. T : Bagaiamana implementasi nilai-nilai betawi dalam kehidupan sehari-hari anda?
J : Saya nerapin nilai Betawi itu dengan cara ngajarin anak-anak saya kalo sama orang
yang lebih tua harus hormat. Misal kaya kemaren anak saya baru nikahan, dia mah
gak tau kalo di Betawi selesai 3 harian nikah itu harus nganterin makanan ke rumah
enya, babeh, atau ke encang encingnya.
TRANSKIP WAWANCARA
(Pemain Lenong Marong Group)
Nama : Maceng
Umur : 49 Tahun
Hari/Tanggal : Kamis, 13 November 2014
Lokasi : Kp. Setu RT 02/05
1. T : Apa alasan terkuat anda memutuskan untuk bergabung dengan perkumpulan teater
lenong Marong?
J : Kecintaan terhadap kesenian Betawi.
2. T : Apakah anda hanya bermain di lenong Marong?
J : Kaga, saya selain ngelenong juga sering diundang buat palang pintu.
3. T : Bagaimana fungsi lenong dalam hidup anda?
J : gak munafik yaa, fungsi ngelenong bagi saya buat jadi mata pencarian.
4. T : Bagaimana sistem pembelajaran teater lenong di lenong Marong?
J : Gak ada belajar disinia mah
5. T : Menurut anda apakah melestarikan budaya itu penting?
J : Pentinglah
6. T : Apa tujuan anda ikut serta dalam perkumpulan teater lenong ini?
J : Kalo ditanya tujuan sih sebenernya buat salah satu usaha saya mertahanin budaya
Betawi.
7. T : Apa harapan yang hendak anda capai dalam keikutsertaan teater lenong?
J : Semoga aja orang-orang makin cinta sama kesenian Betawi.
8. T : Bagaimana sosok Bapak Marong menurut anda?
J : Baik sih yaa dia.
9. T : Apa pandangan anda terhadap identitas kultural Betawi?
J : Yaa ciri khas yang beda sama budaya laen.
10. T : Bagaimana cara teater lenong Marong dapat mempertegas identitas kultural?
J : Setuju sama ongkih, tapi saya tambahin yaa dikit. Group Marong nunjukin identitas
Betawi itu kalo lagi manggung wajib buat pemaen ngomong pake bahasa Betawi. Yaa
itu mah ga susah dah, emang udah kebiasaan kita.
11. T : Apakah proses pembentukan identitas kultural melalui teater lenong itu efektif?
J : Efektif InsyaAllah
12. T : Adakah nilai-nilai betawai itu meresap dalam diri anda?
J : Adalah masa gak ada
13. T : Bagaiamana implementasi nilai-nilai betawi dalam kehidupan sehari-hari anda?
J : Taat sama yang nyiptain saya.
TRANSKIP WAWANCARA
(Pemain Lenong Marong Group)
Nama : Ongkih
Umur : 37 Tahun
Hari/Tanggal : Kamis, 13 November 2014
Lokasi : Kp. Setu RT 02/05
1. T : Apa alasan terkuat anda memutuskan untuk bergabung dengan perkumpulan teater
lenong Marong?
J : Saya kan sebenernya MC dangdut yaa, tapi kan kalo dangdut makin tua jarang yang
mau sekarang mah, kalo di lenong kan masalah umur gak masalah.
2. T : Apakah anda hanya bermain di lenong Marong?
J : Engga, saya masih lumayan aktif jadi MC dangdut. Selain itu juga saya main di
beberapa perkumpulan teater lenong lainnya tapi kalo waktu manggung bentrok saya
akan manggung di lenong Marong. Group sendiri diduluin dah pokonya.
3. T : Bagaimana fungsi lenong dalam hidup anda?
J : Fungsi lenong bagi hidup saya yaitu saya bisa menambah ilmu tentang kesenian
Betawi
4. T : Bagaimana sistem pembelajaran teater lenong di lenong Marong?
J : Gak belajar, langsung aja gitu natural. Misalnya saya dapet peran jadi centeng, ya saya
gak akan nanya saya harus ngapain aja. Yang penting tau cerita yang akan ditampilin.
5. T : Menurut anda apakah melestarikan budaya itu penting?
J : Penting bangetlah, biar jadi warisan ke generasi mendatang.
6. T : Apa tujuan anda ikut serta dalam perkumpulan teater lenong ini?
J : Saya orang seni, nyambung hidup dari seni. Tujuan ikut yaa untuk nambahin
pemasukan keuangan.
7. T : Apa harapan yang hendak anda capai dalam keikutsertaan teater lenong?
J : Harapan sih supaya bisa pertahanain lenong supaya gak punah. Dan saya juga
berharap bisa nambah ilmu. Kalo abis main lenong pasti ada aja ilmu yang didapet.
8. T : Bagaimana sosok Bapak Marong menurut anda?
J : Ayah Marong merupakan sosok pemimpin yang bisa kita pegang, bisa di teladani lah
istilahnya. Kalo ada anggotanya yang salah pasti dinasehatinnya gak di depan orang
banyak. Masalah keuangan dia mah terbuka, gak ada yang ditutup-tutupin. Ayah
marong juga sosok yang tegas nah makanya anggotanya pada disiplin
9. T : Apa pandangan anda terhadap identitas kultural Betawi?
J : Identitas Betawi tuh yang bisa ngebuat orang lain kalo liat kita udah paham kalo kita
orang Betawi, cirinya lah gitu
10. T : Bagaimana cara teater lenong Marong dapat mempertegas identitas kultural?
J : Wah banyak, misalnya dengan nampilin gambang kromong yang merupakan alat
musik Betawi, dibarengin ame lagu-lagu khas Betawi. Misalnya tuh kaya jali-jali,
ondel-ondel, sang bango, kicir-kicir ama yang laennya dah. Terus dengan baju yang
dipake pemain, pemaen kan kalo nampil pada pake baju khas Betawi nah terakhir tuh
maenin cerita-cerita yang kentel agama.
11. T : Apakah proses pembentukan identitas kultural melalui teater lenong itu efektif?
J : Ya efektif.
12. T : Adakah nilai-nilai betawai itu meresap dalam diri anda?
J : Pasti ada itu mah.
13. T : Bagaiamana implementasi nilai-nilai betawi dalam kehidupan sehari-hari anda?
J : Misal kalo ada tetangga selametan, saya pasti dateng. Udah wajib banget itu mah
hukumnya
TRANSKIP WAWANCARA
(Pemain Lenong Marong Group)
Nama : Robert
Umur : 58 Tahun
Hari/Tanggal : Minggu, 23 November 2014
Lokasi : Lapangan BSD
1. T : Apa alasan terkuat anda memutuskan untuk bergabung dengan perkumpulan teater
lenong Marong?
J : Marong itu udah kaya sodara sendiri, saya gabung ya mau bantuin Marong buat
ngejaga kebudayaa Betawi.
2. T : Apakah anda hanya bermain di lenong Marong?
J : ya paling jadi bintang tamu di group laen, gak netep gitu. Tapi itu juga jarang
3. T : Bagaimana sistem pembelajaran teater lenong di lenong Marong?
J : Gak pake belajar
4. T : Menurut anda apakah melestarikan budaya itu penting?
J : yaa pasti penting dong
5. T : Apa tujuan anda ikut serta dalam perkumpulan teater lenong ini?
J : tujuannya agar makin banyak yang cinta sama kesenian lenong
6. T : Apa harapan yang hendak anda capai dalam keikutsertaan teater lenong?
J : Harapannya semoga aja lenong bisa bertahan walau banyak saingannya
7. T : Bagaimana sosok Bapak Marong menurut anda?
J : yaa baik dia mah, kalo ama temen gak perhitungan. Gak pelit intinya mah.
8. T : Apa pandangan anda terhadap identitas kultural Betawi?
J : Yang ngebedain sama kebudayaan lain.
9. T : Bagaimana cara teater lenong Marong dapat mempertegas identitas kultural?
J : Caranya itu kalo lagi manggung pemaen wajib ngomong pake bahasa Betawi, terus
pemaen pake baju khas Betawi lengkap dengan golok di pinggang. Selain itu juga
nampilin keahlian silat jadinya orang pada tau kalo orang Betawi itu jago silat. Maen
lenong kalo gak bisa silat bahaya, golok yang dipake kan golok beneran kalo gak bisa
silat bisa pala kebelah.
10. T : Apakah proses pembentukan identitas kultural melalui teater lenong itu efektif?
J : Iya
11. T : Adakah nilai-nilai betawi itu meresap dalam diri anda?
J : Ada itu mah
12. T : Bagaiamana implementasi nilai-nilai betawi dalam kehidupan sehari-hari anda?
J : Betawi kan Islam banget yaa, yaa saya taat sama yang nyiptain saya. Selaen itu saya
kalo ngomong pasti pake bahasa Betawi, ya bisa diliat sendiri dah itu mah. Selaen
bahasa saya juga demen banget sama makanan khas Betawi pecak jengkol.
TRANSKIP WAWANCARA
(Pemain Lenong Marong Group)
Nama : Rudi Jambrong
Umur : 37 Tahun
Hari/Tanggal : Minggu, 26 Oktober 2014
Lokasi : Kp. Pondok Sentul, RT 06/ 10 Ciater
1. T : Apa alasan terkuat anda memutuskan untuk bergabung dengan perkumpulan teater
lenong Marong?
J : Awal saya itu gabung sama perkumpulan teater lenong Gaya Baru, pas Marong bentuk
perkumpulan yaa saya ikut ke Marong. Marong kan paman saya, masa paman sendiri
bentuk perkumpulan saya malah jadi anggota group lain.
2. T : Apakah anda hanya bermain di lenong Marong?
J : Engga, saya masih suka nampil di Gaya Baru tapi saya mengutamakan lenong
Marong.
3. T : Bagaimana fungsi lenong dalam hidup anda?
J : Saya lahir di keluarga seni, Alhamdulillahnya saya memiliki darah seni yang kentel.
Jadi funsgi lenong dalam hidup saya yaa untuk nyalurin kecintaan sama seni.
4. T : Bagaimana sistem pembelajaran teater lenong di lenong Marong?
J : Gak ada belajar-belajar. Misalnya mau tampil nih, pas di belakang panggung dikasih
tau cerita dan perannya masing-masing. Gak ada catetan dialog, makanya kalo gak
ada bakat seni mah pas nampil jadi gak lucu.
5. T : Menurut anda apakah melestarikan budaya itu penting?
J : Ya penting lah. Kalo gak dilestariin ilang nanti.
6. T : Apa tujuan anda ikut serta dalam perkumpulan teater lenong ini?
J : Ya gimana ya, buat ngelestariin budaya kaya yang tadi ditanya. Selain itu juga buat
nyalurin kecintaan saya sama seni.
7. T : Apa harapan yang hendak anda capai dalam keikutsertaan teater lenong?
J : Pengen jadi pelawak yang bisa masuk tv, siapa tau bisa kaya Mang Marong
8. T : Bagaimana sosok Bapak Marong menurut anda?
J : Perhatian banget dia mah, kalo ada keluarga pemainnya sakit pasti ditengokin..
9. T : Apa pandangan anda terhadap identitas kultural Betawi?
J : Identitas Betawi itu yang menandakan siapa kita, dari mana kita, dan ciri-ciri kita
yang bedain sama masyarakat lainnya.
10. T : Bagaimana cara teater lenong Marong dapat mempertegas identitas kultural?
J : Kalo lenong Marong sih nunjukin identitas betawinya dengan nampilin busana-
busana khas Betawi sama senjata-senjata khasnya.
11. T : Apakah proses pembentukan identitas kultural melalui teater lenong itu efektif?
J : Efektif ko.
12. T : Adakah nilai-nilai Betawi itu meresap dalam diri anda?
J : Adalah, gak liat nih dialek abang kan Betawi banget.
13. T : Bagaiamana implementasi nilai-nilai betawi dalam kehidupan sehari-hari anda?
J : Yaa kalo komunikasi sama orang pake bahasa Betawi. Saya mah bangga sama bahasa
Betawi walau banyak yang bilang norak
DATA RESPONDEN
1. Nama : Mochtar Marong
Umur : 63 tahun
Jabatan dalam perkumpulan : Pimpinan
Jabatan dalam kesenian : Pemain atau bodor utama
2. Nama : Ita
Umur : 64 tahun
Jabatan dalam perkumpulan : Penasehat
Jabatan dalam kesenian : Pemaian dan sutradara
3. Nama : Robert
Umur : 42 tahun
Jabatan dalam perkumpulan : Anggota
Jabatan dalam kesenian : Pemain atau bodor
4. Nama : Katong
Umur : 53 tahun
Jabatan dalam perkumpulan : Anggota
Jabatan dalam kesenian : Pemain atau bodor
5. Nama : Agus
Umur : 42 tahun
Jabatan dalam perkumpulan : Anggota
Jabatan dalam kesenian : Juru Gendang
6. Nama : Ongkih
Umur : 37 tahun
Jabatan dalam perkumpulan : Anggota
Jabatan dalam kesenian : MC dan pemain
7. Nama : Rudi
Umur : 37 tahun
Jabatan dalam perkumpulan : Anggota
Jabatan dalam kesenian : Pemain
8. Nama : Maceng
Umur : 58 tahun
Jabatan dalam perkumpulan : Anggota
Jabatan dalam kesenian : Pemain
9. Nama : Dini
Umur : 18 tahun
Jabatan dalam perkumpulan : Anggota
Jabatan dalam kesenian : Penyanyi
10. Nama : Ati
Umur : 40 tahun
Jabatan dalam perkumpulan : Anggota
Jabatan dalam kesenian : Pemain
LAMPIRAN DOKUMENTASI
Ketika wawancara dengan Bapak Marong Ketika wawancara dengan Bapak Rudi
Ketika wawancara dengan Bapak Katong Ketika wawancara dengan Bapak Robert
Salah satu alat musik gambang kromong milik Marong Group
Para pemain berganti busana khas Betawi
Beberapa pemain Marong Group
Para penonton lenong Marong Group